3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi, Klasifikasi dan Komposisi Kimia Ikan Bandeng Deskripsi dan klasifikasi merupakan bagian yang penting dalam mempelajari suatu jenis ikan. 2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan bandeng Bandeng (Gambar 1) mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan muda dan dewasa dapat menyesuaikan diri pada perubahan salinitas. Ikan ini juga dapat bertahan pada perubahan jumlah makanan yang tiba-tiba. Makanan alami mereka adalah bentos dan fitoplankton. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yakni suhu, pH, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Schuster 1959; Ghufron dan Kardi 1997). Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chanos
Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri dengan adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini hanya ditemukan di Indonesia (Schuster 1959).
Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (FAO 2011).
4
Swanson (1998) menyatakan bahwa kadar garam perairan (salinitas) berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku ikan. Pertumbuhan ikan yang lebih tinggi pada salinitas 50‰ dibandingkan salinitas 35‰ dan pertumbuhannya sedang pada salinitas 15‰, sedangkan aktivitas paling tinggi ditunjukkan ikan dengan salinitas air 35‰. Pola yang bervariasi tersebut berhubungan dengan laju metabolisme ikan dengan kisaran salinitas yang relatif tinggi, yaitu 15‰ dan 55‰. Toleransinya yang besar terhadap salinitas tersebut sangat menguntungkan petani ikan. Ikan bandeng juga dapat dibudidaya secara polikultur. Suharyanto (2008)
melakukan
penelitian
tentang
kemungkinan
polikultur
rajungan
(Portunus pelagius), udang vanamei (Litopenaeus vannamei), ikan bandeng (Chanos chanos), dan rumput laut (Gracilari sp.) di tambak dan pakan yang diberikan ikan rucah (Clupea sp.) selama 105 hari mendapatkan hasil, produksi rajungan adalah 32,6% (18 kg), udang vanamei 70% (10%), ikan bandeng 100% (30 kg), dan rumput laut 125% (36,25 kg). Temperatur adalah faktor utama yang bertanggung jawab terhadap pembatasan habitat spesies pada daerah tropis dan subtropis di Samudera Hindia dan Pasifik. Batas maksimal toleransi suhu Chanos chanos di atas spesies laut lainnya, Chanos chanos dapat bertahan pada suhu di atas 40 ºC (Schuster 1959). Chanos chanos juga ditemukan di pantai-pantai sekitar Laut Merah, pantai timur Afrika termasuk Zanzibar dan Madagaskar, Teluk Aden, pantai barat daya, selatan dan barat India, pantai Ceylon, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Taiwan, perairan antara Filipina dan Indonesia, pantai-pantai di Australia, New Zealand, New Guinea, Fiji, Samoa, the Society, Gilbert, Lau dan Pulau Tuamoto, kepulauan Hawai, pantai barat USA (selatan San Francisco), teluk California dan pantai Meksiko. Berdasarkan informasi ini, sebaran geografis spesies ini adalah dari 40º BT-100º BB dan 30º-40º LU sampai 30º-40º LS (Schuster 1959). 2.1.2 Komposisi kimia ikan bandeng Ikan merupakan pangan yang bergizi. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia ikan bandeng.
5
Tabel 1 Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) Zat gizi
Jumlah
Satuan
Kalori
126
Kalori
Protein
17,4
Gram
Lemak
5,7
Gram
Air
60,2
Gram
Kalsium
43,4
Milligram
Fosfor Besi Vitamin A
138 0,3 85
Milligram Milligram Milligram
Vitamin B6
0,4
Milligram
Vitamin B12
2,9
Milligram
Sumber: www.nutritiondata.com (2007)
Jaringan ikan sebagian besar terdiri dari protein. Kandungan protein dalam daging ikan sehat adalah 16-18%. Protein ditemukan di dalam semua sel dan semua bagian sel (Lehninger 1982; Burgess et al. 1967). Satu molekul protein dapat terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan dapat mencapai jumlah ratusan dari setiap macam asam aminonya. Berdasarkan kelarutannya dalam air, protein dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma (Suhardjo dan Kusharto 1987; Muchtadi et al. 1993). Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktin). Penyusun utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin (sebesar 50-60% dari total protein miofibril). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial yang dapat meningkatkan elastisitas gel protein. Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot (Muchadi et al. 1993; Suzuki 1981). Menurut Nurjanah et al. (2004), protein larut garam pada ikan merupakan protein miofibril. Kadar miofibril dalam daging ikan 65-75% yang terdiri dari miosin, aktin, dan komponen minor lainnya. Sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua di dalam protein daging, memiliki
6
sifat larut dalam air dan secara umum ditemukan dalam plasma sel. Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan mengganggu pembentukan gel (Hall dan Ahmad 1992). Sarkoplasma memiliki bobot molekul yang relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (Muchtadi et al.1993). Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi (0,01-0,10) M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Selain protein stroma, protein kontraktil, seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak (Suzuki 1981). Analisis protein untuk bahan pangan, umumnya lebih ditujukan pada kadar total protein daripada keberadaan protein spesifik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan faktor 6,25 dan kadar protein yang dilaporkan adalah kadar protein kasar (crude protein) (Danitasari 2010). Kandungan lemak pada suatu makanan dapat rendah maupun tinggi hal tersebut tergantung pada bahannya. Asam lemak dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh, asam lemak jenuh bertitik leleh lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh (deMan 1997). Asam lemak tak jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid/MUFA). Asam lemak yang mengandung dua atau
lebih
ikatan
rangkap
disebut
asam
lemak
tak
jenuh
majemuk
(Polyunsaturated fatty acid/PUFA) (Muchtadi et al. 1993). Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk. Asam lemak tidak jenuh umumnya terdapat dalam bentuk cis, sedangkan bentuk trans banyak terdapat pada asam lemak susu ruminansia pada hewan teresterial dan lemak yang telah dihidrogenasi (Muchtadi et al. 1993). Lemak daging ikan mengandung asam-asam lemak jenuh dengan panjang rantai C14-C22 dan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan 1-6. Lemak ikan berbeda dengan lemak pada tanaman dan hewan darat. Lemak
7
tanaman dan hewan darat jarang yang memiliki asam lemak dengan rantai karbon lebih dari 18 (Adawyah 2006; Nurjanah dan Abdullah 2010). Ikan tidak makan terlalu banyak karbohidrat, tetapi makanan mereka mengandung banyak protein dan lemak. Ketiga jenis makanan, karbohidrat, lemak dan protein dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan energi. Jika total pemasukan makanan kurang dari total kebutuhan energi yang dibutuhkan, maka jaringan lemak akan digunakan untuk melengkapinya. Lemak tidak dapat menggantikan protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tetapi dapat menjaga cadangan protein (Burgess et al. 1967). Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Glikogen terdapat dalam jumlah jumlah terbanyak dari karbohidrat yang terdapat pada daging ikan yaitu 0,05 – 0,085 %, selain itu terdapat juga glukosa (0,038 %), asam laktat (0,005 – 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme karbohidrat (Hadiwiyoto 1993). Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran). Pada proses pembakaran yang terbakar adalah bahan-bahan organik karena itulah disebut abu (deMan 1997; Winarno 1992). Akan tetapi mineral yang didapat dengan pembakaran tidak mengandung nitrogen yang ada dalam protein, sehingga jumlahnya berbeda dengan kandungan mineral bahan yang sebenarnya. Karbonat dalam abu dapat dibentuk karena penguraian bahan organik. Beberapa unsur sesepora (trace elements) dan beberapa garam dapat hilang karena penguapan. Oleh karena itu, jumlah mineral dalam makanan bergantung kepada metode analisisnya (deMan 1997). Mineral dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu komponen garam utama dan unsur sesepora (trace elements). Komponen garam utama mencakup kalium, natrium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat, fosfat, dan bikarbonat. Unsur sesepora dapat dibagi menjadi tiga golongan yang pertama adalah unsur gizi esensia, termasuk Fe, Cu, I, Co, Mn, dan Zn, yang kedua adalah unsur gizi nontoksik, termasuk Al, B, Ni, Sn, dan Cr, dan yang terakhir adalah unsur nongizi dan toksik, termasuk Hg, Pb, As, Cd, dan Sb (deMan 1997).
8
Vitamin yang terdapat pada daging ikan terbagi menjadi dua golongan, yaitu vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B kompleks dan vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, dan E. Vitamin A dan D banyak ditemukan pada spesies-spesies ikan berlemak, terutama dalam hati, seperti pada ikan cod (Junianto 2003). 2.2 Kemunduran Mutu Ikan Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan dan kemunduran mutu (perishable food). Kerusakan ini dapat terjadi secara biokimiawi maupun mikrobiologi. Proses kerusakan ikan ini berlangsung cepat terutama di daerah tropis yang mempunyai kelembaban harian yang tinggi. Proses tersebut dipercepat dengan praktek-praktek penangkapan atau pemanenan yang tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sarana pemasaran dan sebagainya (Yuniarti 2010). Menurut Eskin (1990) ikan yang telah mati akan mengalami perubahanperubahan yang mengakibatkan penurunan mutu ikan. Perubahan biokimia dan fisikokimia mengakibatkan turunnya kesegaran ikan. Proses perubahan tersebut dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor. Jika masih ingin dilanjutkan penyimpanan ikan yang telah mencapai fase post rigor selanjutnya ikan akan masuk pada kebusukan. Ikan yang busuk sudah tidak layak konsumsi lagi, biasanya ikan ini hanya digunakan sebagai tepung ikan. Kondisi daging ikan pada fase pre rigor masih lembut dan lunak, dan secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat, seperti halnya pada reaksi aktif glikolisis. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian dan terjadi perubahan susunan yang kompleks pada daging. Sirkulasi darah yang terhenti pada ikan mati akan mengakibatkan habisnya aliran oksigen di dalam jaringan. Tahap berikutnya adalah terjadinya perubahan ATP yang telah terbentuk selama ikan masih hidup sebagai sumber energi, sehingga sumber ATP semakin berkurang. Adenosin trifosfat (ATP) mengalami perubahan akibat aktivitas enzim ATPase, bersamaan dengan itu glikogen akan diurai menjadi asam laktat. Proses ini menyebabkan terjadinya akumulasi asam laktat sehingga pH jaringan otot ikan akan terus menurun, kondisi ini disebut rigor mortis. Rigor mortis ditandai dengan
9
keadaan otot yang kaku dan keras. Lamanya tahap rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Pada fase rigor mortis terjadi penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Kelenturan otot yang hilang ini diakibatkan ion Ca2+ yang berikatan dengan protein troponin sehingga menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Adenosin trifosfat merupakan sumber energi tertinggi bagi aktivitas ikan. Pada ikan mati, ATP diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kemudian ATP mulai mengalami penguraian ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase akan menghasilkan energi. Penguraian tersebut terjadi berdasarkan reaksi berikut ini (Eskin 1990): ATP + H2O
ATPase
ADP + H3PO4
Otot ikan ketika baru mati memiliki pH netral atau sedikit basa. Selama rigor mortis, nilai pH perlahan-lahan turun menjadi 6,2-6,5 karena akumulasi asam laktat. Kandungan glikogen yang lebih banyak pada otot ikan mati akan memperpanjang fase rigor mortis (Govidan 1985). Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen melalui proses glikolisis menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990). Fase post rigor terjadi pada saat otot ikan melunak setelah melewati fase rigor mortis terjadi kenaikan pH ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan (Govidan 1985). Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel lunak. Selama rigor, gel ini menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging menjadi lunak, keadaan ini berlangsung selama 1-7 jam sesaat setelah ikan mati.
10
Nilai pH daging ikan pada fase ini sekitar 6-7. Kelenturan ikan yang hilang tersebut karena terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Lama tahap rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungannya. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor (Eskin 1990). Penguraian protein daging ikan karena aktivitas enzim proteolitik mengakibatkan daging ikan menjadi lunak, mudah dilepaskan dari tulang, kehilangan elastisitasnya, dan meninggalkan bekas jari pada saat ditekan (Govidan 1985). Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yng dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya oksigen menjadi asam lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan, perubahan warna daging menjadi pucat yang mengarah pada rasa, bau dan perubahan lain yang tidak dikehendaki. Geesink et al. (2006) melakukan penelitian mengenai peran µ-kalpain terhadap proteolisis post mortem pada protein otot menghasilkan kesimpulan bahwa µ-kalpain memiliki peran yang sangat besar dalam aktivitas proteolisis post mortem. Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Pada daging ikan yang masih segar bakteri dapat ditemukan di permukaan kulit, insang, dan saluran pencernaan. Pada ikan mati, bakteri yang terkonsentrasi pada ketiga tempat tersebut perlahan-lahan berpenetrasi dan bergerak aktif menyebar ke seluruh jaringan dan organ ikan selanjutnya mulai dijadikan tempat berkembangnya bakteri. Dekomposisi berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, saat itu jaringan otot longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan (Irianto dan Giyatmi 2009). 2.3 Histologi Histologi (Histos = jaringan, Logos = ilmu) mempelajari struktur jaringan tubuh hewan. Histologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dari hewan atau tumbuhan secara terperinci dan hubungan antara pengorganisasian sel dan jaringan serta fungsi-fungsi yang dilakukannya. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis (Hartono 1989).
11
2.3.1 Jaringan otot Peranan jaringan otot yang utama ialah sebagai alat gerak, karena sifatnya yang mampu berkontraksi. Kontraksi dapat berlangsung bila ada rangsangan (stimulus) dari syaraf atau pengaruh lain (Hartono 1989).
Ikan seperti juga
vertebrata lainnya memiliki tiga tipe sel otot: (1) lurik, tidak bercabang, bekerja secara sadar; (2) otot jantung yang terdiri dari serabut otot bercabang dan (3) otot halus yang bekerja secara tidak sadar. Otot lurik dibagi menjadi dua jenis, yaitu merah and putih. Otot merah (Gambar 2) memiliki jumlah mitokondria dan aktivitas respirasi yang lebih besar dibandingkan dengan otot putih (Gambar 3) (Morrison et al. 2007).
Gambar 2 Otot merah ikan (Morrison et al. 2007).
Gambar 3 Otot putih ikan (Morrison et al. 2007).
12
2.3.2 Mata Mata terdiri dari tiga bagian dasar atau lapisan (Gambar 4). Bagian paling luar disebut fibrous tunic, yang dibagi menjadi kornea dan sklera. Fibrous tunic memberikan mata bentuk yang cocok sebagai sistem visual. Bagian luar dari fibrous tunic adalah kornea yang transparan sehingga memungkinkan cahaya masuk dan bentuknya cocok sebagai refraktor (pembelok) cahaya dengan tepat menuju retina mata (Samuelson 2007). Bagian tengah mata (Gambar 4) terdapat uvea atau vaskular tunic atau pembungkus yang terdiri dari koroid, ciliary body dan iris. Koroid terletak pada pertengahan posterior mata diantara sklera dan retina. Fungsi koroid adalah menyediakan makanan untuk retina yang sangat tinggi metabolismenya. Ciliary body berfungsi sebagai tempat pelekatan lensa dan tempat produksi cairan aqueous humor. Bagian anterior dari vaskular tunic adalah iris, yaitu perpanjangan ciliary body. Iris sangat kaya pigmen dan otot (pupil) yang mampu mengatur jumlah cahaya untuk masuk ke bagian posterior (retina). Bagian ketiga dan yang paling sentral adalah retina (Gambar 5) dan saraf optik. Retina terdiri dari sel-sel sensitif cahaya dan fotoreseptor yang mentransmisikan rangsangan kepada otak melalui saraf optik. Bagian lainnya dari mata adalah cairan intraokular yang terdiri dari vitreous dan aquaeos humor yang bersama-sama menciptakan sebuah medium transparan
untuk mentransmisikan cahaya
(Samuelson 2007).
Gambar 4 Anatomi mata (Care and healed 2010).
13
Gambar 5 Retina mata ikan normal (Morrison et al. 2007). 2.4 Pembuatan Preparat Histologi Proses pembuatan preparat histologis disebut mikroteknik. Jaringan yang diambil kemudian diproses secara fiksatif untuk menjaga agar sediaan tidak rusak (bergeser posisinya, membusuk atau rusak). Proses ini juga dapat mengawetkan morfologi jaringan sehingga tetap seperti keadaan sewaktu hidup dan mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Zat fiksatif yang baik adalah zat yang dapat mengeraskan jaringan dengan cukup cepat sehingga tidak terjadi perubahan bentuk pada saat proses-proses selanjutnya dilakukan (Tabel 3). Zat yang umum digunakan adalah formalin sebab memiliki karakteristik mampu menembus dan memfiksasi jaringan dengan cepat, menyimpan dan mempertahankan lemak, myelin, serabut-serabut saraf, amiloid, homosiderin dan komponen alat tubuh lainnya (Salim 2010; Rumawas et al. 1974). Menurut Samuelson (2007), fiksasi dilakukan dengan mengekspos jaringan pada pengawet kimia seperti formaldehid. Pengeksposan ini dapat dilakukan dengan cara aktif dan pasif (Tabel 2).
14
Tabel 2 Perbedaan fiksasi aktif dan pasif Kriteria Waktu Jumlah fiksatif (agen fiksasi) Cara fiksasi Ukuran spesimen
Fiksasi aktif (perfusion fixation) relatif lebih cepat relatif lebih sedikit Fiksatif diinjeksi ke dalam arteri utama relatif besar
Fiksasi pasif (immersion fixation) lebih lambat perbandingan dengan sampel 5:1 merendam sampel dalam fiksatif kecil (ketebalan 2 cm atau lebih kecil)
Sumber: Samuelson (2007)
Proses fiksasi dilanjutkan dengan dehidrasi yang merupakan proses menarik air dalam jaringan sehingga jaringan menjadi keras dan kadar airnya menjadi sangat kecil. Proses selanjutnya adalah clearing atau penjernihan yang bertujuan menarik alkohol dari jaringan sehingga jaringan menjadi jernih,lebih keras tetapi elastis (Rumawas et al. 1974). Embedding merupakan proses memasukkan parafin cair ke dalam sel. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam pemotongan jaringan menjadi sangat tipis. Parafin menerobos masuk ke dalam jaringan tanpa mengganggu struktur selsel dan zat-zat dalam jaringan. Jaringan yang telah dibenamkan dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan dan selanjutnya akan dipotong (Rumawas et al. 1974).
Hidrasi
merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek yang dilakukan setelah proses dewaxing (pengeluaran parafin). Preparat siap diwarnai, pewarna yang sering digunakan adalah pewarna hematoksilin-eosin. Hematosikslin adalah zat warna alami yang pertama digunakan pada tahun 1863. Zat ini memiliki afinitas yang kecil terhadap jaringan jika digunakan sendiri, sehingga dikombinasikan dengan aluminium, besi, kromium, tembaga dan wolfram (yang berfungsi sebagai penajam atau katalisator) akan menjadi pewarnaan yang baik untuk inti dan kromatin. Bahan aktifnya, yaitu hematein, dibentuk dengan mengoksidasi hematosiklin. Proses ini dikenal dengan nama “pamatangan” selama beberapa hari/minggu jika tidak dipercepat dengan penambahan suatu bahan oksidator (oxydizing agent), seperti HgO dan H2O2. Formula yang paling sering dimasukkan pada pewarnaan dengan hematosiklin
15
adalah pengkombinasian dengan aluminim dalam bentuk tawas. Potongan jaringan yang diwarnai dengan hematosiklin ini biasanya ditambahkan dengan eosin, safranin atau pewarna kontras lainnya. Kombinasi hematosiklin dengan besi atau wolfram/tungsten sering digunakan dalam pewarnaan khusus. Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent misalnya enthelan (Rumawas et al. 1974). Tabel 3 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet Larutan Pengawet Formalin
Kelebihan
Kekurangan
Cairan pengawet umum, pH netral, potongan jaringan dapat ditinggalkan dalam pengawet tanpa terjadi perubahan berarti (sampai 1 tahun)
Waktu perendaman > 24 jam, terjadi pengerutan jaringan
Muller
Daya penetrasi cepat dan baik, memfiksasi nukleus dan sitoplasma dengan baik
Jika sampel direndam dalam pengawet (> 24 jam), jaringan menjadi rapuh, tidak dapat dipakai untuk pewarnaan dengan metode histokimia, harus dicuci dulu dengan air kran mengalir sebelum dilakukan dehidrasi
Bouin
Daya penetrasi cepat dan merata tetapi menyebabkan pengerutan, memberikan warna cemerlang bila diwarnai dengan metode trichrome, sangat baik untuk nukleus dan kromoson, warna kuning membuat jaringan mudah dilihat saat perendaman dan pengirisan jaringan
Bila direndam dalam pengawet (> 24 jam), jaringan menjadi rapuh, harus dicuci dulu dengan air kran untuk menghilangkan kelebihan pikrat
Zenker Formol (Cairan Helly)
Daya fiksasi cepat dan kuat, sangat baik untuk fiksasi sumsum tulang, limpa dan organ lain yang banyak mengandung darah, warna sitoplasma menjadi lebih cemerlang
Pemaparan jaringan dalam larutan yang melebihi waktu yang ditentukan mengakibatkan jaringan rapuh
Sumber: Zulham (2009)
16
Pada proses pembuatan preparat histologis sering terjadi beberapa kesalahan sehingga terjadi kegagalan. Samuelson (2007 menguraikan beberapa masalah yang mungkin terjadi beserta langkah koreksinya (Tabel 4). Tabel 4 Masalah-masalah dalam preparasi histologis spesimen Problem Fiksasi yang tidak cukup (inadequate fixation)
Penyebab Agen fiksasi yang tidak cocok, ukuran spesimen yang terlalu besar
Hasil Kesulitan embedding (uneven embedding), lautan hipotonik akan mengembungkan spesimen, larutan hipertonik akan mengerutkan spesimen, improper staining
Langkah koreksi Uukuran specimen diperkecil atau dilakukan fiksasi dengan metode perfusion, lihat kembali kekuatan agen fiksatif untuk mendapat tonisitas yang terbaik
Improper embedding
Fiksasi yang tidak cukup dan atau dehidrasi, medium embedding yang tidak cukup
Specimens section unevenly, adanya lubang-lubang di dalam section
Tingkatkan fiksasi, gunakan mediam embedding yang seharusnya
Irregular sections
Embedding yang tidak cukup, penggunaaan pisau yang tumpul, kesalahan microtome
Adanya bekas tekanan, spesimen terburai
Gunakan pisau sekali pakai yang baru atau pisau yang tajam, perbaiki mikrotom
Inadequate staining
Fiksasi yang tidak cukup, stain dan pewarna yang sudah lama
Sedikit atau didak ada Tingkatkan fiksasi, warna yang terbagi buat larutan stain dan oleh stain atau pewarna pewarna yang baru
Sumber: Samuelson (2007)