iptek hortikultura
KONSERVASI ANGGREK PHALAENOPSIS DENGAN PERBANYAKAN BIJI SECARA IN VITRO Dua pertiga spesies anggrek di dunia terdapat di Indonesia. Borneo merupakan pulau ketiga terbesar di dunia yang kaya dengan spesies anggrek, juga merupakan tempat spesies anggrek langka dunia. Di Kalimantan, diperkirakan terdapat 2500 – 3000 spesies anggrek yang tumbuh di hutan, di Irian Jaya terdapat 1000 spesies, di Sumatera ada 986 spesies, di Jawa 971 spesies, di Sulawesi dan Maluku terdapat 820 spesies. Sebagian besar anggrek Kalimantan saat ini dalam kondisi langka, demikian pula banyak spesies anggrek di dunia dalam kondisi langka. Penyebab kelangkaan anggrek spesies di Indonesia antara lain karena eksploitasi yang berlebihan, akibat diperdagangkan secara komersial oleh pemburu anggrek tanpa memikirkan kelangsungan hidup di alam, dan tidak ada penanaman kembali ke habitat aslinya dari hasil budidaya. Kerusakan lingkungan akibat kebakaran, kerusakan hutan, illegal logging, eksploitasi hutan yang berlebihan termasuk penambangan, pembakaran maupun alih fungsi hutan untuk pertanian, ladang atau pemukiman penduduk menyebabkan luas hutan menyusut. Akibatnya terjadi perubahan ekosistem
yang menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati. Spesies anggrek di hutan tumbuh pada pepohonan besar, baik di bawah maupun di atas, tumbuh pada kayu lapuk, ataupun tumbuh di serasah, bahkan dasar lahan hutan yang berupa pasir sekalipun. Kerusakan hutan berikut ekosistemnya berdampak kepunahan ribuan spesies anggrek yang hidup di dalamnya. Keberadaan Anggrek Spesies di Hutan Indonesia nampaknya sudah tidak dapat lagi mengandalkan emas hijau hasil hutan, anggrek tergolong nontimber forest products yang cukup komersial bagi Indonesia. Penyebaran anggrek di Kalimatan sangat luas meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Di Kalimatan Timur terdapat hutan kawasan cagar alam Kersik Luway yang luasnya lebih dari 5 ha, ada lebih dari 77 spesies anggrek. Di Kalimantan Barat beberapa kabupaten seperti Sintang, Ketapang, Pontianak, Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sekadau, Bengkayang, dan beberapa kabupaten lain merupakan tempat penyebaran anggrek. Di Kab. Pontianak didirikan Orchid Center untuk pelestarian dan 29
No. 8 - November 2012
pengembangan anggrek spesies maupun hibrida sekaligus untuk agrowisata. Di Kalimantan Tengah Kabupaten Kotawaringin, dan Barito merupakan pusat penyebaran anggrek. Dengan pembinaan Pemerintah Kabupaten setempat dan pengawasan BKSDA Palangkaraya, dibangun lokasi budidaya angggrek khas Kalimantan di Desa Muru Tuwu Kecamatan Dusun Timur seluas 5 ha. Di Kalimantan Selatan, pegunungan Meratus yang meliputi Kab. Tanah Laut, Kotabaru, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah merupakan pusat penyebaran anggrek pula. Berbagai anggrek yang potensial maupun sudah mulai langka dapat ditemukan di daerah ini. Di Sumatera, anggrek spesies banyak terdapat di Taman Nasional Bukit 12 dan Taman Nasional Bukit 30. Spesies Phalaenopsis yang ada yaitu P. sumatrana, P. fimbriata, P. viridis, P. violacea Sumatra, P. amabillis var. Sumatra, P. violacea Mentawai, dan P. corningiana dari Pulau Nias. Di Jawa spesies Phalaenopsis yang ada yaitu P. javanica dari daerah Garut sampai Sukabumi selatan, P. cornu cervi, P. fimbriata, dan P. palidus. Di Maluku dan Sulawesi yaitu P. amboinensis dan P. celebensis. Untuk Papua anggrek yang banyak terdapat yaitu berbagai spesies Dendrobium. Dengan fakta berlimpahnya anggrek spesies ini, maka tak dapat dipungkiri, para pemburu anggrek sudah melihat peluang ini dan menjadikannya sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Anggrek Phalaenopsis Di alam anggrek Phalaenopsis berada pada tiga habitat yang berbeda, yaitu daerah dengan musim kering yang tegas, daerah dingin, dan daerah lembab basah yang konstan. Menurut Christenson (2001) berdasarkan morfologi bunga, genus Phalaenopsis dibagi ke dalam lima subgenus yaitu Subgenus Proboscidioides (contoh P. lowii), Subgenus Aphyllae ( P. wilsonii), Subgenus Parishianae (P. lobii), Subgenus Polychilos (P. cornu cervi) dan Subgenus Phalaenopsis (P. amabillis). Subgenus Polychilos dibagi dalam empat seksi yaitu Seksi Polychilos, Seksi Fuscatae, Seksi Amboinenses, 30
Seksi Zebrinae, sedangkan Subgenus Phalaenopsis dibagi dalam empat seksi juga yaitu Seksi Phalaenopsis, Seksi Deliciosae, Seksi Esmeralda, dan Seksi Stauroglottis. Usaha Konservasi Berbagai usaha sudah dilakukan agar spesies anggrek tidak punah, usaha tersebut dilakukan oleh para hobiis, kolektor, maupun masyarakat di daerah setempat dengan pembinaan oleh pemerintah kabupaten maupun pengawasan oleh BKSDA. Konservasi secara in-situ merupakan cara melindungi tanaman di habitat asalnya, dalam arti sekaligus melindungi ekosistemnya tanpa merusak hutan tempat pohon-pohon hidup sebagai tempat anggrek tumbuh. Cara ini merupakan cara yang terbaik karena mampu menyelamatkan fauna dan flora lainnya. Konservasi ex-situ yaitu membudidayakan anggrek di luar habitatnya, hal ini dapat dilakukan di kebun raya atau tempat-tempat khusus yang dibuat untuk budidaya yang sesuai habitatnya. Kesadaran para kolektor untuk membudidayakan disesuaikan dengan habitatnya sangat membantu dalam konservasi anggrek. Perbanyakan anggrek melalui biji pada anggrek spesies dapat menghasilkan tanaman sesuai dengan induknya merupakan salah satu cara konservasi anggrek. Perbanyakan dengan teknik kultur in vitro merupakan cara dengan menggunakan media buatan dan dilakukan di laboratorium. Teknik ini memerlukan tambahan peralatan maupun keterampilan yang dapat dipelajari. Hasil perbanyakan anggrek melalui biji, dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak. Dengan mempelajari teknik aklimatisasi dan pembesaran tanaman, maka hasil perbanyakan ini dapat menghasilkan tanaman yang siap disumbangkan ke petani anggrek, ataupun dikembalikan ke habitat asalnya. Dengan adanya perbanyakan tanaman hasil budidaya ini diharapkan dapat mengurangi pengambilan tanaman anggrek dari hutan dan sebagai gantinya tanaman hasil budidaya inilah yang dapat diperjual belikan. Penggunaan spesies potensial untuk induk silang merupakan cara konservasi pula. Para
iptek hortikultura
penyilang mengoleksi spesies yang terseleksi dan memiliki keistimewaan ataupun mempunyai sedikit perbedaan. Spesies terseleksi tersebut digunakan sebagai induk silang, sehingga menghasilkan hibrida baru, yang akhirnya menambah kekayaan anggrek dunia. Ajang pameran dan kontes spesies anggrek, maupun hibrida dapat menggugah kesadaran masyarakat lebih menghargai kekayaan alam maupun campur tangan manusia untuk menghasilkan suatu karya besar untuk dinikmati keindahannya. Kesadaran inilah yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kiat budidaya, sehingga menghasilkan tanaman yang mempunyai nilai tambah. Tanaman hasil eksplorasi dari hutan tidak hanya dijual dalam bentuk karungan, namun ditingkatkan menjadi komoditas berkualitas. Pembinaan terhadap para pedagang dan para pengumpul anggrek diperlukan agar pengambilan anggrek dilakukan seperlunya saja, tanpa menyebabkan kepunahan tanaman pada habitat aslinya, apalagi dengan cara merusak habitatnya. Pembinaan masyarakat melalui para Ketua adat diharapkan dapat lebih efektif dan mengena. Usaha yang dilakukan Balai Penelitian Tanaman Hias, yaitu mengoleksi sejumlah spesies Phalaenopsis, kemudian dilakukan penyerbukan pada tanaman yang berbunga untuk mendapatkan buah dan biji. Buah yang siap dipanen disemai dengan teknik kultur in vitro untuk mendapatkan planlet yang siap diaklimatisasi sebagai bahan tanaman hasil perbanyakan. Hasil Koleksi Sejumlah 31 spesies Phalaenopsis dikoleksi oleh Balai Penelitian Tanaman Hias mulai tahun 2009 sampai 2011, koleksi dilakukan dengan cara mendapatkannya dari para pemburu maupun kolektor anggrek dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi. Spesies Phalaenopsis tersebut tidak saja berasal dari Indonesia , ada pula yang berasal dari Filipina, Malaysia, Burma, dan Jerman (bukan asli tanaman dari Jerman, melainkan hasil seleksi yang kemudian diperbanyak secara klonal). Phalaenopsis yang dikoleksi berupa tanaman induk yang sudah
berbunga maupun siap berbunga. Spesies yang dikoleksi yaitu P. gigantea J.J. Smith, P. corningiana Rchb. f., P. inscriptionensis, P. maculata Rchb.f., P. lowii, P. bellina, P. cornu cervi (Breda) Blume. Rchb.f., P. celebensis Sw, P. lindenii, P. violacea Sumatra Witte, P. florecensis, P. pallen, P. equestris, P. fuscata Rchb.f., P. amboinensis J.J. Smith, P. venosa P. S. Shim & Fowlie, P. sumatrana Korth & Rchb.f., P. fimbriata J. J. Smith, P. cornu cervi alba, P. equestris flava, P. bastiani, P. pulchra, P. fasciata Rchb.f., P. lueddemanniana, P. ambonensis ‘Ambon’, P. viridis J. J. Smith, P. mariae Burbidge, P. mannii, P. modesta J. J. Smith, P. schileriana, dan P. hieroglyphica. Hasil koleksi tersebut dipelihara dalam rumah plastik dengan penambahan net kerapatan 65%, kelembaban lokasi penanaman dilakukan dengan pengabutan halus sejak pk 08.00 sampai 16.00. pemupukan dilakukan menggunakan pupuk organik 2x/minggu, pengendalian hama dan penyakit disesuaikan dengan dinamika hama dan penyakit yang ada. Keberhasilan Penyerbukan Tanaman yang berbunga disilangkan untuk mendapatkan buah maupun biji. Penyerbukan dilakukan dengan cara selfing yaitu perkawinan dalam satu bunga jika hanya ada satu bunga dalam satu tanaman, juga cara sibling yaitu antarbunga dalam satu tanaman, untuk tanaman yang memiliki lebih dari satu bunga. Tidak semua spesies berhasil dikawinkan dan berhasil membentuk buah dan biji. Demikian pula dari buah yang dihasilkan dan biji yang disemai, tidak semua biji berhasil berkecambah dengan baik. Phalaenopsis gigantea, P. bellina, P. violacea Sumatra, P.venosa, P. modesta, dan P. hieroglypica. Pada P. manii, buah yang disemai berhasil berkecambah dengan baik dan protocorm sangat padat. Pada P. corningiana, P. amboinensis, P. bastiani, P. pulchra, P. fasciata, P. lueddemanniana, P. viridis, P. mannii, P. schileriana, dan P. mariae, protocorm yang dihasilkan hanya sedikit, sedang pada P. lindenii, P. florecensis, P. sumatrana, dan P. ambonensis Ambon buah yang disemai tidak berkecambah dan pada P. celebencis buah yang terbentuk tidak menghasilkan biji. 31
No. 8 - November 2012
Umur Buah Masak Spesies Phalaenopsis yang berbeda mempunyai umur kemasakan buah yang berbeda pula. Buah yang dipanen masih pada kondisi warna hijau, persentase berkecambah lebih tinggi daripada buah yang dipanen saat sudah masak dan menguning. Buah yang masak apabila diiris akan terlihat kumpulan biji sudah lepas dari testanya apa dan warna biji sudah kecoklatan. Pada P. violacea yang dipanen pada umur buah 4, 5, dan 6 bulan menunjukkan hasil perkecambahan yang berbeda walaupun disemai pada media yang sama. Pada umur buah 6 bulan, biji sudah kecoklatan lambat berkecambah yaitu sampai lebih dari 7 bulan setelah semai dan persentase berkecambah kecil, demikian pula pada P. bellina, P. corningiana. Dari penelitian Yamazaki & Miyoshi (2006), menyatakan bahwa dengan observasi histologi pada biji yang masak ada akumulasi bahan seperti lignin di dalam integumen di sekitar embrio selama pemasakan buah dan mengakibatkan dormansi.
baik yaitu jumlah biji yang berkecambah padat dan warna biji yang berkecambah hijau, cepat berkecambah yaitu dalam 2 bulan berwarna hijau seperti lumut dan berhasil membentuk protocorm (Gambar 1). Dari hasil penelitian, spesies yang berbeda memerlukan komposisi media yang berbeda pula. Beberapa spesies dapat tumbuh baik pada satu komposisi media tertentu, namun ada yang tidak dapat tumbuh baik pada media tersebut, sehingga memerlukan komposisi yang berbeda. Dari tiga fase subkultur, persemaian (T1), subkultur pertama (T2), subkultur kedua (T3), subkultur ketiga (T4), subkultur pertama ialah
A B C Media Perkecambahan dan Subkultur Gambar 1. Biji yang berkecambah sedikit (A), biji Perkecambahan biji pada anggrek Phalaenopsis yang berkecambah sedang (B), dan sangat bervariasi, ada yang berkecambah dengan biji yang berkecambah banyak (C). Tabel 1. Spesies Phalaenopsis terkoleksi dan asalnya Nama spesies P. gigantea J.J. Smith P. corningiana Rchb. f. P. inscriptionensis P. maculata Rchb.f. P. lowii P. bellina P. cornu cervi (Breda)Blume. Rchb.f. P. celebensis Sw P. lindenii P. violacea Sumatra Witte P. florecensis P. pallen P. equestris P. fuscata Rchb.f. P. amboinensis J.J. Smith P. venosa P. S. Shim & Fowlie P. sumatrana Korth & Rchb.f. P. fimbriata J. J. Smith P. pulcherima’ Red Splash’ P. cornu cervi alba P. equestris flava P. bastiani P. pulchra P. fasciata Rchb.f. P. lueddemanniana P. ambonensis ‘Ambon’ P. viridis J. J. Smith P. mariae Burbidge P. mannii P. modesta J. J. Smith P. schileriana P. hieroglyphica
32
Habitat asli Kalimantan Kalimantan Sumatra Kalimantan Burma Kalimantan Kalimantan Sulawesi Philipina Sumatra Flores Philipina Philipina Malaysia Sulawesi Sulawesi Sumatra Jawa Timur Jerman Jerman Philipina Philipina Philipina Philipina Ambon Sumatra Philipina India Kalimantan Philipina Philipina
Keberhasilan membentuk buah + + +
Keberhasilan berkecambah padat sedikit
+ + + + +
Sedikit,padat Buah kosong Tidak berkecambah Sedikit, padat Tidak berkecambah
+
Tidak terjadi buah
+ + +
sedikit padat Tidak berkecambah
+ + + + + + + + + +
sedikit sedikit
sedikit
+ +
sedikit padat
sedikit sedikit sedikit sedikit Tidak berkecambah sedikit
iptek hortikultura
Tabel 2. Kesesuaian komposisi media untuk beberapa spesies Phalaenopsis Media 1 Media 2 (KC 70%) (1/2 MS) T1 T2 T3 T1 T2 T3 P. violacea _ _x ++ + ++ ++ P. bellina _ _ ++ + ++ ++ P. violacea blue + _ ++ + + ++ P. gigantea + + + + ++ + P. ambonensis _ _x + + + + P. venosa ++ ++ ++ ++ ++ ++ P. venosa kuning ++ ++ ++ ++ ++ ++ P. hieroglypica + ++ ++ + + + Keterangan: (_) tumbuh tidak baik, (x) mati,(+) tumbuh cukup baik, (++) tumbuh sangat baik Spesies Phalaenopsis
A
B
C
Gambar 2. Hasil subkultur T2, hijau segar (A), sebagian protocorm mati (B), terbentuk kalus dan terdapat fenol (C).
fase yang paling kritis. Waktu subkultur, kondisi protocorm, komposisi media sangat menentukan keberhasilan tanaman hidup dan tumbuh. Waktu subkultur pertama sebaiknya dilakukan setelah protocorm sudah agak terpisah dan masing-masing protocorm terdapat bentuk seperti daun. Dari sejumlah komposisi media yang dicobakan diperoleh empat komposisi media, yaitu Knudson modifikasi 100%, Knudson modifikasi 70%, MS 100%, dan ½ MS dengan dan tanpa arang aktif terseleksi untuk beberapa spesies
Phalaenopsis. Dari empat macam komposisi tersebut, ada dua macam komposisi media terseleksi yaitu KC 70% dan ½ MS. Pada kedua komposisi media tersebut protocorm dapat tumbuh baik pada sejumlah spesies. Spesies tertentu hanya sesuai pada satu komposisi media saja, tetapi ada beberapa spesies dapat tumbuh baik pada kedua komposisi media yang diuji (Tabel 1). Media untuk semai tidak menggunakan arang aktif dan menggunakan air kelapa dan mulai fase T2, T3,
1
2
3
4
Gambar 3. 1. P. belina, 2. P. venosa, 3. P. violacea Sumatra, 4. P. amboinensis
33
No. 8 - November 2012
dan T4 media perlu ditambahkan arang aktif, tanpa air kelapa. Pada Tabel 2, nampak bahwa perkecambahan biji P.violacea, P. bellina, dan P. amboinensis pada media KC 70% sangat rendah dan pada subkultur pertama P. violacea dan P. amboinensis sangat sedikit yang tumbuh bahkan banyak yang mati. Pada P. amboinensis pertumbuhan yang ada berasal dari protocorm yang menjadi coklat seperti mati, kemudian setelah beberapa bulan tumbuh kalus diatas protocorm tersebut, setelah kalus berukuran kira-kira 0,5 cm dapat disubkultur pada media ½ MS tanpa arang aktif, kemudian kalus berkembang menjadi banyak. Pada spesies P.violacea dan P. amboinensis, subkultur pertama merupakan fase paling kritis dan hanya tumbuh baik pada media ½ MS tanpa arang aktif, namun demikian pada subkultur selanjutnya pertumbuhan protocorm maupun planlet dapat tumbuh dengan baik pada kedua media dengan penambahan arang aktif. Komposisi media MS lebih kaya hara makro dan mikro dibanding media KC juga adanya vitamin, sedang pada KC tidak menggunakan vitamin. Pada saat subkultur pertama tersebut merupakan saat terjadinya inisiasi daun dan ternyata kebutuhan akan hara lebih tinggi. Untuk spesies lain terutama P. venosa komposisi media tidak memengaruhi pertumbuhan protocorm dari awal inisiasi sampai planlet, sehingga dari tabel diatas dapatlah disimpulkan untuk P.violacea, P. bellina dan P. amboinensis sebaiknya pada subkultur pertama digunakan media ½ MS tanpa arang aktif, sedangkan untuk subkultur selanjutnya yaitu T3 atau T4 dapat digunakan KC 70% atau ½ MS dengan penambahan arang aktif. Untuk spesies lain yang telah dicoba secara umum kedua media dapat digunakan dari mulai semai sampai planlet. KESIMPULAN
media yang sesuai untuk tumbuh baik. Ada dua komposisi media yang dapat direkomendasikan pada fase subkultur pertama untuk beberapa spesies Phalaenopsis yaitu Knudson C 70% modifikasi dan ½ Murashige & Skoog dengan penambahan bahan organik kentang dan pepton, sedang untuk subkultur kedua pada media tersebut perlu ditambahkan arang aktif. PUSTAKA 1. Christenson, EA 2001, Phalaenopsis, A Monograph, Timber Press, Portland, Oregon, hlm. 330. 2. Hossain, MM 2008, ‘Asymbiotic seed germination and in vitro seedling development of Epidendrum ibaguense Kunth (Orchidaceae)’, African J. Biotechnol, vol. 7, no. 20, pp. 3614-19. 3. Dutra, D, Kane ME & Richardson L 2009, ‘Asymbiotic seed germination and in vitro seedling development Cytropodium punctatum: a propagation protocol for endangered Florida native orchid’, Plant Cell Tiss Organ Culture, vol. 96, pp. 235-43. 4. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003, Eksplorasi Flora di kawasan Cagar Alam/Taman Wisata Alam Sibolangit dan Hutan Lindung Sibayak Sumatera Utara, Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor, Bogor. 5. Phyto Technology Laboratories, Technical Support Information. Orchid seed and Tissue culture media recommendation guide. 6. Saifulah 2007, Flora langka: anggrek Kalimantan terus diburu, Kompas 30-10-2007. 7. Sauleda, RP 1976, ‘Harvesting times of orchid seed capsules for the green pod culture process, Am. Orchid Soc. Bull. 8. Shadang, R, Dwivedi P, Hedge, SN & Ahmed, N 2007, ‘Effect of different media on seed germination and subsequent in vitro development of protocorms Hygrochilus parishii ( Veith & Rchb.f) Pfitz (Orchidaceae)’, Indian J. Biotechnol., vol. 6, pp. 256-61. 9. Science Daily, 2008, Wild orchids in borneo: is
Perbanyakan anggrek Phalaenopsis spesies there time to save thousands of species from extincmenggunakan biji merupakan salah satu metode tion July 22. konservasi anggrek spesies. Fase kritis untuk 10. Siregar, C, Listiawati, A & Purwaningsih 2005, perbanyakan Phalaenopsis spesies dari biji yaitu Anggrek spesies Kalimantan Barat vol. 1, Lembaga subkultur pertama sesudah persemaian. Setiap Penelitian & Pengembangan Pariwisata Kalimantan Barat. spesies Phalaenopsis memerlukan komposisi 34
iptek hortikultura
11. Thomas & Schuiteman 2002, ‘Orchids of Sulawesi and Maluku, A Preliminary Catalogue’, Lidleyana , vol. 17, no. 1, pp. 1-72.
12. Yamazaki, Jun & Miyoshi K 2006, ‘In vitro asymbiotic germination of immature seed and formation of protocorm by Cephalanthera falcata (Orchidaceceae)’, Annals of Bot, vol. 98, pp. 1197-206.
Herlina, D Balai Penelitian Tanaman Hias Jl. Raya Ciherang-Pacet, Segunung-Cianjur Jawa Barat 43253
35