HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN PADANG
SAIDA BATTY
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Bioavailabilitas intake Zat Besi dengan Status Anemia Remaja di Yogyakarta dan Padang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Saida Batty NIM I14090122
ABSTRAK SAIDA BATTY. Hubungan antara Bioavailabilitas Intake Zat Besi dengan Status Anemia Remaja di Yogyakarta dan Padang. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI dan LILIK KUSTIYAH. Masalah gizi mikro merupakan masalah gizi yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Defisiensi besi merupakan salah satu contoh masalah gizi mikro dan dapat menyebabkan terjadinya anemia. Defisiensi zat besi disebabkan oleh kurangnya intake zat besi atau intake zat besi sudah cukup namun dengan bioavailabilitas yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi dengan stasus anemia remaja di Kota Padang dan Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dan menggunakan sebagian data dari penelitian Dwiriani et al. (2013). Contoh dalam penelitian ini adalah siswa SMA di Padang (101 orang) dan Yogyakarta (98 orang) yang diperoleh secara purposive. Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh di Yogyakarta signifikan lebih tinggi daripada contoh di Padang kecuali kalsium. Rata-rata kadar Hb contoh di Yogyakarta dan Padang relatif sama, namun contoh yang mengalami anemia di Yogyakarta (23.5%) relatif lebih tinggi daripada di Padang (12.9%). Terdapat hubungan signifikan yang positif (p<0.05) antara bioavailabilitas zat besi dengan status anemia remaja. Kata kunci: bioavailabilitas, asupan zat besi, status anemia, remaja
ABSTRACT SAIDA BATTY. Relationship between Bioavailability of Iron Intake and Anemic Status of Adolescent. Supervised by CESILIA METI DWIRIANI and LILIK KUSTIYAH. Micronutrient deficiency is common among developing countries like Indonesia. Iron deficiency is one of micronutrient deficiency and may causes of anemia. Iron deficiency is the result of low intake of iron and/or low bioavailability of iron intake. The aim of this research is to analyze the relationship between bioavailability of iron intake and anemia status of adolescent in Padang and Yogyakarta. Design of this research was cross sectional and using secondary data from Dwiriani et al. (2013). Subject of this research were high school student from Padang (n=101) and Yogyakarta (n=98) that were chosen purposively. Average of intake and adequacy of energy and nutrient in Yogyakarta were higher than in Padang, except for calcium. Average of haemoglobin level in Yogyakarta and Padang were relatively same. However anemic students were slightly higher in Yogyakarta (23.5%) than in Padang (12.9%). There was significant positive correlation (p<0.05) between bioavailability of iron intake and anemia status. Keywords: bioavailability, iron intake, anemia status, adolescent
HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN PADANG
SAIDA BATTY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Nama NIM
: Hubungan antara Bioavailabilitas Intake Zat Besi dengan Status Anemia Remaja di Yogyakarta dan Padang. : Saida Batty : I14090122
Disetujui oleh
Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani MSc Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Dr Ir Lilik Kustiyah Msi Pembimbing II
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Hubungan antara Bioavailabilitas Intake Zat Besi dengan Status Anemia Remaja di Yogyakarta dan Padang. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu juga kepada teman-teman Gizi Masyarakat angkatan 47 atas dukungan dan bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014 Saida Batty
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan
2
Manfaat
2
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE
4
Desain, Tempat dan Waktu
4
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
4
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
4
Pengolahan dan Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Karakteristik Contoh
7
Karakteristik Keluarga
8
Frekuensi Konsumsi Pangan
10
Intake dan Tingkat Kecukupan Gizi (TKG)
11
Bioavailabilitas Zat besi
14
Status Anemia
16
Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan TKG
17
Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Status Anemia 19 Hubungan antara Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani dengan Kadar Hb
20
Hubungan antara TKG dengan Status Anemia
20
Hubungan antara Bioavailabilitas Zat Besi dengan Status Anemia
21
SIMPULAN DAN SARAN
21
Simpulan
21
Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
27
DAFTAR TABEL 1 Jenis dan cara pengumpulan data
5
2 Contoh dan perhitumgan bioavailabilitas besi dengan metode Du et al (2000) 6 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh di Yogya dan Padang 8 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga di Yogya dan Padang 9 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua di Yogya dan Padang 10 6 Frekuensi konsumsi pangan contoh di Yogya dan Padang 11 7 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan gizi contoh perhari di Yogya dan Padang 12 8 Tingkat kecukupan zat gizi makro di Yogya dan Padang 13 9 Tingkat kecukupan zat gizi mikro di Yogya dan Padang 14 10 Perhitungan bioavailabilitas besi contoh di Yogya dan Padang 14 11 Bioavailabilitas besi contoh di Yogya dan Padang 15 12 Sebaran contoh berdasarkan bioavailabilitas besi di Yogya dan Padang 16 13 Sebaran contoh berdasarkan status anemia di Yogya dan Padang 16 14 Status anemia berdasarkan jenis kelamin contoh di Yogya dan Padang 17 15 Sebaran contoh berdasarkan status anemia umur dengan tingkat kecukupan vitamin A dan zat besi 17 16 Sebaran tingkat kecukupan gizi berdasarkan pendidikan ayah 18 17 Sebaran tingkat kecukupan gizi berdasarkan pendidikan ibu 19 18 Sebaran frekuensi konsumsi pangan hewani dengan kadar Hb 20 19 Sebaran tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi dengan status anemia 21
DAFTAR GAMBAR 1 Bagan kerangka pemikiran hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi
dengan status anemia remaja di Yogyakarta dan Padang
4
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji hubungan
24
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Generasi muda yang berkualitas adalah modal pembangunan dan kemajuan suatu negara. Oleh sebab itu kualitas kehidupan remaja harus ditingkatkan melalui pemenuhan kebutuhan gizinya agar terhindar dari masalahmasalah gizi. Masalah gizi adalah gangguan kesehatan perorangan atau masyarakat akibat tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari makanan (Soekirman 2000). Hingga saat ini masalah gizi yang banyak dialami oleh remaja di negara berkembang, termasuk Indonesia adalah anemia, stunting dan underweight (Dickey et al. 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia remaja ditingkat nasional sebesar 21.7%, dengan perbandingan laki-laki 18.4% dan perempuan 23.9% (Depkes 2013). Anemia defisiensi besi merupakan bentuk anemia yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang berkembang seperti indonesia. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Anemia merupakan penurunan jumlah massa eritrosit dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Anemia biasanya ditunjukan oleh kadar hemoglobin kurang dari 12 mg/dl. Anemia pada remaja dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat, pembentukan sel otot kurang sehingga otot menjadi lemas, daya tahan tubuh menurun, prestasi berkurang dan terjadi perubahan perilaku (Stopler 2004). Penyebab utama anemia pada remaja umumnya jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Dickey et al. (2010) menyatakan selain ketidakcukupan jumlah zat besi dalam diet, (Rolfes dan Whitney 2008) serta ketersediaan biologis (bioavailabilitas) zat besi yang rendah dalam makanan juga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Bioavailabilitas merupakan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dapat diserap tubuh dengan zat gizi yang dikonsumsi (Palupi 2008). Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh faktor penghambat dan pendorong yang terdapat pada bahan pangan dalam diet. Faktor penghambat adalah zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain adalah asam fitat, asam oksalat, dan tanin yang terdapat dalam serealia, sayuran, kacang-kacangan dan teh. Sedangkan vitamin C adalah faktor pendorong yang dapat membantu penyerapan zat besi dalam tubuh. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonhem meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferrin di dalam plasma ke feritin hati. Semakin tinggi cadangan besi penyerapan zat besi akan menurun begitu juga sebaliknya (Almatsier 2002). Rolfes dan Whitney (2008) menjelaskan bahwa besi yang dapat diserap oleh sel-sel mukosa juga ditentukan oleh kekuatan ikatan besi-kelat, kelarutan dari kompleks, faktor lingkungan seperti pH dan adanya competiting chelator lainnya. Selama pencernaan, besi nonheme dapat berubah valensinya
2
dan secara cepat membentuk kompleks besi-kelat dengan ligan-ligan seperti asam askorbat, fitat, tanin, dan oksalat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi besi bukan merupakan penyebab utama terjadinya anemia. Defisiensi zat gizi lain seperti asam folat, seng, vitamin A juga dapat menjadi penyebab anemia. Menurut penelitian yang dilakukan pada kelompok usia tua di Amerika, rendahnya kadar serum vitamin B12 dalam darah berhubungan dengan kejadian anemia dan gangguan kognitif (Morris et al. 2007). Penelitian Zarianis (2006) menunjukkan bahwa pada anak sekolah dasar defisiensi besi bukan merupakan satu-satunya faktor utama penyebab anemia. Defisiensi vitamin C juga turut berperan dalam menimbulkan anemia. Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi anemia defisiensi besi salah satunya penyerapan zat besi oleh tubuh, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara anemia dengan bioavailabilitas zat besi pada remaja di Yogyakarta dan Padang. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi dengan status anemia remaja di Kota Yogyakarta dan Padang? Tujuan Tujuan Umum Menganalisis hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi dengan status anemia pada remaja di Kota Yogyakarta dan Padang. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mempelajari karakteristik contoh dan keluarga contoh di Yogyakarta dan Padang 2. Mempelajari frekuensi konsumsi pangan, intake energi dan zat gizi, bioavailabilitas zat besi dan status anemia contoh 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga dengan konsumsi pangan serta intake energi dan zat gizi contoh 4. Menganalisis hubungan antara frekuensi konsumsi panggan serta intake energi dan zat gizi dengan bioavailabilitas zat besi dan status anemia. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi dengan status anemia pada siswasiswi Sekolah Menengah Atas. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengatasi permasalahan anemia pada remaja di Indonesia.
3
KERANGKA PEMIKIRAN Anemia adalah suatu keadaan fisiologis dimana kadar hemoglobin dibawah normal. Anemia yang umumnya terjadi adalah anemia defisiensi besi. Salah satu penyebab utama anemia defisiensi besi adalah kurangnya konsumsi pangan hewani sumber protein dan zat besi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi anemia defisiensi besi baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya yaitu karakteristik keluarga. Keadaan karakteristikyang rendah menyebabkan ketersediaan zat besi dalam makanan yang rendah sehingga praktek pemberian makanan yang kurang baik dan jumlah zat besi dalam makanan pun kurang. Selain itu juga dipengaruhi oleh penyerapan dalam tubuh atau bioavailabilitas. Karakteristik individu dan karakteristik keluarga juga mempengaruhi konsumsi pangan dan intake seseorang yang selanjutnya akan mempengaruhi status anemia seseorang. Umur, jenis kelamin dan besar uang saku siswa mempengaruhi status anemia seseorang. Begitu juga dengan besar keluarga, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua mempengaruhi konsumsi pangan dan intake sesorang. Orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi akan mempunyai peluang lebih besar untuk memperoleh pekerjaan dengan gaji lebih besar sehingga peluang untuk menyediakan pangan lebih baik dalam hal jumlah dan kualitas akan lebih besar. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka konsumsi pangan dan intake anak semakin baik. Bioavailabilitas zat besi tergantung pada jenis protein yang dikonsumsi, karena pada umumnya Fe yang terdapat pada protein hewani lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan Fe pada protein nabati. Hal ini disebabkan oleh bentuk Fe di dalam masing-masing protein berbeda-beda. Bioavailabilitas zat besi juga dipengaruhi oleh zat-zat yang menghambat penyerapan Fe seperti tanin, asam oksalat, dan asam fitat. Penyerapan Fe juga dipengaruhi oleh vitamin C yang dapat mereduksi ferri dalam pangan protein nabati menjadi ferro sehingga lebih mudah diserap oleh usus. Hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi dengan status anemia secara ringkas disajikan pada Gambar 1.
4
Karakteristik contoh: 1.Umur 2.Jenis kelamin 3.Besar uang saku
Karakteristik keluarga: 1.Besar keluarga 2.Pendidikan orang tua 3.Pekerjaan orang tua
Frekuensi konsumsi pangan dan Intake energi & zat gizi contoh Bioavailabilitas zat besi
Status Anemia
Infeksi
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi dengan status anemia remaja di Yogyakarta dan Padang
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain crosssectional study. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu sebagian data penelitian Dwiriani et al. (2013) yang berjudul Pengembangan Model Pendidikan Gizi Berbasis Web Untuk Perbaikan Perilaku Remaja. Penelitian tersebut dilakukan di dua kota yaitu Yogyakarta dan Padang dengan contoh siswa/I yang berasal dari dari dua SMA negeri dan dua SMA swasta. Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai Agustus 2014. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Teknik penarikan sampel peneliti sebelumnya dilakukan secara purposive dengan kriteria sebagai berikut: 1) Kelas sepuluh; 2) Bersedia diukur berat badan dan tinggi badan, serta pengambilan darah untuk pemeriksaan Hb. Dari masingmasing sekolah diambil kurang lebih 50 contoh sehingga jumlah contoh 199 orang. Pertimbangan diambilnya sampel kelas sepuluh agar pada tahun berikutnya masih dapat dilakukan pengambilan data sesuai dengan tujuan peneliti sebelumnya.
5
Jenis dan Cara Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi data karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan frekuensi konsumsi pangan dan intake energi dan zat gizi, dan kadar Hb. Jenis Data dan cara pengumpulan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data Data Karakteristik contoh - Umur - Jenis kelamin - Uang saku Karakteristik keluarga - Besar keluarga - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua Frekuensi konsumsi pangan Intake energi dan zat gizi Status anemia - Kadar Hb
Cara pengumpulan data
Alat pengumpul data
Pengisian Kuisioner Pengisian Kuisioner Pengisian Kuisioner
Kuesioner Kuesioner Kuesioner
Pengisian Kuisioner Pengisian Kuisioner Pengisian Kuisioner (Food Frequecy Quisioner) FFQ Food Recall 1x24 jam
Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuisioner
Pengukuran langsung
Hemocue
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan cara pengecekan ulang (cleaning) dan analisis data. Data diolah dengan Microsoft Excel. Data yang dianalisis meliputi karakteristik contoh dan keluarga, kebiasaan makan, intake energi dan zat gizi, status gizi dan bioavailabilitas zat besi. Karakteristik contoh dan keluarga meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, besar keluarga, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua. Jenis kelamin dikategorikan menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. Sedangkan variabel uang saku siswa ditentukan menggunakan rata-rata standar deviasi atau median. Variabel karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi besar keluarga, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua. Besar keluarga dikategorikan menjadi 3 berdasarkan Hurlock (1998) yaitu keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, sedang jika 5-7 orang, dan besar jika ≥ 8 orang. Pendidikan orang tua dilihat dari lamanya menempuh pendidikan formal terakhir kemudian dikategorikan berdasarkan tingkat pendidikan yaitu SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, serta akademi/Perguruan Tinggi (PT). Pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi tidak bekerja (IRT), buruh tani, jasa (ojek/sopir), PNS/ABRI/Polisi, karyawan swasta, profesi (dokter/dosen), Wirausaha dan lainnya. Konsumsi pangan dan intake energi dan zat gizi lainnya diukur dari food recall 1x24 jam. Konsumsi zat gizi yang dihitung yaitu energi, protein, lemak, vitamin A, vitamin C, kalsium, fosfor dan zat besi. Variabel tersebut dihitung dengan mengkonversi gram makanan ke dalam bentuk zat gizi menggunakan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994) sebagai berikut: KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
6
Keterangan: KGij = kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g) Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gr BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dihitung berdasarkan angka kecukupan. Berikut rumus tingkat kecukupan zat gizi yang dianjurkan: TKG = (K x AKGi) x 100% Berdasarkan pada acuan dari Departemen Kesehatan RI (1996) tingkat kecukupan energi, protein dan lemak dikelompokkan menjadi lima, yaitu defisit tingkat berat (< 70% AKG), defisit tingkat sedang (70% - 79% AKG), defisit tingkat ringan (80% - 89% AKG), cukup atau normal (90% - 119% AKG), dan kelebihan (>120% AKG). Tingkat kecukupan besi, kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C dikelompokkan menjadi cukup (≥ 77 % AKG) dan kurang (< 77 % AKG) (Gibson 2005). Status anemia siswa dapat diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah. Kadar Hb ditentukan berdasarkan jenis kelamin dan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu kurang (laki-laki <13 g/dl dan perempuan <12 g/dl) dan normal (laki-laki ≥13 g/dl dan perempuan ≥12 g/dl). Jika kadar Hb siswa rendah maka dapat dikategorikan anemia. Status anemia dikategorikan menjadi dua, yaitu anemia dan tidak anemia. Bioavailabilitas zat besi diukur menggunakan metode Du et al. (2000) yang ditentukan oleh besi heme dan nonheme. Langkah-langkah dalam menganalisis bioavailabilitas zat besi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Contoh perhitungan bioavailabilitas besi dengan metode Du et al. (2000). Total Hewani (g)
Fe (mg)
1
2
Vit C (mg)
3
Besi Heme (mg) 4
Besi Non Heme (mg) 5
Bioavailabilitas (%) Heme Non Heme 6 7
Besi Terserap Heme (mg) 8
Non Heme (mg) 9
Persen Total (%) Total (mg) 10
11
Keterangan : 1. Kolom pertama menunjukan jumlah pangan hewani (g) yang dikonsumsi selama sehari 2. Kolom kedua dan ketiga menunjukan jumlah total zat besi (mg) dan vitamin C (mg) dari setiap pangan yang dikonsumsi 3. Kolom keempat menunjukan besi heme (mg) yang diperoleh dengan cara mengalikan faktor heme atau nilai tetapan literature (0.4) dengan total zat besi (Kolom 2) 4. Kolom kelima menunjukan besi non heme yang merupakan selisih dari total zat besi (Kolom 2) dan besi heme (Kolom 4) 5. Kolom keenam menunjukan bioavailabilitas heme yaitu 23%. 6. Kolom ketujuh menunjukan bioavailabilitas non heme (%), yang diperoleh dengan rumus = 1.7653 + 1.1252 ln (Efs / Ifs) Keterangan: Efs = Vit C (mg) + protein hewani (g) + sayur dan buah (g) + 1
7
Ifs = Serealia (g) + kacang-kacangan (g) + teh (g) + 1
7. Kolom kedelapan menunjukan penyerapan besi heme (mg) yang diperoleh dengan cara mengalikan bioavailabilitas heme (Kolom 6) dengan besi heme (Kolom 4) 8. Kolom kesembilan menunjukan penyerapan besi non heme (mg) yang diperoleh dengan cara mengalikan bioavailabilitas non heme (Kolom 7) dengan besi non heme (Kolom 5) 9. Kolom kesepuluh menunjukan total penyerapan (mg) yang diperoleh dengan cara menjumlahkan total penyerapan heme (Kolom 8) dan total penyerapan non heme (Kolom 9) 10. Kolom kesebelas menunjukan total persen (%)yang diperoleh dengan cara total penyerapan (Kolom 10) dibagi jumlah zat besi (Kolom 1) dikali 100. Metode Du et al (2000) memiliki keunggulan dibandingkan dua metode lainnya yaitu metode WHO (FAO/WHO 1988) dan metode Monsen (Monsen et al. 1982). Metode ini melihat dari jenis besi yang dikonsumsi dan intake dari recall 1x24 jam. Sehingga semua jenis pangan yang dikonsumsi baik serealia, kacang-kacangan, sayuran, buah dan minuman diperhitungkan. Akan tetapi kelemahan dari metode ini yaitu tidak memperhitungkan serat yang terdapat dalam faktor pendorong bioavailabilitas yaitu sayuran dan buah karena metode ini lebih fokus melihat kadar vitamin dan mineral dalam buah dan sayuran. Metode WHO menghitung bioavailabilitas dari jenis besi (heme atau nonheme) dan intake vitamin C dari total konsumsi makanan. Intake konsumsi sebagai faktor estimasi untuk bioavabilitas besi heme dan nonheme, sedangkan asumsi vitamin C dilihat dari persentasi mg vitamin C di dalam daging yang dikonsumsi. Metode Monsen menghitung bioavailabilitas dari enhancing factors (EF). Faktor tersebut adalah vitamin C dan protein hewani. Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0 for Windows. Data yang memiliki sebaran data normal dianalisis menggunakan uji beda Independet T-test sedangkan sebaran data tidak normal menggunakan Mann Whitney. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi ChiSquare dan Spearman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Contoh Karakteristik contoh dalam penelitian ini terdiri dari umur, jenis kelamin dan besar uang saku. Contoh dalam penelitian ini berumur antara 14-17 tahun dengan median 15 tahun. Menurut Hurlock (1998) umur 14-17 tahun ini tergolong dalam masa remaja awal. Pada usia ini remaja memasuki suatu masa yang disebut dengan pubertas, yang merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Masa remaja awal merupakan pertumbuhan paling pesat diantara masa remaja lainnya. Selain itu, pada masa ini juga terjadi pematangan konsep diri yang banyak diperoleh dari pengalaman, lingkungan, teman dan keluarga, sehingga
8
akan berdampak pada kebiasaan makan remaja (Sharlin dan Edelstein 2011). Pada usia ini juga remaja biasanya sudah dapat menentukan makanannya sendiri sesuai keinginan dan kesukaanya tanpa mempertimbangkan dari segi kesehatan dan gizi. Contoh dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki (97) dan perempuan (102) dengan proporsi yang relatif sama sesuai dengan pengambilan contoh penelitian sebelumnya (Dwiriani et al. 2013). Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3. Besar uang saku adalah uang yang diberikan oleh orang tua secara harian atau minggu atau bulanan yang digunakan untuk membeli jajan di sekolah atau di luar rumah. Uang saku ditentukan berdasarkan rata-rata standar deviasi. Rata-rata uang saku contoh adalah Rp 10 000±Rp 15 800 dengan kisaran antara Rp 1 000Rp 15 000. Rata-rata uang saku contoh di SMA Yogya adalah Rp 10 000±Rp 10 200 dengan kisaran anrata Rp 1 400-Rp 11 000. Kisaran uang saku contoh di SMA Padang yaitu Rp 3 000- Rp 15 000 dengan rata-rata Rp 10 000±Rp 11 200. Contoh di SMA Padang lebih banyak mempunyai uang saku ≥Rp 10 000 dibandingkan contoh di SMA Yogya (Tabel 3). Hasil uji beda menunjukkan uang saku contoh di SMA Yogya berbeda nyata dengan uang saku contoh di SMA Padang (p<0.05). Uang saku contoh di SMA Padang lebih tinggi daripada uang saku contoh di SMA Yogya. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh di Yogya dan Padang Karakteristik Contoh Umur ( Tahun) 14 15 16 17 Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Uang Saku < Rp 10 000 ≥ Rp 10 000 Total
SMA Yogya n %
SMA Padang n %
Total
p
n
%
5 70 23 0 98
5.1 71.4 23.5 0 100
10 65 24 2 101
9.9 64.4 23.8 2 100
15 135 47 2 199
7.5 67.8 23.6 1 100
48 50 98
49 51 100
49 52 101
48.5 51.5 100
97 102 199
48.7 51.3 100
0.948
76 22 98
77.6 22.4 100
59 42 101
58.4 41.6 100
135 64 199
67.8 32.2 100
0.000
0.876
Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga contoh terdiri dari besar keluarga contoh, pendidikan orang tua contoh dan pekerjaan orang tua contoh. Besar keluarga adalah besar anggota dalam rumah tangga yang tinggal dalam satu lingkup rumah terdiri dari ayah, ibu, anak, dan kerabat lainnya serta hidup dari sumber penghasilan yang sama. Kisaran besar keluarga contoh di Yogya yaitu 3-8 orang dengan median 4 orang. Sedangkan kisaran besar keluarga contoh di Padang yaitu 2-10 orang dengan median 5 orang. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh di Yogya maupun Padang mempunyai keluarga sedang yang terdiri atas 57 orang. Contoh di SMA Yogya lebih banyak mempunyai keluarga kecil yaitu 52% sedangkan contoh di Padang lebih banyak memiliki keluarga sedang yaitu
9
57.4%. Hasil uji beda menunjukkan besar keluarga contoh di SMA Yogya tidak berbeda yang nyata dengan besar keluarga contoh di SMA Padang (p≥0.05). Besar keluarga sangat menentukan pemenuhan kebutuhan pangan dalam keluarga tersebut. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, semakin meningkat pula biaya pengeluaran pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga tersebut (Arisman 2004). Tabel 4 menunjukkan sebagian besar pendidikan ayah contoh baik SMA Yogya maupun SMA Padang sampai Perguruan Tinggi yaitu (69.4%) dan (58.4%). Tingkat pendidikan ayah contoh di Yogya masih ada <SMA yaitu 1 orang, sedangkan contoh SMA Padang 4 orang. Hasil uji beda menunjukkan pendidikan ayah contoh di SMA Yogya berbeda nyata dengan contoh di SMA Padang (p<0.05). Sebagian besar pendidikan ibu contoh di SMA Yogya (69.4%) dan SMA Padang (58.4%) sampai Perguruan Tinggi. Di SMA Padang masih terdapat ibu contoh yang lulusan <SMA, sedangkan di SMA Yogya tidak ada. Hasil uji beda menunjukkan pendidikan ibu contoh di SMA Yogya tidak berbeda nyata dengan contoh di SMA Padang (p≥0.05). Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga di Yogya dan Padang Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Kecil (≤4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥8 orang) Total Pendidika Ayah < SMA SMA PT Total Pendidikan Ibu < SMA SMA PT Total
SMA Yogya n %
SMA Padang n %
Total
p
n
%
51 45 2 98
52 45.9 2 100
39 58 4 101
38.6 57.4 4 100
90 103 3 199
45.2 51.8 3 100
1 24 73 98
1 24.5 74.5 100
4 44 53 101
4 43.6 52.4 100
5 68 126 199
2.5 34.2 63.3 100
1 29 68 98
1 29.6 69.4 100
5 37 59 101
5 36.6 58.4 100
6 66 127 199
3 33.2 63.8 100
0.05
0.000
0.092
Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak termasuk pola konsumsi dan status gizi. Semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pekerjaan seseorang (Fikawati dan Syafiq 2009). Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan dapat menentukan pendapatan yang dihasilkan. Oleh sebab itu pendidikan dan pekerjaan akan mempengaruhi pemilihan dan daya beli terhadap makanan. Menurut Husaini (1989) praktek pemberian makanan yang kurang baik merupakan penyebab tidak langsung terjadinya anemia. Sebab itu pendidikan orang tua terutama ibu sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan anak. Tabel 5 menunjukkan bahwa contoh di SMA Padang lebih banyak memiliki ayah yang bekerja sebagai PNS/ABRI/Polisi (39.6%). Sedangkan di SMA Yogya lebih banyak memiliki ayah yang bekerja sebagai karyawan swasta (32.7%). Pekerjaan orang tua sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Semakin
10
tinggi pendidikan orang tua maka pekerjaan akan semakin baik, dengan demikian akan mempengaruhi pendapatan keluarga tersebut sehingga pemenuhan kebutuhan pangan dapat tercukupi. Sebagian besar ibu contoh di SMA Yogya (45.9%) maupun Padang (46.5%) memiliki ibu yang tidak bekerja yaitu sebagai ibu rumah tangga (IRT). Sedangkan ibu contoh yang bekerja baik di SMA Yogya maupun Padang lebih banyak sebagai PNS/ABRI/Polisi yaitu (17.3 % dan 33%). Pekerjaan ibu akan mempengaruhi pola makan keluarga. Ibu yang tidak bekerja yaitu sebagai ibu rumah tangga lebih memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan untuk keluarga. Karena dapat terlibat langsung dlam perencanaan menu sampai pengolahan makanan keluarga. Sedangkan ibu yang bekerja tidak memiliki waktu untuk memppersiapkan makanan keluarga sehingga keluarganya lebih sering memilih makan di luar (Sinaga et al. 2012). Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua di Yogya dan Padang Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan Ayah Tidak bekerja Buruh Jasa(Salon,jahit) PNS/ABRI/Polisi Karyawan Swasta Profesi(Dokter,dosen) Wirausaha Lainnya Total Pekerjaan Ibu Ibu Rumah Tangga Buruh Jasa(Salon,jahit) PNS/ABRI/Polisi Karyawan Swasta Profesi(Dokter,dosen) Wirausaha Lainnya Total
SMA Yogya n %
SMA Padang n %
3 1 1 22 32 11 22 6 98
3.1 1.0 1.0 22.4 32.7 11.2 22.4 6.1 100.0
2 7 2 40 21 9 18 2 101
45 0 1 17 10 8 12 5 98
45.9 0 1.0 17.3 10.2 8.2 12.2 5.1 100.0
47 2 1 33 4 8 6 0 101
Total n
%
2.0 6.9 2.0 39.6 20.8 8.9 17.8 2.0 100.0
5 8 3 62 53 20 40 8 199
2.5 4.0 1.5 31.2 26.6 10.1 20.1 4.0 100.0
46.5 2.0 1.0 32.7 4.0 7.9 5.9 .0 100.0
92 2 2 50 14 16 18 5 199
46.2 1.0 1.0 25.1 7.0 8.0 9.0 2.5 100.0
Frekuensi konsumsi pangan contoh Konsusmsi pangan diukur menggunakan FFQ. Frekuensi konsumsi pangan contoh diukur per minggu dalam satu bulan terakhir. Tabel 6 menunjukkan frekuensi konsumsi pangan contoh di SMA Yogya dan SMA Padang. Kelompok serealia yang sering dikonsumsi contoh adalah nasi. Protein yang sering dikonsumsi oleh contoh di SMA Padang daging sapi, daging ayam dan ikan, sedangkan di SMA Yogya lebih sering mengonsumsi telur dan tempe. Contoh di SMA Padang lebih sering mengonsumsi sayuran daripada contoh di SMA Yogya. Buah-buahan yang sering dikonsumsi oleh contoh di Yogya adalah jeruk dan pisang, sedangkan di Padang lebih sering megkonsumsi jeruk, papaya dan pisang. Contoh di Padang lebih sering megkonsumsi kopi dari pada contoh di Jogja. Hasil uji beda menunjukkan frekuensi konsumsi nasi, tempe dan telur
11
signifikan lebih tinggi di Yogya daripada Padang, sedangkan frekuensi konsumsi mie, daging sapi, ikan, wortel, jeruk, papaya dan pisang signifikan lebih tinggi di Padang daripada Yogya (p<0.05). Frekuensi konsumsi pangan contoh untuk makanan pokok (nasi) masih rendah dari yang dianjurkan yaitu 3-4 porsi/hari. Begitu juga dengan frekuensi konsumsi lauk hewani dan nabati. Rekomendasi Pedoman Gizi seimbang (PGS 2014) untuk konsumsi lauk nabati dan hewani per hari adalah 2-4 porsi. Sedangkan untuk sayuran dan buah berturut-turut adalah 3-4 dan 2-3 porsi/hari. Jika dibandingkan dengan anjuran PGS konsumsi contoh rata-rata masih rendah dari yang dianjurkan. Contoh di Yogya mengkonsumsi nasi 3 kali/hari sedangkan di Padang 2 kali/hari. Frekuensi konsumsi tempe di Yogya 1 porsi/hari sedangkan di Padang lebih rendah yaitu ½ - ¾ porsi/hari. Konsumsi daging sapi contoh di Padang ½ porsi/hari sedangkan di Yogya ¼ porsi/hari. Frekuensi konsumsi daging ayam contoh di Yogya dan Padang 1 porsi/hari sedangkan frekuensi konsumsi ikan contoh di Yogya lebih rendah dibandingkan di Padang yaitu ¼ porsi/hari dan ¾ porsi/hari. Tabel 6 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan contoh kali per minggu Jenis Pangan Makanan Pokok Nasi Mie Roti Jagung Kentang Lauk Nabati Tempe Tahu Daging Daging sapi Daging ayam Telur Ikan Sayuran Bayam Wortel Kangkung Buah-buahan Jeruk Papaya Pisang Apel Susu Makanan Sepinggan Bakso Siomay Teh Kopi
Frekuensi (kali/minggu) SMA Yogya SMA Padang 20.6±6.2 1.4±1.3 3.8±4.9 1.8±1.5 1.2±1.4
14.7±7.4 4.3±8.3 4.5±7.6 0.4±2.2 0.4±1.0
6.6±8.2 3.8±3.6
4.9±9.1 3.8±5.9
1.0±0.9 5.1±5.7 4.6±3.7 1.6±2.5
3.7±8.6 5.8±10.7 4.2±8.3 4.9±8.3
2.0±2.2 3.2±2.7 2.1±2.7
3.8±10.5 3.5±10.1 3.6±8.8
2.4±2.5 2.0±3.6 2.7±5.9 2.1±3.7 5.0±5.6
3.6±7.1 3.1±8.4 3.9±8.3 1.7±4.2 5.3±12.6
5.2±11.5 2.5±8.0 3.1±6.8 2.4±5.9
2.6±6.5 2.5±7.2 3.1±7.1 1.5±6.1
12
Intake dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi (TKG) Rata-rata intake dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi contoh di SMA Yogya lebih tinggi daripada contoh di SMA Padang. Rata-rata intake energi dan zat gizi contoh di SMA Yogya per hari yaitu 2049±890 kkal dengan intake terendah 603 kkal dan intake tertinggi 6011 kkal. Intake lemak 53.6±35.1 g dengan intake terendah 11.3 g dan intake tertinggi 252 g. Nilai median intake protein 58.4 g, kalsium 351.8 mg, fosfor 661.8 mg, zat besi 12.5 mg, vitamin A 468 mg dan vitamin C 25.1 mg. Rata-rata intake energi dan zat gizi contoh di SMA Padang per hari yaitu 1624±840 kkal dengan intake terendah 311.2 kkal dan intake tertinggi 4576 kkal. Intake lemak 43.8±27 kkal dengan intake terendah 3.2 g dan intake tertinggi 10.2 g. Nilai median intake protein 51 g, kalsium 397 mg, fosfor 646 mg, zat besi 9 mg, vitamin A 252 mg dan vitamin C 16 mg . Hasil uji beda menunjukkan intake energi, lemak, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C contoh SMA di Yogya berbeda nyata dengan intake energi dan lemak contoh di SMA Padang (p<0.05). Sedangkan intake kalsium dan fosfor tidak berbeda nyata antara contoh di Padang maupun contoh di Yogya (p≥0.05). Tabel 7 Rata-rata asupan dan TKG contoh perhari di Yogya dan Padang Zat Gizi
SMA Yogya Intake
SMA Padang p Tingkat Intake Tingkat Kecukupan Kecukupan Energi 2049±890a 88.1±36.7 1624±840b 70.0±36 0.001 Protein 58.4(13.9,243)a 103.6(20.2,337) 51(9.6,186)b 83.6(14,258) 0.037 Lemak 53.6±35.1a 68.8±43.3 43.8±27b 56.8±35 0.033 Kalsium 351.8(14.8,5022)a 29.3(1.2,419) 397(31.6,4245)a 33(2.6,354) 0.848 Fosfor 661.8(127,2962)a 55.1(10.6,247) 646(82,2463)a 54(7,205) 0.337 Zat Besi 12.5(2.6,87)a 61.7(10,464) 9(1.2,71)b 47(4.7,375) 0.031 Vitamin A 468(23.7,3801)a 78(3.9,634) 252(4.1,2268)b 42(0.7,378) 0.006 Vitamin C 25.1(0,236.3)a 35.9(0,364) 16(0,167)b 21(0,199,7) 0.006 a angka-angka pada kolom yang sama yang di ikuti oleh huruf yang beda adaalah beda nyata
Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) dihitung setelah memperoleh nilai ratarata intake energi dan zat gizi contoh. Tingkat Kecukupan Gizi contoh khususnya zat gizi makro di SMA Yogya dan Padang sebagian besar defisit berat (<70%). TKG energi contoh di SMA Yogya (65.3%) defisit dan 17.3% normal. Sedangkan di SMA Padang lebih dari 50% defisit yaitu (73.3%). TKG protein contoh di Yogya (55.1%) defisit dan (16.3%) normal, sedangkan SMA Padang (60.3%) defisit dan (16.8%) normal. TKG lemak untuk daerah Yogya dan Padang lebih dari 50% defisit yaitu (82.6% dan 82.1%). TKG lemak (7.1%) normal untuk daeerah Yogya dan (9.9%) untuk daerah Padang. Rata-rata tingkat kecukupan remaja dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu untuk umur 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Hasil Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa remaja umur 13-15 tahun memiliki konsumsi yang rendah (<70%) yaitu 59.2% Yogya dan 46.3% Padang dengan rata-rata TKG energi 71.3% dan 77.8%. Rata-rata tingkat kecukupan protein 95.7% Yogya dan 49.4% Padang dengan konsumsi 38.4% dan 35.5%. Sedangkan remaja umur 16-18 tahun memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi 73.8% Yogya dan 76.4% Padang dengan konsumsi <70%. Rata-rata tingkat kecukupan protein 96.4% Yogya dan 109.4 Padang dengan konsumsi <80% (45.1 dan 55.4%). Dari hasil Riskesdas
13
(2010) tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi contoh dalam penelitian ini lebih tinggi di bandingkan hasil Riskesdas (Depkes 2010). Sedangkan untuk protein lebih rendah. Keadaan tingkat kecukupan defisit berat dapat mengakibatkan kekurangan energi kronik dan gangguan defisiensi vitamin dan mineral seperti anemia besi. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan TKG makro di Yogya dan Padang Zat Gizi Energi
Protein
Lemak
Kategori Zat gizi
Asal SMA Yogya
Padang
Total
n
%
n
%
n
%
Defisit Normal Lebih
64 17 17
65.3 17.3 17.3
74 17 10
73.3 16.8 9.9
138 34 27
69.4 17.1 13.6
Total
98
100.0
101
100.0
199
100.0
Defisit Normal Lebih
54 16 28
55.1 16.3 28.6
61 17 23
60.3 16.8 22.8
115 33 51
57.8 16.6 25.6
Total
98
100.0
101
100.0
199
100.0
Defisit Normal Lebih
81 7 10
82.6 7.1 10.2
83 10 8
82.1 9.9 7.9
164 17 18
82.4 8.5 9.0
Total
98
100.0
101
100.0
199
100.0
Tingkat kecukupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan vitamin C contoh di Yogya maupun Padang lebih dominan kurang daripada cukup. TKG kalsium contoh di SMA Yogya 74.5% kurang dan 25.5% cukup sedangkan SMA Padang 62.4% kurang dan 37.6% cukup. TKG fosfor contoh di SMA Yogya 65.3% kurang dan 34.7% cukup sedangkan di SMA Padang 70.3% kurang dan 29.7% cukup. TKG zat besi contoh di Yogya maupun Padang lebih dari 50% kurang yaitu 63.3% dan 60.4%. TKG vtamin A contoh di Yogya 49% kurang dan 51% cukup sedangkan contoh di SMA Padang 32.7% cukup dan 67.7% kurang. TKG vitamin C contoh di SMA Yogya maupun SMA Padang lebih dari 50% kurang yaitu 79.6% dan 88.1% (Tabel 9). Berdasarkan intake contoh baik zat gizi makro maupun mikro masih rendah dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG 2013). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: usia remaja yang mulai memilih makanan sesuai kesukaannya, perhatian orang tua akan asupan anak, keadaan social ekonomi keluarga dan lain-lain. Kurangnya konsumsi pangan atau asupan menjadi faktor utama terjadinya rendahnya tingkat kecukupan. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh,oleh karena itu diperukan asupan yang cukup agar kebutuhan tubuh tetap terpenuhi.
14
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan TKG Mikro di Yogya dan Padang Asal SMA Kategori Zat Gizi Kalsium
Fosfor
Besi
Yogya
Padang
Total
n
%
n
%
n
%
kurang cukup
73 25
74.5 25.5
63 38
62.4 37.6
136 63
68.3 31.7
Total
98
100.0
101
100.0
199
100.0
kurang cukup
64 34
65.3 34.7
71 30
70.3 29.7
135 64
67.8 32.2
Total
98
100.0
101
100.0
199
100.0
kurang cukup
62 36
63.3 36.7
61 40
60.4 39.6
123 76
61.8 38.2
Total
98
100.0
101
100.0
199
100.0
48 50
49.0 51.0
68 33
67.3 32.7
116 83
58.3 41.7
98
100.0
101
100.0
199
100.0
78 20
79.6 20.4
89 12
88.1 11.9
167 32
83.9 16.1
98
100.0
101
100.0
199
100.0
Vitamin A kurang cukup Total Vitamin C Kurang Cukup Total
Bioavailabilitas zat besi Bioavailabilitas zat besi diukur menggunakan metode Du et al. (2000). Pengukuran bioavailabilitas besi diukur melalui dua faktor yaitu faktor pendorong dan penghambat. Faktor pendorong yaitu asupan vitamin C, konsumsi pangan hewani serta konsumsi sayur dan buah. Sedangkan faktor penghambat yaitu konsumsi serealia, kacang-kacangan dan teh. Tabel 10 menunjukkan bahwa konsumsi pangan hewani contoh di SMA Yogya (126.74 g), begitu juga asupan Fe dan vitamin C di SMA Yogya lebih tinggi masing-masing 21.45 mg dan 38.6 mg. Hal ini disebabkan oleh jenis pangan hewani yang dikonsumsi bervariasi sehingga menyumbang Fe lebih tinggi. Contoh di SMA Yogya dan Padang lebih banyak mengonsumsi pangan hewani berupa daging ayam dan telur (Yogya 74 g, Padang 54.45 g) dan (Yogya 53 g, Padang 54 g). Tingginya asupan vitamin C disebabkan konsumsi sayur dan buah yang yang berbeda-beda. Contoh di SMA Yogya lebih banyak mengonsumsi sayur bayam, sedangkan contoh di SMA Padang lebih banyak mengonsumsi sayur sop (kol, kentang, wortel dan buncis) Buah yang sering dikonsumsi oleh contoh di Yogya yaitu jeruk, sedangkan di Padang buah pisang. Tabel 10 Perhitungan bioavailabilitas besi contoh di Yogya dan Padang SMA
Yogya Padang
Total Hewani (g)
Fe (mg)
126.7 117.9
21.5 17.0
Vit C (mg)
38.6 26.1
Besi Heme (mg)
Besi Non Heme (mg)
Bioavailabilitas (%) Heme Non Heme
Besi Terserap
8.6 6.8
12.9 10.2
23 23
1.97 1.56
1.51 1.60
Heme (mg)
Non Heme (mg) 0.15 0.12
Total (%) Total (mg) 2.12 1.68
9.9 9.9
15
Median presentase bioavailabilitas besi contoh di SMA Yogya dan Padang yaitu 9.9%, presentase bioavailabilitas berkisar antara 9.90%-9.91% dari total asupan zat besi yang dikonsumsi. Almatsier (2002) mengatakan bahwa, Negara maju seperti amerika serikat lebih banyak mengonsumsi protein hewani sehingga absorbsi zat besi dari makanan yang dikonsumsi berkisar 10-20%. Sedangkan di Negara berkembang seperti Indonesia berkisar antara 5-10%. Presentase bioavailabilitas besi contoh di Yogya dan Padang termasuk dalam kategori sedang. Kategori presentase bioavailabilitas besi dikategorikan menjadi tiga yaitu tinggi atau sama dengan 15%, sedang atau sama dengan 10% dan rendah atau sama dengan 5% (WNPG 2013). Klasifikasi ini didasarkan pada kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi zat besi dari makanan yang dikonsumsi. Kisaran bioavailabilitas besi heme dan non heme contoh di Yogya dan Padang dapat dilihat pada Tabel 11. Kisaran besi heme contoh di Yogya yaitu 0.24- 7.99 mg dengan median 1.15 mg, sedangkan di Padang yaitu 0.11 mg-6.55 mg dengan median 0.83 mg. Median besi non heme contoh di Yogya 0.09 mg dengan kisaran 0.02 mg-0.61 mg, sedangkan di SMA Padang kisaran bioavailabilitas non heme 0.12 mg-7.06 mg dengan median 0.06 mg. Hasil uji beda menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara bioavailabilitas besi heme, non heme dan total contoh di SMA Yogya dan Padang yaitu (p<0.05). Tabel 11 Rata-rata bioavailabilitas besi contoh di Yogya dan Padang Boiavabilitas besi Heme Non-heme Total
SMA Yogya (mg) 1.15(0.24,7.99) 0.09(0.02,0.61) 1.24(0.26,8.60)
SMA Padang (mg) 0.83(0.11,6.55) 0.06(0.01,0.50) 0.89(0.12,7.06)
p 0.011 0.011 0.011
Menurut Almatsier (2002) faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas yaitu zat pendorong dan penghambat. Zat pendorong terdiri dari asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Sedangkan zat penghambat yaitu asam fitat, oksalat dan tanin. Konsumsi besi heme yang bersamaan dengan besi non heme dapat membantu penyerapan besi non heme. Penyerapan besi heme (23%) dan non heme (1.7%) (Du et al. 2000). Besi nonheme banyak berasal dari protein nabati yang sulit diserap tubuh. Hal ini disebabkan oleh besi yang terdapat di protein nabati adalah dalam bentuk ferri sehingga membutuhkan vitamin C (Monsen et al. 1982). Besi heme atau yang berasal dari protein hewani lebih mudah diserap 30% tanpa terekspos ligan-ligan penghambat dibanding besi non heme yang berasal dari protein nabati (5%). WNPG (2013) Kebutuhan tubuh sangat mempengaruhi absorbsi besi. Semakin tinggi kebutuhan besi atau kekurangan zat besi maka absorbsi besi akan semakin baik. Oleh karena itu, hanya 2-20% besi non heme yang dapat diserap tergantung pada ligan-ligan dan status zat besi seseorang. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan bioavailabilitas besi di Yogya dan Padang Bioavailabilitas besi Kurang Cukup Total
SMA Yogya n % 13 13.3 85 86.7 98 100
SMA Padang n % 27 26.7 74 73.3 101 100
Total n 40 159 199
% 20.1 79.9 100
16
Kebutuhan zat besi remaja berbeda-beda, tergantung jenis kelamin dan usia. Kebutuhan zat besi remaja contoh dalam penelitian ini dihitung berdasarkan kehilangan basal 0.65 mg, pertumbuhan 0.55 mg dan menstruasi 0.48 mg (FAO/WHO 2001). Kebutuhan zat besi remaja putra (kurang yaitu <1.2 mg dan cukup ≥1.2 mg), sedangkan remaja putri (kurang yaitu <1.68 mg dan cukup ≥1.68 mg). Berdasarkan kebutuhan zat besi tersebut sebagian besar contoh di SMA Yogya (86.7%) memiliki bioavailabilitas yang cukup, sedangkan contoh di SMA Padang (26.7%) memiliki bioavailabilitas kurang (Tabel 12). Status anemia Anemia pada remaja dipengaruhi oleh kurangnnya konsumsi pangan mengandung zat besi dan rendahnya bioavailabilitas pangan yang dikonsumsi. Selain itu, anemia lebih beresiko terjadi pada remaja putri dibandingkan remaja putra. Proses terbentuknya kondisi anemia defisiensi besi terbagi menjadi tiga fase yaitu deplesi besi, iron defisiensi dan anemia kekurangan besi. Fase pertama merupakan pengurangan cadangan besi di hati yang tercermin pada penurunan kadar ferritin serum atau plasma. Fase kedua, terjadi penurunan lebih lanjut simpanan besi hingga terjadi penurunan kejenuhan transferrin dan fase terakhir, terjadi kehabisan simpanan besi. Penurunan tingkat sirkulasi besi dan keberadaan anemia hipokromik mikrositik yang berakibat pada berkurangnya konsentrasi hemoglobin di sel darah merah atau kondisi ini disebut sebagai anemia defisiensi besi (Gibson 2005). Table 13 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status anemia di SMA yogya dan Padang. Kadar Hb sebagian besar contoh di SMA Yogya (76.5%) dan SMA Padang (87.1%) tergolong normal. Sedangkan contoh yang tergolong anemia di Yogya (23.5%) dan Padang (12.9%). Kisaran Hb contoh di SMA Yogya yaitu 9-16.9 mg/dl dengan rata-rata kadar Hb 13.3±1.4 mg/dl. Sedangkan rata-rata Hb contoh di SMA Padang yaitu 13.4±1.3 mg/dl dengan kisaran 10-16.3 mg/dl. Hal ini diperkuat oleh data frekuensi konsumsi pangan (tabel 6). Frekuensi konsumsi pangan hewani lebih tinggi di Padang dibandingkan Yogya. Meskipun asupan dan TKG contoh di Yogya lebih tinggi daripada di Padang akan tetapi belum dapat menggambarkan kebiasaan makan yang akan menyebabkan anemia karena asupan hanya di ukur 1X24 jam. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status anemia contoh di SMA Yogya dan SMA Padang (p≥0.05). Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan status anemia di Yogya dan Padang Status anemia Normal Anemia Total
SMA Yogya n % 75 76.5 23 23.5 98 100.0
SMA Padang n % 88 87.1 13 12.9 101 100.0
Total n 163 36 199
p % 81.9 18.1 100.0
0.082
Berdasarkan Tabel 14 kadar anemia contoh yang berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi di SMA Padang (12.2%) daripada di SMA Yogya (6.2%). Sedangkan contoh yang perempuan lebih tinggi di SMA Yogya (40%) daripada SMA Padang (13.5%). Pengkategorian anemia didasarkan pada jumlah kadar Hb sesuai jenis kelamin. Untuk laki-laki normal (≥13 mg/dl) dan anemia (<13 mg/dl), sedangkan
17
perempuan kadar Hb normal (≥12 mg/dl) dan anemia (<12 mg/dl). Total contoh yang berstatus anemia lebih banyak perempuan (26.5%) dibandingkan laki-laki (9.3%). Hal ini diakibatkan oleh masa pertumbuhan, asupan yang kurang dan jadwal menstruasi tiap bulannya. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan status anemia dan jenis kelamin di Yogya dan Padang Status Anemia Normal Anemia Total
Laki-laki n % 45 93.8 3 6.2 48 100
Yogya Perempuan n % 30 60 20 40 50 100
Total n % 75 76.5 23 23.5 98 100
Laki-laki n % 43 87.8 6 12.2 49 100
Padang Perempuan n % 45 86.5 7 13.5 52 100
Total n % 88 87.1 13 12.9 101 100
Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Tingkat Kecukupan Gizi Berdasarkan hasil uji hubungan antara usia contoh dengan semua Tingkat Kecukupan Zat Gizi contoh menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara usia contoh dengan asupan vitamin A dengan nilai 0.205 (p<0.05). Sedangkan hubungan antara usia dengan zat gizi lainnya menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p≥0.05). Uji hubungan antara jenis kelamin dengan energi dan zat gizi lainnya menggunakan Uji Chi Square menunjukkan terdapat hubungan antara asupan zat besi dengan jenis kelamin (p<0.05). Penelitian Thurlow et al (2005) perempuan lebih rentan terkena anemia dibandingkan lakilaki karena adanya proses menstruasi setiap bulannya. Hasil uji hubungan menggunakan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara uang jajan contoh dengan semua zat gizi (p≥0.05). Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan umur contoh dengan TKG vitamin A dan jenis kelamin contoh dengan TKG zat besi Umur
14 tahun 15 tahun 16 tahun 17 tahun Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
TKG Contoh SMA Yogya Kurang Cukup n % n % 4 8.3 1 2 36 75 34 68 8 16.7 15 30 0 0 0 0 48 100 50 100 19 43 62
30.6 69.4 100
29 7 36
80.6 19.4 100
TKG Contoh SMA Padang Kurang Cukup n % n % 8 11.8 2 6.1 45 66.2 20 60.6 15 22.1 9 27.3 0 0 2 6.1 68 100 33 100 28 33 61
45.9 54.1 100
21 19 40
52.5 47.5 100
Berdasarkan Tabel 15 di atas dapat dilihat bahwa contoh di SMA Yogya dengan usia 15 tahun lebih dari 50% memiliki rata-rata tingkat kecukupan vitamin A 68% cukup dan 75% kurang. Sedangkan di SMA Padang rata-rata tingkat kecukupan vitamin A 66.2% kurang dan 60.6% cukup di rentang usia 15 tahun. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan tingkat kecukupan zat besi
18
contoh di SMA Yogya menunjukkan 80.6% laki-laki tercukupi sedangkan 69.4% perempuan defisiensi. Demikian halnya dengan contoh di SMA Padang >50% laki-laki tercukupi dan >50% perempuan yang defisiensi zat besi. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan TKG dan pendidikan ayah TKG
Energi Defisit Normal Lebih Total Zat besi Kurang Normal Total
<SMA n %
SMA Yogya SMA n %
<SMA n %
SMA Padang SMA n %
n
%
n
%
0 0 1 1
0 0 100 100
17 5 2 24
70.9 20.8 8.3 100
47 12 14 73
64.4 16.4 19.2 100
4 0 0 4
100 0 0 100
35 6 3 44
79.5 13.6 6.8 100
35 11 7 53
66 20.8 13.2 100
0 1 1
0 100 100
21 3 24
87.5 12.5 100
41 31 73
56.2 43.8 100
3 1 4
75 25 100
28 16 44
63.6 36.4 100
30 23 53
56.6 43.3 100
PT
PT
Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan antara pendidikan ayah contoh dengan tingkat kecukupan gizi. Pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pendapatan karena semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pekerjaan yang akan diperoleh. Pengkategorian jenjang pendidikan orang tua dikategorikan menjadi tiga yaitu kurang dari SMA, SMA dan Perguruan tinggi. Tabel 16 menunjukkan bahwa 79.5% contoh di Padang yang ayahnya berpendidikan SMA masih mengalami defisiensi energi, begitu halnya dengan pendidikan ibu. Sedangkan contoh di SMA Yogya yang ayahnya lulusan SMA masih mengalami defisiensi zat besi sebesar 87.5%. Rata-rata contoh yang memiliki orang tua lulusan SMA mengalami defisiensi zat gizi >50% dari pada contoh yang jenjang pendidikan orang tuanya Perguruan Tinggi. Menurut Soediaoetama (2008) tingkat pendidikan ibu yang berkaitan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan akan mempengaruhi praktek pemberian dan pengolahan makanan sehingga akan mempengaruhi tingkat kecukupan gizi anak. Hasil uji hubungan menggunakan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar keluarga contoh dengan semua zat gizi (p≥0.05). Uji hubungan antara pendidikan ayah dengan TKG energi dan besi menujukan terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05). Sedangkan pendidikan ibu dengan zat gizi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan ibu contoh dengan TKG energi, protein, lemak, fosfor dan zat besi (p<0.05).
19
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan TKG dan pendidikan ibu TKG
Energi Defisit Normal Lebih Total Protein Defisit Normal Lebih Total Kalsium Kurang Normal Total Fosfor Kurang Normal Total Zat besi Kurang Normal Total
<SMA n %
SMA Yogya SMA n %
<SMA n %
SMA Padang SMA n %
n
%
n
%
1 0 0 1
100 0 0 100
18 7 4 29
62.1 24.1 13.8 100
45 10 13 68
66.2 14.7 19.1 100
4 0 0 4
100 0 0 100
29 5 3 37
78.4 13.5 8.1 100
41 12 6 59
69.5 20.3 10.2 100
1 0 0 1
100 0 0 100
21 4 4 29
72.4 13.8 13.8 100
32 12 24 68
47.1 17.7 35.2 100
3 1 1 5
60 20 20 100
22 8 7 37
59.5 21.6 18.9 100
36 8 15 59
61 13.6 25.4 100
1 0 1
100 0 100
27 2 29
93.1 6.9 100
45 23 68
66.2 33.8 100
3 2 5
60 40 100
24 13 37
64.9 35.1 100
36 23 59
61 39 100
1 0 1
100 0 100
21 8 29
72.4 27.6 100
42 26 68
61.8 38.2 100
5 0 5
100 0 100
26 11 37
70.3 29.7 100
40 19 59
67.8 32.2 100
1 0 1
100 0 100
26 3 29
89.7 10.3 100
35 33 68
51.5 48.5 100
3 2 5
60 40 100
23 14 37
62.2 37.8 100
35 24 59
59.3 40.7 100
PT
PT
Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Status Anemia Berdasarkan hasil uji hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga dengan status anemia menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara jenis kelamin contoh dengan status anemia contoh di SMA Yogya dan SMA Padang (p=0.002,r=0.223). Uji Hubungan antara umur, uang saku, besar keluarga, pendidkan orang tua dengan status anemia menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata (p≥0.05). Tabel 14 menunjukkan bahwa contoh yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak yang mengalami anemia yaitu 40% Yogya dan 13.5% Padang. Hal ini diduga karena siklus menstruasi perbulannya yang dialami oleh contoh perempuan disamping konsumsi yang kurang. Hubungan antara Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani dengan Status Anemia Sebanyak 76% dan 62.5% contoh di Yogya dan Padang dengan kadar Hb normal memiliki frekuensi konsumsi pangan hewani yang masih tergolong kurang dari yang dianjurkan. Contoh yang mengalami anemia di Yogya, frekuensi konsumsi pangan hewani lebih rendah dibandingkan contoh di Padang. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi pangan hewani dengan kadar Hb contoh di Yogya dan Padang (p=0.000, r=0.237). Protein hewani merupakan besi heme yang memiliki
20
bioavailabilitas yang tinggi (15-30%). Penelitian Zlotkin et al. (2001) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara anemia dengan frekuensi konsumsi pangan hewani (p<0.05). frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi atau protein hewani sangat mempengaruhi kadar hemoglobin seseorang. Rendahnya konsumsi pangan hewani dapat menjadi faktor penyebab terjadinya anemia gizi besi. Hal ini disebabkan oleh selain merupakan pangan sumber tenaga juga merupakan sumber Fe. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi pangan hewani dengan kadar Hb Pangan Hewani Kurang Cukup Total
Kadar Hb contoh di Yogya Normal Anemia n % n % 57 76 17 73.9 18 24 6 26.1 75 100 23 100
Kadar Hb contoh di Padang Normal Anemia n % n % 55 62.5 9 69.2 33 37.5 4 30.8 88 100 13 101
Hubungan antara Tingkat Kecukupan Gizi dengan Status Anemia Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi dengan kadar Hb pada contoh (p=0.003; r=0.208, p=0.028; r=0.156 dan p=0.003; r=0.208). Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi, maka kadar Hb semakin baik atau normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Fauzah (2013) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kecukupan protein, kalsium dan zat besi maka kadar hemoglobin semakin baik atau normal. Dibuktikan dengan adanya hubungna antara tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi dengan status anemia contoh (p<0.05). Menurut Hallberg L (1998) kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi. Semakin tinggi kalsium maka penyerapan zat besi akan semakin rendah sehingga kadar Hb akan semakin rendah juga. Berdasarkan tabel 19 tingkat kecukupan protein, kalsuim dan zat besi contoh di Yogya dan Padang sebagian besar (>50%) kurang sehingga mengakibatkan defisiensi zat besi atau anemia pada contoh. Selain itu juga, dari frekuensi konsumsi lauk hewani, nabati, sayur dan buah per minggu masih sangat rendah dari yang dianjurkan. Padahal kita tahu bahwa sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral. Vitamin C mampu membantu meningkatkan penyerapan zat besi, sehingga dapat meningkatkan kadar Hb.
21
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan TKG(Protein, kalsium dan zat besi) dengan status anemia TKG
SMA Yogya Normal
Protein Defisit Normal Lebih Total Kalsium Kurang Cukup Total Zat besi Kurang Cukup Total
SMA Padang Anemia
Normal
Anemia
n
%
n
%
n
%
n
%
36 15 24 75
48 20 32 100
18 1 4 23
78.2 4.3 17.4 100
53 15 20 88
59.7 17 22.7 100
8 2 3 13
61.6 15.4 23.1 100
52 23 75
69.3 30.7 100
21 2 23
91.3 8.7 100
52 36 88
59.1 40.9 100
11 2 13
84.6 15.4 100
42 33 75
56.0 44.0 100
20 3 23
87.0 13.0 100
51 37 88
58.0 42.0 100
10 3 13
76,9 23.1 100
Hubungan antara Bioavailabilitas dengan Status Anemia Hasil uji hubungan menunjukan terdapat hubungan antara kadar hemoglobin contoh dengan biavabilitas zat besi yaitu p=0.003,r=0.212. Semankin tinggi bioavailabilitas zat besi maka kadar Hb akan semakin normal. Tingginya absorbsi zat besi sangat di pengaruhi oleh konsumsi protein. Penyerapan besi heme 23% sedangkan nonheme 1.7% (Du et al. 2000). Menurut soeditomo (2000) intake zat besi yang rendah serta nilai bioavailabilitas yang rendah dari suatu pangan dapat menyebabkan defisiensi zat besi atau anemia. Sulistyorini (2006) juga mengemukakan asupan zat besi juga mempengaruhi kadar Hb yang nantinya dapat mengakibatkan anemia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Contoh dalam penelitian ini adalah remaja usia 14-17 tahun. Besar uang saku contoh di SMA Yogyakarta berbeda nyata dengan contoh di SMA Padang (p<0.05). Besar keluarga contoh di SMA Yogyakarta termasuk keluarga kecil, sedangkan SMA Padang termasuk keluarga sedang. Pendidikan ayah dan ibu contoh di SMA Yogyakarta lebih tinggi daripada SMA Padang. Sebagian besar ayah contoh di SMA Yogyakarta bekerja sebagai karyawan swasta, sedangkan di SMA Padang bekerja sebagai PNS/ABRI/Polisi. Sebagian besar ibu contoh di SMA Yogyakarta dan SMA Padang berperan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Rata-rata asupan semua zat gizi contoh di SMA Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan SMA Padang kecuali kalsium. Meskipun demikian sebagian besar contoh masih tergolong defisiensi zat gizi, baik zat gizi makro maupun mikro. Hal ini diakibatkan oleh frekuensi konsumsi pangan contoh masih sangat rendah dibandingkan anjuran PUGS. Frekuensi konsumsi pangan hewani di Yogya (11
22
kali/minggu) lebih rendah dibandingkan di Padang (18 kali/minggu). Estimasi bioavailabilitas zat besi contoh di Yogyakarta (1.24 mg) lebih tinggi daripada SMA Padang (0.89 mg). Contoh yang mengalami anemia di SMA Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan SMA Padang. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya konsumsi pangan sumber Fe. Frekuensi konsumsi protein hewani contoh di Padang lebih tinggi daripada di Yogyakarta. Terdapat hubungan yang signifikan antara umur contoh dengan tingkat kecukupan vitamin A, jenis kelamin dengan tingkat kecukupan zat besi, pendidikan ayah dengan tingkat kecukupan energi dan zat besi, pendidkan ibu dengan tingkat kecukupan energy, protein, kalsium, fosfor dan zat besi. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi dengan kadar hemoglobin. Terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi pangan hewani dengan kadar Hb. Terdapat hubungan yang signifikan antara bioavailabilitas besi dengan status anemia. Saran Peneliti menyarankan pentingnya peningkatan konsumsi pangan hewani, sayuran dan buah-buahan serta porsi makanan pada remaja di Yogyakarta dan Padang. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai koreksi serat terkait bioavailabilitas besi dan perhitungan bioavailabilitas dari data FFQ. Selain itu juga perlunya penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas intake zat besi dan anemia serta pengaturan pola (jarak) konsumsi pangan sumber besi (non heme) dengan zat penghambat dan pendorong.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Arisman MB. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): ECG. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman penanggulangan anemia gizi untuk remaja putri dan wanita usia subur. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. _______________________________. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta (ID): Balitbangkes, Kemenkes RI. _______________________________. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta (ID): Balitbangkes, Kemenkes RI. _______________________________. 2014. Panduan Gizi Seimbang. [internet] Tersedia pada: gizi.depkes.go.id/PGS2014. Dickey V, Boedihardjo S, Bardosono T. 2010. USAID/Indonesia Nutrition Assessment For 2010 New Project Design. Washington, DC: (US)AID. Du S,Fengying Z, Youfa W, Popkin BM. 2000. Current methods for estimating dietary iron bioavailability do not work in China. J. Nutr. 130: 193–198. Dwiriani CM, Kustiyah L, Hartoyo, Herdiyeni Y. 2013. Pengembangan model pendidikan gizi berbasis web untuk perbaikan perilaku makan remaja. Laporan Penelitian BOPTN. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
23
[FAO/WHO] Food and Agricultural Organization/World Healt Organization. 1988. Guidelines for the Registration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome: FAO/WHO. Fauzah SN. 2013. Hubungan Konsumsi Pangan, Kebiasaan Latihan Fisik dan Kadar Hemoglobin pada Remaja Putri di SMP Negeri 27 Kelurahan Sumur Batu Kota Bekasi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fikawati S, Syafiq A. 2009. Konsumsi Kalsium pada Remaja. Di dalam: Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): Rajawali Press. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. 2nd edition. New York (US):Oxford University Press. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Perencanaan dan Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor (ID): GMSK, Faperta, Institut Pertanian Bogor. Hallberg L. 1998. Does calcium interfere with iron absorbtoinm [editorial]. Am J Clin Nutr. 68(1):3-4 Hurlock EB.1998. Perkembangan Anak Edisi. Ke-6. Jakarta (ID): Erlangga. Husaini MA, Husain YK. 1989. Study Nutritional Anemia and Assessment of Information Compilation for Supporting and Formulating National Policy and Program. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Bogor (ID): Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan RI. Monsen ER, Balintfy JL. 1982. Calculating dietary iron bioavailability: refinement and computerization. J. Am. Diet Assoc. 80: 307–311. Morris MS, Jacques PF, Rosenberg IH, Selhub J. 2007. Folate and vitamin B-12 status in relation to anemia, macrocytis, and cognitive impairment in older Americans in the age of folic acid fortification. Am J Clin Nutr 85(1):193-200. Palupi NS. 2008. Fortifikasi zat besi. (terhubung berkala) www.foodrivew. biz/login/preview.php?view&id=56100 [17 Desember 2013]. Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Rolfes SR dan Whitney E. 2008. Understanding Nutrition. 11th Ed. Belmount USA: Thomson Higher Education Learning Inc. Sediaoetama AD. 2000. Ilmi Gizi untuk Mahasiswi dan Profesi Jilid I. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Sharlin J, Edelstein S. 2011. Essentials of Life Cycle Nutrition. USA (ID): LLC Sinaga T, Kusharto CM, Setiawan B, Sulaeman A. 2012. Dampak menu sepinggan terhadap konsumsi dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi lain pada siswa SD. Jurnal Gizi dan Pangan. 7(1):27-34. Stopler. 2004. Medical Nutrition Therapy for Anemia. Di dalam: Mahan LK & Stump SE, editor. Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy 11th edition. USA: Elsevier. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Sulistyorini. 2006. Corelation of food consumption to anemia status among elementary school students in endemic area of malaria. Jurnal Media Gizi Indonesia. 1(3). Thurlow RA, Winichagoon P, Green T, Wasantwisut E, Pongcharoen T, Bailey KB, Gibson RS. 2005. Only a small proportion of anemia in northeast Thai schoolchildren is associated with iron deficiency. Am J Clin Nut 82:380-7
24
[WHO] World Healt Organanization. 2010. Child Growth Indicators and Their Interpretation. Geneva: WHO. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2013. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta(ID): Direktorat Bina Gizi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Zarianis. 2006. Efek suplementasi besi dan vitamin C terhadap kadar hemoglobin anak sekolah dasar yang anemia di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Zlotkin S, Arthur P, Antwi KY, Yeung G (2001). Treatment of anemia with microencapsulated ferrous fumarate plus ascorbic acid supplied as sprinkles to complementary (weaning) foods. Am J Clin Nut 74:791-5
25
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Uji Hubungan Correlations kategori va Spearman's rho
usia
*
Correlation Coefficient
.168
Sig. (2-tailed)
.017
N
199
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Test Statistics JK Chi-Square Df Asymp. Sig.
kategori besi a
.126 1 .723
a
11.101 1 .001
Correlations kategori energi Spearman's rho
pendiknayah
kategori besi **
.119
Sig. (2-tailed)
.005
.095
N
199
199
Correlation Coefficient
.199
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations pendiknibu Spearman's rho
kategori energi
kategori protein
kategori kalsium
kategori fosfor
kategori besi
Correlation Coefficient
.134
Sig. (2-tailed)
.058
N
199
Correlation Coefficient
.207
**
Sig. (2-tailed)
.003
N
199
Correlation Coefficient
.129
Sig. (2-tailed)
.069
N
199
Correlation Coefficient
.134
Sig. (2-tailed)
.059
N
199
Correlation Coefficient
.193
**
Sig. (2-tailed)
.006
N
199
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
26
Correlations Anemia Spearman's rho
kategori protein
0.208
Sig. (2-tailed)
0.003
N kategori kalsium
kategori besi
199
Correlation Coefficient
.156
.028
N
199
Correlation Coefficient
.208
**
Sig. (2-tailed)
.003
N
199
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Correlations totalbesi totalbesi
**
Sig. (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Spearman's rho
*
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
kadarHb
1.000
.212
**
.
.003
199
199
27
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serui pada tanggal 24 Maret 1992 dari Monis Ujud Batty dan Ibu Ketty Fonataba. Penulis adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari MAN 167 Fakfak, Papua Barat dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Selama satu tahun penulis mengikuti Program Prauniversitas IPB. Setelah dinyatakan lulus penulis memilih Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Setelah satu tahun penulis mengikuti Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis melanjutkan studi di Mayor Ilmu Gizi Masyarakat FEMA. Penulis melakukan ID (Internship Dietetik) di RSUD Ciawi Bogor dan melakukan KKP (Kuliah kerja Profesi) di Desa Mekarjaya kecamatan Cikajang Kabuparen Garut Jawa Barat. Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi, Kadiv Seni dan Budaya sekaligus Pelatih Tarian Daerah Papua Ikatan Mahasiswa Papua Bogor (Imapa) 2011- 2014.