KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING
RIJAN ZAKARIA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
RINGKASAN RIJAN ZAKARIA. C34104021. Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh NURJANAH dan TATI NURHAYATI Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi dan dapat dicerna dengan mudah oleh manusia. Pada umumnya ikan mempunyai kandungan kolesterol rendah dan asam lemak berantai ganda dengan jumlah yang besar. Komposisi kimia ikan tergantung dari spesies ikan, umur, habitat, dan pakan. Salah satu contoh spesies ikan yang memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu ikan gurami. Ikan gurami memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebab ikan ini memiliki rasa daging yang enak, mempunyai kandungan gizi tinggi yang bermanfaat untuk pertumbuhan maupun pembentukan energi. Biasanya ikan gurami banyak dijual di pasaran dalam keadaan segar baik dalam kondisi masih hidup ataupun yang sudah mati. Kesegaran ikan gurami dapat dipertahankan dengan penyimpanan suhu chilling. Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan fase post mortem ikan gurami dengan berbagai umur panen, yakni umur 2,5 tahun (A); 1,5 tahun (B); dan umur 8 bulan (C) sebagai patokan untuk uji objektif. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan gurami menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif (TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein katepsin). Uji organoleptik dilakukan pada 14 titik dengan selang pengamatan setiap 6 jam sekali. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein katepsin dilakukan pada fase pre-rigor, rigor, post rigor dan deteriorasi. Ikan gurami A, B, dan C memiliki berat total dan panjang total secara berturut-turut, yakni: 995,45 g ± 1,85 g , 36-38 cm, 697,65 g ± 1,24, 32-34 cm; 345,55 g ± 1,42, 27-29 cm. Rendemen gurami adalah kepala 45-52 %; tulang 30-38 %; jeroan 6-8 %; insang 1-2 %; sirip 3-5 % dan sisik 4 %. Komposisi kimia ikan gurami adalah kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,95-1,03 %; lemak 2,20-2,79 % dan protein 18,71-20,67 %. Ikan gurami A mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan deteriorasi secara berturut-turut adalah pada jam ke-0, 36, 228, dan 324. Ikan gurami B pada jam ke 0, 30, 198 dan 268 sedangkan ikan C, yakni jam ke 0, 24, 180, dan 234. Ikan gurami A mengalami kemunduran mutu lebih lambat dibandingkan dengan ikan gurami B dan C. Nilai organoleptik ikan gurami selama penyimpanan berselang antara 2-9. Ikan gurami memiliki nilai log TPC antara 3,079-9,176 CFU/ml, pH antara 5,92-6,87, TVB antara 7,28-32,42 mg N/100 g, aktivitas enzim katepsin antara 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi protein enzim katepsin antara 0,457-0,253 mg/ml. Hasil ANOVA α=0,05 menunjukkan perbedaan umur panen dari ketiga ikan gurami memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju kemunduran mutu ikan terkait pada uji objektif yang meliputi uji TPC, pH, TVB, dan aktivitas spesifik enzim katepsin.
KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING
Oleh: RIJAN ZAKARIA C34104033
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Skripsi
: KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING
Nama Mahasiswa
: Rijan Zakaria
Nomor pokok
: C34104021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Nurjanah, MS NIP 131578848
Dr. Tati Nurhayati S.Pi M.Si NIP 132149436
Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, September 2008
Rijan Zakaria C34104021
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul ”Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling”. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ayah dan ibu tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 2. Ibu Ir. Nurjanah M.S dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 3. Bapak Ir. Dadi R Sukarsa dan Ibu Ir. Wini Trilaksani M.Si selaku dewan penguji atas segala masukan dan kritikan yang membangun demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Si selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis. 5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran, saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis 6. Keluarga kakakku tercinta Yudi Astuti, Budi Netti, Saefudin Nurmiati, Adi Nurhidayah dan adikku Ajad atas kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 6. Ibu Ema (Laboran THP), Ibu Ika dan Ibu Dewi (PAU) serta Pak Wahyu (FKH) yang telah memberikan banyak sekali pembelajaran kepada penulis. 7. Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi mamah), terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis
8. Keluarga besar Wiliyanto dan Keluarga besar Malik di Pulau Panggung Enim. ”Doa dan dukungannya selama ini sangat berarti buatku, terima kasih banyak”. 9. Sahabat sekaligus saudara terbaik saya Nurman Hidayat dan keluarga besar Bapak Rachmat Lubis atas doa, semangat, dukungan nya selama ini. 10. Teman-teman satu bimbingan: Theta, Kudil, Opick, Wahyu, Erlangga Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 11. Teman-teman satu kost-an (Yudha, Gilang, Derry, Opik, Bozonk, Wawan) ”Terima kasih sudah bisa menjadi sahabat-sahabat terbaik buat penulis”. 12. Sahabat-sahabatku: Pu-Rie, Theta, Alim, Anez, Bang Yayan, Ijal, Afey, Galih, Dede, Al-Saloon Crew, An-Nur Crew, anak-anak lab Om Benk dan anak-anak THP 41. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan, semangat dan doa nya. 13. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 39) dan adik-adik kelasku (THP 42 dan THP 43) atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan seminar dan sidang. 14. Ayunda “ Panda Hilton” atas motivasi, doa, senyuman dan canda tawa yang telah diberikan kepada penulis 15. Kak Deden, Kak Aris Tenjo, Kak Merry Apriyanti, Kak Dian Purbasari, Nina, Irfan, Rustam, Uu’, Idmar dan Idris atas segala bantuan dan semangat nya 16. Kak Dzulkifli Atas semua bantuan baik materil dan moril, waktu, kesabaran, semangat dan doa nya 17. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, 28 juli 2008
Rijan zakaria C34104021
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Oktober 1986 di Pulau Panggung Enim-Palembang. Penulis adalah anak ke-5 dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Hasanulkarim dan Ibu Umi Habibah. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di SDN 2 Pulau Panggung Enim dan diselesaikan pada tahun 1998.
Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Tanjung Agung (1998-2001) dan SMA Negeri 1 Unggulan Muara enim (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) dan tergabung dalam Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) dari tahun 2004 hingga sekarang. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Toksikologi Hasil Perairan (2007), Kimia Industri Hasil Perairan (2007), dan Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan (2008).
Penulis juga aktif dalam
penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) IXX di Universitas Muhamaddiyah malang (2006), PIMNAS XX di Universitas lampung (2007) dan PIMNAS XXI di Universitas Sebelas Maret Semarang (2008) Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling”, dibimbing oleh Ibu Ir. Nurjanah M.S dan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xi
1. PENDAHULUAN................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Tujuan ............................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
4
2.1 Deskripsi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) ..........................
4
2.2 Mutu Ikan .......................................................................................
5
2.3 Proses Kemunduran Mutu .............................................................. 2.3.1 Perubahan pre-rigor mortis .................................................. 2.3.2 Perubahan rigor mortis ......................................................... 2.3.3 Perubahan karena aktivitas enzim ........................................ 2.3.4 Perubahan karena aktivitas bakteri...................................... . 2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan...
8 9 9 10 11 13
2.4 Metode Pengukuran Kesegaran Ikan .............................................
14
2.5. Proses Pendinginan ........................................................................
16
2.6. Enzim Katepsin ..............................................................................
19
2.7. Peranan Enzim Katepsin dalam Kemunduran Mutu Ikan ..............
20
3. METODOLOGI ..................................................................................
22
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................
22
3.2 Alat dan Bahan .............................................................................
22
3.3 Metode Penelitian ..........................................................................
22
3.3.1 Penelitian pendahuluan ...................................................... 3.3.2 Penelitian utama .................................................................
23 24
3.4 Pengamatan .................................................................................. 3.4.1. Rendemen ........................................................................ 3.4.2 Uji organoleptik (SNI 01-2346-2006) .............................. 3.4.3 Total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) ........................... 3.4.4 Analisis Proksimat ........................................................... (a). Kadar air (AOAC 1995) ........................................... (b). Kadar abu (AOAC 1995) .......................................... (c). Kadar protein (AOAC 1995) .................................... (d). Kadar lemak (AOAC 1995) ......................................
25 25 25 25 26 26 26 27 27
3.4.5 pH (Apriyantono et al. 1989) ........................................... 3.4.6 Total volatile base (TVB) (AOAC 1995) .........................
29 29
3.5 Assay Aktivitas Katepsin (Dinu et al. 2002) ...............................
30
3.6
Pengukuran Konsentrasi Protein Katepsin (Bradford 1976)........
31
3.7
Analisis Data ................................................................................
32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................
33
4.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................ 4.1.1 Ukuran dan rendemen ikan gurami (Osphronemus gouramy) ..................................................... 4.1.2 Penentuan fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) .....................................................
33
4.2. Penelitian Utama .......................................................................... 4.2.1 Hasil analisis proksimat ikan gurami (Osphronemus gouramy ) .................................................... (a). Kadar air ....................................................................... (b). Kadar abu ..................................................................... (c). Kadar protein ................................................................ (d). Kadar lemak ................................................................. 4.2.2 Nilai organoleptik ................................................................. 4.2.3 Nilai TPC (Total Plate Count).............................................. 4.2.4 Nilai pH ................................................................................ 4.2.5 Nilai TVB (Total Volatile Base) ........................................... 4.2.6 Aktivitas spesifik enzim katepsin.............................. ........... 4.2.7 Hubungan antar parameter kesegaran ikan ...........................
40 40 41 42 42 44 45 47 49 51 56 58
5. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
60
5.1 Kesimpulan ...................................................................................
60
5.2 Saran..............................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
61
LAMPIRAN.................................................................................................
65
33 35
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar ......................................................
7
2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah..............................................
8
3. Pengelompokkan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya ...................................................................................
11
4. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan ......................
17
5. Potensi lamanya penyimpanan ikan dengan es ....................................
18
6. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan ..........
19
7. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml................
31
8. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) A pada penyimpanan suhu chilling .................................................................
36
9. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) B pada penyimpanan suhu chilling ..................................................................
37
10. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) C pada penyimpanan suhu chilling ..................................................................
38
11. Hasil analisis proksimat ikan gurami (Osphronemus gouramy) dengan berbagai umur panen ...............................................................
42
12. Nilai pH terendah berbagai jenis ikan pada fase post mortem .............
52
13. Aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin, dan aktivitas spesifik katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling........................................................
54
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1. Ikan gurami (Osphronemus gouramy) .................................................
4
2. Akibat dari terhentinya sirkulasi darah dalam jaringan otot (Lawrie 1985) ........................................................................................
12
3. Kerangka penelitian pendahuluan .........................................................
23
4. Kerangka penelitian utama ....................................................................
24
5. Persentase rendemen ikan gurami A .....................................................
34
6. Persentase rendemen ikan gurami B .....................................................
34
7. Persentase rendemen ikan gurami C .....................................................
34
8. Kadar air ikan gurami dengan berbagai umur panen ............................
41
9. Kadar abu ikan gurami dengan berbagai umur panen ...........................
42
10. Kadar protein ikan gurami dengan berbagai umur panen .....................
43
11. Kadar lemak ikan gurami dengan berbagai umur panen .......................
44
12. Rata-rata nilai organoleptik dari ikan gurami dengan berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling ......................
45
13. Nilai log TPC dari ikan gurami dengan berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................
47
14. Nilai log pH dari ikan gurami dengan berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................
49
15. Proses glikolisis pada daging ikan (Eskin 1990)....................................
50
16. Nilai log TVB dari ikan gurami dengan berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................
52
17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling...............................................
56
18. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami A.............................
58
19. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami B.............................
58
20. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami C.............................
59
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Score sheet uji orgoneltik ikan segar (SNI-01-2345-1991) ............... ...
65
2.
Data mentah panjang, berat dan rendemen ikan gurami .........................
67
3a
Data mentah nilai organoleptik ikan gurami pre-rigor ..........................
68
3b
Data mentah nilai organoleptik ikan gurami fase rigor ..........................
69
3c
Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase post rigor...................
70
3d
Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase busuk.........................
71
4.
Data mentah nilai TPC ikan gurami pada tiap fase.................................
72
5.
Hasil uji ragam (anova) nilai TPC ..........................................................
73
6.
Hasil uji ragam (anova) nilai pH... .........................................................
75
7.
Hasil uji ragam (anova) nilai TVB .........................................................
76
8.
Hasil uji ragam (anova) nilai aktivitas katepsin......................................
78
9.
Hasil uji ragam (anova) nilai konsentrasi protein katepsin.....................
79
5 a. Data mentah nilai pH, TVB, Assay aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin ikan gurami..................................................................
81
5b.
81
Persamaan linear konsentrasi protein enzim katepsin.............................
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Wilayah perairan Indonesia sangat luas dan mengandung sumberdaya perikanan darat dan perikanan laut yang sangat besar. Potensi produksi perikanan darat Indonesia cukup besar kenaikannya selama kurun waktu antara tahun 2003-2006 yaitu dari 26.641.072.151 ton/tahun menjadi 34.523.154.560 ton/tahun dan untuk potensi produksi ikan gurami antara kurun waktu 2001-2007, yaitu 14.065 ton/tahun hingga 31.600 ton/tahun (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP 2007). Adapun keunggulan dari hasil perikanan, yakni ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup tinggi dan juga dapat dicerna dengan mudah oleh manusia. Hal ini dikarenakan susunan komponen protein ikan hampir sama dengan susunan komponen protein pada manusia. Selain itu juga, pada umumnya ikan mempunyai kandungan kolesterol rendah dan asam lemak yang berantai ganda dengan jumlah yang besar. Komposisi kimia ikan tergantung pada spesies, umur, habitat dan pakan. Salah satu contoh spesies ikan yang memiliki nilai gizi yang tinggi, yaitu ikan gurami Ikan gurami merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar ke wilayah Asia Tenggara dan Cina. Ikan ini memiliki labirin dan secara taksonomi termasuk famili Osphronemidae. Ikan gurami termasuk komoditas yang banyak dikembangkan oleh para petani. Hal ini dikarenakan permintaan pasar cukup tinggi karena rasa dagingnya yang enak, pemeliharaan mudah, serta harga yang relatif stabil. Selain itu, ikan gurami merupakan bahan pangan yang mempunyai kandungan gizi tinggi yang bermanfaat bagi manusia terutama untuk pertumbuhan maupun pembentukan energi. Biasanya ikan gurami banyak dijual di pasaran dalam keadaan segar baik dalam kondisi masih hidup ataupun yang sudah mati (Jangkaru 1998). Namun demikian, ikan segar memiliki kelemahan, yaitu mudah mengalami kerusakan atau kemunduran mutu (highly perishable food). Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Kecepatan proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak
berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor luar yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan adalah penggunaan alat tangkap dan penanganan pascapanen yang dilakukan oleh para nelayan. Alat tangkap yang baik adalah yang dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (merontaronta) sebelum mati. Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai dingin serta mengutamakan sanitasi dan higiene untuk mempertahankan mutu mengingat perairan Indonesia merupakan perairan tropis sebagai tempat yang baik untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Jika tidak mendapatkan penanganan yang baik maka akan mengalami kemunduran mutu dengan cepat. Mutu ikan dapat terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani dengan hati-hati, cepat, bersih, dan disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin (C3Q: cool, clean, carefull n quick). Salah satu faktor internal yang sangat penting dan erat hubungannya dengan mutu ikan adalah tingkat kesegaran ikan tersebut. Ikan dalam keadaan masih segar memiliki mutu yang baik sehingga nilai jualnya tinggi, sebaliknya jika ikan kurang segar memilki mutu yang rendah sehingga harganya rendah (Murniyati dan Sunarman 2000). Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan melainkan dipertahankan. Agar tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan maka diperlukan teknik-teknik penanganan yang tepat. Salah satu teknik penanganan ikan yang paling umum dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah atau disebut juga teknik pendinginan ikan. Teknik pendinginan ini biasanya diterapkan pada tahap pasca panen setelah penangkapan, pengolahan, distribusi, dan konsumsi. Adapun keuntungan penerapan suhu rendah pada ikan dapat memperpanjang daya awetnya mencapai satu sampai empat minggu, serta mempertahankan tingkat kesegaran ikan dan nilai gizinya. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dan proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lambat (FAO 1995). Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses kemunduran mutu ikan gurami selama penyimpanan suhu chilling agar dapat dijadikan acuan data oleh masyarakat luas.
1.2 Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui pola kemunduran mutu ikan gurami dan memiliki tujuan khusus sebagai berikut: (1). mengetahui tingkat kesegaran ikan gurami pada penyimpanan suhu chilling secara subjektif dan objektif (TVB, TPC, dan pH) pada beberapa umur panen; (2). mengetahui komposisi kimia (proksimat), karakteristik, dan rendemen ikan gurami pada beberapa umur panen; (3). mengetahui aktivitas katepsin dan konsentrasi protein enzim katepsin dari ikan gurami pada beberapa umur panen.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Gurami Ikan gurami merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar ke wilayah Asia Tenggara dan Cina ( Chakroff 1976). Ikan ini termasuk salah satu ikan labyrinthici dan secara taksonomi termasuk famili Osphronemidae. Adapun klasifikasi ikan gurami menurut Saanin (1984)(adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichtyes
Ordo
: Teleostei
Subordo
: Labyrinthici
Famili
: Anabantidae
Genus
: Osphronemus
Spesies
: Osphronemus gouramy, Lac. ( Gambar 1)
Gambar 1. Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Secara morfologi, ikan ini memiliki bentuk badan agak panjang, pipih dan tertutup sisik yang berukuran besar serta terlihat kasar dan kuat, terdapat garis lateral tunggal, lengkap dan tidak terputus, bersisik stenoid serta memiliki gigi pada rahang bawah. Sirip ekor membulat. Jari-jari lemah pertama sirip perut merupakan benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Tinggi badan 2,0-2,1 kali dari panjang standar. Pada ikan muda terdapat garis-garis tegak berwarna hitam berjumlah 8 sampai dengan 10 buah dan pada daerah pangkal ekor terdapat titik hitam bulat. Bagian kepala gurami muda berbentuk lancip dan
akan menjadi tumpul bila sudah besar. Mulutnya kecil dengan bibir bawah sedikit menonjol dibandingkan bibir atas dan dapat disembulkan. (Jangkaru 1998). Ikan gurami mempunyai alat pernafasan tambahan berupa labirin yang berbentuk selaput, berkelok-kelok dan merupakan penonjolan tepi atas insang pertama (Sitanggang 1992). Pada selaput ini terdapat pembuluh darah kapiler sehingga memungkinkan gurami untuk mengambil oksigen langsung dari udara dalam pernafasan nya. Adanya alat ini memungkinkan gurami untuk dapat hidup dengan
baik
pada
air
yang
tenang
dan
kurang
oksigen
(Puspowardoyo dan Djarijah 1992). Di alam aslinya ikan gurami termasuk ikan yang mendiami daerah perairan yang tenang dan tergenang, seperti rawa, waduk, situ dan danau (Susanto 1987). Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan ikan gurami adalah 24-28 0C, pH 7-8 (Puspowardoyo dan Djarijah 1992). Ikan gurami adalah salah satu komoditas yang banyak dikembangkan oleh para petani hal ini disebabkan oleh permintaan pasar cukup tinggi, pemeliharaan mudah serta harga yang relatif stabil (Sitanggang 1992). 2.2 Mutu Ikan Khusus bagi produk makanan yang mudah dan cepat membusuk, seperti ikan basah yang baru ditangkap, pengertian mutu sebenarnya identik dengan kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan yang baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan. Kedua, ikan yang mutunya masih baik, disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia, fisika, maupun biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikan-ikan yang dibekukan (FAO 1995a, Yunizal dan Wibowo 1998, Dassow 1963). Kesegaran akan bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan baik. Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan (Irawan 1995).
Ikan segar memiliki ciri-ciri sebagai berikut
(Stansby 1963): (a). daging ikan elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya; (b). aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut;
(c). mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan; (d). insang berwarna merah cerah; (e). kulit mengkilat dan berwarna cerah. Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0 oC sampai dengan 5 oC), saniter dan higienis (SNI 01-2729.1-2006) Tingkat kesegaran ikan memberikan kontribusi utama terhadap mutu produk hasil perikanan. Untuk semua produk, kesegaran ikan sangat penting bagi mutu dari produk akhir yang dihasilkan. Secara umum ada 2 metode utama yang biasa digunakan untuk menilai tingkat kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori (subjektif) dan non-sensori (objektif) (Robb 2002). Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu materi, produk atau jasa, seperti hasil pertanian pada umumnya. Hasil perikanan memiliki paling kurang beberapa aspek mutu antara lain aspek bio-teknis, aspek sanitasi dan higiene, aspek industrial, dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilainilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983).
Hal-hal lain yang
membentuk mutu komoditas meliputi unsur-unsur mutu yang terlihat dan tersembunyi serta dapat diukur dan yang tidak dapat diukur (Soekarto 1990). Unsur mutu terdiri dari 3 kategori (Soekarto 1990), yaitu: (a) sifat mutu, yaitu sifat yang dapat langsung diukur secara obyektif atau subyektif ; (b) parameter mutu, yaitu besaran yang mencirikan sifat mutu produk; (c) faktor mutu, yaitu hal-hal yang tidak dapat diukur atau diamati secara langsung namun mempengaruhi mutu, seperti varietas, faktor genetik, dan asal daerah. Perbedaan ciri-ciri ikan segar dan tidak segar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar Parameter
Kondisi Segar
Kondisi Tidak Segar
Mata
Pupil hitam menonjol dengan Pupil mata kelabu tertutup lendir kornea jernih, bola mata seperti putih susu, bola mata cembung dan cemerlang atau cekung, dan keruh. cerah.
Insang
Warna merah cemerlang atau Warna merah coklat sampai merah tua tanpa adanya lendir, keabu-abuan, bau menyengat, tidak tercium bau yang lendir tebal. menyimpang (off odor).
Tekstur daging
Elastis dan jika ditekan tidak Daging kehilangan elastisitasnya ada bekas jari, serta padat dan atau lunak dan jika ditekan kompak. dengan jari maka bekas tekanannya lama hilang.
Keadaan kulit dan lendir
Warna sesuai dengan aslinya dan cemerlang, lendir dipermukaan jernih dan transparan dan baunya segar khas menurut jenisnya.
Warnanya sudah pudar dan memucat, lendir tebal dan menggumpal serta lengket, warnanya berubah seperti putih susu.
Keadaan perut dan sayatan daging
Perut tidak pecah masih utuh dan warna sayatan daging cemerlang jika ikan dibelah daging melekat kuat pada tulang terutama rusuknya.
Perut sobek, warna sayatan daging kurang cemerlang dan terdapat warna merah sepanjang tulang belakang serta jika dibelah daging mudah lepas.
Bau
Spesifik menurut jenisnya, dan segar seperti bau rumput laut, pupil mata kelabu tertutup lendir seperti putih susu, bola mata cekung dan keruh
Bau menusuk seperti asam asetat dan lama kelamaan berubah menjadi bau busuk yang menusuk hidung.
Sumber: FAO (1995)
Kesegaran ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelas mutu (Hadiwiyoto 1993), yaitu: (1). Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (sangat prima) Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar.
(2). Ikan yang kesegarannya masih baik (prima) Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun lunak bila ditekan. (3). Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang) Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan, bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek. (4). Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk). Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Ciri-cirinya adalah daging sudah lunak, sayatan daging tidak cemerlang lagi, bola mata cekung, insang berubah jadi berwarna coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah menyebarkan bau busuk. Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar (SNI 01-27292006) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah Jenis Uji a). Organoleptik Nilai min. b). Cemaran mikroba
Satuan
Persyaratan Mutu 7 5 x 105 <3 negatif
1). ALT/gr, maks koloni/g 2). Escherichia coli APM/g 3). Vibrio cholerae *) Per 25 gram Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total APM = Angka Paling Memungkinkan
2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan Ikan yang telah mati akan mengalami perubahan fisik, kimia, enzimatis dan mikrobiologi yang berkaitan dengan kemunduran mutu. Proses kemunduran mutu ikan terdiri dari empat tahap, yaitu: hiperaemia (pre-rigor), rigor mortis, autolisis dan penyerangan oleh bakteri (Zaitsev et al. 1969). Secara umum proses terjadinya kemunduran mutu ikan terdiri dari tiga tahap, yaitu pre-rigor, rigor mortis, dan post-rigor.
2.3.1
Perubahan pre-rigor Perubahan pre-rigor atau sering dikenal dengan istilah hiperaemia
merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian yang ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003). Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman 2000). 2.3.2
Perubahan rigor mortis Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan
kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat.
Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan
menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis (Junianto 2003). Rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen. Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan, selain dapat memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan masih sangat segar (Eskin 1990). Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen. Glikolisis (penguraian glukosa) menghasilkan ATP dan asam laktat.
Akumulasi asam laktat selain
menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990). Pada fase rigor mortis ini, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari mula-mula pH 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada
jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003). 2.3.3 Proses perubahan karena aktivitas enzim Enzim merupakan protein yang bertindak sebagai katalisator organik dalam kegiatan penguraian senyawa dalam jaringan tubuh ikan.
Selagi ikan hidup,
sistem enzim selalu terkendali guna mempertahankan kesetimbangan antara kegiatan penguraian dan sintesis sehingga menjamin kegiatan yang efektif tubuh ikan dalam lingkungannya. Penyediaan tenaga untuk menjamin kesetimbangan itu diperoleh dari oksidasi makanan yang dimakan ikan dan menghasikan adenosine trifosfat (ATP) yang kaya akan energi (Ilyas 1983). Perubahan enzimatik berhubungan dengan tingkat kesegaran ikan dan perubahan mutu oleh bakteri. Dalam beberapa jenis ikan (cumi-cumi, herring), perubahan enzimatik terjadi paling awal dan mendominasi pembusukan ikan yang disimpan pada suhu dingin. Autolisis berperan dalam bermacam-macam tingkat pembusukan secara keseluruhan dan sebagai media pertumbuhan bakteri (FAO 1995). Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula, protein dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Di samping itu dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Murniyati dan Sunarman 2000).
2.3.4 Proses perubahan karena aktivitas bakteri Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging ikan. Setelah ikan mati, sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak dengan bebas. Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses pembusukan terjadi akibat adanya enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO 1995). Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai ”busuk” (Lan et al. 2007). Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes,
Sarcina,
Vibrio,
Flavobacterium,
Serratia
dan
Bacillus.
Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya Kelompok
Suhu Pertumbuhan
Mikroorganisme
Minimum
Optimum
Maksimum
Psikorofil
-15
10
20
Psikrotrof
-5
25
35
Mesofil
-5-0
30-37
45
Thermofil
40
45-55
60-80
Thermotrof
15
42-46
50
Sumber : Lan et al. (2007) Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus berlangsung apabila tidak segera dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan. Gambar 2 menjelaskan tentang proses kemunduran mutu ikan setelah mati.
Sirkulasi darah
Ikan mati
Sistem syaraf dan hormon terhenti
terhenti
Suplai vitamin, antioksidan, dll terhenti
Suplai oksigen terhenti
Keseimbangan osmotik
Potensial redoks menurun
Penurunan suhu
Respirasi terhenti (glikogen --- CO2)
Pemadatan lemak
Akumulasi bakteri
Penguraian fosfat Berenergi tinggi
Pemunculan rigor mortis
Denaturasi protein
Glikolisis terjadi (glikogen --- as. laktat)
Penurunan pH
Pembebasan dan pengaktifan katepsin
Protein melepaskan Ca2+ dan mengikat K+ Oksidasi lemak dan ketengikan
Akumulasi metabolit, pemicu flavor, dll
Perubahan warna
Penguraian protein
Gambar 2. Akibat dari terhentinya sirkulasi darah dalam jaringan otot (Lawrie 1985)
Pertumbuh an bakteri
2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Adapun faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan (Junianto 2003), yaitu: (a). Jenis ikan.
Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami
kemunduran mutu dibanding ikan demersal dan ikan air tawar cenderung lebih cepat mencapai kemunduran mutu dibanding ikan air laut. (b) Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama mengalami kemunduran mutu daripada ikan kecil. (c) Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah. (d) Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang bergizi makanannya, baru menelurkan dan sebagainya akan berpengaruh terhadap waktu memasuki tahap rigor. (e) Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih. Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan (Junianto 2003) adalah: (a) Penggunaan alat tangkap. Jenis da teknik penangkapan akan berpengaruh pada derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi kematiannya dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak cadangan tenaga sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap yang baik adalah yang dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (meronta-ronta) sebelum mati. (b) Penanganan pasca-panen yang dilakukan oleh para nelayan. Untuk memperoleh ikan yan bermutu dan daya awet panjang, pokok utama
dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih dan pada suhu rendah. (c) Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu. (d) Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga berpengaruh terhadap daya awet. (e) Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi apalagi ikan agak lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya. 2.4 Metode Pengukuran Kesegaran Ikan Tingkat kesegaran adalah tolok ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi, dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan sifat-sifat ikan pada waktu masih hidup. Berdasarkan tingkat kesegarannya ikan dapat digolongkan menjadi empat kelas, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali (sangat prima), ikan yang kesegarannya masih baik (prima), ikan yang kesegerannya sudah mulai mundur (sedang), dan ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk) (Hadiwiyoto 1993). Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, tetapi juga membahayakan kesehatan bila dimakan. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan mutu ikan yang akan dikonsumsi. Pemeriksaan mutu dapat dilakukan dengan tiga cara (Murniyati dan Sunarman 2000) yaitu: (a). pemeriksaan organoleptik atau sensorik; (b). pemeriksaan di laboratorium (secara fisik, kimia, dan mikrobiologis); (c). menggunakan alat-alat seperti freshness measure, electric freshness tester. Analisis yang biasa digunakan untuk mengevaluasi kesegaran ikan adalah analisis organoleptik. Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk dikerjakan, tetapi ketelitiannya sangat tergantung pada tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya.
Cara organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya
mempergunakan indera manusia, sehingga cara organoleptik dapat juga disebut cara sensorik (SNI 01-2346-2006). Pengukuran mutu secara sensorik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu sampel yang diuji, metode penilaian, dan panelis. Penentuan
mutu ikan dengan metode sensoris menimbulkan kesulitan-kesulitan, seperti tingkat kepercayaan khusus pada panelis, keharusan panelis untuk selalu siap menilai setiap saat penilaian dibutuhkan, serta lamanya waktu yang dibutuhkan (Hanna 1992). Pemeriksaan kesegaran ikan di laboratorium dilakukan untuk menentukan mutu ikan dengan lebih teliti dan secara obyektif. Metode yang digunakan harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu waktu yang relatif singkat, penilaian yang singkat, biaya yang murah, dan menghasilkan nilai yang dapat diulang serta memiliki korelasi dengan nilai pengamatan secara sensorik (Hanna 1992). Metode yang sering digunakan adalah mengukur total basa yang menguap (Total Volatile Base, TVB), dan menghitung jumlah bakteri (Total Plate Count, TPC) (Murniyati dan Sunarman 2000). Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Nilai TVB maksimum untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100g (Direktorat Jendral Perikanan 2007). Selain itu, kelebihan yang timbul dalam penggunaan metode TVB adalah nilai yang tidak meningkat banyak selama tahap awal dari proses penguraian dan hanya meningkat banyak secara nyata sebagai hasil aktivitas mikroba pada tahap lebih lanjut dari proses kemunduran mutu ikan (Hanna 1992). Pengujian bakteri yang terdapat pada daging ikan dapat dilakukan dengan metode TPC, yaitu perhitungan jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam. Batas maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5x105 koloni/gram (SNI 01-2346-2006) Pemeriksaan lebih rinci untuk menentukan derajat kesegaran ikan yang belum menampakkan tanda-tanda pembusukan atau ikan-ikan yang relatif masih segar dilakukan dengan metode pengukuran nilai K (K-Value). Nilai K dihitung berdasarkan jumlah ATP dan hasil-hasil uraiannya atau senyawa-senyawa turunannya. Nilai-K dianggap sebagai indeks mutu kesegaran ikan yang lebih baik dibandingkan dengan TMA, TVB, maupun TPC. Nilai-K mulai digunakan oleh Saito dan Arai pada tahun 1957 yang kemudian rumusnya dimodifikasi oleh Uchiyama et al. pada tahun 1970 dan Karube et al. pada tahun 1984 (Murniyati 2000) dengan rumus sebagai berikut:
K=
I + Hx X 100% ATP + ADP + IMP + I + Hx
Keterangan
: ATP = Adenosine Triphosphate ADP = Adenosine Diphosphate IMP = Inosine Monophosphate I
= Inosine
Hx = Hipoxantine Setelah ikan mati (keadaan relaksasi), fosfat berenergi tinggi (ATP) diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kreatin fosfat menyumbang group fosfatnya kepada ADP untuk memproduksi ATP (Eskin 1990). Kreatinfosfotransferase ADP + Kreatin Fosfat
ATP + Kreatin
Ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama, adenosine triphosphate (ATP) mulai mengalami penguraian (hidrolisis) menjadi ADP dan menghasilkan energi. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase terjadi berdasarkan reaksi sebagai berikut (Eskin 1990): ATPase ATP + H2O
ADP + H3PO4
Degradasi ATP yang terjadi setelah ikan mati dipengaruhi oleh aktivitas enzim. Degradasi ATP merupakan reaksi autolisis yang disebabkan oleh enzim yang ada secara alami pada daging ikan. Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan IMP menjadi inosine dipengaruhi oleh enzim fosfatase (Eskin 1990). Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin sangat cepat berubah menjadi hipoksantin. Pada tahap awal, hipoksantin terbentuk secara autolisis, namun pada tahap kemunduran mutu ikan selanjutnya aktivitas bakteri juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin (Hanna 1992). 2.5 Proses Pendinginan
Pendinginan merupakan suatu proses pengawetan ikan dengan suhu rendah, yaitu antara -1°C sampai 5°C. Pendinginan disebut chilling yang mempunyai
tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu ikan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisis sehingga ikan tetap dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al. 2004). Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin rendah suhu yang digunakan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat. Bakteri dapat tumbuh dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0-45 oC.
Proses
pendinginan yang diberikan pada saat proses pembusukan sudah mulai kurang efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Ilyas 1983). Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri, dan mutu ikan Suhu 25 °C sampai 10 °C
Kegiatan Bakteri Luar biasa cepat
10 °C sampai 2 °C
Pertumbuhan kurang cepat
2 °C sampai -1 °C
Pertumbuhan bakteri jauh Penurunan mutu agak berkurang dihambat, daya awet wajar (310 hari)
-1 °C
Kegiatan ditekan
-2 °C sampai -10 °C
Kegiatan bakteri ditekan Penurunan mutu minimum, menjadi tidak aktif tekstur dan rasa ikan rendah, daya awet panjang 7-30 hari
-18 °C rendah
dan
bakteri
Mutu Ikan Cepat menurun, daya awet sangat pendek (3-10 jam) bakteri Mutu menurun kurang cepat, daya awet pendek (2-5 hari)
dapat Sebagai ikan basah, penurunan suhu minimum sehingga daya awet maksimum 5-20 hari
lebih Ditekan minimum, bakteri Mutu ikan beku lebih baik, tersisa tidak aktif daya awet sampai setahun
Sumber: Ilyas (1983).
Penyimpanan ikan pada suhu dingin dalam lemari es (refrigerator) hanya mampu memperpanjang umur simpan ikan hingga beberapa hari, sedangkan dalam lemari pembeku (freezer) akan memperpanjang masa simpan hingga berbulan-bulan tergantung suhu yang digunakan (Pandit et al. 2007). Penyimpanan ikan pada suhu rendah harus dilakukan secepat mungkin segera setelah ikan ditangkap dari habitatnya sehingga suhu ikan cukup rendah
dan proses kemunduran mutu dapat dihambat. Ikan yang disimpan harus dalam keadaan bersih, terseleksi sehingga mutu awal tinggi. Sistem rantai dingin harus diterapkan untuk mempertahankan ikan dalam kondisi dingin sampai ikan siap untuk diolah (Gelman et al. 2004). Cara termudah, praktis, dan tidak membutuhkan biaya besar adalah menggunakan es. Es yang digunakan untuk mendinginkan ikan harus terbuat dari air yang bersih dan disimpan di tempat yang bersih pula. Es untuk mendinginkan harus berupa hancuran es untuk menghindari luka-luka atau memar pada ikan. Selain itu dengan menggunakan hancuran es maka kontak langsung antara es dengan ikan menjadi lebih baik dan proses terjadinya penurunan suhu pun menjadi lebih cepat (Ilyas 1983). Lamanya penyimpanan ikan dengan es dijabarkan pada Tabel 5. Tabel 5. Potensi lamanya penyimpanan ikan dengan es Jenis Ikan
Masa simpan (hari)
Tilapia
22-28
Mas
35
Catfish
12-16
Kakap merah
20
Mackarel
7-9
Herring
2-5
Cod
12-15
Sumber: Konagoya (1990).
Peranan es dapat dikatakan paling dominan dalam menghasilkan suhu dingin untuk menjaga kesegaran ikan. Oleh sebab itu pada saat ikan didinginkan, penurunan suhu terjadi ketika es-es itu mencair, dan mencairnya es karena adanya panas yang timbul dari ikan yang didinginkan. Air yang berasal dari cairnya es akan menghanyutkan substansi-substansi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme sehingga pertumbuhan bakteri pembusuk menjadi terhambat dan secara langsung dapat memperpanjang kesegaran ikan sampai jangka waktu yang cukup lama. Bahkan bila ikan-ikan itu tetap disimpan dalam suhu antara 0-2,5 °C kondisinya akan tetap segar dan terjamin mutunya (Ilyas 1983).
2.6 Enzim Katepsin
Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi polipeptida. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan. Pada jaringan otot ikan, katepsin dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan dalam organel subselluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua tempat, yakni pada serabut otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin dikenal sebagai famili dari endopeptidase dan atau eksopeptidase. Banyak katepsin yang memiliki pH optimal asam walaupun beberapa aktif pada pH netral.
Katepsin A yang mula-mula digambarkan sebagai enzim yang
memisahkan
karbobenzoksi-L-Glu-L-Tyr,
sekarang
dikenal
dengan
nama
karboksipeptidase A dan mampu memisahkan residu secara sekuen dari karboksil terminal peptida, seperti glukagon. Katepsin A yang termasuk jenis eksopeptidase memiliki pH optimum 5-6, serta inaktif oleh panas dan alkali. Pada Tabel 6 dapat dilihat secara lengkap berbagai jenis katepsin yang terdapat dalam lisosom otot ikan. Tabel 6. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan Enzim Katepsin B
Famili Sistein
Aktivitas Endopeptidase
Proses dan asal enzim Dimurnikan dari otot berbagai spesies ikan, identifikasi pada berbagai spesies Identifikasi pada otot ikan salmon Identifikasi pada otot ikan salmon dan mackarel Identifikasi dari otot berbagai spesies ikan
Katepsin H Katepsin J Katepsin L
Sistein Sistein Sistein
Endopeptidase Endopeptidase Endopeptidase
Dipeptidil peptidase I (katepsin C) Dipeptidil petidase II Katepsin D
Sistein
Eksopeptidase
Sistein
Eksopeptidase
-
Aspartat
Endopeptidase
Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan -
γ-glutamil Aspartat Endopeptidase karboksipeptidase Karboksipeptidase Serin Eksopeptidase Dimurnikan dari berbagai spesies A (katepsin A dan ikan dan diidentifikasi pada otot I) berbagai spesies Katepsin S Sistein Eksopeptidase Diidentifikasi pada otot mackarel Sumber: Goll et al. ( 1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994)
Katepsin H merupakan endopeptidase dengan aktivitas aminopeptidase yang aktif pada pH netral. Seperti katepsin B1, enzim ini menghidrolisis benzoil-D, L arginin-β-naphthylamide (BANA) tetapi berbeda pada struktur glikoproteinnya, aktif pada pH netral, stabil terhadap panas dan menunjukkan aktivitas molekuler dengan substrat miosin. Katepsin L merupakan jenis protease lain yang hampir sama dengan B1 tetapi berbeda dalam hal ketidakmampuan untuk menghidrolisis BANA dan sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril.
Aktivitas
molekuler dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari pada ketepsin B. Katepsin L telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada otot mackarel. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril, termasuk aktin, miosin dan tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponin serta dalam pemindahan Ca dari ATPase miofibril pada pH netral.
Selain itu ada juga
katepsin S yang memiliki sifat sama seperti katepsin L tetapi berbeda pada kemampuan dalam memisahkan metilcoumarilamide dan diduga terdapat dalam mackarel (Shahidi dan Botta 1994). 2.7 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Ikan
Katepsin merupakan salah satu enzim yang berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan selama post mortem. Ketika ikan mati (fase pre rigor), maka kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam tubuh ikan dengan melepaskan energi.
Proses ini kemudian diikuti dengan
peristiwa glikolisis yang akan menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat menyebabkan terjadinya penurunan pH, dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan katepsin
yang
terdapat
dalam
jaringan
otot
menjadi
aktif
(Afrianto dan Liviawaty 1989). Pembebasan dan aktivasi katepsin selanjutnya akan menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Hal ini
menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawasenyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang
sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk (Lawrie 1985). Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor mortis, saat hasil penguraian semakin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor mortis telah terlewati, ditandai dengan badan ikan yang mulai melunak (fase post rigor), maka kecepatan pembusukan akan meningkat (Moeljanto 1992). Peranan katepsin dalam proses kemunduran mutu ikan secara nyata terlihat dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita rasa ikan. Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek). Pelunakan daging ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel pada proses pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi. Jenis katepsin B, D, L dan H telah diketahui memiliki efek gel softening pada proses pembentukan gel surimi (Haard dan Simpson 2000).
3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan April 2008 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Bioteknologi 2 Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama, yaitu ikan gurami yang diperoleh dari kolam pembudidayaan desa Cibereum Petir sebanyak 18 ekor dengan tiga katagori umur dan ukuran. Umur panen 2,5 tahun dengan berat 995,45 g ± 1,85 g (ikan A), umur panen 1,5 tahun dengan berat 697,65 g ± 1,24 (ikan B), dan umur 8 bulan dengan berat 345,55 g ± 1,42 (ikan C); Ikan
gurami diangkut dalam keadaan hidup lalu ditampung dalam akuarium dan diberi aerator. Ikan dipuasakan selama satu malam. Bahan-bahan untuk analisis nilai pH (larutan buffer standar pH 7, akuades), analisis TPC (larutan garam 0,85 % (w/v) steril, nutrient agar), analisis TVB (H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7 %, HCl
0,032 N), assay aktivitas katepsin (buffer tris-HCl pH 7,4, hemoglobin, HCl 1 N, TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pengukuran konsentrasi protein katepsin (bovine serum albumin, coomassie blue G-250, etanol 95 %, asam fosfat 85 % (w/v)). Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain refrigerator bersuhu 4 0C, inkubator (Termoline), oven (Yamato), sentrifuse suhu dingin (Kokusan), spektrofotometer (Yamato), mikropipet (Pipetman), timbangan analitik, homogenizer, magnetic stirrer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan
petri, erlenmeyer, pH meter, kapas, tissue, alumunium foil, bunsen, jarum ose, beaker glass, dan peralatan gelas lainnya. 3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, meliputi penelitian pendahuluan untuk menentukan fase post mortem ikan secara organoleptik dan menghitung rendemen ikan gurami serta penelitian utama untuk mentukan tingkat kesegaran ikan berdasarkan penilaian subjektif dan objektif. 3.3.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian ini diawali dengan melakukan survei ke lapangan untuk memperoleh informasi tentang asal sampel, potensi, dan cara membudidayakan ikan gurami. Kemudian dilanjutkan dengan penanganan ikan di laboratorium yang sebelumnya dicatat data awal yaitu ukuran (panjang, berat, umur), dan rendemen ikan. Setelah itu dilakukan pengamatan dengan tujuan untuk menentukan titik pengamatan pada tahap pre-rigor, rigor mortis, dan post rigor setelah ikan gurami mati dengan cara ditusuk dan pembuangan isi perut (jeroan) pada penyimpanan suhu chilling menggunakan refrigerator 4 0C. Pengamatan dilakukan dengan uji organoleptik (BSN 2006) setiap 6 jam sekali selama 14 hari untuk menentukan empat fase kemunduran mutu ikan. Score sheet uji organoleptik disajikan pada Lampiran 1. Adapun diagram alir metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Ikan gurami Penimbangan Pemberokan (1 hari) Pematian segera/ mati ditusuk Pembuangan isi perut Pencucian Penyimpanan suhu chilling (refrigerator 4 0C) Pengamatan (setiap 6 jam sekali selama 14 hari) Penentuan fase pre-rigor,rigor dan post rigor Gambar 3. Kerangka penelitian pendahuluan 3.3.2 Penelitian utama
Penelitian utama dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan. Ikan gurami dimatikan dengan cara ditusuk dan isi perut dibuang.
Pengamatan
dilakukan setiap 6 jam sekali selama 14 hari untuk uji organoleptik (SNI-01-2346-2006), analisis komposisi kimia daging ikan (analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak) pada saat ikan masih segar serta uji TVB (AOAC 1995), uji mikrobiologi atau TPC (Fardiaz 1984), (AOAC 1995), uji pH (Apriantono et al. 1989), assay aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) dan mengukur konsentrasi protein katepsin (Bradford 1976) pada setiap fase yang telah diperoleh dari penelitian pendahuluan dan sampel yang digunakan adalah daging ikan gurami. Kerangka penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4. Ikan gurami Penimbangan Pemberokan (1 hari) Pematian segera/ mati ditusuk Pembuangan isi perut Pencucian Penyimpanan suhu chilling (refrigerator 4 0C) Pengamatan
Uji organoleptik (tiap 6 jam)
Uji TVB,TPC, pH, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin (pada tiap fase)
Gambar 4. Kerangka penelitian utama 3.4 Pengamatan
Pada penelitian ini dilakukan beberapa pengamatan dan analisis meliputi: rendemen, uji organoleptik, uji mikrobiologi (TPC), proksimat, pH, TVB, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin. 3.4.1 Rendemen
Metode yang digunakan untuk perhitungan rendemen ini berdasarkan SNI-19-1705-1992. Rendemen dihitung sebagai persentase bobot bagian tubuh ikan dari bobot ikan awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut : Rendemen (%) = Bobot contoh (g) x 100 % Bobot total (g) 3.4.2 Uji organoleptik (SNI-01-2346-2006)
Metode yang digunakan untuk uji organoleptik ini berdasarkan scoring test SNI-01-2346-2006. Metode ini menggunakan angka yang berkisar antara 1 sampai 9. Pengukuran organoleptik merupakan cara penilaian mutu ikan yang bersifat subjektif menggunakan indera manusia. Jumlah panelis yang digunakan adalah 15 orang dengan kategori panelis semi terlatih dan sampel yang diamati sebanyak 4 ekor pada masing-masing titik pengamatan. 3.4.3 Uji mikrobilogis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1984)
Prinsip kerja dari uji mikrobiologis ini adalah penghitungan jumlah koloni bakteri yang ada dalam sampel (daging ikan gurami) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo.
Pembuatan larutan contoh dilakukan
dengan mencampurkan 10 gram sampel dan larutan garam fisiologis sebanyak 90 ml sampai homogen. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan contoh menggunakan pipet steril dimasukkan ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis dan diaduk sampai homogen sehingga terbentuk seri pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan disesuaikan dengan keperluan, biasanya sampai 10-6.
Pemipetan
dilakukan pada tiap tabung pengenceran sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri dan digoyangkan supaya merata (metode cawan tuang), didiamkan sampai media agar dingin dan padat. Cawan petri yang berisi agar kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan
posisi terbalik pada suhu 35 0C dan diinkubasi selama 2X24 jam. Dihitung jumlah koloni bakteri yang ada dalam cawan petri. Jumlah koloni yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300. 3.4.4 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat meliputi: analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. (a). Analisis kadar air (AOAC 1995)
Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah kadar air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 0C selama 10-15 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, kemudian cawan dan daging ikan gurami seberat 5 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil.
Selanjutnya cawan
tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 0C selama 3-5 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air pada daging ikan gurami % Kadar air = B - C x 100% B-A Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging ikan (gram) C = Berat cawan dengan daging ikan setelah dikeringkan (gram). (b). Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 0
650 C selama 1 jam. Cawan abu porselen tersebut didinginkan selama 30 menit setelah suhu tungku turun menjadi sekitar 200 0C dan ditimbang. Daging ikan gurami sebanyak 1-2 gram yang telah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam
cawan abu porselen.
Cawan tersebut dimasukkan ke dalam tungku secara
bertahap hingga suhu 650 0C. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah suhu tungku pengabuan turun menjadi sekitar 200 0C, cawan abu porselin didinginkan selama 30 menit dan kemudian ditimbang beratnya. Perhitungan kadar abu pada daging ikan gurami % Kadar abu = C - A x 100% B-A Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (gram) B = Berat cawan abu porselen dengan daging ikan (gram) C = Berat cawan abu porselen dengan daging ikan setelah dikeringkan (gram). (c). Analisis kadar protein (AOAC 1995)
Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar ( crude protein ) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. (1). Tahap destruksi Daging ikan gurami ditimbang seberat 0,5 gram; kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu butir kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening. (2). Tahap destilasi Destilasi terdiri dari 2 tahap, yaitu persiapan dan sampel. Tahap persiapan dilakukan dengan membuka kran air kemudian dilakukan pengecekan alkali dan air dalam tanki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya. Tombol power pada kjeltec sistem ditekan lalu dilanjutkan dengan menekan tombol steam dan tungku beberapa lama sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan, tabung kjeltec dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat kjeltec sistem. Tahap sampel dilakukan dengan meletakkan tabung yang berisi daging ikan yang sudah didestruksi ke dalam kjeltec sistem beserta erlenmeyer yang diberi
asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang berisi asam borat mencapai 200 ml. (3). Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink. Perhitungan kadar protein pada daging ikan gurami : % Nitrogen = (ml HCl daging ikan – ml HCl blanko)x 0,1 N HCl x 14 x 100 % mg daging ikan gurami % Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi (d). Analisis kadar lemak (AOAC 1995)
Daging ikan gurami seberat 3 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.
Pada saat destilasi pelarut akan
tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak pada daging ikan gurami % Kadar Lemak = W3 – W2 x 100 % W1 Keterangan : W1 = Berat ikan gurami (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3.4.5 Penentuan pH (Apriyantono et al. 1989)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter.
Sampel
sebanyak 10 gram digiling dan dihomogenisasi dengan 90 ml air destilat. Kemudian pH homogenat diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7. 3.4.6 Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995)
Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam. Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan 0,1 N HCl. Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % (w/v) kemudian diblender selama 1 menit, kemudian disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih.
Larutan asam borat 1 ml
dimasukkan ke dalam “inner chamber” cawan conway lalu diletakkan tutup cawan dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan memakai pipet ukuran 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur.
Disamping itu cawan segera ditutup dan digerakkan memutar
sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Kemudian dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 7 % (w/v). Kemudian kedua cawan conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 37 0C selama 2 jam. Setelah disimpan, selanjutnya larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N (Vo), menggunakan magnetik stirer sampai berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway dititrasi dengan larutan yang sama sehingga menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko (V1). ⎛ mgN ⎞ 14(100 + W )x(V0 − V1 )x0.01 100 ⎟⎟ = x TVB⎜⎜ 5 M ⎝ 100 g ⎠
Keterangan : V0 = Volume titrasi blanko
V1 = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi M = Berat sampel W = Jumlah kadar air dalam bahan 3.5 Assay Aktivitas Katepsin (Dinu et al. 2002)
Prinsip dari analisis aktivitas katepsin, yaitu untuk mengetahui seberapa besar aktivitas enzim katepsin dalam daging ikan terkait dengan laju kemunduran mutu ikan yang diukur melalui absorbansi pada spektrofotometer. Ikan dipreparasi untuk mendapat ekstrak kasar katepsin dengan cara ikan dimatikan, kemudian daging ikan dibedah dengan cepat dan dicuci untuk menghilangkan darah. Jaringan daging yang diambil dari bagian punggung ikan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan daging ikan dan akuades sebesar 1:1 lalu dihomogenisasi pada suhu 0-4 0C. Selanjutnya ekstrak daging hasil homogenisasi ini disentrifugasi pada kecepatan 1.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada kecepatan 10.000 rpm. Pelet yang dihasilkan dari hasil sentrifugasi ini kemudian dilarutkan dalam 0,1 M buffer Tris-HCl pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi dan disentrifugasi pada kecepatan 4.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh
merupakan protein utama dari mitokondria dan
lisosom yang siap untuk diteliti aktivitas nya lebih lanjut. Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin terdenaturasi asam sebagai substratnya. Hemoglobin dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2 % dengan akuades. Selanjutnya 1ml dari larutan substrat diinkubasi dengan 0,2 ml larutan enzim pada 47 0C selama 10 menit.
Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5 %.
Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut ditambah dengan 1 ml pereaksi folin, serta diukur pada 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama dengan larutan sampel hanya untuk blanko dan larutan standar, enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut : UA = Absorbansi sampel – Absorbansi blanko x P x 1/T
Absorbansi standar – Absorbansi blanko Keterangan : P = Faktor pengenceran ; T = Waktu Inkubasi. 3.6 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976)
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml etanol 95 %, lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85 % (w/v). Jika telah larut dengan sempurna, selanjutnya ditambahkan akuades hingga 0,5 liter dan disaring dengan kertas saring Whatman #1 sesaat sebelum digunakan. Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode bradford dengan cara 0,06 ml enzim dimasukan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak 3 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama lima menit dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan standar dilakukan sama seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara 0,1-1,0 mg/ml.
Komposisi volume larutan dalam pembuatan larutan standar
konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml Konsentrasi BSA
Volume BSA
Volume
(mg/ml)
(ml)
akuades (ml)
0,1
0,025
0,475
0,2
0,050
0,450
0,3
0,075
0,425
0,4
0,10
0,400
0,5
0,125
0,375
0,6
0,150
0,350
0,7
0,175
0,325
0,8
0,20
0,300
0,9
0,225
0,275
1,0
0,250
0,250
3.7 Analisis Data (Walpole 1975)
Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai organoleptik, pH, TPC, TVB, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein enzim katepsin dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan rumus berikut: n
X=
∑ Xi i =1
n
X = Nilai rata-rata N = Jumlah data Xi = Nilai X ke-i
Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, pH, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin), umur panen dan fase kemunduran mutu ikan dilakukan melalui uji ragam (ANOVA) berupa rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor umur panen ikan gurami dan faktor fase kemunduran mutu ikan dengan uji lanjut duncan (Steel dan Torrie 1989). Persamaan umum model rancangan tersebut sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk
= nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor α dan taraf ke-j dari faktor β)
µ
= nilai tengah populasi
αi
= pengaruh perlakuan α (konsentrasi natrium klorida) taraf ke-i
βj
= pengaruh perlakuan β (lama penyimpanan) taraf ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan α taraf ke-i dan perlakuan β taraf ke-j εijk
= galat dari satuan percobaan ke-k dengan kombinasi perlakuan ke-ij
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik ikan gurami (Osphronemus gouramy) meliputi asal sampel, ukuran, rendemen dan penentuan fase post mortem (fase pre-rigor, rigor mortis, post-rigor, dan deteriorasi) pada penyimpanan suhu chilling. 4.1.1
Ukuran dan rendemen ikan gurami (Osphronemus gouramy)
Ikan gurami yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam ikan budidaya di desa Cibereum Petir, Bogor.
Budidaya ikan gurami yang
dilakukan di kolam tersebut adalah usaha pembesaran. Pakan yang digunakan, yaitu berupa pelet dan pakan alami daun talas. Umur panen ikan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5 tahun (sampel A), ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 1,5 tahun (sampel B) dan ikan gurami yang di panen pada saat berumur 8 bulan (sampel C). Ukuran ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5 tahun berkisar antara 900-1100 g dengan panjang total antara 36-38 cm, untuk umur panen 1,5 tahun ukuran ikan berkisar antara 600-700 g dan panjang total berkisar antara 32-34 cm; sedangkan untuk umur panen 8 bulan berkisar antara 300 g hingga 400 g dengan panjang total antara 27-29 cm. Ukuran ini merupakan ukuran konsumsi. Besar rendemen dari ikan dipengaruhi oleh pola pertumbuhan ikan tersebut. Pertumbuhan pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis ikan, jenis kelamin, umur ikan, fishing ground, musim dan jenis makanan yang tersedia (Hadiwiyoto 1993). Ikan gurami yang digunakan pada penelitian ini memiliki rendemen yang berbeda-beda sesuai dengan umur panen dan ukuran. Rendemen bagian tubuh dari masing-masing ukuran dengan umur panen yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5, 6 dan 7.
insang Jeroan 1% sirip 8% 5% sisik 4% daging 52% tulang 30%
Gambar 5. Persentase rendemen ikan gurami A Jeroan insang 2% 8%
sirip 3% sisik 4%
daging 49% tulang 34%
Gambar 6. Persentase rendemen ikan gurami B insang 2%
Jeroan 6%
sirip 5% sisik 4%
daging 45%
tulang 38%
Gambar 7. Persentase rendemen ikan gurami C Gambar 5 menunjukkan bahwa untuk ikan gurami A
mempunyai
rendemen daging sekitar 52 %, ikan gurami B sekitar 49 % dan ikan gurami C sekitar 45 %. Rendemen tulang pada ikan gurami A sekitar 30 %, ikan gurami B sekitar 34% dan ikan gurami C sekitar 38 % (Lampiran 2). Berdasarkan data ini dapat dilihat penurunan rendemen daging yang diperoleh seiring dengan kenaikan rendemen tulang. Hal ini disebabkan karena pada ketiga umur ikan tersebut memiliki ukuran yang berbeda. Pada ikan gurami A persentase dagingnya paling
tinggi dan tulang paling rendah, sedangkan ikan gurami C, persentase tulangnya lebih besar dibandingkan dengan persentase daging. Hal ini dikarenakan pada ikan gurami C masih dalam fase pertumbuhan sehingga perkembangan tulang masih dominan. Begitu juga sebaliknya terhadap ikan gurami A yang rendemen dagingnya paling tinggi dikarenakan ikan gurami pada umur 2,5 tahun mengalami perkembangan jaringan tulang yang cenderung lambat sehingga nutrisi yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak digunakan untuk pembentukan struktur daging. Pada masa pertumbuhan ikan muda, asupan nutrisi digunakan untuk pembentukan jaringan kerangka tubuh, selanjutnya nutrisi yang dimakan akan beralih fungsi untuk pembentukan jaringan otot ketika ikan telah memasuki usia dewasa (Jangkaru 1998) Untuk rendemen bagian tubuh yang lain diantaranya jeroan, insang, sirip, dan sisik tidak memiliki perbedaan yang cukup besar diantara ketiga jenis ikan tersebut.
Adapun persentase rendemen bagian tubuh ikan dari ketiga jenis
tersebut, yaitu untuk jeroan berkisar antara 6-8 %, untuk insang 1-2 %, untuk sirip 3-5 %, dan sisik sekitar 4 %. Ikan gurami memiliki bagian yang belum dimanfaatkan yang cukup besar, yaitu berkisar antara 48-55 % terdiri dari tulang, jeroan, insang, sirip dan sisik. Tulang dan sirip merupakan sumber mineral yang memiliki potensi komersial bila dimanfaatkan misalnya sebagai sumber gelatin.
Sisik ikan dapat dijadikan
asesoris. Jeroan ikan dapat dijadikan pakan ternak. Pemanfaatan hasil perikanan seperti ikan gurami diharapkan tidak hanya pada bagian yang dapat dimakan saja (edible portion) tetapi bagian-bagian selain daging juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku kimia, industri farmasi dan lain-lain sehingga tidak ada bagian ikan yang terbuang (zero waste). 4.1.2 Penentuan fase post mortem ikan gurami
Penentuan fase post mortem dilakukan pada penelitian pendahuluan untuk mengetahui interval dan lama waktu terjadinya kemunduran mutu pada ikan gurami yang disimpan pada suhu chilling melalui metode penilaian sensori, yakni secara organoleptik sehingga dapat diketahui kondisi kesegaran ikan terkait dengan besarnya nilai TPC, TVB, pH, dan aktivitas katepsin setelah ikan dimatikan sampai proses kemunduran mutu mulai berlangsung. Penetapan
kemunduran mutu ikan secara subjektif (organoleptik) dapat dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006).
Pengamatan secara
organoleptik ini meliputi beberapa parameter, yaitu keadaan mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan ciri-ciri organoleptik ikan gurami selama fase post mortem tersebut. Tabel 8 memperlihatkan ciri-ciri organoleptik ikan gurami A selama fase post mortem pada penyimpanan suhu chilling. Tabel 8. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) A pada penyimpanan suhu chilling. Parameter
Pre-rigor (jam ke-0
Rigor (jam ke-36
Post-rigor (jam
Deteriorasi (mulai
hingga 36)
hingga 228 )
ke-228 hingga
jam ke 324)
324) Mata
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih,pupil berwarna putih.
Bola mata agak cekung, pupil berubah keabuabuan.
Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning.
Insang
Merah cemerlang, tanpa lendir
Warna merah kurang cemerlang, ada sedikit lendir.
Merah agak kusam, sedikit lendir
Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal
Lendir Permukaan Badan
Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah.
Mengeluarkan lendir dalam jumlah banyak, lapisan lendir agak keruh, kurang transaparan.
Mengeluarkan lendir tapi tidak terlalu banyak, keruh, warna putih kusam, kurang transparan.
Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan
Daging
Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh.
Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh.
Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, sedikit pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut agak lunak.
Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak
Bau
Bau sangat segar spesifik jenis
Segar spesifik jenis
Bau agak segar, spesifik jenis
Bau deteriorasi jelas
Tekstur
Padat,elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Ikan dalam keadaan lemas
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang.
Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang,
Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang
Berdasarkan Tabel 8 didapat titik-titik waktu fase post mortem ikan gurami pada penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 2,5 tahun. Kondisi pre rigor untuk ikan gurami A terjadi pada 0 jam penyimpanan dengan, fase rigor mortis pada ikan gurami A terjadi pada jam ke-36, sedangkan fase post rigor ikan gurami A terjadi pada jam ke-228. Fase deteriorasi ikan gurami A terjadi pada jam ke-324. Fase post mortem ikan gurami B pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 9 Tabel 9. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) B pada penyimpanan suhu chilling. Parameter
Pre-rigor (jam ke-0 hingga 30)
Rigor (jam ke-30 hingga 198)
Mata
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, pupil berwarna putih.
Insang
Merah cemerlang, tanpa lendir
Lendir Permukaan Badan
Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah.
Warna merah kurang cemerlang, ada sedikit lendir. Mengeluarkan lendir dalam jumlah banyak, lapisan lendir agak keruh, kurang transaparan.
Daging
Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh.
Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh.
Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, sedikit pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut agak lunak.
Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak
Bau
Bau sangat segar spesifik jenis
Segar spesifik jenis
Bau agak segar, spesifik jenis
Bau deteriorasi jelas
Tekstur
Padat,elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Ikan dalam keadaan lemas
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Kondisi ikan kaku, ekor mengejang dan sulit dibengkokkan
Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang, kondisi lemas.
Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang
Post-rigor (jam ke-198 hingga 264) Bola mata agak cekung, pupil berubah keabuabuan, kornea agak keruh. Merah agak kusam, sedikit lendir Mengeluarkan lendir tapi tidak terlalu banyak, keruh, warna putih kusam, kurang transparan.
Deteriorasi(mulai jam ke 264) Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan
Tabel 9 menguraikan titik-titik waktu fase post mortem ikan gurami pada penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 1,5 tahun (B). Kondisi pre rigor ikan gurami B terjadi pada 0 jam penyimpanan, fase rigor mortis pada ikan ikan gurami B pada jam ke-30, sedangkan fase post rigor ikan gurami B pada jam ke198. Fase deteriorasi ikan gurami B terjadi pada jam ke-264. Fase post mortem ikan gurami C pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) C pada penyimpanan suhu chilling. Parameter
Pre-rigor (jam ke-0 hingga 24)
Rigor (jam ke-24 hingga 180)
Post-rigor (jam ke-180 hingga 234) Bola mata agak cekung, pupil berubah keabuabuan, kornea agak keruh.
Deteriorasi (mulai jam ke 234) Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning.
Mata
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, pupil berwarna putih.
Insang
Merah cemerlang, tanpa lendir
Warna merah kurang cemerlang, ada sedikit lendir.
Merah agak kusam, sedikit lendir
Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal
Lendir Permukaan Badan
Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah.
Mengeluarkan lendir dalam jumlah banyak, lapisan lendir agak keruh, kurang transaparan.
Mengeluarkan lendir tapi tidak terlalu banyak, keruh, warna putih kusam, kurang transparan.
Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan
Daging
Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh.
Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh.
Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, sedikit pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut agak lunak.
Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak
Bau
Bau sangat segar spesifik jenis
Segar spesifik jenis
Bau agak segar, spesifik jenis
Bau deteriorasi jelas
Tekstur
Padat,elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Ikan dalam keadaan lemas
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Kondisi ikan kaku, ekor mengejang
Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari,mudah menyobek daging dari tulang belakang, kondisi lemas.
Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang
Berdasarkan Tabel 10 didapat titik-titik waktu fase post mortem ikan gurami pada penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 8 bulan (C). Kondisi pre rigor untuk ikan gurami C terjadi pada 0 jam penyimpanan, fase rigor mortis pada ikan gurami C pada jam ke-24, sedangkan fase post rigor ikan gurami C masuk pada jam ke-180. Fase deteriorasi ikan gurami C terjadi pada jam ke-234 Diantara ketiga ikan gurami tersebut masa simpan paling panjang, yaitu pada ikan gurami dengan umur panen 2,5 tahun (A) dan yang paling cepat mengalami kemunduran mutu pada ikan gurami dengan umur panen 8 bulan (C) (data lengkap tersaji pada Lampiran 3a, 3b, 3c, dan 3d). Hal ini terjadi karena selain dipengaruhi oleh umur panen itu sendiri, laju kemunduran pada ikan dapat disebabkan karena ukuran tubuh ikan.
Semakin besar ukuran ikan maka
kecenderungan untuk mengalami kemunduran mutu semakin lama, begitupun sebaliknya. Selain itu cadangan glikogen pada ikan juga mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan. Fase pre rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati, yang ditandai melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan dan secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar ATP dan kreatin fosfat. Perubahan ini terjadi karena terhentinya peredaran darah yang membawa oksigen untuk kegiatan metabolismenya. Meskipun telah mati, di dalam tubuh ikan masih berlangsung proses enzimatis. Proses ini berjalan tanpa kendali sehingga mengakibatkan perubahan bioakimia yang luar biasa ( Yunizal dan Wibowo 1998). Fase rigor mortis ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya.
Fase rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi antara
relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen (Eskin 1990). Fase post mertem diakhiri dengan fase post rigor yang merupakan permulaan dari proses deteriorasi. Fase ini ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap yang disebabkan oleh autolisis, pembusukan oleh bakteri dan ketengikan. Pada tahap ini, peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak
menonjol setelah dihasilkan senyawa-senyawa sederhana hasil autolisis yang berfungsi sebagai media pertumbuhannya (Roth et al. 2002). 4.2. Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui perbedaan mutu ikan gurami pada penyimpanan suhu chilling secara subjektif, yaitu uji organoleptik dan objektif, yaitu analisis proksimat, uji TPC, TVB, pH, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin. Uji objektif dilakukan pada 4 titik, yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan deteriorasi dari masing-masing umur ikan. 4.2.1 Hasil analisis proksimat ikan gurami (Osphronemus gouramy)
Komposisi kimia daging ikan gurami secara kasar (proksimat) yang teridiri dari kadar air, protein, lemak dan abu yang diukur pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis proksimat ikan gurami pada berbagai umur panen Parameter
Persentase kandungan kimia ikan gurami dengan berbagai umur panen (%) Ikan gurami A Ikan gurami B Ikan gurami C
Kadar air
72,96
74,62
75,48
Kadar abu
0,90
0,95
1,03
Kadar protein
20,67
18,93
18,71
Kadar lemak
2,79
2,43
2,20
Keterangan
: A = umur panen 2,5 B = umur penen 1,5 C = umur panen 8 bulan
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa komposisi kimia daging ikan gurami pada penelitian ini berbeda-beda tergantung dari ukuran dan umur panen. Ikan memiliki komposisi kimia yang bervariasi antar jenis ikan, antar individu dalam spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan, makanan, serta masa memijah. Komposisi kimia daging juga dapat berbeda-beda tergantung dari umur, habitat, dan kebiasaan makan. Komposisi kimia daging ikan umumnya terdiri dari 70-85 % kadar air, 15-25 % protein, 1-10 % kadar lemak, 0,1-1 % karbohidrat, dan 1-15 % mineral (Okada 1990).
(a) Kadar air Air merupakan komponen penyusun terbesar pada tubuh ikan. Kandungan air pada ikan terdapat dalam dua bentuk yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas yang terdapat dalam ruang antar sel dan plasma, dapat melarutkan berbagai vitamin, garam mineral dan senyawa-senyawa nitrogen tertentu. Air terikat terdapat dalam beberapa macam yaitu terikat secara kimiawi, terikat secara fisikokimia, dan terikat oleh daya kapiler. Kadar air
daging ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dicantumkan pada Gambar 8.
K a da r a ir (% )
80 70
72,96
74,62
75,48
ikan A
ikan B
ikan C
60 50 40 30 20 10 0
Umur ikan
Gambar 8. Kadar air daging ikan gurami segar pada berbagai umur panen Berdasarkan histogram kadar air (Gambar 8) dapat diketahui bahwa kadar air tertinggi terdapat pada ikan C dengan nilai 75,48 %, sedangkan kadar air terendah terdapat pada ikan gurami A dengan nilai 72,96 %.
Hal ini
menunjukkan bahwa kadar air pada ikan dipengaruhi oleh perbedaan ukuran ikan yang secara tidak langsung berkaitan dengan umur panen, selain itu kadar air pada ikan berkaitan dengan kadar lemak ikan. Semakin tinggi kadar air pada ikan maka makin rendah kadar lemak nya (Suzuki 1981). Nilai kandungan air pada ikan gurami A, B, dan C termasuk dalam kisaran normal, yaitu 70-85 % (Okada 1990).
(b) Kadar abu
Bahan makanan sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral, yaitu zat anorganik atau disebut juga kadar abu. Mineral yang ditemukan dalam tubuh makhluk hidup dan dalam bahan pangan tergabung dalam persenyawaan anorganik, dan ada pula yang ditemukan dalam bentuk unsur (Sakaguchi 1990). Pada Gambar 9 disajikan kandungan abu daging ikan gurami dengan umur panen yang berbeda. 1,2
Kadar abu (%)
1
0,9
0,95
1,03
0,8 0,6 0,4 0,2 0 ikan A
ikan B
ikan C
Umur ikan
Gambar 9. Kadar abu daging ikan gurami pada berbagai umur panen Kandungan abu tertinggi terdapat pada ikan gurami C dengan nilai 1,03 %; sedangkan kadar abu terendah terdapat pada ikan gurami A dengan nilai 0,90 %.
Semakin muda umur ikan kadar abu semakin besar hal ini
disebabkan karena pada ikan muda, pembentukan jaringan kerangka tubuh masih berlangsung sehingga mineral-mineral atau zat anorganik yang dibutuhkan lebih banyak. Kadar abu yang terdapat pada suatu bahan ada hubungannya dengan mineral bahan tersebut. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi dari segi macam dan jumlahnya (Sudarmadji et al. 1989). (c) Kadar protein
Ikan pada umumnya memiliki kadar protein yang tinggi serta mudah dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh. Komposisi asam-asam amino dalam bahan makanan hewani sesuai dengan komposisi jaringan di dalam tubuh manusia itu sendiri. Protein dalam ikan tersusun dari asam-asam amino yang dibutuhkan oleh
tubuh untuk pertumbuhan.
Kadar protein yang terukur berupa protein kasar
(crude protein) sehingga termasuk didalamnya, yaitu non-protein nitrogen (NPN). Kandungan NPN pada ikan teleostoi antara 9-18 % dari jumlah nitrogennya. Komponen utama dari NPN, yakni basa volatil (asam amino dan TMAO), kretain, asam amino bebas, nukleotida dan basa purin, serta urea pada ikan Elasmobranchi (Ozogul et al. 2004). Pada Gambar 10 disajikan kandungan protein dari daging ikan gurami dengan berbagai umur panen.
25 K a d a r p r o te in (% )
20,67 20
18,93
18,71
ikan B
ikan C
15 10 5 0 ikan A
umur ikan Gambar 10. Kadar protein daging ikan gurami dengan berbagai umur panen Kandungan protein pada Gambar 10 berkisar antara 18,71-20,67 %. Kadar protein tertinggi terdapat pada ikan A dengan nilai 20,67 % dan yang terendah pada ikan C dengan nilai 18,71 %. Perbedaan umur panen pada ikan gurami mempunyai pengaruh terhadap kandungan protein pada ikan tersebut. Tingginya kandungan protein dipengaruhi oleh spesies, lingkungan, dan makanan. Spesies ikan air tawar cenderung memiliki kadar protein yang lebih rendah dibanding ikan air laut. Ikan yang hidup pada lingkungan perairan yang kaya akan makanan dan unsur hara cenderung memiliki kadar protei yang tinggi. Mengacu pada penggolongan tipe ikan menurut (Stansby 1963) ikan gurami dapat dikelompokkan pada kategori protein tinggi (15-20 %) dan lemak rendah (< 5 %).
(d) Kadar lemak
Lemak yang terkandung dalam ikan sangat mudah untuk dicerna langsung oleh tubuh dan sebagian besar terdiri dari asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Pada Gambar 11 disajikan kandungan lemak daging ikan gurami dengan berbagai umur panen. 3
2,79 2,43
Kadar lemak (%)
2,5
2,20
2 1,5 1 0,5 0 ikan A
ikan B
ikan C
Umur ikan
Gambar 11. Kadar lemak daging ikan gurami pada berbagai umur panen Kandungan lemak berkisar antara 2,2-2,79 %, kandungan lemak tertinggi terdapat pada ikan A dengan persentase 2,79 % dan terendah pada ikan C dengan persentase 2,20 %. Kisaran kadar lemak ikan gurami tersebut termasuk kedalam tipe ikan berkadar lemak rendah yaitu dibawah 5% (Stansby 1963). Perbedaan umur panen pada ikan gurami mempunyai pengaruh terhadap kadar lemak pada ikan tersebut sebab semakin dewasa umur ikan maka kadar lemak semakin tinggi (Hadiwiyoto 1993). Sebagian besar lemak yang terkandung pada ikan adalah terdiri dari asam lemak tak jenuh yang dibagi menjadi asam lemak tak jenuh tunggal dan asam lemak tak jenuh jamak (Lehninger 1993). Lingkungan tempat ikan tersebut tumbuh dan berkembang sangat berpengaruh terhadap kandungan lemak. Kandungan lemak pada ikan tidak hanya dipengaruhi oleh jenis ikan tapi juga dipengaruhi oleh kedewasaan, musim, kebiasaan makan (feeding habit), dan ketersediaan pakan (Gokce et al. 2004).
4.2.2 Nilai organoleptik
Penilaian organoleptik merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam menentukan tanda-tanda kesegaran ikan karena lebih mudah dan lebih cepat dikerjakan, tidak memerlukan banyak peralatan, serta tidak memerlukan laboratorium (Hadiwiyoto 1993).
Penetapan kemunduran mutu ikan secara
subjektif (organoleptik) dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional SNI 01-2346-2006 (BSN 2006) serta menggunakan 15 orang panelis. Parameter yang diamati, yakni keadaan mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur. Pengamatan organoleptik untuk keadaan mata, insang, lendir permukaan badan, bau, dan tekstur dilakukan terhadap ikan gurami utuh, tetapi khusus untuk pengamatan terhadap daging dilakukan pada ikan gurami yang telah disayat dagingnya. Hasil uji organoleptik terhadap ikan gurami dengan berbagai macam umur panen dapat dilihat dari data di lampiran 3a, 3b, 3c, dan 3d. Perbandingan rata-rata nilai organoleptik antara ikan gurami pada masing-masing umur panen saat
Nilai organoleptik
penyimpanan suhu chilling dapat dilihat dari Gambar 12. 10 9 9 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 prerigor
6,65 6,1 6,15
5,84 4,25 4,25 2,2 2,35 2,15
24
30
36
rigor
180
198
228
post-rigor
234
264
324
busuk
Waktu tiap fase pada penyimpanan (jam) ikan A
ikan B
ikan C
Gambar 12 Rata-rata nilai organoleptik dari ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai organoleptik ikan gurami baik ikan gurami A, B, dan C semakin menurun dengan semakin lamanya waktu
penyimpanan. Namun ikan gurami A memiliki waktu kemunduran mutu yang lebih panjang dibandingkan dengan ikan gurami B dan C. Hal ini disebabkan adanya pengaruh perbedaan ukuran tubuh ikan dan perbedaan umur panen dari ikan sehingga kemunduran mutu ikan gurami A menjadi lambat, ditandai dengan nilai organoleptik yang menurun lebih lama. Ikan berukuran besar secara umum mengalami penurunan mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan ikan kecil sebab kandungan glikogen pada ikan yang berukuran besar lebih banyak dibanding ikan kecil, selain itu pada ikan yang besar memiliki
luas
permukaan
tubuh
yang
besar
sehingga
penyerangan
mikroorganisme lebih lama. Ikan berbentuk pipih dapat disimpan lebih lama dari pada ikan berbentuk bulat. Ikan berlemak rendah dapat dipertahankan lebih lama dari ikan berlemak tinggi pada kondisi aerobik (FAO 1995). Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal itu menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan kimia, fisik, dan organoleptik pada ikan. Cepat atau lambatnya kemunduran mutu ikan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal yang bekaitan dengan ikan itu sendiri dan eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan penanganan (FAO 1995). 4.2.3 Nilai total plate count (TPC)
Pengukuran tingkat kesegaran ikan dapat dilihat dari banyaknya bakteri yang berkembang pada ikan (Sakaguchi 1990). Pengukuran ini menggunakan metode TPC yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam (Fardiaz 1984). Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel (Hadiwiyoto 1993). Pada penelitian ini, perbandingan nilai log TPC ikan gurami dengan berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Gambar 13.
Nilai TPC (CFU/ml)
10 9 8 4,960 4,964 7 6 3,079 4,939 5 3,079 4 2,7 3 2 1 0 0 24 30 36 prerigor
9,079 9,079 6,996
6,991
9,176
6,954
180
rigor
198
228
234
post rigor
264
324
deteriorasi
waktu per fase pada penyimpanan (jam) ikan A
ikan B
ikan C
Gambar 13. Nilai log TPC dari ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling Nilai TPC ikan gurami A, B dan C pada Gambar 13 adalah sama, yakni 1,2x103 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 3,079 CFU/g pada fase pre-rigor. Pada fase rigor, nilai TPC dari ketiga ikan tersebut meningkat pada kisaran 8,7x103 CFU/g – 9,2x103 CFU/ ml atau nilai log antara 4,939 CFU/g – 4,964 CFU/g. Semakin lama nilai TPC dari ketiga ikan tersebut semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan dan mencapai nilai tertinggi pada fase deteriorasi, yaitu ikan A sebesar 1,5x109 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 9,176 CFU/g, sedangkan pada ikan B dan C memiliki nilai TPC yang sama yakni sebesar 1,2x109 CFU/g atau log TPC sebesar 9,079 CFU/g. Nilai TPC ikan gurami pada penyimpanan fase post-rigor dan deteriorasi sudah berada di atas batas maksimum jumlah cemaran mikroba yang ditetapkan dalam SNI 01-2729-1992 dengan nilai maksimum 5x105 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 5,70 CFU/g, sehingga sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging ikan. Setelah ikan mati, sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak dengan bebas. Pada permukaan kulit, bakteri bergerak ke seluruh tubuh dan selama penyimpanan, bakteri menyerang daging dan bergerak diantara serat otot. Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses deteriorasi terjadi akibat adanya
enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO 1995). Proses deteriorasi yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pemdeteriorasi mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat (Moeljanto 1992). Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai deteriorasi (Irawan 1995). Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh makanan, cara penangkapan, penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh
musim
dan
letak
geografis
(FAO
1995;
Junianto
2003).
Menurut Lan et al. (2007) jumlah bakteri yang terdapat pada ikan tergantung dari lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Bakteri yang umumnya ditemukan pada
ikan
adalah
bakteri
Pseudomonas,
Alcaligenes,
Sarcina,
Vibrio,
Flavobacterium, Serratia, Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas,
Lactobacillus,
Bevibacterium
dan
Streptococcus
(Jeyasekaran et al. 2004). Nilai TPC pada ikan gurami A, B, dan C pada penelitian ini mengalami kenaikan pada tiap fase kemunduran mutu. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) pada analisis TPC dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan luas permukaan tubuh. Ikan berukuran besar memiliki permukaan tubuh yang lebih luas dibanding ikan kecil sehingga penyerangan mikroorganisme cenderung memerlukan waktu yang lama untuk merombak jaringan pada daging ikan. Selain itu, aktivasi enzim katepsin terjadi lebih cepat pada ikan berukuran kecil dibandingkan dengan ikan berukuran besar sehingga proses pembongkaran senyawa-senyawa makromolekul, seperti protein menjadi senyawa-senyawa mikromolekul seperti asam amino, peptida, dan amonia terjadi lebih cepat dan
pada akhirnya terakumulasi dalam jumlah yang besar.
Senyawa-senyawa ini
merupakan sumber nutrien (unsur hara) bagi bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Kreuzer 1965). 4.2.4 Nilai pH
Kesegaran ikan juga dapat ditentukan dengan mengukur pH daging ikan. Produksi asam laktat dari hasil proses glikolisis secara anaerob setelah ikan mati akan menentukan perubahan pH pada daging ikan. Perubahan nilai pH pada ikan bergantung pada berbagai faktor seperti jenis ikan, cara menangkap, pemberian pakan dan kondisi lainnya (Sakaguchi 1990). Pada dasarnya energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen menjadi glukosa dan produk-produk turunannya.
Selanjutnya penguraian glukosa melalui proses glikolisis akan
menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan pH daging ikan dan dapat menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses deteriorasi. Besarnya penurunan pH ini tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998). Perbandingan nilai pH ikan gurami yang disimpan pada suhu chilling dengan
Nilai pH
berbagai umur panen disajikan pada Gambar 14. 8 7 6 5 4 3 2 1 0
6,87 6,85 6,85 6,62 6,64 6,67
0 prerigor
24
30
36
rigor
6,7 6,68 6,72 5,92 5,92 5,94
180
198
228
post-rigor
234
264
324
deteriorasi
Waktu tiap fase pada penyimpanan (jam) ikan A
ikan B
ikan C
Gambar 14. Nilai pH ikan gurami dengan berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling
Ikan gurami A, B dan C pada fase pre-rigor memiliki nilai pH secara berturut-turut yakni 6,87 ; 6,85 ; dan 6,85. Nilai ini akan semakin menurun seiring semakin banyak asam laktat yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada akhirnya pH akan semakin asam, yaitu pada fase post rigor awal. Nilai pH dari ikan gurami pada fase post rigor yakni 5,98 untuk ikan A; 5, 92 untuk ikan B dan ikan C. Nilai-nilai itu akan meningkat lagi pada fase deteriorasi karena pada fase ini terjadi akumulasi basa-basa volatil.
Tabel 12 memperlihatkan nilai pH
terendah berbagai jenis ikan pada fase post rigor. Tabel 12. Nilai pH terendah berbagai jenis ikan pada fase post rigor No.
Jenis ikan
Nilai pH pada fase post rigor 6,26
Sumber Muldani 1997
1.
Nila
2.
Patin (mati menggelepar)
6,46
Swasono 2007
3.
Patin (mati ditusuk)
6,51
Swasono 2007
4.
Cod
6,10
FAO 1995
5.
Mackerel
5,80
FAO 1995
6.
Tuna
5,40
FAO 1995
Terjadinya perubahan glikogen menjadi asam laktat disebut proses glikolisis (Eskin 1990). Proses glikolisis yang menguraikan glukosa menjadi asam laktat disajikan sehingga terjadi penurunan pH terdapat pada Gambar 15. Glukosa Heksokinase
Glukosa-6-fosfat fosfoglukosa isomerase
Fruktosa-6-fosfat Fosfofruktokinase
Fruktosa-1,6-difosfat Aldolase
Dihidroksi asetonfosfat Asam laktat
D-gliseraldehida-3-fosfat laktat dehidrogenase
Asam piruvat
Gambar 15. Proses glikolisis pada daging ikan (Eskin 1990)
Kecepatan perubahan nilai pH dipengaruhi oleh banyaknya kandungan glikogen dalam daging. Kondisi stres menjelang kematian akan menyebabkan peningkatan aktivitas otot sehingga cadangan glikogen pada daging berkurang (Robb 2002).
Pernyataan ini didukung penelitian Marx et al. (1997) yang
menyebutkan ikan yang ditusuk seketika akan mengalami perubahan nilai pH yang lebih lambat dibandingkan dengan ikan yang dimatikan menggunakan aliran listrik atau CO2. Ikan yang dimatikan dengan aliran listrik atau CO2 akan menghabiskan lebih banyak energi dibandingkan dengan ikan yang dimatikan secara seketika. Kecepatan penurunan pH juga dipengaruhi suhu yang digunakan untuk penyimpanan. Kecepatan penurunan pH akan semakin cepat jika suhu yang digunakan tinggi. Penurunan pH akan semakin lambat jika suhu yang digunakan rendah (Price 1971). Nilai pH ikan gurami A, B, dan C yang didapat pada penelitian ini mengalami penurunan dari fase pre-rigor sampai fase post-rigor, lalu nilai pH akan meningkat kembali ketika ikan memasuki fase deteriorasi. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai pH. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan kandungan glikogen pada masing-masing ukuran ikan. Ikan berukuran besar memiliki cadangan glikogen yang lebih banyak dibanding ikan berukuran kecil sehingga kecenderungan terjadinya proses glikolisis menjadi lebih lambat. Selain itu, terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses aktivasi enzim katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton, polipeptida, dan asam-asam amino. Selain itu juga, aksi enzimatis tersebut akan menyebabkan perubahanperubahan dalam komponen-komponen flavor, perubahan warna daging (diskolorisasi) dari warna asli menjadi coklat serta timbulnya akumulasi metabolit (Ilyas 1983). 4.2.5 Nilai total volatile base (TVB)
Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan prinsip penetapan TVB. Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawasenyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada
daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Berbagai komponen, seperti basa volatil, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Pada penelitian ini, perbandingan nilai TVB ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dilihat pada
Nilai TVB (mg N/100 g)
Gambar 16. 35 30 25 20 15 10 5 0
32,42 20,72 10,64 7,28
0
24
prerigor
30
36
180
rigor
198
228
post rigor
234
264
324
deteriorasi
Waktu tiap fase pada penyimpanan (jam) ikan A
ikan B
ikan C
Gambar 16. Nilai TVB dari ikan gurami berdasarkan perbedaan umur panen selama penyimpanan suhu chilling Nilai TVB ikan gurami A, B dan C yang disimpan pada suhu chilling pada fase pre-rigor adalah sama, yakni sebesar 7,28 mg N/100 g.
Nilai tersebut
menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar. Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan akibat adanya degradasi enzim-enzim dalam tubuh ikan menghasilkan
senyawa-senyawa
sederhana
komponen penyusun senyawa basa volatil.
yang
merupakan
komponen-
Menurut Karungi et al. (2003)
peningkatan nilai TVB selama penyimpanan akibat degradasi protein dan derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak, histamin, H2S, trimetilamin yang berbau busuk. Pada penelitian ini, nilai TVB ikan gurami tertinggi dicapai pada fase deteriorasi, yakni 32,42 mg N/100 g . Nilai tersebut menujukkan bahwa ikan gurami setelah penyimpanan pada suhu chilling selama 324 jam untuk ikan A,
264 jam untuk ikan B dan 234 jam untuk ikan C sudah tidak segar dan tidak layak untuk dikonsumsi. Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar. Ikan termasuk kriteia masih bisa dikonsumsi dengan apabila nilai TVB antara 20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan batasan tersebut, ikan gurami yang disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi sampai waktu penyimpanan 288 jam untuk ikan A, 198 jam untuk ikan B, dan 180 jam untuk ikan C karena memiliki nilai TVB sebesar 20,72 mg N/100 g, yang berarti ikan gurami tersebut tergolong ikan yang masih dapat dikonsumsi. Proses penyimpanan pada suhu chilling dapat menghambat proses kemunduran mutu ikan gurami.
Karungi et al. (2003) menyatakan akumulasi
nitrogen yang bersifat volatil berlangsung lebih lambat dibandingkan ikan yang disimpan pada suhu lingkungan. Aktivitas enzim pada daging ikan berjalan lebih lambat sehingga ikan tetap segar dalam jangka waktu lama. Nilai TVB pada ikan gurami A, B, dan C semakin meningkat seiring dengan fase laju kemunduran mutu ikan. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai TVB. Menurut Ozogul (1999), peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas autolisis dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan. Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino dan amonia. Di samping itu, hidrolisis protein membentuk sedikit basa purin dan pirimidin (Kreuzer 1965). Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Jiang 1998). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase.
Selanjutnya AMP
diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin
oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenin (Eskin 1990). 4.2.6
Aktivitas spesifik enzim katepsin
Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh dengan melepaskan energi. Bersamaan dengan itu, terjadi suatu proses perubahan biokimiawi yang menyebabkan bagian protein otot (aktin dan miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (rigor mortis). Seiring dengan itu pula, karbohidrat dalam daging ikan yang berbentuk glikogen terurai menghasilkan asam laktat pada akhir proses glikolisis. Asam laktat ini dapat menurunkan pH dan menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses pembusukan. Laju penurunan pH ini besarnya tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998). Adanya penurunan pH menyebabkan enzim-enzim dalam jaringan otot yang aktivitasnya berlangsung pada pH rendah menjadi aktif. Salah satu enzim tersebut adalah enzim proteolitik, seperti katepsin. Katepsin yang terdapat di dalam jaringan otot ikan memiliki aktivitas optimal pada pH rendah (Dinu et al. 2002). Nilai aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin, dan aktivitas spesifik katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin, dan aktivitas spesifik katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling Ikan
Ikan gurami A
Ikan gurami B
Ikan gurami C
Fase post mortem pre rigor rigor post rigor deteriorasi pre rigor rigor post rigor deteriorasi pre rigor rigor post rigor deteriorasi
Aktivitas katepsin (U/ml) 0,333 0,533 1,733 0,933 0,3 0,433 1,533 0,833 0,233 0,367 1,333 0,7
Konsentrasi protein katepsin (mg/ml) 0,462 0,494 0,523 0,492 0,459 0,485 0,512 0,48 0,457 0,481 0,503 0,477
Aktivitas spesifik katepsin (U/mg) 0,721 1,079 3,314 1,896 0,654 0,893 2,994 1,735 0,510 0,763 2,650 1,468
Pada penelitian ini, aktivitas katepsin yang paling tinggi dari ikan A, ikan B dan ikan C terdapat pada fase post rigor dengan aktivitas masing-masing yaitu 1,733 U/ml ; 1,533 U/ml dan 1,333 U/ml. Hal itu disebabkan pada fase tersebut pH daging ikan paling rendah, yakni sebesar 5,92-5,94 sehingga sangat cocok untuk berlangsungnya aktivitas enzim katepsin yang akan menguraikan protein dalam jaringan tubuh ikan. Hasil penelitian ini menunjukkan pH terendah untuk berlangsungnya aktivitas enzim katepsin pada ikan gurami tersebut sebesar 5,92-5,94.
Sementara itu, pH optimal enzim katepsin D yang telah berhasil
dimurnikan dari otot ikan tilapia sebesar 5,5 - 6,0. Katepsin D ini memiliki berat molekul 38 K Da dan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin (Doke et al. 1980 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Selain itu, pada kelompok ikan tilapia juga telah diketahui terdapat aktivitas enzim katepsin A (karboksipeptidase A) yang memiliki aktivitas eksopeptidase dengan pH optimum 5-6. Katepsin ini memisahkan karbobenzoksi-L-Glu-L-Tyr dan mampu memisahkan residu secara sekuen dari karboksil terminal peptida, seperti glukagon (Sherekar et al. 1986 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat kaitannya dengan konsentrasi protein enzim katepsin. Aktivitas enzim katepsin yang tinggi pada fase post rigor ini tentunya berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim katepsin dari masingmasing ikan, yakni ikan A sebesar 0,523 mg/ml, ikan B sebesar 0,512 mg/ml dan ikan C sebesar 0,503 mg/ml. Hal itu karena pada dasarnya enzim tersusun dari komponen-komponen protein.
Salah satu jenis protein yang berperan dalam
proses autolisis adalah protein sarkoplasma yang membantu terjadinya peristiwa glikolisis, yaitu pemecahan karbohidrat menjadi asam laktat sehingga menyebabkan pH daging ikan menjadi turun. Rendahnya pH daging ikan tersebut akan menyebabkan aktivitas enzim katepsin meningkat (Dinu et al. 2002). Sebagian besar protein sarkoplasma berpartisipasi dalam metabolisme sel, seperti konversi energi dari glikogen menjadi ATP pada kondisi anaerob. Jika organel sel otot rusak, fraksi protein ini dapat juga mengandung enzim metabolik yang terdapat di dalam retikulum endoplasma, mitokondria, dan lisosom (FAO 1995). Keterkaitan antara aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin dapat dilihat berdasarkan aktivitas spesifik enzim katepsin. Aktivitas spesifik
enzim katepsin didapat dengan membagi aktivitas enzim katepsin terhadap konsentrasi protein katepsin. Adapun aktivitas spesifik enzim katepsin dapat
Aktivitas katepsin spesifik (U/mg)
dilihat pada Gambar 17. 3,314 3,500 2,994 2,650 3,000 2,500 2,000 1,079 0,721 1,500 0,893 0,654 0,763 1,000 0,510 0,500 0,000 0 24 30 36 180 198 228 prerigor
rigor
post rigor
1,896 1,735 1,468
234
264
324
deteriorasi
Waktu penyimpanan tiap fase (jam) ikan A
ikan B
ikan C
Gambar 17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan suhu chilling Proses perombakan protein oleh enzim katepsin merupakan salah satu peristiwa autolisis.
Proses autolisis pada hasil perikanan dimulai bersamaan
dengan menurunnya pH. Penguraian protein dan lemak dalam proses autolisis menyebabkan perubahan cita rasa, tekstur, dan penampakan ikan. Pada tahap ini proses pemdeteriorasian berlangsung cepat karena hasil-hasil penguraian tersebut merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami A, B, dan C pada penelitian ini mengalami aktivitas tertinggi pada fase post-rigor, sebab pada fase tersebut ikan memiliki pH terendah. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) faktor perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap analisis obyektif yang dilakukan yakni, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein. Hal ini dapat disebabkan karena nilai pH dari masing-masing ukuran ikan berbeda, sehingga aktivasi enzim katepsin berbeda. Pada proses enzimatis, katepsin akan menguraikan protein menjadi polipeptida dan senyawa-senyawa yang lebih
sederhana.
Pada pH yang rendah, aktivitas enzim katepsin akan meningkat.
Selain nilai pH, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim katepsin, antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat dan suhu. Kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Demikian pula dengan konsentrasi enzim yang tetap, maka pertambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Namun pada batas konsentrasi tertentu tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi walaupun konsentrasi substrat diperbesar. Suhu juga turut mempengaruhi reaksi enzimatis. Pada suhu rendah reaksi berlangsung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat (Lehninger 1993). 4.2.7 Hubungan antar parameter kesegaran ikan
Mutu ikan dapat diketahui dengan melakukan uji subjektif (organoleptik) dan uji objektif (TVB, TPC dan pH). Parameter-parameter tersebut memiliki keterkaitan selama proses kemunduran mutu ikan gurami berlangsung. Berbagai proses perubahan fisik, kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat selama penyimpanan. Nilai TVB dan TPC akan semakin meningkat seiring makin lama penyimpanan. Nilai organoleptik mengalami penurunan sedangkan nilai pH akan menurun dari fase pre rigor sampai post rigor dan akan meningkat lagi pada saat fase deteriorasi selama penyimpanan. Meningkatnya nilai TVB dan TPC terjadi akibat adanya degradasi enzim-enzim dalam tubuh ikan yang menghasilkan senyawa-senyawa sederhana dan merupakan komponen-komponen penyusun senyawa basa volatil. Menurut Karungi et al. (2003) peningkatan nilai TVB selama penyimpanan akibat degradasi protein dan derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak, histamin, H2S, trimetilamin yang berbau busuk. Hasil degradasi protein tersebut merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan mikroba pembusuk sehingga mengakibatkan peningkatan nilai TPC dan peningkatan nilai pH. Sirkulasi darah dan suplai oksigen terhenti setelah ikan mati. Terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Penumpukan asam laktat pada daging ikan akan menyebabkan pH menjadi turun. Enzim katepsin selanjutnya menjadi aktif karena pH daging yang rendah. Enzim tersebut mampu menguraikan protein
menjadi senyawa yang lebih sederhana yang bersifat basa sehingga nilai pH naik (Eskin 1990). Hubungan antar parameter kesegaran ikan untuk setiap
Nilai parameter
perlakuannya dapat dilihat pada Gambar 18, 19, dan 20 35 30 25
324; 32,42 228; 20,72
20 15
36; 10,64
0; 9 10 36; 6,67 0; 7,28 36; 6,65 5 36; 4,960 0; 6,87 0; 3,079 0 36; 1,079 0; 0,721 0 50 100
228; 6,996 228; 5,94
324; 9,176
324; 6,72 324; 2,15 228; 5,84 228; 3,314 324; 1,896 200 250 300 350
150
Waktu penyimpanan (jam) Nilai organoleptik Nilai TVB ( mg N/100 g) Nilai TPC (CFU/g) Nilai pH Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg)
Nilai parameter
Gambar 18. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami A 35
264; 32,42
30 25 198; 20,72
20 15
10 0; 7,28 0; 6,85 5 0; 3,079 0 0; 0,654
0; 9
30; 10,64
198; 6,954 198; 5,92
30; 6,64 30; 6,15 30; 4,939 0
30; 0,893 50
264; 9,079 264; 6,68 264; 2,35 264; 1,735
198; 4,25 198; 2,994 100
150
200
250
Waktu penyimpanan (jam) Nilai organoleptik Nilai TVB ( mg N/100 g) Nilai TPC (CFU/g) Nilai pH Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg) Gambar 19. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami B
300
Nilai parameter
35
234; 32,42
30 25 180; 20,72
20
24; 10,64 15 0; 9 10 24; 6,62 0; 7,28 24; 6,1 5 0; 6,85 24; 4,964 0; 2,70 24; 0,76 24 48 72 0; 0,51 0
96
120
180; 6,991 234; 9,079 180; 5,92 180; 4,25 234; 6,7 234; 2,2 180; 2,65 234; 1,47 144 168 192 216 240 264
Waktu penyimpanan (jam) Nilai organoleptik Nilai TVB ( mg N/100 g) Nilai TPC (CFU/g) Nilai pH Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg)
Gambar 20. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami C Enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif setelah ikan mati, namun sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi. Enzim tersebut bekerja hanya satu arah, yaitu hanya memecah protein. Peristiwa ini disebut autolisis dan berlangsung setelah ikan melewati fase rigor mortis (Murniyati dan Sunarman 2000). Senyawasenyawa hasil penguraian secara enzimatis dari ikan gurami menjadi meningkat. Senyawa tersebut juga akan mengakibatkan kenaikan nilai pH. Nilai pH daging akan naik mendekati netral ketika memasuki fase post rigor akhir akibat proses autolisis dan pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Ukuran ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5 tahun (ikan A), 1,5 tahun (ikan B), dan 8 bulan (ikan C) memiliki rata-rata berat total dan panjang toal secara berturut-turut, yaitu 995,45 g ± 1,85 g ;36-38 cm, 697,65 g ± 1,24 ; 3234 cm 345,55 g ± 1,42 ; 27-29 cm Ukuran ini merupakan ukuran konsumsi. Kisaran rendemen ikan gurami A, B, dan C, yakni daging 45-52 %, jeroan 6-8 %, insang 1-2 %, sirip 3-5 %, sisik 4 %,dan tulang 30-38%). Rendemen daging paling tinggi terdapat pada ikan gurami A dan yang paling rendah pada ikan B, sedangkan untuk tulang, nilai rendemen yang paling tinggi terdapat pada ikan C dan yang paling rendah pada ikan A. Kondisi pre rigor untuk ikan A, ikan B dan ikan C terjadi pada 0 jam penyimpanan, fase rigor mortis terjadi secara berturut-turut pada jam ke-36, 30 dan 24. Fase post rigor masing-masing umur ikan terjadi pada jam ke-228, 198, dan 180.
Untuk fase deteriorasi terjadi pada jam ke-324, 264, dan 234.
Komposisi kimia daging ikan gurami pada berbagai umur panen berkisar antara: kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,90-0,95 %; protein 18,71-20,67 %; lemak 2,20-2,79 %. Kadar protein dan lemak tertinggi terdapat pada ikan A sedangkan kadar air dan kadar abu tertinggi terdapat pada ikan C. Pola kemunduran mutu ikan gurami dari fase pre rigor awal hingga ketika pembusukan berlangsung cepat dapat dilihat dari kisaran nilai organoleptik 1-9; pH 6,85-6,87; log TPC 1,2x103-1,5x109 CFU/g; TVB 7,28-32,42 mg N/100 g; aktivitas katepsin 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi protein enzim katepsin 0,457-0,523 mg/ml. 5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjut mengenai kemunduran mutu ikan gurami dalam bentuk fillet pada penyimpanan suhu chilling dan ruang dan karakteristik yang lebih spesifik seperti kandungan glikogen, jenis katepsin, indeks rigor ikan, analisis kandungan asam-asam amino, asam lemak bebas, penyusun mineral, dan biogenik amin.
Lampiran 1. Score sheet uji orgoneltik ikan segar (SNI-01-2345-2006) Nama Panelis : …………………………………….. Tanggal: ……………… Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai dengan kode sampel yang diuji. KODE SPESIFIKASI
Nilai
CONTOH
1 1. MATA
* Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih
9
* Cerah, bola mata rata, kornea jernih
8
* Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh
7
* Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh
6
* Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh
5
* Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh
3
* Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning.
1
2. INSANG * Warna cerah cemerlang, tanpa lendir
9
* Warna merah kurang cemerlang tanpa lendir
8
* Warna agak kusam, tanpa lendir
7
* Merah agak kusam, sedikit lendir
6
* Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir
5
* warna merah coklat lendir tebal
3
* Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal
1
3. LENDIR PERMUKAAN BADAN
* Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah.
9
* Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna.
8
* Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan.
7
* Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan
6
* Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh
5
* Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning
3
* Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan
1
4. DAGING ( WARNA DAN KENAMPAKAN)
2
3
* Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh * Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh *
Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh.
* Sayatan daging masih
cemerlang, agak kemerahan pada tulang
belakang, dinding perut agak lembek, sedikit bau susu * Sayatan daging mulai pudar, banyak kemerahan pada tulang belakang, dinding perut lembek, bau segar seperti susu *
Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak
* Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak
9 8 7 5 4 3 1
5. BAU
* Bau sangat segar, spesifik jenis
9
* Segar, spesifik jenis
8
* Netral
7
* Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam
5
* Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk
3
* Bau busuk jelas
1
6. TEKSTUR
* Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang * Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang * Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang *
Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah
menyobek daging dari tulang belakang * Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang *
Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali
menyobek daging dari tulang belakang
9 8 7 5 3 1
Lampiran 2. Data mentah panjang, berat dan rendemen ikan gurami Sampel A B C
Umur panen 2,5-3thn 1,5-2thn 7bln-1thn
Berat total 900-1100g 600-700g 300-400g
Panjang total 36-38cm 32-34cm 27-29cm
Panjang baku 29-31cm 27-28cm 24-26cm
Rendemen jeroan 8% 8% 6%
insang 1% 2% 2%
sisrip 5% 3% 5%
sisik 4% 4% 4%
tulang 30% 30% 38%
daging 52% 49% 45%
67
Lampiran 3 a Data mentah nilai organoleptik ikan gurami pre-rigor No
mata A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
insang B
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
a 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
daging B
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
A 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
tekstur b
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
A 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
bau B
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
A 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
B 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Lendir permukaan badan A B C
C 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
68
Lampiran 3b Data mentah nilai organoleptik ikan gurami fase rigor No
mata A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
insang B
8 8 7 8 7 8 8 7 8 8 7 8 8 7 8
C 8 7 8 7 8 8 7 7 8 7 7 8 7 8 7
a 7 7 8 7 7 7 7 8 7 7 8 7 7 8 7
daging B
8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
C 7 7 8 7 7 7 7 8 7 7 8 7 7 8 7
A 8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
tekstur b
8 8 7 8 7 8 8 7 8 8 7 8 8 7 8
C 8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
A 8 7 8 7 8 8 7 7 8 7 7 8 7 8 7
bau B
8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
C 8 8 7 8 7 8 8 7 8 8 7 8 8 7 8
A 8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
B 8 7 8 7 8 8 7 7 8 7 7 8 7 8 7
Lendir permukaan badan A B C
C 8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
7 7 8 7 7 7 7 8 7 7 8 7 7 8 7
8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
8 8 7 8 7 8 8 7 8 8 7 8 8 7 8
8 7 7 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8
69
Lampiran 3 c Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase post rigor No
mata A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
insang B
6 7 6 6 7 6 6 6 6 6 6 6 7 6 6
C 6 7 6 6 7 6 7 6 6 6 6 6 6 6 7
A 6 6 6 6 5 6 6 6 5 6 5 6 6 6 6
daging B
6 7 6 6 7 6 7 6 6 6 6 6 6 6 7
C 6 7 6 6 6 7 6 6 6 6 5 6 6 5 6
A 5 6 6 7 6 6 6 7 6 6 5 6 6 7 6
tekstur B
5 5 7 5 5 6 5 5 7 6 7 5 5 7 5
C 6 7 6 6 7 6 7 6 6 6 6 6 6 6 7
A 6 7 6 6 5 6 6 6 6 5 6 6 7 6 6
bau B
6 7 6 6 7 6 6 5 6 6 6 5 5 6 6
C 6 7 6 6 7 5 7 6 6 6 6 6 6 5 7
A 6 7 6 6 5 6 7 6 5 6 6 7 6 6 7
B 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6 6 6 6 6
Lendir permukaan badan A B C
C 6 7 6 6 7 6 7 6 6 6 6 6 6 6 7
6 7 6 6 7 6 7 6 6 6 5 6 5 6 5
6 6 6 7 6 6 6 7 6 6 5 6 6 6 6
7 5 5 5 5 6 5 5 7 5 7 5 6 6 5
6 7 6 6 7 6 6 6 6 6 6 6 7 6 6
70
Lampiran 3d Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase busuk No
mata A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
insang B
3 3 3 1 3 5 1 5 3 3 3 5 1 3 1
C 3 3 1 3 3 3 1 5 3 1 3 5 3 1 5
A 3 1 3 3 1 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3
daging B
3 5 3 1 3 3 3 1 3 1 3 1 3 3 1
C 1 1 3 3 1 3 3 3 1 3 3 1 1 1 3
A 3 3 3 1 3 3 3 3 1 1 1 1 3 1 1
tekstur B
3 3 3 1 3 3 3 3 1 1 1 1 3 1 1
C 3 3 5 1 3 1 5 5 3 3 1 5 3 5 3
A 5 3 1 3 5 3 3 1 3 3 5 1 5 3 1
bau B
1 1 3 3 1 3 3 3 1 3 3 1 1 1 3
C 3 3 3 1 3 3 3 3 1 1 1 1 3 1 1
A 3 3 3 1 3 3 3 3 1 1 1 1 3 1 1
B 3 1 3 3 1 3 3 5 3 3 3 5 3 1 5
Lendir permukaan badan A B C
C 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3
3 5 1 3 5 3 3 1 3 3 3 1 3 3 3
1 3 1 3 5 3 5 3 5 3 1 5 1 3 5
1 1 3 3 1 3 3 3 1 3 3 1 1 1 3
3 3 3 1 3 3 3 3 1 1 1 1 3 1 1
71
Lampiran 4 data mentah nilai TPC ikan gurami pada tiap fase fase post mortem
sampel A
pre-rigor
B C A
rigor
B C A
post-rigor
B C A
busuk
B C
ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
10-1 10-2 107 34 126 30 113 43 124 32 115 30 117 33
10-3
96 84 101 72 94 89
penegenceran 10-4 10-5 10-6
10-7
10-8
31 36 35 42 30 30 104 93 96 84 110 85
54 39 35 37 41 56 154 146 132 97 119 124
53 72 66 50 45 43
nilai TPC
log TPC
1,2X103
3,079
1,2X103
3,079
1,2X103
3,079
9,0X104
4,954
8,7X104
4,939
9,2X104
4,964
9,9X106
6,996
9,0X106
6,954
9,8X106
6,991
1,5X109
9,176
1,2X109
9,079
1,2X109
9,079
Lampiran 5. Tabel uji ragam ANOVA TPC Value Label umur
umur panen 7bulan1tahun
8
umur panen 1,5-2tahun
8
umur panen 2,5-3tahun
8
1
prerigor
6
2
rigor
6
3
postrigor
6
4
busuk
6
2
3
fase
N
1
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TPC Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 121,772(a)
11
Mean Square 11,070
868,410
1
868,410
,025
2
,013
F 3173,606 248955,77 6 3,647
121,713
3
40,571
11630,909
,000
,034
6
,006
1,608
,228
Error
,042
12
,003
Total
990,224
24
Intercept umur fase umur * fase
df
Sig. ,000 ,000 ,058
Corrected Total
121,814 23 a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999) Hipotesa Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 3,647>0,58) Artinya TPC Duncan umur
N
Subset 1
2
umur panen 1,5-2tahun
8
5,98038
umur panen 2,5-3tahun
8
6,00675
umur panen 7bulan1tahun
8
Sig.
6,00675 6,05875
,389
,104
TPC Duncan fase
N
Subset
prerigor
6
rigor
6
postrigor
6
busuk
6
Sig.
1 3,08133
2
3
4
4,92950 6,92533 9,12500 1,000
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05. ANOVA TPC Sum of Squares 121,772
Between Groups Within Groups Total
df 11
Mean Square 11,070
,042
12
,003
121,814
23
F 3173,606
Sig. ,000
TPC Duncan Subset for alpha = .05 interaksi u3f1
2
1 3,04950
u2f1
2
3,06400
u1f1
2
3,13050
u1f2
2
4,89750
u2f2
2
4,92900
u3f2
2
4,96200
u2f3
2
6,85400
u3f3
2
6,94100
u1f3
2
6,98100
u2f4
2
9,07450
u3f4
2
9,07450
u1f3
2
Sig.
N
2
3
4
5
9,22600 ,216
,319
,063
1,000
1,000
Lampiran 6. Tabel uji ragam ANOVA pH Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Type III Sum of Squares 2,938(a)
Source Corrected Model
11
Mean Square ,267
1020,250
1
1020,250
umur
,016
2
fase
2,903
3
Intercept
df
Sig. ,000
,008
F 66,487 254004,05 0 1,954
,968
240,874
,000
,804
,586
umur * fase
,019
6
,003
Error
,048
12
,004
Total
1023,235
24
,000 ,184
Corrected Total
2,986 23 a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,969) Hipotesa Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 1,954>0,184) pH Duncan Subset umur umur panen 1,5-2tahun
N 8
1 6,48750
umur panen 2,5-3tahun
8
6,52250
umur panen 7bulan1tahun
8
6,55000
Sig.
,084
Alpha = ,05.
fase pH Duncan fase
N
Subset 1
2
3
postrigor
6
rigor
6
6,64333
busuk
6
6,70000
prerigor
6
Sig.
5,92667
6,81000 1,000
,147
1,000
Alpha = ,05.
ANOVA pH Sum of Squares 2,938
Between Groups Within Groups Total
df 11
Mean Square ,267
,048
12
,004
2,986
23
F 66,487
Sig. ,000
pH Duncan Interaksi2
N
Subset for alpha = .05
7
2
1 5,92000
11
2
5,92000
3
2
5,94000
10
2
6,62000
6
2
6,64000
2
2
6,67000
8
2
6,68000
12
2
6,70000
5
2
6,71000
6,71000
4
2
6,72000
6,72000
9
2
1
2
Sig.
2
3
4
6,85000
6,85000 6,87000
,769
,181
,057
,758
Lampiran 7. Tabel uji ragam ANOVA TVB Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TVB Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 1423,800(a)
11
Mean Square 129,436
6360,922
1
6360,922
4201,771
,000
2,941
2
1,471
,971
,406
1411,795
3
470,598
310,859
,000
9,064
6
1,511
,998
,469
Error
18,166
12
1,514
Total
7802,888
24
Intercept umur fase umur * fase
df
F 85,501
Sig. ,000
Corrected Total
1441,966 23 a R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,976) Hipotesa Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 0,971>0,406)
TVB Duncan Subset umur umur panen 2,5-3tahun
N 8
1 15,78500
umur panen 7bulan1tahun
8
16,52000
umur panen 1,5-2tahun
8
16,53500
Sig.
,269
Alpha = ,05. TVB Duncan fase
N
Subset
prerigor
6
rigor
6
postrigor
6
busuk
6
Sig.
1 7,28000
2
3
4
10,68000 20,72000 26,44000 1,000
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05. TVB Duncan Subset for alpha = .05 interaksi3 u1f1
2
1 7,28000
u2f1
2
7,28000
u3f1
2
7,28000
u1f2
2
10,64000
u2f2
2
10,70000
u3f2
2
10,70000
u1f3
2
20,72000
u2f3
2
20,72000
u3f3
2
20,72000
u3f4
2
u1f4
2
u2f4
2
Sig.
N
2
3
4
5
24,44000 27,44000 27,44000 1,000
,964
1,000
1,000
1,000
Lampiran 8. Tabel uji ragam ANOVA Enzim katepsin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Katepsin Type III Sum of Squares 6,031(a)
Source Corrected Model Intercept umur fase
df 11
Mean Square ,548
14,614
1
14,614
,160
2
,080
5,845
3
1,948
umur * fase
,026
6
,004
Error
,000
12
1,32E-005
Total
20,646
24
F 41643,020 1109930,3 29 6074,975 147974,31 2 333,388
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Corrected Total
6,031 23 a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000) Hipotesa Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel)
Katepsin Duncan umur
N
Subset
umur panen 2,5-3tahun
8
umur panen 1,5-2tahun
8
umur panen 7bulan1tahun
8
1 ,68325
2
3
,77475 ,88300
Sig.
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05. Katepsin Duncan fase
N
Subset
prerigor
6
rigor
6
busuk
6
postrigor
6
Sig.
1 ,28867
2
3
4
,44433 ,82200 1,56633 1,000
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05.
Lampiran 9. Tabel uji ragam ANOVA Konsentrasi protein katepsin
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KonsProt Type III Sum of Squares ,010(a)
Source Corrected Model
11
Mean Square ,001
5,648
1
5,648
umur
,001
2
,000
F 75,270 485876,16 1 32,591
fase
,009
3
,003
250,814
,100
umur * fase
,000
6
2,00E-005
1,724
,119
Error
,000
12
1,16E-005
Total
5,658
24
Intercept
df
Sig. ,000 ,000 ,405
Corrected Total
,010 23 a R Squared = ,986 (Adjusted R Squared = ,973) Hipotesa Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 32,591>0,405)
KonsProt Duncan umur
N
Subset
umur panen 2,5-3tahun
8
umur panen 1,5-2tahun
8
umur panen 7bulan1tahun
8
1 ,47938
2
3
,48325 ,49275
Sig.
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05. KonsProt Duncan fase
N
Subset 1 ,45867
2
3
prerigor
6
busuk
6
,48267
rigor
6
,48667
postrigor
6
Sig.
,51250 1,000
,065
1,000
Alpha = ,05.
ANOVA KonsProt Sum of Squares ,010
Between Groups
df 11
Mean Square ,001 ,000
Within Groups
,000
12
Total
,010
23
F 75,270
Sig. ,000
KonsProt Duncan interaksi 5 u3f1 u2f1 u1f1 u3f4 u2f4 u3f2 u2f2 u1f4 u1f2 u3f3 u2f3 u1f3 Sig.
Subset for alpha = .05 N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 ,45650 ,45750 ,46200
2
,47650 ,47950 ,48150
3
4
5
6
7
,47950 ,48150 ,48450
,150 ,188 ,188 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
,49200 ,49400 ,50300 ,51150 ,568
1,000
1,000
,52300 1,000
Lampiran 10 a. Data mentah nilai pH, TVB, Assay aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin ikan gurami
Sampel
TVB
pH
A B C A B C A B C A B C
7,28 7,28 7,28 10,64 10,64 10,64 20,72 20,72 20,72 27,44 27,44 27,44
6,87 6,85 6,85 6,67 6,64 6,62 5,94 5,92 5,92 6,72 6,68 6,70
Aktivitas Katepsin 0,333 0,300 0,233 0,533 0,433 0,367 1,733 1,533 1,333 0,933 0,833 0,700
Konsentrasi Protein 0.462 0.459 0.457 0.494 0.485 0.481 0.523 0.512 0.503 0.492 0.48 0.477
Lampiran10b. Persamaan linear konsentrasi protein enzim katepsin Konsentrasi BSA 0.025 0.05 0.075 0.1 0.125 0.15 0.175 0.2 0.225 0.25
OD 0.317 0.324 0.326 0.327 0.331 0.334 0.336 0.34 0.343 0.345
0.35 y = 0.1176x + 0.3161 R2 = 0.9844
0.345 0.34 0.335 0.33 0.325 0.32 0.315 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3