BIOAVAILABILITAS KALSIUM DAN ZAT BESI PADA BERBAGAI PROSES PENGOLAHAN SAYUR DAUN TORBANGUN SEBAGAI BAGIAN MENU MAKANAN IBU MENYUSUI
ROMYUN ALVY KHOIRIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi pada Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2011
Romyun Alvy Khoiriyah I 151090151
ABSTRACT ROMYUN ALVY KHOIRIYAH. Bioavailability of Calcium and Iron in Various Cooking Methods of Torbangun Dishes as Part of Diet for Lactating Mothers. Under direction of M. RIZAL M. DAMANIK and LEILY AMALIA. The purpose of this study was to analyze bioavailability of calcium and iron of torbangun dishes in three cooking methods namely boiling, steaming, and stirfrying. The study also aimed to analyze the bioavailability of those minerals in the dishes when combined with carbohydrate and protein food sources namely fried chicken, catfish (Clarias batrachus), or tempe (fermented soybean) using in vitro analysis method. The results of the study showed that there were significant differences among three methods used in this study on the bioavailability of calcium. Further analysis showed that the steaming method had the highest score of calcium bioavailability (p<0,05). In addition, combination of torbangun dishes with carbohydrate and protein sources namely chicken-rice, catfish-rice and tempe-rice showed no significant differences on bioavailability of calcium and iron. Protein in the dishes that cooked with three cooking methods had positive correlation with the bioavailabilty of calcium, while the bioavailability of iron, positive correlation was only shown on the boiling method. Pearson Correlation analysis showed that tannins, oxalate and phytate had negative correlation with calcium bioavailability of the dishes, whereas phytate had negative correlation with the bioavailability of iron only on the boiling and steaming dishes. Key words: torbangun, Coleus amboinicus Lour, cooking methods, bioavailability of calcium and iron
RINGKASAN ROMYUN ALVY KHOIRIYAH. Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi pada Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui. Dibimbing oleh M. RIZAL M. DAMANIK dan LEILY AMALIA. Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Ibu menyusui merupakan salah satu kelompok rawan gizi dan memerlukan zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Banyak ibu yang percaya bahwa mengkonsumsi bahan makanan tertentu dapat meningkatkan sekresi atau produksi air susu ibu yang merupakan kebiasaan turun temurun pada masyarakat Indonesia. Salah satu kebiasaan tersebut yaitu mengkonsumsi daun Torbangun dalam bentuk sayur yang biasa dikonsumsi bersama dengan makanan pokok. Tanaman ini dikonsumsi secara khusus oleh wanita batak yang sedang menyusui yang diyakini dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air susu (ASI) (Damanik et al 2009; Damanik et al 2001) dan dapat meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Manfaat sayur torbangun tersebut selain sebagai laktagogum juga dapat berperan sebagai sayuran sumber kalsium dan zat besi untuk ibu menyusui dikarenakan kandungan kalsium dan zat besi daun torbangun yang cukup tinggi. Konsumsi sayur daun torbangun pada umumnya dikombinasikan dengan sumber makanan pokok lainnya seperti lauk pauk. Sehingga dimungkinkan terjadi interaksi zat-zat gizi baik pada bahan pangan tersebut maupun pada saluran pencernaan. Selain itu, umumnya sayur daun torbangun ini dikonsumsi dengan cara dimasak terlebih dahulu. Beberapa cara pengolahan sayuran yang umum dilakukan adalah dengan cara direbus, dikukus dan ditumis. Sehingga melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun yang diolah dengan cara direbus, dikukus dan ditumis yang masing-masing diwakili oleh sayur lodeh, sayur pecel dan sayur tumis torbangun, serta bagaimana bioavailabilitasnya jika dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein yaitu nasi, daging ayam, ikan lele dan tempe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium sayur daun torbangun dalam bentuk sayur lodeh, sayur pecel dan sayur tumis torbangun berbeda nyata (p<0,05) khususnya sayur pecel torbangun. Sedangkan bioavailabilitas zat besi sayur torbangun dalam ketiga bentuk tersebut tidak berbeda. Rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun paling tinggi adalah yang diolah dengan cara dikukus yaitu sayur pecel torbangun. Demikian juga dengan hasil analisis zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin C dan protein yang paling tinggi terdapat pada sayur pecel Torbangun yang diolah dengan cara dikukus. Hasil analisis ragam ANOVA pada kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein yang terdiri dari ayam nasi, lele nasi dan tempe nasi menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi paling tinggi diperoleh dari kombinasi lele nasi. Sedangkan hasil analisis kandungan zat gizi lain menunjukkan bahwa kandungan protein tertinggi diperoleh dari
kombinasi ayam nasi, diikuti tempe nasi, demikian juga dengan kandungan vitamin C. Berdasarkan hasil analisis ragam pada sayur daun torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein menunjukkan bahwa baik bioavailabilitas kalsium maupun zat besi pada berbagai kombinasi tidak berbeda. Hal ini diduga karena konsumsi sayur daun torbangun bersamaan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein dapat meningkatkan penyerapan zat gizi pada pangan tersebut. Hasil analisis korelasi Pearson kandungan zat gizi lain menunjukkan bahwa kandungan protein dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada kelompok sayur lodeh torbangun, sedangkan pada kelompok sayur pecel dan tumis torbangun hanya pada bioavailabilitas kalsium. Selain itu, kandungan tanin, oksalat dan fitat dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada kelompok sayur lodeh torbangun. Pada kelompok sayur pecel torbangun, kandungan tanin dan oksalat hanya dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium, sedangkan bioavailabilitas zat besi berhubungan dengan kandungan oksalat, fitat dan serat. Pada kelompok sayur tumis torbangun menunjukkan bahwa kandungan tanin dan oksalat hanya berhubungan dengan bioavailabilitas kalsium, dimana kandungan tanin dan oksalat dapat menurunkan bioavailabilita kalsium, sedangkan pada bioavailabilitas zat besi tidak berhubungan dengan kandungan zat lain.
Kata kunci: torbangun, Coleus amboinicus Lour, pengolahan sayuran, bioavailabilitas kalsium dan zat besi
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
BIOAVAILABILITAS KALSIUM DAN ZAT BESI PADA BERBAGAI PROSES PENGOLAHAN SAYUR DAUN TORBANGUN SEBAGAI BAGIAN MENU MAKANAN IBU MENYUSUI
ROMYUN ALVY KHOIRIYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
Nama NIM
: Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi pada Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui : Romyun Alvy Khoiriyah : I 151090151
Disetujui Komisi Pembimbing
Drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSc,PhD Ketua
Leily Amalia, STP, Msi Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Drh. M. Rizal. M. Damanik, MRepSc,PhD
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 31 Oktober 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini adalah tentang penyerapan kalsium dan zat besi sayur daun torbangun dengan judul Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi pada Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc dan Ibu Leily Amalia, STP, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran serta menyediakan waktu di tengah kesibukan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orangtuaku tercinta Bapak Drs. KH. Ahmad Fauzi Effendi dan Ibunda Hj Chamidah, Spd, Bapak Drs. Timan, Mpd dan Ibunda Sujati, Spd atas dukungan, cinta, dan doa. Semoga ini dapat menjadi persembahan terbaik dari ananda 2. Suamiku tercinta Muhammad Taufik Cahyono, S.Kom atas dukungan dan kesabarannya selama adinda belajar di kota yang berbeda 3. Adikku Ahmad Syihab Fahmi QRM, STP yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan. 4. Bapak Mashudi sebagai teknisi laboratorium yang telah memberikan masukan dan arahannya yang sangat berharga 5. Teman-teman di laboratorium A’immatul Fauziyah, Rahmi Khalida, Tien, Panji, Lina, Mahmud, Suprapti, dan semua yang telah memberikan bantuan, motivasi dan saran yang berarti bagi penulis 6. Teman-teman pasca GMS 2009: Bu Any, Eka, Prita, mbak Erny, Zulya, Mbak Yayuk, Mbak Yuni, Dian, Tari, Aris, Pak Ismanto, Pak Ferry, atas kebersamaan dan dukungannya. 7. Teman-Teman Ar-Riyadh: Tari, Lili, Laswi, Nita, Maya, Ziah, Belinda, Ririn, Gita, Pipit, Isna, Firas, Nisa atas semua bantuan, dukungan dan kebersamaannya. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk semua.
Bogor, Desember 2011 Romyun Alvy Khoiriyah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 27 Juni 1983 dari ayah Drs. KH. Ahmad Fauzi Effendi dan Ibu Hj. Chamidah, Spd. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar dijalani dikota kelahiran penulis yaitu pada SD Negeri Mulyorejo II. Sedangkan pendidikan sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas dijalani di kota Jombang pada SLTP Negeri I Bandarkedungmulyo Jombang dan SMU Negeri I Bandarkedungmulyo Jombang. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Brawijaya dengan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian hingga memperoleh gelar Sarjana. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan kembali pendidikan strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xi
PENDAHULUAN ................................................................................ Latar Belakang ............................................................................. Tujuan Penelitian ......................................................................... Hipotesis Penelitian ...................................................................... Manfaat Penelitian .......................................................................
1 1 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... Tanaman Torbangun .................................................................... Gizi Ibu Menyusui ....................................................................... Zat Besi ........................................................................................ Metabolisme Zat Besi ......................................................... Bioavailabilitas Zat Besi ..................................................... Kalsium ......................................................................................... Metabolisme Kalsium ......................................................... Bioavailabilitas Kalsium ..................................................... Faktor Yang Berhubungan dengan Bioavailabilitas Ca dan Fe ..... Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun ................................... Pangan Sumber Karbohidrat: Nasi (Oryzae sativa) ....................... Pangan Sumber Protein ................................................................. Daging Ayam ...................................................................... Ikan Lele ............................................................................. Tempe ..................................................................................
7 7 10 11 13 15 16 17 18 19 22 24 25 25 27 28
METODE PENELITIAN ...................................................................... Waktu dan Tempat ....................................................................... Bahan dan Alat ............................................................................. Analisis Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi .................. Analisis Kadar Kalsium dan Zat Besi ................................... Analisis Tanin ...................................................................... Analisis Oksalat ................................................................... Analisis Fitat ....................................................................... Analisis Serat ....................................................................... Analisis Vitamin C .............................................................. Analisis Kadar Protein ......................................................... Prosedur Penelitian ...................................................................... Analisis Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi .................. Analisis Kadar Kalsium ........................................................ Analisis Kadar Zat Besi ........................................................ Analisis Tanin ......................................................................
31 31 31 31 32 32 32 32 33 33 33 33 33 35 36 36
Analisis Oksalat ................................................................... Analisis Fitat ...................................................................... Analisis Serat ...................................................................... Analisis Vitamin C ............................................................. Analisis Kadar Protein ........................................................ Rancangan Percobaan .................................................................. Analisis Data ................................................................................ Definisi Operasional ....................................................................
37 38 39 40 41 42 43 44
HASIL dan PEMBAHASAN ................................................................ Sayur Daun Torbangun ................................................................ Kandungan Kalsium dan Zat Besi ................................................ Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi ............................. Komponen Zat Gizi Lain ................................................... Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ................... Kandungan Kalsium dan Zat Besi .................................... Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi .............................. Komponen Zat Gizi Lain .................................................. Interaksi Sayur Daun Torbangun dan Kombinasi Pangan ............ Kandungan Kalsium........................................................... Bioavailabilitas Kalsium .................................................. Kandungan Zat Besi........................................................... Bioavailabilitas Zat Besi ................................................... Komponen Zat Gizi Lain .................................................. Sayur Lodeh Torbangun dan Kombinasi Pangan ....... Sayur Pecel Torbangun dan Kombinasi Pangan ......... Sayur Tumis Torbangun dan Kombinasi Pangan ........
47 47 47 47 49 51 51 51 53 54 54 55 56 57 58 58 61 63
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... Kesimpulan.................................................................................... Saran...............................................................................................
67 67 68
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
69
LAMPIRAN ..........................................................................................
77
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun dan Katu .................
9
2.
Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Ibu Menyusui (per Orang per Hari) ...........................................
11
3.
Kandungan Gizi Nasi ..........................................................
24
4.
Kandungan Gizi Daging Ayam ..........................................
26
5.
Kandungan Gizi Ikan Lele ..................................................
28
6.
Kandungan Gizi Tempe Kedelai Goreng ............................
29
7.
Kombinasi Perlakuan Bioavailabilitas Sayur daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein......................
43
Rata-Rata Kandungan Kalsium dan Zat Besi Sayur Torbangun pada Berbagai Proses Pengolahan .......................................
47
Kandungan Zat Lain Sayur Daun Torbangun pada Berbagai Proses Pengolahan................................................
50
8. 9. 10.
Rata-Rata Kandungan Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ......................................... 51
11.
Kandungan Zat Lain Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein .........................................
53
Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Lodeh Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein...........................................................................
59
Korelasi Pearson Kelompok Sayur Lodeh Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein..................................................................................
60
Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Pecel Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein...........................................................................
61
Korelasi Pearson Kelompok Sayur Pecel Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein..................................................................................
62
Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Tumis Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein...........................................................................
63
Korelasi Pearson Kelompok Sayur Tumis Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein..................................................................................
64
12.
13.
14.
15.
16.
17.
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Tanaman Torbangun ...........................................................
7
2.
Diagram Alir Penelitian .....................................................
46
3.
Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Sayur Daun Torbangun............................................................................
48
Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ...........................
52
Rata-Rata Kadar Kalsium Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein ......
54
Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein.......
55
Rata-Rata Kadar Zat Besi Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein ......
57
Bioavailabilitas Zat Besi Interaksi Sayur Daun Torbangun dan Kombinasi Pangan Karbohidrat dan Protein ...............
58
4. 5. 6. 7. 8.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Bioavailabilitas Kalsium Sayur Torbangun ............................
77
2.
Bioavailabilitas Zat Besi Sayur Torbangun .............................
78
3.
Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ..........................................................
79
Bioavailabilitas Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein............................................................
80
Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat Dan Protein..........................
81
Bioavailabilitas Zat Besi Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein...........................
82
7.
Korelasi Pearson Kelompok Sayur Lodeh Torbangun ............
83
8.
Korelasi Pearson Kelompok Sayur Pecel Torbangun...............
84
9.
Korelasi Pearson Kelompok Sayur Tumis Torbangun .............
85
10.
Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium dan Zat Besi Sayur Torbangun Pada Berbagai Proses Pengolahan ...............
86
Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein...............
87
Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium Sayur Daun Torbangun dengan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ..
88
Analisis Ragam Anova Kandungan Zat Besi Sayur Daun Torbangun dengan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ..
89
Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Lodeh Torbangun .....................................................................
90
Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Pecel Torbangun .......................................................................
91
Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Tumis Torbangun .....................................................................
92
Prosedur Pengolahan Sayur Daun Torbangun..........................
93
4. 5. 6.
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
PENDAHULUAN Latar Belakang Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI eksklusif. Selanjutnya ASI diteruskan hingga berusia 2 tahun dengan penambahan makanan lunak/padat yang disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup dalam jumlah maupun mutunya (WHO 2002). Ibu menyusui merupakan salah satu kelompok rawan gizi dan memerlukan zat gizi dalam jumlah yang relatif besar, karena pada saat menyusui ibu sedang mengalami pemulihan, menstruasi, disamping memenuhi kebutuhan gizi bagi bayi yang sedang disusui juga untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya sendiri. Selain itu, pada saat ibu menyusui, ibu mengalami banyak kehilangan zat-zat gizi mikro maupun makro seperti zat besi dan kalsium yang dikeluarkan melalui ASI. Ibu menyusui perlu mendapatkan perhatian asupan makanan yang baik untuk pemenuhan zat gizi di dalam tubuhnya. Zat gizi tersebut selain untuk memenuhi kandungan zat gizi pada air susu ibu, juga untuk menjalankan fungsi fisiologis pada tubuh ibu. Apabila kebutuhan gizi ibu menyusui tidak diperhatikan dengan baik, maka keadaan seperti ini memungkinkan ibu mudah menderita berbagai penyakit defisiensi yang akut. Seringkali ibu-ibu yang menyusui anaknya terlihat pucat, lesu dan kurus (Moehji 1991). Meskipun ibu menyusui dianjurkan untuk mengonsumsi suplemen untuk memenuhi kebutuhan gizinya, akan tetapi seringkali ibu tidak patuh dalam mengkonsumsinya. Untuk itu cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan ibu menyusui akan zat gizi adalah dengan mengkombinasikan beraneka sumber makanan yang secara alami menyediakan zat gizi mikro maupun makro. Banyak ibu yang percaya bahwa mengonsumsi bahan makanan tertentu dapat meningkatkan sekresi atau produksi air susu ibu yang merupakan kebiasaan turun temurun pada masyarakat Indonesia. Salah satu kebiasaan tersebut adalah mengonsumsi daun torbangun dalam bentuk sayur yang biasa dikonsumsi bersama dengan makanan pokok. Tanaman ini dikonsumsi secara khusus oleh
2
wanita Batak yang sedang menyusui dan diyakini dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air susu (ASI) (Damanik 2009; Damanik et al 2001) dan dapat meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Selain berkhasiat sebagai lactagogum, masyarakat Batak juga meyakini khasiat daun torbangun sebagai pembersih rahim ibu yang baru melahirkan (uterine cleansing agent), penambah tenaga (tonikum), pengurang rasa nyeri (analgesik), penawar racun (antimikroba/antibakteri) dan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti sariawan dan batuk (Damanik et al 2004). Selain dari manfaat tersebut, daun torbangun diketahui juga mengandung lebih banyak kalsium, zat besi total dibandingkan dengan daun Katuk, dimana kalsium dan zat besi pada daun torbangun segar masing-masing sebesar 273,86 mg/100 gr dan 21,37 mg/100 gr (Devi 2009). Menurut Hardinsyah et al (2004), angka kecukupan gizi ibu menyusui pada wanita dewasa untuk kalsium adalah sebesar 950 mg/orang/hari, dan zat besi sebesar 35 mg/orang/hari. Menurut AKE kebutuhan konsumsi sayuran untuk ibu menyusui dalam sehari adalah sebesar 350 gram. Maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi daun torbangun sebanyak 350 gram per hari dapat mencukupi seratus persen kebutuhan kalsium dan zat besi ibu menyusui menurut jumlah ketersediaannya. Sehingga apabila secara tradisional bagi ibu yang mengonsumsi daun torbangun sebagai sayuran sehari-hari selama menyusui, maka selain memberi manfaat untuk peningkatan kualitas dan kuantitas ASI, sayuran tersebut juga bermanfaat sebagai salah satu sumber mineral kalsium dan zat besi yang diperlukan oleh ibu menyusui. Konsumsi sayur daun torbangun sebagai bagian dari makanan pokok tak terlepas dari kombinasi dengan sumber makanan pokok lainnya. Pada umumnya menu makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah makanan yang mengandung pangan sumber karbohidrat dan protein dalam porsi yang lebih besar dibandingkan dengan pangan sumber vitamin dan mineral yaitu sayuran dan buahbuahan. Adanya kombinasi konsumsi pangan sayur daun torbangun bersamaan dengan makanan pokok lainnya menyebabkan kemungkinan terjadinya interaksi antar zat gizi dari masing-masing pangan tersebut. Interaksi dapat terjadi antara zat gizi dengan zat gizi yang lain, atau zat gizi dengan zat anti gizi. Selain itu,
3
interaksi antar zat gizi juga dapat terjadi dalam bahan pangan itu sendiri, serta pada saluran pencernaan. Semua hasil interaksi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi hasil akhir penyerapan zat gizi oleh tubuh, dimana dalam kajian penelitian ini akan secara spesifik membahas tentang interaksi mineral kalsium dan zat besi pada sayur daun torbangun dengan zat gizi lain terhadap bioavailabilitasnya. Karena adanya berbagai macam zat gizi yang dapat berinteraksi pada bahan pangan, maka perlu dilakukan penelitian tentang pemanfaatan sayur daun torbangun terhadap kombinasi dengan pangan sumber karbohidrat seperti nasi dan pangan sumber protein hewani (daging ayam, ikan) dan protein nabati seperti tempe. Sehingga dapat diperoleh informasi tentang zat gizi dan anti gizi yang berinteraksi baik didalam bahan pangan maupun selama proses pencernaan yang dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi khususnya kalsium dan zat besi yang sangat diperlukan bagi ibu menyusui. Pada masyarakat umumnya jenis proses pengolahan yang dilakukan pada sayuran juga beragam, sehingga untuk dapat memberikan hasil penelitian yang dapat mewakili masing-masing jenis proses pemasakan tersebut dan pengaruhnya terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun maka peneliti juga memberikan perlakuan terhadap metode pemasakan sayur yang bervariasi yaitu dengan cara direbus, dikukus dan ditumis. Menurut Lowe (1963), pada sayuran, adanya proses pemanasan dapat menyebabkan rusaknya dinding sel sayuran yaitu selulosa dan hemiselulosa yang mengakibatkan zat besi yang bersifat larut, keluar dari sel tanaman dan masuk ke dalam cairan pemasak. Proses penyerapan zat gizi juga dipengaruhi oleh kondisi pencernaan pada masing-masing
individu
yang
bervariasi.
Meskipun
demikian,
dengan
mempertimbangkan efisiensi teknis, untuk dapat memberikan gambaran secara umum hasil interaksi antara sayur daun torbangun dengan sumber makanan pokok lainnya, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode in vitro, dimana kondisi pencernaan pada setiap orang dianggap sama. Menurut Roig et al (1998) metode pengukuran bioavailabilitas secara in vitro merupakan simulasi dari sistem pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal dalam kondisi yang tetap.
4
Tujuan Konsumsi sayur daun torbangun pada ibu menyusui telah dilakukan secara turun-temurun dan terbukti dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI, selain itu kandungan mineral kalsium dan zat besi pada sayur daun torbangun juga cukup tinggi, maka perlu dilakukan adanya pengkajian terhadap hasil interaksi zat gizi dari sayur daun torbangun yang dikonsumsi sebagai bagian dari menu makan ibu menyusui, dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menganalisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun dengan berbagai cara pengolahan (direbus, dikukus, ditumis) 2. Menganalisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi pangan sumber karbohidrat yang dikombinasikan dengan pangan sumber protein tanpa sayur daun torbangun 3. Menganalisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun dengan berbagai cara pengolahan yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein 4. Menganalisis kandungan zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin C dan kadar protein yang diduga berhubungan dengan bioavailabilitas kalsium dan zat besi
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1.
Terdapat perbedaan bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun dengan berbagai cara pengolahan
2.
Terdapat perbedaan bioavailabilitas kalsium dan zat besi dari sayur daun torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein
3.
Terdapat hubungan antara kandungan zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin C dan kadar protein dengan bioavailabilitas kalsium dan zat besi
5
Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran bagi masyarakat secara umum maupun ibu menyusui tentang manfaat yang bisa diperoleh dari mengonsumsi sayur daun torbangun, selain untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI, juga sebagai sayuran yang dapat menyumbangkan mineral kalsium dan zat besi yang diperlukan oleh ibu menyusui serta bagaimana penyerapan sayur daun torbangun jika dikombinasikan bersama makanan pokok lainnya.
6
7
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Torbangun merupakan suatu tanaman jenis perdu, yang memiliki batang tebal, berdaging lunak, dan agak berkayu dengan cabang-cabang yang mencapai ketinggian satu meter. Pada bagian batang terdapat ruas-ruas yang bila menyentuh tanah, maka bisa keluar akar pada bagian tersebut. Torbangun umumnya ditanam di kebun-kebun di daerah dataran rendah dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Batang torbangun memiliki karakteristik lunak dan berair, sementara daun torbangun berwarna hijau muda, berbentuk lonjong serta bergerigi kasar dan tebal. Daun torbangun memiliki bau yang khas dan bermanfaat untuk pengobatan. Pengembangbiakan tanaman ini dapat dilakukan dengan cara stek dan dapat ditanam dalam pot maupun ditanam langsung di tanah. Torbangun tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan mengandung cukup air atau tidak terlalu kering (Tanaman Obat Indonesia 2005). Asal usul tanaman torbangun ini tidak diketahui secara pasti, namun torbangun dikenal sebagai tanaman tahunan di daerah tropis, hidup di dataran rendah hingga ketinggian kira-kira 1100 m di atas permukaan laut. Batangnya berbentuk bulat dan sedikit berambut dan pada kakinya seringkali agak seperti kayu. Jarang berbunga (warnanya ungu putih) namun mudah sekali dibiakkan dengan stek dan cepat berakar didalam tanah (Heyne 1987).
Gambar 1 Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Daun torbangun (coleus amboinicus Lour) memiliki daun tunggal berwarna hijau dengan ukuran panjang 6-7 cm, lebar 5-6 cm. Daging daun torbangun tebal
8
dan letak satu daun berhadapan dengan daun yang lainnya. Daun torbangun memiliki tangkai dan berbentuk bulat telur berujung runcing dengan tepian bergerigi. Tulang daun nampak menonjol seperti jala dan jika diremas daun akan mengeluarkan aroma yang khas (Tanaman Obat Indonesia 2005). Daun torbangun merupakan salah satu sumber bahan pangan yang secara turun temurun dipercaya oleh ibu-ibu suku Batak di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki khasiat sebagai menstimulasi produksi air susu ibu menyusui (Laktagogum). Masyarakat Batak khususnya Batak Karo biasa mengkonsumsi sayur daun torbangun untuk menu sehari-hari dan terutama disajikan untuk ibu yang baru melahirkan. Daun torbangun dikonsumsi secara khusus oleh wanita batak yang sedang menyusui yang diyakini dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air susu (ASI) (Damanik 2009; Damanik et al 2001) dan dapat meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Selain berkhasiat sebagai lactagogum, masyarakat Batak juga meyakini khasiat daun torbangun sebagai pembersih rahim ibu yang baru melahirkan (uterine cleansing agent), penambah tenaga (tonikum), pengurang rasa nyeri (analgesik), penawar racun (antimikroba/antibakteri) dan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti sariawan dan batuk (Damanik et al 2004). Disamping itu hasil suatu penelitian menunjukkan bahwa konsumsi daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam ASI serta mengakibatkan peningkatan berat badan bayi secara nyata (Damanik et al 2005). Daun torbangun juga dapat dijumpai di hampir semua daerah di Indonesia dengan penamaan yang berbeda. Di Sumatera Utara selain nama torbangun, masyarakat juga menyebutnya sebagai daun Jinten, daun Hati-hati, atau Sukan. Orang Sunda di Jawa Barat menamakannya Ajeran atau Acerang, di Jawa dikenal sebagai daun Kucing sedangkan di Madura dikenal sebagai Majha Nereng atau daun Kambing. Masyarakat Bali menyebutnya sebagai Iwak, sedangkan masyarakat Timor menyebutnya Kumuetu. Pada keadaan segar, helaian daun torbangun bertekstur tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol sehingga membentuk bangunan menyerupai jala, permukaan atas berbungkul-bungkul,
9
berwarna hijau muda dan kedua permukaan berambut halus berwarna putih. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol (Depkes RI 1989). Komposisi kandungan kimia daun torbangun secara ilmiah juga belum banyak diketahui. Beberapa yang sudah pernah diteliti oleh Dr. Boorsma (Heyne 1987, Depkes RI 1989) dan Mardisiswojo et al (1985) menunjukkan bahwa dalam daun torbangun terdapat banyak kalium (6,46 persen dari berat kering pada K2O) dan minyak atsiri (0,043 persen pada daun segar atau 0,2 persen daun kering). Menurut Heyne (1987), dari 120 kg daun segar terdapat sekitar 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopopyl-O-kresol) dan atas dasar hal tersebut daun torbangun dianggap sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun torbangun juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al 2000). Selain itu, menurut Mardisiswojo et al (1985) daun dan buah torbangun mengandung zat lemak dan protein. Komposisi zat gizi daun torbangun menunjukkan bahwa dalam 100 g daun torbangun, kandungan kalsium, besi dan karoten total lebih tinggi dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun torbangun dan daun katuk disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun dan Katuk dalam 100 g Berat Basah Komposisi Zat Gizi Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Hidrat arang (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Phosfor (mg) Besi (mg) Karoten total (µg) Vitamin A (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Berat dapat dimakan (%) Sumber : (Devi 2009)
Daun Torbangun 27 1.3 0.6 4.0 1.0 1.6 273.86 40 21.37 13288 0 0.16 5.1 92.5 66
Katuk 59 6.4 1.0 9.9 1.5 1.7 233 98 3.5 10020 0 0 164 81 42
10
Manfaat lain dari daun torbangun adalah dapat dimasak sebagai sayur ataupun sebagai lalapan. Di pulau Jawa, daun torbangun seringkali digunakan untuk memberi aroma tajam pada masakan daging kambing. Selain itu daun ini juga bermanfaat sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian ditempelkan pada daerah luka, atau dibuat jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan (Heyne 1987). Di daerah China Penisula, jus daun torbangun dengan ditambahkan gula, seringkali digunakan sebagai obat batuk untuk anak-anak. Di Indo China, daun torbangun seringkali dimanfaatkan sebagai obat asma dan bronkitis (Burkill 1996). Di Malaysia daun torbangun juga dimanfaatkan untuk jamu-jamuan yang direbus dan diberikan setelah melahirkan (Burkill 1996). Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa daun torbangun memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.
Gizi Ibu Menyusui Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI eksklusif. Selanjutnya ASI diteruskan hingga berusia 2 tahun dengan penambahan makanan lunak/padat yang disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup dalam jumlah maupun mutunya (WHO 2002). Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik dan alamiah untuk bayi. Produksi ASI yang cukup dipengaruhi oleh konsumsi makanan ibu menyusui yang harus dapat memenuhi kebutuhan ganda. Selain untuk memenuhi kebutuhan ibu juga untuk produksi ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi baru lahir karena ASI mengandung gizi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan bayi. ASI juga mengandung antibodi yang dapat melindungi bati dari infeksi dan penyakit tertentu (Soetjiningsih, 1997). Pada saat menyusui ibu harus makan makanan yang cukup agar mampu menghasilkan ASI yang cukup bagi bayinya, memulihkan kesehatan setelah melahirkan dan memenuhi kebutuhan gizi yang meningkat karena kegiatan seharihari yang bertambah. Ibu menyusui memerlukan zat gizi dan minuman lebih banyak daripada saat hamil, banyaknya makanan ibu menyusui disesuaikan
11
dengan kebutuhan gizi ibu (Depkes RI, 2005). Prinsip makanan ibu menyusui sama dengan makanan wanita dewasa hanya jumlah lebih banyak dan mutunya lebih baik. Kebutuhan gizi ibu menyusui meningkat dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Bila sebelum menyusui kebutuhan energi dan protein perempuan usia 19-29 tahun sebesar 1.900 kkal dan 50 g per hari, pada waktu menyusui kebutuhannya akan meningkat menjadi 2.400 kkal dan 67 g per hari pada enam bulan pertama, serta 2.450 kkal dan 67 g per hari pada enam bulan kedua. Demikian juga dengan kebutuhan zat-zat gizi lain, juga akan meningkat selama menyusui. Kebutuhan lemak ibu menyusui disesuaikan dengan kebutuhan energi, yaitu seperlima dari total kebutuhan energi (Kurniasih, 2010). Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Ibu Menyusui (per Orang per Hari) Kelompok Energi Protein Vit C Ca Fosfor Umur (th) (kkal) (g) (mg) (mg) (mg) Wanita: - 19 – 29 1900 50 75 800 600 - 30 – 49 1800 50 75 800 600 Menyusui: - 0 – 6 bln +500 +17 +25 +150 +0 - 7 – 12 bln +550 +17 +25 +150 +0 Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004)
Besi (mg)
Seng (mg)
26 26
9,3 9,8
+6 +6
+4,6 +4,6
Kuantitas makanan untuk ibu menyusui lebih besar dibanding dengan ibu hamil, karena metabolisme meningkat akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi tinggi untuk kebutuhan diri sendiri dan produksi ASI (Depkes RI, 2005). Kecukupan gizi ASI juga dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi ibu. Makanan bagi ibu menyusui harus beragam untuk menjamin konsumsi yang cukup akan protein, bermacam vitamin, dan makanan yang mengandung gizi essensial lainnya (Perinasia, 1990).
Zat Besi Zat besi (Fe) merupakan zat gizi mikro yang essensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan mengangkut elektron dalam sel. Selain itu zat besi berperan dalam proses
12
sintesis enzim yang mengandung zat besi yang dibutuhkan dalam pemanfaatan oksigen selama proses produksi energi seluler (Linder 1992). Selain itu, zat besi merupakan salah satu komponen penyusun hemoglobin. Jika tubuh kekurangan zat besi (defisiensi zat besi), maka pembentukan hemoglobin akan terhambat yang berakibat pada terhambatnya pembentukan sel darah merah. Selanjutnya timbullah anemia akibat kekurangan zat besi yang disebut sebagai anemia defisiensi zat besi (Wijayakusumah 2007). Daging pangan hewani lengkap dengan residu darah dan sel-sel ototnya, pada umumnya kaya akan zat besi dalam bentuk heme yang bersifat lebih tersedia bagi tubuh bila dibandingkan dengan zat besi anorganik dan zat besi dalam bahan nabati (Linder 1992). Bioavailabilitas zat besi dalam bahan pangan nabati relatif rendah. Senyawa-senyawa lain yang kemungkinan terkandung dalam bahan nabati antara lain asam fitat yang terdapat pada biji-bijian, tanin dan oksalat yang terdapat didalam teh dan beberapa sayuran berdaun hijau, serta pektin yang banyak terdapat pada buah-buahan. Zat besi memiliki kemampuan untuk berubah bentuk antara dua keadaan ionik. Dalam keadaan tereduksi, besi kehilangan dua buah elektron sehingga mempunyai dua buah muatan positif. Besi dalam keadaan tereduksi disebut besi ferro (Fe2+). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga buah elektron sehingga memiliki tiga muatan positif. Besi dalam keadaan teroksidasi disebut besi ferri (Fe3+). Karena dapat berada dalam keadaan ionik yang berbeda maka besi dapat berfungsi sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi (Whitney et al 1998). Di dalam bahan pangan, terdapat dua macam zat besi yang berpengaruh terhadap mekanisme penyerapan (absorpsi), yaitu zat besi heme dan non heme. Zat besi heme berasal dari bahan pangan hewani terutama hemoglobin dan mioglobin. Sedangkan zat besi non-heme berasal dari serealia, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan serta beberapa bahan pangan hewani seperti telur dan produk-produk susu (Halberg 1981). Zat besi heme dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk kompleks besi porfirin. Jumlah zat besi heme yang diabsorpsi lebih tinggi dibandingkan dengan zat besi non heme. Monsen (1988) mengemukakan bahwa zat besi heme dapat
13
diabsorpsi sebesar 15-35 persen, sedangkan zat besi non-heme hanya sekitar 2-20 persen. Pada umumnya 50 persen dari total zat besi dalam daging, ikan serta ayam berada dalam bentuk heme, dan selebihnya dalam bentuk non heme. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, zat besi non heme sebagian besar berasal dari bahan pangan nabati. Informasi mengenai bentuk kimia zat besi pada bahan pangan nabati masih sangat sedikit. Beberapa diantaranya yang telah diketahui adalah senyawa fitat monoferik yang merupakan bentuk utama zat besi dalam gandum, dan fitoferritin yang ditemukan dalam kacang-kacangan (Latunde and Neale 1986). Suhardjo dan Kusharto (1992) menyatakan bahwa pada umumnya dalam bahan pangan nabati, zat besi berada dalam bentuk ikatan ferri, sedangkan dalam bahan pangan hewani berada dalam bentuk ikatan ferro. Zat besi yang berbentuk ferri oleh HCL didalam lambung direduksi menjadi ferro yang lebih mudah diserap oleh sel-sel mukosa usus. Bentuk ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+) bersifat sukar larut dalam pH netral. Lambung yang mempunyai pH rendah menyebabkan Fe3+ dapat berdisosiasi dan bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul rendah, seperti fruktosa, asam askorbat, asam sitrat, dan asam-asam amino untuk membentuk senyawa kompleks yang memungkinkan zat besi tetap bersifat larut pada pH netral dengan adanya cairan usus. Zat besi heme diserap terutama di bagian duodenum, sedangkan zat besi non heme juga diserap di daerah jejenum usus halus (Skikne 1988).
Metabolisme Zat Besi Zat besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan zat besi yang diserap dari saluran pencernaan (Winarno 1997). Sel-sel darah merah yang telah tua didegradasi oleh retikulum endoplasma yang berlangsung terutama dalam organ hati dan ginjal. Secara cepat zat besi yang dibebaskan dari hemoglobin dan profirin akan terikat pada protein transferin dan ferritin serum plasma. Transferin berfungsi untuk mentransfer zat besi kembali ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin atau ke bagian tubuh yang
14
memerlukan, sedangkan ferritin akan dikirim langsung ke organ hati (Linder 1992). Ferro dioksidasi menjadi ferri di dalam sel mukosa, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung zat besi yaitu ferritin. Untuk masuk ke plasma darah, zat besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk akan kembali lagi kedalam fungsi semula. Zat besi ferro didalam plasma dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat zat besi yaitu transferin. Besi yang ada dalam protein heme harus dibebaskan terlebih dahulu melalui pencernaan protein sehingga gugus heme terlepas. Proses ini terjadi di dalam lumen duodenum. Selanjutnya besi dalam gugus heme ini dibebaskan dari protoforfirin dengan bantuan enzim hemoksigenase yang memecah cincin porfirin (Fairbanks 1999). Mekanisme penyerapan zat besi non heme dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu 1) tahap intraluminal dimana makanan dicerna oleh asam lambung (gastrik) dan enzim pankreatin dan besi dilepaskan dalam bentuk larutan, 2) tahap mukosa dimana zat besi diambil oleh sel mukosa dan diangkut pada sisi serosal atau disimpan sebagai ferritin, dan 3) tahap corporeal, dimana zat besi diambil oleh transferin dalam plasma pada sisi serosa sel mukosa dan dibawa ke hati dan jaringan hemopoitetik (Latunde and Neale 1986). Plasma darah disamping menerima zat besi yang berasal dari penyerapan makanan, juga menerima zat besi dari simpanan (hati, limpa, dan sumsum tulang belakang), pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Sebaliknya plasma harus mengirim zat besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, juga ke sel endotelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung zat besi. Jumlah zat besi yang diganti (turnover) sebanyak 30-40 mg/hari dan dari jumlah itu hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Suhardjo dan Kusharto 1992). Selanjutnya dikatakan pula, bahwa banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg/hari. Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial, sumsum tulang, hati dan limpa.
15
Ekskresi zat besi dari tubuh sebanyak 0,5-1,0 mg/hari, dikeluarkan bersama urin, keringat dan feses. Disamping itu zat besi dalam bentuk hemoglobin juga dapat diekskresikan dari dalam tubuh melalui pendarahan dan menstruasi (Suhardjo dan Kusharto 1992).
Bioavailabilitas Zat Besi Latunde dan Neale (1986), menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi diartikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh kebutuhan gizi seseorang, kecukupan sekresi enzim pencernaan dan interaksi berbagai macam komponen dalam bahan pangan yang berperan dalam pelepasan zat besi. Faktor yang terakhir dapat berupa faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi juga kandungan zat besi dan bentuk kimianya. Kebutuhan zat besi seseorang berbeda-beda. Umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis (kehamilan dan menyusui, masa bayi dan remaja), status zat besi individu, dan penyakit dapat mempengaruhi kebutuhan zat besi seseorang. Wanita membutuhkan zat besi lebih banyak daripada pria karena wanita mengalami kehilangan besi selama menstruasi dan membutuhkan lebih banyak besi saat hamil dan menyusui (Halberg 1988). Dalam keadaan defisiensi, seseorang akan menyerap zat besi dari makanan lebih banyak dibandingkan dengan orang lain yang memiliki status besi normal (Husaini et all, 1989). Absorpsi besi non heme dapat meningkat sampai sepuluh kali bila tubuh kekurangan besi atau karena kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan (Almatsier 2001). Zat besi dalam tubuh hanya dapat diserap dalam bentuk ferro (Fe2+). Akan tetapi selama pencernaan, valensi zat besi non heme (Fe3+) dapat berubah dan membentuk kompleks zat besi dengan ligan makanan seperti asam askorbat, fitat, tanin dan oksalat. Bioavailabilitas zat besi ditentukan oleh tingkat afinitas setiap ligan terhadap zat besi dan kelarutan kompleks ligan zat besi (Allen et al 1997). Zat besi heme dan non heme juga memiliki perbedaan dalam bioavailabilitasnya. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi, yaitu sekitar 15-30 persen, karena diserap secara utuh dalam cincin profirin dan tidak terekspos ligan-ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Zat besi
16
non heme dalam bahan pangan masuk ke dalam pool yang mudah dipertukarkan (exchangeable pool). Pool ini menyebabkan adanya efek dari ligan-ligan pendorong dan penghambat, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu hanya 2-20 persen besi non heme yang dapat diserap, tergantung pada ligan dan status besi seseorang (Hallberg 1988).
Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5 – 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1,3 kg. Dari jumlah ini, 99% berada didalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit 3Ca3(PO4)2Ca(OH)2. Hidroksiapatit merupakan kristal mineral yang terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi kalsium fosfat dan kalsium hidroksida. Kristal mineral ini terbentuk melalui proses klasifikasi matriks tulang yang terdiri atas serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh (Almatsier 2001). Mervyn (1989) menyatakan bahwa kalsium merupakan makroelemen logam yang terdapat dalam skeleton dan gigi (1100 g) dan sisanya (10 g) berada dalam sel-sel syaraf, otot dan darah. Fungsi kalsium didalam tubuh antara lain berperan dalam pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi biologik dan berperan dalam kontraksi otot (Almatsier 2001). Menurut Winarno (1997), disamping berperan dalam pembentukan trombin dan proses penggumpalan darah, kalsium juga diperlukan dalam proses penyerapan vitamin B12 serta bermanfaat dalam struktur dan fungsi membran. Kebutuhan kalsium dapat dicukupi dengan mengkonsumsi bahan pangan sumber kalsium. Bahan makanan yang kaya akan kalsium adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan es krim. Selain itu, ikan, serealia, kacang-kacangan tahu dan tempe serta sayuran hijau juga merupakan sumber kalsium yang baik (Almatsier 2001). Kalsium diabsorpsi dari usus melalui pengangkutan aktif, yaitu melewati suatu perbedaan konsentrasi dengan suatu proses yang membutuhkan energi. Vitamin D dibutuhkan untuk pengangkutan aktif tersebut (Olson et all 1988).
17
Lebih lanjut Muchtadi et al (1993) menjelaskan bahwa absorpsi kalsium terjadi terutama di dalam duodenum dan jejunum. Penyerapan ini terjadi pada pH 6. kurang lebih sebanyak 0,5 g kalsium hilang dan disimpan kembali dalam tulang setiap harinya. Menurut Weaver et al (1999), kehilangan kalsium dari tubuh dapat melalui urin, feses dan keringat. Kehilangan kalsium melalui urin mencapai 100-200 mg per hari, melalui feses mencapai 100-120 mg per hari, dan melalui keringat hanya 16-24 mg, tetapi mencapai 100 mg per hari untuk orang yang bekerja berat. Konsentrasi kalsium dan feses berhubungan dengan intake kalsium. Sebagian besar kalsium pada feses adalah kalsium yang tidak dapat diserap dan hanya sejumlah kecil yang diekskresi dalam tubuh setelah absorpsi, sedangkan sisanya dibuang melalui keringat.
Metabolisme Kalsium Kurang lebih sebesar 20% kalsium diserap dari asupan kalsium 800 mg/hari. Kalsium diabsorpsi melalui duodenum dan jejenum proksimal oleh protein pengikat kalsium yang disintesis sebagai respon terhadap kerja 1,25dihidroksikolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D3). Absorpsi dihambat oleh senyawa-senyawa yang membentuk garam-garam kalsium yang tidak larut (Martin et al 1987). Kalsium tulang tersebar di antara: a) pool (cadangan) yang relatif tidak berubah/stabil, yang tidak dapat digunakan untuk pengaturan jangka pendek keseimbangan kalsium; dan b) pool yang cepat dan berubah, yang terlibat dalam kegiatan metabolisme kalsium (kurang lebih 1% kalsium tulang). Komponen yang dapat berubah ini dapat dianggap sebagai cadangan yang menumpuk bila makanan cukup kalsium. Cadangan kalsium ini terutama disimpan pada bagian ujung tulang panjang dalam bentuk kristal yang dinamakan trabekula dan dapat dimobilisasi
untuk
memenuhi
kebutuhan
yang
meningkat
pada
masa
pertumbuhan, kehamilan dan menyusui. Kekurangan konsumsi kalsium untuk jangka panjang menyebabkan struktur tulang yang tidak sempurna. Tulang senantiasa berada dalam keadaan dibentuk dan diresorpsi (diserap kembali). Sintesis tulang dominan pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui. Pada orang
18
dewasa kedua proses berada dalam keadaan seimbang dimana kurang lebih 600 hingga 700 mg kalsium dipertukarkan tiap hari (Almatsier 2001). Kalsium dalam tulang merupakan sumber kalsium darah. Walaupun makanan kurang mengandung kalsium, konsentrasinya dalam darah akan tetap normal (Almatsier 2001). Konsentrasi kalsium plasma dikontrol oleh kombinasi daya kerja dari hormon paratiroid (PTH), kalsitonin dan metabolit-metabolit aktif vitamin D. Dalam cakupan konsentrasi kalsium plasma 4-10 mg/dl, kadar PTH merupakan kebalikan dari kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium plasma sekalipun dalam jumlah kecil akan mengakibatkan kenaikan sekresi PTH, yang kemudian merangsang resorbsi tulang secara aktif. PTH juga merangsang perubahan vitamin D menjadi metabolit yang paling aktif yaitu 1,25dihidroksivitamin D yang bekerja secara sinergis dengan PTH untuk meningkatkan resorbsi tulang. Sistem hormonal vitamin D ini juga terlibat dalam homeostatis kalsium plasma melalui perannya dalam merangsang absorpsi kalsium di usus. Bila kadar kalsium plasma meningkat lebih dari 9,5 mg/dl, jumlah kalsitonin yang dilepaskan meningkat secara proporsional dan menurunkan sekresi PTH yang mengakibatkan turunnya produksi 1,25-(OH)2D3 (Schuette et al 1998).
Bioavailabillitas Kalsium Walaupun bahan makanan mengandung berbagai mineral untuk keperluan tubuh, namun tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium dapat diartikan sebagai jumlah kalsium yang tersedia dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Semakin tinggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan semakin efisien absorpsi kalsium (Almatsier 2001). Secara umum, bioavailabilitas kalsium dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berkaitan dengan keadaan fisiologis individu seperti umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, genetik, status gizi, efisiensi absorpsi dan interaksi metabolisme dalam tubuh. Faktor ekstrinsik berkaitan dengan makanan, seperti perlakuan pengolahan dan pemasakan, daya
19
cerna makanan, keanekaragaman pangan, kelarutan zat gizi, interaksi sinergisme dan antagonisme dengan zat gizi lain dalam makanan yang berpengaruh terhadap penyerapan (O’dell et al 1997). Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium dan zat besi, yakni secara in vitro ataupun in vivo. Metode in vivo mengukur absorpsi zat gizi pada manusia atau hewan. Adapun metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal pada kondisi tetap (Roig et al 1998). Prinsip pengukuran bioavailabilitas metode in vitro adalah teknis dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis digunakan untuk untuk memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil berdasarkan sifat membran semi permeabel yang meloloskan molekul-molekul kecil dan menahan molekul besar (Gilmore 2002). Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam usus, namun tidak dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat dibandingkan dengan metode in vivo. Hal ini dikarenakan pada metode in vitro enzim yang digunakan hanya dua jenis, yaitu pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Pada pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya terdapat dua enzim dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in vitro. Meskipun demikian, metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis dan lebih murah. Metode in vitro juga memungkinkan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Gueguen et al 2000).
Faktor yang Berhubungan dengan Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Faktor pendukung bioavailabilitas zat besi terutama adalah asam askorbat dan suatu faktor yang belum diketahui didalam bahan pangan daging, ikan dan ayam (Meat-fish-poultry=MFP factor) (Latunde and Neale 1986). Asam askorbat
20
sebagai bahan pereduksi akan melindungi zat besi dari pembentukan ferri hidroksida yang tidak larut. Selain itu, asam askorbat dapat membentuk kelat Feaskorbat yang tetap larut meskipun terjadi kenaikan pH dalam sistem pencernaan usus halus. Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat bioavailabilitas zat besi hanya terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Tidak ada pengaruh pemberian asam askorbat selama empat atau enam jam setelah mengkonsumsi makanan terhadap bioavailabilitas zat besi (Cook 1977 dalam Monsen 1988). Dikatakan pula oleh Monsen (1988) bahwa asam askorbat jika dikonsumsi bersamaan dengan daging dapat memperkuat penyerapan zat besi sebesar 3-6 kali. Meskipun demikian, asam askorbat yang telah mengalami oksidasi hampir tidak lagi mempunyai efek memperkuat bioavailabilitas zat besi (Monsen 1988). Asamasam organik lain yang juga dapat memperkuat bioavailabilitas zat besi diantaranya adalah asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat (Latunde and Neale 1986). MFP factor dapat memperkuat bioavailabilitas zat besi, yang diduga karena adanya suatu faktor dalam bahan pangan yang dapat bereaksi (counteracting) dengan faktor-faktor yang dapat menghambat bioavailabilitas zat besi, seperti fitat atau ion-ion hidroksi (Lee and Gregor 1983). Menurut Almatsier (2001), faktor yang mendorong penyerapan kalsium adalah vitamin D dalam bentuk aktif. Vitamin D akan meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium. Laktosa juga meningkatkan absorpsi bila tersedia enzim laktase dalam jumlah yang cukup. Protein di dalam makanan yang dikonsumsi juga mempengaruhi absorpsi kalsium. Garam kalsium lebih banyak larut didalam larutan asam amino daripada air. Penyerapan kalsium akan meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein. Namun demikian, ekskresi kalsium melalui urin juga akan meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein (Muchtadi dkk 1993). Komponen yang termasuk sebagai penghambat, kebanyakan membentuk kelat dengan zat besi yang bersifat tidak larut. Komponen tersebut antara lain asam fitat, tanin, asam oksalat, kalsium dan fosfor. Mertz et al (1987) menyatakan
21
bahwa senyawa polifenol yang terdapat pada teh dan kopi dapat menghambat bioavailabilitas zat besi, dimana tanin teh lebih berpotensi sebagai inhibitor. Penelitian pengaruh oksalat terhadap bioavailabilitas zat besi ternyata menunjukkan hasil yang kadang-kadang berlawanan. Pertama kali dilaporkan oleh Forth dan Rummel (1973) dalam Latunde and Neale (1986) bahwa asam oksalat merupakan penghambat yang potensial terhadap bioavailabilitas zat besi. Penelitian Gordon et al 1984 dalam Latunde and Neale (1986) menunjukkan bahwa komponen serat dari gandum dan jagung mengikat zat besi secara in vitro, namun penambahan serat dedak gandum pada roti dengan kandungan fitat yang sama tidak berpengaruh terhadap bioavailabilitas zat besi pada tikus. Lignin dan hemiselulosa menghambat bioavailabilitas zat besi pada manusia, sedangkan pektin dan selulosa menunjukkan pengaruh yang berlawanan. Sedangkan faktor yang menghambat penyerapan kalsium diantaranya adanya oksalat dan asam fitat akan membentuk kalsium oksalat dan kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi. Keberadaan asam fitat akan membentuk kompleks dengan mineral yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2001). Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5 yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses. Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10% (Gropper et al 2005). Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Almatsier (2001) juga menyatakan bahwa serat juga menurunkan absorpsi kalsium, karena serat menurunkan waktu transit makanan dalam saluran pencernaan sehingga mengurangi kesempatan untuk absorpsi. Ekskresi kalsium juga dapat meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein. Oleh karena itu, konsumsi protein yang berlebihan secara terus menerus juga dapat meningkatkan resiko osteoporosis dan penyakit batu ginjal (Muchtadi
22
dkk 1993). Konsumsi kafein juga dilaporkan dapat menungkatkan kehilangan kalsium melalui urin (Abdulla et al 1987).
Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun Pada dasarnya tujuan pemasakan adalah untuk melunakkan selulosa dan hemiselulosa sehingga lebih mudah dicerna, mengubah zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan menjadi bentuk yang tersedia bagi tubuh, menambah dan mengubah cita rasa, memperbaiki warna tekstur serta membunuh organisme patogenik dan menghilangkan zat-zat yang terdapat pada bahan makanan mentah (Peckham et al 1969). Disamping itu pemasakan dapat merusak zat gizi makanan. Hal ini disebabkan karena zat gizi tersebut peka terhadap pH pelarut, oksigen, cahaya dan panas atau kombinasinya (Harris et al 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi zat gizi sayuran pada saat pemasakan adalah metode pemasakan, lama dan suhu pemasakan, volume air, ukuran sayuran, dan reaksi dengan media pemasak (Lowe 1963). Soedarmo dan Sediaoetama (1977) mengemukakan bahwa kehilangan zat gizi dapat terjadi karena pemasakan, dan sayur yang dipotong kecil-kecil. Lund (1977) dalam Yahya (1990) menyatakan bahwa perebusan dengan air menyebabkan pemasakan lebih merata, karena sayuran berhubungan langsung dengan panas yang dihasilkan oleh air mendidih sehingga mengakibatkan dinding parenkhim dan kromoplas cepat mengalami kerusakan dan proses osmosa. Keadaan ini mengakibatkan zatzat gizi keluar dari sayuran dan larut dalam cairan pengolah. Bender (1978) menemukan bahwa hilangnya zat besi akibat pemasakan adalah sekitar 32%, sedangkan Lowe (1963) menemukan kehilangan zat besi sebesar 20-30 persen. Kehilangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh larutnya besi kedalam air yang digunakan dalam proses pemasakan. Wilmot and Batjer (1978) menyatakan bahwa pemasakan tidak akan merubah kandungan zat besi sayuran, sehingga kehilangan zat besi selama pemasakan adalah melalui cara terlarut dalam cairan pemasak. Zat besi yang terlarut dalam cairan pemasak disebabkan proses leaching zat besi dari sel tanaman. Pemasakan akan menyebabkan tekstur sayuran menjadi lunak. Hal ini terjadi karena protein dalam sitoplasma dan membran sel terdenaturasi sehingga sifat permeabilitas selektifnya
23
hilang. Akibat keluar masuknya air yang tidak legal secara osmosis melainkan secara difusi (Yahya 1990). Volume cairan yang digunakan dalam pemasakan sayuran berbanding lurus dengan tingkat leaching zat besi. Pemasakan sayuran yang direbus dengan santan merupakan macam pemasakan dengan tingkat leaching tertinggi, dibandingkan dengan pemasakan sayuran yang direbus dengan air. Selain itu alat masak yang digunakan juga berpengaruh terhadap tingkat leaching zat besi sayuran (Hardinsyah 1982). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternyata secara eksplisit proses leaching zat besi dipengaruhi oleh pemanasan, pemasakan sayuran dengan santan, lemak atau minyak dan derajat keasaman cairan pemasak (pH). Klorofil yang terkandung dalam sayuran bersifat larut dalam lemak, dengan demikian klorofil akan larut dalam santan. Larutnya klorofil dalam santan akan merusak membran kloroplas yang mengakibatkan cairan enzim dan mineral lebih mudah keluar dan melepaskan ikatan dari asosiasi dalam kloroplas. Disamping itu lemak yang dikandung santan kelapa merupakan lemak tak jenuh yang mudah teroksidasi membentuk asam lemak bebas yang akan mempengaruhi keasaman cairan pengolah. Cairan pengolah yang semakin asam akan mengakibatkan peningkatan intensitas kerusakan pada dinding sel sayuran (Sukarni dan Kusno 1980). Metode pemasakan dengan cara merebus dapat menurunkan kadar vitamin C bahan pangan karena stabilitas vitamin C dalam cairan pemasak menjadi lebih rendah (Combs 1992). Menurut Muchtadi dan Astawan (1989) bahwa sayuran yang direbus mengalami kehilangan vitamin C lebih besar daripada sayuran yang dikukus. Perebusan dengan air menyebabkan pemanasan bahan, dalam hal ini sayuran, lebih merata karena bahan berhubungan langsung dengan panas yang dihasilkan dari air mendidih, yang mengakibatkan dinding sel parenkim dan kromoplas cepat mengalami kerusakan dan terjadi proses osmosa. Keadaan ini mengakibatkan vitamin C keluar dari sel sayuran dan melarut dalam cairan pengolah. Selanjutnya vitamin C ini akan lebih mudah teroksidasi oleh panas (Yahya 1990).
24
Pangan Sumber Karbohidrat: Nasi (Oryza sativa) Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting, terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, pemberian nama padi juga untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serelia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras. Selama ini beras lebih dikenal sebagai bahan pangan sumber energi, bukan sebagai sumber vitamin A, mineral besi, seng, dan asam amino yang penting bagi kesehatan, khususnya anak-anak. Penelitian pemuliaan padi saat ini telah sampai pada pemanfaatan gen-gen yang berkaitan dengan vitamin dan mineral yang telah berhasil mengembangkan padi kaya besi dan padi kaya beta karoten sebagai sumber vitamin A (Cantrell and Hettel 2002). Karbohidrat umumnya merupakan sumber energi utama pada makanan. Bentuk karbohidrat yang dapat dicerna dalam bahan pangan umumnya adalah pati dan berbagai jenis gula seperti sukrosa, fruktosa, dan laktosa, sedangkan selulosa, pektin dan hemiselulosa tersedia dalam jumlah yang cukup tetapi tidak tercerna. Agar dapat diserap dalam tubuh, alat pencernaan menghidrolisa berbagai bentuk polimerik dari karbohidrat menjadi monomerik glukosa, yang merupakan monomerik utama karbohidrat yang dapat digunakan secara langsung sebagai sumber energi dalam seluruh bagian tubuh. Kelebihan glukosa yang tidak diperlukan diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam hati dan jaringan otot, atau diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adiposa (Haryadi 2006). Tabel 3 Kandungan Gizi Nasi per 100 gram Komposisi Zat Gizi
Jumlah
Air (g) 56.7 Energi (kkal) 180 Protein (g) 3 0.3 Lemak (g) Karbohidrat (g) 39.8 Serat (g) 0.2 Kalsium (mg) 25 Fosfor (mg) 27 Zat besi (mg) 0.4 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008)
25
Sebagian terbesar bahan pangan pokok penduduk dunia merupakan hasil dari tanaman yang berpati, meliputi padi-padian, umbi-umbian dan beberapa jenis buah. Berdasarkan evolusi, secara garis besar dapat dengan mudah dibedakan tiga cara utama pengolahan pangan pokok, diantaranya yaitu 1) orang kulit putih umumnya mengolah padian berupa gandum rye menjadi roti, 2) orang kulit kuning dan orang Asia umumnya mengolah padian berupa beras butiran hanya dengan menanaknya, yaitu memanaskan bersama air menjadi nasi, 3) meliputi pembuatan pasta atau bubur dari semua sumber pangan berpati lainnya dengan cara mengaduk campuran tepung berpati tersebut kedalam air mendidih hingga membentuk pasta yang kental (Haryadi 2006). Distribusi kadar abu dalam beras pecah kulit adalah 15% dalam dedak, 10% dalam lembaga, 11% dalam bekatul, dan 28% dalam beras giling. Distribusi P, Fe, dan K menunjukkan kesamaan dengan distribusi abu total. Beberapa mineral lainnya seperti Na dan Ca menunjukkan distribusi yang lebih merata dalam biji. Pada beras giling, 63% kandungan Na dan 74% kandungan Ca diperkirakan berada dalam beras pecah kulit. Walaupun demikian, sebagian besar mineral seperti halnya vitamin dan lipida, terdapat dalam bagian luar biji, terutama di lapisan aleuron dan lembaga. Makin ke bagian tengah, kandungan mineral makin menurun (Damardjati 1988). Sebagian besar mineral dalam abu beras yang terdiri atas P, Mg, dan K terdapat dalam jumlah yang cukup besar pada abu beras pecah kulit dan beras giling. Di samping itu juga terdapat Ca, Cl, Na, Si, dan Fe. Fosfor dan K merupakan mineral utama dalam beras pecah kulit, disusul oleh Si dan Mg (Damardjati 1988).
Pangan Sumber Protein Daging Ayam Broiller Ayam potong atau ayam ras pedaging yang lebih populer disebut broiler, adalah ternak ayam yang cepat pertumbuhannya, ekonomis dalam pengolahannya sehingga memberi kepuasan kepada konsumen (Whinter et al 1960). Menurut Siregar dkk (1982) ayam broiler adalah ayam yang berumur di bawah delapan minggu dengan daging yang empuk dan lembut.
26
Daging ayam merupakan daging yang memiliki nilai gizi tinggi, dapat disajikan dengan mudah dan cepat, rendah kalori serta disukai oleh sebagian besar orang. Zat gizi yang terdapat dalam daging ayam adalah karbohidrat, mineral berupa sodium, potasium, magnesium, kalsium, zat besi, fosfor, slfur dan yodium, serta vitamin berupa vitamin A, niacin, riboflavin, thiamin dan asam askorbat (Mountney 1983). Smith dan Walter (1967) menambahkan, kandungan vitamin yang terdapat pada daging unggas terdiri dari vitamin A,B,D,E,K dan sedikit vitamin C. Perbedaan daging ayam dengan daging ternak lainnya terletak pada komposisi kandungan protein dan lemak yang ada pada daging tersebut. Pada daging ayam, sebagian besar lemak berada pada bagian bawah kulit dan setelah proses pemasakan hanya mengandung 1,3 % lemak. Tabel 4 Kandungan Gizi Daging Ayam Segar per 100 gram Komposisi Zat Gizi Jumlah Energi (kal) 298 Protein (g) 18.2 Lemak (g) 25 Vitamin A (SI) 243 Vitamin B (mg) 0.8 Vitamin C 0 Kalsium (mg) 14 Fosfor (mg) 200 Zat Besi (mg) 1.5 Air (%) 55.9 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008) Forrest et al (1975) menambahkan bahwa nilai kalori pada daging ayam sangat rendah, pada daging ayam kandungan kalorinya adalah 200 kal per 100 g daging sementara pada ayam petelur kalorinya bernilai lebih tinggi yaitu 268 kal per 100 g daging. Sumber kalori daging secara umum diperoleh dari lemak, protein dan sedikit karbohitdrat. Karbohidrat pada daging ayam kebanyakan terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kadar glikogen kurang dari 1% dan asam laktat sebagai hasil utama glikolisis glikogen pada fase post mortem dan ketika ayam sekarat. Kandungan protein pada unggas cukup tinggi dibandingkan dengan hewan ternak lainnya. Menurut Mountney (1983), kandungan protein daging unggas masak sekitar 25–35%. Daging unggas memiliki kualitas protein yang tinggi dan
27
mempunyai seluruh asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh. Pada daging ayam terdapat tiga kelompok protein, yaitu protein sarkoplasma, protein serabut otot dan protein jaringan ikat (Pearson dan Tauber 1984). Protein–protein ini berfungsi menahan daya ikat air pada jaringan yang akan membentuk jaringan yang rigid selama pemanasan (Haam 1981). Protein pada daging ayam memiliki kualitas tinggi yang kaya akan asam amino esensial dibandingkan dengan hewan selain unggas dan mudah dicerna serta diserap oleh tubuh (Muchtadi 1993).
Ikan Lele (Clarias batrachus) FAO (1995) mendefinisikan ikan sebagai organisme yang hidup di air. Kelompok organisme yang dikelompokan sebagai ikan adalah ikan bersirip (finfish), krustasea, moluska, binatang air lainnya dan tanaman air. Ikan termasuk kelas Pisces yang merupakan kelas terbesar dalam golongan vertebrata (Djuwanah 1996). Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Budidaya Ikan lele berkembang pesat dikarenakan dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah dan modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah. Klasifikasi Ikan lele menurut Sunarma (2004) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Pisces
Sub class
: Teleostei
Ordo
: Ostariophyci
Subordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Species
: Clarias sp
Ikan lele memiliki bentuk tubuh memanjang dan kulit yang licin serta tidak bersisik. Di Indonesia, Ikan lele memiliki beberapa nama daerah, antara lain: Ikan
28
Kalang di Padang, Ikan Maut di Gayo dan Aceh, Ikan Pintet di Kalimantan Selatan, Ikan Keling di Makasar, Ikan Cepi di Bugis, serta Ikan lele atau Lindi di Jawa Tengah. Ikan lele merupakan jenis ikan yang digemari masyarakat, dengan rasa yang lezat, daging empuk, duri teratur dan dapat disajikan dalam berbagai macam menu masakan. Tabel 5 Kandungan Gizi Ikan Lele per 100 gram Komposisi Zat Gizi Air (g) Protein (g) Lemak (g) Natrium (mg) Kalium (mg) Kalsium (mg) Magnesium (mg) Fosfor (mg) Klor (mg) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin B (mg) Sumber: Holland et al 1997
Jumlah 80.1 17.6 2.8 95 280 20 27 180 110 0.5 2.1 7.2
Ikan lele banyak digemari karena rasa daging yang khas dan lezat. Selain itu, kandungan gizi pada setiap ekornya cukup tinggi, yaitu protein (17-37%); lemak (4,8%); mineral (1,2%) yang terdiri dari garam fosfat, kalsium, zat besi, tembaga dan yodium; vitamin (1,2%) yaitu vitamin B kompleks yang larut dalam air dan vitamin A, D dan E yang larut dalam lemak (Khairuman dan Amri 2006). Ditinjau dari aspek gizi, ikan merupakan bahan pangan sumber protein yang cukup potensial dan dapat dibandingkan dan disejajarkan dengan bahan pangan hewani lain seperti daging, unggas, telur dan susu.
Tempe Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi biji kedelai atau beberapa bahan lain, menggunakan beberapa spesies kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), Rh. Arrhizus, Mucor rouxii dan mucor javanicus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe". Starter tempe adalah bahan yang mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelai rebus menjadi tempe akibat
29
tumbuhnya jamur tempe pada kedelai dan melakukan kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah karakteristiknya menjadi tempe (Brown et al 1988). Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan fisik maupun kimianya. Protein kedelai dengan adanya aktivitas kapang proteolitik akan diuraikan menjadi asam-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Adanya peningkatan dari nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang baik berkisar antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih mudah dicerna. Selama proses fermentasi, karbohidrat dan protein akan dipecah oleh kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan bau langu dari kedelai dapat dihilangkan (Suliantri dan Rahayu 1990). Kacang kedelai mengandung sejenis enzim, yaitu enzim anti tripsin yang bekerja dalam menghambat aktivitas tripsin dalam usus untuk mencerna protein, tetapi enzim ini tidak aktif bila dipanaskan. Umumnya kedelai tidak digunakan dalam bentuk kedelai segar tetapi diolah terlebih dahulu sehingga menjadi bahan makanan lain yang memiliki nilai gizi tinggi seperti halnya tempe. Keuntungan dari tempe sebagai bahan makanan adalah karena tempe lebih mudah dicerna dan rasanya lebih enak (Suprapti 2003). Tabel 6 Kandungan Gizi Tempe Kedelai Goreng per 100 gram Kandungan Gizi
Nilai Air (g) 36.8 Energi (kkal) 350 Protein (g) 24.5 Lemak (g) 26.6 Karbohidrat (g) 10.4 Serat (g) 4.2 Kalsium (mg) 202 Fosfor (mg) 296 Zat besi (mg) 4.9 B.d.d (%) 100 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008) Tempe memiliki banyak manfaat. Selain memiliki kandungan serat tidak larut yang tinggi dan protein, tempe juga mengandung zat antioksidan berupa karoten, vitamin E, dan isoflavon. Itulah sebabnya tempe sering disebut-sebut sebagai bahan makanan yang dapat mencegah kanker (Wardlaw 1999).
30
Isoflavon merupakan senyawa antioksidan yang terdapat dalam kedelai dan tempe. Isolate kedelai mengandung isoflavon yang dapat menurunkan kolesterol LDL dan menaikkan kolesterol HDL dibandingkan dengan pemberian kasein. Penurunan kolesterol LDL dan meningkatnya kolesterol HDL kemungkinan juga dapat disebabkan pengaruh senyawa antioksidan isoflavon, yang terdapat di dalam tempe maupun kedelai (Marsono et al 1997 dalam Deliani 2008). Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah mineral besi, tembaga dan zink berturut-turut adalah 9,39; 2,87 dan 8,05 mg/100 g tempe. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang dapat menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium dan zink) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh (Hidayat et al 2006).
31
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2011.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) yang digunakan sebagai sayuran sumber kalsium dan zat besi. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan pangan yang digunakan sebagai menu makanan dari sumber karbohidrat yaitu nasi, serta makanan sumber protein hewani daging ayam broiler, ikan lele dan sumber protein nabati tempe. Bagian daging yang digunakan pada ayam broiler adalah bagian paha ayam dan dan dada ayam, sedangkan ikan lele yang digunakan adalah ikan lele yang tidak terlalu tua, dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Bahan-bahan lain yang ditambahkan pada proses pemasakan sayur daun torbangun dapat dilihat pada Lampiran 14, 15 dan 16. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian disajikan di bawah ini sesuai dengan jenis analisis yang dilakukan.
Analisis Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi adalah HCl 1N, air bebas ion, HCl 0,1N, pepsin (Sigma P-7000), pankreatin (sigma P-1750), ekstrak bile (Sigma B-8631), NaHCO3, asam trikloro asetat, hidroksil amonium hidroklorida, HCl pekat, bathophenantroline disulfonic acid sodium salt (Sigma B-1375), dan natrium asetat 2M. Alat-alat yang digunakan untuk analisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi adalah wadah untuk merendam peralatan gelas, labu ukur (25 ml, 250 ml, 500 ml), pipet mohr, pipet volumetrik, gelas ukur (100 ml, 250 ml), timbangan, cawan pengabuan, blender, pH meter, botol gelas, erlenmeyer, tabung reaksi, botol semprot, buret, gelas pengaduk, plastik, karet hisap, karet gelas, benang, kantung
32
dialisis (Spectrapor I, 6000-8000 MWCO (Fisher No. 08-670C)), freezer, gunting, penangas air, pengaduk vortex, sentrifuge, tabung sentrifuse.
Analisis Kadar Kalsium dan Zat Besi Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kadar kalsium dan zat besi adalah H2SO4, HNO3, dan aquades. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah labu Kjeldhal, erlenmeyer 50 ml, kompor listrik, kertas whatman 42, dan spektrofotometer.
Analisis Tanin Bahan yang digunakan untuk analisis kadar tanin adalah 1,0 ml supernatan, aquades, FeCl3 0,1 M, 0,3 ml K3Fe(CN)6 0,008 M sedangkan alat yang digunakan adalah spektrofotometer Spectronic 20D+, tabung reaksi ukuran 18 x 150 mm.
Analisis Oksalat Bahan yang digunakan pada analisis oksalat adalah air destilat, 10 ml HCl 6 N, 0,1 g asam tungstofosfat dan amonia. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah gelas piala 100 ml, penangas air, labu ukur 50 ml, kertas whatman No.41 dan No.40, erlenmeyer 50 ml, buah labu ukur 25 ml, refrigerator, tabung sentrifuse, dan spektrofotometer Spectronic 20D+.
Analisis Fitat Bahan yang digunakan pada analisis fitat adalah 50 ml asam klorida 1,2%, natrium sulfat 10%, air suling bebas ion, endapan ferri-fitat, larutan natrium sulfat 2,5%, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, H2O2, asam klorida 3 N, 0,5 ml larutan hidroksilamin klorida dan 2,5 ml larutan buffer asetat. Sedangkan alat yang digunakan adalah timbangan digital, erlenmeyer 125 ml, alat pengocok, kertas saring Whatman No.2, erlenmeyer 50 ml, penangas air, tabung sentrifuse dengan kecepatan 1000 rpm, labu ukur 500 ml, tabung reaksi dan spektrofotometer Spectronic 20D+.
33
Analisis Serat Bahan yang digunakan pada analisis fitat ini adalah petroleum eter, buffer natrium fosfat pH 6, 0,1 ml enzim Termamyl, air destilata, NaOH, HCl, pepsin, pankreatin, 2 x 10 ml aseton, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml etanol 78%. Sedangkan alat yang digunakan adalah gilingan laboratorium, saringan 0,3 mm, timbangan digital, erlenmeyer, pengaduk, aluminium foil, penangas air, crucible (porositi 2), kompor listrik, desikator,
Analisis Vitamin C Bahan yang digunakan pada analisis vitamin C ini adalah asam oksalat kristal, aquades, vitamin C murni, dan larutan "dye". sedangkan alat yang digunakan adalah timbangan digital, mortar, labu ukur 250 ml, kertas saring erlenmeyer, pipet volume dan alat titrasi.
Analisis Kadar Protein Bahan yang digunakan pada analisis ini adalah CuSO45H2O, K2SO4 dan HgO, 6 ml asam sulfat, larutan H3BO3 3%, asam borat, HCl standard 0,02 N dan indikator metil red. sedangkan alat yang digunakan adalah labu kjeldhal, pipet tetes, dan alat titrasi.
Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental. Perlakuan yang dilakukan adalah dengan mengkombinasikan tiga jenis perlakuan sayur daun Torbangun yang dimasak dengan cara direbus, dikukus dan ditumis yang masing-masing kemudian dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein yaitu nasi putih, daging ayam, ikan lele dan tempe. Prosedur pengolahan sayur daun torbangun dapat dilihat pada Lampiran 17. Analisis Bioavailabilitas Kalsium dan Fe (Roig, et al 1999) Preparasi sampel: Semua peralatan gelas dicuci dan direndam dalam larutan HNO3 10% (v/v) selama 24 jam dan dibilas dengan air bebas ion sebelum digunakan. Selanjutnya
34
sampel ditimbang setara 2 g protein dan dicampur dengan 100 ml air bebas ion. Lalu ditambahkan HCl 6M hingga sampel memiliki pH 2. Sampel kemudian dibagi ke dalam tiga botol gelas berukuran 250 ml. Botol gelas pertama diisi dengan 40 g aliquot sampel untuk penentuan keasaman titrasi. Botol gelas kedua diisi dengan 40 g aliquot sampel untuk penentuan persen mineral. Botol gelas ketiga diisi dengan 10 g aliquot sampel untuk penentuan kadar mineral kalsium dan zat besi total dengan menggunakan AAS. Penetapan sampel: Mula-mula ditambahkan 3 g larutan suspensi pepsin dan 20 ml air bebas ion pada masing-masing botol gelas. Masing-masing botol gelas kemudian ditutup dengan plastik yang telah dilubangi untuk mengeluarkan gas lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 37oC dengan kecepatan 5 rpm (120 stroke/menit) selama 2 jam. Botol gelas pertama ditambahkan 5 g campuran pankreatin bile lalu dititrasi dengan KOH 0,4N sampai diperoleh pH 7,5. Jumlah KOH yang ditambahkan equivalen dengan jumlah NaHCO3. Selanjutnya sejumlah NaHCO3 dengan konsentrasi yang diperoleh dari hasil titrasi sampel dengan KOH diencerkan dengan air bebas ion pada labu ukur 100 ml sampai tanda tera, lalu diambil 25 ml untuk dimasukkan ke dalam kantung diálisis. Botol gelas kedua yang diisi dengan 40 g aliquot sampel untuk penentuan persen mineral disiapkan. Kantung diálisis dimasukkan ke dalam botol gelas kedua sehingga kantung diálisis terendam sempurna. Botol gelas kedua lalu ditutup dengan plastik dan diinkubasi selama 30 menit. Selanjutnya ditambahkan 5 g campuran pankreatin bile dan inkubasi dilanjutkan selama 2 jam. Setalah inkubasi selesai, kantung diálisis diangkat dan dibilas dan dicelupkan ke dalam air bebas ion. Salah satu ujung kantung diálisis dibuka dan isinya (dialisat) dituang ke dalam gelas ukur untuk dihitung volumenya. Kandungan (%) kalsium dan zat besi yang tersedia kemudian diukur menggunakan AAS. Botol gelas ketiga yang diisi dengan 10 g aliquot sampel untuk penentuan kadar kalsium dan zat besi total dengan menggunakan AAS ditambahkan 5 ml HNO3 pekat dan H2SO4 pekat dan dipanaskan hingga larut dan tidak berwarna
35
gelap lagi. Lalu ditambahkan 2-3 ml H2O2 30% sampai larutan tidak berwarna (jernih) dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml serta diencerkan hingga tanda tera. Larutan lalu disaring dengan kertas whatman No 42 dan kadar zat besi tersedia diukur dengan AAS pada = 213,9 nm. Perhitungan: 1. Berat sampel setara 2 g protein = (2/kadar protein sampel) x 100
2.
100 x fp x (absorban sampel − absorban blanko) % Ca dan Fe = 1000 x 100% mg sampel
⎛ ⎞ ⎛ 100 ⎞ ⎛ T1( g ) ⎞ ⎛ NaOH (ml) ⎞ ⎟⎟ 3. Kebutuhan NaHCO3 (g) = ⎜⎜ N NaOH x ⎜ ⎟ x 40⎟⎟ x ⎜ ⎟ x ⎜⎜ ⎝ 1000 ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ 20 ⎠ ⎝ T 2( g ) ⎠ 4. Bioavailabilitas Ca dan Fe =
mg Ca / Fe dialisat x 100% mg Ca / Fe sampel yang dianalisis
5. Total Ca dan Fe (mg/100 g) = Ca/Fe sampel (mg/100 g) x (% bioavailabilitas)
Analisis Kadar Kalsium metode Atomic Absorbsion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al, 1989). Preparasi sampel untuk kadar kalsium dilakukan dengan menggunakan pengabuan basah. Sampel yang mengandung 5-10 gram padatan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal. Lalu ditambahkan larutan H2SO4 sebanyak 10 ml dan HNO3 10 ml. Larutan kemudian dipanaskan sampai tidak berwarna gelap dan ditambahkan 10 ml aquades sampai larutan tidak berwarna atau berwarna kuning jernih, lalu panaskan kembali sampai berasap. Larutan dibiarkan sampai dingin kembali dan tambahkan 5 ml aquades, didihkan sampai berasap. Larutan disaring dengan kertas whatman 42 kemudian dibaca dengan menggunakan AAS. Kadar Ca = Keterangan: a = Konsentrasi larutan Blanko (mg/ml) b = Konsentrasi larutan Sampel (mg/ml) v = Volume Ekstrak w = Berat Sampel
( a − b) × V 10 × W
36
Analisis Kadar Zat Besi (Fe) metode Atomic Absorbsion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al, 1989). Preparasi sampel untuk penetapan kadar zat besi dilakukan dengan pengabuan basah. Sampel ditambahkan sebanyak ± 0,2 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 dan 10 ml HNI3, dipanaskan perlahan-lahan sampai larutan tidak berwarna gelap lagi (semua zat organik telah teroksidasi), kemudian ditambahkan aquades hingga tidak berwarna atau menjadi berwarna kuning jernih, dan didihkan sampai berasap. Setelah itu didinginkan dan diencerkan dalam labu takar 100 ml sampai tanda tera, blanko dipersiapkan seperti proses diatas dan juga larutan stadart zat besi. Zat besi =
( abs sampel − abs blanko ) × fp × 100% × 1000 ppm mg sampel
Analisis Kadar Tanin (Sudarmadji et al, 1984) 1. Sebanyak 5 ml bahan ditambahkan dengan 400 ml aquades kemudian didihkan selama 30 menit 2. Setelah didinginkan dimasukkan kedalam labu takar 500 ml dan ditambahkan aquades sampai batas tanda lalu disaring (filtrat I) 3. Filtrat I diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan 25 ml larutan indigokarmin dan 750 ml aquades. Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,1 N sampai warna kuning emas, misalkan diperlukan sebanyak A ml. 4. Filtrat diambil sebanyak 100 ml dan ditambahkan berturut-turut dengan 50 ml larutan gelatin, 100 ml larutan garam asam, 10 g kaolin powder. Selanjutnya digojog kuat-kuat beberapa menit dan disaring (Filtrat II). 5. Filtrat II diambil sebanyak 25 ml, dicampur dengan 25 ml larutan indigokarmin dan aquades 750 ml. Kemudian dititrasi dengan larutan KMnO4 0,1 N. Misal dibutuhkan B ml. 6. Larutan KMnO4 distandarisasi dengan Na-Oksalat. 7. Perhitungan: Kadar Tanin =
(50 A − 50 B ) × N / 01 × 0,00416 100% 5
1 ml KMnO4 0,1 N = 0,00416 g tanin
37
N = Normalitas KMnO4
Analisis Kadar Oksalat (AOAC 1995) Penentuan kadar oksalat yang terkandung dalam sampel diendapkan pada pH tertentu sebagai kalsium oksalat dan kepekatannya diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: 1. Sebanyak 5 g sampel ditimbang kedalam gelas piala 100 ml, ditambahkan 5 ml air destilata dan 10 ml HCl 6 N, kemudian dididihkan selama 15 menit di atas penangas air 2. Setelah dingin contoh dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan volumenya ditepatkan dengan air destilata, dibiarkan semalam 3. Contoh diaduk dan disaring dengan kertas whatman No.41 dan dipisahkan filtratnya sebanyak 30 ml 4. Sebanyak 25 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 50 ml, ditambahkan 0,1 g asam tungstofosfat, diaduk dan dibiarkan lebih dari 5 jam, kemudian disaring melalui kertas whatman No.40 5. Filtrat sebanyak 5 ml dipipet masing-masing ke dalam dua buah labu ukur 25 ml, ditambahkan beberapa tetes amonia hingga mencapai pH 4 – 4,5 dengan menggunakan kertas penunjuk, kemudian ditera dengan menggunakan buffer asetat dan dibiarkan semalam didalam refrigerator 6. Salah satu isi labu ukur dituangkan kedalam tabung sentrifuse, diputar selama 15 menit pada 1700 rpm untuk memisahkan endapannya. Selanjutnya diperiksa persen transmisi cairannya dengan spektrofotometer (a). 7. Labu yang satu lagi dikocok beberapa kali hingga merata, kemudian persen transmisi larutannya dibaca dengan menggunakan spektrofotometer (b). 8. Larutan standart oksalat dibuat dengan konsentrasi 0 – 200 ppm, kemudian setelah dimalamkan dibaca persen transmisinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.
Perhitungan:
38
1. Persen transmisi sampel = 100 + b – a 2. Konsentrasi larutan sampel (ppm) diperoleh dari regresi linear standard dengan persen transmisi sampel 3. Kadar sampel (%) = konsentrasi sampel (ppm) x 0,005 4. Analisis Kadar Fitat (Sulaeman dkk 1994) Sampel bahan seberat ± 1 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 ml tertutup. Kemudian sebanyak 50 ml asam klorida 1,2% dan natrium sulfat 10% ditambahkan pada sampel, kemudian dikocok pada alat pengocok selama 2 jam. Disaring dengan kertas saring Whatman No.2 sebanyak 10 ml fitrat dipipet ke dalam erlenmeyer 50 ml, ditambahkan 10 ml air suling bebas ion dan 10 ml pereaksi ferri klorida 2%. Kemudian didihkan selama 30 menit di atas penangas air sampai terbentuk endapan ferri-fitat, dan didinginkan pada suhu kamar. Selanjutnya dipindahkan secara kuantitatif kedalam tabung sentrifus dan disentrifus selama 20 menit pada kecepatan 1000 rpm. Lapisan atas dipisahkan dan dibuang dari endapan. Endapan dicuci dengan larutan natrium sulfat 2,5% sebanyak dua kali dan disentrifuse kembali. Supernatan dibuang dan selanjutnya ditambahkan 5 ml asam nitrat pekat sampai semua endapan larut, kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 50 ml. Kedalam sampel tersebut ditambahkan 4 tetes asam sulfat pekat dan dipanaskan sampai larutan jernih, kemudian ditambahkan 4 tetes H2O2. Bila gelembung telah berhenti ditambahkan 10 ml asam klorida 3 N. Dipanaskan selama 10 menit, kemudian disaring kedalam labu takar 500 ml dan ditera dengan air bebas ion. Selanjutnya kadar kalsium dan zat besi sampel tersebut ditentukan dengan cara mempipet ekstrak sampel ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml larutan hidroksilamin klorida dan 2,5 ml larutan buffer asetat. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan 2,2-dipiridil, dikocok dan dibiarkan selama 30 menit. Serapannya dibaca pada spektrofotometri dengan panjang gelombang 510 nm. Dibuat juga kurva standard kalsium dan zat besi yang mengandung 0; 5; 1; 15; 20; dan 25 µg kalsium dan Fe/ml dengan perlakuan yang sama seperti pada sampel.
39
Kalsium atau Fe (mg/100 g) =
A1 1 100 × K × fp × × 1000 B A2
Asam fitat (mg/100 g) = Keterangan:
A1
= Serapan sampel
A2
= serapan standard
Fp
= faktor pengenceran
K
= konsentrasi standard
B
= Bobot sampel
660
= BM asam fitat
224
= 4 x BA kalsium atau Fe
660 × % Fe 224
Analisis Kadar Serat (Sulaeman dkk 1994) Penetapan kadar serat kasar makanan dilakukan dengan metode enzimatis sebagai berikut: 1. Sampel basah dihomogenisasi dan difosforilasi. Semua sampel digiling menggunakan blender. 2. Timbang 1 g sampel dan masukkan dalam erlenmeyer. Tambahkan 25 ml 0,1 ml buffer natrium fosfat pH 6 dan diaduk 3. Tambahkan 0,1 ml enzim Termamyl. Tutup erlenmeyer dengan aluminium foil dan inkubasi dalam penangas air pada suhu 100oC selama 15 menit 4. Biarkan dingin. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 1,5 menggunakan HCl 5. Tambahkan 100 mg pepsin, tutup erlenmeyer dan inkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit 6. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 6,8 menggunakan NaOH 7. Tambahkan 100 mg Pankreatin, tutup erlenmeyer dan inkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit 8. Atur pH menjadi 4,5 menggunakan HCl 9. Saring menggunakan crucible (porositas 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung celite kering. Cuci dengan 2 x 10 ml aseton
40
Residu (Serat tak larut) Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan (semalam). Kemudian setelah didinginkan dalam desikator (D1). Abukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I1) Filtrat (Serat larut) Atur volume filtrat menjadi 100 ml. Tambahkan 400 ml etanol 95% hangat o
(60 C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Saring menggunakan Crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0,5 g celite. Kemudian cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 aseton. Keringkan pada suhu 105oC selama semalam (± 8 jam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Abukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Perhitungan: % Serat makanan tidak larut = % Serat makanan larut =
D1 − I1 × 100 W
D2 − I 2 × 100 W
Keterangan : W = Berat sampel D = Berat setelah pengeringan (g) I = Berat setelah pengabuan (g)
Analisis Vitamin C (Sulaeman, dkk., 1994) Prosedur analisis kadar vitamin C dengan menggunakan metode titrimetri adalah sebagai berikut: Pembuatan larutan sampel: Sebanyak 10 g bahan ditimbang dan digerus bersama 10 g asam oksalat kristal didalam mortar dengan menggunakan alat penggerus. Kemudian bahan dimasukkan kedalam labu ukur 250 ml dan ditera dengan air suling. Saring dan tampung fitratnya dalam erlenmeyer bersih dan kering. Setelah itu fitrat dipipet sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml, kemudian dititrasi dengan larutan ”dye” sampai berwarna merah jambu selama 15 detik.
41
Pembuatan larutan standar vitamin C Sebanyak 0,02 g vitamin C murni ditimbang dan ditambahkan dengan 2 g asam oksalat kristal. Masukkan kedalam labu ukur 100 ml dan encerkan dengan air suling sampai tanda tera. Pipet 10 ml dan titrasi dengan larutan ”dye” sampai berwarna merah jambu muda. Tunggu sampai warna tersebut tidak berubah selama 15 detik (jumlah ml larutan dye ini digunakan untuk menentukan ekuivalen vitamin C). Perhitungan: Ekuivalen Vitamin C =
mg vita min C murni mg dye s tan dart
Vitamin C dalam 100 g bahan =
100 × fp × v × E A
Keterangan : Ekuivalen dihitung dalam ml standart terpakai A
= Berat bahan
Fp
= faktor pengenceran
V
= ml larutan ”dye” yang digunakan
E
= ekuivalen vitamin C
Analisis Kadar Protein (AOAC 1995) Kadar protein pada sampel dianalisis dengan menggunakan metode Kjeldahl yang merupakan analisis kadar total N. Prosedur analisisnya adalah yang pertama sejumlah sampel 0,3 g dimasukkan kedalam labu kjeldhal dan ditambahkan dengan katalis (selenium mix ± 0,5 g) secukupnya dan 25 ml H2SO4 pekat. Didestruksi pada suhu tinggi hingga larutan berwarna jernih dan tidak berasap. Dinginkan dan masukkan ke labu Kjedahl yang lebih besar, kemudian tambahkan 2 – 3 tetes indikator metil merah – metil biru. Tambahkan NaOH 30% sampai berwarna hijau, lalu destilasi dengan larutan penampung 20 ml H3BO3. tambahkan 2 – 3 tetes indikator metil merah – metil biru. Diamkan hingga larutan penampung berubah warana hijau, setelah itu ujung alat destilasi dibilas. Titrasi dengan larutan HCl standar hingga berwarna keunguan. %N=
ml contoh x N HCl x fp x 14 x 100% mg contoh
42
% protein = % N x 6,25 (faktor koreksi) Keterangan : fp = faktor pengenceran
Rancangan Percobaan Ada dua faktor yang diteliti dalam penelitian ini yaitu: 1.
Faktor jenis proses pemasakan sayur daun Torbangun yang direbus, dikukus dan ditumis
2.
Faktor kombinasi nasi sebagai sumber karbohidrat dengan tiga macam makanan sumber protein yaitu daging ayam, ikan lele dan tempe Percobaan ini dilakukan dengan dua kali pengulangan. Kombinasi
pengulangan dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan untuk proporsi dari masingmasing perlakuan tidak dimasukkan sebagai perlakuan yang diukur akan tetapi ditetapkan berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) ibu menyusui yaitu sebesar 2400 kkal dalam sehari, dan yang diambil sebagai proporsi adalah AKE per penyajian. Sehingga diperoleh proporsi sayuran di semua level perlakuan adalah sebesar 125 g, nasi 150 g, daging ayam, dan ikan sebesar 35 g, dan tempe 50 g (Kurniasih, dkk., 2010). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan model statistik seperti dibawah ini: Yijk = µ +
i
+
j
+(
)ij +
ijk
Dimana: Yijk
= Bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun Torbangun pengolahan ke-i, kombinasi pangan ke-j, pada ulangan ke-k
µ
(
= Rata-Rata umum
i
= Pengaruh jenis pengolahan sayur daun Torbangun pada taraf ke-i
j
= Pengaruh kombinasi pangan pada taraf ke j )ij = Pengaruh kombinasi jenis pengolahan sayur daun Torbangun pada taraf ke-i, dan kombinasi pangan taraf ke-j
ijk
= Pengaruh galat percobaan jenis pengolahan sayur daun Torbangun taraf ke-i, dan kombinasi pangan taraf ke-j, pada ulangan ke-k.
43
Tabel 7 Kombinasi Perlakuan Bioavailabilitas Sayur daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Faktor I Faktor II Kombinasi Sayur daun Perlakuan Kombinasi Pangan Sumber KH dan Protein Torbangun (DT) Kombinasi Nasi + Daging ayam (NDa) DT1.NDa Sayur DT Direbus Kombinasi Nasi + Ikan lele (NIk) DT1.NIk (DT1) Kombinasi Nasi + Tempe (NTp) DT1.NTp Kombinasi Nasi + Daging ayam (NDa) DT2.NDa Sayur DT Dikukus Kombinasi Nasi + Ikan lele (NIk) DT2.NIk (DT2) Kombinasi Nasi + Tempe (NTp) DT2.NTp Kombinasi Nasi + Daging ayam (NDa) DT3.NDa Sayur DT Ditumis Kombinasi Nasi + Ikan lele (NIk) DT3.NIk (DT3) Kombinasi Nasi + Tempe (NTp) DT3.NTp Keterangan: Faktor I DT1 = Daun Torbangun Direbus DT2 = Daun Torbangun Dikukus DT3 = Daun Torbangun Ditumis
Faktor II NDa = Kombinasi Nasi + Daging Ayam NIk = Kombinasi Nasi + Ikan Lele NTp = Kombinasi Nasi + Tempe
Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA). Bila terdapat pengaruh yang nyata maka perbedaan antar perlakuan akan diuji dengan menggunakan analisis Duncan. Selain itu juga dilakukan analisis korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara kandungan zat-zat gizi lain (tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin C dan kadar protein) yang terkandung didalam sayur daun Torbangun dengan kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi.
44
Definisi Operasional Daun torbangun (Coleus amboinicus L) adalah jenis tanaman yang umum dikonsumsi oleh ibu yang baru melahirkan di daerah Sumatera Utara, khususnya oleh suku Batak yang bermanfaat meningkatkan produksi air susu ibu (ASI). Menu makan ibu menyusui adalah pangan yang dikonsumsi secara bersamaan dengan sayur daun torbangun dalam satu waktu yang terdiri dari lauk-pauk yaitu lauk hewani (daging ayam dan ikan lele) dan pauk nabati (tempe) serta nasi, tidak termasuk susu dan buah. Bioavailabilitas kalsium adalah jumlah kalsium yang tersedia dalam bahan pangan yang dapat diserap oleh lumen usus. Penyerapan kalsium dipengaruhi oleh komponen zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin C dan kadar protein. Bioavailabilitas zat besi adalah adalah jumlah zat besi yang tersedia dalam bahan pangan yang dapat diserap oleh lumen usus. Penyerapan kalsium dipengaruhi oleh komponen zat gizi lain yaitu tanin, oksalat, fitat, serat, vitamin C dan kadar protein. Serat adalah adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, meliputi selulosa, hemiselulosa, pektin, gum dan lignin. Serat diduga dapat menghambat penyerapan kalsium dan zat besi. Vitamin C atau yang biasa disebut sebagai asam askorbat adalah suatu vitamin larut air, sumber utama vitamin C adalah buah-buahan dan saturan segar. Vitamin C diduga dapat meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi. Protein adalah senyawa organik kompleks yang merupakan polimer dari monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Protein diduga dapat mendukung penyerapan kalsium dan zat besi. Perebusan adalah proses pemasakan sayur daun torbangun dengan santan (sebesar 400 ml santan untuk setiap 125 g daun torbangun) dan bumbu rempah-rempah dengan menggunakan resep sayur lodeh. Suhu yang digunakan adalah ± 100°C selama ± 10 menit.
45
Pengukusan adalah proses pemasakan sayur daun torbangun dengan cara disteam dengan suhu yang digunakan adalah ± 85°C selama ± 10 menit. Cara penyajian yang dilakukan adalah dengan penambahan bumbu pecel. Penumisan adalah proses pemasakan sayur daun torbangun dengan cara seperti menggoreng akan tetapi dengan sedikit minyak goreng (2 g untuk setiap 125 g sayur daun torbangun) dan penambahan bumbu rempah-rempah berdasarkan resep masakan tumis sayuran. Sayur Lodeh pada penelitian ini adalah interpretasi dari metode pemasakan daun torbangun dengan cara perebusan, yang diolah dengan cara penambahan santan serta beberapa variasi bumbu. Sayur Pecel pada penelitian ini adalah interpretasi dari metode pemasakan daun torbangun dengan cara pengukusan dan penambahan bumbu yang berasal dari kacang tanah. Sayur Tumis pada penelitian ini adalah interpretasi dari metode pemasakan daun torbangun dengan cara penumisan dan penambahan bumbu sederhana yaitu bawang putih dan bawang merah.
46
Kombinasi pangan karbohidrat dan protein: • Nasi + Daging Ayam (NDa) • Nasi + Ikan Lele (NIk) • Nasi + Tempe (NTp)
Sayur daun Torbangun dengan penyajian: - Direbus (DT1) - Dikukus (DT2) - Ditumis (DT3)
Mixing
Kandungan mineral: - Kalsium - Zat Besi Kandungan Zat Lain: - Tanin - Oksalat - Fitat - Serat - Vitamin C - Kadar Protein
Bioavailabilitas Fe dan Ca dalam kantung dialisis
Gambar 2 Diagram alir penelitian sayur daun Torbangun yang dikombinasikan dengan berbagai kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein
47
HASIL DAN PEMBAHASAN Sayur Daun Torbangun Kandungan Kalsium dan Zat Besi Hasil analisis kadar kalsium dan zat besi pada tiga jenis sayur daun torbangun pada berbagai proses pengolahan yaitu sayur yang direbus (lodeh torbangun), sayur yang dikukus (pecel torbangun) dan sayur yang ditumis (tumis torbangun) dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8 Rata-Rata Kandungan Kalsium dan Zat Besi Sayur Torbangun pada Berbagai Proses Pengolahan Jenis Pengolahan Sayur Lodeh Torbangun Pecel Torbangun Tumis Torbangun
Kadar Kalsium (mg/100 g) 89.19 94.45 92.91
Kadar Zat Besi (mg/100 g) 7.16 7.14 7.33
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata kadar kalsium yang paling tinggi adalah pada sayur yang dikukus (pecel torbangun) sebesar 94.45 mg/100 g, diikuti oleh sayur pecel torbangun sebesar 92.91 mg/100 g dan sayur lodeh torbangun sebesar 89.19 mg/100 g. Sedangkan untuk rata-rata kadar zat besi pada berbagai pengolahan sayur torbangun memiliki kadar yang hampir sama yaitu sebesar 7.16 mg/100 g untuk sayur lodeh torbangun, 7.14 mg/100 g untuk sayur pecel torbangun dan 7.33 mg/100 g untuk sayur tumis torbangun. Menurut hasil analisis sidik ragam ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan pengolahan daun torbangun terhadap kadar kalsium maupun kadar zat besi sayur torbangun pada berbagai proses pengolahan.
Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Penilaian bioavailabilitas kalsium dan zat besi dilakukan pada tiga jenis sayur daun torbangun pada berbagai proses pengolahan direbus, dikukus, dan ditumis. Masing-masing sayur olahan tersebut diwakili oleh jenis sayur lodeh torbangun (L), pecel torbangun (P), dan tumis torbangun (T). Secara umum nilai rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada masing-masing jenis sayur daun torbangun dapat dilihat pada Gambar 3.
48
7.92* 8.00
7.40
Bioavailabilitas (%)
7.00 6.00 4.76
5.00
4.15
4.00 3.00
Kalsium Zat Besi
2.92 2.30
2.00 1.00 0.00 Lodeh
Pecel
Tumis
Jenis Pengolahan Sayur
Gambar 3 Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Sayur Daun Torbangun (*) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa sayur pecel torbangun yang diolah dengan cara dikukus memiliki nilai rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi yang paling tinggi masing-masing sebesar 7.92% dan 7.40% dibandingkan dengan rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi untuk sayur lodeh torbangun sebesar 2.30% dan 2.92%, sayur tumis torbangun sebesar 4.15% dan 4.76%. Hal ini dikarenakan pada proses pengolahan sayur pecel torbangun, hanya dilakukan pengukusan sayur yang tidak melibatkan interaksi antara sayur dengan air maupun minyak goreng seperti pada proses pengolahan sayur lodeh dan tumis. Sehingga mencegah terjadinya kemungkinan hilangnya sebagian zat gizi seperti vitamin dan mineral yang mungkin larut selama proses pemasakan berlangsung. Dari hasil analisis ragam ANOVA diperoleh bahwa bioavailabilitas kalsium pada sayur lodeh torbangun, pecel torbangun dan tumis torbangun menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05), dan jika dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan antara sayur pecel, lodeh dan tumis torbangun yang menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) adalah sayur pecel torbangun dengan nilai bioavailabilitas kalsium paling tinggi yaitu sebesar 7.92%. Sedangkan bioavailabilitas zat besi sayur torbangun menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada berbagai proses pengolahan. Bioavailabilitas kalsium dan zat besi dengan nilai rata-rata tertinggi diperoleh dari sayur pecel torbangun yaitu sebesar 7.92%. Hal
49
ini dikarenakan suhu yang digunakan pada proses perebusan dapat mempengaruhi kandungan vitamin pada makanan khususnya vitamin C yang merupakan faktor pendorong penyerapan mineral, dimana menurut Gilmore (2002) pada proses pengolahan dengan cara direbus dan ditumis, kandungan vitamin C pada sayuran yang dapat membantu meningkatkan bioavailabilitas kalsium dan zat besi juga dapat menurun. Sehingga sayur yang diolah dengan cara direbus dan ditumis memiliki bioavailabilitas kalsium dan zat besi yang lebih rendah. Selain itu juga disebutkan oleh Lowe (1963) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi zat gizi sayuran pada saat pemasakan adalah metode pemasakan, lama dan suhu pemasakan, volume air, ukuran sayuran, dan reaksi dengan media pemasak. Metode pemasakan dengan cara merebus dan menumis dapat menurunkan kadar vitamin C bahan pangan karena stabilitas vitamin C dalam cairan pemasak menjadi lebih rendah (Combs 1992). Menurut Bender (1978) bahwa hilangnya mineral kalsium dan zat besi akibat pemasakan adalah sekitar 32%, sedangkan menurut Lowe (1963) kehilangan zat besi sebesar 20-30%. Kehilangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh larutnya besi kedalam air yang digunakan dalam proses pemasakan. Wilmot and Batjer (1978) menyatakan bahwa pemasakan tidak akan merubah kandungan zat besi sayuran, sehingga kehilangan zat besi selama pemasakan adalah melalui cara terlarut dalam cairan pemasak. Zat besi yang terlarut dalam cairan pemasak disebabkan proses leaching zat besi dari sel tanaman. Pemasakan akan menyebabkan tekstur sayuran menjadi lunak. Hal ini terjadi karena protein dalam sitoplasma dan membran sel terdenaturasi sehingga sifat permeabilitas selektifnya hilang. Akibat keluar masuknya air yang tidak legal secara osmosis melainkan secara difusi (Yahya 1990).
Komponen Zat Lain Selain dilakukan analisis bioavailabilitas kalsium dan zat besi, juga dilakukan analisis terhadap kandungan zat lain yang dimungkinkan berhubungan terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi, seperti kandungan tanin, okslalat, fitat, serat, vitamin C dan kadar protein. Pada Tabel 9 dapat dilihat rata-rata kandungan zat lain pada berbagai pengolahan sayur torbangun.
50
Tabel 9 Kandungan Zat Lain Sayur Daun Torbangun pada Berbagai Proses Pengolahan Jenis Pengolahan Sayur Daun Torbangun Komponen Direbus Dikukus Ditumis Zat Lain (Lodeh) (Pecel) (Tumis) Tanin (%) 1.48 2.36 1.61 Oksalat (mg/ 100 gr) 30.92 58.94 46.57 Fitat (mg/100 gr) 273.06 599.67 445.97 Serat (%) 16.03 31.44 24.16 Vitamin C (mg/100 gr) 118.27 365.66 206.77 Kadar Protein (%) 3.81 14.70 6.96 Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa secara umum kandungan komponen zat lain yang paling tinggi seperti tanin (2.36%), oksalat (58.94 mg/100 gr), fitat (599.67 mg/100 g), serat (31.44%), vitamin C (365.66 mg/100 g) dan protein (14.70%) yang paling tinggi terdapat pada sayur pecel torbangun yang diolah dengan cara dikukus. Sedangkan pada sayur tumis torbangun memiliki kandungan tanin (1.61%), oksalat (46.57 mg/100 g), fitat (445.97 mg/100 g), serat (24.16%), vitamin C (206.77 mg/100 g) dan protein (6.96%) yang lebih tinggi daripada sayur lodeh torbangun. Pada Tabel 8 tersebut juga dapat dilihat bahwa kandungan vitamin C yang paling tinggi terdapat pada sayur pecel torbangun yaitu sebesar 365.66 mg/100 g, diduga karena metode pemasakan dengan cara steaming lebih stabil mempertahankan zat gizi menguntungkan seperti vitamin dan mineral. Proses pemasakan dengan cara perebusan atau penumisan memungkinkan terjadinya kontak secara langsung antara bahan pangan dengan media pemasakan seperti air atau minyak goreng menyebabkan terjadinya pelepasan beberapa zat gizi menjadi larut pada media pemasakan dan terlepas dari matriks protein pada bahan pangan tersebut. Sehingga zat-zat gizi dari proses perebusan dan penumisan lebih kecil kandungannya daripada yang diolah dengan cara dikukus. Seperti yang dijelaskan oleh Gilmore (2002) bahwa proses pemasakan sayuran dengan cara penambahan sejumlah larutan alkali dalam sayuran (boiling) dapat menurunkan kandungan vitamin larut air seperti vitamin B dan vitamin C, mineral serta beberapa senyawa antioksidan.
51
Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Kandungan Kalsium dan Zat Besi Hasil analisis kadar kalsium dan zat besi pada tiga jenis kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein yang terdiri dari ayam-nasi, lele-nasi dan tempe nasi dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Rata-Rata Kandungan Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Jenis Kombinasi Pangan Ayam nasi Lele Nasi Tempe Nasi
Kadar Kalsium (mg/100 g) 40.36 57.25 48.42
Kadar Zat Besi (mg/100 g) 7.31 7.18 7.04
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa rata-rata kandungan kalsium tertinggi diperoleh dari kombinasi lele-nasi sebesar 57.25 mg/100 g, kemudian diikuti oleh tempe-nasi sebesar 48.42 mg/100 g, dan ayam-nasi sebesar 40.36 mg/100 g. Sedangkan rata-rata kandungan zat besi pada berbagai kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein menunjukkan rata-rata yang hampir sama yaitu sebesar 7.31 mg/100 g untuk ayam-nasi, 7.18 mg/100 g untuk lele nasi dan 7.04 mg/100 g untuk kombinasi tempe nasi. Menurut hasil analisis ragam ANOVA menunjukkan bahwa kombinasi yang diberikan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kandungan kalsium dan setelah dilakukan uji lanjut Duncan diketahui bahwa kombinasi lele-nasi berbeda nyata dari ayam-nasi dan tempe-nasi. Sedangkan untuk hasil analisis ragam ANOVA pada kandungan zat besi pada berbagai kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein tidak menunjukkan berbeda nyata.
Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Penilaian bioavailabilitas kalsium dan zat besi juga dilakukan pada kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein yaitu nasi dan pauk hewani serta tempe, sebelum dikombinasikan lagi dengan sayur daun torbangun. Rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada beberapa kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:
52
25.00 21.14
Bioavailabilitas (% )
20.00 15.33
14.31
15.00 10.63 10.00
11.39 9.47
Kalsium Zat Besi
5.00
0.00 Ayam Nasi
Lele Nasi
Tempe Nasi
Gambar 4 Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa bioavailabilitas kalsium paling tinggi diperoleh dari kombinasi lele nasi dengan rata-rata sebesar 14.305%, diikuti dengan tempe sebesar 11.385% dan ayam nasi sebesar 10.625%. Demikian juga dengan bioavailabilitas zat besi yang paling tinggi diperoleh dari kombinasi lele nasi sebesar 21,140% diikuti oleh tempe sebesar 15.330% dan ayam nasi sebesar 9.470%. Berdasarkan hasil analisis ragam ANOVA menunjukkan bahwa rata-rata bioavailabilitas kalsium dan zat besi tidak berbeda nyata (p>0.05) baik pada kombinasi ayam nasi, lele nasi, maupun tempe nasi. Hal ini dimungkinkan karena pada kombinasi pauk hewani dan tempe terhadap nasi tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap bioavailabilitas kalsium maupun zat besi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing kombinasi pangan tersebut memiliki kestabilan penyerapan kalsium dan zat besi yang hampir sama. Kandungan protein sebagai pendorong penyerapan pada pangan hewani juga lebih tinggi daripada pada sayuran, demikian juga pada tempe yang merupakan sumber protein nabati yang baik. Selain itu kandungan zat lain yang dapat menghambat penyerapan mineral seperti tanin dan oksalat juga tidak ditemukan pada pangan nabati, sehingga penyerapan kalsium dan zat besi pada kombinasi pangan tersebut tidak berbeda nyata.
53
Berdasarkan Gambar 4 tersebut juga dilihat bahwa bioavailabilitas zat besi dari kombinasi tempe nasi memiliki nilai yang cukup tinggi setelah ikan lele, dikarenakan terjadi peningkatan kandungan zat besi pada tempe selama proses fermentasi dari 24.29% pada kedelai menjadi 66.51% pada tempe. Selama proses fermentasi terjadi pemecahan protein menjadi asam-asam amino yang lebih sederhana, sehingga zat besi yang membentuk kompleks dengan protein dapat dilepaskan menjadi bentuk zat besi yang larut. Sehingga tempe merupakan sumber zat besi yang baik (Astuti et al 2000). Selain itu, ikan juga memiliki bioavailabilitas kalsium dan zat besi yang lebih tinggi dikarenakan ikan memiliki protein dalam jumlah besar dengan asam amino yang lengkap. Selain itu protein ikan juga merupakan protein yang paling efisien digunakan oleh tubuh dan daya cerna proteinnya tinggi. Hal ini menjadi faktor pendorong penyerapan kalsium dan zat besi karena penyerapan kalsium dan zat besi memerlukan protein, sehingga pangan dengan kandungan protein yang baik dapat meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi yang baik (Hadju et al 1998).
Komponen Zat Lain Analisis kandungan zat lain yang diduga berhubungan dengan bioavailabilitas kalsium dan zat besi juga dilakukan pada kombinasi pangan karbohidrat dan protein yaitu pada kombinasi ayam nasi, lele nasi, dan tempe nasi. Pada Tabel 11 dapat dilihat rata-rata kandungan zat lain pada berbagai kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein. Tabel 11 Kandungan Zat Lain Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Jenis Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Komponen Zat Lain Ayam Nasi Lele Nasi Tempe Nasi Tanin (%) 0.00 0.00 0.00 Oksalat (mg/100 gr) 0.00 0.00 0.00 Fitat (mg/100 gr) 10.24 9.45 10.40 Serat (%) 30.65 24.46 25.98 Vitamin C (mg/100 gr) 10.83 3.86 10.28 Kadar Protein (%) 46.86 28.06 27.59 Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa kandungan tanin dan oksalat pada berbagai kombinasi memiliki nilai yang sangat kecil dan hampir tidak dapat
54
terdeteksi. Hal ini dikarenakan sumber tanin dan oksalat yang paling banyak ditemui adalah terdapat pada tanaman (nabati) (Silanikove et al 2001). Sedangkan pada kombinasi pangan ayam nasi, lele nasi, tempe nasi bukan merupakan jenis pangan sumber tanin dan oksalat. Pada Grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa kandungan vitamin C pada kombinasi tempe nasi dan ayam nasi hampir sama yaitu sebesar 10.28 mg/100 g dan 10.83 mg/100 g. Sedangkan kandungan protein paling tinggi ditemukan pada kombinasi ayam nasi sebesar 46.86%.
Interaksi Sayur Daun Torbangun dan Kombinasi Pangan Kandungan Kalsium Hasil analisis kandungan kalsium pada berbagai kombinasi sayur daun torbangun dan pangan sumber karbohidrat dan protein secara visual dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini. 100 Kadar Mineral (mg/100 g)
90
92.3
86.86 75.13
80
89.29 81.9882.67 72.67
70 60
52.73
54.59
Ayam Nasi
50
Lele Nasi
40
Tempe Nasi
30 20 10 0 Lodeh
Pecel
Tumis
Gambar 5 Rata-Rata Kadar Kalsium Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Berdasarkan hasil analisis ragam ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) dari perlakuan kombinasi sayur daun torbangun dengan pangan sumber karbohidrat dan protein terhadap kadar kalsium, dari hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa perlakuan yang berbeda nyata adalah pengolahan sayur dengan cara direbus (lodeh torbangun) dimana rata-rata kandungan kalsiumnya lebih rendah yaitu sebesar 64.73 mg/100 g dibandingkan dengan rata-rata kadar kalsium kelompok sayur torbangun yang dikukus (pecel torbangun) dan ditumis (tumis torbangun) yang kadarnya masing-masing sebesar
55
80.03 mg/100 g dan 84.65 mg/100 g. Selain dari proses pengolahan, juga diperoleh kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein yang berbeda nyata yaitu kombinasi lele-nasi, dimana kombinasi lele-nasi memiliki rata-rata kandungan kalsium yang paling tinggi yaitu sebesar 87.27 mg/100 g. Sedangkan pada kombinasi ayam-nasi dan tempe-nasi masing-masing sebesar 69.95 mg/100 g dan 72.18 mg/100 g.
Bioavailabilitas Kalsium Nilai bioavailabilitas kalsium hasil dari kombinasi sayur daun torbangun dan pangan sumber karbohidrat dan protein merupakan hasil analisis dari perlakuan yang diberikan. Berikut ini rata-rata bioavailabilitas kalsium interaksi sayur daun torbangun dan kombinasi pangan karbohidrat dan protein. Secara visual rata-rata bioavailabilitas kalsium hasil interaksi sayur daun torbangun pada berbagai proses pengolahan dengan kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini:
B io a v a ila b ilita s K a ls iu m ( % )
16.00 14.00
14.75
15.68 13.88 12.82
12.86 11.26
10.84
12.00
10.02
10.00
8.75
8.00 6.00 4.00 2.00
Ayam Nasi
0.00 Lodeh
Pecel
Lele Nasi
Tumis
Tempe Nasi
Gambar 6 Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein Berdasarkan
Gambar
6
tersebut
dapat
dilihat
bahwa
rata-rata
bioavailabilitas kalsium hasil interaksi sayur lodeh torbangun memiliki bioavailabilitas kalsium tertinggi jika dikonsumsi bersamaan dengan tempe nasi yaitu sebesar 14.75%, kemudian diikuti oleh sayur lodeh ayam nasi 12.86%, dan sayur lodeh lele nasi 10.84%. Selanjutnya pada interaksi sayur pecel torbangun
56
diperoleh bioavailabilitas kalsium paling tinggi dengan kombinasi ayam nasi sebesar 15.68%, diikuti sayur pecel tempe nasi 12.82%, dan sayur pecel lele nasi 11.26%.
Sedangkan
pada
interaksi
sayur
tumis
torbangun
diperoleh
bioavailabilitas kalsium paling tinggi dengan kombinasi ayam nasi 13.88%, diikuti sayur tumis lele nasi 10.02%, dan sayur tumis tempe nasi 8.75%. Berdasarkan hasil analisis ragam ANOVA menunjukkan tidak terdapat interaksi yang berbeda nyata (p>0.05) terhadap bioavailabilitas kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein yang berinteraksi dengan sayur lodeh, pecel dan tumis torbangun memiliki rata-rata bioavailabilitas kalsium yang hampir sama. Secara umum rata-rata bioavailabilitas kalsium yang paling tinggi diperoleh dari hasil interaksi antara sayur pecel torbangun pada berbagai kombinasi dengan pangan karbohidrat dan protein, kemudian diikuti oleh sayur lodeh torbangun pada berbagai kombinasi dan sayur tumis torbangun pada berbagai kombinasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan sayur daun torbangun dengan cara dikukus lebih stabil dalam mempertahankan zat gizi makanan dibandingkan dengan cara direbus dan ditumis. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa mengkombinasikan sayur daun torbangun dengan pangan sumber karbohidrat dan protein juga dapat membantu menstabilkan kandungan zat gizi khususnya kalsium yang dapat diserap oleh tubuh. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Oscarsson et al (2006) yang menunjukkan bahwa penyerapan kalsium dan zat besi pada makanan dapat meningkat jika dikonsumsi secara bersamaan dengan makanan lain yang memiliki kandungan kalsium dan zat besi yang baik seperti susu dan sayur bayam.
Kandungan Zat Besi Hasil analisis kandungan zat besi pada berbagai kombinasi sayur daun torbangun dan pangan sumber karbohidrat dan protein secara visual dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
57
9 Kadar Mineral (mg/100 g)
8
8.49
8.02 7.29
7.11 6.49
7
8.00
7.39
6.98
6.50
6 Ayam Nasi
5
Lele Nasi
4
Tempe Nasi
3 2 1 0 Lodeh
Pecel
Tumis
Gambar 7 Rata-Rata Kadar Zat Besi Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Karbohidrat dan Protein Berdasarkan Gambar 7 tersebut dapat dilihat bahwa kandungan zat besi pada berbagai kombinasi sayur daun torbangun dengan pangan sumber karbohidrat memiliki rata-rata yang hampir sama yaitu sebesar 6.49-8.49 mg/100 g. Sedangkan berdasarkan hasil analisis ragam ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dari berbagai perlakuan yang diberikan terhadap kandungan zat besi sayur daun torbangun dengan pangan sumber karbohidrat dan protein.
Bioavailabilitas Zat Besi Pada Gambar 8 dapat dilihat rata-rata bioavailabilitas zat besi interaksi sayur daun torbangun dan kombinasi pangan karbohidrat dan protein. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa rata-rata bioavailabilitas zat besi paling tinggi diperoleh dari hasil interaksi pada sayur pecel torbangun dengan kombinasi ayam nasi diikuti dengan lele nasi dengan masing-masing nilai sebesar 26.51% dan 18.96%. Secara umum kombinasi sayur pecel torbangun dengan kombinasi ayam nasi merupakan interaksi yang memiliki bioavailabilitas zat besi tertinggi dibandingkan dengan hasil interaksi yang lain. Hal tersebut juga terjadi pada bioavailabilitas kalsium. Sedangkan hasil interaksi sayur lodeh torbangun dan sayur tumis torbangun dengan berbagai kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein secara umum memiliki rata-rata bioavailabilitas zat besi yang hampir sama.
58
Bioavailabilitas Zat Besi (% )
30.00
26.51
25.00 18.96
20.00
16.28 15.00 10.00
14.53
13.71 11.76
11.85 9.72
9.60
5.00 Ayam Nasi 0.00 Lodeh
Pecel
Tumis
Lele Nasi Tempe Nasi
Gambar 8 Bioavailabilitas Zat Besi Interaksi Sayur Daun Torbangun dan Kombinasi Pangan Karbohidrat dan Protein Berdasarkan hasil analisis ragam juga diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara semua interaksi sayur daun torbangun pada berbagai proses pengolahan dengan berbagai jenis kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein terhadap bioavailabilitas zat besi. Sama halnya seperti bioavailabilitas kalsium, pada bioavailabilitas zat besi juga menunjukkan bahwa pada semua kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein yang berinteraksi dengan sayur lodeh, pecel dan tumis torbangun memiliki rata-rata bioavailabilitas zat besi yang hampir sama. Hal ini dikarenakan konsumsi sayur daun torbangun bersamaan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein dapat meningkatkan penyerapan zat gizi pada pangan tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Halberg (1988) bahwa beberapa faktor yang dapat meningkatkan absorbsi mineral adalah daging ayam, daging sapi, ikan dan asam askorbat. Bahan pangan lain yang dapat menghambat penyerapan adalah yang mengandung tanin dan fitat.
Komponen Zat Lain Sayur Lodeh Torbangun dan Kombinasi Pangan Analisis kandungan zat lain dilakukan pada kelompok sayur lodeh torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein yaitu yaitu ayam nasi, lele nasi dan tempe nasi.
59
Tabel 12 Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Lodeh Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Jenis Zat Lain Tanin (%) Oksalat (mg/100 g) Fitat (mg/100 g) Serat (%) Vitamin C (mg/100 g) Protein (%)
Rata-Rata Kombinasi Kelompok Sayur Lodeh Torbangun Ayam Nasi Lele Nasi Tempe Nasi 0.31 0.31 0.31 16.67 19.62 20.66 182.11 173.78 188.67 12.98 15.78 17.83 81.75 85.40 163.43 30.80 19.53 18.86
Rata-Rata Tanpa Kombinasi 1.48 30.91 273.06 16.03 118.27 3.81
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata kandungan tanin pada kelompok sayur lodeh torbangun yang dikombinasikan dengan ayam nasi, lele nasi dan tempe nasi masing-masing nilainya sangat kecil yaitu sebesar 0.31% pada semua kombinasi, sedangkan rata-rata tanin pada sayur lodeh torbangun yang belum di kombinasikan yaitu sebesar 1.48%. Sedangkan rata-rata kandungan fitat sangat tinggi yaitu sebesar 182.11 mg/100 gr untuk kombinasi dengan ayam nasi, 173.78 mg/100 g untuk kombinasi dengan lele nasi, dan 188.67 mg/100 g untuk kombinasi dengan tempe nasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marliyati (1995) bahwa fitat dan oksalat umum dikenal sebagai penghambat penyerapan mineral. Fitat tersebar luas pada berbagai sayuran dan serealia. Selain itu, fitat diketahui memiliki efek penghambatan penyerapan mineral lebih besar dibandingkan dengan zat anti gizi lain seperti lignin, serat pangan, tanin, oksalat dan pektin. Kandungan protein paling tinggi diperoleh dari sayur lodeh torbangun yang dikombinasikan dengan ayam nasi yaitu sebesar 30.80%, dari kandungan protein yang tinggi tersebut diduga dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium dan zat besi dari mengonsumsi sayur torbangun. Kandungan vitamin C paling tinggi diperoleh dari kombinasi sayur lodeh torbangun dengan kombinasi tempe nasi yaitu sebesar 163.43 mg/100 g, hal ini diduga karena proses fermentasi dapat meningkatkan kandungan vitamin C seperti dinyatakan oleh Astuti et al (2000) bahwa selama proses fermentasi Rizophus oligosporus dapat meningkatkan kandungan sejumlah vitamin seperti vitamin C dan vitamin B kompleks. Hasil analisis korelasi Pearson antara kandungan komponen lain terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi kelompok sayur lodeh torbangun dengan berbagai kombinasi dapat dilihat pada Tabel 13.
60
Tabel 13 Korelasi Pearson Kelompok Sayur Lodeh Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Komponen Bioavailabilitas Bioavailabilitas Zat Lain Kalsium Zat Besi Tanin - 0.744* - 0.709* Oksalat - 0.709* - 0.700* Fitat - 0.778* - 0.705* Serat 0.131 - 0.093 Vitamin C 0.079 - 0.005 Protein 0.704* 0.726* Keterangan : * Menunjukkan korelasi signifikan (P<0,05) Berdasarkan analisis korelasi Pearson pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa pada kelompok sayur lodeh torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein, terdapat beberapa kandungan zat gizi yang memiliki korelasi negatif secara signifikan (p<0.05) terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi, yaitu tanin, oksalat dan fitat. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan sejumlah tanin, oksalat dan fitat pada sayur lodeh torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium dan zat besi. Hal ini sejalan dengan Silanikove et al (2001) yang mengatakan bahwa tanin merupakan senyawa kompleks dari metabolit sekunder tanaman yang memiliki kemampuan dalam mengikat protein, sehingga menurunkan kelarutan protein yang dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi. Oksalat juga dapat membentuk ikatan kompleks dengan kalsium atau zat besi sehingga menurunkan kelarutannya (Moreau et al 2009). Selain itu, inositol hexakisphosphate atau yang biasa disebut dengan fitat merupakan chelator terhadap mineral yang dapat menurunkan bioavailabilitas mineral seperti kalsium, magnesium, zink dan zat besi (Reddy et al 2001). Korelasi positif yang signifikan (p<0.05) ditemukan pada kandungan protein sayur lodeh torbangun pada berbagai kombinasi terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi. Sedangkan untuk serat dan vitamin C tidak memiliki hubungan yang signifikan (p>0.05) terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kandungan protein sayur lodeh torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein, maka semakin tinggi juga bioavailabilitas kalsium dan zat besinya. William (1995) menyatakan
61
bahwa MFP (Meat, Fish, Poultry) adalah faktor yang belum diketahui dengan pasti namun terbukti dapat meningkatkan absorbsi mineral. Penambahan sejumlah kecil MFP factors pada sayuran dan serealia terbukti dapat meningkatkan penyerapan mineral khususnya zat besi non heme. Diduga peran dari lisin, histidin, sistein dan metionin adalah komponen protein yang memegang peranan dalam proses tersebut.
Sayur Pecel Torbangun dan Kombinasi Pangan Analisis kandungan zat lain juga dilakukan terhadap kelompok sayur pecel torbangun yang dikombinasikan dengan beberapa pangan sumber karbohidrar dan protein yaitu ayam nasi, lele nasi dan tempe nasi. Tabel 14 Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Pecel Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Jenis Zat Lain Tanin (%) Oksalat (mg/100 g) Fitat (mg/100 g) Serat (%) Vitamin C (mg/100 g) Protein (%)
Rata-Rata Kombinasi Kelompok Sayur Pecel Torbangun Ayam Nasi Lele Nasi Tempe Nasi 0.47 0.32 0.38 34.05 32.90 36.79 463.56 458.05 491.74 25.09 25.24 27.34 224.83 119.48 324.74 31.09 22.61 31.46
Rata-Rata Tanpa Kombinasi 2.36 58.95 599.68 31.45 365.66 14.70
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa rata-rata kandungan tanin pada kelompok kombinasi sayur pecel torbangun juga sangat kecil berkisar antara 0.320.47%, sama halnya seperti kandungan tanin pada kelompok sayur lodeh torbangun. Sedangkan kandungan fitat juga memiliki nilai yang tinggi pada semua kombinasi yaitu sebesar 463.56 mg/100 g pada kombinasi sayur pecel dengan ayam nasi, 458.05 mg/100 g untuk kombinasi dengan lele nasi, dan 491.74 mg/100 g untuk kombinasi dengan tempe nasi. Kandungan protein pada ayam nasi memiliki nilai yang hampir sama dengan tempe nasi, masing-masing sebesar 31.09% dan 31.46%. Sedangkan kandungan vitamin C paling tinggi diperoleh dari kombinasi sayur pecel torbangun dengan tempe nasi yaitu sebesar 324.74 mg/100 g, sama halnya seperti kandungan vitamin C pada kombinasi sayur lodeh torbangun dengan tempe nasi. Secara umum juga dapat disimpulkan bahwa ratarata kandungan zat lain pada sayur pecel torbangun dengan berbagai kombinasi
62
juga memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sayur lodeh torbangun. Hasil analisis korelasi Pearson untuk kandungan zat lain terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada kelompok sayur pecel torbangun dengan berbagai kombinasi pangan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Korelasi Pearson Kelompok Sayur Pecel Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Komponen Zat Bioavailabilitas Bioavailabilitas Lain Kalsium Zat Besi Tanin - 0.707* - 0.627 Oksalat - 0.724* - 0.733* Fitat - 0.752* - 0.763* Serat - 0.590 - 0.772* Vitamin C - 0.312 - 0.679 Protein 0.811* 0.453 Keterangan : * Menunjukkan korelasi signifikan (P<0.05) Berdasarkan analisis korelasi Pearson pada dapat diketahui bahwa terdapat korelasi negatif antara beberapa kandungan zat lain pada kelompok sayur pecel torbangun yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein, diantaranya adalah tanin, oksalat dan fitat memiliki korelasi negatif yang signifikan (p<0.05) terhadap bioavailabilitas kalsium, hal ini berarti bahwa semakin tinggi kandungan tanin, oksalat, fitat pada sayur pecel torbangun maka dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium pada sayur tersebut. Selain itu juga diperoleh korelasi positif yang signifikan (p<0.05) antara kandungan protein terhadap bioavailabilitas kalsium. Sehingga semakin tinggi protein maka semakin tinggi pula bioavailabilitas kalsium. Sedangkan
korelasi
negatif
yang
signifikan
(p<0.05)
terhadap
bioavailabilitas zat besi diperoleh dari kandungan oksalat, fitat dan serat. Sehingga semakin tinggi kandungan oksalat, fitat dan serat pada sayur pecel torbangun, maka dapat menurunkan bioavailabilitas zat besi pada sayur tersebut. Sedangkan tanin, vitamin C dan protein tidak memiliki hubungan yang signifikan (p>0.05) terhadap bioavailabilitas zat besi. Menurut Marliyati (1995), serat pangan dalam jumlah besar berpotensi menurunkan bioavailabilitas zat besi. Mekanisme penghambatan absobsi zat besi oleh serat terjadi melalui pembentukan
63
kelat yang tidak larut atau memicu pengangkutan zat besi yang cepat di saluran pencernaan. Pada sayur pecel torbangun, tanin dapat memepengaruhi penurunan bioavailabilitas kalsium tetapi tidak mempengaruhi penurunan bioavailabilitas zat besi karena diduga sebagian besar dari tanin membentuk matriks dengan protein sehingga dapat dilihat pada hasil korelasi tersebut kandungan protein tidak dapat secara signifikan mempengaruhi bioavailabilitas zat besi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silanikove et al (2001) bahwa tanin merupakan senyawa kompleks yang dihasilkan dari metabolit sekunder tanaman, bersifat larut pada senyawa polar dan berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein. Selain itu, Serat makanan merupakan komponen bahan nabati yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan dalam usus manusia. Dalam beberapa kasus, serat makanan dalam bahan pangan dapat mempengaruhi tingkat ketersediaan vitamin dan mineral melalui beberapa mekanisme (Pushpanjali et all 1996).
Sayur Tumis Torbangun dan Kombinasi Pangan Analisis kandungan zat lain juga dilakukan terhadap kelompok sayur tumis torbangun yang dikombinasikan dengan beberapa pangan sumber karbohidrar dan protein yaitu ayam nasi, lele nasi dan tempe nasi. Rata-rata kandungan zat lain dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini: Tabel 16 Rata-Rata Kandungan Zat Lain Kelompok Sayur Tumis Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Jenis Zat Lain Tanin (%) Oksalat (mg/100 g) Fitat (mg/100 g) Serat (%) Vitamin C (mg/100 g) Protein (%)
Rata-Rata Kombinasi Kelompok Sayur Tumis Torbangun Ayam Nasi Lele Nasi Tempe Nasi 0.31 0.28 0.30 23.89 21.14 21.55 406.98 372.52 392.46 18.86 22.16 29.42 142.56 126.16 148.66 24.63 18.34 21.27
Rata-Rata Tanpa Kombinasi 1.61 46.57 445.98 24.16 206.78 6.96
Pada kelompok sayur lodeh dan sayur pecel torbangun dengan berbagai kombinasi telah diketahui bahwa kandungan tanin memiliki rata-rata nilai yang relatif kecil, demikian juga pada kombinasi sayur tumis torbangun pada berbagai
64
kombinasi, dapat dilihat bahwa berdasarkan Tabel 16 kandungan tanin pada masing-masing kombinasi sayur tumis torbangun berkisar antara 0.28-0.31%. Sedangkan kandungan fitat juga memiliki rata-rata yang cukup tinggi seperti pada kelompok sayur lodeh dan sayur pecel torbangun, yaitu berkisar antara 372.52406.98 mg/100 g. Kandungan vitamin C pada kombinasi ayam nasi dan tempe nasi memiliki rata-rata yang hampir sama yaitu masing-masing sebesar 142.56 mg/100 g dan 148.66 mg/100 g. Sedangkan kandungan protein paling tinggi diperoleh dari kombinasi ayam nasi sebesar 24.63%. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kandungan zat lain pada kelompok sayur tumis torbangun memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kelompok sayur lodeh torbangun akan tetapi masih lebih rendah daripada kelompok sayur pecel torbangun. Hasil analisis korelasi Pearson kandungan zat lain terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada kelompok sayur Tumis torbangun dengan berbagai kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Korelasi Pearson Kelompok Sayur Tumis Torbangun pada Berbagai Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Komponen Bioavailabilitas Bioavailabilitas Zat Lain Kalsium Zat Besi Tanin - 0.811* - 0.537 Oksalat - 0.768* - 0.543 Fitat - 0.532 - 0.477 Serat - 0.320 - 0.162 Vitamin C - 0.643 - 0.586 Protein 0.847** 0.704 Keterangan: * Menunjukkan korelasi signifikan (P<0.05) ** Menunjukkan korelasi signifikan (P<0.01) Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson dapat dilihat bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan (p<0.05) antara beberapa kandungan zat lain terhadap bioavailabilitas kalsium yaitu tanin dan oksalat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar tanin dan oksalat maka dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium sayur tumis torbangun. Sedangkan korelasi positif yang signifikan (p<0.01) diperoleh dari kandungan protein sayur pecel torbangun dengan berbagai kombinasi terhadap bioavailabilitas kalsium. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kandungan proteinnya maka semakin tinggi pula bioavailabilitas kalsium. Sedangkan pada bioavailabilitas zat besi, tidak
65
ditemukan kandungan zat lain yang berhubungan dengan bioavailabilitas zat besi. Hal ini diduga karena pada proses pemasakan dengan cara penumisan relatif tidak berpengaruh terhadap kandungan zat-zat lain. Analisis bioavailabilitas dengan menggunakan metode in vitro memiliki beberapa keterbatasan, antara lain adalah pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Pada pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya terdapat dua enzim dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in vitro. Meskipun demikian, metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis dan lebih murah. Metode in vitro juga memungkinkan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Gueguen et al 2000).
66
67
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada berbagai pengolahan sayur daun torbangun menunjukkan bahwa pengolahan sayur daun torbangun yang terdiri dari lodeh torbangun, pecel torbangun dan tumis torbangun berbeda secara nyata (p<0.05) terhadap bioavailabilitas kalsium, tetapi tidak terhadap zat besi sayur daun torbangun.
2.
Bioavailabilitas kalsium dan zat besi pada berbagai kombinasi pangan sumber karbohidrat dan protein menunjukkan bahwa kombinasi pangan yang terdiri dari ayam-nasi, lele-nasi dan tempe-nasi tidak berbeda baik terhadap bioavailabilitas kalsium maupun zat besi sayur daun torbangun.
3.
Bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun pada berbagai pengolahan yang dikombinasikan dengan pangan sumber karbohidrat dan protein menunjukkan tidak terdapat kombinasi yang berbeda nyata terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi.
4.
Kandungan zat lain pada kelompok sayur lodeh torbangun dengan berbagai kombinasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif (p<0.05) antara kandungan protein terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi, serta korelasi yang negatif (p<0.05) antara kandungan tanin, oksalat, dan fitat terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi.
5.
Kandungan zat lain pada kelompok sayur pecel torbangun dengan berbagai kombinasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif (p<0.05) antara kandungan protein terhadap bioavailabilitas kalsium. Korelasi negatif (p<0.05) pada bioavailabilitas kalsium diperoleh dari kandungan tanin, oksalat, fitat, sedangkan pada bioavailabilitas zat besi diperoleh dari kandungan oksalat, fitat dan serat.
6.
Kandungan zat lain pada kelompok sayur tumis torbangun dengan berbagai kombinasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif (p<0.01) antara kandungan protein terhadap bioavailabilitas kalsium. Korelasi negatif
68
(p<0.05) terhadap bioavailabilitas kalsium diperoleh dari kandungan tanin dan oksalat. Sedangkan untuk bioavailabilitas zat besi tidak ditemukan hubungan antara kandungan zat lain dengan bioavailabilitas zat besi.
Saran 1.
Apabila mengkonsumsi sayur daun torbangun dalam bentuk tunggal (sebelum dikombinasikan dengan pangan lain) disarankan untuk memilih sayur daun torbangun yang diolah dengan cara dikukus.
2.
Disarankan
dalam
mengkonsumsi
sayur
daun
torbangun
dapat
dikombinasikan dengan makanan sumber karbohidrat dan protein yang pada penelitian ini adalah ayam nasi, lele nasi dan tempe nasi. 3.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan secara in vivo untuk dapat mengetahui bioavailabilitas kalsium dan zat besi sayur daun torbangun pada berbagai pengolahan yang dikonsumsi secara bersamaan dengan kombinasi sumber pangan karbohidrat dan protein.
69
DAFTAR PUSTAKA (AOAC) Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of Association of Official Analytical Chemist. Ed Ke 14. AOAC Inc, Airlington Abdulla, M., H. Dashti., B. Sarkar., H. Al-Sayer., N. Al-Naqeeb. 1987. Metabolism of Mineral and Trace Elements in Human Disease. SmithGordon Nishimura. India. Allen, L.H., N, Ahluwalia. 1997. Improving Iron Status Through Diet: The Application of Knowledge Concerning Dietary Iron Bioavailability in Human Populations. http://www.mostproject.org/tog.htm. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Appriantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Astuti Mary, Meliala Andreanyta and Dalais SF. 2000. Tempe, a Nutritious and Healty Food From Indonesia. Asia Pacific Journal Clinical Nutrition 9(4): 322-325. Bender, E.A. 1978. Food Processing and Nutrition. Academic Press. London Brown, W.L., R. Bressani, D.V. Glover, A.R. Hallauer, V.A. Johsnon, C.O. Qualset, and N.D. Vietmeyer. 1988. Quality protein maize. Report of an Ad Hoc Panel of The Advisory Committee on Technology Innovation Board on Science and Technology for International Development National Research Council. National Academy Press. Washington D.C. Burkill, I.H. 1996. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula. Crown Agents for The Colonies. Millbank. London. Cantrell, RP and GP Hettel. 2002. A Walk Through Rice Research’s “Field of Dream”. In: B. Suprihatno et al. (Eds) Kebijakan Pemberantasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku Satu. Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Combs, G.F.Jr. 1992. The Vitamins: Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press. New York. Damanik R, et all. 2001. Consumption of Bangun-Bangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) to Increase Breast Milk Production in Simalungun, North Sumatera, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 10(4).
70
Damanik R, N. Watanapenpaiboon & ML. Wahlqvist. 2004. The Use of Putative Lactagogue Plant on Breast Milk Production in Simalungun, North Sumatra, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. No. 164:S87. Damanik R. 2005. Effect of Consumption of Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour) on Micronutrient Intake of The Bataknese Lactating Woman. Media Gizi dan Keluarga. Vol 29 No.1:63-74. Damanik R. 2009. Tradisional Consumption of Torbangun (Coleus amboinicus Lour) among Bataknese People in Indonesia. Ann Nutr Metab. 55 (Supll 1): 450. Damardjati, DS. 1988. Struktur Kandungan Gizi Beras. Dalam: M. Ismunadji et al.(Eds). Padi Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Protein, Lemak, Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat pada Pembuatan Tempe. USUPress, Medan. Departemen Kesehatan RI. 2008. Daftar Komposisi Bahan makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM). Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Memantau Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta. Devi M. 2009. Suplementasi kapsul serbuk daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) untuk menanggulangi keluhan sindrom pramenstruasi pada remaja putri. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Djuwanah EA. 1996. Budi Daya Ikan Secara Polikultur. Jakarta. Fairbanks VF. 1999. Iron In Medicine And Nutrition. Dalam Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross AC (eds). Modern Nutrition in Health and Disease (9th ed): 194-201. Baltimore USA: Williams and Walkins Forrest, J.G., E.D. Aberk, H.B. Hendrick, M.D. Judge, dan R.A. Merks. 1975. Principle of Meat Science. W.H. Freman and Company, San Fransisco.
71
Gilmore, S.A. 2002. Food Preparation Study Course: Quantity Preparation and Scientific Principles. Lowa Dietetic Association and Shirley. Lowa State Press. USA Gueguen L, Pointillart. 2000. The Bioavailability of Dietary Calcium. Journal of American College of Nutrition. 19(90002): 119-136 Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism 4th Edition. USA:Wadsworth Haam, R. 1981. Post Mortem Change in Muscle Affecting The Quality of Communuted Meat Product. Dalam Development in Meat. L. Ralston (ed.). Applied Sci. Publisher, London. Hadju, Veni, M dan Darwin Karyadi. 1998. Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Fikir dan Produktifitas Serta Mencegah Penyakit Degeneratif. Makalah Disajikan Pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta Halberg, L. 1988. Bioavailability Nutrient Density: An New Concept Applied in The Interpretation of Food Iron Absorption Data. Am. J. Clin. Nutr. 34:2242-2247. Harris, R.S. dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Pangan. Penerbit ITB, Bandung. Hardinsyah. 1982. Pengaruh Volume Cairan, Alat Masak, dan Macam Pengolahan Sayuran Terhadap Leaching Zat Besi (Fe) pada Sayuran Bayam (Amaranthus hybridus, L) dan Daun Ketela Rambat (Ipomea batatas, L). Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan, Dalam: Soekirman, Seta AK, Pribadi N, Martianto D, Ariani M. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; 17-19 Mei 2004.p.21-40. Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Heyne., K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Terjemahan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini, 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi, Yogyakarta. Husaini MA, Yayah K Husaini, Uhum L.Siagian, dan Djoko Suharno. 1989. Anemia Gizi. Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang
72
Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program. Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Depkes RI. Jakarta. Ink SL. 1988. Fiber-Mineral and Fiber-Vitamin Interactions. Dalam Bodwell CE, Erdman JW. Nutrient Interactions. New York: Marcell Dekker Inc. Kurniasih Dedeh, Hilmansyah H, Astuti MP, Imam Saiful. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. PT. Gramedia. Jakarta. Latunde-Dada and Neale, R.J. 1986. Availability of Iron From Food. Journal of Food Technology. 21:255-68. Lee, K., and Gregor. 1983. Bioavailability and Chemistry of Iron Nitrite-Cured Meats. Food Technology. 37: 139-143. Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme (Diterjemahkan oleh A. Parakkasi). UI Press. Jakarta. Lowe, B. 1963. Experimental Cookery (4th ed). Jhon Willeys and Sons. New York. Mardisiswojo, S., Rajakmangunsudarso, H. 1985. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Cetakan I. PN Balai Pustaka. Jakarta. Martin, D.W., P.A. Mayes, V.W. Rodwell., D.K.Granner. 1987. Biokimia (Edisi 20) (I. Darmawan, Penerjemah). EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Marliyati SA. 1995. Pengaruh Pengeringan Terhadap Kadar Senyawa Antinutrisi yang Mempengaruhi Ketersediaan Zat Besi Serta Fortifikasi Zat Besi Pada Rempah-Rempah. (Tesis). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mertz, W., Monsen, E.R., L. Hallberg., M. Layrisse., D.M. Hegsted. 1987. Estimation of Available Dietary Iron. Am. J. Clin Nutr. 31: 134. Mervyn, L. 1989. Thorson’s Complete Guide to Vitamins and Minerals. Thorson Publishing Group. New York. Moehji. 1991. Ilmu Gizi. Jakarta; Bharata Karya Aksara. Moreau, A.G., Savage, G.P. 2009. Oxalate Content of Purslane Leave and The Effect of Combining Them with Yoghurt or Coconut Products. Journal of Food Composition and Analysis Elsevier. 22(2009)303-306. Mountney, G.J. 1983. Poultry Product Technology. 2n Edition. AVI Publishing, Westport Connecticut.
73
Monsen, E.R., 1988. Protein-Iron Interaction: Influences on Absorption, Metabolism, and Status. In Bodwell, C.E. and J.W. Erdman (ed) Nutrient Interaction. Marcell Dekker Inc. New York. Muchtadi, D., Astawan. M. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Muchtadi, D., Palupi, N.S., Astawan, M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. O’dell, B.L., R.A. Sunde, Eds. 1997. Handbook of Nutritionally Essential Mineral Elements. Marcell Dekker. New York. Olson, R.E., H.P. Broquist, W.J. Darby, A.C. Kolbye., R.M. Stalvey. 1988. Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. Buku 2. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Oscarsson KV and Savage GP. 2006. Composition and Availability of Soluble and Insoluble Oxalates in Raw and Cooked Taro (Colocasia esculenta var. Schott) Leaves. Journal of Food Chemistry. Science Direct. 101.559-562. Pearson, A. M dan F. M. Tauber. 1984. Processed Meat. The AVI Publishing and Co. Inc. Westport, Connecticut. Peckham, G. 1969. Foundation of Food Preparation. Mac Milland. London. Perinasia. 1990. Melindungi, Meningkatkan dan Mendukung Menyusui. Jakarta. Pushpanjali and Khokhar Santosh. 1996. In Vitro Availability of Iron and Zinc From Some Indian Vegetarian Diets: Correlations With Dietary Fibre and Phytate. Journal of Food Chemistry Elsevier. Vol. 56. No 2. 111-114. Reddy R N., Shridhar K. Sathe. 2001. Food Phytates. Library of Congress Cataloging in Publication Data. CRC Press LLC. Florida. Roig MJ, Alegria A, Barbera R, Farre R, Lagarda MJ. 1998. Calcium Bioavailability in Human Milk, Cow Milk and Infant Formulas – Comparison between Dialysis and Solubility Methods. Food Chem 65: 353357 Schuette, S.A., H.M. Linkswiller. 1998. Kalsium. Dalam (R.E. Olson., H.P. Bruquist., C.O. Chichester., W.J. Darby., A.C. Kolbye., R.M. Stalvey, Eds). Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Shentilkumar, A., Venugopalan, V. 2010. Chemical Composition and Larvicidal Activity of The Essential Oil of Plecranthus amboinicus (Lour.) Spreng
74
Against Anopheles stephensi: a Malarial Vector Mosquito. Journal of Springer. 107:1275-1278. Silanikove N., Perevolotsky A., Provenza FD. 2001. Use of Tannin-Binding Chemicals to Assay for Tannins and Their Negative Postingestive Effects in Ruminants. Journal of Animal Feed Science and Technology Elsevier. 91(2001)69-81. Siregar,A.P. M.Sabrani dan Soeprawiro.1982. Teknik Beternak Ayam Pedaging di Indonesia. Cetakan kedua. Margie Group. Jakarta. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Library. Suhardjo., C.M. Kusharto. 1992. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Penerbit Kanisius. Jakarta. Skikne, B.S. 1988. Current Consept In Iron Defficiency Anemia. Food Rev. Int. 4(2): 137-173. Smith, D.B. dan A.H. Walters. 1967. Introduction of Food Science. Harrison and Sons Ltd., London. Soedarmo, P., A.D. Sedioetama. 1977. Ilmu Gizi I. PT Dian Rakyat. Jakarta. Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta. Sukarni, M dan S.R. Kusno. 1980. Metode Penilaian Cita Rasa II. Kejasama Direktorat Jenderal Pariwisata dengan Institut Petanian Bogor. Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga Pertanian. Fakultas Petanian. Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, F anwar, Rimbawan dan SA Marliyati. 1994. Metode Analisis Komposisi Zat Gizi Makanan. Faperta IPB. Bogor. Suliantri dan W. P. Rahayu, 1990. Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Bijibijian. Depdikbud. IPB, Bogor. Suprapti, L., 2003. Pembuatan Tempe. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Tanaman Obat Indonesia. 2005. Daftar Tanaman Obat Indonesia. Indonesia Sharing Community. Vasquez, E.A., Kraus, W., Solsoloy, A.D., Rejesus, B.M. 2000. The Use of Spieces and Medicinal: Antifungal, Antibacterial, Anthelmintic, and Molluscicidal Constituents of Philippine Plants. 2230-2238.
75
Wardlaw, G.M. 1999. Protein. In Perspectives in nutrition. The McGraw-Hill. San Francisco. Weaver, C.M., R.P. Heaney. 1999. Calcium. Dalam (M.E. Shils, J.A. Olson, M.Shike, A.C. Ross, Eds), Modern Nutrition in Health and Disease (9th ed) (hlm. 141-155). Lipincott Williams and Wilkins. Baltimore. Wijayakusumah, H. 2007. Anemi http://medicastore.com.html.
Karena
Kekurangan
Zat
Besi.
Willmot, J.S., M.Q. Batjer. 1978. Food for The Family. Lipincot. Philadelphia. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Whinter, J. R and E. M. Funk, 1960. Poultry Sci and Practice. J.B. Lipincott Company, The United States of America. Whitney, E.N., C.B. Cataldo and S.R. Rolfes. 1998. Understanding Normal and Clinical Nutrition (5th ed.). International Thomson Publishing. New York. WHO. 2002. Feeding Infants and Toodlers Study 2002. http://www.mathematicampr.com/nutrition/infantfeeding.asp William MH. 1995. Nutrition for Fitness and Sport (4th Edition). Brown and Benchmark Publisher. USA Yahya, Y. 1990. Pengaruh Pengolahan dan Kandungan Vitamin C Terhadap Penyerapan Zat Besi (Fe) dengan Cara In Vitro pada Beberapa Jenis Sayuran Daun Hijau. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB.
77
Lampiran 1 Bioavailabilitas Kalsium Sayur Torbangun
ANOVA Bio_Ca Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
32.813
2
16.407
1.815
3
.605
34.628
5
Bio_Ca Subset for alpha = 0.05 Torbangun Duncana
N
1
Lodeh
2
2.2950
Tumis
2
4.1450
Pecel
2
7.9150
Sig. Scheffea
2
.098
Lodeh
2
2.2950
Tumis
2
4.1450
Pecel
2
Sig.
1.000
7.9150 .204
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
F 27.125
Sig. .012
78
Lampiran 2 Bioavailabilitas Zat Besi Sayur Torbangun
ANOVA Bio_Fe Sum of Squares Between Groups
Mean Square
20.278
2
10.139
9.230
3
3.077
29.509
5
Within Groups Total
df
Bio_Fe Subset for alpha = 0.05 Pengolahan Duncana
N
1
L
2
2.9150
T
2
4.7600
P
2
7.3950
Sig. Scheffea
.084
L
2
2.9150
T
2
4.7600
P
2
7.3950
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
.177
F 3.295
Sig. .175
79
Lampiran 3 Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat Dan Protein ANOVA Bio_Ca Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
15.098
2
7.549
Within Groups
43.212
3
14.404
Total
58.310
5
Bio_Ca Subset for alpha = 0.05 Kombinasi Duncana
N
1
AN
2
10.6250
TN
2
11.3850
LN
2
14.3050
Sig. Scheffea
.401
AN
2
10.6250
TN
2
11.3850
LN
2
14.3050
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
.664
F
Sig. .524
.638
80
Lampiran 4 Bioavailabilitas Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat Dan Protein
ANOVA Bio_Fe1 Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
136.190
2
68.095
Within Groups
189.894
3
63.298
Total
326.084
5
Bio_Fe1 Subset for alpha = 0.05 Kombinasi Duncana
N
1
AN
2
9.4700
TN
2
15.3300
LN
2
21.1400
Sig. Scheffea
.237
AN
2
9.4700
TN
2
15.3300
LN
2
21.1400
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
.444
F 1.076
Sig. .444
81
Lampiran 5 Bioavailabilitas Kalsium Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat Dan Protein
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Bio_Ca Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
83.107a
8
10.388
.776
.634
2729.620
1
2729.620
203.999
.000
Kombinasi_pang
35.764
2
17.882
1.336
.310
Pengolahan
19.091
2
9.545
.713
.516
Kombinasi_pang *
28.252
4
7.063
.528
.719
Error
120.425
9
13.381
Total
2933.152
18
203.532
17
Corrected Model Intercept
Pengolahan
Corrected Total
a. R Squared = .408 (Adjusted R Squared = -.118)
82
Lampiran 6 Bioavailabilitas Zat Besi Kombinasi Sayur Daun Torbangun dan Pangan Sumber Karbohidrat Dan Protein
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Bio_Fe Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
457.106a
8
57.138
1.757
.209
Intercept
3924.389
1
3924.389
120.680
.000
77.687
2
38.844
1.194
.347
Pengolahan
167.013
2
83.506
2.568
.131
Kombinasi_pang *
212.406
4
53.102
1.633
.248
Error
292.672
9
32.519
Total
4674.168
18
749.778
17
Kombinasi_pang
Pengolahan
Corrected Total
a. R Squared = .610 (Adjusted R Squared = .263)
83
Lampiran 7 Korelasi Pearson Kelompok Sayur Lodeh Torbangun Correlations Bio_Ca Bio_Ca
Pearson Correlation
Bio_Fe 1
Sig. N Bio_Fe
Pearson Correlation Sig. N
Tanin
Pearson Correlation Sig. N
Oksalat
Pearson Correlation Sig. N
Fitat
Pearson Correlation Sig. N
Serat
-.744
.017
Fitat
-.709
*
.025
Serat
Vit_C
Protein
*
.131
.079
.704*
.012
.379
.426
.026
-.778
8
8
8
8
8
8
8
8
.830**
1
-.709*
-.700*
-.705*
-.093
-.005
.726* .021
.005
.024
.027
.025
.413
.495
8
8
8
8
8
8
8
8
-.744*
-.709*
1
.945**
.971**
.206
.064
-.843**
.017
.024
.000
.000
.312
.440
.004
8
8
8
8
8
8
8
8
-.709*
-.700*
.945**
1
.954**
.328
.285
-.952**
.025
.027
.000
.000
.214
.247
.000
8
8
8
8
8
8
8
8
-.778*
-.705*
.971**
.954**
1
.153
.201
-.848**
.012
.025
.000
.000
.359
.317
.004
8
8
8
8
8
8
8
8
.131
-.093
.206
.328
.153
1
.533
-.380
Sig.
.379
.413
.312
.214
.359
.087
.176
8
8
8
8
8
8
8
8
Pearson Correlation
.079
-.005
.064
.285
.201
.533
1
-.367
Sig.
.426
.495
.440
.247
.317
.087
8
8
8
8
8
8
8
8
*
*
**
**
**
1
N Protein
.005
Oksalat *
Pearson Correlation N
Vit_C
.830
Tanin **
Pearson Correlation Sig. N
**. Correlation is significant at the 0.01 level *. Correlation is significant at the 0.05 level
.704
.726
-.843
-.952
-.848
.186
-.380
-.367
.026
.021
.004
.000
.004
.176
.186
8
8
8
8
8
8
8
8
84
Lampiran 8 Korelasi Pearson Kelompok Sayur Pecel Torbangun Correlations Bio_Ca Bio_Ca
Pearson Correlation
Bio_Fe 1
Sig. N Bio_Fe
Pearson Correlation Sig. N
Tanin
Pearson Correlation Sig. N
Oksalat
Pearson Correlation Sig. N
Fitat
Pearson Correlation Sig. N
Serat
Pearson Correlation Sig. N
Vit_C
Pearson Correlation Sig. N
Protein
Pearson Correlation Sig. N
*. Correlation is significant at the 0.05 level **. Correlation is significant at the 0.01 level
Tanin
Oksalat
Fitat
Serat
Vit_C
Protein
.723*
-.707*
-.724*
-.752*
-.590
-.312
.811*
.043
.050
.042
.031
.123
.453
.015
8
8
8
8
8
8
8
8
.723*
1
-.627
-.733*
-.763*
-.772*
-.679
.453
.096
.039
.028
.025
.064
.260
.043 8
8
8
8
8
8
8
8
-.707*
-.627
1
.979**
.970**
.773*
.655
-.782*
.050
.096
.000
.000
.025
.078
.022
8
8
8
8
8
8
8
8
*
*
**
1
**
*
*
-.747*
-.724
-.733
.979
.042
.039
.000
8
8
8
8
*
*
**
**
-.752
-.763
.970
.987
.987
.777
.738
.000
.023
.036
.033
8
8
8
8
1
*
*
-.723*
.810
.777
.031
.028
.000
.000
.015
.023
.043
8
8
8
8
8
8
8
8
-.590
*
*
*
*
1
.637
-.386
.089
.345
-.772
.773
.777
.810
.123
.025
.025
.023
.015
8
8
8
8
8
8
8
8
-.312
-.679
.655
.738*
.777*
.637
1
-.205
.453
.064
.078
.036
.023
.089
8
8
8
8
8
8
8
8
.811*
.453
-.782*
-.747*
-.723*
-.386
-.205
1
.015
.260
.022
.033
.043
.345
.626
8
8
8
8
8
8
8
.626
8
85
Lampiran 9 Korelasi Pearson Kelompok Sayur Tumis Torbangun Correlations Bio_Ca Bio_Ca
Pearson Correlation
Bio_Fe 1
Sig. N Bio_Fe
.847**
.532
.015
.026
.175
.440
.085
.008
8
8
8
8
8
8
-.537
-.543
-.477
-.162
-.586
.704
Sig.
.532
.170
.164
.232
.702
.127
.051
Pearson Correlation
Pearson Correlation
Pearson Correlation Sig. N Pearson Correlation Sig. N Pearson Correlation Sig. N
Protein
Protein
-.643
1
N
Vit_C
Vit_C
-.320
8
Sig.
Serat
Serat
-.532
8
N
Fitat
Fitat
-.768*
.261
Sig. Oksalat
Oksalat
-.811*
Pearson Correlation N
Tanin
Tanin
.261
Pearson Correlation Sig. N
*. Correlation is significant at the 0.05 level **. Correlation is significant at the 0.01 level
8
8
8
8
8
8
8
8
-.811*
-.537
1
.996**
.864**
.055
.860**
-.907**
.015
.170
.000
.006
.898
.006
.002
8
8
8
8
8
8
8
8
*
-.543
**
1
**
.002
**
**
.026
.164
.000
.003
.997
.006
.004
8
8
8
8
8
8
8
8
-.532
-.477
**
**
-.010
**
-.669
.175
.232
.006
.003
.981
.001
.070
8
8
8
8
8
8
8
8
-.320
-.162
.055
.002
-.010
1
.258
-.256
.440
.702
.898
.997
.981
.537
.541
8
8
8
8
8
8
8
8
-.643
-.586
.860**
.860**
.931**
.258
1
-.800*
.085
.127
.006
.006
.001
.537
8
8
8
8
8
8
8
8
.847**
.704
-.907**
-.882**
-.669
-.256
-.800*
1
.008
.051
.002
.004
.070
.541
.017
8
8
8
8
8
8
8
-.768
.996
.864
.889
.889
1
.860
.931
-.882
.017
8
86
Lampiran 10 Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium dan Zat Besi Sayur Torbangun pada Berbagai Proses Pengolahan
ANOVA Kalsium Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
29.216
2
14.608
Within Groups
222.043
3
74.014
Total
251.259
5
F
Sig. .197
.831
ANOVA Zat_Besi Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
.041
2
.021
Within Groups
2.907
3
.969
Total
2.948
5
F
Sig. .021
.979
87
Lampiran 11 Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium dan Zat Besi Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein ANOVA Sum of Squares Kalsium
Between Groups
2
142.777
20.238
3
6.746
305.792
5
.072
2
.036
Within Groups
4.017
3
1.339
Total
4.089
5
Total Between Groups
Kalsium Kode_K
Subset for alpha = 0.05
ombina si Duncana
N
1
2
1
2
40.3594
3
2
48.4279
2
2
Sig. Scheffea
Mean Square
285.554
Within Groups
Zat_Besi
df
57.2521 .053
1
2
40.3594
3
2
48.4279
2
2
Sig.
1.000
48.4279 57.2521
.115
.094
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
F
Sig.
21.164
.017
.027
.974
88
Lampiran 12 Analisis Ragam Anova Kandungan Kalsium Sayur daun Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KALSIUM Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model Intercept SAYUR LAUK SAYUR * LAUK Error
a
3299.764 105260.955 1304.716 1065.848 929.199 443.341
8 1 2 2 4 9
Total
109004.060
18
3743.105
17
Corrected Total
412.471 105260.955 652.358 532.924 232.300 49.260
a. R Squared = .882 (Adjusted R Squared = .776)
KALSIUM Subset SAYUR a,,b
Duncan
N
1
2
L
6
P
6
80.0317
T
6
84.6517
Sig.
64.7300
1.000
.284
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 49.260. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05. KALSIUM Subset LAUK a,,b
Duncan
N
1
2
AN
6
69.9500
TN
6
72.1867
LN
6
Sig.
87.2767 .594
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 49.260. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.
F 8.373 2136.842 13.243 10.819 4.716
Sig. .002 .000 .002 .004 .025
89
Lampiran 13 Analisis Ragam Anova Kandungan Zat Besi Pada Sayur daun Torbangun dengan Kombinasi Pangan Sumber Karbohidrat dan Protein Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:ZAT_BESI Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
7.604a
8
.951
.612
.750
975.789
1
975.789
627.851
.000
SAYUR
2.086
2
1.043
.671
.535
LAUK
1.635
2
.817
.526
.608
SAYUR * LAUK
3.883
4
.971
.625
.657
Error
13.988
9
1.554
Total
997.380
18
21.592
17
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .352 (Adjusted R Squared = -.224)
90
Lampiran 14 Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Lodeh Torbangun
1250
Berat 2x ulangan (g) 2500
Lengkuas
50
100
3
Daun salam
50
100
4
Air
375
750
5
Santan
2499
4999
6
Bawang merah
50
100
7
Bawang putih
112
225
8
Cabe merah
75
150
9
Ketumbar
12
25
10
Kencur
12
25
11
Garam
37
75
12
Minyak goreng
90
180
No
Bahan
1
Daun torbangun
2
Berat Bahan (g)
91
Lampiran 15 Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Pecel Torbangun
1
Daun torbangun
1250
Berat 2x ulangan (g) 2500
2
Kacang tanah
625
1250
3
Cabai merah
125
250
4
Cabai rawit
25
50
5
Daun jeruk purut
50
100
6
Bawang putih
88
175
7
Gula jawa
125
250
8
Terasi
13
25
9
Gula pasir
33
65
10
Garam
13
25
11
Air
625
1250
12
Minyak goreng
250
500
No
Bahan
Berat Bahan (g)
92
Lampiran 16 Bahan-Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Sayur Tumis Torbangun
1250
Berat 2x ulangan (g) 2500
Bawang putih
75
150
3
Bawang merah
100
200
4
Bawang Bombay
100
200
5
Cabai merah
100
200
6
Minyak goreng
100
200
7
Garam
15
30
No
Bahan
1
Daun torbangun
2
Berat Bahan (g)
93
Lampiran 16 Prosedur Pengolahan Sayur Daun Torbangun Daun Torbangun
Sortasi daun segar
Dicuci dengan air bersih
Ditimbang masing-masing sebesar 1250 g
Diolah dengan cara direbus (sayur lodeh torbangun)
Diolah dengan cara dikukus (sayur pecel torbangun)
Diolah dengan cara ditumis (sayur tumis torbangun)
76