PENINGKATAN KETAHANAN TANAMAN KEDELAI TERHADAP ALUMINIUM MELALUI KULTUR IN VITRO Ika Mariska1, E. Sjamsudin2, D. Sopandie2, S. Hutami1, A. Husni1, M. Kosmiatin1, dan A. Vivi N1 1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111 2 Jurusan Budi Daya Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680
ABSTRAK Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional adalah dengan melakukan ekstensifikasi penanaman ke lahan marginal, antara lain lahan masam yang tersedia cukup luas di Indonesia. Namun, pertanaman kedelai di lahan masam umumnya menghadapi masalah keracunan Al dan pH rendah, sehingga untuk mengatasinya diperlukan kultivar yang toleran. Sampai saat ini, sumber ketahanan terhadap Al pada kedelai masih terbatas. Metode seleksi in vitro merupakan suatu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kultivar kedelai yang toleran terhadap Al dan pH rendah. Sebelum dilakukan seleksi in vitro, metode regenerasi kedelai perlu dikuasai terlebih dahulu. Penelitian pada 10 varietas kedelai menunjukkan adanya perbedaan kemampuan beregenerasi melalui jalur embriogenesis somatik pada varietas tersebut. Lima varietas memperlihatkan sifat lebih embriogenik dibanding yang lain, yaitu Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu, dan Argomulyo. Seleksi in vitro dilakukan pada embriozigotik muda dari tiga varietas, yaitu Wilis, Sindoro, dan Slamet yang telah diradiasi untuk meningkatkan keragaman. Seleksi dilakukan pada taraf Al 0, 100, 200, 300, 400, dan 500 ppm dengan pH media 4. Dari hasil seleksi ini diperoleh 12 tanaman yang diduga toleran. Setelah dilakukan pengujian di kamar kaca, diperoleh dua genotipe yang potensial. Karena keterbatasan dana dan lahan, hanya satu genotipe yang diuji lebih lanjut, yaitu Sindoro Radiasi Al-100. Pengujian di empat lokasi pada empat generasi menunjukkan adanya potensi yang besar untuk mendapatkan galur-galur harapan kedelai yang toleran terhadap Al dan pH rendah. Kata kunci: Kedelai, keracunan aluminium, pH tanah, kultur in vitro, embriogenesis somatik
ABSTRACT Increasing aluminum tolerance of soybean plant through in vitro culture One effort to increase soybean productivity is by using marginal land for soybean plantation. The marginal land that can be used is acid soil, but the problems are Al toxicity and low pH. To cope with these problems, cultivars having tolerance to Al toxicity and low pH are needed. To create this cultivar, a breeder needs a wide range of variance. Because the variance for this character is limited, in vitro selection was used. Before the selection, the regeneration method must be held. The research using 10 soybean cultivars showed that there were different abilities of regeneration through somatic embryogenesis in each cultivar. Five cultivars (Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu, and Argomulyo) were more embryogenic than others. In vitro selection was conducted using young embryozygotic of Wilis, Slamet, and Sindoro that have already been radiated to increase variance. Selection was conducted using Al dosage 0, 100, 200, 300, 400, and 500 ppm and pH 4. From this selection, 12 plants were obtained. After greenhouse testing, two genotypes were considered as potential ones, but because of the limited fund and land only one genotype that was further tested in the field, which was Sindoro radiated Al-100. The result of field testing in four locations and four generations showed that there is a hope to obtain potential lines that can be released as cultivar tolerant to Al and low pH. Keywords: Glycine max, aluminum toxicity, soil pH, in vitro culture, somatic embriogenesis
K
ebutuhan kedelai nasional hingga kini belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sehingga impor kedelai tidak bisa terelakkan. Untuk menurunkan volume impor kedelai, pemerintah terus berupaya meningkatkan 46
produksi kedelai, terutama dengan memanfaatkan lahan masam yang luasnya mencapai 101.519 juta hektar di seluruh Indonesia (Notohadiprawiro 1983). Masalah yang umum dijumpai pada pertanaman di lahan masam adalah ke-
masaman tanah rendah, keracunan Al, kekahatan hara seperti N, P, K, Ca, Mg, dan Mo, serta kekurangaktifan mikroba tanah. Keracunan Al ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan akar sebagai akibat terhambatnya pemanjangan sel. Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004
Varietas kedelai yang digunakan petani umumnya hanya sesuai pada pH tanah yang cukup tinggi (± 6) dan peka terhadap kandungan Al yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengembangkan tanaman kedelai di lahan masam diperlukan varietas yang toleran terhadap pH rendah dan Al tinggi. Sumber ketahanan terhadap Al pada kedelai sampai saat ini sangat terbatas, sehingga perbaikan untuk karakter tersebut dilakukan melalui metode seleksi in vitro. Metode ini telah digunakan untuk meningkatkan sifat resistensi pada beberapa jenis tanaman, baik terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Stavarek dan Rains 1984; Ahloowalia 1986). Seleksi in vitro untuk meningkatkan ketahanan sel terhadap Al telah dilakukan pada tomat dan kentang (Stavarek dan Rains 1984) serta sorgum (Smith et al. 1983). Dalam melakukan seleksi in vitro diperlukan metode regenerasi dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Tanaman hasil regenerasi, setelah diseleksi secara in vitro, selanjutnya diuji di lapangan untuk melihat penampilan tanaman pada kondisi nyata di lapangan. Dari beberapa metode penapisan pada alfalfa, Dali’ Agnol et al. (1996) menyimpulkan bahwa pengujian di lahan masam dengan kandungan Al tinggi merupakan metode yang paling efektif untuk mendapatkan kultivar toleran. Oleh karena itu, keturunan dari tanamantanaman hasil seleksi in vitro perlu diuji di lahan masam pada beberapa generasi untuk mengetahui ketahanannya di lapang dan juga segregasinya.
EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI Metode embriogenesis somatik pada kedelai telah dihasilkan oleh Mariska et al. (2001a). Dari 10 varietas yang diteliti, lima varietas (Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu, dan Argomulyo) menunjukkan sifat lebih embriogenik dibanding yang lain. Formulasi media yang efektif dalam menginduksi regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik juga telah diperoleh, yaitu MS + 2,4-D 40 mg/l + beberapa asam amino. Jumlah rata-rata embrio somatik yang terbentuk berkisar antara 0−5,40 (Tabel 1). Jumlah embrio bipolar terbanyak dihasilkan oleh varietas Wilis yang dikulturkan pada media MS + 2,4-D 40 mg/l + 3 asam amino, diikuti oleh varietas Bromo pada perlakuan media MS + 2,4-D 40 mg/l + sukrosa 6% (4,50). Sepuluh minggu setelah dikulturkan pada media yang sama, embrio somatik berproliferasi dengan cepat.
SELEKSI MASSA SEL EMBRIOGENIK PADA KONDISI Al BERBEDA DAN pH RENDAH Masalah yang sering dihadapi dalam seleksi in vitro adalah sulit beregenerasinya massa sel toleran Al dan pH rendah. Penelitian regenerasi massa sel embriogenik setelah diseleksi pada
kondisi Al berbeda dan pH rendah telah dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor, dengan menggunakan embriozigotik muda dari varietas yang dapat beregenerasi melalui jalur embriogenesis somatik, yaitu Wilis. Dua varietas yang toleran terhadap kemasaman tanah, yaitu Sindoro dan Slamet, digunakan sebagai pembanding (Sopandie et al. 1996; Jusuf et al. 1999; Mariska et al. 1999; Mariska et al. 2001b). Embriozigotik muda diisolasi dari polong muda 12–20 hari setelah penyerbukan. Sebelum ditanam, embriozigotik diradiasi dengan sinar gamma dosis 0 dan 400 rad untuk meningkatkan keragaman. Setelah diradiasi, embriozigotik muda dikulturkan pada media semisolid MS dengan vitamin B5, dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D konsentrasi tinggi serta dikombinasi dengan beberapa asam amino, sukrosa, dan gel rite sebagai pemadat. Metode yang digunakan untuk induksi kalus embriogenik mengacu pada hasil penelitian Mariska et al. (1999). Seleksi massa sel embriogenik dilakukan dengan mengkulturkan massa sel pada media seleksi dengan tahapan yang berbeda. Seleksi dilakukan pada media yang sama dengan media induksi kalus dengan penambahan AlCl3.6H2O (0, 100, 300, 400, dan 500 ppm) pada pH 4. Untuk memunculkan sifat toksisitas Al dan mutan-mutan baru, media MS dimodifikasi dengan menggunakan NH4NO3 2.400 mg/l, CaCl2.2H2O 15 mg/l, KH2PO4 13 mg/l, dan FeSO4.7H2O 28 mg/l yang tidak dikelat oleh EDTA.
Tabel 1. Jumlah rata-rata struktur embrio somatik (globular, torpedo) pada lima varietas kedelai 10 hari setelah dikulturkan. Varietas Perlakuan MS MS 1 MS MS MS
+ 2,4-D 40 mg/l + sukrosa 6% + NAA 10 mg/l + casein hydolisate g/l + asam amino + 2,4-D 40 mg/l + 2 asam amino + 2,4-D 40 mg/l + 3 asam amino + 2,4-D 40 mg/l + sukrosa 6%
Rata-rata
Rata-rata
Wilis
Tambora
Bromo
Black Manchu
Argomulyo
2,40 2,50
3 1,50
4,50 1,42
2,29 1,50
1,43 1,25
1,19 1,63
3 5,40 1,25
4 4,33 2,50
1,25 2 2,20
1,20 1,75 0
2,75 2,33 0
2,44 3,16 2,72
2,90
3,07
2,27
1,35
1,55
2,23
Sumber: Mariska et al. (2001a).
Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004
47
Benih somatik yang berhasil diregenerasikan dari sel yang toleran Al dan pH rendah kemudian diaklimatisasi atau diperbanyak secara in vitro untuk kegiatan selanjutnya. Tahapan seleksi sampai pengujian benih somatik yang berasal dari seleksi in vitro dapat dilihat pada Gambar 1. Jumlah benih somatik pada media perkecambahan setelah diseleksi dengan Al dan pH rendah berbeda untuk setiap varietas, karena tidak semua struktur torpedo dapat berkembang membentuk benih somatik (Tabel 2). Meningkatnya konsentrasi Al akan menurunkan jumlah benih somatik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian seleksi in vitro pada padi (Van Sin Jan et al. 1997) yang menunjukkan penurunan kemampuan beregenerasi melalui jalur embriogenesis somatik sejalan dengan meningkatnya konsentrasi Al. Varietas Wilis yang diradiasi tetap dapat menghasilkan benih somatik paling banyak (72) dibanding varietas lainnya. Pada varietas Sindoro dan Slamet, jumlah embrio somatik cenderung menurun setelah diradiasi, sedangkan pada Wilis embrio somatik terbentuk lebih banyak setelah diradiasi daripada kontrol. Penampilan embrio somatik dewasa dari ketiga varietas tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Dari hasil seleksi in vitro diperoleh 39 benih somatik yang telah diaklimatisasi (Tabel 3). Dari penampakan visual biakan terlihat bahwa benih somatik Slamet tidak
Eksplan
Kalus embriogenik
tumbuh secara normal, sehingga untuk varietas Slamet belum ada benih somatik yang dapat diaklimatisasi. Dari 39 benih somatik tersebut, hanya 12 yang dapat tumbuh sampai berproduksi, sedangkan sisanya mati sebelum berbunga. Berdasarkan hasil penelitian, masalah yang ditemukan dalam regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik pada tanaman kedelai adalah pembentukan benih somatik yang tidak normal dan keberhasilan yang rendah dalam tahap aklimatisasi. Semua tanaman yang tumbuh di rumah kaca menunjukkan keragaman yang tinggi baik pada fase vegetatif
maupun generatif. Biji yang dihasilkan dari 12 tanaman tersebut perlu diuji kembali pada lahan masam. Penampilan tanaman hasil aklimatisasi dapat dilihat pada Gambar 3.
PENGUJIAN DI LAHAN MASAM Biji kedelai yang dihasilkan oleh tanaman hasil seleksi in vitro kemudian ditanam di kamar kaca dengan menggunakan tanah masam yang diambil dari Gajrug, Banten
Tabel 2. Jumlah benih somatik kedelai pada media perkecambahan setelah diseleksi dengan Al dan pH rendah. Jumlah benih somatik pada media seleksi Al (ppm)
Varietas/radiasi
Jumlah
0
100
200
300
400
500
Wilis 0 rad 400 rad
3 23
3 12
4 14
3 4
1 8
2 11
16 72
Sindoro 0 rad 400 rad
4 6
7 10
9 0
2 0
0 2
2 0
24 18
Slamet 0 rad 400 rad
10 10
9 10
3 1
3 2
2 0
4 0
31 23
Sumber: Mariska et al. (2002).
Kalus embriosomatik hasil seleksi
Tanaman hasil seleksi
Benih somatik
Biji
Gambar 1. 48
Seleksi tahap I
Produksi biji
2−3 bulan pada media tanah
Aklimatisasi
1,50 bulan pada media seleksi
Perkecambahan
1 bulan pada media cair
1,50 bulan pada media seleksi MI + A1
Pendewasaan
1,50 bulan pada media regenerasi MII
Seleksi tahap I
1 bulan pada media MI
Produksi kalus
1 bulan pada media induksi kalus = MI
Regenerasi
Tahapan seleksi in vitro untuk meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap Al (Mariska et al. 2002). Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004
Gambar 2.
Embriosomatik dewasa kedelai pada media perkecambahan setelah diseleksi dengan Al-100 ppm (Sindoro dan Slamet) serta Al-500 ppm (Wilis).
Gambar 3.
Penampilan tanaman kedelai hasil aklimatisasi, (A) Wilis radiasi Al500 dan (B) Sindoro radiasi Al-100.
(Mariska 2002a). Pengujian dibagi menjadi dua seri karena keterbatasan biaya dan tenaga. Pada seri pertama diuji tiga genotipe, yaitu Wilis radiasi Al-300 (A), Sindoro radiasi Al-100 (H), dan Sindoro radiasi pH 4 (I). Ketiga genotipe ini dipilih karena ketiganya memiliki jumlah polong yang cukup banyak (< 30 buah) dan hanya sedikit menghasilkan polong berbiji satu. Pada percobaan seri pertama digunakan tanah yang memiliki pH 4,80, Aldd 11,57 me, dan kejenuhan Al 57%. Pada seri kedua ditanam sembilan genotipe yang tersisa. Tanah yang digunakan pada seri kedua memiliki pH 4,32, Aldd 13,32 me, dan kejenuhan Al 81% (Mariska 2002b). Dari hasil pengujian di rumah kaca terpilih genotipe Sindoro radiasi Al-100 (H) pada pengujian seri pertama dan Wilis radiasi Al-500 (E) pada pengujian seri kedua. Pemilihan kedua genotipe tersebut didasarkan pada penampilan visual dan potensi hasil yang lebih baik dibanding varietas asalnya, yaitu Sindoro dan Wilis. Karena keterbatasan dana dan lahan, hanya genotipe Sindoro radiasi Al-100 (H)
Tabel 3. Aklimatisasi benih somatik kedelai dan produksi polong dari nomor-nomor baru hasil seleksi in vitro. Jumlah benih somatik yang diaklimatisasi
Jumlah benih somatik yang hidup dan berproduksi
Kontrol Al-100 ppm Al-200 ppm Al-300 ppm Al-400 ppm Al-500 ppm Rad pH 4 Rad Al-100 Rad Al-200 Rad Al-300
1 1 3 1 1 1 3 3 3 2
0 0 0 1 0 0 0 0 1 2
Rad Al-400 Rad Al-500
4 2
1 2
Varietas
Perlakuan 1
Wilis
Sindoro
Jumlah polong (berbiji 3, 2, 1, 0)
0 0 0 2(-,1,1,-) 0 0 0 0 24(-,18,1,5) 72(22,45,5,0) 30(7,18,4,1) 43(8,24,10,1) 20(3,9,6,2) 3(-,3,-,0)
Pendek (< 30 cm), polong kurang lebat Mati sebelum berbunga Mati sebelum berbunga Sedang (31−50 cm), polong lebat Pendek (< 30 cm), polong lebat Sangat pendek (< 15 cm), polong sangat lebat Sedang (31−50 cm), polong kurang lebat
Kontrol Al-100 ppm Rad pH 4 Rad Al-100 Rad Al-300
2 1 5 1 2
0 0 1 1 2
Rad Al-400
3
1
0 0 86(16,55,8,7) 65(9,38,16,2) 82(2,12,64,4) 31(3,19,5,4) 35(2,11,16,6)
39
12
493 (72,253,136,32)
Jumlah
Visual tanaman
Mati sebelum berbunga Mati sebelum berbunga Mati sebelum berbunga Pendek (< 30 cm), polong kurang sekali Mati sebelum berbunga Mati sebelum berbunga Mati sebelum berbunga Mati sebelum berbunga Pendek (< 30 cm), polong kurang lebat Tinggi (< 50 cm), polong lebat Pendek (< 30 cm), polong agak lebat
Al = diseleksi dengan AlCl3.6H2O; Rad pH 4 = radiasi 400 rad dengan media seleksi pH 4; Rad = radiasi sinar gamma 400 rad; Rad Al = radiasi 400 rad dengan media seleksi pH 4 dan AlCl3.6H2O. Sumber: Mariska et al. (2002).
1
Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004
49
yang diuji kembali di lapang. Genotipe ini lebih berpotensi dibanding Wilis radiasi Al-500 (E) karena jumlah polongnya relatif banyak sejak generasi pertama. Pengujian dilakukan di Gajrug, Banten pada tanah dengan pH 4,60, Aldd 12,60 me, dan kejenuhan Al 45,90%. Dari pertanaman ini terdapat lima nomor yang tidak ditanam kembali karena jumlah polongnya jauh di bawah Sindoro sebagai pembanding. Kondisi pertanaman di lahan masam ini sangat beragam karena kondisi tanah yang tidak homogen. Pada tanah yang berwarna hitam, kondisi tanaman relatif baik karena pH tanah lebih tinggi (4,93) dan kejenuhan Al rendah (16,19). Keragaman pertanaman di Gajrug terlihat dari nilai ragam Sindoro yang cukup besar (1,70 ± 1,20). Mengingat keragaman yang besar di lahan masam Gajrug, penanaman generasi keempat dilakukan di dua lokasi, yaitu di Gajrug dan di Bogor. Lahan di
Bogor memiliki pH 4,78, Aldd 1,49 me, dan kejenuhan Al 7,69%. Penampilan tanaman di Bogor terlihat lebih baik dibandingkan di Gajrug (Gambar 4). Dari hasil pengujian di empat lokasi pada tiga generasi terlihat ada beberapa nomor yang memiliki ketahanan dan daya hasil yang lebih tinggi dibanding Sindoro sebagai kontrol
Gambar 4.
(Tabel 4). Hal ini berarti terdapat potensi yang cukup besar untuk mendapatkan galur-galur harapan kedelai yang toleran terhadap Al dan pH rendah. Pada pertanaman generasi keempat di Gajrug diperoleh tiga tanaman yang lebih tinggi dibanding Sindoro (Tabel 5). Ketiga tanaman ini berasal dari satu nomor dan diduga merupakan hasil
Penampilan tanaman kedelai toleran Al di dua lokasi, (A) Gajrug generasi ke-3; (B) Gajrug generasi ke-4; dan (C) Bogor generasi ke-4.
Tabel 4. Pengurutan jumlah polong kedelai di tiga lokasi penanaman pada tiga generasi. Genotipe H2-11N H2-34N H2-6N H2-22N H2-29N H2-12N Sindoro N H2-25N H2-10N H2-9N H3-9 H2-14N H2-21 H2-8N H2-15N H2-20 H2-23N H3-9 H2-35 H2-13N H2-38N H3-6 H2-17 H2-10N H2-31 H2-18 H2-1 H2-14 H2-5 H2-13 H2-30 H2-37 H3-2
50
G2 112 111 106 98 95 93 87,40 81 78 75 65 59 57 57 51 50 50 50 49 49 48 48 46 45 45 44 43 43 43 43 42 42 42
Genotipe H2-10 H3-7 H1-1 H2-8N H1-5 H1-15 H1-3 H2-3 H2-7 H2-17 H2-29N H2-18 H2-38N H2-11 H2-23N H2-26 H2-26N H2-12 H2-3 H2-28 H2-38N H2-15 H3-2 H2-14 H2-36 H2-21 H2-22N H2-27 H1-4 H2-13 H3-9 H3-9 H2-22
G3 19,50 19,20 18,50 17 16 15,50 14,90 12,30 11,60 11,30 11 10,60 10,40 9,90 9,60 9,50 9,50 9,40 8,50 8,30 8,30 8,20 8,20 8,10 8 7,90 7,80 7,70 7,60 7,60 7,60 7,60 7,50
Genotipe H2-13 H2-21 H2-13 H2-18 H2-23 H2-9 H2-35 H2-5 H2-14N H2-22 H2-37 H2-5 H2-34N H2-12N H3-6 H1-13 H2-4 H2-1 H2-36 H2-8 H3-9 H2-26 H2-12 H2-28 H2-17 H2-6N H2-23N H3-2 H2-32 H2-15N H1-4 H2-34 H2-9N
G4 55,50 46,60 46 44,70 44,10 43,40 42 41,90 41,90 41,40 41 40,80 40,50 39,30 39,10 39,10 38,50 38,50 38,20 38 37,30 36,50 36,30 36 35,20 35,10 34,90 34,90 34,70 34,60 34,50 34,10 34
Genotipe
G4
H2-22 H2-5 H2-11N H1-13 H1-5 H2-3 H2-25 H1-1 H2-1 H2-26N H2-10 H2-36 H2-23N H2-9N H2-29N H2-22N H2-3 H2-18 H2-8N Sindoro H1-3 H2-14 H3-7 H2-28 H2-27N H2-38N H2-15 H2-12 H2-7 H2-26N H2-38 H2-6N H2-21
9,20 8,40 7,90 7,60 7,40 6,70 6,60 6,30 5,80 5,80 5,70 5,50 5,40 5,30 5,30 5 4,90 4,80 4,60 4,60 4,20 3,80 3,80 3,70 3,60 2,40 2,30 2,20 2,10 2 1,60 1,40 0,80
Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004
Tabel 4. lanjutan Genotipe
G2
H1-16 H2-3 H2-7 H2-22 H2-5 H2-3 H2-35 H3-3 H1-13 H2-32 H1-11 H2-16 H2-18 H2-9N H3-4 H1-4 H2-26N H2-27 Sindoro H1-3 H1-5 H2-34 H2-26N H2-23 H2-28 H2-11 H2-13 H1-1 H2-12 H2-21 H2-25 H2-15 H2-36 H2-6 H3-8 H2-24 H1-15 H3-7 H2-4 H2-8 H2-38
41 41 41 40 40 39 39 39 38 38 37 37 37 37 37 36 36 36 35,70 35 35 35 34 33 33 32 32 31 31 31 31 30 30 30 29 28 27 27 25 23 11
Genotipe
G3
Genotipe
G4
Genotipe
G4
H1-11 H2-15N H2-16 H2-25 H2-5 H2-5 H2-9 H2-6N H1-13 H2-11N H2-23N H2-4 H2-9N H1-16 H2-34N H2-21 H2-35 H2-6N H3-6 H2-37 H2-34 H2-24 H3-8 H2-25N H3-9 H2-13 H2-12N H2-32 H2-8 H2-35 H3-4 H2-10N H2-14N H2-18 H2-30 H2-30 H2-1 H2-31 H2-13N Sindoro
7,20 7,20 7,20 7,10 6,50 6,30 6,30 6 5,80 5,70 5,70 5,60 5,60 5,20 5,20 5,10 5,10 5,10 5,10 5 4,90 4,60 4,50 4,40 4,30 4,10 4 4 3,90 3,80 3,70 3,50 3,50 3,50 3,50 3,10 3 3 3 1,70
H2-3 H1-16 H2-27 H3-8 H2-14 H2-13N H2-3 H2-29N H2-24 H2-11N H2-20 H2-22N Sindoro H1-15 H2-18 H2-31 H2-10N H2-25N H2-10 H3-9 H1-5 H2-21 H2-6 H3-4 H2-16 H1-3 H3-3 H2-7 H2-15 H2-25 H3-9 H1-11 H2-38N H2-26N H2-38 H3-7 H2-8N H2-11 H2-35 H2-30
33,60 33,40 33,30 33 33 32,90 32,90 32,90 32,80 32,70 32,70 32,30 31,90 31,70 31,60 31,50 31,40 30,90 30,80 30,80 30,30 29,20 29 28,90 28,80 28,70 28,70 27,70 27,60 27,40 26,90 26,60 26,20 26,10 25,10 24,20 24,10 21,60 19,70 17,80
H2-20N
0,70
G2 = kamar kaca (pH 4,80; Aldd 11,57 me; kejenuhan Al 57%); G3 = Gajrug 1 (pH 4,67; Aldd 16,02 me; kejenuhan Al 45,98%); G4 = Bogor (pH 4,78; Aldd 1,49 me; kejenuhan Al 7,69%); G4 = Gajrug 2 (pH 4,67; Aldd 16,02 me; kejenuhan Al 45,98%). Untuk G2, kode N menunjukkan bahwa nomor tersebut ditanam di tanah normal (Aldd = 0). Data G2 merupakan data jumlah polong individu, sedangkan data G3 dan G4 merupakan data jumlah polong rata-rata. Sumber: Mariska (2002c).
Tabel 5. Parameter pertumbuhan tanaman kedelai pilihan generasi keempat di Gajrug (Aldd 16,02 me, kejenuhan Al 45,98%, pH 4,67), Banten. Parameter Tinggi tanaman (cm) Polong total Polong isi Polong hampa
Tanaman pilihan I
II
III
18 37 35 2
16 28 22 4
22 54 54 0
Sindoro1 23/15,60 30/6,60 19/4,60 30/2,70
Keempat tanaman ini berasal dari H2-18. 1 Data Sindoro merupakan nilai maksimum/nilai rata-rata dari 190 tanaman contoh. Sumber: Mariska (2002c).
Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004
segregasi. Oleh karena itu, ketiga tanaman tersebut digalurkan dan dijadikan nomor tersendiri. Penampilan polong tanaman terpilih dibandingkan dengan Sindoro dapat dilihat pada Gambar 5.
KESIMPULAN Metode regenerasi beberapa varietas kedelai telah dapat dikuasai. Terdapat perbedaan kemampuan beregenerasi melalui jalur embriogenesis somatik pada 51
Gambar 5.
Polong tanaman kedelai toleran Al generasi keempat (A dan B) dibandingkan dengan Sindoro sebagai kontrol (C).
10 varietas yang diuji. Dari 10 varietas tersebut, lima varietas bersifat lebih embriogenik dibanding yang lain, yaitu Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu, dan Argomulyo. Seleksi in vitro dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap cekaman Al dan pH rendah. Pengujian di lapang menghasilkan beberapa nomor yang memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap Al dan pH rendah dibandingkan varietas yang toleran. Diharapkan nomor-nomor harapan baru kedelai toleran Al dapat diperoleh sehingga dapat meningkatkan produksi kedelai nasional.
DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia, B.S. 1986. Limitation to the use of somaclonal variation in crop improvement. p. 15−27. In J. Semal (Ed.). Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publ., Dordrecht. Dali’Agnol, M., J.H. Bouston, and W.A. Parrot. 1996. Screening methods develop alfalfa germplasm tolerant of acid, aluminium toxic soils. Crop Sci. 44(4): 64−70. Jusuf, M., D. Sopandie, and Suharsono. 1999. Molecular biology of soybean tolerance to aluminium stress. Graduate Team Research, URGE. DHGE. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W.H. Adil, dan Y. Supriyati. 1999. Regenerasi dan seleksi in vitro untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap aluminium pada tanaman kedelai. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2000. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W.H. Adil, and Y. Supriati. 2001a. Somatic embryogenesis in different soybean varieties. In N. Sunarlim, M. Machmud, W.H. Adil, F. Salim, and I.A. Orbani (Eds.). Proceedings of Workshop on Soybean Biotechnology for Aluminum Tolerance on Acid Soils and Disease Resistance. Central Research Institute for Food Crops, Bogor.
52
Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan W.H. Adil. 2001b. Regenerasi massa sel embriogenik kedelai setelah diseleksi pada kondisi Al berbeda dan pH rendah. Berita Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 20: 1−3. Mariska, I., S. Hutami, dan M. Kosmiatin. 2002. Peningkatan toleransi terhadap aluminium dan pH rendah pada tanaman kedelai melalui kultur in vitro. Dalam N. Hilmy, M. Ismachin, F. Suhadi, E.L. Pattiradjawane, S. Sutrisno, M. Utama, Wandowo, M. Sumatra, Mugiono, E. Suwadji, S. Yatim, Ishak, N.D. Leswara, dan K. Idris (Ed.) Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. BATAN, Jakarta. Mariska, I. 2002a. Peningkatan ketahanan terhadap aluminium pada pertanaman kedelai melalui kultur in vitro. Laporan Kemajuan RUT VIII.1. Tahap I. Kementerian Riset dan Teknologi dan LIPI, Jakarta. Mariska, I. 2002b. Peningkatan ketahanan terhadap aluminium pada pertanaman kedelai melalui kultur in vitro. Laporan Kemajuan RUT VIII.1. Tahap II. Kementerian Riset dan Teknologi dan LIPI, Jakarta.
kedelai melalui kultur in vitro. Laporan Riset Unggulan Terpadu RUT VIII.1. Kementerian Riset dan Teknologi dan LIPI, Jakarta. Notohadiprawiro, T. 1983. Persoalan tanah masam dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Buletin Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada 18: 44−47. Smith, R.H., S. Bhaskaran, and K. Scherz. 1983. Sorghum plant regeneration from aluminum selection media. Plant Cell Rep. 2: 129− 132. Sopandie, D., M. Jusuf, Supriyatno, dan Hanum. 1996. Fisiologi dan genetik daya adaptasi kedelai terhadap cekaman kekeringan, pH rendah dan aluminium tinggi. Laporan Akhir RUT. Dewan Riset Nasional, Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta. Stavarek, S.J. and D.W. Rains. 1984. The development of tolerance cells to mineral stress. Hort. Sci. 19: 377−382. Van Sin Jan, V., C.C. de Macedo, J.M. Kinet, and J. Bouharmont. 1997. Selection of Alresistant plants from a sensitive rice cultivar, using somaclonal variation, in vitro and hydroponic culture. Euphytica 97: 303− 310.
Mariska, I. 2002c. Peningkatan ketahanan terhadap aluminium pada pertanaman
Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004