Enzim katepsin dari ikan bandeng, Nurhayati, T. et al.
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
PURIFIKASI PARSIAL DAN KARAKTERISASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN BANDENG (Chanos Chanos Forskall) Partial Purification and Characterization of Cathepsin From Milkfish (Chanos chanos Forskall) Tati Nurhayati*, Ella Salamah, Nico Dynnar Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Diterima 30 Mei 2012/Disetujui 11 Oktober 2012
Abstract Decomposition of protein in the enzymatic process will lead to changes in odor, texture, and appearance of fish. The enzymes that play a role in the enzymatic process is primarily proteolytic enzymes. Cathepsin enzyme is one of the proteolytic enzymes found in animal tissue that hydrolyzes peptide bonds of proteins. Information on optimal conditions of cathepsin enzyme activity is useful in the process of good handling, to avoid environmental conditions that can increase cathepsin enzymes activity, especially in milkfish. The purposes of this study were to partial purify the catepsin enzyme of milkfish and characterize the enzymes. Crude extract of enzyme had specific activity 0.8598 U/mg and after presipitation with ammonium sulphate 70% obtained specific activity of 4.4643 U/mg and after 6 hours of dialysis obtained specific activity 14.4404 U/mg. The enzyme cathepsin worked optimally at 40 °C and pH 4, and 3% substrate. Divalent metal ions inhibited the activity of the enzyme, higher compared to monovalent or trivalent metals. Cathepsin enzyme identified had molecular weight of 86.67 kDa. Key words: cathepsin, characterization, milkfish, purification Abstrak Penguraian protein dalam proses enzimatis akan menyebabkan perubahan bau, tekstur, dan penampakan ikan. Enzim yang berperan dalam proses enzimatis terutama adalah enzim proteolitik. Enzim katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada jaringan hewan yang dapat menghidrolisis ikatan peptida pada protein. Informasi mengenai kondisi optimal enzim katepsin bekerja berguna dalam proses penanganan yang tepat sehingga pada proses penanganan dapat dihindari kondisi-kondisi lingkungan yang dapat meningkatkan kerja enzim katepsin secara optimal khususnya pada ikan bandeng. Tujuan penelitian ini ialah memurnikan secara parsial enzim katepsin dari ikan bandeng serta mengkarakterisasi enzim katepsin yang dihasilkan. Ekstraksi kasar diperoleh aktivitas spesifik 0,8598 U/mg dan setelah dipresipitasi dengan konsentrasi 70% amonium sulfat diperoleh aktivitas spesifik 4,4643 U/mg dan setelah 6 jam dialisis diperoleh aktivitas spesifik sebesar 14,4404 U/mg. Karakteristik enzim katepsin yang dihasilkan memiliki suhu dan pH optimum 40 °C dan 4, konsentrasi substrat 3%, sedangkan kehadiran ion logam menghambat aktivitas enzim. Ion logam divalen menghambat kerja enzim tertinggi, bila dibandingkan dengan logam monovalen atau trivalen. Enzim katepsin teridentifikasi memiliki bobot molekul 86,67 kDa. Kata kunci: Ikan bandeng, karakterisasi, katepsin, pemurnian PENDAHULUAN
Proses penurunan mutu ikan segar terutama diawali dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara alami terdapat di dalam ikan. Salah satu jenis *Korespondensi: Jln. Lingkar Akademik, Kampus IPB Dramaga Bogor 16680. Telp. +622518622915 e-mail:
[email protected] 164
enzim yang berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan adalah enzim-enzim pengurai protein (enzim proteolitik) yang menguraikan protein menjadi pepton, peptida dan asam-asam amino. Hidrolisis protein oleh suatu protease, yaitu katepsin, calpain dan kolagenase dapat menyebabkan timbulnya akumulasi metabolit, perubahan citarasa, dan Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
pelunakan tekstur, terbentuknya komponen volatil serta peningkatan jumlah bakteri yang akhirnya menimbulkan kebusukan Aktivitas proteolitik menyebabkan perubahan fungsional dan sifat organoleptik dari daging ikan. Katepsin ditemukan di lisosom serat daging dan di sel fagosit. Lisosom merupakan intraseluler organel yang banyak mengandung enzim hidrolitik dan berperan dalam pencernaan dalam sel. Katepsin merupakan kelompok dari sistein protease diantaranya katepsin B (EC 3.4.22.2) dan L (EC 3.4.22.15) yang dapat menyebabkan terjadinya pelunakan daging (softening) pada ikan (Ladrat et al. 2006). Katepsin L ditemukan pada sebagian besar proteinase termasuk penyebab degradasi protein miofibril pada surimi ikan Merluccius productus (Morrissey et al. 1995). Aktivitas katepsin berbeda-beda tiap fraksi daging dan spesies ikan. Aktivitas optimum dilaporkan pada suhu 40-50 °C dan aktivitasnya menurun dengan penurunan suhu. Enzim katepsin secara umum bekerja pada pH 3-4 dan beberapa katepsin juga mempunyai aktivitas tinggi pada pH 6-6,5 (Aoki et al. 2000; Kolodziejska dan Sikorski 1996). Informasi mengenai kondisi optimal enzim katepsin bekerja berguna dalam proses penanganan yang tepat sehingga pada proses penanganan dapat dihindari kondisi-kondisi lingkungan yang dapat meningkatkan kerja enzim katepsin secara optimal khususnya pada ikan bandeng. Tujuan penelitian ini adalah mengekstrak dan mengkarakterisasi enzim katepsin pada ikan bandeng. MATERIAL DAN METODE Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan utama yakni ikan bandeng dalam keadaan post-rigor, bahanbahan untuk ektraksi kasar (buffer Tris HCl 0,1 M pH 7,4, akuades), presipitasi (amonium sulfat teknis), dialisis (kantong dialisis, bufer Tris HCl pH 7,4), uji aktivitas katepsin (hemoglobin (Sigma), buffer Tris 0,1 pH 7,4, Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Enzim katepsin dari ikan bandeng, Nurhayati, T. et al.
tirosin (Applichem), akuades, TCA (Merck) 5%, folin (Merck), HCl 1 N), dan uji kadar protein (pereaksi Bradford, bovine serum albumin (Applichem)). Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain inkubator (Thermoline), sentrifuse suhu dingin (Himac), spektrofotometer (Yamato), pH meter, tabung dialisis, kertas saring Whatman No.1 dan labu Erlenmeyer. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui dua bagian, yaitu (1) pemurnian parsial enzim katepsin yang terdiri atas ekstraksi enzim katepsin kasar, presipitasi dan dialisis, (2) karakterisasi enzim katepsin hasil dialisis yang memiliki aktivitas spesifik tertinggi meliputi pH, suhu, konsentrasi substrat, pengaruh ion logam, serta penentuan bobot molekul. Pengujian aktivitas enzim katepsin mengacu pada metode Dinu et al. (2002), uji kadar protein mengacu pada Bradford (1976), dan SDS-PAGE serta zimogram mengacu pada Laemmli (1970). Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1. Pemurnian parsial enzim katepsin Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)
Ekstraksi dilakukan dengan preparasi sampeluntukmemperolehekstrakkasarprotease katepsin. Proses ekstraksi menggunakan ikan bandeng yang sudah postrigor. Daging ikan diambil dan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan daging ikan dan akuades sebesar 1:1, lalu dihomogenisasi pada suhu 0-4 °C. Ekstrak daging hasil homogenisasi disentrifugasi pada 600 x g selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada 10.000xg selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan dari hasil sentrifugasi kemudian dilarutkan dalam 0,1 M bufer Tris HCl pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi dan disentrifugasi pada 4.000xg selama 10 menit. Hasil supernatan (ekstrak kasar protease katepsin) yang diperoleh merupakan protein 165
Enzim katepsin dari ikan bandeng, Nurhayati, T. et al.
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
Ikan bandeng postrigor
Preparasi
Daging
Ekstraksi kasar
Enzim katepsin kasar
Pengukuran aktivitas enzim dan kadar protein
Presipitasi (30, 40, 50, 60,70, dan 80%)
Katepsin semi murni 1
Pengukuran aktivitas enzim dan kadar protein
Dialisis
Katepsin semi murni 2
Pengukuran aktivitas enzim dan kadar protein
Penentuan Bobot Molekul dengan SDS PAGE dan Zimogram
Gambar 1 Diagram alir penelitian.
utama dari mitokondria dan lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut. Analisis yang dilakukan meliputi aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002), konsentrasi protein (Bradford 1976), dan aktivitas spesifik enzim. Aktivitas spesifik enzim (U/mg) dihitung dengan membagi aktivitas enzim (U/ mL) dengan konsentrasi protein (mg/mL). Presipitasi dan dialisis
Katepsin semi murni diperoleh dengan mengendapkan ekstrak kasar katepsin 166
menggunakan ammonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 30%, 40%, 50%, 60%, 70% dan 80% (b/v). Pengendapan dilakukan dengan menambahkan garam amonium sulfat ke dalam supernatan sedikit demi sedikit dan disentrifugasi pada 12000xg selama 30 menit. Pelet dilarutkan dalam bufer Tris HCl 0,1 M pH 7,4. Langkah selanjutnya yakni dialisis. Dialisis dilakukan dalam bufer Tris HCl pH 7,4 menggunakan kantong selofan berukuran 12 kDa, dengan waktu dialisis 2, 4, 6, dan 8 jam. Tahap presipitasi dan dialisis ini Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Aktivitas spesifik pelet pada beberapa tingkat konsentrasi amonium sulfat mengalami peningkatan dan mencapai aktivitas optimum pada perlakuan JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
Enzim katepsin dari(Gambar ikan bandeng, Nurhayati, T. et spesifik al. konsentrasi amonium sulfat 70% 2), sementara aktivitas pada
dilakukan pada suhu ≤ 4 °C. Pengujian yang dilakukan pada tahap ini meliputi aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002), pengukuran konsentrasi protein (Bradford 1976), dan aktivitas spesifik enzim. Aktivitas spesifik enzim (U/mg) dihitung dengan membagi aktivitas enzim (U/mL) dengan konsentrasi protein (mg/mL). Karakterisasi enzim katepsin
Gambar
Aktivitas spesifik (U/mg)
supernatan menunjukkan penurunan aktivitas spesifik. 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
20
40
60
80
100
Konsentrasi amonium sulfat (%)
Gambar 2 Aktivitas spesifik katepsin setelah
2 Aktivitas spesifik katepsin setelah pengendapan dengan amonium pengendapan dengan amonium sulfat aktivitas spesifik pelet, aktivitas spesifik supernatan
Karakterisasi dilakukan terhadap sulfat ♦ aktivitas spesifik pelet, ■ hasil dialisis dengan aktivitas spesifik yang aktivitas spesifik supernatan tertinggi. Karakterisasi meliputi penentuan Aktivitas spesifik pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium aktivitas spesifik. suhu optimum (20, 30, 40, 50, 60 dan 70 sulfat °C), mengalami peningkatan dan mencapai aktivitas optimum pada perlakuan Aktivitas spesifik pelet pada beberapa pH optimum (2, 3, 4, 5, 6, dan 7) dengan bufer konsentrasi ammonium sulfat 70% (Gambar 2), sedangkan aktivitas spesifik pada tingkat konsentrasi amonium sulfat mengalami Tris HCl, pengaruh ion logam (NaCl, BaCl2, supernatan menunjukkan penurunan. Selama proses presipitasi terjadi penurunan peningkatan dan mencapai aktivitas optimum CaCl2, AlCl3 dan FeCl3) dengan konsentrasi pada amonium konsentrasi sulfat dalam logam masing-masing 5 mM dan penentuan kadar protein dalamperlakuan supernatan, konsentrasi namun terjadi peningkatan 70% (Gambar 2), sedangkan aktivitas spesifik konsentrasi substrat optimum (0,5-4,5% pelet. Kondisi ekstraksi yang optimum ditunjukkan oleh aktivitas yang paling pada supernatan menunjukkan penurunan. dengan selang 0,5% b/v). tinggi dalamPenurunan endapan. kadar protein dalam supernatan terjadi selama presipitasi, HASIL DAN PEMBAHASAN Enzim yang dihasilkanproses dari presipitasi 70%namun memilikiterjadi aktivitas spesifik peningkatan konsentrasi dalam pelet. Kondisi Pemurnian Parsial Enzim Katepsin sebesar 4,46 U/mg. Penelitian Cheret et al. (2006) menyebutkan bahwa katepsin ekstraksi yang optimum ditunjukkan oleh Ekstrak kasar A yang berasal dari carp hasildalam pengendapan sulfat didapatkan aktivitas yangmuscle palingpada tinggi endapan. Pemurnian enzim katepsin diawali Enzim yang dihasilkan dari presipitasi dengan ekstraksi kasar dari daging ikan 70% memiliki aktivitas spesifik sebesar 4,46 bandeng yang sudah memasuki tahap U/mg. Penelitian Toyoharay et al. (2006) postrigor. Ekstrak kasar yang dihasilkan menyebutkan bahwa katepsin A yang berasal memiliki aktivitas spesifik sebesar 0,86 U/mg. dari daging ikan mas pada hasil pengendapan Penelitian Toyohara et al. (2006) menyebutkan amonium sulfat didapatkan aktivitas spesifik bahwa ekstrak kasar katepsin A yang berasal sebesar 3,43 U/mg, sementara penelitian dari daging ikan mas memiliki aktivitas Baehaki et al. (2004) terhadap aktivitas spesifik sebesar 0,279 U/mg. Ini berarti bahwa spesifik protease lain yang didapatkan dari aktivitas ekstrak kasar enzim katepsin yang bakteri Aeromonas hydrophila menunjukkan dihasilkan dari ikan bandeng lebih tinggi aktivitas spesifik tertinggi pada pengendapan dibandingkan dengan yang diekstrak dari amonium sulfat 70% sebesar 2,07 U/mg. Ini daging ikan mas. berarti bahwa aktivitas enzim katepsin dari ikan bandeng hasil pengendapan amonium Presipitasi sulfat lebih tinggi dibandingkan yang berasal Ekstrak kasar yang diperoleh dipresipitasi dari daging ikan mas dan bakteri A. hyrophila. menggunakan amonium sulfat. Aktivitas Kelarutan protein (pada pH dan spesifik pelet pada beberapa tingkat temperatur tertentu) akan meningkat sejalan konsentrasi amonium sulfat mengalami dengan peningkatan konsentrasi garam peningkatan dan mencapai aktivitas optimum (salting in). Peningkatan kelarutan protein pada perlakuan konsentrasi amonium sulfat akan meningkatkan kekuatan ion larutan. 70% (Gambar 2), sementara aktivitas spesifik Penambahan garam dengan konsentrasi pada supernatan menunjukkan penurunan Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
167
bergantung pada interaksi antara substrat dengan rantai samping asam amino yang menyusun sisi aktif enzim. Peristiwa ini harus berada pada keadaan ionisasi yang tepat untuk mengikat, dan hal ini tergantung pada pH medium (Jiang et al. 2002).
24%. Secara lengkap kelipatan pada setiap tahap T. disajikan Enzim data katepsin daripemurnian ikan bandeng, Nurhayati, et al. pada
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
Gugus ionik berperan dalam menjaga konformasi sisi aktif dalam mengikat
Tabel 1. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
14 Aktivitas spesifik (U/mg)
Aktivitas spesifik (U/mg)
substrat dan dalam mengubah substrat menjadi produk (Baehaki et al. 2005).
2
4
6
12 10 8 6 4 2 0
8
2
Lama dialisis (jam)
Gambar 3 Aktivitas spesifik enzim setelah didialisis Gambar 3 Aktivitas spesifik enzim setelah didialisis
3
4
pH
5
6
7
Gambar 4 Pengaruh pH terhadap aktivitas spesifik
Gambar 4 Pengaruh pH terhadap aktivitas spesifik katepsin menggunakan katepsin menggunakan bufer Tris HCl. bufer TrisCl
Tabel 1 Peningkatan aktivitas katepsin pada berbagai tahap pemurnian
tertentu akan menyebabkan kelarutan protein Total Total Aktivitas Yield (%) Kelipatan protein aktivitas spesifikMolekul air yang pemurnian menurun (salting out). (mg) (U) (U/mg) berikatan dengan ion-ion garam 100 semakin 1,00 50 0,86 Ektrak 58,15 kasar banyak yang menyebabkan penarikan Presipitasi 2,02 9 4,46 18 5,20 selubung permukaan Dialisis 0,83 air yang 12 mengelilingi 14,44 24 16,80 protein sehingga mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, dan kemudian Karakterisasi Katepsin mengendap (Grogan 2009). Tahapan
Karakterisasi dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh kondisi
lingkungan terhadap aktivitas enzim dan mengetahui kondisi optimum lingkungan Dialisis
spesifik pada pelet yang didialisisyang untuk mendapatkan Aktivitas enzim dengan aktivitas yang tinggi. Karakterisasi mengalami peningkatan sampai titik optimum dilakukan pada enzim katepsin berupa konsentrasi substrat, tingkat keasaman yaitu 6 jam (Gambar 3). Enzim yang dihasilkan (pH), suhu, dan pengaruh logam. dari tahap dialisis memiliki aktivitas spesifik (1) Tingkat keasaman sebesar (pH) 14,44 U/mg. Prinsip dari dialisis ialah aplikasi preparasi enzim ke dalam kantong dialisis Enzim katepsin memiliki aktivitas spesifik optimum pada pH 4 sebesar yang terbuat dari membran semi-permeabel yang 11,5523 U/mg (Gambar 4), hal ini sesuai dengan pendapat Aoki et al. (2000) memungkinkan molekul berukuran kecil untuk bermigrasi (Grogan 2009). Pemurnian parsial hingga tahap dialisis mampu meningkatkan kelipatan pemurnian sebesar 16,8 kali. Rendemen yang dihasilkan pada tahap ini sebesar 24%. Kelipatan pemurnian pada setiap tahap disajikan pada Tabel 1. Karakterisasi Katepsin
Karakterisasi dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh kondisi lingkungan
terhadap aktivitas enzim dan mengetahui kondisi optimum lingkungan untuk mendapatkan enzim dengan aktivitas yang tinggi. Karakterisasi yang dilakukan pada enzim katepsin berupa konsentrasi substrat, tingkat keasaman (pH), suhu, dan pengaruh logam. Tingkat keasaman (pH)
Enzim katepsin memiliki aktivitas spesifik optimum pada pH 4 sebesar 11,5523 U/mg (Gambar 4), hal ini sesuai dengan pendapat Aoki et al. (2000) bahwa enzim katepsin aktif pada pH asam, sementara penelitian yang dilakukan Toyohara et al. (2006) pada daging ikan mas, katepsin A memiliki pH optimum 5. Penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas spesifik optimum pada pH 3. Penelitian yang dilakukan oleh Krause et al. (2010) terhadap enzim katepsin D yang berasal dari daging burung unta (Musculus iliofibularis) menyebutkan katepsin D memiliki aktivitas optimal pada pH 4. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. (2002) terhadap katepsin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan katepsin D memiliki aktivitas
Tabel 1 Peningkatan aktivitas katepsin pada berbagai tahap pemurnian Tahapan Ektrak kasar Presipitasi Dialisis
168
Total protein (mg)
Total aktivitas (U)
Aktivitas spesifik (U/mg)
58,15 2,02 0,83
50 9 12
0,86 4,46 14,44
Yield (%) 100 18 24
Kelipatan pemurnian 1,00 5,20 16,80
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan aktivitas spesifik enzim
spesifik enzim akan lebih kecil jika dibandingkan dengan enzim tanpa adanya
katepsin sampai pada titik tertentu, sementara peningkatan suhu lebih lanjut
logam. Ion logam divalen (BaCl2 dan CaCl2) menghambat kerja enzim lebih
membuat aktivitas spesifik enzim menurun. Penelitian ini enzim katepsin
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2 Enzimdengan katepsin dari ikan bandeng, T. et (AlCl al. 3 dan tinggi, dibandingkan logam monovalen (KCl) Nurhayati, maupun trivalen memiliki aktivitas spesifik optimum pada suhu 40 °C dengan nilai aktivitas
FeCl3) (Gambar 6).
sebesar 6,4982 U/mg (Gambar 5).
16 Aktivitas spesifik (U/mg)
Aktivitas spesifik (U/mg)
7 6 5 4 3 2 1
14 12 10 8 6 4 2 0
0 20
30
40 50 Suhu (°C)
60
Kontrol
70
Gambar 5 Pengaruh suhu terhadap aktivitas spesifik katepsin. Gambar 5 Pengaruh suhu terhadap aktivitas spesifik katepsin
NaCl
BaCl2
CaCl2
AlCl3
FeCl3
Logam
Gambar 6 Pengaruh logam terhadap aktivitas spesifik pada konsentrasi logam 5 mM.
Gambar 6 Pengaruh logam terhadap aktivitas spesifik pada konsentrasi logam 5 mM
Penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap katepsin D
tertinggi pada pH 5,04 (ikan tongkol) dan pH Tingkat enzim mengkatalisis reaksi 4,91 (ikan bandeng). akan meningkat sejalan dengan peningkatan pada suhu 50 ºC. Penelitian yang dilakukan oleh Krause et al. (2010) terhadap yang berasal dari hepatopankreas sotong, menyebukan katepsin D Pengikatan antara enzim dengan suhu (Polgar 1990). Suhu yangaktivitas lebihenzim tinggi enzim katepsin D yangdan berasalreaksi dari daging ikan ostrich menyebutkan katepsin D akan membuat molekul-molekul lebih sering substrat katalisisnya bergantung antara rantai oleh bertabrakan. Konsep ini berlaku juga untuk memiliki pada aktivitasinteraksi optimum pada suhu 45 substrat ºC. Penelitiandengan lain yang dilakukan samping asam amino yang menyusun Jiang et al. (2002) terhadap katepsin D ikan tongkol dan ikansisi bandeng, tumbukan antar molekul substrat dengan aktif enzim. Peristiwa ini harus berada pada enzim, hal ini disebabkan suhu yang tinggi menyatakan enzim katepsin pada ikan tongkol memiliki aktivitas tertinggi pada keadaan ionisasi yang tepat untuk mengikat, akan mengkatalisis reaksi enzimatis, namun suhu 45 °C dan ikan bandeng pada suhu 50 °C. dan hal ini tergantung pada pH medium ketika kenaikan suhu melebihi titik tertentu Tingkat enzim mengkatalisis reaksi akan meningkat sejalan dengan (Jiang et al. 2002). Gugus ionik berperan akan menyebabkan gangguan terhadap dalam menjaga konformasi sisi aktif dalam peningkatan suhu (Polgar 1990). Suhu yang lebih tinggi akan membuat molekul- struktur tersier enzim (Aledo dan Riveres mengikat substrat dan dalam mengubah 2008). Perubahan struktur tersier pada sisi substrat menjadi produk (Baehaki et al. 2005). aktif akan menghambat aktivitas katalitik enzim (Liu et al. 2008).
yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas spesifik optimum Penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap katepsin D
Suhu
Kenaikan suhu meningkatkan aktivitas spesifik enzim katepsin sampai pada titik tertentu, sementara peningkatan suhu lebih lanjut membuat aktivitas spesifik enzim menurun. Enzim katepsin pada penelitian ini memiliki aktivitas spesifik optimum pada suhu 40 °C dengan nilai aktivitas sebesar 6,4982 U/mg (Gambar 5). Penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas spesifik optimum pada suhu 50 ºC. Penelitian yang dilakukan oleh Krause et al. (2010) terhadap enzim katepsin D yang berasal dari daging burung unta menyebutkan katepsin D memiliki aktivitas optimum pada suhu 45 ºC. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. (2002) terhadap katepsin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan enzim katepsin pada ikan tongkol memiliki aktivitas tertinggi pada suhu 45 °C dan ikan bandeng pada suhu 50 °C. Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Pengaruh logam
Keberadaan logam sangat berpengaruh terhadap aktivitas spesifik enzim. Keberadaan logam pada enzim akan menghambat kerja enzim, sehingga aktivitas spesifik enzim akan lebih kecil jika dibandingkan dengan enzim tanpa adanya logam. Ion logam divalen (BaCl2 dan CaCl2) menghambat kerja enzim lebih tinggi, dibandingkan dengan logam monovalen (KCl) maupun trivalen (AlCl3 dan FeCl3) (Gambar 6). Penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong, menyebutkan aktivitas enzim katepsin D akan meningkat oleh keberadaan ion logam Mg2+, Ni2+, Zn2+, Cu2+, Cd2+, Sr2+, and Co2+, sementara keberadaan ion logam Na+, K+, dan Ca2+ tidak berpengaruh terhadap aktivitas enzim katepsin D. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. (2002) terhadap katepsin D 169
(Gambar 7). Semakin banyak molekul substrat yang tersedia, semakin sering
Enzim katepsin dari ikan bandeng, Nurhayati, T. et al.
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
Aktivitas spesifik (U/mg)
molekul-molekul tersebut memasuki sisi aktif molekul enzim.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
Konsentrasi substrat (%)
Gambar 7 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas spesifik katepsin.
Gambar 7 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas spesifik katepsin Konsentrasi substrat itu akan menjadi cukup tinggi pada suatu titik tertentu
ikan sisi tongkol dansemua ikanmolekul bandeng, menyatakan sehingga semua aktif pada enzim sudah ditempati oleh keberadaan logamsisiNa dan substrat K akan substrat, segera setelah produkion meninggalkan aktif, molekul yang lain +
+
meningkatkan aktivitas katepsin D, sementara ion logam Mg2+, Sr2+, Fe2+, dan Hg2+ akan kejenuhan, dan laju reaksi ditentukan oleh kecepatan sisi aktif mengubah substrat menghambat aktivitas katepsin D. menjadi produk. Satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas ketika suatu Kerja enzim dapat dihambat oleh zat enzim telahpenghambat jenuh ialah menambahkan banyak lagi enzim (Champbell 2002). atau lebih inhibitor. Inhibitor non tidak bersaing dengan substrat (5) Bobotkompetitif molekul untuk berikatan denganmenggunakan enzim. SDS-PAGE Inhibitordan Penentuan bobot molekul dilakukan jenis ini akan berikatan dengan enzim pada zimogram. Hasil analisis menggunakan SDS-PAGE dan zimogram disajikan pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif). Sisi aktif Gambar 8. enzim akan berubah jika telah terjadi ikatan enzim-inhibitor, sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Banyak ion logam bekerja sebagai inhibitor non-kompetitif (Grogan 2009). akan masuk. Pada konsentrasi substrat seperti ini, enzim dikatakan mengalami
oleh enzim untuk berikatan dengan sisi aktif enzim sehingga akan terbentuk produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi substrat memberikan pengaruh terhadap aktivitas spesifik enzim yang dihasilkan. Semakin meningkatnya konsentrasi substrat, maka aktivitas spesifik cenderung meningkat sampai titik tertentu. Konsentrasi substrat sebesar 3% merupakan konsentrasi substrat optimum untuk enzim katepsin dengan nilai aktivitas spesifik sebesar 9,3863 U/mg (Gambar 7). Semakin banyak molekul substrat yang tersedia, semakin sering molekul-molekul tersebut memasuki sisi aktif molekul enzim. Konsentrasi substrat itu akan menjadi cukup tinggi pada suatu titik tertentu sehingga semua sisi aktif pada semua molekul enzim sudah ditempati oleh substrat, segera setelah produk meninggalkan sisi aktif, molekul substrat yang lain akan masuk. Pada konsentrasi substrat seperti ini, enzim dikatakan mengalami kejenuhan, dan laju reaksi ditentukan oleh kecepatan sisi aktif mengubah substrat menjadi produk. Satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas ketika suatu enzim telah jenuh ialah menambahkan lebih banyak lagi enzim (Champbell et al. 2002).
Konsentrasi substrat
Konsentrasi substrat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Substrat dibutuhkan
Bobot molekul
Penentuan bobot molekul dilakukan menggunakan SDS-PAGE dan zimogram.
97 kD 66 kD 45 kD 30 kD 20,1 kD 14,4 kD
(A)
(B)
(B) (C) Gambar 8 Penentuan bobot molekul enzim katepsin dengan SDS PAGE (A) dan zimogram (B).
170
Gambar 8 Penentuan bobot molekul enzim katepsin dengan SDS PAGE (A) dan zimogram (B), ilustrasiMasyarakat dari hasil zimogram Pengolahan Hasil(C) Perikanan Indonesia Bobot molekul ditentukan berdasarkan kurva standar, pada SDS
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
Hasil analisis menggunakan SDS-PAGE dan zimogram disajikan pada Gambar 8. Bobot molekul ditentukan berdasarkan kurva standar, pada SDS diketahui persamaannya Y= -1,037x + 2,112, sementara pada zimogram diketahui persamaannya Y= - 1,384x + 2,145. Enzim katepsin baru terlihat aktivitas katalitiknya pada tahap presipitasi dan dialisis, pada tahap ini enzim katepsin teridentifikasi memiliki bobot molekul 88,67 kDa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Balti et al. 2010) terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong (Sepia officinalis) terestimasi memiliki bobot molekul 37,5 kDa. Katepsin D yang berasal dari daging burung unta memiliki bobot molekul 29,1 kDa (Krause et al. 2010). Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. (2002) terhadap katepsin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan katepsin D pada ikan tongkol terestimasi sebesar 51 kDa dan pada ikan bandeng sebesar 54 kDa. KESIMPULAN
Aktivitas spesifik optimum enzim katepsin diperoleh pada presipitasi menggunakan amonium sulfat 70% dan dialisis selama 6 jam. Kondisi optimum lingkungan untuk aktivitas enzim katepsin yang tinggi ialah suhu 40 °C, pH 4, dan konsentrasi substrat 3%. Ion logam divalen menghambat kerja enzim lebih tinggi dibandingkan dengan logam monovalen maupun trivalen. Enzim katepsin teridentifikasi memiliki bobot molekul sebesar 86,67 kDa. DAFTAR PUSTAKA
Aoki T, Yamashita T, Ryuji U. 2000. Distribution of cathepsins in red and white muscles among fish species. Fisheries Science 66(4): 776-782. Aledo JC, Riveres SJ. 2008. The effect of temperature on the enzyme catalyzed reaction: insights from thermodynamics. Journal Chemical Education 87(3): 296298. Baehaki A, Nurhayati T, Suhartono MT. 2004. Karakterisasi protease bakteri Aeromonas Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Enzim katepsin dari ikan bandeng, Nurhayati, T. et al.
hydrophila. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 7(2): 60-71. Baehaki A, Nurhayati T, Suhartono MT. 2005. Karakterisasi protease dari bakteri pathogen Staphylococcus epidermidis. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 8(2): 25-34. Balti F, Noomen H, Kemel J, Naima NA, Guillochon D, Moncef N. 2010. Cathepsin D from hepatopancreas of the cuttlefish (Sepia officinalis): purification and characterization. Journal Agricultural Food Chemistry 19:10623-10630. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantification of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein dye binding. Analitical Biochemistry 72: 234-254. Champbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi Ed ke-5. Manalu W, penerjemah. Terjemahan dari Biology. Jakarta: Erlangga. Dinu D, Dumitru IF, Neichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two chatepsin from muscle of Carrassius auratus gibelio. Roumanian Biotechnological Letters 7(3): 753-758. Grogan G. 2009. Practical Biotransformation. Postgraduates Chemistry Series. Chichester: John Willey & Sons Ltd. Jiang ST, Her YH, Lee JJ, Jeng HW. 2002. Comparison of the cathepsin D from mackerel (Scomber australasicus) and milkfish (Chanos chanos) muscle. Bioscience, Biotechnology, Biochemistry 57(4): 571-577. Kolodziejska I, Sikorski ZE. 1996. Neutral and alkaline muscle proteases of marine fish and invertebrates - A review. Journal of Food Biochemistry 20: 349-363. Krause J, Shonisani CT, Tomohisa O, Yasuharu, Vaughan, Benesh S, Muramoto K, Ryno JN. 2010. Purification and partial characterization of ostrich skeletal muscle cathepsin D and its activity during meat maturation. Journal Meat Science 87(3): 196-201. 171
Enzim katepsin dari ikan bandeng, Nurhayati, T. et al.
Ladrat DC, Cheret R, Taylor R, Bagnis VV. 2006. Trends in postmortem aging in fish: understanding of proteolysis and disorganization of the myofibrillar structure. Critical Review in Food Science and Nutrition 46(5): 409-421 Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the heat of bacteriophag T4. Nature 227: 680-685. Liu H, Yin L, Li S, Zhang N, Ma C. 2008. Effects of endogenous cathepsin b and l on degradation of silver carp myofibrillar
172
JPHPI 2012, Volume 15 Nomor 2
proteins. Journal of Muscle Foods 19(2): 125-139. Morrissey MT, Hartley PS, An H. 1995. Proteolysis in Pacific Whiting and Effect of Surimi Processing. Journal of Aquatic Food Product Technology 4(4): 5-18. Polgar L. 1990. Mechanism of Protease Action. Florida: CRC Press. Toyohara H, Makinodan Y, Ikeda S. 1981. Purification and properties of carp muscle cathepsin A. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries 48(8): 1145-1150.
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia