Multiplikasi Tunas Tanaman Melinjo melalui Kultur In Vitro Yadi Rusyadi, Novianti Sunarlim, Ika Mariska, dan Murtado Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
ABSTRAK Perbanyakan vegetatif tanaman melinjo (Gnetum gnemon) melalui kultur jaring-an diharapkan dapat memperoleh tanaman secara cepat dengan memanipulasi formulasi media sehingga faktor perbanyakannya menjadi tinggi. Tunas in vitro (hasil penelitian tahun anggaran 2000) dikulturkan pada media dasar WPM atau Anderson dan dikombinasikan dengan thidiazuron (0,1; 0,3; dan 0,5 mg/l) serta BA (0,5 dan 1,0 mg/l). Hasil penelitian menunjukkan bahwa media dasar Anderson lebih baik daripada WPM. Formulasi media Anderson + BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l lebih efektif daripada perlakuan media lainnya karena tunas yang dihasilkan paling tinggi, jumlah tunas, dan jumlah daun paling banyak. Kata kunci: Gnetum gnemon, kultur in vitro, perbanyakan
ABSTRACT Multiplication of Gnetum gnemon using in vitro culture is expected to obtain the plants faster and the factor of multiplication is high. The explants (result of the experiment of 2000) was subcultured to 2 different basal media (WPM and Anderson) with 4 rates of thidiazuron (0.1, 0.3, and 0.5 mg/l) and 2 rates of BA (0.5 and 1.0 mg/l). Result of the experiment showed that basal media of Anderson was better than WPM. Formulation of media of Anderson + BA 0.5 mg/l + thidiazuron 0.1 mg/l was more effective than those other treatments. The highest number of shoots and leaves was obtained from this treatment. Key words: Gnetum gnemon, in vitro culture, multiplication
PENDAHULUAN Tanaman melinjo (Gnetum gnemon L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak digemari masyarakat. Bagian yang dimakan adalah daun muda, bunga, dan buah muda, buah yang sudah tua dimanfaatkan untuk makanan kecil berupa rebusan, keripik atau emping melinjo (Lubis, 1991). Emping melinjo sebagai olahan biji tuanya merupakan komoditi ekspor non migas yang potensial. Negara pengimpor melinjo antara lain Singapura, Amerika Serikat, Australia, Hongkong, Brunei, Saudi Arabia, Malaysia, dan Belanda (Jaya, 1992). Namun fluk-tuasi ekspornya dari tahun ke tahun cukup tinggi karena jumlah tanaman melinjo yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan biji yang diperlukan. Pertanaman yang ada umumnya sudah tua dan memerlukan peremajaan secara luas. Dengan demikian, perkebunan berskala besar dan upaya peremajaan akan memerlukan bibit yang berasal dari pohon induk unggul dalam jumlah banyak namun pohon induk unggul yang ada jumlahnya terbatas.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman
215
Perbanyakan tanaman melinjo melalui biji mempunyai beberapa kelemah-an, antara lain untuk berproduksi memerlukan waktu yang lama, tanaman hasil perkecambahan biji dapat berbeda sifatnya dengan pohon induk, melinjo merupa-kan tanaman berumah dua (ada yang hermaphrodit) sehingga bibit yang diperoleh sulit ditentukan jenis kelaminnya. Untuk perkecambahan biji memerlukan waktu yang lama (4-12 bulan). Perbanyakan vegetatif melalui cangkok, penyambungan maupun okulasi sudah banyak dilakukan, namun perbanyakan melalui cara terse-but, faktor perbanyakannya rendah. Di samping itu, menurut Djisbar (1990) perma-salahan yang sering dihadapi pada perbanyakan secara konvensional (terutama cangkok) adalah diperlukannya bahan tanaman dalam jumlah banyak serta dapat merusak pohon induk. Kultur in vitro merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk membantu pengadaan bibit. Teknologi tersebut telah terbukti dapat mengatasi permasalahan pengadaan bibit skala luas antara lain pada ber-bagai tanaman tahunan berkayu (antara lain tanaman hutan, perkebunan, dan tanaman buahbuahan). Perbanyakan vegetatif tanaman melinjo melalui kultur jaringan telah dilakukan oleh Amalliyah (1994), tetapi faktor penggandaan tunasnya masih rendah. Dari 1 eksplan tunas terminal pada media yang diperkaya BA dan thidiazuron setelah berumur 3 bulan hanya diperoleh 2 tunas baru. Dengan demikian, perlu dicari baik jenis eksplan maupun formulasi media yang dapat memacu pertunasan. Keberha-silan kultur jaringan sebagai sarana pengadaan bibit yang cepat dan dalam jumlah yang banyak ditentukan oleh jumlah tunas yang dapat dihasilkan pada setiap periode tertentu. Dari penelitian tahun anggaran (TA) 1999/2000 telah diperoleh metode per tumbuhan tunas adventif dan sebagian sudah disubkultur untuk mempercepat pertumbuhannya. Untuk penelitian tahun 2001, tunas tersebut akan ditingkatkan daya regenerasi dan produksi tunas adventifnya. Tanaman melinjo merupakan tanaman tahunan berkayu yang mempunyai daya meristematis yang sangat rendah dibandingkan dengan tanaman herba. Pada kultur jaringan sistem regenerasi dapat ditingkatkan dengan penggunaan jaringan muda dan penggunaan formulasi media yang tepat. Di samping media dasar Murashige dan Skoog , media Anderson dan Woody Plant Medium khusus digunakan untuk tanaman tahunan berkayu (Tricoli et al., 1985; Nazir dan Winarno, 1992). Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan. Kinetin dan BA merupakan zat pengatur tumbuh yang termasuk ke dalam kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk memacu pertumbuhan tunas (Mariska et al., 1995), walaupun zat pengatur tumbuh tersebut berasal dari golongan yang sama tetapi mempunyai daya aktivitas yang berbeda. Thidiazuron menurut Lu (1993) dapat menstimulasi pembelahan sel dan proliferasi tunas aksilar dan efektif untuk tanam-an berkayu. Pemakaian thidiazuron telah banyak digunakan karena mempunyai aktivitas menyerupai sitokinin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode perbanyakan tanaman melinjo melalui kultur in vitro
216
Rusyadi et al.: Multiplikasi Tunas Tanaman Melinjo melaui Kultur In Vitro
BAHAN DAN METODE Sebagai eksplan digunakan tunas yang telah steril hasil penelitian tahun 2000. Eksplan kemudian dikulturkan pada berbagai media dasar yang mengan-dung vitamin, sukrosa, dan zat pengatur tumbuh. Penelitian disusun dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang diuji adalah formulasi media dasar (WPM atau Anderson) yang mengandung zat pengatur tumbuh BA 0,5 dan 1,0 mg/l kombinasi dengan thidiazuron (0,1; 0,3 dan 0,5 mg/l). Untuk mengurangi gejala penguningan yang dini, ke dalam media diberikan pula asam amino, yaitu L-glutamin sebesar 100 mg/l (Mariska et al., 1995). Apabila daya regenerasi pembentukan tunas dapat terjadi dengan cepat maka tunas terminal disubkultur kembali pada formulasi media yang memberikan hasil terbaik pada penelitian sebelumnya. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tunas, jumlah tunas in vitro, jumlah daun, dan keadaan kultur secara visual. HASIL DAN PEMBAHASAN Tunas in vitro (dari penelitian TA 2000) yang dikulturkan kembali pada media multiplikasi umumnya dapat tumbuh baik hanya responnya berbeda tergantung perlakuan formulasi media (Tabel 1). Dua minggu setelah tanam pada media dasar WPM antara BA 0,5 mg/l + thidiazuron (0,1; 0,3; dan 0,5 mg/l) tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi ketiga formulasi tersebut berbeda nyata dengan BA 1 mg/l + thidiazuron (0,1; 0,3; dan 0,5 mg/l). Peningkatan konsentrasi BA dari 0,5 mg/l menjadi 1,0 mg/l menurunkan laju pertumbuhan tunas ke arah pemanjangan, kondisi yang sama saat biakan berumur 4 minggu setelah tanam (MST), tetapi 8 dan 12 MST biakan paling tinggi berasal dari BA 0,5 mg/l + thidia-zuron 0,1 mg/l dan BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,3 mg/l, yaitu 2,1 dan 3,3 cm. Keada-an ini menunjukkan bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi yang rendah lebih baik dalam memacu pertumbuhan jaringan tanaman. Pada media Anderson dengan pemberian BA dan thidiazuron umumnya hasilnya lebih baik dibandingkan dengan media WPM (Tabel 2). Pertumbuhan tu-nas melinjo lebih tinggi pada media Anderson dibandingkan dengan WPM, hal ini disebabkan karena tanaman melinjo membutuhkan media dasar yang kandungan total ionnya lebih rendah. Media Anderson mengandung kandungan Fe dan sodium fosfat yang tinggi serta terdapat pula adenin sulfat. Zat besi ini sangat di-butuhkan dalam sintesis klorofil. Komponen esensial beberapa enzim dan fosfat mempunyai fungsi penyusun asam nukleat, koenzim NAD dan ATP, di samping itu adenin dapat berperan seperti sitokinin. Dengan kandungan yang lebih tinggi dari-pada komponen tersebut maka biakan yang ditanam pada media Anderson secara visual lebih baik. Dua minggu setelah tanam antara perlakuan formulasi media tidak berbeda nyata satu sama lain. Mulai minggu keempat terdapat perbedaan di mana perlaku-an BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l tunasnya paling tinggi, yaitu 7,40 cm dan ti-dak berbeda nyata dengan beberapa perlakuan formulasi media lainnya. Keadaan yang sama saat biakan berumur 8 minggu. Pada saat biakan berumur 12 minggu tunas yang paling tinggi berasal dari BA 0,5 mg/l + thidiazuron (0,1 dan 0,3 mg/l), yaitu 8,9
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman
217
Tabel 1. Pengaruh BA dan thidiazuron dalam media dasar WPM yang mengandung glutamin 100 mg/l terhadap tinggi biakan Tinggi biakan (cm)
Zat pengatur tumbuh (mg/l) BA 0,5 + thidiazuron 0,1 BA 0,5 + thidiazuron 0,3 BA 0,5 + thidiazuron 0,5 BA 1,0 + thidiazuron 0,1 BA 1,0 + thidiazuron 0,3 BA 1,0 + thidiazuron 0,5
2 minggu
4 minggu
8 minggu
12 minggu
0,31a 0,40a 0,33a 0,14b 0,17b 0,10b
0,60a 0,70a 0,61a 0,33b 0,26b 0,23b
0,71a 0,41a 0,19ab 0,28ab 0,27ab 0,32ab
2,10a 3,30a 1,81b 1,81b 1,30b 1,00b
Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata 5% menurut uji Duncan Tabel 2. Pengaruh BA dan thidiazuron dalam media dasar Anderson yang mengandung glutamin 100 mg/l terhadap tinggi biakan Tinggi biakan (cm)
Zat pengatur tumbuh (mg/l) 2 minggu BA 0,5 + thidiazuron 0,1 BA 0,5 + thidiazuron 0,3 BA 0,5 + thidiazuron 0,5 BA 1,0 + thidiazuron 0,1 BA 1,0 + thidiazuron 0,3 BA 1,0 + thidiazuron 0,5
a
5,90 4,10a 4,30a 4,00a 5,80a 5,20a
4 minggu a
7,40 5,90ab 4,90b 4,80b 6,50ab 5,65ab
8 minggu a
8,00 6,10ab 5,70ab 5,00b 6,90ab 6,43ab
12 minggu 8,90a 7,60a 6,60b 6,60b 7,00ab 7,40ab
Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata 5% menurut uji Duncan
dan 7,6 cm dan tidak berbeda nyata dengan BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,3 dan 0,5 mg/l). Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa umumnya kombinasi konsentrasi yang rendah pada BA maupun thidiazuron member ikan hasil yang lebih baik dari-pada konsentrasi yang tinggi. Kombinasi penggunaan media dasar Anderson de-ngan BA dan thidiazuron memberikan laju pertumbuhan tunas yang tinggi. Media dasar WPM dengan kandungan sulfatnya yang tinggi tampaknya tidak terlalu baik untuk pertunasan tanaman melinjo. Media Anderson dengan penambahan thidiazuron dan BA memperlihatkan hasil yang lebih baik, hal ini sesuai dengan Lu (1993) yang menyatakan bahwa thidiazuron dapat mendorong terjadinya perubah-an sitokinin ribonukleotida menjadi nukleotida yang lebih aktif. Menurut Thomas dan Katterman (1986) thidiazuron dapat mendorong sintesis sitokinin alami, di samping itu media dasar Anderson mengandung 3 senyawa organik dan anorganik tinggi (sodium fosfat, Fe, dan adenin sulfat). Penambahan glutamin 100 mg/l pada seluruh media perlakuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan jaringan, selain itu glutamin merupakan sumber N organik yang penyerapannya lebih mudah dibandingkan dengan sumber N anorganik. George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa laju pertumbuhan jaringan tanaman meningkat dengan adanya glutamin dan dapat mengurangi kebutuhan sitokinin yang berperan dalam pertunasan. Swammy et al. (1992) melaporkan
218
Rusyadi et al.: Multiplikasi Tunas Tanaman Melinjo melaui Kultur In Vitro
penambahan glutamin pada biakan Dalhergia latifolia dapat mengurangi gugurnya tunas sehingga laju pertumbuhannya lebih baik. Seperti halnya parameter tinggi biakan untuk jumlah tunas pada media WPM tidak sebaik media Anderson (Tabel 3 dan 4). Biakan berumur 2 minggu pada media WPM, perlakuan formulasi media tidak berbeda nyata. Mulai ming-gu keempat sudah terlihat perbedaan respon tunas terhadap perlakuan media. Pada minggu kedelapan tunas paling banyak berasal dari BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,3 mg/l (3,30), tetapi setelah minggu ke-12 tunas yang dikulturkan pada media BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l dengan cepat membentuk tunas dari 1,70 menjadi 3,20. Tunas yang paling sedikit (1,10) terdapat pada BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,5 mg/l (Tabel 3). Jumlah tunas pada media Anderson terlihat bahwa pada umur 2 dan 4 MST antara perlakuan formulasi media satu sama lain tidak berbeda nyata. Baru pada umur 12 MST tunas paling banyak berasal dari BA 0,5 mg/l + thidiazuron (0,1; 0,3; dan 0,5 mg/l), yaitu 5,50; 4,40; dan 4,60. Semakin meningkat konsentrasi BA dan thidiazuron makin sedikit jumlah tunasnya, keadaan tersebut terutama terlihat dari perlakuan BA 1,0 mg/l + thidiazuron 0,5 mg/l dengan jumlah tunas hanya 2,80 (Tabel 4). Peningkatan konsentrasi thidiazuron pada media yang mengandung BA dapat menghambat pertunasan sesuai dengan penelitian Lu (1993). Pada media tersebut kondisi tunasnya menjadi lebih sekulen dan pertumbuhan ke arah pemanjangan menjadi terhambat. Suttle (1985) menyatakan bahwa komponen organik thidiazuron pada konsentrasi tinggi dapat meningkatkan produksi etilen yang menghambat pertumbuhan tunas, tampaknya kondisi tersebut mulai terlihat pada minggu kedelapan setelah tanam. Pada media Anderson yang diberi thidiazuron dan BA, jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan media WPM dengan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang sama (Tabel 5). Jumlah daun paling banyak adalah 4,0 dan 3,70 ber-asal dari media dasar Anderson + BA 0,5 mg/l + thidiazuron 0,3 mg/l dan Anderson BA 0,1 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l.
Tabel 3. Pengaruh BA dan thidiazuron dalam media dasar WPM yang mengandung glutamin 10 0 mg/l terhadap jumlah tunas Jumlah tunas
Zat pengatur tumbuh (mg/l) 2 minggu BA 0,5 + thidiazuron 0,1 BA 0,5 + thidiazuron 0,3 BA 0,5 + thidiazuron 0,5 BA 1,0 + thidiazuron 0,1 BA 1,0 + thidiazuron 0,3 BA 1,0 + thidiazuron 0,5
a
1,00 0,90a 0,90a 0,90a 0,90a 0,90a
4 minggu a
1,00 0,60ab 0,90a 1,00a 0,80a 0,80ab
8 minggu bc
1,70 3,30a 1,40bc 2,10b 1,30bc 1,00c
12 minggu 3,20a 3,40a 2,10bc 2,10b 1,80bc 1,10c
Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata 5% menurut uji Duncan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman
219
Tabel 4. Pengaruh BA dan thidiazuron dalam media dasar Anderson yang mengandung glutamin 100 mg/l terhadap jumlah tunas Jumlah tunas
Zat pengatur tumbuh (mg/l) BA 0,5 + thidiazuron 0,1 BA 0,5 + thidiazuron 0,3 BA 0,5 + thidiazuron 0,5 BA 1,0 + thidiazuron 0,1 BA 1,0 + thidiazuron 0,3 BA 1,0 + thidiazuron 0,5
2 minggu
4 minggu
8 minggu
12 minggu
2,70a 2,40a 2,20a 3,20a 2,40a 2,00a
3,30a 2,70a 3,00a 3,70a 3,30a 2,10a
3,90a 3,00a 3,50a 3,50a 4,20a 2,20b
5,50a 4,40a 4,60a 3,70ab 3,00ab 2,80c
Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata 5% menurut uji Duncan Tabel 5. Pengaruh media dasar WPM dan Anderson yang diberi BA, thidiazuron, dan glutamin 100 mg/l terhadap jumlah daun, umur 12 MST Zat pengatur tumbuh (mg/l) BA 0,5 + thidiazuron 0,1 BA 0,5 + thidiazuron 0,3 BA 0,5 + thidiazuron 0,5 BA 1,0 + thidiazuron 0,1 BA 1,0 + thidiazuron 0,3 BA 1,0 + thidiazuron 0,5
Rataan jumlah daun WPM
Anderson
1,8 1,3 1,3 1,1 1,2 1,1
3,7 4,0 3,0 2,6 2,5 2,5
KESIMPULAN 1. Media terbaik untuk pertumbuhan tunas tanaman melinjo adalah media dasar Anderson yang diberi BA 0,5 mg/l kombinasi dengan thidiazuron 0,1 mg/l. Media tersebut lebih efektif untuk memacu pertunasan karena panjang dan jumlah tunas paling tinggi, serta jumlah daun paling banyak. 2. Media dasar WPM yang diberi BA dan thidiazuron memberikan hasil tidak sebaik media dasar Anderson. DAFTAR PUSTAKA Amalliyah, E. 1994. Pengaruh kombinasi thidiazuron dan benzilaminopurin pada beberapa media dasar terhadap pertunasan eksplan tunas terminal melinjo (Gnetum gnemon Linn.). Karya Ilmiah. Jurusan Biologi, FMIPA IPB. Djisbar, A. 1990. Masalah pengembangan dan perkembangan penelitian tanaman melinjo. Laporan Penelitian Bulan Juni 1990. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Balittro. Bogor. Goerge, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Handbook and directory of commercial laboratories. Exegetic Ltd. England.
220
Rusyadi et al.: Multiplikasi Tunas Tanaman Melinjo melaui Kultur In Vitro
Jaya, U. 1992. Perkebunan. Bisnis Emping Tak Pernah Lesu. Trubus 272:60-62. L u , C . Y . 1 9 9 3 . The use of thidiazuron in tissue culture. In vitro. Cell Dev. Biol. 29:92-96. Lubis. 1991. Tanaman melinjo. Edisi khusus LITTRO VII(2):45-57. Mariska, I., Yelnititis, dan E. Gati. 1995. Perbanyakan tanaman melinjo melalui kultur jaringan. Laporan Teknis Penelitian Bioteknologi Tanaman Industri 1994/1995. Balittro. Bogor. Nazir, E. dan M. Winarno. 1992. Pengaruh NAA, BAP, dan kinetin pada media WPM terhadap pertumbuhan mata tunas primer rambutan secara in vitro. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi. Puslitbang Bioteknologi LIPI. hlm. 211-216. Suttle, J.F. 1985. Involvement of ethylen in the action of the cotton defoliant thidiazuron. Plant Physiol. 78:272-276. Swammy, B.V.R.K. Himabindu, and G. Laksmisita. 1992. In vitro propagation of elite rosewood (Dalgergia latifolia Rox b). Plant Cell Report 11:126:131. Thomas, J.C. and F.R. Katterman. 1986. Cytokinin activity induced by thidiazuron. Short communication. Plat Physiol. 81:681-683 Tricoli, D.M., C.A. Maynard, and A.P. Drew. 1985. Tissue culture of propagation of mature trees of Prunus serotina Ebrh. I. Establishment, multiplication, and rooting in vitro. Forest Science 31:201-208.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman
221