PENANGANAN FILLET IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lacepede) DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR
SLAMET SUHARTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis PENANGANAN FILLET IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lacepede) DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana-pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Slamet Suharto NRP P 24500003
RINGKASAN
SLAMET SUHARTO. Penanganan Fillet Ikan Gurami (Osphronemous gouramy Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfir. Dibimbing oleh I WAYAN BUDIASTRA, dan JOKO SANTOSO. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan akan kebutuhan jenis bahan makanan yang segar, praktis dan sehat sebagai akibat perubahan perilaku masyarakat yang semakin komplek dan sibuk. Ikan merupakan bahan pangan bernilai gizi tinggi namun mudah mengalami kemunduran mutu (high perisable food) jika tidak ditangani secara tepat. Fillet merupakan bentuk preparasi bahan makanan yang cukup praktis (minimaly process) dan segar. Penggunaan modifikasi atmosfer telah diketahui dapat meningkatkan umur simpan bahan makanan seperti daging, sayur dan ikan. Komposisi gas dalam kemasan bervariasi untuk masing-masing jenis makanan tersebut, termasuk jenis ikan. Untuk mengetahui penanganan dan penggunaan komposisi (konsentrasi) CO2 yang tepat maka perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan pascapanen yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP dengan mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas CO2 yang optimal dan umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi teknik penanganan fillet ikan gurami. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu menentukan bahan pencuci fillet dan komposisi gas dalam kemasan. Dalam penelitian ini digunakan fillet dari ikan gurami ukuran + 1000g yang diperoleh Kolam Babakan Sawah Baru Bogor. Fillet dibuat sesuai prosedur SNI 01-4103.2-1992 yang meliputi proses pelumpuhan, pembuangan darah, penampungan sementara, pemotongan/ penyayatan, pembuangan kulit dan duri, dan perapihan. Sebelum dilakukan pemfilletan ikan di berok/puasakan selama tiga hari untuk mengurangi bau lumpur. Penelitian tahap pertama untuk menentukan bahan pencuci fillet yang menghasilkan kualitas fillet paling baik. Digunakan lima jenis bahan pencuci yaitu (1) air bersih, (2) air garam, (3) air jeruk nipis, (4) air jeruk nipis yang ditambah garam dan (5) larutan klorin 10 ppm. Pengamatan dilakukan terhadap parameter kesegaran ikan meliputi TPC, TVB, pH pada hari ke-0, 4, 8 dan 12 selama penyimpanan pada suhu 10oC. Penentuan bahan pencuci didasarkan pada pengaruh signifikan terhadap nilai parameter kesegaran. Percobaan mengunakan Rancangan Acak Lengkap dalam tiap pengamatan.
Bahan yang digunakan berupa air bersih dengan kualitas air minum (SNI 014103.2-1992), larutan garam 50g garam/ 1 l air bersih, larutan air jeruk nipis (60 ml air jeruk/ 1 l air setara dengan 1 buah, ukuran 50 g), larutan garam yang ditambah air jeruk nipis, dan larutan klorin 10 ppm. Hasil penelitian tahap I menunjukkan adanya pengaruh bahan pencuci fillet terhadap nilai TPC, TVB dan umur simpan fillet. Bahan pencuci yang memberikan efek paling paling baik adalah air jeruk yang ditambah garam dan larutan klorin. Kedua larutan pencuci tersebut dapat mengurangi jumlah total bakteri paling banyak (TPC paling kecil) pada fillet saat pencucian sehingga mempengaruhi pertumbuhan bakteri selama penyimpanan. Sampai hari ke-8 nilai log TPC fillet yang dicuci larutan klorin dan air garam-jeruk sebesar 5.84 dan 5,06 menunjukkan bahwa fillet masih segar (batas maksimum 7,6 menurut Ditjen POM) pada hari ke 12 semua fillet telah melewati batas maksimum. Penelitian tahap kedua bertujuan mengetahui pengaruh konsentrasi CO2 dalam modifikasi atmosfir pengemasan (MAP) terhadap kualitas dan umur simpan fillet ikan gurami yang telah mengalami perlakuan pencucian pada tahap pertama. Ada delapan perlakuan dari kombinasi dua jenis pencucian (larutan garam-jeruk/AGJ dan klorin/K)) dan empat konsentrasi CO2, yaitu (1) AGJCO2 0%, (2) AGJ-CO2 30%; (3) AGJ- CO2 45% (4) AGJ-CO2 60%; (5) KCO2 0%; (6) K- CO2 30%; (7) K- CO2 45% dan (8) K- CO2 60%. Pengamatan dilakukan terhadap nilai TPC, TVB, pH, dan organoleptik fillet pada hari ke 0, ke-8, ke-14, ke-18, ke-21 dan ke-24 penyimpanan dalam suhu 5oC yang dikemas dengan plastik polyetilen. Analisi statistik terhadap hasil pengamatan dengan one-way Anova dalam RAL pada tiap-tiap pengamatan. Penentuan umur simpan didasarkan pada persamaan regresi nilai organoleptik fillet. Hasil penelitian tahap II menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 berpengaruh terhadap nilai TPC, TVB dan organoleptik fillet dalam kemasan plastik polyetilen yang disimpan pada suhu 5oC selama 24 hari. Pertumbuhan bakteri dapat dihambat dengan penambahan konsentrasi CO2 dalam kemasan yang ditunjukkan oleh nilai TPC dan TVB yang lebih rendah dan nilai organoleptik lebih tinggi. Nilai log TPC pada awal penyimpanan 3,8 dan meningkat selama penyimpanan pada semua perlakuan, dan tidak menunjukkan perbedaan hingga ke-14 kecuali perlakuan tanpa CO2 denagn nilai TPC lebih tinggi. Pada hari ke-18 terjadi perbedaan yang signifikan dimana konsentrasi CO2 45% dan 60% pada kedua pencucian menununjukkan nilai TPC yang lebih rendah. Pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh konsentrasi CO2 dalam kemasan. Kombinasi jenis pencuci tidak berpengaruh terhadap nilai TPC. Nilai TVB meningkat sejalan dengan nilai TPC dan lamanya peyimpanan fillet. Pada hari ke-0 TVB fillet 18,5 dan meningkat 35 s.d 56 mg/100g fillet bervariasi menurut konsentrasi CO2. Peningkatan konsentrasi CO2
berpengaruh pada nilai TVB. Konsentrasi CO2 45% dan 60% pada kedua jenis pencuci menunjukkan nilai TVB yang rendah, berbeda nyata mulai penyimpanan ke-14 dan sampai hari ke-18 nilai TVB fillet besarnya 30 mgN/100g. Nilai organoleptik fillet selama penyimpanan menurun dari 9 pada awal penyimpanan hingga 1 pada hari ke 24. Konsentarsi CO2 45% pada kedua bahan pencuci menghasilkan nilai organoleptik paling baik dimana sampai hari ke-14 masih menunjukkan tingkat kesegaran yang baik (nilai 7). Berdasarkan analisis regresi untuk menentukan umur simpan fillet dengan batas penolakan nilai 5 diperoleh umur simpan 16 hari pada CO2 45% dan 12 hari filet tanpa CO2. Dari hasil penelitaian tahap I dan II dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan pencuci yang baik adalah air jeruk yang ditambah garam. Bahan pencuci ini dapat meningkatkan umur simpan fillet hingga 8 hari pada suhu 10oC dan 12 hari pada suhu 5oC. Penambahan CO2 45% dapat meningkatkan hingga 16 hari. Penggunaan air jeruk-garam setara dengan pencuci klorin 10 ppm.
ABSTRACT
SLAMET SUHARTO. Handling on Gouramy (Osphronemous gouramy Lacepede) Fillet with Modified Atmosphere Packaging. Supervised by I WAYAN BUDIASTRA, and JOKO SANTOSO. The aim of this study is to determine post harvest handling technology of gouramy fillet (Osphronemous gouramy Lacepede) which packed with atmosphere modification. This study was carried out in two steps. First step is to determine 5 treatments cleaner materials i.e. hygienic water cleaning, salt water, lime water, lime water added with salt and 10 ppm chlorine to produce the best quality of fillet. The result of this first step showed that salt water added with lime and 10 ppm chlorine was the best cleaner materials based on the value of log TPC ( 3.75). Second step is to determine the composition and effect of the packing atmosphere modification to the Gouramy fillet quality and self life with 4 different composition of CO2 (0, 30, 45 and 60%). Concentration 45% of CO2 was the best gas composition of atmosphere modification to produce fillet. Gouramy fillet that packed with MAP and kept on the temperature 5 °C is still consumable up to sixteen days.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENANGANAN FILLET IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy Lacepede) DALAM KEMASAN MODIFIKASI ATMOSFIR
SLAMET SUHARTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis Nama NRP Program Studi
: Penanganan Fillet Ikan Gurami (Osphronemous Gouramy Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfer : Slamet Suharto : P 24500003 : Teknologi Pascapanen
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, MAgr Ketua
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, MAgr Tanggal Ujian : 7 September 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Penanganan Fillet Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lacepede) dalam Kemasan Modifikasi Atmosfir. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. I. Wayan Budiastra, MAgr sebagai ketua komisi pembimbing sekaligus sebagai
Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen dan
Bapak
Dr.Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, nasehat, arahan dan dorongan mulai dari penulisan
proposal, selama pelaksanaan penelitian berlangsung sampai selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas Diponegoro, Dekan FPIK UNDIP, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dana Pendidikan BPPS sehingga studi berjalan dengan lancar. Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia TPG FATETA dan Laboratorium Mikrobiologi Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PSSHB) IPB atas izin lokasi penelitian, serta Pak Wahid, Mbak Ari, Mbak Sri, Pak Sulyaden, Pak Wawan, Majid, Hanum, Yosi, Pak Fajar atas bantuannya selama penelitian. Terima kasih kepada orang tua, adik, kakak, istri dan anak tercinta atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2010
Slamet Suharto
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Slamet Suharto dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 8 Juni 1970. Penulis merupakan putera keempat dari delapan bersaudara pasangan Bapak Khunduri dan ibu Khulsum. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SD Negeri I Api-api Pekalongan, lulus tahun 1983. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1986 di SMP I Wiradesa Pekalongan, Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMA I Pekalongan Jurusan Biologi lulus tahun 1989. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan di Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus Strata 1 tahun 1996. Tahun 1999 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Pascapanen (TPP). Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dana Pendidikan BPPS. Penulis telah menikah dengan Tri Yusufi Mardiana, MSi dan telah dikaruniai tiga anak, Hakimah Nur Yusla, Ghatfan Mohammad Atiwiar dan Humam Ahmad Zhadazein.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………...
xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
xiii
PENDAHULUAN……………………………………………………... Latar Belakang ………………………………………………….
1
Tujuan dan Manfaat …………………………………………….
4
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Gurami …………………………………………………….
5
Komposisi Ikan …………………………………………………
6
Jeruk Nipis …………………………………..………………….
7
Garam Dapur ……………………………………………………
8
Klorin …………………………………………………………...
8
Kerusakan Daging Ikan …………………………………………
10
Modified Atmosphere Packaging………………………………..
14
Pengaruh CO2 terhadap Pertumbuhan Bakteri ………………...
14
Film Kemasan Plastik …………………………………………..
16
Penentuan Umur Simpan………………………………………..
17
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ……………………………………………...
18
Tahapan Penelitian ……………………………………………..
18
Prosedur Analisis …………………….…………………………
22
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ….……………………
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Proksimat Ikan Gurami………………………………..
27
Rendemen Fillet Gurami…………………..……………………
27
Deskriptif Fillet Gurami………………………………………..
27
Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TPC………………………
29
Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TVB………………… ….
29
Pengaruh Pencucian terhadap Nilai pH…………………………
31
Umur Simpan Fillet pada 10 oC…………………… …………..
31
Pengaruh MAP terhadap Nilai TPC………………………… …
32
Pengaruh MAP terhadap Nilai TVB……………………………
33
Pengaruh MAP terhadap Nilai pH………………………… …..
34
Nilai Organoleptik Fillet Gurami MAP…………………………
34
Perkiraan Umur Simpan ………………………………………
36
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………………………………………………………..
39
Saran ……………………………………………………………
39
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
40
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1
Produksi ikan gurami di Indonesia tahun 1997-2004…………..
3
2
Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati…………
12
3
Alur penelitian pencucian dan pengemasan fillet ikan gurami dalam MAP…………………………………………………….
20
4
Tren penurunan nilai organoleptik fillet gurami MAP selama penyimpanan 24 hari…………………………………………
35
5
Fillet dicuci klorin, CO2 0%, 18 hari
37
6
Fillet dicuci klorin, CO2 45%, 18 hari
37
7
Fillet dicuci klorin, CO2 30%, 18 hari
37
8
Fillet dicuci klorin, CO2 60%, 18 hari
37
9
Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 0%, 18 hari
38
10
Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 45%, 18 hari
38
11
Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 30%, 18 hari
38
12
Fillet dicuci air garam jeruk, CO2 60%, 18 hari
38
DAFTAR TABEL No
Halaman
1
Komposisi kimia daging ikan gurami (Osphronemous gouramy Lac.) …………………………………………………………..
6
2
Kandungan gizi dalam tiap 100 g buah jeruk nipis dan beberapa jenis jeruk lain…………………………………………………..
7
3
Komposisi kimia daging ikan gurami…………………………..
27
4
Nilai log jumlah total bakteri per g fillet pada beberapa perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata±sd, kol/g)…………………………………………………
29
5
Nilai TVB fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata±sd, mg/100 g)……………
30
6
Nilai pH fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata±sd)……………………….
31
7
Prediksi umur simpan dengan batas TVB maximal 30 mg N/100g daging ikan ……………………………………………...
32
8
Nilai log jumlah total bakteri fillet gurami dengan perlakuan kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata±sd)………………………………………………………..
32
9
Nilai TVB fillet ikan gurami dengan perlakuan kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata±sd)...
33
10
Nilai pH fillet ikan gurami dengan perlakuan kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata±sd)...
34
11
Nilai organoleptik fillet gurami selama penyimpanan 24 hari dalam kemasan modifikasi atmosfir ………………..…………...
35
12
Perkiraan umur simpan fillet dengan persamaan regresi lama penyimpanan dan skor organoleptik fillet ………………………
36
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
No 1
Proporsi air perasan jeruk nipis per buah jeruk ……………….
45
2
Perhitungan rendemen fillet gurami ……………………………
46
3
Form penilaian fillet segar ………. …………………………….
47
4
Data TVB, TPC, pH dan kadar air fillet pada percobaan 1 dan anova masing-masing lama penyimpanan ……………………
50
5
Data nilai log TPC fillet gurami dalam MAP dan uji statistik …
57
6
Nilai TVB fillet gurami dalam MAP dan uji statistik…………
61
7
Nilai pH fillet gurami dalam MAP dan uji statistik…………….
65
8
Nilai kadar air fillet gurami dalam MAP dan uji statistik………
69
9
Nilai organoleptik fillet gurami dalam MAP dan uji statistik…
73
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi karena kandungan dan kualitas protein, kelengkapan asam-asam amino esensial, kandungan kolesterol rendah dan rasanya yang enak. Namun ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (highly perishable food) sehingga memiliki umur simpan yang pendek dan daerah distribusi yang terbatas. Hasil tangkapan ikan dan invertebrata dunia mencapai 100 juta metrik ton per tahun, hanya 20% diproses sebagai makanan dan sepertiga yang dikonsumsi, selebihnya merupakan limbah (Shahidi 1994). Untuk dapat dimanfaatkan dalam waktu yang
lama perlu dilakukan penanganan dan atau pengolahan seperti
pembekuan,
pengeringan,
dan
pengalengan.
Akhir-akhir
ini
terdapat
kecenderungan adanya peningkatan permintaan akan ikan segar. Sejalan dengan aktivitas manusia yang semakin meningkat, terdapat kecenderungan konsumsi makanan yang lebih praktis. Konsumen menghendaki bahan makanan yang segar, berkualitas, praktis, dan mudah penanganan dalam memasak (ready to cook) atau dikenal dengan minimaly process.
Prinsip
minimaly proces yang dikerjakan pada tingkat produksi (on farm) selain untuk memenuhi kebutuhan trend konsumen juga memiliki keuntungan lain diantaranya mengurangi limbah organik kota dan pemanfaatan limbah oleh petani. Menurut Silva dan Dean (2001), diversifikasi bentuk sajian yang menarik dan diikuti oleh upaya pemasaran intensif pada industri telah meningkatkan konsumsi perkapita terhadap ikan cat fish dari 0.41 pound menjadi 1.07 pound selama 10 tahun terakhir di USA. Pada prinsipnya kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan tetapi masih dapat dipertahankan untuk jangka waktu tertentu.
Teknologi pascapanen
memiliki peranan yang sangat penting dalam mempertahankan kesegaran ikan untuk waktu yang lebih lama, sehingga dapat mencapai distribusi yang lebih luas. Salah satu teknologi dalam mempertahankan kesegaran ikan adalah Modified Atmosphere Packaging (MAP).
Teknologi ini pada prinsipnya mengatur
komposisi gas dalam lingkungan kemasan yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah untuk mempertahankan kesegaran ikan dan memperpanjang umur simpan.
Manfaat lain dari MAP adalah praktis dalam
penanganan (handling), transportasi, menarik konsumen dan memungkinkan ketersediaan produk secara kontinyu (Pastoriza et al. 1996). Beberapa peneliti telah melaporkan tentang metode penyimpanan dan pengemasan dengan sistem atmosfir termodifikasi, diantaranya Brown et al. (1980), pada ikan rock fish dan salmon menggunakan gas CO2 sebesar 20% dan 40% dibandingkan dengan tanpa gas CO2; Banks et al. (1980), pada fin fish menggunakan gas CO2 dan tanpa CO2 (vacum); Lannelogue et al. (1982), pada udang brown shrimp menggunakan campuran gas CO2 dengan O2, CO2 dengan N2 dan CO2 100%; Cann (1988), pada ikan cod menggunakan campuran gas CO2/N2/O2 dengan perbandingan 40/30/30 persen; dan Silva et al. (1994) pada fillet ikan cat fish menggunakan campuran gas CO2/N2/O2 dengan perbandingan 90/7,5/2,5 persen.
Hampir semua peneliti di atas menyimpulkan, bahwa
penyimpanan ikan segar dengan metode MAP yang menggunakan gas CO2, dapat memperpanjang umur simpan sekitar 12-15 hari. Menurut Cann (1988), lamanya umur simpan ikan segar dengan metode MAP dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies, kualitas awal ikan sebelum disimpan, suhu penyimpanan dan campuran gas yang digunakan. Ikan gurami (Osphronemous gouramy Lacepede) merupakan salah satu jenis ikan yang populer dan banyak digemari bagi masyarakat Indonesia. Ikan ini sering menjadi menu khusus dalam beberapa restoran dan memiliki harga yang relatif
mahal.
Produksi nasional dalam beberapa tahun terakhir mengalami
peningkatan, yaitu 8 674 ton pada tahun 1997 menjadi 23 758 ton pada tahun 2004 (Gambar 1 ).
2
25000 22.666
20000
23.758
19.027
15000
14.065
16.438
9.665
10000
9.820 8.674
5000 0
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Gambar 1 Produksi ikan gurami di Indonesia tahun 1997-2004 (dalam ton). Pada umumnya ikan gurami ukuran konsumsi dipasarkan dalam keadaan masih hidup. Pemasaran ikan hidup membutuhkan penanganan yang kompleks, mulai dari transportasi, penyajian, perawatan dan pelayanan. Transportasi ikan hidup selain membutuhkan penanganan khusus, juga biaya yang tinggi dikarenakan kapasitas yang terbatas. Ikan gurami juga memiliki daya tahan yang berbeda dengan ikan lele atau ikan mas yang dapat diangkut dengan kepadatan lebih tinggi. Penyajian ikan gurami hidup membutuhkan wadah khusus seperti akuarium dan pelayanan penjualan yang berbeda dengan ikan lain. tersebut
Hal-hal
mengakibatkan biaya pemasaran ikan hidup menjadi tinggi dan
mengakibatkan harga jual ditingkat konsumen relatif mahal. Peningkatan produksi ikan gurami yang tidak disertai perluasan pasar mengakibatkan harga berfluktuasi sehingga upaya untuk menambah diversifikasi produk perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang beragam dan meningkatkan konsumsi. Perlu diupayakan bentuk sajian ikan gurami segar yang praktis, mudah dan menarik serta aman diantaranya dengan teknik minimally process seperti dalam bentuk fillet yang dikemas secara MAP. Menurut Phillips (1996) teknik MAP yang dikombinasi dengan prosedur dekontaminasi
seperti penggunaan trisodium fosfat, larutan buffer asam
laktat/sodium laktat atau teknik irradiasi pada daging dan ikan dapat meningkatkan umur simpan dan secara mikrobiologis aman. Penggunaan bahan kimia seperti klorin sebagai bahan pencuci untuk mengurangi/menghilangkan
3
kontaminasi sejauh ini masih digunakan sampai batas diperbolehkan. Namun kebutuhan untuk menyediakan makanan yang sehat dan aman menuntut pencarian bahan organik sebagai alternatif bahan pencuci fillet. Secara tradisional perasan air jeruk nipis digunakan sebagai materi penghilang bau amis pada ikan sebelum dimasak. Dalam penelitian akan digunakan larutan air jeruk nipis, garam, klorin dan air bersih sebagai bahan pencuci fillet ikan gurami yang dikemas dengan teknik MAP. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknologi penanganan pascapanen yang paling optimal pada pengemasan fillet ikan gurami secara MAP dengan mengetahui bahan pencucian fillet, konsentrasi gas CO2 yang optimal dan umur simpan fillet. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi teknik penanganan fillet ikan gurami.
4
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Gurami Sistematika ikan gurami (Osphronemus gouramy Lacepede) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Bangsa
: Labirinthici
Subbangsa
: Anabantoidei
Suku
: Anabantidae
Marga
: Osphronemus
Jenis
: Osphronemus gouramy Lacepede
Gurami memiliki bentuk fisik yang khas, badannya pipih, agak panjang dan lebar. Badan tertutup sisik yang kuat dengan tepi agak kasar. Mulutnya kecil, letaknya miring, tidak tepat di bawah ujung
moncong. Bibir bawah terlihat
menonjok sedikit dibanding bibir atas. Ujung mulut dapat disumbulkan sehingga nampak monyong. Bentuk kepala gurami akan menjadi tumpul bila sudah besar dan jantan yang sudah tua terdapat tonjolan seperti cula. Punggungnya tinggi dan mempunyai sirip perut dengan jari-jari yang sudah berubah menjadi alat peraba. Badan gurami pada umumnya berwarna biru kehitaman dan bagian perut berwarna putih. Warna tersebut akan berubah
menjelang dewasa yaitu pada
bagian punggung berwarna kecoklatan dan pada bagian perut berwarna keperakan atau kekuningan. Ujung sirip punggung dan sirip dubur dapat mencapai pangkal ekor. Sirip berbentuk busur. (Saanin 1984). Gurami dapat tumbuh hingga 65 cm dan berat lebih dari 10 kg. Di Jawa ikan ini dikenal dengan nama gurami, grameh atau brami, sedangkan di Sumatera dan Kalimantan gurami dikenal dengan nama kalui, sialui, kalua, kalau dan kalwe (Khaeruman 2003).
5
Komposisi Ikan Ikan mempunyai komposisi kimia yang bervariasi baik antar spesies, antar individu dalam satu spesies yang sama dan bahkan antar bagian dalam satu individu ikan.
Menurut Stansby (1963), variasi tersebut disebabkan karena
pengaruh beberapa faktor antara lain umur, laju metabolisme dan aktivitas pergerakannya. Disamping faktor-faktor di atas menurut Spinelli dan Dassow (1982), variasi tersebut juga dipengaruhi oleh musim, lokasi penangkapan dan tingkat kematangan seksual ikan. Ikan sebagai sumber protein hewani, mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kandungan proteinnya yang cukup, baik jumlah maupun mutunya; kandungan kolesterolnya yang rendah; lemak ikan mengandung asam lemak tak jenuh; minyak ikan merupakan sumber vitamin A dan juga mengandung vitamin B, C, D, E dan K; ikan mengandung mineral-mineral dengan kadar yang tinggi; dan daging ikan mempunyai sedikit tenunan pengikat sehingga mudah dicerna (Winarno 1993). Menurut Winarno (1993), protein hewani disebut juga sebagai protein lengkap dan bermutu tinggi, karena mengandung semua asam-asam amino essensial dalam jumlah cukup dan susunannya mendekati sususnan asam amino yang terdapat dalam tubuh manusia. Komposisi daging ikan secara umum terdiri dari air sebesar 60-80%, protein 18-30%, lemak 0.1-2.2%, karbohidrat (glikogen) 0.0-1.0% dan sisanya adalah vitamin dan mineral (Afrianto dan Liviawaty 1989). Adapun komposisi kimia daging ikan gurami disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan gurami (Osphronemous gouramy Lac.) Unsur Gizi Kadar air Kadar abu Protein Lemak
Persentase Basis Basah 76 % 5.28 % 78.04 % bk 7.90 % bk
Sumber : Sarifah (1996)
6
Jeruk Nipis Jeruk nipis (Citus aurantifolia Swingle) atau sering disebut jeruk mipis (Sunda), jeruk pecel (Jawa) dan jeruk dhurga (Madura) merupakan jenis jeruk yang banyak mengandung air, rasanya sangat masam dan aromanya sedap (Sarwono 2001). Jeruk memiliki kandungan gizi yang baik dan mengandung zat bioflavonoid yang berguna untuk mencegah terjadinya perdarahan pada pembuluh nadi, kemunduran mental dan fisik serta mengurangi luka
memar (brueise).
Jeruk nipis sering digunakan sebagai komponen jamu tradisional, pencampur berbagai bahan masakan dan digunakan untuk menghilangkan bau amis ikan. Pada Tabel 2. disajikan kandungan gizi beberapa jenis jeruk. Tabel 2 Kandungan gizi dalam tiap 100 gram buah jeruk nipis dan beberapa jenis jeruk lain Kandungan gizi Kalori (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vit. A (SI) Vit. B1 (mg) Vit. C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber : Sarwono (2001)
Jumlah Jeruk nipis 37.00 0.80 0.10 12.30 40.00 22.00 0.60 0.04 27.00 86.00 76
Jeruk manis 45.00 0.90 0.20 11.20 33.00 23.00 0.40 190.00 0.08 49.00 87.20 72
Jeruk keprok 44.00 0.80 0.20 10.90 33.00 23.00 0.40 420.00 0.07 31.00 87.30 71
Jeruk besar 48.00 0.60 0.30 12.40 23.00 27.00 0.50 20.00 0.04 43.00 86.30 62
Selain kandungan gizi yang baik jeruk nipis merupakan sumber minyak atsiri “lemonen” dan asam sitrat. Kandungan asam sitrat pada jeruk nipis mencapai 6-7% (Sarwono 2001). Asam sitrat merupakan suatu “sekuestran” (zat pengikat logam) yang paling sering digunakan dalam bahan makanan selain fosfat dan garam etilen diamine tetra asetat (EDTA) (Winarno 1997). Lebih lanjut diterangkan bahwa sekuestran adalah bahan penstabil bahan makanan dengan
7
mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga mampu mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam tersebut terhadap bahan. Logam
terdapat pada bahan alami
dalam bentuk senyawa komplek
misalnya Mg pada klorofil; Fe pada ferritin, rofin, porfirin serta haemoglobin; Co pada vitamin B12; Cu, Zn dan Mn dalam berbagai enzim. Ion-ion logam ini dapat terlepas dari ikatan kompleksnya karena hidrolisis maupun degradasi. Ion logam bebas mudah bereaksi mengakibatkan perubahan warna, ketengikan, maupun perubahan rasa.
Sekuestran akan mengikat ion logam sehingga menjaga
kestabilan bahan, dari perubahan warna, rasa dan tekstur. Garam Dapur Garam dikenal sebagai bahan pengawet paling tua, terutama dalam pembuatan ikan asin (Hadiwiyoto 1993). Penggunaan garam disebabkan garam memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1)
garam dapur dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga kadar air dan aktivitas air menjadi rendah, (2) menyebabkan protein daging dan protein mikroba terdenaturasi, (3) menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan tekanan osmosis, dan (4) ion klorida yang terdapat dalam garam dapur mempunyai daya toksisitas yang tinggi pada mikroba dan dapat memblokir sistem respirasi. Penggunaan garam dapur dalam penanganan ikan segar telah banyak digunakan terutama dalam pembuatan es air garam, es air laut maupun air garam yang didinginkan. Selain karena sifat bakteriostatisnya, garam juga menyebabkan suhu yang dihasilkan lebih rendah dibanding air murni. Penggunanan air garam juga lazim digunakan untuk pencucian
udang maupun ikan segar sebelum
dilakukan penanganan yang lain seperti pembekuan (Ilyas 1983).
8
Klorin Klorin sering digunakan sebagai saniter di perusahaan-perusahaan perikanan (Ilyas 1983). Pemakaian klorin bertujuan untuk mengurangi jumlah bakteri yang ada pada bahan karena sifat antimikroba dari klor. Suparno (1992) menyarankan perendaman 100 ppm selama 5-10 menit untuk mengurangi jumlah bakteri pada udang windu yang akan dibekukan. Menurut Wijayanti (1999) mekanisme klorin sebagai sanitizer yang diharapkan dapat membunuh bakteri belum sepenuhnya diketahui. Namun diduga asam hipoklorit (HOCl) yang merupakan senyawa paling aktif akan menghambat oksidasi glukosa dalam sel mikroorganisme, dengan cara menghambat enzimenzim yang yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat. Klorin cair (Cl2) atau natrium hipoklorit (NaOCl) dalam air akan terhidrolisis membentuk asam hipoklorit (HOCl). Selanjutnya asam hipoklorit akan terdisosiasi membentuk ion hidrogen (H+) dan ion hipoklrorit (OCl-) menurut reaksi berikut : Cl-2 + H2OÆ HOCl + H+ + ClNaOCl + H2O Æ NaOH + HOCl HOCl Æ H+ + OClAsam hipoklorit akan merusak membran sel kemudian mengoksidasi kelompok sulfidril dalam protein sehingga menyebabkan inaktivasi enzim. Klorin juga merusak lapisan pelindung spora bakteri (Garbut 1997). Menurut Winarno (1994) klorin dalam larutan membentuk senyawa HOCl (asam hipoklorit) yang berfungsi sebagai senyawa aktif dan bekerja membunuh dan menghancurkan bakteri. Pembentukan HOCl sangat tergantung pada pH. Pada pH 4.0-5.0, HOCl terbentuk secara maksimal. Kurang atau lebih dari pH tersebut, pembentukan HOCl menurun, demikian pula efektivitasnya. Dari segi lain, pada pH kurang dari 5, larutan klorin bersifat sangat korosif. Agar tidak korosif tetapi daya bunuhnya masih tetap tinggi, larutan dijaga agar berada pada pH 6.0-7.5. Natrium dan kalsium hipoklorida akan meningkatkan pH larutan. Semakin tinggi hipoklorida yang ditambahkan ke dalam larutan semakin tinggi
9
pH larutan tersebut yang mengakibatkan sanitizer semakin tidak efektif, karena HOCl yang diproduksi semakin sedikit. Bila air yang digunakan bersifat basa, harus ditambahkan asam agar menjaga agar pH larutan berada pada kisaran 6.57.0 (Winarno 1994). Air yang digunakan sebagai bahan penolong dalam pengolahan ikan harus memenuhi persyaratan kualitas air minum. Air yang digunakan dalam pencucian ikan dapat ditambahkan klorin dengan kadar yang tidak melebihi 10 ppm. Selain klorin juga dapat dilakukan dengan cara lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas air dalam pencucian (Kep. 01/Men/2002). Akan tetapi penggunaaan klorin secara terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada kulit (Snyder 2004). Kerusakan Daging Ikan Ikan merupakan bahan makanan yang mudah rusak (perishable food), hal ini disebabkan kandungan glikogen yang rendah (Winarno 1993).
Menurut
Frazier (1967) setelah ikan mati, perubahan mula-mula ialah ikan mengalami rigor mortis, yaitu proses dimana ikan mengalami kejang, kaku dan mengeras, selanjutnya terjadi proses autolisis yang menyebabkan sebagian cairan daging keluar dari sel dan ini merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Menurut Eskin (1990) suatu rangkaian reaksi biokimia dan fisikokimia terjadi pada saat ikan mati hingga sampai dikonsumsi sebagai edible fish Periode ini dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu: 1. Kondisi prerigor, pada saat jaringan masih lembut dan plieble dengan sifat kimia seperti turunnya ATP dan kreatin fosfat sebagai aktivitas glikolisis. Glikolisis pascamati menghasilkan perubahan glikogen menjadi asam laktat, sehingga pH turun. Banyaknya perubahan pH bervariasi dari satu spesies dengan spesies lain, demikian juga jenis ototnya. Pada hewan yang well-rested memiliki cadangan glikogen yang besar sehingga keadaan pascamati menghasilkan nilai pH yang lebih rendah dibanding daging yang dihasilkan oleh hewan yang exhausted pada saat penyembelihan. 10
2. Perkembangan selanjutnya ialah kondisi kejang dan kaku pada otot, yang secara umum dikenal sebagai rigor mortis. Kejadian ini diikuti dengan turunnya pH dan dikaitkan dengan formasi aktomiosin.
Hilangnya
ekstensibilitas berkaitan dengan formasi aktomiosin menghasilkan slowly of first dan kemudian extremly rapidly. Secara normal awal dari rigor mortis terjadi 1-12 jam pascamati dan bisa berakhir antara 15-20 jam pada mamalia, bergantung beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pada ikan rigor mortis
terjadi lebih singkat sekitar 1-7 jam pascamati dengan
beberapa faktor yang mempengaruhi durasinya. 3. Postrigor, setelah rigor mortis berakhir, maka terjadi tingkat post rigor yaitu kembali melunaknya tekstur daging ikan.
Tingkat postrigor
nerupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis, pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan.
Tingkat postrigor ditandai
dengan adanya amoniak pada proses autolisis. Proses ini menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan pH jaringan ikan. Keadaan basa, adanya hasil pemecahan protein, lemak dan karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. selanjutnya
ikan
akan
mengalami
kerusakan
hingga
mengalami
kebusukan. Proses perubahan biokimiawi dari awal hingga busuk diuraikan secara skematis oleh Eskin (1990) seperti disajikan pada Gambar 2. Menurut Hadiwiyoto (1993) kerusakan ikan terjadi secara biokimiawi dan mikrobiologis. Kerusakan biokimiawi dilakukan oleh enzim-enzim dalam tubuh ikan yang masih aktif walaupun ikan telah mati namun berubah fungsi menjadi perusak. Enzim akan menguraikan senyawa makromolekul menjadi senyawasenyawa lebih sederhana sampai akhirnya akan terbentuk senyawa yang mudah menguap sebagai indikasi ikan telah membusuk.
11
Gambar 2 Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati (Eskin 1990). Kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh aktivitas bakteri. Daging ikan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri, ia menyediakan sumber nitrogen, karbon dan nutrien lain yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan mikroflora. Namun senyawa protein, lipida dan karbohidrat kompleks tidak
12
langsung dapat digunakan oleh bakteri. Proses autolisis daging akan membantu menyediakan senyawa sederhana yang segera dapat dipakai mikroba. Mikroba juga memproduksi enzim-enzim pengurai untuk mempercepat mendapatkan senyawa sederhana. Dengan demikian proses autolisis dan aktivitas mikroflora bersifat sinergis dalam proses kerusakan daging ikan Hadiwiyoto (1993). Pada tubuh ikan terdapat berjuta-juta bakteri dan mikroorganisme lain. Konsentrasi bakteri terutama terdapat pada selaput lendir permukaan tubuh ikan, insang, dan isi perut atau usus (Burgess et al. 1967; Shewan 1961). dasarnya daging ikan tidak mengandung bakteri.
Pada
Kepadatan bakteri pada
permukaan tubuh ikan sekitar 102-107 sel/cm2 dan cairan isi perut 103-108 sel/cm3 serta 103- 107 sel/gram jaringan insang. Diantara bakteri-bakteri yang ditemukan antara lain Pseudomonas, Vibrio, dan Mycobacterium spp, diantaranya bersifat patogen Hadiwiyoto (1993). Menurut Graikoski (1973) dari hasil isolasi bakteri pada insang, saluran pencernaan dan lendir kulit ikan ternyata Pseudomonas sp meliputi 60% dari jumlah total
mikroba, dan sekitar 20% terdiri dari Corynebacterium sp,
Flavobacterium sp, dan Micrococus sp. Sisanya terdiri dari campuran spesies Alcaligenes, Proteus, Serratia dan Escherichia. Lebih jauh dijelaskan bahwa komposisi dan konsentrasi bakteri tergantung dari kebiasaan makan ikan dan jenis makanan yang dicerna.
Disamping itu dipengaruhi oleh tempat/ lingkungan
dimana ikan tersebut ditangkap. Frazier (1967) menyatakan bahwa jenis-jenis mikroba yang menyebabkan pembusukan pada ikan bervariasi menurut suhu penanganan ikan tersebut. Pada umumnya jenis psikrofilik dari spesies Pseudomonas lebih dominan, diikuti spesies Achromobacter dan Flavobacterium, sedangkan pada suhu tinggi adalah genus Micrococcus dan Bacillus. Modified Atmosphere Packaging Menurut Garthwaite (1995) pada awal 1930-an ditemukan bahwa 1020% CO2 dalam atmosfir bahan makanan dapat menekan pertumbuhan
13
Pseudomonas spp dan organisme pembusuk lain pada penyimpanan dingin di bawah 4 oC. Efek fisiologis dari CO2 ini digunakan dalam teknologi ikan untuk mengontrol pertumbuhan Pseudomonas spp dalam pendinginan ikan dan hasilnya dapat memperpanjang umur simpan produk ikan dingin. Pengemasan
ikan
dengan
komposisi
atmosfir
khusus
dapat
memperpanjang umur simpan hingga 30% jika suhu penyimpanan dipertahankan di bawah 2 oC
Komposisi utama dari atmosfir kemasan adalah CO2, O2 dan N2.
Kemasan dengan merubah komposisi atmosfir ada dua jenis yaitu Controlled Atmosphere Packaging (CAP) dan Modified Atmosphere Packaging (MAP). Sistem Modified Atmosfer Packaging dilakukan dengan cara memasukkan ikan kedalam kantong plastik (kemasan) kemudian dimasuki campuran gas sebelum di-sealing. Plastik yang digunakan memiliki permiabilitas rendah terhadap gas yang digunakan (Garthwaite 1995). Pengaruh CO2 terhadap Pertumbuhan Bakteri Mekanisme bagaimana CO2 dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri, belum ada penjelasan secara sempurna. keseluruhan
Namun pengaruh MAP secara
dapat menekan pertumbuhan bakteri pada lag fase yang akan
meningkatkan umur simpan produk hasil perikanan sekitar 50 –100% (Statham 1984). Menurut Banks et al. (1980), ada dua teori yang dapat menjelaskan mengapa CO2 dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Teori pertama menyatakan bahwa dalam tubuh ikan terjadi reaksi antara CO2 dengan air (H2O) dari produk. Reaksi ini menghasilkan asam karbonat dan ion hidrogen, menurut reaksi sebagai berikut : CO2 + H2O Æ H2CO3 Æ H+ + HCO3 Dengan adanya reaksi tersebut akan menyebabkan pH tubuh ikan rendah. Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang sensitif terhadap kaadaan asam, sedangkan mikroorganisme yang toleran terhadap asam (seperti bakteri asam laktat) pertumbuhannya tetap berlangsung pada pH rendah.
14
Bakteri-bakteri pembusuk umumnya adalah sensitif terhadap keadaan asam (pH rendah), sehinga perlakuan CO2 akan menghambat pertumbuhannya. Teori yang kedua, adalah bahwa CO2 mempengaruhi enzim spesifik yang terdapat pada bakteri, dimana konsentrasi CO2 yang tinggi akan menghambat aktivitas metabolisme bakteri yang menyebabkan pertumbuhannya menjadi terganggu. Bakteri Gram negatif yang merupakan bakteri pembusuk pada ikan segar (seperti
Pseudomonas spp) lebih sensitif terhadap CO2 dibandingkan
dengan bakteri Gram positif (seperti Lactobacillus sp). Sistem penyimpanan modifikasi atmosfir dengan CO2 tinggi dapat merubah distribusi bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Flora ikan yang
dikemas dengan tanpa CO2 didominasi oleh bakteri Gram negatif yang bersifat pembusuk dan sebaliknya ikan yang dikemas dengan CO2 didominasi oleh bakteri Gram positif. Menurut Lannelongue et al. (1982) tingkat konsentrasi CO2 tinggi bersifat bakterisidal pada flora awal, sehingga dapat memperpanjang masa lag fase sekitar 6-10 hari pada brown shrimp dan fresh water crayfish (Wang dan Brown 1983). Kemungkinan lain
terganggunya pertumbuhan bakteri pada
perlakuan CO2
adalah karena berkurangnya jumlah O2 dari kondisi normal. Keadaan ini tidak sesuai dengan syarat pertumbuhan bakteri aerob sempurna (obligat aerobic), yang mengakibatkan bakteri tersebut akan mati atau terganggu pertumbuhannya (Roger et al. 1984). Film Kemasan Plastik Sistem MAP membutuhkan jenis kemasan yang spesifik untuk menjaga agar komposisi atmosfir dalam kemasan yang ditentukan pada awalnya tidak mengalami perubahan selama penyimpanan.
Beberapa syarat yang perlu
diperhatikan dalam memilih bahan kemasan yaitu: bahan kemasan tidak mengandung bahan kimia yang dapat bereaksi dengan produk atau zat yang bersifat beracun bagi konsumen, sifat permiabilitas plastik diketahui, bentuk dan ukuran kemasan disesuaikan dengan cara penanganan dan biaya kemasan hendaknya disesuaikan dengan nilai produk yang dikemas. 15
Menurut Sacharow dan Griffin (1980) film plastik yang banyak digunakan dalam kemasan produk-produk segar adalah Polyethylene (PE), Oriented Polypropylene (OPP) dan Polyvinylchlorida (PVC). Steck (1991) menyatakan bahwa pengemasan produk ikan segar dengan MAP sebaiknya menggunakan plastik yang agak kaku (semirigid) dan film yang transparan sehingga produk mudah dilihat tanpa membuka kemasannya. Ia menyarankan penggunaan plastik PVC atau HDPE. Weathon dan Lawson (1985) menyarankan penggunaan bahan kemasan dengan permiabilitas terhadap O2 sekitar 5 cc/m2/24 jam/atm pada suhu 25 oC. Scott et al. (1984) menggunakan film dengan permiabilitas 20 cc/m2/24 jam/atm pada suhu 25 oC untuk MAP fillet ikan snapper, sedangkan Lannelongue et al. (1982) menggunakan plastik PVC dan LDPE dengan permiabilitas terhadap O2 berturut-turut 7.75 dan 8.06 serta terhadap CO2 37.20 dan 13.18 cc/m2/24/atm pada 25 oC. Pada pengemasan produk perikanan dengan modifikasi atmosfir umumnya menggunakan tiga bentuk kemasan, yaitu kemasan dalam bentuk besar (bulk), kemasan induk (master pack) dan kemasan eceran (retail pack). Diantara ketiga cara tersebut cara eceran adalah yang banyak digunakan (Cann 1988). Penyusunan produk dalam kemasan perlu dihindari pelapisan produk untuk mendapatkan kontak dengan CO2 yang lebih baik. Penentuan Umur Simpan Umur simpan produk pangan merupakan selang waktu antara saat produksi hingga komsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi atau secara umum produk masih dapat diterima sesuai tujuan konsumen (IFT 1974). Umur simpan juga berarti waktu yang diperlukan dalam kondisi peyimpanan, untuk mencapai tingkat degradasi mutu tertentu (Floros dan Gnanasekharan 1993). Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993) penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua konsep, yaitu Extended Storage Study 16
(ESS) dan Accelerated Storage Study (ASS). ESS atau disebut juga metode konvensional dilakukan dengan cara menyimpan produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. ASS digunakan untuk produk yang umur simpannya lebih panjang dengan cara menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi produk pangan metode konvensional banyak digunkan untuk produk pangan yang umur simpanya kurang dari 3 bulan, sedangkan produk pangan yang umur simpannya lebih dari 3 bulan digunakan metode ESS (Arpah 2001)
17
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan mulai
bulan Maret-Nopember 2005, di Kolam
Babakan Sawah Baru FPIK IPB; Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian; Laboratorium Kimia TPG FATETA
dan Laboratorium
Mikrobiologi Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PSSHB) IPB. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dua tahap, tahap pertama bertujuan untuk menentukan bahan pencuci yang baik berdasarkan nilai parameter signifikan. Tahap II bertujuan untuk menentukan komposisi atmosfer yang menghasilkan kualitas fillet terbaik atau umur simpan tertinggi. Secara skematis disajikan pada Gambar 3. Pembuatan fillet Ikan yang dibuat fillet ialah ikan gurami yang diperoleh dari Kolam Babakan Sawah Baru dengan berat 800-1200 g. Sebelum dibuat fillet dilakukan pemberokan (ikan dipuasakan), yang bertujuan untuk mengurangi bau lumpur dan meningkatkan konsistensi dari daging ikan gurami yang dihasilkan. Pemberokan dilakukan dengan cara ikan ditampung dalam bak ukuran 2,5x2x0,6 m3 dengan air jernih yang dibuat mengalir dan diberi aerasi. Lama pemberokan 3 sampai 5 hari. Selama pemberokan tersebut ikan tidak diberi pakan, baik pelet maupun daun talas (Khaeruman dan Amri 2003; Tanudi 2003). Pembuatan fillet
dilakukan
dengan prosedur (SNI 01-4103.2-1992)
sebagai berikut : 1. Pelumpuhan Ikan gurami hidup yang diambil dari bak pemberokan dilakukan pelumpuhan dengan cara memukul kepala ikan bagian atas dengan hamer sampai ikan pingsan.
Hal ini dimaksudkan agar ikan tidak
18
banyak bergerak/ menggelepar, selain memudahkan dalam penanganan juga menghindari timbunan asam laktat pada daging ikan. 2. Pembuangan darah Pembuangan darah dilakukan dengan cara memotong pembuluh darah pada insang, belakang sirip dada insang dan pangkal ekornya (Junianto 2003). 3. Penampungan sementara Sebelum proses lebih lanjut maka ikan ditampung dalam keranjang dengan mencampurkan es 1:1. Diusahakan ikan tidak terendam dalam air. 4. Pemotongan/ penyayatan Sebelum ikan difillet, maka terlebih dahulu dilakukan pemotongan kepala dan pembuangan isi perut. Selanjutnya dilakukan pemfilletan dengan cara penyayatan yang dimulai dari punggung mengarah ke perut dan ekor, sehingga didapat kepingan daging dari dua sisi tanpa terikut tulang. 5. Pembuangan kulit dan duri Untuk fillet gurami tanpa kulit maka, kulit dipisahkan dari daging dengan pisau tajam dan diusahakan tidak melukai/merusak daging. Selanjutnya dilakukan pembuangan duri dengan menggunakan pisau kecil atau pinset. 6. Perapihan Perapihan fillet dilakukan dengan cara membuang/menyayat daging perut yang masih tersisa pada fillet dan membuang lapisan daging bagian tepi fillet agar rapi dan bersih. Fillet ikan gurami tanpa kulit yang terbentuk siap digunakan dalam percobaan tahap I. Pada tahap ini dilakukan pengamatan secara visual untuk mendapatkan deskripsi fillet gurami (Lampiran 2).
19
Ikan Gurami
Pembuatan fillet
Perlakuan Pencucian
Larutan garam 5%
Air bersih
L. Garam + Air jeruk nipis
Larutan Air jeruk
Klorin 10 ppm
Uji Orlep, TVB, TPC Kombinasi Pencucian Optimal
Perlakuan Modifikasi Atmosfir
CO2 0%
CO2 30%
CO2 45%
CO2 60%
Uji Orlep, TVB, TPC Penanganan MAP Fillet Gurami Optimal
Gambar 3 Alur penelitian pencucian dan pengemasan fillet ikan gurami dalam MAP.
20
Percobaan I. Penentuan Bahan Pencuci Fillet Percobaan tahap I bertujuan untuk mengetahui teknik dan bahan pencucian fillet ikan gurami yang optimal. Dalam percobaan ini dibuat lima perlakuan, yaitu : 1. Pencucian dengan air bersih, 2. Pencucian air garam 5 %, 3. Pencucian larutan air jeruk, 4. Larutan air jeruk dan garam, 5. Larutan klorin 10 ppm. Bahan-bahan pencuci adalah sebagai berikut, air bersih adalah air dengan kualitas air minum (SNI 01-4103.2-1992). Larutan garam yang digunakan dibuat dengan cara melarutkan 50 g garam dapur/meja merk Berlian kedalam 1 l air bersih. Larutan jeruk nipis dibuat dengan cara melarutkan air perasan jeruk nipis sebanyak 60 ml ke dalam 1 l air setara dengan 1 buah, ukuran 50 g (Lampiran 1). Larutan jeruk ini memiliki pH 2-4.
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang
digunakan diperoleh dari kebun Agroteko Bogor. Jeruk dipilih yang sudah tua, tetapi belum matang, disimpan 3 hari setelah dipetik dari pohon. Larutan klorin 10 ppm dibuat dengan cara melarutkan 10 g kaporit merk Ciwi Kimia ke dalam 1 l air. Air yang digunakan untuk bahan pencucian terlebih dahulu dibuat dingin dengan cara mencampur air dengan es batu, hingga kira-kira suhunya 10 oC . Pencucian Fillet Pencucian fillet dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu: dua kali pencucian sesuai perlakuan dan pembilasan dengan air bersih.
Adapun cara pencucian
tersebut adalah: 1. Pencucian 1 Fillet dikelompokkan menjadi lima, masing-masing dicuci menurut perlakuan 1, 2, 3, 4 dan 5. Pencucian dilakukan dengan membersihkan secara hati-hati permukaan fillet hingga kotoran, sisa darah dan lemak yang menempel, bersih
21
dari permukaan fillet. Fillet yang telah dicuci (1) diletakkan dalam wadah yang bersih. 2. Pembilasan Fillet yang telah dicuci kemudian dibilas dengan air bersih, hingga aroma bahan pencuci dan bau amis berkurang/hilang. Fillet kemudian diletakkan kembali dalam wadah yang bersih. 3. Pencucian ke-2 Fillet yang telah dibilas diulangi dicuci dengan cara yang sama, seperti pencucian ke-1 dan diletakkan dalam wadah yang bersih. 4. Pembilasan Setelah pencucian ke-2, fillet kemudian dibilas dengan air bersih. Fillet yang sudah dilakukan perlakuan pencucian diletakkan dalam wadah (box) plastik berukuran 0.5 l secara individu, kemudian disimpan dalam lemari dingin suhu 10 oC. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap pH, TPC (Total Plate Count), TVB (Total Volatile Base) dan pengamatan indrawi (penampakan, tekstur, dan bau) pada hari ke-0, 4, 8 dan 12. Percobaan II. Penyimpanan dalam MAP Hasil dari percobaan I berupa bahan pencucian fillet terpilih (dalam hal ini digunakan 2 bahan) kemudian dipakai untuk penanganan fillet pada percobaan II. Penentuan bahan terbaik didasarkan pada nilai parameter TVB, TPC dan pengamatan visual serta umur simpan terbaik. Percobaan II bertujuan untuk menentukan komposisi gas MAP yang terbaik dan mengetahui umur simpan fillet. pencucian
Perlakuan percobaan terdiri atas
dengan dua jenis bahan pencuci yang terpilih sebagaimana hasil
percobaan I, dikombinasikan dengan perlakuan kemasan MAP. Perlakuan MAP terdiri atas penambahan gas CO2
pada konsentrasi : 0, 30, 45 dan 60%,
sedangkan lama penyimpanan ialah hari ke-0, 7, 14, 21 dan 24. Fillet kemasan disimpan pada lemari dingin, suhu 5 oC. Plastik film yang dipakai sebagai bahan pengemas ialah jenis polypropylene, yang permeabilitasnya rendah (Rizal 1994).
22
Prosedur Analisis Adapun penentuan nilai parameter yang diamati adalah sebagai berikut : 1.
Penentuan Total Volatil Bases (TVB) (Lembaga Penelitian Perikanan 1974) Prinsip dari pengamatan ini adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil
basa (amoniak, mono-,di- dan tri metilamin dan lain-lain) yang terdapat dalam ekstrak daging ikan yang bersifat basa, pada suhu 35 oC selama dua jam atau pada suhu kamar selama satu malam. Senyawa-senyawa tersebut akan diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan N/70. Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, erlenmeyer 250 ml, corong, cawan conway, kertas saring, gelas ukur, pipet ukur, buret 2 ml, magnetik stirer dan inkubator. Bahan kimia yang digunakan adalah larutan borat, larutan campuran dari satu bagian volume 0.1% metil merah alkohol, larutan 7% Trichloroacetic Acid (TCA), larutan 40% formalin dan vaselin. Prosedur kerjanya, mula-mula ditimbang sebanyak 25 g sampel contoh ikan yang telah dirajang halus dan dimasukkan ke dalam gelas plastik, lalu diblender bersama dengan 75 ml larutan TCA 7% dan disaring sampai diperoleh filtrat contoh. Selanjutnya dipipet 1 ml filtrat yang telah diperoleh di atas ke dalam bagian outer chamber dan cawan conway ditutup pada posisi hampir menutup. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan kalium karbonat jenuh ke dalam outer chamber yang berlawanan, dan 1 ml asam borat ke dalam inner chamber, Selanjutnya cawan conway ditutup rapat (air tighr) dengan cara mengolesi pinggirnya dengan vaselin. Disamping itu dikerjakan blanko dimana larutan contoh diganti dengan 5% TCA, dengan prosedur kerja yang sama seperti di atas. Untuk setiap contoh dan blanko dikerjakan secara duplo. Cawan conway yang telah ditutup rapat tadi, kemudian digoyang perlahanlahan selama 1 menit dan disusun pada rak-rak inkubator. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 35 oC selama 2 jam atau suhu kamar selama 1 malam. Setelah inkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway blanko dititrasi dengan larutan N/70 HCL hingga warnanya menjadi merah muda (pink). Kemudian larutan asam borat pada cawan conway contoh dititrasi pula dengan cara yang 23
sama sampai diperoleh warna merah muda seperti pada blanko. Nilai TVB dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : Kadar TVB = (ml titrasi contoh - ml titrasi blanko) x 80 ml N/100 g daging 2. pH Pengukuran pH didasarkan pada jumlah konsentrasi ion H+ dalam daging ikan yang bersifat buffer. Peralatan yang digunakan adalah pH meter, blender, pisau, stop watch, gelas ukur, gelas piala 100 ml dan gelas piala untuk pH 4 dan pH 7 serta peralatan laboratorium lainnya. Contoh yang telah dirajang kecil-kecil ditimbang sebanyak 20 g, dimasukkan ke dalam blender (diputar) selama satu menit. Hasil lumatan dituangkan ke dalam gelas piala 100 ml, kemudian diukur pH-nya dengan alat pH meter yang telah ditera kepekaannya dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Besarnya nilai pH adalah pembacaan jarum penunjuk pH meter setelah bergerak selama satu menit. 3.
Penentuan Total Plate Count (TPC) (Lembaga Penelitian Perikanan 1974) Prinsip dari pengamatan ini adalah menentukan besarnya populasi bakteri
yang terdapat pada ikan, yang memberikan gambaran tentang bagaimana tingkat kesegaran ikan tersebut, karena bakteri merupakan faktor utama penyebab pembusukan yang sedang berlangsung. Peralatan yang digunakan adalah gunting, pisau, timbangan analitik, pipet 1 ml, blender jars, erlenmeyer (ukuran 250 ml, 500 ml, dan 100 ml), batang pengaduk, tabung reaksi, inkubator, stop watch, pinset, cawan petri, pemanas bunsen dan alat hitung bakteri quebec. Prosedur kerjanya terdiri dari empat tahap yang saling berhubungan yaitu tahap persiapan, inokulasi, inkubasi dan penghitungan. Mula-mula ditimbang 20 g daging ikan contoh secara aseptis dan representatif. Dimasukkan ke dalam blender jars steril dan ditambahkan 180 ml NaCl 0.9% steril, kemudian diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan 24
kecepatan tinggi selama dua menit. Larutan yang didapat adalah pengenceran 1 : 10. Selanjutnya dipipet larutan 1 : 10 diatas sebanyak 1 ml lagi kedalam cawan petri steril dan 1 ml lagi ke dalam cawan petri yang lain sebagai duplo. Kemudian disiapkan larutan 1 : 100, dengan memipet 1 ml larutan 1 : 10 dan dimasukkan ke dalam larutan 0.9% NaCl 9 ml lalu dikocok sampai homogen, maka diperoleh contoh 1 : 100. Dipipet larutan contoh 1 : 100 ini dimasukkan ke dalam cawan petri steril kedua dan secara duplo.
Selanjutnya dengan cara yang sama
dikerjakan inokulasi contoh sampai pengenceran 1 : 1 000 000 yang dilakukan secara aseptis. Ke dalam semua cawan petri yang telah berisi larutan contoh di atas, dituangkan secara aseptis media tumbuh Plate Count Agar (PCA) steril bersuhu 45 oC sebanyak 15 ml, dan dibiarkan selama 15-20 menit sampai agarnya memadat. Setelah itu semua cawan petri tersebut diinkubasikan pada suhu 37 oC dengan posisi terbalik selama 48 jam. Disamping itu dibuat blanko, yaitu ke dalam cawan petri steril hanya dituangkan media tumbuh PCA 15 ml dan 1 ml larutan pepton 1% steril. Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah bakteri dengan menggunakan alat hitung bakteri quebec. Perhitungan dilakukan sesuai dengan Standar Plate Count (SPC) 4.
Penilaian Organoleptik (SNI 01-2346-1991) Pada percobaan I pengamatan organoleptik dilakukan secara deskriptif pada awal penyimpanan hingga hari ke-12. Sedangkan pada percobaan II pengamatan secara organoleptik dilakukan dengan uji skor oleh 10 orang panelis tetap dengan form penilaian fillet sesuai SNI No 01-2346-1991 dan RSNI 2005. Penilaian organoleptik meliputi parameter penampakan, tekstur dan bau. Masing-masing parameter dinilai dengan skor tertinggi 9 untuk fillet gurami sangat segar dan terendah 1 fillet yang sudah busuk, batas netral atau garis penolakan 5 (Ilyas 1993). Uji organoleptik dilaksanakan di Lab. Orlep TPG Fateta IPB.
25
26
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan tahap I dan II adalah rancangan acak lengkap dengan persamaan linier sebagai berikut :
Yij = μ + τ + ε ij Dimana : Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= rataan umum
τ
= pengaruh perlakuan pencucian ke-i
ε ij = galat percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Pada percobaan I terdiri atas 5 perlakuan, yaitu : pencucian dengan air bersih, air jeruk, air garam, air jeruk dan garam dan larutan klorin. Pengamatan dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada hari ke-0, 4, 8 dan 12. Analisa keragaman (Anova) data menggunakan one-way ANOVA pada program MINITAB 14 terhadap nilai TPC dan
TVB untuk masing-masing pengamatan. Penentuan
perlakuan terbaik didasarkan perlakuan yang menghasilkan nilai TVB dan TPC terkecil hingga pada pengamatan hari tertentu, dan pertimbangan umur simpan yang tertinggi Selanjutnya hasil percobaan I digunakan sebagai perlakuan pada percobaan II. Pada percobaan II terdapat 8 perlakuan dengan rancangan acak lengkap dengan pengamatan berulang pada hari ke-0, 7, 14, 18 dan 21 dan 24. perlakuan tersebut adalah bahan pencuci A & B, dikombinasi dengan komposisi gas CO2 : 0%, 30%, 45% dan 60% sehingga menjadi A.CO2 0%; A.CO230%; A. CO2 45%; A. CO2 60%; B.CO20%; B.CO230%; B.CO245%; dan B.CO260%. Anova dengan one-way ANOVA terhadap parameter TPC dan TVB pada masing-masing pengamatan. Penentuan perlakuan terbaik didasarkan pada nilai parameter yang menunjukkan kondisi filet pada umur simpan tertinggi. Analisis data hasil pengamatan organoleptik dilakukan dengancara sederhana sesuai SNI No 01-2346-1991 dan RSNI 2005. Penentuan umur simpan digunakan data orlep batas terendah dari rerata (rerata – simpangan
27
bakunya) pada masing-masing amatan. Kemudian dibuat persamaan regresi pada batas penolakan nilai 5 (Lampiran 2).
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia
ikan adalah protein dan
lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).
Berdasarkan kandungan lemaknya Winarno (1993)
membagi tiga kelompok ikan, yaitu ikan berlemak rendah kurang dari 2%, ikan berlemak sedang 2-5% dan ikan berlemak tinggi 6-20%. Ikan gurami termasuk ikan yang berlemak tinggi. Tabel 3 Komposisi kimia daging ikan gurami (Osphronemous gouramy Lac.) Unsur Gizi
Persentase
Kadar air
74.53 ± SD
Protein (bk)
77.82 ± SD
Lemak (bk)
7.85 ± SD
Kadar abu (bk)
5.32 ± SD
bk : basis kering
Rendemen Pembuatan Fillet Gurami Ikan gurami dengan bobot 650-850 g yang dipuasakan selama 3-5 hari mengalami penurunan bobot sebesar sebesar 3.4 ± 6%. Fillet yang dapat dihasilkan dari ikan gurami mencapai 45 ± 3% dari bobot ikannya. Menurut Suzuki (1981) rendemen ikan bervariasi menurut bentuk, umur dan kondisi sebelum atau sesudah bertelur.
Ikan yang berbentuk ellips mempunyai
rendemen 60% ke atas, sedangkan ikan yang berkepala besar atau ikan yang pipih mempunyai rendemen daging 30-40%. Ikan gurami termasuk ikan yang berbentuk pipih, namun dagingnya agak tebal. Informasi mengenai rendemen dapat digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomi setelah pengolahan. Rendemen fillet sebesar 45% atau 0.45 dari bobot ikan. Jika dikonversi dengan harga ikan maka nilai ekonomi fillet adalah 2.27 kali harga ikannya.
28
Deskriptif Fillet Gurami Karakteristik fillet ikan gurami diperoleh dengan pengamatan organoleptik deskripsi secara sederhana. Secara visual daging ikan gurami segar berwarna jernih putih kekuningan hingga merah muda sesuai jenis, ukuran dan kematangan seksual.
Menurut Winarno (1993) ikan yang
mengandung lemak 5% atau lebih dagingnya banyak mengandung pigmen kuning, merah muda atau abu-abu, sedangkan ikan yang berlemak rendah dagingnya cenderung putih.
Fillet gurami segar nampak jernih, bersih,
cemerlang dan menarik. Garis pada daging dekat tulang maupun linea lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah. Tekstur fillet gurami segar (sangat segar) padat dan kompak. Jika ditekan atau dijapit dengan jari terasa kenyal. Bau fillet segar sangat spesifik. Fillet yang dihasilkan dari ikan yang kenyang memiliki bau lebih amis (menyengat dan kurang menarik), bau khas ikan-ikan air tawar. Bau tersebut menurut Sarwono (2001) karena adanya geosmin yang menimbulkan bau ‘lumpur-lumut’. Tekstur daging dari hasil pemfilletan sesaat segera setelah mati (pre rigor) berbeda dengan pemfilletan fase rigor, kurang kenyal. Fillet yang disimpan pada suhu 10 oC selama 4 hari memiliki bau yang masih segar, agak netral. Tidak terdapat bau seperti ikan sangat segar. Teksturnya masih kompak, cukup elastis tapi agak lunak. Kenampakannya mulai berbeda dengan ikan yang sangat segar, dagingnya tidak jernih namun masih bersih, rapi. Garis tulang belakang maupun linea lateralis tidak pecah. Pada penyimpanan hari ke-8, mulai nampak perbedaan sifat fillet karena perlakuan. Fillet yang dicuci dengan air jeruk-garam dan fillet yang dicuci dengan klorin 10 ppm nampak lebih bersih, bau kurang menyengat, dan teksturnya lebih kompak dibanding fillet dengan pencucian air garam, larutan air jeruk dan air bersih saja. Namun secara umum penampakan fillet sudah mulai tidak menarik, daging mulai tidak cemerlang, beberapa fillet nampak agak kehijauan atau terdapat garis/bercak berwarna hijau pada sebagian daging, linea lateralis dan
garis tulang punggung mulai nampak merah
29
kecoklatan. Pada penyimpanan hari ke-12 daging kehijauan keseluruhan, sangat tidak menarik, garis pada tulang belakang dan linea lateralis coklat dan terbelah. Tekstur tidak elastis, sangat lunak dan tidak kompak, bau amoniak agak jelas, agak busuk. Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TPC Pencucian berpengaruh terhadap penurunan nilai TPC dimana perlakuan pencucian dengan air garam ditambah jeruk dan klorin 10 ppm merupakan yang terbaik (Tabel 4).
Penurunan kualitas fillet selama
penyimpanan disebabkan proses autolisis dan aktivitas bakteri (Huss 1995). Upaya pengurangan
jumlah
bakteri pada awal penyimpanan fillet akan
mempengaruhi laju pertumbuhan bakteri pada daging ikan. Jumlah total bakteri (TPC) pada fillet yang dicuci dengan bahan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Nilai TPC fillet paling kecil ditunjukkan pada bahan pencuci klorin 10 ppm dan air jeruk yang ditambah garam sejak awal penyimpanan. Tabel 4 Nilai log jumlah total bakteri per g fillet pada beberapa perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata ± SD, koloni/g) Lama penyimpanan (hari ) Pencucian Air Bersih Air Garam Air Jeruk Air Garam+Jeruk Air Klorin
0
4
8
12
b
4.89± 0.33 4.96± 0.11b 5.02± 0.15b 3.75± 0.06a
ab
b
5.25± 0.02 6.79± 1.08b 5.51± 0.69ab 5.01± 0.37a
7.93± 0.10 7.99± 0.05b 6.78± 0.93ab 5.06± 0.24a
10.25± 0.46a 10.22± 0.62a 10.07± 0.92a 9.23± 0.53a
3.80± 0.11a
4.94± 0.08a
5.84± 0.46a
9.43± 0.51a
Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata
Analisis statistik menunjukkan bahwa hingga penyimpanan hari ke8 nilai log TPC pada pencucian klorin dan air garam-jeruk berbeda nyata dengan nilai log TPC sebesar 5.06 pada fillet yang dicuci dengan air garamjeruk. Nilai log TPC ikan segar 5.69 per g (SNI 01-2729-1992), sedangkan menurut Ditjen POM (SK No. 03765/B/SK/VII/89) menyatakan batas maksimum total bakteri 7.69.
30
Pengaruh Pencucian terhadap Nilai TVB Nilai TVB menunjukkan konsentrasi nitrogen volatil dalam daging ikan sebagai indikator adanya penguraian protein akibat autolisis dan aktivitas bakteri. TVB secara luas digunakan sebagai indikator awal kebusukan ikan (Huss 1995) namun kurang bagus untuk mendeteksi tingkat kesegaran ikan pada awal kemunduran mutu.
Awal kemunduran mutu lebih disebabkan
proses autolisis oleh enzim dalam daging ikan dan tidak menyebabkan meningkatnya TVB, tetapi hypoxantin (Botta, 1994). TVB lebih banyak disebabkan oleh aktivitas bakteri. Nilai TVB fillet ikan gurami disajikan dalam Tabel 5. Pada awal penyimpanan jumlah TVB
semua perlakuan pencucian tidak berbeda nyata
yaitu sekitar 18-19 mg N/100 g daging ikan selanjutnya mengalami kenaikan selama penyimpanan selama 12 hari pada suhu 10 oC, dan mulai ada perbedaan jumlah pada hari ke-8. Tabel 5 Nilai TVB fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata ± SD, mg/100 g) Lama penyimpanan (hari)
Bahan pencuci Air Bersih Air Garam Air Jeruk Air Garam Jeruk Air Klorin
0 18.91+0.37 a 19.07+0.38 a 18.63+0.80 a 18.29+0.10 a 18.92+0.14 a
4 20.59+1.27 a 20.72+1.01 a 20.37+0.97 a 19.70+0.74 a 20.29+0.22 a
8 38.59+2.43 ab 43.65+4.73 b 38.87+2.12 ab 32.05+2.20 a 32.84+0.55 a
12 68.46+4.21 b 100.91+0.14 bc 117.53+10.19 bc 41.09+3.49 a 48.92+1.60 a
Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata
Perlakuan pencucian tidak berpengaruh langsung terhadap perubahan nilai TVB pada fillet ikan gurami. Hal ini dapat dilihat pada hari ke-0 tidak ada perbedaan nilai TVB pada semua perlakuan pencucian. Perbedaan nilai TVB terjadi pada hari ke-8 dan 12, disebabkan oleh aktivitas bakteri. Pencucian secara langsung berpengaruh terhadap jumlah bakteri awal. Aktivitas bakteri akan meningkat secara tajam setelah autolisis menghasilkan
31
substrat yang sesuai bagi pertumbuhannya. Dengan demikian naiknya nilai TVB lebih banyak disebabkan oleh bakteri. Menurut Connell (1980), pada ikan cod sangat segar jumlah TVB sebesar 20 mg N/100 g daging ikan, sedangkan penyimpanan ikan cod dalam es jumlah TVB meningkat hingga 60 mg N/100 g pada hari ke-20 dan dinyatakan busuk pada hari ke-25 dengan nilai TVB 70 mg N/100 g. Pada kasus lain digunakan standar yang berbeda. Misalnya pada ikan tuna dan swordfish TVB tidak lebih dari 30 mg N/100 g digunakan untuk standar ikan tuna yang akan dibekukan. Ikan asin dan ikan kering antara 100-200 mg N/100 g. Pengaruh Pencucian terhadap Nilai pH Nilai pH fillet berkisar antara 6.52 hingga 7.27. Secara umum nilai pH mengalami kenaikan selama penyimpanan.
Perubahan nilai pH pada
penurunan kualitas fillet disebabkan oleh terbentuknya senyawa-senyawa basa yang bersifat volatil (Suwedo 1993). Tidak terdapat perbedaan nyata nilai pH antar perlakuan, sehingga perlakuan pencucian tidak berpengaruh terhadap nilai pH selama penyimpanan fillet. Tabel 6 Nilai pH fillet gurami pada beberapa perlakuan pencucian dan penyimpanan pada suhu 10 oC (rerata ± SD) Pencucian Air Bersih Air Garam Air Jeruk Air Garam+Jeruk Air Klorin
0 6.77± 0.05 a 6.99± 0.06 a 6.70± 0.25 a 6.65± 0.10 a 6.57± 0.09 a
Lama penyimpanan (hari) 4 8 6.99± 0.04 a 6.96± 0.02 a 6.85± 0.28 a 7.02± 0.09 a 6.65± 0.34 a 6.92± 0.08 a a 6.52± 0.06 7.05± 0.02 a a 6.54± 0.08 6.88± 0.06 a
12 7.20± 0.16 a 7.27± 0.11 a 7.10± 0.06 a 7.09± 0.07 a 7.04± 0.05 a
Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata
32
Umur Simpan Fillet pada 10 oC Umur simpan fillet pada percobaan 1 dihitung berdasarkan persamaan
regresi
nilai TVB dengan lama penyimpanan dan
menggunakan titik potong (cut off) pada nilai TVB 30 mg N/100g daging ikan (Connell, 1980).
Persamaan regresi
antara nilai TVB dan lama
penyimpanan pada percobaan 1 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Prediksi umur simpan dengan batas TVB maximal 30 mg N/100g daging ikan Perlakuan pencucian
Persamaan regresi
Nilai Y pada X = 30
Pembulatan
Air bersih
Y= - 1,03 + 0,19X
4,94
5 hari
Air garam Y= 1,77 + 0,09X 4,52 4 hari Air jeruk Y= 0,89 + 0,11X 4,37 4 hari Air garam jeruk Y= - 5,48 + 0,41Xj 6,85 7 hari Larutan klorin Y = - 3,94 + 0,32X 5,93 6 hari 10 ppm Y lama peyimpanan (hari), X nilai TVB; X = 30, garis cut off menurut Connell (1980)
Pengaruh MAP terhadap Nilai TPC Penggunaan modifikasi atmosfir menurunkan jumlah total bakteri fillet gurami setelah penyimpanan. Dengan merujuk batas maksimal TPC fillet yang masih dapat dikonsumsi sebesar 5x107 koloni/g atau 7.6 log (Ditjen POM No. 03765/B/SK/VII/89) pada perlakuan CO2 60% dan 45% pada hari ke-21 penyimpanan masih dapat diterima. Pastoriza et al. (1996) menggunakan CO2 40-60% untuk ikan hake yang disimpan pada suhu 5 oC masih dapat diterima hingga hari ke-21. Menurut Farber (1991), CO2 akan menyebabkan alterasi dari fungsi membran sel dan berdampak pada uptake nutrisi dan absorbsi, penghambatan langsung dari sistem enzim, menembus membran menghasilkan perubahan pH intraselular dan perubahan dari sifat-sifat fisika kimia protein. Namun demikian efektivitas CO2 sebagai agen antimikrobia tidak universal bergantung pada keberadaan mikroflora dan karakteristik produk.
33
Tabel
8
Pencucia n
Air garam + jeruk
Air klorin
Nilai log jumlah total bakteri fillet gurami dengan perlakuan kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata ± SD) Lama penyimpanan (hari) 14 18
CO2 (%)
0
7 a
a
0 30
3.86±0.04 4.94±0.05 3.86±0.04a 4.28±0.43b
45
3.86±0.04a 3.96±0.15b
60
3.86±0.04a 4.00±0.29b 3.83±0.10a 4.95±0.01a 3.83±0.10a 4.37±0.53b
0 30 45 60
3.83±0.10a 4.25±0.21b 3.83±0.10a 3.87±0.08b
a
21
a
7.88±0.69 9.22±0.14 4.74±0.56c 7.52±0.48b 7.27±0.48b c c 4.19±0.21 b 6.82±0.22 c 3.88±0.08c 7.97±0.19a 9.64±0.34a 4.98±0.32b 7.45±0.39b 6.87±0.53b c 5.06±0.13b 4.48±0.52bc 6.77±0.11c
24 a
10.75±0.5 9.09±0.19b
9.93±0.07ab
7.50±0.02cd
9.69±0.39b
7.01±0.08d 8.92±0.30c 10.70±0.5a 11.02±0.04a 9.15±0.58b 10.43±0.46ab 7.95±0.02c 7.35±0.22cd
9.98±0.17ab 9.63±0.40b
Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata
Pengaruh MAP terhadap Nilai TVB Nilai TVB fillet pada awal penyimpanan (hari ke-0) atau fillet dalam kondisi sangat segar sebesar 18.5 mg/100g daging ikan, jumlahnya meningkat selama penyimpanan.
Perbedaan
jumlah TVB akibat perlakuan MAP
nampak pada hari ke-14 yang mana jumlah TVB paling tinggi pada perlakuan tanpa CO2 (Tabel 9). Tabel 9 Nilai TVB fillet ikan gurami dengan perlakuan kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata ± SD) Pencucian
CO2 (%) 0
Air garam + jeruk
Air klorin
30 45 60 0 30 45 60
Lama penyimpanan (hari) 0
7
14
18
21
18.66 +0.92
a
26.73+1.79
a
37.57+1.22
a
18.66+0.92
a
26.73+0.69
a
29.21+0.72
b
18.66+0.92
a
24.00+1.21
a
29.13+0.64b
18.66+0.92
a
23.50+2.37
a
26.94+1.12bc
30.21+1.11c
18.54+1.41
a
25.92+1.62
a
a
43.30+1.50
a
18.54+1.41
a
25.59+1.42
a
33.03+1.99
37.76+1.86
b
18.54+1.41
a
25.27+1.93
a
28.38+0.63b
a
c
a
39.12+3.27
ab
24
43.65+0.93
a
46.16+2.81
a
36.03+1.02
b
41.47+7.90
ab
57.60+4.54
34.32+1.91bc
39.14+1.15
ab
42.84+2.83b
32.59+0.70
b
35.46+2.77b
46.78+1.08
a
59.24+3.45 a
31.32+2.03c
42.28+2.79
61.83+4.97 a a
ab
60.25+1.71
a
b
42.06+2.60
b
36.30+1.64
18.54+1.41 22.72+1.28 38.97+0.79 b 32.40+2.66 25.02+1.25 28.30+1.16 Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata c
b
34
Menurut Hanafiah dan Bustaman (1981), nilai TVB dihasilkan oleh aktivitas autolisis dan mikrobiologis. Nilai TVB pada perlakuan CO2 45% dan 60%
baik perlakuan pencucian dengan air jeruk yang ditambah garam
maupun perlakuan pencucian dengan klorin adalah yang paling rendah. Hal ini berhubungan dengan jumlah nilai TPC yang rendah pada kedua perlakuan tersebut (Lampiran analisis korelasi). Pengaruh MAP terhadap Nilai pH Nilai pH fillet gurami yang disimpan pada modifikasi atmosfir dengan pencucian dengan air jeruk-garam dan pencucian dengan klorin 10 ppm berkisar antara 6.3-7.3 dan secara umum menunjukkan adanya peningkatan selama penyimpanan. Tabel 10 Nilai pH fillet ikan gurami dengan perlakuan kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC (rerata ± SD) Pencucian
CO2 (%) 0 30 Air jeruk+garam 45 60 0 30 Air klorin 45
0 6.72±0.03a 6.72±0.03 a 6.72±0.03 a 6.72±0.03 a 6.58±0.10 a 6.58±0.10 a 6.58±0.10 a
7 6.71±0.29 a 6.70±0.26 a 6.81±0.13 a 6.32±0.04 a 6.63±0.02 a 6.75±0.22 a 6.65±0.10 a
Pengamatan Hari ke14 18 6.73±0.06 a 6.79±0.03 a 6.68±0.02 a 6.70±0.39 a 6.58±0.01 a 6.66±0.22 a 6.57±0.06 a 6.60±0.14 a 6.83±0.29 a 6.93±0.03 a 6.60±0.08 a 6.66±0.04 a 6.69±0.20 a 6.68±0.21 a
21 7.04±0.11 a 6.88±0.34 a 6.85±0.03 a 6.66±0.20 a 6.99±0.16 a 6.96±0.04 a 6.82±0.10 a
24 7.31±0.02 a 7.20±0.21 a 7.12±0.04 a 6.77±0.07 a 7.25±0.08 a 6.96±0.04 a 6.87±0.06 a
Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata
Naiknya nilai pH disebabkan adanya degradasi protein yang menghasilkan senyawa-senyawa basis (Hanafiah dan Bustaman 1981). Perlakuan CO2 60% menunjukkan nilai pH yang paling kecil, hal ini karena pengaruh adanya CO2 yang beraksi dengan air menyebabkan kondisi lebih asam (Ilyas 1983). Nilai Organoleptik Fillet Gurami Pengamatan secara organoleptik dilakukan dengan uji skor oleh 10 orang panelis tetap dengan form penilaian fillet sesuai SNI No 01-2346-
35
1991 dan RSNI 2005. Penilaian organoleptik meliputi parameter penampakan, tekstur dan bau. Masing-masing parameter dinilai dengan skor tertinggi 9 untuk fillet gurami sangat segar dan terendah 1 fillet yang sudah busuk, batas netral atau garis penolakan 5 (Ilyas 1993).
Hasil
perhitungan skor organoleptik fillet gurami MAP disajikan pada Gambar XXXX
. 10 9
skor organoleptik
8
k0
7
k30
6
k45
5
k60 j0
4
j30
3
j45
2
j60
1 0 0
3
7
10
14
18
21
24
lama penyimpanan (hari)
Gambar Nilai organoleptik fillet gurami selama penyimpanan 24 hari dalam kemasan modifikasi atmosfir. 10 9 8 skor organoleptik
Gambar
k0
7
k30
6
k45
5
k60 j0
4
j30
3
j45
2
j60
1 0 0
3
7
10
14
18
lama penyimpanan (hari)
21
24
36
Pencucian dengan air jeruk-garam CO2 CO2 CO2 CO2 0% 30% 45% 60% 9.00 9.00 9.00 9.00
Hari ke0
Pencucian dengan klorin 10 ppm CO2 CO2 CO2 CO2 0% 30% 45% 60% 9.00 9.00 9.00 9.00
7
7.87
7.93
8.13
8.27
7.80
8.00
8.27
8.20
14
4.53
5.80
7.13
7.13
5.07
5.33
6.93
7.07
18
3.27
3.80
5.00
4.93
3.40
3.40
5.27
5.07
21
2.20
2.33
3.60
3.67
1.93
2.27
3.47
3.67
24
1.53
1.87
2.67
2.20
1.53
1.60
2.60
2.47
Selama penyimpanan skor organoleptik menurun secara linear, hingga hari ke-7
tidak terdapat perbedaan. Pada hari ke-14 sampai akhir
penyimpanan hari ke-24 terjadi perbedaan mana perlakuan CO2 45% dan CO2 60% pada kedua jenis pencuci memiliki skor paling tinggi dan keduannya tidak berbeda nyata. Pendugaan Umur Simpan Pendugaan umur simpan fillet dihitung berdasarkan persamaan regresi antara lama penyimpanan (hari) dan nilai bawah (rerata dikurang varian) skor organoleptik fillet dengan batas penolakan 5. Perkiraan umur simpan fillet gurami yang dalam kemasan MAP disajikan Tabel 12. Umur simpan fillet gurami MAP dapat mencapai 16 hari pada perlakuan CO2 45% Tabel 12
Perkiraan umur simpan fillet dengan persamaan regresi lama penyimpanan dan skor organoleptik fillet Perlakuan
Persamaan Regresi
Umur Simpan (hari)
Y = 24,7 - 2,63 x 12 CO2 0% CO2 30% Y = 26,5 - 2,74 x 13 Y = 32,9 - 3,31 x 16 CO2 45% Y = 31,0 - 3,07 x 15 CO2 60% Y = 26,1 - 2,68 x 12 CO2 0% Pencucian Y = 26,8 - 2,76 x 13 CO2 30% dengan 45% Y = 31,5 3,10 x 16 CO 2 klorin10 ppm Y = 31,3 - 3,11 x 15 CO2 60% Y lama penyimpanan (hari), x skor organoleptik, umur simpan Y pada titik potong garis x = 5 Pencucian dengan Air jeruk+garam
37
Gambar 5. Fillet dicuci klorin, CO2 0%, 18 hari
Gambar 6.
Fillet dicuci klorin, CO2 45%, 18 hari
Gambar 7. Fillet dicuci klorin, CO2 30%, 18 hari
Gambar 8.
Fillet dicuci klorin, CO2 60%, 18 hari
38
Gambar 9. Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 0%, 18 hari
Gambar 11. Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 30%, 18 hari
Gambar 10. Fillet dicuci air garam-jeruk, CO2 45%, 18 hari
Gambar 12. Fillet dicuci air garam jeruk, CO2 60%, 18 hari
39
SIMPULAN 1. Perlakuan pencucian terhadap fillet ikan gurami berpengaruh terhadap sifat mikrobiologis dan nilai TVB fillet gurami. Perlakuan pencucian yang terbaik adalah air jeruk yang ditambah garam dan perlakuan klorin 10 ppm. 2. Perlakuan modifikasi atmosfir berpengaruh nyata terhadap kualitas fillet gurami. Komposisi gas CO2 45% memberikan kualitas paling baik. 3. Umur simpan fillet dalam kemasan modifikasi atmosfir yang disimpan pada suhu 5 oC dengan penanganan yang baik dapat mencapai 16 hari.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta.: Kanisius. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Bogor : Program Studi Ilmu Pangan, Program Pascasarjana IPB. Banks H, Nickelson R, Finne G. 1980. Shelf-life studies on carbon dioxide packaged finfish from the Gulf of Mexico. J Food Sci. 45:157-162. Botta, J.R. 1995. Evaluation of Seafood Freshnes Quality (Food Science and Technology). New York. VCH. Publishers.Inc Brown WD, Albright M, Watts DA, Heyer B, Spruce B, Price RJ. 1980. Modified atmosphere storage of rockfish (Sebastes miniatus) and silver salmon (Oncorhynchus kisutch). J Food Sci. 45:93-96. Burgess GHO, Cutting CL, Lovern JA, Waterman JJ. ( Eds) 1967. Fish Handling and Processing. New York : Chemical Publishing Company Inc. Cann DC. 1988. Modified atmosphere packaging of fishery products. Infofish International I : 37-39. Connell JJ. 1980. Control of Fish Quality England : Fishing News (Books) Ltd. Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second Edition. New York : Academic Press Inc. Floros JD, Gnanasekharan V, 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. Chemical, Biological, Physical and Nutritional Aspects (Charalambous G Ed) Elsevier Publ London. Farber L. 1991. Microbiological aspects of modified atmosphere packaging-a review. J Food Protection. 54: 58-70. Frazier WC. 1967. Food Microbiology. New York : McGraw-Hill Co Inc. Garbut. 1997. Essentials of Food Microbiology. London : Arnold. Garthwaite GA. 1995. Chilling and Freezing of Fish In Fish Processing Technology. Second edition. London : Blackie Academic & Professional
40
Graikoski JT. 1973. Microbioloy of cured and fermentated fish. In Chichester CO, Graham HD (Eds). Microbial Safety of Fishery Products. New York : Academic Press. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta : Liberty. Hanafiah TAR, Bustaman S. 1981. Pengaruh kondisi penanganan pada pola kemunduran mutu cakalang (Katsuwonus pelamis). Bull Penel Perikanan I. (2): 281-299. Huss, H.H. 198. Fresh fish : Quality and quality Change. A Trainning Manual Prepared for The FAO/DANIDA Trainning Programme on Fish Technology and Quality Control (FAO, Fisheries series, no. 29) IFT 1974. Shelf Life of Food, report by The Institute of Food Technologiest Expert Panel on Food Safety and Nutrition and The Committee on Public Information, IFT, Chicago, Illionis. August 1974. J. Food Sci. 39 :861 Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I. Jakarta: CV Paripurna. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Seri Agriwawasan. Jakarta : Penebar Swadaya. Kep.Men. Kelautan dan Perikanan No. Kep.21/Men/2004 tentang Sistem Pengawasan dan Pengendalaian Mutu Hasil Perikanan untuk Pasar Uni Eropa Khaeruman, Amri K, 2003. Pembenihan dan Pemasaran Ikan Gurami secara Intensif. Depok : Agromedia Pustaka. Labuza TP. 1983. Reaction Kinetics and Accelerated Test Simulation as a Function of Temperature. In Computer-aided Techniques in Food Technology (Saguy I Ed) Marcel-Dekker, New York. Lannelongue M, Finne G, Hanna MO, Nickelson R, Vanderzant G. 1982. Storage characteristics of brown shrimp (Penaeus azteus) stored in retail packages containing CO2-enriched atmospheres. J. Food Sci. 47 : 911-923. Lembaga Teknologi Perikanan. 1974. Metode dan prosedur pemeriksaan kimiawi dan mikrobiologi hasil perikanan. Lembaga Teknologi Perikanan, Puslitbang. Perikanan. Jakarta. 36:191-201.
41
Pastoriza L, Sampredo G, Herrera JJ, Cabo ML. 1996. Effect of modified atmosphere packaging on shelf life of iced fresh hake slices. J. Sci. of Food and Agric. 71 : 541-547. Philips CA. 1996. Review : Modified atmosphere packaging and its effects on the microbiological quality and safety of produce. Inter. J. Food Scienc and Techn. 31: 463-479. Rancangan Standar Nasional Indonesia. Organoleptik/Sensori Produk Perikanan. Nasional.
2005. Petunjuk Pengujian Jakarta : Dewan Standardisasi
Rizal CM. 1994. Penggunaan sistem penyimpanan modifikasi atmosfir untuk mempertahankan daya awet ikan kakap merah (Lutjanus spp.) segar [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Roger Y, Stanier, Adelberg EA, Ingraham JI. 1984. Dunia Mikrobe II. Terjemahan Tjitrosomo. Siti Sudarmi (Ed). Jakarta : Bhratara Karya Aksara. 296p. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid 1 dan 2. Bandung : Bina Cipta. 508p. Saccharow S, Griffin RC. 1980. Principles of Food Packaging. 2nd Ed. Westport Connecticut : AVI Publishing Company Westport. Sarifah S. 1996. Pemanfaatan Ikan Gurami () dalam Pembuatan Semi Produk Gel Ikan [skripsi]. Bogor : Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, IPB. Sarwono B. 2001. Khasiat dan Manfaat Jeruk Nipis. Jakarta : Agromedia Pustaka. p56 Scott DN, Fletcher GC, Summers G. 1984. Modified atmosphere packaging and vacuum packing of snapper fillets. Food Technol Australia. 36(7):330-340. Shahidi F, 1994. The Chemistry, Processing Technology and Quality of Seafoods Overview. In Seafoods : Chemistry, Processing Technology and Quality. Shahidi F, Botta JR (eds). Great Britain : Chapman and Hall, St Edmundburry Press. Shewan JM. 1961. The Microbiology of Sea Water Fish. In Fish as Food Vol I. Borgstroom G (eds) London : Academic Press Inc. 487-560.
42
Silva JL, Dean S. 2001. Processed Catfish. Product Forms, Packaging, Yields and Product Mix. SRAC Publication No 184. Spinelli J, Dassow JA. 1982. Protein : Their Modification and Potensial Uses in the Food Industry. In Chemistry and Biochemistry of Marine Food Product. Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR (eds). Westport Connecticut : AVI Publishing Company. 13-25. Statham JA. 1984. Modified atmosphere storage of fisheries products : the state of the arts. Food Technol Australia. 36(5):233-239. Standar Nasional Indonesia. 1991. Ikan Segar. No 01-2729-1992. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia. 1992. Penanganan dan Pengolahan Fillet Nila Merah Beku. No 01-4103.2-1992. Jakarta : Dewan Standardisasi Nasional. Stansby M E. 1963. Industrial Fishery Technology. Reinhold Publishing Coorporation, New York. P: 339-349. Steck R. 1991. Is modified atmosphere packaging of fish for retail aviable option for both high fat and low fat products. Asia Pasific Food Industry. 3(8): 9293. Steel RGP, Torrie JH. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa Sumantri S. Ed. 2, Cet.2. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Suwedo H. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty. Syarief R, Halid H. 1990. Buku dan Monograf Teknologi Penyimpanan Pengemasan Pangan. Bogor : Laboratorium Rekayasa Pangan, PAU Pangan dan Gizi IPB. Tanudi. 2003. Cepat dan Tepat Memasarkan Ikan Gurami. Tangerang : Agromedia Pustaka. Wang MY, Brown WD. 1983. Effects of elevated CO2 atmosphere on storage of freshwater crayfish (Pacifastacus leniusculus). J Food Scie. 48:158-159. Weathon FW, Lawson TB. 1985. Processing Aquatic Food Products. New York : Willey Interscience Publishing.
43
Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. ___________. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. ___________. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan VII. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
44