FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG
MERVINA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT MERVINA. Biscuit Formulation with Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Fish Flour and Isolate Soy (Glicine max) Protein Substitution as Potential Food for Undernourished Children. Under direction of SRI ANNA MARLIYATI and CLARA M. KUSHARTO Fish is protein source, which good for enhance nutrition status because it is categorized as high quality food. Fish flour is one of fish product that has not been optimally developed especially as food. The objective of this research was to make biscuit formulation with lele dumbo (Clarias gariepinus) fish flour and isolate soy (Glicine max) protein as high protein food for children especially under five years old children that have undernourished status. The objective of addition isolate soy protein beside to increase protein content also for produce a better biscuit texture. The method to make the fish flour is based on thermal process using drum dryer. The fish flour made separately from body part and head part. Then physical and chemical properties were analyzed. Biscuit was formulated by using fish flour and isolate soy protein with trial and error method. Formula was determined based on panelist preference. Acceptance of preferred formula was examined by children and children’s mother using hedonic test. Then biscuit properties determined by physical and chemical analysis. The protein biscuit contribution were counted based on Recommended Daily Allowance for under five years old children. As the result formula F4 was preferred formula that made by 3.5% body fish flour, 1.5% head fish flour, and 10% isolate soy protein. Chemical properties for formula F4 is 4,13% (db) for water content, 2.52% (db) for ash content, 19.55% (db) for protein content, 21.99% (db) for fat content and 55.94% (db) for carbohydrate content. The formula contains 480 Cal energy per 100 grams biscuit. Digestibility of protein biscuit measure by enzymatic method and the result is 89.34%. The formula fulfills 20% children protein from four piece biscuit or equals to 50 grams biscuit.
MERVINA. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. Pembimbing SRI ANNA MARLIYATI dan CLARA M. KUSHARTO RINGKASAN Menurut Soekirman (2000), KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan khususnya bagi anak dibawah usia lima tahun (balita). Pangan hewani seperti ikan merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat karena tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Tepung ikan merupakan salah satu pangan hewani yang merupakan produk hasil olahan ikan belum dikembangkan secara maksimal. Produk biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai pangan tinggi protein bagi anak-anak. Tujuan penambahan isolat protein kedelai selain sebagai penambah kandungan protein juga untuk memperbaiki tekstur biskuit. Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung ikan lele dumbo yang terpisah antara pembuatan tepung badan dan kepalanya, lalu dianalisis sifat fisik dan kimianya. Pada penelitian utama, dilakukan formulasi biskuit menggunakan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Setelah didapatkan 4 formulasi berdasarkan trial and error dilakukan pemilihan formula berdasarkan kesukaan panelis. Formula terpilih diujikan kembali kepada anak balita gizi kurang dan ibu balita untuk mengetahui kesukaan dari balita dan ibu balita. Setelah itu formula terpilih dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya serta dihitung kontribusinya terhadap AKG balita. Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi (presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan dengan willey mill. Berdasarkan pengukuran aw menggunakan aw-meter diketahui aw tepung badan ikan adalah 0.71, sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.66. Pengukuran densitas kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah 0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan ikan. Derajat putih tepung kepala ikan adalah 29.00%, sedangkan derajat putih tepung badan ikan adalah sebesar 30.96%. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo didapat hasil, untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat 7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak 10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk). Pembuatan formula didasarkan pada estimasi protein yang dihasilkan biskuit. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit. Hasil uji
organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5% tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai. Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji organoleptik terhadap ibu balita menunjukan bahwa lebih dari 70% ibu balita menyukai biskuit formula F4 untuk atribut warna, aroma, rasa dan tekstur. Analisis biskuit formula terpilih (F4) adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap air biskuit adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukkan nilai untuk parameter kerenyahan 246.6 N/mm. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau setara dengan 50 gram biskuit. 50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.
FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG
MERVINA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN JUDUL
Nama NRP
: FORMULASI BISKUIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG : Mervina : I14051221
Disetujui:
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Sri Anna Marliati, MS NIP: 19600205 198903 2 002
Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc NIP: 19510719 198403 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Pengesahan:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat-Nya yang berlimpah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga hendak menyampaikan terima kasih pada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini. 1. Papi, mami, koko ’kodok’ atas dukungan dan doa yang terus-menerus. 2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengarahan selama pembuatan skripsi. Senang sekali bisa mendapat bimbingan ibu. 3.
Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M. Sc selaku dosen pembimbing II dan ketua Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan
Gizi”
yang
telah
memberikan
kesempatan,
bimbingan,
dan
pengalaman bagi penulis. 4. Seluruh tim Hibah Kemitraan: Dr. Ir. Inggrid Surono, M. Sc; Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si; Prof. Dr. Ir. Made Astawan; Leily Amalia. STP, MS; dr. Mira Dewi, S. Ked; Ir. Annis Catur Adi, M. Si; Rini Harianti, S. Si; Astrisia Artanti, STP; Sa’ad Bakery (Kunciran-Tangerang); DeJee Fish (Cibaraja, Sukabumi); dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi atas kerjasama dalam penelitian ini. 5. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk menguji. 6. Keluarga besar Sukamto dan Kengsiswoyo atas dukungan baik secara moril dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB. 7. ”My roommate” Veronica Gunawan STP, Teresia Tandean STP, dan Vidya H. Simarmata SKPM, atas banyak semangat, motivasi, dan perhatian. 8. Franz ”never stress” Sahidi atas kesabaran yang tidak berkesudahan. 9. Beatrice Bennita, Stella Alvina Gunawan dan Catherine Haryasyah yang menjadi inspirasi penulis dalam menyelesaikan skipsi. 10. Herviana Ferazuma, Natalia Dessy W, Ervina, dan seluruh mahasiswa Gizi Masyarakat angkatan 42 atas kekompakan dan hari-hari perkuliahan yang menyenangkan ”We are cream of the cream”.
11. Yoanita Santoso (isopit), Rina Kisaragi, Kabuto, dan Kotaro Minami yang memberikan penghiburan kepada penulis setiap saat dalam pembuatan skripsi. 12. Keluarga Besar Perwira 45 ank. 42: Fransisca Eka, Lisa Noviani, Aninda Puspasari, Stella Belinda, Eveline Septiana, Kalista R. Putri, Leo Adi W., Anthony Demas, Pratiwi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas kebersamaan dan kekeluargaan yang menyenangkan sampai tahun terakhir. 13. Teman-teman satu bimbingan: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Mega Pramudita, Ganes T Widha, Nien Adji, Fitriah Rahayu, Wasilla T. 14. Para Laboran yang dengan sabar mendampingi dan membantu penelitian: khususnya Pak Mashudi (terima kasih banyak pak), Ibu Rizki, dan Ibu Nina, Pak Nurwanto, Pak Wahid, Ibu Rubiah, dan Pak Rojak. 15. Teman-teman penelitian laboratorium: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Pramadya Alfitra, Mega Pramudita, Yulan Isnaharani, Tri Purnamasari, Ganes T. Widha, Ervina, Hana Fitriah N, Inda Ragil dan Kokom Setiamanah. 16. Indah Lestari; Martha Clarissa R, Vina Lyana, Edwin, Ferry Gracyano, Jimmy Effendi, dr. Claudia Tiwow, Kezia Winie dan Timotius atas persahabatan yang luar biasa. 17. Mr. Manahat Sitorus dan Ms. Devie atas dorongan dan semangatnya sehingga penulis berkuliah di IPB 18. Keluarga besar Kemaki (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB), yang memberikan keluarga sejak pertama penulis diterima di IPB.
Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih.
Bogor, Oktober 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1987 dari
pasangan
Gerald
Benyamin
Benny
Sukamto
dan
Giokatarina Wanny Kengsiswoyo. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis
menyelesaikan
pendidikan
di
SMU
Dian
Harapan Lippo Cikarang pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melalui Tahap Persiapan Bersama (TPB), penulis memilih dan diterima di mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Penulis juga mengambil minor Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di beberapa organisasi, seperti Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI). Penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai acara diantaranya Natal CIVA tahun 2006 dan 2007, Pelatihan Organoleptik, dan lain-lain. Penulis pernah menjadi pelatih dalam Pelatihan Makanan Berbasis Ubi Jalar untuk kelompok tani Cikarawang pada tahun 2009. Selain itu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pasir Putih dan Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok dan melaksanakan internship bidang Dietetika di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, dengan melakukan penelitian yang berjudul ”Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang”, yang merupakan bagian dari Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi”.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v PENDAHULUAN Latar Belakang....................................................................................... 1 Tujuan .................................................................................................... 3 Kegunaan Penelitian.............................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ........................................................... 4 Protein Ikan............................................................................................ 6 Tepung Ikan ........................................................................................... 7 Kedelai ................................................................................................... 9 Isolat Protein Kedelai ............................................................................. 11 Protein ................................................................................................... 12 Mutu Protein .......................................................................................... 13 Daya Cerna Protein ............................................................................... 13 Makanan Balita ...................................................................................... 14 Biskuit .................................................................................................... 15 METODE Waktu dan Tempat ................................................................................ 21 Alat dan Bahan ...................................................................................... 21 Metode Penelitian .................................................................................. 21 Pengolahan dan Analisis Data............................................................... 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Ikan 1. Pembuatan Tepung Ikan ................................................................... 28 2. Sifat Fisik Tepung Ikan a. aw .................................................................................................. 30 b. Densitas Kamba ........................................................................... 31 c. Derajat Putih ................................................................................. 32 3. Sifat Kimia Tepung Ikan
a. Kadar Air ....................................................................................... 33 b. Kadar Abu ..................................................................................... 33 c. Kadar Protein ................................................................................ 34 d. Kadar Lemak ................................................................................ 35 e. Kadar Karbohidrat ........................................................................ 36 Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai 1. Formulasi Biskuit ............................................................................... 37 2. Sifat Organoleptik Biskuit a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih ..................................................... 41 b. Uji pada Panelis Anak Balita ........................................................ 43 c. Uji pada Panelis Ibu Balita ............................................................ 44 3. Sifat Fisik Biskuit a. Penetapan Rendemen Biskuit ...................................................... 45 b. Daya serap Air .............................................................................. 45 c. Tekstur Biskuit .............................................................................. 46 4. Sifat Kimia Biskuit a. Analisis Proksimat Biskuit ............................................................. 47 b. Kandungan Energi Biskuit ............................................................ 51 c. Daya Cerna Protein Biskuit .......................................................... 51 5. Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita .............................. 52 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................ 55 Saran ..................................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58
DAFTAR TABEL 1 Komposisi gizi ikan lele ................................................................................. 5 2 susunan asam amino esensial ikan lele ........................................................ 6 3 Komposisi kimia kedelai ................................................................................ 10 4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai ........................................................ 10 5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia ....................... 13 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan ............................................ 14 7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari) .............................................................................. 15 8 Syarat mutu biskuit ........................................................................................ 16 9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit ......................................................................................... 17 10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai ............................................................................................. 24 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo.............................. 32 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan .................... 37 13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit.............................................. 41 14 Rekapitulasi penerimaan biskuit .................................................................. 44 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit ............................................... 45 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih ..... 48 17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) ................ 53 18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram)........................ 54 19 Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit....................................... 65
DAFTAR GAMBAR 1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)....................... 5 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo ............................................................................................. 23 3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai ....................................................................... 25 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya ........................ 28 5 (A) Tepung badan ikan lele dumbo ................................................................ 30 5 (B) tepung kepala ikan lele dumbo ................................................................ 30 6 Hasil pengukuran Aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ................ 31 7 Hasil pengukuran densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan .................................................................................................. 31 8 Hasil analisis kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan .............. 33 9 Hasil analisis kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ............ 34 10 Hasil analisis kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ..... 35 11 Hasil analisis kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ...... 35 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan dan tepung kepala ikan .................................................................................................. 36 13 Biskuit formula terpilih (F4) .......................................................................... 43 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer....... 47 15 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) .......................................................... 62 16 Ikan lele dumbo yang telah dipisahkan kepala, kulit dan badannya............. 62 17 Badan ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan..... 62 18 Kepala ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan .... 62 19 Ikan lele dumbo dalam autoklaf untuk proses pemasakan........................... 62 20 Badan ikan lele dumbo matang .................................................................... 62 21 Kepala ikan lele dumbo matang ................................................................... 62 22 Pengepresan dengan hidrolik pres ............................................................... 62 23 Ikan yang telah dipress ................................................................................ 63 24 Ikan yang sedang dikeringkan menggunakan drum dryer............................ 63
DAFTAR LAMPIRAN 1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan .......................................................... 62 2 Analisis Sifat Kimia dan Fisik ........................................................................ 64 3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa............................ 69 4 Kuesioner Uji Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita.............. 70 5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita.......................... 71 6 Aw Tepung Ikan ............................................................................................ 72 7 Densitas Kamba Tepung Ikan ....................................................................... 72 8 Derajat Putih Tepung Ikan ............................................................................. 72 9 Kadar Air Tepung Ikan .................................................................................. 73 10 Kadar Abu Tepung Ikan .............................................................................. 73 11 Kadar Protein Tepung Ikan.......................................................................... 73 12 Kadar Lemak Tepung Ikan .......................................................................... 74 13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan .................................................................. 74 14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ......................................... 74 15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ....................................... 74 16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu .................................. 75 17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ................................... 75 18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ........................... 75 19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1 ......................................... 76 20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2 ......................................... 77 21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3 ......................................... 78 22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4 ......................................... 79 23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit.................................................................... 80 24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit .................................................. 81 25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ...................................... 82 26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ...................................... 82 27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit ......................................... 82 28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita ......................................... 83 29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita ............... 84 30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita .................................... 85 31 Rendemen Biskuit ....................................................................................... 86 32 Daya Serap Air Biskuit ................................................................................ 86 33 Analisis Tekstur Biskuit................................................................................ 86
34 Kadar Air Biskuit .......................................................................................... 86 35 Kadar Abu Biskuit ........................................................................................ 86 36 Kadar Protein Biskuit ................................................................................... 87 37 Kadar Lemak Biskuit ................................................................................... 87 38 Kadar Karbohidrat Biskuit ............................................................................ 87 39 Kandungan Energi Biskuit ........................................................................... 87 40 Daya Cerna Protein Biskuit ......................................................................... 87 41 Perhitungan Takaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit .......................................................................................................... 88 42 Perhitungan Takaran Saji dengan Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit .......................................................................................................... 88
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah gizi makro terutama masalah kurang energi protein telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Sejak sebelum merdeka sampai sekitar tahun 1960-an, masalah KEP adalah masalah yang cukup besar di Indonesia. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah miskin. Namun pada anak-anak khususnya anak dibawah usia lima tahun (balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan (Soekirman 2000). Menurut Khomsan (2004), pangan hewani merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi (sekitar 20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia. Daging ikan juga mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Adawyah 2007). Menurut Azhar (2006), ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang populer di masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya adalah pertumbuhannya
cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Annonymous 2006). Di samping keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi (80%) dan pH tubuh ikan yang mendekati netral menyebabkan daging ikan mudah rusak. Selain itu kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah 2007). Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil samping ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1992). Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan tepung ikan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan salah satu alternatif penggunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas zat gizi yang dihasilkan. Menurut Manley (2000), biskuit merupakan makanan yang cukup populer. Biskuit merupakan pangan praktis karena dapat dimakan kapan saja dan dengan pengemasan yang baik, biskuit memiliki daya simpan yang relatif panjang. Biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak hanya enak tapi juga menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu seperti tepung ikan lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai tambah yang baik untuk kesehatan. Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah
isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley 2000). Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai pangan tinggi protein, sedangkan tujuan khususnya adalah: 1. Membuat tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo. 2. Menganalisis sifat fisik (aw, densitas kamba dan derajat putih) dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein) tepung ikan lele dumbo. 3. Melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan tepung isolat protein kedelai. 4. Melakukan uji organoleptik untuk menentukan formula biskuit terpilih pada panelis semi terlatih. 5. Melakukan uji organoleptik biskuit formula terpilih pada anak dan ibu balita. 6. Menganalisis sifat fisik (rendemen, densitas kamba, daya ikat air, tekstur) dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, serta daya cerna protein) formula biskuit terpilih. 7. Menganalisis kontribusi zat gizi yang dapat diberikan biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan tepung isolat protein kedelai terhadap AKG anak balita.
Kegunaan Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
kepada
masyarakat mengenai makanan anak balita dengan menggunakan bahan baku ikan lele dan isolat protein kedelai yang bukan saja disukai rasanya tetapi juga merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh balita untuk pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu dengan memproduksi biskuit ini diharapkan dapat masyarakat dapat diberdayakan. Produk yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif produk pangan yang dapat berfungsi untuk memperbaiki status gizi anak. Selain itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemanfaatan tepung ikan dan isolat protein kedelai menjadi makanan yang mengandung protein tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2003, kenaikan tersebut terjadi mencapai 18.3%. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Sementara itu lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal. Pada tahun 2005, lele dumbo juga menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007). Lele dumbo termasuk ke dalam:filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu Beberapa literature menyebutkan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan talah dilepas
kepasaran
melalui
Keputusan
Menteri
No.
KEP.26/MEN/2004
(Mahyuddin 2007). Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masingmasing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri
yang keras dan runcing yang disebut patil. Patil lele dumbo tidak beracun (Suyanto 2007). Gambar morfologi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nocturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempat-tempat yang terlindung (Suyanto 2007). Menurut Astawan (2008) lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah. Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada Tabel 1 Komposisi gizi ikan lele Zat Gizi
Kandungan
Protein (%)
17,7
Lemak (%) Mineral (%) Air (%) Karbohidrat (%) Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008
4,8 1,2 76 0,3
Protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup. Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Susunan asam amino esensial ikan lele Asam amino
% protein
Arginin Histidin Asoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Valin Triptofan Total esensial Nonesensial
6,3 2,8 4,3 9,5 10,5 1,4 4,8 4,8 4,7 0,8 49,9 50,1
Sumber: FAO 1972 dalam Astawan 2008
Protein Ikan Menurut Hadiwiyoto (1993), protein yang terdapat pada daging ikan, berdasarkan sifat kelarutannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibrillar yang larut dalam air garam dan protein stoma yang larut dalam alkali. Jumlah masing-masing kelompok akan berbeda berdasarkan spesiesnya. Lebih jauh lagi jumlah yang dapat diekstraksi bergantung pada proses penghancuran, pencampuran, pH, dan tingkat denaturasi selama penyimpanan dan pengolahan (Sikorski et al. 1990). Protein sarkoplasma merupakan penamaan terhadap protein yang terdapat dalam sarkolema. Sarkolema merupakan kompleks cairan yang terdapat dalam endomisium yang memisahkan antara satu miofibril dengan miofibril lainnya (Pearrson dan Young 1989). Di samping mengandung asam nukleat, lipoprotein dan darah, kebanyakan protein sarkolema ini merupakan enzim (Sikorski et al. 1990). Pada waktu ikan masih hidup, enzim–enzim tersebut berfungsi dalam sintesa senyawa–senyawa yang diperlukan tubuh. Setelah ikan mati, fungsi enzim–enzim tersebut berubah menjadi perusak tubuh ikan (Hadiwijoyoto 1993). Walaupun tidak lebih rendah nilai gizinya dibanding dengan protein miofibrillar namun karena sifatnya yang dapat merugikan, protein ini dibuang selama penyucian daging lumat pada pembuatan surimi (Suzuki 1991). Protein
miofibrillar
adalah
protein
yang
menyusun
miofibril
dan
merupakan unit struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap kontraksi
selama pergerakan (Pearson dan Young 1989). Protein ini terutama sekali terdiri dari miosin aktin, dan protein pengatur seperti troponin, tropomiosin, dan aktinin. Miosin merupakan komponen utama protein miofibrillar dan menyusun antara 5056% dari keseluruhan protein miofibrillar. Kandungan aktin lebih sedikit yaitu antara 15-20%, sedangkan troponin, tropomiosin, dan aktinin hanya menyusun sekitar 10% (Sikorski et al. 1990). Miofibril juga disusun oleh protein sitoskeletal, namun persentasenya lebih kecil (Pearson dan Young 1989). Residu setelah semua protein sarkoplasma dan miofibrillar diekstrak adalah stroma yang merupakan jaringan pengikat. Komponen stroma terdiri dari kolagen dan elastin (Sikorski et al. 1990). Disamping terdapat dalam urat daging, protein ini terikat juga pada tulang, gigi, jaringan mukosa, lapisan luar organ dalam, dan pada sistem kardiovaskular (Pearson dan Young 1989). Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan umumnya
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
hewan
darat
yang
akan
menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Iakn mempunyai nilai biologis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian daging ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Adawyah 2007). Tepung Ikan Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan mengeringan mekanis. Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses
pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat terhambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya
akan
berhenti.
Pada
pembuatan
tepung
ikan
selain
menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto 1982b). Menurut Departemen Perdagangan (1982), tepung ikan memiliki nilai gizi yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan merupakan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan phospor (P). Tepung ikan juga mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982a). Usaha pembuatan tepung ikan dapat menggunakan limbah ikan karena relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana (LIPI 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiranbutirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan dan bendabenda asing lainnya. Menurut
Ilyas
(1993),
urutan
pengolahan
tepung
ikan
adalah
pencincangan, pemasakan, pengpresan, pengeringan, dan penggilingan.Tepung ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah disimpan, terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982a). Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo processing) (Sunarya 1990). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh
jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya (Brody di dalam Hapsari 2002). Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut: -
air (moisture)
6%-10%
-
lemak
5%-12%
-
protein
60%-75%
-
abu
10%-20%
Menurut Moljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Brody di dalam Hapsari (2002) mengatakan kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada kadar air tepung ikan. Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung-tepung ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan Co (Moljanto 1982). Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%. Kedelai Kedelai (Glysine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili Leguminosae, sub famili Papilionaceae dan genus Glysin L. (Bunasor 1988). Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji (cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan di bagian inilah minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari biji dengan menggunakan prinsip aspirasi.
Matthews (1989), menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi kimia biji kedelai dan bagiannya diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Komposisi kimia kedelai Komponen Air (%)
Komposisi 331.0 7.5
Protein (%)
34.9
Lemak (%)
18.1
Karbohidrat (%)
34.8
Kalsium (mg/100 g)
227.0
Fosfor (mg/100 g)
585.0
Besi (mg/100 g)
8.0
Vitamin A (SI/100 g)
110.0
Vitamin B (SI/100 g)
1.07
Kalori (Kal)
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995
Tabel 4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai Bagian biji
Proporsi berat biji
Kotiledon Kulit biji Hipokotil
Persen berat kering (%bk) Protein
Lemak
Karbohidrat
Abu
90
43
32
43
5
8
9
86
86
4.3
2
1
43
43
4.4
Sumber: Cheftel et al. 1985
Citarasa langu (beany flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha introduksi makanan asal kedelai. Menurut Wilkens et al., (1967) fenomena ini timbul disebabkan oleh adanya reaksi enzim lipoksigenase yang dapat menghidrolisa asam lemak tidak jenuh menghasilkan senyawa volatil. Kelanguan pada kedelai timbul bila terdapat tiga kondisi yaitu adanya air, udara, dan sel kedelai yang pecah. Untuk mencegah senyawa volatil tersebut Spata et al., (1974) melakukan inaktivasi enzim lipoksigenase secara in situ dengan perendaman dan perebusan yang disebut parboiling. Aktivitas enzim ini juga terhambat pada pH rendah, sehingga bila kedelai digiling pada pH rendah lipoksigenase tidak dapat mengkatalisa oksidasi asam tidak jenuh ganda (PUFA) sehingga pembentukkan senyawa volatil menjadi terhambat. Usaha lain untuk mendapatkan produk kedelai yang bebas langu ialah mengekstrak semua lipid yang terkandung pada kedelai. Akan tetapi hal ini tidak mudah sebab walaupun
sebagian besar lemak dapat diekstrak dengan pelarut lemak masih tersisa “bound lipid” yang merupakan residu lipid yang sulit diekstrak karena terikat pada protein kedelai. Isolat Protein Kedelai Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat additif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biscuit (Koswara 1995). Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkanya. Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk bakery, dan sup (Koswara 1995). Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Tujuan kedua adalah untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan isolat protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan (coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak (Koswara 1995). Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Hal ini disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan mempunyai celah-celah polar seperti gugus karboksil dan amino yang dapat mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap air isolat protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein kedelai sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods)
karena
dapat
meningkatkan
rendemen
adonan
dan
memudahkan
penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara 1995). Protein Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi, dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai precursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk kehidupan. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, tang terikat satu sama lain dalam ikatan peptide. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen; beberapa asam amino disamping itu mengandung unsur-unsur fosfor, besi, iodium, dan kobalt. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein, karena terdapat didalam semua protein akan tetapi tidak terdapat didalam karbohidrat dan lemak (Almatsier 2003). Menurut Lehningher (1992), secara umum tingkat organisasi protein dikategorikan dalam empat kelas, yaitu : 1. Struktur primer. Ini adalah urutan asam amino dalam rantai polipeptida dan letak suatu jembatan disulfida di dalam rantai protein. Struktur protein diselenggarakan ikatan-ikatan peptida yang kovalen. 2. Struktur sekunder. Hal ini mengacu pada banyaknya struktur ά-heliks atau lembaran berlipatan-β setempat yang beraturan dan berhubungan dengan struktur
protein
secara
keseluruhan.
Struktur
sekunder
protein
diselenggarakan oleh ikatan hidrogen dengan oksigen karbonil dan nitrogen amida dari rantai polipeptida. 3. Struktur tersier. Hal ini mengacu pada cara protein globolar dilekuk dan dilipat untuk membentuk struktur tiga dimensi. Struktur tersier diselenggrakan oleh interaksi antara gugus-gugus R dari asam amino. 4. Struktur kuarterner. Banyak protein yang terdiri dari oligomeratau molekul besar terbentuk dari pengumpulan khas dari subsatuan yang identik atau berlainan yang dikenal dengan protomer. Penyusunan protomer dalam protein oligomer merupakan struktur kuarterner. Protein yang memiliki bobot molekul lebih dari 50.000 sering terkait dua atau lebih rantai polipeptida, misalnya hemoglobin.
Mutu Protein Menurut Almatsier (2003) mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplet atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Semua protein hewani, kecuali gelatin merupakan protein komplit. Protein tidak komplit, atau protein bermutu rendah adalah protein yang tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam amino esensial. Sebagian besar protein nabati kecuali kacang kedelai dan kacang-kacangan lain merupakan protein tidak komplit. Daya Cerna Protein Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh. Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein-fitat, dan sebaginya. Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor dan fitat (Muchtadi 1989). Adapun mutu cerna protein dari beberapa protein pangan pada manusia disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia Sumber Protein Telur Daging, ikan Kacang tanah Jagung, sereal Millet Wheat whole Wheat flour, white Rice cereal Maize
Mutu Cerna (%) 97 94 94 70 79 86 96 75 85
Sumber Protein Susu, keju Rice (polished) Tepung kedelai Beans Isolat protein kedelai Oatmeal Gluten gandum Wheat,cereal Peas
Mutu Cerna (%) 95 88 86 78 95 86 99 77 88
Sumber : FAO/WHO/UNU 1995
Mutu cerna protein hewani seperti daging, ikan dan susu umumnya sekitar 90-100%, karena proteinya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan mutu cerna bahan pangan nabati seperti sayuran antara 60-80%. Perbedaan ini bukan
disebabkan oleh perbedaan kandungan asam amino yang dikandungnya tetapi karena perbedaan kandungan selulosa dan bahan lain yang melindungi protein (Khumaidi 1987). Makanan Balita Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya adalah dengan memperbaiki aspek makanan. Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah adalah anak-anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004). FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan Zat Gizi Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Vitamin A (μg RE) Vitamin D (μg) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B6 (μg) Asam Folat (μg) Vitamin B12 (μg) Kalsium (mg) Besi (mg) Zink (mg) Sumber: FAO/WHO 1994
Jumlah per 100 g 400 15 10-25 266.7 6.7 3.3 13.3 0.3 0.5 6 0.6 33.3 0.7 533.3 8 6.67
Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat meningkat pula kebutuhan akan zat-zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angka
kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari) Golongan Umur 0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 Tinggi Badan (cm) 60 71 90 Energi (kkal) 550 650 1000 Protein (g) 10 16 25 Vitamin A (RE, μg) 375 400 400 Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 Niacin (mg) 2 4 6 Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 Asam Folat (mg) 65 80 150 Vitamin C (mg) 40 50 40 Kalsium (mg) 200 400 500 Fosfor (mg) 100 225 400 Besi (mg) 0.3 10 7 Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 Iodium (μg) 90 120 90 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004
4-6 tahun 18 110 1550 39 450 0.8 0.6 0.6 8 1.2 200 45 500 400 8 9.7 120
Biskuit Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion 1990). Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 012973-1992 seperti yang terdapat pada tabel 8. Selain itu biskuit umumnya berwarna cokelat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan kuran seragam, kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz 1978).
Tabel 8 Syarat mutu biskuit Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Logam Berbahaya Serat Kasar Kalori (per 100 gr) Jenis Tepung Bau dan Rasa Warna
Syarat Mutu Maksimum 5% Minimum 9% Minimum 9.5% Minimum 70% Maksimum 1.5% Negatif Maksimum 0.5% Minimum 400 Terigu Normal, tidak tengik Normal
Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992
Menurut Manley (1983), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat,
yaitu:
(1)
tekstur
dan
kekerasan;
(2)
perubahan
bentuk
akibat
pemanggangan; (3) ekstensibilitas adonan; dan (4) pembentukan produk. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo 1985). Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang, dan dispersi lemak ke seluruh bagian adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%, contohnya adalah biskuit marie dan rich tea. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30%, contohnya adalah biskuit krekers (Sunaryo 1985). Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang
kompak. Sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978). Menurut Veil et al., (1978) mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat (Tabel 9). Tabel 9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit Jenis Penyimpangan Keras Warna pucat
Penyebab Kurang lemak Kurang air Proporsi bahan kurang tepat Oven kurang panas Pencampuran tidak rata Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata Bentuk tidak rata Panas tidak rata
Bentuk tidak rata Warna tidak rata Hambar
Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang
Keras dan poros
Pencampuran tidak tepat
Keras dan kering
Adonan terlalu keras dan kenyal Penanganan terlalu lama
Sumber: Vail et al. 1978
Bahan Baku Biskuit Tepung.
Menurut
Sultan
(1983),
tepung
merupakan
komponen
pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selainitu menurut Matz dan Matz (1978) tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak (Vail et al. 1978). Lemak. Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak juga perperan dalam pembentukan citarasa khas biskuit. Lemak alami yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain adalah lard, lemak sapi, butter, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain pengunaan lemak alami, lemak yang telah dimodifikasi seperti hidrogenasi
minyak dan interesterifikasi lemak juga biasa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit.(Matz dan Matz 1978). Telur. Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai pengental, perekat atau pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau pengempuk dan pengembang suatu masakan, di samping sebagai penambah aroma dan zat gizi (Tarwotjo 1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi utama telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu, telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan kelembutan biskuit. (Matz dan Matz 1978). Menurut Winarno (1997), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan cephalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida. Gula. Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz 1978). Susu. Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, pembentuk flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena leih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz 1978) Bahan Pengembang. Menurut Manley (1983), fungsi bahan pengembang (leavening agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat (soda kue). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartrat, fosfat dan sulfat.
Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0.47% dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%. Sedangkan Sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit, dan rata-rata digunakan antara 0.18% sampai dengan 1.92%.
Proses Pembuatan Biskuit Menurut Sunaryo (1985), pembuatan biskuit terdiri dari persiapan bahan, pencampuran
dan
pengadukan,
pembuatan
lembar
adonan,
dan
pemanggangan. Proses pembuatan biskuit secara umum dikategorikan dalam dua cara, yaitu metode krim dan metode all-in. Pada metode krim, gula dan lemak dicampur sampai terbentuk krim homogen. Selanjutnya dilakukan penambahan susu ke dalam krim dn pencampurannya dilakukan secara singkat. Pada tahap akhir tepung dan sisa air kemudian dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode kedua yaitu all-in, pada metode ini semua bahan dicampur secara bersamaan. Metode ini lebih cepat namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras daripada adonan pada metode krim (Whiteley 1971). Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap dilakukan pencampuran dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan
dalam
pencampuran
adalah
jumlah
adonan,
lama
pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat pemanggangan. Sebaliknya jika waktu pengadukan kurang makaadonan akan kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo 1985). Tahap yang dilakukan setelah adonan jadi adalah pembuatan lembaran adonan dan pencetakan. Pembuatan lembaran adonan dilakukan dengan menggunakan kayu penggiling (rolling pin). Hal ini bertujuan untuk mengubah bentuk adonan hingga lebih mudah untuk dicetak dan seragam ketebalannya. Pembuatan lembaran sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah proses pencampuran adonan agar adonan dapat dibentuk menjadi lembaran pada saat pengembangan yang optimal. Pelempengan berlangsung secara berulang-ulang agar dihasilkan lembaran adonan yang halus dan kompak (Sunaryo 1985).
Menurut Sultan (1992), ukuran biskuit yang telah dicetak haruslah sama, agar ketika dioven biskuit matang secara merata dan tidak hangus.Untuk mencegah lengketnya biskuit pada loyang, biasanya pada loyang dileskan sedikit lemak atau dilapisi dengan kertas roti. Banyak faktor yang mempengaruhi pemanggangan biskuit, diantaranya tipe oven yang digunakan, metode pemanasan, dan tipe bahan yang digunakan. Pada proses pemanggangan kadar air adonan berkurang dari 20% menjadi lebih kecil dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan selama 2.5 sampai 30 menit. Makin sedikit kandungan gula dan lemak dalam adonan, biskuit dapat dibakar pada suhu yang lebih tinggi (Sunaryo 1985).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 sampai bulan Agustus 2009 yang merupakan bagian dari penelitian Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi”. Pembuatan tepung ikan dilakukan di Laboratorium Pilot plant, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sedangkan pembuatan biskuit bertempat di Laboratorium Pengolahan Pangan, dan untuk analisis kimia dan fisik tepung ikan dan biskuit bertempat di Laboratorium Analisis Makanan. Keduanya berada dibawah Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah ikan lele dumbo segar dan air. Ikan lele dumbo yang digunakan adalah lele dumbo varietas sangkuriang. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain tepung ikan lele dumbo, tepung kepala ikan lele dumbo, tepung terigu, isolat protein kedelai, gula bubuk atau gula halus, telur, margarin, mentega, tepung susu, baking powder, dan soda kue. Selain bahanbahan untuk pembuatan tepung ikan dan biskuit, juga digunakan bahan-bahan untuk analisis kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia diantaranya n-hexane, HCl, Selenium-mix, H2SO4 pekat, NaOH, asam borat, dan indikator (merah metil dan metil biru). Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan adalah ember, autoklaf, kain kasa, hidrolik press, drum dryer, dan mesin penggiling (willey mill). Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain timbangan, baskom, mixer, loyang, rolling pin, cetakan biskuit, dan oven. Alatalat yang digunakan dalam analisis adalah oven vakum, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, pengaduk magnetik, sentrifus, gelas ukur labu Kjedahl, alat ekstraksi Soxhlet, inkubator, pH-meter, termometer, Texture Analyzer, dan alat untuk pengujian organoleptik. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele
dumbo sebagai bahan baku pembuatan biskuit. Lalu dilakukan uji sifat fisik dan kimia tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Penelitian utama dilakukan dengan mengaplikasikan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai dalam formula biskuit. Biskuit dengan formula terpilih kemudian diuji sifat fisik dan kimianya. Selain itu juga dilakukan uji organoleptik untuk melihat penerimaan biskuit oleh anak balita. Penelitian Pendahuluan Pada tahap pendahuluan, dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Lele dumbo yang telah dibersihkan, dibuang jeroannya, dikuliti, dan dipisahkan antara bagian kepala dengan badannya. Pembuangan kulit dan jeroan dimaksudkan agar tepung yang dihasilkan warnanya lebih cerah. Setelah itu badan ikan lele dan kepala ikan lele masing-masing dimasak dengan tekanan tinggi (presto) dengan autoklaf pada suhu
121oC selama
2
jam. Penggunaan
autoklaf dimaksudkan
untuk
menghancurkan tulang ikan lele sehingga dapat dikeringkan dan digiling bersama daging ikan. Selain itu penggunaan autoklaf sangat penting dalam pembuatan tepung kepala ikan agar kepala ikan menjadi lebih lunak. Proses selanjutnya, badan ikan dan kepala ikan yang telah matang masing-masing dibungkus dengan kain kasa dan dipress dengan hidrolik press. Tujuan dari pengepressan adalah untuk menurunkan kandungan air dari ikan sehingga memudahkan dalam proses pengeringan. Ikan yang telah agak kering kemudian dikeringkan dengan drum dryer pada suhu 80oC dengan tekanan 3 bar. Lalu serpihan ikan yang telah kering digiling dengan willey mill sehingga menghasilkan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo yang merupakan bahan baku pembuatan biskuit. Dokumentasi pembuatan tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 1 Diagram alir pembuatan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 2. Tepung badan ikan dan tepung kepala ikan yang telah jadi dianalisis sifat fisik dan kimianya. Sifat fisik yang diujikan antara lain densitas kamba tepung, aw tepung, dan derajat putih tepung. Sifat kimia yang dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat tepung.
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Dibersihkan dari jeroan dan kulitnya
Dipisahkan bagian badan dengan kepalanya
Badan ikan lele dumbo
Dimasak dengan autoklaf dengan suhu 121oC selama 2 jam
Badan ikan matang
Dipress dengan pengepres hidrolik
Daging ikan agak kering
Dikeringkan dengan drum dryer dengan suhu 80oC dan tekanan 3 bar
Daging ikan kering
Penghalusan dengan willey mill Tepung badan ikan lele dumbo
Kepala ikan lele dumbo
Dimasak dengan autoklaf dengan suhu 121oC selama 2 jam
Kepala ikan matang
Dipress dengan pengepres hidrolik
Kepala ikan agak kering
Dikeringkan dengan drum dryer dengan suhu 80oC dan tekanan 3 bar
Kepala ikan kering
Penghalusan dengan willey mill Tepung kepala ikan lele dumbo
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo
Penelitian Utama Pada penelitian utama dilakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai terhadap tepung terigu yang dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit. Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan. Misalnya pada F2 jumlah tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai yang digunakan masing-masing sebanyak 75, 25, dan 50 gram. Demikian pula pada perbandingan F1, F3, dan F4.
Sedangkan bahan lain
seperti tepung terigu, gula bubuk, telur, margarin, mentega, tepung susu, baking powder, dan soda kue yang ditambahkan untuk setiap formula sama. Formula biskuit dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai Komponen (g)
Formulasi F1
F2
F3
F4
Tepung badan ikan lele
50
75
25
35
Tepung kepala ikan lele
50
25
25
15
Isolat Protein Kedelai
50
50
100
100
Tepung terigu
250
250
250
250
Gula bubuk
180
180
180
180
Telur
180
180
180
180
Margarin
90
90
90
90
Mentega
90
90
90
90
Tepung susu
60
60
60
60
1000
1000
1000
1000
Baking powder
8
8
8
8
Soda Kue
4
4
4
4
Total
Proses pembuatan biskuit diawali dengan mencampur gula bubuk, margarin, dan mentega, lalu diaduk dengan menggunakan mixer dengan kecepatan tinggi sampai warnanya memucat. Kemudian ditambahkan telur dan diaduk kembali sampai agak mengembang. Lalu tepung badan ikan, tepung kepala ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, dan tepung susu dimasukkan ke dalam adonan. Adonan diaduk dengan kecepatan rendah sampai kalis. Adonan
yang telah kalis dimasukkan ke dalam lemari es selama 15 menit, fungsinya agar adonan lebih mudah dibentuk dan dicetak. Setelah itu, adonan dipipihkan setebal 0.5 cm, lalu dicetak. Pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu 150oC sampai warna biskuit cokelat keemasan. Diagram alir pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 3. Margarin, mentega dan gula bubuk
Diaduk dengan mixer denan kecepatan tinggi 5 menit Ditambahkan telur Diaduk dengan kecepatan tinggi selama 10 menit Adonan berwarna kuning pucat
Ditambahkan tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, gula bubuk, dan tepung susu Diaduk dengan kecepatan rendah selama 5 menit sampai kalis Adonan kalis
Didinginkan dalam lemari es selama 15 menit Adonan dingin
Dipipihkan dengan rolling pin setebal 0.5 cm, lalu dicetak Dipanggang dalam oven dengan suhu 150oC selama 20 menit
Biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai Gambar 3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai
Biskuit yang dihasilkan dianalisis sifat fisik yang meliputi analisis daya ikat air, aw, dan kekerasan biskuit. Selain sifat fisik, juga diuji sifat kimia yang meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, cerna protein dan perhitungan kandungan energi biskuit. Prosedur analisis sifat fisik dan kimia dapat dilihat pada Lampiran 2. Pemilihan formula dilakukan dengan uji hedonik terhadap 30 orang panelis semi-terlatih. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana nilai 1 untuk penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Panelis dianggap menerima sampel bila nilai yang diberikan berkisar antara 3, 4 dan 5. Kuesioner uji organoleptik pada panelis semi-terlatih dapat dilihat pada Lampiran 3. Setelah didapatkan formula terpilih, untuk mengetahui daya terima biskuit dilakukan uji organoleptik berupa uji kesukaan terhadap 30 anak balita gizi kurang yang berusia antara 2-5 tahun balita berasal dari Kecamatan Cikakak dan Kadu Dampit, Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan pada biskuit dengan substitusi tepung percobaan dan biskuit komersial yang banyak dijual dipasaran sebagai pembanding. Kuesioner uji kesukaan pada balita dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap formula terpilih. Uji ini dilakukan terhadap 30 ibu balita gizi kurang yang berasal dari Kecamatan Cikakak dan Kadu Dampit, Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan terhadap atribut warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana nilai 1 untuk penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Kuesioner uji organoleptik pada panelis ibu balita dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pengolahan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu substitusi tepung ikan lele dumbo dan substitusi isolat protein kedelai. Faktor substitusi tepung ikan lele dumbo terdiri dari 2 taraf (substitusi tepung ikan sebanyak 100 gram dan substitusi sebanyak 50 gram), faktor tepung isolat protein kedelai juga terdiri dari dua taraf (penambahan 100 gram dan penambahan 50 gram). Oleh karena itu, ada empat kombinasi perlakuan. Model matematisnya (Sudjana 1995) adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + ε(ij)k Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k akibat taraf ke-i faktor tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j faktor isolat protein kedelai
µ
= Nilai tengah populasi
Ai
= Pengaruh penambahan taraf ke-i dari faktor tepung ikan lele dumbo
Bj
= Pengaruh penambahan taraf ke-j dari faktor isolat protein kedelai
ABij
= Pengaruh interaksi taraf ke-i tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j isolat protein kedelai
ε(ij)k
= Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh perlakuan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i dan isolat protein kedelai pada taraf ke-j
i
= Banyaknya taraf penambahan tepung ikan lele dumbo
j
= Banyaknya taraf penambahan isolat protein kedelai
k
= Banyaknya ulangan (k= 1) Data sifat kimia dan sifat fisik ditabulasi dan dirata-ratakan menggunakan
Microsoft Excel, sedangkan data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif menggunakan skor modus masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap daya terima panelis semi terlatih dilakukan analisis statistik non-parametrik Kruskal Wallis. Jika hasil uji berbeda nyata di antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison Test. Sedangkan untuk mengetahui penerimaan balita terhadap biskuit ikan dibandingkan dengan biskuit komersial dilakukan analisis menggunakan uji perbandingan Paired Sample TTest.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Ikan 1. Pembuatan Tepung Ikan Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4 bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah, sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.
Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121ºC selama 2
jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung. Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan oleh
Clostridium
botulinum
dan
enterotoksin
yang
dihasilkan
oleh
Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat oksidatif dan hidrolisis. Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut dengan menggunakan drum dryer. Menurut Juming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas drum. Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80oC dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanas drum menghasilkan
serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60 mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya berbeda.
A
B
Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo
2. Sifat Fisik Tepung Ikan Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung. Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar aw, densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.
a. aw Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran aw tepung badan dan kepala ikan lele dumbo disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza (1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah kapang.
b. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).
Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan
(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi. Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.
c. Derajat Putih Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo diukur
derajat
putihnya
untuk
mengetahui
apakah
terdapat
pengaruh
penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda. Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo Jenis Tepung
Derajat Putih (%)
Tepung badan ikan lele
30.9575
Tepung kepala ikan lele
28.9975
Tepung Terigu*
74.7* Keterangan: *Antarlina (1998)
Hasil diatas menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki derajat putih jauh dibawah tepung terigu. Derajat putih tepung kepala ikan lele memiliki nilai yang lebih rendah daripada tepung badan ikan lele. Hal ini menunjukkan tepung kepala ikan lele memiliki warna yang lebih gelap
dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi lebih gelap.
3. Sifat kimia tepung ikan Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi 2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.
a. Kadar Air Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72% bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6% sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan dengan kelembaban tempat penyimpanan.
Gambar 8 Kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
b. Kadar Abu Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik hasil analisis kadar abu tepung ikan.
%
16
14.1
14 12 10
Tepung badan ikan
8 6
4.83
4
Tepung kepala ikan
2 0 Kadar Abu
Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah. c. Kadar Protein Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin), protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam
jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat yang membentuk tekstur daging.
Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung, daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi. Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.
d. Kadar Lemak Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak antara 5-12%.
Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini
disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.
e. Kadar Karbohidrat Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibrilmiofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.
Gambar 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Kadar karbohidrat tepung ikan pada penelitian ini ditentukan dengan metode by difference yang merupakan penghitungan kadar karbohidrat secara kasar. Menurut LIPI (1999), tepung ikan (campuran antara kepala dan badan) kualitas baik memiliki kandungan air minimal 6%, lemak minimal 5%, protein minimal 60%, dan abu minimal 10%. Bila dihitung menggunakan metode by difference nilai karbohidrat tepung ikan berkualitas baik menurut LIPI maksimal sebesar 19%. Dari Gambar 12, diketahui kadar karbohidrat pada tepung badan ikan sebesar 20.51% bk dan pada tepung kepala ikan sebesar 16.47% bk atau setelah dirata-ratakan antara tepung badan ikan dan kepala ikan adalah sebesar 18.49%. Karena nilai kadar karbohidrat masih berada dibawah 19%, maka tepung ikan yang dihasilkan memenuhi syarat LIPI (1999).
Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai Biskuit dalam penelitian ini ditujukan untuk anak balita dengan usia antara 1 sampai 5 tahun. Menurut Khomsan (2004), bayi sampai anak usia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Selain itu menurut Winarno (1997), usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan karena masa ini merupakan masa peralihan dari ASI (air susu ibu) ke PASI (pengganti air susu ibu) atau ke makanan sapihan. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan protein atau sangat rendah mutu proteinnya. Padahal pada usia tersebut protein sangat diperlukan bagi pertumbuhan anak.
1. Formulasi Biskuit Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati (2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan Komposisi
Gram
Konsentrat protein ikan
200
Tepung terigu
350
Gula bubuk
200
Tepung susu
90
Telur
40
Margarin
120
Baking powder
1
Sumber: Wiyati 2004
Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.
Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega. Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit, sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut. Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian, konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan. Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula. Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan
kriteria makanan tambahan dimana per 100 gram makanan tambahan harus mengandung minimal 400 kkal energi dan 15 gram protein. Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. Jumlah ini merupakan jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak. Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan. Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah bahan–bahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu, gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22. Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan
yang tidak elastis. Pembentukan gluten pada pembuatan adonan diminimalkan sehingga menghasilkan adonan kalis. Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahanbahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat memungkinkan
pembentukan
matriks
gluten.
Oleh
karena
itu
untuk
menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan. Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket. Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm. Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu awal 1400C dan suhu akhir 1600. Menurut Matz (1992), suhu dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan
terhadap tekstur menjadi yang diinginkan, membentukan warna permukaan dan pengurangan kadar air. Ukuran biskuit setelah pemanggangan berubah dimana terjadi pengembangan selama pemanggangan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran partikel gula, pengadukan adonan, dan penggunaan pelumas pada loyang. Ketika pemanggangan selesai, biskuit segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan produk akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan Matz, 1978).
2. Sifat Organoleptik Biskuit Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk memilih formula terbaik, melihat daya terima serta kesukaan panelis. Sifat organoleptik biskuit diuji sebanyak 2 kali yaitu dengan panelis semi terlatih dan panelis balita.
a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih Data pada Tabel 13 memperlihatkan hasil penerimaan panelis semiterlatih pada uji organoleptik. Atribut (warna, aroma, tekstur dan rasa) formula F4 merupakan formula yang paling dapat diterima oleh panelis. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antar formula untuk atribut aroma, tetapi untuk atribut warna, tekstur dan rasa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05). Tabel 13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit Formula Atribut Uji
F1
Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan
F3
F4
Presentase
Σ
Presentase
Σ
Presentase
Σ
Presentase
23
76.67
18
60.00
26
86.67
30
100.00
25
83.33
25
83.33
28
93.33
29
96.67
15
50.00
26
86.67
24
80.00
30
100.00
19
63.33
23
76.67
25
83.33
30
100.00
24
80.00
25
83.33
27
90.00
30
100.00
Σ Warna
F2
Keterangan: F1 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 5 : 5 : 5 F2 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 7.5 : 2.5 : 5 F3 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 2.5 : 2.5 : 10 F4 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 3.5 : 1.5 : 10
Warna memegang peranan penting dalam menentukan penerimaan konsumen karena merupakan kesan pertama yang diperoleh oleh konsumen. Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk secara keseluruhan. Warna biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam pembuatan biskuit. Pada umumnya warna biskuit berkisar antara warna coklat muda sampai coklat. Warna biskuit pada penelitian ini dipengaruhi oleh penambahan tepung ikan. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling rendah untuk atribut warna adalah formula F2. Menurut uji lanjut Tukey, formula F2 untuk atribut warna tidak berbeda nyata dengan formula F1 pada selang kepercayaan 95%. Hal ini diduga karena pada formula F2 dan formula F1 tepung ikan yang digunakan lebih banyak daripada formula F3 dan F4 yaitu 10% dari jumlah adonan sedangkan pada formula F3 dan F4 tepung ikan yang digunakan adalah 5%. Berdasarkan pengukuran derajat keputihan tepung, tepung ikan mempunyai nilai derajat keputihan yang lebih rendah daripada terigu, berarti semakin banyak penambahan tepung ikan semakin gelap biskuit yang dihasilkan. Menurut Winarno (1997), aroma atau bau yang menguap merupakan atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls lisrik. Aroma juga ikut menentukan penerimaan sebuah produk. Aroma biskuit dipengaruhi oleh bahanbahan penyusunnya. Data pada Tabel 13 menunjukan penerimaan aroma biskuit untuk semua formula berada diatas 80%, yang berarti mayoritas panelis dapat menerima aroma biskuit. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antar formula untuk atribut aroma pada selang kepercayaan 95%. Formula yang mendapat nilai tertinggi untuk atribut aroma adalah formula F4 dimana 96.67% panelis menerima aroma biskuit. Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2, F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung
kepala ikan lele tekstur biskuit menjadi kurang baik. Selain itu, jumlah isolat protein kedelai yang ditambahkan pada formula F1 lebih sedikit dibandingkan dengan formula F3 dan F4. Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dalam bahan pangan dapat berperan sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur produk. Adapun menurut Manley (1998), kedelai mempunyai lesitin sehingga penambahan isolat protein kedelai dalam produk bakery berperan sebagai emulsifier dan dapat memperbaiki tekstur produk. Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dibedakan oleh kuncup cecap yang terletak pada papilla. Pada biskuit rasa yang dominan adalah rasa manis. Berdasarkan hasil uji organoleptik formula F1 mempunyai penerimaan atribut rasa yang paling rendah, yaitu sebesar 63.33%, diikuit oleh formula F2 sebesar 76.67%, dan formula F3 sebesar 83.33%. Formula F4 merupakan formula yang dapat diterima oleh seluruh panelis. Seluruh panelis memberikan penilaian 3 dan atau di atas 3 pada rasa formula F4. Menurut hasil uji keragaman Kruskal Wallis, terdapat perbedaan nyata antar formula untuk atribut rasa dengan selang kepercayaan 95%. Uji lanjut Tukay menunjukkan bahwa formula F1 berbeda nyata dengan formula F2 dan F3 dan berbeda nyata dengan formula F4 dengan selang kepercayaan 95%. Berdasarkan penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa formula F4 merupakan formula yang paling baik penerimaannya dalam semua atribut yang diujikan. Oleh karena itu formula F4 merupakan formula terpilih yang akan dianalisis lebih lanjut. Gambar 14 berikut merupakan gambar biskuit formula F4.
Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4)
b. Uji pada Panelis Anak Balita Setelah diperoleh formula terpilih, dilakukan uji kesukaan terhadap anak balita. Menurut Winarno (1987) dalam Muchtadi (1994), salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menguji apakah suatu formula makanan tambahan untuk anak kecil dapat diterima atau tidak adalah kriteria penerimaan anak. Kriteria penerimaan anak terdiri dari: (1) Jumlah presentase anak yang menolak makanan tambahan harus kurang dari 25% dan (2) anak-anak harus mampu mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Untuk memudahkan penilaian, penilaian
dilakukan
hanya
untuk
atribut
keseluruhan
dan
nilai
hanya
dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan 2 kali yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai dan biskuit komersil yang banyak dijual dipasaran sebagai kontrol. Pengujian dilakukan dengan memperlihatkan gambar wajah kepada anak dan setelah anak mencicipi anak diminta untuk memberikan penilaian sesuai gambar sambil diilustrasikan. Lembar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 14 Rekapitulasi kesukaan biskuit Jenis Biskuit Biskuit Ikan + Biskuit komersial Isolat Protein Kedelai n
%
n
%
Suka
26
86.66
26
86.66
Biasa
2
6.66
1
3.33
Tidak Suka
2
6.66
3
6.66
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menyukai biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai sama dengan jumlah anak yang menyukai biskuit komersial, yaitu sebesar 86.66%. Setelah dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test tingkat kesukaan anak terhadap biskuit percobaan tidak berbeda nyata dengan biskuit komersial pada taraf signifikansi 5%. Selain itu berdasarkan presentase anak yang menyukai biskuit percobaan (86.66%), maka biskuit percobaan dapat dikatakan sebagai makanan tambahan yang dapat diterima oleh anak.
c. Uji pada Panelis Ibu Balita Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap biskuit formula F4. Menurut Winarno (1987) di dalam Muchtadi (2002), makanan tambahan anak kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Salah satu Kriteria menyebutkan bahwa makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Tabel 15 merupakan presentasi jumlah ibu balita yang menyukai biskuit substitusi (memberikan nilai 4 dan 5). Penilaian diberikan pada 4 aspek yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit. Tabel 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit Warna
% Kesukaan
Aroma
Rasa
Tekstur
∑
%
∑
%
∑
%
∑
%
26
86.67
22
73.33
21
70
23
76.67
Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 7086.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan tambahan anak.
3. Sifat Fisik Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analsis rendemen, daya serap air, dan tekstur biskuit. Data hasil analisis fisik biskuit dapat dilihat pada Lampiran 31 sampai 33.
a. Penetapan Rendemen Biskuit Penetapan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk yang diperoleh dengan adonan awal. Berdasarkan perhitungan, nilai rendemen biskuit adalah sebesar 84.29 % dari berat bahan awal. Pengurangan berat ini disebabkan oleh bahan tepung-tepungan yang terbang ketika diaduk dengan menggunakan mixer, adonan yang menempel pada alat pengaduk dan penguapan air yang terjadi pada proses pemanggangan, sehingga berat akhir yang didapat pada pembuatan biskuit lebih kecil daripada berat bahan yang digunakan. Berat satu buah biskuit kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5 cm.
b. Daya Serap Air Fennema (1996) menyatakan bahwa daya serap air adalah istilah untuk mendeskripsikan kemampuan dari molekul matriks untuk secara fisik menjebak air dalam jumlah besar tetapi tidak sampai menetes. Menurut Zayas (1997), daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang dilakukan
terhadap
pangan
tersebut.
Zayas
menambahkan
protein
mempengaruhi daya serap air. Interaksi antara protein dan air terjadi pada gugus asam amino polar seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril. Faktor lain yang berpengaruh terhadap mekanisme interaksi protein air adalah bentuk protein yang tidak melipat atau berbentuk serabut akan mengikat air lebih banyak daripada bentuk protein globular. Tetapi Hutton dan Campbel (1981) menyatakan karbohidrat juga mempengaruhi daya serap air pangan. Molekul karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih besar daripada protein. Berdasarkan penjelasan diatas maka penyerapan air biskuit akan menurun dengan semakin meningkatnya kandungan protein biskuit. Dengan kata lain, semakin banyak tepung ikan dan isolat protein kedelai yang mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit, semakin berkurang kadar karbohidrat biskuit, maka semakin kecil daya serap air biskuit. Inayati (1991), menyatakan bahwa penyerapan air oleh biskuit mempengaruhi tekstur biskuit di dalam mulut pada waktu dimakan. Berdasarkan hasil pengujian daya serap air, daya serap air formula terpilih adalah 1.79 ml/g. Semakin rendah daya serap air, maka diasumsikan lebih sedikit air liur yang dibutuhkan untuk melunakkan biskuit, sehingga lebih mudah ketika dimakan. Hasil penelitian Fernando (2008) pada produk bubur susu kacang tanah instan, daya serap air bubur susu adalah 1.993.47 ml/g. Biskuit formula terpilih memiliki daya serap air yang lebih rendah daripada bubur susu. Fernando menambahkan semakin rendah daya serap air pada makanan balita semakin baik, karena menyebabkan bayi tidak mudah kenyang dan rehidrasinya lebih mudah.
c. Tekstur Biskuit Menurut Peleg dan Bagley (1983), produk pangan yang bersifat padat bervariasi bentuk, ukuran, dan responsnya terhadap gaya yang mengenainya. Ditinjau dari sifat reologinya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi
produk yang bersifat padat, semi padat, dan viskoelastis. Biskuit termasuk ke dalam produk yang bersifat padat. Produk pangan yang padat adalah produk yang tidak mengalami perubahan bentuk (deformasi) apabila dikenakan gaya
Gaya
tarik atau gaya tekan.
Jarak
Gambar 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer Prinsip pegukuran tekstur bahan pangan dengan teksturometer adalah dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Pengukuran parameter reologi dapat dilakukan dengan instrument Tekstur Analyzer seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Parameter reologi yang diukur pada produk biskuit adalah kekerasan dan kerapuhan. Kekerasan ditentukan dari gaya maksimum (nilai puncak), sedangkan kerenyahan ditentukan dari puncak yang pertama kali terbaca pada tekanan yang pertama (Faridah et al. 2008). Profil perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil uji menunjukan, untuk parameter kerenyahan nilai rata-rata yang diperoleh adalah 246.6 N/mm, dimana berdasarkan hasil penelitian Sulaeman (1993) pada makanan balita, nilai kekerasan antara 237299 masuk dalam kategori renyah.
4. Sifat Kimia Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis proksimat, perhitungan kandungan energi dan daya cerna protein biskuit. Data hasil analisis sifat kimia biskuit dapat dilihat pada Lampiran 34 sampai 40.
a. Analisis Proksimat Biskuit Kandungan gizi pada biskuit diuji dengan melakukan analisis proksimat dan daya cerna protein. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Selain itu dilakukan juga penghitungan energi yang terkandung dalam biskuit. Hasil analisis proksimat biskuit dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih Komponen
Jumlah Basis Basah
Basis Kering
Air
3.96
4.13
Abu
2.42
2.52
Protein
18.77
19.55
Lemak
21.12
21.99
Karbohidrat
53.72
55.94
Energi
480
Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada proses
pemanggangan
biskuit,
terjadi
proses
pemanasan
dan
proses
pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang disukai. Kadar air biskuit yang dihasilkan adalah 3.96% (bb). Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memenuhi persyaratan mutu biskuit berdasarkan SNI. Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5% (bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb). Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini
disebabkan oleh tepung ikan yang ditambahkan dalam formula. Kadar abu tepung kepala ikan adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44% (bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) sedangkan menurut SNI kadar abu tepung terigu maksimal 0.6% (bb). Oleh sebab itu substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai terhadap terigu pada formula biskuit akan meningkatkan kandungan abu dalam biskuit yang dihasilkan. Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, pada biskuit yang ditujukan untuk anak balita gizi kurang ini, penambahan jumlah protein pada biskuit menjadi prioritas yang utama. Menurut Winarno (1997), protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Pengukuran kadar protein biskuit mengunakan metode Kjeldhal yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk contoh biskuit. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein, maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein adalah 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6.25. Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah 18.77% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai
yang merupakan bahan makanan tinggi protein. Tujuan utama dari substitusi adalah untuk meningkatkan kandungan protein biskuit, sehingga dengan kadar protein biskuit sebesar 18.77%, penggunaan tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat dikatakan berhasil meningkatkan kadar protein biskuit. Menurut Manley (1998), lemak merupakan bahan baku paling penting dalam pembuatan biskuit. Lemak merupakan komponen terbesar selain tepung dan gula. Pada pembuatan biskuit, digunakan dua jenis sumber lemak, yaitu margarine dan mentega. Fungsi utama lemak dalam pembuatan biskuit adalah sebagai pengemulsi, tetapi selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk cita rasa dan memberikan tekstur pada biskuit. Semakin banyak lemak yang ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan. Kandungan lemak biskuit yang dihasilkan adalah 21,99% (bk), sedangkan menurut SNI 01-2973-1992, kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5%. Jila dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar lemak produk berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, biskuit yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu biskuit jika mengacu pada persyaratan mutu biskuit pada SNI. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat luas dan murah. Karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 1997). Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara lain tepung terigu, gula, dan susu. Kadar karbohidrat pada biskuit dihitung dengan penentuan kadar karbohidrat secara kasar menggunakan metode by difference. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit yang dihasilkan adalah 53.72% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan minimum kadar karbohidrat biskuit terigu yang tercantum pada SNI (70%), kadar karbohidrat biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai lebih rendah. Pengurangan kadar karbohidrat ini dikarenakan terjadi penggantian sebagian tepung terigu yang menjadi sumber utama karbohidrat pada biskuit dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi protein dan rendah karbohidrat.
Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit terigu pada SNI, kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan gizi yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan. Menurut Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi kandungan zat gizi lain. Dalam percobaan ini, zat gizi yang mengalami penurunan adalah karbohidrat.
b. Kandungan Energi Biskuit Kandungan energi pada biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai diperoleh dengan mengkonversikan protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar, dimana 1 gram lemak dapat dikonversi menjadi 9 kkal. Sedangkan protein dan karbohidrat menghasilkan energi 4 kkal per gram (Fennema 1996). Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energy biskuit adalah sebesar 480 kkal per 100 gram biskuit. Menurut SNI 01-2973-1992, syarat kandungan energi pada biskuit terigu minimal 400 kkal per 100 gram. Demikian pula menurut FAO/WHO (1994), energi pada komposisi makanan tambahan untuk balita minimal mengandung 400 kkl per 100 gram makanan. Jika mengacu pada persyaratan diatas, maka nilai energi biskuit yang dihasilkan berada di atas persyaratan minimum nilai energi.
c. Daya Cerna Protein Biskuit Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4) proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan
meningkatkan daya cerna. Tetapi ditambahkan pula, dengan pemanggangan daya cerna dapat menurun karena asam amino bebas dapat berikatan dengan gugus karboksil gula pereduksi seperti fruktosa, laktosa, dan maltosa membentuk reaksi nonensimatik Maillard. Reaksi Maillard bertanggung jawab dalam pembentukan aroma dan cita rasa produk yang melalui proses pemanggangan. Produk dari reaksi Maillard tidak mempunyai nilai gizi pada mamalia. Analisis
daya
cerna
protein
dapat
dilakukan
secara
biologis,
mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik. Pada penelitian ini digunakan metode enzimatik secara in vitro untuk melihat bioavailabilitas protein pada biskuit. Hsu et al. (1977) menyatakan prinsip dasar pengukuran daya cerna secara in vitro dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan larutan multienzim, proses hidrolisis ini akan membebaskan gugus karboksil asam amino yang menyebabkan penurunan pH. pH suspensi protein pada menit ke-10 setelah hidrolisis berkorelasi baik dengan daya cerna protein secara biologis. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Menurut Muchtadi (1989), protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran daya cerna protein biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar 89.34%. Daya cerna ini dapat dikatakan sedang, karena nilainya menyerupai daya cerna kacang-kacangan dan nasi menurut FAO/WHO/UNU (1995).
5. Analisis Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi (AKG) atau biasa juga dikenal dengan recommended daily allowance (RDA) merupakan taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk, sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai taraf asupan yang aman (safe level of intake). Suatu produk dapat memberikan kontribusi sejumlah zat gizi tertentu dengan menghitung kontribusinya terhadap
AKG. Untuk itu diperlukan penentuan jumlah saji sehingga angka kecukupan gizi per saji dan kontribusinya terhadap AKG dapat dihitung. Produk biskuit pada penelitian ini hanya menekankan kontribusi protein yang diberikan biskuit terhadap pemenuhan AKG balita. Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (2004), AKG untuk energi dan protein balita umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Menurut BPOM (2004), pangan dapat dikatakan “tinggi” protein bila memenuhi sedikitnya 20% dari AKG yang dianjurkan per saji. Bila AKG untuk balita yang digunakan adalah AKG untuk anak usia 4-6 tahun maka, 20% dari 39 gram protein adalah 7.8 gram protein yang harus dipenuhi dari sajian. Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai, berdasarkan hasil proksimat dan penghitungan energi, per 100 gram sajian menyumbangkan 480 kkal energi dan
18.8 gram (bb) protein. Berarti untuk
memenuhi target tinggi protein jumlah biskuit yang harus dikonsumsi adalah 41.56 gram biskuit (perhitungan disajikan pada lampiran 41). Dengan kata lain, untuk memenuhi 20% AKG protein, balita harus mengkonsumsi biskuit sebanyak 41.56 gram biskuit. Apabila memperhitungkan daya cerna protein produk sebesar 89.34%, maka biskuit yang harus dikonsumsi untuk memenuhi 20% AKG adalah sebanyak 46.52 gram (perhitungan disajikan pada Lampiran 40). Bila satu keping biskuit beratnya sekitar 12.5 gram, untuk memenuhi target, balita harus mengkonsumsi 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit. Dengan asumsi jumlah biskuit yang dikonsumsi sebanyak 50 gram, maka diperoleh kandungan zat gizi per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) Energi & Zat Gizi
Jumlah per sajian (gram)
Energi (kkal)
240
Protein (gram)
9.8
Karbohidrat (gram)
26.9
Lemak (gram)
10.6
Setelah diketahui kandungan energi dan zat gizi per takaran penyajian, maka dapat dibuat penentuan AKG per takaran penyajian. Perhitungan AKG didasarkan pada kecukupan energi dan protein balita menurut WNPG (2004) yang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun. Perhitungan AKG per sajian disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram) Zat Gizi
AKG (%)
Zat gizi per takaran saji
Usia 1-3 tahun
Usia 4-6 tahun
Protein
9.8 gram
39.20
25.12
Energi
240 kkal
24
15.48
Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memiliki kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi. Dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein. Selain itu biskuit juga memenuhi kriteria WHO sebagai makanan tambahan karena per 100 gram biskuit mengandung lebih dari 400 kkal energi dan 15 gram protein. Oleh karena itu, biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat dikatakan makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi (presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan dengan willey mill. 2.
Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) didapat hasil, untuk tepung kepala ikan kadar air
8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk),
kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat 7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak 10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk). Berdasarkan pengukuran aw menggunakan aw-meter diketahui Aw tepung badan ikan adalah 0.7068, sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.6612. Pengukuran densitas kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah 0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan ikan. Derajat putih tepung kepala dan tepung badan ikan masing-masing adalah 29.00% dan 30.96%. 3. Biskuit yang dibuat dalam penelitian ini adalah jenis short dough. Tahapan dalam pembuatan biskuit diawali dengan pencampuran bahan, pemipihan, pencetakan dan pemanggangan. Pencampuran bahan dibagi menjadi tahap creaming dan pencampuran bahan kering. Pemipihan dilakukan dengan rolling pin sehingga didapat ketebalan adonan 0.5 cm. Pencetakan dilakukan dengan cetakkan lingkaran berdiameter 5 cm. Suhu awal pemanggangan adalah 140oC dan suhu akhir 160oC. 4.
Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit dengan penambahan sumber protein. Hal ini didasarkan pada sasaran pembuatan biskuit ini adakah bagi anak yang menderita KEP (Kekurangan Energi Protein). Hasil uji organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis
paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5% tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai. 5. Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%. Hasil organoleptik oleh panelis ibu balita terhadap formula F4 menunjukan bahwa ≥70% ibu menyukai biskuit formula F4. 6. Analisis biskuit formula F4 adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap ait biskuit adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukan nilai untuk parameter kerenyahan 246.60. 7. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit. 50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.
Saran Tepung ikan belum terlalu dikembangkan, padahal dengan kandungan gizi yang tinggi tepung ikan sangat berpotensi diaplikasikan dalam makanan. Oleh karena itu pengembangan aneka ragam pangan berbasis tepung ikan sangat disarankan. Tepung ikan yang dihasilkan memiliki ukuran partikel tepung ikan juga kurang halus, oleh sebab itu disarankan untuk mencari metode penggilingan lain untuk mendapatkan tepung ikan yang lebih halus. Selain itu disarankan juga
untuk dilakukan uji daya cerna protein dan pengukuran asam amino pada tepung ikan untuk melengkapi informasi mengenai tepung ikan lele dumbo. Saran untuk penelitian lanjutan mengenai pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai gizi, keamanan dan daya terima biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai. Hal ini dibutuhkan karena balita adalah kelompok umur yang sensitif terhadap cemaran.
DAFTAR PUSTAKA Annonymous. 2006. Pembenihan Ikan Lele Dumbo. http://viewtopic.ptp.htm/lele dumbo/ Pembenihan_Ikan_Lele_Dumbo [13 September 2008]. Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Antarlina SS. 1998. Teknolohi Pengolahan Tepung Komposit Terigu-Ubi Jalar sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Di dalam: Winarno FG, W Lukito, Abdurrahman, MM Ardana dan B Wijaya. 2003. Kumpulan Hasil Peneliti Terbaik Bogasari Nugraha 1998-2001. Jakarta: Bogasari Flour Mills. Apriantono A, D Fardiaz & N Puspitasari, S Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Astawan M. Lele bantu pertumbuhan janin. http://wilystra2007.multiply.com/ journal/item/62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin [13 September 2008] Azhar TN, dkk. 2006. Rekayasa kadar omega-3 pada ikan lele melalui modifikasi http://animaldiversity.ummz.umich.edu /site/accounts/ pakan. information/Clarias_gariepinus [13 September 2008] Bluestein PM & TP Labuza. 1988. Effect of Moisture Removal on Nutriens. Dalam E. Kermas dan RS Harris (ed.) Nutritional Evaluation of Food Processing 3th Edition. New York: Van Nostrand Reinhold. Brennan JG. 1974. Food Engineering Operations. London: Applied Science Publ. Ltd. Cheftel JC, JL Cuq & D Lorient. 1985. Proteines Alimentaries. Paris: Tech and Doc., Lavoisier. [DKBM] Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2004. Jakarta: LIPI FAO/WHO. 1994. Guidelines on Formulated Suplementary Food for Older Infants and Young Children. Roma: FAO/WHO. Faridah DN et al. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Faridi H & JM Faubion. 1990. Dough Reology and Baked Product Texture. Nostrand Reinhold, USA. Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Marcel Dekker, Inc. Fernando ER. 2008. Formulasi susu kacang tanah instan sebagai alternatif makanan pendamping ASI. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty. Ilyas S. 1993. Kemungkinan Membuat Makanan dengan Kadar Protein Ikan Tinggi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian. Inayati I. 1991. Biskuit berprotein tinggi dari campuran tepung terigu, singkong dan tempe kedelai. [skripsi]. Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2004. Peran Pangan dan Gizi untuk Kuaitas Hidup. Jakarta: PT Grasindo. Khumaidi M. 1987. Angka kecukupan energi dan protein, penggunaanya. Media Gizi dan Keluarga. XI (1-2):16-21.
nilai
dan
Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Lehninger. 1992. Dasar Dasar Biokimia. Maggy Thenawijaya, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama LIPI. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ___. 1999. Tepung Ikan. Jakarta: Proyek Sistem Informasi Nasional Guna Menunjang Pembangunan. Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Manley D. 1998. Technology of Biscuit, Cracker, and Cookies Third Edition. Washington: CRC Press . 2000. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipes for the Food Industry. Washington: CRC Press Matthews RH. 1989. Legumes (Chemistry, Technology and Human Nutrition). New York: Marcel Dekker Inc.,. Matz SA & T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. Texas: The AVI Publishing Co., Inc. Meilgaard M, GV Civille & BT Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques New York: CRC Press. Mendez IM & JMG Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery Product. Dalam Sun DW (ed.) Thermal Food Processing: New Technologies and Quality Issues. New York: CRC Press. Moeljanto. 1982a. Pengolahan Hasil-Hasil Samping Ikan. Jakarta: PT Penebar Swadaya.
. 1982b. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: PT Penebar Swadaya. . 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. _________. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. _________. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Pearson AM & RB Young. 1989. Muscle and Meat Biochemistry. San Diego: Acad. Press Inc. Peleg M & EB Bagley. 1983. Physical Properties of Food. Connecticut: AVi Publishing Company, Inc. Rieuwpassa F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan prebiotik sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi anak balita. [tesis] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiawati. 1984. Pembuatan biskuit konsentrat dedak padi. [skripsi]. Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soebito S. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: UGM Prss. Sikorski ZE, A Kalakowski & B Pan. 1990. The Nutritive Composition of The Major Groups of Marine Food Organism. Di dalam Z. E. Sikorski (ed.). Seafood : Resources, Nutritional Composition and Preservation. Florida: CRC Press Inc. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Sultan WJ. 1983. Modern Pastry Chef Vol.1. Connecticut: The AVI Publishing, Westport.
Suyanto S & NY Rachmatun. 2007. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Suzuki T. 1981 Fish & Krill Proteins. Processing Technology. London: Appl. Sci Publ. Tarwotjo CS. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Gramedia Widiasarana Vail GE, JA Philips, LO Rust, RM Griswold & M Justin. 1978. Foods. 7th edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Winarno. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia. Wirakartakusumah MA, K Abdullah & AM Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor. PAU Pangan dan Gizi IPB. Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of in-live Production. London: Applied Science Publishers. Wiyati D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri (Stolephorus sp.) Terhadap Karakteristik dan Daya Terima Biskuit untuk Anak Balita. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Panagan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wilkens WF et al. 1967. Effect of Processing Method on Oxidative Off Flavour of Soybean Milk. Food Technol. 21:1630. Soekirman et al. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Food. New York: Springer.
Lampiran 1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan
Gambar 15 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Gambar 16 Ikan lele dumbo yang telah dipisahkan kepala, kulit dan badannya
Gambar 17 Badan ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan
Gambar 18 Kepala ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan
Gambar 19 Ikan lele dumbo dalam autoklaf untuk proses pemasakan
Gambar 20 Badan ikan lele dumbo matang
Gambar 21 Kepala ikan lele dumbo matang
Gambar 22 Pengepresan dengan hidrolik pres
Gambar 23 Ikan yang telah dipress
Gambar 24 Ikan yang sedang dikeringkan menggunakan drum dryer
Lampiran 2 Analisis sifat kimia dan fisik 1. Analisis Derajat Putih Tepung dengan Whiteness Meter (Faridah et al. 2008) Whiteness Meter Model C-100 digunakan untuk mengukur tingkat warna putih (derajat putih) dari contoh tepung-tepungan. Alat ini dikalibrasi dengan standar derajat putih yang diperoleh dari asap pembakaran pita MgO. Pengukuran dimulai dengan persiapan (kalibrasi) alat. Pertama pastikan alat dalam kondisi mati, lalu penutup contoh dibuka dan dipastikan filter telah terpasang pada tempatnya. Plat kalibrasi dimasukkan ke dalam cawan contoh dengan warna putih menghadap keatas, kemudian ditutup. Alat dinyalakan dengan menekan tombol on, lalu ditunggu selama 6 menit hingga tanda”WAIT” hilang. LED akan menampilkan nilai derajat putih dari plat kalibrasi tersebut. Alat siap digunakan. Sebelum pengukuran, filter gelas dari wadah contoh harus dibersihkan dengan lap dan kuas khusus yang telah disediakan. Contoh ditempatkan ke cawan contoh dengan jumlah sedikit melebihi bibir cawan. Lalu cawan yang berisi
contoh
dimasukkan
ke
wadah
contoh.
Kemudian
suhu
contoh
diseimbangkan dengan menekan wadah contoh ke atas tempat pengukuran. Lalu masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran hingga alat menyala. LED akan menampilkan
nilai
derajat
putih.
Nilai
derajat
putih
diukur
dengan
membandingkan nilai derajat putih yang dibaca pada alat dengan nilai derajat putih BaSO4 sebagai standar yaitu sebesar 110.8. Nilai derajat putih contoh =
Nilai derajat putih
x 100%
Nilai derajat putih BaSO4 2. Uji Densitas Kamba (Wiyati 2004) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 ml dan dibaca volumenya. Adapun densitas kamba dihitung sebagai perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan yang dibaca pada gelas ukur dengan satuan gram per ml.
Densitas Kamba = Berat Bahan (gram) Volume Bahan (ml)
3.
Uji Daya Serap Air (Wiyati 2004) Sebanyak 1 gram contoh dicampur dengan 10 ml aquades menggunakan
pengaduk magnetik. Campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar lalu disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya volume supernatan diukur. Jumlah air yang diserap (g/g)= berat air awal – berat supernatant berat contoh 4. Uji Kekerasan (Wiyati 2004) Kekerasan berhubungan dengan kerenyahan biskuit, yaitu mudah tidaknya biskuit menjadi remuk (pecah) ataupun membelah. Kekerasan biskuit ditentukan secara objektif menggunakan Texture Analyzer. Alat diset terlebih dahulu khusus untuk biskuit. Nilai kekerasan merupakan tinggi puncak pada saat biscuit pecah atau belah dengan menggunakan alat seperti pisau (blade). Nilai deformasi (mm) merupakan jarak horizontal awal silinder menyentuh biskuit sampai titik tengah puncak kurva. Perhitungan nilai kekerasan dinyatakan dengan satuan force. Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit Type
Plain Dough Biscuits
Objective Mode Option Pre- test Speed Test Speed Post - test Speed Distance Trigger type Data Acquistion Rate Probe
Hardness Measurement of Biscuit by Probing TA- XT2 Measure Force in Compression Return to Start 2.0 mm/s 0.5 mm/s 10.0 mm/s 4 mm Auto - 5 g 200 pps 2 mm cylinder Probe (P/2)
5. Nilai aw (Wiyati 2004) Pengukuran aw dilakukan dengan aw-meter. Mula-mula alat distandarisasi dengan NaCl jenuh, yang memiliki aw 0.7547; 0.7529; 0.7509 pada suhu 20, 25, dan 29oC, lalu ditempatkan di dalam wadah yang terbuka dan dimasukkan ke tempat pengukuran aw lalu ditutup rapat. Nilai aw dapat dibaca beberapa lama setelah tertulis “completed”. Bila aw kurang dari 0.750 maka swich diputar sampai mencapai 0.750. Setelah itu diukur lagi sampai tertulis “ completed”. Pengukuran aw sample dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan menempatkan sample pada wadah dan diletakan di dalam aw-meter sampai tertulis “completed”.
6. Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang sampel dengan neraca analitik sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram). Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selish berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram). Kadar air (basis kering) = Keterangan
b – (c-a) x 100 % c-a
:
b= bobot sampel (g) c= bobot sampel dan cawan sesudah dikeringkan (g) a= bobot cawan kosong (g) 7. Penentuan Kadar Abu (Apriyantono et al. 1989) Sampel ditimbang 2.0-3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4-5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram). % kadar abu =
berat abu x 100 % berat sampel
8. Penentuan Kadar Protein (AOAC 1995) Penentuan kadar protein sampel menggunakan metode mikro Kjeldhal. Sampel ditimbang 0.2 g. Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 10 gram selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat kemudian didestruksi selama 1 jam (sampai larutan berwarna jernih). Labu Kjeldhal didinginkan dan dipindahkan ke labu didihsambil ditambah air (250-300 ml) lalu diberi indicator mm-mb sebanyak 3 tetes. Setelah itu, sampel ditambahkan larutan NaOH 30% sampai berubah warna menjadi hijau, lalu dimasukkan ke dalam alat destilasi. Digunakan asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil
dan metil biru 3 tetes. Destilasi sampai mendapatkan 75 ml destilat. Hasil ini kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai titik akhir dari titrasi. Titik akhir titrasi ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi ungu. Kadar protein dihitung dengan rumus;
%N =
(ml HCl
contoh
− ml HClblanko )xN HClx14.007 x100 mg contoh
Kadar Protein = 6.25 x %N 9. Penentuan Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992) Penentuan kadar lemak sampel menggunakan metode ekstraksi langsung dengan alat Soxhlet. Sampel ditimbang ± 5 gram kemudian dimasukkan kedalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas dan disumbat dengan kapas. Setelah itu, dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah diketahui bobotnya. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam dengan menggunakan pelarut heksan. Setelah diperoleh labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut, labu dikeringkankan dengan oven 105°C. Labu lemak dimasukkan dalam desikator dan setelah itu ditimbang berat labu berisi lemak. Kadar lemak dihitung dengan rumus;
Kadar lemak (%) =
bobot lemak bobot sampel
x100%
10. Penentuan Kadar Karbohidrat (by difference) Penentuan
kadar
karbohidrat
dilakukan
dengan
menggunakan
perhitungan Carbohydrate by Difference. Perhitungan ini bukan berdasarkan analisis tetapi berdasarkan perhitungan sebagai berikut: % Karbohidrat = 100% - %(protein + lemak + abu + air)
11. Uji Daya Cerna Protein Teknik Multienzim (Hsu et al. 1977 dalam Muchtadi 1993) Sampel digiling halus, lalu sampel disuspensikan dalam air destilata sampai diperoleh 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 50 ml suspense dituang ke dalam gelas piala, kemudian diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan menambahkan HCl atau NaOH 0.1N. Letakkan gelas piala dalam penangas air bersuhu 37oC dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Lalu tambahkan 5 ml larutan
multienzim (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol, stopwatch dijalankan) kedalam suspense sampel protein sambil tetap diaduk dalam penangas air 37oC. Kemudian catat pH suspense sampel pada menit ke 10. APD (%) = 210,46 -18,10 pH akhir (10 menit)
12. Perhitungan Jumlah Energi Jumlah energi dapat dihitung dengan mengkonfersikan kandungan kimia (kadar karbohidrat, kadar protein, dan kadar lemak) biskuit dengan faktor konfersi masing-masing kandungan. Karbohidrat dan protein memiliki faktor konfersi sebesar 4 kkal/g, sedangkan faktor konfersi lemak adalah 9 kkal/g. Hasil konversi dijumlah dan hasil penjumlahan tersebut merupakan kandungan energi dari biskuit. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut. Jumlah Energi/100gram Keterangan:
= (4xA)+(4xB)+(9xC)
A = kadar karbohidrat B = kadar protein C = kadar lemak
13. Uji Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji penerimaan untuk menilai daya terima konsumen terhadap biskuit. Daya terima konsumen dimulai dari skor 1 (tidak suka) sampai 5 (sangat suka). 1= sangat tidak suka 2= tidak suka 3= biasa/netral 4= suka 5= sangat suka
Lampiran 3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa Lembar Uji Kesukaan Biskuit
Nama Panelis
:
Tanggal Pengujian:
Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini : 1 : Sangat tidak suka 2 : Tidak suka 3 : Biasa 4 : Suka 5 : Sangat suka Kode
Rasa
Aroma
Warna
Tekstur
Keseluruhan
555 735 221 311 Komentar : .......................................................................................................................... Terima Kasih
Lampiran 4 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita Nama Panelis
:
Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin
:L/P
Nama Produk
: Biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dan isolat protein kedelai
Dihadapan adik telah disajikan biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dan isolat protein kedelai. Cicipilah sebagian biskuit, kunyak baik-baik, lalu berikan penilaian sesuai bentuk wajah dibawah ini.
Tidak Suka
Netral/biasa
Suka
Lampiran 5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita Lembar Uji Kesukaan Biskuit
Nama Ibu
:
Tanggal Pengujian:
Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini : 1 : Sangat tidak suka 2 : Tidak suka 3 : Biasa 4 : Suka 5 : Sangat suka Rasa
Aroma
Warna
Tekstur
Keseluruhan
Komentar : .......................................................................................................................... Terima Kasih
Lampiran 6 aw Tepung Ikan Sampel
Ulangan 1
Tepung Daging 2 1 Tepung Kepala 2
aw x + SD 0.728 0.729 0.7068 + 0.0252 0.683 0.687 0.702 0.703 0.6612 + 0.0477 0.617 0.623
Lampiran 7 Densitas Kamba Tepung Ikan Sampel
Ulangan Densitas Kamba (ml/g) 1
Tepung Daging 2 1 Tepung Kepala 2
0.3800 0.3711 0.3686 0.3644 0.4579 0.4516 0.4566 0.4488
x + SD
0.3710 + 0.0066
0.4537 + 0.0043
Lampiran 8 Derajat Putih Tepung Ikan Sampel Ulangan Derajat Putih x + SD 35.46 1 35.38 Tepung Daging 30.9575 + 5.1543 26.35 2 26.64 33.27 1 33.64 Tepung Kepala 28.9975 + 5.1514 24.72 2 24.36
Lampiran 9 Kadar Air Tepung Ikan
Sampel Tepung Daging
Tepung Kepala
Ulangan 1 2 1 2
Kadar Air x + SD (% BB) (% BB) 9.1639 9.3623 7.9936 + 1.4682 6.7040 6.7443 10.9855 11.2100 8.7237 + 2.7436 6.2692 6.4303
Lampiran 10 Kadar Abu Tepung Ikan Sampel
Tepung Daging
Tepung Kepala
Ulangan
1 2 1 2
Kadar Abu (% BB) 3.5739 3.5928 5.3127 5.2971 19.0131 19.0204 14.0345 14.0337
x + SD (% BB)
4.4441 + 0.9940
16.5254 + 2.8767
Lampiran 11 Kadar Protein Tepung Ikan Kadar x + SD Sampel Ulangan Protein (% (% BB) BB) 59.6565 1 58.6613 Tepung 58.7237 + Daging 0.6478 58.2349 2 58.3419 56.9189 1 51.6792 Tepung 51.1535 + Kepala 4.4089 46.4253 2 49.5906
Kadar Abu (% BK) 3.8844 3.9049 5.7743 5.7574 20.8302 20.8383 15.3758 15.3750
Kadar Protein (% BK) 64.8395524 63.7578369 63.2943604 63.4107103 62.3589406 56.6184518 50.8623443 54.3302314
x + SD (% BK)
4.8303 + 1.0804
18.1048 + 3.1517
x + SD (% BK) 63.8256 + 0.7040
56.0425 + 4.8303
Lampiran 12 Kadar Lemak Tepung Ikan Kadar x + SD Sampel Ulangan Lemak (% BB) (%BB) 11.9137 1 11.8301 Tepung 9.9636 + Daging 2.2038 8.0731 2 8.0374 5.9054 1 5.2141 Tepung 8.5672 + Kepala 3.4853 11.6830 2 11.4664 Lampiran 13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan Kadar x + SD Sampel Ulangan Karbohidrat (% BB) (%BB) 15.6920 1 16.5535 Tepung 18.8750 + Daging 3.1976 21.6753 2 21.5792 7.1771 1 12.8763 Tepung 15.0300 + Kepala 6.3513 21.5572 2 18.5093
Kadar Lemak (% BK) 12.9488 12.8579 8.7745 8.7357 6.4698 5.7124 12.7996 12.5623
Kadar Karbohidrat (% BK) 17.0553 17.9917 23.5584 23.4541 7.8630 14.1070 23.6176 20.2783
x + SD (% BK) 10.8292 + 2.3953
9.3860 + 3.8184
x + SD (% BK)
20.5149 + 3.4755
16.4665 + 6.9583
Lampiran 14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu Kadar Air Kadar Air Sampel (% BB) x + SD (% BB) (% BK) x + SD (% BK) 8.4929 7.8281 7.7668 + 0.0866 8.4209 + 0.1018 8.3489 ISP 7.7056 5.6139 5.3155 5.4015 + 0.1216 5.7100 + 0.1359 5.8061 Susu 5.4875 Lampiran 15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu Kadar Abu Kadar Abu x + SD (% BB) x + SD (% BK) Sampel (% BB) (% BK) 4.3742 4.7425 4.3635+ 0.0151 4.7309 + 0.0164 4.3528 4.7193 ISP 4.7532 5.0246 4.7462 + 0.0099 5.0172 + 0.0104 Susu 4.7393 5.0099
Lampiran 16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu Kadar Protein (% Kadar Protein (% Sampel BB) x + SD (% BB) BK) 80.8079 87.6126 80.7770 + ISP 80.7460 0.0438 87.5455 50.4991 53.3825 50.5472+ Susu 50.5953 0.0681 53.4843
x + SD (% BK) 87.5791 + 0.0475 53.4334 + 0.0720
Lampiran 17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu Sampel ISP Susu
Kadar Lemak (%BB) 2.3452 2.4012 18.7534 19.0116
x + SD (% BB) 2.3732 + 0.0396 18.8825 + 0.1826
Kadar Lemak (% BK) 2.5427 2.6034 19.8242 20.0971
x + SD (% BK) 2.5731 + 0.0430 20.5230 + 0.1930
Lampiran 18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu Sampel ISP Susu
Kadar Karbohidrat (%BB)
x + SD (% BB)
Kadar Karbohidrat (% BK)
x + SD (% BK)
4.6446 4.7944 20.6789 20.1663
4.7195 + 0.1059
5.0357 5.1981 21.8596 21.3178
5.1169 + 0.1148
20.4226 + 0.3624
21.5887+ 0.3831
Lampiran 19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1 Bahan Baku
Komposisi (%)
Formula (g)
Kontribusi Zat Gizi
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Air
Abu
Harga/1 kg
Protein
Lemak
Karbohidrat
Harga Aktual
Tepung Badan Ikan Lele
50
7.99
4.44
58.72
9.96
18.88
4.00
2.22
29.36
4.98
9.44
150000
7500
Tepung Kepala Ikan Lele
50
8.72
16.5
51.15
8.57
15.03
4.36
8.27
25.58
4.29
7.52
75000
3750
Isolat Protein Kedelai
50
7.77
4.36
80.24
2.37
5.26
3.89
2.18
40.12
1.19
2.63
55000
2750
Tepung Terigu
250
12
0.5
8.9
1.3
77.3
30.00
1.25
22.25
3.25
193.25
6008
1502
Gula Halus
180
5.4
0.6
0
0
94
9.72
1.08
0.00
0.00
169.20
8000
1440
Telur
180
74
1
12.8
11.5
0.7
133.20
1.80
23.04
20.70
1.26
16000
2880
Mentega
90
16.5
0.5
0.5
81.6
1.4
14.85
0.45
0.45
73.44
1.26
40000
3600
Margarin
90
15.5
2.5
0.6
81
0.4
13.95
2.25
0.54
72.90
0.36
30000
2700
Tepung susu
60
5.4
4.74
50.06
18.88
20.92
3.24
2.84
30.04
11.33
12.55
60000
3600
217.20
22.34
171.37
192.07
397.47 30000 12000
120 24
Total
1000
Baking Powder
4
Soda Kue Kandungan Zat Gizi Adonan (%) Kandungan Zat Gizi Biskuit(%)
2
Kontribusi Energi Total Energi Harga per resep
0.00
0.00
21.72
2.23
17.1
19.21
39.747
21.72
2.23
17.14
19.21
39.75
4.2
2.73
21
23.51
48.642
3.85
2.73
20.97
23.51
48.64
0.00
0.00
83.89
211.55
194.57
490.01 29866
Lampiran 20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2 Bahan Baku
Komposisi (%)
Formula (g)
Kontribusi Zat Gizi
Harga/1 kg
Harga Aktual
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele
70
7.99
4.44
58.72
9.96
18.88
5.59
3.11
41.10
6.97
13.22
150000
10500
Tepung Kepala Ikan Lele
30
8.72
16.5
51.15
8.57
15.03
2.62
4.96
15.35
2.57
4.51
75000
2250
Isolat Protein Kedelai
50
7.77
4.36
80.24
2.37
5.26
3.89
2.18
40.12
1.19
2.63
55000
2750
Tepung Terigu
250
12
0.5
8.9
1.3
77.3
30.00
1.25
22.25
3.25
193.25
6008
1502
Gula Halus
180
5.4
0.6
0
0
94
9.72
1.08
0.00
0.00
169.20
8000
1440
Telur
180
74
1
12.8
11.5
0.7
133.20
1.80
23.04
20.70
1.26
16000
2880
Mentega
90
16.5
0.5
0.5
81.6
1.4
14.85
0.45
0.45
73.44
1.26
40000
3600
Margarin
90
15.5
2.5
0.6
81
0.4
13.95
2.25
0.54
72.90
0.36
30000
2700
Tepung susu
60
5.4
4.74
50.06
18.88
20.92
3.24
2.84
30.04
11.33
12.55
60000
3600
217.05
19.92
172.89
192.35
398.24 30000 12000
120 24
Total
1000
Baking Powder
4
Soda Kue
2
Kandungan Zat Gizi Adonan (%) Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) Kontribusi Energi Total Energi Harga per resep
0.00
0.00
21.7054
1.99
17.3
19.23
39.82
21.71
1.99
17.29
19.23
39.82
4.2
2.44
21.2
23.54
48.73
4.20
2.44
21.15
23.54
48.73
0.00
0.00
84.62
211.82
194.91
491.34 31366
Lampiran 21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3
Bahan Baku
Komposisi (%)
Formula (g) Air
Abu
Kontribusi Zat Gizi
Protein
Lemak
Karbohidrat
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Harga/1 kg
Harga Aktual
Tepung Badan Ikan Lele
25
7.99
4.44
58.72
9.96
18.88
2.00
1.11
14.68
2.49
4.72
150000
3750
Tepung Kepala Ikan Lele
25
8.72
16.5
51.15
8.57
15.03
2.18
4.13
12.79
2.14
3.76
75000
1875
Isolat Protein Kedelai
100
7.77
4.36
80.24
2.37
5.26
7.77
4.36
80.24
2.37
5.26
55000
5500
Tepung Terigu
250
12
0.5
8.9
1.3
77.3
30.00
1.25
22.25
3.25
193.25
6008
1502
Gula Halus
180
5.4
0.6
0
0
94
1.08
0.00
0.00
169.20
8000
1440
Telur
180
74
1
12.8
11.5
0.7
9.72 133.2 0
1.80
23.04
20.70
1.26
16000
2880
Mentega
90
16.5
0.5
0.5
81.6
1.4
14.85
0.45
0.45
73.44
1.26
40000
3600
Margarin
90
15.5
2.5
0.6
81
0.4
13.95
2.25
0.54
72.90
0.36
30000
2700
Tepung susu
60
5.4
4.74
50.06
18.88
20.92
3.24 216.9 1
2.84 19.2 8
30.04
11.33
12.55
60000
3600
184.02
188.62
391.62 30000 12000
120 24
Total
1000
Baking Powder
4
Soda Kue Kandungan Zat Gizi Adonan (%) Kandungan Zat Gizi Biskuit(%)
2
Kontribusi Energi Total Energi Harga per resep
21.691 4.2
1.9 3 2.3 6
18. 4 22. 5
0.00 39.16 18.86 2 47.90 23.07 9
0.00 21.25
2.03
17.55
19.36
39.85
4.20
2.36
22.51
23.07
47.91
0.00
0.00
90.05
207.67
191.64
489.36 26991
Lampiran 22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4 Bahan Baku
Formula (g)
Komposisi (%)
Kontribusi Zat Gizi
Harga/1 kg
Harga Aktual
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele
35
7.99
4.44
58.72
9.96
18.88
2.80
1.55
20.55
3.49
6.61
150000
5250
Tepung Kepala Ikan Lele
15
8.72
16.5
51.15
8.57
15.03
1.31
2.48
7.67
1.29
2.25
75000
1125
Isolat Protein Kedelai
100
7.77
4.36
80.24
2.37
5.26
7.77
4.36
80.24
2.37
5.26
55000
5500
Tepung Terigu
250
12
0.5
8.9
1.3
77.3
30.00
1.25
22.25
3.25
193.25
6008
1502
Gula Halus
180
5.4
0.6
0
0
94
9.72
1.08
0.00
0.00
169.20
8000
1440
Telur
180
74
1
12.8
11.5
0.7
133.20
1.80
23.04
20.70
1.26
16000
2880
90
16.5
0.5
0.5
81.6
1.4
14.85
0.45
0.45
73.44
1.26
40000
3600
Margarin
90
15.5
2.5
0.6
81
0.4
13.95
2.25
0.54
72.90
0.36
30000
2700
Tepung susu
60
5.4
4.74
50.06
18.88
20.92
3.24
2.84
30.04
11.33
12.55
60000
3600
216.83
18.07
184.78
188.76
392.00 30000 12000
120 24
Mentega
Total
1000
Baking Powder
4
Soda Kue Kandungan Zat Gizi Adonan (%)
2
Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) Kontribusi Energi Total Energi Harga per resep
0.00
0.00
21.683
1.81
18.5
18.876
39.2
21.24
1.91
17.63
19.38
39.89
4.2
2.21
22.6
23.09
47.95
4.20
2.21
22.60
23.09
47.95
0.00
0.00
90.41
207.81
191.81
490.03 27741
Lampiran 23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Skor Modus
1 2 3 4 5
Menerima Presentasi Penerimaan Panelis
Formula W 3 4 4 2 4 3 3 5 4 4 2 4 3 4 2 4 4 2 4 4 5 1 3 3 3 3 3 2 2 3 1 6 10 11 2 23
76.67
A 4 4 4 2 4 4 3 5 3 2 4 4 4 5 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4 3 2 3 2 0 4 5 17 3 25
555 T 3 2 2 3 1 3 2 5 3 2 2 4 2 4 2 4 4 2 3 3 2 2 3 2 2 3 2 4 2 3 1 14 9 5 1 15
R 3 4 3 4 2 2 4 5 4 2 2 4 3 4 4 4 2 3 2 3 2 4 4 4 5 3 5 2 3 3 3 8 8 11 0 19
K 3 4 3 4 2 3 3 5 3 4 2 3 4 2 4 4 2 3 4 4 2 4 3 5 2 3 4 3 3 3 0 6 12 10 2 24
W 2 2 4 1 3 3 3 3 3 2 4 4 2 3 4 4 5 2 3 2 2 3 4 2 3 4 2 2 2 3 1 11 10 7 1 18
83.33
50.00
63.33
80.00
60.00
A 3 3 4 3 3 4 3 4 4 2 3 3 4 3 3 4 3 4 2 4 3 4 3 4 5 4 2 3 2 2 0 5 13 11 1 25
735 T 4 2 3 2 4 3 4 4 3 4 4 4 5 3 4 3 4 4 3 3 3 3 2 2 3 4 4 4 4 3 0 4 11 14 1 26
R 2 3 2 4 3 3 3 4 2 4 2 4 4 3 4 2 2 3 4 3 3 3 4 5 4 4 4 2 3 4 0 7 10 12 1 23
K 3 3 4 4 3 4 3 4 3 2 2 4 2 4 3 4 2 3 3 3 3 3 3 5 4 4 4 2 3 4 0 5 13 11 1 25
W 4 4 3 2 3 4 3 4 4 4 2 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 2 5 2 3 4 4 4 3 4 0 4 7 18 1 29
A 3 4 3 2 3 3 3 4 4 3 4 3 4 3 4 5 3 4 4 4 2 3 4 4 5 4 3 4 4 3 0 2 12 14 2 28
221 T 4 3 2 3 3 4 3 5 4 4 2 4 4 3 3 4 3 4 4 3 4 2 4 2 5 2 3 4 2 4 0 6 9 13 2 28
R 4 3 2 3 3 3 4 5 5 2 1 4 4 4 4 3 4 4 3 4 3 5 2 4 4 2 4 4 4 3 1 4 8 14 3 26
K 4 3 3 4 3 3 3 4 4 4 2 4 4 2 3 4 4 4 4 4 3 5 2 4 4 3 4 4 4 4 0 3 8 18 1 29
W 5 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 5 4 3 4 3 5 5 4 4 4 0 0 2 22 6 30
A 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 3 3 4 4 3 4 3 4 4 3 3 5 4 4 3 2 3 3 3 3 0 1 14 14 1 29
311 T 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 5 5 4 3 5 4 0 0 4 22 4 30
R 5 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 5 4 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 5 5 5 4 4 3 4 0 0 7 18 5 30
K 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 4 3 5 5 4 3 4 4 0 0 8 20 2 30
83.33
86.67
76.67
83.33
96.67
93.33
93.33
86.67
96.67
100.00
96.67
100.00
100.00
100.00
Lampiran 24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit Ranking
Formula Warna
N
1
30
52.90
2
30
40.35
3
30
63.35
4
30
85.40
Total Aroma
120
1
30
68.02
2
30
51.50
3
30
62.13
4
30
60.35
Total Tekstur
120
1
30
37.07
2
30
60.98
3
30
60.12
4
30
83.83
Total Rasa
Rataan Rangking
120
1
30
53.95
2
30
51.12
3
30
60.62
4
30
76.32
Total
120 Statistik Ujia,b
Warna Chi-Square df Asymp. Sig.
Aroma
Tekstur
Rasa
31.222
4.116
30.827
10.762
3
3
3
3
.000
.249
.000
.013
a. Uji Kruskal Wallis b. Variabel kelompok: Formula
Lampiran 25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit Warna Tukey HSD Subset untuk alpha = 0.05 Formula
N
1
2
2
30
2.8667
1
30
3.2333
3
30
4
30
3
3.2333 3.5333 4.1333
Sig.
.311
.490
1.000
Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.
Lampiran 26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit Tekstur Tukey HSD Subset untuk alpha = 0.05 Formula
N
1
2
3
1
30
2.7000
3
30
3.3667
2
30
3.4000
4
30
4.0000
Sig.
1.000
.998
1.000
Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.
Lampiran 27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit Rasa Tukey HSD Subset untuk alpha = 0.05 Formula
N
1
2
3
1
30
3
30
3.3667
2
30
3.4000
4
30
Sig.
2.7000
4.0000 1.000
Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.
.998
1.000
Lampiran 28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita No Responden Biskuit Substitusi Biskuit Komersil 1 Suka Suka 2 Suka Suka 3 Suka Suka 4 Tidak Suka Suka 5 Suka Suka 6 Biasa Tidak Suka 7 Suka Suka 8 Suka Tidak Suka 9 Suka Suka 10 Biasa Biasa 11 Tidak Suka Tidak Suka 12 Suka Suka 13 Suka Suka 14 Suka Suka 15 Suka Suka 16 Suka Suka 17 Suka Suka 18 Suka Suka 19 Suka Suka 20 Suka Suka 21 Suka Suka 22 Suka Suka 23 Suka Suka 24 Suka Suka 25 Suka Suka 26 Suka Suka 27 Suka Suka 28 Suka Suka 29 Suka Suka 30 Suka Suka Skor Tidak Suka 2 3 Modus Biasa 2 1 Suka 26 26 % Tidak Suka 6.67 10 % Biasa 6.67 3.33 % Suka 86.67 86.67
Lampiran 29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita Statistik Sampel Berpasangan Rataan Pasangan 1
N
Std. Deviasi
Std. Rataan Galat
Biskuit_Ikan_ISP
2.8000
30
.55086
.10057
Biskuit_Kontrol
2.7667
30
.62606
.11430
Uji Sampel Berpasangan Perbedaan Pasangan 95% Interval Kepercayaan dari Std. Std. Rataan Deviasi
Perbedaan
Rataan
Batas
Batas
galat
Atas
Bawah
Sig. (2t
df
ekor)
Pasa Biskuit_Ikan_ISP ngan Biskuit_Kontrol 1
.03333 .55605
.10152
-.17430
.24097
.328
29
.745
Lampiran 30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita No Responden Rasa Aroma Warna 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Skor Sangat Modus Tidak Suka Tidak Suka Biasa Suka Sangat Suka % Sangat Tidak Suka % Tidak Suka % Biasa % Suka % Sangat Suka
Tekstur
3 4 4 4 4 4 3 3 3 4 2 4 4 4 2 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 -
4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 2 4 4 4 3 4 4 3 2 4 4 4 3 2 4 4 3 4 4 4 -
4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 -
4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 3 4 4 4 2 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 -
2
3
-
1
7 21 -
5 22 -
4 24 2
6 23 -
-
-
-
-
6.67 23.33 70 -
10 16.67 73.33 -
13.33 80 6.67
3.33 20 76.67 -
Lampiran 31 Rendemen Biskuit Ulangan Rendemen (%) Sampel 1 2
Biskuit
83.49901 85.08946
x + SD 84.2942 + 1.1246
Lampiran 32 Daya Serap Air Biskuit Sampel Ulangan Daya Serap Air (ml/g) 1 Biskuit 2
1.7408 1.7393 1.8441 1.8222
x + SD (% BB)
1.7866 + 0.0544
Lampiran 33 Analisis Tekstur Biskuit mean first Sampel Ulangan Distance peakforce 1.07 246.9 1 1.15 306.1 Biskuit 1.697 256.5 2 1.505 248.9
x + SD
264.6 + 27.9740
Lampiran 34 Kadar Air Biskuit Sampel Ulangan 1 Biskuit 2
Kadar Air (% BB) 3.9448 3.8534 4.4407 3.6093
x + SD (% BB)
Kadar Air (% BK)
x + SD (% BK)
3.9620 + 0.3491
4.1068 4.0079 4.6470 3.7445
4.1265 + 0.3792
x + SD (% BB)
Kadar Abu (% BK)
x + SD (% BK)
2.4223 + 0.2124
2.2981 2.3665 2.7167 2.7078
2.5223 + 0.2212
Lampiran 35 Kadar Abu Biskuit Sampel Ulangan
1 Biskuit 2
Kadar Abu (% BB) 2.2071 2.2727 2.6090 2.6005
Lampiran 36 Kadar Protein Biskuit Sampel Ulangan
1 Biskuit 2
x + SD (% BB)
Kadar Protein (% BK)
x + SD (% BK)
18.7712 + 0.6631
19.1209 18.8315 19.9012 20.3289
19.5456 + 0.6905
x + SD (% BB)
Kadar Lemak (% BK)
x + SD (% BK)
21.1195 + 0.3381
22.3108 22.2753 21.6352 21.7417
21.9908 + 0.3520
x + SD (% BB)
Kadar Karbohidrat (% BK)
x + SD (% BK)
53.7249 + 0.6105
56.2881 56.6397 55.2485 55.5888
55.9413 + 0.6357
Kadar Protein (% BB) 18.3634 18.0854 19.1128 19.5234
Lampiran 37 Kadar Lemak Biskuit Sampel Ulangan 1 Biskuit 2
Kadar Lemak (%BB) 21.4268 21.3928 20.7780 20.8803
Lampiran 38 Kadar Karbohidrat Biskuit Sampel Ulangan
1 Biskuit 2
Kadar Karbohidrat (%BB) 54.0580 54.3956 53.0595 53.3863
Lampiran 39 Kandungan Energi Biskuit Zat gizi gram/ 100 gram Konversi (kkal/gram) Karbohidrat 53.72 4 Protein 18.77 4 Lemak 21.12 9 Total Lampiran 40 Daya Cerna Protein Biskuit pH Daya Cerna Protein Sampel Ulangan akhir (%) 1 6.793 87.5067 Biskuit 2 6.59 91.181
Energi (kkal)/100gram 215 75 190 480
x + SD 89.3438 + 2.5981
Lampiran 41 PerhitunganTakaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit
Keterangan
: X= jumlah biskuit yang harus dikonsumsi (gram) A= protein yang harus dipenuhi (gram) B= protein per 100 gram biskuit (gram)
Lampiran 42 PerhitunganTakaran Saji dengan Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit
Keterangan
: Y= jumlah biskuit yang harus dikonsumsi dengan memperhitungkan daya cerna (gram) C= daya cerna protein biskuit X= jumlah biskuit yang dikonsumsi tanpa meperhitungkan daya cerna (gram)