PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING
MOHAMMAD ZAENURI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN
MOHAMMAD ZAENURI. C34050673. Peranan Inhibitor Katepsin dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) pada Suhu Chilling. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan WINI TRILAKSANI. Kemunduran mutu ikan disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah karena aktivitas enzim protease katepsin. Enzim ini sangat berperan dalam proses penguraian protein yang menyebabkan pelunakan tekstur daging ikan. Aktivitas enzim dapat dihambat dengan inhibitor enzim. Salah satu fungsi dari inhibitor protease yang paling penting adalah mengontrol aktivitas protease. Inhibitor enzim dapat diperoleh dari jaringan daging ikan dengan cara memisahkan kompleks enzim-inhibitor dengan perlakuan pengasaman. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin, (2) penentuan daya hambat tertinggi berbagai konsentrasi inhibitor katepsin, dan (3) aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Pengamatan dilakukan terhadap dua kelompok ikan pada suhu chilling, yaitu ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor. Uji organoleptik dilakukan setiap 24 jam. Uji pH, TVB, TPC dilakukan pada fase pre rigor, rigor, post rigor dan busuk. Pengukuran aktivitas enzim, aktivitas inhibitor enzim dan pengukuran konsentrasi protein enzim maupun inhibitor dilakukan pada awal penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan, inkubasi inhibitor optimal pada suhu 80 ⁰C dengan aktivitas penghambatan 93,06%. Aktivitas penghambatan inhibitor alami tidak jauh berbeda dengan inhibitor kimia jenis pepstatin pada konsentrasi 1 µm. Pengenceran 1:1 mempunyai aktivitas penghambatan cukup tinggi (80,5%) dan lebih besar dibandingkan inhibitor dengan pengenceran yang lain sehingga cocok untuk digunakan dalam aplikasi. Lama proses kemunduran mutu pada ikan bandeng kontrol dalam penyimpanan suhu chilling terjadi selama 504 jam (21 hari) dengan interval waktu pengamatan 24 jam berturut-turut yaitu 0 jam (pre rigor), 96 jam (rigor mortis), 360 jam (post rigor), dan 504 jam (busuk). Pada ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor, lama proses kemunduran mutu terjadi selama 624 jam (26 hari) dengan waktu penyimpanan 0 jam (pre rigor), 144 jam (rigor mortis), 408 jam (post rigor), dan 624 jam (busuk). Nilai organoleptik ikan bandeng mengalami penurunan dari fase pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB. Nilai pH mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor hingga busuk.
PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Mohammad Zaenuri C34050673
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Peranan Inhibitor Katepsin dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) pada Suhu Chilling
Nama Mahasiswa
: Mohammad Zaenuri
NRP
: C34050673
Menyetujui,
Pembimbing I
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. NIP. 19700807 199603 2 002
Pembimbing II
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc NIP. 19610128 198601 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phil NIP. 19580511 198503 2 001 Tanggal Lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Peranan Inhibitor Katepsin dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) pada Suhu Chilling” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Februari 2010
Mohammad Zaenuri C34050673
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul ”Peranan Inhibitor Katepsin dalam Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) pada Suhu Chilling”. Penelitian ini berjalan atas pembiayaan dari program Hibah Bersaing 2009 atas nama Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc selaku komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan saran kepada penulis. 4. Ayah, ibu dan adik tercinta, atas semua doa, dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. 5. Seluruh staf dosen dan TU THP, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini. 6. Ibu Ema dan Rita (Laboran THP), mbak Selin dan mas Wahyu (FKH) yang telah banyak membantu selama penelitian. 7. Tim seperjuangan: Ari, Febri, Fahrul, mbak Tati dan mas Sefri, terima kasih atas semua bantuan tenaga dan semangat selama melakukan penelitian. 8. Pak Ucit beserta keluarga di Tangerang, terima kasih atas bantuannya selama pengambilan sampel penelitian.
9. Rekan-rekan THP 42 yang selalu memberikan bantuan atas dasar semangat persahabatan. Kebersamaan selama 4 tahun ini tak akan pernah terlupakan. 10. Kakak kelasku (THP 41) dan adik-adik kelasku (THP 43 dan THP 44) atas bantuannya selama ini. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Semoga
tulisan
ini
bermanfaat
bagi
semua
pihak
yang
memerlukannya.
Bogor, Februari 2010
Mohammad Zaenuri
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Mohammad Zaenuri, dilahirkan pada tanggal 29 Agustus 1986 di Pati, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari ayah bernama Achmadi dan ibu bernama Sarkinah. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri Genengmulyo 01 pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 01 Juwana dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan selanjutnya ditempuh di Madrasah Takhashushiyah PPMI Assalaam dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah PPMI Assalaam dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi koordinator asisten mata kuliah Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping dan Limbah Hasil Perairan (2008/2009) dan Diversifikasi dan Pengembangan Produk Perairan (2008/2009). Penulis pernah didanai oleh DIKTI dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang kewirausahaan tahun 2009. Penulis juga merupakan Mahasiswa Berprestasi Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada tahun 2008. Pada bulan Juli 2009 penulis melaksanakan praktek lapang di perusahaan pengolahan udang dengan judul “Sanitasi dan Higiene pada Pengolahan Udang Beku di PT Adijaya Guna Satwatama, Cirebon, Jawa Barat”. Selama masa kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi intra kampus seperti menjadi Kepala Divisi Internal Kebijakan Politik Perikanan Kelautan BEM FPIK IPB (2006/2007) dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN (2007/2008). Penulis pernah mengikuti berbagai pelatihan seperti ISO 22000:2005, Kepemimpinan Nasional, dan Kewirausahaan. Penulis merupakan penerima beasiswa Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri (2006-2008). Selain itu penulis juga aktif menjadi tenaga pengajar di lembaga bimbingan belajar Nurul Ilmi dan
pernah bekerja menjadi Management Trainee Sales dan Marketing di PT. Cahaya Sakti Multi Intraco (OLYMPIC GROUP). Penulis menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
dengan
judul
“Peranan
Inhibitor
Katepsin
dalam
Menghambat
Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) pada Suhu Chilling”, dibawah bimbingan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ir. Wini Trilaksani, M.Sc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
1. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan .................................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
3
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) .
3
2.2 Kemunduran Mutu Ikan ......................................................................
4
2.2.1 Tahapan post mortem................................................................ 2.2.2 Proses perubahan karena aktivitas enzim ................................. 2.2.3 Proses perubahan karena aktivitas mikroorganisme .................
6 7 9
2.3 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik..
9
2.4 Enzim ..................................................................................................
11
2.5 Enzim Katepsin ...................................................................................
11
2.6 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu ......................................
13
2.7 Inhibitor Enzim ...................................................................................
14
2.7.1 Mekanisme kerja inhibitor enzim ............................................. 2.7.2 Inhibitor katepsin ......................................................................
15 16
3. METODOLOGI ........................................................................................
18
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................
18
3.2 Bahan dan Alat Penelitian ...................................................................
18
3.3 Tahapan Penelitian ..............................................................................
18
3.3.1 Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin ............. 3.3.2 Penentuan daya hambat tertinggi berbagai konsentrasi inhibitor katepsin ...................................................................... 3.3.3 Aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu .....................................................................
19
3.4 Analisis................................................................................................
20
3.4.1 Uji aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ........................ 3.4.2 Pengujian inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) ....................... 3.4.3 Pengukuran konsentrasi protein enzim dan inhibitor (Bradford 1976) ........................................................................ 3.4.4 Uji organoleptik (BSN 2006) ...................................................
20 21
19 20
22 23
3.4.5 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989) ..................................... 3.4.6 Uji TPC (Fardiaz 1987) ............................................................ 3.4.7 Uji TVB (Apriyantono et al. 1989) ..........................................
24 24 25
3.5 Analisis Data ........................................................................................
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
28
4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin .....................
28
4.2 Penentuan Daya Hambat Tertinggi Berbagai Konsentrasi Inhibitor Katepsin ............................................................................................... 4.3 Aplikasi Inhibitor Katepsin dalam Menghambat Kemunduran Mutu 4.3.1 4.3.2 4.3.3 4.3.4 4.3.5
29 31
Penentuan tahap post mortem ................................................... Nilai organoleptik ..................................................................... Nilai pH ..................................................................................... Nilai TPC .................................................................................. Nilai TVB ..................................................................................
32 33 36 38 40
4.4 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan .........................................
43
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
45
5.1 Kesimpulan ..........................................................................................
45
5.2 Saran .....................................................................................................
45
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
46
LAMPIRAN ....................................................................................................
51
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kandungan gizi ikan bandeng .....................................................................
4
2. Enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan ......................
13
3. Pengaruh berbagai inhibitor terhadap enzim katepsin ................................
17
4. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml.......................
23
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) ...................................................
3
2. Perubahan yang terjadi setelah ikan mati ..................................................
5
3. Proses degradasi ATP oleh enzim .............................................................
8
4. Karakteristik inhibitor kompetitif .............................................................
16
5. Karakteristik inhibitor non kompetitif ......................................................
16
6. Hasil aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai suhu inkubasi ................
29
7. Perbandingan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran.....
30
8. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng ................................................
34
9. Rata-rata nilai pH ikan bandeng ................................................................
36
10. Rata-rata nilai log TPC ikan bandeng .......................................................
39
11. Rata-rata nilai TVB ikan bandeng.............................................................
41
12. Hubungan antar parameter kesegaran ikan kontrol (tanpa perendaman inhibitor)....................................................................................................
44
13. Hubungan antar parameter kesegaran ikan dengan perendaman inhibitor
44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Bahan-bahan ekstraksi dan pengukuran aktivitas enzim dan inhibitor katepsin.......................................................................................................
52
2. Kurva standar penentuan konsentrasi protein ............................................
53
3. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006)...........................
55
4a. Hasil uji ANOVA dan Duncan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai suhu inkubasi .............................................................................................
57
4b. Hasil uji ANOVA dan Duncan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran ...............................................................................................
57
5. Aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ..........
58
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Dengan luas perairan laut yang mencapai 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai 81.000 km, FAO telah menempatkan Indonesia menjadi produsen terbesar ketiga di dunia setelah China dan Peru dengan produksi perikanan sebesar 6,87 juta ton pada tahun 2005 (Hutagalung et al. 2007). Fakta menunjukkan bahwa produksi perikanan nasional selama periode 2005-2009 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 10,02% per tahun, yakni dari 6,87 juta ton (tahun 2005) menjadi 10,06 juta ton (tahun 2009). Salah satu penyumbang produksi perikanan tersebut berasal dari sektor budidaya yang telah menghasilkan 4.780.100 ton pada tahun 2009 yang didominasi oleh rumput laut 2.574.000 ton, nila 378.300 ton, udang 348.100 ton, bandeng 291.300 ton, ikan mas 254.400 ton, lele 200.000 ton, patin 132.600 ton, gurame 38.500 ton, kerapu 5.300 ton, dan kakap 4.600 ton (DKP 2009). Salah satu jenis ikan budidaya yang sangat diminati pasar adalah ikan bandeng. Ikan ini dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti konsumsi, umpan untuk memancing tuna, dan indukan. Kebutuhan konsumsi ikan bandeng cukup besar, yaitu mencapai 6 juta ekor per tahun (Warta Penelitian Perikanan Budidaya 2005). Dagingnya yang lembut dan enak sehingga disukai masyarakat, ikan bandeng mudah dibudidayakan dan banyak dijumpai di pasaran. Akan tetapi, dibalik besarnya potensi tersebut terdapat suatu permasalahan, yaitu dalam bentuk segar ikan bandeng mudah mengalami kemunduran mutu. Proses kemunduran mutu ikan bandeng diakibatkan oleh berbagai faktor baik dari luar maupun dalam tubuh ikan sendiri. Salah satu faktor dalam tubuh ikan yang menyebabkan terjadinya kemunduran mutu adalah adanya perombakan protein ikan oleh enzim katepsin ketika pH ikan mulai menurun (Govindan 1985). Selama ini, penghambatan kemunduran mutu ikan dilakukan dengan penyimpanan pada suhu chilling. Akan tetapi, pada suhu tersebut enzim katepsin masih aktif mengautolisis sehingga diperlukan suatu cara lain untuk mengurangi laju aktivitasnya. Salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah mencari senyawa inhibitor katepsin yang dapat diekstrak dari daging ikan bandeng dengan cara
memisahkan ikatan antara komplek enzim dan inhibitor untuk diaplikasikan dalam menghambat kemunduran mutu pada ikan bandeng.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: a) menentukan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin b) menentukan daya hambat tertinggi berbagai konsentrasi inhibitor katepsin c) mengaplikasikan inhibitor katepsin dalam menghambat proses kemunduran mutu ikan bandeng
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterigii
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chanos
Gambar 1. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) (Anonima 2009)
Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas ekspor yang dikenal dengan sebutan milkfish. Ikan ini memiliki karakteristik tubuh langsing seperti peluru dengan sirip ekor bercabang sebagai petunjuk bahwa ikan bandeng memiliki kesanggupan berenang dengan cepat. Tubuh ikan bandeng berwarna putih keperak-perakan dan dagingnya berwarna putih susu. Bentuk tubuh ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 1. Ikan bandeng di alam memiliki panjang tubuh mencapai 1 m. Namun ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak hanya mempunyai ukuran tubuh maksimal 0,5 m. Ikan bandeng memiliki daerah penyebaran sangat luas yaitu dari Pantai Afrika Timur sampai ke Kepulauan Tuamutu sebelah timur Tahiti dan dari Jepang Selatan sampai Australia Utara (Murtidjo 2002). Ikan bandeng mempunyai sifat euryhalien (tahan terhadap perubahan yang besar dari kadar garam dalam air), yang memungkinkan mereka untuk dipelihara
dalam air payau. Pada kadar garam tambak air payau tidak konstan, kehidupan ikan bandeng tidak terpengaruh (Soeseno 1983). Di tambak, ikan bandeng memakan klekap, yaitu suatu kehidupan kompleks (plant complex) yang tersusun dari berbagai jenis bakteri, alga hijau biru baik uniseluler maupun berfilamen dari familia Oscillatoria, semua jenis Diatomae dan potongan dari alga hijau. Dari kelompok hewan terdiri dari Protozoa, Entomostraca, Copepoda, cacing pipih, cacing bulat serta berbagai jenis Mollusca dan udang tingkat rendah yang bergabung dengan jenis tumbuhan dan membentuk biological complex (Purnomo dan Muchyiddin 2007). Adapun kandungan gizi ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng Zat gizi Kalori Protein Lemak Air Kalsium Posfor Besi Vitamin A Vitamin B6 Vitamin B12
Jumlah 126,0 17,4 5,7 60,2 43,4 138,0 0,3 85,0 0,4 2,9
Satuan kalori gram gram gram milligram milligram milligram milligram milligram milligram
Sumber: www.nutritiondata.com (2007)
2.2 Kemunduran Mutu Ikan Penanganan ikan memegang peranan penting dalam mempertahankan kesegaran ikan sebagai bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan lebih lanjut . Penanganan tersebut dimulai dari cara penangkapan atau pemanenan ikan yang baik, pengolahan, sampai proses distribusi kepada konsumen (Moeljanto 1992). Menurut Standar Nasional Inonesia (SNI) 01-2346-2006, ikan yang masih segar mempunyai ciri-ciri antara lain mata cerah, bola mata menonjol dan kornea jernih. Insang berwarna merah cemerlang dan tanpa lendir. Tekstur dagingnya padat, elastis, sayatan daging sangat cemerlang. Permukaan badannya mengkilat dengan lapisan lendir jernih dan berbau sangat segar sesuai jenisnya (BSN 2006).
Setelah ikan mati terjadi perubahan penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Perubahan mutu pada ikan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu enzim, bakteri dan biokimia (Govindan 1985). Perubahanperubahan yang terjadi pada ikan setelah mati dapat dilihat pada Gambar 2.
Ikan mati
Sistem syaraf dan hormon terhenti
Sirkulasi darah terhenti
Suplai vitamin, antioksidan, dll terhenti
Suplai oksigen terhenti
Keseimbangan osmotik rusak
Akumulasi bakteri
Potensial redoks menurun
Respirasi terhenti (glikogen-/ CO2)
Glikolisis terjadi (glikogen as. laktat)
Penurunan suhu
Penguraian fosfat berenergi tinggi
Penurunan pH
Pemadatan lemak
Permulaan rigor mortis
Denaturasi protein
Pembebasan dan pengaktifan katepsin
Protein melepaskan Ca2- dan mengikat K+ Oksidasi lemak dan ketengikan
Akumulasi, metabolit, pemicu flavor, dll
Perubahan warna
Penguraian protein
Pertumbuhan bakteri
Gambar 2. Perubahan yang terjadi setelah ikan mati (Eskin et al. 1990)
2.2.1 Tahapan post mortem Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan menyebabkan berbagai perubahan biokimia dan fisikokimia. Proses perubahan tersebut dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor (Eskin et al. 1990). Fase pre rigor merupakan tahap pertama dari post mortem ikan. Keadaan ini ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada fase ini, jaringan otot ikan menjadi lunak dan lembut dan secara biokimia dicirikan dengan mulai menurunnya jumlah ATP dan kreatin fosfat (Eskin et al. 1990). Tahap selanjutnya adalah rigor mortis. Perubahan pada fase ini merupakan akibat dari suatu rangkaian kimiawi yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun (Eskin et al. 1990). Rigor mortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak mampu lagi mempergunakan cadangan energi. Apabila ATP telah habis, maka daging akan semakin cepat mengalami rigor mortis. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan miosin saling menindih membentuk ikatan aktomiosin yang permanen sehingga otot tidak dapat diregangkan. Proses hilangnya daya regang otot sampai terbentuknya kompleks aktomiosin mula-mula berlangsung lambat, kemudian berlangsung secara cepat dan akhirnya berlangsung secara konstan dengan kecepatan rendah sampai terjadinya kekakuan. Apabila keratin fosfat sudah habis, maka lamanya perkembangan rigor mortis akan ditentukan oleh jumlah glikogen yang masih tersedia di dalam otot dan enzim-enzim glikolitik yang masih mampu bekerja (Soeparno 2005). Selain itu, proses rigor mortis juga diikuti oleh penurunan daya ikat air daging. Penurunan daya ikat air oleh protein daging ini dapat disebabkan oleh penurunan pH atau karena denaturasi protein sarkoplasmik (Lawrie 1995). Fase rigor mortis pada ikan lebih pendek daripada mamalia (Govindan 1985). Pada fase ini pH tubuh ikan turun menjadi 6,2–6,6 (Bramsnaes 1965).
Waktu rigor mortis pada ikan umumnya berkisar antara 1-7 jam setelah kematian yang disebabkan oleh banyak faktor. Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase ini tergantung pada spesies ikan, kondisi fisik ikan, derajat perjuangan ikan sebelum mati, ukuran, cara penangkapan, dan suhu selama penyimpanan (Eskin et al. 1990). Fase terakhir post mortem ikan adalah fase post rigor. Tahap ini ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase ini meliputi autolisis, pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan (Yunizal dan Wibowo 1998). Menurut penelitian Rustamaji (2009), pada fase ini enzim katepsin mengalami aktivitas yang optimum sehingga proses autolisis menjadi meningkat. Proses pembusukan ikan ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa basa volatil. Komponen utama total volatile base (TVB) adalah amoniak (NH3), trimetil amin (TMA), dan dimetil amin (DMA). Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi, yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Kondisi anaerob setelah ikan mati akan menyebabkan ATP terurai dengan melepaskan energi (Yunizal dan Wibowo 1998).
2.2.2 Proses perubahan karena aktivitas enzim Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif. Namun, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi, akibatnya enzim dapat merusak organ tubuh ikan. Peristiwa ini disebut autolisis atau proteolisis karena daging ikan sebagian besar mengandung protein yang diuraikan menjadi asam-asam amino. Selain itu, aktivitas enzim juga menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen flavor dan warna pada daging (diskolorisasi) (Ilyas 1983), penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Menurut Sikorski dan Sun Pan (1994), proses perubahan tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim dan mikroba yang menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Salah satu perubahan tersebut adalah terjadinya proteolisis miofibril. Selama penyimpanan pada suhu chilling, enzim dalam tubuh ikan menyebabkan hilangnya kesegaran ikan secara
bertahap dengan melemahkan struktur miofibril. Aktivitas enzim tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti menurunnya pH, konsentrasi ion kalsium bebas dan adanya inhibitor dalam tubuh ikan (Ladrat et al. 2004). Aktivitas enzim digunakan sebagai indikator perubahan kualitas ikan. Enzim-enzim tersebut berasal dari dalam tubuh ikan. Perubahan pada post mortem, pengolahan, thawing, penyimpanan suhu chilling dan pembekuan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organel seluler seperti mitokondria dan lisosom sehingga menyebabkan keluarnya enzim proteolisis (Gopakumar 2000). Ciri terjadinya perubahan autolisis ini adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir yang disebabkan oleh penguraian adenosine triphosphate (ATP) oleh enzimenzim dalam jaringan tubuh ikan. Proses penguraian ATP oleh enzim dapat dilihat pada Gambar 3.
Adenosin triphosphate
Adenosine diphosphate
(ATP)
(ADP) 1
Hipoksantin (Hx)
Adenosine monophosphate (AMP) 2
Inosin 5,6
(Ino)
3 Inosin monophospate
4
(IMP)
7 Santin (Xa)
Asam urea 8
Gambar 3. Proses degradasi ATP oleh enzim.1) ATPase; 2) Myokinase; 3) AMP deaminase; 4) Nukleotidase; 5) Nukleoside phosphorylase; 6) Inosine nucleosidase; 7,8) Xanthine oxidase (Gill 2000)
Untuk menghindari terjadinya autolisis, ikan dipanaskan pada kondisi suhu 60-80 ⁰C dalam waktu relatif singkat (5 menit) atau lebih dikenal dengan istilah blancing. Cara lain adalah dengan menurunkan suhu hingga 0 ⁰C atau lebih rendah lagi agar aktivitas enzim dapat dikurangi. Penggunaan suhu rendah lebih menguntungkan dibandingkan dengan blancing karena dengan cara ini kondisi ikan masih tetap segar (Afrianto dan Liviawaty 1989).
2.2.3 Proses perubahan karena aktivitas mikroorganisme Ikan segar dan produk perairan lainnya merupakan komoditas yang cepat mengalami kerusakan dibandingkan daging hewan lainnya. Mutu ikan menurun secara cepat disebabkan kontaminasi mikroba dari berbagai sumber terutama setelah mengalami kebusukan (Gram dan Huss 1996). Jumlah mikroba merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kelayakan ikan dikonsumsi oleh manusia. Mikroba tersebut dapat berupa virus, bakteri maupun parasit. Menurut Adawyah (2007), mikroorganisme yang dominan menyebabkan kerusakan ikan adalah bakteri karena ikan mempunyai kandungan protein dan kadar air yang tinggi serta pH daging yang mendekati netral sehingga menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi bakteri dapat terjadi ketika pemanenan, distribusi, peyimpanan maupun pengolahan (Sikorski dan Sun Pan 1994). Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau lukaluka yang terdapat pada kulit menuju jaringan daging dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam. Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi lebih pekat, bergetah, amis, mata terbenam dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan bau menusuk. Adapun jenis-jenis bakteri yang biasanya mencemari produk perikanan antara lain: Salmonella, Staphylococcus aureus, Vibrio parahaemolyticus, dan Escherichia coli (Prasetyawan 2008). Dalam pengawetan ikan semua usaha dilakukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri salah satunya adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah (chilling). Penyimpanan ikan pada suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim (Clucas dan Sutcliffe 1981). Lama kemunduran ikan yang disimpan pada suhu chilling dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti cara penangkapan atau pemanenan, higienitas selama pengolahan, dan rata-rata suhu chilling yang digunakan dalam penyimpanan (Sikorski dan Sun Pan 1994).
2.3 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik Proteinase atau dikenal juga dengan enzim proteolitik atau protease adalah enzim yang memiliki kemampuan untuk mendekomposisi protein (Govindan
1985). Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan ikan. Seperti halnya proteinase dari tanaman, hewan dan mikroorganisme, proteinase dari ikan melakukan aksi hidrolisis dan memecah ikatan peptida dengan molekul air sebagai reaktan (Simpson 2000). Protein yang mengalami denaturasi akan labil terhadap serangan enzimenzim proteolitik. Selama fase post mortem, enzim-enzim memecah tenunan pengikat (protein) menjadi asam-asam amino penyusunnya. Salah satu enzim proteolitik yang berperan dalam penguraian protein adalah katepsin (B, D, H, dan L) dari lisosom yang optimum dengan pH di bawah 6. Katepsin B dan L merupakan enzim yang mampu mendegradasi protein-protein urat daging lebih baik daripada jenis katepsin yang lain (Lawrie 1995). Aktivitas enzim pada ikan tergantung dari beberapa hal seperti spesies ikan, macam produk (round fish, fillet utuh, skinless), cara dan kondisi penyimpanan. Sebagai contoh, fillet ikan yang telah dithawing dan disimpan dalam es mempunyai aktivitas enzim yang lebih tinggi daripada fillet ikan segar (Rehbein dan Cakli 2000). Tingkat proteolisis juga dipengaruhi oleh pH dan temperatur. Pada suhu 37 ⁰C, aktivitas proteolitik lebih besar daripada suhu 5 ⁰C (Lawrie 1995). Menurut caranya dalam mengkatalisis protein, enzim proteolitik pada ikan diklasifikasikan menurut 4 kategori, yaitu proteinase aspartat, proteinase serin, thiol atau cystein proteinase dan metalloproteinase. Enzim proteolitik juga diklasifikasikan berdasarkan sensifitas pH seperti asam, netral atau protease alkalin. Pada saat ini, proteinase banyak digunakan dalam industri makanan untuk meningkatkan karakteristik produk, tekstur cereal, pelunakan daging, recovery protein tulang dan hidrolisa protein darah. Akan tetapi, sejauh ini penggunaan proteinase dari hewan laut sangat terbatas. Hal ini disebabkan kurangnya informasi tentang enzim tersebut dan dihadapkan dengan masalah ketersediaan sumber bahan baku yang harus kontinyu. Spesies ikan yang berbeda dengan kondisi habitat yang berbeda (suhu, tekanan, salinitas, intensitas cahaya, aerasi) menyebabkan genetika yang berbeda sehingga dihasilkan proteinase yang unik/tertentu, berbeda dengan enzim dari hewan terestrial, tanaman dan mikroorganisme (Simpson 2000).
2.4 Enzim Enzim adalah molekul non hayati yang disekresikan oleh semua sel hidup, baik tanaman, hewan dan mikroba. Di dalam sel, enzim ini memudahkan ribuan reaksi kimia yang memungkinkan sel untuk hidup, memperbaiki dan membuang produk limbahnya, serta berkembang biak (Suhartono 1988). Karena enzim adalah protein, faktor-faktor yang dapat mengubah konformasi protein juga dengan sendirinya potensial untuk mengubah konformasi enzim. Keadaan pH, suhu, kekuatan ion, dan polaritas larutan, serta adanya logam yang bersifat destruksif harus diperhatikan apabila melakukan isolasi enzim, artinya memisahkan enzim dari lingkungan sel hidup yang ringan tersebut. Menurut Suhartono (1988) ada empat sifat khas enzim, yaitu: sangat aktif, walaupun konsentrasinya amat rendah sangat selektif bekerja pada keadaan reaksi yang ringan (tanpa suhu atau tekanan tinggi) hanya aktif pada selang suhu atau pH yang sempit. Enzim adalah katalisator sejati. Molekul ini meningkatkan dengan nyata kecepatan reaksi kimia spesifik yang tanpa enzim akan berlangsung amat lambat. Enzim memiliki tenaga katalitik luar biasa yang biasanya jauh lebih besar dari katalisator sintetik. Spesifitas enzim amat tinggi terhadap substratnya, enzim mempercepat reaksi kimiawi spesifik tanpa pembentukan produk samping, dan molekul ini berfungsi di dalam larutan encer pada keadaan suhu dan pH normal (Lehninger 1998). Jika enzim mengkatalisis reaksi suatu senyawa, senyawa tersebut dinamakan substrat bagi enzim. Substrat melekat pada enzim dengan ikatan non kovalen membentuk kompleks enzim-substrat. Pelekatan terjadi pada bagian enzim yang dinamakan sisi aktif (active site). Tapak atau sisi aktif enzim merupakan bagian dari struktur tiga dimensi enzim yang nyatanya hanya terdiri dari beberapa asam amino saja (Suhartono 1988).
2.5 Enzim Katepsin Enzim proteolitik (proteinase) diklasifikasikan dalam dua famili utama, yaitu eksopeptidase dan endopeptidase. Dalam jaringan otot, katepsin dan enzim
hidrolisis lainnya ditempatkan pada organel subseluler atau lisosom. Menurut pH optimumnya, enzim proteolitik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu protease asam, netral dan basa. Protease asam atau disebut juga lysosomal cathepsin terdiri dari berbagai macam enzim katepsin, seperti katepsin A, B, C, D, E, H, dan L (Choi et al. 2005). Menurut sisi aktif dari asam aminonya, katepsin dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sistein (katepsin B, C, H, F, K, L, O, S, V, W), aspartat (katepsin D, E), dan serine (katepsin G) (Duve 1983). Katepsin dikenal sebagai famlili endopeptidase dan atau eksopeptidase. Banyak katepsin optimal pada pH asam walaupun beberapa diantaranya paling aktif pada pH netral (Haard 1994). Macam katepsin diklasifikasikan menjadi katepsin A, B, C dan seterusnya tergantung pada aktivitas dengan substrat sintesik yang spesifik. Katepsin A termasuk jenis eksopeptidase yang mempunyai pH optimum 5-6 dan tidak aktif dalam kondisi panas dan alkali. Katepsin ini telah didapatkan dari beberapa jaringan ikan seperti bandeng yang aktif pada pH 7 dan cod pada pH 5. Katepsin B mempunyai aktivitas optimum pada pH 5,5-6 dan mulai tidak stabil pada pH diatas 7. Katepsin ini dapat mendegradasi jaringan aktin, miosin, dan troponin. Jenis katepsin ini telah ditemukan pada berbagai jenis ikan antara lain: gurame, grey mullet, tilapia dan mackerel. Aktivitas katepsin B mengalami penurunan pada saat fase post mortem dalam penyimpanan suhu dingin. Katepsin C dikenal dengan sebutan dipeptida aminopeptidase dan dipeptida transferase. Katepsin ini mempunyai aktivitas optimum pada pH 6-7. Menurut Haard (1994), aktivitas katepsin C berpengaruh terhadap flavor ikan yang difermentasi. Katepsin D mempunyai aktifitas optimal pada pH 3,5. Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa katepsin D hanya mengautolisis jaringan ikan pada spesies tertentu. Penelitian Sakai dan Matsumoto et al. (1981) diacu dalam Haard (1994) mendapatkan bahwa katepsin D berperan dalam autolisis jaringan cumi-cumi Pasifik tetapi tidak pada jaringan cumi-cumi Atlantik. Berbagai enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan Enzim Katepsin B
Famili Sistein
Aktivitas Endopeptidase
Katepsin H
Sistein
Endopeptidase
Katepsin J
Sistein
Endopeptidase
Katepsin L
Sistein
Endopeptidase
Katepsin C (Dipeptidil peptidase I) Dipeptidil peptidase II Katepsin D
Sistein
Endopeptidase
Sistein
Endopeptidase
-
Aspartat
Endopeptidase
Aspartat
Endopeptidase
Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan -
Serin
Eksopeptidase
Sistein
Eksopeptidase
γ-glutamil karboksipeptidase Katepsin A dan I Katepsin S
Proses dan asal enzim Diidentifikasi pada berbagai spesies ikan Diidentifikasi pada otot ikan salmon Diidentifikasi pada otot ikan salmon dan mackerel Diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan
Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan Diidentifikasi pada otot ikan mackerel
Sumber: Goll et al. (1989) diacu dalam Haard (1994)
2.6 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Setelah ikan mati, sirkulasi darah menjadi terhenti dan suplai oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga pH tubuh ikan menurun. Nilai pH yang menurun mengakibatkan enzim katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif dalam menguraikan protein (Eskin et al. 1990). Proteolisis yang disebabkan oleh katepsin dapat meningkatkan pelunakan selama fase post mortem daging. Aktivitas utama katepsin tersebut dikhususkan pada protein sarkoplasma (Bate-Smith 1948 diacu dalam Eskin et al. 1990). Enzim protease menyerang ketika protein sarkoplasma mulai terdenaturasi saat kondisi post mortem. Katepsin berperan secara umum dalam pergantian protein, pertumbuhan sel dan jaringan homeostasis (Partanen 2006). Katepsin B yang dihasilkan dari otot dorsal ikan mackerel dapat menghidrolisis berbagai peptida dan membebaskan tripeptida dan dipeptida. Jenis katepsin ini juga menyerang protein miofibril, mendegradasi miosin serta
menghidrolisis aktin dan troponin T pada pH 6,0. Katepsin B yang dimurnikan dari ikan chum salmon mempunyai kemampuan menghidrolisis miosin, connectin dan nebulin. Katepsin B adalah enzim proteolitik yang paling aktif dalam fillet ikan (Jiang 2000). Katepsin D adalah protease lisosomal yang mempunyai peran penting dalam katabolisme protein (Jakimiec et al. 2004). Jenis katepsin ini termasuk dalam endopeptidase aspartat seperti halnya katepsin E, pepsin, gastrixin dan rennin yang dapat mendegradasi dan mendenaturasi sel protein (Gacko et al. 2007). Haard (1994) menyatakan bahwa katepsin D dapat menghidrolisis protein pada kondisi asam tetapi tidak pada pH netral. Katepsin disinyalir tidak bertanggung jawab pada pelunakan daging. Alasannya adalah lisosomal protease masih terdapat dalam lisosom dan tidak mempunyai akses kepada miofobril atau sitosol. Akan tetapi, turunnya pH selama glikolisis saat post mortem melemahkan dinding organel seperti lisosom yang menyebabkan terbebasnya proteinase lisosomal seperti katepsin B, H dan L yang mempunyai pH optimal antara 5,5-6,5 (Koohmaraie 1996 diacu dalam Jiang 2000).
2.7 Inhibitor Enzim Inhibitor enzim adalah substansi yang mengurangi ukuran rata-rata reaksi katalis enzim (Whitaker 1994 diacu dalam Carreno dan Cortes 2000). Hampir semua enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimia tertentu. Penelitian mengenai senyawa penghambat enzim memberikan informasi yang berguna tentang spesifitas substrat enzim, sifat-sifat alamiah gugus fungsional pada sisi aktif, dan mekanisme aktivitas katalitik (Lehninger 1998). Inhibitor enzim diperoleh dari berbagai macam organisme termasuk bakteri, tanaman, dan hewan. Kebanyakan inhibitor protease alami adalah protein atau peptida. Protein ini berfungsi sebagai regulator enzim proteolitik dalam tubuh sebagaimana perlindungan terhadap hal-hal penganggu. Protein tersebut dapat dikelompokkan sebagai inhibitor aspartat, sistein, serine, dan metalloprotease (Grzywnowicz dan Sobczyk 2006). Lebih dari 100 jenis inhibitor potein alami telah berhasil diidentifikasi dan lebih banyak lagi jenis yang telah berhasil
disintesis. Inhibitor enzim dibagi menjadi tiga kelas, yakni pertama adalah inhibitor yang bereaksi dengan lebih dari satu kelas protein, kedua adalah inhibitor yang spesifik terhadap satu kelas proteinase, dan ketiga adalah inhibitor yang memperlihatkan selektivitas yang tinggi terhadap satu jenis proteinase (Creighton 1989).
2.7.1 Mekanisme kerja inhibitor enzim Aktivitas enzim proteolitik dikontrol oleh beberapa mekanisme termasuk penghambat enzim yaitu inhibitor protease. Penghambatan enzim dapat bersifat reversible (dapat balik) atau irreversible (tidak dapat balik). Penghambatan yang bersifat irreversible, aktifitas enzimnya tidak dapat diperoleh kembali secara fisik, sedangkan pada penghambatan yang bersifat reversible aktivitas enzimnya diregenerasi oleh pemindahan molekul inhibitor. Salah satu fungsi dari inhibitor protease yang paling penting adalah mengontrol aktivitas protease yang memainkan peranan dalam mengontrol fungsi protein dan polipeptida (Carreno dan Cortes 2000). Penghambat tak dapat balik adalah golongan yang bereaksi dengan atau merusakkan suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya. Suatu contoh dari penghambat tak dapat balik adalah senyawa
diisoprofilfluorofosfat
(DFP)
yang
menghambat
enzim
asetilkolinesterase yang penting di dalam transmisi impuls syaraf. Penghambat enzim dapat balik memberikan banyak informasi penting mengenai struktur aktif berbagai enzim. Penghambatan dapat balik dapat dibedakan menjadi penghambat kompetitif dan non kompetitif. Ciri penghambat kompetitif adalah dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal sehingga “menipu” enzim untuk berikatan. Penghambat kompetitif dapat dianalisis secara kuantitatif oleh teori Michaelis-Menten. Penghambat kompetitif I hanya berikatan secara dapat balik dengan enzim membentuk suatu kompleks EI. Akan tetapi, penghambat I tidak dapat dikatalisa oleh enzim untuk menghasilkan produk yang baru (Lehninger 1998). Karakteristik penghambat (inhibitor) kompetitif dapat dilihat pada Gambar 4.
inhibitor kompetitif
substrat sisi aktif
substrat sisi aktif diblok tidak jadi produk
Gambar 4. Karakteristik inhibitor kompetitif (Anonimb 2009)
Pada penghambatan non kompetitif, penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan dan mengubah bentuk tiga dimensi enzim sehingga mengurangi aktivitas katalis. Penghambat non kompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks ES, membentuk kompleks EI dan ESI (Hames dan Hooper 2005). Karakteristik penghambat (inhibitor) non kompetitif dapat dilihat pada Gambar 5. inhibitor non kompetitif substrat sisi aktif
substrat sisi aktif berubah tidak bereaksi
Gambar 5. Karakteristik inhibitor non kompetitif (Anonimb 2009)
2.7.2 Inhibitor katepsin Inhibitor katepsin kebanyakan termasuk dalam golongan inhibitor pada sistein proteinase (cystatin) walaupun ada juga yang termasuk dalam serine dan aspartat proteinase. Selain menghambat katepsin, inhibitor ini juga menghambat enzim yang lain seperti ficin, papain dan calpain. Inhibitor tersebut digunakan untuk mengontrol autolisis jaringan ikan. Pada surimi, inhibitor ini ditambahkan untuk menghambat aktivitas enzim katepsin yang dapat menghambat kemampuan pembentukan gel (Choi et al. 2005). Beberapa penelitian telah menghasilkan inhibitor alami enzim katepsin. Salah satunya adalah inhibitor katepsin D yang telah berhasil dihambat dengan pepstatin dan inhibitor dari benih tanaman kentang (Worowski dan Ostrowska 1980 diacu dalam Jakimiec et al. 2004). Pepstatin merupakan salah satu inhibitor
yang efektif untuk menghambat pergerakan enzim katepsin (Dinu et al. 2002). Hasil uji berbagai inhibitor untuk menghambat aktivitas enzim katepsin disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 . Pengaruh berbagai inhibitor terhadap enzim katepsin Inhibisi (%) Komponen
Konsentrasi Katepsin I
Katepsin II
Idoacetic acid
10 mM
5,3
4,5
Iodoacetic amide
10 mM
4,1
4,6
Phenylmethanesulphonyl fluoride
10 mM
6,2
3,4
Diisopropyl phosphofluoridate
1 mM
2,5
3,5
Pepstatin
1 µM
98,2
97,5
Sumber: Dinu et al. (2002)
Hal yang serupa juga didapatkan dari penelitian Apriyanti (2007) yang mendapatkan hasil bahwa pepstatin merupakan inhibitor kimia yang cocok untuk menghambat enzim katepsin. Pepstatin dengan konsentrasi 5 µm mampu menekan laju aktivitas enzim katepsin sebesar 92,71%. Selain berasal dari senyawa kimia, inhibitor katepsin juga dapat diperoleh dari bahan alami. An et al. (1995) telah menemukan bahwa inhibitor katepsin dapat diisolasi dari daging ikan Pacific Whiting (Merluccicus productus) dengan cara memisahkan kompleks enzim-inhibitor dengan perlakuan pengasaman.
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan September 2009 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia, Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama berupa daging ikan bandeng (Chanos chanos) ukuran konsumsi (1 kg = ± 5 ekor) dari Tambak Bapak Ucit, Tanjung Pasir, Tangerang. Bahan-bahan untuk analisis pH (larutan buffer standar pH 4 dan pH 7, akuades), analisis TPC (larutan garam 0,85% steril, nutrient agar), analisis TVB (H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7%, HCl 0,01 N). Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin adalah buffer tris HCl (pH 7,4), assay aktivitas enzim katepsin (hemoglobin, tirosin, akuades, TCA 5%, pereaksi folin) dan pengukuran konsentrasi protein enzim bovine serum albumin (BSA), coomasie briliant blue G-250, etanol 95% (v/v), asam fosfat 85% (w/v), dan akuades. Bahan-bahan untuk ekstraksi inhibitor katepsin adalah akuades, sodium fosfat dan asam sitrat (Lampiran 1). Alat-alat yang digunakan, yaitu refrigator, inkubator (Termolina), oven (Yammato),
sentrifuse
Sorvall,
spektrofotometer
(Yamato),
mikropipet
(Pipetman), tip, timbangan analitik, homogenizer, magnetic stirrer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, spatula, tabung reaksi, cawan petri, erlenmeyer, gelas ukur, pH meter, kapas, tissue, aluminium foil, bunsen, beaker glass dan peralatan gelas lainnya, serta peralatan uji organoleptik.
3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin, (2) penentuan daya hambat tertinggi berbagai
konsentrasi inhibitor katepsin dan (3) berupa aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu ikan.
3.3.1 Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin Ekstraksi inhibitor katepsin pada berbagai suhu inkubasi bertujuan untuk mendapatkan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin dari daging ikan. Proses ekstraksi ini dilakukan pada saat ikan dalam kondisi pre rigor dengan metode An et al. (1995). Pertama dilakukan preparasi untuk mendapatkan daging ikan. Kemudian daging tersebut dicincang sampai halus dan dihomogenisasikan pada suhu 0-4 ⁰C. Selanjutnya ekstrak daging hasil homogenisasi disentrifugasi pada 5000 g selama 30 menit dengan sentrifuse Sorvall (Dupont Co., Newton, CT). Supernantan yang dihasilkan dikombinasikan dengan volume yang sama dengan buffer Mcllvaine (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat), pH 5,5. Campuran ini dipanaskan pada berbagai suhu inkubasi yaitu 60 ⁰C, 70 ⁰C, 80 ⁰C dan 90 ⁰C selama 10 menit untuk kemudian disentrifugasi pada 7000 g selama 15 menit menggunakan sentrifuse Sorvall . Supernantan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar inhibitor katepsin untuk kemudian diukur aktivitas penghambatannya melalui metode Dinu et al. (2002).
3.3.2 Penentuan daya hambat tertinggi berbagai konsentrasi inhibitor katepsin Setelah mendapatkan suhu inkubasi yang tepat dalam melakukan ekstraksi inhibitor katepsin. Langkah selanjutnya yaitu melakukan penentuan daya hambat tertinggi berbagai konsentrasi inhibitor katepsin untuk memperoleh konsentrasi inhibitor yang terbaik dalam menghambat enzim katepsin. Konsentrasi yang diberikan merupakan perbandingan antara inhibitor dengan buffer Mcllvaine (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat) yaitu (1:0, 1:1, 1:2 dan 1:3). Masing-masing konsentrasi
diukur
aktivitas
penghambatan
dan
konsentrasi
menggunakan metode Dinu et al. (2002) dan Bradford (1976).
proteinnya
3.3.3 Aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu Setelah didapatkan inhibitor katepsin dengan konsentrasi pengenceran yang efektif, langkah selanjutnya adalah aplikasi inhibitor tersebut terhadap sampel berupa ikan bandeng (Chanos chanos). Aplikasi ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kesegaran ikan bandeng yang telah direndam dalam larutan inhibitor. Pada aplikasi ini perendaman ikan bandeng dilakukan dalam larutan inhibitor dengan lama waktu perendaman selama 1 jam. Analisis tingkat kesegaran ikan pada tahap aplikasi ini meliputi penilaian organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (Badan Standardisasi Nasional 2006), uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989), perhitungan TVB (Apriyantono et al. 1989), serta penghitungan jumlah total bakteri dengan menggunakan metode TPC (Fardiaz 1987).
3.4 Analisis Sebelum dilakukan aplikasi, berbagai analisis dilakukan antara lain pengujian aktivitas enzim katepsin, pengujian aktivitas inhibitor katepsin, serta pengukuran konsentrasi protein enzim dan inhibitor. Pada saat aplikasi dilakukan analisis terhadap tingkat kesegaran ikan yang meliputi penilaian organoleptik, penentuan nilai pH, perhitungan total bakteri dengan menggunakan metode TPC, serta perhitungan TVB.
3.4.1 Uji aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002) Pertama dilakukan preparasi ikan untuk memperoleh dagingnya dengan cara ikan dimatikan, kemudian ikan dibedah dengan cepat dan dagingnya dicuci untuk menghilangkan darah. Jaringan daging yang diambil dari bagian punggung ikan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan daging ikan dan akuades sebesar 1:1, lalu dihomogenisasikan pada suhu 0-4 ⁰C. Selanjutnya ekstrak daging hasil homogenisasi ini disentrifugasi pada 600 g selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada 10.000 g selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan dari sentrifugasi ini kemudian dilarutkan dalam 0,1 M buffer tris HCl pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi dan
disetrifugasi pada 4.000 g selama 10 menit. Supernatan tersebut merupakan ekstrak kasar enzim yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut. Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji dengan menggunakan hemoglobin terdenaturasi asam sebagai substratnya. Sebanyak 2 mg hemoglobin dilarutkan dalam 95 ml akuades. pH dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2% dengan akuades. Larutan substrat 1 ml diinkubasi dengan 0,2 ml larutan enzim pada 37 ⁰C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5%. Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut ditambahkan dengan 1 ml pereaksi folin serta diukur pada spektrofotometer λ 750 nm. Dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko enzimnya digantikan dengan akuades dan larutan standar menggunakan tirosin. Aktivitas enzim protease dapat dihitung dengan rumus berikut: UA = Absorbansi sampel – absorbansi blanko x P x 1 Absorbansi standar – absorbansi blanko T Keterangan: P = faktor pengenceran; T = waktu inkubasi
3.4.2 Pengujian inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) Pengujian inhibitor katepsin dilakukan terhadap enzim yang memiliki nilai aktivitas terbesar. Prosedurnya yaitu 0,1 ml enzim dicampurkan dengan 0,1 ml larutan inhibitor (enzim : inhibitor = 1:1). Campuran diinkubasi pada suhu 37 ⁰C selama 30 menit. Substrat hemoglobin terdenaturasi asam 0,5 ml ditambahkan pada campuran dan diinkubasi kembali pada 37 ⁰C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan TCA 5%. Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut ditambah dengan 1 ml pereaksi folin, serta diukur pada spektrofotometer λ 750 nm. Dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar, enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Aktivitas penghambatan inhibitor katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut:
UA = Absorbansi sampel – absorbansi blanko x P x 1 Absorbansi standar – absorbansi blanko T Keterangan: P = faktor pengenceran; T = waktu inkubasi % inhibisi = [1-Aktivitas enzim ditambah inhibitor ] x 100% Aktivitas enzim tanpa inhibitor 3.4.3 Pengukuran konsentrasi protein enzim dan inhibitor (Bradford 1976) Konsentrasi protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradford dengan bovine serum albumin (BSA) sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml etanol 95%, lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85% (w/v). Jika telah larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 0,5 liter dan disaring dengan kertas saring Whatman no.1 dan diencerkan lima kali sesaat sebelum digunakan. Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan cara 0,1 ml enzim dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama lima menit dan diukur dengan spektrofotometer λ 595 nm. Demikian pula untuk mengukur konsentrasi protein inhibitor. Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam kurva standart Bradford untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung dalam sampel enzim dan inhibitor (Lampiran 2). Larutan standar dibuat dengan cara melarutkan 100 mg protein BSA ke dalam 50 ml akuades, sebagai larutan stok dengan konsentrasi 2 mg/ml. Kemudian larutan stok diencerkan menjadi beberapa larutan dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu 0,1–1,0 mg/ml. Komposisi volume larutan dalam pembuatan larutan standar konsentrasi 0,1–1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1–1,0 mg/ml Konsentrasi BSA (mg/ml) 0,1
Volume BSA (ml) 0,05
Volume akuades (ml) 0,95
0,2
0,10
0,90
0,3
0,15
0,85
0,4
0,20
0,80
0,5
0,25
0,75
0,6
0,30
0,70
0,7
0,35
0,65
0,8
0,40
0,60
0,9
0,45
0,55
1,0
0,50
0,50
Sumber: Bradford (1976)
3.4.4 Uji organoleptik (Badan Standardisasi Nasional 2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (Lampiran 3). Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat obyektif mengunakan indera yang ditujukan pada mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur. Pada uji organoleptik ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh panelis (SNI 012346-2006), antara lain: tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna (psikologis), tidak merokok, serta jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (panelis semi terlatih). Dari data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut: Segar
: nilai organoleptik berkisar antara 7-9
Agak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 5-6
Tidak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 1-3
3.4.5 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989) Analisis derajat keasaman (pH) ditentukan menggunakan alat pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi terlebih dahulu. Alat pH meter dinyalakan dan dibiarkan stabil selama 15-20 menit, kemudian elektroda dibilas dengan larutan buffer atau akuades. Bila menggunakan akuades, elektroda dikeringkan dengan kertas tissue. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan buffer dan didiamkan beberapa saat hingga diperoleh pembacaan yang stabil. Angka pH meter disesuaikan dengan pH buffer, yaitu buffer pH 4 dan buffer pH 7. Sampel sebanyak 10 gram yang diambil dari bagian daging dinding perut ikan dihancurkan dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilat, lalu diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi.
3.4.6 Uji TPC (Fardiaz 1987) Prinsip kerja analisis TPC adalah perhitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 g sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari daging ikan, lalu dimasukkan ke dalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85% steril, kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85% steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan kedalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan kedalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 30 ⁰C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada didalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri 30-300 koloni.
3.4.7 Uji TVB (Apriyantono et al. 1989) Prinsip dari analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatile (amin, mono-, di-, dan trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl. Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 g sampel yang diambil dari daging ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7% dan dihomogenkan selama 1 menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel maka dilakukan uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam inner chamber cawan Conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan memakai pipet 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh ditambahkan kedalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup dengan sebelumnya pinggir cawan diolesi vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7%. Kemudian kedua cawan Conway tersebut diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 ⁰C. Setelah diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan Conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,01 N dan cawan digoyang-goyangkan sampai larutan asam borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan Conway yang berisi sampel juga dititrasi dengan larutan yang sama dengan blanko. Kadar TVB dapat dihitung menggunakan rumus: % N (mg n/100g) = (j – i) x N HCl x
100 x fp x 14 mg N/100 g g contoh 1
Keterangan: j : ml titrasi sampel
fp : faktor pengenceran
i : ml titrasi blanko
N : normalitas HCl (0,01 N)
3.5 Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu perlakuan, yaitu ekstraksi inhibitor
katepsin yang diinkubasi pada berbagai suhu (60 ⁰C, 70 ⁰C, 80 ⁰C dan 90 ⁰C) dengan dua kali ulangan dan pengenceran inhibitor pada berbagai konsentrasi (1:0, 1:1, 1:2, dan 1:3) dengan dua kali ulangan. Model linear untuk rancangan acak lengkap yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2002): Yij = µ + τi + εij i = faktor (i = 1,2,3,4) j = ulangan (j = 1,2) keterangan: Yij = respon percobaan karena pengaruh berbagai suhu inkubasi/pengenceran pada faktor ke-i dan ulangan ke-j µ
= rataan umum
τi
= pengaruh faktor perlakuan (berbagai suhu inkubasi/pengenceran) pada taraf ke-i
εij = pengaruh
galat
percobaan
karena
faktor
berbagai
suhu
inkubasi/pengenceran pada taraf ke-i dan ulangan ke-j hipotesis: H0 = semua perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap aktivitas inhibisi H1 = semua perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas inhibisi Data parametrik dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika hasil analisis menunjukkan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Adapun perhitungan untuk uji lanjut Duncan sebagai berikut:
keterangan: KTG = nilai kuadrat tengah galat r
= jumlah ulangan
rp
= ditentukan dari tabel
Analisis data yang digunakan dalam penelitian lanjutan ialah menggunakan analisis deskriptif dengan membandingkan antara ikan perlakuan perendaman inhibitor dan ikan kontrol (tanpa perendaman inhibitor) menggunakan microsoft excel 2007 dan SigmaPlot 10.0.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Inhibitor katepsin diekstraksi pada berbagai suhu inkubasi dengan menggunakan metode An et al. (1995). Proses ekstraksi ini dilakukan sesaat setelah ikan mati (dalam kondisi pre rigor) ketika enzim katepsin masih belum aktif. Pada fase ini komplek enzim dan inhibitor masih terikat sehingga perlu dilakukan ekstraksi dengan perlakuan pengasaman untuk memisahkannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah menjadi terhenti dan suplai oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga pH tubuh ikan menurun. Nilai pH yang menurun mengakibatkan enzim katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Eskin et al. 1990). Ekstraksi inhibitor katepsin pada berbagai suhu inkubasi bertujuan untuk mendapatkan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin. Proses ekstraksi 100 gram daging ikan bandeng dapat menghasilkan larutan inhibitor sebanyak 150 ml. Suhu yang digunakan untuk ekstraksi adalah 60 ⁰C, 70 ⁰C, 80 ⁰C dan 90 ⁰C. Pada saat peristiwa pembentukan gel daging ikan fase modori (50-60 ⁰C) terjadi peningkatan aktivitas protease. Dalam pembuatan kamaboko suhu tersebut harus dihindari agar tidak terjadi pelunakan gel surimi (Niwa 1992 diacu dalam Visessanguan 2000). Penelitian Jiang (2000) menyebutkan bahwa pelunakan gel pada fase modori terjadi pada suhu 50-70 ⁰C. Pelunakan gel terjadi bervariasi tergantung dari spesies ikan. Proses pelunakan gel tersebut pada umumnya disebabkan oleh aktivitas enzim katepsin yang aktif pada fase modori (50-70 ⁰C). Oleh karena itu berbagai perlakuan suhu inkubasi diperlukan untuk mengetahui aktivitas terbaik ekstrak kasar inhibitor katepsin dengan cara mengurangi atau menonaktifkan enzim katepsin terlebih dahulu. Hasil uji aktivitas inhibisi (penghambatan) katepsin dengan berbagai perlakuan suhu inkubasi disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa aktivitas inhibisi dari suhu 60 ⁰C semakin meningkat sampai pada suhu 80 ⁰C dan turun kembali pada suhu 90 ⁰C. Pada suhu 60 ⁰C rata-rata aktivitas inhibisi sebesar 57,49%, suhu 70 ⁰C sebesar 85,38%, suhu 80 ⁰C sebesar 93,06% dan suhu 90 ⁰C sebesar 78,44%. Berdasarkan
uji statistik, suhu inkubasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas inhibisi (Sig.<0,05) sehingga dilakukan uji lanjut untuk melihat adanya perbedaan pengaruh masing-masing suhu terhadap aktivitas inhibisi (Lampiran 4a). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa suhu inkubasi 80 ⁰C berbeda nyata dengan suhu inkubasi 60 ⁰C dan 90 ⁰C serta tidak berbeda nyata dengan suhu inkubasi 70 ⁰C. Suhu inkubasi 80 ⁰C merupakan suhu inkubasi terbaik dengan aktivitas inhibisi sebesar 93,06%. Hal ini disebabkan pada suhu 60-70 ⁰C masih terjadi aktivitas enzim katepsin, sedangkan pada suhu 80 ⁰C aktivitas enzim telah menurun sehingga penghambatan yang efektif terjadi apabila suhu inkubasi telah mencapai 80 ⁰C. Penelitian Ylonen et al. (1999) diacu dalam Li et al. (2008) menyatakan bahwa pada suhu 80 ⁰C, inhibitor protease jenis sistein dari ikan salmon atlantik mempunyai aktivitas inhibisi yang lebih stabil.
Gambar 6. Hasil aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai suhu inkubasi
4.2 Penentuan Daya Hambat Tertinggi Berbagai Konsentrasi Inhibitor Katepsin Proses ekstraksi inhibitor katepsin dari daging ikan bandeng menggunakan metode An et al. (1995) dengan suhu inkubasi terbaik 80 ⁰C. Inhibitor katepsin diekstraksi dari daging ikan dengan cara memisahkan kompleks enzim-inhibitor dengan perlakuan pengasaman. Inhibitor yang didapatkan diencerkan dengan berbagai konsentrasi untuk dilakukan pengujian aktivitas inhibisi terhadap enzim
katepsin. Konsentrasi yang diberikan merupakan perbandingan antara inhibitor dengan buffer Mcllvaine (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat) yaitu (1:0, 1:1, 1:2 dan 1:3). Hasil uji aktivitas penghambatan enzim katepsin disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Perbandingan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa semakin besar pengenceran yang dilakukan, maka aktivitas penghambatan terhadap enzim katepsin semakin kecil. Faktor pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) dengan konsentrasi protein inhibitor 1,214 mg/ml mempunyai aktivitas inhibisi sebesar 93,06%, faktor pengenceran 1:1 (konsentrasi protein inhibitor 1,054 mg/ml) mempunyai daya aktivitas inhibisi sebesar 80,5%, faktor pengenceran 1:2 (konsentrasi protein inhibitor 0,696 mg/ml) mempunyai aktivitas inhibisi sebesar 73,08%, dan faktor pengenceran 1:3 (konsentrasi protein inhibitor 0,223 mg/ml) mempunyai aktivitas inhibisi sebesar 51,5%. Berdasarkan uji statistik, faktor pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas inhibisi (Sig.<0,05) sehingga dilakukan uji lanjut untuk melihat adanya perbedaan pengaruh masing-masing faktor pengenceran terhadap aktivitas inhibisi. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa faktor pengenceran 1:1 berbeda nyata dengan faktor pengenceran 1:3 dan tidak berbeda nyata dengan faktor pengenceran 1:2. Faktor pengenceran 1:1 merupakan faktor pengenceran yang terbaik dengan aktivitas inhibisi 80,5% sehingga
digunakan untuk aplikasi (Lampiran 4b). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar faktor pengenceran, maka semakin kecil konsentrasi protein inhibitornya sehingga aktivitas penghambatan akan semakin berkurang. Penelitian isolasi inhibitor protease yang dilakukan oleh Li et al. (2008) dari plasma ikan salmon (Oncorhynchus keta) menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan inhibitor alami dapat mencapai 94,88% setelah dilakukan tahap pemurnian. Menurut Apriyanti (2007) jenis inhibitor dan konsentrasi inhibitor merupakan faktor yang paling berperan dalam mempengaruhi besar kecilnya presentase penghambatan. Inhibitor kimia (pepstatin) dengan konsentrasi 1 µM mampu menghambat aktivitas enzim katepsin dari daging ikan nila 76,79% dan pada konsentrasi 5 µM mampu menghambat aktivitas enzim katepsin 92,71%, lebih besar daripada inhibitor kimia yang lain seperti EDTA dan PMSF pada konsentrasi yang sama. Penelitian Dinu et al. (2002) menunjukkan bahwa pepstatin dengan konsentrasi 1 µM mampu menghambat aktivitas enzim katepsin dari jaringan otot Carassius auratus gibelio sebesar 98,2% dan 97,5%. Adapun pada penelitian ini, pepstatin dengan konsentrasi 1 µM rata-rata mampu menghambat aktivitas enzim katepsin dari daging ikan bandeng sebesar 86,95%. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa faktor yang berperan dalam mempengaruhi besar
kecilnya
persentase
penghambatan
adalah
jenis
inhibitor
dan
konsentrasinya.
4.3 Aplikasi Inhibitor Katepsin dalam Menghambat Kemunduran Mutu Aplikasi inhibitor katepsin dilakukan terhadap ikan bandeng utuh. Aplikasi ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola kemunduran mutu antara ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan ikan bandeng perlakuan (dengan perendaman inhibitor) berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Pengamatan terhadap sampel ikan kontrol dan perlakuan dilakukan berdasarkan waktu yang diperoleh dari hasil penentuan fase post mortem secara subjektif, yaitu uji organoleptik dan secara objektif, yaitu uji pH, TPC, dan TVB dengan mengambil sampel dari bagian daging ikan bandeng (Lampiran 5) .
4.3.1 Penentuan tahap post mortem Fase post mortem ikan ditentukan melalui metode penilaian sensori, yaitu dengan cara organoleptik sehingga dapat diketahui kondisi kesegaran ikan setelah dimatikan. Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan dilakukan dari fase pre rigor sampai ikan membusuk. Pada ikan kontrol dan perlakuan kondisi pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada 0 jam (hari ke-1) penyimpanan, rigor mortis untuk ikan kontrol 96 jam (hari ke-5) penyimpanan sedangkan ikan perlakuan 144 jam (hari ke-7) penyimpanan, post rigor untuk ikan kontrol 360 jam (hari ke-15) penyimpanan sedangkan ikan perlakuan 408 jam (hari ke-17) penyimpanan, fase busuk untuk ikan kontrol 504 jam (hari ke-21) penyimpanan sedangkan ikan perlakuan 624 jam (hari ke-26) penyimpanan. Fase pre rigor merupakan tahap pertama dari post mortem ikan. Keadaan ini ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada fase ini, lendir-lendir yang terlepas tersebut membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (Murniyati dan Sunarman 2000). Menurut Ilyas (1983) ikan laut yang disimpan pada suhu dingin dapat dipertahankan kesegarannya (fase pre rigor) hingga 4 hari. Pada penelitian ini ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) mengalami fase pre rigor sekitar 4 hari (96 jam) dan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor mengalami fase pre rigor sekitar 6 hari (144 jam) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara pre rigor dan rigor mortis. Perubahan pada fase rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian kimiawi yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan perubahan glikogen menjadi asam laktat dan pH tubuh ikan menurun (Eskin et al. 1990). Pada penelitian ini ikan bandeng kontrol mengalami fase rigor mortis sekitar 11 hari (264 jam) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara rigor mortis dan post rigor. Pada ikan bandeng perlakuan mengalami fase rigor mortis yang sama yaitu sekitar 11 hari (264 jam) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara rigor mortis
dan post rigor. Menurut Gill (2000), waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase rigor mortis tergantung pada spesies ikan, suhu selama penyimpanan dan cara penanganan. Fase post rigor terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis. Tahap ini ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase ini meliputi autolisis, pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada penelitian ini ikan bandeng kontrol mengalami fase post rigor sekitar 6 hari (144 jam) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara post rigor dan busuk. Pada ikan bandeng perlakuan mengalami fase post rigor sekitar 9 hari (216 jam) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara post rigor dan busuk. Menurut Dwiari et al. (2008), lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Proteolisis pada otot dan daging ikan terjadi akibat aktivitas kalpain dan katepsin (Jiang 2000). Pada tahap post rigor peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak menonjol setelah dihasilkan senyawasenyawa
sederhana
hasil
proteolisis
yang
berfungsi
sebagai
media
pertumbuhannya. Pertumbuhan bakteri yang luar biasa cepat ini menyebabkan proses kerusakan ikan juga berlangsung semakin cepat. Insang akan menjadi kecoklatan, lendir semakin kental dan tebal, daging lembek, dan jika ditekan sulit pulih kembali bekasnya, bau semakin amis, dan menjadi busuk (Yunizal dan Wibowo 1998).
4.3.2 Nilai organoleptik Metode organoleptik merupakan cara yang paling murah dan mudah untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu ikan dengan bantuan panca indera manusia. Penetapan kemunduran mutu ikan secara organoleptik dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006. Pengujian organoleptik ini mempunyai peranan yang penting dalam penerapan mutu karena masih banyak faktor-faktor yang tidak dapat diukur dengan uji mikrobiologi dan kimia. Pengujian ini dilakukan oleh 15 orang panelis semi terlatih yang mengamati beberapa parameter, seperti keadaan mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur (BSN 2006). Hasil
rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan ikan bandeng perlakuan perendaman inhibitor dengan lama waktu penyimpanan pada suhu chilling disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun dibandingkan dengan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada penelitian ini ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) yang disimpan pada suhu chilling mempunyai daya awet hingga mencapai fase busuk sekitar 504 jam (21 hari). Ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor mempunyai daya awet hingga mencapai fase busuk sekitar 624 jam (26 hari). Pada umumnya semakin tinggi nilai organoleptik menunjukkan semakin segar keadaan ikannya. Ikan bandeng perlakuan dengan penambahan inhibitor memiliki nilai organoleptik lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan adanya pengaruh inhibitor yang masuk ke dalam daging ikan melalui pori-pori kulit sehingga dapat menghambat aktivitas enzim katepsin dalam menguraikan protein menjadi peptida-peptida dan asam-asam amino. Akibatnya, kemunduran mutu ikan menjadi terhambat lebih lama. Menurut Lehninger (1998), inhibitor dapat menghambat aktivitas enzim melalui penggabungan sisi aktif inhibitor dengan sisi aktif enzim membentuk kompleks enzim-inhibitor (EI).
Penyimpanan ikan pada suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim (Clucas dan Sutcliffe 1981). Pada kondisi pre rigor baik ikan bandeng kontrol maupun yang mendapatkan perlakuan menunjukkan nilai organoleptik 9 dengan lama waktu penyimpanan 0 jam. Hal ini menggambarkan bahwa ikan bandeng dalam kondisi sangat segar. Ikan bandeng segar ini sesuai dengan SNI 01-2346-2006 mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, serta belum ada perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki dinding perut daging utuh. Bau ikan sangat segar spesifikasi jenis. Teksturnya padat, elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Pada fase rigor mortis ikan bandeng kontrol dan perlakuan memiliki ratarata nilai organoleptik 7 dengan lama waktu penyimpanan 96 jam (kontrol) dan 144 jam (perlakuan) dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh, bau netral. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Pada fase post rigor ikan bandeng kontrol dan perlakuan memiliki rata-rata nilai organoleptik 6 dengan lama waktu penyimpanan 360 jam (kontrol) dan 408 jam (perlakuan). Nilai organoleptik 6 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek. Menurut BSN (2006), ikan dengan nilai organoleptik 5 atau lebih kecil dinyatakan tidak lulus standar dan tidak layak konsumsi Adapun ciricirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Insangnya mulai ada perubahan warna, merah agak kusam, dan sedikit lendir. Lapisan lendir permukaan badan mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit
bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Fase busuk ikan bandeng kontrol dan perlakuan ditandai dengan rata-rata nilai organoleptik antara 1-3 dengan lama waktu penyimpanan 504 jam (kontrol) dan 624 jam (perlakuan). Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat ada sedikit putih. Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, serta mudah menyobek daging dari tulang belakang.
4.3.3 Nilai pH Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran mutu ikan. Nilai pH daging ikan ketika masih hidup umumnya mempunyai pH netral dan setelah mati pH menjadi turun (Eskin et al. 1990). Hasil pengukuran nilai pH daging ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan perlakuan perendaman inhibitor dengan lama waktu penyimpanan pada suhu chilling disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Rata-rata nilai pH ikan bandeng
Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa pada fase pre rigor dengan lama waktu penyimpanan 0 jam, ikan bandeng kontrol memiliki nilai pH rata-rata 6,21 dan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor memiliki nilai pH rata-rata 6,33. Hal ini disebabkan larutan buffer yang digunakan pada kontrol dan perlakuan mempunyai nilai pH 5,5 sehingga mempengaruhi pH ikan bandeng penelitian. Menurut Eskin et al. (1990), pada umumnya daging ikan segar mempunyai pH mendekati netral. Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada akhirnya pH akan semakin asam, yaitu pada fase rigor mortis. Nilai pH dari daging ikan bandeng pada fase rigor mortis berkisar antara 6 hingga 6,06 dengan lama waktu penyimpanan 96 jam (kontrol) dan 144 jam (perlakuan). Penelitian Church (1998) diacu dalam Ladrat (2006) menunjukkan bahwa pH ikan mengalami penurunan pada fase rigor mortis dari 7,4 menjadi 6 dan kadang-kadang dibawahnya. Perubahan pada fase ini merupakan akibat dari suatu rangkaian kimiawi yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun (Eskin et al. 1990). Akibatnya enzim katepsin semakin aktif karena pH menjadi lebih asam. Macammacam enzim katepsin yang aktif dalam fase ini antara lain katepsin B, D, H dan L. Enzim-enzim tersebut diatur oleh inhibitor protease yang disebut cystatin (Turk dan Bode 1991 diacu dalam Chereta 2007) dan juga pepstatin (Dinu et al. 2002). Pada fase post rigor dengan lama waktu penyimpanan 360 jam (kontrol) dan 408 jam (perlakuan), nilai pH daging ikan bandeng berkisar antara 6,65-6,82 dan berkisar antara 7,05-7,43 untuk fase busuk dengan lama waktu penyimpanan 504 jam (kontrol) dan 624 jam (perlakuan). Nilai pH ikan terus mengalami kenaikan pada fase post rigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil. Menurut Taskaya et al. (2003), peningkatan nilai pH tergantung dari lama waktu penyimpanan, suhu penyimpanan, kondisi fisiologis, kandungan protein dan aktivitas enzim. Pada ikan kontrol (tanpa perlakuan perendaman inhibitor) terjadi penurunan pH yang lebih cepat pada fase rigor mortis dibandingkan ikan bandeng dengan
perlakuan perendaman inhibitor sehingga proses aktivasi enzim katepsin dalam menguraikan protein daging ikan menjadi lebih cepat. Menurut Ilyas (1983), pada proses enzimatis protein akan diuraikan menjadi pepton dan asam-asam amino. Selain itu, aksi enzimatis tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen-komponen flavor, perubahan warna daging (diskolorisasi) dari warna asli menjadi coklat serta timbulnya akumulasi metabolit. Peranan katepsin dalam proses kemunduran mutu ikan secara nyata terlihat dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita rasa ikan. Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek) Jiang (2000). Aktivitas enzim katepsin akan memberikan pengaruh yang signifikan jika nilai pH rendah (Taylor et al. 1995).
4.3.4 Nilai TPC Mikroba aerob yang terdapat di permukaan kulit, insang, dan juga lingkungan disekitarnya merupakan penyebab utama kerusakan ikan. Mikroba memperoleh sumber energi dengan menguraikan protein menjadi pepton, polipeptida, dipeptida, peptida, dan asam amino (Soedarto dan Siswanto 2008). Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, lemak dan karbohidrat (BPTP 2009). Hasil penghitungan nilai log TPC ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan perlakuan perendaman inhibitor dengan lama waktu penyimpanan pada suhu chilling disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10 dapat diketahui bahwa nilai log TPC daging ikan bandeng secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Akan tetapi, nilai TPC ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) mengalami kenaikan lebih cepat dari ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor. Semakin busuk seekor ikan maka semakin besar pula jumlah bakterinya.
Gambar 10. Rata-rata nilai log TPC ikan bandeng Pada kondisi pre rigor dengan lama waktu penyimpanan 0 jam, ikan bandeng kontrol memiliki nilai log TPC sekitar 3,54 dan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor 3,56 koloni/g. Nilai log TPC ini terus meningkat ketika ikan memasuki fase rigor mortis yaitu sekitar 4,83 koloni/g untuk ikan bandeng kontrol dalam waktu 96 jam dan 4,81 koloni/g untuk ikan bandeng perlakuan dalam waktu 144 jam, fase post rigor 6,72 koloni/g untuk ikan bandeng kontrol dalam waktu 360 jam dan 6,63 koloni/g untuk ikan bandeng perlakuan dalam waktu 408 jam. Ketika ikan memasuki fase busuk jumlah bakteri mencapai 7,49 koloni/g untuk ikan bandeng kontrol dalam waktu 504 jam dan 7,4 koloni/g untuk ikan bandeng dengan perlakuan perlakuan inhibitor dalam waktu 624 jam. Dengan adanya perendaman dalam larutan inhibitor, aktivitas enzim katepsin menjadi terhambat. Akibatnya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa basa volatil yang menjadi media bagi pertumbuhan bakteri menjadi berkurang. Nilai log TPC daging ikan bandeng fase post rigor dan busuk sudah berada diatas batas maksimum jumlah mikroba yang ditetapkan dalam SNI 01-27292006, yaitu dengan nilai maksimum 5x105 koloni/g atau nilai log TPC sebesar 5,70 koloni/g (BSN 2006). Penelitian Rustamaji (2009) menyebutkan bahwa nilai TPC ikan bandeng dalam kondisi post rigor yang disimpan selama 13 hari pada suhu chilling mempunyai jumlah koloni bakteri sebesar 6,85 koloni/g dan
mengalami kenaikan setelah mencapai kondisi busuk selama 23 hari dengan jumlah koloni bakteri sebesar 7,38 koloni/g. Ikan yang disimpan pada suhu chilling membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai jumlah bakteri yang sama dengan ikan yang disimpan pada suhu ruang pada setiap tahap kemunduran mutu. Menurut Hidayati (2005) berbagai kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan protein dan total koloni pada ikan bandeng. Jumlah bakteri pada ikan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan lamanya penyimpanan. Pengaruh suhu pada pertumbuhan bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan atau perpendekan masa adaptasi yang tergantung pada tinggi rendahnya suhu. Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek. Sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang. Penyimpanan ikan pada suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim (Clucas dan Sutcliffe 1981). Penelitian yang dilakukan Azanza et al. (2001) menunjukkan bahwa jenis mikroba yang ditemukan pada ikan bandeng adalah Coliform, Staphilococcus, dan Salmonella spp.
4.3.5 Nilai TVB Indeks kemunduran mutu hasil perikanan dapat diketahui melalui kandungan TVB. Kandungan basa mudah menguap (TVB) merupakan hasil akhir penguraian protein, sehingga kadar TVB tersebut dapat dipakai sebagai indikator kerusakan ikan (Soedarto dan Siswanto 2008). Berbagai komponen TVB, seperti amonia (NH3), DMA, dan TMA terakumulasi pada daging setelah ikan mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Pada penelitian ini perbandingan nilai TVB pada ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan perlakuan perendaman inhibitor dengan lama waktu penyimpanan pada suhu chilling disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Rata-rata nilai TVB ikan bandeng Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor pada fase pre rigor dengan lama waktu penyimpanan 0 jam memiliki nilai TVB yang sama yaitu 8,41 mg N/100 g. Nilai tersebut menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar. Pada fase rigor mortis nilai TVB ikan bandeng kontrol dengan lama waktu penyimpanan 96 jam meningkat sebesar 15,62 mg N/100 g dan pada ikan bandeng perlakuan dengan lama waktu penyimpanan 144 jam sebesar 16,02 mg N/100 g. Pada fase post rigor meningkat sebesar 24,42 mg N/100 g untuk ikan bandeng kontrol dengan lama waktu penyimpanan 360 jam dan 25,63 mg N/100 g pada ikan bandeng perlakuan dengan lama waktu penyimpanan 408 jam. Nilai TVB tertinggi dicapai setelah penyimpanan 504 jam sebesar 72,07 mg N/100 g untuk ikan bandeng kontrol dan setelah penyimpanan 624 jam sebesar 76,08 mg N/100 g pada ikan bandeng perlakuan. Pada tahap selanjutnya, nilai TVB daging ikan bandeng kontrol (tanpa perendaman inhibitor) mengalami kenaikan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor. Menurut Yunizal dan Wibowo (1998), nilai TVB semakin meningkat akibat adanya degradasi oleh enzim dalam tubuh ikan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang
merupakan komponen-komponen penyusun senyawa basa volatil. Akan tetapi, dengan adanya penambahan inhibitor aktivitas degradasi enzim menjadi lebih terhambat sehingga pembentukan basa-basa volatil menjadi lebih lama yang menyebabkan ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor mempunyai masa kemunduran mutu lebih lama dibandingkan ikan bandeng kontrol. Menurut Farber (1965), kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar. Ikan termasuk kriteria masih bisa dikonsumsi apabila nilai TVB antara 20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g. Taskaya et al. (2003) menyatakan bahwa nilai TVB antara 30-35 mg N/100 g masih bisa diterima oleh konsumen, sedangkan diatas 35 mg N/100 g dianggap sudah busuk. Gopakumar (2000) juga menyatakan bahwa nilai TVB antara 28-35 mg N/100 g adalah batas ikan masih bisa dikonsumsi. Berdasarkan batasan tersebut, ikan bandeng kontrol dan perlakuan yang disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi sampai waktu penyimpanan memasuki fase post rigor. Kenaikan nilai TVB disebabkan adanya pengaruh lama penyimpanan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor suhu, komposisi garam, kondisi fisiologis, kandungan protein dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003). Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Jiang 2000). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenin (Eskin et al. 1990).
4.4 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan Berdasarkan tingkat kesegarannya, ikan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan mutu bahan mentah, yaitu ikan dengan mutu terbaik, ikan dengan mutu sedang, dan ikan dengan mutu paling bawah (Dwiari et al. 2008). Parameter kesegaran ikan merupakan sebuah acuan dalam menentukan kelayakan ikan untuk dikonsumsi. Ada beberapa hal yang menjadi parameter kesegaran ikan diantaranya adalah penampakan, tekstur, bau dan rasa. Penampakan tersebut mencakup konsistensi warna, ukuran, bentuk dan keseragaman (Botta 1994). Untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan dilakukan berbagai uji, yaitu organoleptik, kimiawi (TVB) dan mikrobiologis (TPC). Pada penelitian ini, hubungan antar parameter kesegaran ikan kontrol (tanpa perendaman inhibitor) dan hubungan antar parameter kesegaran ikan dengan perendaman inhibitor dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13. Berdasarkan Gambar 12 dan 13 dapat diketahui bahwa parameter kesegaran ikan kontrol dengan ikan perendaman inhibitor mempunyai pola yang sama. Nilai organoleptik ikan bandeng mengalami penurunan dari fase pre rigor hingga busuk baik pada ikan kontrol maupun ikan dengan perendaman inhibitor. Untuk nilai pH mengalami penurunan ketika fase rigor mortis dan naik kembali pada fase post rigor hingga busuk. Nilai TPC pada ikan kontrol dan ikan dengan perendaman inhibitor mempunyai pola yang sama, yaitu semakin meningkat dari fase pre rigor hingga busuk. Demikian juga untuk nilai TVB yang semakin meningkat dari fase pre rigor hingga busuk.
8
8
6
6
4
4
2
2
4
2
0
0
100
0 0
100
200
300
400
500
80
60
40
20
R ata-rata n ilai T V B (m g N /1 0 0 g )
8
6
10
R ata-rata n ilai lo g T P C (k o lo n i/g )
10
R ata-rata n ilai o rg an o lep tik
R ata-rata n ilai p H
10
0
600
W a k tu P e n y im p a n a n S u h u C h illin g (J a m ) R a ta -ra ta n ila i o rg a n o le p tik R a ta -ra ta n ila i p H R a ta -ra ta n ila i lo g T P C (k o lo n i/g ) R a ta -ra ta n ila i T V B (m g N /1 0 0 g )
8
8
8
6
6
4
4
2
2
6
4
2
0
10
0
0 0
100
200
300
400
500
600
W a k tu p e n y im p a n a n s u h u c h illin g ( ja m )
R a ta - r a ta n ila i o r g a n o le p tik R a ta - r a ta n ila i p H R a ta - r a ta n ila i lo g T P C ( k o lo n i/g ) R a ta - r a ta n ila i T V B ( m g N /1 0 0 g )
Gambar 13. Hubungan antar parameter kesegaran ikan dengan perendaman inhibitor
700
100
80
60
40
20
0
R ata-rata nilai T V B (m g N /100 g)
10
R ata-rata nilai log T P C (koloni/g)
10
R ata-rata nilai organoleptik
R ata-rata nilai pH
Gambar 12. Hubungan antar parameter kesegaran ikan kontrol (tanpa perendaman inhibitor)
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Ekstraksi inhibitor katepsin pada berbagai suhu inkubasi menghasilkan aktivitas inhibisi yang berbeda-beda. Suhu inkubasi terbaik dalam mengekstraksi inhibitor katepsin adalah 80 ⁰C dengan aktivitas inhibisi sebesar 93,06%. Adapun konsentrasi inhibitor terbaik untuk aplikasi adalah pengenceran 1:1 dengan aktivitas inhibisi sebesar 80,5%. Lama proses kemunduran mutu pada ikan bandeng kontrol dalam penyimpanan suhu chilling terjadi selama 504 jam (21 hari) yaitu pada 0 jam penyimpanan (pre rigor), 96 jam (rigor mortis), 360 jam (post rigor), dan 504 jam (busuk). Sedangkan pada ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor, lama proses kemunduran mutu terjadi selama 624 jam (26 hari) yaitu pada 0 jam penyimpanan (pre rigor), 144 jam (rigor mortis), 408 jam (post rigor), dan 624 jam (busuk). Nilai organoleptik ikan bandeng mengalami penurunan dari fase pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB. Nilai pH mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor hingga busuk. Rentang waktu yang terjadi selama pre rigor sampai terjadi kebusukan menunjukkan bahwa ikan bandeng dengan perlakuan perendaman inhibitor mengalami fase kemunduran mutu yang lebih lama (5 hari) dibandingkan dengan ikan bandeng kontrol.
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan menguji stabilitas inhibitor pada berbagai lama waktu penyimpanan. Disarankan juga untuk dilakukan penelitian menggunakan fillet daging ikan bandeng untuk membandingkan tingkat efektivitas inhibitor enzim dengan ikan bandeng utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Afrianto E., Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. An H, Peters YM, Seymour TA, Morrissey MT. 1995. Isolation and activation of cathepsin L-inhibitor complex from Pacificm Whiting (Merluccius productus). J. Agric. Food Chem. 43:327-330. Anonima. 2009. http://www.oceanleader.com.tw/images/milkfish.JPG Februari 2009]
[20
Anonimb. 2009. http://www.pdf-search-engine.com/enzyme-pdf.html Desember 2009]
[20
Apriyanti M. 2007. Peranan inhibitor katepsin dalam menghambat proses kemunduran mutu ikan nila (Oreochromis sp.) [skripsi]. Bogor: Program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Azanza MPV, Ortega MP, Valdezco RG. 2001. Microbial quality of rellenado milkfish (Chanos chanos, Forskal). Food Control 12:365-371. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-2346.2006. Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarata: Badan Standardisasi Nasional Indonesia. [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009. Metodologi Perikanan. www.geocities.com. [5 Maret 2009]. Botta JR. 1994. Freshness quality of seafoods: a review. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Bradford, MM. 1976. A rapid and sensitive for the quantitatio of microgram quantitites of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Analytical Biochemistry 72:248-254. Bramsnaes F. 1965. Handling of fresh fish. Di dalam: Borgstorm G, editor. Fish as Food. Vol IV. New York: Academic Press.
Carreno FLG, Cortes PH. 2000. Use of protease inhibitors in seafood products. Di dalam: Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Chereta R, Christine DL, Marie LA, Veronique VB. 2007. Calpain and cathepsin activities in post mortem fish and meat muscles. J. Food Chem. 101(4):1474-1479. Choi YJ, Kang IK, Lanier TC. 2005. Proteolytic enzymes and contol in surimi. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York: Taylor and Francis Group. Clucas IJ, Sutcliffe PJ. 1981. An Introduction to Fish Handling and Procesing. London: Tropical Products Institute. Creighton R. 1989. Protein Structure. Elsevier Science Publishers. Dinu D, Dumitru IF, Nechifor MT. 2002. Isolation and characterization of two cathepsins from muscle of Carassius auratus gibelio. Roum. Biotechnol. Lett. 7(3):753-758. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2009. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi DKP. Duve C. 1983. Lysosomes revisited. Eur. J. Biochem 137:391-397. Dwiari SR, Asadayanti DD, Nurhayati, Sofyaningsih M, Frida S Yudhanti AR, Yoga IBKW. 2008. Teknologi Pangan Jilid 1. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Eskin NAM, Henderson HM, Townsend RJ. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. New York: Academic Press. Inc. Farber L. 1965. Freshness test. Di dalam: Borgstorm G, editor. Fish as Food. Vol IV. New York: Academic Press. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor : LSI - IPB. Gacko M, Minarowska A, Karwowska A, Minarowski L. 2007. Chatepsin D inhibitors. Folia Histochemica et Cytobiologica 45(4):291-313. Gill T. 2000. Nucleotide-degrading enzymes. Di dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Gopakumar K. 2000. Enzymes and enzyme products as quality indices. Di dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc.
Govindan TK. 1985. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co.Pvt.Ltd. Gram L, Huss HH. 1996. Microbiological spoilage of fish and fish products [abstrak]. Di dalam: International Journal of Food Microbiology 33(1): 121-137. Grzywnowicz K, Sobczyk K. 2006. Natural peptide inhibitors of aspartic proteases from white rot basidiomycete Trametes versicolor. Annales Universitates Mariae Curie-Sklowdoska 19(1):49. Haard NF. 1994. Protein hydrolysis in seafood. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood : Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Hames D, Hooper N. 2005. Biochemistry. Third Edition. New York: Taylor and Francis Group. Hidayati L. 2005. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan dalam penyimpanan freezer lemari es terhadap kandungan protein dan jumlah total koloni bakteri ikan bandeng (Chanos chanos). [Tesis]. Universitas Muhammadiyah Malang. Hutagalung S, Patria AD, Alex R, Ramli, Ayubar M, Kusdiantoro. 2007. Sewindu DKP Mengawal Pembangunan Negara Kepulauan. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV. Paripurna. Jakimiec R, Czynski W, Chlabicz M. 2004. Effects of cathepsin D inhibitor from Vicia sativa L. seed hulls on human skin fibroblasts and breast cancer cells (in vitro studies). Annales Academiae Medicae Bialostocensis Supl 5: 49. Jiang ST. 2000. Enzymes and their effects on seafood texture. Di dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Ladrat CD, Veronique VB, Noel J, Fleurence J. 2004. Proteolytic potential in white muscle of sea bass (Dicentrarchus labrax L.) during post mortem storage on ice: time-dependent changes in the activity of the components of the calpain system. J. Food Chem. 84:441-446. Ladrat CD, Romuald C, Richard T, Veronique VB. 2006. Trends in postmortem aging in fish: understanding of proteolysis and disorganization of the myofibrillar structure. Critical Reviews In Food Science And Nutrition 46(5):409-421. Lawrie RA. 1995. Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Meat Science. 5th Edition.
Lehninger AL. 1998. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Suhartono MT, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: The Foundations of Biochemistry. Li DK, Hong L, Sang MK. 2008. Purufication and characterization of a cysteine proteinase inhibitor from Chum Salmon (Oncorhynchus keta) plasma. J. Agric. Food Chem. 56:106-111. Mattjik AA, Sumertajaya S. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Bogor: IPB Press. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. Murniyati AS, Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan, dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Penerbit Kanisius. Murtidjo BA. 2002. Budidaya dan Pembenihan Bandeng. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Nutrition Data. 2007. Nutrition Raw Milkfish. http://www.nutritiondata.com. [20 Februari 2009]. Partanen S. 2006. Cathepsin D deficiency-molecular and cellular mechanisms of neurodegeneration. [dissertation]. Helsinki: Institute of Biomedicine/Biochemistry, Biomedicum Helsinki, University of Helsinki. Prasetyawan Y. Cara cepat dan mudah mendeteksi cemaran bakteri pada seafood. Food Review Desember 2008:12(hlm 38-39). Purnomo T, Muchyiddin. 2007. Analisis kandungan timbal (Pb) pada ikan bandeng (Chanos chanos Forsk.) di tambak Kecamatan Gresik. Neptunus 14(1):68-77. Rehbein H, Cakli S. 2000. The lysosomal enzyme activities of fresh, cooled, frozen and smoked salmon fish species (Onchorhyncus keta and Salmo salar). Turk J. Vet. Anim. Sci. 24:103-108. Rustamaji. 2009. Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dari daging ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) selama periode kemunduran mutu ikan. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan lmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bogor: Bina Cipta.
Sikorski ZE, Sun Pan B. 1994. Preservation of seafood quality. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Simpson BK. 2000. Digestive proteinase from marine animals. Di dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Soedarto, Siswanto HP. 2008. Respon kualitas bandeng (Chanos chanos) asap terhadap lama pengeringan. Berkala Ilmiah Perikanan 3(1). Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Soeseno S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak. Jakarta: PT Gramedia. Suhartono MT. 1988. Pengantar Biokimia. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Taskaya L, Cakli S, Celik U. 2003. A study on the quality changes of cultured gilthead seabream (Sparus aurata L.,1758) and Seabass (Dicentrarchus labrac L.,1758) under the market conditios. J. Fish. Aquat. Sci. 20:313-320. Taylor RG, Geesink GH, Thompson VF, Koohmarie M, Goll DE. 1995. Is Z-disk degradation responsible for postmortem tenderization? J. Anim Sci. 73:1351-1367. Visessanguan W, Masahiro O, Shuryo N, Haejung A. 2000. Physicochemical Changes and Mechanism of Heat-Induced Gelation of Arrowtooth Flounder Myosin. J. Agric. Food Chem. 16:480-451. Warta Penelitian Perikanan Budidaya. 2005. Budidaya Ikan Kaya Gizi. http://artikel-dkp.go.id [20 Februari 2009]. Yunizal, Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bahan-bahan ekstraksi dan pengukuran aktivitas enzim dan inhibitor katepsin a) Bahan-bahan untuk ekstraksi inhibitor katepsin (An et al. 1995) Buffer Mcllvaine (pH 5,5) yang terdiri dari 0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat Sodium fosfat 0,2 M (Mr =380,12) sebanyak 76,024 gram dilarutkan ke dalam akuades sehingga volumenya tepat 1 liter. Asam sitrat 0,1 M (Mr = 210,14) sebanyak 21,014 gram dilarutkan ke dalam akuades sehingga volumenya tepat 1 liter. Lalu dicampurkan hingga mencapai pH 5,5.
b) Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) Buffer Tris-HCl 0,1 M (pH 7,4) Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Kemudian ditepatkan pH nya hingga 7,4 dengan penambahan HCl pekat (1 N) sedikit demi sedikit. Lalu ditepatkan volumenya hingga satu liter.
c) Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim dan inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) Hemoglobin 2% dengan pH 2,0 Hemoglobin 2 mg dilarukan ke dalam 95 ml akuades. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0 dengan penambahan HCl 1 N dan volume akhir ditepatkan menjadi 100 ml. TCA 5% Sebanyak 5 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume akhir ditepatkan menjadi 100 ml.
Lampiran 2. Kurva standar penentuan konsentrasi protein Penentuan konsentrasi protein enzim katepsin a) Standar BSA Konsentrasi 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0
Absorbansi 0,198 0,234 0,247 0,249 0,257 0,28 0,291 0,299 0,302 0,305
b) Kurva standar BSA
Contoh perhitungan konsentrasi protein ekstrak kasar enzim katepsin: Y
= 0,112X + 0,057
0,079 = 0,112X + 0,057 X
= 0,079 – 0,057 0,112 = 0,196
Penentuan konsentrasi protein inhibitor katepsin a) Kurva standar BSA
Contoh perhitungan konsentrasi protein akstrak kasar inhibitor katepsin: Y = 0,112X + 0,204 0,135 = 0,112X + 0,057 X
= 0,135 – 0,057 0,112 = 0,696
Lampiran 3. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) Nama Panelis : Tanggal : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi
Nilai
Kode contoh 1
A. 1. -
Kenampakan Mata Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih. Cerah, bola mata rata, kornea jernih. Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh. - Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. 2. Insang - Warna merah cemerlang, tanpa lendir. - Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir. - Warna merah agak kusam, tanpa lendir. - Merah agak kusam, sedikit lendir. - Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir. - Warna merah coklat, lendir tebal. - Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal. 3. Lendir permukaan badan - Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. - Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. - Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh. - Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. - Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan
9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1
2
3
4
5
4. Daging (warna dan kenampakan) - Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. - Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidaka ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak. II. Bau - Bau sangat segar, spesifikasi jenis. - Segar, spesifik jenis. - Netral. - Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. - Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. - Bau busuk jelas. III. Tekstur - Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. - Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang. - Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang.
9
8
7
5
3
1 9 8 7 5 3 1 9 8 7
5 3 1
Lampiran 4 a. Hasil uji ANOVA dan Duncan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai suhu inkubasi ANOVA Jumlah kuadrat 1401,432 48,007 1449,439
Antar grup Dalam grup Jumlah
Derajat bebas
Rata-rata kuadrat 467,144 12,002
3 4 7
F
Sig.
38,923
,002
Uji Lanjut Duncan alpha (α) = .05
Jumlah sampel
Suhu 60 ⁰C 90 ⁰C 70 ⁰C 80 ⁰C Sig.
2 2 2 2
1
2
3
57,4850 78,4400 85,3750 1,0000
,1160
85,3750 93,0550 ,0910
b. Hasil uji ANOVA dan Duncan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai pengenceran ANOVA
Antar grup Dalam grup Jumlah
Jumlah kuadrat 1823,090 300,078 2123,168
Derajat bebas
Rata-rata kuadrat
3 4 7
607,697 75,020
F
Sig.
8,101
,036
Uji Lanjut Duncan alpha (α) = .05
Pengenceran
Jumlah sampel
1
1:3
2
51,4950
1:2
2
73,0750
1:1
2
80,5000
1:0
2
93,0550
Sig.
,0670
2 73,0750
,0870
Lampiran 5. Aplikasi inhibitor katepsin dalam menghambat kemunduran mutu a. Perendaman dalam inhibitor
b. Penyimpanan suhu chilling
c. Ikan bandeng fase pre rigor
d. Ikan bandeng fase rigor mortis
e. Ikan bandeng fase post rigor
f. Ikan bandeng fase busuk
g. Uji organoleptik
h. Uji nilai pH
i. Uji nilai TPC
j. Uji nilai TVB