Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Strain Padang Terbukti Memiliki Ketahanan Alami terhadap Infeksi Aeromonas Livia R. Tanjung1,*, Djamhuriyah S. Said1, Triyanto1 dan Miratul Maghfiroh1 1
Pusat Penelitian Limnologi – LIPI email:
[email protected]
Abstract Livia R. Tanjung, Djamhuriyah S. Said, Triyanto dan Miratul Maghfiroh. 2013. Gouramy Fish (Osphronemus gouramy) of Padang Strain Having Proven Natural Resilience Against of The Aeromonas infection. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. Gourami fish (Osphronemus gouramy) is one of the freshwater fishery resources having significant economic value and has been cultured in various regions in Indonesia. Problem encountered in the fish culture is the low survival leading to mass death due to disease outbreaks, such as Aeromonad. The research was conducted in 2010 and 2011 and aimed to obtain the fish strains that are resistant to the Aeromonad disease. There were 11 strains of Gourami fish originating from West Java (Bogor, Purwakarta, Sukabumi), Central Java (Purwokerto) and West Sumatra (Padang, Maninjau, Mungo, Payakumbuh) that were studied. The study was conducted in four infection phases by exposing the various fish strains to Aeromonas hydrophila at the concentration of 104-105 cfu/mL for 10-15 minutes. The data collected were the number of surviving fish for at least 15 days after bacterial infection and morphological, intestine and liver damages. The results showed the Gourami fish strain Padang was the most resistant strain against Aeromonas bacteria, followed by strains Maninjau and Payakumbuh. Strain Padang fish successfully became an immune strain that survived, with very few or no death in the second and third infection. In contrast, strains Purwakarta and Purwokerto were very vulnerable, having already died during the acclimation period, whereas strains Parung and Albino began to die on the third day after infection. Therefore, the Gourami fish strain Padang is preferable for fish culture due to its natural resistance against Aeromonas bacteria. Keywords: Aeromonad infection; freshwater fish culture; Gourami fish strain Padang; Natural resistance
Abstrak Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu sumberdaya perikanan air tawar bernilai ekonomis penting dan telah dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya ikan ini yaitu ketahanan hidup yang rendah yang menyebabkan kematian massal karena serangan berbagai penyakit, antara lain penyakit aeromonas. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2010 dan 2011 dan bertujuan untuk mendapatkan strain ikan Gurami yang tahan terhadap penyakit aeromonas. Sebanyak 11 strain ikan Gurami dikumpulkan dari Jawa Barat (Bogor, Purwakarta, Sukabumi), Jawa Tengah (Purwokerto) dan Sumatra Barat (Padang, Maninjau, Mungo, Payakumbuh). Penelitian dilakukan dalam empat kali penginfeksian dengan memaparkan berbagai strain ikan Gurami tersebut pada bakteri Aeromonas dengan konsentrasi 104-105 cfu/mL selama 10-15 menit. Pendataan dilakukan terhadap kelulushidupan ikan Gurami yang bertahan hidup selama minimal 15 hari setelah penginfeksian, kerusakan morfologis, intestin dan hati. Hasilnya menunjukkan bahwa ikan Gurami Padang merupakan strain yang paling tahan terhadap serangan bakteri Aeromonas, diikuti oleh strain Maninjau dan Payakumbuh. Ikan Gurami strain Padang berhasil menjadi strain imun, karena tetap bertahan hidup, dengan sangat sedikit atau tidak ada kematian pada penginfeksian ke-2 dan ke-3. Sebaliknya, ikan Gurami strain Purwakarta dan Purwokerto sangat rentan, karena telah mati pada masa aklimatisasi, sedangkan ikan Gurami strain Parung dan Albino mulai mengalami kematian pada hari ke-3 setelah penginfeksian. Oleh karena itu, ikan Gurami strain Padang sangat dianjurkan untuk dibudidayakan karena memiliki ketahanan alami terhadap serangan bakteri Aeromonas. Kata kunci: Infeksi Aeromonas; Budidaya perikanan air tawar; Ikan Gurami strain Padang; Ketahanan alami
Pendahuluan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu komoditas unggulan dalam usaha budidaya ikan air tawar karena permintaan pasar yang selalu meningkat dan bernilai
96
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
ekonomis tinggi. Ikan ini sangat populer sebagai ikan konsumsi bila sudah berukuran besar (0,5 kg). Beratnya dapat mencapai 4 kg atau panjang 40 cm. Jenis Gurami yang umum dikenal yaitu Bastar (cokelat kehitaman), Paris (lebih terang dari Bastar) dan Bluesafir (biru) yang diduga merupakan hasil perkawinan silang antara Gurami Soang dan Gurami Jepun (Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2008). Pada awalnya, ikan Gurami menyebar di pulau-pulau Sunda Besar (Sumatra, Jawa dan Kalimantan), namun kini telah dipelihara di berbagai negara Asia, terutama Asia Tenggara dan Asia Selatan serta di Australia (Kottelat et al., 1993). Di alam, ikan Gurami hidup di sungai-sungai, rawa dan kolam serta di air payau; namun paling menyukai kolam-kolam dangkal dengan banyak tumbuhan. Sesekali ikan ini muncul kepermukaan untuk bernafas langsung dari udara (Weber dan de Beaufort, 1922). Ikan ini sudah lama dibudidayakan secara komersial, sehingga pada beberapa daerah sudah terbentuk kawasan pengembangan budidayanya. Daerah kawasan pengembangan budidaya Gurami, antara lain di Jawa Barat (Bogor, Tasikmalaya, Ciamis, Garut), Jawa Tengah (Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga), DI Yogyakarta (Kulonprogo, Bantul, Sleman), Jawa Timur (Tulung Agung, Blitar, Lumajang), Sumatra Barat (Payakumbuh) dan Riau. (BBPBAT Sukabumi, www.bbpbat.net). Sementara itu, ikan-ikan Gurami yang berasal dari waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan dan yang ditemukan di Sungai Batang Hari di Jambi sudah dikelola pembudidayaannya oleh BBAT setempat (BBAT Mandiangin dan Sungai Gelam). Secara genetik, ikan-ikan Gurami tersebut masih asli karena belum dikawinsilangkan dengan ikan Gurami dari daerah lain. Demikian juga halnya dengan ikan-ikan Gurami dari daerah Payakumbuh dan Padang di Sumatra Barat yang masih belum dihibridisasi dengan ikan-ikan Gurami dari daerah lain. Bakteri Aeromonas sp. termasuk dalam Famili Vibrionaceae. Bentuknya seperti batang pendek dengan ujung membulat, Gram negatif, aerobik-anaerobik fakultatif dan mampu bergerak berkat flagella polar, kecuali spesies A. salmonicida yang non-motil (Bottarelli dan Ossiprandi , 1999). Dalam kondisi normal Aeromonas hydrophila biasa ditemukan pada lingkungan perairan tawar dan merupakan penghuni saluran gastrointestinal ikan yang sehat (Trust et al., 1974), tetapi bakteri ini bisa juga menyerang ikan air tawar dan spesies ikan tropis lainnya, termasuk ikan hias (Dixon dan Issvoran, 1992). Penyakit yang disebabkan oleh A. hydrophila pada ikan dikenal dengan nama Motile Aeromonas Septicemia (Floyd, 2002) atau Hemorrhagic Septicemia. Penyakit ini umum terjadi pada ikan tropis seperti ikan Gurami dan ikan Mas. Ikan yang terinfeksi biasanya memiliki luka memar pada tubuhnya, namun dapat juga menunjukkan tanda-tanda lain, seperti penonjolan bola mata (exophthalmia), pendarahan pada beberapa bagian tubuh dan perut membuncit. Ikan yang terinfeksi dengan luka terbuka dapat menyebarkan penyakit ini kepada ikan lain, dan ikan yang terlihat sehat tetapi membawa penyakit ini (sub clinical carriers) kemungkinan ada dan akan melepaskan bakteri yang terdapat dalam kotoran mereka ke lingkungan perairan. Pada manusia, bakteri Aeromonas merupakan patogen oportunistik yang dapat menyebabkan septicemia dan infeksi pada luka yang ditimbulkannya serta gastroenteritis, terutama pada anak-anak (Janda, 2001). Seperti halnya bakteri enteropatogenik lainnya, patogenisitas bakteri Aeromonas selalu dikaitkan dengan mekanisme dalam hal memproduksi toksin, seperti cytotoxin dan enterotoxin (termasuk yang memiliki aktivitas hemolitik) dan penempelan pada jaringan inang. Selain toxin, bakteri Aeromonas juga memproduksi cairan extraseluler lain seperti protease, amilase, kitinase, lipase dan nuklease (Janda, 1991). Dengan sistem budidaya perikanan yang intensif, berjangkitnya penyakit ini erat hubungannya dengan kondisi stress yang dialami ikan. Ikan akan mudah stress apabila ditangani secara kasar, ditempatkan pada kolam dengan kepadatan terlalu tinggi, sarana transportasi yang tidak memadai, kualitas pakan yang rendah, dan kualitas air yang buruk (Strohmeyer, 2009). Eksperimen yang dilakukan oleh White dan Swann (http://extension.purdue.edu/extmedia/AS/AS461.pdf) menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara dalam kondisi lingkungan yang buruk karena kualitas air yang rendah, seperti kadar ammonia, nitrit dan CO2 yang tinggi serta oksigen terlarut yang rendah akan mudah terinfeksi oleh A. hydrophila. Pada ikan Gurami, proses infeksi penyakit
97
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
tersebut dapat berlangsung pada beberapa stadia seperti stadia telur, larva, juvenil, maupun dewasa (BBAT Sukabumi/www.bbpat.net). Informasi penelitian terhadap ikan Gurami telah cukup banyak dilaporkan, seperti teknik pembenihannya oleh BBAT Sukabumi (www.bbpat.net), Nugroho dan Kusmini (2006) telah meneliti tentang variasi genetik isozyme dari beberapa ras ikan Gurami yang terdapat di Jawa, kloning cDNA hormon ikan Gurami oleh Nugroho et al. (2008). Selain itu, Setijaningsih et al. (2006) juga melaporkan tentang suplementasi pakan bervitamin untuk reproduksi ikan Gurami. Penelitian tentang keragaman genetik ikan Gurami juga sudah dilakukan, baik pada tingkat individu (Mulyani dan Agung, 2010) maupun pada tingkat populasi (Agustina, 2011). Ke-2 penelitian ini memperlihatkan adanya keragaman genetik strain-strain ikan Gurami Bastar, Paris dan Bluesafir yang berasal dari daerah Tasikmalaya. Di lain pihak, belum ada laporan mengenai hasil penelitian baik tentang informasi genetik maupun ketahanan terhadap penyakit aeromonas pada ikan-ikan Gurami dari daerah selain Jawa, seperti Sumatra dan Kalimantan. Padahal, ikan-ikan Gurami lokal dari daerah tersebut masih asli dan sudah dibibitkan, dikembangkan dan dibudidayakan oleh pembudidaya maupun BBAT setempat (Mandiangin dan Sungai Gelam). Ikan-ikan Gurami lokal dari Kalimantan atau Sumatra tersebut sangat potensial untuk diteliti informasi genetiknya, terutama kaitannya dengan ketahanan terhadap penyakit aeromonas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan strain ikan Gurami yang tahan terhadap penyakit aeromonas. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 dan 2011 dengan mengambil sampel ikan Gurami dari beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatra Barat.
Materi dan Metode Ikan uji Ikan-ikan Gurami berbagai ukuran dikumpulkan dari berbagai daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatra Barat. Pemesanan ikan dilakukan melalui penyalur atau diambil secara langsung dari pembudidaya. Penelitian dilakukan dalam dua tahap; untuk tahap pertama (tahun 2010) digunakan 8 strain ikan Gurami yang dibedakan menurut asalnya, yaitu: 1. Strain Parung Ikan Gurami asal Parung, Kab. Bogor, berwarna coklat dan hitam (Gambar 1a). Ikan yang diperoleh terdiri dari 2 ukuran, yaitu ukuran besar (panjang 12-15 cm, berat 47,9-61,2 g) dan ukuran kecil (panjang 10-11 cm, berat 18,1-27,1 g). 2. Strain Purwakarta Ikan Gurami ini dikenal dengan nama Gurami Soang (Gambar 1b). Ikan yang diperoleh berukuran kecil dengan warna yang berbeda-beda, yaitu hitam (panjang 3,1-4,4 cm; berat 0,4-1,1 g), cokelat kemerahan (panjang 3,9-4,7 cm; berat 0,7-1,2 g) dan agak putih (panjang 3,5-4,9 cm; berat 1,1-1,5 g). Pada masa aklimatisasi ikan-ikan tersebut mengalami kematian massal, sehingga eksperimen tidak bisa dilanjutkan. 3. Strain Padang Ikan Gurami ini diperoleh dari pedagang ikan hias di Cibinong, Kab. Bogor (Gambar 1 c) dan memiliki warna merah muda cerah dan bentuk tubuh yang agak bundar dan berukuran panjang 12,2-12,7 cm dan berat 29-31,8 g. Karena warnanya tersebut ikan ini lebih dikenal sebagai ikan hias. 4. Strain Purwokerto Ikan Gurami ini diperoleh dari penyalur ikan di Purwokerto (Gambar 1d). Ikan Gurami ini memiliki ciri-ciri bentuk badan yang pipih dan lebar, warna pada bagian punggung hitam kecoklatan, sedangkan pada bagian perut dan dada agak putih. Terdapat 3 kelompok ukuran ikan Gurami dari Purwokerto ini, yaitu ukuran jari (panjang 2,8-3,3 cm), ukuran kelor (panjang 4,0-4,6 cm) dan ukuran korek (panjang 5,6-6,2 cm). Strain ini juga mengalami kematian massal saat diaklimatisasi sebelum pemaparan bakteri. 5. Strain Bluesafir Ikan Gurami ini diperoleh dari penyalur ikan di Sukabumi (Gambar 1e, foto dari Mulyani dan Agung, 2010) dengan ciri-ciri bentuk badan pipih dan lebar dengan warna pada bagian
98
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
punggung biru kehitaman. Warna pada bagian perut dan dada putih keperakan dengan sisik yang agak besar. Ikan yang diperoleh berukuran 11,8-12,6 cm. 6. Strain Bastar Ikan Gurami ini diperoleh dari penyalur ikan di Sukabumi dan memiliki ciri-ciri bentuk badan pipih dan lebar dengan warna pada bagian punggung kehitaman dan menjadi abu-abu kearah perut, sedangkan warna dada dan perut putih keperakan. Warna dan ciri-ciri morfologisnya sangat mirip dengan strain Bluesafir. Ikan Gurami ini berukuran 10,2-11,8 cm.
(a)
(b)
(c)
(d) (e) (f) Gambar 1. Strain ikan Gurami asal (a) Parung, (b) Purwakarta, (c) Padang, (d) Purwokerto, (e) Bluesafir dan (f) Albino
7. Strain Soang Ikan Gurami ini juga diperoleh dari penyalur ikan di Sukabumi dengan ciri-ciri bentuk badan pipih dan agak memanjang dengan warna pada bagian punggung coklat kehitaman. Warna pada bagian perut dan dada putih keperakan dengan sisik yang agak besar. Warna dan ciri-ciri morfologis strain Soang sangat mirip dengan strain Bluesafir dan Bastar. Ikan yang diperoleh terdiri dari dua ukuran, yaitu Soang Korek (panjang 8,8-9,8 cm) dan Soang Super (panjang 11,8-13,4 cm). 8. Strain Albino Ikan Gurami ini diperoleh dari pembudidaya di Sukabumi (Gambar 1f) dan memiliki warna putih pada bagian dada dan perut. Sirip ikan berwana kuning dengan bagian ujung kemerahan. Ikan Gurami ini dijual sebagai ikan hias dan berukuran panjang 11-13,9 cm. Untuk penelitian tahap ke-2 (tahun 2011) digunakan ikan Gurami strain Padang yang berwarna merah muda. Ikan yang lebih dikenal sebagai ikan hias ini pertama kali kami dapatkan dari pedagang ikan hias di Cibinong pada tahun 2010. Oleh karena pengujian tahap pertama menunjukkan bahwa strain ini yang paling tahan terhadap bakteri Aeromonas, maka untuk pengujian tahap ke-2 kami mencari tempat asal strain Padang tersebut dan berhasil menemukan pembudidaya yang mengembangkannya. Anak-anak ikan strain Padang yang berukuran kecil (2-2,5 cm) dan besar (3-4 cm) tersebut digunakan untuk pengujian tahap ke-2. Selain strain Padang, pengujian pertama tahap ke-2 menggunakan strain Purwokerto dan strain Bayur (Maninjau) yang juga berukuran 3-4 cm (Gambar 2). Strain Purwokerto mengalami kematian massal pada masa aklimatisasi. Pengujian pertama ini dilakukan dengan dua kali pengulangan. Pengujian ke-2 tahap kedua menggunakan ikan Gurami strain Padang yang masih hidup dari hasil pengujian pertama dan sampel baru strain Padang. Pengujian ke-3 tahap ke-2
99
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
menggunakan strain Padang yang bertahan hidup dari dua pengujian sebelumnya, strain Padang yang terbaru, strain Mungo dan Baja (Balai Jariang) dari Payakumbuh, Sumatra Barat, serta strain Parung (Gambar 3).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Pengujian pertama tahap ke dua (a) strain Padang, (b) strain Purwokerto, (c) strain Bayur
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Strain pada pengujian ke-3 tahap ke-2 (a) Padang, (b) Mungo, (c) Baja, (d) Parung
Kultur bakteri Aeromonas hydrophila Pembiakan bakteri A. hydrophila dilakukan dengan menggunakan media tumbuh selektif TSA (Tryptic Soy Agar) dan TSB (Tryptic Soy Broth, Merck) yang ditambahkan Ampisilin 30 mg/L (Cipriano, 2001). Pemaparan ikan uji pada Aeromonas hydrophila Pemaparan ikan Gurami uji dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada tahun 2010 dan tahap ke-2 pada tahun 2011 sebanyak tiga kali. Sebelum penginfeksian, ikan uji diaklimatisasi terlebih dahulu selama 15 hari. Untuk pemaparan tahap pertama digunakan lima ekor ikan uji untuk setiap strain. Ikan diambil dari aquarium pemeliharaan dan dimasukkan ke dalam aquarium uji yang berukuran 22 x 40 x 23,5 cm3 dan telah diisi 4 L air bersih. Pemaparan dilakukan selama 15 menit menggunakan bakteri dengan konsentrasi 104-105 cfu/mL. Pemaparan tahap ke-2 dilakukan tiga kali dengan konsentrasi bakteri yang berbeda dan dilakukan selama
100
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
10 menit. Ke dalam tiap aquarium uji yang telah diisi dengan 5 L air bersih dimasukkan sepuluh ekor ikan uji. Sebanyak 5 mL kultur A. hydrophila dengan konsentrasi 104 cfu/mL (pengujian pertama) dan 105 cfu/mL (pengujian ke-2 dan ke-3) dituangkan ke dalam aquarium uji sambil diaduk perlahan agar semua ikan terpapar bakteri. Pengujian dilakukan dengan 2 kali ulangan untuk masing-masing strain ikan uji. Setelah pemaparan selesai, ikan dikeluarkan dari aquarium dan dimasukkan kembali ke dalam aquarium pemeliharaan yang baru. Kondisi ikan dipantau setiap hari selama minimal 15 hari sejak pemaparan dan ikan yang mati diambil untuk dijadikan sampel analisis histologis pasca pemaparan bakteri. Pengamatan morfologis dan ketahanan hidup Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui perubahan parameter morfologis ikan seperti insang, sisik, sirip dan perubahan warna pada kulit serta ketahanan hidup ikan uji. Ikan yang mati langsung dikeluarkan dari sistem pemeliharaan dan didesinfektan sebelum dibuang. Pengamatan dilakukan selama 15 hari sejak pemaparan. Ikan yang bertahan hidup dipelihara secara terpisah. Pengamatan kerusakan intestin dan hati Pengamatan histologis dilakukan terhadap intestin dan hati ikan yang rusak setelah terpapar oleh bakteri A. hydrophila. Organ diisolasi, lalu difiksasi dalam larutan Bouin. Analisis dilakukan dengan metode embedding menggunakan parafin dan pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (Humason, 1962).
Hasil dan Pembahasan Analisis morfologis dan ketahanan hidup tahap pertama Setelah ikan dipaparkan pada bakteri dan ketahanan hidup ikan dipantau setiap hari, lama hari pemeliharaan sampai ikan mengalami kematian dijadikan sebagai dasar penentuan ketahanan hidup ikan. Waktu kematian ikan bervariasi mulai pada hari ke-3 sampai pada hari ke-10. Secara umum, tingkat serangan bakteri Aeromonas cukup berpengaruh terhadap kondisi fisik ikan. Ikan kontrol memperlihatkan ketahanan hidup yang hanya sedikit lebih baik daripada ikan uji, kecuali strain Albino, yang ikan kontrolnya memiliki ketahanan hidup yang lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan stress yang mereka alami selama dipelihara di aquarium percobaan membuat ketahanan hidup mereka menurun, meskipun kematian mereka tidak disebabkan oleh serangan bakteri Aeromonas. Jika memang demikian, stress yang sama yang dialami oleh ikan uji sangat mungkin lebih memperburuk daya tahan fisik mereka, karena ikan yang mengalami stress sangat mudah diserang oleh A. hydrophila (Strohmeyer, 2009). Dari pengujian tahap pertama terlihat bahwa indikasi serangan bakteri terhadap berbagai strain ikan Gurami cukup beragam, baik ciri-ciri maupun waktunya. Dari indikasi waktu serangan tampak bahwa strain Albino merupakan strain yang paling rentan terhadap serangan bakteri, ditandai waktu munculnya serangan yang sudah tampak sejak hari pertama. Jenis yang paling tahan adalah strain Padang dengan indikasi serangan yang terlihat setelah hari ke-3. Hal ini sesuai dengan tingkat ketahanan hidupnya yang paling tinggi, yaitu 8-10 hari (Tabel 1). Serangan bakteri tersebut dicirikan oleh perubahan warna mata menjadi abu-abu dan terjadi penonjolan bola mata atau exophthalmia (Gambar 4a), luka memar bisa meliputi sekujur tubuh (Gambar 4b), sirip mengalami luka, berjamur dan rusak (Gambar 4c) serta warna tubuh menjadi pucat dengan waktu (hari) serangan yang bervariasi (Tabel 2). Tabel 1. Ketahanan hidup berbagai strain ikan gurami. No 1 2 3
Strain ikan Gurami Parung (hitam) Parung (coklat) Parung (kecil)
Ikan Uji (hari) 4-10 7-8 3-6
101
Ketahanan Hidup Ikan Kontrol (hari) -
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
4 5 6 7 8 9 10
Parung (besar) Padang Bluesafir Bastar Soang (korek) Soang (super) Albino
7-8 8-10 7-8 8-9 5-6 5-9 3-9
8 8-10 8-9 10 2-6
Tanda-tanda sekunder infeksi Aeromonas terlihat dengan tumbuhnya jamur berwarna putih pada bagian ujung sirip ikan dan pada bagian tubuh yang mengalami luka memar (Gambar 4c dan 4d). Sekresi lendir tampak berlebihan menyeliputi tubuh ikan dengan warna tubuh yang mulai pucat dibandingkan dengan warna tubuh normal. Nafsu makan berkurang mulai pada hari ke-2. Luka memar kemerahan pada bagian tubuh terlihat jelas mulai hari ke-3 (Gambar 4e dan 4f). Kerusakan sisik dan tumbuhnya jamur sudah muncul mulai dari hari pertama. Warna tubuh pucat umumnya tampak setelah hari ke-3. Kerusakan pada sirip tidak selalu muncul, artinya ikan yang tidak menunjukkan sirip atau sisik rusak (ta), boleh jadi sudah terserang bakteri (Tabel 2). Indikasi serangan bakteri yang paling jelas adalah tumbuhnya jamur pada ikan dan warna tubuh pucat. Menurut Meryam et al. (2005) dengan konsentrasi 1,95.106 cfu/mL A. hydrophila menimbulkan infeksi yang parah (Haemorrhagic septicaemia) dan menyebabkan kematian ikan Gurami dengan tanda-tanda infeksi berat sejak hari ke-8 pengamatan. Tabel 2. Kisaran waktu (hari) munculnya indikasi serangan bakteri pada ikan gurami uji. No. Strain Mata Pucat Warna Pucat Jamur Sisik Rusak 1 Bluesafir 5 -8 3-6 1-3 2 – ta 2 Bastar 6-8 5-8 2-8 ta - 1 3 Soang (korek) ta- 5 3 1 1-3 4 Soang (super) 5-8 4 1-4 1-7 5 Albino 1 - ta 1 1 1 ta: tidak ada serangan.
(a)
(b)
(c)
(d)
102
Sirip Rusak 2 – ta 1 – ta 1 1 – ta 1 -2
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
(e) (f) Keterangan: (a) Warna mata menjadi abu-abu dan terjadi penonjolan bola mata pada strain Parung (b) Luka memar pada sekujur tubuh strain Albino (c) Sirip ekor rusak, pecah-pecah dan mengalami nekrosis. Jamur putih tumbuh pada ujung sirip perut dan punggung strain Soang (d) Jamur tumbuh pada luka memar di sekujur tubuh strain Albino (e) Luka memar pada permukaan tubuh meluas sampai ke bagian dalam jaringan otot strain Albino (f) Insang mengalami infeksi, ujung insang terlihat berwarna putih, dan luka memar pada permukaan tubuh Gambar 4. Tanda-tanda serangan bakteri A. hydrophila pada ikan gurami.
Analisis histologis hati dan intestin Gambar 5 memperlihatkan irisan sel-sel intestin dan hati ikan yang sehat. Sel-sel epithelium intestin atau mukosa yang sehat tersusun rapat membentuk polimer yang impermeabel, sedangkan dalam jaringan hati yang sehat ditemukan hepatosit atau sel parenkim hati (Parenchymal hepatocytes) yang berisi nukleus dengan heterokromatin dan nukleolus. Selain hepatosit ditemukan juga sel endothelium, sel penyimpan lemak, sel Kupffer dan fibroblast (Takashima dan Hibiya, 1995).
(a) (b) Gambar 5. Irisan histologis sel-sel (a) intestin dan (b) hati ikan gurami sehat.
Intestin dan hati ikan merupakan organ dalam yang sensitif terhadap serangan penyakit aeromonas. Hasil analisis histologis intestin dan hati memperlihatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara ikan Gurami yang sehat dan yang terpapar A. hydrophila (Gambar 5, 6 dan 7). Pada ikan yang sehat irisan hati berwarna cerah serta sel-sel hepatosit mengandung nukleus dan heterokromatin. Kondisi sel hati pada ikan yang terkena serangan A. hydrophila terlihat rusak karena mengalami infeksi, tetapi tidak mengeluarkan nanah (non purulent multifocal hepatitis). Kantung empedu dan sel hati mengalami peradangan atau infeksi (cholangiohepatitis) yang dapat mencapai jaringan parenkim hati pada kondisi yang parah. Ditemukan juga vakuola dan sel-sel darah karena terjadi pendarahan dalam (internal haemoragy). Kematian sel-sel hati (focal necrosis) merupakan manifestasi yang umum terjadi pada ikan yang terserang A. hydrophila (Azad et al., 2001). Intestin ikan Gurami yang terpapar A. hydrophila menunjukkan kondisi yang mengalami
103
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
deplesi pada sel lamina intestin tersebut, sehingga terkikis habis. Mukosa intestin juga mengalami kematian sel (necrosis) yang disebabkan oleh degradasi enzimatik yang dihasilkan oleh A. hydrophila seperti yang dinyatakan oleh Burr et al. (2005). Semua strain ikan Gurami yang terserang mengalami kondisi patogen yang sama berdasarkan analisis histopatologi organ intestin dan hati. A
C
B
Gambar 6. Irisan intestin ikan gurami yang terserang A. hydrophila A. Parung Coklat, B. Soang Super, C. Bastar (pembesaran 20x). A
B
C
Gambar 7. Irisan hati ikan gurami yang terserang A. hydrophila A. Albino, B. Bluesafir, C. Soang Super (pembesaran 20x).
Analisis morfologis dan ketahanan hidup tahap ke dua Pada pengujian tahap ke dua, strain Purwokerto terlihat paling rentan karena sudah mengalami kematian massal pada masa aklimatisasi. Strain Bayur mulai mengalami kematian pada hari ke-9 (Tabel 3). Jumlah kematian terus bertambah hingga tersisa satu ekor (5%) pada hari ke-16. Individu strain Bayur ini pada akhir pengamatan sudah melemah dan hampir mati, namun mampu untuk hidup sehat kembali. Ikan ini diduga menjadi ikan Gurami yang imun terhadap Aeromonas hydrophila. Strain Padang merupakan strain yang paling tahan terhadap bakteri Aeromonas, dan strain Padang yang berukuran besar (3-4 cm) lebih tahan terhadap Aeromonas dibandingkan yang berukuran kecil. Strain Padang yang berukuran besar tersebut mampu bertahan dengan SR (Survival Rate) 95%, sedangkan SR yang berukuran kecil hanya 35%. Strategi penyerangan bakteri Aeromonas pada individu inang diduga berbeda-beda tergantung keturunan strain atau ukuran ikan. Pengujian ke-2 tahap ke-2menggunakan strain Padang yang bertahan hidup dari pengujian pertama (strain Padang lama) dan sampel strain Padang yang baru diambil dari pembudidaya di Padang (strain Padang baru). kelulushidupan yang diperoleh dalam 15 hari pengamatan cukup tinggi, yaitu antara 71-100% (Tabel 4). Dari pengujian ke-2 ini terlihat bahwa ketahanan terhadap serangan Aeromonas tidak tergantung pada ukuran ikan karena strain Padang baru yang berukuran besar ternyata lebih rentan daripada yang berukuran kecil. Dengan demikian, faktor keturunan lebih menentukan dalam hal ketahanan atau resistansi terhadap bakteri Aeromonas. Tabel 3. kelulushidupan (%) harian ikan Gurami pada pengujian pertama tahap ke-2 Pengamatan hari ke 1
Ketahanan atau kelulushidupan (%) Strain Padang (2-2,5 cm) 95
Strain Padang (3-4 cm) 100
104
Strain Bayur (3-4 cm) 100
Keterangan
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
2 3
90 90
100 100
100 100
4
90
100
100
5
90
100
100
6
80
100
100
7
70
100
100
8
70
100
100
9
70
95
95
10 11 12 13 14 15
55 35*) 35 35 35 35
95 95 95 95 95 95
80 65 60 60 60 55
16
35
95
5*)
*)
ulangan 1, habis
*)
ulangan 2, habis
Pengujian ke-3 tahap ke-2 menggunakan strain Parung, strain Mungo, strain Baja, strain Padang lama, strain Padang baru dan strain Padang terbaru (Tabel 5). Hasil pengujian ke-3 tahap ke-2 memperlihatkan bahwa strain Parung sangat rentan terhadap serangan Aeromonas, yaitu hanya tersisa 17% pada hari ke-2, seperti halnya penelitian tahap pertama tahun 2010. Strain Mungo dan Baja juga rentan terhadap serangan bakteri Aeromonas (Tabel 5). Strain Mungo habis pada hari ke-6, sedangkan strain Baja habis pada hari ke-14. Strain Padang terbaru (3-4 cm) mulai mengalamai kematian pada hari ke-5 dan habis pada hari ke-8. Hal ini diduga bukan karena serangan bakteri Aeromonas, tetapi karena stress akibat transportasi dan perubahan lingkungan. Strain Padang tersebut mati dalam kondisi bersih (tidak berlendir) dan tidak menunjukkan ciri-ciri morfologis sebagai akibat serangan bakteri Aeromonas. Strain Padang lama dan baru yang sampai akhir penelitian bertahan dengan SR 100% dapat dikatakan sebagai ikan yang resistan dan imun terhadap bakteri Aeromonas karena telah mengalami 2-3 kali uji tantang dengan bakteri Aeromonas, namun semuanya masih bertahan hidup dengan normal dan sehat. Tabel 4. kelulushidupan (%) harian ikan gurami strain Padang pada pengujian ke-2 tahap ke-2. Pengamatan hari ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ketahanan atau kelulushidupan (%) Strain Padang kecil lama 100 100 100 86 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71
Strain Padang besar lama 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
105
Strain Padang kecil baru 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 94 94 94
Strain Padang besar baru 100 100 100 100 100 100 100 94 94 89 89 89 89 89 89
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Tabel 5. kelulushidupan (%) harian ikan gurami pada pengujian ke-3 tahap ke-2. Ketahanan atau kelulushidupan (%) Pengamatan hari ke Parung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
100 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mungo 92 33 25 17 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Baja 100 100 100 100 89 83 83 54 13 13 13 13 13 0 0
Padang kecil lama 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Padang besar lama 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Padang kecil baru 100 100 100 100 86 86 86 86 86 86 86 71 43 14 0
Padang besar baru 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Padang terbaru 100 100 100 100 90 60 10 0 0 0 0 0 0 0 0
Kesimpulan Ikan Gurami Padang merupakan strain yang paling resistan terhadap serangan bakteri Aeromonas, diikuti oleh strain Maninjau dan Payakumbuh. Ikan Gurami strain Padang berhasil menjadi strain imun, karena tetap bertahan hidup, dengan sangat sedikit atau tidak ada kematian pada penginfeksian ke-2 dan ke-3. Ikan Gurami strain Purwakarta dan Purwokerto sangat rentan, karena telah mati pada masa aklimatisasi, sedangkan ikan Gurami strain Parung (Bogor) dan Albino (Sukabumi) mulai mengalami kematian pada hari ke-3 setelah penginfeksian. Oleh karena itu, ikan Gurami strain Padang sangat cocok untuk dikembangkan dan dibudidayakan karena memiliki ketahanan alami terhadap serangan bakteri Aeromonas.
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini terlaksana atas biaya dari Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI tahun 2010 dan 2011. Terima kasih kepada Laela Sari dan Syahroni yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
Daftar Pustaka Agustina, M. 2011. Analisis Keragaman Genetik Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac.) Varietas Bastar, Paris dan Bluesafir dengan Menggunakan Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Skripsi. Program Studi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Azad, I.S., K.V. Rajendran, J.J.S. Rajan, K.K. Vijayan and T.C. Santiago. 2001. Virulence and histopathology of Aeromonas hydrophila (Sah 93) in experimentally infected Tilapia, Oreochromis mossambicus (L.). Journal of Aquaculture in Tropics, 16: 265-275. Bottarelli, E. and M.C. Ossiprandi. 1999. Aeromonas Infection: An Update. A paper presented at the Course "La nuova cultura delle produzioni animali nel contesto dell'Unione Europea", University of Parma, Faculty of Veterinary Medicine, Parma, 1999. Burr, S.E., D. Pugovkin, T. Wahli, H. Segner and J. Frey. 2005. Attenuated virulence of an Aeromonas salmonicida subsp. salmonicida type III secretion mutant in a rainbow trout model. Microbiology, 151: 2111-2118.
106
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Cipriano, R.C. 2001. Aeromonas hydrophila and Motile Aeromonad Septicemias of Fish. Fish Disease Leaflet 68. United States Department of the Interior. Fish and Wildlife Service Division of Fishery Research Washington, D. C. 20240. Dixon, B A. and G.S. Issvoran. 1992. The activity of ceftiofur sodium for Aeromonas spp. isolated from ornamental fish. Journal of Wildlife Diseases, 28 (3): 453-456. Francis, F.R. 2002. Aeromonas Infections, FA14 Document. IFAS Extension, University of Florida. Humason, G.L. 1962. Animal Tissue Techniques. Los Alamos Scientific Laboratories. W. H. Freeman and Company. United States of America. 492 pp. Janda, J.M. 1991. Recent advances in the study of the taxonomy, pathogenicity, and infectious syndrome associated with the genus Aeromonas. Clinical Microbiology Reviews, 4, 397. Janda, J.M. 2001. Aeromonas and Plesiomonas, p. 1237–1270. In M. Sussman (ed.), Molecular Medical Microbiology. Academic Press, New York, N.Y. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. dan Proyek EMDI KMNKLH Jakarta. P. 220. Meryam, M.M., K. Diah and P. Adi. 2005. Molecular Marker Development of Gouramy Fish (Osphronemus gouramy) Which is Resistant to Aeromonas hydrophila Using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Method: I. Obtaining resistant gouramy fish and optimizing PCR reaction. Asahigarasu Zaidan Jyosei Kenkyu Seika Hokoku (Web), U0002A, WEB ONLY 05F-26(2005). Mulyani, Y. dan M.U.K. Agung. 2010. Analisis Keragaman Genetik Ikan Gurame di Tasikmalaya dengan Menggunakan Penanda Genetik RAPD-PCR. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan-UGM. Yogyakarta, 24 Juli 2010. Nugroho, E. dan I.I. Kusmini. 2006. Evaluasi Variasi Genetik Tiga Ras Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) dengan Menggunakan Isozyme. Jurnal Riset Akuakultur, (1): 51-57. Nugroho, E., Aimuddin, A. H. Kristanto, O. Carman, K. Somantadinata. 2008. Kloning cDNA Hormon Pertumbuhan dari Ikan Gurame (Osphronemus gouramy). Jurnal Riset Akuakultur, (2); 183-190. Setijaningsih, L., Z.I. Azwar, E. Nugroho dan M. Sulhi. 2006. Pengaruh Suplementasi Askorbil Fosfat Magnesium sebagai Sumber Vitamin C dalam Pakan terhadap Reproduksi Induk Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.). Jurnal Riset Akuakultur, (3): 437-445. Strohmeyer, C. 2009. http://ezinearticles.com/?Treatment-and-Identification-of-Aeromonas-and-Vibrio-inAquariums-and-Ponds&id=313776 Takashima, F and T. Hibiya (eds). 1995. An Atlas of Fish Histology: Normal and Pathological Features. Second Edition. Tokyo: Kodansha, Stuttgart, New York. 195 P. Trust, T.J., L.M. Bull, B.R. Currie and J.T. Buckley. 1974. Obligate anaerobic bacteria in the gastrointestinal microflora of the grass carp (Ctenopharyngodon idella), goldfish (Carassius auratus), and rainbow trout (Salmo gairdneri). Journal of the Fisheries Research Board of Canada. 36: 1174 - 1179. Weber, M. and L.F. de Beaufort. 1922. The Fishes of The Indo-Australian Archipelago IV:343-345. E.J. Brill. Leiden.
107