EFEKTIFITAS FORTIFIKASI ZAT BESI NaFeEDTA DAN FERO FUMARAT PADA PANGAN BERBASIS KEDELAI MELALUI UJI BIOAVAILABILITAS SECARA In Vitro Elva Dissa Adriana, Tri Aminingsih, Agustino Zulys Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO.BOX 452 Bogor, Jawa Barat ABSTRACT Iron Deficiency Anemia is one of the nutritional problems in Indonesia that can be solved with improvement approach the nutritional value of food (food fortification). Iron fortification can be done on soy-based foods such as tempeh, tofu and soy milk which is one of the dominant interest in food of Indonesian society. Fortifikan used is NaFeEDTA and ferrous fumarate is in the form of complex stable as chelating agent that protects Fe of inhibitors such as phytic acid and polyphenols. This study aims to determine the bioavailability and effectiveness of iron fortification in soy-based foods (tempeh, tofu and soy milk) using varying concentrations of NaFeEDTA and ferrous fumarate through in vitro tests. This research started with preparing packaging ferrous fumarate and synthesize NaFeEDTA, then testing with a variety of additions fortifican Fe with concentration of 0 mg, 5 mg, 10 mg, 15 mg and 20 mg Fe. Produce of soy-based food tempeh, tofu and soy milk which was then processed into flour tempeh, tofu and soy milk powder. Samples were tested against the bioavailability of iron in vitro using pepsin and bile pancreatine, Fe content are then analyzed using AAS instrument (Atomic Absorption Spectrophotometer). NaFeEDTA as fortifican iron in soy-based foods such as tempe, tofu and fortified soy milk has a higher effectiveness than ferrous fumarate with the percentage of effectiveness of 98.19%, 65.08% and 66.27%. Keyword: Fortification,Soy, in vitro, Bioavailability, NaFeEDTA, Ferrous fumarate ABSTRAK Anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia yang dapat ditanggulangi dengan pendekatan perbaikan nilai gizi pangan (fortifikasi pangan). Fortifikasi zat besi dapat dilakukan pada pangan berbasis kedelai berupa tempe, tahu dan susu kedelai yang merupakan salah satu bahan pangan dominan yang diminati masyarakat Indonesia. Fortifikan yang digunakan adalah NaFeEDTA dan Fero Fumarat berada dalam bentuk kompleks yang stabil dan bersifat sebagai agen pengkelat yang melindungi Fe dari inhibitor seperti asam fitat dan polifenol. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bioavailabilitas dan efektifitas fortifikasi zat besi pada pangan berbasis kedelai (tempe, tahu dan susu kedelai) menggunakan variasi konsentrasi fortifikan NaFeEDTA dan Fero Fumarat melalui uji in vitro. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, menyiapkan fortifikan kemasan Fero Fumarat dan mensintesis fortikan NaFeEDTA, kemudian dilakukan pengujian dengan variasi penambahan fortifikan Fe dengan konsentrasi 0 mg Fe, 5 mg Fe, 10 mg Fe, 15 mg Fe dan 20 mg Fe. Pembuatan pangan berbasis kedelai berupa pangan tempe, tahu dan susu kedelai yang kemudian diproses menjadi tepung tempe, tepung tahu dan susu kedelai. Sampel diuji bioavailabilitas terhadap zat besi secara in vitro menggunakan pepsin serta pancreatine bile lalu dianalisis kadar Fe menggunakan instrument SSA (Spektrofotometer Serapan Atom). Penggunaan NaFeEDTA sebagai fortifikan zat besi pada pangan berbasis kedelai yaitu
tempe, tahu dan susu kedelai memiliki efektifitas fortifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan fortifikan Fero Fumarat untuk sampel tempe, tahu dan susu kedelai berturut-turut sebesar 98,19%, 65,08% dan 66,27%. Kata Kunci: Fortifikasi, Kedelai, in vitro, Bioavailabilitas, NaFeEDTA, Fero fumarat PENDAHULUAN Masalah gizi yang paling banyak di Indonesia diantaranya kekurangan protein, kekurangan Yodium, kekurangan Vitamin A dan Anemia Gizi. Iron Deficiency Anemia (IDA) atau anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi yang penting di Indonesia. Masalah anemia gizi besi ini tidak hanya dijumpai dikalangan rawan seperti anak-anak, ibu hamil, dan ibu yang sedang menyusui, tetapi juga diantara orang dewasa terutama golongan karyawan dengan penghasilan rendah (Djojosoebagio, et al. 1986). Kasus anemia di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh rendahnya asupan zat besi atau Fe dalam tubuh. Hal ini karena masyarakat Indonesia khususnya wanita kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani sebagai salah satu sumber zat besi yang mudah diserap (heme iron), sedangkan bahan pangan nabati (non-heme iron) merupakan sumber zat besi yang tinggi namun sulit diserap sehingga dibutuhkan porsi yang besar untuk mencukupi kebutuhan zat besi dalam seharinya. Perbaikan pangan adalah metode yang paling ideal, akan tetapi dalam praktiknya banyak keterbatasan, diantaranya sulit mengubah kesukaan seseorang terhadap jenis makanan tertentu serta serta mahalnya bahan pangan yang kaya akan zat besi dengan bioavaibilitas tinggi seperti daging. Pendekatan dengan fortifikasi (penambahan zat gizi pada bahan makanan) merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan. Fortifikan Fe yang direkomendasikan oleh WHO tahun 1995 ada dalam berbagai kategori senyawa yaitu yang mudah larut dalam air, kurang larut dalam air tetapi larut dalam asam encer, sama sekali tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam encer dan bentuk encapsulated. Di Indonesia fortifikasi
telah diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Upaya yang dilakukan tersebut belum dapat mengurangi prevalensi anemia gizi besi yang terus meningkat karena bahan pangan yang telah ter-fortifikasi tersebut belum dikonsumsi secara luas oleh semua lapisan masyarakat terutama masyarakat ekonomi lemah (Mardliyati, 2007). Upaya untuk mengurangi prevalensi anemia gizi besi dengan pendekatan pangan potensial dilakukan dengan target bahan pangan berbasis kedelai. Hal tersebut dilakukan karena bahan pangan kedelai menjadi bahan pangan dominan di Indonesia yang diminati dengan harga yang masih terjangkau. Penelitian awal terkait efektifitas fortifikasi Fe pada pangan berbasis kedelai seperti tempe, tahu dan susu kedelai telah dilakukan. Zat anti gizi berupa asam fitat dan polifenol yang terdapat dalam kedelai dapat menghambat proses penyerapan dalam tubuh sehingga harus diketahui terlebih dahulu perbandingan molar rasio antara zat besi dan zat anti gizi. Molar rasio berpengaruh terhadap ketersediaan mineral yang bisa diserap oleh tubuh serta sebagai dasar perhitungan penentuan pemberian fortifikan pada sampel. Penelitian awal yang telah dilakukan diperoleh data bahwa perbandingan molar rasio antara zat anti gizi dan zat besi dalam pangan kedelai sebesar 1 : 3 yang berarti bahwa 1 molekul fitat dapat mengikat 3 molekul Fe (Trihartiani, 2013). Atas dasar alasan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan harapan akan memberikan informasi untuk pengembangan penelitian berikutnya pada pangan berbasis kedelai sebagai alternatif jawaban atas anemia zat besi. Pangan berbasis kedelai digunakan seperti tahu, tempe dan susu kedelai sebagai media untuk fortifikasi zat besi dengan fortifikan NaFeEDTA dan Fero Fumarat untuk
menentukan bioavailabilitasnya terhadap keterserapan di dalam tubuh dengan metode in vitro pencernaan (ketersediaan hayati). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bioavailabilitas dan efektifitas fortifikasi zat besi pada pangan berbasis kedelai (tempe, tahu dan susu kedelai) menggunakan variasi konsentrasi fortifikan NaFeEDTA dan Fero Fumarat melalui uji in vitro. Manfaat dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan informasi tentang fortifikan Fe yang dapat digunakan serta komposisi yang tepat antara jenis fortifikan Fe dan jenis bahan pangan berbasis kedelai yaitu tempe, tahu dan susu kedelai dan dalam skala luas diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat untuk menanggulangi permasalahan anemia gizi besi di Indonesia, serta mampu memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat, pemerintah dan perusahaan yang bergerak di bidang pangan. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – Mei 2015 di Laboratorium Kimia Anorganik Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia yang berlokasi di Kampus Baru UI Depok.
BAHAN DAN ALAT Bahan Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kedelai (Glycine max(L.) Merill), ragi tempe, Asam Asetat (CH3COOH) 1,1%, aquadest, Ferrous Fumarate, Titriplex III (Natrium EDTA), NaOH, FeCl3, Larutan Pepsin (0,3% dalam 0,1 mol/L HCl), Larutan Pancreatine Bile (0,012 g Pancreatine dan 0,075 g ekstrak bile dalam 0,1 M NaHCO3), HNO3 65% dan Larutan Standard Fe 1000 mg/L.
Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah piala gelas, gelas ukur, erlenmeyer, Hotplate Stirrer, neraca analitik, kertas saring kasar, corong kaca, ring stand, batang pengaduk, kaca arloji, kertas timbang, desikator, wadah plastik, kompor, panci, pengaduk kayu, plastik bening, kain kassa, blender, chopper, loyang, oven, labu ukur, pipet volumetrik, bulb karet, kertas saring Whatman 42, labu semprot, pipet tetes. Sintesis NaFeEDTA Sebanyak 0,4 gram NaOH dilarutkan dalam 10 mL aquadest dan ditambahkan 3,8 gram Na2H2EDTA.2H2O sambil dipanaskan sampai larut sempurna. Pada piala gelas lain sebanyak 2,5 gram FeCl3.6H2O dilarutkan dalam 5 mL aquadest dan ditambahkan ke dalam larutan EDTA,distirer dan dipanaskan perlahan-lahan sampai terbentuk endapan berwarna kuning. Larutan didinginkan dalam ice bath dan didekantasi.Endapan yang dihasilkan dicuci dengan air dingin dan etanol 2 mL sebanyak 2 kali.Endapan yang telah dicuci kemudian disaring dengan penyaring vakum (Buchner) dan dikeringkan pada suhu ruang (Student Handout Education and Manpower Bureau and Hongkong Examination and Assestment Authority). Pembuatan Tepung Tempe Kedelai 15 gram dicuci bersih dan direndam selama 10-12 jam pada suhu kamar.Selanjutnya dikupas kulitnya hingga bersih.Kacang kedelai lalu dikukus dengan api kecil selama lebih kurang 30 menit hingga lunak dan ditiriskan hingga kering. Ragi ditimbang 0,05 gram. Fortifikan ditimbang sesuai perhitungan (untuk variasi penambahan 0 mg, 5 mg, 10 mg, 15 mg dan 20 mg Fe). Ragi dan fortifikan kemudian dicampurkan bersama kedelai yang sudah kering setelah ditiriskan, dimasukkan dalam wadah plastik yang sudah dilubangi kecil-kecil, diaduk-aduk hingga rata menggunakan sendok kayu. Dibiarkan selama 24 – 48 jam pada suhu kamar untuk proses fermentasi. Tempe yang
telah jadi kemudian dicincang halus dan dikeringkan dalam oven pada suhu 100 derajat selama 2 jam sampai kering kemudian dihaluskan menggunakan chopper sehingga terbentuk tepung tempe. Pembuatan Tepung Tahu Kedelai 15 gram dicuci bersih dan direndam selama 10-12 jam pada suhu kamar.Kedelai yang telah lunak kemudian di giling menggunakan blender dengan penambahan aquadest sebanyak 100 mL sampai halus.Kedelai yang telah dihaluskan disaring menggunakan kain kassa dan filtratnya ditampung dalam panci dan dididihkan. Filtrat yang telah mendidih kemudian kembali diletakkan dalam piala gelas dan ditambahkan asam cuka (CH3COOH) 1,1% sambil diaduk perlahan sehingga filtrat terkoagulasi. Koagulan yang terbentuk disaring menggunakan kain kassa, ditekan menggunakan cetakan tahu untuk mengeluarkan sisa air yang ada dalam koagulan. Fortifikan Fe dengan masingmasing variasi konsentrasi (0 mg, 5 mg, 10 mg, 15 mg dan 20 mg ) ditambahkan ke dalam tahu dan didiamkan sampai memadat beberapa jam. Tahu yang telah jadi kemudian dicincang halus dan dikeringkan dalam oven pada suhu 100 derajat selama 2 jam sampai kering kemudian dihaluskan menggunakan chopper sehingga terbentuk tepung tahu. Pembuatan Susu kedelai Kedelai 15 gramdicuci bersih dan direndam selama 10-12 jam pada suhu kamar.Kedelai yang telah lunak kemudian di giling menggunakan blender dengan penambahan aquadest sebanyak 100 mL sampai halus.Kedelai yang telah dihaluskan disaring menggunakan kain kassa dan filtratnya ditampung dalam panci dan dididihkan. Filtrat yang telah mendidih kemudian kembali diletakkan dalam piala gelas dan ditambahkan fortifikan Fe dengan masing-masing variasi konsentrasi (0 mg, 5 mg, 10 mg, 15 mg dan 20 mg ) dan diaduk selama 30 – 45 menit hingga homogen.
Penentuan Kurva Kalibrasi Fe Dari larutan standar Fe 1000 mg/L dipipet sebanyak 10 mL larutan kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan aquadest hingga tepat tanda batas, sehingga diperoleh larutan Fe 100 mg/L.Dari larutan standar 100 ppm dipipet sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 100 mL lalu ditambahkan aquadest hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan Fe 10 mg/L. Dari larutan standar 10 mg/L dipipet masing-masing 2,5 mL, 5 mL, 10 mL, 15 mL dan 25 mL lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, lalu ditepatkan hingga tanda batas, sehingga diperoleh larutan standar 0,5 mg/L, 1 mg/L, 2 mg/L, 3 mg/L, dan 5 mg/L. Nilai absorbansi larutan tersebut diukur dengan SSA pada panjang gelombang 248,3 nm. Uji Bioavailabilitas Zat Besi secara In Vitro Sampel ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dilarutkan dengan 10 mL aquadest untuk tepung tempe dan tepung tahu serta dipipet sebanyak 10 mL untuk susu kedelai cair. Ditambahkan 10 mL larutan enzim pepsin, diatur pH menjadi 2.Diinkubasi selama 90 menit pada suhu 37 ºC sambil diaduk. Ditambahkan 3 mL larutan campuran enzim pancreatine dan bile extract kemudian diatur pH menjadi 5 dengan NaOH 1,0 M. Kemudian diinkubasi kembali selama 30 menit dengan suhu 37 ºC. Setelah 30 menit sampel disaring menggunakan kertas Whatman 42. Proses In Vitro pencernaan pada sampel sesuai dengan pendapat Svanberg dalam Journal of Food Science vol. 58 No. 2, 1993. Pengukuran Fe Total Hasil In Vitro Filtrat hasil in vitro pencernaan yang telah disaring didestruksi menggunakan asam kuat yaitu HNO3 65% sebanyak 6 mL lalu dipanaskan selama 30-60 menit sampai larutan menjadi jernih pada suhu 150 ºC. Jika belum terlihat jernih, larutan didinginkan dan ditambahkan kembali 3 mL HNO3 65% dan dipanaskan.Larutan yang telah jernih didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 50 mL dan ditambahkan aquadest hingga tanda batas. Kadar Fe total diukur dalam sampel menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang gelombang 248,3 nm. HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis NaFeEDTA NaFeEDTA (sodium iron ethylenediaminetetraacetic) atau biasa disebut Natrium Besi EDTA merupakan kompleks besi yang terikat dengan satu molekul EDTA dengan rumus molekul Fe[(OOCCH2)2NCH2CH2N(CH2COO)]. Produk fortifikan NaFeEDTA yang terbentuk berupa serbuk berwarna kuning dengan rumus kimia Na[Fe(EDTA)].3H2O. NaFeEDTA bersifat stabil dan larut dalam pelarut air. Fortifikan NaFeEDTA yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Produk NaFeEDTA Pada penelitian ini NaFeEDTA yang akan digunakan sebagai fortifikan disintesis lebih dahulu. Dilaporkan, bahwa NaFeEDTA dalam skala dosis yang diusulkan oleh International Nutrional Anemia Consultative Groups (INACG) untuk fortifikasi makanan tidak memiliki efek toksik. NaFeEDTA disintesis dari Na2H2EDTA.2H2O yang dilarutkan dalam larutan NaOH hingga bening. Persamaan reaksi antara EDTA dan NaOH menghasilkan ionisasi empat gugus karboksilat. EDTA4− adalah ligan heksadentat yang terbentuk kompleks dengan beberapa ion larutan logam. Pada beaker lain telah disiapkan larutan FeCl3. Kedua larutan EDTA dan FeCl3 dicampurkan menghasilkan garam NaFeEDTA. Empat atom oksigen dan
dua atom nitrogen berikatan dengan ion logam dalam struktur oktahedral. Kompleks yang terbentuk ini disebut juga sebagai kompleks kelat. Larutan disimpan dalam icebath untuk mempercepat proses kristalisasi. Endapan yang terbentuk disaring dan dikeringkan.
Gambar 2. Reaksi Pembentukan NaFeEDTA Sumber : Student Handout Education and Manpower Bureau and Hongkong Examination and Assestment Authority Adanya kelat EDTA dapat membantu penyerapan zat besi ke dalam tubuh.Hal ini dikarenakan EDTA merupakan kelat yang dapat melindungi Fe berikatan dengan senyawa yang dapat mengganggu seperti asam fitat dan polifenol. Hasil sintesis NaFeEDTA kemudian dikarakterisasi dengan FTIR untuk mengetahui ikatan antara Fe dan kelat EDTA. Tempe, Tahu dan Susu Kedelai Hasil Fortifikasi Jenis sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan pangan olahan berbasis kedelai yaitu tempe,tahu dan susu kedelai.Pembuatan sampel (bahan yang akan difortifikasi) menggunakan basis 15 g kedelai yang nantinya akan diolah menjadi tahu, tempe dan susu kedelai cair. Untuk 15 g kedelai dihasilkan tempe dengan berat rerata 20, tahu 10g dan susu kedelai sebanyak 100 mL. Produk tempe dan tahu yang dihasilkan dikeringkan dan dibuat menjadi tepung dengan perolehan berat tepung tempe sebesar 10 gram dan berat tepung tahu sebesar 5 gram. Pada penelitian ini dilakukan fortifikasi pada tahu, tempe dan susu kedelai dengan variasi jenis dan jumlah fortifikannya. Fortifikasi zat besi pada sampel tahu, tempe,
dan susu dengan NaFeEDTA dan Fero Fumarat dilakukan dengan beberapa variasi. Penambahan jumlah fortifikan didasarkan pada perbandingan molar fitat terhadap besi, suatu metode yang digunakan untuk mengukur bioavailabilitas mineral dalam tubuh manusia (Morriss & Ellis 1989, Norhaizan 2009). Variasi penambahan fortifikasi ini bertujuan untuk mengetahui kadar Fe terekstrak non polifenol serta mencari kisaran yang tepat untuk nilai daily intake Fe untuk mengurangi anemia Fe yaitu sebesar 8-15 mg/hari menurut Recommendation Dietary Allowance (RDA) (Hurrel, 2009). Bioavailabilitas Zat Besi Secara In Vitro Bioavailabilitas zat besi fortifikan yang digunakan terhadap sampel pangan kedelai dapat berjalan dengan baik dapat dilihat dari nilai Fe terekstrak yang dihasilkan melebihi Fe terekstrak yang terdapat dalam kontrol tanpa penambahan fortifikan walaupun dengan hasil yang variatif. Hal tersebut disebabkan karena berbagai hal diantara nya pengaruh inhibitor yang masih ada dalam sampel ataupun homogenisasi yang kurang baik antara fortifikan dengan sampel seperti Fero Fumarat. Proses ini merupakan simulasi pencernaan di dalam tubuh yang dilakukan secara enzimatis di luar tubuh. Reaksi enzimatis dengan metode in vitro pencernaantentu tidak akan bisa disamakan persis dengan pencernaan di dalam tubuh. Pada proses pencernaan di dalam tubuh banyak yang tidak bisa disimulasikan di luar tubuh. Faktor usia, jenis kelamin, dan lama metabolisme tiap orang berbeda – beda.Metode in vitro menjadi satu cara untuk mengetahui bisa tidaknya suatu zat terserap dengan mensimulasikan suhu, cairan, dan enzim yang terkait sama seperti di dalam tubuh. Dalam penelitian ini didapatkan informasi bahwa kedua fortifikan, baik NaFeEDTA dan Fero Fumaratdapat terserap. Keterserapan Fe dari proses in vitro diperoleh
dengan adanya nilai Fe terekstrak yang akan dibahas kemudian. Hasil in vitro kemudian didekstruksi basah menggunakan HNO3 65% kemudian ditentukan absorbansi Fe menggunakan AAS. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dikonversi ke dalam bentuk konsentrasi berupa ppm yang dianggap sebagai nilai Fe terekstrak. Efisiensi keterserapan dalam tubuh ditentukan kemudian dengan membandingkan jumlah Fe yang difortifikasi dengan jumlah Fe yang terekstrak. Ketersediaan hayati (bioavailability) zat besi merupakan suatu perkiraan lepasnya jumlah zat besi total yang berasal dari makanan dengan menambahkan pepsinHCl berdasarkan simulasi yang ada pada cairan getah bening lambung. Pepsin adalah enzim pencernaan yang dilepaskan di dalam perut sebagai pepsinogen. Adanya penambahan HCl dapat merangsang pelepasan pepsin. Ketika pepsinogen terkena HCl dalam lambung, pepsinogen berubah menjadi pepsin. Dalam lambung manusia terdapat kondisi asam akibat adanya sekresi asam lambung oleh sel-sel mukosa lambung sehingga akan membuat pH sekitar 2 yang merupakan pH optimum untuk aktivitas enzim pepsin. Dalam keadaan pH optimum ini, enzim pepsin akan bekerja untuk menghidrolisis protein menjadi bentuk yang lebih kecil pada sampel makanan. Enzim lain yang digunakan dalam percobaan ini adalah pankreatin bile yang menyerupai suatu cairan yang dikeleuarkan oleh kelenjar pankreas dan mengandung natrium bikarbonat yang menetralkan cairan dari lambung dan berfungsi memecah ikatan protein pada sampel (Miller D.D, 1981). Pada percobaan ini dilakukan inkubasi selama 90 menit pada suhu 37°C. Kondisi suhu ini disesuaikan dengan kondisi lambung pada manusia yang merupakan suhu tubuh normal. Inkubasi ini bertujuan untuk menghidrolisis protein oleh enzim pepsin. Selama inkubasi dilakukan pengadukan yang sebagai simulasi gerak peristaltik lambung yang bertujuan untuk menghomogenisasi bahan makanan dengan getah lambung agar
mencapai fungsi optimal. Efektifitas Fortifikasi Efektifitas fortifikasi dihitung berdasarkan jumlah Fe hasil in vitro yang terekstrak (Fe terekstrak) dibagi dengan jumlah Fe total yang ditambahkan. Fe terekstrak ialah Fe yang sudah tidak berikatan dengan fitat dan polifenol, kemudian diekstrak dari sampel ke pelarutnya yang kemudian diakhiri dengan percobaan penyerapan menggunakan metode in vitro pencernaan.
Gambar 3. Grafik Efektifitas Fortifikasi Invitro pada Susu Kedelai
Tabel 1. Hasil Efektifitas Fortifikasi NaFeEDTA dan Fero Fumarat pada Pangan Berbasis Kedelai % Efektifitas Fortifikasi Sampel Fero NaFeEDTA Fumarat Tempe 98,19 18,59 Tahu 65,08 8,28 Susu 66,27 18,04 Kedelai Gambar 1. Grafik Efektifitas Fortifikasi Invitro pada Tempe
Gambar 2. Grafik Efektifitas Fortifikasi Invitro pada Tahu
Gambar 4. Diagram Efektifitas FortifikasiNaFeEDTA dan Fero Fumarat pada Pangan Berbasis Kedelai Berdasarkan Gambar 1 sampai dengan 4 dan Tabel 1 terlihat bahwa persen efektifitas tertinggi yang menunjukan bioavailabilitas Fe melalui uji in vitro dimiliki fortifikan NaFeEDTA terhadap ketiga sampel pangan kedelai yang digunakan yaitu tempe, tahu dan
susu kedelai. NaFeEDTA stabil di dalam makanan dan dapat digunakan sebagai fortifikasi. Efek hambatan dari inhibitor dapat diminimalisasi dengan penambahan asam askorbat, EDTA atau ferrous bisglycinate sebagai pendekatan alternatif peningkatan penyerapan zat besi (Hurrell, et al., 2009). Sifat stabil dari NaFeEDTA inilah yang menjadi alasan NaFeEDTA dapat digunakan sebagai fortifikan zat besi pada makanan hasil olahan kedelai. Penggunaan EDTA secara keseluruhan untuk dikonsumsi oleh tubuh berdasarkan Reccomended Dietary Allowance (RDA) dari The National Research Council sekitar 8-15 mg/hari. Sifat Fero Fumarat sedikit larut dalam air dan larut baik dalam asam. Kelarutan Fero Fumarat dalam air hanya 0,14 g/100 cm3.Fero Fumaratbiasa digunakan sebagai fortifikan pada makanan kering tanpa pelarutan. Sifatnya yang berwarna coklat kemerahan membuat Fero Fumarat sebagai fortifikan pada penelitian ini mengubah warna dari media sampel fortifikasi, khususnya pada tempe dan susu. Pada media tahu warna berubah setelah dibiarkan semalaman baik dalam keadaan tertutup maupun terbuka. Perubahan warna yang terjadi pada tahu hanya di permukaannya saja. Secara sensorik agak mengganggu penampakan media sampel karena memberikan warna tidak seperti produk pangan berbasis kedelai pada umumnya. Pada media susu kedelai homogeninasi yang kurang antara fortifikan dan sampel karena Fero Fumarat sukar larut dalam air sehingga menyebabkan fortifikan Fero Fumarat terbagi beberapa fase pada sampel yaitu mengendap dibagian bawah sampel, sedikit larut dalam sampel dan mengapung dibagian atas sampel. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : 1) Bioavailabilitas zat besi yang dijadikan fortifikan, dalam hal ini NaFeEDTA dan Fero Fumarat yang diuji secarain vitro menggunakan enzim pepsin dan larutan
campuran enzim pancreatin dan extract bile dapat dilakukan dengan baik. 2) Efektifitas tertinggi untuk 15 g kedelai dengan variasi penambahan Fe total sebesar 15 mg, 5 mg dan 10 mg untuk sampel tempe, tahu dan susu kedelai dengan fortifikan NaFeEDTA berturutturut sebesar 98,19%, 65,08% dan 66,27%, sedangkan pada Fero Fumarat sebesar 18,59%, 8,28% dan 18,04%. 3) Penggunaan NaFeEDTA sebagai fortifikan zat besi pada pangan berbasis kedelai yaitu tempe, tahu dan susu kedelai memiliki efektifitas fortifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan fortifikan Fero Fumarat. SARAN Saran yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya : 1) Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan fortifikan yang telah memiliki biovailabilas dan efektifitas fortifikasi tinggi pada hewan uji melalui uji in vivountuk melihat pengaruh pemberian fortifikan terkait. 2) Perlu dilakukan pengujian organoleptik / kesukaan masyarakat terhadap produk pangan olahan kedelai tempe, tahu dan susu kedelai yang telah terfortifikasi. DAFTAR PUSTAKA Djojosoebagio S, Suhardjo, Husaini MA, Piliang WG, Karyadi D. 1986. Anemia dan non Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya dengan Aspek-Aspek Fungsional II Khususnya Produktivitas Kerja.Jurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor. Mardliyati, E. 2007.Fortifikasi garam dengan zat besi, strategis praktis dan efektif menanggulangi anemia. www.fortifikasiindonesia.net [18 Juni 2012] Miller, D, D,, Schricker, B, R,, Rasmussen, R, R,, & Campen, D. 1981. An in vitro method for estimation of iron availability
from meals, American Journal of Clinical Nutrition, 34, 2248–2256. Morris, E. R.; Ellis, R. Bioavailability of dietary calcium-effectof phytate on adult men consuming nonvegetarian diets. In ACSSymposium Series 275: Nutritional BioaVailability of Calcium;Kies, C., Ed.; Amerian Chemical Society: Wagenington, DC,1985; p 63. Student Handout.Synthesis of an Iron (III) – EDTA Complex.Education and Manpower
Bureau and Hongkong Examination and Assestment Authority.The Chinese University of Hongkong. Svanberg. 1993. Journal of Food Science Volume 58 No. 2. Trihartiani, Ermi. 2013. Efektivitas Ferrous Bisglycinate sebagai Fortifikan Zat Besi terhadap Keberadaan Polifenol pada Pangan Berbasis Kedelai. Universitas Indonesia, Depok.