K KAJIAN P PENGGU NAAN HORMON H N IBA DA AN BAP TER RHADAP PERTUM MBUHAN N TANAM MAN PEN NGHASIL L GAHAR RU (Gyrin nops verstteegii (Gillg) Domkee) DENGA AN TEKN NIK KU ULTUR IN N VITRO
DHEN NNY LISDIANTIN NI
D DEPARTE EMEN KONS SERVASII SUMBE ERDAYA HUTAN DAN EK KOWISAT TA FAKUL LTAS KE EHUTAN NAN IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR 2009 9
KAJIAN PENGGU K P NAAN HORMON H N IBA DA AN BAP TER RHADAP PERTUM MBUHAN N TANAM MAN PEN NGHASIL L GAHAR RU (Gyrin nops verstteegii (Gillg) Domkee) DENGA AN TEKN NIK KU ULTUR IN N VITRO
DHEN NNY LISDIANTIN NI
Skripsi mperoleh gelar Sarjanna Kehutaanan Sebagaii salah satuu syarat unntuk mem pada Faakultas Keehutanan In nstitut Perrtanian Boogor
D DEPARTE EMEN KONS SERVASII SUMBE ERDAYA HUTAN DAN EK KOWISAT TA FAKUL LTAS KE EHUTAN NAN IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR 2009 9
RINGKASAN DHENNY LISDIANTINI. Kajian Penggunaan Hormon IBA dan BAP terhadap Pertumbuhan Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) dengan Teknik Kultur In Vitro. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan WA ODE HAMSINAH BOLU. Hasil hutan non kayu terkadang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu, salah satu contohnya adalah gaharu. Permintaan gaharu terus meningkat, sedangkan semua produksinya masih menggantungkan pada produksi dari hutan-hutan alam. Akibat merosotnya populasi pohon penghasil gaharu di hutan-hutan alam, maka Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 menetapkan peraturan bagi eksportir Gaharu yang mewajibkan mereka memiliki surat izin CITES. Perlindungan terhadap beberapa jenis tanaman penghasil gaharu semakin ditingkatkan, Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. termasuk Appendix II CITES pada tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi hormon auksin dan sitokinin (IBA dan BAP) yang terbaik pada media dasar Murashige dan Skoog terhadap pertumbuhan kultur in vitro ekplan tanaman penghasil gaharu Gyrinops versteegii. Bahan tanaman yang digunakan adalah pucuk eksplan steril G. versteegii. Eksplan ditumbuhkan pada media MS dengan penambahan perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA dengan konsentrasi 0,00; 0,05 dan 0,10 mg/l dan BAP 0,00; 0,05; 0,10 dan 0,20 mg/l. Penelitian ini disusun menggunakan metode statistika RAL Faktorial dengan jumlah 12 perlakuan dan ulangan sebanyak 6 kali. Pengamatan dilakukan selama 8 MST (minggu setelah tanam) terhadap seluruh eksplan yang ditanam meliputi parameter rata-rata pertambahan tinggi, jumlah ruas, jumlah tunas, jumlah daun, persentase tingkat kematian, proses pengkalusan dan kontaminasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media perlakuan IBA 0,05 mg/l + BAP 0,20 mg/l memberikan respon terbaik pada parameter pertambahan tinggi dan pertumbuhan tunas, yaitu sebesar 1,8 cm dan 3,17 tunas. Sedangkan media perlakuan IBA 0,00 mg/l + BAP 0,20 mg/l memberikan respon terbaik pada parameter jumlah ruas dan jumlah daun, yaitu sebesar 6,33 ruas dan 5,67 helai. Semua media perlakuan menumbuhkan kalus kecuali, pada media kontrol. Presentase jumlah eksplan yang terkontaminasi sebesar 6,94% (5 dari 72 eksplan). Kontaminasi disebabkan oleh adanya cendawan pada tabung. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh IBA (0,00; 0,05 dan 0,10 mg/l) dan BAP (0,00; 0,05; 0,10 dan 0,20 mg/l) memberikan respon yang sangat nyata terhadap parameter jumlah tunas. Sedangkan pada parameter tinggi planlet, jumlah ruas, dan jumlah daun memberikan respon tidak berbeda nyata.
Kata kunci : Gyrinops versteegii, in vitro, auksin, sitokinin.
SUMMARY DHENNY LISDIANTINI. Study on Utilization IBA and BAP Hormone to Growth Producer of Agarwood Plant Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) with In Vitro Culture Technique. Supervised by EDHI SANDRA dan WA ODE HAMSINAH BOLU. Non timber products give higher economic value than timber products, for example is agarwood. Today, demanding of agarwood become increasingly, at the same time all of the production still depend on production from natural forests. Declined of some species of trees that produce agarwood in natural forests make government make a regulation in Decision of President no. 43 year 1978 that requires every agarwood’s exporter to have permit from CITES. Protection towards kinds of producer of agarwood plant being increased, Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. including Appendix II CITES on October 2nd until 14th 2004 at Bangkok. The purpose of this research is to know combination of auxin and cytokinin (IBA and BAP) hormone the best on base Murashige and Skoog medium to growth in vitro culture explan in producer of agarwood plant G. versteegii. The object is sterile explan of shoot G. versteegii. The explan grows in MS medium with adding plant growth regulator combination treatment medium of IBA with concentration 0,00; 0,05 and 0,10 mg/l and BAP 0,00; 0,05; 0,10 and 0,20 mg/l. This research using statistic method RAL Factorial with 12 treatments and 6 times repeatedly. Monitoring was done during 8 weeks after plant for all explan with some parameters mean of added height, number of joints, number of buds, number of leaves, deadly percentage, callus process, and contamination process. Result of this research show treatment medium with IBA 0,05 mg/l + BAP 0,20 mg/l give the best response in some parameters that are added height and growth of buds in the amount of 1,8 cm and 3,17 buds. Mean while, treatment medium with IBA 0,00 mg/l + BAP 0,20 mg/l, parameters number of joints and number of leaves give amount of 6,33 joints and 5,67 leaves. Every treatment can grow callus except control medium. Percentage of contaminated explan is 6,94% (5 from 72 explan). Contamination process caused by fungus on tube. Conclusion of this research is the influence of extending IBA (0,00; 0,05; dan 0,10 mg/l) dan BAP (0,00; 0,05; 0,10 dan 0,20 mg/l) plant growth regulator give the real response in parameter number of buds. Whereas on parameters like height of explan, number of joints and number of leaves give not real different response.
Key words : Gyrinops versteegii, in vitro, auxin, cytokinin.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Penggunaan Hormon IBA dan BAP terhadap Pertumbuhan Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) dengan Teknik Kultur In Vitro” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2009 Dhenny Lisdiantini E34104046
Judul Penelitian
Nama NIM
: Kajian Penggunaan Hormon IBA dan BAP terhadap Pertumbuhan Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) dengan Teknik Kultur In Vitro : Dhenny Lisdiantini : E34104046
Menyetujui: Komisi Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Edhi Sandra, M.Si NIP. 132 055 229
Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc. NIP. 680 003 228
Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Kajian Penggunaan Hormon IBA dan BAP terhadap Pertumbuhan Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) dengan Teknik Kultur In Vitro”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu, bapak, nenek, kakak dan adik tercinta, serta seluruh keluarga atas do’a, dukungan dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Edhi Sandra, Msi dan ibu Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, MSc yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan pula kepada pihak Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong, Bu Tati dan Yusuf Sigit AF. SHut. yang telah membantu selama penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Mei 2009
Dhenny Lisdiantini
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bojonegoro, Jawa Timur pada tanggal 15 Juli 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mochadiyat Djarwan dan Ibu Juwari. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1991 di TK Dharma Wanita kemudian melanjutkan pendidikan dasar di SDN 2 Jatiblimbing dari tahun 1992 sampai tahun 1998. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MTs. Negeri 1 Bojonegoro sampai tahun 2001, kemudian melanjutkan di MA Negeri 1 Bojonegoro pada tahun 2001 sampai 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif di organisasi PAD (Paguyuban Angling Dharma) tahun 2004-2008 dan BIRENA (Bimbingan Remaja dan Anak-anak) DKM Al Hurriyyah tahun 2006-2007. Praktek yang diikuti penulis terdiri dari Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang dan KPH Sukabumi Jawa Barat pada tahun 2007. Tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) Jawa Timur. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Kajian Penggunaan Hormon IBA dan BAP terhadap Pertumbuhan Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) dengan Teknik kultur In Vitro di bawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc.
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Allah, Rabb Semesta Alam yang telah memberikan karunia-Nya, cinta dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ayahanda Djarwan, ibunda Juwari, Almarhumah Nenek dan kedua saudaraku tercinta (Mba Erlyn dan Dik Aar) atas doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan. 2. Bapak Ir Edhi Sandra, M.Si dan Ibu Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan dukungan selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Bapak Ir. Suwarno Sutarahardja dan Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, MSc. sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi. 4. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf di Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. Nadirman Haska, M.S dan Bapak Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.S yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong. 6. Kepada seluruh pihak Balai Pengkajian Bioteknologi BBPT Serpong : Ibu Juwartina Ida Royani, S.Si, Ibu Syofi Rosmalawati, S.Si M.Agr Sc., Bu Tati, Bu Em, Bu Irni, Bu Koes, Bu Hayat, Mbak Intan, Mbak Yanti, Bu Mul, Bu Mar, Mbak Sulis, Mas Yusuf, Mas Dwi R, Kak Devit, Pak Pram, Bang Adin, Mas Dwi H, Pak Yayan, Pak Yono, Mas Roni, Mas Hendrik, Mas Wahyu, Mas Arif, Mas Sarman, Mas Andi, Pak Wahyu, Pak Rusmanto, Mas Iat, Pak Erwin, Bang Kubil, Mas Dian dan yang lainnya. 7. Saudara terbaikku di Biotek (Rofa, Cicit, Tice, Oki, Lastri, Mas Eko, Juli, Ida, dan Rere). Semoga ukhuwwah kita tetap terjaga. Amiin. 8. Hendri, Bunda, Iing, Linda, Caty, Ayu, Tika S, Lanjar, Aaf, Ai, Febi, Inama, Kuntoro, Alex dan semua KSH 41, terima kasih untuk dukungan semangat dan kasih sayangnya. Semoga kita bisa bertemu lagi.
iii
9. Tim P3H (Edu, Betthesman, Andi, Nisa, Afin, Khusnan, Bintang, Firda, Dian, M’Intan dan Jarot) terima kasih atas kerjasamanya selama P3H di Kamojang-L.sancang. 10. Tim PKLP (Nisa, Incha, Ina, Lambok, Heru, dan Rhama) atas kerjasamanya selama PKL. 11. Aisyah Family (Nisa, M’ Heva, M’ Arny, M’ Pupu, M’ Dista, M’ Hanum, M’ Yaya, Nita, Dede, Wuri, Yanti, Siska, Uwi’, Ika, Rahma, Aci, Cita, Ipit, Awal, Susi, Ela, Risma dan Rinai) atas doa, dukungan dan persaudaraannya. 12. Teman-temanku di BDH (Tuti, Delfi, Ai, Yayat, Jeumpa, Didi, Kirana dan Albi), MNH (T’ Aci, Nyoti, Wati, Lita, Pipit, Iis dan Yuli) dan HH (Zee dan Yoland) atas do’a dan dukungannya. 13. Penghuni asrama gedung A3 kamar 279 (Ulie, Gita dan Susan). 14. Adikku 42 (Lina, Shanti, dan Veni) dan Riana BIO. 15. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Mohon maaf atas segala kekurangan. Terima kasih.
Bogor, Mei 2009 Dhenny Lisdiantini
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................. i RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
ii
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
DAFTAR TABEL .........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Tujuan ....................................................................................... 1.3 Hipotesis ................................................................................... 1.4 Manfaat .....................................................................................
1 1 3 3 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2.1 Gambaran Umum Gyrinops versteegii ................................... 2.1.1 Taksonomi G. versteegii ................................................. 2.1.2 Nama Lokal .................................................................... 2.1.3 Ciri Morfologi ................................................................. 2.1.4 Habitat dan Penyebaran G. versteegii .............................. 2.1.5 Kandungan dan Pemanfaatan Gaharu ............................. 2.1.6 Permasalahan .................................................................. 2.2 Kultur Jaringan ........................................................................ 2.2.1 Pengertian dan Manfaat Kultur Jaringan ........................ 2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kultur Jaringan ....... 2.3 Zat Pengatur Tumbuh .............................................................. 2.3.1 Sitokinin BAP (6-Benzylaminopurin).............................. 2.3.2 Auksin IBA (Indole Butryric Acid) ................................. 2.3.3 Kombinasi Sitokinin dan Auksin ....................................
4 4 4 4 4 5 5 5 6 6 6 8 8 9 9
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................ 3.2.1 Alat ................................................................................. 3.2.2 Bahan .............................................................................. 3.3 Prosedur Kerja .......................................................................... 3.3.1 Sterilisasi Alat ................................................................. 3.3.2 Sterilisasi Media Kultur .................................................. 3.3.3 Sterilisasi Lingkungan Kerja ..........................................
11 11 11 11 11 12 12 12 12 v
3.3.4 Pembuatan Media ........................................................... 3.3.5 Penanaman ...................................................................... 3.4 Pengamatan ............................................................................... 3.5 Analisis Data .............................................................................
12 13 13 14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 4.1 Pertumbuhan Tanaman Penghasil Gaharu ................................ 4.1.1 Pertambahan Tinggi Eksplan .......................................... 4.1.2 Pertambahan Ruas Eksplan ............................................. 4.1.3 Jumlah Tunas .................................................................. 4.1.4 Jumlah Daun ................................................................... 4.2 Pengamatan Visual .................................................................. 4.2.1 Kalus ............................................................................... 4.2.2 Kontaminasi ....................................................................
17 17 18 19 20 22 23 23 25
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 5.1 Kesimpulan ............................................................................... 5.2 Saran .........................................................................................
27 27 27
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
28
LAMPIRAN .................................................................................................
31
vi
DAFTAR TABEL No. 1.
Halaman Media perlakuan kombinasi IBA dan BAP .........................................
15
2. Rekapitulasi Sidik Ragam G. versteegii ................................................
17
3.
Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah tunas G. versteegii pada akhir pengamatan (8MST) .............................................
21
vii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Tanaman penghasil gaharu (Gyrinops versteegii) .................................
4
2.
Grafik rata-rata pertambahan tinggi eksplan G. versteegi tiap minggu pada berbagai perlakuan ........................................................................
18
3. Grafik rata-rata pertambahan ruas eksplan G. versteegi tiap minggu pada berbagai perlakuan ........................................................................
19
4.
Grafik jumlah tunas G. versteegii yang terbentuk tiap minggu pada berbagai perlakuan .................................................................................
20
5.
Eksplan yang telah membentuk tunas. ....................................................
21
6.
Grafik rata-rata jumlah daun G. versteegii tiap minggu pada berbagai perlakuan ................................................................................................
22
Grafik jumlah eksplan G. versteegii yang berkalus pada berbagai perlakuan di minggu terakhir pengamatan (8MST) ..............................
23
8.
Bentuk dan warna kalus pada bagian pangkal eksplan ...........................
24
9.
Pertumbuhan tunas yang berasal dari eksplan berkalus .........................
25
10. Kontaminasi eksplan oleh cendawan .....................................................
26
7.
viii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Susunan kimia zat pengatur tumbuh ......................................................
32
2.
Komposisi media MS (Murashige dan Skoog) .......................................
33
3.
Rata-rata pertumbuhan eksplan G. versteegii ........................................
34
4.
Hasil analisis sidik ragam ......................................................................
36
5.
Kondisi eksplan G. versteegii di akhir pengamatan (8 MST) ................
40
ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan
yang sangat luas dan berpotensi untuk pengembangan hasil hutan berupa kayu dan non kayu. Hasil hutan berupa kayu selama ini merupakan komoditi utama yang dihasilkan dari hutan. Hasil hutan non kayu belum dikembangkan dengan baik, meski terkadang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu, contohnya adalah gaharu. Di Indonesia, tumbuh 16 jenis pohon penghasil gaharu yang berasal dari 3 famili, yaitu Thymelaeceae, Leguminoceae dan Euphorbiaceae, dengan 8 genus, yaitu
Aquilaria,
Gyrinops,
Excocaria,
Gonistylus,
Aetoxylon,
Enkleia,
Wiekstromia dan Dalbergia. Aquilaria spp dan Gyrinops spp adalah dua genus utama penghasil gaharu di Indonesia (Departemen Kehutanan, 2003b). Gubal gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat proses infeksi yang terjadi, baik secara alamiah maupun buatan pada pohon tersebut yang pada umumnya terjadi pada tanaman Gyrinops spp. dan Aquilaria spp. (BSNI, 2004 dalam Putri, 2005). Permintaan akan gaharu terus meningkat, sedangkan semua produksinya masih menggantungkan pada produksi dari hutan-hutan alam. Di beberapa daerah, misalnya di Nusa Tenggara Barat, masyarakat mulai gencar menanam gaharu, meski hingga saat ini belum diperoleh produksi yang cukup berarti. Selain itu, para pengumpul juga mengalami kesulitan dalam menentukan pohon yang mengandung gaharu. Hal ini disebabkan karena tidak adanya ciri fisik yang dapat dilihat secara langsung yang menandai tanaman telah terserang patogen dan membentuk gaharu. Mereka hanya mengandalkan perkiraan, sehingga sering menebang pohon yang tidak atau belum menghasilkan gaharu. Praktek-praktek eksploitasi seperti ini semakin mempercepat kepunahan gaharu dari hutan-hutan alam di Indonesia.
Akibat merosotnya populasi pohon penghasil gaharu di hutan-hutan alam, maka Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 menetapkan peraturan bagi eksportir Gaharu yang mewajibkan mereka memiliki surat izin CITES. Perlindungan terhadap jenis-jenis penghasil gaharu semakin diperketat dengan dimasukkannya Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. ke dalam Appendix II Konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok sebagai jenis yang dilindungi. Didorong kekhawatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, maka Departemen Kehutanan pada tahun 2005 telah menurunkan kuota ekspor gaharu menjadi hanya 125 ton/tahun yang sebelumnya 250 ton/tahun. Peningkatkan produksi gaharu perlu dilakukan selaras dengan upaya konservasi tanaman penghasil gaharu, terutama jenis-jenis Gyrinops sebagai penghasil utama gaharu. Selain itu perlu juga dilakukan penanaman. Penanaman gaharu dapat dilakukan di hutan-hutan alam, baik sebagai enrichment planting dan upaya reforestation pada kawasan dimana jenis-jenis penghasil gaharu tumbuh secara endemik, maupun sebagai tanaman rakyat. Untuk itu dibutuhkan suplai bibit dan teknik budidaya yang memadai. Produksi bibit tanaman dapat dilakukan baik secara generatif maupun vegetatif. Kendala yang dihadapi dalam perbanyakan secara generatif adalah biji gaharu termasuk dalam kelompok rekalsitran. Sifat tersebut menyebabkan biji tidak dapat disimpan lama untuk kebutuhan jangka panjang karena dapat menurunkan viabilitasnya dengan drastis. Oleh karena itu, perbanyakan bibit secara vegetatif merupakan alternatif yang dapat dilakukan, misalnya dengan teknik cangkok, okulasi, stek batang, stek pucuk dan kultur jaringan. Aplikasi teknik kultur jaringan sudah banyak dilakukan pada berbagai tanaman. Teknologi kultur jaringan dapat memproduksi bibit dalam jumlah banyak, seragam, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan relatif murah (Mariska et al., 1992 dalam Mariska dan Sukmadjaya, 2003). Teknik kultur jaringan dapat menyimpan bibit dalam jangka waktu yang panjang serta penyediaan bibit dapat dilakukan kapan saja. Beberapa kelebihan penggunaan kultur jaringan adalah : (1) faktor perbanyakannya tinggi, (2) tidak tergantung musim karena lingkungan tumbuh in vitro terkendali, (3) bahan tanaman yang digunakan relatif lebih sedikit
2
sehingga tidak merusak pohon induk, (4) tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit meskipun dari tanaman induk mengandung patogen internal, dan (5) tidak membutuhkan tempat yang luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak (Mariska dan Sukmadjaya, 2003). Keberadaan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan sangat diperlukan karena kegiatan ini menggunakan bahan tanaman (sel, jaringan atau organ) untuk ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap dalam lingkungan tumbuh yang terkontrol. Proses tumbuh dan berkembangnya eksplan dapat disesuaikan dengan harapan dengan cara mengatur konsentrasi hormon atau ZPT tertentu sehingga menghasilkan kombinasi yang tepat (Santoso dan Nursandi, 2003). 1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi hormon auksin dan
sitokinin (IBA dan BAP) yang terbaik pada media dasar Murashige dan Skoog terhadap pertumbuhan kultur in vitro ekplan tanaman penghasil gaharu G. versteegii. 1.3
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah penambahan hormon auksin dan
sitokinin dengan konsentrasi tertentu dapat memacu pertumbuhan ekplan G. versteegii dalam kultur in vitro. 1.4
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pemberian kombinasi hormon auksin (IBA) dan sitokinin (BAP) pada konsentrasi yang berbeda untuk memacu pertumbuhan eksplan G. versteegii secara kultur in vitro.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Gyrinops versteegii 2.1.1
Taksonomi G. versteegii Menurut Gilg (1932), G. versteegii mempunyai taksonomi sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Class
: Dicotylodenae
Sub Class
: Archichlamydae
Ordo
: Thymelaeles
Family
: Thymelaeceae
Genus
: Gyrinops
Species
: Gyrinops versteegii (Gilg) Domke
Gambar 1 Tanaman penghasil gaharu (Gyrinops versteegii). 2.1.2
Nama Lokal G. versteegii dikenal juga dengan nama daerah ketemun (Lombok), ruhu
wama (Sumba) dan seke (Flores dan Sumbawa) (CITES, 2004; Mulyaningsih dan Isamu, 2007). 2.1.3
Ciri Morfologi Departemen Kehutanan (2003a) mendefinisikan gaharu sebagai sejenis
kayu dengan berbagai bentuk dan warna khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang
4
tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi, baik secara alami atau buatan, pada suatu jenis pohon. G. versteegii memiliki ciri morfologi berupa pohon kecil dengan tinggi 1-4 m, dan diameter 1-10 cm. Daunnya berbentuk ellips memanjang dengan tangkai daun pendek (3-6 mm). Pohon ini tidak selalu berbunga dan buahnya berwarna kuning atau orange (Mulyaningsih dan Isamu, 2007). 2.1.4
Habitat dan Penyebaran G. versteegii Daerah tumbuh tanaman gaharu beriklim panas dengan suhu rata-rata
32°C, kelembaban sekitar 70% dan curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002). Penyebaran gaharu di Indonesia antara lain terdapat dikawasan hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Jawa. (Sumarna, 2007). Penyebaran G. versteegii terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian timur, yaitu Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Minahasa dan Irian Jaya. Spesies ini menyebar dari dataran rendah sampai ketinggian 900 mdpl (CITES, 2004). 2.1.5
Kandungan dan Pemanfaatan Gaharu Komponen minyak atsiri yang dihasilkan dari kayu gaharu berupa
sesquiterpenoida, eudesmana, dan valencana (Sumarna, 2002). Gaharu selama ini telah diperdagangkan sebagai obat (terutama di Cina dan India), parfum dan dupa (terutama di Jepang, negara-negara Arab dan Timur Tengah) serta anti serangga (di berbagai negara) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Di Cina, gaharu telah dimanfaatkan untuk pengobatan beragam penyakit yang menyerang perut, ginjal dan dada serta untuk aphrodisiac, asma, kanker (thyroid), kolik, diare, cegukan dan tumor (paru-paru) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). 2.1.6
Permasalahan Perbanyakan bibit gaharu baik secara ex vitro maupun in vitro merupakan
langkah awal untuk mengatasi kelangkaan spesies-spesies gaharu. Sistem produksi gaharu sampai saat ini masih bersifat konvensional melalui biji. Meningkatnya permintaan konsumen sejalan dengan meningkatnya penebangan pohon gaharu, jika tidak diimbangi dengan penanaman kembali, mengakibatkan gaharu semakin sulit diperoleh di hutan alam (Parman dan Mulyaningsih, 2002).
5
Lebih lanjut Wiyono dan Sumarliani (1998) menyatakan, bahwa salah satu permasalahan yang timbul akibat pesatnya perkembangan pengusahaan gaharu di samping keterbatasaan jumlah bahan baku juga penentuan kualitas gaharu. Sampai saat ini penetapan kualitas gaharu belum seragam dan hanya berdasarkan pada pengamatan secara visual yang bersifat kualitatif. 2.2 Kultur Jaringan 2.2.1
Pengertian dan Manfaat Kultur Jaringan Menurut Bonga (1982) dalam Bonga dan Durzan (1982), kultur jaringan
adalah suatu teknik dimana potongan-potongan jaringan yang kecil atau organ yang diambil dari tanaman donor dikultur secara aseptik pada suatu medium yang mengandung unsur-unsur hara. Dengan cara memanipulasi komposisi kimia medium dan faktor-faktor lingkungan lain, pertumbuhan dan perkembangan jaringan pada kultur dapat diarahkan sesuai tujuan yang diinginkan. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) dalam Wirawan (2003), kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak, dalam waktu yang relatif singkat, serta mempunyai sifat fisiologis dan morfologis yang sama seperti induknya. Melalui teknik kultur jaringan, diharapkan dapat diperoleh tanaman baru dengan keunggulan tersebut. 2.2.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kultur Jaringan Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap teknik kultur jaringan.
Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Media Kultur Menurut Gamborg and Shyluk (1981) dalam Triharyanto (2005) Media dasar yang banyak digunakan adalah Murashige dan Skoog (MS), karena komposisi garamnya sesuai untuk morfogenesis, kultur meristem dan regenerasi tanaman. Dalam media MS biasanya ditambahkan satu atau lebih vitamin yang berfungsi untuk proses katalis dalam metabolisme eksplan (George and Sherrington, 1984). Vitamin yang biasa digunakan adalah Myo-inositol, Piridoxin-HCl, Asam folat, Sianocobacilamin, Riboflafin, Betin, Kolin klorida, Kalsium pantetonut, Piridoxin fosfat, Thiamin-HCl dan Nicotinamida (Wattimena et al., 1992). Penambahan zat
6
pengatur tumbuh dapat dilakukan dengan jenis dan komposisi yang disesuaikan dengan tujuan (Hendaryono dan Wijayanti, 1994 dalam Wirawan, 2003). b. Bahan Tanaman (eksplan) Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan yaitu ukuran eksplan, sumber eksplan, dan kondisi kesehatan tanaman donor (sebaiknya tidak terinfeksi oleh penyakit). Jenis eksplan akan mempengaruhi morfogenesis kultur in vitro (Wattimena et al., 1992) Menurut Hendaryono dan Wijayanti (1994) dalam Wirawan (2003), untuk mengembangkan tanaman berkayu secara in vitro banyak ditemui kesulitan, antara lain : 1. Eksplan yang berasal dari tanaman dewasa memiliki kemampuan regenerasi yang rendah. 2. Tanaman berkayu kadang mengeluarkan senyawa yang meracuni media tanam sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kultur. 3. Daya multiplikasi sangat rendah. 4. Sulitnya sterilisasi terhadap eksplan pada tanaman induk yang berasal dari lapang. Kesulitan yang sering terjadi pada kultur in vitro dari tanaman berkayu adalah keluarnya senyawa-senyawa fenolik sehingga eksplan mengalami browning (berwarna coklat) yang akhirnya tidak tumbuh. Menurut Hendaryono dan Wijayanti (1994) dalam Wirawan (2003), untuk mencegah browning pada eksplan dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan gelap (selama inkubasi tidak menggunakan cahaya), menambahkan vitamin C di dalam medium dan dengan memberikan systein di dalam medium. c. Faktor Lingkungan Intensitas cahaya yang rendah dapat meningkatkan embriogenesis dan organogenesis. Temperatur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang optimum umumnya berkisar 20o-30oC (Hendaryono dan Wijayani, 1994 dalam Wirawan, 2003).
7
2.3 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Tanaman memiliki kemampuan merubah zat pengatur tumbuh itu menjadi lebih aktif atau kurang aktif. Kemampuan metabolisme tanaman itu sangat tergantung pada genetik tanaman (Wattimena et al.,1992). Menurut Abidin (1985), zat pengatur tumbuh di dalam tanaman terdiri dari 5 kelompok, yaitu auksin, giberelin, sitokinin, etilen dan inhibitor dengan ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis. Dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan, yaitu sitokinin dan auksin. Auksin dapat mendukung terjadinya pemanjangan sel, sedangkan sitokinin berperan untuk pembelahan sel (Gunawan, 1995). 2.3.1
Sitokinin BAP (6-Benzylaminopurin) Menurut Abidin (1985), sitokinin merupakan senyawa yang mempunyai
bentuk dasar adenine (6-amino purin) yang mendukung terjadinya pembelahan sel. Sitokinin yang digunakan secara komersial dalam propagasi in vitro adalah Bensiladenin
(6-Benzylaminopurin),
Kinetin,
Isopentyladenin
(Dimetil
aminopurin) dan Adenin Sulfat (Wetherell, 1982). BAP (Benzylaminopurin) merupakan zat pengatur tumbuh yang tergolong ke dalam sitokinin sintetik, yang dalam penggunaanya dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh lainnya. Sitokinin mempengaruhi proses sitokenesis atau pembelahan sel. Aktivitas ini yang menjadi kriteria utama untuk menggolongkan suatu zat pengatur tumbuh ke dalam sitokinin (Wattimena, 1988). BAP merupakan hormon dari kelompok sitokinin yang paling banyak digunakan. Hal ini karena BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin. BAP biasanya digunakan untuk menginduksi kalus, tapi yang terpenting adalah BAP dapat menginduksi formasi tunas, pucuk atau kecambah (Bonga dan Durzan, 1982). Gunawan (1995) menambahkan, bahwa penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang seringkali menyebabkan regenerant sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Secara umum konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar antara 0,1-10 mg/l.
8
2.3.2
Auksin IBA (Indole Butryric Acid) Menurut Santoso dan Nursandi (2003), auksin merupakan hormon yang
mempunyai kemampuan untuk menginduksi terjadinya kalus, mendorong proses morfogenesis kalus membentuk akar atau tunas, mendorong proses embriogenesis dan mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman. Wattimena et al., (1992) menambahkan, bahwa peran fisiologis auksin adalah mendorong perpanjangan sel, diferensiasi sel, pembentukan bunga dan buah, pembentukan akar dan respon tropisme. Gunawan (1987) mengatakan, bahwa auksin sintetis yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah Indole-3-Acetic Acid (IAA), 2,4Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D), Nephtaleine Acetic Acid (NAA), Indole Butryric Acid (IBA), Naphtoxy Acetic Acid (4-CPA), 2,4,5-Trichloro Acetic Acid (2,4,5-T), 3,6-Dichloro Anisic Acid (Picloram), dan IAA conjugate (IAA-LAlanine dan IAA-Glycine). IBA adalah senyawa terbaik dalam merangsang pertumbuhan akar (Audus, 1972 dalam Situmorang, 2000). IBA adalah jenis auksin sintetis derivatif dari IAA yang tidak mengakibatkan tanaman teracuni pada konsentrasi tinggi dan efektif untuk membantu perakaran pada tanaman. IBA memiliki kandungan kimia yang lebih stabil, daya kerja lebih lama dan tetap berada di sekitar akar (Rochiman dan Harjadi, 1973). 2.3.3
Kombinasi Sitokinin dan Auksin Menurut Pierik (1987) sitokinin dapat digunakan untuk pembelahan sel
terutama, jika ditambahkan dengan hormon auksin. Penggunaan hormon auksin dan sitokinin pada konsentrasi 1-10 mg/l dapat menginduksi formasi pucuk, akan tetapi pertumbuhan akar terhambat serta dapat mengurangi dominasi apikal. Menurut George dan Sherington (1984) dalam Gunawan (1992), kultur pada jenis tanaman berkayu tertentu, diperlukan masa pemantapan kultur dengan memberikan sitokinin dan auksin dalam konsentrasi rendah. Wetherell (1982) menambahkan,
bahwa
kombinasi
antara
sitokinin
dan
auksin
harus
mempertimbangkan kadar maupun perbandingannya dalam media. Perbandingan antara sitokinin dan auksin yang tinggi baik untuk pembentukan daun, sedangkan perbandingan yang rendah baik untuk pembentukan akar.
9
Wattimena et al., (1992) menambahkan, bahwa peran fisiologis sitokinin untuk pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, dan pembentukan stomata, sedangkan peran kombinasi keduanya dapat mengatur morfogenesis yang dikehendaki. Berdasarkan hasil penelitian Sigit (2008), penambahan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi dan jumlah ruas planlet Aquilaria beccariana pada minggu ke-8, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas. Kombinasi auksin IBA 0,1 mg/l dan sitokinin BAP 0,05 mg/l merupakan kombinasi terbaik dalam peningkatan tinggi dan jumlah ruas A. beccariana pada minggu ke-8 dengan pertambahan tinggi rata-rata hasil uji Duncan sebesar 1,7 cm dan jumlah ruas rata-rata sebesar 6,4 ruas. Kombinasi auksin IBA 0 mg/l dan sitokinin BAP 0,03 mg/l memberikan respons terbaik terhadap peningkatan jumlah tunas A. beccariana pada minggu ke-8 dengan rata-rata hasil uji Duncan’s sebesar 1,9091 tunas. Berdasarkan hasil penelitian Wardoyo (2004), media perlakuan (komposisi adenin dan IAA) memberikan perbedaan respons sangat signifikan terhadap pertambahan tinggi planlet Aquilaria malaccensis. Kombinasi adenin dan IAA dengan konsentrasi masing-masing 20 mg/l dan 0 ppm serta 20 mg/l dan 0,5 ppm memberikan hasil terbaik dalam memacu rata-rata pertumbuhan panjang planlet, yaitu 0,49 cm dan 0,6 cm.
10
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), berlokasi di kawasan PUSPIPTEK (Pusat Pengkajian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), Serpong, Tangerang, Provinsi Banten. Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan, dari bulan Juni 2008 sampai April 2009. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Alat pada ruang preparasi media meliputi: seperti tabung kultur, gelas piala, labu ukur, corong, timbangan analitik, sudip, microwave, pH meter, dispenser, micropipet, pipet volumetrik, lemari es, hot plate dan autoclave. 2. Alat pada ruang transfer meliputi: oven, laminar air flow cabinet, bunsen, gunting, pinset dan pisau scalpel. 3. Alat pada ruang inkubasi (thermostatik), dilengkapi dengan alat pengontrol suhu, kelembaban dan cahaya. 3.2.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : a. Bahan Media Kultur Jaringan Bahan-bahan media kultur yang digunakan dalam pembuatan media adalah media dasar Murashige dan Skoog (MS), gula, agar-agar, zat pengatur tumbuh BAP dan IBA. b. Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan steril pucuk G. versteegii hasil sterilisasi biji yang diperoleh dari Mataram.
11
3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Sterilisasi Alat Alat-alat yang akan digunakan harus disterilisasi terlebih dahulu. Alat-alat tersebut dicuci dengan menggunakan air bersih dan deterjen, kemudian disterilkan di dalam autoclave pada suhu 1210C dengan tekanan 2 atm selama 30 menit. Alatalat tanam (pinset, gunting, dan mata pisau scalpel) dicelupkan ke dalam alkohol 70 % terlebih dahulu, kemudian dibakar di atas api bunsen untuk sterilisasi sebelum pananaman. 3.3.2 Sterilisasi Media Kultur Media disterilisasi dalam autoclave dengan suhu 121o C tekanan 2 atm selama 13 menit. Sebelum digunakan, media perlu disimpan selama 2-3 hari untuk mengetahui perubahan atau kontaminasi yang terjadi. 3.3.3 Sterilisasi Lingkungan Kerja Sterilisasi lingkungan kerja dilakukan terhadap ruang kerja, terutama pada ruang transfer dan ruangan inkubasi (thermostatik). Sterilisasi ruang thermostatik dilakukan empat minggu sekali dengan menggunakan formaldehida selama 2 hari, sedangkan sterilisasi ruang transfer terutama pada laminar air flow cabinet menggunakan sinar ultra violet yang dilakukan seminggu sekali selama 12 jam. 3.3.4 Pembuatan Media Langkah awal dalam pembuatan media dasar adalah pembuatan larutan stok yang terdiri dari stok makro, stok mikro, stok vitamin, stok Fe-EDTA dan stok hormon. Komposisi larutan stok yang digunakan disajikan pada lampiran 2. Unsur hara yang telah ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air steril atau aquades sebanyak 1 liter. Larutan stok yang telah selesai dibuat, sebaiknya disimpan di tempat yang bertemperatur rendah dan gelap. Langkah selanjutnya adalah pembuatan media MS dengan pengambilan setiap larutan stok yang dibutuhkan untuk pembuatan sebanyak 1 liter. Penambahan gula pasir sebanyak 30 g/l dilakukan sebelum pengenceran, sehingga volume akhir yang akan dibuat tepat. Komposisi media yang sudah lengkap kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan menggunakan air aquades hingga mencapai volume akhir (1 liter).
12
Untuk merangsang pertumbuhan eksplan, larutan media MS ditambahkan kombinasi ZPT auksin IBA dengan konsentrasi 0,00 mg/l; 0,05 mg/l dan 0,10 mg/l dan sitokinin BAP dengan konsentrasi 0,00 mg/l; 0,05 mg/l; 0.10 mg/l dan 0,20 mg/l. Penambahan kombinasi ZPT tersebut, dilakukan sebelum pengukuran pH yang berkisar antara 5,8. Apabila pH > 5,8, maka media ditambahkan HCl, sedangkan jika pH < 5,8, maka ditambahkan NaOH. Larutan media yang sudah diukur pHnya, kemudian ditambahkan
agar-agar sebanyak 8 g/l dan diaduk
menggunakan magnetik stirer. Larutan media ditutup dengan menggunakan plastik wrap, kemudian plastik tersebut dilubangi dan selanjutnya media dimasak di dalam microwave. Media perlakuan yang telah mendidih, dituang ke dalam tabung kultur ± 10 ml/tabung untuk seluruh perlakuan, kemudian tabung ditutup dan disterilisasi menggunakan autoclave dengan temperatur 121oC dan tekanan 17,5 psi selama 13 menit. 3.3.5 Penanaman Eksplan yang digunakan berasal dari kultur in vitro tanaman G. versteegii. Sebelum dilakukan penanaman pada media perlakuan, terlebih dahulu dilakukan sub kultur pada media MS selama 4 minggu untuk menetralkan pengaruh media perlakuan sebelumnya. Penanaman dalam media perlakuan dilakukan masing-masing satu eksplan per tabung kultur. Bahan tanaman yang digunakan adalah pucuk eksplan yang panjangnya 1,5 cm dengan meninggalkan tiga daun paling atas dan daun tersebut dipotong sedikit untuk membedakan daun yang lama dan daun yang baru muncul. Proses penanaman dilakukan dalam kondisi steril di dalam ruang transfer pada laminar air flow cabinet. Eksplan yang sudah selesai ditanam pada media perlakuan, kemudian disimpan di dalam ruangan thermostatik dengan suhu, kelembaban dan cahaya yang terkontrol. 3.4 Pengamatan Parameter yang diamati meliputi parameter kuantitatif dan parameter kualitatif. Adapun parameter kuantitatif meliputi:
13
a. Tinggi planlet Pengukuran dilakukan dengan mengukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi. b. Jumlah ruas Pengukuran dilakukan dengan menghitung ruas tanaman pada saat pengamatan. c. Jumlah tunas baru Pengukuran dilakukan dengan menghitung jumlah tunas yang tumbuh pada saat pengamatan. d. Jumlah daun Daun yang dihitung adalah total jumlah daun dan telah terbuka. Parameter kualitatif diperoleh dengan mendeskripsikan atau memberikan keterangan setiap kondisi eksplan pada saat pengamatan, yang meliputi : a. Pengakaran b. Berkalus/tidak c. Kontaminasi oleh jamur dan bakteri, browning dan kematian. Pengukuran dilakukan dari luar tabung kultur dengan menggunakan mistar, sedangkan eksplan yang diamati tetap di dalam tabung kultur. Pengamatan dilakukan selama 8 minggu dan pengambilan data dilakukan setiap minggu pada hari yang sama. 3.5 Analisis Data Perhitungan parameter kualitatif meliputi persentase kontaminasi oleh jamur dan bakteri, browning (pencoklatan) dan kematian pada eksplan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
% Tingkat kontaminasi
= ∑ eksplan terkontaminasi X 100% N
% Tingkat pencoklatan
= ∑ eksplan mengalami pencoklatan X 100% N
% Tingkat kematian
= ∑ eksplan mengalami kematian X 100% N
Keterangan : N = jumlah total eksplan tiap perlakuan
14
Rancangan percobaan yang digunakan dalam menganalisis hasil penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial) dengan jumlah 12 perlakuan dengan masing-masing ulangan sebanyak 6 kali, sehingga total planlet yang diamati sebanyak 72 satuan percobaan. Faktor atau perlakuan yang digunakan adalah pemberian hormon IBA dan BAP pada konsentrasi yang berbeda. Keseluruhan media perlakuan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Media perlakuan kombinasi IBA dan BAP IBA ( A mg/l)
0.00 (A1)
BAP (S mg/l) 0.00 (S1) A1S1 0.05 (S2) A1S2 0.10 (S3) A1S3 0.20 (S4) A1S4 Keterangan : Perlakuan 1 : Auksin (A) A1 = IBA 0,00 mg/l A2 = IBA 0,05 mg/l A3 = IBA 0,10 mg/l
0.05 (A2)
0.10 (A3)
A2S1 A3S1 A2S2 A3S2 A2S3 A3S3 A2S4 A3S4 Perlakuan 2 : Sitokinin (S) S1 = BAP 0,00 mg/l S4 = BAP 0,20 mg/l S2 = BAP 0,05 mg/l S3 = BAP 0,10 mg/l
Model rancangan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2000): Yijk = μ + Ai + Sj + (AS)ij + ∈ijk Keterangan : Yijk
= Nilai respons tanaman terhadap perlakuan auksin ke-i, sitokinin ke-j dan ulangan ke-k.
μ
= Nilai tengah populasi.
Ai
= Pengaruh perlakuan auksin ke-i.
Sj
= Pengaruh perlakuan sitokinin ke-j.
(AS)ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan auksin ke-i dan sitokinin ke-j. ∈ijk
= Nilai galat percobaan pada perlakuan auksin ke-i, sitokinin ke-j, dan ulangan ke-k.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan Daftar Sidik Ragam. Hipotesis dalam uji F Ho = Perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertambahan tinggi, jumlah ruas, jumlah tunas dan jumlah daun.
15
Hi = Perlakuan berpengaruh terhadap pertambahan tinggi, jumlah ruas, jumlah tunas dan jumlah daun. Pengambilan keputusan uji F F hitung > F tabel atau nilai P < α (0,05) maka tolak Ho F hitung < F tabel atau nilai P > α (0,05) maka terima Ho Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan tersebut, maka dilakukan uji F pada taraf 5 %. Apabila hasil sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjutan wilayah Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak SAS (Statistical Analysis System) 6.12. Sistem SAS merupakan sistem paket program untuk analisis data dan pelaporan. Sistem SAS dapat melakukan : 1. Penyimpanan, pemanggilan dan manipulasi data 2. Analisis statistika modern, dan 3. Analisis statistika kompleks (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Tanaman Penghasil Gaharu Pertumbuhan merupakan proses kehidupan tanaman yang mengakibatkan penambahan
ukuran
tanaman
semakin
besar
yang
secara
keseluruhan
dikendalikan oleh sifat alami tanaman (genetik) di bawah pengaruh faktor lingkungan (Sitompul dan Guritno, 1995). Pertumbuhan batang terjadi melalui dua proses, yaitu pembelahan dan pemanjangan sel daerah meristem apikal. Proses pembelahan sel di daerah meristem sub apikal dipengaruhi oleh adanya sejumlah asam giberelin yang berpengaruh terhadap proses pemanjangan sel (Weaver, 1972 dalam Wattimena, 1988). Pada penelitian ini, pertumbuhan eksplan sudah terlihat sejak minggu pertama pengamatan, yaitu dengan bertambahnya tinggi dan jumlah ruas eksplan. Sedangkan pertumbuhan daun dan terbentuknya kalus mulai terlihat pada minggu kedua pengamatan, dan pertumbuhan tunas terlihat pada minggu keempat pengamatan. Hasil analisis sidik ragam pada akhir pengamatan menunjukkan, bahwa penambahan hormon auksin dan sitokinin memberikan respons tidak berbeda nyata terhadap peubah tinggi planlet, jumlah ruas dan jumlah daun, sedangkan pada jumlah tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap planlet G. versteegi (Tabel 2). Tabel 2 Rekapitulasi sidik ragam G. versteegi Pengamatan ke – (MST) 1 2 3 4 5 6 Pertambahan tinggi tn tn tn tn tn tn Pertambahan ruas tn tn tn tn tn tn Jumlah tunas . . . tn ** ** Jumlah daun . tn tn tn * * Keterangan : tn : Tidak berpengaruh nyata * : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 % ** : Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 95 % . : Belum terlihat adanya pertumbuhan Parameter
7 tn tn ** tn
8 tn tn ** tn
17
Pengaruh perlakuan kombinasi ZPT IBA dan BAP dengan konsentrasi yang berbeda terhadap masing-masing parameter pertumbuhan eksplan yang diamati diuraikan sebagai berikut: 4.1.1 Pertambahan Tinggi Eksplan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa, sampai minggu terakhir pengamatan setiap media perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman. Seperti diketahui bahwa kemampuan metabolisme tanaman bersifat genetis, sehingga ada beberapa tanaman yang tidak atau kurang merespons ZPT yang diberikan (Ariana, 2005). Tinggi tanaman merupakan peubah yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Hal ini didasarkan karena tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Anwar, 2007). Pertumbuhan tinggi terjadi karena adanya pembelahan dan pemanjangan sel yang terdapat di dalam jaringan meristem, yaitu pada titik tumbuh batang. Rata-rata pertumbuhan tinggi tiap minggu pada berbagai konsentrasi media perlakuan kombinasi IBA dan
Rata-rata pertambahan tinggi
BAP untuk eksplan gaharu dapat dilihat pada Gambar 2.
Kontrol
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
IBA 0.00 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.00 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.00 mg/l + BAP 0.20 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.00 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.20 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.00 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.10 mg/l
1
2
3
4 5 6 Pengamatan ke- (MST)
7
8
IBA 0.10 mg/l + BAP 0.20 mg/l
Gambar 2 Grafik rata-rata pertambahan tinggi eksplan G.versteegi tiap minggu pada berbagai perlakuan.
18
Berdasarkan Gambar 2, grafik rata-rata pertambahan tinggi dari minggu pertama sampai minggu terakhir pengamatan pada semua perlakuan menunjukkan adanya kenaikan, pada akhir pengamatan terlihat bahwa media perlakuan kombinasi IBA 0,05 mg/l + BAP 0,20 mg/l menunjukkan hasil yang terbaik dalam rata-rata pertambahan tinggi, yaitu sebesar 1,8 cm. Sedangkan rata-rata pertambahan tinggi terendah terdapat pada media kontrol, yaitu sebesar 0,66 cm. 4.1.2 Pertambahan Ruas Eksplan Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan, bahwa sampai minggu terakhir pengamatan setiap media perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap pertambahan jumlah ruas tanaman. Ruas atau internodus, adalah bagian batang diantara dua buku yang berurutan. Batang bisa memperlihatkan sumbu yang memanjang dengan buku dan
Rata-rata jumlah ruas
ruas yang jelas (Hidayat, 1995). 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
Pengamatan ke-
6
7
8
Kontrol IBA 0.00 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.00 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.00 mg/l + BAP 0.20 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.00 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.20 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.00 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.20 mg/l
Gambar 3 Grafik rata-rata pertambahan ruas eksplan G.versteegi tiap minggu pada berbagai perlakuan. Berdasarkan Gambar 3, grafik pertambahan jumlah ruas dari minggu pertama sampai minggu terakhir pengamatan pada semua perlakuan menunjukkan adanya kenaikan, pada akhir pengamatan terlihat bahwa media perlakuan kombinasi IBA 0,00 mg/l + BAP 0,20 mg/l menunjukkan hasil yang terbaik dalam rata-rata pertambahan jumlah ruas, yaitu sebesar 6,33 ruas. Sedangkan rata-rata pertambahan ruas terendah terdapat pada media kontrol, yaitu sebesar 2,4 ruas.
19
4.1.3 Jumlah Tunas Penambahan jumlah tunas merupakan salah satu parameter yang dapat diukur secara kuantitatif, dan merupakan indikator keberhasilan suatu kultur jaringan. Pertumbuhan tunas tidak hanya dipengaruhi oleh hormon sitokinin dan unsur hara yang tersedia, akan tetapi setiap tanaman juga memiliki hormon
Rata-rata jumlah tunas
endogen yang akan mempengaruhi pertumbuhan tunas.
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Kontrol IBA 0.00 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.00 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.00 mg/l + BAP 0.20 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.00 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.20 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.00 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.20 mg/l
Pengamatan ke-
Gambar 4 Grafik jumlah tunas G. versteegii yang terbentuk tiap minggu pada berbagai perlakuan. Berdasarkan Gambar 4, grafik jumlah tunas dari minggu keempat sampai minggu terakhir pengamatan pada beberapa perlakuan menunjukkan adanya kenaikan. Bhojwani dan Razdan (1983) menyatakan, bahwa semakin tinggi konsentrasi sitokinin maka jumlah tunasnya akan semakin banyak, namun masing-masing tunas tersebut akan terhambat pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan George dan Sherrington (1984) bahwa BAP paling baik digunakan untuk memacu pembentukan tunas. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan, bahwa sampai minggu terakhir pengamatan, setiap media perlakuan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata, pada selang kepercayaan 95% terhadap pertumbuhan jumlah tunas tanaman, sehingga perlu diuji lanjut wilayah Duncan untuk mengetahui perbedaan pengaruh setiap perlakuan.
20
Tabel 3 Pengaruh pemberian perlakuan terhadap rata-rata jumlah tunas G. versteegi pada akhir pengamatan (8MST) No Perlakuan IBA (mg/l) BAP (mg/l) Rata-Rata 1 A2S4 0.05 0.20 3.17 a 2 A3S1 0.10 0.00 2.17 ab 3 A3S3 0.10 0.10 1.80 abc 4 A1S3 0.00 0.10 1.67 abc 5 A1S4 0.00 0.20 1.50 abc 6 A3S4 0.10 0.20 1.17 bc 7 A3S2 0.10 0.05 0.80 bc 8 A2S3 0.05 0.10 0.75 bc 9 A1S2 0.00 0.05 0.67 bc 10 A2S2 0.05 0.05 0.33 c 11 A2S1 0.05 0.00 0.00 c 12 A1S1 0.00 0.00 0.00 c Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk minggu yang sama pada uji DMRT 5 %
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan, bahwa media perlakuan IBA 0,05 mg/l + BAP 0,20 mg/l memberikan respon terbaik terhadap pembentukan tunas baru, yaitu sebesar 3,17 tunas. Sebaliknya media kontrol dan media IBA 0,05 mg/l + BAP 0,00 mg/l tidak terlihat adanya pembentukan tunas. Tahap pembentukan tunas diawali dengan kalus yang berwarna putih kekuningan, semakin lama warna kalus berubah menjadi kuning kehijauan. Kalus yang berwarna kuning kehijauan, selanjutnya membentuk tonjolan calon tunas baru, yang diawali dengan munculnya beberapa helai daun dan makin lama batang akan terbentuk yang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Eksplan yang telah membentuk tunas.
21
4.1.4 Jumlah Daun Daun mulai terlihat pada minggu kedua pengamatan. Gambar 6 menunjukkan, bahwa grafik jumlah daun dari minggu pertama sampai minggu terakhir pengamatan pada semua perlakuan menunjukkan adanya kenaikan. Media perlakuan IBA 0.00 mg/l + BAP 0.20 mg/l memberikan respon terbaik terhadap pertambahan rata-rata jumlah daun, yaitu sebesar 5.67 helai daun. Sedangkan pertambahan rata-rata jumlah daun terendah sebesar 2.2 helai daun dihasilkan
Rata-rata jumlah daun
oleh media kontrol. 6
Kontrol
5
IBA 0.00 mg/l + BAP 0.05 mg/l IBA 0.00 mg/l + BAP 0.10 mg/l
4
IBA 0.00 mg/l + BAP 0.20 mg/l
3
IBA 0.05 mg/l + BAP 0.00 mg/l IBA 0.05 mg/l + BAP 0.05 mg/l
2
IBA 0.05 mg/l + BAP 0.10 mg/l
1
IBA 0.05 mg/l + BAP 0.20 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.00 mg/l
0
IBA 0.10 mg/l + BAP 0.05 mg/l
1
2
3
4
5
Pengamatan ke-
6
7
8
IBA 0.10 mg/l + BAP 0.10 mg/l IBA 0.10 mg/l + BAP 0.20 mg/l
Gambar 6 Grafik rata-rata jumlah daun G. versteegii tiap minggu pada berbagai perlakuan. Penggunaan BAP tunggal memberikan jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan dengan kombinasi IBA. Menurut Husni et al. (1994) dalam Kurniawati (2004) menyatakan, bahwa BAP tunggal lebih banyak menghasilkan daun daripada kombinasi BAP + NAA, karena BAP dapat meningkatkan kemampuan jaringan tanaman untuk mensintesis hormon-hormon alami dalam tanaman yang dapat memacu pembentukan dan perkembangan tunas. Sehingga menghasilkan daun yang lebih banyak. Konsentrasi optimum media yang terbaik dalam pembentukan jumlah daun adalah IBA 0,00 mg/l + BAP 0,20 mg/l, sedangkan pada media kontrol (tanpa penambahan hormon) jumlah daunnya rendah (Gambar 6). Pertambahan jumlah ruas pada media perlakuan IBA 0.00 mg/l + BAP 0.20 mg/l menunjukkan nilai yang terbaik juga pada parameter jumlah daun. Hal
22
ini dikarennakan setiapp ruas mem miliki dua bu uku yang merupakan m ttempat dudu uknya atau melekkatnya daunn. 4.2 Pengaamatan Vissual 4.2.1 Kalu us Kaalus merupakan sekum mpulan sel yang menngalami pem mbelahan secara s tidak teraatur. Kalus dapat terbbentuk secaara alami oleh o semuaa tanaman yang dikulturkaan dan meruupakan salaah satu caraa perlindunngan tanamaan terhadap p luka yang ditim mbulkan padda saat prosses pemoton ngan. Peristtiwa pengkaalusan dapatt juga terjadi bilaa tanaman mengalami m stres (Fitriaani, 2005). Prooses pengkaalusan padaa penelitian ini diduga terjadi t akibat pelukaan n pada eksplan saaat penanam man atau disebabkan d oleh pengggunaan jenis media daan zat pengatur tumbuh yaang dapat menstimula m asi pembenntukan kaluus. Pembentukan kalus mullai terlihat pada pengaamatan ked dua untuk eksplan e denngan media yang telah ditam mbahkan hoormon IBA dan BAP, sedangkan pada mediaa kontrol ek ksplan tidak mem mbentuk kaalus hinggaa minggu terakhir t penngamatan. Pada Gamb bar 7 dapat dikeetahui, bahhwa jumlah eksplan berkalus terttinggi terdaapat pada media m perlakuan kombinasii antara IBA A 0.00 mg//l + BAP 0.10 0 mg/l, IBA 0.00 mg/l m + BAP 0.200 mg/l, IBA A 0.05 mg/ll + BAP 0.05 mg/l, IB BA 0.05 m mg/l + BAP P 0.20 mg/l, IBA A 0.10 mg/l + BAP 0.000 mg/l dan IBA I 0.10 mg/l m + BAP 00.20 mg/l.
6
Kontrol IBA 0.00 mg/l + BAP 0.05 mg/l m
Jumlah eksplan berkalus
5
IBA 0.00 mg/l + BAP 0.10 mg/l m IBA 0.00 mg/l + BAP 0.20 mg/l m
4
IBA 0.05 mg/l + BAP 0.00 mg/l m IBA 0.05 mg/l + BAP 0.05 mg/l m
3
IBA 0.05 mg/l + BAP 0.10 mg/l m IBA 0.05 mg/l + BAP 0.20 mg/l m
2
IBA 0.10 mg/l + BAP 0.00 mg/l m
1
IBA 0.10 mg/l + BAP 0.05 mg/l m IBA 0.10 mg/l + BAP 0.10 mg/l m
0
Jenis Meddia
IBA 0.10 mg/l + BAP 0.20 mg/l m
Gambar 7 Grafik juumlah ekspplan G. verrsteegii yanng berkaluss pada berrbagai perlakuaan di mingggu terakhir pengamatan p n (8MST).
23
Berdasarkan hasil pengamatan, eksplan dapat menghasilkan kalus walaupun tidak ada penambahan hormon auksin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ariana (2005) yang menyebutkan bahwa tanaman dapat menumbuhkan kalus hanya dengan memberikan hormon sitokinin saja, karena diduga adanya pengaruh kandungan auksin endogen yang terbawa oleh eksplan sehingga berinteraksi dengan BAP. Pembentukan kalus dapat dilihat pada Gambar 8. Kalus yang terbentuk pada bagian pangkal eksplan berwarna hijau kekuningan. Kalus yang berwarna hijau menunjukkan adanya klorofil dalam jaringan eksplan yang berperan penting dalam proses fotosintesis. Mayasari (2007) menyatakan, bahwa semakin hijau warna kalus pada eksplan, maka kemampuan berfotosistesis akan semakin tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Santoso dan Nursandi (2003) menambahkan bahwa peran zat pengatur tumbuh sitokinin dalam kegiatan kultur jaringan dapat menstimulir terjadinya pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, dan mendorong pembentukan klorofil pada kalus.
Gambar 8 Bentuk dan warna kalus pada bagian pangkal eksplan. Pada beberapa eksplan gaharu yang berkalus telah terbentuk embrio somatik kemudian tumbuh menjadi tunas (Gambar 9). Rata-rata jumlah tunas yang tumbuh dari eksplan berkalus adalah 1-8 tunas per eksplan. Media perlakuan kombinasi IBA 0.05 mg/l + BAP 0.00 mg/l menghasilkan kalus, akan tetapi pada pengamatan terakhir masih tidak terlihat adanya tunas yang tumbuh. Hasil analisa visual ini sesuai dengan pernyataan Wattimena (1988), bahwa umumnya kalus menghasilkan tunas sangat lambat, akan tetapi pada beberapa tanaman dan
24
kondisi tertentu, kalus memiliki kemampuan cukup tinggi untuk beregenerasi membentuk tunas atau embrio somatik.
Gambar 9 Pertumbuhan tunas yang berasal dari eksplan berkalus. 4.2.2 Kontaminasi Kontaminasi merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada kegiatan kultur jaringan. Menurut Hartmann et al. (1990), beberapa eksplan memiliki pathogen internal yang akan muncul beberapa waktu setelah inisiasi. Hal itu diperkuat oleh pendapat Santoso dan Nursandi (2003), bahwa ZPT merupakan senyawa organik non-nutrisi yang meskipun tidak menyebabkan kontaminasi, namun dapat merangsang pertumbuhan cendawan. Rendahnya nilai persentase kontaminasi disebabkan eksplan yang digunakan adalah pucuk gaharu hasil dari kultur in vitro. Berdasarkan hasil pengamatan, besarnya persentase jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah 6,94% (5 eksplan dari 72 eksplan). Kontaminasi terdapat pada beberapa media perlakuan, diantaranya pada media kontrol, MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,10 mg/l, MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,05 mg/l, dan MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,10 mg/l.
25
Gambar 10 Kontaminasi eksplan oleh cendawan. Kontaminasi terjadi pada minggu ke-7 dan ke-8. Kontaminasi diakibatkan oleh bintik-bintik putih cendawan yang muncul pada tepian media yang kontak langsung dengan dinding tabung reaksi yang selanjutnya berkembang menjadi hifa (Gambar 10). Diperkirakan kontaminasi terjadi karena tabung reaksi yang kurang steril.
26
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa penambahan ZPT auksin dan sitokinin memberikan respon tidak berbeda nyata terhadap parameter tinggi planlet, jumlah ruas, dan jumlah daun. Sedangkan pada jumlah tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata. 2. Rata-rata pembentukan tunas pada media perlakuan IBA 0.05 mg/l + BAP 0.20 mg/l memberikan respon yang terbaik yaitu sebesar 3.17 tunas. Sedangkan pada media kontrol dan media IBA 0.05 mg/l + BAP 0.00 mg/l tidak terlihat adanya pembentukan tunas. 3. Kalus tumbuh pada semua media perlakuan, kecuali pada media kontrol. 4. Persentase jumlah eksplan yang terkontaminasi oleh cendawan sebesar 6,94% (5 dari 72 eksplan). 5.2 Saran 1. Media MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,20 mg/l dapat digunakan untuk multiplikasi (perbanyakan) tunas G. versteegii. 2. Perlu pengkajian lebih lanjut mengenai penggunaaan konsentrasi hormon sitokinin BAP yang lebih tinggi dari 0,20 mg/l untuk memicu pertumbuhan tunas eksplan G. versteegii yang lebih optimal.
27
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Angkasa. Anwar N. 2007. Pengaruh Media Multiplikasi terhadap Pembentukan Akar pada Tunas In Vitro Nenas (Ananas comocus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne di Media Pengakaran [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ariana E. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP (Benzylaminopurin) terhadap Pertumbuhan Mimba (Azadirachta indica A. Juss) secara Kultur In Vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bhojwani SS, MK Razdan. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishers. Bonga JM, Durzan DJ. 1982. Tissue Culture In Forestry. Boston: Martinus Nijhoff Publishers. CITES. 2004. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. http://www.cites.org/common/cop/13/raw_props/IDAquilaria-Gyrinops.pdf. [ 15 Juni 2008]. Departemen Kehutanan. 2003a. Budidaya Gaharu. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. 2003b. Teknik Budidaya Gaharu. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Fitriani Y. 2005. Induksi Perakaran Cendana (Santalum album Linn.) dengan Beberapa Zat Pengatur Tumbuh melalui Kultur Jaringan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. London: Eastern Press. 709 hlm. Gilg.
1932. Gyrinops versteegii. versteegii.asp. [15 Juni 2008].
http://zipcodezoo.com/Plants/Gyrinops
Gunawan LW. 1987. Pengenalan Teknik In Vitro. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
28
Gunawan LW. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. Bogor: Penebar Swadaya. Hartmann HT, DE Kester, FT Davies. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices, fifth edition. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Hidayat EB. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: Penerbit ITB. Kurniawati M. 2004. Pengaruh 2,4 D, BAP, dan Kinetin untuk Induksi Kalus dan Tunas Mentha arvensis Var. Tempaku [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Mariska I, Sukmadjaya. 2003. Kultur Jaringan Abaka. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Genetika. Mattjik AA, IM Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan. Bogor: IPB Press. Mayasari I. 2007. Perbanyakan Iles-iles (Amorphophallus mulleri Blume) secara Kultur In Vitro dengan Pemberian Zat Pengatur Tumbuh NAA (Naphtalene Acetic Acid) dan BAP (6-Benzylaminopurin) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Mulyaningsih T, Isamu Y. 2007. Notes on Some Species of Agarwood in Nusa Tenggara, Celebes and West Papua. http://sulawesi.cseas.kyotou.ac.jp/final_reports2007/article/43-tri.pdf. [15 Juni 2008]. Parman, Mulyaningsih T. 2002. Teknologi Pembudidayaan Tanaman Gaharu. Makalah disampaikan pada sosialisasi pengembangan teknologi, 1 Juni. Mataram: Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers. Putri MSE. 2005. Sifat Fisis dan Kimia Resin Gaharu [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Rochiman K, Harjadi SS. 1973. Pembiakan Vegetatif. Bogor: Bahan Bacaan Pengantar Agronomi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: UMM Press. Sigit Y. 2008. Kajian Elongasi dan Aklimatisasi pada Kultur In Vitro Aquilaria beccariana van Tiegh [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
29
Situmorang J. 2000. Mikropropagasi Kayu Gaharu (Aquilaria spp.) Asal Riau serta Identifikasi Sifat Genetiknya Berdasarkan Analisa Isoenzim [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: JICA. Sumarna Y. 2002. Budidaya Gaharu. Bogor: Penebar Swadaya. Sumarna Y. 2007. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya. Triharyanto A. 2005. Multiplikasi Tunas Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis lamk) Secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wardoyo T. 2004. Kajian Sterilisasi, Induksi, dan Elongasi Tunas Gaharu (Aquilaria spp) secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB Bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Wattimena GA, LW Gunawan, NA Mattjik, E Syamsudin, NMA Wiendi, A Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB–Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Wetherell. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro. Semarang: IKIP Semarang Press. Wirawan D. 2003. Pengaruh Konsentrasi BAP (6-Benzylaminopurin) terhadap Pertumbuhan (kultur In Vitro) Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa Scheff. Boerl.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Wiyono B, N Sumarliani. 1998. Penyusunan Standar Mutu Gaharu. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
30
Lampiran 1 Susunan kimia zat pengatur tumbuh
BAP (6-benzylaminopurine)
IBA (Indole Butryric Acid)
31
Lampiran 2 Komposisi media MS (Murashige dan Skoog) Nama
Bahan Kimia
Komposisi
Penimbangan
Pemipetan untuk 1
Mg/l
untuk 1 liter stok
liter media
Stok A
NH4NO3
1650
165 gram
10 ml
Stok B
KNO3
1900
190 gram
10 ml
Stok C
CaCl2.2H2O
440
44 gram
10 ml
Stok D
MgSO4.7H2O
370
37 gram
KH2PO4
170
17 gram
H3BO3
6.2
0.62 gram
KI
0.83
0.083 gram
MnSO4.H2O
16.9
1.69 gram
ZnSO4.7H2O
8.6
0.86 gram
CuSO4.5H2O
0.025
0.0025 gram
0.25
0.025 gram
CoCl2.6H2O
0.025
0.0025 gram
FeSO4.7H2O
27.8
2.78 gram
Na2EDTA
37.3
3.37 gram
Stok E
Na2MoO4.2H2O Stok F
10 ml
10 ml
10 ml
Stok 1
Thiamine.HCl
0.1
100 mg/100 ml
0.1 ml
Stok 2
Pyridoxin.HCl
0.5
100 mg/100 ml
0.1 ml
Stok 3
Nicotinic Acid
0.5
100 mg/100 ml
0.1 ml
Stok 4
Glicine
2
100 mg/100 ml
2.0 ml
Myo-Inositol Gula Agar
100 30 gram 8 gram
Langsung ditimbang Langsung ditimbang Langsung ditimbang
32
Lampiran 3 Rata-rata pertumbuhan eksplan G. versteegii a. Pertambahan tinggi Jenis Media A1S1 A1S2 A1S3 A1S4 A2S1 A2S2 A2S3 A2S4 A3S1 A3S2 A3S3 A3S4
Minggu Setelah Tanam (MST) 1
2
3
4
5
6
7
8
0.05 0.02 0.02 0.08 0.02 0.07 0.02 0.08 0.05 0.05 0.08 0.07
0.17 0.12 0.13 0.25 0.17 0.23 0.15 0.22 0.22 0.25 0.23 0.22
0.27 0.22 0.23 0.42 0.25 0.38 0.30 0.42 0.30 0.38 0.33 0.38
0.32 0.30 0.30 0.57 0.35 0.50 0.40 0.65 0.45 0.47 0.43 0.52
0.38 0.40 0.37 0.68 0.42 0.60 0.52 0.82 0.53 0.57 0.53 0.60
0.45 0.55 0.53 0.95 0.55 0.70 0.60 1.12 0.68 0.75 0.72 0.88
0.53 0.65 0.68 1.10 0.67 0.93 0.68 1.40 0.90 0.85 0.86 1.05
0.66 0.77 0.95 1.35 0.80 1.08 0.78 1.80 1.12 1.04 1.14 1.27
b. Pertambahan ruas Jenis Media A1S1 A1S2 A1S3 A1S4 A2S1 A2S2 A2S3 A2S4 A3S1 A3S2 A3S3 A3S4
Minggu Setelah Tanam (MST) 1
2
3
4
5
6
7
8
0.33 0.17 0.17 0.83 0.17 0.50 0.17 0.33 0.50 0.50 0.50 0.33
1.00 0.67 1.00 1.67 1.00 1.33 0.83 0.67 1.33 1.17 1.17 0.67
1.33 1.17 1.50 2.50 1.33 1.83 1.50 1.50 1.67 1.67 1.67 1.33
1.50 1.83 2.00 3.17 1.67 2.50 2.17 2.33 2.50 1.83 1.67 1.83
1.50 2.33 2.00 3.50 1.67 2.83 2.17 3.00 3.00 2.17 2.50 2.50
1.83 2.67 2.33 4.33 2.33 3.33 2.17 3.67 3.33 3.00 2.83 3.17
2.00 2.83 2.83 5.17 3.00 3.67 3.00 4.17 4.33 3.17 3.60 3.50
2.40 3.33 3.50 6.33 3.67 4.17 3.00 5.50 5.00 4.20 4.60 4.33
33
c. Jumlah tunas Jenis Media A1S1 A1S2 A1S3 A1S4 A2S1 A2S2 A2S3 A2S4 A3S1 A3S2 A3S3 A3S4
Minggu Setelah Tanam (MST) 1
2
3
4
5
6
7
8
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.33 0.50 0.00 0.00 0.33 0.67 0.83 0.17 0.17 0.33
0.00 0.17 0.83 1.00 0.00 0.00 0.33 1.00 1.33 0.33 0.50 0.33
0.00 0.17 1.17 1.33 0.00 0.00 0.33 2.17 2.00 0.50 0.67 0.50
0.00 0.33 1.17 1.33 0.00 0.17 0.50 2.50 2.00 0.67 1.40 0.83
0.00 0.67 1.67 1.50 0.00 0.33 0.75 3.17 2.17 0.80 1.80 1.17
d. Jumlah daun Jenis Media A1S1 A1S2 A1S3 A1S4 A2S1 A2S2 A2S3 A2S4 A3S1 A3S2 A3S3 A3S4
Minggu Setelah Tanam (MST) 1
2
3
4
5
6
7
8
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.67 0.50 0.17 1.00 1.00 0.67 0.50 0.33 0.67 0.50 0.50 0.17
1.17 0.83 0.83 1.33 1.17 1.00 0.83 0.50 0.83 0.83 0.83 0.17
1.33 1.17 1.17 2.00 1.17 1.17 1.00 1.17 1.33 1.00 1.17 0.83
1.33 1.50 1.50 2.17 1.67 1.83 1.33 1.67 2.17 1.17 1.50 1.17
1.67 2.17 2.00 3.50 2.33 2.50 1.67 2.67 2.83 2.00 2.33 2.17
1.83 2.50 2.00 4.17 2.67 2.83 2.33 3.33 3.00 2.33 2.80 2.67
2.20 2.83 2.50 5.67 3.33 3.67 2.50 4.83 4.00 3.60 4.00 4.17
Keterangan : A1S1 A1S2 A1S3 A1S4 A2S1 A2S2 A2S3 A2S4 A3S1 A3S2 A3S3 A3S4
: MS (Kontrol) : MS + IBA 0,00 mg/l + BAP 0,05 mg/l : MS + IBA 0,00 mg/l + BAP 0,10 mg/l : MS + IBA 0,00 mg/l + BAP 0,20 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,00 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,05 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,10 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,20 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,00 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,05 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,10 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,20 mg/l
34
Lampiran 4 Hasil analisis sidik ragam a. Pertambahan Tinggi
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2
Db 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 59 70 2 3 6 11 55 66 2 3 6
JK 0.05000000 0.27000000 0.32000000 0.00583333 0.01888889 0.02527778 0.14375000 0.82500000 0.96875000 0.04750000 0.03152778 0.06472222 0.34486111 1.68500000 2.02986111 0.06027778 0.19041667 0.09416667 0.80708333 2.10166667 2.90875000 0.16083333 0.49930556 0.14694444 1.16819444 2.71500000 3.88319444 0.22027778 0.71152778 0.23638889 2.50486111 4.24166667 6.74652778 0.27027778 1.93375000 0.30083333 3.85788263 4.39366667 8.25154930 0.50058915 2.64994799 0.70734549 6.20495771 7.13683333 13.34179104 33.47426 3.95587601 1.63290330
KT 0.00454545 0.00450000
F Hit 1.01
Pr > F 0.4487
R-Sq 0.156250
0.00291667 0.00629630 0.00421296 0.01306818 0.01375000
0.65 1.40 0.94 0.95
0.5266 0.2518 0.4760 0.5002
0.148387
0.02375000 0.01050926 0.01078704 0.03135101 0.02808333
1.73 0.76 0.78 1.12
0.1865 0.5185 0.5855 0.3649
0.169894
0.03013889 0.06347222 0.01569444 0.07337121 0.03502778
1.07 2.26 0.56 2.09
0.3484 0.0906 0.7612 0.0344
0.277467
0.08041667 0.16643519 0.02449074 0.10619949 0.04525000
2.30 4.75 0.70 2.35
0.1095 0.0049 0.6513 0.0176
0.300833
0.11013889 0.23717593 0.03939815 0.22771465 0.07069444
2.43 5.24 0.87 3.22
0.0963 0.0028 0.5218 0.0017
0.371282
0.13513889 0.64458333 0.05013889 0.35071660 0.07446893
1.91 9.12 0.71 4.71
0.1567 0.0001 0.6434 0.0001
0.467534
0.25029458 0.88331600 0.11789091 0.56408706 0.12976061
3.36 11.86 1.58 4.35
0.0415 0.0001 0.1681 0.0001
0.465077
0.30808920 1.31862534 0.27215055
2.37 10.16 2.10
0.1026 0.0001 0.0682
35
b. Pertambahan Ruas
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2
db 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 59 70 2 3 6 11 55 66 2 3 6
JK 2.70833333 22.16666667 24.87500000 0.33333333 0.48611111 1.88888889 6.37500000 40.50000000 46.87500000 0.25000000 0.15277778 5.97222222 7.83333333 55.66666667 63.50000000 0.08333333 1.05555556 6.69444444 14.83333333 62.66666667 77.50000000 0.58333333 3.38888889 10.86111111 22.48611111 75.16666667 97.65277778 0.52777778 9.15277778 12.80555556 32.83333333 102.66666667 135.50000000 1.08333333 18.94444444 12.80555556 45.93145540 119.53333333 165.46478873 2.33073076 17.20008285 26.40064179 73.27512438 148.36666667 221.64179104 3.95799658 33.60715052 35.70997728
KT 0.24621212 0.36944444
F Hit 0.67
Pr > F 0.7640
R-Sq 0.108878
0.16666667 0.16203704 0.31481481 0.57954545 0.67500000
0.45 0.44 0.85 0.86
0.6391 0.7262 0.5352 0.5841
0.136000
0.12500000 0.05092593 0.99537037 0.71212121 0.92777778
0.19 0.08 1.47 0.77
0.8314 0.9730 0.2023 0.6702
0.123360
0.04166667 0.35185185 1.11574074 1.34848485 1.04444444
0.04 0.38 1.20 1.29
0.9561 0.7683 0.3175 0.2518
0.191398
0.29166667 1.12962963 1.81018519 2.04419192 1.25277778
0.28 1.08 1.73 1.63
0.7573 0.3638 0.1288 0.1129
0.230266
0.26388889 3.05092593 2.13425926 2.98484848 1.71111111
0.21 2.44 1.70 1.74
0.8107 0.0735 0.1358 0.0852
0.242312
0.54166667 6.31481481 2.13425926 4.17558685 2.02598870
0.32 3.69 1.25 2.06
0.7299 0.0166 0.2955 0.0380
0.277591
1.16536538 5.73336095 4.40010696 6.66137494 2.69757576
0.58 2.83 2.17 2.47
0.5657 0.0461 0.0584 0.0137
0.330602
1.97899829 11.20238351 5.95166288
0.73 4.15 2.21
0.4848 0.0101 0.0560
36
c. Jumlah Tunas
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2
db 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 59 70 2 3 6 11 55 66 2 3 6
JK 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5.11111111 15.33333333 20.44444444 0.36111111 1.77777778 2.97222222 13.48611111 28.50000000 41.98611111 1.02777778 3.48611111 8.97222222 38.48611111 47.50000000 85.98611111 1.19444444 11.26388889 26.02777778 41.60985915 66.70000000 108.30985915 3.48014901 13.58763693 24.54207321 56.12761194 92.35000000 148.47761194 3.15943012 20.62336357 32.34481824
KT 0 0
F Hit .
Pr > F .
R-Sq 0.000000
0 0 0 0 0
. . . .
. . . .
0.000000
0 0 0 0 0
. . . .
. . . .
0.000000
0 0 0 0.46464646 0.25555556
. . . 1.82
. . . 0.0706
0.250000
0.18055556 0.59259259 0.49537037 1.22601010 0.47500000
0.71 2.32 1.94 2.58
0.4974 0.0845 0.0891 0.0094
0.321204
0.51388889 1.16203704 1.49537037 3.49873737 0.79166667
1.08 2.45 3.15 4.42
0.3455 0.0725 0.0095 0.0001
0.447585
0.59722222 3.75462963 4.33796296 3.78271447 1.13050847
0.75 4.74 5.48 3.35
0.4747 0.0049 0.0001 0.0012
0.384174
1.74007451 4.52921231 4.09034554 5.10251018 1.67909091
1.54 4.01 3.62 3.04
0.2230 0.0116 0.0040 0.0031
0.378021
1.57971506 6.87445452 5.39080304
0.94 4.09 3.21
0.3965 0.0108 0.0089
37
d. Jumlah daun
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Sumber Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2 Perlakuan Galat Total F1 F2 F1*F2
Db 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 60 71 2 3 6 11 59 70 2 3 6 11 55 66 2 3 6
JK 0 0 0 0 0 0 4.77777778 15.00000000 19.77777778 0.36111111 1.44444444 2.97222222 6.27777778 18.33333333 24.61111111 1.69444444 1.38888889 3.19444444 5.37500000 14.50000000 19.87500000 1.58333333 0.70833333 3.08333333 7.50000000 26.00000000 33.50000000 0.25000000 0.94444444 6.30555556 17.48611111 48.16666667 65.65277778 0.02777778 5.81944444 11.63888889 25.32206573 67.46666667 92.78873239 0.33583384 11.68415723 13.30207465 64.10447761 99.00000000 163.10447761 4.15981358 38.38552336 21.55914067
KT 0 0
F. Hit .
Pr > F .
R-Sq 0.000000
0 0 0 0.43434343 0.25000000
. . . 1.74
. . . 0.0867
0.241573
0.18055556 0.48148148 0.49537037 0.57070707 0.30555556
0.72 1.93 1.98 1.87
0.4898 0.1350 0.0824 0.0622
0.255079
0.84722222 0.46296296 0.53240741 0.48863636 0.24166667
2.77 1.52 1.74 2.02
0.0705 0.2198 0.1267 0.0417
0.270440
0.79166667 0.23611111 0.51388889 0.68181818 0.43333333
3.28 0.98 2.13 1.57
0.0446 0.4097 0.0632 0.1302
0.223881
0.12500000 0.31481481 1.05092593 1.58964646 0.80277778
0.29 0.73 2.43 1.98
0.7504 0.5402 0.0364 0.0465
0.266342
0.01388889 1.93981481 1.93981481 2.30200598 1.14350282
0.02 2.42 2.42 2.01
0.9829 0.0752 0.0370 0.0430
0.272900
0.16791692 3.89471908 2.21701244 5.82767978 1.80000000
0.15 3.41 1.94 3.24
0.8637 0.0233 0.0894 0.0018
0.393027
2.07990679 12.79517445 3.59319011
1.16 7.11 2.00
0.3224 0.0004 0.0818
38
Lampiran 5 Kondisi eksplan G. versteegii di akhir pengamatan (8MST)
A3S4
A3S3
A1S4
A1S3
A3S2
A1S2
A3S1
A2S4
A2S3
A2S2
A2S1
A1S1
Keterangan : A1S1 A1S2 A1S3 A1S4 A2S1 A2S2 A2S3 A2S4 A3S1 A3S2 A3S3 A3S4
: MS (Kontrol) : MS + IBA 0,00 mg/l + BAP 0,05 mg/l : MS + IBA 0,00 mg/l + BAP 0,10 mg/l : MS + IBA 0,00 mg/l + BAP 0,20 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,00 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,05 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,10 mg/l : MS + IBA 0,05 mg/l + BAP 0,20 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,00 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,05 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,10 mg/l : MS + IBA 0,10 mg/l + BAP 0,20 mg/l
39