151
Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng... (Erna Ratnawati)
FAKTOR PENGELOLAAN YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI TAMBAK KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN Erna Ratnawati, Akhmad Mustafa, dan Anugriati Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka 129 Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Produktivitas tambak di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan sangat bervariasi yang dapat disebabkan oleh bervariasinya pengelolaan yang dilakukan oleh pembudidaya tambak. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor pengelolaan tambak yang mempengaruhi produksi ikan bandeng (Chanos chanos) di tambak Kabupaten Bone. Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai untuk mendapatkan data primer dari produksi dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur. Sebagai peubah tidak bebas adalah produksi ikan bandeng dan peubah bebas adalah faktor pengelolaan tambak yang terdiri dari 21 peubah. Analisis regresi berganda dengan peubah boneka tertentu digunakan untuk memprediksi produksi ikan bandeng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, umumnya pembudidaya tambak di Kabupaten Bone melakukan polikultur ikan bandeng dan udang windu (Penaeus monodon) di tambak, tetapi akibat serangan penyakit berdampak pada kegagalan atau produksi udang windu yang sangat rendah. Produksi ikan bandeng di Kabupaten Bone berkisar antara 10 sampai 2.990 kg/ha/musim dengan rata-rata 292,2 kg/ha/musim. Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng adalah: padat penebaran ikan bandeng, lama ikan bandeng digelondongkan, padat penebaran udang windu, lama pemeliharaan ikan bandeng, dosis pupuk TSP/SP-36 susulan dan lama pengangkutan gelondongan ikan bandeng. Produksi ikan bandeng ini masih dapat ditingkatkan melalui peningkatan ukuran gelondongan ikan bandeng yang ditebar, penambahan dosis pupuk TSP/SP-36 sebagai pupuk susulan serta menambah lama pemeliharaan ikan bandeng dan sebaiknya menurunkan padat penebaran udang windu yang dipolikultur dengan ikan bandeng.
KATA KUNCI:
pengelolaan, tambak, produksi, ikan bandeng, Kabupaten Bone
PENDAHULUAN Jenis perikanan budidaya yang dilakukan di Indonesia meliputi: budidaya laut, budidaya tambak, budidaya kolam, dan budidaya sawah. Di antara berbagai jenis perikanan budidaya tersebut, produksi tertinggi yaitu 559.612 ton (38,10% dari total produksi perikanan budidaya) berasal dari budidaya tambak dengan luas mencapai 489.811 ha (luas kotor) pada tahun 2004 (Anonim, 2006). Usaha perikanan budidaya tambak merupakan kegiatan yang memanfaatkan kawasan pesisir yang mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan masyarakat pesisir, penyedia lapangan kerja, dan perolehan devisa negara yang potensial. Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi budidaya tambak dan memiliki tambak terluas yaitu 104.240 ha atau sekitar 21,28% dari total luas tambak di Indonesia pada tahun 2004. Secara geografis, tambak di Sulawesi Selatan dijumpai di kawasan pesisir dari pantai barat, pantai selatan, dan pantai timur. Di pantai selatan Sulawesi Selatan, tambak dijumpai di Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Kepulauan Selayar (sebelumnya Kabupaten Selayar). Sampai tahun 2002, tambak terluas di pantai selatan Sulawesi Selatan dijumpai di Kabupaten Bulukumba yang mencapai luas 4.326 ha (Anonim, 2002) dan menurun menjadi 3.576 ha pada tahun 2006 (Anonim, 2006). Produksi total tambak di Kabupaten Bulukumba pada tahun 2006 mencapai 8.588,1 ton yang terdiri atas ikan, krustase, dan rumput laut, masing-masing 1.382,7; 1.200,4; dan 6.005,0 ton (Anonim, 2006). Produktivitas tambak ini diharapkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak yang tepat. Pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pembudidaya tambak sangat bervariasi. Pemupukan dan pengapuran serta ketersediaan air dan adanya saluran memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas tambak di Kabupaten Maros, Takalar, dan Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan (Hanafi, 1990). Dengan demikian, perlu upaya untuk mengetahui faktor pengelolaan yang berpengaruh
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
152
terhadap produktivitas tambak yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan produktivitas tambak. Pengelolaan tambak merupakan faktor penting setelah penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan budidaya tambak berkelanjutan (Karthik et al., 2005). Identifikasi dari peubah faktor pengelolaan tambak yang tidak mempengaruhi produktivitas tambak perlu diketahui supaya dapat diikuti oleh pembudidaya untuk mengefektifkan biaya produksi tanpa mempengaruhi produktivitas tambak. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dominan pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produksi udang windu di tambak Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di kawasan pertambakan yang ada di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di Kecamatan Kajuara, Salomekko, Tonra, Mare, Sibulue, Barebbo, Awangpone, Tellu Siattinge, Cenrana, dan Tanete Riattang Timur (Gambar 1). Untuk mendapatkan informasi awal
Gambar 1. Titik-titik pengamatan pada tambak di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan
153
Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng... (Erna Ratnawati)
mengenai kegiatan budidaya tambak di Kabupaten Bulukumba, maka dilakukan pertemuan dengan staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone di Watampone. Penelitian diawali dengan melihat secara keseluruhan tambak yang ada di Kabupaten Bone. Titik-titik pengamatan atau tambak terpilih ditentukan secara acak. Pembudidaya tambak dari tambak terpilih menjadi responden dalam penelitian ini. Titik-titik pengamatan ditentukan posisinya dengan Global Positioning System (GPS). Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai, termasuk untuk mendapatkan data primer dari produksi dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur (Wirartha, 2006). Sebagai peubah tidak bebas dalam penelitian ini adalah produksi ikan bandeng di tambak. Peubah bebas adalah pengelolaan tambak yang terdiri dari 25 peubah, yaitu: aplikasi remediasi, pengeringan tambak, keduk teplok, perbaikan pematang, perbaikan pintu air, pemberantasan hama awal, pemupukan urea awal, pemupukan SP-36 awal, pengapuran awal, tinggi air, pemberantasan hama susulan, pemupukan urea susulan, pemupukan SP-36 susulan, pengapuran susulan, sumber benur windu, sistem budidaya, padat penebaran bandeng, padat penebaran udang windu, adaptasi benur windu, sumber air tambak, volume pergantian air, frekuensi pergantian air, sistem ganti air, jenis penyakit, dan lama pemeliharaan. Model persamaan regresi berganda yang diuji adalah (Sokal & Rohlf, 1981; Tabachnick & Fidell, 1996): Y = a + b1X1 + b2X2 + … + bnXn di mana : Y = produksi udang windu a = koefisien konstanta b1, b2…b n = koefisien regresi X 1,X 2,…X n = peubah bebas yaitu pengelolaan tambak Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum (minimum, maksimum, ratarata, simpangan baku) dari data yang ada. Sebagai peubah boneka pada penelitian ini adalah: aplikasi remediasi, keduk teplok, perbaikan pematang, perbaikan pintu air, sumber benur windu, sistem budidaya, adaptasi benur windu, sumber air tambak, sistem pergantian air, dan jenis penyakit. Grafik plot PP (Probabilitas harapan dan Probabilitas pengamatan) digunakan untuk menguji kenormalan distribusi data. Matriks korelasi digunakan untuk mengetahui adanya gejala multikolinearitas. Uji DW (Durbin-Watson) digunakan untuk mendeteksi adanya gejala autokorelasi. Dalam memilih persamaan regresi ganda ‘terbaik’ maka digunakan metode langkah mundur atau backward (Draper & Smith, 1981). Uji R 2 yang disesuaikan ( adjusted R 2) digunakan untuk mengetahui besarnya peubah bebas menjelaskan peubah tidak bebas. Uji F digunakan untuk menguji signifikansi model regresi dan Uji t untuk menguji signifikansi koefisien regresi dari setiap peubah bebas. Taraf signifikansi ditetapkan sebesar 0,05. Seluruh data dianalisis dengan bantuan Program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15,0 (SPSS, 2006; Coakes et al., 2008). HASIL DAN BAHASAN Seluruh responden yang didapatkan di Kabupaten Bone melakukan budidaya tambak melalui polikultur antara ikan bandeng dan udang windu. Seperti telah diketahui bersama bahwa kedua komoditas tersebut dapat dibudidayakan secara polikultur. Polikultur ikan bandeng dan udang windu sudah menjadi pilihan bagi pembudidaya tambak di Sulawesi Selatan, terutama setelah terjadi serangan penyakit terhadap udang windu pada tahun 2002 untuk mengurangi risiko kegagalan total. Di Asia, polikultur biasa diterapkan pada sistem budidaya semi-intensif, tetapi monokultur masih dominan (Ling et al., 2001). Udang windu dan ikan bandeng adalah komoditas yang dapat dipolikulturkan di tambak (Ranoemihardjo et al., 1979; Eldani & Primavera, 1981). Kedua komoditas tersebut secara umum menuntut kondisi lingkungan yang relatif sama, tetapi menempati relung ekologi yang berbeda dalam tambak. Perbedaan habitat makanan dari kedua komoditas tersebut yang menyebabkan tidak terjadi kompetisi di antaranya (Eldani & Primavera, 1981). Konsep dasar dari polikultur adalah jika
154
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
dua atau lebih spesies ikan yang cocok dipelihara secara bersama-sama akan meningkatkan produksi (Reich, 1975 dalam Eldani & Primavera, 1981; Shang, 1986). Akan tetapi sebagai akibat serangan penyakit terhadap udang windu, menyebabkan hampir seluruh responden hanya memanen ikan bandeng dan hanya sebagian kecil yang memanen udang windu. Udang windu yang dipanen itupun tergolong sangat rendah produksinya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, hanya produksi ikan bandeng yang dianalisis. Budidaya tambak di Kabupaten Bone dilakukan pada luas tambak berkisar 0,15 sampai 20,00 ha/ petak dengan rata-rata 3,67 ha/petak. Padat penebaran ikan bandeng yang diaplikasikan pembudidaya tambak di Kabupaten Bone berkisar 375 sampai 26.667 ekor/ha/siklus. Gelondongan ikan bandeng yang ditebar berumur 7 sampai 30 hari. Produksi ikan bandeng berkisar dari 10 sampai 3.000 kg/ha/ siklus dengan rata-rata 292,2 kg/ha/siklus (Tabel 1). Pengelolaan budidaya yang dilakukan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Bone relatif beragam. Ada 21 peubah pengelolaan budidaya tambak yang dilakukan pembudidaya tambak di Kabupaten Bone yang berhasil diidentifikasi. Setelah dilakukan analisis korelasi Pearson, ternyata banyak peubah pengelolaan budidaya yang memiliki gejala multikolinearitas, sehingga hanya ada 2,3 peubah pengelolaan budidaya yang dipilih untuk analisis lebih lanjut. Peubah pengelolaan budidaya yang dipilih adalah peubah yang lebih mudah diukur. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa data berdistribusi normal (Gambar 2) dan tidak ada gejala heteroskedastisitas (Gambar 3). Pada Gambar 2 terlihat bahwa data mengikuti gari diagonal, sedangkan pada Gambar 3 terlihat bahwa data terpencar tidak beraturan di bawah garis 0 sumbu X. Tabel 1. Statistik deskriptif pengelolaan budidaya ikan bandeng ( Chanos chanos ) di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan (n = 65) Peubah Produksi total (kg/ha/siklus) Luas (ha) Remediasia) Pengeringan (hari) Saponin awal (mg/L) Kapur (kg/ha) Urea awal (kg/ha) TSP/SP-36 (kg/ha) NPK awal (kg/ha) Lama pengangkutan (jam) Padat penebaran windu (ekor/ha/siklus) Padat penebaran ikan bandeng (ekor/ha/siklus) Ukuran ikan bandeng (hari) Adaptasi terhadap suhu dan salinitas b) Tinggi air (cm) Volume pergantian air (%) Pergantian air (kali/bulan) Sistem pergantian airc) Urea susulan (kg/ha) TSP/SP-36 (kg/ha) NPK susulan (kg/ha) Lama pemeliharaan ikan bandeng (hari)
Minimum Maksimum Kisaran Rataan 10,0 0,15 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0 375 7 0 15,0 0,0 0 0 0,0 0,0 0,0 65
3.000,0 20,00 1,0 120,0 50,0 178,6 1.000,0 667,0 250,0 30,0 20.000 26.667 90 1 100,0 90,0 30 2 250,0 200,0 41,7 360
a) 0 = Tidak; 1 = Ya b) 0 = Tidak; 1 = Ya c) 0 = Tidak ganti air / tambah air; 1 = Gravitasi; 2 = Gravitasi dan pompa
2.990,0 19,85 1,0 120,0 50,000 178,6 1.000,0 667,0 250,0 29,8 20.000 26.292 83 0 85,0 90,0 30 2 250,0 200,0 41,7 295
292,2 3,67 1,0 20,8 25,6 4,8 160,7 116,88 5,80 4,1 4.685,8 2.958 29 0,7 39,8 34,5 13 0,8 31,4 40,8 0,9 150
Standar deviasi 396,96 3,633 0,17 23,36 12,69 25,51 202,10 136,337 33,294 5,11 5.204,47 3.529,2 19,3 0,46 21,02 22,77 9,1 0,44 56,51 55,25 5,40 49,2
157
Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng... (Erna Ratnawati)
Tabel 4. Koefisien konstanta dan koefisien regresi peubah bebas dalam penentuan faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng (Chanos chanos) di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan Model (Konstan) 12 Lama pengangkutan (jam) Padat penebaran udang windu (ekor/ha/siklus) Padat penebaran ikan bandeng (ekor/ha/siklus) Ukuran ikan bandeng (hari) TSP/SP-36 susulan (kg/ha) Lama pemeliharaan ikan bandeng (hari)
Koefisien yang tidak distandarisasi B
Standar galat
323,835 - 10,148 - 0,017 0,028 4,829 0,981 1,185
186,590 9,488 0,009 0,013 2,492 0,894 0,954
Signifikansi 0,088 0,289 0,076 0,046 0,058 0,277 0,219
a Peubah tidak bebas: Produksi ikan bandeng (kg/ha/siklus)
X3 X4 X5 X6
= = = =
padat penebaran udang windu (P = 0,076) lama pemeliharaan ikan bandeng (P = 0,219) dosis pupuk TSP/SP-36 susulan (kg/ha/siklus) (P = 0,277) lama pengangkutan gelondongan ikan bandeng (jam) (P = 0,289)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar pembudidaya tambak di Kabupaten Bone menerapkan sistem budidaya berupa polikultur antara udang windu dan ikan bandeng. Dari Persamaan 2 dan Tabel 4 terlihat bahwa penambahan padat penebaran ikan bandeng 1 ekor/ha/siklus dapat meningkatkan produksi ikan bandeng di tambak Kabupaten Bone sebanyak 0,028 kg/ha/siklus. Akan tetapi, hal ini tidak layak secara ekonomis, sebab ikan bandeng yang dipelihara selama 1 siklus produksi dapat mencapai bobot 300–500 g/ekor, lebih tinggi daripada hanya menambah produksi seberat 0,028 kg/ha/ siklus atau 38 g/ha/siklus jika padat penebaran ditambahkan 1 ekor/ha/siklus. Dari Tabel 2 terlihat bahwa padat penebaran ikan bandeng yang diaplikasikan pembudidaya tambak di Kabupaten Bone rata-rata 2.958 ekor/ha/siklus. Padat penebaran udang windu dan ikan bandeng yang diaplikasikan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Pinrang adalah rata-rata berturut-turut 29.995 dan 2.062 ekor/ha/musim. SP-36 adalah pupuk yang mengandung fosfat. Fosfat merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Pada sistem akuatik, fosfat juga merupakan unsur penting karena merupakan unsur esensial untuk produksi primer (Boyd, 1995). Pengalaman di bidang akuakultur juga menunjukkan bahwa penambahan fosfat dapat meningkatkan produksi ikan di tambak (Hickling, 1971). Jones & Bachmann, 1976 dalam Davis & Cornwell, 1991 mengemukakan korelasi positif antara kadar fosfat dengan klorofil-a. Dari Persamaan 2 terlihat bahwa produksi udang windu dapat ditingkatkan dengan menurunkan dosis pupuk SP-36. Kandungan PO4 tanah tambak di Kabupaten Bulukumba berkisar dari 0–239,80 mg/L dengan rata-rata 49,39 mg/L (Anonim, 2008). Telah dilaporkan oleh Mustafa & Ratnawati (2008) bahwa produktivitas tambak di Kabupaten Pinrang dapat ditingkatkan melalui peningkatan dosis pupuk SP-36, sebab kandungan PO4 tanah hanya 2,1579 mg/L. Ketersediaan PO4 lebih 60 mg/L dalam tanah tambak dapat digolongkan sebagai slight atau tergolong baik dengan faktor pembatas yang sangat mudah diatasi (Karthik et al., 2005). Dari 98 lokasi pengambilan contoh tanah di tambak Kabupaten Bulukumba, 27 lokasi atau 27,55% tergolong memiliki kandungan PO4 lebih besar 60 mg/L (Anonim, 2008). Hal yang berbeda dengan pemberian SP-36 sebagai pupuk awal adalah pengapuran susulan dengan SP-36. Dari Persamaan 2, terlihat bahwa perlu dilakukan peningkatan dosis pupuk SP-36 sebagai pupuk susulan dalam peningkatan produksi udang windu di tambak Kabupaten Bulukumba. Dengan demikian, dosis pupuk awal dapat dikurangi dan selanjutnya ditambahkan pada pupuk susulan agar produksi udang windu dapat ditingkatkan. Dalam hal ini, pupuk SP-36 sebagai pupuk susulan diperlukan untuk peningkatan
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
158
kesuburan perairan tambak selama budidaya udang windu. Dari Tabel 1 terlihat bahwa, pembudidaya tambak di Kabupaten Bulukumba hanya mengaplikasikan pupuk SP-36 sebagai pupuk susulan dengan dosis 11,51 kg/ha/musim. Pada tambak udang windu yang dikelola secara tradisional, dosis pupuk SP-36 yang diaplikasikan adalah 5-7,5 kg/ha/minggu. Udang windu yang dipolikulturkan dengan ikan bandeng oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Bulukumba, secara umum dipanen setelah rata-rata berumur 117 hari (Tabel 1). Dari Persamaan 2 terlihat bahwa penambahan 1 hari pemeliharaan udang windu dapat meningkatkan produksi udang windu 1,705 kg/ha/musim. Penambahan masa pemeliharaan berimplikasi pada penambahan bobot udang windu, sehingga diharapkan juga terjadi peningkatan produksi udang windu. KESIMPULAN DAN SARAN Rata-rata produktivitas ikan bandeng di tambak Kabupaten Bone sebesar 292,2 kg/ha/musim. Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng adalah: padat penebaran ikan bandeng, lama ikan bandeng digelondongkan, padat penebaran udang windu, lama pemeliharaan ikan bandeng, dosis pupuk TSP/SP-36 susulan dan lama pengangkutan gelondongan ikan bandeng. Produksi ikan bandeng masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak yang meliputi peningkatan padat penebaran ikan bandeng, lama ikan bandeng digelondongkan, lama pemeliharaan ikan bandeng, dosis pupuk TSP/SP-36 susulan serta penurunan padat penebaran udang windu dan lama pengangkutan gelondongan ikan bandeng. DAFTAR ACUAN Anonim. 2002. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 2005. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Anonim. 2003. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 2005. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Anonim. 2006. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2005. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Jakarta, 116 hlm. Anonim. 2008. Laporan Teknis Tahun Anggaran 2008 Riset Pemetaan dan daya Dukung Lahan Perikanan Pesisir. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 266 hlm. Boyd, C.E. 1995. Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 348 pp. Davis, M.L. & Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering. Second edition. McGraw-Hill, Inc., New York, 822 pp. Draper, N.R. & Smith, H. 1981. Applied Regression Analysis. Second Edition. John Wiley & Sons, New York, 709 pp. Eldani, A. & Primavera, J.H. 1981. Effect of different stocking combination of growth, production and survival rate of milkfish (Chanos chanos Forskal) and prawn (Penaeus monodon Fabricius) in polyculture in brackishwater ponds. Aquaculture, 23: 59–72. Flegel, T.W. 1996. A turning point for sustainable aquaculture: the white spot virus crisis in Asia shrimp culture. Aquaculture Asia, 1: 29–34. Hanafi, A. 1990. Socio-economic and managerial profiles of brackishwater aquaculture in South Sulawesi. J. Perik. Budidaya Pantai, 6(2): 97–114. Hickling, C.F. 1971. Fish Culture. Second edition. Faber and Faber, London, 295 pp. Karthik, M., Suri, J., Saharan, N., & Biradar, R.S. 2005. Brackish water aquaculture site selection in Palghar Taluk, Thane district of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and geographical information system. Aquacultural Engineering, 32: 285–302. Ling, B.–H., Leung, P.S., & Shang, Y.C. 2001. Comparing Asian shrimp farming: the domestic resource cost (DRC) approach. In: Leung, P.S. & Sharma, K.R. (Eds.), Economics and Management of Shrimp and Carp Farming in Asia. Network of Agriculture Centers in Asian-Pacific, Bangkok, p. 13–31. Mustafa, A. & Ratnawati, E. 2008. Faktor-faktor dominan mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Poernomo, A. 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros, 30 hlm.
159
Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi ikan bandeng... (Erna Ratnawati)
Rajendran, K.V., Vijayan, K.K., Santiago, T.C., & Krol, R.M. 1999. Experimental host range and histopathology of white spot syndrome virus (WSSV) infection in shrimp, prawns, crabs and lobsters from India. J. of Fish Diseases, 22: 183–191. Ranoemihardjo, B.S., Kahar, A., & Lopez, J.V. 1979. Results of polyculture of milkfish and shrimp at the Karanganyar provincial demonstration ponds. Bulletin of Brackishwater Aquaculture Development Center, 5(1&2): 334–350. Shang, Y.C. 1986. Pond production systems: stocking practices in pond fish culture. In: Lannan, J.E., Smitherman, R.O., & Tchobanoglous, G. (Eds.) Principles and Practices of Pond Aquaculture. Oregon State University Press, Corvallis, Oregon, p. 85–96. Sokal, R.R. & Rohlf, F.J. 1981. Biometry: The Principles and Practice of Statistics in Biological Research. 2nd edition. W.H. Freeman and Co., New York, 859 pp. Tabachnick, B.G. & Fidell, L.S. 1996. Using Multivariate Statistics. 3rd edition. Harper Collins College Publishers, New York, 880 pp. Wirartha, I.M. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit Andi, Yogyakarta, 383 hlm.