KETERSEDIAAN BIOLOGIS (BIOAVAILABILITAS) KALSIUM SECARA IN VITRO PADA CRACKERS DENGAN TEPUNG KEPALA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)
EVA FITRINA PURWAWINANGSIH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT EVA FITRINA PURWAWINANGSIH. In Vitro Bioavailability of Calcium in Crackers with African Catfish’s (Clarias gariepinus) Head Flour. Under direction of EVY DAMAYANTHI. Crackers with African catfish’s head flour (ACHF) as many as 12,5 g contains high calcium which contributes 24% to Indonesian’s RDA for adolescents. Investigation of in vitro bioavailability for ACHF-cracker’s calcium was the major target of this study because the high calcium content in food does not describe whether the absorbed calcium was also high. Types of crackers did not significantly affect the water content (p>0,05), but it significantly affected the protein content, phosphorus content, calcium total, calcium bioavailability, and available calcium total (p<0,05). ACHF-crackers contain protein 11,41% (dry basic), which is higher than other crackers. While in dry basic ACHF-crackers contain phosphorus (107,13 mg 100 g-1), calcium total, (568,29 mg 100 g-1) and available calcium total (80,31 mg 100 g-1), which are lower than commercial crackers but higher than control crackers. In contrast, calcium bioavailability from ACHF-crackers (14,53%) is lower than control crackers but higher than commercial crackers. Keyword : calcium bioavailability, in vitro, crackers, African catfish’s head flour
RINGKASAN EVA FITRINA PURWAWINANGSIH. Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium Secara In Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Dibimbing oleh EVY DAMAYANTHI. Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Sumber utama kalsium untuk masyarakat pada negara-negara maju adalah susu dan hasil olahannya namun rata-rata konsumsi susu pada remaja di Kota Bogor masih jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Crackers dengan tepung kepala ikan lele sebanyak 12,5 gram mengandung 239,2 mg kalsium per takaran saji (44 g) dan dapat berkontribusi terhadap kecukupan kalsium remaja berdasarkan AKG 2004 sebesar 24%. Penambahan kalsium dalam produk pangan harus disertai dengan pengetahuan akan nilai ketersediaan biologis nya (bioavailabilitas) karena total kalsium yang tinggi dalam suatu produk belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh yang tinggi pula. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers dengan dengan tepung kepala ikan lele dumbo. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah (1) mengkaji pengaruh jenis crackers terhadap kadar air, protein, fosfor, dan total kalsium produk crackers dan (2) mengkaji pengaruh jenis crackers terhadap bioavailabilitas kalsium dan total kalsium tersedia produk crackers. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu (1). pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, (2) analisis kadar air, protein, fosfor dan total kalsium crackers, dan (3) analisis bioavailabiitas kalsium in vitro crackers. Analisis bioavailabilitas dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap pencernaan in vitro kalsium pada crackers dan tahap kedua yaitu pengabuan basah dialisat sebagai preparasi untuk mengetahui kadar kalsium yang berada dalam kantung dialisis yang menunjukkan kalsium yang diserap. Analisis sidik ragam terhadap data-data yang diperoleh menggunakan one way ANOVA, sedangkan uji lanjutnya adalah uji lanjut Duncan. Tiga jenis crackers yang diteliti yaitu crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g, dan crackers komersial high calcium original. Pemilihan ketiga jenis crackers pada penelitian ini didasarkan pada perbedaan komposisi bahan baku yang diduga akan menyebabkan perbedaan total kalsium. Metode yang digunakan dalam pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo adalah metode all in dough yaitu semua bahan dicampur sekaligus menjadi adonan dan difermentasi bersama-sama. Kadar air crackers (bb) berkisar antara 1,55% sampai dengan 2,94%. Nilai tersebut sudah sesuai dengan SNI 01-2973-1992 yang menyatakan bahwa syarat kadar air biskuit adalah maksimal 5% basis basah. Jenis crackers tidak mempengaruhi kadar air produk crackers secara nyata (p>0,05). Rata-rata kadar protein (bb) produk crackers berkisar antara 6,46% sampai dengan 11,10% atau 6,64% sampai dengan 11,41% (bk). Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki kadar protein tertinggi secara nyata (p<0,05) juga merupakan crackers yang memenuhi syarat mutu SNI biskuit. Kadar fosfor produk crackers berkisar antara 78,79 sampai dengan 152,21 mg/100g (bb) atau 81,00 sampai dengan 156,48 mg/100g (bk). Crackers komersial memiliki kadar fosfor lebih tinggi secara nyata dari crackers kontrol maupun crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (p<0,05).
Total kalsium produk crackers berkisar antara 86,28 sampai dengan 1210,04 mg/100 g (bb) atau 88,70 sampai dengan 1243,97 mg/100 g (bk). Crackers komersial memiliki total kalsium lebih tinggi secara nyata dari crackers kontrol maupun crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, sedangkan crackers kontrol memiliki total kalsium lebih rendah daripada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (p<0,05). Bioavailabilitas kalsium crackers berkisar antara 8,00% sampai dengan 17,40%. Bioavailabilitas kalsium crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo secara nyata lebih tinggi daripada crackers komersial, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan crackers kontrol (p<0,05). Sementara itu, Total kalsium tersedia pada crackers berkisar antara 15,03 mg/100g sampai 96,83 mg/100 g. Crackers komersial secara nyata memiliki total kalsium tersedia paling tinggi, sedangkan total kalsium tersedia paling rendah terdapat pada crackers kontrol (p<0,05). Kandungan kalsium dan fosfor crackers memiliki korelasi negatif terhadap bioavailabilitas kalsium yang nyata (p<0,05), sedangkan kandungan protein crackers tidak berkorelasi secara nyata (p>0,05) terhadap bioavailabilitas kalsium crackers. Hal ini memiliki arti bahwa semakin tinggi kadar kalsium atau fosfor maka bioavailabilitas kalsium crackers semakin rendah. Sementara itu, kadar protein crackers tidak mempengaruhi bioavailabilitas kalsium pada crackers. Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dapat dijadikan alternatif pemenuhan kalsium sekaligus menjadi alternatif masalah limbah ikan. Interaksi yang lebih kompleks dari faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium yang dapat ditelusuri pada metode in vitro umumnya lebih terbatas, oleh karena itu peneliti menyarankan adanya penelitian lanjutan mengenai biovailabilitas kalsium pada crackers menggunakan metode in vivo.
KETERSEDIAAN BIOLOGIS (BIOAVAILABILITAS) KALSIUM SECARA IN VITRO PADA CRACKERS DENGAN TEPUNG KEPALA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)
EVA FITRINA PURWAWINANGSIH
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
: Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium secara In Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Nama
: Eva Fitrina Purwawinangsih
NIM
: I14062461
Disetujui : Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. NIP. 19621204 198903 2 002
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium secara In Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Wawan Kuswandi, Ibunda Sriningsih, Muhammad Dwipa Aditya, Ade Fachry Tridiva, Herlan serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang, perhatian, dan dukungan materiil maupun spirituil. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan, 2. Ir. Eddy Setyo Mudjajanto selaku dosen pemandu seminar, 3. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dalam perbaikan skripsi ini, 4. dr. Yekti Hartati Effendi sebagai dosen pembimbing akademik, 5. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto MS. atas izin penggunaan tepung kepala ikan lele dumbo, 6. Dr. Ir. Lilik Kustiyah M.Si, Bapak Mashudi, dan Ka Herviana Ferazuma atas motivasi dan bantuannya 7. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, laboran-laboran dan staf atas segala bantuannya, 8. Teman-teman pembahas: Ummi Rufaizah, Dudung Angkasa, dan Suci Apriyani serta sahabat seperjuangan : Nurhidayah dan Miftakhurrahmah atas saran dan kerjasamanya, 9. Sahabat terbaik: Yustika Sekar Negari, Deristyani, Andri Susanti, Karlina Nurcahyo, dan Andy Aditya Atmaja atas pengertian dan perhatiannya. Sahabat KOPLAG ’43 (Yule, Aim, Fitri, Dita, Irni, Rakhma, Reti, Risti, Dinov dll), GM ’43, ’44, ‘45 dan Wisma Amany (Nadh, Yuli, Hany, Putri, Refi, Lusi, Dewi, Icha, Ayu, Indri, dll) atas canda tawa dan semangat yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Januari 2011
Eva Fitrina P.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Mei 1988 dari Bapak Wawan Kuswandi dan Ibu Sriningsih. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Bagoang, Bogor (1994-2000), kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Jasinga, Bogor (2000-2003). Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Jasinga, Bogor (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama penulis mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) kabinet Laskar Pelangi sebagai staf divisi Komunikasi dan Informasi (KOMINFO). Selain itu, penulis juga mengikuti organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) sebagai Public Relation External, dan aktif di Organisasi Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia (ILMAGI) sebagai staf divisi kewirausahaan. Penulis juga aktif sebagai panitia dalam kegiatan FUNNY FAIR 2008, NUTRITION FAIR, The Power of Diet 2009, dll. Tahun 2009 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian dan melaksanakan penelitian mengenai Pemanfaatan Kulit Telur Ayam dalam Pembuatan Cookies Berkalsium Tinggi. Selain itu, pada tahun yang sama penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 2010, penulis melaksanakan Internship Dietetik di RSUD Cibinong, Bogor. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Analisis Zat Gizi Mikro (2009), Metode Penelitian Gizi (2010), dan Evaluasi Nilai Gizi (2010). Selama penulis mengikuti pendidikan di IPB, penulis merupakan penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA).
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
v
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan .................................................................................................. Kegunaan ..............................................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Kalsium ................................................................................................. Defisiensi kalsium ................................................................................. Bioavailabilitas kalsium ......................................................................... Komponen makanan yang mempengaruhi absorpsi kalsium ............... Fosfor .......................................................................................... Protein ......................................................................................... Komponen tumbuhan .................................................................. Laktosa ....................................................................................... Lemak ......................................................................................... Kation divalen ............................................................................. Faktor fisiologis yang mempengaruhi absorpsi kalsium ........................ Status vitamin D .......................................................................... Defisinsi kalsium dan fosfor ......................................................... Daur kehidupan............................................................................ Bioavailabilitas berbagai garam kalsium ............................................... Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo ................................. Bahan baku crackers ................................................................... Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................
4 5 5 7 8 8 8 9 10 10 10 10 11 11 12 13 13 14
METODE Waktu dan Tempat ................................................................................ Bahan dan Alat...................................................................................... Tahap Penelitian ................................................................................... Rancangan Percobaan ......................................................................... Pengolahan dan Analisis Data ..............................................................
17 17 18 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik produk crackers ................................................................ Keragaan kadar air, protein, fosfor, dan total kalsium .......................... Kadar air ..................................................................................... Kadar protein ............................................................................... Kadar fosfor ................................................................................. Total kalsium ................................................................................ Bioavailabilitas kalsium dan total kalsium tersedia ............................... Bioavailabilitas kalsium ................................................................ Total kalsium tersedia ..................................................................
26 28 28 29 30 31 33 33 41
ii
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................... Saran ....................................................................................................
43 43
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
44
LAMPIRAN ....................................................................................................
48
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan ..............................
4
2.
Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) .................................................
13
3.
Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo .........................
16
4.
Hasil analisis proksimat, fosfor dan kalsium crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo………………………………………………………
16
Resep crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo .....................................................................................................
18
6.
Hasil analisis rata-rata kadar air (%) pada produk crackers ....................
28
7.
Hasil analisis rata-rata kandungan protein (%) pada produk crackers ....
29
8.
Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100g) pada produk crackers ....
31
9. . Hasil analisis rata-rata total kalsium (mg/100g) pada crackers ...............
32
10. Persentase kontribusi total kalsium crackers terhadap kecukupan kalsium berdasarkan ALG umum (2007)………………………………….
33
11. Hasil analisis rata-rata total kalsium tersedia pada crackers...................
41
5.
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kepala ikan lele dumbo segar (Ferazuma 2009).....................................
14
2.
Diagram alir pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Ferazuma 2009)Produk Crackers yang diteliti .
20
3.
Tahap-tahap persiapan sampel ...............................................................
21
4.
Prosedur pencernaan kalsium secara in vitro dalam analisis ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium dengan metode dialisis (Roig et al. 1999) .....................................................................................
22
Prosedur pengabuan basah dalam analisis total kalsium dalam dialisat maupun pada crackers dengan metode AAS. .........................................
23
Skema penelitian bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)...................
24
7.
Produk Crackers yang diteliti ..................................................................
26
8.
Tahap persiapan inkubasi: Gelas piala berisis kantung dialisis dalam larutan buffer NaHCO3 (a) dan tabung shaker berisi kantung dialisis dalam suspensi sampel (b)......................................................................
34
Inkubasi sampel bioavailabilitas kalsium in vitro dalam penangas air bergoyang (shaker water bath)................................................................
35
10. Pengaruh jenis crackers terhadap bioavailabilitas kalsium (%)...............
36
5.
6.
9.
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989) ......................................
49
2.
Analisa Protein Metode Semi Mikro Kjeldahl (Sulaeman et al 1994) .....
49
3.
Perhitungan Analisis Kadar Air Crackers ...............................................
50
4.
Perhitungan Analisis Kadar Protein Crackers ........................................
50
5.
Perhitungan Analisis Kadar Fosfor Crackers ..........................................
51
6.
Perhitungan Analisis Kadar Total Kalsium Crackers ...............................
52
7.
Perhitungan Analisis Bioavailabilitas Kalsium Crackers .........................
54
8.
Hasil Sidik Ragam (One Way ANOVA) Kadar Air, Protein, Fosfor, Kalsium, Bioavailabilitas Kalsium, dan Total Kalsium Tersedia .............
9.
57
Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap kadar Air, Protein, fosfor, Kalsium dan Bioavailabilitas kalsium.....................................................................
58
10. Hasil Uji Korelasi Pearson .......................................................................
59
11. Hasil Pembacaan Standar Kalsium dan Total kalsium Crackers dengan menggunakan AAS..................................................................................
60
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, kontraksi otot, metabolisme sel, dan mengirimkan isyarat saraf ke sel (Bredbenner et al. 2007). Berdasarkan hasil SUSENAS, konsumsi kalsium pada tahun 2002 menurun menjadi 331,74 mg/hari dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 421,17 mg/hari (Soekatri & Kartono 2004). Kebutuhan kalsium terbesar adalah pada waktu pertumbuhan dan akan terus berlanjut meskipun sudah mencapai usia dewasa (Winarno 2008). Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan seperti tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh atau pada orang dewasa biasa disebut osteoporosis (Almatsier 2006). Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) pada tahun 2008, risiko osteoporosis di tiga Provinsi di Indonesia (Sulawesi Utara, Yogyakarta, dan Jawa Barat) adalah sebesar 22.3% dan osteopenia sebesar 32.7%. Proporsi risiko osteoporosis pada laki-laki cenderung lebih tinggi dari perempuan yaitu 24.4% dan 21.2% (Prihatini 2008). Sumber utama kalsium untuk masyarakat pada negara-negara maju adalah susu dan hasil olahannya yang mengandung sekitar 1150 mg kalsium per liter (Soekatri & Kartono 2004), Namun menurut Hardinsyah et al. (2008), rata-rata konsumsi susu pada remaja Di Kota Bogor adalah 170 ml/hari. Konsumsi ini memang memberikan kontribusi kalsium terbesar yaitu 250 mg/hari dibandingkan pangan sumber kalsium lainnya, namun angka tersebut masih jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan yaitu sebesar 1000 mg/hari. Makanan yang dibuat dengan menggunakan susu dan hasil olahannya, seperti roti putih, rolls, dan crackers juga dapat berkontribusi terhadap pemenuhan kecukupan kalsium (Bredbenner et al. 2007). Crackers merupakan jenis kudapan yang digemari masyarakat. Menurut Setiawan (2006), wafer dan biskuit merupakan jenis kudapan yang sangat digemari dengan alasan utama karena rasanya yang enak. Selain karena rasanya yang enak, Manley (2000) menjelaskan bahwa crackers adalah jenis biskuit yang memiliki tekstur yang renyah, tidak keras apabila digigit, tidak hancur dan mudah mencair apabila dikunyah. Salah satu produk crackers yang bisa dipilih untuk membantu memenuhi kecukupan kalsium adalah crackers dengan
2 tepung kepala ikan lele dumbo yang mengandung 239,2 mg kalsium per sajian (44 g) yang dapat berkontribusi terhadap kebutuhan kalsium remaja, dan dewasa berturut-turut sebesar 24%, dan 30% (Ferazuma 2009). Kontribusi tersebut cukup tinggi bagi pemenuhan kecukupan kalsium harian walaupun kontribusi tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan crackers komersial high calcium crackers yang memberikan kontribusi 44% untuk konsumsinya sebanyak 44 gram (setara dengan 13 keping). Penggunaan tepung kepala ikan pada crackers tersebut selain untuk meningkatkan kalsium crackers juga dapat menjadi alternatif pengurangan limbah ikan. Produksi ikan lele dumbo pada tahun 2003 mencapai 360 juta ekor. Ferazuma (2009) menyatakan bahwa limbah kepala ikan lele dumbo adalah 10% dari ikan segarnya sehingga limbah yang dihasilkan sebesar 36 juta kepala ikan. Berdasarkan Adawyah (2008) limbah kepala dan sirip ikan mengandung komponen berupa garam kalsium fosfat, dan senyawa nitrogen yang dapat dimanfaatkan menjadi tepung tulang ikan. Penambahan kalsium dalam produk pangan harus disertai dengan pengetahuan akan ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas) karena total kalsium yang tinggi dalam suatu produk belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh yang tinggi pula. Jika bioavailabilitasnya rendah maka jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh pun menjadi rendah (Puspita 2003). Ketersediaan biologis (bioavailabilitas) dapat diartikan sebagai jumlah mineral dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh. Bioavailabilitas kalsium dapat dianalisis dengan metode in vivo maupun in vitro. Namun, metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Faktor yang dapat meningkatkan absorpsi kalsium antara lain vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3), fosfor, protein, dan laktosa (Almatsier 2006). Adapun faktor yang menghambat penyerapan kalsium diantaranya kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3), adanya asam oksalat dan asam fitat, serat, kation divalen, serta lemak. Berkaitan dengan hal di atas, perlu adanya penelitian mengenai bioavailabilitas kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo. Hal ini penting dilakukan agar para konsumen mendapat informasi mengenai bioavailabilitas kalsium dari crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo
3 untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih kudapan yang baik dalam rangka memenuhi kecukupan kalsium untuk mempertahankan kondisi fisiologis dan metabolis tubuh yang normal. Tujuan Penelitian Tujuan umum : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo Tujuan khusus : Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mengkaji pengaruh jenis crackers terhadap: 1. Kadar air, protein, fosfor, dan total kalsium pada crackers 2. Bioavailabilitas kalsium dan total kalsium tersedia pada crackers. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada konsumen mengenai bioavailabilitas kalsium dari produk crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo. Dengan demikian masyarakat dapat memenuhi kecukupan kalsium dari berbagai pangan sumber atau tinggi kalsium di samping susu dan olahannya. Selain itu, penggunaan tepung kepala ikan pada pengembangkan produk crackers yang memiliki kalsium tinggi dengan memanfaatkan hasil sampingan dari ikan atau hasil sampingan produk pangan lainnya dapat mengurangi masalah limbah ikan.
4
TINJAUAN PUSTAKA Kalsium Mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia adalah kalsium, yaitu sebanyak 1,5 sampai 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam tubuh. Angka kecukupan kalsium rata-rata yang dianjurkan per hari dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan Kelompok Kecukupan Kalsium (mg/hari) Bayi (bulan) 0-6 200 7-11 400 Anak-anak (tahun) 500 1-3 500 4-6 600 7-9 Pria (tahun) 10-12 1000 13-15 1000 16-18 1000 19-29 800 30-49 800 50-64 800 65 + 800 Wanita (tahun) 10-12 1000 13-15 1000 16-18 1000 19-29 800 30-49 800 50-64 800 65 + 800 Ibu Hamil Trimester 1 + 150 Trimester 2 + 150 Trimester 3 + 150 Ibu Menyusui 6 bulan pertama + 150 6 bulan kedua + 150 Sumber : WKNPG (2004)
Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi adalah susu dan hasil olahannya seperti keju. Selain itu, sumber kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah (Bredbenner et al. 2007).
5 Berdasarkan Almatsier (2006), kalsium mempunyai fungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, katalisator reaksi-reaksi biologik, dan kontraksi otot. Pada pembentukan tulang, kalsium di dalam tulang mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bagian integral dari struktur tulang dan sebagai tempat menyimpan kalsium. Selain itu, beberapa reaksi biologik yang menggunakan kalsium sebagai katalisator adalah absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, aktivasi lipase pankreas, ekskresi insulin oleh pankreas, dan proses pemecahan serta pembentukan asetilkolin. Defisiensi kalsium Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium. defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan kejadian kejang (tetani), hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan berlebih. Riketsia terjadi pada anak-anak ketika penambahan jumlah kalsium per unit matriks tulang defisien sehingga mineralisasi tulang terganggu. Riketsia biasanya tampak pada pergelangan tangan, mata kaki, dan lutut (Gropper et al. 2005). Osteoporosis merupakan gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya demineralisasi yaitu tubuh yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi (Soekarti & Kartono 2004). Bredbenner et al. (2007) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi untuk mempertahankan massa tulang yang cukup mula-mula akan mengarah pada osteopenia yaitu massa tulang rendah. Osteoporosis didiagnosa ketika kehilangan massa dan penurunan kekuatan tulang signifikan sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteopenia dan osteoporosis didefinisikan berdasarkan kriteria WHO (World Health Organization), dimana densitas massa tulang 0.759 sampai 0.909 g/cm2 disebut osteopenia sedangkan densitas massa tulang di bawah 0.759 g/cm2 disebut osteoporosis (Varena et al. 2007) . Level ion Ca2+ bebas yang rendah dalam darah (hipokalemia) diduga dapat menyebabkan kejang (tetani) yaitu kondisi yang dicirikan oleh kontraksi otot yang gagal untuk melakukan relaksasi, khususnya pada otot pergelangan tangan dan kaki (organ pergerakan). Kalsium dapat menurunkan resiko kanker
6 kolon melalui kemampuannya mengikat asam empedu dan asam lemak bebas yang keberadaannya dapat memicu terjadinya kanker melalui hiperproliferasi kolon (Gropper et al. 2005). Sirkulasi level vitamin D yang merupakan respon terhadap rendahnya asupan kalsium menyebabkan jalur kalsium terbuka pada membran di sel-sel tertentu (contohnya otot halus dan adiposit). Hal tersebut memiliki konsekuensi terjadinya aktivasi respon spesifik dari berbagai jaringan seperti kontraksi otot halus pada arteri, peningkatan sintesis lemak dan penurunan lipolisis pada adiposit. Mekanisme tersebut merupakan dampak kurangnya asupan kalsium terhadap berkembangnya hipertensi dan obesitas (Weaver & Heaney 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Varena et al. (2007) menunjukkan bahwa pada wanita posmenopause awal, asupan kalsium dan variabel densitas mineral tulang lumbar secara statistik memiliki asosiasi berlawanan dengan status overweight. Pada setiap kelas densitas massa tulang, proporsi wanita overweight ditingkatkan dengan penurunan asupan produk susu dan olahannya. Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium Kalsium dalam suatu bahan pangan tidak semua dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Semakin tingggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan absorpsi kalsium yang efisien (Almatsier 2006). Kalsium
membutuhkan
lingkungan
yang
asam
agar
dapat
mempertahankan kalsium dalam bentuk ionik yang mudah diabsorpsi. Absorpsi terutama terjadi pada bagian atas usus halus dan berkurang di bagian bawah usus halus yang berbatasan dengan usus besar. Dalam aliran darah, kalsium ditransportasikan dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein, dimana konsentrasinya diregulasi secara ketat oleh kontrol hormon. Ketika konsentrasi kalsium dalam darah rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Peran hormon paratiroid dalam peningkatan kalsium darah dilakukan melalui tiga jalur yaitu 1). menstimulasi perombakan kalsium dari tulang, 2). meningkatkan retensi kalsium di ginjal, dan 3). mengaktifkan vitamin D yang kemudian vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3) akan merangsang peningkatan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan absorpsi kalsium di
7 usus. Namun jika konsentrasi kalsium darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan calcitonin yang kemudian akan mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam range normal dengan jalan mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal (Bredbenner et al. 2007). Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium. Metode tersebut antara lain metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium. Kedua metode pengukuran tersebut biasanya dilakukan secara in vivo yaitu mengukur absorpsi pada manusia atau hewan. Metode keseimbangan kalsium dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang diekskresikan lewat feses. Absorpsi nyata kalsium berkisar antara 20% sampai 40%. Keseimbangan kalsium diperoleh ketika asupan kalsium cukup untuk mengcover kehilangan kalsium lewat urin, feses dan keringat. Keseimbangan kalsium positif dibutuhkan pada saat pertumbuhan, kehamilan, dan laktasi. Ketidakakuratan pengukuran dengan metode ini akan terjadi apabila pengumpulan sampel feses tidak tepat dan adanya perubahan efiisensi absorpsi yang disebabkan oleh adaptasi tubuh terhadap level asupan kalsium yang berubah. Dengan prinsip yang hampir sama dengan metode keseimbangan kalsium, pada metode isotop kalsium dilakukan dengan menginjeksikan isotop kalsium baik yang bersifat radioaktif maupun yang stabil lewat intravena (Allen 1982). Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas kalsium juga dapat dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim pepsin dan pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Allen (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium menjadi dua kelompok yaitu faktor komponen makanan dan faktor fisiologis. Komponen makanan yang mempengaruhi absorpsi kalsium Berdasarkan Allen (1982) komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al. (2005) menambahkan
8 bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Penjelasan dari masing-masing masing-masing faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium adalah sebagai berikut: Fosfor. Kalsium dan fosfor saling berpengaruh erat dalam proses absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet, dan 2). secara tidak langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen 1982). Berdasarkan Linder (2006), konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor walaupun rasio kalsium dengan fosfor 1:1,5 mungkin dapat diterima. Tetapi rasio yang lebih dari 1:2, terutama jika konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif seperti demineralisasi tulang. Hasil penelitian Bernhart et al. tahun 1969 pada sejumlah tikus membuktikan bahwa diet yang mengandung cukup kalsium dengan jumlah fosfor yang sedikit lebih rendah dan sedikit lebih tinggi dari kalsium dapat mendukung tingkat
pertumbuhan
yang
hampir
maksimal
dan
pembentukan
tulang.
Perbandingan kalsium dan fosfor terbaik dalam penelitian tersebut adalah 1:0,6, 1:0,9, dan 1:1,4 (Broody 1999). Protein. Selain fosfor, beberapa penelitian menyebutkan bahwa protein harian berkaitan erat dengan absorpsi kalsium. Hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Heaney (2002) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin. Menurut Hugges dan Harris (2002), pada asupan kalsium harian yang rendah (<800 mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan penurunan jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah. Komponen tumbuhan. Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan
9 diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005) Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al 2005). Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau seperti bayam. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5, yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses (Gropper et al 2005). Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10%. Kalsium yang berasal dari bayam hanya diabsorpsi sekitar 5% (Broody 1999). Sama halnya dengan oksalat dan fitat, keberadaan tanin dalam teh juga akan menghambat penyerapan kalsium (Bredbenner et al. 2007). Laktosa. Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan transpor aktif (Allen 1982). Reiser (1988) menjelaskan bahwa laktosa diduga dapat meningkatkan potensial transmembran mukosa dan mendorong influks kalsium lewat brush border dan dengan demikian akan meningkatkan absorpsi kalsium. Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Kabayashi et al. tahun 1975 memperlihatkan bahwa hidrolisis laktosa oleh enzim laktase menjadi galaktosa dan glukosa lebih efektif dalam meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982).
10 Lemak. Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya steatorea yang dapat menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Gropper et al. 2005). Pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium akan meningkatkan panjang rantai asam lemak dan menurunkan tingkat ketidakjenuhannya (Allen 1982). Kation divalen. Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium. Faktor fisiologis yang mempengaruhi absorpsi kalsium Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan (Allen 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta lansia. Status vitamin D. Vitamin D dalam bentuk aktif atau biasa disebut calcitriol akan meningkat jika sekresi hormon paratiroid tinggi, asupan kalsium harian rendah, dan dalam kondisi hamil dan menyusui (Allen 1982). Calcitriol akan meningkatkan absorpsi kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium (CaBP/Calsium binding protein) yang juga biasa disebut calbindin D9k (Gropper et al. 2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan sintesis CaBP lebih lama yaitu sekitar 6 – 8 hari yang kemudian akan menghambat penyerapan kalsium (Allen 1982). Defisiensi vitamin D jangka panjang akan menyebabkan riketsia pada anak-anak dan osteomalsia pada dewasa, sedangkan kelebihan vitamin D akan menyebabkan hiperkalsemia yang dapat menimbulkan kalsifikasi (pengerasan) pada jaringan lunak (calcinosis) seperti pada ginjal, hati, paru-paru dan pembuluh darah (Gropper et al. 2005).
11 Defisiensi kalsium dan fosfor. Kebiasaan asupan kalsium harian baik rendah maupun tinggi dalam jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi absorpsi kalsium melalui mekanisme adaptasi. Jika terjadi defisiensi kalsium, efisensi absorpsi kalsium akan meningkat dengan jalan meningkatkan transpor kalsium yang dibantu vitamin D. Penelitian pada tikus memperlihatkan peningkatan absorpsi kalsium di duodenum dan ileum berturut-turut yaitu 200% dan 400%. Tingginya absorpsi kalsium di usus disertai peningkatan asupan kalsium harian akan mengurangi demineralisasi tulang dan akan mengembalikan keseimbangan kalsium menjadi positif (Allen 1982). Namun, jika asupan kalsium tidak ditingkatkan, absorpsi kalsium akan menurun karena jumlah kalsium yang dapat diserap bekurang (Almatsier 2006). Defisiensi fosfor juga akan meningkatkan absorpsi kalsium. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. tahun 1976 menunjukan bahwa defisiensi fosfor
meningkatkan
1,25-(OH)2-vit
produksi
D3
yang
kemudian
akan
meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982). Daur kehidupan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Younoszai tahun 1981 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan linier antara konsumsi dan absorpsi kalsium pada bayi. Pada asupan kalsium yang rendah, efisiensi absorpsi kalsium pada bayi berkurang daripada dewasa. Hal ini disebabkan karena mekanisme adaptasi tubuh terhadap asupan kalsium yang rendah tidak terjadi dan transpor kalsium biasanya hanya terjadi lewat difusi. Beberapa susu formula yang mengandung cukup kalsium dapat diabsorpsi 30%, sedangkan asupan 239 mg/kg/hari kalsium dari susu formula yang mengandung vitamin D dan trigliserida dapat diabsorpsi sebanyak 73% (Allen 1982). Kemampuan untuk absorpsi kalsium lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan
menurun
pada
proses
penuaan.
Kebutuhan
kalsium
pada
masa
pertumbuhan lebih tinggi karena itu secara alamiah tubuh akan menyerap lebih banyak kalsium. Remaja cenderung menyerap kalsium lebih banyak daripada orang lanjut usia (Almatsier 2006). Linder (2006) dan Almatsier (2006) menyebutkan bahwa pada dewasa normal absorpsi kalsium berada dalam kisaran 30% - 50%. Namun menurut Bredbenner et al. (2007), tubuh manusia (dewasa) menyerap sekitar 25% hingga 30% kalsium dari makanan yang dikonsumsi, akan tetapi apabila tubuh membutuhkan kalsium dalam jumlah ekstra tinggi seperti pada tahap pertumbuhan, bayi dan ibu hamil, absorpsi meningkat mencapai 75%.
12 Pada wanita menopause, penurunan sekresi hormon esterogen akan menyebabkan demineralisasi tulang (Linder 2006). Terapi esterogen selama 6 bulan dapat meningkatkan level calcitriol serum
sebesar 40%. Peningkatan
calcitriol serum tersebut meningkatkan absorpsi kalsium sebesar 20% dan reabsorpsi kalsium di renal ginjal. Absorpsi kalsium pada lansia dengan diet tinggi kalsium (2000 mg/hr) yaitu sekitar 20% sedangkan pada diet rendah kalsium (300 mg/hr), absorpsi kalsium meningkat menjadi 40% (Allen 1982). Bioavailabilitas berbagai garam kalsium Bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Menurut Gropper et al. (2005), terdapat beberapa bentuk garam kalsium yang biasanya digunakan dalam suplemen dan fortifikasi yaitu kalsium karbonat, kalsium laktat, kalsium sitrat dan kalsium glukonat. Garam kalsium akan bersifat bioavailable dalam bentuk terlarut. Kalsium karbonat umumnya terdapat dalam bahan pangan dalam jumlah yang tinggi namun kelarutannya rendah (Muchtadi 2008). Kressel et al. (2010) menyatakan bahwa pada suhu 21oC, kalsium karbonat hampir tidak larut dalam air (0,014 g/l) dan dalam jus apel yang bersifat asam sekalipun (3 g/l) sehingga bioavailabilitasnya juga rendah (5,5%). Sementara itu, beberapa macam garam kalsium yang mempunyai sifat kelarutan yang baik, misalnya kalsium glukonat, kalsium laktat. Kalsium laktat yang tersedia dalam bentuk pentahidrat (5H2O), mengandung 13% kalsium. Garam kalsium ini mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9,3 g/l), sehingga paling banyak digunakan dalam industri minuman, sedangkan kalsium glukonat memiliki kelarutan sebesar 3,5 g/l (Muchtadi 2008). Selanjutnya Muchtadi (2008) menjelaskan bahwa trikalsium sitrat memberikan kombinasi yang baik: bentuk yang paling banyak digunakan adalah bentuk tetrahidrat (4H2O), dengan kadar kalsium yang cukup tinggi (21%) dan kelarutan yang moderat (0,9 g/l). Sifat kelarutan garam kalsium dalam air sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) larutan, di mana kelarutan garam kalsium akan meningkat dengan meningkatnya keasaman (menurunnya pH). Trikalsium sitrat menunjukkan kelarutan yang lebih baik pada pH lebih rendah dari 4,5. Berbeda dengan garam kalsium lain, trikalsium sitrat lebih mudah larut pada suhu rendah. Baker (1991) menambahkan bahwa kelompok sumber kalsium organik seperti dari tepung tulang, bentuk dikalsium fosfat, trikalsium fosfat, dan kalsium sulfat memiliki ketersediaan yang tinggi.
13 Fortifikasi kalsium juga terkadang menggunakan gabungan dari dua garam organik seperti kalsium laktat glukonat, kalsium laktat malat, dan kalsium laktat sitrat. Kalsium laktat glukonat merupakan garam kalsium yang sangat mudah larut dalam air (45 - 50 g/l) (Muchtadi 2008). Pada suhu 21oC, kelarutan kalsium laktat malat dalam air adalah 115 g/l, sedangkan kelarutan kalsium laktat sitrat sebesar 98 g/l (Kressel et al. 2010). Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapislapis. Crackers tanpa pemanis merupakan tipe yang paling populer yang dapat dikonsumsi sebagai pengganti roti dan penggunaannya lebih luas sebagai makanan diet. Ciri-ciri crackers yang baik adalah tekstur yang renyah, tidak keras apabila digigit, tidak hancur dan mudah mencair apabila dikunyah (Manley 2000). Pengembangan produk crackers terus dilakukan baik untuk meningkatkan palatabilitas maupun kandungan zat gizinya. Salah satu pengembangan produk crackers yang dirancang untuk memberikan kontribusi kalsium terhadap pemenuhan AKG remaja adalah crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Ferazuma 2009). Tabel 2 menyajikan syarat mutu crackers mengacu pada biskuit. Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) Komponen Syarat Mutu Air Maksimum 5% Protein Minimum 9% Lemak Minimum 9.5% Karbohidrat Minimum 70% Abu Maksimum 1.5% Logam Berbahaya Negatif Serat Kasar Maksimum 0.5% Kalori (per 100 gr) Minimum 400 Jenis Tepung Terigu Bau dan Rasa Normal, tidak tengik Warna Normal Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)
Bahan baku Crackers Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan crackers dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan
14 bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kuat adalah tepung terigu, air, dan garam, sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur adalah gula, mentega, dan leavening agent (baking powder) sebagai bahan pengembang (Manley 2000). Tepung terigu berfungsi sebagai pembentuk adonan selama proses pencampuran, menarik, atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikannya secara
merata,
mengikat
gas
selama
proses
fermentasi
dan
selama
pemanggangan. Selain itu, tepung juga memegang peranan penting dalam pembentukan cita rasa (Matz & Matz 1978). Tepung terigu yang digunakan adalah tepung terigu yang terbuat dari gandum lemah, mempunyai daya serap air rendah, adonan yang terbentuk kurang elastis dan ekstensibel (Sijabat 2003). Air merupakan medium untuk membentuk adonan, melarutkan bahan, dan mendistribusikannya ke seluruh massa adonan. Kualitas air yang digunakan mempengaruhi karakteristik adonan. Dalam pembuatan crackers, gula berkontribusi sebagai pemberi aroma melalui browning nonenzimatis dan sebagai pemanis. Gula menyediakan substrat untuk terjadinya fermentasi pada produk yang diolah menggunakan ragi. Selain itu, pada produk yang mengalami tahap pengadonan, gula berfungsi dalam pengatur keempukan (Penfield & Campbell 1990). Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan crackers karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi yang menghasilkan tekstur yang renyah dan lembut pada kue (Manley 2000). Bahan pengembang (Leavening agent) merupakan senyawa kimia yang bila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan. Pada pembuatan crackers, bahan pengembang berfungsi dalam pembentukan volume dan membuat produk jadi ringan. Saat pemanggangan, gas yang dihasilkan bersama dengan udara dan uap air yang ikut terperangkap dalam adonan menyebabkan mengembang (Winarno 2008). Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Ikan lele yang terkenal ada 2 (dua) jenis yaitu lele lokal (Clarias batrachus), dan lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele lokal merupakan ikan asli perairan Indonesia, sedangkan lele dumbo merupakan hasil persilangan lele lokal dari Afrika dengan lele lokal dari Taiwan. Secara umum, keduanya memiliki
15 kesamaan ciri morfologi yaitu bentuk tubuh bulat memanjang, licin, berlendir, tidak bersisik, memiliki tiga buah sirip tunggal (punggung, ekor, dubur) dan dua pasang sirip dada yang berfungsi sebagai senjata (patil), serta alat pernapasan tambahan berbentuk pohon yang biasa disebut arborescent organ yang memungkinkan lele dapat mengambil oksigen langsung dari udara bebas. Perbedaan ciri morfologi keduanya terlihat pada ukuran, bentuk mulut, warna tubuh, dan kumis. Pada lele dumbo, ukuran tubuh dan bentuk relatif lebih besar daripada lele lokal. Lele dumbo memiliki warna tubuh yang akan berubah menjadi pucat saat terkena matahari dan menjadi loreng seperti mozaik hitam putih jika terkejut atau kaget, sedangkan pada lele lokal warna tubuh bersifat permanen. Selain itu, disekitar mulutnya lele dumbo memiliki delapan buah kumis yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak dan saat mencari makan, sedangkan lele lokal hanya memiliki dua buah kumis. Ikan lele dumbo diklasifikasikan ke dalam Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, Kelas Pisces, Sub Kelas Teleostei, Ordo Ostariophysi, Sub Ordo Clariidae, Genus Clarias, dan Spesies Clarias gariepinus (Khairuman & Amri 2008). Produksi ikan lele dumbo di indonesia pada tahun 2003 mencapai 360 juta ekor dan ditargetkan meningkat rata-rata 21,64% pada akhir tahun 2009 (Mahyuddin 2008). Khusus pada ikan, bagian yang dapat dimakan kira-kira hanya sebesar 70% sisanya adalah limbah ikan berupa kepala, sirip, ekor, dan isi perut yang umumnya tidak dapat digunakan sebagai makanan. Berdasarkan Adawyah (2008) limbah kepala dan sirip ikan mengandung komponen berupa garam kalsium, fosfat, dan senyawa nitrogen yang dapat dimanfaatkan menjadi tepung ikan. Ferazuma (2009) menambahkan bahwa pada lele dumbo, limbah kepala yang dihasilkan adalah 10% dari berat ikan segarnya.
Gambar 1 Kepala ikan lele dumbo segar (Ferazuma 2009)
16 Pembuatan tepung kepala ikan lele dumbo yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan crackers tersebut dimulai dengan sortasi ikan, kemudian dipisahkan antara kepala dan badannya lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi, pengepresan, pengeringan dengan drum dryer, dan penggilingan dengan willey mill (Ferazuma 2009). Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo No
Zat Gizi
1 Air 2 Abu 3 Protein 4 Lemak 5 Karbohidrat 6 Kalsium 7 Fosfor Sumber: Ferazuma (2009)
Tepung kepala Ikan lele dumbo (%bb) 8,72 16,53 51,15 8,56 15,03 5,68 3,78
Selain sifat kimia, pada pembuatan tepung kepala ikan lele dumbo tersebut juga dianalisis sifat fisik yang meliputi densitas kamba, derajat putih, dan aktivitas air (aw). Densitas kamba tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 0,45 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tepung kepala ikan lele dumbo berada dalam kisaran densitas kamba secara umum. Nilai derajat putih tepung kepala ikan dumbo sebesar 29,02%, sedangkan aktivitas air (aw) tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 0,66 (Ferazuma 2009) Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan, crackers yang disukai adalah crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g (Ferazuma 2009). Crackers ini memberi kontribusi kalsium pada anak-anak, remaja, dan dewasa sebesar 40%; 24%; 30% dari AKG Kandungan gizi crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis proksimat, fosfor dan kalsium crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo Zat gizi Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Sumber: Ferazuma (2009)
Kandungan gizi per 100 g 3,10 % 3,95 % 9,90 % 18,60 % 64,50 % 543 mg 305 mg
17
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Pembuatan crackers dilakukan di Laboratorium Percobaan Makanan. Analisis kimia crackers dan bioavailabilitas kalsium pada crackers dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia dan Pangan Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis crackers. Crackers pertama adalah crackers kontrol. Crackers kedua yaitu crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g. Crackers ketiga yaitu crackers komersial hi-calcium original. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam pembuatan crackers adalah tepung terigu, tepung kepala ikan lele dumbo, gula, susu skim, margarin, mentega, garam, baking powder, dan ragi. Tepung kepala ikan lele dumbo telah tersedia karena merupakan hasil penelitian Ferazuma (2009). Selain itu, bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah bahan untuk analisis kimia yang meliputi analisis kadar protein, total kalsium, dan bioavailabilitas kalsium. bahan-bahan tersebut adalah air destilata, asam sulfat (H2SO4), asam nitrat, selenium mix, HCl, asam borat (H3BO3), kalium hidroksida (KOH), air bebas ion, enzim pepsin (Merck dari porsin), pankreatin (Sigma P170), ekstrak bile (Sigma B-8631), dan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3). Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan crackers adalah mixer, loyang, baskom, timbangan, oven, dan roller. Alat-alat lain yang digunakan adalah alat untuk analisis kimia yang meliputi kadar protein, total kalsium, dan bioavailabilitas kalsium. alat-alat tersebut terdiri dari erlenmeyer, labu takar, magnetic stirrer, labu destilasi, labu Kjehdahl, buret, gelas piala, blender, neraca analitik, pH meter, pipet mohr, pipet tetes, pipet volumetrik, tabung reaksi, aspirator (bulb), corong, spatula, botol semprot, plastik, gunting, karet gelang, kertas saring Whatman no.42, kantung dialisis (Spectrapor I, MWCO 6000-8000, dia: 32,8 mm, flat width: 50 mm, vol/length: 8 ml/cm), penangas air bergoyang, Spektrofotometer
double
Specthrophotometre).
beam,
dan
AAS
(Atomic
Absorption
18 Tahapan Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahap sebagai berikut : 1. Pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo 2. Analisis kadar air, protein, fosfor, dan total kalsium pada ketiga crackers 3. Analisis bioavailabilitas in vitro kalsium pada ketiga crackers Tahap 1. Pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo Resep crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo mengacu pada penelitian Ferazuma (2009). Resep crackers disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Resep crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo Komponen Adonan : Tepung kepala ikan (g) Tepung terigu (g) Gula (g) Margarin (g) Mentega (g) Baking powder (g) Ragi (g) Garam (g) Air (ml) Susu skim (g) Dust filling : Tepung terigu (g) Margarin (g) Garam (g)
Crackers kontrol
Resep Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo
0 100 1 15 10 0.2 2 2 34 4
12,5 87,5 1 15 10 0.2 2 2 34 4
15 5 0.2 188.4
15 5 0.2 188.4
Sumber : Ferazuma (2009)
Tahap 2. Analisis Kadar Air, Protein, dan Fosfor Crackers Crackers dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis kadar air, protein, fosfor dan total kalsium. Prosedur analisis kadar air dan protein dapat dilihat pada Lampiran 1-2.
19 Analisa Fosfor Metode Vanadat-Molibdat (Sulaeman et al. 1994) a. Persiapan pereaksi Vanadat-Molibdat 20 gram ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat kemudian didinginkan. Timbang 1,0 gram vanadat dilarutkan ke dalam 300 ml akuades mendidih. Setelah dingin, tambahkan asam nitrat pekat sambil diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan vanadat, diaduk. Larutan
molibdat
dimasukkan
kedalam
larutan
vanadat,
diaduk
lalu
diencerkan hingga volume 1 liter. b. Persiapan larutan fosfat standar 3,834 gram potassium dihidrogen fosfat kering dilarutkan di dalam akuades dan diencerkan hingga volume 1 liter. Sebanyak 25 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan diencerkan sampai tanda tera ( 1 ml = 0,2 P2O5). c. Pembuatan kurva standar Larutan fosfat standar diambil sebanyak 0; 0,025; 0,050; 0,100; 0,125; 0,150; dan 0,200 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 100 ml. Masing-masing ditambah 25 ml pereaksi vanadat-molibdat kemudian ditera. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 nm. d. Penetapan sampel Sampel yang telah dipreparasi dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Tambahkan 25 pereaksi vanadat-molibdat pada masing-masing labu takar dan diencerkan sampai tanda tera. Setelah didiamkan sampel diukur panjang absorbannya pada panjang gelombang 400 nm. Konsentrasi fosfor dapat diketahui melalui kurva standar berdasarkan absorbans yang terbaca. Cara untuk menghitung kadar fosfor dapat dilihat sebagai berikut : Kadar P205 Kadar P fp
= (100/1000 x fp x konsentrasi fosfor x 100) / mg sampel = berat atom P x 2 x kadar P2O5 berat molekul P2O5 =1
20 Diagram pembuatan crackers disajikan pada Gambar 2: Gula halus Baking powder Ragi Garam Susu Skim
Tepung terigu Tepung kepala ikan lele dumbo*
Dicampur dengan mixer Ditambah margarin Diuleni dengan tangan sampai adonan kalis Ditutupi lap yang telah dibasahi oleh air hangat Difermentasi selama 1 jam Dibuat lembaran**
Ditaburi campuran margarin tepung terigu dan garam
Dilipat menjadi dua bagian** Digiling kembali dengan roller menjadi lembaran** Dipotong Didiamkan selama 5 menit Dipanggang
Crackers Ket
: * ditambahkan pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo ** proses ini dilakukan selama 5 kali
Gambar 2 Diagram alir pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Ferazuma 2009)
21 Tahap 3. Analisis Bioavailabilitas in vitro kalsium Crackers metode Dialisis (Roig et al. 1999) a. Bahan dan Alat Semua peralatan gelas dicuci, direndam dalam larutan HNO3 10% (v/v) selama 24 jam dan dibilas dengan air bebas ion sebelum digunakan. Bahan dan alat meliputi : 1. HCl 37% 2. Suspensi Pepsin : 1,6 g pepsin didispersikan ke dalam 0,1 M HCl dan ditepatkan volumenya menjadi 10 ml. suspensi ini dibuat sewaktu akan digunakan. 3. Campurkan pankreatin : Sebanyak 1 g pankreatin dan 6,25 g ekstrak bile didispersikan dalam 0,1 M NaHCO3 dan ditepatkan volumenya menjadi 250 ml. Campuran ini dibuat sewaktu akan digunakan. 4. Kantung Dialisis : Kantung dialisis dipotong dengan panjang 20 cm dan kemudian direndam dalam air bebas ion sampai akan digunakan. 5. Botol-botol gelas : Botol-botol gelas dengan ukuran yang sesuai dan mencukupi, digunakan untuk tempat sampel dan kantung dialisis.
b. Persiapan sampel (Gambar 3) crackers diblender kering sampai menyerupai bubuk Ditimbang setara 2 gram protein Analisis ketersediaaan kalsium Gambar 3 Tahap-tahap persiapan sampel c. Prinsip analisis Kalsium sampel dihirolisis dari ikatannya dengan protein menggunakan enzim-enzim pencernaan yang terdapat di lambung dan usus halus. Kalsium bebas yang terdapat dalam larutan sampel akan berdifusi melalui membran semipermeabel ke dalam kantung dialisis yang berisi buffer NaHCO3. Kalsium dalam dialisat menunjukkan jumlah kalsium yang diserap tubuh.
22 d. Pencernaan in vitro kalsium pada crackers (Gambar 4)
Sampel
+ H 0 bebas ion 100 ml 2 Atur pH menjadi 2,0 dengan HCl 4N
Timbang gelas piala bersama sampel (A)
Timbang 20 g (T1) + suspensi Pepsin 1 ml
1,6 g pepsin dilarutkan dalam 10 ml HCl 0,1 N
Inkubasi 370 C 120 mnt kec 5
Masukkan ke dalam freezer Thawing dalam shaker 370C
Kantung dialisis dimasukkan Inkubasi 370C 30 menit kec 5 + 5 ml pancreatin bile
Timbang 20 g (T2) + suspensi Pepsin 1 ml Inkubasi 370 C 120 mnt kec 5
Masukkan ke dalam freezer Potong kantung ± 12 cm, rendam dlm air bebas ion lalu ikat salah satu ujungnya dan isi dengan 20 ml larutan NaHCO3 hasil perhitungan
1 gr pankreatin (sigma p 170) + 6,23 ekstrak bile (sigma B-8631) larutkan dalam 250 ml NaHCO3 0,1 N
Thawing dalam shaker 370C + 5 ml pancreatin bile Titrasi dgn kOH standar sampai pH 7
Hitung kebutuhan NaHCO3
Inkubasi 370C 2 jam kec 5 Angkat kantung dialisis Cuci dengan air bebas ion Timbang dialisatnya
Gambar 4 Prosedur pencernaan kalsium secara in vitro dalam analisis ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium dengan metode dialisis (Roig et al. 1999)
23 e. Pengabuan basah untuk analisis kandungan kalsium pada dialisat dan crackers Timbang ± 2 gr dialisat + H2SO4 10 ml + 10 ml HNO3 pekat Diamkan semalam + H2O bebas ion Panaskan sampai jernih Encerkan dalam labu 50 ml Saring dengan whatman
Baca absorban dengan AAS pada λ = 422,7
Gambar 5. Prosedur pengabuan basah dalam analisis total kalsium dalam dialisat maupun pada crackers dengan metode AAS. f.
Perhitungan
1)
Berat sampel setara 2 g protein = (2/protein sampel) x 100
2)
% 3
3)
40 %
4) ket; fp 5)
x 100%
x 100%
= faktor pengenceran (1 dan 10)
Total Ca tersedia (mg/100g) = Ca sampel (mg/100 g) x (% Bioavailabilitas)
24 Skema penelitian bioavailabilitas kalsium pada crackers disajikan pada Gambar 6.
Larutan sampel Ca2+ Kantung dialisis
Larutan Buffer NaHCO3
Gambar 6 Skema penelitian bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada data hasil analisis bioavailabilitas kalsium adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Model yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + τI + εij Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan respon karena pengaruh jenis crackers ke-I pada ulangan ke-j terhadap kadar air, protein, fosfor, total kalsium, dan bioavailabilitas kalsium.
µ
= Nilai rata-rata pengamatan
τI
= Pengaruh jenis crackers ke-I (kontrol, dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan komersial)
εij
= Kesalahan penelitian karena pengaruh jenis crackers ke-i pada ulangan ke-j (j = 1,2)
25 Pengolahan dan Analisis Data Perhitungan kadar air, protein, fosfor, total kalsium, bioavailabilitas kalsium, dan total kalsium tersedia pada penelitian ini dilakukan secara manual. Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar air, protein, fosfor, total kalsium, dan bioavailabilitas kalsium crackers. Analisis sidik ragam yang digunakan adalah one way ANOVA, sedangkan uji lanjutnya adalah uji lanjut Duncan. Selain kedua analisis tersebut, dilakukan uji korelasi antara kadar protein, kadar fosfor, kadar kalsium dengan bioavailabilitas kalsium crackers menggunakan uji korelasi Pearson.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Produk Crackers Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapislapis (Manley 2000). Jenis crackers yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan crackers komersial high calcium original. Pemilihan ketiga jenis crackers tersebut didasarkan pada perbedaan komposisi bahan baku yang diduga akan menyebabkan perbedaan total kalsium. Produk crackers yang diteliti disajikan pada Gambar 7.
Crackers kontrol
Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo
Crackers komersial
Gambar 7. Produk Crackers yang diteliti Crackers kontrol merupakan jenis crackers dimana bahan bakunya merupakan bahan-bahan yang umum digunakan untuk pembuatan crackers, artinya tidak ada bahan khusus yang digunakan untuk memperkaya atau meningkatkan kandungan zat gizi khususnya kalsium. Sebagian besar kandungan kalsium pada crackers kontrol berasal dari susu skim dan tepung terigu. Pada crackers kedua dilakukan pemanfaatan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g. Crackers ini dipilih karena berdasarkan Ferazuma (2009) tergolong ke dalam “tinggi” kalsium sehingga dapat dijadikan pangan yang dapat berkontribusi terhadap kecukupan kalsium harian. Selain itu, crackers tersebut merupakan crackers formulasi terbaik yang dipilih oleh 20 panelis berdasarkan uji organoleptik hedonik dan mutu hedonik.
27 Crackers komersial high calcium original merupakan jenis crackers komersial yang memiliki klaim “tinggi” kalsium. Selain itu, pemilihan crackers ini didasarkan karena cukup dikenal masyarakat. Di pasaran, crackers ini terdiri atas dua macam yaitu original, dan vegetable. Pada penelitian ini, yang dipilih adalah yang original. Pemilihan tersebut atas pertimbangan bahwa jenis bahan baku yang digunakan diharapkan menghasilkan karakteristik yang hampir sama dengan kedua crackers lainnya sehingga ketiganya dapat dibandingkan. Keberadaan serat pada crackers komersial high calcium vegetable juga dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium yang merupakan inti dari penelitian ini. Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Pada penelitian ini, crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo didapatkan dengan cara membuatnya sendiri, sedangkan crackers komersial didapat dengan cara membeli. Metode yang digunakan dalam pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo adalah metode all in dough yaitu semua bahan dicampur sekaligus menjadi adonan dan difermentasi bersama-sama. Proses pencampuran bahan-bahan crackers bertujuan untuk membentuk adonan yang dikehendaki hingga tercapai konsistensi adonan (Ferazuma 2009). Semua bahan yang digunakan diaduk sampai kalis yaitu bersifat plastis (dapat ditarik membentuk film tipis) tetapi tidak lengket dan tidak mudah sobek. Manley (2000) menyatakan bahwa proses pengadukan adonan bertujuan untuk memperoleh campuran adonan yang homogen. Menurut Ferazuma (2009), waktu pengadukan yang dibutuhkan sampai kalis sekitar 30-35 menit. Setelah adonan kalis dilakukan fermentasi selama satu jam. Boekhoet dan Robert (2003) menjelaskan
bahwa
pada
saat
pencampuran
adonan,
jaringan
gluten
mengembang akibat reaksi oksidasi antara ragi dan tepung terigu. Selama fermentasi terbentuk gas CO2 dan adonan menjadi lebih kenyal. Selain gas CO2, fermentasi ragi juga menghasilkan etanol yang dapat memberikan aroma harum pada saat adonan dipanggang. Langkah selanjutnya setelah proses fermentasi dilakukan proses pembuatan lembaran. Adonan ditekan dan dipipihkan dengan menggunakan roller untuk memperoleh ketebalan lembaran adonan yang dikehendaki. Proses tersebut dilakukan untuk memperoleh ketebalan yang sama, tidak terdapat
28 lubang, dan tepinya rata. Setelah pembuatan lembaran selesai dilakukan, proses selanjutnya adalah pelipatan dan pemberian taburan campuran margarin, garam, dan mentega. Pada penelitian ini, tahap tersebut dilakukan dengan cara melipat lembaran sehingga setengah bagian lembaran menutupi setengah bagian lembaran yang lain (Ferazuma 2009). Proses pembuatan lembaran dilakukan lima kali dengan tingkat ketebalan yang diinginkan terus diturunkan mulai 7, 5, sampai 3 mm. Sama halnya dengan pembuatan lembaran dan pelipatan, pemberian taburan campuran margarin, garam, dan mentega juga dilakukan sebanyak lima kali. Menurut Manley (2000), tahap ini dilakukan untuk memperbaiki lembaran adonan yang kurang baik, memperoleh lembaran adonan yang lebih seragam, dan membentuk konsistensi yang baik (mempengaruhi struktur produk akhir). Lembaran adonan yang sudah tipis dan merata didiamkan selama 5-10 menit sebelum dilakukan proses pencetakan. Tahap pengistirahatan ini dilakukan untuk mengontrol bentuk crackers setelah dipanggang. Setelah pengistirahatan, adonan kemudian dicetak dan dipanggang dengan suhu yang digunakan sebesar 180ºC selama lima menit. Kemudian suhu diturunkan menjadi 150ºC selama 10-15 menit. Menurut Manley (2000), selama pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu pengembangan struktur produk, penurunan kadar air 1%-5% dan perubahan warna pada permukaan biskuit. Keragaan Kadar Air, Protein, Fosfor, dan Total Kalsium Crackers Kadar Air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan. Selain itu, kandungan air juga menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu (Winarno 2008). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar zat gizi dalam basis basah dan kering. Hasil analisis kadar air crackers dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analisis rata-rata kadar air (%) pada produk crackers No 1 2 3 Ket:
Jenis Crackers Kadar Air (% bb)* Kontrol 2,57 ± 0,11a Dengan tepung kepala ikan lele dumbo 2,94 ± 0,49a Komersial 1,55 ± 0,31a * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), dan n=2
29 Berdasarkan tabel di atas, kadar air crackers (basis basah) berkisar antara 1,55% sampai dengan 2,94%. Nilai tersebut sudah sesuai dengan SNI 012973-1992 yang menyatakan bahwa syarat kadar air biskuit adalah maksimal 5% basis basah. Jenis crackers tidak berpengaruh nyata terhadap kadar airnya (p>0,05). Hal ini diduga disebabkan karena proses pemanggangan yang hampir sama. Proses pemanggangan menyebabkan terjadinya penguapan air bebas dalam bahan baku penyusun crackers. Nilai kadar air crackers dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu pemanggangan dalam oven. Selain itu, banyaknya air yang ditambahkan ke dalam adonan dapat menyebabkan persamaan kadar air produk tersebut. Ferazuma (2009) menyatakan bahwa biskuit dengan kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan tekstur biskuit kurang renyah. Kadar Protein Protein merupakan bagian dari semua sel hidup yang terbentuk dari asam-asam amino dalam jumlah besar setelah air, yaitu seperlima bagian tubuh. Protein terdapat pada otot, tulang, kulit, dan jaringan lain serta cairan tubuh berupa enzim, hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler, dan sebagainya. Protein berfungsi sebagai sumber energi juga berfungsi sebagai zat pembangun dan zat pengatur (Almatsier 2006). Pada penelitian ini, analisis kandungan protein bertujuan untuk mendapatkan berat sampel setara 2 g protein yang akan digunakan untuk analisis bioavailabilitas kalsium. Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa kadar rata-rata protein (basis basah) produk crackers berkisar antara 6,46% sampai dengan 11,10%, sedangkan dalam basis kering, kadar protein crackers berkisar antara 6,64% sampai dengan 11,41%. Tabel 7 Hasil analisis rata-rata kandungan protein (%) pada produk crackers No 1 2 3 Ket
Kadar Protein** (% basis basah) (% basis kering)* Kontrol 8,99 ± 0,07 9,24 ± 0,07b Dengan tepung kepala ikan lele dumbo 11,10 ± 0,25 11,41 ± 0,25a Komersial 6,46 ± 0,44 6,64 ± 0,45c : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) ** n=2 Jenis Crackers
Secara nyata kandungan protein tertinggi terdapat pada produk crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dan yang terendah adalah crackers komersial (p<0,05). Jika dibandingkan dengan SNI 01-2973-1992 yang
30 mensyaratkan kandungan protein crackers minimum 9% basis basah, hanya crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo yang memenuhi syarat tersebut. Berdasarkan label kemasan, crackers komersial memiliki kadar protein 15%. Perbedaan kadar protein hasil analisis dan informasi label kemasan diduga disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam pegukuran kadar protein crackers. Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa jenis produk crackers sangat berpengaruh terhadap kandungan protein crackers tersebut (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut (Lampiran 9a) dapat dilihat bahwa kandungan protein crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo lebih tinggi dari kedua jenis crackers lainnya. Hal ini diduga karena perbedaan bahan baku yang digunakan. Setiap bahan baku yang digunakan memiliki kandungan zat gizi yang berbedabeda. Tepung kepala ikan lele dumbo yang digunakan dalam pembuatan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 51,15% (bb) sehingga diduga mempengaruhi kandungan protein crackers yang dihasilkan. Persen kontribusi protein dalam satu takaran saji (44 g) crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan crackers komersial terhadap kecukupan protein (60 g) berturut-turut adalah
6,59%,
8,14%, dan 4,73%. Berdasarkan kontribusi tersebut, ketiga crackers bukan merupakan sumber protein. Kandungan Fosfor Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah kalsium. Dalam tubuh fosfor mempunyai peran struktural dan fungsional. Secara struktural sebagian besar (85%) fosfor bersama-sama kalsium berada dalam tulang rangka dan gigi (Soekatri & Kartono 2004), sedangkan secara fungsional fosfor berperan untuk: (1) mengatur pelepasan energi selama pembakaran atau oksidasi hidrat arang, lemak, dan protein (2) fosforilasi monosakarida dan lemak untuk memfasilitasi jalan ke sel membran, (3) penyerapan dan transportasi zat gizi, (4) mengatur keseimbangan asam basa, dan (5) merupakan bagian DNA dan RNA (Linder 2006). Pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisis kandungan fosfor dalam produk crackers adalah metode vanadat-molibdat. Hasil pengabuan basah crackers setelah direaksikan dengan pereaksi vanadatmolibdat kemudian dibaca serapannya dengan menggunakan Spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 400 nm. Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan
31 bahwa kandungan fosfor produk crackers berkisar antara 78,79 sampai dengan 152,21 mg/100g (basis basah) atau 80,99 sampai dengan 156,48 mg/100 g (basis kering). Tabel 8 Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100g) pada produk crackers No
Jenis Crackers
1 2
Kadar Fosfor** (mg/100g basis kering)* (mg/100g basis basah) 78,79 ± 5,67 81,00 ± 5,83a 104,21 ± 6,98 107,13 ± 7,17a
Kontrol Dengan tepung kepala ikan lele dumbo 3 Komersial 152,21 ± 13,48 156,48 ± 13,86b Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) ** n = 2
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 8) diketahui bahwa jenis crackers berpengaruh nyata terhadap kandungan fosfornya (p<0,05). Hasil uji lanjut (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa kandungan fosfor crackers komersial lebih tinggi secara nyata daripada crackers kontrol (p<0,05). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan bahan baku crackers tersebut. Menurut Ferazuma (2009), semakin tinggi penambahan tepung kepala ikan lele dumbo, maka semakin tinggi kadar fosfor crackers. Sementara itu, kandungan fosfor crackers formulasi tidak berbeda nyata dengan crackers konvensional. Satu takaran saji (44 g) crackers kontrol, dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan komersial dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kecukupan fosfor (600 mg) berturut-turut sebesar 3,47%, 4,59%, dan 6,70%. Berdasarkan kontribusi tersebut, ketiga crackers bukan merupakan sumber fosfor. Kondisi ini cukup baik bagi penyerapan kalsium. Total Kalsium Kalsium terkandung dalam tubuh kita dalam jumlah lebih banyak dari mineral lainnya. Diperkirakan 1,5% sampai 2% berat badan orang dewasa dan 39% dari total mineral tubuh. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam darah dan cairan ekstraseluler (Anderson 2004). Total kalsium menunjukkan jumlah kalsium yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui total kalsium pada penelitian ini adalah analisis total kalsium metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). Sampel hasil pengabuan basah dibaca serapannya pada
32 panjang gelombang (λ) 422,7 nm. Tabel 9 menyajikan hasil analisis total kalsium produk crackers Tabel 9 Hasil analisis rata-rata total kalsium (mg/100g) pada crackers No
Jenis Crackers
1 2
Total Kalsium** (mg/100g basis basah) (mg/100g basis kering) 86,28 ± 4,34 88,70 ± 4,46a 552,79 ± 9,83 568,29 ± 10,11b
Kontrol Dengan tepung kepala ikan lele dumbo 3 Komersial 1210,04 ± 6,37 1243,97 ± 6,55c Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) ** n=2
Berdasarkan Tabel 9, total kalsium produk crackers berkisar antara 86,29 sampai dengan 1210,04 mg/100g (basis basah) atau 88,70 sampai dengan 1243,9719 mg/100 g (basis kering). Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa jenis crackers berpengaruh nyata terhadap total kalsium (p<0,05). Kemudian, berdasarkan hasil uji lanjut (Lampiran 9c) diketahui bahwa total kalsium ketiga crackers berbeda nyata satu sama lain. Sama halnya dengan kandungan fosfor, perbedaan yang signifikan dari total kalsium crackers disebabkan karena adanya perbedaan bahan baku crackers tersebut. Total kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo lebih tinggi secara nyata daripada crackers kontrol (p<0,05) disebabkan karena adanya penambahan tepung kepala ikan lele dumbo pada crackers tersebut. Menurut Ferazuma (2009), semakin tinggi penambahan tepung kepala ikan lele dumbo, maka semakin tinggi kadar kalsium dan fosfor crackers. Sementara itu, tingginya total kalsium dalam crackers komersial disebabkan adanya penambahan kalsium karbonat. Hal ini sesuai dengan keterangan yang tercantum pada kemasan bahwa penambahan kalsium karbonat bertujuan untuk memperkaya kalsium pada crackers komersial.. Perbedaan total kalsium dalam crackers tentu saja akan menyebabkan perbedaan kontribusinya terhadap kecukupan kalsium harian. Tabel di bawah ini menunjukkan kontribusi total kalsium yang terkandung dalam crackers per takaran saji (44 g) terhadap pemenuhan kalsium harian. Berdasarkan Tabel 10, kontribusi total kalsium crackers per takaran saji terhadap AKG kalsium dengan pendekatan ALG umum kalsium tahun 2007 berkisar antara 4,75% sampai 66,55%.
33 Tabel 10 Persentase kontribusi total kalsium crackers terhadap kecukupan kalsium berdasarkan ALG umum (2007) No
Jenis Crackers
1
Kandungan kalsium per takaran saji (mg/44 g) 37.96
Kontrol Dengan tepung kepala ikan lele 2 243.23 dumbo 3 Komersial 532.42 Keterangan : ALG kalsium umum = 800 mg/hari
Kontribusi kalsium (%) 4.75 30.40 66.55
Menurut Karmini dan Briawan (2004), suatu produk pangan dikategorikan sumber yang baik dari suatu zat gizi apabila dalam takaran saji produk tersebut dapat menyediakan 10% sampai 19% dari Angka Label Gizi (ALG) serta dikatakan tinggi apabila kontribusinya terhadap ALG lebih besar atau sama dengan 20%. Berdasarkan kategori tersebut, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dan crackers komersial dikategorikan tinggi kalsium, sedangkan crackers kontrol dikategorikan rendah kalsium. Hasil ini menjadi bukti bahwa kalim gizi yang terdapat dari ketiga jenis crackers adalah benar. Bioavailabilitas Kalsium dan Total Kalsium Tersedia Produk Crackers Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) kalsium Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Total kalsium yang tinggi dalam suatu produk belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh yang tinggi pula sehingga pengetahuan akan bioavailabilitasnya sangatlah penting. Bioavailabilitas kalsium dianalisis dengan menggunakan metode in vitro yang merupakan simulasi dari sistem pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal (Roig et al. 1999). Pengujian bioavailabilitas secara in vitro hanya menunjukkan jumlah kalsium yang dapat diserap dan tidak sampai tahap utility (penggunaan) karena metode ini merupakan simulasi dari keadaan sistem pencernaan di lambung dan usus halus saja, tidak sampai peredaran darah (Rajagukguk 2004). Pengujian ini dilakukan melalui teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Bisswanger (2008) menjelaskan bahwa prinsip teknik dialisis yaitu memisahkan makromolekul terlarut
dari
larutan
terluarnya
melalui
membran
semipermeabel
yang
memungkinkan terjadinya difusi senyawa yang memiliki berat molekul yang
34 rendah, tetapi bukan makromolekulnya. Sementara itu, kantung dialisis dimana proses dialisis berlangsung disimulasikan sebagai usus halus. Kantung(a) dialisis
(a)
(b)
Gambar 8 Tahap persiapan inkubasi: Gelas piala berisis kantung dialisis dalam larutan buffer NaHCO3 (a) dan tabung shaker berisi kantung dialisis dalam suspensi sampel (b) Pengaturan pH sampel menjadi 2 bertujuan agar kalsium dapat larut dan terbebas dari ikatan garamnya. Gropper et al. (2005) menyatakan bahwa kalsium dalam pangan dan suplemen berada dalam bentuk garam yang relatif tidak larut, sedangkan kalsium hanya diabsorpsi dalam bentuk terionisasi (Ca2+) sehingga agar dapat diserap kalsium harus dilepaskan dari bentuk garamnya. Kalsium dalam lambung dapat larut dari berbagai garam kalsium sekitar satu jam pada kondisi pH asam. Hasil penelitian Kaya et al. (2007) memperlihatkan bahwa solubilitas (kelarutan) kalsium biskuit terbaik dihasilkan pada pH 2. Kalsium bersifat bioavailable apabila mineral tersebut dalam bentuk terlarut (soluble) (Miller 1996). Selain itu, pada pH tersebut sejumlah enzim-enzim pencernaan dapat aktif. Di samping pada pH 2, berdasarkan deskripsi produk, pepsin aktif pada suhu 370C. Hal ini sejalan dengan Bisswanger (2008) yang menyatakan bahwa sebagian besar enzim aktif pada suhu fisiologis (37oC). Kondisi selama inkubasi merupakan simulasi dari kondisi tubuh saat pencernaan gastrointestinal terjadi (Puspita 2003). Sementara itu, penambahan enzim pepsin dan pancreatin bile berperan dalam pemecahan protein sehingga kalsium dapat lepas dari bentuk ikatan kalsium-protein yang terdapat pada crackers (Roig et al. 1999). Berdasarkan Linder (2006), pemecahan protein dimulai dari lambung (denaturasi dengan HCl dan proteolitis dari pepsin). Pencernaan yang lebih banyak selanjutnya terjadi di bagian usus halus, dibantu oleh berbagai ekso dan
35 endopeptidase dalam pankreas dan cairan intestinal. Enzim pankreatin bile yang digunakan memberikan aksi yang optimal pada pH 5 (Kamchan 2003).
Gambar 9 Inkubasi sampel bioavailabilitas kalsium in vitro dalam penangas air bergoyang (shaker water bath) Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium crackers berkisar antara 8,00% sampai dengan 17,40% basis basah. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 8), bioavailabilitas kalsium ketiga jenis crackers tersebut sangat dipengaruhi jenis crackersnya (p<0,05). Kemudian uji lanjut (Lampiran 9d) menunjukkan bahwa ketiga jenis crackers tersebut berbeda secara nyata satu sama lainnya. Crackers kontrol memiliki bioavailabilitas kalsium yang lebih tinggi secara nyata dibandingkan jenis crackers lainnya (p<0,05). Kamchan (2003) mengelompokan bioavailabilitas kalsium menjadi tiga yaitu tinggi (≥20%), sedang (10% – 19%), dan rendah (≤10%). Berdasarkan pengelompokkan tersebut, crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki bioavailabilitas kalsium yang termasuk sedang, sedangkan crackers komersial memiliki bioavailabilitas yang rendah. Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dapat dijadikan contoh produk turunan yang baik dari tepung tulang ikan. Hal ini didasari karena bioavailabilitasnya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bioavailabilitas tepung tulang ikan tuna yang hanya memiliki bioavailabilitas kalsium sebesar 0,86% (Trilaksani et al. 2006). Pemanfaatan tepung tulang ikan menjadi produk siap saji diharapkan dapat mengoptimalkan penyerapan kalsiumnya karena pada pembuatan produk seperti crackers, dapat ditambahkan bahan baku lain yang dapat mempertinggi bioavailabilitasnya. Pengaruh jenis crackers terhadap bioavailabilitas kalsium crackers disajikan pada Gambar 9.
36
Gambar 10 Pengaruh jenis crackers terhadap bioavailabilitas kalsium (%) Crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki bioavailabilitas kalsium yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bioavailabilitas sayuran hijau dan hasil olahannya yang berkisar antara 0,69% sampai dengan 8,76% (Safitri 2003), bioavailabilitas susu bubuk komersial high calcium yang berkisar antara 6,40% sampai dengan 9,60% (Puspita 2003), bioavailabilitas biji-bijian yaitu 3,50% sampai dengan 4,20% (Kamchan 2003), dan bioavailabilitas crackers dengan penambahan udang rebon kering
yang
berkisar 2,85 sampai dengan 5,17% (Sijabat 2003). Sebaliknya, secara umum bioavailabilitas kalsium ketiga jenis crackers sebagian besar lebih rendah jika dibandingkan dengan bioavailabilitas produk sereal sarapan yang berkisar antara 2,69% sampai dengan 33,46% (Rajagukguk 2004). Lebih tingginya bioavailbilitas kalsium pada ketiga crackers daripada bioavailbilitas pada sayuran hijau dan hasil olahannya serta biji-bijian diduga karena adanya kandungan serat, fitat, dan atau oksalat yang dapat menghambat penyerapan kalsium. Kamchan (2003) menyatakan bahwa dari ketiga komponen tumbuhan
tersebut,
fitat
memiliki
korelasi
yang
paling
kuat
terhadap
penghambatan penyerapan kalsium pada pangan berbasis tumbuhan khususnya pada biji-jian. Mekanisme penghambatan fitat, oksalat, dan beberapa jenis serat seperti hemiselulosa yaitu dengan mengikat kalsium sehingga keberadaannya menjadi kompleks kalium yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh kemudian dikeluarkan melalui feses.
37 Pengolahan pangan seperti perebusan dapat dilakukan untuk mengurangi penghambatan penyerapan kalsium oleh komponen tumbuhan. Safitri (2003) menjelaskan bahwa bioavailabilitas pada sayuran seperti bayam, daun singkong, daun katuk meningkat setelah mengalami proses perebusan. Hal ini disebabkan karena perebusan menyebabkan rusaknya dinding sel sehingga kalsium dapat larut dalam air. Perebusan juga merusak oksalat sehingga kalsium terdapat dalam bentuk bebas dari oksalat yang kemudian absorpsinya menjadi lebih tinggi. Sementara itu, penambahan susu pada saat mengkonsumsi sereal sarapan dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Hal ini diduga disebabkan karena kandungan laktosa dalam susu yang ditambahkan. Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal (Allen 1982). Kondisi ini juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bioavailabilitas kalsium crackers melalui peningkatan jumlah susu skim dalam bahan baku atau konsumsi bersamaan antara crackers dengan susu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Guthrie (1975) menyatakan bahwa faktor-faktor pendorong bioavailabilitas kalsium antara lain vitamin D yang cukup, keasamam dari massa yang dicerna, laktosa, rasio kalsium fosfor, asam amino lisin, stabilitas emosional, dan kebutuhan tubuh akan kalsium, sedangkan faktorfaktor penghambatnya antara lain asam oksalat, asam fitat, peningkatan motilitas gastrointestinal, asam lemak rantai panjang, dan kurangnya olahraga. Namun, pada penelitian ini yang diamati hanya pengaruh total kalsium, fosfor, dan protein. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson (Lampiran 10) total kalsium dan fosfor crackers memiliki korelasi negatif terhadap bioavailabilitas kalsium yang sangat signifikan (p<0,05), sedangkan kadar protein crackers tidak berkorelasi secara signifikan (p>0,05) terhadap bioavailabilitas kalsium crackers. Hal ini memiliki
arti
bahwa
semakin
tinggi
kadar
kalsium
atau
fosfor
maka
bioavailabilitas kalsium crackers semakin rendah. Sementara itu, kadar protein crackers tidak mempengaruhi bioavailabilitas kalsium pada crackers. Korelasi
negatif
antara
kandungan
kalsium
crackers
dengan
bioavailabilitasnya sejalan dengan penelitian Lewis et al. (1989) yang
38 menyatakan bahwa terdapat indikasi adanya penurunan proporsi kalsium dari makanan yang diserap oleh usus pada intik kalsium yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan ekskresi kalsium pada feses saat intik kalsium tinggi (1600 mg/hr) dibandingkan ketika intik kalsium sedang (700 mg/hr). Kalsium pada feses terdiri atas kalsium yang tidak terabsorpsi dan kalsium (dalam jumlah kecil) yang disekresikan ke dalam saluran gastrointestinal. Weaver dan Heaney (2008) menyatakan bahwa fraksi kalsium yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan intiknya. Nilai penyerapan kalsium akan meningkat sejalan dengan penurunan level kalsium yang dalam hal ini dianggap sama dengan asupan kalsium (Trilaksani et al. 2006). Berbeda dengan total kalsium, korelasi negatif kandungan fosfor terhadap bioavailabilitas kalsium dikarenakan kedua mineral tersebut berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Selain itu, Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi
kalsium
terjadi
melalui
dua
jalan
yaitu
1)
secara
langsung
mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet yaitu pembentukan komplek kalsium fosfat yang relatif tak larut, dan 2) secara tidak langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. tahun 1976 menunjukan bahwa defisiensi fosfor meningkatkan produksi 1,25-(OH)2-vit D3 yang kemudian akan meningkatkan absorpsi kalsium begitu pula sebaliknya (Allen 1982). Absorpsi kalsium dapat terjadi melalui dua jalur, (a) transelular; melalui transfer aktif yang melibatkan protein pengikat kalsium, calbindin D9k, dan (b) paraselular; melalui difusi pasif kalsium (Weaver & Heaney 2008). Kedua jalur tersebut melibatkan protein dengan mekanisme yang berbeda. Calcitriol mempengaruhi penyerapan kalsium dengan menstimulasi protein pengikat kalsium (Calbindin) (Gropper et al. 2005). Satu molekul calbindin mengikat dua atau lebih ion kalsium (Anderson 2004). Kemudian penyerapan kalsium terjadi melalui tiga langkah, yaitu melalui membran brush border, pergerakan intaseluler, dan ekstrusi melalui membran basolateral. (Gropper et al. 2005). Sementara itu, pada difusi pasif, konsentrasi makromolekul seperti protein berperan dalam menimbulkan perbedaan tekanan osmotik di kompartemen luar sehingga ion kalsium dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Bisswanger 2008). Winarno (2008) menyebutkan bahwa berat molekul protein sangat besar sehingga bila dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi koloidal.
39 Protein tulang ikan sebagian besar terdiri atas protein kolagen dengan asam amino penyusun utamanya adalah prolin, glisin dan alanin. Dalam kondisi alami protein fibriler atau skleroprotein ini sulit untuk dicerna oleh enzim pepsin dan pankreatin. Kolagen bersifat tidak larut dalam pelarut encer seperti air, larutan garam, asam, basa maupun alkohol, tetapi bila dipanaskan akan berubah menjadi gelatin yang larut air (Winarno 1997). Kondisi ini diduga mempengaruhi bioavailabilitas kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo. Sifat kolagen yang sulit dicerna oleh pepsin dan pankreatin dapat menyebabkan kalsium tidak terlepas dari ikatannya dengan protein sehingga kalsium tidak terdapat dalam keadaan bebas dan tidak dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Namun di sisi lain, keberadaan protein kolagen yang tidak tercerna juga dapat mendorong kalsium berdifusi ke dalam kantung dialisis. Damodaran (1996) menyebutkan bahwa protein memiliki berat molekul berkisar antara 20.000 sampai 100.000 dalton sementara itu, kantung dialisis yang digunakan hanya bisa dilewati oleh molekul dengan berat molekul maksimal 8000 dalton. Molekul protein tidak dapat melalui membran semipermeabel, tetapi masih dapat menimbulkan tegangan pada membran tersebut (Winarno 2008). Peran positif protein pada kedua jalur penyerapan kalsium dapat menunjukkan bahwa peningkatan protein memberikan pengaruh yang baik bagi penyerapan kalsium dalam tubuh. Namun, di sisi lain intik protein yang berlebihan juga tidak dianjurkan karena hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Allen (1982) menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena reabsorpsi kalsium di ginjal menurun karena peningkatan glomerolus filtration rate (GFR). Kedua pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian ini dimana kandungan protein dalam crackers tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi penyerapan kalsium. Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah. Kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral walaupun kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral (Apriyantono et al. 1989). Kadar abu cenderung meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan tepung kepala ikan lele dumbo. Kadar abu biskuit maksimum menurut SNI
40 adalah 2% (bb). Kadar abu crackers dengan kepala ikan lele dumbo (3,95% bb) berada di atas persyaratan kadar abu biskuit SNI juga lebih tinggi dari crackers kontrol (2,65% bb) (Ferazuma 2009). Tepung kepala ikan lele dumbo tidak hanya terbuat dari tulang kepala namun, masih terdapat jaringan lainnya seperti kulit dan daging sehingga bukan tidak mungkin kadar abu yang tinggi juga mencerminkan kadar mineral lain selain fosfor dan kalsium yang tinggi pula. Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium, seng, dan besi dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika mineral tersebut berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Etcheverry et al. (2004) menjelaskan bahwa afinitas mineral-mineral tersebut untuk membentuk kompleks mineral lebih tinggi jika dibandingkan dengan afinitas mineral dengan reseptor pada sel usus. Hal ini menyebabkan kegagalan transfer kalsium ke dalam sel serta kegagalan aksi enzim proteolitis untuk melepaskan kalsium menjadi ion bebas. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium (Gropper et al. 2005). Keadaan ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bioavailabilitas kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan dengan crackers kontrol, terlebih Etcheverry et al. (2004) menyatakan bahwa korelasi kandungan kalsium, seng dan besi pada susu komersial memiliki korelasi yang lemah terhadap bioavailabilitas mineral-mineral tersebut. Faktor lain yang diduga dapat menyebabkan variasi dalam bioavailabilitas kalsium yaitu bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk (Rajagukguk 2004). Menurut Gropper et al. (2005), terdapat beberapa bentuk kalsium yang biasanya digunakan dalam suplemen dan fortifikasi yaitu kalsium karbonat, kalsium asetat, kalsium laktat, kalsium sitrat dan kalsium glukonat. Namun, kalsium karbonat lebih banyak digunakan karena relatif murah dan memiliki ukuran molekul yang kecil. Crackers komersial yang diperkaya kalsium karbonat memiliki bioavailabilitas kalsium yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua crackers lainnya. Kressel et al. (2010) menyatakan bahwa pada suhu 21oC, kalsium karbonat hampir tidak larut dalam air (0,014 g/l) dan dalam jus apel yang bersifat asam sekalipun (3 g/l) sehingga bioavailabilitasnya juga rendah (5,5%). Berdasarkan Lewis et al. (1989) absorpsi kalsium susu lebih
41 tinggi daripada absorpsi kalsium karbonat. Baker (1991) menambahkan bahwa kelompok sumber kalsium organik seperti dari tepung tulang, bentuk dikalsium fosfat, trikalsium fosfat, dan kalsium sulfat memiliki ketersediaan yang tinggi. Hal tersebut diduga mendukung hasil yang menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium crackers kontrol lebih tinggi dibandingkan kedua jenis crackers lainnya. Perbedaan bioavailabilitas kalsum menyebabkan informasi mengenai jenis kalsium yang digunakan untuk memperkaya kalsium dalam suatu bahan makanan menjadi penting. Total Kalsium Tersedia Fraksi kalsium yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan intiknya, tetapi kuantitas absolut dari kalsium yang diabsorpsi meningkat seiring dengan peningkatan intiknya (Weaver & Heaney 2008). Total kalsium tersedia menunjukkan jumlah kalsium yang dapat diserap oleh tubuh dan dipengaruhi oleh total kalsium dan bioavailabilitasnya. Jika di dalam suatu bahan pangan mengandung total kalsium yang tinggi namun bioavailabilitasnya rendah maka total kalsium tersedianya pun menjadi rendah dan sebaliknya. Total kalsium tersedia dihitung dengan cara mengalikan total kalsium crackers dengan persen bioavailabilitasnya. Total kalsium tersedia dari produk crackers disajikan dalam Tabel 11 berikut: Tabel 11 Hasil analisis rata-rata total kalsium tersedia pada crackers Kalsium tersedia No
Jenis crackers
1
Kontrol
2
Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
3
Komersial
Total kalsium (mg/100g bb) (A)
%Bioavailab ilitas kalsium* (B)
86,28 ± 4,34
Harga per mg kalsium tersedia per takaran saji (Rp)
mg per 100 g* (C)
mg per takaran saji (44 g)* (D)
17,40 ± 0,23a
15,01a
6,60a
-
552,79 ± 9,83
14,53 ± 0,44b
80,30b
35,33b
48,09
1210,04 ± 6,37
8,00 ± 0,36c
96,79c
42,59c
50,37
Ket: * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) ** C = B x A dan D = 44/100 X C
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa total kalsium yang tersedia pada crackers berkisar antara 15,03 mg/100g sampai dengan 96,83 mg/100g.
42 Total kalsium tersedia dipengaruhi oleh jenis crackers (p<0,05). Ketiga jenis crackers memiliki total kalsium tersedia yang berbeda nyata satu sama lain (Lampiran 10). Crackers komersial secara nyata memiliki total kalsium tersedia paling tinggi, sedangkan total kalsium tersedia paling rendah terdapat pada crackers kontrol (p<0,05). Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, maka disajikan pula total kalsium tersedia dalam 44 gram (per takaran saji) dari ketiga jenis crackers. Satu takaran saji sebanyak 44 gram untuk crackers kontrol dan dengan tepung kepala ikan lele dumbo setara dengan 11 keping, sedangkan untuk crackers komersial satu takaran saji setara dengan 6 keping crackers. Konsumsi satu takaran saji crackers memberikan total kalsium tersedia berkisar antara 6,61 mg sampai dengan 42,60 mg. Total kalsium tersedia pada konsumsi satu takaran saji crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dan komersial lebih tinggi dibandingkan dengan sayuran hijau dan olahannya yaitu sebesar 0,24 sampai dengan 9,04 mg/100g (Safitri 2003), biji-bijian sebesar 2,90 sampai dengan 7,10 mg/100g (Kamchan 2003), dan crackers dengan penambahan udang rebon yaitu 10,03 sampai dengan 16,47 mg/100g (Sijabat 2003), namun lebih rendah jika dibandingkan dengan konsumsi produk sereal sarapan komersial yang ditambah susu sebesar 109,30 sampai dengan 243,10 mg/30g (Rajagukguk 2004) maupun produk susu bubuk komersial high calcium yaitu 92,36 sampai dengan 226,37 mg/100g (Puspita 2003). Harga skala industri dari satu takaran saji (44 g) crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo adalah Rp 1 699,28 (Ferazuma 2009), sedangkan di pasaran crackers komersial high calcium original kemasan 80 g dijual dengan harga Rp 3 899,99 atau setara dengan Rp 2 144,99 per 44 g. Jika perhitungan harga per mg kalsium didasarkan pada total kalsium crackers, crackers komersial akan miliki harga lebih murah (Rp 4,34) dibandingkan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Rp 7,10). Namun, dengan mempertimbangkan bioavailabilitasnya, harga per mg kalsium yang dihitung berdasarkan total kalsium tersedia menghasilkan harga per mg kalsium yang lebih murah (Rp 48,09) pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dibadingkan pada crackers
komersial
(Rp
50,37).
Oleh
karena
itu,
informasi
mengenai
biioavailabilitas kalsium menjadi dasar pertimbangan yang penting bagi konsumen dalam memutuskan crackers mana yang bisa dipilih dalam pemenuhan kebutuhan kalsium baik dari aspek gizi maupun ekonomi.
43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kadar air produk crackers tidak dipengaruhi jenis crackers (p>0,05). Sementara itu, Kadar protein, fosfor, total kalsium, bioavailabilitas kalsium, dan total kalsium tersedia dari produk crackers dipengaruhi oleh jenis crackers (p<0,05). Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki kadar protein lebih tinggi (11,10% bb) dari kedua crackers lainnya. Kadar fosfor dan kalsium tertinggi terdapat pada crackers komersial berturut-turut sebesar 152,21 mg/100g (bb) dan 1210,04 mg/100g (bb), sedangkan bioavailabilitas kalsium tertinggi terdapat pada crackers kontrol yaitu 17,40% (bb). Namun, karena total kalsium crackers kontrol paling rendah dibandingkan kedua crackers lainnya, maka total kalsium tersedia pun rendah (15,03 mg/100g) walau bioavailabiitasnya paling tinggi. Saran Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dapat dijadikan alternatif pemenuhan kalsium sekaligus menjadi alternatif masalah limbah ikan. Interaksi yang lebih kompleks dari faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium yang dapat ditelusuri pada metode in vitro umumnya lebih terbatas, oleh karena
itu
peneliti
menyarankan
adanya
penelitian
lanjutan
biovailabilitas kalsium pada crackers menggunakan metode in vivo.
mengenai
44
DAFTAR PUSTAKA Adawyah R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara Allen LH. 1982. Calcium bioavailability and absorption: a review. Am J Clin Nutr ;35:738-808. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anderson JJB. 2004. Minerals. Di dalam : Mahan K, Stump SE. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 11th edition. Philadelphia : Saunders. Hlm 120 – 128. Apriantono A. Fardiaz D, Puspitasari N, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Baker DH. 1991. Bioavailability of minerals and vitamins. Di dalam : Miller ER, Ullrey DE, Lewis AJ, editor. Swine Nutrition. Boston: ButterworthHeinemann. Hlm 341-359 Bisswanger H. 2008. Enzyme Kinetics; Principles and Methods. Weinheim : Wiley-VCH. Boekhout T, Robert V. 2003. Yeasts in Food; Beneficial and Detrimental Aspects. New York : CRC press. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2007. Acuan label gizi produk pangan. www.pom.go.id. [10 November 2010]. Bredbenner CB, Beshgetoor D, Moe G, Berning J, editor. 2007. Wardlaw’s Perspective in Nutrition. Ed ke-8. New York: McGraw & Hill. Broody T. 1999. Nutritional Biochemistry. New York: Academic press. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 012973-1992. Biskuit. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Damayanthi E, Rimbawan. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Nilai Gizi. [diktat] Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor. Damodaran S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York : Macel Dekker, Inc. Hlm 321 - 430 Etcheverry P, Wallingford JC, Miller DD, Glahn RP. 2004. Calcium, zinc, and iron bioavailabilities from commercial human milik fortifier: a comparison study. J Dairy Sci 87: 3629 – 3637. Ferazuma H. 2009. Substitusi tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus sp) untuk meningkatkan kandungan kalsium crackers. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
45 Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism 4th edition. USA: Wadsworth. Guthrie HA. 1975. Introductory Nutrition 3th edition. Saint Louis : Mosby Company. Hardinsyah, Dhamayanthi E, Zulianty W. 2008. Hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas tulang dan tinggi badan remaja. Jurnal gizi dan Pangan 3(1): 43-48 Heaney RP. 2002. Protein and calcium: antagonists or synergists?. Am J Clin Nutr ;75:609–10. Hughes BD, Harris SS. 2002. Calcium intake influences the association of protein intake with rates of bone loss in elderly men and women. Am J Clin Nutr ;75:773-9. Ink SL.1988. Fiber-Mineral and Fiber-Vitamin Interactions. Di dalam: Bodwell CE, Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 253-255. Kamchan A. 2003. In vitro bioavailability of calcium and the presence of some inhibitory factors in vegetables, legumes, and seeds. [tesis]. Bangkok; Madihol University. Karmini M, Briawan D. 2004. Acuan label gizi. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17 – 19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hlm 431 - 444 Kaya AOW, Santoso J, Salamah E. 2007. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangaus sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit. Ichthyos 7: 9-14 Khairumman, Amri K. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Jakarta: Agro Media Pustaka Kressel G, Wolters M, Hahn A. 2010. Bioavailability and solubility of different calcium-salts as a basis for calcium enrichment of beverage. Food & Nut Sci 1:53-58. Lewis NM, Marcus MSK, Behling AR, Greger JL. 1989. Calcium supplements and milk: effect on acid-base balance and on retention of calcium, magnesium, and phosphorus. Am J Clin Nut 49 : 527-33. Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Aminnudin Parakkasi, penerjemah. Jakarta: UI press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Mahyuddin K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.
46 Manley D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies 3th edition. New York: Woodhead Publishing. Matz SA, Matz SD. 1978. Cookies and Crackers Tecnology 2nd edition. Westport : AVI publishing Company Inc. Miller DD. 1996. Minerals. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York : Macel Dekker, Inc. Hlm 617 - 649 Muchtadi D. 2008. Memilih kalsium untuk fortifikasi. www.foodreview.biz. [22 Nov 2010] Penfield MP, Campbell AM. 1990. Experimental Food Science 3rd edition. San Diego : Academic press, Inc. Prihatini S. 2008. Faktor determinan risiko osteoporosis di tiga Propinsi di Indonesia. www.p3gizi.litbang.depkes.go.id. [01 Mei 2010] Puspita ID. 2003. Bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada susu bubuk yang diberi klaim high calsium dengan penambahan serat dan tanpa penambahan serat yang beredar di pasaran. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rajagukguk LM. 2004. Bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada produk sereal sarapan komersial yang difortifikasi kalsium. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Reiser.1988. Carbohydrate-Mineral Interactions. Di dalam: Bodwell CE, Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 244245. Roig MJ, Alegria A, Barbera R, Farre R, Lagarda MJ. 1999. Calcium bioavailability in human milk, cow milk and infant formulas—comparison between dialysis and solubility methods. Food Chem 65: 353 - 357 Rolfes SR, Pinna k, Whitney E. 2009. Understanding Normal and Clinical Nutrition 8th Edition. USA : Wadsworth. Safitri RN. 2003. Bioavailabilitas mineral kalsium (Ca) secara in vitro pada beberapa sayuran hijau dan hasil olahannya. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setiawan AP. 2006. Kebiasaan konsumsi makanan kudapan dan kontribusinya terhadap kecukupan energi dan protein pada mahasiswa TPB-IPB dengan status gizi kurang. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sijabat RP. 2003. Penambahan udang rebon kering (Acetes sp) terhadap kandungan kalsium crackers. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi
47 Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soekatri M, Kartono D. 2004. Angka kecukupan mineral: kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Di dalam: Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17 – 19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hlm 375 - 385 Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyati SA. 1994. Metode penetapan zat gizi. [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suyanto SR. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penerbit Swadaya Trilaksani W, Salamah E, Nabil M, 2006. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp.) sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein. Buletin Teknologi Hasil Perairan vol IX : 2 Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama . 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Terbaru. Bogor: M-Brio Press. Weaver CM, Heaney RP.2007. Calcium. Di dalam: Shils EM, Olson JA, editor. Modern Nutrition in Health and Diseases. New York: Lippincott Williams and Wilkins. hlm 194-210.
48
LAMPIRAN
49 Lampiran 1. Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang sampel dengan neraca analitik sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram). Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selish berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram). Kadar air (basis kering) =
Keterangan
b – (c-a) x 100 % c-a
:
b= bobot sampel (g) c= bobot sampel dan cawan sesudah dikeringkan (g) a= bobot cawan kosong (g)
Lampiran 2. Analisa Protein Metode Semi Mikro Kjeldahl (Sulaeman et al 1994) Bahan yang ditimbang kira-kira 0,5 – 1 g. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 0,5 g selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat. Sampel kemudian didestruksi sampai larutan yang berwarna jernih kehijauan dan uap SO2 hilang. Kemudian hasil destruksi ditambah akuades dan dimasukkan ke dalam labu destilasi. NaOH 33% ditambahkan ke dalam labu destilasi dan kemudian dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam 20 ml larutan asam borat 3% lalu dititrasi dengan HCl standar (indikator metil merah). % Kadar Protein = (ml titrasi x 14 x N HCl x fk x 100)/ mg sampel
50 Lampiran 3. Perhitungan Analisis Kadar Air Crackers Jenis crackers
Ulang an 1
Kontrol 2 Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
1 2 1
Komersial 2
Berat sampel (g)
Berat cawan (g)
Cawan + sampel Sebelum dioven (a)
Cawan + sampel Setelah dioven (b)
Kadar air (%)
3,1710
5,8168
8,9878
8,9013
2,73
3,0007
5,5625
8,5632
8,4953
2,26
3,0794
5,6558
8,7352
8,6566
2,55
3,1620
5,8815
9,0435
8,9567
2,75
3,0285
5,6030
8,6315
8,5315
3,30
3,0118
6,6413
9,6531
9,5546
3,27
3,0155
7,1911
10,2066
10,1288
2,58
3,0948
5,4179
8,5127
8,4321
2,60
3,0731
5,7503
8,8234
8,7804
1,40
3,0422
5,7214
8,7636
8,7253
1,26
3,0672
6,0059
9,0731
9,0176
1,81
3,0522
5,8776
8,9298
8,8772
1,72
ratarata (%)
2,57
2,94
1,55
Contoh Perhitungan: % kadar air
= ((a – b)/ berat sampel) x 100% = ((8,9878 – 8,9013)/3,1710 x 100% = 2,73%
Lampiran 4. Perhitungan Analisis Kadar Protein Crackers Jenis crackers
Ulang an 1
Kontrol 2 Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
1 2 1
Komersial 2
Berat sampel (g)
ml titrasi blanko
ml titrasi sampel
kadar protein (%)
0,1814
1,20
13,00
8.99
0,1489
1,20
11,00
9,09
0,1926
1,20
13,60
8,89
0,1867
1,20
13,35
8,99
0,1711
1,20
14,40
10,66
0,1579
1,20
14,00
11,20
0,1515
1,20
13,70
11,40
0,1462
1,20
13,00
11,15
0,1681
1,20
7,45
5,14
0,1215
1,20
7,50
7,16
0,1176
1,20
6,85
6,64
0,1833
1,20
10,35
6,90
ratarata (%)
8,99
11,10
6,46
Contoh perhitungan : Kadar Protein = ((ml titrasi sampel – ml titrasi blanko) x NA x 100 x fk x N HCl) sampel (g) = ((13 – 1,2) x 14 x 100 x 6,25 x 0,015789)/(0,1814 x 1000) = 8,99%
51 Ket : N HCl = 0,015789, faktor konversi (fk) = 6,25, dan MR nitrogen = 14
Lampiran 5. Perhitungan Analisis Kadar Fosfor Crackers Standar Fosfor Konsentrasi P2O5 (mg)
Absorbansi
0,000 0,025 0,050 0,100 0,125 0,150 0,200
0,000 0,067 0,119 0,209 0,262 0,319 0,422
n = 1 ulangan Jenis Crackers
Ulangan
Berat sampel
Absorban sampel
Kadar P2O5
Kadar P
1
0,2494 0,2446
0,54 0,51
206,90 199,06
84,39 81,20
0,2380
0,46
184,21
75,14
0,2456
0,47
182,46
74,42
0,2332
0,69
283,66
115,70
0,2129
0,56
251,48
102,58
0,2706
0,66
233,70
95,33
0,2499
0,66
253,06
103,22
Kontrol 2
Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
1 2 1
Komersial
2
0,2149
0,75
334,90
136,60
0,2133
0,81
364,69
148,76
0,2123
0,91
412,10
168,09
0,2169
0,86
381,00
155,41
Contoh perhitungan kadar fosfor sampel: Berdasarkan kurva standar P2O5 di atas, maka persamaan linear yang dapat digunakan untuk mencari kadar fosfor sampel adalah Y = aX + b
dimana
= 2.062X + 0.008
Y = absorbansi X = konsentrasi P2O5 (mg) a = slope b = intercept
Jika absorbansi sampel dengan berat 0.2494 g dalam 100 ml aliquot adalah 0,54, maka kadar P2O5 adalah: Jawab :
Y = 2.062X + 0.008
52 X = Y – 0,008 = 0,5004 – 0,008 a 2,062
= 0,2580 mg
Karena X (mg) merupakan konsentrasi P2O5 sampel per 50 ml aliquot maka kadar P2O5 sampel (mg/100g) dalam 0.2494 g sampel, dan faktor pengenceran 2 adalah: Kadar P2O5
= X x fp = 0,2580 mg x 2 = 2,0689 mg/g = 206,90 mg/100g g sampel 0,2494 g
karena dalam molekul P2O5 terdapat 2 atom P, maka : Kadar P
= berat atom P x 2 x kadar P2O5 berat molekul P2O5 = 31 x 2 x 206,90 mg/100g = 84,39 mg/100g 152
Lampiran 6. Perhitungan Analisis Total Kalsium Crackers Standar Kalsium Konsentrasi kalsium satandar (ppm)
Tinggi puncak (kotak)
0,0000 2,0000 4,0000 6,0000 8,0000 10,0000
0,0 11.5 21,0 31.5 43.5 53,0
Ket: tinggi kotak dihitung berdasarkan jumlah kotak pada kertas milimeter blok yang dilewati garis merah pada saat pembacaan menggunakan AAS (n = 1 ulangan). Berdasarkan data standar kalsium tersebut maka persamaan linier yang dapat digunakan untuk perhitungan kadar kalsium crackers seperti pada gambar berikut
53
Jenis Crackers
Ulangan
Berat sampel
Tinggi puncak (kotak)
Kadar Ca (mg/100g)
1
3,0102 3,1931
55,5 57,0
89,56 89,13
3,1374
55,0
84,34
2,0051
45,0
82,09
3,0910
20,0
554,71
3,1931
20,0
536,97
3,0628
20,5
576,14
3,1556
20,0
543,35
Kontrol 2
Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
1 2 1
Komersial
2
3,2038
1198,22
3,0989
1212,85
3,1723
1301,40
3,0066
1127,68
Blanko
rata-rata (mg/100g)
86,28
552,79
1210,04
28,5
Contoh perhitungan kadar kalsium sampel: Berdasarkan kurva standar kalsium di atas, maka persamaan linear yang dapat digunakan untuk mencari kadar Ca sampel adalah Y = aX + b = 5.307X + 0.214
dimana
Y = Peak standar atau sampel X = konsentrasi kalsium (ppm) a = slope b = intercept
Jika tinggi puncak sampel dengan berat 3.1020 g dalam 100 ml aliquot adalah 55.5 kotak, faktor pengenceran 1 dan tinggi puncak blanko 28.5 kotak, maka kadar kalsium adalah: Jawab : Y = (tinggi puncak sampel dalam aliquot x fp) – tinggi puncak blanko Y = aX + b aX + b
= (tinggi puncak sampel dalam aliquot x fp) - blanko
X (ppm)
= ((tinggi puncak sampel dalam aliquot x fp) - blanko) – b a X (ppm) = ((55.5 x 1) – 28,5) – 5,307 = 26,96 ppm 0,214 Karena X (ppm) merupakan konsentrasi kalsium sampel dari volume aliquot maka kadar kalsium sampel (mg/100g) dengan berat 3,1020 g adalah: Kadar Ca
= X (ppm) x ml aliquot Berat sampel (g) = 26,96 ppm x 100 ml 3,1020 g = 26,96 mg/1000 g x 100 ml = 0,89 mg/g = 89,56 mg/100g 3,1020 g
55
Lampiran 7. Perhitungan Analisis Bioavailabilitas Kalsium Jenis Crackers
Kontrol
kadar protein rata-rata
Berat setara 2 g protein
penimban gan sampel Bio
Kadar Ca sampel
Total Ca sampel bio
berat Dialisat
pembacaa n AAS
Aliquot
(%)
(g)
(g)
(ppm)
(mg)
(g)
Abs
ml
8.99
22.2469
3.5524
895.6108
3.1816
30.4422
0.1604
50
8.99
22.2469
3.5578
891.2867
3.1710
34.8528
0.1646
8.99
22.2469
3.5552
843.3632
2.9983
40.1458
8.99
22.2469
3.5532
820.8905
2.9168
36.2623
kadar Ca dialisat
Ca dialisat
Bioavailab ilitas
ppm
mg
%
1
17.7368
0.5399
16.97
50
1
15.9234
0.5550
17.50
0.1950
50
1
16.5334
0.6637
22.14
0.1153
50
1
10.4399
0.3786
12.98
a
b
FP
11.1
18.0180
3.0032
5547.062
16.6589
39.7364
0.6978
50
11.1
18.0180
3.0025
5369.693
16.1225
38.6161
0.6808
50
11.1
18.0180
3.0016
5761.384
17.2934
37.7725
0.6496
50
11.1
18.0180
3.0015
5433.505
16.3087
28.4232
0.7015
50
0.008
Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
0.013974
rata-rata
17.40
1
61.9785
2.4628
14.78
1
62.2014
2.4020
14.90
1
60.6351
2.2903
13.24
1
87.1134
2.4760
15.18
rata-rata
Komersial
14.53
6.46
30.9598
4.5862
11982.22
54.9529
33.6728
0.1221
50
10
128.7770
4.3363
7.89
6.46
30.9598
4.5865
12128.46
55.6272
45.4676
0.1198
50
10
93.5530
4.2536
7.65
6.46
30.9598
4.5867
13014.04
59.6915
39.9455
0.1394
50
10
124.0244
4.9542
8.30
6.46
30.9598
4.5864
11276.81
51.7200
38.9486
0.1189
50
10
108.3386
4.2196
8.16
blanko
0.0013
rata-rata
8,00
55 Contoh perhitungan : 1. Berat setara 2 gram protein
= (2/kadar protein sampel) x100 = (2 g/8,99) x 100 = 22,2469 g
2. Perkiraan berat suspensi T1atau T2 = 22,2469 g + 100 ml H2O bebas ion + 2,7531 ml HCl = 125 g (asumsi, sampel membutuhkan ± 2,7531 ml HCl untuk membuat pHnya menjadi 2) Penimbangan sampel bio setara 20 g suspensi sampel = (20 g/125 g) x 22,2469 g= 3,5595 g 3. Total Ca sampel bio
= penimbangan sampel bio x kadar Ca (ppm) = 3,5524 g x 827,852 mg/1000 g= 3.1290 mg
Standar kalsium Konsentrasi Ca (ppm)
Absorbansi
2.0000 4.0000 8.0000 16.0000
0.0365 0.0632 0.1207 0.2316
4. Berdasarkan kurva standar kalsium di atas, maka persamaan linear yang dapat digunakan untuk mencari kadar Ca sampel adalah Y = aX + b = 0,013974X + 0.0081957
56 Dimana
:
Y = absorbansi X = konsentrasi kalsium (ppm) a = slope b = intercept
Jika absorbansi sampel dengan berat dialisat 30.4422 g dalam 50 ml aliquot adalah 0,1604 faktor pengenceran 1 dan absorbansi blanko 0.0013, maka kadar kalsium adalah: Y = (abs sampel dalam aliquot x fp) - abs blanko Y = aX + b aX + b = (abs sampel dalam aliquot x fp) - abs blanko X (ppm) X (ppm)
= ((abs sampel dalam aliquot x fp) - abs blanko) – b a = ((0.1604 x 1) – 0.0013) – 0.0081957= 10,7989 ppm 0.013974
Karena X (ppm) merupakan konsentrasi kalsium sampel dalam volume aliquot, maka kadar kalsium sampel (mg/100g) dengan berat 3,1020 g adalah: Kadar Ca dialisat
= X (ppm) x ml aliquot Berat dialisat (g) = 10,7989 ppm x 50 ml 30.4422 g = 10,7989 ppm x 50 ml 30.4422 g = 17,7368 ppm
5. Jika dalam 1000 g terdapat 17,7368 ppm, maka dalam 30,4422 g dialisat terdapat mg Ca dialisat
= (berat dialisat /1000) x kadar Ca dialisat (ppm) = (30.4422/1000) x 17.7368 = 0,5399 mg
6. Bioavaiabilitas Ca (%)
= Ca Dialisat/Total Ca sampel bio x 100% = 0,5399 / 3.1290 x 100% = 16.9711 %
57 Lampiran 8. Hasil Sidik Ragam (One Way ANOVA) Kadar Air, Protein, Fosfor, Kalsium, Bioavailabilitas Kalsium, dan Total Kalsium Tersedia.
Air
Kalsium
Fosfor
Protein
Jumlah Kuadrat
df
Kuadrat tengah
F hitung
Sig.
Perlakuan
2.198
2
1.099
8.961
.054
Galat
.368
3
.123
Total
2.566
5
Perlakuan
22.849
2
11.425
127.265
.001
Galat
.269
3
.090
Total
23.118
5
Perlakuan
5877.870
2
2938.935
31.764
.010
Galat
277.575
3
92.525
Total
6155.446
5
1347473.254
2
673736.627
1.225E4
.000
164.954
3
54.985
1347638.208
5
92.787
2
46.394
392.213
.000
Galat
.355
3
.118
Total
93.142
5
7482.137
2
3741.068
3.911E3
.000
.956
3.912E3
.000
Antar kelompok Dalam kelompok Total
Bioavailabilitas Perlakuan kalsium
Kalsium
Perlakuan
tersedia per
Galat
2.869
3
Total
7485.006
5
kalsium
Perlakuan
1448.537
2
724.269
tersedia per
Galat
.555
3
.185
Total
1449.093
5
100g
takaran saji
* Signifikansi lebih kecil dari p=0,05, berbeda nyata
58 Lampiran 9. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap kadar Air, Protein, fosfor, Kalsium dan Bioavailabilitas kalsium a. Kadar protein Jenis Crackers
N
Komersial Kontrol Dengan tepung kepala ikan lele dumbo Sig.
2 2 2
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 6.639600E0 9.243400E0 1.141310E1 1.000 1.000 1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
b. Kadar Fosfor Jenis Crackers
2
Subset for alpha = 0.05 1 2 8.099645E1
2
1.071293E2
N
Kontrol Dengan tepung kepala ikan lele dumbo Komersial Sig.
2 .073
1.564825E2 1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
c. Total Kalsium Jenis Crackers Kontrol Dengan tepung kepala ikan lele dumbo Komersial Sig.
N 2 2 2
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 8.869835E1 5.682932E2 1.243972E3 1.000 1.000 1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
d. Bioavailabilitas Kalsium Jenis Crackers
N
Komersial Dengan tepung kepala ikan lele dumbo Kontrol Sig.
2 2 2
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 7.999000E0 1.452710E1 1.739725E1 1.000 1.000 1.000
59 e. Total kalsium tersedia per 100 g crackers Jenis Crackers Kontrol Dengan tepung kepala ikan lele dumbo Komersial Sig.
N 2 2 2
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 1.501015E1 8.030450E1 9.679070E1 1.000 1.000 1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
f.
Total kalsium tersedia pertakaran saji crackers (44 g) Jenis Crackers
N
kontrol dengan tepung kepala ikan lele dumbo komersial Sig.
2 2 2
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 6.604500E0 3.533395E1 4.258790E1 1.000 1.000 1.000
Nilai rata-rata pada kolom berbeda, berbeda nyata
Lampiran 10. Hasil Uji Korelasi Pearson
Fosfor Fosfor
Kalsium
Protein
Bioavailabilitas kalsium
Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N
Kalsium 1
6 .975** .001 6 -.651 .162 6 -.966** .002 6
.975** .001 6 1 6 -.619 .190 6 -.991** .000 6
Bioavailabilitas kalsium -.651 -.966** .162 .002 6 6 -.619 -.991** .190 .000 6 6 1 .710 .114 6 6 .710 1 .114 6 6
Protein
60
Lampiran 11. Hasil Pembacaan Standar Kalsium dan Total Kalsium Crackers dengan menggunakan AAS