KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN
Oleh
Erlangga C34104068
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ERLANGGA. C34104068. Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Pada Penyimpanan Suhu Chilling Dengan Perlakuan Cara Kematian. Dibimbing oleh NURJANAH dan AGOES M. JACOEB. Ikan lele dumbo banyak dinikmati oleh masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Ikan lele diekspor ke luar negeri dalam bentuk utuh maupun bentuk fillet atau irisan daging. Untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri yang kian meningkat maka fillet ikan harus tingkat mutu yang tinggi. Akan tetapi fillet ikan merupakan produk hasil perikanan yang bersifat mudah rusak atau high perishable sehingga memerlukan penanganan yang baik. Studi mengenai pengaruh penanganan terhadap penurunan mutu serta karakteristik dari fillet ikan perlu diteliti sebagai bahan masukan dalam upaya untuk mempertahankan kesegaran serta peningkatan mutu fillet ikan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kemunduran mutu fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara kematian yaitu dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan interval waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran fillet ikan menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif (TPC, TVB dan pH). Uji organoleptik dilakukan selama 15 hari. Uji TPC, TVB dan pH dilakukan pada jam ke-0, 78, 222 dan 360. Fillet ikan diberi perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Sampel yang digunakan berasal dari kolam ikan di Sindang Barang, Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 kali ulangan. Ikan lele dumbo dengan berat dan panjang total sebesar 120,70 ± 1,62 g dan 256,85 ± 7,00 mm memiliki berat dan panjang fillet sebesar 40,01 ± 0,81 g dan 184,25 ± 6,73 mm. Rendemen ikan lele dumbo adalah kepala 27,49 %,; tulang 14,61 %; jeroan 6,49 %; insang 6,06 %; sirip 3,47 %; kulit 6,06 %; daging merah 3 % dan daging putih 32,82 %. Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo adalah kadar air 79,45 %; abu 1,65 %; lemak 0,84 %; protein 17,80 % dan karbohidrat 0,26 %. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 78, 222 dan 360. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 72, 204 dan 336. Selama 15 hari atau 360 jam penyimpanan pada suhu chilling, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TPC sebesar 5,3x105 koloni/g dan TVB sebesar 40,82 mg N/100 g dan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TPC sebesar 1,1x106 koloni/g dan TVB sebesar 44,37 mg N/100 g. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami perubahan pH yang lebih lambat dibandingkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air selama penyimpanan pada suhu chilling. Berdasarkan hasil uji organoleptik, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dikatakan tidak layak dikonsumsi setelah penyimpanan selama 13 hari sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dikatakan tidak layak dikonsumsi setelah penyimpanan selama 12 hari.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Februari 2009
Erlangga C34104068
KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh
Erlangga C34104068
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
: KEMUNDURAN MUTU FILLET IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA KEMATIAN
Nama
: Erlangga
NIM
: C34104068
Menyetujui, Komisi Pembimbing,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Nurjanah, MS NIP. 131 578 848
Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol NIP. 131 578 852
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian” ini dapat diselesaikan oleh penulis. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah syarat kelulusan pada program sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak, Ibu, Kakak-Kakakku (Mas Bison, Mba Popi, Mas Danet, Mas Andi, Mba Indah, Mba Nty) dan Adikku (Iyong) atas dukungan moril dan materil, kasih sayang, serta doa selama ini kepada penulis.
2.
Ibu Ir. Nurjanah, M.S dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran kepada penulis selama ini.
3.
Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji, atas saran serta bimbingannya kepada penulis.
4.
Bapak Uju, S.Pi, M.Si sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama ini.
5.
Bapak Ir. Djoko Poernomo, B.Sc yang telah meluangkan waktu untuk menjadi moderator pada saat seminar hasil penelitian.
6.
Seluruh Staft Dosen dan Staft Adminstrasi THP (Mas Ipul, Mas Zaki, Bang Mail, Bu Ema, Pak Ade, Pak Jamhuri, Pak Tatang, Mba Heni dan Umi), terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis.
7.
Afiat Wijaya dan Yugha Subagja, terima kasih atas pertemanan dan persahabatannya selama ini.
8.
Deden dan Andi Patria yang telah banyak membantu selama ini, terima kasih.
9.
Pasukan Genk Lab (Windi, Nzul, Anang, An’im, Hangga, Bucek, Bay)
10. THP “Ikhwan” (Gilang, Deri, Haris, Yudha, Dhias, Opick, Gori, Daler, Boby, Wahyu, Dika, Ferry, Sait, Yayandi, Deboy, Ucok, Harvey, Ujang’40, Tomi’40, Windo’40, Tobi’40) 11. THP “Akhwat” (Vika, Amel, Iis, Ranti, Etid, Yantie, Nia, Eka, Ika, Dila, Ari, Enif, Ima, Vera).
12. Segenap Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, Februari 2009
Erlangga
RIWAYAT HIDUP
Penulis
dilahirkan
di
Bogor
pada
tanggal
3 Februari 1985 sebagai anak ke 7 dari 8 bersaudara dari pasangan Bapak Soeharto (alm) dan Ibu Adawiyah. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Panaragan 1 Bogor (1991-1997), SLTP Negeri 2 Bogor (1997-2000) dan SMU Negeri 4 Bogor (2000-2003). Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kepanitian diantaranya OMBAK (2006-2007), PORIKAN (2006-2007), GMI (2007) dan berbagai seminar. Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi HIMASILKAN (2006-2007) dan Fisheries Processing Club (FPC) (2006-2008). Selain itu penulis juga menjadi asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan (2007-2008). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada Penyimpanan
Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian” dibawah
bimbingan Ir. Nurjanah, MS dan Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................. viii DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
x
1. PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang .............................................................................
1
1.2 Tujuan .........................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
4
2.1 Deskripsi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) .............................
4
2.2 Deskripsi Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ................
5
2.3 Komposisi Kimia Fillet Ikan ........................................................
6
2.4 Mutu Fillet Ikan ..........................................................................
7
2.5 Metode Pengukuran Kesegaran Fillet Ikan ..................................
8
2.6 Kemunduran Mutu Fillet Ikan .................................................... 2.6.1 Perubahan pre rigor mortis............................................. ... 2.6.2 Perubahan rigor mortis ...................................................... 2.6.3 Perubahan post rigor .........................................................
10 10 10 12
2.7 Metode Pendinginan ..................................................................
13
3. METODOLOGI................................................................................
15
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................
15
3.2 Alat dan Bahan ..............................................................................
15
3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 3.3.1 Penelitian Pendahuluan....................................................... 3.3.2 Penelitian Utama ................................................................
16 16 18
3.4 Pengamatan .................................................................................... 3.4.1 Uji organoleptik (SNI 01-2346-2006) ................................ 3.4.2 TPC (Fardiaz 1992) ........................................................... 3.4.3 TVB (AOAC 1995) ............................................................ 3.4.4 pH (Apriyantono et al 1989) .............................................. 3.4.5 Analisis proksimat ............................................................. Kadar air (AOAC 1995)...................................................... Kadar abu (AOAC 1995) .................................................... Kadar protein (AOAC 1995) ............................................... Kadar lemak (AOAC 1995) ................................................
19 19 19 20 20 21 21 21 21 22
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .....................................
23
4. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................
26
4.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................ 4.1.1 Ukuran dan rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................................................... 4.1.2 Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................................................... 4.1.3 Penentuan fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................................
26
4.2 Penelitian Utama ......................................................................... 4.2.1 TPC (Total Plate Count) ..................................................... 4.2.2 TVB (Total Volatile Base) .................................................. 4.2.3 Nilai derajat keasaman (pH)............................................... 4.2.4 Uji organoleptik ................................................................. 4.2.4.1 Penampakan .......................................................... 4.2.4.2 Bau ........................................................................ 4.2.4.3 Tekstur .................................................................. 4.2.5 Hubungan antar parameter kesegaran fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................................. 4.2.5.1 Hubungan nilai organoleptik dengan log TPC ....... 4.2.5.2 Hubungan nilai organoleptik dengan TVB ............ 4.2.5.3 Hubungan log TPC dengan TVB ..........................
31 32 33 35 38 38 39 40
5. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
46
5.1 Kesimpulan ...................................................................................
46
5.2 Saran .............................................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
48
LAMPIRAN ..........................................................................................
51
26 27 27
41 41 43 44
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya .......
6
2. Komposisi kimia proksimat, energi dan kolesterol fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....................................................
7
3. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar ........................................................
7
4. Standar Kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB .......................................
8
5. Ciri-ciri fillet ikan segar dan tidak segar ...............................................
8
6. Ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .................
26
7. Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .................
27
8. Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera ................................................................................
29
9. Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. ..........................................
30
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....................................................
4
2. Fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................
5
3. Proses glikolisis pada daging ikan .........................................................
11
4. Diagram alir penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................................................
16
5. Diagram alir penentuan titik pengamatan .............................................
17
6. Diagram penelitian utama ....................................................................
18
7. Rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................
26
8. Grafik waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................................................
28
9. Grafik perubahan log TPC pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................................................
32
10. Grafik perubahan nilai TVB pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................................................
34
11. Grafik perubahan nilai pH pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...........................................................................
36
12. Grafik rata-rata nilai organoleptik penampakan pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................................................
38
13. Grafik rata-rata nilai organoleptik bau pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................................................
39
14. Grafik rata-rata nilai organoleptik tekstur pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................................................
40
15. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan log TPC dimatikan segera ...............................................................................
42
16. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan log TPC dimatikan setelah 12 jam tanpa media air ..........................................
42
17. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan TVB dimatikan segera ...............................................................................
43
18. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan TVB dimatikan setelah 12 jam tanpa media air ..........................................
43
19. Korelasi nilai TVB dengan log TPC dimatikan segera ...............................................................................
44
20. Korelasi nilai TVB dengan log TPC dimatikan setelah 12 jam tanpa media air ..........................................
44
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Score sheet uji organoleptik fillet ikan segar (SNI 01-2346-2006) ........
52
2. Data mentah ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo .............................
53
3. Uji Kruskall Wallis dan hasil perangkingan fillet ikan lele dumbo ....... a. Uji Kruskall Wallis ......................................................................... b. Perangkingan .................................................................................
53 53 53
4. Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji TPC fillet ikan lele dumbo .................................... a. Data mentah TPC ........................................................................... b. Data TPC setelah transformasi akar ................................................ c. Tabel uji normalitas TPC ................................................................ d. Grafik uji normalitas TPC fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera ............................................... e. Grafik uji normalitas TPC fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air .......... f. Tabel analisis ragam TPC ............................................................... 5. Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji TVB fillet ikan lele dumbo ................................... a. Data mentah TVB........................................................................... b. Data TVB setelah transformasi akar ............................................... c. Tabel uji normalitas TVB ............................................................... d. Grafik uji normalitas TVB fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera............................................... e. Grafik uji normalitas TVB fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air .......... f. Tabel analisis ragam TVB ............................................................... 6. Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji pH fillet ikan lele dumbo ...................................... a. Data mentah pH.............................................................................. b. Data pH setelah transformasi akar .................................................. c. Tabel uji normalitas pH .................................................................. d. Grafik uji normalitas pH fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera .............................................. e. Grafik uji normalitas pH fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air .......... f. Tabel analisis ragam pH ..................................................................
54 54 55 55 55 56 56 56 56 57 57 57 58 58 58 58 59 59 59 60 60
1.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat berguna bagi manusia
dan dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk dunia. Oleh karena itu seiring dengan pertumbuhan populasi dunia, konsumsi ikan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini lebih kurang seperempat bagian dari ikan yang dikonsumsi oleh penduduk dunia adalah berasal dari budidaya dan persentase ini akan terus meningkat, sementara produk hasil tangkapan dari laut dan danau akan terus menurun disebabkan overfishing dan kerusakan lingkungan (Kurnia 2006). Produksi perikanan hasil budidaya saat ini menyumbang sekitar 45 % dari total produksi ikan dunia dan negara-negara Asia Pasifik mendominasi sekitar 90 % produksi ikan budidaya dunia. Negara Cina sejauh ini memimpin produksi ikan hasil budidaya dengan menyumbang sekitar 3,4 juta ton/tahun. Kemudian diikuti oleh India 2,8 juta ton/tahun dan Indonesia diurutan ketiga dengan menyumbang sekitar 2,7 juta ton/tahun (DKPa 2007). Dalam kurun waktu 2005-2007,
volume
produksi perikanan
budidaya
Indonesia
mengalami
peningkatan rata-rata per tahun sebesar 19,56 % dengan nilainya meningkat ratarata per tahun sebesar 10,85 %, yaitu dari 2,16 juta ton senilai Rp 21,45 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi 2,7
juta ton, dengan nilai sebesar
Rp 26,36 triliun pada tahun 2007 (DKPb 2008). Potensi perikanan budidaya secara nasional diperkirakan 15,59 juta hektar (ha) yang terdiri potensi air tawar 2,23 juta ha, air payau 1,22 juta ha dan budidaya laut 12,14 juta ham, sedangkan pemanfaatannya hingga saat ini masingmasing baru 10,1 % untuk budi daya air tawar, 40 % pada budi daya air payau dan 0,01 % untuk budi daya laut (DKPa 2007). Salah satu langkah yang ditempuh dalam pengembangan budidaya ikan air tawar yaitu pengembangan budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Produksi ikan lele dumbo di Indonesia meningkat cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, dari sekitar 51.000 ton tahun 2004, menjadi 69.000 ton pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 77.000 ton (SIMPATIK 2008)a.
Ikan
lele
dumbo
menjadi
komoditas
unggulan
karena
mudah
dibudidayakan, dapat dipelihara dengan padat tebar yang tinggi dalam lahan terbatas di kawasan marginal dan hemat air. Selain itu, ikan lele memiliki pertumbuhan yang cepat, relatif tahan terhadap penyakit, teknologi budidaya ikan lele dumbo relatif mudah dikuasai masyarakat, modal usaha dan pemasaran relatif rendah. Sehingga ikan lele bisa diproduksi secara besar-besaran, dan bisa diekspor ke mancanegara dalam jumlah besar (Mahyuddin 2008). Ikan lele dumbo diekspor dalam bentuk fillet atau irisan daging dengan ukuran minimal 800 g per ekor. Fillet merupakan bagian daging ikan yang diperoleh dengan penyayatan ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari belakang kepala hingga mendekati bagian ekor (Peterson 2007). Nilai ekspor untuk fillet ikan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2005 nilai ekspor fillet ikan sebesar 49 juta kg dan terus meningkat pada tahun 2006 sebesar 51 juta kg (SIMPATIK 2008)b. Untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat maka fillet ikan harus memiliki tingkat mutu yang tinggi. Seperti komoditas perikanan lainnya, fillet ikan juga merupakan produk hasil perikanan yang bersifat mudah rusak atau high perishable sehingga memerlukan penanganan yang baik (Afrianto dan Liviawaty 1989). Kualitas produk hasil perikanan identik dengan kesegaran. Fillet ikan yang baik adalah fillet yang mempunyai daging yang berwarna putih, cemerlang dan bersih; bau sangat segar; dan tekstur
yang
padat,
kompak dan elastis (BSN 2006).
Menurut
Silva et al (2001), lamanya waktu perubahan yang berlangsung pada fillet ikan tergantung dari jenis ikan, ukuran, kondisi ikan waktu hidup, dan suhu penyimpanan. Suhu dan kelembaban yang tinggi di Indonesia menyebabkan proses kerusakan fillet ikan berlangsung dengan cepat. Proses penurunan mutu ini akan dipercepat dengan penanganan yang tidak tepat, sanitasi dan higienis yang tidak memadai serta terbatasnya sarana distribusi dan sistem pemasaran. Oleh karena itu diperlukan peningkatan sistem penanganan sehingga menghasilkan fillet ikan dengan mutu yang baik. Penelitian tentang kemunduran mutu fillet ikan penting dilakukan karena kualitas fillet ikan tergantung pada tingkat kesegarannya. Data-data mengenai
karakteristik dari fillet ikan juga penting untuk dikaji. Suatu komoditi dapat dijadikan sebagai standar international apabila terpenuhinya data-data mengenai deskripsi komoditi meliputi data biologi dan genetik, potensi, pengolahan, pemasaran dan evaluasi sensori. Studi mengenai pengaruh penanganan terhadap penurunan mutu serta karakteristik dari fillet ikan tawar terutama fillet ikan lele dumbo perlu diteliti sebgai bahan masukan dalam upaya untuk mempertahankan kesegaran dan meningkatkan mutu fillet ikan. Penelitian ini merupakan kajian awal dengan harapan dimasa yang akan datang informasi-informasi yang didapat ini dapat dikembangkan dan digunakan untuk peningkatan penganganan, pengelolaan, pengolahan dan pengembangan fillet ikan lele dumbo. 1.2.
Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari kemunduran mutu
fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara kematian yaitu dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Mempelajari karakteristik fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) meliputi ukuran, rendemen dan komposisi kimia. 2. Mempelajari interval waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir, pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. 3. Membandingkan mutu fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air, secara objektif yaitu uji TPC, TVB dan pH.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Saanin (1986) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias gariepinus Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan konsumsi air
tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Ikan lele dumbo termasuk ke dalam genus Clarias yang memiliki ciri tubuh licin memanjang dan tidak bersisik, sirip punggung menyatu dengan sirip ekor dan sirip anus, tulang kepala keras dengan mata yang kecil dan mulut lebar yang terletak di ujung moncong, dilengkapi dengan empat pasang sungut atau kumis (Catfish). Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari (Mahyuddin 2008). Gambar ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Gambar ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
2.2
Deskripsi Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Fillet ikan adalah bagian daging ikan yang diperoleh dengan penyayatan
ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari belakang kepala hingga mendekati bagian ekor (Peterson 2007). Gambar fillet ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Berbagai tipe fillet adalah fillet berkulit (skin-on fillet), fillet tidak berkulit (skinless fillet), fillet tunggal (single fillet) yaitu daging ikan yang disayat memanjang tulang belakang, dan fillet kupu-kupu (butterfly fillet) yakni dua fillet tunggal yang dihubungkan sesamanya oleh bagian yang tidak dipotong (Ilyas 1983). Ikan juga dapat dibentuk menjadi beberapa jenis fillet, antara lain (Rogers et al 2004): a) Block fillet, yaitu bagian daging ikan yang berasal dari kedua sisi tubuh ikan, biasanya kedua bagian daging ikan tersebut tidak putus. b) Cross-cut fillet yaitu fillet yang berasal dari ikan yeng berbentuk pipih, dimana pada masing-masing tubuh ikan dibuat sebuah fillet. c) Quarter-cut fillet, yaitu fillet yang berasal dari daging ikan yang berbentuk pipih, dimana bagian daging ikan dari masing-masing sisi tubuh ikan dibuat menjadi dua bagian fillet. d) Single fillet, yaitu fillet yang berasal dari satu sisi tubuh ikan. Jenis dan tipe fillet ikan yang biasa digunakan pada ikan lele dumbo adalah jenis single fillet dan tipe skinless fillet (Silva et al 2001). Pada umumnya fillet ikan lele dumbo disajikan di restoran-restoran atau rumah makan dalam bentuk direbus, digoreng atau dipanggang.
2.3
Komposisi Kimia Fillet Ikan Daging ikan memiliki komposisi kimia yang tergantung dari jenis ikan,
antar individu dalam spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan, makanan, serta masa memijah. Komposisi kimia daging juga dapat berbeda-beda tergantung dari umur, habitat, dan kebiasaan makan. Komposisi kimia daging ikan umumnya terdiri dari 70-85 % kadar air, 15-25 % protein, 1-10 % kadar lemak, 0,1-1 % karbohidrat dan 1-1,5 % mineral (Okada 1990). Kandungan protein pada daging ikan bervariasi tergantung dari jenis ikan (Salawu et al 2004). Protein daging ikan banyak mengandung asam amino essensial yang sangat mudah mengalami denaturasi, penggumpalan dan perubahan mutu yang disebabkan oleh proses pengolahan (Conceicao et al 1998). Selain protein, daging ikan juga banyak mengandung asam lemak tak jenuh (Ali dan Jauncey 2005). Asam lemak tak jenuh dapat menyebabkan lemak pada daging ikan lebih mudah teroksidasi sehingga menyebabkan ketengikan. Ketengikan yang berlarutlarut akan membebaskan peroksida dan menurunkan mutu ikan. Ikan dapat dikelompokkan dalam 4 golongan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya (Stansby 1963). Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya Golongan ikan Kadar Lemak (%) Kadar Protein (%) Lemak rendah-protein sedang <5 15-20 Lemak sedang-protein sedang 5-15 15-20 Lemak tinggi-protein tinggi >15 >15 Lemak rendah-protein tinggi <5 >20 Sumber: Stansby (1963) Komposisi kimia daging ikan lele dumbo lebih besar setelah mengalami proses pengolahan seperti direbus, digoreng atau dipanggang (Rosa et al 2007). Komposisi proksimat, energi dan kolesterol ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) mentah, direbus, digoreng dan dipanggang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi Mentah Kadar air (%) 75,68 Protein (%) 16,80 Lemak (%) 5,70 Kadar abu (%) 1,00 Sumber : Rosa et al (2007) 2.4
Rebus 71,08 21,14 5,90 1,20
Goreng 63,32 21,82 9,30 2,30
Panggang 65,76 24,28 6,88 2,62
Mutu Fillet Ikan Ikan adalah bahan biologis yang sangat cepat menurun mutunya ke arah
pembusukan. Sesudah dipanen, setiap spesies ikan akan mengalami proses penurunan mutu (deteriorasi) yang berlainan polanya. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi mutu ikan adalah penerapan suhu rendah (pendinginan), kecermatan, kebersihan (higiene) serta kecepatan kerja (faktor waktu) (Pearson dan Dutson 1996). Kesegaran bahan mentah ikan merupakan kriteria kualitas paling penting untuk menentukan mutu dan daya awet dari produk yang dibekukan (Ilyas 1983). Ikan dikatakan baik jika masih dalam kondisi segar. Ikan segar adalah ikan yang baru ditangkap atau ikan yang masih memiliki sifat-sifat seperti ikan yang baru ditangkap dan belum mengalami kerusakan. Tingkat kesegaran ikan adalah tolok ukur untuk membedakan ikan yang mempunyai nilai mutu yang baik dan nilai mutu yang jelek (FAO 1995). Kriteria ikan segar dan ikan yang tidak segar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar Parameter
Ikan segar
Ikan tidak segar
Daging
Kenyal dan dalam kondisi lentur
Lunak dan tidak lentur
Mata
Cerah dan menonjol keluar
Cekung dan terdapat rongga
Insang
Merah cerah
Merah gelap dan kecoklatan
Sisik
Cerah dan kuat melekat
Kusam dan mudah lepas
Kulit
Tidak banyak lendir
Banyak lendir
Bau
Segar spesifik jenis
Busuk menyengat
Sumber: BSN (2006)b Kesegaran ikan dapat juga diukur berdasarkan hasil uji Total Volatile Base (TVB). Uji TVB adalah salah satu metode pengukuran untuk menentukan
kesegaran ikan yang didasarkan pada menguapnya senyawa-senyawa basa. Standar kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB-nya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Standar kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB Mutu Ikan Sangat segar Segar Batas dapat dimakan Busuk Sumber : Farber (1965)
Nilai TVB (mg N/100 g daging ikan) < 10 10 – 20 20 – 30 > 30
Mutu fillet ikan yang baik adalah ketika terjadi perubahan biokimia, mikrobiologi, dan fisika belum mengalami perubahan yang mengarah kepada kerusakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mutu fillet ikan antara lain metode preparasi fillet, kebersihan (higiene), dan lama penyimpanan (Silva et al 2005). Kriteria mutu fillet ikan yang segar dan tidak segar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Ciri-ciri fillet ikan segar dan tidak segar Parameter
Fillet ikan segar Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi, menarik dan garis yang Penampakan terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah Bau Bau sangat segar, spesifik jenis Tekstur Elastis, padat dan kompak.
Fillet ikan tidak segar Daging kehijauan menyeluruh, sangat suram, sangat tidak menarik, garis tulang belakang maupun linea lateralis coklat dan terbelah
Bau amoniak keras dan bau busuk Sangat tidak elastis dan membubur
Sumber: BSN (2006)b 2.5
Metode Pengukuran Kesegaran Fillet Ikan Kesegaran ikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan harus
menjadi perhatian utama dalam upaya penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, akan tetapi juga membahayakan kesehatan bila dimakan. Mutu ikan yang akan dikonsumsi harus
terjamin agar tidak menimbulkan efek negatif. Pemeriksaan mutu ikan dapat dilakukan dengan tiga cara (FAO 1995), yaitu: 1. Pemeriksaan organoleptik atau sensori. 2. Pemeriksaan di laboratorium (Secara fisik, kimia, dan mikrobiologis). 3. Menggunakan alat-alat seperti freshness measure, electric freshness tester. Metode sensori (organoleptik) relatif lebih murah dan cepat dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium yang memerlukan banyak waktu dan biaya. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan secara kasar ikan yang busuk dan ikan yang segar dengan melihat tanda-tanda pada tubuh ikan (Liviawaty 2001). Proses kerusakan akibat aktivitas bakteri dapat dideteksi menggunakan indera manusia seperti penglihatan, peraba, penciuman, dan peraba. Panelis yang terlatih akan dapat mengenali ciri perubahan dari sampel fillet ikan yang diuji. Lembar penilaian (score sheet) digunakan pada uji organoleptik sebagai pegangan panelis dalam memberikan nilai kepada fillet ikan yang diperiksa berdasarkan keadaan fisik fillet ikan. Score sheet yang digunakan adalah yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006. Lembar penilaian organoleptik fillet ikan segar dapat dilihat pada Lampiran1. Penilaian secara sensori banyak menimbulkan variasi yang menyebabkan diperlukan cara untuk memperkuat penilaian tersebut yaitu dengan metode non sensori. Analisis non sensori dilakukan untuk menentukan nilai mutu ikan dengan lebih teliti. Analisis ini meliputi metode uji mikrobiologi atau TPC (total plate count), pH, TMA, TVB (total volatile base) dan lain-lain (Sakaguchi 1990). Tingkat kesegaran fillet ikan dapat ditentukan dengan metode total plate count (TPC), yaitu menghitung jumlah bakteri yang terdapat dalam fillet ikan. Metode pengujian ini dilakukan dengan menghitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada suatu media pertumbuhan bakteri (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam (Fardiaz 1987). Batas maksimum bakteri untuk fillet ikan segar menurut SNI 01-2729-1992 sebesar 5 x 105 koloni/g. Ikan yang sudah tidak segar memiliki pH daging yang tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih segar. Menurut Kristoffersen et al (2006), hal ini terjadi karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti amoniak,
trimetialamin, dan senyawa volatil lainnya. Berbagai macam senyawa tersebut akan terakumulasi pada daging sesaat setelah ikan mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Berbagai macam senyawa yang terakumulasi tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesegaran ikan (Sakaguchi 1990). Pengujian menggunakan metode total volatile base (TVB) merupakan salah satu indikator untuk menentukan tingkat kesegaran ikan (AOAC 1995). Nilai TVB maksimum untuk ikan segar yaitu sebesar 30 mg N/100 g (Farber 1965). Penentuan nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan, perubahan pH daging ikan disebabkan karena adanya proses autolisis dan penyerangan bakteri (Fardiaz 1992). Menurut Erikson dan Misimi (2008), reaksi anaerob yang terjadi setelah ikan mati akan memanfaatkan ATP dan glikogen sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang. Akibatnya, pH tubuh menurun dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalan). 2.6
Kemunduran Mutu Fillet Ikan Peristiwa post mortem adalah salah satu indikasi kemunduran mutu pada
fillet ikan. Menurut Erikson dan Misimi
(2008) fillet ikan akan mengalami
pengkerutan pada bagian daging akibat tidak adanya rangka yang mampu menyangga bagian daging fillet serta kontraksi otot yang terjadi pada daging. Proses perubahan pada fillet ikan tersebut terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal
tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan
menurun (Weeber et al 2008). Penurunan tingkat kesegaran fillet ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada fillet
ikan. Semua proses perubahan ini
akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi (Afrianto dan Liviawaty (1989). 2.6.1 Perubahan pre rigor mortis Fase pre rigor ditandai dengan lendir yang terlepas dari kelenjar dibawah kulit di sekeliling tubuh ikan (Erikson dan Misimi 2008). Kondisi daging ikan
pada fase ini lembut dan lunak, dan secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen didalam jaringan (Eskin 1990). 2.6.2 Perubahan rigor mortis Fase rigor mortis ditandai dengan keadaaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin pada awal fase rigor (Eskin 1990). Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis, sumber energi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang dikuti oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada daging ikan menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam laktat terjadi pada proses glikolisis (Eskin 1990). Proses glikolisis yang menguraikan glukosa menjadi asam laktat disajikan pada Gambar 3. Glukosa Heksokinase
Glukosa-6-fosfat Fosfoglukosa isomerase
Fruktosa-6-fosfat Fosfofruktokinase
Fruktosa-1,6-difosfat Aldolase
Dihidroksi asetonfosfat
D-gliseraldehida-3-fosfat Laktat dehidrogenase
Asam laktat
Asam piruvat
Gambar 3. Proses glikolisis pada daging ikan (Eskin 1990) Kandungan glikogen yang tinggi dapat memperlambat proses glikolisis pada daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor mortis, nilai pH daging ikan akan mengalami penurun menjadi 6,2-6,6
dari pH mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga
pada daging ikan.
Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan basa-basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase rigor mortis berakhir (Farber 1965) 2.6.3 Perubahan post rigor Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan (FAO 1995). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) ini berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati. Enzim yang berperan pada tahap ini antara lain enzim katepsin (dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan (Rehbein 1979) Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Proses ini dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Protein dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein. Protein terpecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Hidrolisis lemak juga terjadi pada proses
autolisis
yang
menghasilkan
asam
lemak
bebas
dan
gliserol
(Baker dan Davies 1996). Penguraian protein dan lemak karena proses autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan penampakan fillet ikan. Senyawa yang terbentuk selama proses autolisis disukai oleh bakteri pembusuk. Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh bakteri. Pertumbuhan bakteri yang makin cepat membuat proses kerusakan juga berjalan semakin cepat. Kerusakan yang terjadi pada tubuh ikan karena serangan bakteri lebih parah daripada kerusakan yang disebabkan oleh enzim. Penguraian oleh bakteri berlangsung secara intensif setelah fase rigor mortis berakhir, yaitu setelah
daging
mengendur
(Afrianto dan Liviawaty 1989).
dan
celah-celah
serat-seratnya
terisi
cairan
Aktivitas bakteri dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asamasam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu timbulnya senyawa biogenik amin. Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang dapat digunakan sebagai indikator pembusukan (Kristoffersen et al 2006). Jenis bakteri yang umum ditemukan pada fillet ikan antara lain Pseudomona, Achrombacter dan Flavobacterium (Kwaadsteniet et al 2008) Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging ke arah coklat kusam. Aroma tengik ini dapat menurunkan mutu dan daya jualnya (Liviawaty 2001). 2.7
Metode Pendinginan Kemuduran mutu fillet ikan berlangsung dalam waktu yang sangat cepat,
sehingga dibutuhkan penanganan tepat yang dapat menghambat proses pembusukan baik yang terjadi secara kimiawi maupun enzimatis (Rehbein 1979). Cara paling mudah untuk menghambat pembusukan ikan adalah dengan menggunakan suhu rendah. Penggunaan suhu rendah pada produk-produk perikanan mampu menghambat aktivitas enzim dan pertumbuhan bakteri sehingga kemunduran mutu ikan akan berjalan jauh lebih lambat dan ikan akan tetap segar dalam jangka waktu yang lama (Ilyas 1983). Menurut Stein et al (2005) fillet ikan yang diberi perlakuan penyimpanan suhu rendah dapat diperpanjang daya awetnya hingga mencapai 1-4 minggu, tergantung jenis ikan dan cara penanganannya. Tujuan penyimpanan atau pengawetan ikan dengan suhu dingin (chilling) adalah untuk mempertahankan kesegaran mutu ikan dan menghambat kegiatan mikroorganisme serta proses-proses fisik-kimia ikan. Suhu yang digunakan dalam penyimpanan suhu chilling adalah berkisar 0-5 0C (Ilyas 1983). Kemampuan suhu chilling untuk mempertahankan ikan tetap segar sangat ditentukan oleh mutu awal ikan, metode pendinginan dan penerapan suhu rendah tersebut hingga ikan siap digunakan (sistem rantai dingin). Metode pendinginan yang biasa digunakan dalam industri perikanan antara lain (Ilyas 1983):
1. Metode pendinginan dengan es atau pengesan (icing) 2. Metode pendinginan dengan udara dingin (chilling in cold air) 3. Metode pendinginan dengan air yang didinginkan (chilling in water) Metode pendinginan dengan es atau pengesan adalah metode yang paling luas dan umum diterapkan dalam industri perikanan. Keunggulan penggunan es dalam industri perikanan antara lain, harganya yang murah, mudah diperoleh dan mudah dalam penerapannya. Fungsi es adalah untuk mempertahankan suhu ikan tetap dingin, menyediakan air es untuk mencuci lendir, sisa-sisa darah dan bakteri dari permukaan badan ikan, dan mempertahankan keadaan berudara pada ikan selama disimpan pada palka (Ilyas 1983). Es dapat dibedakan menjadi 2 jenis menurut jenis es yang dihasilkan, yaitu es balok dan es curai. Metode pendinginan dengan udara dingin (chilling in cold air) adalah menciptakan udara dingin melalui suatu lilitan atau gulungan pipa evaporator dari suatu unit refrigerasi mekanik pada kamar dingin atau refrigerator. Untuk mempercepat pendinginan produk, refrigerator dilengkapi dengan kipas untuk menghasilkan gerakan udara dingin konveksi (Ilyas 1983). Ikan yang didinginkan dengan udara dingin akan mengalami pengeringan. Pengeringan ini terjadi karena menguapnya air dari ikan dan akan mengendap menjadi salju pada permukaan lilitan pipa evaporator. Menurut Gatlin (2001) hal ini dapat diatasi dengan menutupi ikan dengan kertas alumunium atau ditutupi dengan sedikit hancuran es. Metode pendinginan dengan air yang didinginkan (chliing in water) adalah memanfaatkan air yang didinginkan sebagai medium pendinginan guna menurunkan suhu ikan basah serendah mungkin. Keunggulan penggunaan metode ini adalah penyerapan panas yang lebih besar dari ikan karena sekujur tubuh ikan berkontak langsung dengan air dingin sehingga pergantian panas antara air dingin dan ikan berlangsung cepat (Ilyas 1983).
3. METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2008
di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Laboratorium Teknologi Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan PAU (Pusat Antar Universitas), Institut Pertanian Bogor. 3.2
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, alat tusuk, alat
destilasi kjeldahl, buret, termomether, pH meter, pisau, alat-alat gelas, refrigerator, cawan petri, cawan conway, oven, inkubator, score sheet untuk uji organoleptik, dan kertas alumunium. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan lele dumbo yang digunakan pada penelitian ini berasal dari kolam budidaya ikan lele dumbo yang beralamat di Jalan Poras Ujung RT 08/ RW 08, Sindang Barang, Bogor. Secara keseluruhan kolam budidaya ikan lele dumbo tersebut memiliki luas satu hektar dan terdapat 8 kolam yang digunakan untuk pembibitan dan pembesaran. Kolam budidaya ikan lele dumbo tersebut berada di tengah-tengah areal persawahan yang dialiri sungai-sungai kecil sebagai sumber air. Panen dilakukan setelah ikan lele dumbo berumur 2-3 bulan dengan ukuran 80-200 g/ekor. Ikan lele dumbo yang digunakan pada penelitian ini berumur 2 bulan 3 minggu dan dipanen pada bulan Juni 2008. Setelah dipanen ikan lele dumbo disortasi dan diperoleh ikan lele dumbo sebanyak 20 ekor yang memiliki panjang dan berat cukup seragam yaitu berkisar 100-130 g/ekor. Bahan-bahan lain dalam penelitian ini adalah Natrium Agar (NA), aquades, NaOH 2 M, garam fisiologis 0,85 % steril, HCl, K2SO4, HgO, H2SO4, Na2S2O3, alkohol, metilen merah dan biru, buffer
pH 4 dan 7,
heksana,
trikloroasetat (TCA) 7 %, H2SO4 0,01 N, K2CO3 jenuh, dan asam borat 1 %.
3.3
Metode Penelitian
3.3.1. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan diawali dengan penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo dan rentang waktu terjadinya tiap fase post mortem fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan pada suhu chilling sebagai patokan untuk uji TPC, TVB dan pH. Penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo meliputi panjang total ikan, panjang baku ikan, rendemen ikan, berat total ikan, panjang fillet, berat fillet dan komposisi kimia. Diagram alir penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 4.
Ikan lele
Dimatikan
Fillet Ikan Ditentukan karakteristik fillet Morfometrik
Berat total Panjang total Panjang baku Rendemen Berat fillet Panjang fillet
Rendemen
Insang Jeroan Sirip Kulit Tulang Kepala Daging merah Daging putih
Proksimat
Kadar air Kadar abu Protein Lemak Karbohidrat
Gambar 4. Diagram alir penentuan karakteristik fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo diberi dua perlakuan yaitu dimatikan segera dengan cara menusukkan alat penusuk pada bagian medulla oblongata dan dimatikan dengan
cara membiarkan ikan pada wadah yang tidak berisi air selama 12 jam kemudian dimatikan dengan cara ditusuk pada bagian medulla oblongata. Ikan lele tersebut diasumsikan mengalami kondisi stres sebelum mengalami kematian. Ikan lele dumbo yang telah mati kemudian dipreparasi menjadi fillet dengan tipe single dan skinless fillet. Fillet ikan lele dumbo tersebut dibungkus dengan kertas aluminium dan ditempatkan pada refrigerator dengan suhu penyimpanan berkisar antara 0-5 0C. Pengamatan terhadap mutu organoleptik dilakukan setiap 6 jam sekali hingga fillet ikan tersebut secara organoleptik di tolak oleh panelis sehingga didapat titik waktu post mortem fillet ikan lele dumbo meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir. Titik-titik tersebut selanjutnya digunakan pada uji objektif pada penelitian utama. Diagram alir penentuan titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.
Ikan lele
Dimatikan
Ditusuk pada bagian medula oblongata
Dibiarkan tanpa media air selama 12 jam kemudian ditusuk pada medula oblongata
Fillet ikan
Fillet ikan dibungkus dengan kertas alumunium dan ditempatkan pada refrigerator dengan suhu penyimpanan 0-5 0C. Di uji secara subjektif (organoleptik) setiap 6 jam sekali hingga fillet ikan secara organoleptik ditolak dan didapat interval fase post mortem Gambar 5. Diagram alir penentuan titik pengamatan
3.3.2. Penelitian utama Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara kematian terhadap kemunduran mutu fillet ikan lele.
Pengamatan terhadap fillet ikan lele
dilakukan dengan metode subjektif dan objektif. Metode subjektif yang digunakan adalah uji organoleptik (SNI 01-2346-2006) yang dilakukan dengan melihat penampakan, bau, dan tekstur. Uji organoleptik dilakukan selama 15 hari. Metode objektif yang digunakan adalah TPC (Fardiaz 1992), pH (Apriyantono et al 1989), dan TVB (AOAC 1995). Pengambilan contoh dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yaitu pada jam ke-0, 78, 222 dan 360. Waktu ini merupakan titiktitik untuk fase pre-rigor, rigor mortis, post-rigor awal dan post-rigor akhir dari fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 6. Ikan lele
Dimatikan
Ditusuk pada bagian medula oblongata
Di biarkan tanpa media air selama 12 jam kemudian ditusuk pada medula oblongata
Fillet ikan
Fillet ikan dibungkus dengan kertas alumunium dan ditempatkan pada refrigerator dengan suhu penyimpanan 0-5 0C.
Di uji secara subjektif (organoleptik) pada hari ke-0 hingga 15
Di uji secara objektif (TPC, TVB dan pH) pada Jam ke-0, 78, 222 dan 360
Gambar 6. Diagram alir penelitian utama
3.4
Pengamatan
3.4.1 Uji organoleptik (SNI 01-2346-2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006. Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang bersifat subjektif dengan menggunakan indera yang ditujukan pada penampakan, bau, dan tekstur. 3.4.2 TPC (Fardiaz 1992) Untuk uji mikrobiologi dilakukan perhitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 g sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril, lalu dihomogenkan. Dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2. Banyaknya pengenceran disesuaikan dengan keperluan penelitian. Pada penelitian ini digunakan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), diamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 35 0C dan diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Jumlah koloni dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3.4.3 TVB (AOAC 1995) Sampel fillet ikan sebanyak 15 g digiling dan ditambahkan 45 ml larutan TCA 7 % kemudian dihomogenkan selama 1 menit. Hasil yang didapat disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway ldan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan menggunakan pipet lain, 1 ml filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber di sebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak bercampur. Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi vaselin, kemudian digerakan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Di samping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 7 %. Kemudian kedua cawan conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 37 0C selama 2 jam. Setelah disimpan, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,032 N. Dengan menggunakan magetic stirrer diaduk sehingga berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi sampel yang berisi sampel dititrasi dengan menggunakan larutan yang sama sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko. Perhitungan nilai TVB dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan :
i j FP
= volume titrasi sampel (ml) = volume titrasi blanko = faktor pengenceran
3.4.4 pH (Apriyantono et al 1989) Untuk pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel fillet ikan sebanyak 10 g digiling dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilat. Kemudian pH homogenat diukur dengan pH meter yang sebelumnya dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7.
3.4.5
Analisis proksimat
1) Kadar air (AOAC 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 oC selama lebih kurang 10 hingga 15 menit. Kemudian cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator selama lebih kurang 30 menit, kemudian didinginkan dan ditimbang. Cawan dan fillet ikan seberat 5 g ditimbang setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil. Kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 102-105 oC selama kurang lebih 18-20 jam. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin lalu ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai didapat berat yang konstan. Perhitungan kadar air dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan: A = Berat cawan dengan fillet ikan (g) B = Berat cawan dengan fillet ikan setelah dikeringkan (g) 2) Kadar abu (AOAC 1995) Metode yang digunakan pada kadar abu sama dengan yang digunakan pada kadar air, perbedaannya hanya pada rumus perhitungannya. Perhitungan kadar abu dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan: A = Berat cawan dengan fillet ikan (g) B = Berat cawan dengan fillet ikan setelah dikeringkan (g) 3) Kadar protein (AOAC 1995) Tahap yang dilakukan terdiri dari tahap destruksi, destilasi dan titrasi. a) Tahap destruksi Fillet ikan ditimbang sebanyak 0,3 g untuk daging kering sedangkan untuk daging basah 0,5 g, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung Kjeldahl. Satu buah tablet Kjeldahl dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410
o
C
ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai warna larutan menjadi bening. b) Tahap destilasi Proses destilasi terdiri dari 2 tahap yaitu: Tahap pertama adalah tahap persiapan alat yaitu kran air dibuka dan dilakukan pengecekan alkali dan air dalam tangki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakan pada tempatnya. Tombol power (pada Kjeldahl sistem) ditekan dan dilanjutkan dengan penekanan tombol stream dan ditunggu beberapa saat sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan kemudian tabung Kjeldahl dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat Kjeldahl sistem. Tahap kedua adalah tahap persiapan sampel yaitu tabung berisi fillet ikan yang sudah didestruksi diletakkan ke dalam Kjeldahl sistem beserta erlenmeyer yang sudah diberi asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 200 ml. c) Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCL 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink, selanjutnya kadar protein dari fillet ikan dapat diperoleh dengan perhitungan menggunakan:
4) Kadar lemak (AOAC 1995) Fillet ikan sampel seberat 3 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring, dimasukkan ke dalam selongsong lemak, dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung
soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sohxlet dan disiram dengan pelarut lemak (petroleum benzene). Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 oC menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam tabung lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar lemak pada fillet ikan diketahui menggunakan rumus:
Keterangan: W1 = Berat fillet ikan sampel (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g) 3.5
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan 2 ulangan, dengan faktor A adalah cara mati dengan dua taraf yaitu dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Model rancangan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002):
Keterangan: Yij = Respon percobaan karena pengaruh cara mati taraf ke-i, ulangan ke-j µ = Pengaruh umum rata-rata Ai = Pengaruh taraf ke-i, perlakuan cara mati = Pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh perlakuan ke-i, ulangan ke-j Data TVB, TPC dan pH yang didapat diuji normalitas terlebih dahulu. Data dianalisis secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA) apabila data telah normal. Analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan apabila hasil ANOVA
berbeda nyata. Analisa non parametrik yang dilakukan dalam pengujian organoleptik adalah metode uji Kruskall Wallis (Mattjik dan Sumertajaya 2002) yaitu: a) Merangking data dari yang terkecil hingga yang terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter. b) Menghitung total dan rata-ratanya untuk setiap perlakuan dengan rumus:
Keterangan: H = Nilai Uji Kruskall Wallis n = Jumlah total data ni = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i Ri = Jumlah rangking dalam contoh ke-i T = Banyaknya pengamatan yang seri H’ = H yang terkoreksi c) Uji lanjut Multiple Comparison dilakukan apabila uji Kruskall Wallis berbeda nyata dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: Ri = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j K = Banyaknya ulangan N = Jumlah total data Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah: H0 = Perlakuan cara mati tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap mutu fillet ikan lele dumbo.
H1 = Perlakuan cara mati memberikan pengaruh yang nyata terhadap mutu fillet ikan lele dumbo Analisis Regresi Sederhana (Simple Regression Analysis) digunakan untuk melihat hubungan antar parameter kesegaran fillet ikan lele dumbo. Analisis regresi sederhana ini juga dapat digunakan untuk melihat pengaruh antar parameter. Model regresi sederhana dapat dinyatakan sebagai persamaan linier berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2002):
yi = β0 + β1xi + εi
Persamaan untuk mengestimasi nilai β0 dan β1 digunakan metode kuadrat terkecil (least square method) berdasarkan:
ŷi = b0 + b1xi Bentuk hipotesis untuk menguji koefisien β0 dan β1 dengan α = 0,05 adalah: H0 : β0 = 0 H1 : β0 ≠ 0
H0 : β1 = 0 H1 : β1 ≠ 0
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari fillet
ikan lele dumbo meliputi ukuran, berat dan komposisi kimia serta penentuan fase post mortem fillet ikan lele dumbo pada penyimpanan suhu chilling. 4.1.1 Ukuran dan rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Hasil pengamatan ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Parameter Berat ikan (g) Panjang ikan (mm) Panjang baku ikan (mm) Panjang fillet (mm) Berat fillet (g) Keterangan: nilai diambil dari rata-rata 20 ekor ikan.
Nilai 120,70 ± 1,62 256,85 ± 7,00 235,60 ± 6,54 184,25 ± 6,73 40,01 ± 0,81
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ikan lele dumbo memiliki berat fillet sekitar 30 % dari berat ikan. Menurut Liviawaty (2001), Mahyuddin (2008) dan Utama (2008), ikan lele dumbo memiliki rendemen daging sekitar 35-40 % dari keseluruhan tubuhnya. Hal ini terjadi karena ikan lele dumbo memiliki rendemen kepala dan tulang yang cukup besar yaitu sekitar 27,49 % dan 14,61 %. Rendemen bagian tubuh lele dumbo lainnya dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Diagram pie rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
4.1.2 Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi kimia setiap ikan berbeda-beda baik, jenis ikan, antar individu dalam spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan, makanan, serta masa memijah. Selain itu perbedaan komposisi kimia daging juga tergantung dari umur, habitat dan kebiasaan makan. Komposisi kimia daging ikan umumnya terdiri dari kadar air 70-85 %; protein 15-25 %; lemak 1-10 %; karbohidrat 0,1-1 % dan mineral 1-1,5 % (Okada 1990). Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Senyawa Jumlah (%) Air 79,45 Abu 1,65 Lemak 0,84 Protein 17,80 Karbohidrat (by different) 0,26 Ikan dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan berdasarkan kadar lemak dan proteinnya (Tabel 1). Ikan digolongkan dengan lemak rendah protein sedang apabila memiliki kadar lemak <5 % dan protein 15-20 % (Stansby 1963). Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo yang diperoleh pada
penelitian ini
menunjukkan fillet ikan lele dumbo termasuk ke dalam fillet ikan golongan lemak rendah-protein sedang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utama (2008), Rosa et al (2007), Salawu et al (2004), Klemeyer et al (2007) dan Robinson et al (2001) diketahui bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki komposisi kimia yaitu kadar air sebesar 75-79 %; abu 1-1,5 %; lemak 0,5-5 %; dan protein 16-17 %. Menurut Robinson et al (2001), daging ikan lele mengandung protein yang sedang, lemak dan kolesterol yang rendah. 4.1.3 Penentuan fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Peristiwa post mortem adalah salah satu indikasi kemunduran mutu pada fillet ikan. Setelah ikan mati dan difillet akan mengalami fase post mortem, hal ini ditandai dengan daging ikan yang melunak (Erikson dan Misimi 2008). Interval
waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik waktu fase post mortem fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 78, 222, dan 360. Sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir pada jam ke-0, 72, 204, dan 336. Hal ini terjadi karena ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media akan mengalami stres sesaat sebelum mati. Menurut Stein et al (2005) perbedaan waktu fase post mortem pada ikan dikarenakan jumlah kandungan glikogen yang berbeda antara ikan yang mati normal dengan ikan yang mati stres. Fase post mortem akan berlangsung cepat jika ikan mati dalam keadaan lapar dan kandungan glikogen sedikit atau dalam keadaan stres. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air akan lebih cepat mengalami pelunakan daging dibandingkan fillet ikan lele dumbo dimatikan segera. Menurut Peterson (2008) Ikan yang dipreparasi menjadi fillet dalam keadaan stress, akan menghasilkan daging ikan yang kaku dan dapat menghasilkan fillet yang jelek serta mengkerut ketika dipisahkan dari tulang. Pengamatan organoleptik dan gambar fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air selama penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9.
Tabel 8. Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera Fase
Pre-Rigor (jam ke-0 hingga 78)
Rigor Mortis (jam ke-78 hingga 222)
Post Rigor Awal
Postrigor
(jam ke-222 hingga 360) Post Rigor Akhir (mulai jam ke360)
Dimatikan segera Pengamatan Organoleptik Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna cerah dan tidak terbelah. Bau sangat segar, Elastis dan padat. Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah dan tidak terbelah. Bau segar, spesifik jenis. Cukup elastis dan agak lunak Daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah. Bau kurang segar, sedikit bau amoniak Kurang elastis dan lunak Daging putih kehijauan, garis tulang belakang maupun linea lateralis merah coklat dan terbelah. Bau busuk Tidak elastis, sangat lunak
Gambar
Tabel 9. Fase post mortem fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Fase
Pre-Rigor (jam ke-0 hingga 72)
Rigor Mortis (jam ke-72 hingga 204)
Post Rigor Awal
Postrigor
(jam ke-204 hingga 336) Post Rigor Akhir (mulai jam ke336)
Dimatikan segera Pengamatan Organoleptik Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna cerah dan tidak terbelah. Bau sangat segar Elastis dan padat. Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah dan tidak terbelah. Bau segar, spesifik jenis. Cukup elastis dan agak lunak Daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah. Bau kurang segar, sedikit bau amoniak Kurang elastis dan lunak Daging putih kehijauan, garis tulang belakang maupun linea lateralis merah coklat dan terbelah. Bau busuk Tidak elastis, sangat lunak
Gambar
Selama penyimpanan suhu chilling, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami fase post mortem selama 360 jam sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air mengalami fase post mortem selama 336 jam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utama (2008) diketahui bahwa pada penyimpanan suhu chilling, ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami fase post mortem selama 144 jam dan ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air mengalami fase post mortem selama 120 jam. Hal ini terjadi karena fase post mortem pada ikan lele dumbo sangat di pengaruhi oleh aktifitas enzim dan bakteri yang berasal dari kulit, saluran pencernaan dan otot daging ikan, sedangkan pada fillet ikan lele dumbo hanya dipengaruhi oleh aktifitas enzim dan bakteri yang berasal dari otot daging ikan sehingga fillet ikan mengalami fase post mortem yang lebih lama dibandingkan dengan ikan utuh. Proses perubahan pada ikan terjadi karena aktifitas enzim dan mikroorganisme. Proses tersebut akan berlangsung cepat terutama pada ikan yang disimpan tanpa dibuang isi perutnya (FAO 1995). Berdasarkan Gambar 6, Lampiran 4 dan 5 didapat titik-titik pengamatan yang akan digunakan untuk uji TVB, TPC dan pH. Titik-titik tersebut adalah jam ke-0, 72, 222 dan 360. Titik-titik tersebut akan digunakan untuk membandingkan nilai TVB, TPC dan pH antara fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. 4.2
Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui perbedaan mutu fillet ikan
lele dumbo dengan perlakuan cara mati yang berbeda pada penyimpanan suhu chilling secara subjektif yaitu uji organoleptik dan objektif yaitu uji TPC, TVB dan pH. Uji organoleptik dilakukan pada 15 titik yaitu hari ke-0 hingga 15. Uji objektif dilakukan pada 4 titik yaitu jam ke-0, 78, 222 dan 360 sesuai dengan penelitian pendahuluan.
4.2.1 TPC (Total Plate Count) Kesegaran ikan merupakan kriteria kualitas paling penting untuk menentukan mutu dan daya awet dari ikan yang didinginkan (Ilyas 1983). Salah satu cara mengukur tingkat kesegaran ikan yaitu dengan melihat banyaknya bakteri yang berkembang pada daging ikan (Sakaguchi 1990). Pengukuran ini menggunakan metode total plate count (TPC) yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam (Fardiaz 1992). Jumlah bakteri fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik log TPC bakteri pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Daging ikan dikatakan tidak layak dikonsumsi menurut SNI 01-27291992 apabila jumlah bakteri lebih dari 5x105 koloni/g. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 7 diketahui bahwa fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air pada jam ke-360 dikatakan tidak layak untuk dikonsumsi karena memiliki jumlah bakteri sebesar 5,3x105 koloni/g dan 1,1x106 koloni/g. Gambar 9 juga menunjukkan bahwa pada penyimpanan suhu chilling, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air memiliki jumlah bakteri yang lebih banyak dibanding fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera. Pernyataan ini didukung penelitian Utama (2008) menyatakan bahwa pada penyimpanan suhu chilling, ikan lele dumbo
dengan perlakuan dimatikan segera memiliki jumlah bakteri yang lebih sedikit dibanding ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Perbedaan jumlah bakteri ini disebabkan karena ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air lebih banyak menghabiskan energi sesaat sebelum mati sehingga kandungan glikogen menjadi sedikit dibandingkan ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera. Ikan yang memiliki cadangan energi dan kandungan glikogen sedikit akan menyebabkan fase rigor mortis cepat berakhir (Iyas 1983). Pertumbuhan bakteri pada fillet ikan lele dumbo dapat dihambat dengan penyimpanan suhu chilling. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erikson dan Misimi (2008) yang menyatakan aktivitas enzim dan pertumbuhan bakteri pada fillet ikan lele dumbo dapat dihambat jika disimpan pada suhu 0-40C. Hal serupa juga dikemukakan oleh Nurjanah et al (2007) dan Utama (2008). Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 6f), perlakuan cara mati tidak berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan suhu chilling (α > 0,05). Hal ini diduga karena fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air memiliki kandungan glikogen yang tidak jauh berbeda dengan fillet ikan lele dumbo yang dimatikan segera. 4.2.2 TVB (Total Volatile Base) Uji Total Volatile Base adalah salah satu metode pengukuran untuk menentukan kesegaran ikan yang didasarkan pada akumulasi senyawa-senyawa basa seperti amoniak, trimetialamin, dan senyawa volatile lainnya yang menguap. Berbagai macam senyawa tersebut akan terakumulasi pada daging sesaat setelah ikan mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Berbagai macam senyawa yang terakumulasi tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesegaran ikan Semakin tinggi nilai TVB menunjukkan mutu daging yang semakin menurun. Perubahan nilai TVB fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik perubahan nilai TVB pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air memiliki nilai TVB pada jam ke-0, 78, 222 dan 360 berturut-turut adalah 15,73 mg N/100 g; 20,36 mg/100 g; 32,59 mg N/100 g dan 44,37 mg N/100 g sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TVB pada jam ke-0, 78, 222 dan 360 berturut-turut adalah 13,7 mg N/100 g; 16,55 mg N/100 g; 25,36 mg N/100 g dan 40,82 mg N/100 g. Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB (Tabel 4). Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air pada jam ke-0 dan 78 menunjukkan masih dalam keadaan segar. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan 12 jam tanpa media air pada jam ke-222 dan 360 dikatakan tidak layak dikonsumsi karena memiliki nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g. Sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera pada jam ke-222 masih layak dikonsumsi dan dikatakan tidak layak dikonsumsi pada jam ke-360. Gambar 8 menunjukkan bahwa pada penyimpanan suhu chilling, nilai TVB fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air lebih tinggi dibandingkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera. Pernyataan ini didukung penelitian Utama (2008) menyatakan bahwa pada penyimpanan suhu chilling, ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TVB yang lebih rendah dibanding ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Perbedaan
nilai TVB ini disebabkan ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa air diduga memiliki kandungan energi yang sedikit karena mengalami perlawanan sesaat sebelum kematian. Ikan yang lebih banyak mengeluarkan energi sebelum mati akan menyebabkan pH cepat menurun dan mengaktifkan enzim yang mampu menguraikan protein. Penguraian ini akan meningkatkan basa-basa volatile sehingga nilai TVB meningkat. Penyimpanan fillet ikan lele dumbo pada suhu chilling mampu memperlambat peningkatan nilai TVB. Menurut Nurjanah et al (2007) nilai TVB pada penyimpanan suhu chilling lebih rendah dibandingkan penyimpanan suhu lingkungan. Semakin rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan, pertumbuhan bakteri, kegiatan enzimatis dan peningkatan nilai TVB berjalan lambat. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 7f), perlakuan cara mati tidak berbeda nyata terhadap nilai TVB pada fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan suhu chilling (α > 0,05). Hal ini diduga karena fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air memiliki cadangan energi yang tidak jauh berbeda. Perbedaan cadangan energi yang tidak jauh berbeda ini disebabkan karena ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air belum cukup stres dibandingkan ikan lele dengan perlakuan dimatikan segera. 4.2.3 Nilai derajat keasaman (pH) Penentuan nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan. Pembusukan dan perubahan pH daging ikan disebabkan karena proses autolisis dan penyerangan bakteri (Fardiaz 1992). Reaksi anaerob yang terjadi setelah ikan mati akan memanfaatkan ATP dan glikogen yang telah terbentuk selama ikan masih hidup, sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang. Akibatnya, pH tubuh menurun dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalan) (Erikson dan Misimi 2008). Perubahan nilai pH fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik perubahan nilai pH pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Tinggi rendahnya pH awal ikan tergantung pada kandungan glikogen yang ada (Eskin 1990). Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai pH pada jam ke-0 sebesar 6,29 sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air sebesar 6,27. Masingmasing perlakuan akan mengalami penurunan nilai pH pada jam ke-78 yaitu fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera menjadi 6,20 dan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air menjadi 6,18. Penurunan nilai pH ini diakibatkan oleh banyaknya asam laktat yang terakumulasi. Setelah ikan mati akan terjadi perubahan biokimia pada jaringan tubuhnya, ditandai dengan menurunnya pH akibat dari penumpukan asam laktat. Penumpukan asam laktat ini terjadi karena adanya proses penguraian glikogen pada daging ikan yaitu perubahan glikogen menjadi asam laktat pada proses glikolisis (Eskin 1990). Nilai pH fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air akan meningkat pada jam ke222 dan terus meningkat pada jam ke-360. Nilai pH fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera pada jam ke-222 dan 360 adalah sebesar 6,27 dan 6,30. Sedangkan nilai pH fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air pada jam ke-222 dan 360 adalah sebesar 6,29 dan 6,32. Menurut Nurjanah et al (2007) peningkatan nilai pH disebabkan oleh proses
autolisis pada daging ikan yang mengakibatkan terjadinya penguraian enzim menjadi senyawa-senyawa sederhana. Penguraian enzim menjadi senyawa-senyawa sederhana dimulai pada saat nilai pH turun. Nilai pH yang turun akan mengakibatkan enzim katepsin menjadi aktif. Enzim tersebut mampu menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga nilai pH kembali naik. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase rigor mortis berakhir. Seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan terjadi peningkatan nilai pH pada fase post rigor awal dan terus meningkat pada fase post rigor akhir (Nurjanah et al 2007). Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami perubahan pH yang lebih lambat dibandingkan dengan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air selama penyimpanan suhu chilling. Pernyataan ini didukung penelitian Utama (2008) yang menyebutkan ikan lele dumbo yang dimatikan segera akan mengalami perubahan pH yang lebih lambat dibandingkan ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air selama penyimpanan suhu chilling. Penyimpanan fillet ikan lele dumbo pada suhu chilling mampu memperlambat peningkatan nilai pH. Kecepatan peningkatan nilai pH akan semakin lambat jika suhu yang digunakan rendah (Nurjanah et al 2007). Kecepatan perubahan nilai pH juga dipengaruhi kondisi ikan sesaat sebelum mati. Kondisi ikan yang stres menjelang kematian akan menyebabkan peningkatan aktivitas otot dibandingkan kondisi ikan yang tidak stres (Stein et al 2005). Peningkatan aktivitas otot akan menyebabkan cadangan glikogen pada daging ikan berkurang. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 8f), perlakuan cara mati tidak berbeda nyata terhadap nilai pH pada fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan suhu chilling (α > 0,05). Hal ini diduga karena fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air memiliki kandungan glikogen yang tidak jauh berbeda. Perbedaan kandungan glikogen yang tidak jauh berbeda ini disebabkan karena ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air belum cukup stres dibandingkan ikan lele dengan perlakuan dimatikan segera.
4.2.4 Uji Organoleptik Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang bersifat subjektif dengan menggunakan indera yang ditujukan pada penampakan, bau, dan tekstur. Data yang diperoleh diuji dengan menggunakan uji statistik non parametrik Kruskall Wallis. Menurut Sakagouchi (1990) ikan dikatakan segar apabila nilai uji sensori berkisar antara 9-7 dan dikatakan tidak segar apabila nilai uji sensori berkisar antara 4-1. 4.2.4.1 Penampakan Parameter utama untuk menentukan tingkat kesegaran ikan adalah daging. Daging ikan yang segar sayatannya masih cemerlang sedangkan ikan yang sudah busuk warna dagingnya kusam (Liviawaty 2001). Perubahan rata-rata nilai organoleptik penampakan fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 10.Grafik rata-rata nilai organoleptik penampakan pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Penampakan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dikatakan segar hingga hari ke3 dengan rata-rata nilai 7 sesuai dengan SNI 01-2346-2006. Penampakan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dikatakan tidak segar dimulai pada penyimpanan hari ke-13 sedangkan penampakan fillet ikan lele dumbo
dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dimulai pada penyimpanan hari ke-12. Berdasarkan uji Kruskall Wallis (Lampiran
3a) perlakuan cara mati
berbeda nyata terhadap nilai organoleptik penampakan pada fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan suhu chilling (α < 0,05). Hal ini diduga karena fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memilki kandungan glikogen yang lebih banyak sehingga mengalami kemunduran mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air. Ikan yang mati cepat dan dalam kondisi tenang akan memiliki mutu yang lebih baik dibandingkan dengan ikan yang berjuang keras dan menghabiskan tenaganya sebelum mati (Ilyas 1983). 4.2.4.2 Bau Bau merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan tingkat kesukaan seseorang terhadap mutu produk. Bau fillet ikan yang segar memiliki bau yang segar dan spesifik jenis sedangkan bau fillet ikan yang sudah busuk memiliki bau amoniak yang keras dan berbau busuk (BSN 2006). Perubahan ratarata nilai organoleptik bau fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 11.Grafik rata-rata nilai organoleptik bau pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Bau fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dikatakan segar hingga hari ke-3 dan ke-4 dengan rata-rata nilai 7. Bau fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dikatakan tidak segar dimulai pada penyimpanan hari ke-13 sedangkan bau fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dimulai pada penyimpanan hari ke-12. Berdasarkan uji Kruskall Wallis (Lampiran 3a.)
perlakuan cara mati
berbeda nyata terhadap nilai organoleptik bau pada fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan suhu chilling (α < 0,05). Hal ini diduga karena fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air lebih cepat mengalami proses oksidasi lemak akibat kandungan glikogen yang lebih sedikit dibanding fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera. Proses oksidasi lemak pada daging ikan dapat menimbulkan aroma tengik yang tidak diinginkan. 4.2.4.3 Tekstur Parameter tekstur berkaitan dengan kekompakan daging fillet yang diamati. Tekstur fillet ikan yang segar memiliki tekstur yang elastis, padat dan kompak sedangkan tekstur fillet ikan yang sudah busuk memiliki tekstur yang sangat tidak elastis dan membubur (BSN
2006). Perubahan rata-rata nilai
organoleptik tekstur fillet ikan lele dumbo pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 12.Grafik rata-rata nilai organoleptik tekstur pada fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Tekstur fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dikatakan segar hingga hari ke-3 dan ke-2 dengan rata-rata nilai 7 sesuai dengan SNI 01-2346-2006. Tekstur fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dikatakan tidak segar dimulai pada penyimpanan hari ke-11 sedangkan tekstur fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dimulai pada penyimpanan hari ke-10. Berdasarkan uji Kruskall Wallis (Lampiran 3a) perlakuan cara mati berbeda nyata terhadap nilai organoleptik tekstur pada fillet ikan lele dumbo selama penyimpanan suhu chilling (α < 0,05). Hal ini diduga karena fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air memiliki kandungan glikogen yang lebih sedikit dibanding fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera sehingga fase rigor mortis akan cepat berakhir. Otot daging ikan akan menjadi lunak dan kembali lentur setelah fase rigor mortis berakhir (Eskin 1990). 4.2.5 Hubungan antar parameter kesegaran fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Mutu fillet ikan lele dumbo dapat diketahui dengan melakukan uji subjektif (organoleptik) dan uji objektif (TPC, TVB dan pH). Parameterparameter tersebut memiliki keterkaitan selama proses kemunduran mutu fillet ikan lele dumbo berlangsung. Berbagai proses perubahan fisik, kimia dan organoleptik berlangsung dengan lambat selama penyimpanan pada suhu chilling. Penggunaan suhu chilling memperngaruhi nilai TPC, TVB dan pH dari fillet ikan lele dumbo. Nilai organoleptik dari fillet ikan lele dumbo untuk kedua perlakuan semakin menurun seiring dengan makin lamanya penyimpanan. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera maupun dimatikan setelah 12 jam tanpa media air memiliki pola perubahan kemunduran mutu yang sama. Hasil uji subjektif dan objektif menghasilkan kesimpulan yang berbeda secara statistik. Perbedaan antara uji subjektif dan objektif ini karena titik-titik pengamatan yang berbeda antara uji subjektif dan objektif.
4.2.5.1 Hubungan nilai organoleptik dengan log TPC Ikan yang baru ditangkap memiliki kekebalan yang mampu menjadi barrier (ketahanan tubuh) dan mencegah pertumbuhan bakteri pada daging ikan. Setelah ikan dimatikan dan memasuki fase post mortem, sistem kekebalan tersebut menjadi tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang dengan cepat selama penyimpanan (FAO 1995). Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 15 dan 16 diketahui bahwa peningkatan jumlah bakteri pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera sebesar 1 log TPC akan menurunkan nilai organoleptiknya sebesar 2,887 satuan, sedangkan pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air sebesar peningkatan jumlah bakteri sebesar 1 log TPC akan menurunkan nilai organoleptiknya sebesar 3,267 satuan.
Gambar 15. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan log TPC dimatikan segera
Gambar 16. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan log TPC dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Koefisien determinasi (R2) pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera sebesar 0,966 dan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air sebesar 0,984. Hal ini berarti bahwa model observasi dapat menjelaskan model dugaan sebesar 96,6 % (dimatikan segera) dan 98,4 % (dimatikan setelah 12 jam tanpa media air). Nilai organoleptik memiliki hubungan sangat erat dengan penambahan log bakteri dengan nilai r (koefisien korelasi) sebesar 0,9828 (dimatikan segera) dan 0,9917 (dimatikan setelah 12 jam tanpa media air). Kerusakan yang terjadi pada daging ikan karena serangan bakteri lebih parah daripada kerusakan yang disebabkan oleh enzim. Penguraian oleh bakteri berlangsung secara intensif setelah fase rigor mortis berakhir, yaitu setelah daging
mengendur menjadi lunak dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan (Afianto dan Liviawaty 1989). Peningkatan jumlah bakteri berhubungan dengan proses autolisis. Hal ini terjadi karena semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya. 4.2.5.2 Hubungan nilai organoleptik dengan TVB Peningkatan nilai TVB selama penyimpanan merupakan akumulasi berbagai komponen seperti basa volatil pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging ikan (Kristoffersen et al 2006). Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 17 dan 18 diketahui bahwa peningkatan nilai TVB pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera sebesar 1 mg N/100 g akan menurunkan nilai organoleptiknya sebesar 0,172 satuan, sedangkan pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air peningkatan nilai TVB sebesar 1 mg N/100 g akan menurunkan nilai organoleptiknya sebesar 0,177 satuan.
Gambar 17. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan TVB dimatikan segera
Gambar 18. Korelasi nilai rata-rata organoleptik dengan TVB dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Koefisien determinasi (R2) pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera sebesar 0,845 dan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air sebesar 0,930. Hal ini berarti bahwa model observasi dapat menjelaskan model dugaan sebesar 84,5 % (dimatikan segera) dan 93 % (dimatikan setelah 12 jam tanpa media air). Nilai organoleptik memiliki hubungan sangat erat dengan penambahan nilai TVB dengan
nilai r (koefisien korelasi) sebesar 0,9192 (dimatikan segera) dan 0,9643 (dimatikan setelah 12 jam tanpa media air). Semakin lama waktu penyimpanan akan meningkatkan nilai TVB yang disebabkan oleh proses autolisis, yaitu aktivitas enzim proteolitik dalam menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti peptida, asam amino dan amoniak (FAO 1995). Senyawa-senyawa ini yang menimbulkan bau busuk yang akan mempengaruhi penurunan organoleptik. 4.2.5.3 Hubungan log TPC dengan TVB Kondisi post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam daging ikan. Sedangkan pembusukan oleh bakteri adalah terjadinya penguraian daging ikan akibat dari aktivitas bakteri dalam daging ikan (FAO 1995). Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 19 dan 20 diketahui bahwa peningkatan jumlah bakteri pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera sebesar 1 log TPC akan meningkatkan nilai TVB sebesar 15,44 satuan, sedangkan pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air sebesar peningkatan jumlah bakteri sebesar 1 log TPC akan meningkatkan nilai TVB sebesar 16,42 satuan.
Gambar 19. Korelasi nilai TVB dengan log TPC dimatikan segera
Gambar 20. Korelasi nilai TVB dengan log TPC dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Koefisien determinasi (R2) pada fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera sebesar 0,936 dan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air sebesar 0,874. Hal ini berarti bahwa
model observasi dapat menjelaskan model dugaan sebesar 96,6 % (dimatikan segera) dan 87,4 % (dimatikan setelah 12 jam tanpa media air). Nilai TPC memiliki hubungan sangat erat dengan penambahan nilai TVB dengan nilai r (koefisien korelasi) sebesar 0,9674 (dimatikan segera) dan 0,9348 (dimatikan setelah 12 jam tanpa media air). Penguraian oleh bakteri berlangsung secara intensif setelah fase rigor mortis berakhir, yaitu setelah daging mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan (Afianto dan Liviawaty 1989). Peningkatan jumlah bakteri berhubungan dengan proses autolisis. Selama proses autolisis berlangsung terjadi proses hidrolisis yang menghasilkan peptida, asam-asam amino dan senyawasenyawa nitrogen non protein (TMAO, urea, histidin). Senyawa-senyawa tersebut merupakan substrat yang menyediakan nutrient bagi perkembangbiakan bakteri (Kristoffersen et al 2006) Aktivitas bakteri dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asamasam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu timbulnya senyawa biogenic amin seperti kadaverin, histamine dan putresin (Hallier et al 2007). Senyawasenyawa asam amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang dapat digunakan sebagai indikator pembusukan (Kwaadsteniet et al 2008).
5.KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan berat sebesar 120,70 ± 1,62 g
dan panjang total sebesar 256,85 ± 7,00 mm memiliki berat fillet sebesar 40,01 ± 0,81 g dan panjang fillet sebesar 184,25 ± 6,73 mm. Rendemen ikan lele dumbo adalah kepala 27,49 %,; tulang 14,61 %; jeroan 6,49 %; insang 6,06 %; sirip 3,47 %; kulit 6,06 %; daging merah 3 % dan daging putih 32,82 %. Komposisi kimia fillet ikan lele dumbo adalah kadar air 79,45 %; abu 1,65 %; lemak 0,84 %; protein 17,80 % dan karbohidrat 0,26 %. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir secara berturut adalah pada jam ke-0, 78, 222 dan 360. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor awal dan post rigor akhir secara berturut adalah pada jam ke-0, 72, 204 dan 336. Selama 15 hari atau 360 jam penyimpanan pada suhu chilling, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TPC sebesar 5,3x105 koloni/g dan TVB sebesar 40,82 mg N/100 g dan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera memiliki nilai TPC sebesar 1,1x106 koloni/g dan TVB sebesar 44,37 mg N/100 g. Fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami perubahan pH yang lebih lambat dibandingkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air selama penyimpanan pada suhu chilling. Berdasarkan hasil uji organoleptik, fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera dikatakan tidak segar atau tidak layak dikonsumsi setelah penyimpanan selama 13 hari sedangkan fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air dikatakan tidak segar atau tidak layak dikonsumsi setelah penyimpanan selama 12 hari.
5.2
Saran Dilakukan penelitian yang serupa mengenai kemunduran mutu fillet ikan
lele dumbo dengan penyimpanan beku dan karakteristik yang lebih spesifik seperti kandungan glikogen, analisis kandungan asam-asam amino dan asam lemak bebas.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Ali MZ, Jauncey K. 2005. Approaches to optimizing dietary protein to energy ratio for African catfish Clarias gariepinus (Burchell, 1822). Aquaculture Nutrition 11:95–101. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Offial Analytical of Chemist. Arlington,:The Association of Official Analytical Chemyst, Inc. [BSN]a Badan Standarisasi Nasional. 1992. Ikan Segar. Standar Nasional Indonesia SNI 01-1705-1992. _____b Badan Standarisasi Nasional. 2006. Lembar Penilaian Organoleptik Fillet Ikan Beku. Standar Nasional Indonesia SNI 01-2346-2006. Baker RTM, Davies SJ. 1996. Oxidative nutritional stress associated with feeding rancid oils African catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822) and the protective role of α-tocopherol. Aquaculture Research 27:795–803. Conceicao LEC, Ozorio ROA, Suurd EA, Verreth JAJ. 1998. Amino acid profiles and amino acid utilization in larval african catfish (Clarias gariepinus): effects of ontogeny and temperature. Fish Physiology and Biochemistry 19:43–57. [DKP]a Departemen Kelautan dan Perikanan. 6 Desember 2007. FAO dorong pembangunan perikanan budidaya. www.dkp.go.id. [21 April 2008] _____b Departemen Kelautan dan Perikanan. 19 Maret 2008. Perikanan budidaya meningkatkan produksi 20 %. www.dkp.go.id. [2 April 2008] Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food Second Edition. San Diego: Academic Press, Inc. Erikson U, Misimi E. 2008. Atlantic salmon skin and fillet color changes effected by perimortem handling stress, rigor mortis, and ice storage. Journal of food science 73(2):50-59. Farber L. 1965. Freshness test. Didalam Fish As Food. Borgstrom G (Editor). New York: Academic Press. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Qulaity Changes in Fresh Fish. Huss HH (Editor). Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nation.
Gatlin DM. 2001. Effect of nutrition on body composition and subsequent storage quality of farm-raised channel catfish. SRAC Final Project. No. 6000. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan Jilid 1. Teknik Pendinginan Ikan. Jakarta:CV. Paripurna. Klemeyer SM. Larsen R. Maehre H. 2007. Retentiom of health-related beneficial components during household preparation of selenium enriched african catfish (Clarias gariepinus) Fillets. Eur Food Res Technol 122:467–472. Kristoffersen S, Tobiassen T, Esaiassen M, Olsson GB, Godvik LA, Seppola MA, Olsen R. 2006. Effects of pre-rigor filleting on quality aspects of Atlantic cod (Gadus morhua L.). Aquaculture Research 37:1556-1564. Kwaadsteniet MD, Doeschate KT, Dicks LMT. 2008. Characterization of the structural gene encoding Nisin F, a new lantibiotic produced by a Lactococcus lactis subsp. lactis isolate from freshwater catfish (Clarias gariepinus). Applied and Environmental Microbiology 74(2):547–549. Kurnia A. 29 Mei 2006. Saatnya Indonesia menerapkan budidaya ikan ramah lingkungan. www.beritaiptek.com [25 April 2008] Liviawaty E. 2001. Organoleptik Ikan. Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Bandung: Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Nurjana ML. 2006. Indonesia akan ekspor lele ke AS dan Eropa. www.bisnis.com. [25 April 2008] Nurjanah, Tati N, Fatmawati Z. 2007. Karakteristik mutu ikan bandeng (Chanos chanos) di Tambak Sambiroto Kabupaten Pati Jawa Tengah. . Jakarta: Seminar International Perikanan 2007. Okada M. 1990. Fish as raw material fishery products. Didalam Science of Processing Marine Food Product. Motohiro T, Hashimoto K, Kayama M and Tokunaga T (Editor). Japan:International Agency. Pearson AM, Dutson TR. 1996. Production and processing of healthy meat, poultry and fish product., Advances in Meat Research Series Vol 11. Peterson J. 2007. Cooking : Fish. London:Ten Speed Press. Rehbein H. 1979. Development of an enzymatic method to differentiate fresh and sea-frozen and thawed fish fillets. Z Lebensm Unters Forsch 169:263-265. Robinson EH, Li MH, Oberle DF. 2001. Nutrient characteristics of pond-raised channel catfish. Experiment Station 22(14):1-5. Rogers JF, Cole RC, Smith JD. 2004. An illustrated guide to fish preparation tropical product. Insitute London.
Rosa R, Bandarra NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of African catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future development of the European production of Siluroidei. International Journal of Food Science and Technology 42:342–351. Sakaguchi M. 1990. Sensory and non-sensory methods for measuring freshness of fish and fishery products. Didalam Science of Processing Marine Food Product. Motohiro T, Hashimoto K, Kayama M and Tokunaga T (Editor). Japan:International Agency. Salawu SO. Adu OC. Akindabuhsi AA. 2004. Nutritive value of fresh and brackish water catfish as a function of size and processing methods. Eur Food Res Technol 220:531-534. Silva JL, Ammerman GR, Dean S. 2001. Processing channel catfish. SRAC Publication No.183. [SIMPATIK]a Sistem Informasi Perhitungan Statistik Kelautan dan Perikanan. 2008. Data produksi perikanan Indonesia tahun 2004-2006. www.statistik.dkp.go.id. [3 Januari 2009] ___________b Sistem Informasi Perhitungan Statistik Kelautan dan Perikanan. 2008. Data ekspor hasil perikanan Indonesia tahun 2004-2006. www.statistik.dkp.go.id. [3 Januari 2009] Stansby ME. 1963. Industrial Fishery Technology. London: Reinhold Publisher. Co. Chapman and Hall Ltd. Stein LH, Hirmas E, Mevik MB, Karlsen R, Nortved R, Bencze AM, Sunde J, Kiessling A. 2005. The effects of stress and storage temperature on the colour and texture of pre-rigor filleted farmed cod (Gadus morhua L.). Aquaculture Research 36:1197-1206. Utama RH. 2008. Kemunduran mutu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara mati [skripsi]. Bogor:Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Weber J, Bochi VC, Ribeiro CP, Victo AM, Emanuelli T. 2008. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106(2008):140–146.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Score sheet uji organoleptik fillet ikan segar (SNI 01-2346-2006). Nama Panelis : ……………………….. Tanggal: ……………………………….. Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian Berilah tanda pada nilai yang dipilih sesuai dengan kode simple yang diuji
Spesifikasi 1 Penampakan • Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi, menarik dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah • Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi, menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah, redup dan tidak terbelah •
Daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang, kurang menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah
Nilai
9
7
5
• Daging putih kehijauan, tidak menarik, garis tulang belakang maupun linea lateralis merah coklat dan terbelah
3
• Daging kehijauan menyeluruh, sangat suram, sangat tidak menarik, garis tulang belakang maupun linea lateralis coklat dan terbelah
1
2 • • •
9 7
• • 3 • • • • •
Bau Bau sangat segar, spesifik jenis Bau segar, spesifik jenis Bau kurang segar, sedikit bau amoniak dan ada bau tambahan Bau amoniak mulai jelas, agak busuk Bau amoniak keras dan bau busuk Tekstur Elastis, padat dan kompak Cukup elastis, agak lunak dan kompak Kurang elastis, lunak dan kompak Tidak elastis, sangat lunak dan tidak kompak Sangat tidak elastis dan membubur
5 3 1 9 7 5 3 1
Kode Contoh 1 2 3 4
Lampiran 2. Data mentah ukuran ikan dan fillet ikan lele dumbo No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Berat Total (g) 121 118 120 120 122 119 118 121 121 123 122 119 119 120 120 122 124 122 121 122
Panjang Total (mm) 250 255 252 260 265 253 256 262 262 265 264 250 252 260 258 267 266 250 245 245
Panjang Baku (mm) 230 233 232 240 243 230 234 242 239 240 242 228 230 240 235 247 245 228 225 229
Panjang Fillet (mm) 180 184 182 188 190 180 186 189 192 188 188 175 180 188 185 195 193 174 170 178
Berat Fillet (g) 40,00 39,00 39,90 40,62 41,20 39,10 39,20 40,00 40,21 40,35 41,48 39,66 39,10 39,00 39,02 39,86 41,15 40,38 39,85 41,19
Lampiran 3. Uji Kruskall Wallis dan hasil perangkingan fillet ikan lele dumbo a. Uji Kruskall Wallis Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Signifikan
Penampakan 15,980 1 .000
Bau 12,513 1 .000
Tekstur 16,929 1 .000
b. Perangkingan Parameter
Penampakan
Bau
Tekstur
Jumlah
Rata-rata Ranking
Dimatikan segera
2560
2639,33
Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air Total
2560
2481,67
Dimatikan segera
2560
2630,52
Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air Total
2560
2490,48
Dimatikan segera
2560
Perlakuan
5120
5120 2692,29
Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air Total
Lampiran 4.
2560
2411,71
5120
Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji TPC fillet ikan lele dumbo
a. Data mentah TPC Jam ke-
Perlakuan
Dimatikan segera
Ulangan 1 2
0 Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Dimatikan segera
1 2 1 2
78 Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Dimatikan segera
1 2 1 2
222 Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Dimatikan segera
1 2 1 2
360 Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
1 2
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
134 125 110 104 120 105 152 159 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
125 119 80 75 42 29 50 34 57 63 60 55 90 85 70 67 163 176 111 101 230 225 162 155 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
13 9 9 11 15 9 23 19 15 17 19 22 23 11 13 8 27 34 35 30 85 80 37 32 50 43 62 59 130 127 115 112
5 3 7 6 7 4 4 2 1 2 2 1 4 0 2 1 6 7 3 2 9 6 7 4 3 2 6 4 15 12 14 11
Rata-rata SPC
Rata-rata LOG
11500
4,0569
13500
4,1227
58500
4,7670
77500
4,8860
135000
5,1152
190000
5,2732
530000
5,7204
1150000
6,0602
b. Data TPC setelah transformasi akar Jam ke-0
Perlakuan
Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Jam ke-78 1 2
Jam ke-222 1 2
Jam ke-360 1 2
1
2
2,0282
2,0000
2,1858
2,1807
2,2870
2,2360
2,3796
2,4037
2,0103
2,0503
2,2225
2,1982
2,3113
2,2812
2,4656
2,4579
c. Tabel uji normalitas TPC Kolmogorov-Smirnov(a) Perlakuan
Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Shapiro-Wilk
Statistik
Derajat Bebas
Signifikan
Statistik
Derajat Bebas
Signifikan
.177
8
.200*
.902
8
.304
.144
8
.200*
.936
8
.576
d. Grafik uji normalitas TPC fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera
e. Grafik uji normalitas TPC fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
f. Tabel analisis ragam TPC
Antar Grup Dalam Grup Total
Jumlah kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Rata-rata
F Hitung
Signifikan
0.007
1
0.007
0.349
0.565
0.242
14
0.020
0.249
15
Lampiran 5.
Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji TVB fillet ikan lele dumbo a. Data mentah TVB Perlakuan Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Jam ke-0 1 2
Jam ke-78 1 2
Jam ke-222 1 2
Jam ke-360 1 2
15,88
15,58
20,54
20,18
32,42
32,76
44,55
44,19
13,65
13,75
16,44
16,66
25,32
25,42
40,56
41,08
b. Data TVB setelah ditransformasikan akar Jam ke-0 1 2
Perlakuan Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Jam ke-78 1 2
Jam ke-222 1 2
Jam ke-360 1 2
3,9849
3,9471
4,5321
4,4922
5,6938
5,7236
6,6745
6,6475
3,7080
3,7080
4,0546
4,0816
5,0318
5,0418
6,3686
6,4093
c. Tabel uji normalitas TVB Kolmogorov-Smirnov(a) Perlakuan
Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Shapiro-Wilk
Statistik
Derajat Bebas
Signifikan
Statistik
Derajat Bebas
Signifikan
.228
8
.200(*)
.876
8
.173
.241
8
.192(*)
.850
8
.094
fillet
ikan
d. Grafik uji normalitas TVB dimatikan segera
lele dumbo dengan
perlakuan
e. Grafik uji normalitas TPC fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
f. Tabel analisis ragam TVB
Antar Grup Dalam Grup Total
Jumlah kuadrat .649
Derajat Bebas 1
Kuadrat Rata-rata .649
14.314
14
1.192
14.963
15
F Hitung
Signifikan
.544
.474
Lampiran 6.
Data mentah, data transformasi, uji normalitas, grafik uji normalitas, analisis ragam uji pH fillet ikan lele dumbo
a. Data mentah pH Jam ke-0 1 2
Perlakuan
Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Jam ke-78 1 2
Jam ke-222 1 2
Jam ke-360 1 2
6,30
6,28
6,19
6,16
6,28
6,26
6,31
6,30
6,28
6,25
6,20
6,20
6,30
6,28
6,34
6,30
b. Data pH setelah ditransformasikan akar Jam ke-0 1 2
Perlakuan Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Jam ke-78 1 2
Jam ke-222 1 2
Jam ke-360 1 2
2,5099
2,4879
2,5059
2,5119
2,5059
2,4819
2,5020
2,5099
2,5059
2,4899
2,5099
2,5179
2,5000
2,4899
2,5059
2,5099
c. Tabel uji normalitas pH Kolmogorov-Smirnov(a) Perlakuan
Dimatikan segera Dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
Shapiro-Wilk
Statistik
Derajat Bebas
Signifikan
Statistik
Derajat Bebas
Signifikan
.266
8
.100
.821
8
.048
.215
8
.200*
.916
8
.397
d. Grafik uji normalitas pH fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera
e. Grafik uji normalitas pH fillet ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan setelah 12 jam tanpa media air
f. Tabel analisis ragam pH
Antar Grup Dalam Grup Total
Jumlah kuadrat .000
Derajat Bebas 1
Kuadrat Rata-rata .000
.001
14
.002
.001
15
F Hitung
Signifikan
.190
.670