HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN DAN ZAT BESI (Fe) DENGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL DI KOTA BOGOR
ERDI HUMEID
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRACT ERDI HUMEID. Relationship Between %RDA of Protein and Iron with Levels of Hemoglobin at Pregnant Mother in Bogor City. Supervised by SITI MADANIJAH and YEKTI HARTATI EFFENDI Levels of hemoglobin is one of the most common indicator used to determine the status of iron deficiency anemia, which is closely related by intake of protein and iron that increased and must be adequate during pregnancy. The aim of study was to explain relationship between %RDA of protein and iron with levels of hemoglobin at pregnant mother in Bogor City. The design of this study was cross-sectional study, and the number of samples were 45 pregnant women. The result of the research show that the anemia prevalence was 22.2%. Consumption of animal foods as a source of iron was still low (60.3 g) it might for 68.8% of the samples had inadequate iron. Intake of vitamin C as a enhancer of iron bioavailability was 27.0 mg. This study has shown that intake of heme iron (6.9 mg) was lower than the non-heme iron (10.4 mg). Most of sample on group anemia and non anemia has %RDA of energy and protein as a deficit level of heavy and then %RDA of vitamin A, vitamin C, folic acid, and iron as a deficit. Results test correlation show there is no relation between %RDA of protein and iron with levels of hemoglobin (p>0.05) Key words: hemoglobin, anemia, pregnant mother, %RDA of Nutrients.
RINGKASAN ERDI HUMEID. Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan YEKTI HARTATI EFFENDI Kadar hemoglobin merupakan salah satu indikator paling umum yang digunakan dalam penentuan status anemia defisiensi zat besi yang sangat erat kaitannya dengan asupan protein dan zat besi yang meningkat dan harus tercukupi selama masa kehamilan. Tujuan umum penelitian ini untuk menjelaskan hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin Ibu hamil di Kota Bogor yang bertujuan khusus untuk mengetahui: (1) status anemia, prevalensi anemia dan status gizi ibu hamil di wilayah penelitian; (2) karakteristik contoh berdasarkan umur, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dengan status anemia; (3) kebiasaan konsumsi pangan, asupan zat gizi serta tingkat kecukupan zat gizi contoh, serta (4) menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga, nilai LILA, tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi dengan kadar Hb. Penelitian ini menggunakan sebagian data dasar Studi tentang Status Gizi dan Pola Makan pada Wanita Pra-Hamil (Usia Subur), Ibu Hamil, dan Menyusui yang telah dilakukan oleh SEAFAST Center IPB menggunakan data konsumsi pangan (recall 2X24 jam dan kuesioner frekuensi pangan (FFQ). Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Lokasi penelitian di Kota Bogor, meliputi enam kecamatan (Kecamatan Bogor Utara, Selatan, Barat, Timur, Tengah, dan Tanah Serial. Contoh adalah 45 ibu hamil yang bermukim di enam kecamatan di Kota Bogor dengan kriteria meliputi (1) umur 20-40 tahun, (2) usia kehamilan trimester II (3-6 bulan), (3) pengeluaran rumah tangga berada pada kuintil-2, 3 dan 4.(Kuintil-2 Rp. 253.875- Rp.330.787), (kuintil-3 Rp.332.781-Rp.430.137), (kuintil-4 Rp.432.210-Rp.618.983) (SUSENAS 2009). Kemudian contoh diambil darahnya untuk dilakukan analisis kadar hemoglobin. Sebelum contoh diambil darahnya dikenakan kriteria sehat dinyatakan oleh dokter setelah dilakukan pemeriksaan klinis. Data yang dikumpulkan meliputi data karakteristik contoh dan keluarga, antropometri, konsumsi makanan, kebiasaan makan, pemeriksaan klinis, serta data status besi (hemoglobin). Semua data dimasukkan dan diolah menggunakan program Microsoft Excel kemudian dianalis secara deskritpif. Selanjutnya dilakukan analisis secara inferensia dengan uji korelasi pearson menggunakan SPSS 16.0 for windows Hasil penelitian ini menyatakan bahwa sebanyak 77.8% contoh tidak menderita anemia, 22.2% menderita anemia tingkat ringan, serta tidak ada yang menderita anemia tingkat berat. Prevalensi anemia ibu hamil di wilayah penelitian sebesar 22,2%. Sebanyak 80.0% dari keseluruhan contoh tidak menderita KEK. Karakteristik Ibu hamil trimester ke II yang dikelompokan dalam dua kelompok (10 orang, 22.2%) anemia dan (35 orang, 77.8%) tidak anemia menunjukkan secara umum 55.6% dari keseluruhan contoh berumur antara 20.0-29.0 tahun dengan rata-rata umur 29.0 tahun. Sebanyak 40.0% contoh dari keseluruhan berpendidikan SMA/sederajat namun terlihat sebanyak 80.0% contoh pada kelompok anemia berpendidikan SD/sederajat hingga SMP/sederajat. Secara umum 48.9% suami contoh berpendidikan SMA/sederajat. Sebanyak 86.7% dari keseluruhan berstatus tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Seluruh suami contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia berstatus bekerja. Secara umum 66.7% dari keseluruhan contoh
tergolong keluarga kecil (≤4orang). Seluruh keluarga contoh memiliki rata-rata total pendapatan Rp.1.606.444 per bulan dan rata-rata pendapatan/kapita/bulan Rp.388.813. Secara keseluruhan 84.5% keluarga contoh berstatus keluarga tidak miskin. Konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan pangan nabati beserta olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi serealia sebesar 487 g dengan frekuensi konsumsi 3-4. kali sehari dan konsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g per hari dengan frekuensi konsumsi sebanyak 3-4 kali sehari. Rata-rata asupan protein nabati dan zat besi non heme dari pangan nabati sebesar 32.6 g dan 10.4 mg per hari. Konsumsi pangan hewani sebagai sumber protein hewani dan zat besi heme masih sedikit dikonsumsi oleh contoh yaitu sebesar 60.3 g dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali seminggu dengan rata-rata asupan protein hewani dan zat besi heme sebesar 17.3 g dan 6.9 mg per hari. Konsumsi serealia, pangan hewani, pangan nabati, sayur dan buah masih lebih rendah dibandingkan dengan ketetapan yang sudah ada. Rata-rata asupan contoh sebesar 1545.0 kkal energi, 49.9 g protein, 579.0 RE vitamin A, 27.0 mg vitamin C, 187.0 µg asam folat , 12 mg seng, dan 17.3 mg zat besi. Hampir separuh (44.0%) contoh memiliki tingkat kecukupan energi defisit tingkat berat (TKE <70% AKE), 46.7% contoh memilki tingkat kecukupan protein defisit tingkat berat (TKP <70% AKP), 66.4% contoh kurang vitamin A, 91.1% contoh kuang vitamin C dan 95.5% contoh kurang asam folat, dan 68.8% contoh kurang zat besi (TKG <77%AKG). Uji korelasi pearson menunjukkan karakteristik contoh dan keluarga, tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi tidak berhubungan dengan kadar hemoglobin (p>0.05) melainkan nilai LILA yang berhubungan kadar hemoglobin (p<0.05)
HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN DAN ZAT BESI (Fe) DENGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL DI KOTA BOGOR
ERDI HUMEID
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Skripsi
: Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor
Nama Mahasiswa
: Erdi Humeid
NIM
: I14080072
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS
dr. Yekti Hartati Effendi, S. Ked
NIP. 1949 1130 197 603 2001
NIP. 1947 1029 197 901 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001
Tanggal lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang menjadi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi. Skripsi ini berjudul “Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor” untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi ibu hamil di Kota Bogor yang utamanya adalah protein dan zat besi. Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan dan arahannya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang selalu memberikan do’a dan dukungan, serta teman-teman yang telah memberi bantuan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat umumnya serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis membutuhkan saran dan kritikan dari berbagai pihak untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Erdi Humeid
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1990. Penulis merupakan anak ke-dua pasangan Bapak Entje Rahman dan Ibu Siti Rokayah. Pendidikan formal yang pertama kali ditempuh penulis adalah Taman Kanak-kanak di TK Yayasan Rumah Kita, Jakarta Pusat pada tahun (1995-1996). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Republica de Venezuela, Jakarta Pusat, selama enam tahun (1996-2002). Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Jakarta, Jakarta Pusat selama tiga tahun (2002-2005). Kemudian Penulis diterima di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Jakarta pada tahun 2005. Setelah lulus pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam tim asisten praktikum mata kuliah biokimia gizi dan metabolisme zat gizi tahun 2010-2012 menjabat sebagai ketua koordinator asisten, sempat menjabat sebagai staff Divisi Biro Pelaksana Harian Organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fema IPB 2010, Ketua Divisi Humas Organisasi Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Bogor (HPMB) 2011, Penanggungjawab Anggota Kelompok (PAK) pada acara Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia 2010, ketua koordinator mahasiswa Kuliah Kerja Profesi (KKP) wilayah Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PT Arutmin Indonesia 2011, staff Divisi Logistik dan Transportasi pada Seminar Nasional SENZASIONAL 2011, melaksanakan Internship Dietetik di RSUD Ciawi 2012, Ketua delegasi IPB sekaligus penyaji hasil karya tulis ilmiah dalam kegiatan Aceh Development International Conference di International Islamic University Malaysia, Gombak, Kuala Lumpur, Malaysia 2012. Penulis aktif di bidang penelitian dan pengembangan minuman alga coklat dalam kegiatan PKM 2012, dan sebagai asisten peneliti doctoral student of Tohoku University, Jepang, dalam penelitian agribisnis di Kabupaten Cianjur 2012. Penulis juga mengikuti seminar-seminar yang diadakan di kampus untuk menambah pengetahuan dan pengalaman.
UCAPAN TERIMA KASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Keberhasilan penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini tidak luput dari bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked sebagai dosen pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi, nasihat, dan arahan selama penyusunan skripsi.
2.
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
3.
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN sebagai dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang memberikan saran dan masukan yang berharga baik pada waktu seminar maupun pada waktu sidang.
4.
Para pembahas materi seminar (Tunggul Waloya, Yulmiaris Dwi Okto Putri, Mely Choirul Nurfitri dan Saumi Lil Hairi)
5.
Yayasan Supersemar yang telah memberikan beasiswa selama penulis menempuh pendidikan.
6.
Orang tua tercinta, Bapak Entje Rahman dan Ibu Siti Rokayah, serta kakak ku, Wira Rahmanda, SE dan Angietha Putri Prameswari, SE yang selalu mencurahkan kasih sayang, senantiasa berdoa, memberikan nasihat, dukungan moral maupun materil, motivasi, pengertian, kesabaran, dan perhatian yang tiada henti untuk diberikan kepada penulis.
7.
Semua pihak yang tidak disebutkan namanya dalam kesempatan ini, namun tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas kerja sama dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang telah diberikan
oleh semua pihak kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ....... .. .................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ..... ................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN . . ................................................................................... iv PENDAHULUAN...... ... ....................................................................................1 Latar belakang ...................................................................................1 Tujuan ....... .... ....................................................................................2 Hipotesis.............................................................................................. 3 Kegunaan penelitian ..........................................................................3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4 Anemia gizi besi pada ibu hamil ........................................................4 Penilaian status gizi besi................................................... .................8 Status gizi ibu hamil...........................................................................10 Konsumsi pangan ibu hamil...............................................................11 Angka dan tingkat kecukupan gizi ibu hamil.......................................16 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................... ....................……18 METODE PENELITIAN……………………………………………… ....... ………20 Desain, tempat, dan waktu penelitian .............................................. 20 Jumlah dan cara penarikan contoh………………………………… .... 20 Jenis dan cara pengumpulan data ................................................... 21 Pengolahan dan analisis data ......................................................... 23 Definisi operasional ......................................................................... 25 HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… ………27 Status anemia, prevalensi anemia dan status gizi ........................... 27 Karakteristik contoh dan keluarga………………… .......................... 29 Kebiasaan konsumsi pangan contoh............................................... 34 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh ................................ 39 Hubungan karakteristik contoh dan keluarga dengan kadar Hb....... 44 Hubungan nilai LILA dengan kadar Hb ............................................ 45 Hubungan TKE, TKP dan TKFe dengan kadar Hb .......................... 46 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………… ...……49 Kesimpulan....................................................................................... 49 Saran…………………………………................................................ 50 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................51 LAMPIRAN...................................................................................................... 56
ii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Nilai cut off Hemoglobin ................................................................. 10
Tabel 2
Kategori tingkatan status anemia. .................................................. 10
Tabel 3
Rentang pengeluaran keluarga pada kuintil 1-5 (SUSENAS 2009) .......................................................................... 20
Tabel 4
Jenis peubah dan cara pengumpulan data .................................... 22
Tabel 5
Jenis, kategori dan pengelompokan serta pengolahan data ............................................................................................... 24
Tabel 6
Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia .................. 27
Tabel 7
Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia .......................................................................................... 28
Tabel 8
Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia ................. 29
Tabel 9
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia................................................................................ 30
Tabel 10 Sebaran suami contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia ........................................................................ 31 Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan dan status anemia................................................................................ 31 Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami dan status anemia contoh ............................................................. 31 Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status anemia................................................................................ 32 Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan besar pendapatan/kapita/bulan dan status anemia ................................. 33 Tabel 15 Konsumsi pangan contoh .............................................................. 35 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi berbagai kelompok pangan ........................................................... 37 Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen ...................................................................................... 38 Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum teh dan kopi ........................................................................................ 39 Tabel 19 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh .............................. 39 Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan TKG dan status anemia .................. 40
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor.......................................................................19
iv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Hasil uji hubungan antar peubah dengan kadar hemoglobin ............................................................................... 56
1
PENDAHULUAN Latar belakang Suatu bangsa dalam menghadapi pasar persaingan bebas di era globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Gizi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia. Masalah gizi akan berdampak negatif pada sumberdaya manusia dan selanjutnya akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional (Depkes 2005). Salah satu masalah gizi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia adalah anemia pada masa kehamilan. Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling rawan terhadap masalah pangan dan gizi (Rimbawan et al 2004). Masalah gizi di Indonesia yang dialami oleh ibu hamil sebelum atau selama masa kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Oleh karena itu diperlukan persiapan yang baik, sehingga kualitas bayi yang akan dilahirkan juga baik (Khomsan 2000). Menurut WHO, yang diacu dalam Aritonang (2010) menyatakan bahwa prevalensi anemia secara global pada ibu hamil tahun 2000 sebesar 51.0%, di Indonesia 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat 51.7% pada tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta di Kota Bogor sebesar 40.4% pada tahun 2002 (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001) menyatakan bahwa prevalensi anemia >20% menunjukkan adanya masalah kesehatan masyarakat. Anemia merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan dengan kondisi kadar hemoglobin darah yang lebih rendah atau di bawah normal (Hb <11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa sel darah merah (eritrosit) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (Bakta 2006). Anemia bisa disebabkan karena defisiensi zat gizi, kehilangan darah, atau adanya hemolisis yang berlebihan (Fatmah 2007). UNICEF (1998) menyebutkan bahwa penyebab lain anemia adalah infeksi akut dan kronis seperti malaria, HIV, serta diare kronis.
2
Anemia yang disebabkan karena defisiensi zat gizi (anemia gizi) merupakan jenis anemia yang paling sering terjadi (Fatmah 2007). Sebagian besar anemia gizi disebabkan oleh defisiensi besi, tetapi beberapa studi juga menyatakan bahwa defisiensi zat gizi mikro lainnya seperti protein, asam folat, vitamin A, vitamin C, dan vitamin B1, B3, B6, B9, B12 dapat menyebabkan anemia gizi. Berbagai vitamin dan zat gizi mikro tersebut berperan dalam penyerapan
besi
dan
pematangan
sel
darah
merah
(eritropoiesis)
(Marcia et.al 2010). Anemia pada ibu hamil menurut Cheryl (1996) dalam Darlina 2003) disebabkan karena penurunan kadar haemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) pada trimester 1 dan 2 sebagai akibat peningkatan volume plasma darah yang terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah. Menurut Muslimatun et.al (2000) anemia selama masa kehamilan dapat mengakibatkan ibu melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), pendarahan pada saat melahirkan sampai dengan kematian ibu. Pernyataan itu didukung oleh Allen et.al (2000) yang menyatakan rendahnya kadar hemoglobin yang terus menerus terjadi selama masa kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meskipun berbagai program telah dilakukan untuk menanggulanginya tetapi nampaknya angka prevalensi tidak mengalami penurunan secara bermakna. Masih cukup tingginya prevalensi anemia di Kota Bogor menjadi salah satu alasan penelitian ini dilaksanakan. Tujuan Tujuan Umum Menjelaskan hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor. Tujuan Khusus 1. Mengetahui status anemia, prevalensi anemia dan status gizi pada ibu hamil di wilayah penelitian. 2. Mengetahui karakteristik contoh dan keluarga berdasarkan sebaran status anemia. 3. Mengetahui kebiasaan konsumsi pangan, asupan zat gizi serta tingkat kecukupan gizi contoh.
3
4. Menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga dengan kadar hemogobin. 5. Menganalisis hubungan nilai LILA dengan kadar hemogobin. 6. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin. Hipotesis Ada hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor. Kegunaan Penelitian Memberikan informasi mengenai hubungan tingkat kecukupan protein, dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor guna memberikan masukan kepada pelaksana dan penanggung jawab program gizi masyarakat Dinas Kesehatan Kota Bogor atau Pemerintah Daerah Kota Bogor untuk dijadikan pedoman pembuatan kebijakan dalam pencegahan dan penanganan anemia pada ibu hamil, sehingga angka prevalensi anemia ibu hamil di Kota Bogor dapat terus diturunkan, dengan harapan akan meningkatnya kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumberdaya pembangunan bangsa Indonesia.
4
TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling rawan terhadap masalah pangan dan gizi (Rimbawan et al 2004). Kekurangan gizi pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Kehamilan yang disertai oleh penyakit atau kondisi seperti diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, usia remaja, dan vegetarian merupakan kehamilan berisiko tinggi. Pengertian Anemia Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih rendah dari nilai normal (Hb < 11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia bisa juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran / jumlah eritrosit atau kandungan hemoglobin. Anemia tidak pernah menjadi sebab utama dari suatu penyakit. Biasanya anemia selalu menjadi akibat sampingan dari keadaan patologis atau penyakit tertentu. Semakin rendah kadar Hb maka anemia yang diderita makin berat (Wirakusumah 1998). Pada ibu hamil peningkatan volume plasma
darah
terjadi
lebih
dahulu
dibandingkan
produksi
sel
darah
merah menyebabkan penurunan kadar Hb dan hematokrit pada trimester 1 dan 2 sedangkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimester 3 kehamilan (Cheryl 1996 diacu dalam Darlina 2003). Klasifikasi anemia Menurut
Wirakusumah
(1998),
anemia
secara
morfologis
dapat
diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandung seperti berikut. (1) Makrositik, (2) Mikrositik, dan (3) Normositik. Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia megaloblastik dan anemia non megaloblastik. Kekurangan vitamin B12, asam folat, atau gangguan sintesis DNA merupakan penyebab anemia megaloblastik. Sedangkan anemia non
megaloblastik
disebabkan
oleh
peningkatan luas permukaan membran.
eritropoiesis
yang
dipercepat
dan
5
Anemia mikrositik adalah anemia yang disebabkan oleh mengecilnya ukuran sel darah merah merupakan salah satu tanda anemia mikrositik. Penyebabnya adalah defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin, dan heme, serta gangguan metabolisme besi lainnya. Sedangkan pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit, penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati. Sebagian besar anemia di Indonesia disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) sehingga disebut Anemia Gizi Besi. Anemia gizi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Artinya, konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Semakin berat kekurangan zat besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita (Wirakusumah 1998). Anemia defisiensi gizi besi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. WHO (2001) memperkirakan sekitar 40.0% penduduk dunia terkena anemia defisiensi zat besi. Prevalensi tertinggi anemia pada ibu hamil secara global tahun 2000 sebesar 51.0% (Aritonang 2010), di Indonesia sebesar 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat sebesar 51.7% pada tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta prevalensi anemia ibu hamil di Kota Bogor tahun 2002 sebesar 40.4.0% (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001) menyatakan bahwa prevalensi anemia >20% menunjukkan anemia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyebab Umum Anemia Gizi Besi Zat gizi yang paling berperan dalam proses terjadinya anemia gizi besi adalah zat besi. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia gizi dibanding defisiensi zat gizi lain, seperti asam folat, vitamin B12, protein, vitamin, dan trace elements lainnya. Itulah sebabnya anemia gizi sering diidentikkan dengan anemia gizi besi. Wirakusumah (1998) menyatakan secara umum, faktor utama yang menyebabkan anemia gizi besi adalah; 1. Kurangnya konsumsi zat besi dan zat gizi lainnya yang berasal dari makanan terkait proses pembentukan sel darah merah. Apabila zat-zat gizi tersebut tidak terpenuhi kecukupannya berdampak terhadap kurangnya prosuksi sel darah merah dalam tubuh sehingga mengakibatkan anemia.
6
2. Tidak terpenuhinya kebutuhan zat besi selama masa kehamilan sebab rendahnya absorpsi zat besi yang ada dalam makanan ke dalam tubuh. Pangan protein nabati sebagai sumber zat besi non heme memiliki penyerapan yang lebih rendah dibandingkan dengan pangan protein hewani sebagi sumber zat besi heme. Zat besi non heme harus dibantu penyerapannya dengan vitamin C. Oleh karena itu tingkat kecukupan vitamin C harus terpenuhi tingkat kecukupannya agar penyerapannya optimal dan terhindar dari anemia. 3. Pendarahan mengakibatkan tubuh kehilangan banyak sel darah merah. Pendarahan dapat terjadi secara mendadak dan dalam jumlah banyak yang bisa disebut pendarahan ekternal dan terjadi pada waktu kecelakaan. Selain itu, pendarahan kronis juga dapat mengakibatkan kehilangan sel darah merah dalam jumlah banyak. Yang dimaksud pendarahan kronis adalah pendarahan yang sedikit demi sedikit, tetapi berlangsung secara terus menerus. Pendarahan jenis ini dapat disebabkan oleh kanker saluran pencernaan, wasir, atau peptik ulser. 4. Investasi cacing tambang pada masyarakat di daerah tertentu menyebabkan banyak darah yang keluar, karena cacing tambang menghisap darah. Selain itu, pada gadis remaja dan wanita dewasa, kehilangan darah dalam jumlah banyak bisa terjadi akibat menstruasi. Faktor lain yang berpengaruh pada kadar hemoglobin ibu hamil selain dari konsumsi yaitu karena kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga cadangan zat gizi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya (Khomsan 2002). Berdasarkan Laporan SKRT (1985-1986) dalam Wijianto (2002) bahwa semakin rendah jumlah paritas, maka semakin rendah angka prevalensi anemia. Selain itu, usia ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya anemia. Umur seorang ibu berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem reproduksi wanita yang sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun. Kehamilan pada umur <20.0 tahun dan >35.0 tahun dapat menyebabkan anemia, karena kehamilan pada umur <20.0 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan jika berumur >35 tahun terkait dengan
7
kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa pada umur itu (Manuaba 1999). Apabila zat gizi yang dibutuhkan tidak terpenuhi maka akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu dengan bayinya (Wijianto 2002). Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya perhatian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil ataupun bayinya. Menurut Suhardjo (1989) dalam Permatahati (2012) menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis di pedesaan akan membantu dalam memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian informasi tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga. Tristiyanti (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai hubungan nyata dengan prilaku gizi dari makanan yang dikonsumsinya. Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya. Menurut Junadi (1998) dalam Permatahati (2012) ibu yang bekerja memiliki risiko anemia yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, hanya proporsinya tergantung pada beban kerja yang dimilikinya. Wijianto (2002) menyatakan bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006) status pekerjaan biasanya erat hubungannya dengan pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu hamil yang tidak bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar dibanding dengan yang bekerja. Hal ini kemungkinan disebabkan pada ibu yang bekerja akan dapat menyediakan makanan terutama yang mengandung sumber zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Biasanya dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka terjadi perubahanperubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin konsumsi pangan akan lebih beragam. Terkadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan lebih mahal (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama
8
(1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Dampak Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Wirakusumah (1998) menyatakan bahwa anemia gizi besi dapat berakibat fatal bagi ibu hamil karena ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk melahirkan. Ibu Hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan janin dalam kandungannya. Oleh karena itu, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat badan lahir rendah, atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia gizi besi. Selain itu Depkes (1998) menyakatan anemia dalam kehamilan yang tidak diterapi dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada ibu, persalinan dan janin. Pengaruh buruk bagi ibu antara lain (1) timbulnya gejala umum anemia yaitu lesu, lemah, letih, lalai dan lunglai (5L), (2) pendarahan saat melahirkan, (3) preeklampsi, (4) abortus, (5) kematian ibu dan (6) hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan sulit (Depkes 1998). Muslimatun et.al (2000) menyatakan bahwa anemia pada masa kehamilah berdampak ibu berisiko melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), atau bayi lahir dalam keadaan meninggal Allen et al. (2000) juga menyatakan bahwa rendahnya kadar hemoglobin yang terus menerus terjadi selama masa kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Penilaian Status Gizi Besi Perkembangan defisiensi besi terbagi atas tiga tahapan. Tahapan defisiensi besi ini umumnya digunakan untuk menetapkan status besi di dalam tubuh seseorang dan menunjukkan tingkatan defisiensi besi yang terjadi (Briawan 2008). Tiga tahapan tersebut adalah perubahan besi pada simpanan, defisiensi besi tanpa anemia, dan defisiensi besi dengan anemia (Gibson 2005). Tahap pertama terjadi ketika terjadi penurunan yang bersifat progresif simpanan besi di hati. Pada tahap ini, suplai besi ke dalam setiap bagian fungsional tubuh tidak terpengaruh dan hemoglobin dalam keadaan normal. Pada tahap ini, konsentrasi serum feritin menurun. Oleh karena itu, pengukuran serum feritin dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya defisiensi besi tahap pertama (Gibson 2005).
9
Defisiensi tahap kedua ditunjukkan dengan habisnya cadangan besi dan adanya penurunan suplai besi ke dalam sumsum tulang sehingga produksi sel darah merah terganggu. Pada tahap ini juga terjadi penurunan kejenuhan transferin, dan kenaikan konsentrasi eritrosit protoporfirin (Gibson 2005), serta tingginya serum transferin reseptor (STfR) (WHO 2004 dalam Briawan 2008). Kadar hemoglobin mungkin mulai menurun, tetapi umumnya tidak jauh dari rentang normal (Gibson 2005). Tahap ketiga merupakan tahap akhir dari defisiensi besi. Tahap ini ditandai dengan habisnya simpanan besi, penurunan kadar besi dalam sirkulasi, serta terjadi penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit dapat dilihat dari ukuran sel darah yang lebih kecil dari normal (mikrositik) dan warnanya lebih pucat (hipokromik). Kondisi ini disebut sebagai anemia defisiensi besi dan sering disertai gejala-gejala terkait anemia (Gibson 2005). Indikator yang dapat digunakan untuk menilai status besi yaitu kadar hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), serum feritin (SF), dan mean cell volume (MCV). Kombinasi antara pengukuran Hb dan serum feritin (SF) akan meningkatkan ketepatan dalam pengukuran status besi. Jika kedua indikator ini menunjukkan normal, berarti tidak terjadi defisiensi besi. Jika SF rendah dan Hb normal kemungkinan pada individu simpanan besinya berkurang (AISAP 2005 dalam Briawan 2008). Penggunaan indikator serum feritin tidak dianjurkan pada populasi dengan kemungkinan infeksi tinggi karena keadaan infeksi mempengaruhi kadar serum feritin (WHO & CDC 2004 dalam Briawan 2008). Jika biaya menjadi kendala dalam penelitian maka Indikator Hb dapat digunakan tanpa pengukuran SF dan STfR (AISAP 2005 dalam Briawan 2008). Hemoglobin dapat digunakan untuk mengukur status besi pada
beberapa populasi. Pemilihan indikator
hemoglobin dengan alasan lebih sederhana dan membutuhkan biaya lebih rendah dibandingkan indikator lain (Gibson 2005). Berdasarkan WHO dan CDC (2004) dalam Briawan (2008), pengukuran kadar hemoglobin sangat penting untuk mengetahui tingkat keparahan dari defisiensi besi. Salah satu metode pengukuran kadar hemoglobin yang biasa dilakukan yaitu untuk
metode
Cyanmethemoglobin.
mengukur
kadar
hemoglobin
Merupakan
salah
menggunakan
satu
metode
spektrofotometer
dengan prinsip hemoglobin yang ada pada sel darah merah diubah menjadi
10
cyanmenthemoglobin
dengan
larutan
drabkin
yang
diukur
pada
panjang gelombang 540 nm. Larutan drabkin berperan sebagai pengubah semua derivat hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin yang berwarna merah. Tinggi rendahnya nilai absorbansi atau intensitas warna merah akan menentukan kadar hemoglobin dari sampel. (Kee 2007). Tabel 1 berikut adalah cut off point kadar hemoglobin sebagai indikator anemia. Tabel 1 Nilai Cutoff Hemoglobin Umur (tahun)
Nilai Cut off Hemoglobin untuk anemia (g/L) Pria dan Wanita Pria Wanita 0,5-5 < 110 5-11 < 115 12-13 < 120 >14 (Pria) 130 >14 (Wanita) <110 (hamil) <120 (tidak hamil) Sumber : Gibson (2005)
WHO (2005) menggolongkan tingkatan anemia ibu hamil dengan kategori normal, anemia ringan dan anemia berat. Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun 2005 yang ditetapkan dalam tiga kategori dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2 Kategori tingkatan status anemia ibu hamil Tingkatan Anemia
Kadar Hemoglobin (g/dL) ≥ 11 8-10 g/dL < 8 g/dL
Normal Ringan Berat Sumber : WHO 2005
Status Gizi Ibu Hamil Kelompok ibu hamil merupakan kelompok yang memerlukan pengukuran khusus dalam penentuan status gizinya. Penentuan status gizi menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak berlaku pada kondisi fisiologis hamil. Oleh karena itu, status gizi ibu hamil ditetapkan dengan menggunakan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) (Anggraeni 2012). Apabila nilai LILA <23.5 cm maka termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan apabila nilai LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001 yang diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (1994) bagi ibu hamil yang KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah melalui masa persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pascapersalinan yang sulit
11
karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini akan menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri. Konsumsi Pangan Ibu Hamil Konsumsi pangan ibu hamil adalah jenis pangan yang dimakan oleh ibu hamil dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu.
Konsumsi pangan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial (Baliwati et.al 2004). Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Setiap metode masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, metode yang akan digunakan untuk menilai konsumsi pangan harus dipilih yang paling relevan dan cocok dengan penelitian. Kombinasi antara metode yang satu dengan metode yang lain dapat dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Selain itu, dapat pula dilakukan modifikasi terhadap suatu metode yang digunakan dengan menyesuaikannya terhadap karakteristik masyarakat setempat (Kusharto 2010). Penilaian konsumsi pangan individu dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode. Untuk menentukan kuantitas pangan yang dikonsumsi seseorang, metode yang dapat digunakan antara lain metode recall 24 jam, metode ulangan recall 24 jam, metode pencatatan makanan (food record), metode penimbangan makanan, dan metode riwayat makanan (dietary history). Sedangkan untuk menilai frekuensi jenis pangan yang dikonsumsi, metode yang dapat digunakan adalah menggunakan food frequency questionnaire (FFQ). Frekuensi konsumsi pangan ini dapat memberikan gambaran kualitatif tentang pola konsumsi pangan (Gibson 2005). Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, sosial dan budaya (Sanjur 1982). Kebiasaan makan merupakan hasil interaksi anatar beberapa peubah yang terbentuk sejak kecil. Menurut Sanjur (1982), kebiasaan makan mencakup empat komponen : konsumsi pangan, preferensi terhadap makanan, ideologi (pengetahuan) terhadap makanan dan sosial budaya pangan. Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006), kebiasaan makan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan segi gizi, yaitu kebiasaan makan yang baik dan kebiasaan makan yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah kebiasaan makan yang mendorong terpenuhinya kebutuhan gizi. Sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang
12
menghambat terpenuhinya kebutuhan gizi. Kebiasaan makan bahan makanan dari sumber protein dan zat besi berpengaruh terhadap proses pembentukan sel darah merah terkait dengan komponen pembentuk hemoglobin (Sayogo 2007). Pangan Sumber Protein, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, neurotransmmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan (Sayogo 2007). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralisasi tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2002). Sayogo (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan dengan pangan nabati. Pangan protein hewani sebagai sumber zat besi heme yang penyerapannya lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati sebagai sumber zat besi non heme. Pangan Sumber Zat Besi, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi terutama oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh (Wirakusumah 1998). Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2002). Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat besi non heme dalam makanan nabati. Besi heme merupakan bagian kecil dari besi yang diperoleh makanan. Akan tetapi yang dapat diabsorbsi mencapai 25% sedangkan besi non heme hanya 5% (Almatsier 2002). Konsumsi pangan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya anemia. Pangan yang dikonsumsi bila termasuk golongan protein hewani kaya akan zat besi, mampu memberikan
13
kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat besi. Bila pangan hewani dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu membantu penyerapan zat besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak akan mengalami kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia. Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan dalam pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et.al (1978) dalam Permatahati (2012) menyatakan bahwa penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong penyerapan zat besi. Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Achadi 2007). Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non heme secara bersama dapat meningkatkan penyerapan besi non heme. Daging, ayam, dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi. Faktor ini terdiri atas asam amino yang mengikat besi dan membantu penyerapannya. Susu sapi, keju, dan telur tidak mengandung faktor ini sehingga tidak dapat membantu penyerapan besi. Lebih lanjut (Alsuhendra 2005) menyebutkan bahwa polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu mengikat besi heme membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak dapat diserap dengan baik. Metabolisme Zat Besi (penyerapan, transportasi, penyimpanan) Di dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Ferritin dan hemosiderin merupakan simpanan zat besi ada di hati dan sumsum tulang. Simpanan zat besi sebagai feritin dan hemosiderin sebanyak 30% dalam hati, sumsum tulang sebanyak 30% dan sisanya berada dalam limfa dan otot. Simpanan zat besi yang dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh berkisar 50 mg sehari (IOM-FNB 2001; Almatsier 2002) Ferritin bersikulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh. Pengukuran ferritin dalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi. Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi antara 0-1000 mg dimana jumlahnya pada wanita lebih rendah dari pria. Simpanan besi pada pria dewasa berkisar antara 500-1000 mg sedangkan pada wanita dewasa lebih rendah lagi dan jarang melebihi 500 mg. Wanita di negara berkembang banyak yang tidak mempunyai cadangan besi karena keterbatasan biologis rendah dan
14
sumber
besi
heme
dalam
makanan
terbatas
(O’Brien
et
al.
1999).
Total besi pada manusia dipengaruhi oleh berat badan, jenis kelamin, jumlah kompartemen, simpanan besi, dan konsentrasi Hb. Hemoglobin merupakan senyawa protein heme yang mengandung Fe++. Diperkirakan bahwa hemoglobin berisi lebih dari 65% zat besi tubuh. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah tersebut dapat mengangkut 0.03 gram oksigen. Perhitungan perkiraan penyerapan zat besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu penyerapan zat besi tinggi (15%), penyerapan zat besi sedang (10%), dan penyerapan besi rendah (5%) (Gibson 2005). Banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukkan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik, dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali. Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial sumsum tulang, hati dan limfa. Eksresi zat besi sebanyak 0.5- 1.0 mg per hari yang dikeluarkan bersama-sama urin, keringat dan feses. Zat besi dalam hemoglobin dapat pula keluar dari tubuh melalui pendarahan, menstruasi, dan saluran urin. Siasanya dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan sedangkan kelebihan besi dapat mencapai 200-1500 mg disimpan sebagai protein ferritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%), dan selebihnya di dalam limfa dan otot (Mahan et.al 2004). Pangan Sumber Vitamin A, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Vitamin A dalam bentuk retinol terdapa pada makanan hewani seperti hati, kuning telur, krim, mentega, dan susu difortifikasi. Sedangkan dalam bentuk karoten terdapat pada makanan nabati yaitu sayuran berwarna hijau dan jingga, serta buah-buahan. Vitamin A berfungsi pada siklus penglihatan yaitu penyesuaian terhadap terang dan gelap serta berguna untuk pertumbuhan jaringan terutama kulit (Almatsier 2009). Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di dalam tubuh akan turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe tubuh untuk dapat mensintesa Hb. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan besi pada proses erythropoesis (Setiyobroto et.al 2004) dalam (Andriani 2012).
15
Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Vitamin C banyak ditemukan pada cabe hijau, buah sitrus (jeruk lemon), strawberry, tomat, brokoli, lobak hijau dan sayuran hijau lainnya serta semangka. Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu proses penyerapan zat besi non heme dari bahan pangan ke dalam tubuh dengan mereduksi bentuk besi ferro menjadi ferri agar lebih mudah diserap usus halus (Sayogo 2007). Apabila terjadi kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap tidak akan optimal sehingga persediaan zat besi dalam tubuh akan berkurang dan lambat laun menurunkan kadar hemoglobin darah sebagai salah satu indikator status anemia (Khomsan 2002). Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Asam folat banyak ditemukan pada sayuran berdaun hijau, hati ayam atau sapi, kacang merah, dan kedelai (Almatsier 2009). Asam folat berfungsi sebagai
salah
satu
komponen
pembentuk
hemoglobin
dalam
proses
pembentukan sel dalrah merah (Khomsan 2002). Ketika makanan sumber asam folat dimakan, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hari menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang. Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah merah (Khomsan 2002). Apabila terjadi kekurangan asam folat maka akan menghambat proses pembentukan sel darah merah yang berdampak terhadap penurunan kadar hemoglobin sebagai salah satu indikator anemia. Pangan Sumber Seng (Zn), Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Seng banyak ditemukan pada daging, makanan laut seperti lobster, kerang, ikan, dan daging kepiting, kacang-kacangan dan produk olahan susu seperti yougurt dan keju (Almatsier 2009). Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng memiliki peran dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Sebagai bagian dari karbonik anhidrase dalam sel darah merah, seng berperan dalam keseimbangan asam basa di dalam tubuh. Peran penting lain dari seng adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA. Seng juga berperan dalam perkembangan fungsi reproduksi (Almatsier 2004).
16
Berdasarkan Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah (2012) seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan, kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung porsi besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga lebih sedikit transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng akan lebih rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng. Angka dan Tingkat Kecukupan Gizi pada Ibu Hamil Gizi pada ibu hamil merupakan hal penting yang harus dipenuhi selama kehamilan berlangsung. Risiko akan kesehatan janin yang sedang dikandung dan ibu yang mengandung akan berkurang jika ibu hamil mendapatkan gizi yang seimbang. Bersama dengan usia kehamilan yang terus bertambah, makan bertambah pula kebutuhan gizi ibu hamil, khususnya ketika usia kehamilan memasuki trimester kedua. Pada saat trimester kedua, janin tumbuh dengan sangat pesat, khususnya mengenai pertumbuhan otak dan sistem syarafnya (Sayogo 2007). Selama kehamilan, angka kecukupan zat gizi yang terkait dengan proses pembentukan hemoglobin seperti energi, protein, vitamin C, asam folat, zat besi dan seng pun meningkat berdasarkan acuan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester ke II. Angka kecukupan gizi energi, protein, vitamin C, vitamin A asam folat, zat besi dan seng masing-masing sebesar 2100.0 kkal, 67.0 g, 85.0 mg, 800 RE, 600.0 µg, 26.0 mg dan 11.5 mg. Perhitungan asupan zat gizi seseorang dapat menggunakan Daftar Kecukupan Gizi (DKG) yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan gizi seseorang (Hardinsyah & Briawan 1994). Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat (Almatsier 2009). Namun, angka kecukupan ini
17
digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk (Almatsier 2002). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antar asupan zat gizi aktual (nyata) dengan angka
kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian
dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan zat gizi dirumuskan sebagai berikut menurut Hardinsyah & Briawan 1994:
Tingkat kecukupan zat gizi =
x 100%
Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menurut Depkes (1996) menjadi (1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang jika 70-79% AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG, (4) normal jika 90-119% AKG dan (5) kelebihan jika ≥120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu kurang jika <77% AKG dan cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005).
18
KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik
contoh
diduga
sebagai
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi atau berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Pada penelitian ini karakteristik contoh meliputi usia ibu, pendidikan, pekerjaan pendapatan dan status gizi. Usia ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya anemia. Selain usia ibu, usia kehamilan pun juga mempengaruhi kejadian anemia pada ibu hamil. Kebutuhan zat besi pada ibu hamil terus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktek-praktek tradisional yang merugikan terhadap ibu hamil terutama dalam hal kualitas maupun kuantitas makanan untuk konsumsi setiap harinya. Ibu hamil yang bekerja cenderung tidak menderita anemia dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Karakteristik contoh tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi konsumsi pangan. Konsumsi pangan akan mempengaruhi asupan energi, protein, zat besi serta zat gizi lainnya yang berperan dalam pembentukan hemoglobin. Apabila konsumsi pangan sumber zat gizi tinggi maka asupan zat gizi juga akan tinggi. Tingginya asupan zat gizi tersebut akan mempengaruhi tingkat kecukupannya. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh faktor penghambat dan pendorong penyerapan zat besi. Adapun faktor penghambat tersebut adalah asam fitat dalam serealia dan kacang-kacangan, tanin dalam teh, asupan kalsium yang berlebihan dan lain-lain. sementara itu faktor pendorong dalam penyerapan zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat mereduksi besi ferri menjadi ferro agar lebih mudah diserap. Salah satu faktor yang mempengaruhi status anemia adalah konsumsi pangan yang terkait dengan nilai bioavailabilitas zat besi. Apabila bioavailabilitas zat besi tinggi maka ketersediaan zat besi didalam tubuh akan lebih banyak. Selain faktor konsumsi, status anemia pada ibu hamil juga dipengaruhi oleh jarak kehamilan, perdarahan dan penyakit infeksi. Secara keseluruhan, hubungan antar peubah disajikan pada Gambar 1.
19
Karakteristik contoh (umur, besar keluarga , pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan)
Konsumsi pangan sumber energi, protein hewani (besi heme) dan nabati (besi non heme)
Asupan Energi Protein dan Zat Besi
Tingkat Kecukupan Energi, Protein dan Zat besi
Status Gizi Nilai LILA
Faktor pendorong
Bioavailabilitas zat besi
penyerapan zat besi
Penyakit infeksi Perdarahan Jarak kehamilan yang terlalu dekat
Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Faktor penghambat penyerapan Zat besi
Status anemia ibu hamil
Kadar Hemoglobin
Feritin
Keterangan :
: peubah yang diteliti : peubah yang tidak diteliti : hubungan antar peubah yang dianalisis : hubungan antar peubah yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (fe) dengan kadar hemoglobin Ibu hamil di Kota Bogor.
20
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dilaksanakan di Kota Bogor menggunakan data sekunder dari data dasar penelitian Status Gizi dan Pola Makan pada Wanita Pra-Hamil (Usia Subur), Ibu Hamil dan Menyusui di Kota Bogor yang telah dilaksanakan oleh SEAFAST Center IPB. Contoh diambil dari enam kecamatan di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Tanah Sareal yang berlangsung pada bulan Agustus hingga Desember 2010. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah Ibu hamil yang bermukim di enam kecamatan di Kota Bogor dengan kriteria meliputi (1) umur 20-40 tahun, (2) usia kehamilan trimester kedua (3-6 bulan), (3) pengeluaran rumah tangga berada pada kuintil-2, 3 dan 4. Kuintil adalah nilai yang menandai batas interval dari sebaran frekuensi yang berderet dalam lima bagian sebaran yang sama (Probohandojo 1989). Penentuan Kuintil dihitung berdasarkan tingkat sosial ekonomi keluarga yang didapat dari data SUSENAS 2009 pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Rentang pengeluaran keluarga pada kuintil 1-5 (SUSENAS 2009) Quintiles Q5 Q4 Q3 Q2 Q1
Kota Bogor (Rp/kap/bln) Rentang Mean 622,421 - 6,676,869 1,158,923 432,210 – 618,983 517,468 332,781 – 430, 137 378,730 253,875 – 330,787 295,701 127,869 – 247,698 213,570
Ukuran minimal calon contoh dihitung menggunakan rumus (Lemeshow et al. 1997) :
n ≥ (1-α)2 x P (1-P) d² n ≥ (1,96)2 x 0,5 (1-0,5) (0,1)² n ≥ 97
Ket : n =Jumlah calon contoh yang akan dipilih P = Perkiraan prevalensi anemia pada wanita hamil (50%) α = Batas kepercayaan (95%) d = Batas toleransi kesalahan yang diinginkan (10%)
Tahap awal dikumpulkan sebanyak 203 calon contoh yang memenuhi kriteria tersebut diatas. Pelaksanaannya dibantu oleh oleh kader posyandu dengan cara mendatangi ke rumah-rumah ibu hamil di enam kecamatan Kota Bogor setelah mendapatkan izin dari puskesmas setempat. Tahap berikutnya
21
dilakukan penentuan ukuran minimal contoh untuk penelitian klinis yang dihitung
berdasarkan
populasi
minimal
calon
contoh
(N):
97,
menggunakan rumus (Lemeshow et.al 1997): Z2α p (1-p) N n = -----------------------------------------------d2(N-1) + Z2α p (1-p) (1,96)2 x 0,5 (1-0,5) 97 n = ------------------------------------------------(0,1)2(97-1) + (1,96)2 x 0,5 (1-0,5) n= 49 ± 10 % keterangan: n
= ukuran contoh penelitian yang akan dipilih 2
Zα
= nilai peubah acak normal baku pada derajat kepercayaan (1,96)
p
= perkiraan prevalensi anemia pada ibu hamil (50%)
d
= batas toleransi proporsi (10%)
N
= populasi minimal calon contoh (97 orang)
Penentuan calon contoh untuk pemeriksaan biokimia darah dipilih diantara 203 calon contoh yang dinyatakan sehat oleh dokter dan bersedia diambil darahnya, diperoleh sejumlah 45 calon contoh. Seluruhnya dijadikan contoh dalam penelitian ini karena telah memenuhi ukuran minimal (49-10%). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Seluruh data yang dikumpulkan merupakan data sekunder. Data tersebut meliputi data karakteristik contoh dan keluarga, konsumsi pangan, antropometri dan kadar hemoglobin contoh. Data karakteristik contoh dan keluarga contoh meliputi umur,
besar keluarga, pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan
dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data konsumsi pangan meliputi semua makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh contoh diperoleh dengan melakukan recall 2x24 jam. Pengambilan data konsumsi dilakukan secara berturut-turut dengan
tidak
membedakan antara hari libur dengan hari kerja. Data konsumsi dan kebiasaan konsumsi pangan terdiri dari 12 kelompok pangan yaitu (1) serealia; (2) daging; (3) unggas (4) ikan; (5) telur; (6) susu; 7) kacang-kacangan; (8) sayuran ; (9) buah beserta produk olahannya (g); (10) Minuman (ml); (11) Makanan ringan (snack) (g) serta (12) Ramuan tradisional/suplemen (mg).
22
Data antropometri meliputi berat badan, tinggi badan dan Lingkar Lengan Atas (LILA) yang diukur secara langsung. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan injak, tinggi badan diukur menggunakan microtoise serta lingkar lengan atas (LILA) diukur menggunakan pita LILA / meteran jahit. Jenis data status besi didapatkan dari hasil pemeriksaan biokimia darah dengan menggunakan analisa Hb sebagai salah satu indikator status anemia dengan metode Cyanmethemoglobin. Pemeriksaan dan analisis kadar hemglobin darah contoh dilakukan dengan cara mengambil specimen darah dari pembuluh darah vena menggunakan jarum suntik kurang lebih sebanyak 10-12 ml oleh analis kesehatan Laboratorium PRODIA Bogor. Sebelum darah diambil, dokter umum mendeteksi calon contoh yang akan diambil darahnya dengan melakukan pemeriksaan klinis terhadap contoh seperti pengukuran suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan kecepatan pernafasan. Contoh yang dinyatakan sehat oleh dokter yang dapat diambil darahnya. Tabel 4 berikut adalah daftar rinci data yang dikumpulkan : Tabel 4 Jenis peubah dan cara pengumpulan data No.
Peubah
Data yang dikumpulkan
Cara pengumpulan
1
Karakteristik contoh dan keluarga
Umur Besar keluarga Pendidikan Pekerjaan Pendapatan
Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur
2
Status Gizi (Antropometri)
Berat Badan (BB) Tinggi Badan (TB) Lingkar Lengan Atas (LILA)
Pengukuran Langsung menggunakan timbangan injak, microtoise, dan meteran jahit
3
Konsumsi Pangan
Makan pagi, siang, malam dan selingan: a. Nasi (g), b. Lauk hewani (g), c. Lauk nabati (g), d. Sayur (g), e. Buah (g), f. Lainnya
Pengisian kuesioner Recall 2x24 jam dan Food Frequency Questionaire (FFQ)
4
Pemeriksaan Klinis
5
Status Besi
a. b. c. d.
Suhu Tekanan darah Denyut nadi Kecepatan pernafasan
Kadar Hemoglobin dari hasil pemeriksaan biokimia darah
Pengukuran langsung menggunakan termometer, tensimeter,stetoskop dan spirometer Dimabil spesimen darah dari pembuluh darah vena kurang lebih sebanyak 10-12 ml kemudian dianalisis di Laboratorium menggunakan metode Cyanmethemoglobin
23
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan melakukan proses coding, entry, cleaning, dan analisis. Coding dilakukan dengan menyusun code-book sebagai panduan entry dan pengolahan data. Setelah itu semua data di entri dan kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16 for Windows. Hubungan antara peubah yang diteliti, dianalisis menggunakan uji korelasi pearson Data karakteristik contoh dan keluarga contoh meliputi umur, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Umur contoh dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu 20-29 tahun dan 30-40 tahun. Data besar keluarga dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, (2) keluarga sedang 5-6 orang, dan (3) keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang (BKKBN 1998). Data pendidikan contoh dan suami contoh dikelompokkan menurut jenjang pendidikan yang pernah diperoleh yaitu (1) SD, (2) SMP, (3) SMA dan (4) Perguruan Tinggi (PT)
yang kemudian dianalisis secara deskriptif.
Data status pekerjaan contoh dan suami contoh dikelompokkan dalam 2 kelompok, yaitu: (1) bekerja dan (2) tidak bekerja. Data pendapatan/ kapita/ bulan dikategorikan dalam dua kategori yaitu; (1) Miskin (
Tingkatkecukupan kecukupanenergi, zat giziprotein = dan zat besi serta zat gizix lainnya 100% diacu Angka
24
Berdasarkan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester II, Angka kecukupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan seng adalah sebesar 2100.0 kkal; 67.0 g protein; 85.0 mg vitamin C; 800.0 RE vitamin A; 600.0 µg asam folat, 35.0 mg zat besi dan 11.5 mg seng. Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dikatakan (1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang jika 70-79% AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG. (4) Normal jika 90-119% AKG dan (5)
kelebihan jika >120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi mikro seperti
vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu (1) kurang jika <77% AKG dan (2) cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005). Status gizi menggunakan metode pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) untuk menentukan ada tidaknya status gizi Kurang Energi Kronis (KEK). Jika panjang Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm maka ditetapkan menderita Kurang Energi Kronis (KEK) (Depkes 2001). Sedangkan tingkatan status anemia dibagi dalam tiga kategori, yaitu (1) normal (Hb ≥11g/dL), (2) anemia tingkat ringan (Hb 8-10 g/dL) dan (3) anemia tingkat berat (Hb < 8 g/dL) (WHO 2005). Hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga, LILA, tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin contoh dapat diketahui dengan menggunakan uji korelasi pearson agar dapat diketahui ada tidaknya hubungan peubah independent (penyebab) dengan peubah dependent (akibat). Tabel 5 berikut disajikan informasi mengenai jenis peubah, kategori dan pengelompokan, pengolahan serta analisis data yang digunakan. Tabel 5 Jenis, kategori dan pengelompokan serta pengolahan data No
Peubah
Kategori dan Pengelompokan Peubah
Acuan Baku
Umur
a. 20-29 tahun b. 30-40 tahun
2
Tingkat pendidikan
a. SD/sederajat b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat d. PT
3
Status pekerjaan
a. Bekerja b. Tidak bekerja
4
Besar keluarga
a. Kecil (≤ 4 orang) b. Sedang (5-7 orang) c. Besar (>7 orang)
BKKBN 1998
5
Pendapatan/ kapita/bulan
a. Miskin (
BPS 2011
Status anemia
a. Normal (Hb≥11 g/dL) b Anemia ringan (Hb 8-9 g/dL) c. Anemia berat (Hb<8 g/dL)
WHO 2005
1
6
Pengolahan
Microsoft Excell 2007
25
No
Peubah
Kategori dan Pengelompokan Peubah
Acuan Baku
Status KEK
a. KEK (LILA < 23,5 cm) b. Tidak KEK (LILA ≥ 23,5 cm)
Depkes 2001
Asupan Zat Gizi
a. Energi (kka) b. Protein (g) c. Zat Besi (mg) d. Seng (mg) e. Vitamin C (mg) f. Asamfolat (µg)
Recall Konsumsi Pangan
Tingkat kecukupan energi
a. Defisit berat (TKE<70% AKE) b. Defisit sedang (70% AKE
10
Tingkat kecukupan protein
a. Defisit berat (TKP<70% AKP) b. Defisit sedang (70% AKP
11
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral
7
8
9
a. Kurang (TKG<77% AKG) b. Cukup (TKG≥77%AKG)
Depkes 1996
Pengolahan
Microsoft Excell 2007 Dan SPSS 16 For Windows
Gibson 2005
Definisi Operasional Ibu Hamil adalah wanita yang sedang mengandung janin Contoh adalah ibu hamil trimester II yang bermukim di enam kecamatan di Wilayah Bogor Kuintil adalah nilai yang menandai batas interval dari sebaran frekuensi yang berderet dalam lima bagian sebaran yang sama (Probohandojo 1989) Umur Contoh adalah umur ibu yang dinyatakan dalam tahun berdasarkan atas identitas ibu. Tingkat Pendidikan Contoh adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti oleh contoh. Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan sumber perolehan makanan yang sama. Status Pekerjaan adalah keterangan tentang bekerja atau tidaknya ibu hamil. Pendapatan/ kapita/ bulan adalah gaji/ upah yang diperoleh keluarga ibu hamil dalam waktu satu bulan yang kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Status Anemia adalah keadaan kadar Hb dan Ht contoh yang menunjukkan kondisi contoh menderita anemia atau tidak anemia (Briawan 2008) Status Besi adalah keadaan atau gambaran kecukupan zat besi di dalam tubuh yang dapat dinilai dari biomarker darah meliputi kadar Hb, serum ferritin dan serum transferrin reseptor (Briawan 2008)
26
Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan energi dalam waktu yang lama yang dideteksi dengan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA); LILA < 23,5 cm termasuk kategori KEK (Depkes 2001) NILAI LILA adalah ukuran lingkar lengan bagian atas dari ibu hamil yang dinyatakan dalam satuan centimeter (cm) (Aritonang 2010). Konsumsi Pangan Ibu Hamil adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan oleh Ibu Hamil dengan tujuan tertentu dalam aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh selama masa kehamilan Kebiasaan makan adalah cara individu atau sekelompok individu dalam memilih bahan pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, sosial dan budaya (Sanjur 1982) Asupan Zat Gizi adalah sejumlah zat gizi yang masuk kedalam tubuh ibu hamil yang diperoleh dari makanan dan minuman yang dinilai dengan cara recall konsumsi pangan (WNPG 2004). Angka Kecukupan Gizi adalah nilai rata-rata yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu (WNPG 2004). Tingkat Kecukupan Gizi adalah perbandingan asupan zat gizi aktual terhadap angka kecukupan zat gizi ibu hamil yang dinyatakan dalam persen (%) (WNPG 2004).
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Status Anemia Kadar hemoglobin contoh yang terendah 9.20 g/dL dan yang tertinggi 14.0 g/dL dengan rata-rata kadar Hb 11.56 g/dL. Pada Tabel 6 berikut dapat diketahui sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia Status Anemia
1
Normal (Tidak Anemia) (Hb ≥11 g/dL) Anemia Ringan (Hb 8-10 g/dL) Anemia Berat (Hb <8 g/dL)
n
%
35 10 0
77.8 22.2 0.0
Total 45 100.0 ) Kategori status tingkatan anemia contoh berdasarkan ketetapan WHO 2005
1
Sebanyak 77.8% dari keseluruhan contoh tidak menderita anemia dan 22.2% contoh menderita anemia tingkat ringan namun tidak ada contoh yang menderita anemia tingkat berat. Dengan demikian diketahui prevalensi anemia ibu hamil di wilayah penelitian sebesar 22.2%. Menurut WHO (2001) prevalensi anemia >20% menunjukkan adanya masalah kesehatan masyarakat. Sementara itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil >20% dapat diartikan bahwa anemia masih menjadi masalah kesehatan dikalangan ibu hamil. Prevalensi anemia ibu hamil pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi anemia ibu hamil berdasarkan penelitian Darlina dan Hardinsyah (2003) yang menyatakan bahwa prevalensi anemia ibu hamil di Kota Bogor pada tahun 2002 sebesar 40.4% dan lebih rendah dibandingkan dengan data dari Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2003 dengan prevalensi sebesar 51.7%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian anemia pada ibu hamil masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Kota Bogor. Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada penelitian ini saja tetapi juga dibeberapa daerah lain seperti penelitian yang dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota Bau-bau sebanyak 48.4% ibu hamil trimester kedua mengalami anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Wijanti et al. (2012) di Puskesmas Sambi sebanyak 63.0% ibu hamil trimester II mengalami anemia. Tingginya angka anemia pada ibu hamil menurut Cheryl (1996) dalam Darlina 2003
disebabkan karena penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Ht) pada trimester 1 dan 2 sebagai akibat peningkatan volume plasma darah yang terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah.
28
Status Gizi Contoh Berdasarkan Nilai LILA Selain menggunakan indeks massa tubuh (IMT), status gizi ibu hamil dapat diukur secara antropometri atau pengukuran komposisi tubuh dengan mengukur LILA (Lingkar Lengan Atas). Apabila nilai LILA <23.5 cm maka termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan apabila nilai LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001) yang diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (2003) pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur adalah salah satu cara untuk mendeteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis (KEK). Gambaran sebaran contoh berdasarkan status KEK disajikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % KEK (LILA<23,5 cm) 5 50.0 4 11.4 Tidak KEK (LILA≥23,5 cm) 5 50.0 31 88.5 Total 10 100.0 35 100.0 2 ) Kategori status KEK contoh berdasarkan ketetapan Depkes 2001. Status Gizi
Total
2
n 9 36 45
% 20.0 80.0 100.0
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa LILA contoh terendah sebesar 20.0 cm dan yang tertinggi sebesar 41.0 cm dengan rata-rata sebesar 26.15 cm. Sebagian besar contoh (80.0%) tidak memiliki resiko KEK atau normal dan hanya 20.0 % contoh yang termasuk KEK. Namun demikian terlihat jelas bahwa contoh pada kelompok anemia memiliki status gizi yang
lebih rendah dibandingkan
dengan contoh pada kelompok tidak anemia. Menurut Depkes (1994) bagi ibu hamil yang KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah melalui masa persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini akan menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri. Jika hasil pengukuran LILA menunjukkan nilai >23.5 cm maka contoh tidak menderita KEK dan diiharapkan contoh melahirkan bayi dengan berat bayi lahir normal (Arisman 2007). Tingginya persentase ibu hamil dengan status gizi normal tidak hanya terjadi pada penelitian ini tetapi juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ipa (2010) menyatakan bahwa sebesar 87.1% ibu hamil di Kecamatan Makassar memiliki nilai LILA >23.5 cm.
29
Karakteristik Contoh dan Keluarga Umur Contoh Contoh adalah ibu hamil trimester ke II (Dua) di enam kecamatan di Kota Bogor yang dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu kelompok anemia (10 orang, 22.2%) dan tidak anemia (35 orang, 77.8%) yang berumur antara 20.0-40.0 tahun dengan umur rata-rata 29.0 tahun. Sebaran contoh berdasarkan umur disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia Status Anemia
Umur (tahun)
Anemia
Total
Tidak Anemia
n
%
n
%
n
%
20-29
6
60.0
19
54.3
25
55.6
30-40
4
40.0
16
45.7
20
44.4
28.3
Rata-rata (tahun) Total
10
29.0 100.0
35
29.0 100.0
45
100.0
Sebanyak 55.6% dari keseluruhan contoh atau 60.0% contoh pada kelompok anemia dan 54.3% contoh pada kelompok tidak anemia, berumur antara 20.0-29.0 tahun, dengan rata-rata umur secara keseluruhan 29.0 tahun, atau 28.3 tahun pada kelompok anemia dan 29.0 tahun pada kelompok tidak anemia. Contoh pada kelompok anemia memiliki rata-rata umur yang relatif lebih muda dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia. Umur seorang ibu berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem reproduksi wanita yang sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun. Kehamilan pada umur < 20.0 tahun dan > 35.0 tahun dapat menyebabkan anemia, karena kehamilan pada umur < 20.0 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan jika berumur > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa pada umur itu (Manuaba 1999). Dalam penelitian ini tidak ada contoh yang berumur <20.0 tahun dan hanya 20.0% contoh yang berumur >35 tahun. Sehingga dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh tidak berada pada rentang umur berisiko.
30
Tingkat Pendidikan Contoh Tingkat
pendidikan
contoh
dikelompokan
dalam
lima
kelompok,
yaitu: 1) SD/sederajat, 2) SMP/sederajat, 3) SMA/sederajat, dan 4) Perguruan Tinggi (PT). Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia Tingkat Pendidikan
n 4 4 2 0 10
SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat PT Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia % n % 40.0 13 37.1 40.0 6 17.1 20.0 16 45.7 0.0 0 0.0 100.0 35 100.0
Total n 17 10 18 0 45
% 37.8 22.2 40.0 0.0 100.0
Sebanyak 40.0% dari keseluruhan contoh atau 45.7% contoh pada kelompok sebanyak
tidak
anemia
80.0%
berpendidikan
contoh
pada
SMA/sederajat.
kelompok
anemia
Namun
terlihat
berpendidikan
SD hingga SMP/sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 40.0%. Tidak ada contoh pada kelompok anemia maupun tidak anemia yang berpendidikan perguruan tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa contoh pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia. Tingkat pendidikan merupakan salah satu penyebab tidak langsung anemia yang berkaitan dengan pengetahuan. Ibu hamil yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah cenderung memiliki pengetahuan gizi ibu hamil yang rendah pula. Sehingga berpengaruh dalam pemilihan dan pemenuhan konsumsi pangan selama masa kehamilan (Soenarko 2002). Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya perhatian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil ataupun bayinya. Menurut Suhardjo (1989) bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis akan membantu dalam memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian informasi tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga.
31
Tingkat Pendidikan Suami Contoh Tingkat pendidikan suami contoh diduga memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap status anemia ibu hamil dalam hal mendukung dan peduli akan pemenuhan zat gizi untuk ibu hamil selama kehamilan. Menurut Tristiyanti (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan suami contoh maka semakin baik pula pengetahuan gizi contoh. Pada praktek sehari-hari diduga bahwa selain memperoleh pengetahuan gizi dari pendidikan formal yang ditempuhnya, contoh juga memperoleh pengetahuan gizi dari suami. Sebaran tingkat pendidikan suami contoh disajikan pada Tabel 10 berikut. Tabel 10 Sebaran suami contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia Tingkat Pendidikan SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat PT Total
Berbeda dari
keseluruhan
n 3 2 5 0 10
Status Anemia Anemia Tidak Anemia % n % 30.0 9 25.7 20.0 7 20.0 50.0 17 48.6 0.0 2 6.0 100.0 35 100.0
Total n 12 9 22 2 45
dengan
tingkat
pendidikan
contoh,
suami
contoh
menempuh
pendidikan
% 26.7 20.0 48.9 4.4 100.0
sebanyak hingga
48.9% tingkat
SMA/sederajat. Tidak ada suami contoh pada kelompok anemia yang berpendidikan Perguruan Tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa suami contoh pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan suami contoh pada kelompok tidak anemia. Status Pekerjaan Contoh Status pekerjaan contoh dibagi kedalam dua kelompok berdasarkan sebaran contoh bekerja dan tidak bekerja. Tabel 11 berikut ini memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan dan status anemia Status Anemia Kategori keluarga
Anemia
Total
Tidak Anemia
n
%
n
%
n
%
Bekerja
1
10.0
5
14.3
6
13.3
Tidak Bekerja
9
90.0
30
85.7
39
86.7
Total
10
100.0
35
100.0
45
100.0
32
Sebanyak 86.7% dari keseluruhan contoh berstatus tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia dengan persentase yang hampir sama. Terdapat 10% contoh pada kelompok anemia yang bekerja. Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya (Wijianto 2002). Menurut Junadi (1998 dalam Permatahati 2012) ibu yang bekerja memiliki risiko anemia yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, hanya proporsinya tergantung pada beban kerja yang dimilikinya. Wijianto (2002) menyatakan bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Status Pekerjaan Suami Contoh Status pekerjaan suami contoh juga dibagi kedalam dua kelompok menurut sebaran suami contoh bekerja dan tidak bekerja. Berbeda dengan status pekerjaan contoh, 100% suami contoh, baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia, berstatus bekerja. Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami dan status anemia Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 10 10.0 35 100.0 0 0.0 0 0.0 10 100.0 35 100.0
Kategori keluarga Bekerja Tidak Bekerja Total
Total n 45 0 45
% 100.0 0.0 100.0
Besar Keluarga Contoh
dalam
penelitian
ini
memiliki
keluarga
dengan
jumlah
anggota keluarga paling sedikit 2 orang dan paling banyak 9 orang. Tabel 13 berikut memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan besar keluarga. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status anemia Besar Keluarga
1
Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar (≥ 7 orang) Rata-rata Total
n 8 2 0 10
Status Anemia Anemia Tidak Anemia % n % 80.0 22 62.9 20.0 11 31.4 0.0 2 5.7 3.1 4.2 100.0 35 100.0
Total n 30 13 2
% 66.7 28.9 4.4
45
3.8 100.0
33
1
) Kategori besar keluarga berdasarkan ketetapan BKKBN 1998. Secara umum 66.7% dari keseluruhan contoh atau 80.0% contoh pada
kelompok anemia dan 62.9% contoh pada kelompok tidak anemia memiliki keluarga tergolong keluarga kecil (≤ 4 orang). Keluarga contoh pada kelompok anemia memiliki jumlah rata-rata anggota keluarga yang lebih
sedikit
dibandingkan dengan keluarga contoh pada kelompok tidak anemia. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi makanan di dalam keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya kurang pemerataan terhadap makanan. Dengan kecilnya jumlah anggota keluarga maka kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi yang akan berpengaruh terhadap status gizi ibu hamil (Almatsier 2003). Pendapatan/kapita/bulan Seluruh keluarga contoh dalam penelitian ini memiliki total pendapatan antara Rp.425.000,- sampai dengan Rp.10.700.000,- per bulan dengan rata-rata Rp.1.606.444,- per bulan. Ketika pendapatan per bulan dalam keluarga dibagi dengan jumlah anggota dalam keluarga tersebut akan menghasilkan nilai pendapatan/kapita/bulan pada keluarga itu. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita per bulan antara Rp.85.000,- sampai dengan Rp.1.783.333,- dengan rata-rata pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp. 388.813,-. BPS Kota Bogor (2011) mengkategorikan
pendapatan
per
kapita
per
bulan
dalam
dua
kategori berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2010 yaitu, miskin (
Secara keseluruhan keluarga contoh, hampir semua berstatus keluarga tidak miskin dengan persentase sebesar 84.5%. Hanya sebesar 15.5%
dari
34
keseluruhan
jumlah
contoh
termasuk
dalam
kategori
keluarga
miskin.
Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Namun dalam penelitian ini diketahui sebanyak 14.3% contoh pada kelompok tidak anemia berstatus keluarga miskin. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selamanya contoh dari keluarga miskin identik menderita anemia. Hal tersebut mungkin dapat terjadi karena contoh biasa atau patuh mengonsumsi suplemen penambah darah selama masa kehamilan. Uji korelasi pearson menunjukkan ada hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan pendapatan/kapita/bulan. Hal itu dibuktikan dengan nilai (p=0.002, r=-0.44). Artinya, semakin banyak jumlah anggota dalam suatu keluarga, maka tingkat pendapatan/kapita/bulan dalam keluarga itu akan semakin rendah. Kebiasaan Konsumsi Pangan Contoh Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Sanjur 1982). Kebiasaan makan contoh terdiri dari makan pagi, siang, malam dan selingan. Adapun makanan yang sering dikonsumsi oleh contoh pada pagi hari adalah nasi dengan lauk-pauk, bubur ayam, mie kuah, lontong sayur, teh manis dan susu. Pada siang hari rata-rata contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk serta sayur. Terdapat beberapa contoh pada siang hari hanya mengonsumsi jajanan seperti mie ayam, mie goreng atau bakso. Pada malam hari sebagian besar contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk serta sayuran, tetapi terdapat beberapa contoh yang mengonsumsi mie kuah atau mie goreng serta susu. Pada penelitian ini masih terdapat beberapa contoh atau sebagian kecil yang hanya mengonsumsi air putih saja di makan pagi, siang ataupun malam. Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan makan selingan pada selingan satu atau antara makan pagi dan siang, sementara hanya 10-15 contoh yang memiliki kebiasaan makan pada selingan dua (antara makan siang dan malam) dan tiga (setelah makan malam). Makanan yang paling sering dikonsumsi contoh pada selingan pagi yaitu susu. Selain susu, sebagian besar contoh juga mengonsumsi biskuit, roti, bubur kacang hijau, buah atau siomay. Pada selingan satu, sebagian kecil contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk atau bubur ayam.
35
Adapun makanan yang sering dikonsumsi contoh pada selingan dua adalah nasi lauk pauk serta sayur. Sebagian besar contoh memiliki menu makanan yang sama pada setiap waktu makan utama. Terdapat beberapa contoh yang masih mengonsumsi air putih saja pada waktu makan utama. Contoh yang telah makan pada selingan dua atau selingan sore maka biasanya tidak makan pada waktu makan malam atau pada makan malam contoh tersebut hanya mengonsumsi air putih dengan makanan kecil saja. Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu. Kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu (Wahyuni 1988 dalam Permatahati 2012). Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Konsumsi pangan pada penelitian ini dibagi menjadi 6 kelompok pangan yaitu serealia dan olahannya, pangan hewani dan olahannya, kacangkacangan dan olahannya, sayur dan olahannya, buah dan olahannya serta susu dan olahannya. Tabel 15 merupakan rata-rata konsumsi pangan contoh dalam dua hari berdasarkan hasil recall 2x24 jam. Tabel 15 Konsumsi pangan contoh No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6
Serealia dan olahannya Hewani dan olahannya Nabati dan olahannya Sayuran dan olahannya Buah dan olahannya Susu dan olahannya
Rata-rata konsumsi (g) 487.0 60.3 99.5 176.0 130.0 271.0
Tabel 15 menunjukkan bahwa konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi pangan sebesar 487 g serealia per hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amrin (2011) bahwa konsumsi pangan tertinggi pada ibu hamil adalah serelia dan olahannya yaitu sebesar 257 g per hari. Hal ini mungkin disebabkan karena kebiasaan makan masyarakat Indonesia lebih didominasi oleh makanan pokok seperti serelia daripada lauk pauk dan sayuran. Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi serealia pada ibu hamil sebanyak 6 penukar, namun pada penelitian ini konsumsi serealia masih kurang dari yang dianjurkan. Apabila dikonversikan ke dalam satuan penukar, maka 487 g serealia setara dengan 4 penukar nasi.
36
Lebih tingginya konsumsi serealia daripada konsumsi pangan lainnya tidak hanya terjadi pada penelitian ini saja tetapi juga di India. Penelitian yang dilakukan oleh Nair dan Iyengar (2009) pada ibu hamil di india bahwa rata-rata konsumsi serealia sebesar 320 g hingga 477 g dalam sehari. Pangan hewani merupakan salah satu pangan sumber zat besi. Pada penelitian ini hanya sedikit jumlah pangan hewani yang dikonsumsi contoh dalam sehari yaitu sebesar 60.3 g. Apabila berat tersebut dikonversikan kedalam satuan penukar, maka kurang lebih contoh pada penelitian hanya mengonsumsi pangan hewani hanya satu atau dua penukar saja. Sementara itu Depkes (2005) menyarankan kepada ibu hamil agar mengonsumsi pangan hewani minimal tiga penukar dalam sehari. Pangan hewani yang sering dikonsumsi contoh adalah ikan (ikan asin) dan telur. Menurut Achadi (2007) sumber utama zat besi adalah pangan hewani terutama yang berwarna merah, seperti hati dan daging namun, contoh yang mengonsumsi daging dan hati hanya sebagian kecil saja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 27.0 % contoh yang mengonsumsi daging. Tingginya harga daging dipasaran mungkin merupakan salah satu penyebab rendahnya konsumsi daging. Persentase contoh yang mengonsumsi hati juga masih rendah sebesar 12.6 %. Darlina (2003) dalam penelitiannya pada ibu hamil di Kota Bogor mengatakan bahwa sebanyak 53.9% ibu hamil tidak menyukai hati. Mungkin hal tersebut yang menjadi salah satu penyebab sedikitnya ibu hamil yang mengonsumsi hati. Kurangnya konsumsi pangan pada contoh juga terjadi pada pangan nabati,
sayuran,
buah-buahan
dan
susu.
Pada
penelitian
ini,
contoh
mengonsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g, sayuran sebanyak 176.0 g, buah-buahan sebanyak 130.0 g dan susu sebanyak 271 g. Apabila berat konsumsi pangan tersebut dikonversikan ke dalam satuan penukar maka konsumsi
contoh
terhadap
pangan-pangan
tersebut
masih
kurang.
Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi pangan nabati untuk ibu hamil sebanyak 3 penukar, sayuran sebanyak 3 penukar, buah sebanyak 4 penukar dan susu sebanyak 3 penukar. Pada penelitian ini pangan nabati, sayuran, buah dan susu yang dikonsumsi oleh contoh hanya sebanyak satu sampai dua penukar saja. Rata-rata frekuensi konsumsi akan bahan pangan tertentu diperoleh dari data Food Frequency Quesionaire (FFQ) contoh . Tabel 16 Berikut
37
disajikan data rata-rata frekuensi dari berbagai kelompok pangan yang dikonsumsi oleh contoh. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasan konsumsi berbagai kelompok pangan No
Kelompok Pangan
n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Serealia dan olahannya Daging dan olahannya Unggas dan olahannya Ikan dan olahannya Telur dan olahannya Susu dan olahannya Kacang-kacangan dan olahannya Sayuran dan olahannya Buah dan olahannya Minuman Makanan Ringan (Snack) Ramuan tradisional/suplemen
45 12 32 42 41 34 44 45 45 45 45 26
Persentase (%) 100.0 27.0 71.0 93.0 91.0 75.5 97.7 100.0 100.0 100.0 100.0 57.8
Rata-rata (kali /bulan) 99.0 9.0 12.0 26.0 17.0 38.0 47.0 44.0 26.0 187.0 30.0 20.0
Seluruh contoh biasa mengonsumsi serealia dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 3.0 - 4.0 kali sehari. Sebanyak 97.7% contoh biasa mengonsumsi pangan sumber protein nabati dari kelompok kacang-kacangan dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0-2.0 kali sehari. Bahan pangan sumber protein nabati yang lebih sering dikonsumsi contoh antara lain kacang hijau, oncom, tahu, dan tempe. Tidak semua contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi pangan sumber protein hewani dari kelompok pangan daging, unggas, ikan, telur dan susu. Hal tersebut dapat diketahui dari persentase contoh yang mengonsumsi pangan sumber protein hewani diantaranya sebesar 27.0% contoh biasa mengonsumsi daging dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0 kali/minggu, 71.0% biasa mengonsumsi unggas dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0-3.0 kali/minggu, 93.0% biasa mengonsumsi ikan dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0 kali/hari, 91.0% biasa mengonsumsi telur dan olahannya dengan rata-rata frekuensi sebesar 3.0-4.0 kali/minggu, serta sebesar 75.5% biasa mengonsumsi susu dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0 kali/hari. Kemudian yang perlu diketahui selanjutnya yaitu 100.0% contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi makanan ringan (snack) dengan rata-rata frekuensi konsumsi satu kali sehari. Makanan ringan (snack) yang biasa dikonsumsi contoh antara lain biskuit, donat, aneka goreng-gorengan seperti pisang goreng, bakwan, crieng, serta aneka kripik seperti keripik singkong dan
38
pisang. Terdapat bermacam-macam suplemen yang dikonsumsi ibu hamil meliputi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional untuk meningkatkan kecukupan zat gizi mikro guna menunjang pemenuhan akan kebutuhan zat gizi mikro pada ibu hamil. Tabel 17 berikut memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen Status Anemia Tidak Anemia Anemia
Jenis Suplemen
Total
Rata-rata (kali/bulan)
n
%
n
%
n
%
Jamu Tablet Ca Tablet Multivitamin Penambah Darah (sirup) Tablet Fe Tablet vitamin B Tablet vitamin C
1 0 2 0 0 1 2
10.0 0.0 20.0 0.0 0.0 10.0 20.0
4 1 9 1 10 1 2
11.4 2.8 25.7 2.8 28.5 2.8 5.7
5 1 11 1 10 2 4
11.1 2.2 24.4 2.2 22.2 4.4 8.9
8.0 30.0 30.0 30.0 30.0 21.0 21.0
Sub total yang mengonsumsi
6
60.0
28
80.0
34
75.5
20.0
Sub total yang tidak mengonsumsi
4
40.0
7
20.0
11
24.5
0.0
Total
10
100.0
35
100.0
45
100.0
20.0
Secara keseluruhan sebanyak 75.5% contoh atau 60.0% contoh pada kelompok anemia dan 80.0% contoh pada kelompok tidak anemia biasa mengonsumsi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional dengan rata-rata frekuensi konsumsi 20 kali/bulan atau 5 kali/minggu. Suplemen yang biasa dikonsumsi diantanranya, jamu, tablet Ca, tablet multivitamin, penambah darah (sirup), tablet Fe, tablet vitamin B dan vitamin C. Suplemen yang paling banyak dikonsumsi contoh adalah tablet multivitamin sebanyak 24.4% dengan frekuensi konsumsi satu kali sehari. Selanjutnya diikuti oleh konsumsi tablet Fe sebanyak 22.2% contoh yang mengonsumsi dengan frekuensi konsumsi satu kali sehari yang dapat memenuhi kebutuhan akan zat besi guna membantu proses pembentukan hemoglobin dalam darah. Contoh yang biasa mengonsumsi tablet terhindar dari masalah anemia. Tablet Ca dan penambah darah (sirup) paling sedikit dikonsumsi contoh dengan persentase masing-masing sebesar 2.2% dengan frekuensi konsumsi masing-masing 2.0 kali seminggu dan 2.0 kali sehari. Polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu, mengikat besi heme membentuk kompleks besi tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak dapat diserap dengan baik (Alsuhendra 2005). Pada penelitian ini konsumsi zat inhibitor lebih ditujukan pada konsumsi teh dan kopi. Data konsumsi teh dan kopi
39
diperoleh dengan menanyakan frekuensi konsumsi teh melalui FFQ terhadap contoh. Tabel 18 berikut memberikan gambaran kebiasaan contoh minum teh dan kopi Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum teh dan kopi Total
Konsumsi minuman
Rata-rata (kali/bulan)
Teh tawar
n 16
% 35.6
30.0
Teh manis Kopi
18 8
40.0 17.8
30.0 13.0
Secara keseluruhan contoh lebih banyak mengonsumsi teh manis dibandingkan dengan teh tawar dengan persentase contoh yang mengonsumsi teh manis sebanyak 40.0% dengan frekuensi satu kali sehari. Hanya 17.8% contoh dari keseluruhan yang biasa mengonsumsi kopi dengan frekuensi konsumsi sebanyak 2.0-3.0 kali seminggu. Kebiasaan minum teh dan kopi dapat menghambat proses penyerapan zat besi ke dalam tubuh yang mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dalam darah yang berdampak terhadap risiko menderita anemia (Sayogo 2007). Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh Asupan Zat Gizi Contoh Asupan zat gizi dari konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat kecukupan zat gizi. Proses terbentuknya hemoglobin terkait dengan asupan protein, vitamin dan mineral dari konsumsi pangannya antara lain; protein nabati, protein hewani, vitamin B3, B6, B9, B12, C dan K serta mineral Fe, Cu, Zn dan Co (Effendi et.al 2009). Pada penelitian ini tidak seluruh unsur pembentuk hemoglobin dianalisis dengan alasan keterbatasan data sekunder terkait asupan vitamin dan mineral. Hanya energi, protein, vitamin C, vitamin A, zat besi (Fe), seng (Zn)
dan asam folat
(B9). Tabel 19 berikut memberikan gambaran
mengenai asupan zat gizi contoh yang terkait dengan proses pembentukan hemoglobin. Tabel 19 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh No 1 2 3 4 4 5
Zat gizi Energi Protein Vitamin C Vitamin A Asam folat Zat besi
Rata-rata asupan/ hari 1545.0 kkal 49.9 g 27.0 mg 579.0 RE 187.0 µg 17.3 mg
Angka Kecukupan Gizi 2100.0 kkal 67.0 g 85.0 mg 800.0 RE 600.0 µg 26.0 mg
3
Tingkat Kecukupan (%) 74.0 75.0 31.0 72.0 31.0 67.0
40
3
6 Seng 12.0 mg 11.5 mg 101.0 Angka kecukupan gizi berdasarkan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester II
Berdasarkan hasil olah data recall konsumsi pangan dapat diketahui ratarata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan seng contoh per hari dari konsumsi pangannya masing-masing sebesar 1545 kkal, 49.9 g, 27.0 mg, 579.0 RE, 187 µg, 17.3 mg, dan 12.0 mg. Rata-rata asupan protein hewani dan nabati sebesar 17.3 g dan 32.6 g per hari. Rata-rata asupan zat besi heme dan non heme masing-masing sebesar 10.4 mg dan 6.9 mg per hari. Secara keseluruhan rata-rata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin A asam folat dan zat besi pada contoh masih dibawah angka kecukupannya. Adapun kecukupan zat gizi ibu hamil trimester kedua menurut WNPG (2004) adalah energi dengan kisaran umur 20-40 tahun sebesar 2100.0 kkal; 67.0 g protein; 85.0 mg vitamin C; 800.0 RE vitamin A; 600.0 µg asam folat, 35.0 mg zat besi dan 11.5 mg seng. Sehingga tingkat kecukupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan seng per hari dapat diketahui masing-masing sebesar 74.0%; 75.0%; 31.0%; 72.0 %; 31.0 %; 67.0%; dan 101.0%. Rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada penelitian ini melainkan juga terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Barunawati (2000) di Kabupaten Bogor bahwa rata-rata asupan energi responden sebesar 1616.0 kkal; 52.8 g protein; 36.6 mg zat besi; dan 243.3 mg vitamin C. Menurut hasil penelitian Prihananto et al. (2007) bahwa asupan zat gizi ibu hamil di Kabupaten Bogor sebesar 1412.0 kkal energi; 30.0 g protein; 618.0 RE vitamin A; 23.8 mg vitamin C; dan 10.5 mg zat besi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amrin (2011) mengatakan bahwa ratarata contoh di Kota Bogor dalam sehari memiliki asupan energi sebesar 1846 kkal; 58.4 g protein; 23.3 mg zat besi; 3706.3 RE vitamin A; 149.3 vitamin C. Sementara itu, rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil juga terjadi di luar Kota Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota Bau-bau bahwa rata-rata asupan energi pada ibu hamil trimester kedua sebesar 1125.0 kkal; 36.6 g protein; 1222.0 RE vitamin A; 47.0 mg vitamin C; 8.0 mg zat besi. Effendi (1999) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat asupan pangan ibu hamil dapat disebabkan oleh nafsu makan ibu hamil yang umumnya berkurang pada empat bulan pertama. Pada penelitian ini sebanyak 78.0% contoh merasa mual selama kehamilan; 69.5% contoh merasa pusing selama kehamilan; dan 54.7% contoh merasa bahwa dirinya mengurangi makan karena pusing dan mual
41
tersebut. Hal tersebut mungkin menyebabkan kurangnya asupan makan contoh pada penelitian ini. Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) Tingkat kecukupan gizi merupakan angka yang menggambarkan perbandingan zat gizi yang dikonsumsi contoh terhadap angka kecukupan gizi menurut jenis kelamin, umur, dan kondisi fisiologis contoh. Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dikatakan defisit tingkat berat jika tingkat kecukupan <70 % AKG, defisit tingkat sedang 70-79% AKG, defisit tingkat ringan jika tingkat kecukupan 80-89% AKG. Normal atau cukup jika tingkat kecukupan energi antara 90-119% AKG dan berlebih atau diatas kecukupan jika tingkat kecukupan >120% AKG. Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikatan kurang jika <77% dan cukup jika ≥ 77% (Gibson 2005). Tabel 20 berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan status anemia contoh. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan gizi dan status anemia Zat gizi Energi
Protein
Vitamin A
Vitamin C
Asam Folat
Seng
Zat besi
Tingkat kecukupan zat gizi Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Berlebih Total Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Berlebih Total Kurang Cukup Total Kurang Cukup Total Kurang Cukup Total Kurang Cukup Total Kurang Cukup
Anemia n 5 1 3 1 0 10 5 0 0 2 3 10 7 3 10 10 0 10 10 0 10 8 2 10 6 4
% 50.0 10.0 30.0 10.0 0.0 100,0 50.0 0.0 0.0 20.0 30.0 100.0 70.0 30.0 100,0 100.0 0.0 100,0 100.0 0.0 100,0 80.0 20.0 100,0 60.0 40.0
Tidak Anemia n % 15 43.0 4 11.0 7 20.0 6 17.0 3 9.0 35 100.0 104 45.7 21 17.1 20 14.3 31 11.4 27 11.4 203 100.0 22 62.8 13 37.2 35 100.0 31 88.5 4 41.5 35 100.0 33 94.2 2 5.8 35 100.0 12 34.2 23 65.8 35 100.0 25 71.4 10 28.6
Total n 20 5 10 7 3 45 21 6 5 6 7 45 29 16 45 41 4 45 43 2 45 20 25 45 31 14
% 44.0 11.0 22.0 16.0 7.0 100.0 46.7 13.3 11.1 13.3 15.6 100.0 64.4 35.6 100.0 91.1 8.9 100.0 95.5 4.5 100.0 44.5 55.5 100.0 68.8 31.2
42
Total
10
100,0
35
100.0
45
100.0
Pada penelitian ini rata-rata contoh memiliki tingkat kecukupan gizi yang kurang untuk zat gizi makro maupun mikro. Secara keseluruhan, tingkat kecukupan energi contoh dalam penelitian ini tergolong dalam kategori defisit tingkat berat dengan persentase sebesar 44.0% atau sebanyak 50.0% contoh pada kelompok anemia dan 43.0% contoh pada kelompok tidak anemia. Sebesar 16.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori normal dan 7.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi yang berlebih. Secara keseluruhan, tingkat kecukupan protein contoh dalam penelitian ini tergolong dalam kategori defisit tingkat berat dengan persentase sebesar 46.7% atau sebanyak 50.0% contoh pada kelompok anemia dan 45.07% contoh pada kelompok tidak anemia. Walaupun terdapat 13.3% contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein dengan kategori normal tidak menjamin terhindar dari anemia. Hal itu dibuktikan dengan adanya dua orang contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein normal namun menderita anemia. Hal tersebut terjadi karena kurangnya asupan protein dari pangan sumber protein hewani yang memiliki jumlah protein lebih banyak dalam setiap 100 gram bahan yang dikonsumsi dibandingkan dengan pangan sumber protein nabati. Sebagian besar contoh dalam penelitian ini lebih biasa mengonsumsi pangan sumber protein nabati dari kelompok pangan kacang-kacangan dan berbagai olahannya seperti yang mmerupakan sumber zat besi non heme. Sayogo (2007) menyatakan penyerapan zat besi non heme lebih rendah dibandingkan dengan sumber zat besi heme dalam bentuk ferro yang lebih mudah di serap oleh dinding sel usus. Secara keseluruhan contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong kurang. Defisiensi Vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di dalam tubuh akan turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe tubuh untuk dapat mensintesa hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada proses erythropoesis (Setiyobroto et al. 2004 dalam Andriani 2012). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C dan asam folat contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia tergolong kurang. Vitamin C berperan membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga jika terjadi
43
kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat dalam tubuh berperan dalam proses pembentukan sel darah merah. Ketika makanan sumber asam folat di konsumsi,
asam
folat
yang
tercerna
kemudian
dikirim
ke
hati.
Hati
menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang. Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah merah (Khomsan 2002). Pada masa kehamilan, ibu memerlukan asam folat lebih banyk Bila
daripada kadar
asalm
biasanya folat
untuk
rendah
keperluan maka
akan
tumbuh
kembang
menyebabkan
janin.
bayi
lahir
cacat, mengalami gangguan syaraf (spina bifida), atau retardasi mental (Khomsan 2002). Tingkat kecukupan mineral seng dan besi contoh, baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia masing masing tergolong cukup dan kurang. Seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan, kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung porsi zat besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga lebih sedikit transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng akan lebih rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng (Whitney & Rolfes 2008 dalam Hardiansyah 2012). Sedangkan besarnya persentase contoh yang memiliki tingkat kecukupan zat besi dalam kategori kurang disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi dari pangan sumber zat besi heme yang dapat diperoleh dari pangan hewani. Pangan sumber protein nabati sebagai sumber zat besi non heme dari kelompok pangan
kacang-kacangan
dan
olahannya
penyerapannya
lebih
rendah
dibandingkan dengan sumber zat besi heme. Diperlukan bantuan vitamin C untuk mereduksi zat besi non heme dalam bentuk ferri menjadi ferro agar lebih mudah dalam proses penyerapan ke dalam tubuh. Namun ternyata tingkat kecukupan vitamin C contoh juga kurang, ditambah lagi dengan jumlah asupan seng yang lebih besar dibandingkan dengan zat besi mengakibatkan terhambatnya penyerapan zat besi ke dalam tubuh.
44
Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Kadar Hb Hubungan umur contoh dengan kadar Hb Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata
antara
umur
contoh
dengan
kadar
Hb
(p>0.05)
(lampiran
1).
Hasil penelitian Tristiyanti (2006) juga menyatakan bahwa umur tidak berhubungan dengan kadar Hb. Tidak adanya hubungan tersebut karena umur merupakan faktor yang secara tidak langsung penyebab anemia. Selain itu hampir sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada rentang umur tidak berisiko. Hubungan Besar Keluarga dengan kadar Hb Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Hal ini diduga karena besar keluarga secara tidak langsung berhubungan dengan kadar hemoglobin. Yunita (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara besar keluarga dengan kadar Hb karena status pekerjaan mempengaruhi pendapatan guna memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya kurang pemerataan terhadap makanan. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk menarik kesimpulan. Ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu mengenai jenis sumber pangan apa yang biasa dikonsumsi dalam keluarga tersebut. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kadar Hb Berdasarkan Uji korelasi pearson diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan contoh dengan kadar Hb (p>0.05). Hal ini juga diduga karena tingkat pendidikan tidak secara langsung berhubungan
dengan
kadar
hemoglobin.
Pendidikan
sebagai
proses
pembentukan pribadi, diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik (Arisman 2007). Faktor pendidikan seharusnya mempengaruhi pola makan ibu hamil, tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki lebih baik sehingga bisa memenuhi asupan gizinya. Tristiyanti (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kadar Hb diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti perilaku contoh dalam memilih pangan yang akan dikonsumsinya. Tidak menjamin contoh yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan memiliki akses informasi lebih
45
tentang gizi dalam masa kehamilan dapat menerapkan pola makan yang benar selama masa kehamilan sesuai dengan kebutuhan gizi ibu hamil. Hubungan Pendapatan/kapita/bulan dengan kadar Hb Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan per kapita dengan kadar hemoglobin (p>0.05) (Lampiran 1) Hal ini juga diduga karena pendapatan tidak secara langsung berhubungan dengan kadar hemoglobin. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan akan makanannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Terutama zat gizi yang terkait dengan kadar hemoglobin yaitu protein dan zat besi dari pangan yang biasa dikonsumsi. Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh. Namun semua hal tersebut tidak menjamin bahwa setiap keluarga yang memiliki pendapatan per kapita per bulan yang tinggi akan sadar untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil. Hubungan Nilai LILA dengan Kadar Hb Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara nilai LILA dengan kadar Hb (p<0.05) (Lampiran 1). Artinya, Semakin kecil nilai LILA maka akan semakin rendah nilai kadar hemoglobin contoh. Status gizi ibu yang diukur melalui LILA mencerminkan cadangan zat gizi dan kondisi status gizi ibu hamil sebelum dan selama masa kehamilan. Jika LILA < 23.5 cm berarti contoh mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) dalam waktu sangat lama yang mengakibatkan asupan energi dari zat gizi makro lainnya seperti dari protein dialokasikan guna memenuhi kebutuhan energi ibu hamil terlebih dahulu untuk menyediakan cadangan energi di dalam sel otot. Pembentukkan hemoglobin erat kaitannya dengan kecukupan energi, protein dan zat besi (Sayogo 2007). Proses pembentukan sel darah merah membutuhkan ketersediaan energi yang cukup. Untuk mengangkut oksigen,
46
protein harus berikatan dengan zat besi membentuk myoglobin di dalam serabut otot kemudian membentuk enzim yang berperan dalam pembentukan energi di dalam sel. Apabila energi di dalam sel dirasa cukup ketersediaannya, maka protein dan zat besi yang saling berikatan akan membentuk hemoglobin dan mengangkut oksigen dan dalam darah. Sehingga kadar hemoglobin akan menjadi indikator status anemia. Oleh karena itu, asupan protein dan zat besi harus tercukupi selama masa kehamilan karena berperan sangat penting dalam proeses pembentukan hemoglobin. Apabila pada saat hamil, ibu mengalami kurang energi kronis (KEK) berarti menunjukkan kekurangan energi dalam waktu yang sangat lama yang akhirnya berdampak pada kondisi fisiologis sekarang atau saat ini terkait dengan pembentukan hemoglobin yang tidak optimal dalam proses sintesis darah merah. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi dengan Kadar HB Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Kadar Hb Berdasarkan uji korelasi pearson maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena asupan energi yang diperoleh sebagian besar berasal dari pangan sumber karbohidrat sehingga tidak memberikan sumbangan zat besi dalam jumlah besar. Sebagaimana diketahui bahwa pangan yang memberikan kontribusi lebih banyak dalam hubungannya dengan hemoglobin sebagai indikator status anemia adalah zat besi. Menurut Sayogo (2007), zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi, dan terutama juga oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh. Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Kadar Hb Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan anatara tingkat kecukupan protein dan dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena pangan sumber protein yang biasa dikonsumsi contoh merupakan sumber protein nabati dari kelompok pangan kacang-kacangan, sayuran dan olahannya. Sebagaimana diketahui bahwa
pangan
nabati
merupakan
sumber
zat
besi
non
heme.
47
Dalam penyerapannya, sumber zat besi non heme lebih rendah dibandingkan dengan sumber zat besi heme (Sayogo 2007). Selain itu tingginya tingkat kecukupan seng yang melebihi tingkat kecukupan zat besi dalam penelitian ini menyebabkan transferin sebagai protein pembawa zat besi berikatan penuh dengan seng yang berdampak terhadap rendahnya proses pengikatan zat besi sehingga menghambat proses penyerapan dan mobilisasi zat besi kedalam tubuh hal tersebut didukung oleh Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah (2012), yang menyatakan jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Kadar Hb Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan zat besi dan dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1). Hal ini diduga karena pangan sumber zat besi yang dikonsumsi sangat kurang atau bukan berasal dari besi heme sehingga kurang bisa mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Selain itu kemungkinan besar konsumsi besi non heme tidak diimbangi dengan konsumsi besi heme. Sebagaimana diketahui bahwa besi heme lebih mudah diserap oleh tubuh daripada besi non heme. Selain itu menurut Almatsier (2009), makan besi heme dan non heme secara bersamaan dapat meningkatkan penyerapan besi non heme. Contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi pangan sumber besi heme (berasal dari kelompok pangan hewani) dalam frekuensi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan frekuensi konsumsi pangan sumber besi non heme (berasal dari kelompok pangan nabati). Tingkat kecukupan vitamin A, Vitamin C, dan asam folat sebagai unsur pembentuk hemoglobin yang tergolong menjadi salah satu penyebab tidak ada hubungan tingkat kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada proses
erythropoesis
(Setiyobroto
et
al.
2004
dalam
Andriani
2012).
Vitamin C berperan membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga jika terjadi kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat yang kurang
menyebabkan
optimal (Khomsan 2002).
proses
pembentukan
sel
darah
merah
tidak
48
Menurut Kartono dan Soekatri (2004) diacu dalam Permatahati (2012) bahwa status besi seseorang juga dipengaruhi oleh penyerapan besi. Menurut Almatsier (2004) diperkirakan hanya 5-15% besi dari makanan yang diabsorpsi oleh orang dewasa yang berada dalam status besi baik sedangkan dalam keadaan defisiensi besi absorpsi dapat mencapai 50%. Apabila absorpsi besi tinggi maka bioavailabilitasnya pun akan tinggi. Namun hasil penelitian Permatahati
(2012)
menyatakan
bahwa
bioavailabilitas
zat
besi
tidak
berhubungan dengan kadar Hb yang memiliki arti apabila bioavailabilitas zat besi rendah maka belum tentu kadar haemoglobin juga rendah ataupun sebaliknya. Tidak ada hubungan disebabakan karena faktor lain selain konsumsi yang berpengaruh terhadap kadar hemoglobin ibu hamil diantaranya karena kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga cadangan zat gizi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya (Khomsan 2002), perdarahan akibat penyakit atau infeksi parasit dan saluran pencernaan serta proses hemolisis atau penghancuran sel darah merah sebelum waktunya (Wirakusumah 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Ayoya et al (2006) di Banconi menunjukkan bahwa tingginya angka anemia memiliki hubungan yang nyata (p<0.01) dengan adanya penyakit infeksi.
49
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sebanyak 77.8% contoh berstatus normal, 22.2% contoh berstatus anemia tingkat ringan serta tidak ada contoh yang berstatus anemia tingkat berat. Prevalensi anemia di wilayah penelitian sebesar 22.2%. Sebagian besar contoh, baik pada kelompok anemia dan tidak anemia
tidak berstatus KEK.
Karakteristik contoh dan keluarga pada penelitian ini baik pada kelompok anemia
maupun
tidak
anemia
sebagian
besar
berumur
20-29
tahun,
berpendidikan SD/sederajat, tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, suami berpendidikan SMA/sederajat dan bekerja, tergolong keluarga kecil (≤4orang) dan tidak miskin dengan pendapatan/kapita/bulan ≥ Rp. 278.530. Konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan pangan nabati beserta olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi serealia sebesar 487 g dengan frekuensi konsumsi 3-4 kali sehari dan konsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g per hari dengan frekuensi konsumsi sebanyak 3-4 kali sehari. Rata-rata asupan protein nabati dan zat besi non heme dari pangan nabati sebesar 32.6 g dan 10.4 mg per hari. Konsumsi hewani sebagai sumber protein hewani dan zat besi heme masih sedikit dikonsumsi oleh contoh yaitu sebesar 60.3 g dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali seminggu dengan rata-rata asupan protein hewani dan zat besi heme sebesar 17.3 g dan 6.9 mg per hari. Konsumsi serealia, pangan hewani, pangan
nabati, sayuran dan buah pada
contoh masih lebih rendah dari ketetapan yang seharusnya. Rata-rata asupan energi, lebih
protein, vitamin A, kecil
daripada
vitamin C,
angka
asam folat,
kecukupan
yang
dan
zat besi contoh
dianjurkan.
Hal
tersebut
menyebabkan sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan energi dan protein dalam kategori defisit tingkat berat (TKG <70%AKG) serta kecukupan vitamin A, vitamin C , asam folat, dan zat besi juga dalam kategori kurang (TKG < 77% AKG). Uji korelasi pearson menunjukkan
karakteristik contoh dan keluarga,
tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi tidak berhubungan dengan kadar hemoglobin (p>0.05), melainkan nilai LILA yang berhubungan dengan kadar hemoglobin (p<0.05).
50
Saran Pemerintah Daerah Kota Bogor disarankan untuk melakukan penyuluhan kesehatan ibu hamil yang dilakukan secara rutin oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor yang dapat dilaksanakan di Puskesmas atau Posyandu setempat tentang makanan sehat bagi ibu hamil. Khususnya terkait dengan sangat pentingnya mengonsumsi pangan sumber protein hewani, zat besi dan pangan yang membantu proses penyerapan zat besi selama masa kehamilan agar terhindar dari anemia. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada ibu hamil agar meningkatkan konsumsi pangan sumber protein hewani sebagai sumber zat besi heme sekitar 100-150 g sehari setara daging sapi atau hati guna memenuhi anjuran Depkes (2005) yang menyarankan kepada ibu hamil agar mengonsumsi pangan hewani minimal tiga penukar dalam sehari. Kemudian tingkatkan konsumsi buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C sekitar 200-300 g buah per hari setara jeruk manis atau jambu biji guna meningkatkan penyerapan zat besi ke dalam tubuh. Selain itu disarankan agar ibu hamil mengonsumsi suplemen zat besi agar kebutuhan zat besi selama kehamilan dapat tercukupi. Sehingga diharapkan prevalensi anemia ibu hamil di Kota Bogor dapat terus diturunkan.
51
DAFTAR PUSTAKA Achadi LE. 2007. Gizi dan Kesehatan Mayarakat Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Almatsier S.2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ________ .2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ________. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Alsuhendra. 2005. Sudah banyak konsumsi sayur masih saja kurang darah. [terhubung berkala]. http://halamui.or.id. [2 Februari 2012]. Amrin AP. 2011. Pengetahuan dan sikap gizi, praktek konsumsi susu serta status gizi ibu hamil [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Andriani N. 2012. Analisis Asupan Zat Gizi Mikro dan Hubungannya dengan Status Besi Pada Ibu Hamil di Wilayah Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Anggraeni AC. 2007. Asuhan Gizi Nutritional Care Process. Yogyakarta: Graha Ilmu. Arisman MB. 2007. Gizi dalam daur Kehidupan: Gizi Wanita Hamil. Jakarta: EGC. Hlm 4-25. Aritonang E. 2010. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. Bogor : IPB Press Ayoya M, et al. 2006. Determinants of anemia among pregnant women in Mali. Food and Nutrition Bulletin. 27(1): 3-11. Bakta IM. 2006. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Di dalam: Sudoyo AW, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Barunawati M. 2000. Keragaan konsumsi pangan dan kadar mineral besi (fe) dan seng (zn) dalam serum darah ibu hamil [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja putri [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. [BKKBN] Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional. 1998. Opini Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
52
[BPS] Biro Pusat Statistik.2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta Darlina, Hardinsyah. 2003. Faktor resiko anemia di Kota Bogor. Media gizi keluarga. 27(2):34-41. Darlina. 2003. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1994. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Jakarta: Depkes RI ___________________________.1996. Pedoman Operasional Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. ___________________________.1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri dan Wanita Subur. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. ___________________________.2001. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 : studi Tindak Lanjut Ibu Hamil. Jakarta: Depkes RI ___________________________.2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Ditjen Bina Kesmas. ___________________________.2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. ___________________________.2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. [Dinkes] Dinas Kesehatan Jawa Barat. 2003. Akselerasi pencapaian visi Jawa Barat menuju IPM 80 Tahun 2008 Melalui pembangunan Kesehatan. Dinas Kesehatan Jawa Barat. Effendi YH. 1999. Dampak makanan tambahan multi gizi terhadap status biokimia darah ibu hamil [skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Effendi YH, Dewi M. 2009. Patofisiologi Gizi. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Fatmah B. 2007. Anemia Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers. Gibson RS. 2005. Principal of Nutritional Assesment. Ed ke-2. Oxford: Oxford University Press.
53
Hardiansyah A. 2012. Efek suplementasi multivitamin mineral terhadap kadar hemoglobin dan hematokrit mahasiswi TPB IPB. [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Briawan D.1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga. Fakultas Pertanian IPB. Ipa A. 2010. Status gizi dan pengetahuan ibu hamil tentang pemberian ASI ekslusif di Kelurahan Maccini Kecamatan Makassar. Media Gizi Pangan. 9 (1):27-32. Kee. L. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: Penertbit Buku Kedokteran EGC. Khomsan A. 2000. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Kusharto CM. 2010. Penilaian Konsumsi Pangan. Diktat. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Mahan LK, Escott-Stump S. 2004. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. (11thed) Philadelphia : Elsevier. Manuaba IBG. 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan Marcia N et al. 2010. Nutrition Therapy and Pathophysiology second edition. USA : Wadsworth Cengage Learning. Muslimatun S. 2000. Weekly Supplementation with iron and Vitamin A during Pregnancy Increases Hemoglobin Concentration but Decreases Serum Ferritin Concentration In Indonesia Pregnant Women. Journal Of Nutrition.131-1 Nair KM, Iyengar V. 2009. Iron content, bioavailability and factors affecting iron status of Indians. Indian journal of medical research. 130 (5): 634-645 O’Brien KO, Zavaleta N, Caulfield LE, Yang DX, Abrams SA. 1999. Influence of prenatal iron and zinc supplement on supplemental iron absorbtion, red blood cell iron incorporation and iron status in pregnant Peruvian women. Am J Clin Nutr 69 : 509---515. Permatahati I. 2012. Bioavailabilitas Zat Besi dan Konsumsi Pangan pada Ibu Hamil di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Prihananto V, Sulaeman A, Riyadi H, Palupi NHS. 2007. Pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap konsumsi energi dan protein ibu hamil. Jurnal gizi dan pangan. 2(1): 16-21
54
Prihatini S, Jahari AB, Sebayang S, Iswidahni. 2009. Gambaran konsumsi makanan dan status anemia ibu hamil sampel penelitian summit (the supplementation with multiple mikronutrients intervention trial) di Lombok. Penelitian gizi dan makanan. 32(1): 37-44 Probohandojo K. 1989. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan kebudayaan Rimbawan, Baliwati YF. 2004. Masalah Pangan dan Gizi. Di dalam : Baliwati YF, Khomsan A & Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar Swadaya. Sanjur D 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition: Engelwood Cliffs: Prentice Hall. Sayogo S. 2007. Gizi Ibu Hamil. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sediaoetama AD. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid II. Jakarta: Dian Rakyat. Soenarko. 2002. Anemia gizi status kini dan harapan masa datang. [Prosiding] WKNPG 2002 Suhardjo D. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC Tristiyanti WF. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada ibu hamil di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. UNICEF. 1998. Preventing Iron Defisiency in Women and Children : Background and Consensus on Key Technical Issues and Resource for Advocacy, Planning and Implementing National Programs. Canada : International Nutrition Foundation (INF) Wijanti RE, Rahmaningtyas I, Widari D. 2012. Hubungan pola makan ibu hamil trimester III dengan kejadian anemia. Tunas-tunas riset kesehatan. 2(2):85-90. Wijianto. 2002. Dampak Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus Agriwidya.
55
[WHO] World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assesment, Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva : World Health Organization. _____________________________. 2005. Worldwide prevalence of anemia in 1993-2005. Geneva : World Health Organization. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. Yunita E. 2006. Status anemia ibu hamil dan berat badan lahir serta faktor-faktor yang mempengaruhi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Hasil uji hubungan antar peubah dengan kadar hemoglobin Umur
Umur
Besar_Kel
Tk_Pend_Cont
Pendptn_Kapita
LILA
TKP
TKFE
TKE
Kadar_HB
Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed)
Besar_Kel
Tk_Pend_Cont
Pearson Correlation
.054
Sig. (2-tailed)
.726
Pearson Correlation
.072
-.005
Sig. (2-tailed)
.640
.972
-.273
-.449**
.299*
.069
.002
.046
.387**
.077
.145
-.264
.009
.614
.341
.080
-.074
-.017
.104
-.011
.016
.627
.911
.496
.942
.919
-.015
.063
.151
-.151
.099
.751**
.921
.683
.321
.323
.518
.000
-.122
.004
.176
-.018
.059
.924**
.797**
Sig. (2-tailed)
.423
.980
.249
.908
.700
.000
.000
Pearson Correlation
.073
.128
.263
-.063
.429**
-.030
.179
.091
Sig. (2-tailed)
.634
.402
.081
.683
.003
.844
.239
.552
Pendptn_Kapita Pearson Correlation Sig. (2-tailed) LILA
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
TKP
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
TKFe
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
TKE
Kadar_HB
Pearson Correlation
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
1
1
1
1
*
1
1
1
1