STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUNG DAN BISKUIT IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)
SKRIPSI
AMANDA CAESSARA F34070073
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
THE FEASIBILITY STUDY OF AN AFRICAN CATFISH (Clarias gariepinus) FLOUR AND BISCUIT INDUSTRY
Amanda Caessara1, Aji Hermawan2, Clara M. Kusharto3 1
University Student of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University 2 Lecturer of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University 3 Lecturer of Community Nutrition Department, Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University
ABSTRACT African catfish (Clarias gariepinus) is one of the popular fishes that cultivated in Indonesia. It contributes to the fulfilment of people nutrition need. African catfish can be processed into flour which can be further processed in to a variety of foods, including biscuits. The fish biscuits can be used as an alternative food to improve nutrition for the poor in Indonesia. The purpose of the study is to analyze the feasibility of an African catfish (Clarias gariepinus) flour and biscuit industry. The scope of the research includes a feasibility on the aspects of market and marketing, technology, management and organization, environment, legal, and finance. The potential markets of the fish biscuits are infants and toddlers having nutritional problems and disaster victim children. The targeted market of the fish biscuit requires is 8.653 children per year. The products can be delivered in two form: biscuits and mixed flour. This is equivalent to 3.115.080 biscuit chips per year and the mixed flour of 7.200 kg per year. The factory is located in Bogor and the production capacity is 3.120.000 pieces of biscuits per year and 7.800 kg of mixed flour. The total investment needed is Rp 884.335.000, including investment in fixed assets (Rp 687.775.000), and working capital (Rp 196.650.000). The NPV of this business is Rp 2.176.702.231. The IRR value is 61%. The net B/C ratio is 3. The payback period is 2 years and 1 month. These results shows that the catfish biscuit industry is feasible. The sensitivity analysis shows that business is still feasible under the condition of 30% price increase of raw materials and utilities and of 20% sales price decrease.
Keyword: biscuits, feasibility, african catfish.
Amanda Caessara F34070073. Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Di bawah bimbingan Aji Hermawan dan Clara M. Kusharto 2011. RINGKASAN Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat karena mengandung 17,7% protein di dalamnya dan harganya yang terjangkau. Salah satu olahan dari ikan lele dumbo adalah tepung ikan lele dumbo yang dapat diolah menjadi berbagai makanan, salah satunya adalah biskuit. Biskuit ikan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alternatif pangan untuk meningkatkan gizi kurang di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ruang lingkup penelitian meliputi studi kelayakan pada aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta finansial. Potensi pasar biskuit ikan meliputi balita berstatus gizi kurang dan balita rawan bencana. Diperkirakan pangsa pasar dari jumlah balita bergizi kurang dan buruk adalah sebesar 0,28% (8.153 jiwa ) dan pangsa pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana adalah sebesar 1% (500 jiwa). Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai dari pangsa pasar total biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita. Produk yang dihasilkan dari industri biskuit ikan lele dumbo terdiri dari dua macam, yaitu tepung mix sebagai bahan dasar pembuatan biskuit ikan yang merupakan pencampuran antara tepung ikan lele dumbo dengan isolat protein kedelai serta biskuit ikan. Dari hasil perhitungan didapat kebutuhan biskuit ikan untuk memenuhi seluruh pangsa pasar adalah sebesar 3.115.080 keping per tahun dan tepung mix sebesar 7.200 kg per tahun. Industri biskuit ikan lele dumbo direncanakan didirikan di Bogor dengan pertimbangan kondisi infrastuktur yang mendukung, ketersediaan sumber daya manusia, serta kemudahan akses dengan pasar dan sarana penunjang produksi. Kapasitas produksi pabrik sebesar 3.120.000 keping biskuit per tahun dan 7.800 kg tepung mix. Bahan baku ikan lele dumbo yang digunakan merupakan ikan lele dumbo segar yang berasal dari Kabupaten Bogor dengan pertimbangan ketersediaan bahan baku yang stabil dan melimpah. Industri ini dijalankan oleh 28 orang tenaga kerja dengan deskripsi kerja masing-masing. Industri biskuit ikan lele dumbo menghasilkan limbah dalam bentuk padat, cair, dan gas, namun jumlahnya relatif sedikit dan memenuhi standar baku mutu, sehingga masih aman bagi lingkungan. Besar biaya investasi yang diperlukan adalah sebesar Rp 884.335.000, yang terdiri dari biaya investasi tetap sebesar Rp 687.775.000, dan biaya modal kerja sebesar Rp 196.650.000 pada tahun pertama. Nilai NPV industri ini sebesar Rp 2.176.702.231. Nilai IRR-nya sebesar 61%. Nilai Net B/Cnya sebesar 3. Payback period industri ini adalah selama 2 Tahun 1 Bulan. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa industri biskuit ikan lele dumbo ini layak untuk didirikan. Perhitungan analisis sensitivitas industri biskuit ikan lele dumbo dilakukan terhadap kenaikan harga bahan baku dan utilitas sebesar 30% serta penurunan harga jual 20% yang menunjukkan bahwa industri biskuit ikan lele dumbo masih layak untuk didirikan.
STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUNG DAN BISKUIT IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh: AMANDACAESSARA F34070073
2011 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)” adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bagian daftar pustaka.
Bogor, Juli 2010 Yang membuat pernyataan,
Amanda Caessara F34070073
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama, putri dari pasangan Bapak Drs. Amir Hamzah (Alm.) dan Ibu I. Rosiana. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Kasih Ananda X Jakarta Utara yang dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Kasih Ananda I Jakarta Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP 30 Jakarta pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 4 Kota Bekasi dan lulus pada tahun 2007. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah-rempah, dan Fitofarmaka (2011). Penulis juga aktif di sejumlah organisasi dan kepanitiaan, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri IPB (Himalogin IPB). Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tahun 2010 dengan topik “Pengembangan Organisasi di PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Divisi Bogasari Flour Mills Jakarta”. Untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)”.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah AWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan akhir yang berjudul Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1.
Mami, I. Rosiana, yang selalu memberikan dukungan, bantuan, nasihat, dan doa, serta Alm. Papi, Amir Hamzah, yang selalu menginginkan yang terbaik untuk penulis. 2. Dr. Ir. Aji Hermawan, M. M. dan Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Ir. Muslich, M. Si. sebagai dosen penguji dalam sidang skripsi. 4. Dosen-dosen dan karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan ilmu dan pelajaran yang berguna bagi penulis. 5. Mbak Nunung dan Mbak Risty yang selalu bersedia menjawab semua pertanyaan penulis demi kelancaran penyusunan skripsi. 6. Keluarga besar Alm. Adang Priyatna sebagai pemebri dukungan dan doa. 7. Andika Caessara dan A. Arviandito Caessara sebagai adik yang selalu mendukung dan mendoakan. 8. Eko Apriyanto yang selalu menemani, memberi semangat, mendoakan, dan menjadi tempat keluh kesah penulis. 9. Ditta Nirmala, Kartika Sari, dan Fatta Qurota A’yun sebagai teman seperjuangan atas segala bantuan dan dukungan selama penelitian ini. 10. Seluruh teman-teman TIN 44, adik-adik dan kakak-kakak di TIN yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikannya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak manapun yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2011
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................
i
DAFTAR ISI ......................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL .............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
ix
I. Pendahuluan A. Latar Belakang .........................................................................................
1
B. Tujuan ......................................................................................................
2
C. Ruang Lingkup .........................................................................................
2
II. Tinjauan Pustaka A. Lele Dumbo (Clarias gariepinus) .....................................................
4
B. Tepung Ikan .............................................................................................
5
C. Kedelai dan Isolat Protein Kedelai...........................................................
6
D. Biskuit .....................................................................................................
8
1. Bahan Baku Biskuit ........................................................................
9
2. Proses Pembuatan Biskuit ..............................................................
10
E. Studi Kelayakan .....................................................................................
13
1. Aspek Pasar dan Pemasaran ...........................................................
13
2. Aspek Teknik dan Teknologi .........................................................
14
3. Aspek Manajemen dan Organisasi .................................................
16
4. Aspek Legalitas ..............................................................................
16
5. Aspek Lingkungan ..........................................................................
17
6. Aspek Finansial .............................................................................
17
ii
Halaman III. Metodologi A. Kerangka Pemikiran ............................................................................
21
B. Pendekatan Studi Kelayakan ...............................................................
21
C. Metode Penelitian ...............................................................................
23
IV. Analisis Pasar dan Pemasaran A. Potensi Pasar .......................................................................................
31
B. Analisis Persaingan .............................................................................
39
C. Strategi Pemasaran ..............................................................................
41
1. Segmentasi .....................................................................................
41
2. Penetapan Target ...........................................................................
43
3. Positioning .....................................................................................
44
4. Bauran Pemasaran ..........................................................................
45
V. Analisis Teknik dan Teknologi A. Bahan Baku ........................................................................................
52
1. Spesifikasi Bahan Baku ................................................................
52
2. Ketersediaan Bahan Baku ............................................................
55
B. Perencanaan Kapasitas Produksi ......................................................
57
C. Teknologi Proses Produksi ...............................................................
58
1. Proses Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo .................................
58
2. Mesin dan Peralatan Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo............
62
3. Proses Produksi Biskuit Ikan........................................................
66
4. Mesin dan Peralatan Produksi Biskuit Ikan .................................
69
D. Penentuan Lokasi Pabrik ..................................................................
72
E. Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik .............................
73
VI. Analisis Manajemen dan Organisasi A. Kebutuhan Tenaga Kerja ..................................................................
78
B. Struktur Organisasi ...........................................................................
80
iii
Halaman C. Deskripsi Pekerjaan .................................................................................
81
VII. Analisis Lingkungan dan Legalitas A. Aspek Lingkungan ..................................................................................
84
B. Aspek Legalitas ......................................................................................
85
1. Badan Usaha ......................................................................................
85
2. Perizinan ...........................................................................................
86
C. Pajak ......................................................................................................
89
VIII. Analisis Finansial A. Asumsi Perhitungan Finansial ..............................................................
90
B. Biaya Investasi .....................................................................................
91
C. Perhitungan Depresiasi ........................................................................
92
D. Prakiraan Harga dan Penerimaan ........................................................
92
E. Proyeksi Laba Rugi ............................................................................
93
F. Proyeksi Arus Kas .............................................................................
94
G. Kriteria Kelayakan Investasi ..............................................................
95
1. Net Present Value (NPV) ..............................................................
95
2. Internal Rate of Return (IRR) ........................................................
95
3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ..................................................
96
4. Payback Period (PBP) ...................................................................
96
5. Break Even Point (BEP) ................................................................
96
H. Analisis Sensitivitas ...........................................................................
96
IX. Simpulan dan Saran A. Simpulan ..............................................................................................
97
B. Saran ....................................................................................................
98
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
99
LAMPIRAN ..................................................................................................
103
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Bagian-Bagian Tubuh Ikan dan Manfaatnya ...................................
4
Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ikan lele ..................................................................
5
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kedelai ................................................................
7
Tabel 2.4 Syarat Mutu Biskuit .........................................................................
8
Tabel 2.5 Jenis-Jenis Penyimpangan yang dapat terjadi dan Penyebabnya pada Pembuatan Biskuit .................................................................
9
Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan ......................................................................................
23
Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010 ................................
32
Tabel 4.2 Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010 .....................................................................
34
Tabel 4.3 Kandungan Zat Gizi dan Energi per Takaran Penyajian (50 gram) ..
38
Tabel 4.4 Perkiraan Perhitungan Kebutuhan Biskuit Ikan dan Tepung Mix ....
38
Tabel 4.5 Biskuit Balita dan Detail Keterangannya ..........................................
39
Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998 ......................................................................................
45
Tabel 4.7 Kandungan Mutu Biskuit Ikan .........................................................
46
Tabel 4.8 Kandungan Gizi Tepung Ikan Lele ..................................................
48
Tabel 5.1 Tujuh Propinsi Sentra Budidaya Ikan Lele dan Jumlah Produksi Pada Tahun 2009 ............................................................................
55
Tabel 5.2 Data Produksi Ikan lele di Kabupaten Bogor ..................................
56
Tabel 5.3 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Tepung Ikan Lele Dumbo...............................................................................
62
Tabel 5.4 Formulasi Biskuit Ikan dengan Pelengkap Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai ..............................................................................
66
Tabel 5.5 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Biskuit Ikan..................................................................................................
69
v
Halaman Tabel 5.6 Lembar Kerja untuk Diagram Keterkaitan Antar Aktivitas ...........
75
Tabel 5.7 Perhitungan TCR (Total Closeness Rating) ...................................
76
Tabel 5.8 Kebutuhan Luas Ruang Produksi Tepung Ikan dan Biskuit Ikan ...
77
Tabel 6.1 Penentuan Jumlah Tenaga Kerja yang Dibutuhkan ..........................
79
Tabel 6.2 Kebutuhan dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang Dibutuhkan pada Industri Tepung dan Biskuit Ikan ....................................................
80
Tabel 8.1 Komponen Biaya Investasi Tetap yang Dibutuhkan dalam Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan ....................................
92
Tabel 8.2 Prakiraan Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan .................
93
Tabel 8.3 Proyeksi Laba Rugi Penjualan Biskuit Ikan dan Tepung Mix dalam 10 Tahun Produksi ...........................................................................
94
Tabel 8.4 Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan .......................
95
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biskuit ............................................................
11
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................
22
Gambar 3.2 Alir Proses Analisis Pasar dan Pemasaran ...................................
25
Gambar 3.3 Alir Proses Analisis Aspek Teknik dan Teknologi ......................
26
Gambar 3.4 Alir Analisis Manajemen dan Organisasi ....................................
30
Gambar 4.1 Pravelensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Menurut Indikator BB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 ...................................................................
32
Gambar 4.2 Pravelensi Balita Gizi Pendek dan Sangat Pendek Menurut Indikator TB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 ...................................................................
34
Gambar 4.3 Pravelensi Balita Gizi Kurus dan Sangat Kurus Menurut Indikator BB/TB di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 ...................................................................
36
Gambar 4.4 Biskuit Ikan ..................................................................................
47
Gambar 4.5 Kemasan Primer Biskuit Ikan ......................................................
47
Gambar 4.6 Kemasan Sekunder Biskuit Ikan .................................................
47
Gambar 4.7 Tepung Daging Ikan Lele Dumbo ..............................................
49
Gambar 4.8 Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo ...............................................
49
Gambar 5.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo ..........................................................................
60
Gambar 5.2 Neraca Massa Pembuatan Tepung Badan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo ..........................................................................
61
Gambar 5.3 Timbangan Dacin ........................................................................
62
Gambar 5.4 Retort Chamber ...........................................................................
63
Gambar 5.5 Pressure Pneumatic ....................................................................
63
vii
Halaman Gambar 5.6 Drum Dryer ................................................................................
64
Gambar 5.7 Boiler ..........................................................................................
64
Gambar 5.8 Mesin Penggiling Basah .............................................................
65
Gambar 5.9 Mesin Penggiling Kering ............................................................
65
Gambar 5.10 Freezer ........................................................................................
65
Gambar 5.11 Impulse Sealer ............................................................................
66
Gambar 5.12 Diagram Alir Pembuatan Biskuit Balita dengan Penambahan Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai .....................................
67
Gambar 5.13 Neraca Massa Pembuatan Biskuit Ikan (Basis Bahan Baku 1000 gr) .....................................................
68
Gambar 5.14 Timbangan Digital ......................................................................
69
Gambar 5.15 Jenis Pengaduk ...........................................................................
70
Gambar 5.16 Mixer ..........................................................................................
70
Gambar 5.17 Dough Sheeter ............................................................................
70
Gambar 5.18 Lemari Pendingin .......................................................................
71
Gambar 5.19 Gas Baking Oven .......................................................................
71
Gambar 5.20 Bagan Keterkaitan Antar Aktivitas pada Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan ...............................................................................
74
Gambar 5.21 Tata Letak dan Hubungan Antar Ruang Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan ...............................................................................
76
Gambar 6.1 Struktur Organisasi Industri Tepung dan Biskuit Ikan ................
81
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Kuisioner Pembobotan Lokasi Menggunakan Metode Pembanding Eksponensial .............................................................
104
Lampiran 2. Dokumentasi Calon Lokasi Pendirian Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan ................................................................................................
109
Lampiran 3. Denah Ruangan Pabrik Industri Tepung dan Biskuit ikan ..............
110
Lampiran 4. Layout Ruang Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo ..........................
111
Lampiran 5. Layout Ruang Produksi Biskuit Ikan ..............................................
112
Lampiran 6. Asumsi – Asumsi untuk Analisis Finansial Industri Tepung dan Biskuit Ikan ....................................................................................
113
Lampiran 7. Perincian Kebutuhan Investasi Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan ...................................................................................
114
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB ...............
115
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan ...................................................................................
119
Lampiran 10. Kebutuhan Biaya Operasional Industri Tepung dan Biskuit Ikan
123
Lampiran 11. Rekapitulasi Produksi dan Proyeksi Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan ............................................................................
124
Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi Industri Tepung dan Biskuit Ikan ................
125
Lampiran 13. Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan .................
127
Lampiran 14. Kriteria Kelayakan Investasi ....................................................
128
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% .............................................................................
129
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% ..............................
134
ix
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan gizi yang mendominasi perhatian para pakar gizi selama ini adalah masalah kekurangan energi dan protein (KEP) yang disebabkan akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah miskin. Namun, pada anak-anak khususnya di bawah usia lima tahun (balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan (Soekirman, 2000). Salah satu sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat adalah pangan hewani. Pangan hewani memiliki keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya, diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi dalam tubuh ikan yang tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia. Ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang paling banyak diminati, serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang popular di masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Anonymous, 2006). Selain keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan lele dumbo juga mempunyai kekurangan, yaitu tingginya kandungan air dan pH, serta kandungan asam lemak tak jenuh yang dagingnya mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah, 2007). Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil sampingan ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto, 1992). Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan ikan segar, bentuknya yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan tepung ikan sebagai bahan pelengkap tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan salah satu alternatif pengunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas yang dihasilkan. Biskuit merupakan makanan yang cukup populer dan praktis karena dapat dimakan kapan saja dengan pengemasan yang baik, serta memiliki daya simpan yang relatif panjang. Biskuit dapat
1
dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak saja enak tapi juga menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu, seperti tepung ikan lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai tambah yang baik untuk kesehatan (Manley, 2000). Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley, 2000). Adanya kebutuhan akan alternatif pangan bergizi dengan harga terjangkau membuka peluang untuk memproduksi biskuit dari tepung ikan lele dumbo. Pasar produk biskuit lele ini masih terbuka lebar dan persaingan belum ketat. Selain itu, teknologi pembuatan biskuit lele tidaklah terlalu rumit dan dapat menggunakan peralatan yang sederhana, serta ketersediaan bahan baku untuk pembuatan biskuit ini cukup melimpah. Untuk melakukan pendirian industri tepung dan biskuit dari tepung ikan lele dumbo diperlukan adanya studi kelayakan. Studi kelayakan merupakan suatu analisis perencanaan yang sistematis dan mendalam atas setiap faktor yang memiliki pengaruh terhadap kemungkinan proyek untuk mencapai sukses. Semua data, fakta dan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam studi kelayakan tersebut akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan apakah proyek yang bersangkutan akan direalisasikan, dibatalkan, atau dikaji ulang. Beberapa aspek studi kelayakan yang diperlukan dalam pendirian industri ini, antara lain: aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, dan analisis finansial.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dari aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta finansial.
C. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini meliputi aspek-aspek yang mempengaruhi pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo di lokasi terpilih yakni sebagai berikut. 1. Analisis aspek pasar dan pemasaran, meliputi analisis pasar dan rencana pemasaran, serta strategi bauran pemasaran. 2. Analisis aspek teknik dan teknologi, meliputi spesifikasi dan ketersediaan bahan baku, penentuan kapasitas produksi, jenis teknologi beserta informasi neraca masa, mesin dan peralatan yang digunakan, serta lokasi proyek dan tata letak pabrik.
2
3. Analisis aspek manajemen dan organisasi, meliputi penentuan struktur organisasi, kebutuhan tenaga manajerial dan operasional yang mendukung keberhasilan usaha, serta deskripsi dan spesifikasi kerja masing-masing. 4. Analisis aspek lingkungan dan legalitas, meliputi analisis dampak lingkungan akibat pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo, dan peraturan pemerintah terkait pendirian industri, serta perizinan yang harus dipenuhi. 5. Analisis aspek finansial, meliputi perkiraan jumlah dana yang diperlukan, serta perhitungan kelayakan investasi.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia. Ikan lele memiliki bentuk tubuh yang memanjang dan berkulit licin (tidak bersisik). Sesuai dengan familinya, yaitu Claridae, lele dumbo memiliki bentuk kepala pipih dengan tulang keras sebagai batok kepala. Di sekitar mulut terdapat empat pasang sungut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen dari udara. Oleh karena itu, ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar oksigen (Suyanto, 2007). Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2009, kenaikan tersebut terjadi mencapai 200 ribu ton. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus sp). Sementara itu, ikan lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal (Mahyuddin, 2007). Lele dumbo termasuk ke dalam: filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu dari beberapa literatur menyebutkan bahwa lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupkan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan telah dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004 (Mahyuddin, 2007). Khusus pada ikan, bagian yang dapat dimakan kira-kira hanya sebesar 70%. Kepala, ekor, sirip, dan isi perutnya merupakan limbah ikan yang kebanyakan tidak dapat digunakan sebagai makanan. Bagian-bagian tubuh ikan dan manfaatnya disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Bagian-Bagian Tubuh Ikan dan Manfaatnya Bagian Tubuh Daging ikan Kepala ikan
Komponen Utama
Protein, Lemak Protein, Lemak, Garam Ca, dan Fosfat Tulang, Sirip Garam Ca, Fosfat, dan Senyawa Nitrogen Kulit Kolagen Sisik Kolagen, Quanin Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008
Manfaat Berbagai macam makanan Tepung Ikan Tepung Tulang Lem, Kulit Olahan Lem
4
Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ikan lele Zat Gizi (%)
Kandungan
Protein Lemak Mineral Air Karbohidrat Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008
17,7 4.8 1,2 76 0,3
B. Tepung Ikan Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan mekanis (Ilyas, 1993). Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan adalah hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat dihambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus-menerus, maka proses pembentukannya akan berhenti. Selain menggunakan metode pengeringan, dalam pembuatan tepung ikan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto, 1982b). Menurut Departemen Perdagangan (1982) tepung ikan memiliki nilai gizi yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu, tepung ikan juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan fosfor (P). Tepung ikan juga mengandung trace element, seperti: seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn), dan kobalt (Co) (Moeljanto, 1982a). Usaha pembentukan tepung ikan menggunakan limbah ikan karena relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana (LIPI, 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan, dan benda-benda asing lainnya. Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral dan vitamin, serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi
5
berubah, terutama akibat terjadinya penurunan kadar minyak, kadar air, dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo processing). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahan (Moeljanto, 1982a). Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut. - air (moisture)
6% - 10%
- lemak
5% - 12%
- protein
60% -75%
- abu
10% - 20%
Menurut Moeljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6% sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada air tepung ikan. Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung kepala dan tulang ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan Co (Moeljanto, 1982). Menurut Ilyas (1993), tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5% - 10% dan protein 60% - 65%.
C. Kedelai dan Isolat Protein Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili Leguminosae, sub family Papilionaceae dan genus Glycine L. Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji (cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan dibagian inilah minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari biji dengan menggunakan prinsip aspirasi (Matthews, 1989). Menurut Matthews (1989), kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi kimia biji kedelai dapat di lihat pada Tabel 2.3.
6
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kedelai Komponen Komposisi Kalori (Kal) 331.0 Air (%) 7.5 Protein (%) 34.9 Lemak (%) 18.1 Karbohidrat (%) 34.8 Kalsium (mg/ 100 g) 227.0 Fosfor (mg/ 100 g) 585.0 Besi (mg/ 100 g) 8.0 Vitamin A (SI/ 100 g) 110.0 Vitamin B (SI/ 100 g) 1.07 Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995 Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi. Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biskuit (Koswara, 1995). Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkannya. Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk bakery, dan sup (Koswara, 1995). Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Kedua adalah untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena isolat protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan (coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak (Koswara, 1995). Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Hal ini disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan mempunyai celah-celah polar, seperti gugus karboksil dan amino yang dapat mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap air isolat protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein kedelai sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan rendemen dan memudahkan penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara, 1995).
7
E. Biskuit Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening, serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990). Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti yang terlihat pada Tabel 2.4. Selain itu biskuit umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan, serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz, 1978). Tabel 2.4 Syarat Mutu Biskuit Komponen
Syarat Mutu
Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Logam berbahaya Serat kasar Kalori (per 100 gr) Jenis tepung Bau dan rasa Warna Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992
Maksimum 5% Minimum 9% Minimum 9,5% Minimum 70% Maksimum 1,5% Negatif Maksimum 0,5% Minimum 400 Terigu Normal, tidak tengik Normal
Menurut Manley (1998), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, yaitu tekstur dan kekerasan, perubahan bentuk akibat pemanggangan, ekstensibilitas adonan, dan pembentukan produk. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo, 1985). Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25% - 40% dan kadar lemak 15%, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang, dan disperse lemak ke seluruh bagian adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12% - 15%, contohnya adalah biskuit marie. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25% - 30%, contohnya adalah biskuit krekers (Sunaryo, 1985). Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bahan
8
pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang kompak, sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). Menurut Vail et al. (1978), mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Untuk lebih jelasnya jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit dapat di lihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Jenis-Jenis Penyimpangan yang dapat terjadi dan Penyebabnya pada Pembuatan Biskuit Jenis Penyimpangan Keras Warna pucat Bentuk tidak rata
Hambar Keras dan poros Keras dan kering
Penyebab Kurang lemak Kurang air Proporsi bahan kurang tepat Pemanggang kurang panas Pencampuran tidak rata Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Pencampuran tidak tepat Adonan terlalu keras dan kenyal Penanganan terlalu lama
Sumber: Vail et al. 1987 1. Bahan Baku Biskuit a. Tepung Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selain itu, menurut Matz dan Matz (1978), tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak (Vail et al., 1987). b. Telur Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai pengental, perekat atau pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau pengempuk dan pengembang suatu masakan disamping sebagai penambah aroma dan zat gizi (Tarwotjo,1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi utama telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu, telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan kelembutan biskuit (Matz dan Matz, 1978). Menurut Winarno (1995), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan cephalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida. c. Gula Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada biskuit melalui reaksi pencoklatan nonenzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan
9
menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz, 1978). d. Lemak Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak juga berperan dalam pembentukan citarasa khas biskuit. Lemak alami yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit, antara lain adalah lard, butter, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain penggunaan lemak alami, lemak yang telah dimodifikasi, seperti hidrogenasi minyak dan interesterifikasi minyak juga bisa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit (Matz dan Matz, 1978). e. Susu Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz, 1978). f. Bahan pengembang Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leavening agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan soda kue (sodium bikarbonat). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartrat, fosfat, dan sulfat. Menurut Manley (2000), penggunaan ammonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0.47% dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%, sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit dan rata-rata digunakan antara 0.18% sampai dengan 1.92%. g. Air Dalam pembuatan roti dan kue, air mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk mengontrol kepadatan dan suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung secara seragam, membasahi dan mengembangkan pati serta menjadikannya dapat dicerna, dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Anonim, 1981). Pedoman pembuatan roti dan kue. Djambatan, Jakarta. 2. Proses Pembuatan Biskuit Menurut Sunaryo (1985), pembuatan biskuit terdiri dari persiapan bahan, pencampuran dan pengadukan, pembuatan lebar adonan, dan pemanggangan. Proses pembuatan biskuit secara umum dikategorikan dalam dua cara, yaitu metode krim dan metode all- in. Pada metode krim, gula dan lemak dicampur sampai terbentuk krim homogen. Selanjutkan dilakukan penambahan susu ke dalam
10
krim dan pencampurannya dilakukan secara singkat. Pada tahap akhir, tepung dan sisa air ditambahkan kemudian dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk, sedangkan pada metode all- in semua bahan dicampur secara bersamaan. Metode ini lebih cepat namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras daripada adonan pada metode krim (Whiteley, 1971). Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap, dilakukan pencampuran dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah adonan, lama pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas, sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat pemanggangan. Sebaliknya, jika waktu pengadukan kurang, maka adonan akan kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo, 1985). Proses pembuatan biskuit dilakukan dengan cara mencampurkan bahan sehingga membentuk adonan, kemudian dicetak dan dipanggang dalam oven, sehingga menghasilkan biskuit. Skema pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.
Persiapan bahan
Pencampuran/ pengadukan
Pembentukan lembaran adonan
Pencetakan
Pemanggangan Pendinginan Pengemasan Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biskuit (Sunaryo, 1985) a. Persiapan Bahan Masing-masing bahan dalam tahap ini ditimbang atau diukur volumenya berdasarkan komposisi adonan. Bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, tikus, dan standar mutu yang ditetapkan (Sunaryo, 1985). b. Pencampuran atau Pengadukan Tujuan pencampuran atau pengadukan adalah untuk memperoleh adonan yang homogen dan menghasilkan pengembangan gluten yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan alat mixing.
11
Untuk mendapatkan adonan yang baik perlu memperhatikan waktu pengadukan sehingga tercapai pengembangan gluten yang optimal. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit pada saat pemanggangan. Jika waktu pengadukan kurang, maka adonan akan kurang menyerap air, sehingga adonan kurang elastis dan lembaran adonan menjadi lebih mudah patah (Sunaryo, 1985). Sunaryo (1985) membagi beberapa jenis adonan sesuai dengan jenis produk yang dikehendakinya, yaitu: 1. Adonan Pendek Adonan ini digunakan untuk membuat cookies. Pada adonan ini gluten tidak mengembang akibat shortening effect dari lemak, efek pelunakan gula, dan rendahnya kadar air sekitar 3%. Adonan ini memiliki kadar gula tinggi sekitar 25% - 40% dan kadar lemak maksimal 15%. 2. Adonan Keras Adonan keras digunakan untuk pembuatan biskuit. Pada adonan ini gluten mengembang sampai batas tertentu, karena kadar air yang ditambahkan tidak sebanyak pada adonan fermentasi. Selain terjadi pengembangan gluten, juga terjadi ikatan antara protein dan pati, larutnya gula, garam, pengembang, dan disperse lemak ke seluruh bagian adonan. Kandungan lemak pada adonan ini 15% dan gula 20%. Proses pencampuran pada kedua adonan di atas adalah sebagai berikut: semua bahan kecuali tepung diaduk dengan mixer sampai tercampur halus, baru kemudian tepung dimasukkan untuk kemudian diaduk lagi bersama-sama. 3. Adonan Fermentasi Adonan fermentasi digunakan untuk pembuatan biskuit crackers. Pada adonan ini gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan terjadi pengembangan tersebut sebesar 30%. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk akhir, penyusutan panjang setelah pencetakan dan pemanggangan. Biasanya produk akhir mempunyai sifat cryspinnes tertentu. Kadar gula adonan sangat rendah dengan kadar lemak 25% - 30%. Segera setelah proses pencampuran adonan selesai, adonan harus digunakan maksimal 30 menit kemudian. Apabila adonan dibiarkan terlalu lama, adonan dapat menyerap air dari lingkungan, sehingga mempengaruhi pengembangan gluten, atau adonan menjadi keras karena terjadi penguapan air. c. Pembuatan Lembaran Adonan Pelempengan atau pembuatan lembaran adonan bertujuan untuk mengubah bentuk adonan (deformasi) dan menarik adonan secara mekanis. Pelempengan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah proses pencampuran, agar adonan dapat dibentuk menjadi lembaran pada saat pengembangan yang optimal. Pelempengan berlangsung secara berulang agar dihasilkan suatu lembaran adonan yang halus dan kompak (Sunaryo, 1985).
12
d. Pencetakan Proses pencetakan bertujuan untuk memberi bentuk biskuit. Pada industri tepung dan biskuit, proses ini dapat dilakukan dengan alat reciprocating cutter atau wire cutter, tergantung dari jenis adonan biskuit (Sunaryo, 1985). e. Pemanggangan Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven. Suhu dan waktu pemanggangan berlangsung antara 2,5 – 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan biskuit yang dihasilkan. Perubahan yang terjadi selama pemanggangan biskuit adalah perubahan struktur, pengurangan kadar air, dan perubahan warna (Sunaryo, 1985). f. Pendinginan dan Pengemasan Pendinginan biskuit segera setelah keluar dari oven mutlak diperlukan, dengan tujuan untuk menurunkan suhu dengan segera dari suhu pemanggangan ke suhu ruang untuk mencegah penyerapan uap air, mencegah kontaminasi kotoran dari atmosfir, dan untuk pengerasan tekstur biskuit. Begitu keluar dari oven, tekstur biskuit agak lunak dan elastis karena gula dan lemak masih berbentuk cair. Jika telah didinginkan gula dan lemak kembali padat sehingga tekstur mengeras (Sunaryo, 1985). Biskuit termasuk produk yang cepat menyerap air dan oksigen, oleh karena itu pengeras harus kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap sinar, dan mampu melindungi biskuit dari kerusakan mekanis (Sunaryo, 1985).
F. Studi Kelayakan Sutojo (1983) dan Kadariah et al. (1999) menyebutkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik dilakukan atas aspek-aspek tertentu, yaitu aspek teknis, aspek manajerial dan administratif, aspek organisasi, aspek pemasaran, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Umar (2005) menambahkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik juga memerlukan analisis terhadap aspek lingkungan, aspek legalitas, dan aspek sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut biasanya dianalisis dengan teknik-teknik tertentu dengan mempertimbangkan manfaat bagi industri tersebut. 1. Aspek Pasar dan Pemasaran Studi pasar dan pemasaran dapat dikatakan merupakan “darah daging” setiap studi kelayakan. Bagi suatu proyek baru, pengetahuan dan analisis pasar bersifat menentukan karena banyak keputusan tentang investasi tergantung dari hasil analisis pasar (Simarmata, 1992). Aspek pasar dan pemasaran dikaji untuk mengungkapkan permintaan, penawaran, harga, program pemasaran, dan perkiraan penjualan yang dapat dicapai oleh perusahaan, atau pangsa pasar yang dapat dikuasai oleh perusahaan. Selain itu, analisis terhadap pasar dan pemasaran pada suatu usulan proyek ditujukan untuk mendapatkan gambaran tentang potensi pasar bagi produk yang tersedia untuk masa yang akan datang, dan menentukan jenis strategi pemasaran yang digunakan guna mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan (Husnan dan Suwarsono, 2000).
13
Sutojo (1983) menyebutkan bahwa dalam mengkaji aspek pasar dan pemasaran, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
Bagaimana produk tersebut dalam pasar dewasa ini.
Berapa permintaan produk di masa lampau dan sekarang, bagaimana komposisi permintaan tiap segmen pasar serta bagaimana kecenderungan perkembangan permintaan.
Bagaimana proyeksi permintaan produk pada masa mendatang serta berapa persen dari permintaan dapat diambil.
Bagaimana kemungkinan adanya persaingan.
Kegunaan dari analisis pasar adalah menentukan besar, sifat, dan pertumbuhan permintaan total akan produk yang bersangkutan, deskripsi tentang produk dan harga jual, situasi pasar dan adanya persaingan, berbagai faktor yang ada pengaruhnya terhadap pemasaran produk, dan program pemasaran yang sesuai untuk produk (Edris, 1993). 2. Aspek Teknik dan Teknologi Aspek teknik dan teknologi merupakan salah satu aspek penting bagi proyek karena merupakan jawaban dari pertanyaan dapat tidaknya produk tersebut dibuat. Hal ini sangat dirasakan jika bidang usaha yang digunakan bersifat manufacturing atau poros intinya adalah teknologi (Simarmata, 1992). Berdasarkan analisis aspek teknik dan teknologi dapat diketahui rancangan awal penaksiran biaya investasi. Analisis teknik berhubungan dengan input proyek berupa barang dan jasa dan menguji hubungan-hubungan teknik yang memungkinkan dalam suatu proyek yang diusulkan serta mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam informasi selama perencanaan dan tahap pelaksanaan. Analisis teknik secara spesifik mencakup analisis terhadap ketersediaan bahan baku, proses produksi, mesin dan peralatan, perancangan aliran bahan, analisis keterkaitan antar aktivitas, jumlah mesin dan peralatan, keperluan tenaga kerja, penentuan luas pabrik, dan perancangan tata letak pabrik (Husnan dan Muhammad, 2000). Sutojo (1983) menyebutkan bahwa evaluasi aspek teknis dan teknologi meliputi hal-hal berikut.
Penentuan lokasi proyek, yaitu lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, baik untuk pertimbangan lokasi maupun lahan proyek. Peubah-peubah yang perlu diperhatikan, antara lain: iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik dan air, keadaan dan sikap masyarakat, dan rencana masa depan perusahaan untuk perluasan. Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu letak konsumen potensial atau pasar sasaran, letak bahan baku, dan peraturan pemerintah.
Penentuan kapasitas produksi ekonomis yang merupakan volume atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama waktu tertentu. Kapasitas produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi operasi proyek yang akan didirikan. Kapasitas produksi ditentukan berdasarkan perpaduan hasil penelitian berbagai macam komponen evaluasi, yaitu perkiraan jumlah penjualan produk di masa yang akan datang atau kemungkinan pasar yang akan
14
diraih, kemungkinan pengadaan bahan baku, bahan pembantu dan tenaga kerja, serta tersedianya mesin dan peralatan di pasar sesuai dengan teknologi yang diterapkan.
Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh kemungkinan pengadaan tenaga ahli, bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam dan lainnya tergantung proyek yang didirikan.
Penentuan proses produksi yang dilakukan dan tata letak pabrik yang dipilih, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain. Tata letak pabrik merupakan alat efektif untuk menekan biaya produksi dengan cara menghilangkan atau mengurangi sebesar mungkin semua aktivitas yang tidak produktif.
Lokasi merupakan hal yang penting bagi pendirian suatu perusahaan karena akan mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Perusahaan yang didirikan tanpa pertimbangan lokasi yang ekonomis, akan mengalami kesulitan dalam menjamin kelangsungan hidupnya. Penentuan lokasi yang kurang tepat merupakan salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan efektif, sehingga biaya produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu, dalam penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi suatu industri sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, letak sumber bahan baku, daerah pemasaran, serta faktor lingkungan. Menurut Assauri (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi analisis lokasi suatu industri dapat digolongkan menjadi faktor-faktor utama dan faktor-faktor tambahan. Faktor-faktor utama akan berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan-kegiatan produksi dan distribusi dari industri yang akan didirikan. Faktor-faktor utama tersebut meliputi letak dari pasar, letak dari sumber bahan baku, tingkat biaya dan ketersediaan fasilitas pengangkutan, biaya ketersediaan tenaga kerja, dan adanya pembangkit listrik. Pola aliran bahan merupakan salah satu langkah yang penting dalam perencanaan fasilitas. Pola aliran dapat dikelompokkan menjadi pola aliran di dalam tempat kerja, pola aliran dalam fasilitas, dan aliran antar fasilitas. Menurut Birchfield (1988), terdapat tiga bentuk umum tata letak ruang kerja, yaitu garis lurus, bentuk U, dan bentuk L dimana setiap bentuk memiliki peruntukkannya sendiri. Bentuk garis lurus sering digunakan untuk mengefisiensikan waktu dan pergerakan. Bentuk U akan memberikan area yang cukup, namun jumlah waktu yang terbuang lebih banyak karena pergerakan pekerja untuk masuk dan keluar ruangan. Analisa aliran bahan sangat diperlukan dalam merancang suatu tata letak industri atau pabrik. Penentuan aliran bagi manajemen, material, aliran bahan, distribusi fisik dan logistik merupakan salah satu langkah dalam perencanaan fasilitas yang sangat penting terutama penentuan pola aliran bahan. Menurut Heizer dan Render (1993), peta keterkaitan kegiatan atau disebut juga relationship chart, merupakan suatu cara untuk menunjukkan aliran departemen. Peta kegiatan keterkaitan serupa dengan peta dari-ke, tapi tidak seperti peta dari-ke yang berisi data perpindahan material, peta ini berisikan tanda kualitatif yang menggambarkan hubungan antar departemen. Analisis terhadap peta ini memperlihatkan departemen-departemen yang tidak boleh berdekatan. Untuk membantu menentukan kegiatan yang harus diletakkan pada suatu tempat, telah ditetapkan suatu pengelompokkan derajat kedekatan, yang diikuti dengan tanda bagi tiap derajat kedekatan tadi. Keterkaitan antar aktivitas dan hasil dari proses perancangan kegiatan tersebut adalah dalam bentuk bagan dan diagram keterkaitan
15
antar kegiatan, yang secara sistematis telah menunjukkan bagaimana kedudukan (letak atau lokasi) suatu kegiatan (ruang) tertentu dikaitkan dengan kegiatan (ruang) yang kain (Apple, 1990). 3. Aspek Manajemen dan Organisasi Hal yang perlu dipelajari dalam aspek manajemen adalah manajemen selama masa pembangunan proyek yang meliputi pelaksanaan proyek tersebut, jadwal penyelesaian proyek, aktor yang melakukan studi setiap aspek manajemen dalam operasi. Manajemen dalam operasi meliputi bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi jabatan, jumlah tenaga kerja yang akan dipergunakan dan anggota direksi serta tenaga-tenaga terinci. Aspek manajemen dan organisasi dapat digolongkan menjadi dua, seperti dijelaskan di bawah ini: a. Manajemen proyek, yaitu pengelolaan kegiatan yang terkait dengan mewujudkan gagasan sampai menjadi hasil proyek berbentuk fisik. b. Manajemen operasi, yaitu menangani kegiatan operasi dan produksi fasilitas hasil proyek (Soeharto,2000). Aspek manajemen dan organisasi dapat dikelompokkan menjadi manajemen proyek, yaitu pengelolaan kegiatan yang berkaitan dengan mewujudkan gagasan sampai menjadi hasil proyek berbentuk fisik, manajemen operasi atau produksi fasilitas hasil proyek. Lingkup manajemen organisasi meliputi pengelolaan kegiatan yang langsung berhubungan dengan kegiatan memproduksi barang atau memberikan pelayanan. Mulai dari usaha mendapatkan sumber daya, mengkonversikan masukan menjasi produk atau pelayanan yang diinginkan. Masukan tersebut dapat terdiri dari bahan mentah, tenaga kerja, material, energi, dan waktu. Ariyoto (1990) menyatakan bahwa manajemen merupakan cara mencapai tujuan dari sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini adalah uang (modal), mesin dan peralatan, personil (tenaga kerja), dan material. Umar (2005) menyatakan bahwa tujuan kajian aspek manajemen adalah mengetahui apakah pembangunan dan implementasi bisnis dapat direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan sehingga rencana bisnis dapat dinyatakan layak atau sebaliknya. Aspek manajemen operasional adalah suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan, dan pengawasan terhadap operasi perusahaan (Umar, 2005). Penelitian aspek manajemen dan organisasi mencakup dua hal, yaitu struktur organisasi dan manajemen tenaga kerja yang mencakup kebutuhan tenaga kerja, kualifikasi tenaga kerja, dan pembagian tugas kerja (Behrens dan Hawranek, 1991). 4. Aspek Legalitas Aspek legalitas penting karena menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku badan usaha. Untuk menampung aspirasi dalam mencapai tujuan usaha diperlukan suatu wadah untuk menampung kegiatan. Dalam evaluasi yuridis, salah satu pokok pengamatan yang merupakan kekuatan yang menunjang usaha adalah tentang izin-izin yang dimiliki karena dapat dikatakan bahwa izin usaha merupakan syarat legalisasi usaha (Ariyoto, 1990). Menurut Husnan dan Suwarsono (2000) dalam pengkajian aspek yuridis atau hukum, hal yang perlu diperhatikan meliputi bentuk badan usaha yang akan digunakan dan berbagai akte,
16
sertifikat, serta izin yang diperlukan. Aspek legalitas atau yuridis berguna untuk kelangsungan hidup proyek dalam rangka meyakinkan kreditor dan investor bahwa proyek yang akan dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku (Umar, 2005). 5. Aspek Lingkungan Pembangunan suatu industri hendaknya tetap memperhatikan kepentingan manusia dan lingkungannya. Pembangunan industri yang baik adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan tersebut dapat terwujud apabila semua komponen dalam perusahaan mengerti pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan dalam setiap tahapan proses produksinya. Kajian aspek lingkungan hidup bertujuan untuk menentukan dapat dilaksanakannya industri secara layak atau tidak dari segi lingkungan hidup. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek lingkungan, antara lain: peraturan dan perundang-undangan AMDAL dan kegunaan dalam kajian pendirian industri dan pelaksanaan proses pengelolaan dampak lingkungan (Umar, 2005). 6. Aspek Finansial Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan. Selain itu, juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan (Djamin, 1984). Aspek finansial dilakukan setelah selesai evaluasi aspek lain dalam rencana investasi proyek selesai dilaksanakan. Analisis finansial adalah perbandingan antara pengeluaran dengan pemasukan suatu proyek dengan melihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut memberikan sumbangan atau rencana yang positif dalam pembangunan ekonomi nasional (Jadariah et al,. 1978). Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur permodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya modal kerja. Biaya investasi meliputi pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, berbagai aset tetap, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek. Biaya kerja meliputi biaya produksi (bahan baku, tenaga kerja, overhead pabrik, dan lain-lain), biaya administrasi, biaya pemasaran, dan penyusutan. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak (Edris, 1993). Modal investasi dalam analisis finansial dibagi menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap dipergunakan antara lain untuk pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek, serta pengadaan dana modal tetap itu sendiri (Sutojo, 1996). Untuk menghindari salah perhitungan karena timbulnya hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, maka ditambahkan biaya lain-lain atau biaya yang biasa disebut dengan biaya kontingensi. Nilai yang lazim digunakan dalam menghitung biaya kontingensi adalah sebesar 10% (Sutojo, 1996). Penyusutan merupakan pengalokasian biaya investasi suatu proyek pada setiap tahun sepanjang umur proyek tersebut. Menurut De Garmo et al. (1984), metode yang sering digunakan,
17
yaitu metode garis lurus dimana perhitungan penyusutan didasarkan pada asumsi bahwa penurunan nilai peralatan atau bangunan berlangsung secara konstan selama umur pemakaian. Rumus untuk menghitung penyusutan berdasarkan metode garis lurus adalah sebagai berikut:
Dimana:
D = Biaya penyusutan tiap tahun P = Harga awal (Rp) S = Harga akhir (Rp) L = Perkiraan umur ekonomis (tahun)
Menurut Gray et al. (1993) dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerima atau penolakan atas pengurutan suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Kriteria investasi yang digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Payback Period (PBP), dan analisis sensitivitas. Selain itu, diperlukan perhitungan biaya investasi dan kebutuhan modal kerja (Behrens dan Hawranek, 1991). 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dan nilai sekarang penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal cash flow) di masa yang akan datang pada tingkat bunga tertentu (Husnan dan Muhammad, 2000). Menurut Gray et al. (1993), formula yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut. ∑[
Dengan
(
)
]
Bt
= keuntungan pada tahun ke-t
Ct
= biaya pada tahun ke-t
i
= tingkat suku bunga (%)
t
= periode investasi (t = 0,1,2,3,…,n)
n
= umur ekonomis proyek
Proyek dianggap layak dan dapat dilaksanakan apabila NPV > 0. Jika NPV < 0, maka proyek tidak layak dan tidak perlu dijalankan. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar opportunity cost faktor produksi modal. 2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah discount factor pada saat NPV = 0 dan dinyatakan dalam persen (Gray et al., 1993). Menurut Sutojo (2002), IRR merupakan tingkat bunga yang bilamana dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan
18
menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek. Tujuan perhitungan IRR adalah mengetahui persentase keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya. Menurut Kadariah et al. (1999), rumus IRR adalah sebagai berikut. ( ) ( )
dengan
( )
()
( )
= NPV bernilai positif
(-)
= NPV bernilai negatif
()
( )
( )
= discount factor yang membuat NPV positif
(-)
= discount factor yang membuat NPV negatif
Proyek layak dijalankan bila nilai IRR besar atau sama dengan dari nilai discount factor. 3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Perhitungan Net B/C dilakukan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan (Gray et al., 1993). ∑ ∑
(
)
(
)
) )
Jika Net B/C bernilai lebih dari satu, berarti NPV > 0 dan proyek layak dijalankan, sedangkan jika Net B/C kurang dari satu, maka proyek sebaiknya tidak dijalankan (Kadariah et al., 1999). 4. Break Even Point (BEP) Break Even Point atau titik impas merupakan titik dimana total biaya produksi sama dengan pendapatan. Titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi sama besarnya dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Menurut Kotler (1993) hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel dapat disajikan pada rumus berikut. BEP = Total Fixed Cost / [1- (Variabel Cost/ Total Penerimaan)] 5. Pay Back Period (PBP) Pay Back Period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan meliputi periode waktu yang diperlukan dalam melunasi seluruh pengeluaran investasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai PBP adalah sebagai berikut. (
)
19
Dengan
n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt-Ct negative yang terakhir (tahun) m = nilai kumulatif Bt-Ct negative yang terakhir (Rp) Bn = manfaat bruto pada tahun ke-n (Rp) Cn = biaya bruto pada tahun ke-n (Rp)
6. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan parameter aspek finansial yang berpengaruh terhadap keputusan yang dipilih. Apabila nilai unsur tersebut berubah dengan variasi yang relatit besar tetapi tidak berakibat terhadap investasi, maka dapat dikatakan bahwa keputusan untuk berinvestasi pada suatu proyek tidak sensitive terhadap unsur yang dimaksud. Sebaliknya, bila terjadi perubahan yang kecil saja mengakibatkan perubahan keputusan investasi, maka dinamakan keputusan untuk berinvestasi tersebut sensitive terhadap unsur yang dimaksud. Analisis sensitivitas terhadap unsur-unsur yang terdapat di dalam aliran kas meliputi perubahan harga bahan baku, biaya produksi, berkurangnya pangsa pasar, turunnya harga jual produk per unit, ataupun tingkat bunga pinjaman (Soeharto, 2000). Analisis proyek biasanya didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa mendatang. Suatu proyek dapat berubah-ubah sebagai akibat empat permasalahan utama, yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan pelaksanaan proyek, kenaikan biaya, dan perubahan volume produksi (Gittinger, 1986).
20
III. METODOLOGI
A. Kerangka Pemikiran Pengembangan industri tepung dan biskuit dari tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) harus mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu analisis pasar dan pemasaran, analisis ketersediaan bahan baku, analisis teknik dan teknologi, analisis manajemen operasi dan organisasi, analisis legalitas, analisis lingkungan, dan analisis finansial. Hasil dari analisis-analisis tersebut dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan-permasalahan yang mungkin ada, sehingga dapat disusun rekomendasi pengembangannya. Teknik yang dilakukan dalam melakukan studi kelayakan ini adalah dengan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, baik data primer maupun sekunder. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dihitung perincian biaya investasinya. Sebelum perincian biaya, terlebih dahulu ditentukan asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi finansial yang digunakan, antara lain: umur ekonomis proyek, biayabiaya operasional, kapasitas produksi, jumlah produk yang terjual, dan sebagainya. Secara konsep, penelitian ini dimulai dengan melakukan studi pustaka sekaligus mempelajari deskripsi produk dan industri tepung dan biskuit berbasis tepung lele. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data dan informasi. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder yang meliputi aspek pasar dan pemasaran, analisis teknik dan teknologi, analisis manajemen dan organisasi, analisis lingkungan dan legalitas, serta analisis finansial. Apabila data yang dikumpulkan belum cukup, maka kembali dilakukan pengumpulan data. Namun jika data dan informasi yang dibutuhkan sudah mencukupi kemudian dilakukan tabulasi data dan analisis pada tiap aspek. Setelah itu dilakukan analisis data dan informasi yang sudah dianalisis disusun alam bentuk laporan lengkap. Setelah disusun dalam bentuk laporan, penelitian selesai. Alir kerangka pemikiran sebagai langkah-langkah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
B. Pendekatan Studi Kelayakan Pendekatan studi kelayakan dilakukan untuk memecahkan masalah pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo. Djamin (1984) menyatakan bahwa studi kelayakan terdiri atas lima tahap, yaitu tahap identifikasi, tahap seleksi awal, tahap pengujian, tahap evaluasi, dan tahap penyusunan laporan.
21
Mulai
Studi Pustaka, mempelajari deskripsi produk dan industri Pengumpulan data (primer dan sekunder)
Tabulasi data
Analisis pasar dan pemasaran
Potensi pasar dan persaingan Segmenting, targeting, positioning, marketing mix
Spesifikasi bahan baku Ketersediaan bahan baku Penentuan kapasitas produksi Penentuan proses produksi Neraca massa Penentuan lokasi Perencanaan tata letak pabrik, bangunan, &fasilitas lain
Analisis teknik dan teknologi
Analisis manajemen dan organisasi
Struktur organisasi Deskripsi kerja Kebutuhan tenaga kerja
Analisis lingkungan dan legalitas
Penanganan limbah Perizinan pendirian usaha Peraturan pemerintah Peraturan izin gangguan
Penentuan asumsi Biaya investasi Proyeksi aliran kas PBP, IRR, NPV, B/C Ratio, BEP Analisis sensitivitas
Analisis finansial
Penyusunan laporan
Selesai
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
22
C. Metode Penelitian Tahapan yang harus dilakukan pada studi kelayakan ini adalah melakukan analisis masalah dan meneliti aspek-aspek yang berhubungan dengan perancangan kelayakan industri tersebut, yaitu aspek pasar dan pemasaran, aspek teknik dan teknologi, aspek manajemen operasi dan organisasi, aspek lingkungan dan legalitas, dan aspek finansial. Metode studi kelayakan ini terdiri dari pengumpulan data dan analisis data. 1. Pengumpulan Data Data dan informasi dikumpulkan untuk keperluan analisis aspek-aspek yang berkaitan dengan proses perencanaan suatu analisis industri. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak terkait serta pakar bidang teknik dan teknologi yang sesuai serta gambaran mengenai berbagai aspek ketersediaan bahan baku dan pasar. Data sekunder diperoleh dari laporan, artikel, jurnal, data statistik dari instansi-instansi pemerintah, swasta, balai penelitian, dan sebagainya. Contoh data yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini. Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan Jenis Data
Sumber
Metode Pengumpulan Data
1. Pasar dan Pemasaran a. Harga jual biskuit
Pasar, swalayan
Survei
b. Jumlah produksi biskuit
BPS
Pengumpulan dokumen
c. Jumlah permintaan biskuit
BPS
Pengumpulan dokumen
d. Jenis biskuit terlaris
Swalayan, SPG, konsumen
Survei & wawancara
e. Produk subtitusi biskuit
Ahli gizi, konsumen
Wawancara
f. Daftar industri tepung dan biskuit pesaing
Kementerian Perindustrian
Pengumpulan dokumen
g. Jumlah balita KEP
BPS, BKKBN
Pengumpulan dokumen
h.Daerah rawan bencana di Indonesia
Mitigasi & bencana
Pengumpulan dokumen
a.Daftar lokasi budidaya lele dumbo
Internet, BPS
Survei
b.Kapasitas produksi lele dumbo
Penghasil ikan lele dumbo
Wawancara
c. Harga ikan lele dumbo/kg
Penghasil ikan lele dumbo
Wawancara
d.Teknologi pembuatan tepung ikan lele dumbo
Inventor & pakar tepung ikan
Wawancara
e.Mesin dan alat pembuat tepung ikan lele dumbo
Inventor & pakar tepung ikan
Wawancara
2. Teknik dan Teknologi
23
Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan (Lanjutan) Jenis Data
Sumber
Metode Pengumpulan Data
f. Teknologi pembuatan biskuit
Pakar & produsen biskuit
Wawancara
g. Mesin dan alat pembuat biskuit
Pakar & produsen biskuit
Wawancara
h.Daftar lokasi alternatif pendirian industri tepung dan biskuit lele
Ahli peruntukan wilayah & pemerintah setempat
Wawancara
i. Metode pemilihan lokasi
Buku & pakar
Wawancara
j. Metode perencanaan tata letak dan site plan
Buku & pakar
Wawancara
a. Daftar jenis bentuk usaha
Undang-undang/ peraturan
Pengumpulan dokumen
b. Jenis struktur organisasi
Undang-undang/ peraturan
Pengumpulan dokumen
c.Spesifikasi dan deskripsi pekerjaan
Buku, jurnal
Pengumpulan dokumen
d. Jenis kebutuhan tenaga kerja
Buku, jurnal
Pengumpulan dokumen
a.Jenis SDA yang tersedia di sekitar lokasi industri
Pemerintah Daerah
Wawancara
b. Peruntukan wilayah
Pemerintah Daerah
Wawancara
c. Peraturan Pemerintah
Undang-undang
Pengumpulan dokumen
d.Metode pengolahan dan pembuangan limbah
Buku & pakar
Wawancara
a. Daftar penentuan asumsi
Buku, inventor, investor
Pengumpulan dokumen
b. Daftar harga mesin dan alat yang
Produsen penghasil mesin
Wawancara
c.Metode perhitungan PBP, IRR, NPV, B/C Ratio, BEP
Buku, jurnal
Pengumpulan dokumen
d. Jenis analisis sensitivitas
Buku, jurnal
Pengumpulan dokumen
3. Manajemen dan Organisasi
4. Lingkungan dan Legalitas
5. Finansial
2. Analisis Data Analisis yang dilakukan meliputi analisis pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, dan finansial. Analisis data dilakukan dengan dua metode pendekatan, yaitu analisis secara kualitatif dan kuantitatif.
24
a. Analisis Pasar dan Pemasaran Aspek-aspek yang dikaji pada analisis pasar dan pemasaran meliputi proyeksi permintaan dan penawaran, pangsa pasar yang mungkin diraih, perilaku konsumen, dan strategi pemasaran untuk mencapai pangsa pasar tersebut. Semua aspek tersebut diukur dengan teknik yang sesuai dengan kebutuhan penelitian dan sumber data yang diperoleh. Setelah diketahui jumlah permintaan biskuit balita dan jumlah yang diproduksi di Indonesia, maka peluang pasar akan didapatkan dari selisih nilai tersebut. Setelah diketahui pangsa pasar yang dapat diraih, maka diperlukan strategi pemasaran, diantaranya dengan segmentasi (segmenting), penentuan target pasar (targeting), penentuan posisi di pasar (positioning), serta bauran pemasaran (marketing mix). Langkah-langkah dalam analisis pasar dan pemasaran ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Mulai Pencarian data 1.
Jumlah permintaan biskuit balita
2.
Harga biskuit balita
Analisis peluang pasar biskuit lele
Analisis struktur pasar dengan pesaing
Persentase pangsa pasar yang dapat diraih
Selesai
Gambar 3.2 Alir Proses Analisis Pasar dan Pemasaran b. Analisis Teknik dan Teknologi Analisis teknik dan teknologi meliputi ketersediaan bahan baku, penentuan kapasitas produksi dan lokasi, pemilihan teknologi proses, mesin, dan peralatan, neraca massa, dan perencanaan tata letak, kebutuhan luas ruang produksi, dan site plant dari pabrik tersebut. Alir proses analisis aspek teknik dan teknologi dapat dilihat pada Gambar 3.3.
25
Mulai Pencarian data bahan baku
Penentuan alternatif bahan baku Penentuan alternatif lokasi
Lokasi pabrik terpilih
Penentuan kapasitas produksi
Pemilihan teknologi proses produksi, mesin, dan peralatan Penyusunan neraca massa Penyusunan tata letak pabrik dan kebutuhan luas ruang produksi
Selesai
Gambar 3.3 Alir Proses Analisis Aspek Teknik dan Teknologi Ketersediaan bahan baku dianalisis dengan melihat data produksi, penggunaan, dan ekspor ikan lele dumbo. Jika bahan baku tidak terpenuhi di satu lokasi penghasil ikan lele dumbo, maka dilakukan pencarian terhadap lokasi lain yang juga menghasilkan ikan lele dumbo. Penentuan kapasitas produksi dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku, pasar, dan kemampuan investasi. Ketiga komponen tersebut dianalisis sehinggga didapatkan kapasitas produksi industri tepung dan biskuit berbasis tepung ikan lele dumbo ini. Penentuan lokasi pabrik dilakukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE). MPE merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantifikasi pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Pada prinsipnya ia merupakan metode skoring terhadap pilihan yang ada. Dengan perhitungan secara eksponensial, perbedaan nilai antar kriteria dapat dibedakan tergantung kepada kemampuan orang yang menilai.
26
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan MPE adalah sebagai berikut. 1.
Penentuan alternatif keputusan.
2.
Penyusunan kriteria keputusan yang akan dikaji.
3.
Penentuan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai keinginan pengambil keputusan.
4.
Penentuan derajat kepentingan relatif dari setiap alternatif keputusan.
5.
Pemeringkatan nilai yang diperoleh dari setiap alternatif keputusan.
(Maarif, 2003) Menurut Maarif (2003), formulasi perhitungan total nilai setiap pilihan keputusan adalah sebagai berikut: Rkij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i, yang dapat dinyatakan dengan skala ordinal (1,2,3,4,5). TKKj = derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot. n = jumlah pemilihan keputusan m = jumlah kriteria keputusan Hal terpenting dalam penerapan MPE adalah penentuan derajat kepentingan/ bobot dari setiap kriteria yang ditetapkan, karena akan mempengaruhi nilai akhir dari setiap pilihan keputusan. Bobot memiliki sifat sebagai berikut. 0 <we = “bobot” e = “1,2,…,k” we = “1”> Wk, artinya tujuan/ kriteria e lebih penting dari tujuan/ kriteria k. Ketika We = Wk, artinya tujuan/ kriteria e sama penting dari tujuan/ kriteria k. Berikut ini adalah beberapa metode penentuan bobot. 1.
Langsung Artinya pemberian bobot bersifat subjektif, disini pemberian bobot oleh seseorang dilakukan secara langsung tanpa melakukan perbandingan relatif terhadap kriteria lainnya. Biasanya dilakukan oleh orang yang mengerti, paham, dan berpengalaman dalam menghadapi masalah keputusan yang dihadapi.
2.
Metode Eckenrode Konsep ini adalah melakukan perubahan urutan menjadi nilai, dimana urutan 1 dengan tingkat (nilai) tertinggi, urutan 2 dengan tingkat (nilai) dibawahnya, dan seterusnya.
27
Pemilihan jenis teknologi dan proses produksi didasarkan pada kemudahan proses produksi dan prakiraan biaya produksi. Pemilihan mesin dan peralatan ditentukan berdasarkan teknologi dan proses produksi yang dipilih. Neraca massa disusun untuk melihat laju alir, jumlah input, dan jumlah output masing-masing komponen bahan pada setiap proses. Neraca energi disusun untuk melihat kesetimbangan energi di setiap proses dan keseluruhan proses serta menghitung jumlah energi yang dibutuhkan pada setiap proses dan keseluruhan proses. Penentuan tata letak pabrik dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antar aktivitas, kemudian menentukan kebutuhan luas ruang dan alokasi area. Untuk menganalisis keterkaitan antar aktivitas, perlu ditentukan derajat hubungan aktivitas. Derajat hubungan aktivitas dapat diberi tanda sandi sebagai berikut.
A (absolutely necessary) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus saling berdekatan dan bersebelahan.
E (especially important) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus bersebelahan.
I (important) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan cukup berdekatan.
O (ordinary) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan tidak harus saling berdekatan.
U (unimportant) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan bebas dan tidak saling mengikat.
X (undesirable) menunjukkan bahwa letak antara dua kegiatan harus saling berjauhan atau tidak boleh saling berdekatan.
Sandi derajat hubungan aktivitas diletakkan pada bagian dalam kotak peta keterkaitan antar aktivitas. Alasan-alasan yang mendukung kedekatan hubungan meliputi keterkaitan produksi, keterkaitan pekerja, dan aliran informasi. Alasan keterkaitan produksi meliputi urutan aliran kerja, penggunaan peralatan, catatan, dan ruang yang sama, kebisingan, kotor, debu, getaran, serta kemudahan pemindahan barang. Alasan keterkaitan pekerja meliputi penggunaan karyawan yang sama, pentingnya berhubungan, jalur perjalanan, kemudahan pengawasan, pelaksanaan pekerjaan serupa, perpindahan pekerja, dan gangguan pekerja. Alasan informasi meliputi penggunaan catatan yang sama, hubungan kertas kerja, dan penggunaan alat komunikasi yang sama (Apple,1990). Pada peta keterkaitan antar aktivitas, alasan-alasan pendukung ini disesuaikan penempatannya dalam kotak agar tidak tumpang tindih dengan kode derajat hubungan antar aktivitas. Tahapan proses dalam merencanakan peta keterkaitan antar aktivitas adalah sebagai berikut. 1.
Mengidentifikasi semua kegiatan penting dan kegiatan tambahan.
2.
Membagi kegiatan tersebut ke dalam kelompok kegiatan produksi dan pelayanan.
3.
Mengelompokkan data aliran bahan atau barang, informasi, pekerja, dan lainnya.
4.
Menentukan faktor atau subfaktor mana yang menunjukkan keterkaitan (produksi, pekerja, dan aliran informasi)
5.
Mempersiapkan peta aliran aktivitas.
28
6.
Memasukkan kegiatan yang sedang dianalisis ke sebelah kiri peta keterkaitan aktivitas. Urutannya tidak mengikat, namun dapat juga diurutkan menurut logika ketergantungan kegiatan.
7.
Memasukkan derajat hubungan antar aktivitas di dalam kotak yang tersedia.
Peta keterkaitan antar aktivitas yang telah dibuat kemudian diolah lebih lanjut menjadi diagram keterkaitan antar aktivitas. Berikut ini tahapan proses pembuatan diagram keterkaitan antar aktivitas. 1.
Mendaftar semua kegiatan pada templet kegiatan diagram keterkaitan aktivitas.
2.
Memasukkan nomor kegiatan dari peta keterkaitan aktivitas pada sisi pojok dan tengah setiap templet kegiatan diagram keterkaitan aktivitas untuk menunjukkan derajat kedekatan antar aktivitas.
3.
Melanjutkan prosedur untuk setiap templet yang tersedia sampai keseluruhan kegiatan tercatat.
4.
Menyusun model dalam sebuah diagram keterkaitan aktivitas, memasangkan yang A terlebih dahulu, kemudian E, dan seterusnya.
5.
Menggambarkan pola aliran sederhana. Dari hasil lembar kerja diagram keterkaitan antar aktifitas yang telah dilakukan, kemudian
dilakukan pengalokasian aktifitas dengan menggunakan metode Total Closeness Rating (TCR), yang dirumuskan sebagai berikut:
∑ (
Keterangan :
)
V(rij)
= Derajat hubungan aktifitas yang diberikan pada aktifitas i dan j
m
= Jumlah aktifitas
Perancangan tata letak pabrik didasarkan atas diagram alir proses produksi dan diagram keterkaitan aktifitas yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya tata letak pabrik disusun dengan denah yang efektif dan efisien serta disesuaikan dengan lahan yang tersedia. Keefektifan dan keefisienan perancangan pabrik ini diperoleh dari minimalnya jarak perpindahan bahan, keteraturan tempat kerja, dan runutnya aliran proses. Kebutuhan luas ruang produksi tergantung pada jumlah mesin dan peralatan, tenaga kerja atau operator yang menangani fasilitas produksi, serta jumlah dan jenis sarana yang mendukung kegiatan produksi. c. Analisis Manajemen dan Organisasi Kajian terhadap manajemen dan organisasi meliputi pemilihan bentuk perusahaan dan struktur organisasi yang sesuai, kebutuhan tenaga kerja, deskripsi dan spesifikasi kerja, pola rekruitmen, dan penjadwalan implementasi proyek. Alir analisis manajemen dan organisasi ini dapat dilihat pada Gambar 3.4.
29
Mulai Menentukan bentuk usaha yang dipilih
Menentukan struktur organisasi, deskripsi dan spesifikasi kerja, dan kebutuhan tenaga kerja
Selesai
Gambar 3.4 Alir Analisis Manajemen dan Organisasi d. Analisis Lingkungan dan Legalitas Analisis lingkungan meliputi sejauh mana keadaan lingkungan yang dapat menunjang perwujudan pendirian industri, terutama sumber daya yang diperlukan, seperti air, energi, manusia, dan ancaman alam sekitar, serta analisis mengenai dampak lingkungan yang di timbulkan oleh pendirian industri ini. Analisis legalitas meliputi mekanisme perizinan dan peraturan-peraturan yang berlaku. e. Analisis Finansial Kriteria-kriteria yang digunakan dalam analisis finansial meliputi net present value, internal rate of return, net benefit cost ratio, break even point, payback period, dan analisis sensitivitas. Kriteria-kriteria ini digunakan untuk melihat kelayakan industri secara finansial.
30
IV. ANALISIS PASAR DAN PEMASARAN
Dalam menganalisis aspek pasar dan pemasaran, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti kedudukan produk saat ini, komposisi dan perkembangan permintaan produk, serta kemungkinan adanya persaingan. Pada saat memasuki pasar harus memperkirakan pasar potensial agar sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara efektif. Pasar potensial adalah sejumlah konsumen yang mempunyai kadar minat tertentu pada tawaran tertentu (Kotler, 2000). Biskuit ikan termasuk dalam kategori pangan bergizi yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat gizi yang terkandung di dalamnya (Wildman & Kelley 2007). Oleh karena itu, konsumen produk biskuit ikan terbagi berdasarkan status gizi bayi dan balita di seluruh Indonesia, serta daerah rawan bencana. Produk utama yang diproduksi adalah biskuit ikan, sedangkan tepung mix yang dihasilkan merupakan produk hasil pencampuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai yang digunakan sebagai bahan baku pelengkap utama pembuatan biskuit ikan, serta sebagai pelengkap bahan baku pembuatan kue dan makanan yang bernilai tambah cukup tinggi. Potensi pasar biskuit ikan cukup besar karena pada saat ini tidak ada industri biskuit yang memproduksi biskuit ikan, sedangkan permintaan akan makanan tambahan yang dapat meningkatkan gizi balita dalam waktu relatif singkat sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan status gizi balita di Indonesia. Tentu saja dengan harga yang terjangkau. Selain itu, biskuit ikan juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pangan bantuan bencana, mengingat bahwa Indonesia merupakan wilayah negara yang rawan terkena bencana alam.
A. Potensi Pasar Biskuit ikan merupakan biskuit yang dihasilkan dari tepung mix, yaitu campuran antara tepung ikan lele dan isolat protein kedelai yang mengandung protein tinggi dan sangat dibutuhkan bagi balita yang menderita kekurangan energi dan protein (KEP). Biskuit ikan tidak lagi hanya sekedar makanan yang dapat memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan perut atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan menarik, namun juga mempertimbangkan terhadap potensi aktifitas fisiologi komponen yang dikandungnya. Di lain pihak, tepung ikan lele merupakan salah satu tepung pangan berbahan baku ikan segar. Mengingat bahwa keberadaan tepung pangan berbahan baku ikan segar masih sangat jarang di Indonesia, kebanyakan tepung ikan yang dihasilkan diperuntukan sebagai pakan ternak. Sampai saat ini tidak tersedia data pasti mengenai kebutuhan dalam negeri, nilai ekspor, maupun impor tepung ikan untuk pangan sebab belum terdapat industri yang mengolah ikan segar menjadi tepung ikan untuk pangan. Begitu pula untuk biskuit ikan yang termasuk ke dalam kategori biskuit bergizi, karena kebanyakan biskuit yang dijual di pasaran merupakan jenis biskuit konvensional yang lebih mengarah pada makanan ringan dan makanan tambahan. Oleh karena itu, untuk mengetahui potensi konsumsi biskuit ikan dan tepung mix yang akan diproduksi dapat diperkirakan dari volume kebutuhan biskuit berdasarkan data jumlah balita berstatus gizi kurang dan jumlah balita di daerah rawan bencana di Indonesia. Akan tetapi permintaan potensial
31
akan produk biskuit ikan sebenarnya akan jauh lebih besar dari perkiraan ini, terutama apabila diketahui jumlah permintaan biskuit oleh konsumen dalam negeri. Kebutuhan akan biskuit ikan di Indonesia didekati dengan menggunakan data laporan nasional riset kesehatan dasar akan status gizi bayi dan balita tahun 2010, pemetaan daerah rawan bencana di Indonesia, serta persentase rata-rata jumlah balita yang menjadi korban bencana alam selama ini. 1. Pasar Balita Berstatus Gizi Buruk dan Kurang Status gizi balita Indonesia dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh tim survei Riskesdas di beberapa daerah yang telah mulai dilakukan sejak bulan Juni 2010 dan berakhir pada tanggal 8 Agustus 2010 sampel yang terkumpul datanya adalah sekitar 96,5% dari 2.800 dan siap untuk dianalisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9% diantaranya 4,9% yang gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah Propinsi NTB (30,5%), dan terendah adalah Propinsi Sulut (10,6%). Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6%, dengan rentang 22,5% (DI Yogyakarta) sampai 58,4% (NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3%, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah adalah Bangka Belitung (7,6%). Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010
PROPINSI
BB/U
TB/U
BB/TB
GIZI BURUK & KURANG (%)
PENDEK
KURUS
(%)
(%)
2007
2010
2007
2010
2007
2010
1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara
26,5 22,8
23,7 21,4
44,6 43,1
38,9 42,3
18,3 17,0
14,2 14,0
3. Sumatera Barat
20,2
17,1
36,5
32,8
15,3
8,2
4. R i a u
21,4
16,2
33,0
32,2
22,1
17,2
5. Jambi
18,9
19,6
36,4
30,2
19,2
20,0
6. Sumatera Selatan
18,3
19,9
44,7
40,4
15,8
14,6
7. Bengkulu
16,8
15,3
36,0
31,6
14,1
17,8
8. Lampung
17,5
13,4
38,7
36,3
13,7
13,9
9. Bangka Belitung
18,3
14,9
35,5
29,0
10,8
7,6
10. Kepulauan Riau
12,4
14,0
26,2
26,9
13,5
7,9
11. DKI Jakarta
12,9
11,3
26,7
26,6
16,9
11,3
12. Jawa Barat
15,0
13,0
35,5
33,6
9,0
11,0
13. Jawa Tengah
16,1
15,7
36,5
33,9
11,8
14,2
14. DI Yogyakarta
10,9
11,2
27,6
22,5
9,0
9,1
15. Jawa Timur
17,5
17,1
34,8
35,9
13,7
14,2
16. Banten
16,7
18,5
39,0
33,5
14,1
14,1
32
Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010 (Lanjutan)
PROPINSI
BB/U
TB/U
BB/TB
GIZI BURUK &KURANG
PENDEK
KURUS
(%)
(%)
(%) 2007
2010
2007
2010
2007
2010
17. B a l i
11,4
11,0
31,0
29,3
10,0
13,2
18. Nusa Tenggara Barat
24,8
30,5
43,7
48,2
15,5
14,0
19. Nusa Tenggara Timur
33,6
29,4
46,8
58,4
20,0
13,2
20. Kalimantan Barat
22,5
29,1
39,3
39,7
17,3
16,7
21. Kalimantan Tengah
24,3
27,6
42,7
39,6
16,9
15,6
22. Kalimantan Selatan
26,6
22,9
41,8
35,3
16,3
15,6
23. Kalimantan Timur
19,3
17,1
35,2
29,1
15,9
12,9
24. Sulawesi Utara
15,7
10,6
31,2
27,8
10,2
9,2
25. Sulawesi Tengah
27,6
26,5
40,4
36,2
15,5
14,8
26. Sulawesi Selatan
17,6
25,0
29,1
38,9
13,7
12,0
27. Sulawesi Tenggara
22,8
22,8
40,5
37,8
14,7
15,8
28. Gorontalo
25,4
26,5
39,9
40,3
16,6
11,9
29. Sulawesi Barat
25,4
20,5
44,5
41,6
16,8
16,7
30. Maluku
27,8
26,2
45,8
37,5
17,2
13,2
31. Maluku Utara
22,8
23,6
40,2
29,4
14,8
17,8
32. Papua Barat
23,1
26,5
39,4
49,2
16,4
11,4
33. P a p u a
21,3
16,2
37,7
28,3
12,4
13,8
INDONESIA Sumber: Riskesdas (2010)
18,4
17,9
36,8
35,6
13,6
13,3
Secara nasional prevalensi balita gizi buruk dan kurang menurun sebanyak 0,5 % yaitu dari 18,4 % pada tahun 2007 menjadi 17,9 % pada tahun 2010. Demikian pula halnya dengan prevalensi balita pendek yang menurun sebanyak 1,2 % yaitu dari 36,8 % pada tahun 2007 menjadi 35,6 % pada tahun 2010, dan prevalensi balita kurus menurun sebanyak 0,3 % yaitu dari 13,6 % pada tahun 2007 menjadi 13,3 % pada tahun 2010. Untuk lebih jelasnya komposisi prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk (BB/U) menurut provinsi tahun 2010 disajikan pada Tabel 4.2.
33
Tabel 4.2 Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010 Status Gizi BB/U (%)
Propinsi
Gizi buruk 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. R i a u 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Kepulauan Riau 11. DKI Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. DI Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten 17. B a l i 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tenggara 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. P a p u a INDONESIA
Gizi kurang
Gizi Buruk+ Gizi Kurang
7,1 7,8 2,8 4,8 5,4 5,5 4,3 3,5 3,2 4,3 2,6 3,1 3,3 1,4 4,8 4,8 1,7 10,6 9,0 9,5 5,3 6,0 4,4 3,8 7,9 6,4 6,5 11,2 7,6 8,4 5,7 9,1
16,6 13,5 14,4 11,4 14,3 14,4 11,0 10,0 11,7 9,8 8,7 9,9 12,4 9,9 12,3 13,7 9,2 19,9 20,4 19,7 22,3 16,8 12,7 6,8 18,6 18,6 16,3 15,3 12,9 17,8 17,9 17,4
23,7 21,4 17,1 16,2 19,6 19,9 15,3 13,4 14,9 14,0 11,3 13,0 15,7 11,2 17,1 18,5 11,0 30,5 29,4 29,1 27,6 22,9 17,1 10,6 26,5 25,0 22,8 26,5 20,5 26,2 23,6 26,5
6,3
10,0
16,2
13,0 2,911,627
17,9 4,009,086
(%) 4,9 (Jiwa)1,097,459
Sumber: Riskesdas (2010)
34
Terdapat perbedaan perkembangan prevalensi balita gizi buruk dan kurang, balita pendek dan balita kurus dari tahun 2007 ke 2010 antara daerah kota dan desa. Di daerah kota secara umum terjadi penurunan prevalensi balita gizi buruk dan kurang, balita pendek dan balita kurus. Di daerah desa tidak terjadi penurunan prevalensi. Di daerah kota prevalensi balita gizi Burkur menurun dari 15,9 % tahun 2007 menjadi 15,2 % tahun 2010 (Gambar 4.1), prevalensi balita pendek turun dari 32,7 % tahun 2007 menjadi 31,4 % tahun 2010 (Gambar 4.2), dan prevalensi balita kurus turun dari 13,1 % tahun 2007 menjadi 12,5 % tahun 2010 (Gambar 4.3).
Gambar 4.1 Pravelensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Menurut Indikator BB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 Sumber: Riskesdas (2010)
Gambar 4.2 Pravelensi Balita Gizi Pendek dan Sangat Pendek Menurut Indikator TB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 (Sumber: Riskesdas 2010)
35
Gambar 4.3 Pravelensi Balita Gizi Kurus dan Sangat Kurus Menurut Indikator BB/TB di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 (Sumber: Riskesdas 2010) Hasil Riskesdas 2010 juga menunjukan bahwa 40,6% penduduk mengkonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4% balita mengkonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal. Sementara itu proporsi penduduk tertinggi dengan konsumsi < 70% AKG adalah NTB (46,6%), dan terendah adalah provinsi Bengkulu (23,7%). Berdasarkan data persentase status gizi balita yang disajikan pada Tabel 4.2 di atas permintaan pasar akan biskuit ikan yang dibutuhkan oleh seluruh balita yang mengalami gizi kurang bernilai cukup besar. Pasar potensial berdasarkan status gizi balita yang dijadikan sasaran pasar biskuit ikan adalah kategori balita di atas dengan memperhatikan jumlah dan penyebaran balita dengan status gizi kurang di Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Riskesdas 2010, terdapat 13% balita gizi kurang yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Jumlah balita Indonesia berumur satu hingga lima tahun pada 2009, yaitu sejumlah 22.109.704 jiwa, dengan peningkatan sebesar 1,3% pada tahun 2010 diperkirakan jumlahnya menjadi 22.397.130 jiwa (Data Statistik Indonesia, 2009). Sehingga didapatkan balita bergizi kurang di Indonesia sebesar 2.911.627 jiwa. Apabila diperkirakan nilai dari pangsa pasar adalah sebesar 0,28% dari jumlah balita bergizi kurang di Indonesia, maka jumlah balita gizi kurang yang harus ditingkatkan status gizinya berjumlah 8.153 jiwa. 2. Balita Korban Bencana Berbagai daerah di Indonesia merupakan titik rawan bencana, terutama bencana gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung berapi. Wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik yang sewaktu-waktu lempeng ini dapat bergeser patah dan menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Catatan dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Di antaranya NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan DIY bagian Selatan, Jatim bagian Selatan, Bali, NTB dan NTT. Kemudian Sulut,
36
Sulteng, Sulsel, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kaltim. Namun sangat disayangkan, dari berbagai bencana alam yang menimpah Indonesia data jumlah balita yang menjadi korban tidak tersedia secara riil dan lengkap. Seperti bencana tsunami yang melanda Aceh 2004 lalu, menurut petugas Lembaga Informasi Nasional (LIN) diperkirakan jumlah balita yang berada di seluruh tempat pengungsian sekitar 1/8 (12.5%) dari total seluruh pengungsi yang berjumlah melebihi 400,000 jiwa. Bahkan, Badan Kordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana Aceh tidak memiliki data resmi yang dapat menunjukkan jumlah balita di antara ratusan ribu pengungsi yang ada. Semua balita yang ada membutuhkan makanan pendamping untuk perbaikan gizi selama berada di tempat pengungsian selain susu dan makanan pokok. Selain digunakan sebagai makanan pendamping untuk meningkatkan gizi balita, produk biskuit ikan ini dapat digunakan sebagai bantuan makanan untuk peningkatan gizi balita di tempat pengungsian. Karena bentuk biskuit yang ringkas, ringan, langsung makan, dan juga mengenyangkan, biskuit merupakan salah satu andalan pangan yang diberikan kepada korban bencana terutama balita. Dengan melihat kandungan gizi per takaran penyajian, biskuit ikan sudah dapat memenuhi syarat pangan bantuan bencana. Kebutuhan pasar akan biskuit ikan yang dibutuhkan oleh seluruh balita yang menjadi korban bencana bernilai cukup besar. Berdasarkan data perkiraan jumlah korban bencana tsunami Aceh 2004, balita yang ikut menjadi korban berjumlah lebih dari 50,000 jiwa. Namun, pangsa pasar berdasarkan jumlah balita korban bencana tidaklah dapat dipastikan, karena diharapkan tidak terjadi bencana alam di Indonesia. Oleh karena itu, perkirakan pangsa pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana alam adalah sebesar 1% dari jumlah balita korban bencana tsunami Aceh 2004, yaitu sebesar 500 jiwa balita. Berdasarkan data persentase status gizi balita serta jumlah balita yang rawan menjadi korban bencana alam, permintaan pasar akan biskuit ikan dianggap cukup besar dan dibutuhkan oleh seluruh balita yang mengalami gizi kurang dan balita yang berada di daerah rawan bencana alam. Pangsa pasar yang dijadikan sasaran pasar biskuit ikan adalah kedua kategori balita di atas dengan memperhatikan jumlah dan penyebaran balita dengan status gizi kurang dan buruk, serta pemetaan daerah rawan bencana di Indonesia. Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai dari pangsa pasar total biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita yang didasari atas data jumlah status gizi balita buruk sebesar 8.153 jiwa dan jumlah balita rawan korban bencana alam sebesar 500 jiwa. Kebutuhan biskuit ikan yang cukup besar di berbagai daerah di Indonesia memberikan peluang besar untuk pengembangan produk tersebut. Dalam usaha peningkatan status gizi balita, biskuit ikan dapat digunakan sebagai makanan pendamping yang tinggi akan protein dan berfungsi untuk mencukupi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mervina (2009), biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai, berdasarkan hasil proksimat dan perhitungan energi, per 50 gram diperoleh kandungan zat gizi per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 4.3.
37
Tabel 4.3 Kandungan Zat Gizi dan Energi per Takaran Penyajian (50 gram) Energi dan Zat Gizi
Jumlah per Sajian (gram)
Energi (kkal)
240
Protein (gram)
9.8
Karbohidrat (gram)
26.9
Lemak (gram)
10.6
Sumber: Mervina (2009) Berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk dapat meningkatkan status gizi balita secara maksimal diperkirakan setiap balita harus mengkonsumsi biskuit ikan sebanyak 4 keping/bungkus selama 90 hari. Itu artinya, jumlah biskuit ikan untuk dapat memenuhi kebutuhan 8.653 jiwa balita per tahun yang terhitung dalam potensi pasar selama kurun waktu 90 hari adalah sebanyak 3.115.080 keping biskuit/ tahun yang terbagi menjadi 778.770 bungkus/ tahun. Untuk membuat seluruh jumlah kebutuhan biskuit tersebut maka diperlukan tepung daging ikan lele, tepung kepala ikan lele, dan isolat protein kedelai yang cukup banyak. Dalam pembuatan 60 keping biskuit diperlukan takaran satu adonan yang terdiri dari 35 gram tepung daging ikan lele, 15 gram tepung kepala ikan lele, dan 100 gram isolat protein kedelai, serta 850 gram bahan lainnya (tepung terigu, margarin, gula halus, baking soda, susu, mentega, dan soda kue). Sehingga untuk membuat 3.115.080 keping biskuit/ tahun diperlukan tepung daging ikan lele sebanyak 1.817 kg/ tahun, tepung kepala ikan lele sebanyak 779 kg/ tahun, dan 5.192 kg isolat protein kedelai/ tahun. Jumlah ini hanyalah sebesar kebutuhan pasar potensial utama, namun karena keterbatasan data konsumsi biskuit balita maka pada perhitungan tidak dimasukkan, hal ini berarti permintaan potensial sebenarnya jauh lebih besar dari nilai yang diperkirakan. Untuk lebih jelasnya perhitungan akan kebutuhan biskuit ikan dan tepung mix yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Perkiraan Perhitungan Kebutuhan Biskuit Ikan dan Tepung Mix Perkiraan Kebutuhan Jumlah Balita (Jiwa) 8.653/ Tahun
Biskuit Ikan (keping biskuit)
Tepung Daging (kg)
Tepung Kepala (kg)
3.115.080/ tahun
1.817/ tahun
779/ tahun
Isolat Protein Kedelai (kg) 5.192/ tahun
Pemenuhan akan seluruh kebutuhan biskuit ikan untuk 8.653 jiwa balita dilakukan dalam kurun waktu setahun dengan pemberian biskuit selama 90 hari. Jadi pemenuhan biskuit untuk seluruh balita tersebut dilakukan secara bergiliran. Disamping itu, dengan penambahan probiotik di dalam biskuit ikan ini dapat mengubah kategori biskuit dari pangan bergizi menjadi pangan fungsional dapat menjadikan peningkatan status gizi balita lebih cepat karena mengandung probiotik yang merupakan suplemen pangan berupa mikroba hidup yang dapat memberi pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al, 2004).
38
Dikaji dari jumlah kebutuhan yang potensial akan biskuit ikan dan tepung mix yang cukup tinggi, maka peluang untuk mendirikan industri ini diduga cukup prospektif, terutama ditelaah dari besarnya angka status gizi kurang dan jumlah balita di daerah rawan bencana di Indonesia. Hal ini mendukung pendirian industri biskuit berbasis tepung ikan lele dan isolat protein kedelai untuk menjadi salah satu bahan pangan bergizi yang digunakan dalam peningkatan gizi balita Indonesia.
B. Analisis Persaingan Bila diamati akhir-akhir ini, banyak sekali industri biskuit yang menawarkan produk ataupun merek baru baik lokal maupun impor bagi segmen balita, anak-anak maupun remaja. Dengan banyak bermunculan perusahaan baru di industri biskuit maka makin memperketat persaingan pasar yang telah terjadi sebelumnya sehingga diharapkan para ‘pemain baru’ ini mampu bersaing dengan industri biskuit yang sejenis agar mendapat tempat di hati konsumen. Salah satu pembagian jenis biskuit yang tersedia di pasar adalah berdasarkan usia pengguna, yaitu balita usia enam bulan hingga lima tahun. Peruntukan biskuit balita ini adalah sebagai makanan pendamping asi. Biskuit yang diberikan adalah biskuit yang memang ditujukan untuk balita berusia enam hingga lima tahun yang mengandung zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan vitamin karena balita pada usia tersebut memang memerlukan makanan tambahan pendamping asi dengan kandungan zat gizi yang memang diperlukan dalam tahap tumbuh kembang balita. Beberapa contoh biskuit balita beserta detail keterangannya dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Biskuit Balita dan Detail Keterangannya
Nama Biskuit
Jumlah/ Kemasan (keping)
Berat Bersih (gr)
Harga/ Kemasan (Rp)
Komposisi Protein (% AKG)
Farley Classic
12
120
8.900
9
Toddler
15
120
11.900
5
Milna
12
130
10.900
10
SUN
24
130
7.900
10
Gambar Kemasan
Biskuit balita yang ditawarkan kepada para konsumen cukup banyak jenis dan mereknya, seperti Milna, Toddler, Farley, Sun dan masih banyak lagi. Biskuit balita, seperti Farley, Toddler, dan Milna memiliki kemasan berupa karton dengan gambar yang menarik di depannya, sedangkan biskuit Sun merupakan biskuit bayi jenis marie dengan kemasan plastik LDPE nilon. Takaran per sajian biskuit bayi ini antara 2 hingga 4 keping dengan massa berkisar antara 20-23 gram. Berdasarkan
39
persen AKG, biskuit balita yang banyak tersedia di pasaran memiliki komposisi protein paling tinggi sebesar 10%. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan di Giant Supermarket Botani Square Bogor, menunjukkan bahwa merek biskuit balita yang biasa dibeli oleh konsumen (ibu balita) adalah biskuit balita Farley jenis classic. Alasan konsumen yang paling utama dalam membeli biskuit Farley Classic adalah karena teksturnya yang lembut dan langsung cair apabila terkena air liur, sehingga tidak membahayakan balita yang belum mempunyai gigi. Media informasi yang paling berpengaruh yang menjadi sarana konsumen dalam mengenal dan mengetahui produk biskuit adalah melalui media mouth to mouth. Melihat salah satu kenyataan yang terjadi di pasar, biskuit balita Farley Classic merupakan biskuit yang mendominasi pasar konsumen menengah ke atas. Sehingga dapat dikatakan pesaing utama biskuit ikan untuk kalangan konsumen menengah ke atas adalah biskuit Farley Classic. Namun sangat disayangkan ketidaktersediaan biskuit balita untuk konsumen menengah ke bawah, biasanya konsumen kalangan ini mendapatkan biskuit makanan pendamping asi yang berasal dari posyandu ataupun para ibu dari kalangan ini biasa memberikan balita mereka bubur hasil buatan sendiri. Biskuit yang diberikan oleh posyandu hanya berupa biskuit susu yang tinggi kandungan karbohidrat. Untuk itu, biskuit ikan yang kaya protein sangat cocok untuk diberikan pada balita dari kalangan menengah ke bawah. Selain itu, pesaingnya juga tidak sebanyak dan sekuat biskuit untuk kalangan menengah ke atas. Di lain pihak, biskuit ikan belum memiliki pesaing yang benar-benar sejenis, dalam artian belum ada biskuit balita yang terbuat dari tepung ikan. Pesaing terdekat dari biskuit ikan adalah biskuit WFP. Biskuit WFP merupakan biskuit yang diproduksi oleh PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk yang menjalin kerjasama dengan United Nations Word Food Programe (WFP) dalam produksi biskuit. Biskuit yang dihasilkan oleh PT. TPS atau biasa disebut dengan biskuit WFP tidak untuk dijual, karena biskuit WFP merupakan program bantuan perbaikan gizi balita dan anak sekolah dasar. Biskuit WFP disumbangkan bagi anak-anak Sekolah Dasar (SD) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan daerah tujuan seperti Makasar, Medan,Surabaya, Jakarta, Kupang dan Aceh. Biskuit WFP ini dilengkapi atau difortifikasi dengan 9 vitamin dan 5 mineral. Biskuit yang diproduksi PT. TPS termasuk biskuit keras yang mengandung 70% tepung terigu, sehingga biskuit WFP yang dihasilkan memiliki rasa manis susu gurih, aroma khas milk, bentuk persegi empat dengan tulisan WFP, warna kuning kecoklatan, kadar air 1,8-5%. Berat biskuit tiap pack dengan standart 50 gr (Endah Yulianingsih, 2007). Biskuit ikan dan biskuit WFP memiliki tujuan utama yang sama, yaitu untuk memperbaiki gizi balita Indonesia. Namun, kandungan yang terdapat dalam biskuit ikan sangat berbeda dengan kandungan yang terdapat dalam biskuit WFP. Biskuit WFP merupakan biskuit yang kaya akan karbohidrat, karena mengandung 70% tepung terigu yang memang lebih banyak mengandung karbohidrat dibandingkan protein. Sedangkan untuk meningkatkan status gizi balita zat gizi proteinlah yang lebih diperlukan daripada karbohidrat, seperti protein yang terkandung dalam biskuit ikan, yaitu sebesar 25% berdasarkan AKG. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa biskuit ikan masih mempunyai peluang pasar yang cukup besar untuk memasuki pangsa pasar makanan bantuan perbaikan gizi balita Indonesia.
40
C. Strategi Pemasaran Faktor yang menentukan dalam pencapaian keberhasilan suatu industri adalah kemampuan industri tersebut memenuhi kebutuhan konsumen melalui pemasaran produk yang dilakukan oleh industri yang bersangkutan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut diperlukan suatu strategi yang tepat dalam memasarkan produk biskuit ikan dan tepung mix. Industri biskuit berbasis tepung mix memerlukan strategi pemasaran dan bauran pemasaran yang tepat. Pemasaran produk difokuskan pada daerah-daerah dengan tingkat status gizi balita kurang yang tinggi. Secara lebih spesifik, strategi pemasaran yang akan dilakukan pada tahap awal meliputi: 1. Segmentasi Segmentasi pasar adalah usaha pemisahan pasar pada kelompok-kelompok pembeli menurut jenis-jenis produk tertentu dan yang memerlukan bauran pemasaran tersendiri. Perusahaan menetapkan berbagai cara yang berbeda dalam memisahkan pasar tersebut, kemudian mengembangkan profil-profil yang ada pada setiap segmen pasar, dan penentuan daya tarik masingmasing segmen. Segmentasi pasar produk biskuit ikan dibedakan berdasarakan demografis dan kelas sosial, sedangkan tepung mix dibedakan berdasarkan jenis industri pengguna. Secara lebih lengkap, segmentasi pasar biskuit ikan dan tepung mix akan dijelaskan berikut ini. a. Segementasi Pasar Makanan Pendamping ASI Makanan pendamping Air Susu Ibu (ASI) atau yang biasa dikenal sebagai makanan bayi terbagi ke dalam dua kategori utama, yaitu biskuit dan bubur. Bubur yang diperuntukan untuk bayi berupa bubur instant dengan berbagai rasa dan juga terbagi ke dalam kategori umur bayi, mulai dari enam bulan hingga dua tahun. Sedangkan biskuit hanya dibedakan berdasarkan rasanya, karena biskuit yang digunakan sebagai makanan pendamping asi tidaklah dibedakan berdasarkan umur. Balita yang dapat mengkonsumsi biskuit adalah bayi dan balita yang sudah memliki gigi atau bayi minimum berusia enam bulan dengan cara mencairkan biskuit di dalam susu. Biskuit bayi yang banyak tersedia di pasar merupakan biskuit konvensional dengan harga jual rata-rata cukup tinggi yang hanya bisa dijangkau oleh konsumen dengan pendapatan menengah ke atas. Sedangkan balita dari kalangan bawah yang memang sangat membutuhkan makanan pendamping asi tidaklah mampu untuk mengkonsumsi biskuit balita yang berharga cukup mahal bagi mereka. Segmen pasar biskuit ikan berdasarkan demografis ditujukan pada balita dengan usia satu hingga lima tahun yang memang membutuhkan makanan pendamping asi dengan zat gizi yang memenuhi syarat AKG. Balita yang membutuhkan biskuit ikan adalah seluruh balita dengan status gizi, mulai dari gizi baik maupun kurang. Balita dengan status gizi baik mengkonsumsi biskuit ikan sebagai makanan tambahan alternatif dari yang sudah tersedia di pasaran, sedangkan balita dengan status gizi kurang menggunakan biskuit ikan sebagai makanan tambahan utama yang dapat meningkatkan status gizi mereka dengan waktu yang relatif singkat. Selain berdasarkan faktor demografis, segmen pasar biskuit ikan juga berdasarkan faktor geografis, yaitu berdasarkan persentase penyebaran jumlah balita dengan status gizi kurang dan buruk di seluruh propinsi di Indonesia, seperti di wilayah Jawa barat, NTB, dan NTT yang memiliki status gizi kurang dan buruk mencapai angka di atas 19%, yaitu berjumlah lebih dari 3.000 balita.
41
b. Segmentasi Pasar Makanan Bencana Saat terjadi bencana alam sering kali para korban mendapat bantuan mi instan. Padahal, dalam kondisi darurat, makanan ini tidak praktis dan sangat merepotkan. Selain dibutuhkan air bersih untuk memasaknya, korban juga membutuhkan kompor yang belum tentu tersedia. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diperlukan makanan darurat yang praktis, tetapi bergizi dan memenuhi kebutuhan pangan korban bencana alam. Makanan darurat ini menjadi sumber karbohidrat dan protein bagi korban bencana alam. Terdapat sedikitnya tujuh makanan utama yang diperlukan saat terjadinya bencana, antara lain: 1). Air Air merupakan zat terpenting di dalam setiap tubuh manusia. Manusia dapat bertahan tanpa makan, namun tidak tanpa minum. Disamping itu, kehadiran air juga sangat berguna untuk keperluan lain seperti mandi, memasak dan mencuci. 2). Biskuit Biskuit merupakan salah satu makanan yang sangat berguna setiap saat. Tidak hanya pada saat bencana, di situasi apapun biskuit yang mengandung lemak dan karbohidrat tentunya dapat mengisi perut yang lapar. 3). Kacang-kacangan Kacang merupakan sumber karbohidrat yang penting untuk menambah energi pada tubuh. Selain untuk menambah energi, kacang juga merupakan camilan dan makanan yang sehat untuk tubuh. 4). Makanan kaleng Ikan, daging, sayuran yang dikemas dalam kaleng tentu memiliki waktu kadaluarsa yang lama. Memberikan makanan kaleng bagi para korban bencana merupakan langkah tepat karena makanan kaleng banyak mengandung protein dan lemak yang dapat memberi sumber tenaga bagi tubuh. 5). Susu bubuk Susu merupakan minuman yang kaya akan kalsium dan vitamin D bagi tubuh. Selain itu, susu yang memiliki rasa manis juga merupakan minuman yang dapat membuat perut kenyang karena juga banyak mengandung lemak dan protein. 6). Multivitamin Multivitamin berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh saat mengalami suatu bencana.Vitamin dapat berfungsi sebagai pengganti nutrisi yang terkandung di dalam makanan.
42
7). Selai kacang Kacang merupakan salah satu sumber energi bagi tubuh. Kacang banyak mengandung lemak dan karbohidrat yang tentunya dapat membuat perut terasa kenyang dan menjadikan sumber energi. Tentu selai kacang merupakan makanan yang memiliki waktu kadaluarsa yang lama. Dalam konteks penanganan bencana, pemberian bantuan berupa makanan untuk bayi dan balita tidak bisa dilakukan dengan sembarangan agar bantuan yang akan kita berikan dengan niat baik, tidak berubah menjadi sumber permasalahan baru bagi korban yang selamat. Biasanya bahan makanan yang diberikan untuk bayi dan balita korban bencana berupa susu formula dan biskuit. Biskuit yang diberikan pada para balita ini adalah biskuit khusus untuk usia bawah lima tahun. Namun sangat disayangkan, kebanyakan pemberian biskuit balita ini berasal dari pemerintah setempat, bukan dari perusahaan penghasil biskuit balita ataupun donatur. Hal ini terjadi karena para donatur tidak membedakan jenis biskuit yang mereka sumbangkan. Sehingga sering ditemui kurangnya pasokan bahan pangan untuk balita. 2. Penetapan Target Setelah proses segmentasi pasar selesai dilakukan, maka dapat diketahui beberapa segmen yang dianggap potensial untuk dimasuki. Secara umum, penetapan pasar dilakukan dengan mengevalusi kelebihan setiap segmen, kemudian dilakukan penentuan target pasar yang akan dilayani. Targetting adalah suatu tindakan memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki. Target pasar dari produk biskuit ikan dan tepung mix dijelaskan sebagai berikut. Target pasar produk biskuit ikan adalah balita dengan status gizi kurang dan balita yang terkena bencana alam di Indonesia, sedangkan target pasar tepung mix adalah industri biskuit dan industri bakery. Namun, segmen pasar lain yang potensial menggunakan tepung mix akan dilayani dengan persentase lebih kecil dibanding pasar utama. a. Target Pasar Makanan Pendamping ASI Target pasar produk biskuit ikan sebagai makanan pendamping asi ditentukan dari jumlah status gizi balita kurang dan buruk yang memiliki persentase paling tinggi, yaitu NTB, NTT, dan Jawa Barat. Berdasarkan evaluasi pada tiap segmen pasar serta kemudahan distribusi, segmen pasar wilayah Jawa Barat merupakan wilayah yang mempunyai nilai tertinggi dari segi volume potensial kebutuhan biskuit ikan karena wilayah Jawa Barat merupakan wilayah dengan kabupaten terbanyak yang memiliki cukup banyak penduduk berusia balita dengan status gizi kurang sebesar 9,9% atau 1.468 balita serta wilayah terdekat dari tempat dihasilkannya biskuit ikan tersebut. Selain itu, pemilihan wilayah Jawa Barat sebagai target pasar biskuit ikan dikarenakan pemerintah daerah Jawa Barat sangatlah peduli terhadap status gizi balita di wilayahnya dengan menggalakan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita gizi kurang dan buruk. Oleh karena itu, pasar wilayah Jawa Barat merupakan pasar yang memberikan nilai tertinggi dibandingkan pasar lainnya, sehingga menjadikan target utama pasar yang akan dilayani, namun segmen pasar lainnya pun akan dilayani, tetapi bukan sebagai segmen utama.
43
b. Target Pasar Makanan Bencana Sama halnya dengan penentuan target pasar makanan pendamping asi, penentuan pasar makanan bencana juga dikaji dari segmen pasar yang memiliki nilai tertinggi baik dari segi kebutuhan pasar, nilai tambah yang dihasilkan, dan perkembangan di masa yang akan datang. Berdasarkan dari evaluasi pada setiap segmen, target pasar makanan bencana yang dibidik adalah kebutuhan biskuit balita kaya protein yang khusus ditujukan untuk balita korban bencana. Biskuit balita untuk penanganan bencana adalah segmen utama yang dilayani, namun tidak menutup kemungkinan segmen lain pun akan dilayani menyesuaikan dengan kapasitas produksi yang dimiliki. 3. Positioning Salah satu elemen penting dari strategi pemasaran adalah positioning, yaitu bagaimana menempatkan keunggulan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan menempatkan keunggulan di benak konsumen, hal ini akan menumbuhkan kepuasan konsumen sekaligus akan membedakan produk dari para pesaing di benak target pasar. Jika diamati pada keadaan pasar, produk biskuit ikan dan tepung mix (campuran tepung ikan lele dan isolat protein kedelai) masih sangat jarang ditemukan terutama di kalangan produsen dalam negeri, sehingga masih sangat potensial untuk dikembangkan. Namun perlu diperhatikan saat ini pesaing biskuit ikan adalah biskuit balita yang telah dahulu berada di pasaran, sedangkan pesaing tepung mix ini adalah tepung yang juga berasal dari bahan baku dalam negeri, seperti tepung jagung dan tepung singkong. Selain itu, pesaing muncul dari industri yang menghasilkan produk yang dapat disubstitusi oleh biskuit ikan dan tepung mix. Melalui kegiatan positioning, perusahaan harus mampu membentuk citra produk unggulan dimana persepsi konsumen terhadap biskuit ikan dan tepung mix yang diproduksi sebagai produk yang lebih unggul dibanding dengan produk pesaing dengan kualitas yang dapat dipercaya. Elemen positioning yang dimiliki oleh biskuit ikan dan tepung mix adalah elemen benefit positioning. Benefit positioning dari biskuit ikan dan tepung mix adalah produk dibuat sesuai dengan kebutuhan konsumen yang memang memerlukan gizi tinggi untuk meningkatkan status gizi mereka. Biskuit ikan terbuat dari tepung mix, campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai, yang menjadikan biskuit ikan menjadi biskuit berbahan baku pelengkap hewani pertama di Indonesia. Benefit positiong biskuit ikan berupa kandungan zat gizi yang terkandung di dalamnya, yaitu kandungan protein sebesar 25% per takaran penyajian berdasarkan persen Angka Kecukupan Gizi (AKG), sehingga dapat dikatakan bahwa biskuit ikan merupakan biskuit berprotein tinggi. Selain benefit positioning, biskuit ikan juga memiliki atribut positioning berupa nama, yaitu biskuit ikan karena saat ini belum ada biskuit ikan lain di Indonesia selain biskuit ikan yang berasal dari tepung ikan lele dumbo yang menjadi pelopor biskuit berbahan baku hewani di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan dengan pemberian nama biskuit ikan, semua konsumen akan mengingat biskuit ikan lele dumbo apabila mendengar sebutan biskuit ikan. Positioning dari biskuit ikan dan tepung mix lebih mengutamakan kualitas, manfaat, dan spesifikasi tersandar dari kebutuhan konsumen tersebut, karena pengguna merupakan balita usia satu hingga lima tahun yang berstatus gizi kurang dan buruk dengan harapan dapat meningkatkan status gizi mereka dalam waktu yang cukup singkat. Oleh karena itu, positioning dari biskuit ikan dan tepung mix adalah barang berkualitas dengan tingkat manfaat dan kegunaan yang tinggi. Berbeda dengan positioning dari pesaing biskuit ikan, yaitu berupa biskuit balita konvensional yang lebih menonjolkan kegunaan biskuit balita sebagai makanan pendamping asi sekaligus mengenalkan balita terhadap makanan padat pertamanya. Sehingga kebanyakan biskuit yang dibuat mengandung susu
44
dalam komposisi besar dan menghasilkan karbohidrat tinggi tanpa mementingkan zat gizi lain yang memang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh balita untuk tumbuh kembangnya. Salah satu pesaing utama biskuit ikan adalah biskuit balita seperti Farley Classic yang memiliki atribut positioning berupa keberadaannya sebagai biskuit balita paling pertama dan kedudukannya sebagai biskuit balita paling diminati dan dikenal oleh konsumen. 4. Bauran Pemasaran Bauran pemasaran (marketing mix) merupakan seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Alat-alat itu diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang luas yang disebut empat P dalam pemasaran, yaitu produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion) (Kotler, 2000). 1. Strategi Produk Strategi produk sangat perlu disiapkan dengan baik oleh suatu perusahaan yang berkaitan dengan produk yang dipasarkannya. Strategi produk yang tepat akan menempatkan perusahaan dalam suatu posisi persaingan yang lebih unggul daripada pesaingnya. Produk yang dihasilkan oleh industri berbasis tepung ikan lele dan isolat protein kedelai adalah biskuit ikan dan tepung mix. a. Strategi Produk Biskuit Ikan Produk adalah sesuatu yang ditawarkan dan dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. Menurut tujuan pemakaian, biskuit ikan yang diproduksi merupakan barang konsumsi, karena dapat langsung dikonsumsi oleh konsumennya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para balita, terutama balita berstatus gizi kurang. Standarisari yang digunakan dalam produksi biskuit ikan pada perusahaan ini mengacu pada SNI 01-4445-1998 sebagai syarat mutu biskuit bayi dan balita. Standar syarat mutu biskuit bayi dan balita (SNI 01-4445-1998) dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998 Kriteria Uji (Parameter) Keadaan (bau,warna,rasa,tekstur) Kadar air (% b/b) Kadar Protein (% b/b) Kadar Abu (% b/b) Kadar Lemak (% b/b) Serat Kasar (% b/b) Karbohidrat (% b/b) Kalori (kal/100 gr) Bahan Tambahan Makanan - pewarna dan pemanis buatan Besi, Fe (mg/kg) Kalsium, Ca (% b/b) Cemaran logam: - Timbal, Pb (mg/kg) - Tembaga, Cu (mg/kg) - Seng, Zn (mg/kg)
Persyaratan Mutu Disajikan dengan Susu Disajikan tanpa Susu Normal Normal Minimum 5.0 Minimum 5.0 Maksimum 6.5 Maksimum 10.0 Maksimum 2.0 Maksimum 2.0 6.0-11.0 6.0-11.0 Maksimum 0.5 Maksimum 0.5 Minimum 75.0 Minimum 70.0 Minimum 370.0 Minimum 390.0 Tidak boleh ada Maksimum 140.0 Maksimum 1.0
Tidak boleh ada Maksimum 140.0 Maksimum 1.0
Maksimum 0.3 Maksimum 5.0 Maksimum 40.0
Maksimum 0.3 Maksimum 5.0 Mansimum 40.0
45
Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998 (Lanjutan) Kriteria Uji (Parameter) - Timah, Sn (mg/kg) - Raksa, Hg (mg/kg) - Arsen, As (mg/kg) Cemaran Mikroba - TPC (koloni/g) - E.coli (APM/g) - Salmonela (koloni/25 g) - Staphylococcus aureus (cfu/g)
Persyaratan Mutu Disajikan dengan Susu Disajikan tanpa Susu Maksimum 40.0 Maksimum 40.0 Maksimum 0.03 Maksimum 0.03 Maksimum 0.1 Maksimum 0.1 Maks 1.0 x 104 <3 Negatif Maks 1.0 x 102
Maks 1.0 x 104 <3 Negatif Maks 1.0 x 102
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, LIPI (1998) Biskuit ikan yang dihasilkan dari tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memiliki pesaing kuat dalam industri makanan, selain industri yang menghasilkan produk yang sama, yang menjadi pesaing utama dalam pasar adalah produk sejenis yang dihasilkan dari bahan baku tepung lain. Pesaing utama biskuit ikan adalah industri penghasil biskuit dari bahan baku tepung terigu, dimana biskuit dari bahan tepung terigu saat ini paling banyak tersedia di pasaran. Namun, biskuit ikan yang dihasilkan ini memiliki keunggulan dibanding produk substitusinya, yaitu tingkat kandungan gizi yang tinggi dan terstandar untuk mendukung perbaikan kualitas gizi balita. Untuk lebih jelasnya kandungan mutu biskuit ikan dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini. Tabel 4.7 Kandungan Mutu Biskuit Ikan Kriteria Uji (Parameter) Keadaan (bau,warna,rasa,tekstur) Kadar air (% b/b) Kadar Protein (% b/b) Kadar Abu (% b/b) Kadar Lemak (% b/b) Karbohidrat (% b/b) Kalori (kal/100 gr)
Kandungan Gizi Normal 3.96 18.77 2.42 21.99 53.72 480
Sumber: Mervina (2009) Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit bayi dan balita berbahan baku tepung terigu pada SNI, kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan pelengkap tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan karena kandungan gizi yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan dan biasanya memang diperlukan suatu standar produk yang berbeda terhadap suatu produk baru yang dihasilkan, dalam hal ini adalah biskuit ikan. Menurut Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi kandungan zat gizi lainnya. Dalam hal biskuit ikan, zat gizi yang mengalami penurunan adalah karbohidrat.
46
Berat satu keping biskuit ikan kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5 cm yang dikemas per empat keping biskuit dalam kemasan primer berupa poly propylene (PP) berukuran 15.2 cm x 7.7 cm dengan ketebalan rata-rata 0.069088 mm. Biskuit ikan yang telah terbungkus kemasan primer dimasukan kedalam kemasan sekunder, yaitu berupa berupa kardus yang terbuat dari karton berukuran 48 cm x 16 cm x 7 cm dengan keterangan nama biskuit, tanggal produksi, masa kadaluarsa, dan kandungan gizi. Dalam satu kemasan sekunder terdapat 6 bungkus biskuit ikan berkemasan primer, sedangkan kemasan tertier berbahan sama seperti kemasan sekunder dengan ukuran 50 cm x 34 cm x 8 cm yang memuat 6 kotak kemasan sekunder. Sehingga dalam satu dus terdapat 144 keping biskuit. Untuk lebih jelasnya tampilan biskuit ikan beserta kemasan primer, dan sekunder dapat dilihat pada Gambar 4.4, 4.5, dan 4.6.
Gambar 4.4 Biskuit Ikan
Gambar 4.5 Kemasan Primer
Gambar 4.6 Kemasan Sekunder Biskuit ikan dengan bahan baku hewani tergolong ke dalam produk baru yang memerlukan pengujian produk untuk mengukur kandungan dalam bahan, rancangan, dan biaya operasi. Pada industri tepung dan biskuit ikan yang akan didirikan, pengujian produk telah dilakukan sebelumnya oleh seorang mahasiswi tingkat sarjana Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sebagai bahan penelitian. Sistem pengujian biskuit ikan berupa formulasi, sifat fisik (penetapan rendemen, daya serap air, tekstur), sifat kimia (analisis proksimat, kandungan energi, daya cerna protein), dan uji organoleptik yang dilakukan oleh panelis semi terlatih, balita, dan ibu balita. Selain itu, saat ini juga sedang dilakukan penelitian pengembangan produk biskuit ikan, yaitu biskuit ikan probiotik.
47
b. Strategi Produk Tepung Mix Selain biskuit ikan sebagai produk utama yang dihasilkan oleh industri biskuit ikan, produk yang juga dihasilkan adalah tepung mix. Tepung mix merupakan bahan baku pelengkap utama dalam pembuatan biskuit ikan, karena dengan pemakaian tepung mix inilah biskuit ikan yang diproduksi mengandung gizi yang berbeda dengan biskuit berbahan baku tepung terigu. Tepung mix terbuat dari campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai. Penggunaan tepung mix dalam pembuatan biskuit ikan hanyalah sebesar 15% atau 150 gram dari 1000 gram berat bahan baku yang digunakan. Walaupun penggunaannya hanya sedikit, namun kandungan protein yang didapatkan cukup tinggi. Tepung mix dibuat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan biskuit ikan dan bahan penunjang dalam industri makanan, terutama industri bakery. Saat ini memang masih jarang sekali ditemui adanya tepung ikan untuk pangan, sehingga mengurangi adanya persaingan. Namun pesaing utama dari tepung ikan adalah tepung berbahan baku nabati yang memang sudah banyak tersedia di pasaran. Tepung nabati merupakan tepung yang dihasilkan dari bahan baku biji-bijian atau ketela pohon, seperti tepung gandum, tepung singkong, dan tepung ubi. Hanya saja kandungan gizi yang terdapat di dalam tepung ikan dengan tepung nabati sangatlah berbeda, hal ini yang menjadi keunggulan utama tepung ikan. Kebanyakan tepung nabati mengandung protein yang rendah. Untuk lebih jelasnya kandungan gizi tepung ikan lele dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Kandungan Gizi Tepung Ikan Lele Zat Gizi Kadar aw Densitas Kamba (gr/ml) Derajat Putih Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Karbohidrat
Kandungan (%) Tepung Daging 0.71 0.3710 30.9575 8.68 4.83 63.83 10.83 20.5149
Tepung Kepala 0.66 0.4537 28.9975 9.63 14.1 56.04 9.39 16.4665
Sumber: Mervina (2009) Pengujian produk tepung mix juga telah dilakukan seperti pengujian biskuit ikan dan dilakukan oleh orang yang sama. Sistem pengujian tepung ikan lele dilakukan dengan cara menguji sifat fisik (aw, densitas kamba, derajat putih) dan sifat kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat). Namun sangat disayangkan, saat ini belum tersedia SNI tepung ikan untuk pangan. Tepung mix adalah tepung ikan lele dan isolat protein kedelai yang telah dicampurkan dengan komposisi tertentu, kemudian tepung mix ini dikemas dalam kemasan berupa plastik poly propylene berukuran satu kg. Dalam tahap penetrasi pasar, tepung mix hanya akan dikemas seberat satu kilogram, karena kebutuhan tepung mix tidaklah sebanyak kebutuhan tepung terigu dalam pembuatan biskuit. Namun seiring dengan permintaan pasar mendatang, tidaklah menutup kemungkinan untuk mengemas tepung mix ke dalam kemasan yang lebih besar. Tepung daging ikan lele dan tepung kepala dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan 4.8.
48
Gambar 4.7 Tepung Daging Ikan Lele
Gambar 4.8 Tepung Kepala Ikan Lele
Orientasi perusahaan ke arah pasar menggunakan pendekatan konsep produk dimana dalam implementasi pemasarannya sangat mengutamakan keunggulan produk, baik dari segi kandungan gizi, manfaat, tingkat mutu, kualitas bahan baku, keamanan mengkonsumsi, dan kehalalan. Pendekatan konsep itu dibentuk dengan harapan biskuit ikan dan tepung mix dapat bersaing di pasaran. 2. Strategi Harga Perusahaan melakukan penetapan harga dengan cara menghitung biaya produksi serta membandingkan harga produk yang sering digunakan di pasaran atau biasa disebut dengan industri standar, yaitu membandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing yang saat ini berlaku di pasaran pada umumnya. Harga jual biskuit balita di Giant-Hero Supermarket berkisar antara Rp 7.900,00 – Rp 12.500 per bungkus (75 - 130 gram), sedangkan harga jual tepung terigu berada pada kisaran harga Rp 5.200,00 – Rp 11.000,00 per Kg. Harga jual biskuit ikan memang bisa dibandingkan dengan harga biskuit sejenis yang berada di pasaran, namun harga jual tepung mix tidak dapat dibandingkan dengan harga tepung lainnya yang sudah lebih dulu ada. Hal ini disebabkan karena tidak ada tepung mix dengan jenis yang sama. Oleh karena itu, penentapan harga tepung mix berdasarkan biaya produksi pembuatan tepung ikan lele dan pembelian isolat protein kedelai. Untuk menetapkan harga biskuit ikan digunakan harga biskuit yang berada sedikit di bawah harga pasar saat ini. Kebijakan ini diambil sebagai upaya penetrasi pasar. Harga jual biskuit ikan yang di produksi adalah Rp 3.300,00 per empat keping per bungkus (50 gram), sedangkan tepung mix di jual dengan harga Rp 90.000,00 per Kg. Penetapan harga sebesar Rp 90.000,00 per Kg untuk tepung mix dianggap tidak terlalu tinggi, karena tepung yang dijual merupakan campuran antara tepung ikan lele dengan isolat protein kedelai dengan komposisi tepung daging dan kepala ikan : isolat protein kedelai adalah 1 : 2. Biaya pembuatan tepung mix yang terdiri dari pembuatan tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar Rp 69.089,00 per Kg. Oleh karena itu, dengan penambahan margin sebesar 30%, maka didapatkan harga jual tepung mix, yaitu Rp 90.000 per Kg. Penggunaan tepung mix untuk menghasilkan 60 keping biskuit hanyalah 150 gram seharga Rp 13.500,00. Itu artinya, satu kilogram dapat digunakan untuk membuat 400 keping biskuit. Sedangkan biaya pembuatan biskuit per bungkus adalah sebesar Rp 2.553,00, sehingga dengan penambahan margin sebesar 30% ditetapkan harga jual biskuit ikan adalah sebesar Rp 3.300,00 per bungkus. Harga produk biskuit ikan dan tepung mix yang di produksi diusahakan tidak akan mengalami peningkatan, mengingat pasar biskuit ikan dan tepung mix merupakan pasar yang baru dibangun sehingga sangat memerlukan strategi pemasaran sebagai tahap awal pengenalan produk di pasaran. Peningkatan harga hanya akan terjadi apabila terdapat perubahan dalam kemasan yang digunakan. Selain itu, konsumen utama biskuit ikan berasal dari kalangan bawah, sehingga apabila harga ditingkatkan maka akan memberatkan konsumen dan biskuit ikan pun terancam akan ditinggalkan oleh konsumennya.
49
3. Strategi Distribusi Saluran pemasaran dapat dilihat sebagai sekumpulan organisasi yang saling tergantung satu dengan yang lainnya serta terlibat dalam proses penyediaan sebuah produk atau pelayanan untuk digunakan. Saluran pemasran dicirikan dengan jumlah tingkat saluran. Biskuit ikan sebagai barang konsumsi dan tepung mix sebagai barang industri memiliki tipe saluran pemasaran tersendiri untuk memasarkan produk tersebut ke konsumen dan industri hilir pengguna produk. Terdapat beberapa alternatif saluran pemasaran yang dapat digunakan dalam memasarkan biskuit ikan dan tepung mix. Pertama, perusahaan dapat membentuk suatu tim penjual produk biskuit ikan dan tepung mix yang menawarkan dan menjual secara langsung produk ini ke pemerintah kota dan daerah yang mempunyai program peningkatan status gizi balita di wilayahnya. Kedua, produk biskuit ikan dan tepung mix disalurkan melalui distributor industri pada wilayah dan industri pengguna akhir yang berbeda-beda. Namun, pada tahap penetrasi pasar pada awal produksi dilakukan alternatif pertama, yaitu memasarkan langsung melalui tim penjual yang dibentuk oleh perusahaan. Hal ini dilakukan karena biskuit ikan dan tepung mix yang dibuat masih dalam jumlah terbatas dan kegiatan pemasaran yang digunakan adalah perusahaan ke konsumen tertentu sehingga dibutuhkan komunikasi langsung antara penjual dengan pembeli. Mengingat biskuit ikan adalah biskuit yang ditujukan utama untuk balita dengan status gizi kurang dan buruk maka pemasaran dan penawaran biskuit ikan dilakukan kepada pemerintah daerah dan kota yang memiliki program pemberian makanan tambahan. Pemilihan strategi ini mengharuskan perusahaan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pemasaran produk biskuit ikan dan tepung mix yang dihasilkan, diantaranya, pembentukan tim penjual, tempat persediaan produk, dan strategi pemasaran. 4. Strategi Promosi Menurut Kotler (2000), dalam pelaksanaan pemasaran produk biskuit ikan dan tepung mix diperlukan strategi pemasaran yang tepat karena produk biskuit ikan dan tepung mix masih tergolong produk baru yang berada pada tahap pengenalan. Promosi merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam pemasaran karena promosi dapat dijadikan alat pengenalan produk sekaligus meraih pangsa pasar. Bauran komunikasi pemasaran (bauran promosi) terdiri dari empat perangkat utama, yaitu iklan, promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat (public relation), dan penjualan personal (personal selling). Bauran promosi yang digunakan, yaitu melalui promosi penjualan melalui pameran-pameran, kerjasama dengan pihak institusi (perguruan tinggi, lembaga sosial kemanusiaan), dan melakukan penjualan personal dengan cara penawaran-penawaran ke pemerintah kota dan daerah sehingga dapat menjalin hubungan kemitraan dengan pemerintah tersebut. Strategi pemasaran yang paling tepat dilakukan adalah strategi penjualan langsung ke pemerintah karena target pasar produk biskuit ikan dan tepung mix adalah balita yang mengalami gizi kurang dan buruk yang pada umumnya tergolong ke dalam masyarakat miskin. Hal utama yang dipertimbangkan dalam strategi pemasaran langsung ke pemerintah adalah spesifikasi biskuit ikan yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan gizi yang dibutuhkan para balita penderita gizi kurang. Strategi penjualan dilakukan melalui promosi dengan mengutamakan pada metode penjualan personal melalui persentasi produk, pertemuan penjualan, komunikasi melalui media elektronik (telepon, fax, email), program intensif, sample pada pemerintah, serta melalui pameran dagang nasional maupun internasional. Dalam melakukan promosi produk biskuit ikan dan tepung mix akan dilakukan melalui
50
dua cara, yaitu melakukan penjualan dengan menjual sendiri menggunakan tenaga penjual yang dimiliki perusahaan dan menjual produk dengan bekerja sama dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) makanan yang berada di wilayahnya masing-masing. Konsumen dari industri biskuit ikan merupakan balita berstatus gizi kurang dan buruk melalui program peningkatan gizi pemerintah, sedangkan konsumen tepung mix adalah industri hilir makanan yang masih sedikit mengetahui kehadiran produk biskuit ikan dan tepung mix dari campuran tepung ikan lele dan isolat protein kedelai. Oleh karena itu, terdapat tiga tahapan untuk memperkenalkan, yaitu menarik perhatian (awareness), lalu tumbuh minat (interest), kemudian berkehendak (desire) untuk melakukan pembelian produk tersebut. Di Indonesia, produk biskuit sudah lama di konsumsi oleh masyarakat, namun biskuit yang dikonsumsi berasal dari bahan baku tepung nabati, sehingga perusahaan perlu melihat peluang pasar utama. Selain itu, kebanyakan biskuit yang diproduksi berbahan baku impor. Sehingga untuk memperoleh pasar perlu diciptakan pasar penguna biskuit ikan dan tepung mix, serta memperkenalkan produk yang dibuat pada pasar dengan menciptakan citra produk pada benak konsumen sebagai produk bergizi yang memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh para pengguna.
51
V. ANALISIS TEKNIK DAN TEKNOLOGI
A. Bahan Baku 1. Spesifikasi Bahan Baku Salah satu faktor produksi penting yang dikaji dalam analisis kelayakan usaha dalam pendirian industri adalah bahan baku. Spesifikasi bahan baku yang dibutuhkan menunjang kebutuhan informasi untuk mendapatkan bahan baku selama proses produksi berlangsung. Bahan baku utama yang akan digunakan dalam pembuatan produk biskuit ikan terdiri dari dua macam, yaitu ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Bahan baku ikan lele dumbo didapat dari produsen yang ada di sekitar wilayah Jawa Barat, terutama Kabupaten Bogor, sedangkan isolat protein kedelai saat ini didapat dari impor karena belum tersedianya produksi isolat protein kedelai di Indonesia. Penggunaan ikan lele dumbo sebagai bahan baku berdasarkan pertimbangan pangan yang yang sedang dikembangkan di Indonesia dan kandungan gizi di dalamnya. Selain itu, dengan menggunakan bahan baku lokal, biaya pengangkutan bahan baku dapat menurunkan biaya produksi serta harga bahan baku langsung dari produsen akan lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran. a). Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Bahan baku berupa ikan lele yang digunakan adalah ikan lele dumbo dengan berat per ekor berkisar antara 500 – 1000 gram. Ikan lele dumbo yang diperoleh dari pengrajin budidaya ikan lele di sekitar wilayah Kabupaten Bogor atau Kabupaten Sukabumi ini yang kemudian akan diubah menjadi tepung daging ikan dan tepung kepala ikan. Tepung daging dan tepung kepala ikan diperoleh dengan cara pengolahan ikan lele dumbo. Prinsip utama pembuatan tepung ikan lele adalah dengan cara mengurangi kadar air yang terkandung dalam ikan lele dumbo. Tahapan proses pembuatannya dimulai dari pemisahan antara daging dan tulang serta kepala ikan lele dumbo hingga tahap pengeringan dan penggilingan lalu terbentuk tepung daging ikan dan tepung kepala ikan. Tepung daging dan tepung ikan lele inilah yang dibutuhkan sebagai bahan baku pelengkap pembuatan biskuit ikan. Tepung ikan yang dibutuhkan juga harus memenuhi standar mutu yang ada. Tingkat suatu mutu ditentukan oleh banyak faktor, seperti: ukuran, bentuk, warna, rasa, dan banyak faktor lainnya. Namun sangat disayangkan Dewan Standarisasi Nasional (DSN) belum mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai standar mutu tepung ikan untuk pangan. Oleh karena itu, dalam pembuatan tepung ikan ini syarat mutu didasari pada literatur-literatur yang telah tersedia. Untuk lebih jelasnya kandungan gizi tepung ikan lele dapat dilihat pada Tabel 4.7. pada bab analisis pasar dan pemasaran. Tepung ikan lele merupakan bahan baku yang ideal dengan waktu maksimal penyimpanan selama satu tahun. Lama penyimpanan dapat mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan. Tepung ikan lele kaya dengan protein namun kurang kandungan gizi lainnya. Hal ini terjadi akibat kandungan protein tinggi di seluruh bagian ikan lele, yaitu melebihi 50% dari total kandungan gizinya.
52
b). Isolat Protein Kedelai Protein merupakan salah satu unsur gizi penting dalam bahan pangan. Kandungan protein dalam bahan pangan beragam. Untuk memperoleh protein dalam konsentrasi tinggi, dibuat protein dalam bentuk konsentrat atau isolat. Konsentrat protein mengandung protein minimal 70%, sementara isolat protein mencapai 95%. Keduanya memiliki kandungan yang lebih besar dibanding tepung protein biasa yang kandungannya hanya sekitar 50%. Cara pembuatan isolat protein adalah dengan menyingkirkan komponen-komponen lain dalam bahan pangan seperti karbohidrat dan lemak. Pembuatan isolat protein dilakukan dengan menggunakan sifat-sifat fungsional protein. Salah satu yang paling berpengaruh adalah sifat kelarutan protein. Isolat protein dibuat dengan cara mengendapkan protein pada titik isoelektriknya. Dengan cara ini, protein dapat diisolasi dan dipisahkan dari bagian bahan lainnya yang tidak diinginkan (Annonymous, 2009). Salah satu isolat protein yang banyak dikenal adalah isolat protein kedelai. Protein kedelai cukup kaya sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan nilai nutrisi berbagai jenis pangan. Berdasar konsentrasi protein yang terdapat dalam pekatan kedelai, kadar protein meningkat dari tepung ke konsentrat ke isolat, masing-masing 56%, 72% dan 96%. Kadar karbohidrat sebaliknya turun dari 33.5% menjadi 7.5% dan 0.3%. Adanya pemanasan akan menginaktivasi antitripsin dan enzim lipoksigenase sehingga tepung yang dihasilkan bergizi tinggi dan bau langunya hilang (Annonymous, 2009). Isolat merupakan produk protein rendah lemak bahkan tanpa lemak. Kemurnian protein ini berguna dalam industri pangan berkaitan dengan sifat fungsional protein. Isolat protein merupakan bentuk paling murni dari protein karena kadarnya yang sangat tinggi yaitu minimal 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari komponen lain seperti karbohidrat dan lemak. Isolat protein dibuat hampir sama dengan konsentrat protein, hanya saja ekstraksinya berbeda. Caranya dengan mencampurkan isolat dengan air dengan perbandingan 1:8 kemudian diatur pH sampai 8.5-8.7 dengan penambahan NaOH 2N dan diaduk selama 30 menit pada 50-55°C hingga protein terekstrak (Annonymous, 2009). Namun, isolat protein kedelai saat ini hanya bisa didapat dengan cara impor, karena belum terdapat industri lokal yang memproduksi isolat protein kedelai. Hal inilah yang menyebabkan mahalnya harga jual biskuit ikan, karena salah satu bahan bakunya masih mengimpor dengan harga Rp 62.000,00 per kilogram. c). Tepung Terigu Tepung terigu merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selain itu, tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak sesuai dengan SNI 01-3751-2009. d). Gula Gula yang digunakan dalam pembuatan biskuit ikan adalah gula halus atau gula bubuk. Gula halus digunakan untuk menjaga agar bentuk tekstur biskuit ikan tetap renyah dan tidak keras. Gula halus yang dibutuhkan adalah gula halus yang sesuai dengan SNI 01-3821-1995 dengan kriteria kadar
53
pereduksi maksimal 0.2 (% b/b), kadar air maksimal 0.2 (% b/b), kadar abu maksimal 1 (% b/b), dan lolos ayakan 80 mesh. e). Telur Telur yang digunakan adalah telur ayam negeri yang berasal dari ayam petelur. Telur yang dibeli berdasarkan standar kualitas telur ayam yang tercantum dalam SNI 3926-2008 mengenai standar pertanian Indonesia yang mengatur standar telur ayam konsumsi. Standar telur ayam untuk konsumsi adalah telur yang berwarna coklat dengan berat paling kecil tidak kurang dari 50 gram dan yang paling besar beratnya tidak lebih dari 60 gram, kulit telur licin (halus), bersih bebas kotoran yang menempel maupun noda, dengan kantung udara kurang dari 0.5 cm, putih telur kental, dan kuning telur bulat dengan posisi pas ditengah. f). Lemak Lemak yang digunakan berasal dari margarin untuk makanan. Margarin yang digunakan berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah serta penambah cita rasa. Selain itu, margarin digunakan untuk efisiensi biaya produksi karena harganya lebih murah dibandingkan sumber lemak yang lain. Margarin yang digunakan adalah margarin untuk produk makanan yang sesuai dengan SNI 01-3541-2002 dengan kriteria kadar air maksimal 18 (% b/b), kadar lemak minimal 80 (% b/b), asam lemak bebas yang dihitung sebagai asam oleat (dari % lemak) maksimal 0.3 (% b/b), dan garam dapur (NaCl) maksimal 4 (% b/b). g). Tepung Susu Tepung susu atau susu tepung susu segar yang semua airnya diuapkan sehingga berbentuk seperti tepung serta lemak yang juga dikurangi hingga 0.1%. Jenis tepung susu ini sangat cocok untuk bayi karena tinggi akan kandungan protein dan memiliki kadar lemak yang rendah. Tepung susu ini memiliki kandungan protein, lemak, dan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu cair. h). Tepung Maizena Pati jagung atau yang biasa disebut tepung maizena merupakan sumber karbohidrat yang digunakan untuk bahan pembuat roti, kue kering, biskuit, makanan bayi, serta digunakan dalam industri farmasi. Tepung maizena jarang sekali digunakan sebagai bahan utama pada pembuatan cake dan cookies, tapi selalu menjadi bahan pembantu untuk mendapatkan tekstur sempurna. i). Bahan Pengembang Bahan pengembang yang digunakan, yaitu baking powder untuk mengembangkan adonan. Baking powder yang digunakan adalah salah satu bahan pengembang yang dinyatakan aman penggunaannya utnuk bahan makanan seperti yang tercantum dalam SNI 01-0222-1995 tentang peraturan bahan tambahan makanan. Baking powder ini terdiri dari bahan-bahan yang kandungannya aman untuk bahan pangan yang sesuai dengan batas penggunaannya. j). Air Dalam pembuatan roti dan kue, air mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk mengontrol kepadatan dan suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan
54
tepung secara seragam, membasahi dan mengembangkan pati serta menjadikannya dapat dicerna, dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim. 2. Ketersediaan Bahan Baku Ketersediaan bahan baku yang baik akan dapat menjaga keseimbangan proses produksi suatu industri. Kajian mengenai ketersediaan bahan baku dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana peluang ketersediaan bahan baku untuk masa yang akan datang. Berdasarkan data yang didapat dari Ditjen Perikanan Budidaya (2010), lele yang memiliki nama ilmiah Clarias sp ini perkembangan produksinya secara nasional sangat baik. Selama lima tahun terakhir produksi lele terus meningkat. Pada tahun 2005 produksi nasional ikan lele sebesar 69.386 ton, tahun 2006 sebesar 77.332 ton, tahun 2007 sebesar 91.735 lalu tahun 2008 meningkat menjadi 114.371 ton dan pada tahun 2009 terus meningkat menjadi 144.755. Tahun 2010, angka sementara yang dipublikasikan produksi ikan lele dari hasil budidaya sebesar 273.554 ton. Perkembangan budidaya lele yang sangat baik ini didukung dengan produksi ikan lele yang cukup besar di beberapa propinsi yang menjadi sentra budidaya ikan lele. Tujuh diantaranya dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Tujuh Propinsi Sentra Budidaya Ikan Lele dan Jumlah Produksi Pada Tahun 2009 Propinsi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur D.I. Yogyakarta Lampung Sumatera Barat Riau
Jumlah Produksi (Ton) 48.044 28.290 26.690 7.902 5.572 7.292 3.835
Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya (2010) Dari ketujuh propinsi sentra budidaya ikan lele terbesar di Indonesia, Jawa Barat merupakan daerah penghasil ikan lele terbesar yang menguasai sekitar 33% produksi ikan lele Indonesia tahun 2009. Produksi lele hasil pembudidayaan pada tahun 2009 propinsi Jawa Barat mencapai 48.044 ton. Produktivitas yang tinggi ini didukung oleh luas areal budidaya ikan lele yang mencapai 2000 hektar. Lele di propinsi Jawa Barat dibudidayakan di dalam wadah kolam baik kolam tanah, bak ataupun kolam terpal. Tidak hanya di kolam, disebagian wilayah Jawa Barat juga dikembangkan budidaya lele dengan sistem jaring apung dan budidaya sawah. Selain itu, di propinsi ini juga terdapat Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar yang terletak di Sukabumi. Di Jawa Barat sendiri terdapat dua sentra utama penghasil ikan lele, yaitu Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Bogor yang meliputi wilayah Parung, Pamijahan, Cibinong, Sukaraja, Tajur Halang, Ciomas, Cisarua, Ciseeng, dan Kemang. Selain dua Kabupaten tersebut, ada juga tiga Kabupaten yang produksinya pada tahun 2009 mencapai di atas 1.000 ton. Ketiga provinsi tersebut yaitu Kabupaten Subang, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung (Ditjen Perikanan Budidaya, 2010).
55
Bahan baku ikan lele yang digunakan pada industri biskuit ikan berasal dari Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Hal ini didasarkan pada pertimbangan jarak antara tempat budidaya ikan lele dengan letak industri biskuit ikan serta kebutuhan bahan baku untuk produksi akan terpenuhi dengan jumlah produksi pada daerah tersebut, yaitu berkisar di atas 7.000 ton per tahun. Tepung ikan lele merupakan hasil olahan dari daging, tulang, dan kepala ikan lele dumbo. Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat keamanan ketersediaan ikan lele dumbo di Kabupaten Bogor perlu diketahui data produksi ikan lele dumbo di wilayah tersebut. Data Produksi ikan lele di beberapa wilayah di Kabupaten Bogor pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Data Produksi Ikan lele di Kabupaten Bogor
Wilayah Parung Pamijahan Ciampea Tenjolaya Kemang Ciseeng Gunung Sindur
Jumlah Produksi (Ton) 7.660 >1000 >1000 >1000 >1000 >1000 >1000
Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya (2010) Produksi ikan lele di Indonesia yang menjadi bahan baku produksi tepung ikan lele untuk pembuatan biskuit ikan tersedia dalam jumlah yang memadai. Pembudidaya ikan lele melakukan pemanenan ikan lele setiap harinya untuk memenuhi seluruh kebutuhan akan ikan lele, baik untuk konsumsi maupun bahan baku industri. Pembelian ikan lele dari petani ikan lele setempat dengan harga sebesar Rp 13.000,00 per kilogram yang telah dikeluarkan isi perutnya dan dipisahkan antara fillet daging ikan lele, serta kepala dan tulang ikan lele. Kebutuhan ikan lele per hari mencapai 84 kilogram, sehingga dalam seminggu dengan 6 hari kerja pasokan ikan lele mencapai 504 kilogram. Pengiriman bahan baku ikan lele ini dilakukan setiap dua hari sekali untuk menjaga kesegaran ikan lele saat diproses. Produksi lokal isolat protein kedelai belum tersedia di Indonesia, untuk itu dalam pemenuhan kebutuhan akan isolat protein kedelai sebagai bahan baku pembuatan biskuit ikan dilakukan dengan cara membeli kepada para pemasok impor. Namun karena keterbatasan data impor, maka jumlah isolat protein kedelai yang di impor oleh Indonesia pun tidak diketahui jumlahnya secara pasti. Kebutuhan isolat protein kedelai yang dibutuhkan untuk membuat biskuit ikan adalah sebesar 34 kilogram per hari dengan harga beli Rp 62.000,00 per kilogram. Kebutuhan akan isolat protein kedelai ini dipastikan dapat terpenuhi karena jumlah penggunaan isolat protein kedelai selama seminggu hanyalah sebesar 204 kilogram dan pemasok pun telah menyanggupi akan permintaan ini. Kebutuhan bahan-bahan pembantu lainnya dipasok dari pasar setempat atau distributor utama. Pembelian gula diperoleh dari distributor gula yang ada di dekat industri biskuit ikan, yaitu wilayah Kabupaten Bogor. Pembelian gula dilakukan seminggu sekali sebanyak 16 sak yang masingmasing berkapasitas 50 kilogram. Tepung terigu yang dipakai dalam adonan didatangkan dari
56
pemasok tepung terigu yang berada di sekitar wilayah Kabupaten Bogor setiap sebulan sekali sebanyak 22 sak dengan kapasitas 50 kilogram per sak. Lemak atau margarin yang digunakan adalah margarin curah dengan kualitas generik. Margarin secara keseluruhan didatangkan dari distributornya sebanyak 52 karton per minggu, masing-masing beratnya 15 kg. Telur yang digunakan adalah telur ayam ras yang didatangkan dari peternak di daerah Bogor. Telur didatangkan seminggu sekali sebanyak 52 peti, masing-masing peti berkapasitas 15 kg. Pemakaian telur sehari hanyalah sebanyak 30,06 kilogram. Bahan lainnya yang diperlukan adalah pengembang atau baking powder. Baking powder yang digunakan dikemas dalam kaleng besar dengan berat bersih 25 kilogram. Kebutuhan baking powder per hari hanya sebesar 2 kg.
B. Perencanaan Kapasitas Produksi Kapasitas produksi merupakan kuantitas atau jumlah satuan produk yang seharusnya diproduksi selama satuan waktu tertentu untuk mencapai keuntungan yang optimal dalam bentuk keluaran (output) per satuan waktu. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penentuan kapasitas produksi, yaitu dengan pendekatan pangsa pasar yang mungkin diraih, ketersediaan bahan baku, kapasitas teknologi proses, ketersediaan modal, dan kemampuan teknis. Potensi pasar produk biskuit ikan dan tepung mix cukup besar karena biskuit ikan dibutuhkan oleh para balita untuk meningkatkan status gizi mereka, sedangkan tepung mix digunakan dalam pembuatan biskuit ikan tersebut. Berdasarkan kajian jumlah balita berstatus gizi kurang dan buruk di Indonesia seluruhnya berjumlah 4.009.086 jiwa, sedangkan jumlah balita dengan potensi rawan terkena bencana di Indonesia berjumlah total sebesar 50.000 jiwa. Hingga saat ini kebutuhan akan makanan pendamping asi dan makanan bencana untuk para balita masih mengandalkan pasokan biskuit yang berbahan baku tepung terigu, padahal untuk meningkatkan gizi para balita tersebut zat gizi proteinlah yang sangat dibutuhkan dan belum tersedia biskuit dengan kandungan protein tinggi, sehingga daya serap pasar akan biskuit ikan masih sangat terbuka. Selain berdasar pada pertimbangan ketersediaan bahan baku, kemampuan mesin dan peralatan yang digunakan serta waktu produksi yang tersedia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penentuan kapasitas produksi. Teknologi yang diterapkan pada produk ini adalah teknologi tepat guna karena disesuaikan dengan kebutuhan usaha, kondisi finansial, serta kemampuan pekerja dalam mengoperasikannya. Teknologi tepat guna bertujuan agar proses produksi berjalan dengan efektif dan efisien sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi. Kapasitas dalam pembuatan biskuit ikan ini juga ditentukan berdasarkan kemampuan investasi. Sejauh mana investasi mampu memenuhi target kapasitas produksi yang akan ditetapkan. Penentuan kapasitas produksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi proyek yang akan didirikan. Kapasitas produksi ditentukan berdasarkan perpaduan hasil penelitian berbagai macam komponen evaluasi. Komponen tersebut, yaitu perkiraan jumlah penjualan produk di masa yang akan datang atau kemungkinan pangsa pasar yang dapat diraih, kemungkinan pengadaan bahan baku, bahan pembantu, dan tenaga kerja, serta tersedianya mesin dan peralatan di pasar yang sesuai dengan teknologi yang diterapkan (Sutojo, 1996).
57
Berdasarkan pertimbangan daya serap pasar, ketersediaan bahan baku, kemampuan investasi, dan kemampuan teknis tersebut, maka kapasitas produksi yang dipilih adalah mengambil 0,28% dari pangsa pasar balita gizi kurang dan buruk serta 1% dari balita rawan terkena bencana alam yang diperkirakan, yaitu sebesar 8.653 yang membutuhkan biskuit sebanyak 3.115.080 per tahun yang diberikan selama 90 hari. Selain itu, penentuan pasar yang diambil sebesar 0,2% karena biskuit ikan tergolong produk baru yang berada pada siklus produk tahap pengenalan, sehingga diperlukan pengenalan dan pencarian pasar. Nilai 0,28% dianggap cukup optimis untuk membuka pasar. Apabila mengambil pasar diatas 0,28% dikhawatirkan pasar yang mampu diraih kurang, namun apabila di bawah 0,28% terlalu pesimis untuk memulai meraih pasar produk biskuit balita yang cukup potensial. Target produksi industri biskuit ikan adalah sebesar 10.000 keping/ hari. Apabila dalam setahun terdapat 312 hari kerja, maka biskuit ikan yang dihasilkan sebanyak 3.120.000/ tahun. Dengan kapasitas produksi di atas, diperkirakan kebutuhan bahan baku masih dapat dipenuhi dengan mudah yang diimbangi dengan investasi yang memadai.
C. Teknologi Proses Produksi Teknologi proses produksi yang terlibat pada industri yang didirikan secara umum terbagi menjadi dua proses, yaitu pembuatan tepung ikan lele dan pembuatan biskuit ikan. Pembuatan produk biskuit ikan diawali dengan pengolahan ikan lele segar menjadi tepung badan dan tepung kepala ikan lele. Ikan lele tersebut diolah untuk memudahkan dalam pembuatan produk, sedangkan isolat protein kedelai yang digunakan sudah dalam bentuk isolat yang langsung dapat digunakan. 1. Proses Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo Proses pembuatan tepung ikan lele dimulai dengan pengolahan bahan baku berupa ikan lele dumbo segar. Ikan lele dumbo yang digunakan berumur 3-4 bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi perutnya, lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian ikan digunakan terutama limbah ikan. Tetapi pada pembuatan tepung ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biskuit ikan, kulit dan isi perut dibuang. Pembuangan kulit bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah, sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan filet ikan, isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan. Dalam industri biskuit ikan ini, bahan baku ikan lele yang digunakan sudah dipisahkan antara daging ikan, tulang dan kepala ikan, serta kulit dan jeroan ikan oleh pemasok, sehingga tidak ada proses pemisahan bagian-bagian ikan lagi. Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan retort chamber. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan waktu yang digunakan cukup, sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121°C selama 2 jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan tulang ikan, sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu, diharapkan
58
pula tepung ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung. Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Fennema (1996) menyatakan bahwa proses pemanasan juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Disamping itu, proses pemanasan juga dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat oksidatif dan hidrolisis. Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian minyak. Moeljanto juga menambahkan bahwa proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut dengan menggunakan drum dryer. Menurut Juming et. al. (2003) dalam Fernando (2008), penggunaan drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengeringan drum memiliki kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Pengunaan pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas drum. Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80°C dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanasan drum menghasilkan serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan disc mill. Tepung yang dihasilakan setelah penggilingan berukuran sekitar 60 mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna coklat muda, sedangkan tepung kepala berwarna agak gelap karena pada proses pembuatan tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya berbeda. Diagram alir dan neraca massa pembuatan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan 5.2.
59
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Dibersihkan dari kulit dan jeroannya Dipisahkan bagian daging badan dengan tulang dan kepalanya
Daging badan ikan lele dumbo
Dimasak dengan retort chamber bersuhu 121°C selama 2 jam Daging badan matang Dipress dengan pengepres pneumatic
Daging badan agak kering Dihaluskan dengan penggiling basah
Daging badan berbentuk pasta Dikeringkan dengan drum dryer dengan suhu 80°C dan tekanan 3 bar
Daging badan ikan kering Penghalusan dengan disc mill
Tepung daging ikan lele dumbo
Kepala dan tulang ikan lele dumbo
Dimasak dengan retort chamber bersuhu 121°C selama 2 jam Kepala dan tulang ikan matang Dipress dengan pengepres pneumatic
Kepala dan tulang ikan agak kering Dihaluskan dengan penggiling basah
Kepala dan tulang ikan berbentuk pasta Dikeringkan dengan drum dryer dengan suhu 80°C dan tekanan 3 bar
Kepala dan tulang ikan kering Penghalusan dengan disc mill
Tepung kepala ikan lele dumbo
Gambar 5.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Sumber: Mervina 2009)
60
Ikan Lele Dumbo (200 kg)
Pemisahan antar bagian Loss Kulit dan jeroan (27,7 kg)
Daging badan (109.3 kg)
Pemasakan 121°C selama 2 jam Loss (1.15 kg)
Kepala dan tulang badan (63 kg)
Pemasakan 121°C selama 2 jam Loss (0.7 kg)
Daging badan (108.15 kg) Kepala dan tulang badan (62.3 kg) Pengepresan Loss minyak dan air (53.5 kg)
Pengepresan
Loss minyak dan air (25.6 kg)
Daging badan (54.65 kg)
Penggilingan basah
Kepala dan tulang badan (36.7 kg)
Penggilingan basah Pasta Daging badan (54.65 kg)
Pengeringan suhu 80°C, tekanan 3 bar Loss uap air (25.6 kg)
Pasta kepala dan tulang badan (36.7 kg)
Daging badan (29.05 kg)
Pengeringan suhu 80°C, tekanan 3 bar
Penggilingan dan pengayakan
Kepala dan tulang badan (17.2 kg)
Loss uap air (19.5 kg)
Loss tepung (0.7 kg) Tepung Daging badan (28.35 kg)
Penggilingan dan pengayakan Loss tepung (0.5 kg) Tepung kepala dan tulang badan (16.7 kg)
Gambar 5.2. Neraca Massa Pembuatan Tepung Badan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo
61
2. Mesin dan Peralatan Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo Pada proses pembuatan tepung ikan berbahan baku ikan lele segar dibutuhkan beberapa mesin dan peralatan. Ringkasan kebutuhan, kapasitas dan dimensi mesin yang digunakan untuk memproduksi tepung ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 5.3, sedangkan penjelasan lengkapnya akan dijelaskan berikut ini. Tabel 5.3 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Tepung Ikan Lele Dumbo
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Mesin Timbangan Dacin Retort Chamber Pressure Pneumatic Alat Pengering (Drying Drum) Boiler Pengiling Basah (grinder) Penggiling Kering (disc mill) Freezer Pengemas
Jumlah Kebutuhan (Unit) 1 1 1 1 1 1 1 2 1
Kapasitas (Kg/ jam) 100 250 70 2 210 220 300 170
Dimensi (P x l x T) (cm) 8,2 x 4,2 x 9,10 60 x 60 x 100 30 x 20x 80 100 x 150 x 115 65 x 50 x 200 115 x 100 x 125 104 x 42 x 100 150 x 50 x 80 8.5 x 45 x 18
a. Timbangan Dacin Timbangan dacin merupakan timbangan multifungsi yang dapat mengukur beban hingga 100 kg dengan cara menggeser bandul pemberat. Timbangan ini digunakan untuk mengukur berat bahan baku ikan lele serta tepung ikan lele yang telah selesai dibuat. Timbangan ini memiliki spesifikasi tinggi keseluruhan 870-910 mm, berat 5 kg, diameter bobot lawan 60-65 mm, diameter bobot ingsut 60-65 mm, panjang 80-82 mm, besi sekang berlebar strip plat 19-21 mm dan tebal 607 mm, badan timbangan terbuat dari pipa kuningan asli berdiameter 18-19 mm, serta rumah pisau dengan panjang 62-72 mm, lebar 38-42 mm, dan tebal 20-30 mm. Timbangan dacin dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Timbangan Dacin (Sumber: www.indodacin.com) b. Retort Chamber Retort chamber merupakan alat yang digunakan untuk memasak, melunakkan, dan mensterilisasikan badan, tulang, dan kepala ikan lele dengan cara memanaskan bahan di dalamnya dengan suhu tinggi. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, bagian ikan lele tersebut di proses
62
dalam retort chamber selama dua jam dengan suhu 121°C. Alat ini terbuat dari stainless steel dengan dimensi 60 x 60 x 100 cm, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4 Retort Chamber (Sumber: Laboratorium pilot plan, PAU IPB) c. Pressure Pneumatic Pressure pneumatic merupakan alat pres dengan prinsip tekanan yang digunakan untuk memisahkan air dan minyak yang terkandung dalam badan, kepala, dan tulang ikan lele agar menjadi lebih kering sebelum diproses lebih lanjut. Pengepresan dilakukan selama kurang lebih 15 menit agar mendapatkan hasil yang maksimal. Alat ini terbuat dari besi dengan wadah kayu yang berdimensi 30 x 20x 80 cm, serta tidak memerlukan tenaga listrik, melainkan dijalankan secara manual oleh operator. Pressure pneumatic dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5 Pressure Pneumatic (Sumber: PT. Carmelitha Lestari) d. Drum Dryer Drum Dryer merupakan alat pengering berbentuk bulat seperti drum yang digunakan untuk mengurangi kadar air dan minyak yang masih terkandung dalam bagian ikan lele. Selain itu, alat ini juga dapat mengubah bentuk badan, kepala, dan tulang ikan lele menjadi bentuk yang halus dan tipis, sehingga dapat diolah menjadi tepung. Alat yang terbuat dari besi dan stainless ini digunakan pada
63
suhu 80°C dengan tekanan tiga bar untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Dimensinya adalah 100 x 150 x 115 cm. Untuk lebih jelasnya drum dryer dapat dilihat pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Drum Dryer (Sumber: PT. Carmelitha Lestari) e. Boiler Boiler adalah alat sumber energi yang berfungsi sebagai penghasil panas yang panasnya dialirkan pada retort chamber dan drum dryer sehingga dapat mencapai suhu tinggi yang diinginkan. Sistem kerja boiler adalah dengan cara memanaskan air yang terdapat di dalamnya untuk menghasilkan uap panas yang dijadikan sebagai energi. Boiler ini berdimensi 65 x 50 x 200 cm. Boiler dapat dilihar pada Gambar 5.7.
Gambar 5.7 Boiler (Sumber: Laboratorium pilot plan, PAU IPB) f. Mesin Penggiling Basah Mesin penggiling basah merupakan mesin yang digunakan untuk mengubah bentuk bagian ikan lele menjadi bentuk pasta sebelum selanjutnya dikeringkan dengan drum dryer. Mesin yang terbuat dari besi ini berdimensi 115 x 100 x 125 cm. Untuk lebih jelasnya mesin penggiling basah dapat dilihat pada Gambar 5.8.
64
Gambar 5.8 Mesin Penggiling Basah (Sumber: www.tokomesin.com) g. Mesin Penggiling Kering Alat penggiling kering yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele merupakan mesin penepung kering yang biasa disebut dengan disc mill dengan dimensi 104 x 42 x 100 cm dengan kapasitas 180-220 kg/ jam. Fungsi dari alat ini adalah sebagai penggiling tepung agar menjadi lebih halus. Mesin penggiling kering dapat dilihat pada Gambar 5.9.
Gambar 5.9 Mesin Penggiling Kering (Sumber: PT. Carmelitha Lestari) h. Freezer Freezer atau mesin pendingin digunakan untuk menyimpan bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan biskuit lele, seperti ikan lele segar, isolat protein kedelai, dan bahan baku tambahan lainnya. Mesin pendingin yang digunakan berdimensi 150 x 50 x 80 cm sebanyak 2 unit agar tidak terjadi kontaminasi bau antara bahan-bahan yang disimpan di dalamnya. Untuk lebih jelasnya mesin pendingin dapat dilihat pada Gambar 5.10.
Gambar 5.10 Freezer (Sumber: Laboratorium pilot plan, PAU IPB)
65
i. Sealer Sealer yang digunakan adalah jenis impuls sealer yang biasa digunakan untuk merekatkan plastik tipe PE/ PP dengan menggunakan sistem pemanas elektrik. Alat ini cocok digunakan untuk membungkus barang-barang berukuran kecil dan sedang. Atur tingkat kepanasan sesuai dengan ketebalan plastik yang akan direkatkan, kemudian jepit bagian plastik yang akan direkatkan. Lampu indikator akan menyala pada saat plastik dijepitkan, dan lampu indikator akan padam secara otomatis (dalam hitungan detik) yg berarti proses perekatan sudah selesai. Alat ini memerlukan daya sebesar 400 watt dengan dimensi 8.5 x 45 x 18 cm yang dapat merekatkan plastik dengan panjang maksimum 200 mm dan tebal maksimum 0.4 mm. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.11.
Gambar 5.11 Impulse Sealer (Sumber: Megatron Elektrik) 3. Proses Produksi Biskuit Ikan Proses pembuatan biskuit ikan diawali dengan mempersiapkan semua bahan baku yang dibutuhkan serta formulasi biskuit dengan pelengkap tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai terhadap tepung terigu yang dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit. Formulasi biskuit ikan dengan pelengkap tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Formulasi Biskuit Ikan dengan Pelengkap Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai Komponen (gram) Tepung badan ikan lele Tepung kepala ikan lele Isolat protein kedelai Tepung terigu Gula bubuk Telur ayam Margarin Tepung susu Maizena Baking Powder Air Total Sumber: Mervina (2009)
Formulasi 35 15 100 250 180 180 180 60 15 12 45 1000
66
Setelah semua bahan siap, kemudian gula bubuk dan margarin dicampur dengan cara diaduk dengan menggunakan mixer berkecepatan tinggi sampai warnanya memucat. Lalu ditambahkan telur ayam dan diaduk kembali sampai agak mengembang. Kemudian tepung badan ikan, tepung kepala ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, dan tepung susu dimasukkan ke dalam adonan secara berurutan. Adonan diaduk dengan kecepatan rendah sampai kalis. Adonan yang telah kalis dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama 15 menit, fungsinya agar adonan lebih mudah dibentuk dan dicetak. Setelah itu, adonan dipipihkan setebal 0,5 cm lalu dicetak. Pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu 150°C sampai warna biskuit coklat keemasan. Diagram alir dilihat pada Gambar 5.12. Setelah keluar dari gas baking oven, biskuit harus cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan kue kering akibat pemadatan gula dan lemak. Waktu mendinginkan biasanya 2 – 3 kali lebih lama daripada waktu pemanggangan (Manley, 1983). Berdasarkan diagram alir proses produksi pembuatan biskuit ikan dapat dibuat neraca massa yang dapat dilihat pada Gambar 5.12. Neraca massa yang dibuat berdasarkan kebutuhan pada masingmasing tahapan dalam proses. Neraca massa menampilkan jumlah keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan serta hasil yang diperoleh. Neraca massa dihitung berdasarkan basis biskuit ikan yang dihasilkan untuk mengetahui komposisi total keseluruhan bahan baku. Margarin dan gula bubuk Diaduk dengan mixer berkecepatan tinggi selama 5 menit Ditambahkan telur ayam Diaduk dengan mixer berkecepatan tinggi selama 10 menit Adonan berwarna kuning pucat Ditambahkan tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, tepung susu, maizena, baking powder Diaduk dengan mixer berkecepatan rendah selama 5 menit sampai kalis Adonan Kalis Didinginkan dalam lemari pendingin selama 15 menit Adonan Dingin Dipipihkan dengan dough sheeter setebal 0.5 cm, lalu dicetak dengan cetakan bulat berdiameter 5 cm Dipanggang dalam gas baking oven dengan suhu 150°C selama 20 menit Biskuit ikan Gambar 5.12 Diagram Alir Pembuatan Biskuit Balita dengan Penambahan Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai
67
Margarin (180 gr)
Gula bubuk (180 gr)
Loss (25 gr) Pengocokan 5 menit (360 gr) Telur ayam (180 gr) Pengocokan 10 menit (515 gr)
Adonan berwarna kuning (515 gr) Tepung kepala ikan (15 gr)
Tepung daging ikan (35 gr) Isolat protein kedelai (100 gr)
Tepung terigu (250 gr)
Tepung susu (60 gr) Maizena (15 gr)
Baking powder (12 gr) Pengocokan 5 menit (1035 gr)
Air (45 gr)
Adonan kalis (1035 gr)
Pendinginan 15 menit (1086 gr)
Adonan dingin (1086 gr)
Roll dengan ketebalan 5 mm
Pencetakan
Pemanggangan dengan suhu 150°C selama 20 menit
Loss (210 gr)
Pendinginan
Loss (126 gr)
Biskuit ikan (750 gr) Gambar 5.13 Neraca Massa Pembuatan Biskuit Ikan (Basis Bahan Baku 1000 gr)
68
4. Mesin dan peralatan Produksi Biskuit Ikan Pada proses pembuatan biskuit ikan berbahan baku tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai dibutuhkan beberapa mesin dan peralatan. Ringkasan kebutuhan, kapasitas dan dimensi mesin yang digunakan untuk memproduksi biskuit ikan disajikan pada Tabel 5.5, sedangkan penjelasan lengkapnya akan dijelaskan berikut ini. Tabel 5.5 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Biskuit Ikan
No. 1 2 3 4 5
Nama Mesin Timbangan Mixer Dough Sheeter Lemari pendingin Oven
Jumlah Kebutuhan (Unit) 1 1 1 1 1
Kapasitas (Kg/ jam) 5 20 170 30
Dimensi (P x l x T) (cm) 20 x 15 x 5 53 x 46 x 88 72 x 83 x 110 54,7 x 51 x 159,2 134 x 90 x 60
a. Timbangan Timbangan adalah alat yang digunakan untuk mengukur massa bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan biskuit ikan. Timbangan yang digunakan merupakan timbangan digital yang akurat, dapat menimbang barang dari 1 gram hingga 5 kilogram. Sangat cocok digunakan untuk industri makanan dan laboratorium. Timbangan digital ini mempunyai dimensi 20 x 15 x 5 cm dengan high precision strain gauge sensor, low battery dan 13 mm LCD display. Timbangan ini juga telah memiliki sertifikat ISO 9001 : 2000 oleh SGS. Timbangan digital ini dapat dilihat pada Gambar 5.14.
Gambar 5.14 Timbangan Digital (sumber: www.alatkantor.com) b. Mixer Mixer adalah alat yang digunakan untuk mengocok dan mencampurkan bahan-bahan untuk membuat biskuit ikan menjadi adonan yang sesuai teksturnya. Mixer yang digunakan terdiri dari tiga macam pengaduk, yaitu: (1) spiral (hook) untuk mengaduk adonan tepung dan jenis makanan yang sangat kental, (2) beater untuk mengaduk aneka tepung dan mentega, (3) whip untuk mengaduk makanan encer, seperti susu segar, telur, dan cream. Mixer ini bekerja berdasarkan teori perputaran planet, dimana beater berputar mengelilingi bowl, sehingga bowl tidak berputar. Mixer ini akan menghasilkan adonan yang rata dan lembut. Mesin ini berdimensi 53 x 46 x 88 cm, dengan berat 98
69
kg. Dengan Volume bowl sebesar 20 liter pada mesin ini dapat menghasilkan kapasitas adonan 5 kg dalam satu kali pengadukan. Kecepatan pengaduk ini terdiri dari masing-masing alat pengaduknya, yaitu, spiral : 197 rpm, beater : 317 rpm, whip : 462 rpm. Mesin ini membutuhkan daya listrik sebesar 1100 watt, 220 volt, dan 50 Hz untuk menjalankannya. Untuk lebih jelasnya gambar jenis pengaduk dapat dilihat pada Gambar 5.15 dan gambar mixer pada Gambar 5.16.
Gambar 5.15 Jenis Pengaduk (Sumber: www.tokomesin.com)
Gambar 5.16 Mixer (Sumber: www.tokomesin.com)
c. Dough Sheeter Dough Sheeter merupakan mesin pengepres adonan dengan menggunakan roll. Dalam pembuatan biskuit ikan ini dibutuhkan mesin pengepres, untuk mengepres adonan dengan ketebalan 5 mm. Mesin roll yang digunakan dapat mengepres adonan dengan ukuran 2 – 32 mm, dengan lebar potongan 32 cm. Mesin ini berdimensi 72 x 83 x 110 cm dengan berat 85 kg, dengan kecepatan 133 rpm. Daya listrik yang dibutuhkan untuk menjalankan mesin ini adalah sebesar 1500 watt, 220 volt. Dough sheeter dapat dilihat pada Gambar 5.17.
Gambar 5.17 Dough Sheeter (Sumber: www.maksindo.com)
70
d. Lemari Pendingin Lemari pendingin digunakan pada saat adonan telah kalis dengan tujuan mengistirahatkan adonan agar dapat mengembang dengan sempurna. Lemari pendingin ini mempunyai dimensi 547 x 510 x 1592 mm, dengan total kapasitas 170 liter. Daya listrik yang dibutuhkan adalah sebesar 150 watt, 50 Hz, dan 220 volt. Lemari pendingin ini berpintu kaca yang dapat dilihat dari luar, sehingga mencegah terjadinya kontaminasi dari luar serta mempermudahkan memantau perkembangan adonan tanpa harus membuka pintu lemari pendingin. Lemari pendingin dapat dilihat pada Gambar 5.18.
Gambar 5.18 Lemari Pendingin (Sumber: www.tokobagus.com) e. Gas Baking Oven Gas Baking Oven adalah mesin pemanggang kue dengan suhu ruang bisa diatur (30 - 400°C), dilengkapi thermostat untuk pengatur suhu dan timer untuk pengatur waktu dengan digital display, dilengkapi dengan handle atau pegangan, rounded chamber dan internal fan, serta kabinet yang terbuat dari stainless steel. Oven ini dilengkapi dengan rak yang terdiri dari 6 susun. Rak tersebut diisi dengan loyang yang telah diisi biskuit yang telah dicetak sebelumnya. Jumlah loyang yang dibutuhkan adalah loyang besar berukuran 49 x 58 cm sebanyak 20 loyang. Dimensi mesin ini adalah 134 x 90 x 60 cm, dengan berat 135 kg. Mesin ini dijalankan dengan listrik dan gas. Listrik yang dibutuhkan adalah watt untuk menggerakkan kipas (fan) yang terletak di dalam oven dan sebagai sistem pemanasnya menggunakan LPG 22.500 BTU. Kapasitas produksi yang mampu dihasilkan mesin ini adalah 40 kg/ jam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.19.
Gambar 5.19 Gas Baking Oven (Sumber: www.tokomesin.com)
71
D. Penentuan Lokasi Pabrik Salah satu perencanaan yang paling penting dalam pendirian suatu perusahaan adalah factory planning, yang salah satunya adalah penentuan lokasi perusahaan. Lokasi merupakan hal yang penting bagi perusahaan karena akan mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Pemilihan lokasi yang tepat dalam mendirikan industri merupakan hal yang penting. Pemilihan lokasi yang tepat akan menentukan posisi perusahaan dan kelangsungan hidup perusahaan, karena akan berpengaruh terhadap efisiensi perusahaan. Lokasi suatu industri yang ditentukan dengan tepat akan membantu industri tersebut berjalan dengan lancar, efektif, dan efisien. Oleh karena itu, pemilihan lokasi industri tersebut perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biaya produksi dan biaya distribusi produk yang dihasilkan sehingga biaya-biaya ini dapat ditekan seminimal mungkin. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi adalah tata ruang wilayah, kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku, serta sarana dan prasarana yang tersedia. Suatu industri yang lokasinya tidak tepat, akan menghadapi persoalan yang terus menerus dan tidak terselesaikan, terutama dalam menghadapi saingan sehingga kelangsungan hidup dan stabilitas industri tersebut akan selalu mengalami kesulitan. Oleh sebab itu, untuk memperoleh keputusan yang tepat dalam penentuan lokasi, maka perlu dilakukan pengkajian berbagai faktor yang mempengaruhinya. Lokasi industri yang tepat dapat melayani proses-proses baru, perkembangan teknologi, dan dapat menampung kemungkinan-kemungkinan perluasan industri. Calon lokasi pabrik biskuit ikan ditetapkan oleh calon pendiri pabrik, yaitu di daerah Desa Sukajadi Bogor dan Darmaga Hijau Bogor. Pemilihan lokasi perlu dilakukan dengan cara membandingkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan tersebut. Darmaga Hijau Bogor menjadi salah satu alternatif pendirian pabrik biskuit ikan adalah berdasarkan faktor kedekatan dengan sumber bahan baku sehingga memperkecil biaya transportasi dan infrasturktur yang cukup mendukung. Selain itu, letak Darmaga Hijau Bogor sangat dekat dengan Kampus IPB Darmaga dimana pemilik berkantor dan rumah pemilik, sehingga mempermudah pemilik melakukan pengawasan. Sumberdaya manusia yang berada di sekitar Darmaga Hijau Bogor cukup mendukung karena saat ini banyak tersedia sumberdaya manusia yang kompeten di lokasi ini. Namun, di Darmaga Hijau Bogor hanya tersedia sebidang lahan tanpa bangunan di atasnya, sehingga pemilik diharuskan membangun bangunan pabrik terlebih dahulu yang memakan cukup banyak biaya. Di lain pihak Desa Sukajadi dipilih menjadi alternatif berikutnya adalah karena infrasturktur yang sangat mendukung untuk pendirian pabrik biskuit ikan diantaranya tersedia lahan yang cukup luas untuk pabrik dan harga sewanya murah. Namun, ketersediaan sumberdaya manusia dan sarana penunjang seperti listrik dan air belum tersedia dengan baik di lokasi ini. Kedua alternatif lokasi ini sama-sama berada di Kabupaten Bogor, namun jarak pasar maupun kemudahan dalam akses pemasaran lebih tinggi pada Desa Darmaga Hijau. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), lokasi yang terpilih adalah Darmaga Hijau Bogor dengan total nilai pilihan terbesar, yaitu 9.862, diikuti oleh alternatif berikutnya, yaitu Desa Petir Bogor dengan nilai sebesar 2.573. Kuesioner dan hasil perhitungan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial dapat di lihat pada
72
Lampiran 1. Penetapan lokasi pabrik didasarkan pada berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan. Dikaji dari karakteristiknya industri biskuit ikan membutuhkan lokasi yang cukup luas, karena terbagi menjadi dua proses, yaitu proses pembuatan tepung ikan lele dumbo dan proses pembuatan biskuit ikan sehingga area yang dibutuhkan meliputi area produksi tepung ikan lele dumbo, area produksi biskuit ikan, dan kelengkapannya. Industri biskuit ikan tidak menghasilkan limbah padat, cair, dan gas yang membahayakan bagi lingkungan sehingga lokasi pendirian industri pun tidak harus jauh dari pemukiman penduduk. Untuk mendukung proses pendistribusian bahan baku dan produk dibutuhkan infrasturktur yang mendukung. Industri biskuit ikan membutuhkan infrastruktur yang mendukung, yaitu kebutuhan tenaga listrik harus memadai, pasokan air tanah memadai dengan kualitas air cukup baik. Selain itu, air yang berasal dari Perusahaan Daerah Air minum juga tersedia, sehingga kebutuhan air bersih dapat terpenuhi dengan baik. Keseluruhan kriteria kebutuhan pendirian industri tersebut terpenuhi pada alternatif lokasi Darmaga Hijau Bogor, sehingga pemilihan lokasi di Darmaga Hijau Bogor sudah tepat. Dokumentasi calon lokasi pabrik dapat dilihat pada Lampiran 2. Ketersediaan sumber daya manusia pun menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Pasokan sumber daya yang kompeten dan tenaga kerja tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan adanya industri biskuit ikan, tenaga kerja yang ada di daerah ini dapat terserap dan mampu mengurangi tingkat pengangguran. Selain itu, faktor berbagai biaya seperti transportasi pemasaran, biaya sewa lahan, dan pendirian bangunan cukup terjangkau. Meskipun lokasi Darmaga Hijau agak jauh dari tempat pemasaran utama, namun hal ini tidak menjadi permasalahan besar karena biskuit ikan memiliki umur simpan hingga satu tahun. Selain itu, sifatnya yang ringan, ringkas, dan tidak membutuhkan tempat yang luas semakin mempermudah dalan pendistribusian biskuit ikan. Kelemahannya hanya ada pada biaya transportasi pendistribusian biskuit ikan yang menjadi lebih tinggi.
E. Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik Desain tata letak berhubungan dengan penyusunan mesin, peralatan produksi serta ruangan dalam pabrik dengan tepat agar proses produksi dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Susunan yang baik akan berpengaruh terhadap laba yang diperoleh oleh perusahaan. Selain mesin dan peralatan, fasilitas lain seperti gudang, kantor dan yang lainnya juga perlu diatur tata letaknya. Heizer dan Render (2004) menyatakan bahwa tata letak merupakan salah satu strategi wilayah yang akan menentukan efisiensi operasi dalam jangka panjang. Tata letak yang efektif dapat membantu sebuah perusahaan mendapatkan strategi yang mendukung perbedaan, harga yang rendah, atau respon. Selain itu, perancangan tata letak dapat meminimumkan elemen-elemen biaya, seperti biaya untuk konstruksi dan instalasi baik untuk bangunan, mesin, maupun fasilitas produksi lainnya, biaya pemindahan bahan, biaya produksi, perawatan mesin, dan biaya penyimpanan produk setengah jadi. Pada penentuan tata letak pabrik terdapat dua tipe yang digunakan, yaitu tipe proses dan tipe produk. Industri biskuit ikan memproduksi dua jenis produk yang saling berhubungan, yaitu tepung ikan lele dumbo dan biskuit ikan namun dalam satu lini proses. Oleh karena itu, tipe tata letak yang digunakan adalah tipe produk. Product layout adalah cara pengaturan dan penempatan semua fasilitas produksi yang diperlukan ke dalam suatu departemen tertentu atau khusus. Suatu produk dapat
73
diproduksi sampai selesai di dalam departemen tersebut dan tidak perlu dipindah-pindahkan ke departemen yang lain. Dalam product layout, mesin-mesin atau alat bantu disusun menurut urutan proses dari suatu produk. Produk-produk bergerak secara terus menerus dalam suatu garis perakitan. Product layout akan digunakan bila volume produksi cukup tinggi dan variasi produk tidak banyak dan sangat sesuai untuk produksi yang kontinyu. Tujuan dari product layout pada dasarnya adalah untuk mengurangi proses pemindahan bahan dan memudahkan pengawasan bahan di dalam aktivitas produksi, sehingga pada akhirnya terjadi penghematan biaya. Pola aliran bahan yang digunakan pada pabrik biskuit ikan ini adalah tipe U yang bertujuan untuk mengefisiensikan penggunaan ruang. Analisa aliran bahan sangat diperlukan dalam merancang suatu tata letak industri atau pabrik. Penentuan aliran bagi manajemen, material, aliran bahan, distribusi fisik dan logistik merupakan salah satu langkah dalam perencanaan fasilitas yang sangat penting terutama penentuan pola aliran bahan. Berdasarkan diagram alir proses pembuatan tepung ikan lele dumbo dan biskuit ikan yang telah dibuat, maka dilakukan analisis keterkaitan antar aktivitas untuk menentukan tata letak pabrik. Keterkaitan antar aktivitas dan hasil dari proses perancangan kegiatan tersebut adalah dalam bentuk bagan dan diagram keterkaitan antar kegiatan yang secara sistematis telah menunjukkan bagaimana kedudukan (letak atau lokasi) suatu kegiatan (ruang) tertentu dikaitkan dengan kegiatan (ruang) yang lain (Apple, 1990). Dalam merancang hubungan antar kegiatan maka harus dipertimbangkan faktor penting, yaitu persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk kegiatan atau ruang tertentu, karakteristik bangunan, letak bangunan, fasilitas eksternal, dan kemungkinan perluasan. Bagan keterkaitan antar aktifitas digunakan untuk merencanakan dan menganalisis keterkaitan antar aktifitas kemudian diwujudkan dalam bentuk diagram yang disebut bagan keterkaitan antar aktifitas yang dapat dilihat pada Gambar 5.20.
1. Gudang bahan baku U 2. Gudang produk
A A
X 3. R. sortasi & cuci E 4. R. produksi tepung 5. R. Produksi biskuit 6. R. Laboratorium
O \ AO
I
E U
U 8. Kantor
U U
I
X U
X
U U X
X
U X
U X
U
U
U
U
X
X
U U
X
X
X
U U
U
A A
U A
X
A
U
7. R. Pengemasan
O
A
E
9. Mushola & toilet
A
A
U I
U
10. IPAL U 11. Area parkir
Gambar 5.20 Bagan Keterkaitan Antar Aktivitas pada Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan
74
Bagan keterkaitan antar aktivitas di atas dijadikan patokan sebagai perhitungan keterkaitan antar ruang. Informasi yang didapat dari bagan keterkaitan antar aktivitas tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk diagram yang disebut keterkaitan antar aktivitas. Diagram keterkaitan antar aktivitas menggunakan template-template yang menggambarkan kegiatan yang ada. Setiap template mencantumkan informasi mengenai derajat keterkaitan kegiatan tersebut dengan kegiatan lain yang diperoleh dari bagan keterkaitan antar aktivitas. Untuk membuat diagram ini dihitung dengan menggunakan metode Total Closeness Rating (TCR). Analisis TCR digunakan untuk melihat urutan kerja dengan lokasi yang harus berdekatan. Aliran proses juga diperlukan untuk melihat urutan kerja yang digunakan tata letak ruang industri biskuit ikan ini. Informasi yang dihasilkan bagan keterkaitan aktivitas hanya akan berguna dalam merencanakan dan menganalisis keterkaitan antar kegiatan apabila diwujudkan dalam bentuk suatu diagram. Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah diagram keterkaitan antar aktivitas dibentuk dengan bantuan lembar kerja seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Lembar Kerja untuk Diagram Keterkaitan Antar Aktivitas
Aktivitas 1. Gudang bahan baku 2. Gudang produk 3. Ruang sortasi & pencucian 4. Ruang produksi tepung 5. Ruang produksi biskuit 6. Ruang Laboratorium 7. Ruang pengemasan 8. Kantor 9. Mushola & toilet 10. Pembuangan limbah 11. Area parkir
A 3,4,5 4,5,7
6
-
Simbol O U 6 2,7,8,9,10,11 1,8,9,11
1
4
5
-
6,8,9,11
2,7,10
1,2,6,7 1,2,6,7 4,5 2,4,5 -
3 2,7 6 -
3 9,11 8 8
5 4 1 -
8,11 8,111 3,8,9,11 1,8,11 1,2,3,4,5,6,7 1,2,3,6,11 1,11 1,2,3,4,5,6,7,9,10
9,10 9,10 10 3,9,10 10 4,5,7,10 2,3,4,5,6,7,8,9 -
E
I
X 3,10
Dari hasil lembar kerja diagram keterkaitan antar aktivitas di atas kemudian dilakukan pengalokasian aktivitas dengan menggunakan metode perhitungan TCR yang dapat dilihat pada Tabel 5.7. Berdasarkan perhitungan yang didapat, nilai TCR yang paling besar adalah aktivitas , yaitu area produksi tepung ikan lele dumbo, sehingga penempatan area tersebut diletakkan pertama.
75
Tabel 5.7 Perhitungan TCR (Total Closeness Rating)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Total
1 0 2 6 6 6 3 2 2 2 2 2 33
2 2 0 1 6 6 5 6 2 2 1 2 33
3 6 1 0 5 4 2 1 2 2 1 2 26
4 6 6 5 0 3 6 6 2 1 1 2 38
5 6 6 4 3 0 6 6 2 1 1 2 37
6 3 5 2 6 6 0 5 2 2 1 2 34
7 2 6 1 6 6 5 0 2 1 1 2 32
8 2 2 2 2 2 2 2 0 4 1 4 23
9 2 2 2 1 1 2 1 4 0 1 2 18
10 2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 2 12
11 2 2 2 2 2 2 2 4 2 2 0 22
Pada hasil perhitungan di atas dapat diaplikasikan ke dalam sebuah gambar keterkaitan ruang sehingga desain dari bangunan pabrik dapat ditentukan letak dan lokasinya dan hubungan antar ruang yang ditunjukkan pada Gambar 5.21.
Area Parkir
R.sortasi & pencucian
R. produksi tepung ikan
Gudang Bahan
Kantor
IPAL R.Laboratorium
Baku
R. Pengemasan
R. produksi biskuit ikan
Mushola & Toilet
Gudang Produk
Gambar 5.21 Tata Letak dan Hubungan Antar Ruang Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan Setelah dibuat diagram keterkaitan antar ruang, kemudian ditentukan kebutuhan luas ruang. Luas ruang dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan luas ruangan yang dibutuhkan oleh tiap-tiap mesin dan peralatan produksi, kebutuhan luas ruang operator, kelonggaran, kebutuhan luas gudang, kantor, dan ruangan-ruangan lain. Kebutuhan luas ruang pada industri biskuit ikan ini dapat dilihat pada Tabel 5.8.
76
Tabel 5.8 Kebutuhan Luas Ruang Produksi Tepung Ikan dan Biskuit Ikan
Nama Ruangan Gudang bahan baku Gudang produk Ruang sortasi & pencucian Ruang produksi tepung ikan a. Area penimbangan b. Area pemasakan c. Area pengepresan d. Area pengeringan e. Area Boiler f. Area penggilingan basah g. Area penggilingan kering Ruang produksi biskuit ikan a. Area penimbangan b. Area pengadukan c. Area pendinginan d. Area pemipihan e. Area pencetakan f. Area pemanggangan Ruang laboratorium Ruang pengemasan Kantor Mushola & toilet Lokasi pembuangan limbah Area parkir Total
1.5
0.5
0.75
150% Kelonggaran Luas (m2) 1.125
0.082 0.6 0.3 1.5 0.5 1.15 1.04
0.03 0.6 0.2 1 0.65 1 0.42
0.0246 0.36 0.06 1.5 0.325 1.15 0.4368
0.0369 0.54 0.09 2.25 0.4875 1.725 0.6552
1 1 1 1 1 1 1
0.0369 0.54 0.09 2.25 0.4875 1.725 0.6552
1 1 1 3.5 1 2 1
0.2 0.53 0.547 0.72
0.15 0.46 0.51 0.83
0.03 0.2438 0.3 0.7
1.34
0.9
1.206
0.045 0.3657 0.45 1.05 1 1.809
1 1 1 1 1 1
0.045 0.3657 0.45 1.05 1 1.809
1
0.5
0.5
0.75
2
0.75
1 1 1 2 2 2.5 6 4 12 8 6 6 72
Panjang (m)
Lebar (m)
Luas (m2)
Jumlah Mesin (unit) 2
Luas Total Sebenarnya (m2) 2.25 2.25 3
Luas Total Pembulatan (m2) 3 4 3
Catatan: Karena luas area setelah kebutuhan cukup kecil, maka dibuat luas pembulatan agar mempermudah kegiatan proses produksi. Area kelonggaran ditentukan sebesar 150% yang disediakan untuk kegiatan penanganan bahan, pergerakan pekerja dan perawatan, lorong, kolom, dan sebagainya sesuai kebutuhan. Berdasarkan perhitungan pada Tabel di atas, luas pabrik yang dibutuhkan adalah 71.45 m2 dengan luas total lahan tempat berdirinya pabrik adalah 72 m2 (6 m x 12 m). Untuk lebih jelasnya denah ruangan dalam pabrik dapat dilihat pada Lampiran 3 layout ruang produksi tepung ikan lele dumbo pada Lampiran 4, dan layout ruang produksi biskuit ikan pada Lampiran 5.
77
VI. ANALISIS MANAJEMEN DAN ORGANISASI
A. Kebutuhan Tenaga Kerja Salah satu aspek dalam manajemen operasi yang perlu direncanakan pada awal proyek adalah analisis kebutuhan tenaga kerja. Proses produksi tepung ikan lele dumbo dan biskuit ikan sebagian besar bahkan hampir keseluruhan dilakukan oleh mesin, namun dalam pelaksanaan proses produksi tetap dibutuhkan tenaga kerja manusia sebagai operator, pengawas proses produksi, dan beberapa kegiatan produksi yang membutuhkan campur tangan manusia secara langsung. Selain dalam lingkup proses produksi, tenaga kerja dibutuhkan dalam pelaksanaan aktivitas di luar produksi, seperti pemasaran, administrasi, transportasi dan distribusi, serta kegiatan lainnya. Tenaga kerja yang dibutuhkan disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan dan kriteria tenaga kerja yang dibutuhkan. Industri tepung dan biskuit ikan merupakan perusahaan yang benar-benar baru didirikan, sehingga kebutuhan sumber daya merupakan hal yang sangat penting untuk ditetapkan dengan baik. Untuk saat ini perlu dibuat penggolongan pekerja ke dalam golongan tetap, yaitu beberapa orang pekerja mulai dari direktur, manajer, operator, laboran, dan staf masing-masing bidang yang telah ditetapkan dan sistem penggajian ditetapkan dengan cara pembayaran berkala setiap bulan, sedangkan buruh angkut digolongkan ke dalam tenaga kerja tidak tetap. Penentuan jumlah tenaga kerja diperhitungkan dengan mengidentifikasi kegiatan, sifat, dan beban kerja sehingga dapat ditentukan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Rincian penetapan tenaga kerja dapa dilihat pada Tabel 6.1.
78
Tabel 6.1 Penentuan Jumlah Tenaga Kerja yang Dibutuhkan No. 1
2
3
4
Kegiatan Produksi tepung ikan lele dumbo a. Sortasi dan pencucian bahan baku b. Pemasakan c. Pengepresan d. Pengeringan e. Penghalusan f. Pengemasan Produksi biskuit ikan a. Sortasi dan penimbangan bahan baku b. Pengadukan c. Pemipihan d. Pencetakan e. Pemanggangan f. Pengemasan Perencanaan produksi Berkoordinasi dengan bagain pemasaran dan logistik untuk mengontrol kontinuitas produksi Administrasi Melakukan pembukuan perusahaan dan melakukan maintenance perlengkapan kantor perusahaan Keuangan Melakukan pembukuan keuangan dan mengatur pemasukan dan pengeluaran perusahaan
Sifat
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
Rutin harian Rutin harian Rutin harian Rutin harian Rutin harian Rutin harian
1 1 1 1 1 1
Rutin harian Rutin harian Rutin harian Rutin harian Rutin harian Rutin harian
1 1 1 1 1 1
Rutin harian
1
Rutin harian
1
Rutin harian Rutin harian
2
Rutin harian
1
Rutin harian
2
Temporer Temporer
1 2
Logistik Mengatur jumlah persediaan bahan baku dan produk
Rutin harian
1
Distribusi produk Pendistribusian produk dilakukan oleh supir dan bagian pemasaran
Rutin harian
1
8
Pengawasan mutu Melakukan pengawasan mutu pada produk yang dihasilkan
Rutin harian
1
9
Kebersihan Membersihkan lingkungan pabrik dan membantu merawat aset perusahaan
Rutin harian
1
Keamanan Menjaga keamanan pabrik selama 24 jam (2 shift)
Rutin harian
2 27
5
6 7
10
Pemasaran a. Menetapkan sistem pamasaran bagi perusahaan b. Menjalin kerja sama dengan pemerintah yang menjalankan program pemberian makanan tambahan bagi balita c. Membuat perencanaan pasar dan web perusahaan d. Mengikuti pameran-pameran dan mengadakan roadshow
Total
79
Berdasarkan perhitungan kebutuhan tenaga kerja tersebut, langkah selanjutnya adalah membuat kualifikasi pendidikan atas tenaga kerja yang dibutuhkan yang disajikan pada tabel 6.2. Tabel 6.2 Kebutuhan dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang diButuhkan pada Industri Tepung dan Biskuit Ikan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jabatan Direktur Manajer Produksi dan QC Manajer Pemasaran Manajer Administrasi dan Keuangan Staff pemasaran Staff logistik Staff administrasi Staff keuangan Operator Laboran Supir Petugas Keamanan Total
Kualifikasi Pendidikan S1 S1 S1 S1 S1 S1 SMA sederajat SMA sederajat SMA sederajat SMK analisis kimia SMA sederajat SMP
Jumlah (Orang) 1 1 1 1 5 1 1 1 12 1 1 2 28
Pada kajian ini diperkirakan jumlah sumber daya yang dibutuhkan adalah 28 orang, dengan rincian pekerja tetap sebanyak 25 orang dan pekerja temporer sebanyak tiga orang. Pada awal pendirian industri, komposisi tenaga kerja yang paling banyak difokuskan pada bagian pemasaran. Hal ini berkaitan dengan sifat produk yang tergolong produk baru dan masih berada pada tahap pengenalan. Oleh karena itu, pemasaran merupakan salah satu hal terpenting dalam rangka pengenalan dan pencarian pasar biskuit ikan yang diproduksi. Untuk perkembangan ke depannya, tidak menutup kemungkinan perusahaan melakukan perubahan komposisi tenaga kerja maupun melakukan rotasi kerja.
B. Struktur Organisasi Manajemen operasional industri yang baik akan mampu memenuhi segala kebijakan dan tujuan perusahaan. Tenaga manajemen yang asli merupakan faktor utama dalam keberhasilan manajemen industri. Tenaga kerja yang tepat dan berkualitas dapat diperoleh dengan mengetahui beberapa hal penting, yaitu uraian jenis pekerjaan atau tugas pokok yang diperlukan untuk menjalankan operasional industri, struktur organisasi yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas-tugas perusahaan secara efisien, dan persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk mengisi jabatan yang ada untuk mengisi kekurangan ahli. Besar kecilnya perusahaan akan sangat menentukan bentuk perusahaan dan struktur organisasi yang dijalankan oleh perusahaan tersebut. Hubungan koordinasi antar bagian-bagian dalam perusahaan akan berbeda-beda pada tiap perusahaan. Semua pekerjaan yang akan dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan harus dirinci dan didistribusikan semuanya kepada orang-orang yang mampu bekerja di bidang tersebut. Untuk itu harus disiapkan mekanisme koordinasi.
80
Setelah identifikai jabatan menghasilkan gambaran yang jelas kemudian disusun neraca organisasi pengelola operasi karena penekanan pada spesialisasi dan efisiensi, maka struktur organisasi operasi umumnya dikelompokkan berdasarkan fungsi dengan beberapa variasi, seperti organisasi berdasarkan produk atau area. Pada perusahaan biskuit ikan yang akan didirikan, setiap pekerjaan didistribusikan kepada pekerja berdasarkan kualifikasi yang dimiliki. Keseluruhan rangkaian kegiatan operasi akan dijalankan oleh beberapa bagan sesuai dengan bidang masing-masing. Secara umum, struktur organisasi pada perusahaan biskuit ikan terbagi menjadi beberapa tahapan hirarki, yaitu direktur, manajer, dan staf. Rencana struktur organisasi perusahaan yang menunjukan setiap bagian memiliki peranan dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya dapat dilihat pada Gambar 6.1.
Direktur
Manajer Pemasaran
Manajer Keuangan dan Administrasi
Manajer Produksi dan QC
Staf Pemasaran
Operator
Laboran
Staf Logistik
Staf Keuangan
Staf Administrasi
Supir
Security
Gambar 6.1 Struktur Organisasi Industri Tepung dan Biskuit Ikan
C. Deskripsi Pekerjaan Salah satu masalah yang selalu timbul dalam pengorganisasian adalah menentukan seberapa banyak tugas yang harus dikerjakan oleh seorang anggota organisasi. Oleh karena itu, dalam sebuah perusahaan perlu dibuat deskripsi pekerjaan dari tiap-tiap jabatan yang ada pada perusahaan tersebut. Dengan adanya deskripsi pekerjaan diharapkan setiap pekerja mengetahui tugas dan tanggung jawabnya masing-masing, sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Deskripsi pekerjaan pada industri ini adalah sebagai berikut. 1. Direktur Direktur bertanggung jawab untuk mengatur keseluruhan fungsi dan kelancaran seluruh kegiatan perusahaan pada seluruh bagian, yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, serta mengawasi manajer dan staf yang berada di bawahnya. 2. Manajer Produksi dan Quality Control (QC) Manajer Produksi dan Quality Control (QC) bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan pelaksanaan seluruh kegiatan produksi, pengadaan dan ketersediaan bahan baku dan bahan pembantu dalam pembuatan produk, pengawasan kualitas bahan baku dan produk, pemeliharaan dan perawatan mesin-mesin yang digunakan dan mengontrol kelancaran distribusi
81
produk, serta penelitian dan pengembangan produk agar mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen sasaran. 3. Manajer Pemasaran Manajer pemasaran bertugas mengelola keseluruhan kegiatan pemasaran mencakup pencarian peluang-peluang pasar danbauran pemasaran, seperti pengorganisasian kegiatan-kegiatan promosi penjualan, penjualan, dan kerja sama dengan mitra. 4. Manajer Keuangan dan Administrasi Manajer keuangan dan administrasi bertanggung jawab untuk mengatur berbagai hal yang terkait dengan penjualan, pembuatan strategi harga, dan pembukuan data-data perusahaan. 5. Staf Pemasaran Staf pemasaran bertugas untuk memasarkan produk, melaksanakan strategi pemasaran yang telah ditetapkan, dan menjalankan kegiataan promosi. 6. Staf Logistik Staf logistik bertugas mengelola pendistribusian produk dan mengatur pengadaan dan pengelolaan bahan baku. 7. Staf Keuangan Staf keuangan bertugas melaksanakan dan mengelola kegiatan pencatatan keuangan dan pengelolaan keuangan perusahaan. 8. Staf Administrasi Staf administrasi bertugas melaksanakan dan mengawasi kegiatan pencatatan administrasi kantor dan operasional perusahaan. 9. Operator Operator bertugas menjalankan mesin sesuai dengan prosedur yang ada dan memastikan mesin berjalan sesuai dengan kriteria yang seharusnya. Operator harus secara terus menerus melakukan pengawasan terhadap proses produksi dan kinerja mesin agar tidak terjadi penyimpangan produk yang tidak diinginkan. Operator juga bertugas untuk melakukan perawatan mesin dan alat-alat produksi. 10. Laboran Laboran bertugas melakukan pengawasan terhadap mutu produk dengan melakukan pengecekan mutu bahan baku, hasil dari tiap tahap produksi, dan produk akhir sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan arahan dari manajer produksi dan QC.
82
11. Supir Supir bertugas mengendarai kendaraan milik perusahaan dalam rangka pendistribusian produk yang dihasilkan. Selain itu, supir juga bertugas melaksanakan kegiatan transportasi yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan. 12. Security Security bertugas menjaga keamanan perusahaan dengan jumlah jam kerja 24 jam siang dan malam dengan pembagian waktu menjadi 2 shift.
83
VII. ANALISIS LINGKUNGAN DAN LEGALITAS
A. Aspek Lingkungan Dari setiap proses produksi di dalam industri pasti menghasilkan limbah, baik yang bersifat merugikan ataupun menguntungkan. Limbah yang sifatnya merugikan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Pencemaran pada tiap tahap proses produksi tidak dapat dihilangkan atau dihindari tetapi pencemaran dapat dicegah sehingga menimbulkan dampak yang seminimal mungkin. Industi biskuit ikan menghasilkan limbah berupa limbah padat, cair, dan gas. Namun jumlah limbah yang dihasilkan relatif kecil dan tidak membahayakan. Limbah padat yang dihasilkan dari industri ini berasal dari proses penghalusan daging ikan menjadi tepung, yaitu berupa ceceran tepung yang terjatuh dari mesin penggiling dan cangkang telur dari telur ayam yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biskuit ikan. Limbah padat ini tidak tergolong limbah berbahaya bagi lingkungan, terlebih lagi jumlahnya yang sedikit, sehingga dapat dibuang secara langsung ataupun dikumpulkan untuk kemudian dijual kepada peternak sebagai tepung pakan ternak dan pengrajin cangkang telur. Selain limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi, kemasan yang digunakan untuk mengemas produk dan kemasan yang berasal dari bahan baku yang digunakan, seperti kemasan tepung terigu dan gula bubuk juga dapat menjadi sumber limbah padat industri. Misalnya kemasan produk yang cacat ataupun rusak dan kemasan tepung terigu yang telah habis akan menjadi potensi dihasilkannya limbah padat. Limbah berupa kemasan akan ditampung dan dibuang secara berkala ke tempat pembuangan samapah ataupun dikumpulkan untuk kemudian dijual ke pengrajin sampah kemasan. Limbah lain yang dihasilkan industri tepung dan biskuit ikan adalah limbah cair yang berasal dari proses pengepresan ikan lele dumbo, pencucian peralatan, dan limbah domestik dari kegiatan sanitasi (MCK). Limbah yang berasal dari sanitasi akan ditampung dengan menggunakan septic tank, sedangkan limbah yang dihasilkan dari pengepresan ikan lele dumbo akan dimanfaatkan kembali untuk dijadikan suplemen minyak ikan dalam bentuk softgel karena dari proses pengepresan dihasilkan jumlah minyak yang cukup banyak dan mengandung omega 6 yang tinggi. Pembuatan sofgel minyak ikan lele dumbo, pada saat ini dalam proses penelitian lebih lanjut. Selain kedua jenis limbah di atas, industri tepung dan biskuit ikan juga menghasilkan limbah berupa gas yang berasal dari proses produksi dan kendaraan bermotor. Limbah yang dihasilkan dapat menyebabkan penurunan terhadap penurunan kualitas udara terutama pada proses pemasakan ikan lele dumbo dan debu yang dihasilkan dari proses pengeringan ikan lele dumbo dengan menggunakan drum dryer. Udara yang dihembuskan masih mengandung material produk yang dapat mengakibatkan kehilangan sekaligus mengotori udara lingkungan pabrik. Pengelolaan limbah gas difokuskan untuk menjaga kualitas udara dan debu di lokasi oabrik dan sekitarnya agar berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah sekaligus meminimalkan kehilangan produk akibat terbawa udara pengeluaran. Pada penanganan limbah gas, pabrik memanfaatkan penggunaan penyaring dan exhaust fan. Exhaust fan berfungsi untuk membuang limbah gas ke udara bebas sehingga limbah gas yang terlepas dapat terurai di udara bebas.
84
B. Aspek Legalitas Tiap perusahaan atau industri yang didirikan haruslah mendapatkan pengakuan secara hukum dari pihak terkait, dalam hal ini adalah pemerintah. Pengakuan atau legalitas suatu perusahaan bertujuan untuk mengetahui keberadaan industri tersebut, memberikan kemudahan dalam menjalankan kegiatan usaha, dan mendapatkan dukungan serta terikat pada kebijakan yang berlaku di lokasi pendirian perusahaan. Dalam melegalisasi pendirian suatu industri perlu dibentuk menjadi suatu badan usaha, begitu pula dengan industri tepung dan biskuit ikan yang akan didirikan. 1. Badan Usaha Bentuk badan usaha dari industri tepung dan biskuit ikan yang didirikan adalah Perseroan Terbatas (PT) yang merupakan badan hukum persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya. Pemilihan bentuk badan usaha berupa Perseroan Terbatas dikarenakan industri tepung dan biskuit ikan yang akan didirikan merupakan kerja sama dari tiga orang penanam modal. Selain itu, bentuk badan usaha Perseroan Terbatas memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut. a. Terstruktur dengan baik Terdapat pemisahan fungsi antara pemegang saham dan pengurus atau direksi yang bertugas langsung mengelola perusahaan dan komisaris yang bertanggung jawab sebagai pengawas. b. Efisiensi manajemen Manajemen dan spesialisasi memungkinkan pengelolaan modal yang efisien sehingga memungkinkan untuk melakukan ekspansi. Dengan menempatkan orang yang tepat, maka dapat memaksimumkan modal yang tersedia. c. Kewajiban terbatas Tidak seperti bentuk usaha Partnership, pemegang saham sebuah PT tidak memiliki kewajiban untuk obligasi dan hutang perusahaan. Akibatnya kehilangan potensial yang terbatas tidak akan melebihi dari jumlah yang mereka bayarkan terhadap saham. Tidak hanya mengizinkan perusahaan untuk melaksanakan dalam usaha yang beresiko, tetapi kewajiban terbatas juga membentuk dasar untuk perdagangan di saham perusahaan. d. Masa hidup abadi Aset dan struktur perusahaan dapat melewati masa hidup dari pemegang saham dan pengurusnya. Hal ini menyebabkan stabilitas modal yang dapat menjadi investasi dalam proyek yang lebih besar dan dalam jangka waktu yang lebih panjang dari aset perusahaan tetap dapat menjadi subyek disolusi dan penyebaran. Kelebihan ini juga sangat penting dalam periode pertengahan. Perusahaan biskuit ikan yang didirikan bernama PT. Carmelitha Lestari yang diberikan oleh salah seorang pemegang saham. Pendirian perusahaan ini merupakan salah satu langkah dalam pemanfaatan bahan baku lokal yang tersedia sangat banyak di Indonesia dan memberikan makanan tambahan bergizi tinggi bagi balita kurang mampu. Visi dan Misi PT. Carmelitha Lestari adalah sebagai berikut.
85
Visi: “Menjadi perusahaan pangan berbasis hewani terpadu yang terkemuka dan memberi manfaat maksimal bagi masyarakat”. Misi: - Mengembangkan potensi usaha perusahaan dalam bidang pangan sehat dan bergizi dengan harga terjangkau. - Membangun industri pengolahan pangan dengan memanfaatkan potensi kekayaan alam Indonesia yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah dan kualitan produk. - Dalam jangka panjang, berperan aktif meningkatkan daya saing produk pangan Indonesia di pasar global, sehingga dapat memberikan kontribusi pada devisa negara dan perekonomian nasional, serta kesejahteraan masyarakat sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab perusahaan. 2. Perizinan Dalam proses pendirian PT. Carmelitha Lestari ini diperlukan beberapa langkah perizinan, yaitu dengan menggunakan akte resmi yang dibuat oleh notaris yang didalamnya tercantum nama lain dari Perseroan Terbatas, modal, bidang usaha, alamat perusahan, dan yang lainnya. Berdasarkan UU N0. 40 Tahun 2007, syarat-syarat pendirian PT secara formal adalah sebagai berikut. a. Pendiri minimal dua orang atau lebih (pasal 7 ayat 1). b. Akte notaris berbahasa Indonesia. c. Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali dalam rangka peleburan (pasal 7 ayat 2 dan 3). d. Akte pendirian harus disahkan oleh Menteri Kehakiman dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (pasal 7 ayat 4). e. Modal dasar minimal Rp 50.000.000,00 dan modal disetor minimal 25% dari modal dasar (pasal 32 dan 33). f. Minimal terdapat satu orang direktur dan satu orang komisaris (pasal 92 ayat 3 dan pasal 108 ayat 3). g. Pemegang saham harus WNI atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, kecuali PT. Penanaman Modal Asing. Persyaratan material yang harus dipenuhi berupa kelengkapan dokumen yang harus disampaikan kepada Notaris pada saat penandatanganan akte pendirian adalah sebagai berikut. a. KTP dari para pendiri (minimal dua orang dan bukan suami istri). Apabila pendirinya hanya suami istri (dan tidak pisah harta) maka, harus ada satu orang lain yang bertindak sebagai pemegang saham/ pendiri. b. Modal dasar dan modal disetor. c. Jumlah saham yang diambil oleh masing-masing pendiri. d. Susunan direksi dan komisaris serta jumlah dewan direksi dan dewan komisaris.
86
Selain itu, untuk izin-izin perusahaan berupa surat keterangan domisili perusahaan, NPWP perusahaan, SIUP, TDP/ WDP, dan PKP, maka dokumen-dokumen pelengkap yang diperlukan adalah sebagai berikut. a. Kartu Keluarga Direktur Utama. b. NPWP Direksi. c. Salinan perizinan sewa gedung berikut surat keterangan domisili dari pengelola gedung (apabila kantornya bertatus sewa), sedangkan apabila berstatus milik sendiri, maka diperlukan salinan sertifikat tanah dan PBB terakhir berikut bukti lunasnya. d. Pas foto Direktur Utama/ penanggung jawab ukuran 3 x 4 cm sebanyak dua lembar. e. Foto kantor tampak depan dan dalam (ruangan berisi meja, kursi, komputer berikut satu hingga dua orang pegawainya). Biasanya ini dilakukan untuk mempermudah pada waktu survei lokasi untuk PKP atau SIUP. f. Stempel/ cap perusahaan. Adapun proses teknis pendirian PT adalah sebagai berikut. a. Pemesanan nama - Kuasa pengurusan hanya bisa kepada Notaris - Dalam jangka waktu maksimal 60 hari, harus diajukan pengesahannya ke Departemen Kehakiman atau nama menjadi expired. b. Pembuatan akta Notaris. c. Pengurusan ijin domisili & Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Perseroan sekaligus pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) & Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). d. Pembukaan rekening Perseroan dan menyetorkan modal ke kas Perseroan. e. Permohonan pembuatan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Ijin Usaha lain yang terkait sesuai dengan maksud & tujuan usaha. f. Pembuatan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) sekaligus pendaftaran Perseroan untuk memenuhi kriteria Wajib Daftar Perusahaan (WDP). Pada waktu pendaftaran, asli-asli dokumen harus diperlihatkan. g. Pengumuman pada BNRI. Disamping itu, terdapat pula SOP izin gangguan (IG/HO) berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Bogor No. 25 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Gangguan. SOP IG ini bertujuan untuk tertib administrasi dan tertib hukum dalam melakukan kegiatan usaha baik yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum. Sasaran dan objek yang dikenakan SOP IG adalah setiap orang pribadi atau badan yang mendirikan atau memperluas tempat usahanya dilokasi tertentu yang dapat
87
menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Persyaratan permohonan baru izin gangguan adalah sebagai berikut. a. Surat permohonan IG yang ditandatangani oleh pemohon di atas materai. b. Surat kuasa bila pengurus perizinan dikuasakan kepada orang lain. c. Fotokopi KTP pemohon atau Surat Izin Tinggal Sementara (khusus untuk Penanaman Modal Asing). d. Fotokopi IMB. e. Fotokopi pemilikan tanah, dan jika pemohon bukan sebagai pemilik tanah, harus menyampaikan akta otentik yang menerangkan hubungan hukum antara pemohon dengan obyek tanah dalam bentuk:
perjanjian sewa menyewa;
perjanjian pinjam pakai; atau
perjanjian dalam bentuk lain.
(Sepanjang para pihak yang menandatangani perjanjian sewa menyewa, perjanjian pinjam pakai, atau perjanjian dalam bentuk lainnya bukan pemilik dan atau pengurus perusahaan) f. Fotokopi akte pendirian perusahaan (khusus Perseroan Terbatas harus melampirkan pengesahan pendirian perusahaan dari Menteri Hukum dan Ham). g. NPWP h. Fotokopi SPPT dan STTS PBB tahun terakhir. i. Surat persetujuan tetangga radius 200 meter dari lokasi dan dilampiri fotokopi KTP, penandatanganan diketahui RT, RW dan Desa/ Kelurahan. j. Melampirkan dokumen Amdal atau UKL/UPL untuk usaha tertentu. k. Fotokopi surat persetujuan dari BKPM (khusus untuk PMA dan PMDN). Jangka waktu penyelesaian izin gangguan baru adalah maksimal 12 hari kerja setelah pemohon memenuhi persyaratan dengan lengkap dengan masa berlaku izin gangguan selama 3 tahun dan dapat diperpanjang apabila memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Biaya retribusi untuk izin gangguan permohonan baru, yaitu:
Luas ruangan usaha 100 m2 pertama x indeks lokasi x indeks gangguan x Rp 500
Luas ruangan usaha selebihnya x indeks lokasi x indeks gangguan x Rp 250
Penetapan indeks gangguan didasarkan pada besar kecilnya gangguan dengan klasifikasi sebagai berikut. a. Intensitas gangguan besar / tinggi b. Intensitas gangguan sedang c. Intensitas gangguan kecil
indeks: 5 indeks: 3 indeks: 2
88
Penetapan indeks jalan didasarkan pada letak/ lokasi perusahaan dengan klasifikasi sebagai berikut. a. Lokasi di Jalan Negara, indeks : 5 b. Lokasi di Jalan Propinsi, indeks : 4 c. Lokasi di Jalan Kabupaten, indeks : 3 d. Lokasi di Jalan Desa, indeks : 2
C. Pajak Pendirian industri tepung dan biskuit ikan tidak terlepas dari kewajiban pajak yang dibebankan, sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Perseroan atau perkumpulan lainnya, Firma, Kongsi, dan yayasan atau lembaga untuk usaha tetap. Penentuan besar pajak penghasilan yang dilakukan berdasarkan UU perpajakan No. 36 Tahun 2008 ayat 1b yang menyatakan bahwa pajak penghasilan untuk suatu badan dalam negeri dan bentuk badan usaha adalah sebesar 28%.
89
VIII. ANALISIS FINANSIAL
Analisis finansial bertujuan untuk menghitung jumlah dana yang diperlukan dalam perencanaan suatu industri melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan penerimaan. Dalam analisis finansial juga ditetapkan mengenai sumber dana yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dana, serta membahas mengenai kelayakan proyek yang akan dikerjakan dari sisi finansial. Beberapa aspek yang diperhitungkan dalam analisis finansial diantaranya adalah biaya investasi total, sumber dana pembiayaan proyek, biaya produksi total, estimasi aliran kas proyek, serta analisis kelayakan investasi. Untuk analisis kelayakan investasi meliputi berbagai perhitungan kriteria investasi yang telah umum digunakan. Kriteria kelayakan yang digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net B/C, Pay Back Period (PBP), Break Even Point (BEP), dan analisis sensitivitas.
A. Asumsi Perhitungan Finansial Analisi finansial memerlukan beberapa penetapan asumsi yang disesuaikan dengan kondisi pada saat kajian dilakukan dan didasarkan pada hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan pada analisis aspek-aspek yang lain, standar pendirian usaha, serta peraturan yang berlaku. Asumsi-asumsi dasar yang menjadi perhitungan dalam analisis finansial digunakan untuk dapat menentukan kelayakan industri tepung dan biskuit ikan. Asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut. a. Analisis finansial ini dilakukan dengan biaya investasi untuk pendirian usaha baru. b. Umur ekonomi proyek diasumsikan selama 10 tahun, disesuaikan dengan umur ekonomi mesin dan peralatan. c. Nilai sisa bangunan pada akhir proyek adalah 50% dari nilai awal, nilai sisa mesin dan peralatan adalah 5% dari nilai awal dan nilai sisa kendaraan adalah 20% dari nilai awal. d. Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan adalah 2% dari harga mesin dan peralatan. e. Kapasitas produksi biskuit ikan sebesar 10.000 keping per hari dan tepung mix sebesar 25 kg per hari dengan bahan baku ikan lele segar sebesar 84 kg per hari. f.
Jumlah hari kerja per tahun adalah 312 hari dengan asumsi dalam sebulan terdapat 26 hari kerja dan dalam setahun terdapat 12 bulan.
g. Bunga modal diasumsikan sebesar 18% h. Pajak dihitung berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 untuk pajak badan usaha, yaitu sebesar 28%. i. Modal kerja dihitung berdasarkan asumsi biaya modal kerja adalah 10% dari penjualan tahun berikutnya.
90
j. Kapasitas produksi pada tahun pertama adalah 60%, kapasitas produksi pada tahun kedua adalah 80%, sedangkan kapasitas produksi tahun ketiga dan seterusnya adalah 100%. k. Proyek dimulai pada tahun ke- 0, sedangkan produksi pertama dimulai pada tahun ke- 1. Asumsiasumsi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.
B. Biaya Investasi Biaya investasi merupakan biaya yang diperlukan untuk mendirikan industri tepung dan biskuit ikan. Biaya investasi yang diperlukan meliputi biaya investasi tetap dan biaya modal kerja. Biaya investasi tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam pengadaan harga tetap, pembiayaan kegiatan praoperasi, serta biaya lain yang berkaitan dengan pembangunan pabrik sampai pabrik siap beroperasi. Modal tetap meliputi biaya pengadaan lahan, pendirian bangunan, pengadaan mesin dan peralatan produksi, biaya kegitan awal (prainvestasi), biaya kontingensi, serta pengadaan fasilitas pendukung lainnya. Adapun total biaya investasi yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 884.335.000 dengan kebutuhan modal tetap Rp 687.775.000 dan kebutuhan modal kerja Rp 196.560.000. Perincian kebutuhan investasi tetap disajikan pada Lampiran 7 dan ringkasan biaya investasi dapat dilihat pada Tabel 8.1. Industri tepung dan biskuit ikan akan didirikan pada lahan seluas 72 m2 dengan luas bangunan yang sama. Asumsi harga tanah di daerah Darmaga Hijau, Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp 1.000.000, dengan demikian dana yang dibutuhkan untuk pembelian tanah adalah sebesar Rp 72.000.000. Biaya untuk pembangunan pabrik dan kantor diperkirakan sebesar Rp 50.000.000. Biaya prainvestasi adalah biaya yang digunakan untuk melaukan berbagai kegiatan yang diperlukan sebelum produksi mulai berjalan. Biaya prainvestasi meliputi studi kelayakan, izin sertifikasi BPOM, perizinan lokasi usaha, dan akte perusahaan, serta pengesahan. Biaya prainvestasi pada proyek ini diperkirakan sebesar Rp 75.000.000. Karena berbagai faktor, suatu perkiraan biaya tidak mungkin sepenuhnya tepat, karena itu dalam suatu proyek biasanya terdapat suatu kontingensi yang disiapkan untuk menutupi kekurangan yang mungkin terjadi. Biaya kontingensi adalah biaya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga yang diperkirakan akan terjadi seperti bencana alam atau kesalahan perhitungan awal. Selain itu, biaya kontingensi juga disiapkan untuk mengantisipasi kenaikan harga yang mungkin terjadi selama berlangsungnya pelaksanaan proyek. Pada analisis finansial ini biaya kontingensi dihitung dengan cara memisahkan komponen-komponen biaya yang termasuk dalam biaya investasi dalam dua golongan, yaitu yang termasuk dalam perkiraan biaya tetap dan biaya tidak tetap. Golongan biaya tetap adalah biaya-biaya yang selama pengerjaan proyek mungkin mengalami perubahan harga, seperti biaya bahan-bahan bangunan, biaya pengurusan administrasi, dan lain-lain. Cadangan dana yang disiapkan adalah sebesar 10% dari biaya-biaya tetap, sehingga total biaya kontingensi adalah sebesar Rp 62.525.000.
91
Tabel 8.1 Komponen Biaya Investasi Tetap yang Dibutuhkan dalam Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan No. Komponen 1. Biaya prainvestasi 2 Tanah dan bangunan 3. Fasilitas penunjang 4. Mesin dan peralatan 5. Alat kantor 6. Sarana distribusi Subtotal Kontingensi 10% Total
Nilai Total (Rp) 75.000.000 122.000.000 27.500.000 233.150.000 17.600.000 150.000.000 625.250.000 62.525.000 687.775.000
Modal kerja adalah dana awal yang diperlukan untuk membiayai kebutuhan operasional dan produksi pada waktu pertama kali dijalankan. Total biaya modal kerja yang dibutuhkan pada awal pendirian pabrik diasumsikan sebesar 10% dari total penjualan tahun berikutnya. Modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 196.560.000 pada tahun pertama, sedangkan tahun kedua sebesar Rp 262.080.000, dan tahun ketiga Rp 327.600.000. Pada tahun berikutnya tidak dibutuhkan tambahan untuk modal kerja karena produksi pada tahap sebelumnya sudah mampu terjual dan menutupi biaya modal kerja yang dibutuhkan.
C. Perhitungan Depresiasi Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam membuat arus kas adalah depresiasi. Depresiasi adalah suatu metode perhitungan akuntansi yang bermaksud membebankan biaya perolehan aset dengan membayar selama periode tertentu dimana aset tersebut masih berfungsi (Soeharto, 1995). Menurut peraturan, depresiasi merupakan pengeluaran yang dianggap dapat dipotong dari bagian yang dikenakan pajak. Pada analisis ini metode yang digunakan adalah metode garis lurus (straight line depreciation). Metode ini dipilih karena merupakan metode yang paling banyak dipakai. Hasil perhitungan menunjukkan nilai depresiasi industri setiap tahunnya adalah sebesar Rp 56.081.000. Rincian perhitungan depresiasi ini disajikan pada Lampiran 8.
D. Prakiraan Biaya Produksi dan Penerimaan Biaya yang digunakan dalam analisis finansial ini dikategorikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel merupakan biaya yang jumlahnya akan berubah dengan perubahan intensitas volume kegiatan. Biaya variabel meliputi biaya bahan baku dan utilitas, serta gaji tenaga kerja langsung. Biaya tetap merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap, tidak dipengaruhi oleh intensitas kegiatan. Biaya yang termasuk biaya tetap adalah biaya produksi tetap, biaya administrasi, biaya penyusutan, biaya pemeliharaan, dan pajak. Komposisi biaya tetap dan biaya variabel disajikan pada Lampiran 9 dan perhitungan biaya operasional lengkap disajikan pada Lampiran 10. Prakiraan biaya
92
produksi biskuit ikan dan tepung mix pada tahun pertama sebesar Rp 1.539.029.760, pada tahun kedua Rp 1.883.983.680, pada tahun ketiga dan seterusnya Rp 2.228.937.600. Prakiraan biaya pada awal-awal produksi memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan tahun ketiga dan seterusnya, hal ini dikarenakan pada awal produksi kapasitas produksi belum penuh, sedangkan pada tahun ketiga dan seterusnya kapasitas produksi sudah mencapai 100%. Pada tahun pertama perusahaan memproduksi sebanyak 60% dari kapasitas total. Pada tahun kedua perusahaan memproduksi 80%, sedangkan pada tahun ketiga sampai tahun kesepuluh perusahaan memproduksi dalam kapasitas total. Prakiraan penerimaan yang diperoleh pada tahun pertama adalah Rp 1.965.600.000, pada tahun kedua adalah Rp 2.620.800.000, sedangkan prakiraan penerimaan pada tahun ketiga dan seterusnya adalah Rp 3.276.000.000. Harga dan perkiraan penerimaan ini dihitung dengan asumsi harga tetap selama periode operasional. Informasi mengenai harga dan prakiraan penerimaan dapat dilihat pada Tabel 8.2 dan informasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 11. Tabel 8.2 Prakiraan Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan
Tahun Ke-
Kapasitas Produksi (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
60 80 100 100 100 100 100 100 100 100
Produksi Biskuit Ikan per Tahun (bungkus) 468.000 624.000 780.000 780.000 780.000 780.000 780.000 780.000 780.000 780.000
Produksi Tepung Mix per Tahun (kg) 4.680 6.240 7.800 7.800 7.800 7.800 7.800 7.800 7.800 7.800
Total Penerimaan (Rp) 1.965.600.000 2.620.800.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000
E. Proyeksi Laba Rugi Perkiraan rugi laba merupakan ringkasan penerimaan dari hasil penjualan produk dan seluruh biaya yang dikeluarkan industri setiap tahun dalam jangka waktu tertentu. Laba bersih adalah nilai yang diperoleh dari pengurangan total penerimaan dengan total pengeluaran, termasuk bunga pinjaman dan pajak penghasilan. Laporan rugi laba dalah suatu cara untuk melihat profitabilitas dari suatu usaha. Jadi dari laporan rugi laba dapat dilihat keuntungan atau kerugian yang dialami oleh perusahaan pada kurun waktu tertentu. Secara sederhana sistematika perhitungan rugi laba adalah sebagai berikut, biaya operasi dijumlahkan dengan biaya-biaya administrasi, penjualan, dan depresiasi sehingga akan didapatkan pendapatan kotor sebelum pajak, kemudian diperhitungkan pengeluaran untuk pembayaran bunga hutang dan pajak sehingga didapatkan pendapatan bersih, yang setelah dikurangi laba ditahan
93
dan ditambahkan depresiasi akan menjadi aliran kas bersih. Penyusunan laporan rugi laba harus dibuat sedemikian rupa agar mudah diikuti urutan jalannya perhitungan dari awal sampai akhir. Pendapatan adalah jumlah pembayaran yang diterima perusahaan dari penjualan produk. Pendapatan dihitung dengan mengalikan kuantitas produk yang dihasilkan dengan harga satuan produksi yang dihasilkan dengan harga satuannya. Pada awal-awal proyek biasanya sarana produksi tidak dipacu untuk berproduksi secara maksimal, tetapi naik perlahan-lahan sehingga pendapatan pun akan naik perlahan-lahan. Pada industri tepung dan biskuit ikan diperkirakan setiap tahunnya perusahaan akan memperoleh pendapatan bersih setelah dikurangi pajak pendapatan adalah sebesar Rp 753.884.928 bila beroperasi pada kapasitas produksi penuh yang semakin meningkat. Besarnya proyeksi laba rugi ini dapat dilihat pada Tabel 8.3 dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 8.3 Proyeksi Laba Rugi Penjualan Biskuit Ikan dan Tepung Mix dalam 10 Tahun Produksi Tahun ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Penerimaan (RP) 1.965.600.000 2.620.800.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000 3.276.000.000
Total Pengeluaran (RP) 1.539.029.760 1.883.983.680 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600 2.228.937.600
EBIT (RP) 426.570.240 736.816.320 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400 1.047.062.400
Pajak (Rp) 119.439.667 206.308.570 293.177.472 293.177.472 293.177.472 293.177.472 293.177.472 293.177.472 293.177.472 293.177.472
Laba Bersih (Rp) 307.130.573 530.507.750 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928 753.884.928
F. Proyeksi Arus Kas Aliran kas dihitung dengan mengurangi aliran kas masuk dengan aliran kas keluar setiap tahunnya. Aliran arus kas proyek dikelompokkan menjadi tiga, yaitu aliran kas awal (initial cash flow), aliran kas periode operasi (operatinal cash flow), dan aliran kas terminal (terminal cash flow). Aliran kas masuk terdiri dari modal kerja sendiri (initial cash flow), laba bersih, depresiasi (operational cash flow), dan pengembalian modal kerja (terminal cash flow). Aliran kas keluar terdiri dari investasi tetap, dan modal kerja. Kas bersih didapatkan dengan mengurangi kas masuk dengan kas keluar setiap tahunnya. Proyeksi arus kas industri tepung dan biskuit ikan dapat dilihat pada Tabel 8.4 dan rinciannya disajikan pada Lampiran 13.
94
Tabel 8.4 Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan Tahun ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Kas Masuk (Rp) 363.211.573 586.588.750 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928
Total Kas Keluar (Rp) 884.335.000 65.520.000 65.520.000 -
Aliran Kas Bersih (Rp) (884.335.000) 297.691.573 521.068.750 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 809.965.928 1.137.565.928
G. Kriteria Kelayakan Investasi Kriteria kelayakan investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net B/C, Pay Back Period (PBP), Break Even Point (BEP), dan analisis sensitivitas. Perhitungan kriteria-kriteria ini didasarkan pada aliran kas bersih (net cash flow) pada proyeksi arus kas. Bunga modal yang digunakan sebesar 18%. Berdasarkan proyeksi arus uang tersebut dapat dihitung berbagai kriteria investasi. 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari manfaat dan biaya dari suatu proyek investasi. Perhitungan angka yang dihasilkan menunjukkan besarnya penerimaan bersih selama 10 tahun setelah dikalikan discount factor yang dihitung pada masa kini. Berdasarkan investasi metode NPV, suatu investasi dikatakan layak untuk dijalankan jika nilainya lebih besar dari nol. Rincian mengenai perhitungan NPV industri ini dapat dilihat pada Lampiran 14. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 14, nilai NPV menunjukkan angka positif, yaitu pada discount factor 18% per tahun dengan umur investasi 10 tahun. Angka tersebut menunjukkan bahwa investasi yang ditanam perusahaan sepanjang 10 tahun ke depan memperoleh manfaat bersih menurut nilai uang sekarang sebesar Rp 2.176.702.231. 2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rete of Return (IRR) adalah discount factor pada saat NPV sama dengan nol dan dinyatakan dalam persen. Untuk menentukan layak tau tidaknya proyek dilaksanakan maka sebagai patokan dasar pembanding adalah discount factor, yaitu ditetapkan sebesar 18%. Jika nilai IRR lebih besar dibandingkan discount factor, maka usaha dinyatakan layak. IRR pada industri ini sebesar 61% yang berarti bahwa pendirian pabrik biskuit ikan layak untuk dilaksanakan. Nilai IRR yang diperoleh sangat besar karena produk yang dihasilkan merupakan produk yang bernilai tambah sangat tinggi. Perhitungan nilai IRR dapat dilihat pada Lampiran 14.
95
3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net benefit cost ratio, yaitu suatu perbandingan nilai kini arus manfaat bersih dibagi dengan nilai sekarang arus biaya bersih. Analisis ini merupakan perbandingan antara jumlah present value dari net benefit yang bernilai negatif. Suatu investasi dikatakan layak apabila hasil perhitungan Net B/C nya lebih besar atau sama dengan satu. Dari hasil perhitungan Net B/C kegiatan investasi produksi biskuit ikan diperoleh nilai sebesar Rp 3,yaitu setiap investasi Rp 1 yang dikeluarkan sekarang pada tingkat discount factor 18% akan memperoleh keuntungan bersih Rp 3. Perincian Net B/C disajikan pada Lampiran 14. 4. Payback Period (PBP) PBP merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal suatu investasi, yang dihitung dari aliran kas bersih. Masa pengembalian ini dapat diartikan sebagai jangka waktu pada saat NPV sama dengan nol. Nilai NPV yang besar menunjukkan jangka waktu pengembalian investasi yang ditanam semakin cepat. Dari hasil perhitungan PBP investasi produksi biskuit ikan diperoleh tahun, yaitu investasi yang ditanam akan kembali setelah 2 tahun 1 bulan. Jangka waktu pengembalian investasi tergolong cukup cepat karena biskuit ikan yang dihasilkan merupakan produk bernilai tambah sangat tinggi. Perincian perhitungan PBP dapat dilihat pada Lampiran 14. 5. Break Even Point (BEP) Titik impas atau Break Even Point atau titik dimana total biaya produksi sama dengan penerimaan. Titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi telah menghasilkan pendapatan yang sama besarnya dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Titik impas selama umur proyek industri tepung dan biskuit ikan ini berada pada penjualan saat harga jual biskuit ikan Rp 3.211 dan harga tepung mix Rp 122.730. Titik impas selama umur proyek dalam bentuk unit, yaitu berada pada saat produksi biskuit ikan sebesar 751.218 bungkus dan 12.853 kg tepung mix. Perhitungan BEP di atas didapatkan dari hasil perhitungan asumsi perusahaan memproduksi produk secara terpisah.
H. Analisis Sensitivitas Kelayakan proyek dibuat berdasarkan sejumlah asumsi yang disebabkan banyaknya faktor ketidakpastian mengenai kondisi dan situasi di masa depan. Perubahan asumsi yang digunakan akan berpengaruh pula terhadap keputusan akan layak atau tidaknya proyek. Karena itu perlu dilakukan analisis sensitivitas yang mengkaji sejauh mana unsur-unsur dalam aspek finansial ekonomi berpengaruh terhadap keputusan yang diambil terhadap perubahan unsur-unsur tertentu. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan-perubahan yang terjadi selama periode investasi seperti kenaikan harga bahan baku dan bahan utilitas. Dari hasil analisis sensitivitas, menunjukkan bahwa toleransi kenaikan biaya bahan baku dan bahan utilitas 30% memberikan nilai Net B/C sebesar 2. Hal ini berarti perusahaan masih dapat dijalankan, namun apabila terjadi kenaikan harga bahan baku lebih besar dari angka tersebut maka perusahaan tidak layak lagi untuk dijalankan dalam jangka panjang. Perincian perhitungan analisis sensitivitas kenaikan harga bahan baku dan utilitas 30% dapat dilihat pada Lampiran 15 dan analisis sensitivitas penurunan harga jual 20% pada Lampiran 16.
96
IX. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Permintaan pasar akan biskuit ikan dinilai cukup besar dan dibutuhkan oleh seluruh balita yang mengalami gizi kurang dan balita yang berada di daerah rawan bencana alam. Pasar potensial yang dijadikan sasaran pasar biskuit ikan adalah kedua kategori balita di atas dengan memperhatikan jumlah dan penyebaran balita dengan status gizi kurang dan pemetaan daerah rawan bencana di Indonesia. Pangsa pasar berdasarkan status gizi balita yang dijadikan sasaran diperkirakan bernilai sebesar 0,28% dari jumlah balita bergizi kurang dan buruk di Indonesia, yaitu berjumlah 8.153 jiwa balita dari total seluruh balita bergizi kurang di Indonesia sebesar 2.911.627 jiwa, sedangkan potensi pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana alam adalah sebesar 1% dari jumlah balita korban bencana tsunami Aceh 2004, yaitu sebesar 500 jiwa balita. Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai total dari pangsa pasar biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita. Industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo yang akan didirikan di Darmaga Bogor, Jawa Barat ini memiliki bentuk badan usaha perseroan terbatas. Berdasarkan hasil analisis aspek pasar dan pemasaran, potensi pasar biskuit ikan masih terbuka, oleh karena itu pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo menjadi potensial. Pabrik biskuit ikan lele dumbo yang akan didirikan memiliki kapasitas produksi total 3.120.000 keping biskuit per tahun dan 7.800 Kg tepung mix per tahun. Tepung mix merupakan campuran antara tepung ikan daging dan kepala lele serta isolat protein kedelai yang digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan biskuit ikan. Bahan baku ikan lele dumbo yang digunakan berasal dari beberapa tempat di Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat yang merupakan sentra produksi ikan lele dumbo di Indonesia. Berdasarkan informasi yang tersedia, diperkirakan pasokan bahan baku ikan lele dumbo segar untuk industri dapat terpenuhi. Biskuit ikan akan dijual dengan harga Rp 3.300 per empat keping dan tepung mix dijual dengan harga Rp 90.000 per kilogram. Kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo adalah 28 orang dengan kualifikasi sesuai dengan spesifikasi kerja yang menjadi tanggung jawab masing-masing pekerja. Dari hasil analisis lingkungan, industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo menghasilkan limbah berupa limbah cair, gas, dan padat yang tidak menimbulkan bahaya. Limbah yang dihasilkan diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke lingkungan. Total keseluruhan biaya investasi sebesar Rp 884.335.000, yang terdiri dari biaya investasi tetap sebesar Rp 687.775.000, dan biaya modal kerja sebesar Rp 196.650.000 pada tahun pertama. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo ini layak untuk didirikan. Berdasarkan perhitungan kriteria investasi, diperoleh nilai NPV industri ini sebesar Rp 2.176.702.231. Nilai IRR-nya sebesar 61%. Nilai Net B/C-nya sebesar 3. Payback period industri ini adalah selama 2 Tahun 1 Bulan. Titik impas selama umur proyek industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo berada pada saat harga jual biskuit ikan Rp 3.211 dan tepung mix Rp 122.730. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo memiliki sensitivitas yang tidak terlalu tinggi terhadap kenaikan harga bahan baku dan utilitas sebesar 30%. Namun, risiko yang cukup tinggi terjadi pada saat penurunan harga jual 20%. Sehingga apabila terjadi kenaikan
97
harga bahan baku dan utilitas lebih dari 30% atau penurunan harga jual lebih dari 20% persen, maka perusahaan akan mengalami kerugian.
B. Saran Berbagai informasi yang didapat dari kegiatan studi kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak, khususnya yayasan Inovasi dan teknologi (Inotek) Indonesia dan para pendiri PT. Carmelitha Lestari dalam merealisasikan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo di Darmaga Bogor. Beberapa saran yang perlu dipertimbangkan untuk menyempurnakan penelitian ini. 1. Perlu dilakukan pengkajian pasar yang lebih dalam dan detail agar diperoleh pasar potensial yang lebih baik sehingga pasar menjadi lebih jelas dan dilakukan peramalan terhadap permintaan pasar terhadap biskuit ikan saat ini. 2. Perlu dilakukan pengujian pasar yang lebih luas dan merata di seluruh Indonesia terhadap produk biskuit ikan yang dihasilkan, baik daya serap pasar maupun kesesuaian penentuan harga pasar dengan daya beli pasar. Melalui pengujian pasar ini dapat ditentukan strategi pasar yang tepat untuk memenuhi permintaan pasar biskuit ikan dan tepung mix.
98
DAFTAR PUSTAKA
Apple, J. M. 1990. Tata Letak Pabrik dan Penanganan Bahan. Mardiono dan Nurhayati, penerjemah; Sutalaksana I.Z., penyunting. Penerbit ITB Bandung. Terjemahan dari: Plant Layout and Material Handling. 3rd Edition. Annonymous. 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Penerbit Jembatan, Jakarta. _____.
2006. Pembenihan Ikan Lele Dumbo. Pembenihan_Ikan_Lele_Dumbo [19 Desember 2010].
http://viewtopic.ptp.htm/leledumbo/
_____. 2009. Isolat Protein. http://capuholic.blogspot.com/2009/08/isolat-protein.html [22 Februari 2011]. Adawyah, R. 2007. Penolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara, Jakarta. Arditha, R. 2011. Pengaruh Penyimpanan Terhadap Mutu Biskuit yang Diperkaya dengan tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max). [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ariyoto, K. 1990. Feasibility Study. Mutiara, Jakarta. Assauri, K. 1990. Feasibility Studi. Mutiara, Jakarta. Astawan, M. Lele Bantu Pertumbuhan Janin. http://wilystra2007.multiply.com/journal/item/62 /Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin [19 Desember 2010]. Badan Koordinasi Nasional. 2009. Jumlah Korban Bencana Tsunami Aceh dan Sumatera Barat. Aceh. Behrens, W dan P. M. Hawranek. 1991. Manual for The Preparation of Industrial Feasibility Studies. United Nations Industrial Development Organization, Vienna. Bierchfield, J. C. 1988. Design and Layout of Food Service Facilities. Di dalam Analisis Tata Letak Pabrik dan Keseimbangan Lini Dalam Proses Produksi Jus Buah (Studi Kasus di PT. Sari Segar Alami, Sentul). Jenni Eva L. S. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bluestein, P.M. & T.P. Labuza. 1988. Effect of Moisture Removal on Nutriens. Dalam E. Kermas dan RS Harris (ed.) Nutrional Evaluation of Food Processing 3 th Edition. Van Nostrand Reinhold, New York. Brennan, JG. 1974. Food Engineering Operations. Applied Science Publ. Ltd, London. De Garmo, E. P., W.G. Sullivan dan J.R. Ganada. 1984. Engineering Economy. 7th Edition. McMillan Publishing Co., Inc., New York. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. Biskuit. Nomor 01-2973. Departemen Perindustrian, Jakarta.
99
_____. 1995. Gula Halus. Nomor 01-3821. Departemen Perindustrian, Jakarta. _____. 1995. Bahan Pengembang. Nomor 01-0222. Departemen Perindustrian, Jakarta. _____. 1998. Biskuit Bayi. Nomor 01-4445. Departemen Perindustrian, Jakarta. _____. 2002. Lemak. Nomor. 01-3541. Departemen Perindustrian, Jakarta. _____. 2008. Telur Ayam Konsumsi. Nomor 3926. Departemen Perindustrian, Jakarta. _____. 2009. Tepung Terigu. Nomor 01-3751. Departemen Perindustrian, Jakarta. Djamin, Z. 1984. Perencanaan dan Analisis Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Wilayah Indonesia rawan gempa dan tsunami. Jakarta. Ditjen Perikanan Budidaya. 2010. Profil Perikanan Budidaya Kabupaten Bogor. Jawa Barat. Edris, M. 1993. Penuntun Menyusun Studi Kelayakan Proyek. Sinar Baru, Bandung. Yulianingsih, E. 2007. Proses Produksi Biskuit Di PT. Tiga Pilar Sejahtera Food TBK Unit IV Sragen Jawa Tengah. [Laporan Magang]. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. FAO/WHO. 1994. Guidelines on Formulated Suplementary Food for Older Infants and Young Children. Roma: FAO/WHO. Faridi, H dan J. M. Faubion. 1990. Dough Reologu and Baked Product Texture. Nostrand Reinhold, USA. Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc, New York. Fernando, E.R. 2008. Formulasi susu kacang tanah instan sebagai alternatif makanan pendamping ASI. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua. UI Press, Jakarta. Gray, C., P. Simanjuntak, L. K. Sabur, P. F. L. Maspatiella, dan R. G. C. Varley. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Heizer, J., B. Render. 2004. Principle of Operation Management. 7th Edition. Pearson Education Inc., New Jersey. Husnan, S. dan M. Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. UPP AMP YKPM, Yogyakarta. Ilyas, S. 1993. Kemungkinan Membuat Makanan dengan Kadar Protein Ikan Tinggi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Kadariah, L., Karlina, dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
100
_____. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Edisi Ketujuh. Jilid Kedua. Terjemahan. UI Press, Jakarta. LIPI. 1999. Tepung Ikan. Proyek Sistem Informasi Nasional Guna Menunjang Pembangunan, Jakarta. _____. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Maarif, M. S. 2003 Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Grasindo, Jakarta. Mahyuddin, K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya, Jakarta. Manley, D. 1998. Technology of Biscuit, Cracker, and Cookies Third Edition. CRC Press Washington. _____. 2000. Biscuit, Cracker, and Cookies Recipes for the Food Industry Third Edition. CRC Press Washington. Matthews, R.H. 1989. Legumes (Chemistry, Technology and Human Nutrition). Marcel Dekker Inc, New York. Matz, S. A. dan T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Co., Inc, Texas. Mervina. 2009. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Moeljanto. 1982a. Pengolahan Hasil-hasil Samping Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta. _____. 1982b. Penanganan Ikan Segar. Penebar Swadaya, Jakarta. _____. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya, Jakarta. Rieuwpassa F. 2005. Biskuit Konsentrat Protein Ikan dan Prebiotik sebagai Makanan Tambahan untuk Meningkatkan Antibodi IgA dan Status Gizi Anak Balita. [thesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Riset Kesehatan Dasar. 2010. Status Gizi Bayi dan Balita Indonesia. Dinas Kesehatan, Jakarta. Simarmata, D. A. 1992. Pendekatan Sistem dan Analisa Proyek Investasi dan Pasar Modal. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suharto, I. 2000. Manajemen Proyek, dari Konseptual sampai Operasional. Penerbit Erlangga, Jakarta.
101
Sultan, W.J. 1983. Modern Pastry Chef Vol. 1. The AVI Publishing, Westport, Connecticut. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor. Sutojo, S. 1983. Studi Kelayakan Proyek. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. _______. 1996. Studi Kelayakan Proyek. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. _______. 2002. Studi Kelayakan Proyek. Penerbit Damar, Jakarta. Suyanto, S. dan N. Y. Rachmatun. 2007. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya, Jakarta. Tarwotjo, C.S. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Gramedia Widiasarana, Jakarta. Umar, H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Vail, G.E., J.A. Philips, L.O. Rust et al.1978. Foods. 7th Edition. Houghton Mifflin Company, Boston. Whiteley, P.R. 1971. Foods. 7th Edition. Applied Sci. Publ., London. Winarno, 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta. Wiyati, D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri (Stolephorus sp.) Terhadap Karakteristik dan Daya Terima Biskuit untuk Anak Balita. [skripsi]. Program Studi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
102
LAMPIRAN
103
Lampiran 1. Kuisioner Pembobotan Lokasi Menggunakan Metode Pembanding Eksponensial
Nama responden : Iswindyartono Pekerjaaan
: Swasta
Tanggal pengisian: 13 April 2011
Pemilihan Lokasi Dengan Metode Perbandingan Eksponensial Berdasarkan Tingkat Kepentingan Tabel Pembobotan oleh Pakar Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih. Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Kriteria Keputusan Kemudahan mengakses bahan baku Jarak lokasi dengan sarana pendukung produksi Tingkat harga bahan baku Tingkat upah buruh di lokasi tersebut Tingkat biaya sewa lahan Tingkat biaya pendirian bangunan Ketersediaan lahan untuk kemungkinan perluasan industri Kondisi jalan menuju jalan raya Tingkat pajak bumi dan bangunan Ketersediaan sumber air Ketersediaan fasilitas listrik Kondisi iklim di lokasi Tingkat adaptasi masyarakat sekitar terhadap intoduksi modern Dukungan masyarakat disekitar lokasi Orientasi masyarakat sekitar terhadap bisnis komersil Tingkat sosial masyarakat disekitar lokasi Ketersediaan sumber daya manusia Kemudahan akses dengan pasar
1
Tingkat Kepentingan 2 3 4 √ √
5
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Keterangan: Nilai 1 2 3 4 5
Tingkat kepentingan Sangat tidak penting Tidak penting Cukup penting Penting Sangat penting
104
Pemilihan Lokasi Dengan Metode Perbandingan Eksponensial Berdasarkan Skala Nilai
Tabel Pembobotan oleh Pakar Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih. Desa Sukajadi Kriteria
1 1 2 3 4 5 6 7 8
Darmaga Hijau
Jenis Kriteria Keputusan Kemudahan mengakses bahan baku Tingkat harga bahan baku Tingkat upah buruh di lokasi tersebut Tingkat biaya sewa lahan Tingkat biaya pendirian bangunan Tingkat pajak bumi dan bangunan Orientasi masyarakat sekitar terhadap bisnis komersil Kemudahan akses dengan pasar
2
3 √
4
5
6
Nilai 7 1
2
3
4
5
√
√ √ √ √ √ √
√
6 √
√ √ √ √ √ √
Keterangan: Nilai
Kelompok kriteria nilai
1 2 3 4 5 6 7
Sangat rendah Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi Sangat tinggi
105
7
Tabel Pembobotan oleh Pakar Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih. Desa Sukajadi Kriteria
1 1 2 3 4 5 6 7 8
Darmaga Hijau
Jenis Kriteria Keputusan Ketersediaan lahan untuk kemungkinan perluasan industri Kondisi jalan menuju jalan raya Ketersediaan sumber air Ketersediaan fasilitas listrik Tingkat adaptasi masyarakat sekitar terhadap intoduksi modern Dukungan masyarakat disekitar lokasi Tingkat sosial masyarakat disekitar lokasi Ketersediaan sumber daya manusia
2
3
4
5 √
6
Nilai 7 1
2
3
4 √
5
√
6 √
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√ √
√
Keterangan: Nilai
Kelompok kriteria nilai
1 2 3 4 5 6 7
Sangat tidak baik Tidak baik Agak tidak baik Sedang Agak baik Baik Sangat Baik
106
7
Tabel Pembobotan oleh Pakar Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih. Desa Sukajadi Kriteria
1 1
Darmaga Hijau
Jenis Kriteria Keputusan Jarak lokasi dengan sarana pendukung produksi
2 √
3
4
5
6
Nilai 7 1
2
3
4
5
6 √
7
6
7
Keterangan: Nilai
Kelompok kriteria nilai
1 2 3 4 5 6 7
Sangat Jauh Jauh Agak jauh Sedang Agak dekat Dekat Sangat dekat
Tabel Pembobotan oleh Pakar Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom yang di pilih. Desa Sukajadi Kriteria
1 1
Darmaga Hijau
Jenis Kriteria Keputusan Kondisi iklim di lokasi
2
3
4 √
5
6
Nilai 7 1
2
3
4 √
5
Keterangan: Nilai 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok kriteria nilai Sangat tidak sesuai Tidak sesuai Agak tidak sesuai Sedang Agak sesuai Sesuai Sangat sesuai
107
6
4
Desa Darmaga
Tingkat Kepentingan
K1
3
Alternatif
4
6
2
K2
4
6
3
K3
3
5
5
K4
3
4
5
K5
4
5
5
K6
3
4
5
K7
4
6
2
K8
3
5
5
K9
4
5
3
K10
4
6
5
K11
Kriteria
2
4
5
K12
3
4
4
K13
3
4
4
K14
3
4
5
K15
3
5
4
K16
3
5
5
K17
4
6
3
K18
9862
2573
Nilai Alternatif Keputusan
1
2
Ranking Alternatif Keputusan
Hasil Perhitungan untuk Menentukan Lokasi Pendirian Industri Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max )
Desa Sukajadi
108
Lampiran 2. Dokumentasi Calon Lokasi Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan
Tampak Depan Bangunan Pabrik
Bagian Dalam Calon Ruang Produksi
Bagian Dalam Calon Ruang Kantor
Tampak Samping Bangunan Pabrik
Bagian Dalam Calon Ruang Gudang Bahan Baku
Bagian Dalam Calon Toilet
109
Lampiran 3. Denah Ruangan Pabrik Industri Tepung dan Biskuit Ikan
IPAL
Mushola 2m
CO
2m
Ruang produksi biskuit ikan Ruang Laboratorium
HW
Gudang produk 4m
Ruang produksi tepung ikan lele dumbo
Ruang pengemasan
Gudang Bahan baku
Ruang sortasi dan pencucian
6'-1"
9'-10 1/8"
4m
Kantor
Area parkir
3m
3m
110
Lampiran 4. Layout Ruang Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo
HW
C 1.8 m
4m
B
E D 2m
A F
3m
Keterangan: A : Timbangan B : Retort chamber C : Pressure pneumatic D : Mesin penggiling basah E : Drum dryer F : Mesin Penggiling kering HW : Boiler
111
Lampiran 5. Layout Ruang Produksi Biskuit Ikan
C B
2m
D
4m 1m
E
A
2m
Keterangan: A : Timbangan B : Mixer C : Lemari pendingin D : Dough Sheeter E : Gas baking oven
112
Lampiran 6. Asumsi – Asumsi untuk Analisis Finansial Industri Tepung dan Biskuit Ikan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12
13
14
15
16 17 18 19 20 21 22 23
Variabel Asumsi Umur proyek Hari kerja per bulan Bulan kerja per tahun Jumlah hari kerja per tahun Nilai sisa bangunan dari nilai awal Nilai sisa tanah dari nilai awal Nilai sisa mesin dan peralatan dari nilai awal Nilai sisa kendaraan Umur ekonomis peralatan kantor, mesin dan peralatan, serta kendaraan Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan dari harga Kapasitas produksi a. Biskuit ikan b. Tepung mix Target kapasitas produksi a. Tahun 1 b. Tahun 2 c. Tahun 3 dan seterusnya Kebutuhan bahan baku/ hari a. Ikan lele dumbo b. Isolat protein kedelai c. Tepung terigu d. Gula bubuk e. Telur ayam f. Margarin g. Tepung susu h. Baking powder i. Maizena j. Air Harga bahan baku/ kg a. Ikan lele dumbo b. Isolat protein kedelai c. Tepung terigu d. Gula bubuk e. Telur ayam f. Margarin g. Tepung susu h. Baking powder Harga jual a. Biskuit ikan b. Tepung mix Discount factor Kebutuhan bahan bakar/ bulan Kontingensi Jumlah kemasan yang dibutuhkan/ hari Harga kemasan Pajak Biaya distribusi Perbaikan total mesin produksi
Satuan Tahun Hari Bulan Hari % % % %
Nilai 10 26 12 312 50 100 10 20
Tahun
5
%
2
Keping/ hari Kg/ hari
10.000 25
% % %
60% 80% 100%
Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg
84 34 42 30 30 30 10 2 2,5 7,5
Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Bungkus Kg % Rupiah % Bungkus Bungkus % % %
13.000 62.000 7.000 12.000 13.000 8.500 27.000 9.000 3300 90.000 18 1.500.000 10 3000 15 28 10 40
113
Lampiran 7. Perincian Kebutuhan Investasi Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan No
Komponen
1
Biaya Persiapan Studi kelayakan Izin sertifikasi BPOM Perizinan lokasi usaha Akte perusahaan dan pengesahan Sub Total Tanah & Bangunan Tanah Bangunan Sub Total Instalasi Penunjang Instalasi Mesin Instalasi listrik Instalasi IPAL Generator Kompresor Sub Total Mesin dan Peralatan a. Mesin produksi tepung Retort Chamber Pressure Pneumatic Alat Pengering (Drying Drum) Pengiling Basah (grinder) Penggiling Kering (disc mill) Boiler Freezer Pengemas Timbangan Dacin Bak pencucian Sub Total b. Mesin produksi biskuit Timbangan Mixer Lemari pendingin Dough Sheeter Dough Moulder Oven Loyang Tabung gas Pengemas Peralatan kebersihan Sub Total c. Alat laboratorium Sub Total d. Perlengkapan utilitas Sub Total Sub Total Perlengkapan Kantor Meja kursi kantor Telepon Alat tulis kantor Komputer
2
3
4
5
Harga/ unit (Rp)
Nilai Total (Rp)
Jumlah
Satuan
1 1 1 1
Paket Paket Paket Paket
55.000.000 5.000.000 5.000.000 10.000.000
55.000.000 5.000.000 5.000.000 10.000.000 75.000.000
72 72
m2 m2
1.000.000 694.000
72.000.000 50.000.000 122.000.000
1 1 1 1 1
Paket Paket Paket Unit Unit
7.500.000 2.500.000 10.000.000 5.000.000 2.500.000
7.500.000 2.500.000 10.000.000 5.000.000 2.500.000 27.500.000
1 1 1 1 1 1 2 1 1 2
Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit
15.000.000 15.000.000 100.000.000 10.000.000 10.000.000 15.000.000 2.500.000 2.000.000 350.000 50.000
15.000.000 15.000.000 100.000.000 10.000.000 10.000.000 15.000.000 5.000.000 2.000.000 350.000 100.000 152.450.000
1 1 1 1 1 1 20 5 2 1
Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Tabung Unit Paket
350.000 5.500.000 2.000.000 8.500.000 15.000.000 7.500.000 100.000 40.000 2.000.000 150.000
1
Paket
20.000.000
1
Paket
10.000.000
350.000 11.000.000 2.000.000 8.500.000 15.000.000 7.500.000 2.000.000 200.000 4.000.000 150.000 50.700.00 20.000.000 20.000.000 10.000.000 10.000.000 233.150.000
1 2 1 2
Paket Unit Paket Unit
7.000.000 150.000 800.000 4.000.000
7.000.000 300.000 800.000 8.000.000
114
Lampiran 7. Perincian Kebutuhan Investasi Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan) No
6
Komponen Printer & fax Sub Total Sarana Distribusi Mobil box Sub Total Total Kontingensi 10% Total Investasi
Unit
Harga/ unit (Rp) 1.500.000
Nilai Total (Rp) 1.500.000 17.600.000
Unit
150.000.000
150.000.000 150.000.000 625.250.000 62.525.000 687.775.000
Jumlah
Satuan
1
1
115
115
3
2
1
No.
75.000.000
Sub Total
50.000.000 122.000.000
Bangunan
Sub Total
2.500.000 27.500.000
Kompresor
Sub Total
10.000.000
Instalasi IPAL 5.000.000
2.500.000
Instalasi listrik
Generator
7.500.000
Instalasi Mesin
Instalasi Penunjang
72.000.000
Tanah
Tanah & Bangunan
10.000.000
5.000.000
Perizinan lokasi usaha
Akte perusahaan dan pengesahan
5.000.000
55.000.000
Harga Awal (Rp)
Izin sertifikasi BPOM
Studi kelayakan
Biaya Persiapan
Komponen
10
10
10
10
10
2.475.000
225.000
450.000
900.000
225.000
675.000
4.500.000
4.500.000
(Rp)
(Tahun)
10
Biaya Penyusutan
Umur Ekonomi
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB
550.000
50.000
100.000
200.000
50.000
150.000
1.000.000
1.000.000
Biaya Pemeliharaan (Rp)
122.000
50.000
72.000
(Rp)
Pajak
116
4
No.
5.000.000 2.000.000
Freezer
Pengemas
Lemari pendingin
Mixer
Timbangan
Sub Total b. Mesin produksi biskuit
2.000.000
11.000.000
350.000
152.450.000
100.000
15.000.000
Boiler
Bak pencucian
10.000.000
Penggiling Kering (disc mill)
350.000
10.000.000
Pengiling Basah (grinder)
Timbangan Dacin
100.000.000
15.000.000
Alat Pengering (Drying Drum)
15.000.000
Pressure Pneumatic
Harga Awal (Rp)
Retort Chamber
Mesin dan Peralatan a. Mesin produksi tepung
Komponen
10
10
10
5
10
10
10
10
10
10
10
10
10
Umur Ekonomi (Tahun)
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB (Lanjutan)
180.000
990.000
31.500
15.527.500
16.000
31.500
180.000
450.000
1.350.000
900.000
900.000
9.000.000
1.350.000
1.350.000
Biaya Penyusutan (Rp)
40.000
220.000
7.000
3.449.000
2.000
7.000
40.000
100.000
300.000
200.000
200.000
2.000.000
300.000
300.000
Biaya Pemeliharaan (Rp)
Pajak (Rp)
117
5
No.
233.150.000
Sub Total
17.600.000
1.500.000
Printer & fax
Sub Total
8.000.000
800.000
Alat tulis kantor
Komputer
300.000
Telepon
Meja kursi kantor
7.000.000
10.000.000
Sub Total
Perlengkapan Kantor
900.000
10.000.000
d. Perlengkapan utilitas
5
5
5
10
10
2.305.000
240.000
1.280.000
128.000
27.000
630.000
22.801.000
900.000
1.800.000
20.000.000
Sub Total 10
1.800.000
10
20.000.000
c. Alat laboratorium
24.000
360.000
18.000
180.000
675.000
1.350.000
765.000
Biaya Penyusutan (Rp)
4.573.500
5
10
10
10
10
10
10
Umur Ekonomi (Tahun)
50.700.00
Sub Total
150.000
4.000.000
Pengemas
Peralatan kebersihan
200.000
2.000.000
Loyang
Tabung gas
7.500.000
15.000.000
Dough Moulder
Oven
8.500.000
Harga Awal (Rp)
Dough Sheeter
Komponen
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB (Lanjutan)
352.000
30.000
160.000
16.000
6.000
140.000
5.063.000
200.000
200.000
400.000
400.000
1.014.000
3.000
80.000
4.000
40.000
150.000
300.000
170.000
Biaya Pemeliharaan (Rp)
Pajak (Rp)
118
150.000.000 150.000.000 625.250.000
Sub Total
Total
Sarana Distribusi
6
Harga Awal (Rp)
Mobil box
Komponen
No.
Umur Ekonomi (Tahun)
Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB (Lanjutan)
5 56.081.000
24.000.000
24.000.000
Biaya Penyusutan (Rp)
9.965.000
3.000.000
3.000.000
Biaya Pemeliharaan (Rp)
122.000
Pajak (Rp)
119
Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung
1
orang/ bulan orang/ bulan
1 1 1 2 1
g. Staff administrasi
h. Staff keuangan
i. Sopir
j. Security
k. Laboran
Total
orang/ bulan
1
f. Staff logistik
orang/ bulan
orang/ bulan
orang/ bulan
orang/ bulan
2
e. Staff pemasaran
orang/ bulan
1
orang/ bulan
orang/ bulan
1
1
orang/ bulan
Satuan
1
Jumlah
d. Manajer Administrasi dan Keuangan
c. Manajer Logistik
b. Manajer Produksi dan QC
a. Direktur
Biaya Tetap
Komponen
A.
No
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan
1.500.000
1.500.000
1.500.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
3.000.000
3.000.000
3.000.000
3.500.000
(Rp)
Biaya satuan
18.000.000
36.000.000
18.000.000
24.000.000
24.000.000
24.000.000
24.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
42.000.000
Biaya satuan per tahun (Rp)
18.000.000 318.000.000
36.000.000
18.000.000
24.000.000
24.000.000
24.000.000
24.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
42.000.000
(Rp)
Total
120
1 1
c. Telepon & internet
d. Transportasi
Penyusutan
Pemeliharaan
Pajak
4
5
6
Total Biaya Tetap
Promosi & pemasaran
1
1
b. Bahan bakar
Total
1
Jumlah
a. Listrik dan air
Biaya Administrasi
Komponen
3
2
No
per bulan
per bulan
per bulan
per bulan
per bulan
Satuan
3,000,000
2,000,000
500,000
1,500,000
3,000,000
Biaya satuan (Rp)
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)
36,000,000
24,000,000
6,000,000
18,000,000
36,000,000
Biaya satuan per tahun (Rp)
504,168,000
122,000
9,965,000
56,081,000
36,000,000
84,000,000
24,000,000
6,000,000
18,000,000
36,000,000
Total (Rp)
121
Total
195
j. Air
260,52
g. Tepung susu
65
781,56
f. Margarin
i. Maizena
781,56
e. Telur ayam
52
781,56
d. Gula bubuk
h. Baking powder
1.085,50
884
b. Isolat protein kedelai
c. Tepung terigu
2.184
Bahan Baku
1
Jumlah
a. Ikan lele dumbo
Biaya Variabel
Komponen
B.
No
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
kg/ bulan
Satuan
250.000
427.000
468.000
7.000.040
6.000.260
10.160.280
9.378.720
7.598.500
54.808.000
28.392.000
Biaya satuan (Rp)
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)
3.000.000
5.124.000
5.616.000
84.000.480
72.003.120
121.923.360
112.544.640
91.182.000
657.696.000
340.704.000
Biaya satuan per tahun (Rp)
1.493.793.600
3.000.000
5.124.000
5.616.000
84.000.480
72.003.120
121.923.360
112.544.640
91.182.000
657.696.000
340.704.000
Total (Rp)
122
3
2
No
Total Biaya Variabel Total Biaya Tetap + Biaya Variabel
Total
Operator alat
Biaya Tenaga Kerja Langsung
Total
Kemasan Plastik
Bahan utilitas
Komponen
12
83.200
Jumlah
orang/ bulan
bungkus/ bulan
Satuan
1.500.000
1.248.000
Biaya satuan (Rp)
Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)
216.000.000
14.976.000
Biaya satuan per tahun (Rp)
2.228.937.600
1.724.769.600
216.000.000
216.000.000
14.976.000
14.976.000
Total (Rp)
Lampiran 10. Kebutuhan Biaya Operasional Industri Tepung dan Biskuit Ikan
Komponen
Tahun ke- (Rp) 1
2
3
4
5
Biaya penyusutan
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
Biaya pemeliharaan
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
Biaya Promosi
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
Biaya administrasi Biaya tenaga kerja tak langsung Pajak
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
122.000
122.000
122.000
122.000
122.000
Sub Total
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
896.276.160
1.195.034.880
1.493.793.600
1.493.793.600
1.493.793.600
8.985.600
11980800
14.976.000
14.976.000
14.976.000
129.600.000
172800000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
Sub Total
1.034.861.760
1.379.815.680
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
Total
1.539.029.760
1.883.983.680
2.228.937.600
2.228.937.600
2.228.937.600
A. Biaya Tetap
B. Biaya Variabel Biaya bahan baku Biaya bahan utilitas Biaya tenaga kerja langsung
Komponen
Tahun ke- (Rp) 6
7
8
9
10
A. Biaya Tetap Biaya penyusutan
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
Biaya pemeliharaan
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
Biaya Promosi
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
Biaya administrasi Biaya tenaga kerja tak langsung
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
122.000
122.000
122.000
122.000
122.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
1.493.793.600
1.493.793.600
1.493.793.600
1.493.793.600
1.493.793.600
14.976.000
14.976.000
14.976.000
14.976.000
14.976.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
Sub Total
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
Total
2.228.937.600
2.228.937.600
2.228.937.600
2.228.937.600
2.228.937.600
Pajak Sub Total B. Biaya Variabel Biaya bahan baku Biaya bahan utilitas Biaya tenaga kerja langsung
123
Kapasitas Produksi
60%
80%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
780.000
780.000
780.000
780.000
780.000
780.000
780.000
780.000
624.000
468.000
Produksi biskuit ikan per tahun (bungkus)
7.800
7.800
7.800
7.800
7.800
7.800
7.800
7.800
6.240
4.680
Produksi tepung mix per tahun (kg)
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
Biaya tetap (Rp/ tahun)
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.379.815.680
1.034.861.760
Biaya Variabel (Rp/ tahun)
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
Harga jual biskuit ikan (Rp)
Lampiran 11. Rekapitulasi Produksi dan Proyeksi Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan
Tahun ke-
124
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
Harga jual tepung mix (Rp)
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.059.200.000
1.544.400.000
Penerimaan biskuit ikan (Rp)
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
561.600.000
421.200.000
Penerimaan tepung mix (Rp)
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
2.620.800.000
1.965.600.000
Total penerimaan (Rp)
Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi Industri Tepung dan Biskuit Ikan
Deskripsi
Tahun ke1
2
3
4
5
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
468.000
624.000
780.000
780.000
780.000
1.544.400.000
2.059.200.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
Harga (Rp)
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
Volume produksi (Kg)
4.680
6.240
7.800
7.800
7.800
421.200.000
561.600.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
1.965.600.000
2.620.800.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
Biaya variabel (Rp)
1.034.861.760
1.379.815.680
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
Total Pengeluaran (Rp) C. Laba sebelum pajak (Rp)
1.539.029.760 426.570.240
1.883.983.680 736.816.320
2.228.937.600 1.047.062.400
2.228.937.600 1.047.062.400
2.228.937.600 1.047.062.400
119.439.667
206.308.570
293.177.472
293.177.472
293.177.472
307.130.573
530.507.750
753.884.928
753.884.928
753.884.928
A. Penerimaan 1. Biskuit ikan Harga (Rp) Volume produksi (bungkus) Penjualan biskuit ikan (Rp) 2. Tepung mix
Penjualan tepung mix (Rp) Total Penerimaan (Rp) B. Pengeluaran Biaya tetap (Rp)
D. Pajak Penghasilan (Rp) E. Laba Setelah Pajak (Rp)
125
Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi Industri Tepung dan Biskuit Ikan (Lanjutan)
Deskripsi
Tahun ke6
7
8
9
10
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
780.000
780.000
780.000
780.000
780.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
Harga (Rp)
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
Volume produksi (Kg)
7.800
7.800
7.800
7.800
7.800
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
Biaya variabel (Rp)
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
Total Pengeluaran (Rp) C. Laba sebelum pajak (Rp)
2.228.937.600 1.047.062.400
2.228.937.600 1.047.062.400
2.228.937.600 1.047.062.400
2.228.937.600 1.047.062.400
2.228.937.600 1.047.062.400
293.177.472
293.177.472
293.177.472
293.177.472
293.177.472
753.884.928
753.884.928
753.884.928
753.884.928
753.884.928
A. Penerimaan 1. Biskuit ikan Harga (Rp) Volume produksi (bungkus) Penjualan biskuit ikan (Rp) 2. Tepung mix
Penjualan tepung mix (Rp) Total Penerimaan (Rp) B. Pengeluaran Biaya tetap (Rp)
D. Pajak Penghasilan (Rp) E. Laba Setelah Pajak (Rp)
126
Lampiran 13. Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan
Deskripsi Investasi Modal kerja
Tahun ke- (Rp) 0
(196.560.000)
Penyusutan
Deskripsi
2
3
4
5
(687.775.000)
Laba bersih
Total Aliran Kas Bersih
1
(884.335.000)
(65.520.000) 307.130.573
(65.520.000) 530.507.750
753.884.928
753.884.928
753.884.928
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
297.691.573
521.068.750
809.965.928
809.965.928
809.965.928
Tahun ke - (Rp) 6
7
8
9
10
Investasi Modal kerja Laba bersih Penyusutan Total Aliran Kas Bersih
327.600.000 56.081.000
56.081.000
56.081.000
753.884.928
753.884.928
753.884.928
753.884.928
809.965.928
809.965.928
809.965.928
1.137.565.928
56.081.000
56.081.000
753.884.928 809.965.928
127
Lampiran 14. Kriteria Kelayakan Investasi
Bt - Ct
Akumulasi
PV
NPV kumulatif
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
0
(884.335.000)
(884.335.000)
1
(884.335.000)
(884.335.000)
1
297.691.573
(586.643.427)
0,847457627
252.280.994
(632.054.006)
2
521.068.750
(65.574.677)
0,71818443
374.223.463
(257.830.543)
3
809.965.928
744.391.251
0,608630873
492.970.270
235.139.727
4
809.965.928
1.554.357.179
0,515788875
417.771.415
652.911.142
5
809.965.928
2.364.323.107
0,437109216
354.043.572
1.006.954.714
6
809.965.928
3.174.289.035
0,370431539
300.036.925
1.306.991.639
7
809.965.928
3.984.254.963
0,313925033
254.268.581
1.561.260.220
8
809.965.928
4.794.220.891
0,266038164
215.481.848
1.776.742.068
9
809.965.928
5.604.186.819
0,225456071
182.611.736
1.959.353.804
10
1.137.565.928
6.741.752.747
0,191064467
217.348.428
2.176.702.231
Tahun ke-
DF 18 %
Kriteria
Nilai
NPV (Rp)
2.176.702.231
IRR (%)
61
PBP (Tahun)
2 Tahun 1 Bulan
Net B/C
3
128
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% Kebutuhan Biaya Operasional Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30%
Komponen
Tahun ke- (Rp) 1
2
3
4
5
Biaya penyusutan
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
Biaya pemeliharaan
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
Biaya Promosi
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
Biaya administrasi
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
Biaya tenaga kerja tak langsung
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
122.000
122.000
122.000
122.000
122.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
1.514.706.710
1.553.545.344
1.941.931.680
1.941.931.680
1.941.931.680
15.185.664
20.247.552
19.468.800
19.468.800
19.468.800
A. Biaya Tetap
Pajak Sub Total B. Biaya Variabel Biaya bahan baku Biaya bahan utilitas Biaya tenaga kerja langsung Sub Total
129.600.000
172.800.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
1.659.492.374
1.746.592.896
2.177.400.480
2.177.400.480
2.177.400.480
Total
2.163.660.374
2.250.760.896
2.681.568.480
2.681.568.480
2.681.568.480
Komponen
Tahun ke- (Rp) 6
7
8
9
10
Biaya penyusutan
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
Biaya pemeliharaan
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
Biaya Promosi
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
Biaya administrasi
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
Biaya tenaga kerja tak langsung
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
122.000
122.000
122.000
122.000
122.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
1.941.931.680
1.941.931.680
1.941.931.680
1.941.931.680
1.941.931.680
19.468.800
19.468.800
19.468.800
19.468.800
19.468.800
A. Biaya Tetap
Pajak Sub Total B. Biaya Variabel Biaya bahan baku Biaya bahan utilitas Biaya tenaga kerja langsung Sub Total
216.000.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
2.177.400.480
2.177.400.480
2.177.400.480
2.177.400.480
2.177.400.480
Total
2.681.568.480
2.681.568.480
2.681.568.480
2.681.568.480
2.681.568.480
129
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)
Laporan Laba Rugi Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30%
Deskripsi
Tahun ke1
2
3
4
5
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
468.000
624.000
780.000
780.000
780.000
1.544.400.000
2.059.200.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
Harga (Rp)
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
Volume produksi (Kg)
4.680
6.240
7.800
7.800
7.800
421.200.000
561.600.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
1.965.600.000
2.620.800.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
1.345.320.288
1.793.760.384
2.242.200.480
2.242.200.480
2.242.200.480
1.849.488.288
2.297.928.384
2.746.368.480
2.746.368.480
2.746.368.480
116.111.712
322.871.616
529.631.520
529.631.520
529.631.520
32.511.279
90.404.052
148.296.826
148.296.826
148.296.826
83.600.433
232.467.564
381.334.694
381.334.694
381.334.694
A. Penerimaan 1. Biskuit ikan Harga (Rp) Volume produksi (bungkus) Penjualan biskuit ikan (Rp) 2. Tepung mix
Penjualan tepung mix (Rp) Total Penerimaan (Rp) B. Pengeluaran Biaya tetap (Rp) Biaya variabel (Rp) Total Pengeluaran (Rp) C. Laba sebelum pajak (Rp) D. Pajak Penghasilan (Rp) E. Laba Setelah Pajak (Rp)
130
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)
Laporan Laba Rugi Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)
Deskripsi
Tahun ke6
7
8
9
10
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
780.000
780.000
780.000
780.000
780.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
2.574.000.000
Harga (Rp)
90.000
90.000
90.000
90.000
90.000
Volume produksi (Kg) Penjualan tepung mix (Rp) Total Penerimaan (Rp) B. Pengeluaran
7.800
7.800
7.800
7.800
7.800
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
702.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
3.276.000.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
2.242.200.480
2.242.200.480
2.242.200.480
2.242.200.480
2.242.200.480
2.746.368.480
2.746.368.480
2.746.368.480
2.746.368.480
2.746.368.480
529.631.520
529.631.520
529.631.520
529.631.520
529.631.520
148.296.826
148.296.826
148.296.826
148.296.826
148.296.826
381.334.694
381.334.694
381.334.694
381.334.694
381.334.694
A. Penerimaan 1. Biskuit ikan Harga (Rp) Volume produksi (bungkus) Penjualan biskuit ikan (Rp) 2. Tepung mix
Biaya tetap (Rp) Biaya variabel (Rp) Total Pengeluaran (Rp) C. Laba sebelum pajak (Rp) D. Pajak Penghasilan (Rp) E. Laba Setelah Pajak (Rp)
131
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)
Perhitungan Arus Kas Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30%
Deskripsi Investasi Modal kerja
Tahun ke- (Rp) 0
2
3
4
5
(687.775.000) (196.560.000)
Laba bersih Penyusutan Total Aliran Kas Bersih
1
(884.335.000)
(65.520.000) 83.600.433
(65.520.000) 232.467.564
381.334.694
381.334.694
381.334.694
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
74.161.433
223.028.564
437.415.694
437.415.694
437.415.694
Deskripsi 6
7
Tahun ke (Rp) 8
9
10
Investasi Modal kerja Laba bersih Penyusutan Total Aliran Kas Bersih
327.600.000 381.334.694 56.081.000
381.334.694 56.081.000
437.415.694
437.415.694
381.334.694
381.334.694
381.334.694
56.081.000
56.081.000
56.081.000
437.415.694
437.415.694
765.015.694
132
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% (Lanjutan)
Kriteria Kelayakan Investasi Tahun ke-
Bt - Ct
Akumulasi
(Rp)
(Rp)
0
(884.335.000)
(884.335.000)
1
74.161.433
2
PV
NPV kumulatif
(Rp)
(Rp)
1
(884.335.000)
(884.335.000)
(810.173.567)
0,847457627
62.848.672
(821.486.328)
223.028.564
(587.145.004)
0,71818443
160.175.642
(661.310.687)
3
437.415.694
(149.729.309)
0,608630873
266.224.696
(395.085.991)
4
437.415.694
287686385
0,515788875
225.614.149
(169.471.842)
5
437.415.694
725.102.079
0,437109216
191.198.431
21.726.590
6
437.415.694
1.162.517.774
0,370431539
162.032.569
183.759.159
7
437.415.694
1.599.933.468
0,313925033
137.315.736
321.074.895
8
437.415.694
2.037.349.163
0,266038164
116.369.268
437.444.163
9
437.415.694
2.474.764.857
0,225456071
98.618.024
536.062.187
10
765.015.694
3.239.780.551
0,191064467
146.167.316
682.229.503
Kriteria
Nilai
NPV (Rp)
682.229.503
IRR (%)
33
PBP (Tahun)
3 Tahun 4 Bulan
Net B/C
2
BEP
Nilai
Harga jual biskuit/ bungkus (Rp)
2.997
Harga jual tepung mix/ kg (Rp)
59.717
Produksi biskuit (Bungkus)
681.950
Produksi tepung mix (Kg)
4.205
DF 18 %
133
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% Kebutuhan Biaya Operasional Harga Jual Turun 20%
Komponen
Tahun ke- (Rp) 1
2
3
4
5
Biaya penyusutan
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
Biaya Promosi
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
Biaya administrasi
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
Biaya pemeliharaan
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
122.000
122.000
122.000
122.000
122.000
186.168.000
186.168.000
186.168.000
186.168.000
186.168.000
896.276.160
1.195.034.880
1.493.793.600
1.493.793.600
1.493.793.600
8.985.600
11980800
14.976.000
14.976.000
14.976.000
A. Biaya Tetap
Pajak Sub Total B. Biaya Variabel Biaya bahan baku Biaya bahan utilitas Biaya tenaga kerja langsung Sub Total
129.600.000
172800000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
1.034.861.760
1.379.815.680
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
Total
1.221.029.760
1.565.983.680
1.910.937.600
1.910.937.600
1.910.937.600
Komponen
Tahun ke- (Rp) 6
7
8
9
10
Biaya penyusutan
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
Biaya Promosi
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
36.000.000
Biaya administrasi
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
84.000.000
Biaya pemeliharaan
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
9.965.000
Biaya tenaga kerja tak langsung
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
318.000.000
122.000
122.000
122.000
122.000
122.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
896.276.160
1.195.034.880
1.493.793.600
1.493.793.600
1.493.793.600
8.985.600
11980800
14.976.000
14.976.000
14.976.000
A. Biaya Tetap
Pajak Sub Total B. Biaya Variabel Biaya bahan baku Biaya bahan utilitas Biaya tenaga kerja langsung Sub Total
129.600.000
172800000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
1.034.861.760
1.379.815.680
1.724.769.600
1.724.769.600
1.724.769.600
Total
1.539.029.760
1.883.983.680
2.228.937.600
2.228.937.600
2.228.937.600
134
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)
Laporan Laba Rugi Bahan Harga Jual Turun 20%
Deskripsi
Tahun ke1
2
3
4
5
2.640
2.640
2.640
2.640
2.640
468.000
624.000
780.000
780.000
780.000
1.235.520.000
1.647.360.000
2.059.200.000
2.059.200.000
2.059.200.000
72.000
72.000
72.000
72.000
72.000
4.680
6.240
7.800
7.800
7.800
336.960.000
449.280.000
561.600.000
561.600.000
561.600.000
1.572.480.000
2.096.640.000
2.620.800.000
2.620.800.000
2.620.800.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
1.034.861.760
1.379.815.680
1.724.769.000
1.724.769.000
1.724.769.000
1.539.029.760
1.883.983.680
2.228.937.000
2.228.937.000
2.228.937.000
33.450.240
212.656.320
391.863.000
391.863.000
391.863.000
9.366.067
59.543.770
109.721.640
109.721.640
109.721.640
24.084.173
153.112.550
282.141.360
282.141.360
282.141.360
A. Penerimaan 1. Biskuit ikan Harga (Rp) Volume produksi (bungkus) Penjualan biskuit ikan (Rp) Harga (Rp) Volume produksi (Kg) Penjualan tepung mix (Rp) Total Penerimaan (Rp) B. Pengeluaran Biaya tetap (Rp) Biaya variabel (Rp) Total Pengeluaran (Rp) D. Laba sebelum pajak (Rp) E. Pajak Penghasilan (Rp) F. Laba Setelah Pajak (Rp)
135
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)
Laporan Laba Rugi Bahan Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)
Deskripsi
Tahun ke6
7
8
9
10
2.640
2.640
2.640
2.640
2.640
780.000
780.000
780.000
780.000
780.000
2.059.200.000
2.059.200.000
2.059.200.000
2.059.200.000
2.059.200.000
Harga (Rp)
72.000
72.000
72.000
72.000
72.000
Volume produksi (Kg) Penjualan tepung mix (Rp) Total Penerimaan (Rp) B. Pengeluaran
7.800
7.800
7.800
7.800
7.800
561.600.000
561.600.000
561.600.000
561.600.000
561.600.000
2.620.800.000
2.620.800.000
2.620.800.000
2.620.800.000
2.620.800.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
504.168.000
1.724.769.000
1.724.769.000
1.724.769.000
1.724.769.000
1.724.769.000
2.228.937.000
2.228.937.000
2.228.937.000
2.228.937.000
2.228.937.000
391.863.000
391.863.000
391.863.000
391.863.000
391.863.000
109.721.640
109.721.640
109.721.640
109.721.640
109.721.640
282.141.360
282.141.360
282.141.360
282.141.360
282.141.360
A. Penerimaan 1. Biskuit ikan Harga (Rp) Volume produksi (bungkus) Penjualan biskuit ikan (Rp) 2. Tepung mix
Biaya tetap (Rp) Biaya variabel (Rp) Total Pengeluaran (Rp) D. Laba sebelum pajak (Rp) E. Pajak Penghasilan (Rp) F. Laba Setelah Pajak (Rp)
136
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)
Perhitungan Arus Kas Harga Jual Turun 20%
Deskripsi Investasi Modal kerja
Tahun ke- (Rp) 0
2
3
4
5
(687.775.000) (196.560.000)
Laba bersih Penyusutan Total Aliran Kas Bersih
1
(884.335.000)
(65.520.000) 24.084.173
(65.520.000) 153.112.550
282.141.360
282.141.360
282.141.360
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
56.081.000
14.645.173
143.673.550
338.222.360
338.222.360
338.222.360
Deskripsi 6
7
Tahun ke (Rp) 8
9
10
Investasi Modal kerja Laba bersih Penyusutan Total Aliran Kas Bersih
327.600.000 282.141.360 56.081.000
282.141.360 56.081.000
338.222.360
338.222.360
282.141.360
282.141.360
282.141.360
56.081.000
56.081.000
56.081.000
338.222.360
338.222.360
665.822.360
137
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun 20% (Lanjutan)
Kriteria Kelayakan Investasi Tahun ke-
Bt - Ct
Akumulasi
(Rp)
(Rp)
0
(884.335.000)
(884.335.000)
1
14645173
2
PV
NPV kumulatif
(Rp)
(Rp)
1
(884.335.000)
(884.335.000)
(869.689.827)
0,84745763
12.411.163
(871.923.837)
143.673.550
(726.016.277)
0,71818443
103.184.107
(768.739.730)
3
338.222.360
(387.793.917)
0,60863087
205.852.570
(562.887.160)
4
338.222.360
(49.571.557)
0,51578888
174.451.331
(388.435.829)
5
338.222.360
288.650.803
0,43710922
147.840.111
(240.595.718)
6
338.222.360
626.873.163
0,37043154
125.288.229
(115.307.489)
7
338.222.360
965.095.523
0,31392503
106.176.466
(9.131.023)
8
338.222.360
1.303.317.883
0,26603816
89.980.056
80.849.032
9
338.222.360
1.641.540.243
0,22545607
76.254.284
157.103.317
10
665.822.360
2.307.362.603
0,19106447
127.214.994
284.318.311
Kriteria
Nilai
NPV (Rp)
284.318.311
IRR (%)
24
PBP (Tahun)
4 Tahun 2 Bulan
Net B/C
1
BEP
Nilai
Harga jual biskuit/ bungkus (Rp)
2.514
Harga jual tepung mix/ kg (Rp)
59.380
Produksi biskuit (Bungkus)
728.922
Produksi tepung mix (Kg)
5.927
DF 18 %
138