ARTIKEL
HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI PADA IBU MENYUSUI TERHADAP KADAR ZINK DAN BESI AIR SUSU IBU SERTA PERTUMBUHAN LINIER ANAK
OLEH : Yendrizal Jafri, SKp, M.Biomed (KIA)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) PERINTIS SUMBAR OKTOBER TAHUN 2012
1
HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI PADA IBU MENYUSUI TERHADAP KADAR ZINK DAN BESI AIR SUSU IBU SERTA PERTUMBUHAN LINIER ANAK Yendrizal Jafri1 ; Mera Delima1 ; Wilda Laila2 ; Fenny Wartisa3 1 Dosen Prodi Ilmu Keperawatan, 2Dosen Prodi Gizi, 3Dosen Prodi Kebidanan STIKes Perintis Sumbar
ABSTRAK
Masalah defisiensi zat gizi mikro seperti defisiensi zink (Zn) dan besi (Fe) merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak Negara berkembang termasuk di Indonesia yang banyak dialami oleh kelompok rawan gizi seperti ibu menyusui dan bayi. Gizi yang kurang pada usia tersebut akan berdampak terhadap penurunan fisik, perkembangan otak, kecerdasan, dan produktivitas, dimana dampak ini sebagian besar tidak dapat diperbaiki (irreversible). Penelitian ini mengungkap hubungan asupan protein, zink dan besi pada ibu menyusui 0 – 1 tahun terhadap kadar zink dan besi ASI serta pertumbuhan linier anak. Disain penelitian Retrospektif dengan pendekatan Cross Sectional, pengambilan sampel secara Simple Random Sampling. Pengumpulan data antropometri dan asupan gizi ibu dengan Food Frekuensi Semi Kuantitatif (FFQ). Analisis asupan protein, zink dan besi mengunakan program Food Prosessor. Analisis kadar zink dan besi ASI dilakukan dengan metode ASS (Atomic Absorption Spectrofotometer), dan pengukuran pertumbuhan linier anak dengan alat pengukur panjang anak. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan asupan zat gizi ibu menyusui sesuai deitnya tidak meningkat kadar zink ASI, tetapai meningkatkan kadar besi ASI. Kadar zink ASI secata nyata dipengaruhi oleh konsumsi protein. Sedangkan kadar besi ASI secara nyata dipengaruhi oleh pengaturan asupan zat gizi ibu menyusui sesuai dietnya (p<0,05). Rerata selisih panjang antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yaitu 0,67 cm.
Kata Kunci: Asupan zat gizi, Kadar zink & bes ASI, Pertumbuhan linier anank
2
PENDAHULUAN Studi-studi dibanyak Negara berkembang mengungkapkan bahwa penyebab utama terjadi gizi kurang dan hambatan pertumbuhan pada anak-anak usia 3 – 15 bulan berkaitan dengan rendahnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan buruknya praktek pemberian makanan pendamping ASI (Shrimpton, 2001). Di Indonesia hanya 14% bayi mendapat ASI eksklusif sampai 5 bulan dan hanya 8% bayi mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan (Depkes, 2004). Masalah defisiensi zat gizi mikro seperti defisiensi zink (Zn) dan besi (Fe) merupakan masalah kesehatan masyarakat dibanyak Negara berkembang termasuk di Indonesia yang banyak dialami oleh kelompok rawan gizi seperti ibu menyusui dan bayi (ACC/SCN, 2001). Sementara itu Bank Dunia (Wor Bank, 2006) menemukan bahwa 30% masyarakat di negara berkembang defisiensi zat gizi mikro (40% masyarakat defisiensi besi dan lebih dari 40% anak-anak defisiensi vitamin A). Peran zink dalam pertumbuhan terlihat dari interaksi zink dengan hormon dalam proses pembentukan tulang sedangkan adanya besi memungkinkan setiap sel tulang dapat melakukan metabolism sel dengan baik dimana besi akan mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel untuk metabolisme dan menghasilkan energi. Kebutuhan gizi bayi 0 – 6 bulan diperoleh melalui ASI sehingga produksi ASI yang cukup baik jumlah dan kualitasnya sangat menentukan terhadap pertumbuhan bayi. Upaya perbaikan gizi pada bayi 0 – 6 bulan hanya dapat dilakukan melalui perbaikan gizi ibunya. Berdasarkan hal tersebut maka ibu menyusui harus mempunyai status gizi baik, agar dapat menghasilkan ASI yang optimal guna memenuhi kebutuhan gizi bayi. Hubungan asupan zat gizi mikro dan kadar zat gizi mikro dalam ASI sampai saat ini belum konklusif. Beberapa studi menyimpulkan bahwa buruknya asupan zat gizi mikro dan
3
status zat gizi mikro pada ibu mengakibatkan rendahnya kadar zat gizi mikro dalam ASI. Sebaliknya studi lain menyimpulkan tidak ada hubungan asupan zat gizi mikro pada ibu terhadap kadar zat gizi mikro ASI. Studi Krebs (1985) menyimpulkan bahwa suplementasi zink berpengaruh terhadap kadar zink ASI setelah suplementasi 13 mg zink/hari selama 6 bulan. Hasil yang sama juga diungkap oleh Karra (1989) dengan suplementasi 50 mg/hari selama 34 hari. Berdasarkan masih tingginya prevelensi anemia pada bayi usia 6 bulan, ibu menysusui, belum konklusifnya hubungan asupan gizi mikro dengan kadar gizi mikro dalam ASI dan pentingnya ASI bagi tumbuh kembang bayi serta peranan zink dan besi dalam pertumbuhan anak, maka perlu diteliti lebih jauh bagaimana hubungan asupan gizi protein, zink dan besi sehari-sehari berdasarkan diet ibu menyusui dengan kadar zink dan besi ASI serta pertumbuhan linier anak.
MATERI DAN METODE 1. Lokasi, Desain, dan Sampel Penelitian ini dilaksanakan di 14 posyandu wilayah kerja Puskesmas Mandiangin, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi Propinsi Sumatera Barat. Bukittinggi dipilih berdasarkan masih tingginya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita yaitu 13,9% dan memiliki masih tinggi status gizi ibu kurus (IMT Ibu) yaitu 7,6% (Dinkes Propinsi Sumbar 2004), sedangkan Kecamatan Mandiangin Koto Selayan (MKS) dipilih dengan dasar pertimbangan adalah mempunyai cakupan program pemberian pil besi dalam jumlah kecil dibanding dengan kecamatan yang lain yaitu 90,2% cakupan pil besi pada ibu hamil (Dinkes Kota Bukittinggi, 2007). Penelitian dilakukan selama 7 bulan mulai Maret 2012 sampai dengan September 2012. Rancangan penelitian digunakan Retrospektif dengan pendekatan Cross
4
Sectional dimana mempelajari hubungan antara asupan protein, zink dan besi pada ibu menyusui terhadap kadar zink dan besi ASI serta pertumbuhan linier anak. Cara pengambilan sampel ini dilakukan dengan beberapa tahap yang diawali dengan melakukan sensus ibu menyusui oleh kader sesuai dengan kriteria. Kriteria berusia 18 – 34 tahun dan mempunyai anak 0 – 4 bulan, berasal dari keluarga miskin dan menegah (Pra KS, KS I, dan KS II), tidak sedang menderita penyakit parah dan berat badan rendah, dan bersedia secara sukarela terlibat dalam penelitian. Kriteria tambahan bayi yang disusui bukan bayi kembar, bayi menderita cacat atau penyakit turunan yang dapat mempengaruhi kemampuan bayi untuk menghisap ASI dan bayi tidak lahir prematur yaitu mempunyai usia kehamilan 36 – 40 minggu. Mengidentifikasi populasi
Ibu menyusui yang mempunyai bayi 0 – 4 bulan dalam
wilayah kerja Puskesmas Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi. Sampel adalah ibu menyusui dengan anaknya berusia 0 – 4 bulan sesuai kriteria penelitian diperoleh sebanyak 100 ibu menyusui. Kelompok ibu menyusui dibagi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (sesuai masukan sewaktu deskevaluasi proposal), kelompok perlakuan diberikan daftar menu diet ibu menyusui dan penyuluhan teknik menyusui yang baik, sementara kelompok kontrol tidak diberikan. 100 ibu menyusui anaknya ini diacak dalam 2 kelompok sehingga diperoleh 50 ibu menyusui dan bayinya kelompok perlakuan 50 ibu menyusui dan anaknya kelompok kontrol. Cara pengacakan dilakukan dengan menggunakan angka acak dalam komputer. 100 ibu diurut dari nomor 1 sampai 100. Dua angka terakhir dari angka acak yang muncul merupakan angka terpilih bagi ibu menyusui yang ada pada urutan 1 sampai 100. Angka acak ini diambil sebanyak 50 kali sehingga terpilih 50 ibu. Setelah 50 ibu terpilih berdasarkan angka acak tersebut ditetapkan sebagai kelompok perlakuan sedangkan sisanya 50 ibu lainnya ditetapkan sebagai kelompok kontrol.
5
2. Pengumpulan, Pegolahan, dan Analisis Data Sebelum mendapatkan penyuluhan, daftar menu diet menyusui dan tehnik menyusui yang baik dilakukan pengambilan data dasar dan dilanjutkan pengukuran panjang badan dan berat badan bayi setiap awal bulan sesuai jadwal posyandu. Pengambilan data dasar dilakukan pada bulan Maret 2012. Pada pengumpulan data responden dibagi 5 kelompok area, setiap kelompok terdiri dari 20 orang responden. Kelompok ditetapkan berdasarkan tempat tinggal dan posyandu sehingga memudahkan peneliti untuk pengumpulan data. Pengumpulan data dasar terkait dengan karakteristik ibu: Usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pengeluaran pangan dan non pangan ibu, serta data bayi mengukur panjang dan berat badan. Pengumpulan data ini dilakukan dibagi 5 kelompok tahapan turun setiap bulan, setiap turun ke lapang yang dapat dikumpulkan datanya sebanyak ± 20 ibu/responden dan bayi yang diawali di Posyandu dan teruskan kerumah bagi ibu yang tidak datang ke Posyandu. Dalam pelaksanaan penelitian ini 2 orang sampel mengundurkan diri dengan alasan pindah, jarang dirumah. Dengan adanya sampel mengundurkan diri maka pada akhir penelitian jumlah sampel pada kelompok kontrol menjadi 48 orang dan kelompok perlakuan sebanyak 50 orang. Setelah 16 minggu ibu menyusui mengikuti menu diet ibu menyusui lalu dilakukan pengambilan ASI pada bulan Juni akhir dan awal Juli 2012. Analisis zat gizi dalam pangan menggunakan program Food Prosessor berdasarkan DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan) Negara Indonesia dan ASIA. Konsumsi gizi ibu dan bayi dinyatakan dalam tingkat kecukupan konsumsi gizi yang dinyatakan dalam persen. Kadar zink dan besi dalam ASI dinyatakan dalam satuan berat masing-masing zat per liter ASI dengan mengunakan alat Atomic Absorption Spectrofotometry (AAS). Pertumbuhan bayi dinyatakan dalam z skor panjang badan berdasarkan umur dan z skor berat badan berdasarkan umur.
6
Analisis hubungan masing-masing variabel asupan protein, zink, besi, status gizi ibu terhadap zink dan besi ASI serta pertumbuhan linier anak. Analisis multivariat menghubungkan antara beberapa variabel independen asupan protein, zink, besi, status gizi terhadap variabel dependent kadar zink dan besi ASI serta pertumbuhan linier dengan uji regresi logistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum Karakteristik Keluarga Karakteristik responden ibu menyusui yang terdiri dari umur ibu, jumlah keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan, dan pekerjaan. Secara umum karakteristik sosial ekonomi pada kelompok relatif sama. Jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang, sedikit diatas batasan keluarga ideal menurut BKKBN. Umumnya keluarga mempunyai satu atau dua anak. Umur ibu kebanyakan berada pada kisaran 20 – 34 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ibu termasuk usia produktif baik untuk pendapatan pengahasilan maupun reproduksi menghasilkan keturunan. Tingkat pendidikan keluarga sampel tergolong cukup karena pendidikan ibu rata-rata diatas Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu 11 tahun. Pendapatan keluarga rata-rata yaitu Rp. 1.602.455 ± 1.020.985 atau 75% untuk keperluan pangan dan 25% untuk non pangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk pangan yang melebihi pengeluaran untuk non pangan menunjukan bahwa
keluarga
berpendapatan
rendah.
Ibu
kebanyakan
tidak
bekerja
sehingga
perolehanpenghasilan umumnya bersumber dari bapak. Pekerjaan ibu cukup bervariasi tetapi tetapi bila dihubungkan dengan perolehan penghasilan maka jenis pekerjaan ibu ini merupakan pekerjaan dengan pengahasilan relative rendah. Hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan ibu yang cukup rendah sehingga jenis pekerjaan terbanyak ibu rumah tangga.
7
2. Asupan zat gizi, tingkat kecukupan dan status antropometri ibu Rata-rata berat badan ibu yaitu 53,90 ± 8,80 pada kelompok perlakuan, lebih tinggi daripada kelompok kontrol yaitu 51,09 ± 5,88. Selain itu bila dihubungkan dengan status gizi berdasarkan IMT maka terlihat bahwa ibu yang mempunyai gizi lebih (IMT>25) lebih banyak dijumpai kelompok perlakuan sehingga penurunan berat badan ibu lebih terlihat pada kelompok kontrol. Berdasarkan IMT, status gizi ibu umumnya normal (18
25) lebih banyak dijumpai pada kelompok perlakuan dari pada kelompok kontrol. Ratarata IMT ibu menyusui dalam ini relatif sama dengan IMT ibu menyusui di Jawa Barat dalam Dijkhuizen et al (2001) yaitu 21,2 dengan kisaran 19,7 – 23,0. Hal ini berarti status gizi ibu menyusui berdasar IMT di Jawa Barat umumnya baik (normal). Bila dibandingkan dengan IMT ibu menyusui di Negara maju maka IMT ibu menyusui di Amerika setelah satu bulan melahirkan lebih tinggi yaitu 23 ± 2,6 (Butte dan Garza, 1986 dalam ACC/SCN, 1991). Secara umum konsumsi zat gizi yang diatur diet pada ibu menyusui atau kelompok perlakuan lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Kenaikan konsumsi protein, zink dan besi lebih tinggi pada kelompok perlakuan atau yang atur dietnya dari pada kelompok kontrol, dengan rerata secara berturut-turut yaitu 45,72 ± 19,78 mg, 5,58 ± 2,75 mg dan 13,91 ± 4,01 mg. Asupan berdasarkan AKG baik terbanyak secara berturut-turut adalah asupan zink dan besi. Asupan berdasarkan AKG kurang terbanyak secara berturut-turut protein dan besi. Hal ini berarti bahwa pangan yang dikonsumsi ibu menyusui sangat rendah kandungan gizi mikronya. Keadaan ini lebih disebabkan karena factor ekonomi yaitu ketidakmampuan ibu untuk membeli pangan sumber gizi zink dan besi yang harganya mahal, dan ketidakmampuan ibu untuk
8
mengatur diet dalam menyusui. Ibu menyusui dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari keluarga menegah kebawah. Pada keadaan fisiologis menyusui kebutuhan gizi ibu meningkat karena kebutuhan untuk memproduksi ASI sehingga rawan terhadap terjadinya gizi kurang (World Bank, 2006). Rendahnya gizi mikro yang dikonsumsi ibu menyusui akan mempengaruhi kemampuan untuk menyediakan ASI dengan kandungan gizi mikro yang cukup untuk pertumbuhan bayi.
3. Kadar zat dalam ASI Kadar zink ASI antara kelompok dan kelompok perlakuan berada pada kisaran 2,15 ± 1,68 ml/L sampai dengan 2,89 ± 1,85 ml/L dengan rata-rata 2,52 ± 1,76 ml/L. Kadar besi ASI pada kelompok perlakuan 5,82 ± 2,90 mg/L dan kelompok kontrol 3,95 ± 2,56 mg/L dengan rata-rata 4,88 ± 2,73 mg/L. Kadar zink ASI pada saat melahirkan tinggi dan semakin menurun dengan bertambahnya umur penyusuan (Lonnerdal, 2003). Adanya suplementasi zink dapat memberikan pengaruh yang bervariasi. Dalam penelitian ini pengaturan menu diet ibu menyusui selama 4 bulan meningkatkan kadar zink ASI. Krebs et al (1985) dalam ACC/SCN (1991) juga menemukan bahwa suplementasi zink 13 mg/hari berpengaruh terhadap kadar zink ASI setelah 6 bulan. Karra et al (1989) dalam ACC/SCN (1991) juga mengemukakan adanya pengaruh suplementasi Zn 50 mg/hari terhadap zink ASI setelah 34 hari. Zink dilepaskan dari makanan sebagai ion bebas pada proses pencernaan dan diangkut ke membrane basolateral enterocyt menuju sirkulasi darah portal. System portal ini membawa zink yang diabsopsi ke hati dan dari hati dibagi ke berbagai jaringan. Pengangkut utama zink dalam plasma adalah albumin dan α2 macroglobulin sehingga protein sangat mempengaruhi transport
9
zink. Mekanisme pengaturan kadar zink dalam ASI yaitu zink berasal dari serum ibu akan dibawa ke kalenjar payudara untuk selanjutnya disinteses bersama dengan pembentukan air susu ibu. Sekresi zink dalam ASI sangat kompleks dan berhubungan dengan protein susu tertentu. Transporter ZnT-4 di kelenjar payudara berhubungan dengan sekresi zink ke ASI. Adaptasi ibu terhadap kebutuhan zink yang tinggi selama laktasi yaitu pada saat keluarnya zink endogenus dari usus dan ginjal, mobilisasi dan redistribusi dari pool zink tubuh mempengaruhi kadar zink dalam ASI. Intik kalsium pangan yang umumnya rendah di Negara berkembang juga mempengaruhi ketersediaan zink untuk sekresi dalam ASI. Zink di uptake oleh kelenjar payudara melalui ZTL1, Z1P1 dan Z1P4, sedangkan pengiriman ke ASI diatur oleh ZnT2 dan ZnT4 (Domeklof, 2004). Rendahnya kadar zink dalam ASI juga dapat disebabkan gangguan dalam transfer zink dari serum ibu ke payudara karena terganggunya pengangkut zink. Pada keadaan defisiensi zink berat terjadi mutasi dalam ZnT-4 yang dihasilkan kelenjar payudara. Mutasi ZnT-4 dapat mengakibatkan kadar zink ASI menjadi rendah (Krebs et al, 1994). Kadar besi dalam ASI tinggi saat lahir. Kadar besi dalam ASI matang adalah 0,2 – 0,9 mg/L (ACC/SCN, 1991). Dari tabel 4 terlihat bahwa kadar besi ASI pada kelompok perlakuan 5,82 ± 2,90 mg/L dan kelompok kontrol 3,95 ± 2,56 mg/L dengan rata-rata 4,88 ± 2,73 mg/L. Kadar besi ASI dalam penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan rata-rata besi ASI yang dikemukakan Committee on Nutrition (1985) yaitu 0,3 ± 0,1 mg/L dan yang dinyatakan oleh Suharyono (1990) yaitu 0,1 – 1,6 µg/ml. Konsumsi besi relatif sama dengan konsumsi besi ibu menyusui beberapa hasil penelitian yang dikutip dari Villalpando. S et al (2003) seperti penelitian Otomi mengemukakan konsumsi besi ibu menyusui adalah 15 ± 5 mg, Borrud et al konsumsi besi ibu menyusui adalah 12,8 ± 0,7 mg, dan penelitian Mackey et al konsumsi besi ibu menyusui adalah 21,2 ± 8,4 mg. Sedangkan
10
konsumsi protein lebih rendah daripada konsumsi protein dalam penelitian ini yaitu berkisar 13 sampai 17 gr. Konsumsi protein dan zink dalam studi Fung et al (1997) lebih tinggi daripada konsumsi protein dan zink dalam studi ini yaitu 93,3 ± 5,7 gr protein dan zink 11,2 ± 0,7 mg pada ibu menyusui 2 – 3 bulan setelah melahirkan. Konsumsi besi dalam studi Fung et al (1997) relative sama dengan konsumsi besi dalam penelitian ini yaitu 14,9 ± 1,1 mg. Selanjutnya untuk mengetahui apakah konsumsi zat gizi besi pada ibu menyusui ini telah mencukupi kebutuhan gizinya maka konsumsi zat gizi ini dibandingkan dengan AKG Indonesia yang disebut tingkat kecukupan gizi dan dinyatakan dalam persen kecukupan.
4. Konsumsi Bayi Inisiasi pemberian ASI setelah lahir sudah cukup baik dimana sebagian besar bayi yaitu 49,0 % sudah disusui kurang dari satu hari. Frekuensi menyusui cukup baik dimana kebanyakan bayi menyusu lebih dari 8 kali sehari. Bayi yang menyusu lebih dari 8 kali sehari jumlahnya bertambah setelah perlakuan. Rata-rata lama menyusui bayi relatif sama antara kelompok ibu mengaturan diet dan kelompok kontrol yaitu 6,35 ± 4,96 jam dalam sehari. Volume ASI pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol relatif sama sebelum perlakuan yaitu rata-rata 389,3 ± 240,4 ml/hari dan 429,9 ± 146,8 ml/hari setelah perlakuan. Pemberian ASI setelah lahir sudah cukup baik, hal ini relativf sama dengan hasil penelitian Sunaryo. E (2004) dimana 54,6% bayi disusui kurang 24 jam. Riyadi. H (2002) juga mengemukakan hal sama yaitu 63,3% bayi disusui kurang 24 jam. Inisiasi pemberian ASI setelah melahirkan sangat menentukan terhadap keberhasilan laktasi dan produksi ASI (Packard, 1982). Meskipun umumnya ASI belum keluar sesaat setelah melahirkan tetapi hisapan bayi terhadap payudara ibu akan merangsang hormone prolaktin dan oksitosin untuk memproduksi
11
dan mengeluarkan ASI sehingga akan mempercepat keluarnya ASI. Pada bayi yang lebih awal disusui setelah lahir umumnya tidak mengalami kesulitan untuk menyusui daripada bayi yang lebih lama disusui setelah lahir sehingga WHO merekomendasikan dalam manajemen laktasi supaya bayi segera disusui setelah lahir. Berdasarkan hal ini maka Departemen Kesehatan RI (Depkes, 2002) menginstruksikan kepada rumah sakit bersalin untuk menerapkannya melalui sistem rawat gabung (rooming in) dimana ibu dan bayi ditempatkan dalam satu kamar yang sama sehingga bayi bisa langsung disusui ibunya kapan saja secara tidak terbatas (on demand). Sebagian besar yaitu 45 – 50% bayi pada kelompok pengaturan diet ibu menyusui dan kelompok kontrol diberi ASI kurang 24 jam setelah lahir. Hal ini dimungkinkan karena semua ibu melahirkan secara normal dan kondisi ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Pada bayi yang disusui lebih dari 24 jam berdasarkan wawancara diketahui bahwa ibu mempunyai persepsi bahwa ASI yang keluar pertama kali masih merupakan ASI kotor karena berwarna kuning kental sehingga harus dibuang dan tidak baik untuk kesehatan sehingga bayi tidak boleh diberi ASI kurang dari 24 jam. Alasan lain menyatakan bahwa ASI belum keluar kurang 24 jam sehingga bayi belum perlu disusui. Hal ini menunjukkan perlunya pendidikan kesehatan dan gizi pada ibu menyusui terutama praktek pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan kenyataan ini maka praktek pemberian ASI eksklusif secara benar perlu lebih disosialisasikan pada berbagai media massa ataupun dengan peran berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap ASI ataupun kesehatan ibu dan bayi. Selain itu perlu adanya kebijakan pemerintah untuk memberdayakan peran kader posyandu ataupun tenaga gizi khususnya di daerah pedesaan sebagai ujung tombak pelayanan gizi dan kesehatan pada masyarakat. Frekuensi dan lama menyusui bayi dalam sehari ditentukan berdasarkan wawancara terhadap ibu, sedangkan volume ASI ditentukan berdasarkan frekuensi dan lama menyusui bayi
12
dimana penyusuan lebih dari 15 menit diasumsikan mempunyai volume ASI 60 ml dan penyusuan kurang 15 menit diasumsikan mempunyai volume ASI 20 ml (Worthington-Roberts, 1993 dalam Riyadi. H, 2002). Frekuensi menyusui cukup baik dimana kebanyakan bayi menyusu lebih dari 8 kali sehari. Bayi yang menyusu lebih dari 8 kali sehari jumlahnya bertambah setelah perlakuan. Hal ini disebabkan sudah lancarnya produksi ASI dan kebutuhan bayi akan ASI yang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia sehingga mengakibatkan bayi semakin sering menyusu. Rata-rata lama menyusui bayi relatif sama antara kelompok ibu mengaturan diet dan kelompok kontrol yaitu 6,35 ± 4,96 jam dalam sehari. Lama dan frekuensi menyusui menentukan terhadap volume ASI karena akan membuat hormone prolaktin dan oksitosin bekerja maksimal dalam memproduksi ASI (ACC/SCN, 1991). Bayi yang lebih lama disusui dan lebih sering disusui akan mengkonsumsi ASI lebih banyak karena volume ASI yang dihasilkan lebih banyak daripada bayi yang jarang disusui. Setelah intervensi bayi mengalami peningkatan lama menyusui menjadi 8 jam dalam sehari. Frekuensi penyusuan yang tinggi ini memungkinkan karena ibu tidak bekerja diluar rumah sehingga dapat menyusui bayinya dengan lama dan sering. Volume ASI pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol relatif sama sebelum dan setelah perlakuan yaitu rata-rata 389,3 ± 240,4 ml/hari sebelum perlakuan dan 429,9 ± 146,8 ml/hari setelah perlakuan. Dari beberapa studi diketahui bahwa volume ASI sangat bervariasi. Di Negara industri volume ASI berkisar 750 – 800 gr/ hari pada 4 – 5 bulan pertama, sedangkan volume ASI pada hari ke 6 – 10 setelah melahirkan adalah 500 – 600 gr/hari (Casey et al, 1986 dan Saint et al, 1984). Jika dibandingkan dengan volume ASI di Negara industri maka dapat dikatakan volume ASI pada penelitian cukup rendah. Studi Nasution. A (2003) mendapati volume ASI dengan umur 4 bulan berkisar 512 sampai 822,5 gr/hari dan penyusuan 6 bulan
13
berkisar 355,0 sampai 496,7 gr/hari. Demikian juga dengan studi Fung. E et al (1997) mengemukakan bahwa rata-rata volume ASI pada umur penyusuan 2 – 3 bulan adalah 915 gr/hari. Jika dihubungkan antara frekuensi menyusui yang cukup sering tetapi konsumsi ASI rendah berarti bahwa bayi sering disusui tetapi secara sebentar-sebentar (kurang dari 15 menit). Berdasarkan wawancara pada ibu diketahui bahwa kadang-kadang bayi disusui bukan untuk pemenuhan kebutuhan gizi bayi tetapi cenderung supaya bayi tidak menangis dan dihentikan bila bayi tidak menangis lagi. Hal inilah yang menyebabkan volume ASI relatif rendah. Jika dibandingkan volume ASI antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terlihat bahwa volume ASI kelompok perlakuan lebih tinggi daripada volume ASI kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena frekuensi menyusui lebih dari 8 jam sehari lebih banyak pada kelompok perlakuan dari pada kelompok kontrol. Selain itu bayi pada kelompok perlakuan lebih lama menyusui dalam sehari sehingga volume ASI lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Ibu yang kondisi kesehatan dan kecukupan gizinya lebih baik mengakibatkan peranan hormone dan fungsi berbagai organ yang berperan dalam memproduksi ASI tidak terganggu dan akan bekerja maksimal.
5. Pertumbuhan Bayi Rerata panjang badan bayi pada kelompok perlakuan 13,07 ± 3,20 cm dan kelompok kontrol 12,40 ± 2,95 cm dengan rata-rata panjang badan pada kedua kelompok yaitu 12,47 ± 3,07 cm. Z skor PB/U kelompok perlakuan sudah mengalami penurunan mulai pengamatan bulan ke 3, dan pengamatan bulan ke 4, sedangkan pada pengamatan bulan ke 5 dan bulan ke 6 (pengaturan diet ibu menyusui) z skor PB/U mengalami peningkatan. Sebaliknya pada kelompok
14
kontrol mulai pengamatan bulan ke 2, bulan ke 3, bulan ke 4, bulan ke 5 dan bulan ke 6 z skor terus mengalami penurunan yang semakin rendah (semakin jauh dari titik nol). Pada bayi perempuan meskipun z skor PB/U kelompok pengaturan diet ibu menyusui dan z skor PB/U kelompok kontrol cenderung mengalami penurunan tetapi penurunan z skor terlihat lebih besar pada kelompok kontrol. Oleh karena z skor PB/U menggambarkan status gizi masa lalu maka penurunan yang terjadi selain disebabkan asupan gizi kurang saat ini juga diduga disebabkan asupan gizi yang kurang dalam kandungan ataupun karena faktor genetik. Dari nilai z skor BB/U dan z skor PB/U dapat disimpulkan bahwa bayi pada bulan ke 4 perlakuan mengalami penurunan status gizi baik pada bayi laki-laki maupun perempuan. Penyimpangan z skor yang semakin jauh dari titik nol didapati lebih besar pada kelompok kontrol disbanding kelompok perlakuan yang menunjukan adanya hubungan pengaturan diet ibu menyusui. Meskipun penyimpangan z skor masih belum terlalu jauh dari titik nol, penyimpangan ini harus diwaspadai karena bila tidak diperbaiki kecepatan pertumbuhan (growth spurt) yang menutut besarnya kebutuhan gizi pada usia bayi akan mengakibatkan penyimpangan yang semakin besar sehingga susah untuk mengejar pacu tumbuhnya (catch up growth). World Bank (2006) mengemukakan bahwa upaya-upaya perbaikan gizi yang dilakukan setelah usia dua tahun tidak mampu memperbaiki kerusakan atau dampak kurang gizi yang terjadi pada usia dibawah dua tahun. Perbaikan gizi yang dilakukan pada usia dibawah dua tahun tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan anak tetapi juga terhadap perkembangan otak, kecerdasan, dan produktivitas. Disamping itu erbaikan gizi juga berkaitan dengan ekonomi dimana adanya investasi dibidang gizi member pengembalian manfaat ekonomi yang tinggi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kemiskinan.
15
6. Hubungan asupan zat gizi protein, zink dan besi dengan kadar zink Hasil analisis regresi logistik kadar zink ASI menunjukkan bahwa konsumsi protein secara bermakna (p<0,05) mempengaruhi kadar zink ASI. Nilai OR untuk konsumsi protein adalah 17,8. Hal ini berarti ibu yang mempunyai konsumsi protein lebih mempunyai peluang 17,8 kali lebih tinggi kadar zink ASI dibandingkan ibu mempunyai konsumsi protein rendah. Lonnerdal (2003) meyatakan bahwa pengangkut utama zink dalam plasma adalah albumin dan α macroglobulin yang terdiri dari protein sehingga protein sangat mempengaruhi transport zink. Zink yang berasal dari plasma ibu akan dibawa ke kelenjar payudara dan disintesis bersama dengan pembentukan air susu ibu (Domeklof, 2004). Hal ini diperkuat dengan uji korelasi Pearson antara zink ASI dan konsumsi protein menunjukkan adanya korelasi positif dan nyata (p<0,05) yang berarti semakin tinggi konsumsi protein maka kadar zink ASI juga makin tinggi. Volume ASI, IMT, dan konsumsi zink berpeluang meningkatkan kadar zink ASI tetapi tidak nyata secara statistik.
7. Hubungan asupan zat gizi protein, zink dan besi dengan kadar besi Hasil analisa regresi logistik kadar besi menunjukkan bahwa pengaturan diet ibu menyusui secara bermakna mempengaruhi kadar besi ASI. Nilai OR untuk konsumsi yang diatur sesuai menu ibu menyusui adalah 4,6. Hal ini berarti bahwa ibu yang diatur asupan sesuai dengan menu ibu menyusui lebih tinggi 4,6 kadar besi ASI nya dibandingkan dengan ibu yang tidak diatur menu makanannya. Konsumsi protein, konsumsi zink, konsumsi besi, dan volume ASI berpeluang meningkatkan kadar besi ASI tetapi tidak nyata secara statistik. Studi Lonnerdal (2000) yang mengemukakan bahwa suplementasi besi 100 mg/ml pada ibu yang anemia mempunyai kadar besi ASI lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak
16
mendapat suplementasi. Hal ini selanjutnya diperkuat oleh Lonnerdal et al (2004) yang menyatakan buruknya status gizi ibu ditandai dengan anemia gizi besi dapat mengganggu fungsi kelanjar payudara khususnya fungsi metabolik dan sekresi zat gizi ke air susu. Studi Nasution. A (2003) juga mengemukan bahwa suplementasi biskuit dengan 32,7 mg besi pada ibu hamil selama 3 bulan berpengaruh terhadap kadar besi ASI. Konsumsi besi akan mempengaruhi kadar besi dalam tubuh yang ditunjukkan dengan kadar besi plasma, kadar Hb maupun kadar feritin darah. Bila kadar Hb sudah normal maka besi akan disimpan dalam hati sebagai cadangan besi yaitu feritin yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan. Selain itu adanya hubungan antara kadar besi plasma dengan kadar besi ASI dikemukakan oleh Domeklof (2004) yaitu bahwa lewatnya besi dari plasma ke air susu dalam kelenjar payudara merupakan difusi pasif sehingga ada korelasi positif antara kadar besi dalam plasma dengan kadar besi dalam air susu.
8. Hubungan asupan gizi dengan pertumbuhan linier bayi Hasil analisa regresi logistik terhadap panjang badan bayi nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0,36 yang berarti 36% nilai pertumbuhan linier dapat dijelaskan oleh pengaturan diet sesuai diet ibu menyusui konsumsi besi. Sedangkan 64% oleh faktor lain yang tidak teramati dalam penelitian ini. Hasil analsis regresi ini juga menunjukkan bahwa jenis kelamin, pendidikan ibu, konsumsi protein, volume ASI, konsumsi zink dan panjang badan awal tidak nyata mempengaruhi pertambahan panjang badan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan panjang badan yang terjadi bukan disebabkan faktor genetik tetapi lebih kepada asupan diet ibu menyusui berpengaruh secara nyata (p<0,05) terhadap pertambahan
17
panjang badan ataupun asupan zat gizi saat dalam kandungan ibunya. Zat gizi yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan panjang badan ini adalah zink, dan besi. Adanya pengaturan diet ibu menyusui memberikan pertambahan panjang badan sekitar 1,37 cm dimana laki-laki lebih panjang 0,91 cm daripada perempuan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi NCHS WHO yang menyatakan bahwa bayi laki-laki 0 – 6 bulan lebih tinggi dari pada perempuan 0 – 6 bulan berdasarkan panjang badan median NCHS WHO. Salah satu yang mendasari perbedaan ini adalah perbedaan kebutuhan gizi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Panjang badan laki-laki dalam penelitian ini lebih tinggi daripada panjang badan bayi perempuan meskipun masih lebih kecil dari panjang badan median NCHS WHO. (Widdowson, 1985 dalam Soetjiningsih, 1995). Pemberian pengaturan diet dengan berbagai asupan gizi mikro seperti zink, dan besi berperan nyata terhadap pertumbuhan linier bayi. Hal ini seperti dikemukakan oleh Penny.M, et al (2004) yaitu zink merupakan gizi penting yang berperan dalam fungsi imunitas dan pertumbuhan fisik sehingga zink dapat menurunkan diare dan pneumonia dan meningkatkan pertumbuhan pada anak-anak yang berisiko stunting. Ketidakcukupan zink dapat berkaitan dengan defisiensi mikronutrien lain sehingga mengakibatkan masalah gizi yang dapat menggurangi potensi zink terhadap pertumbuhan (Lind.T, et al.2003). Peran penting lain dari zink terhadap pertumbuhan adalah bahwa zink berinteraksi dengan hormon penting dalam pertumbuhan tulang seperti somatomedin-C- osteocalcin, testosteron, hormon tiroid, dan insulin. Selain itu zink berkaitan erat dengan metabolisme tulang sehingga berperan prositif terhadap pertumbuhan dan perkembangan (Salgueiro, et al. 2002). Dengan demikian zink berperan penting dalam sistesis hormon pertumbuhan dan perannya dalam produksi somatomedin-C di hati. Beberapa hormon yang secara tidak langsung berhubungan dengan pertumbuhan adalah
18
insulin, tiroid dan testosteron dimana testosteron berpotensi meningkatkan berat dan massa otot dan mendukung pertumbuhan linier (Dewey, et al, 2002). Besi digunakan oleh banyak enzim, protein, dan organ lain termasuk sel tulang untuk produksi energi sehingga kekurangan besi akan mengganggu aktivitas sel seperti perbanyakan sel yang menghambat pertumbuhan (Stoltzfus. R, 2003). Selain itu peran besi terhadap pertumbuhan berhubungan dengan respon imunitas dan penurunan produksi antibodi sehingga menghambat pertumbuhan.
SIMPULAN Kesimpulan Dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan kadar zink dan besi ASI sangat berhubugan dengan asupan zat gizi ibu. untuk itu disarankan agar ibu menyusui harus mempunyai asupan zat gizi yang cukup agar dapat menghasilkan ASI yang optimal guna memenuhi kebutuhan bayi. Konsumsi zat gizi yang diatur diet pada ibu menyusui atau kelompok perlakuan lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Kenaikan konsumsi protein, zink dan besi lebih tinggi pada kelompok perlakuan atau yang atur dietnya dari pada kelompok kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan asupan zat gizi ibu menyusui sesuai deitnya tidak meningkat kadar zink ASI, tetapai meningkatkan kadar besi ASI. Kadar zink ASI secata nyata dipengaruhi oleh konsumsi protein. Sedangkan kadar besi ASI secara nyata dipengaruhi oleh pengaturan asupan zat gizi ibu menyusui sesuai dietnya (p<0,05). Rerata panjang badan bayi pada kelompok perlakuan lebih panjang daripada kelompok kontrol dengan selisih panjang antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yaitu 0,67 cm.
19
Saran Bahwa perbedaan kadar zink dan besi ASI sangan berhubungan dengan asupan zat gizi ibu. Untuk itu disarankan agar ibu menyusui harus mempunyai asupan zat gizi yang cukup agar dapat menghasilkan ASI yang optimal guna memenuhi kebutuhan bayi. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan asupan zat gizi mikro terhadap kadar ASI dengan metode eksperimen. Intervensi yang diberikan berdasarkan AKG protein, zink dan besi yang berbeda. Juga diperlukan dihitung molar pitat yang mengganggu dan meningkatkan absorpsi zink, besi dan protein. Untuk mengetahui apa betul-betul asupan protein (albumin, α2 macroglobulin, transferin, laktoferin) berperan dalam pengangkutan zink dan besi di plasma maupun dikelenjar payudara. Oleh karena itu perlu dianalisis lebih jauh peran masing-masing hubungannya terhadap kadar zink dan besi ASI dengan pemeriksaan plasma ibu menyusui. Sosialisasi pemberian ASI eksklusif dan MPASI tepat cara tepat waktu serta perawatan kesehatan dalam memenuhi kecukupan gizi ibu dan anak dapat tercapai dengan maksimal. Sosialisasi ini dilakukan melalui peran berbagai LSM yang peduli terhadap gizi dan kesehatan anak.
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih banyak kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat , Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Kopertis Wilayah X, Sumbar, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini dibiayai.
20
Kepada Bapak Ketua STIKes Perintis Sumbar, Bapak Ketua LPM STIKes Perintis Sumbar, Pemerintahan Kota Bukittinggi dengan jajarannya, responden ibu menyusui wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mandiangin Koto Selayan Bukittinggi Sumbar dan semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini sangat dihargai dan diucapkan terimakasih.
21
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 2001. Nutrition Policy Paper No 19. ADB Nutrition and Development Series No 5. United Nations Administrative Committee on Coordination Sub Committee on Nutrition. Asian Development Black. R. 2001. Zinc Deficiency, Immune Function, Morbidity and Mortality from Infection Disease among Children in Developing Countries. Food and Nutrition Bulletin Vol 22 No 2 June 2001. Special Issue on Recent Intervention Trial with Zinc. United Nation University Press Brown. K, Wuehlers. S, Peerson. J. 2001. The Importance of Zink in Human Nutrition and estimation of Global Prevalence of Zinc Deficiency. Food and Nutrition Bulletin Vol 22 No 2 June 2001. United Nations University Press Castilo. D, Vial.P, Uauy.R,. 2001. Trace Mineral Balance during Acute Diarrhea in Infant. Dalam Brown K, Wuehler. S, Peerson.J. The Importance of zinc in Human Nutrition and Estimation of Global Prevalence of Zinc Deficiency. Food and Nutrition Bulletin Vol 22 No 2 June 2001. United Nation Universty Press Cousins R.J and McMohan R.J. 2000. Integrative Aspects of Zinc Transporters. Zinc and Health: Current Status and Future Directions. American Socienty for Nutritional Sciences Departemen Kesehatan R.I. 2003. Gizi dalam angka Dijkhuinzen. M.A, Wieringa. F, West.C, Muherdiyantiningsih, Muhilal. 2001. Concurrent Micronutrient Defisiensi in Lactating Mothers and Their Infants in Indonesia. AM.J. Clin.Nutr. Vol.73:786-791 Domeklof.M. 2004. Iron, Zinc and Copper Interaction in Breast Milk are Independent of Maternal Mineral Status. Am.J.Clin.Nutr. Vol. 79 No 1 Dorea.J.G. 2002. Zinc Deficiency in Nursing Infants. Journal of The American College of Nutrition Vol 21: No 2, 84 – 87 Evawany, A. 2007. Pengaruh pemberian mie instant fortifikasi pada ibu menyusui terhadap kadar zink dan besi ASI serta pertumbuhan linier bayi. Institute Pertanian Bogor Gibney.M, Hester H. Vorster and Frans J.Kok. 2002. Introduction to Human Nutrition. The Nutrition Society. Blackwell Publishing Hardinsyah, Briawan.D, Setiawan.B, Sulaeman. A, Sukandar.D, Yekti. 2005. Studi Efikasi Biskuit dan Mie yang Difortifikasi terhadap Status Gizi Mikro Ibu dan Anak. Kerjasama IPB dengan World Food Program (WFP), Departemen Kesehatan, BPPOM
22
Herawati.T. 2003. Pengaruh Pemberian Biskuit Ibu Hamil dan Status Pemberian ASI terhadap Pertumbuhan Linier dan Perkembangan Bayi 0 – 6 bulan. Tesis. Program Pascasarjana.IPB.Bogor Hotz. C and Brown. K. 2004. Overview Zinc Nutrition. Dalam Food and Nutrition Bulletin Vol 25 No 1 March 2004. Supplement 2: International Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG) Technical Document Assessment of The Risk of Zinc Defficiency in Population and Option for Its Control. International Foundation for United Nation University Press Lonnerdal.B. 2000. Regulation of Mineral and Trace Elements in Human Milk: Exogenous and endogenous Factors. Nutr Rev Vol 58 No 8:696 Lind. T, Leonnerdal.B, Hans. S, Djauhari. I, Rosadi.S, Ekstrom.C, Person.A. 2003.A Community-Based Randomized Controlled Trial of Iron and Zinc Supplementation in Indonesia infeant: Interaction Between Iron and Zinc. Am.J Clin.Nutr. 2003; Vol 77:883890 Nasution.A. 2003. Pengaruh Suplement Formula Bsikuit Multigizi pada ibu hamil terhadap Kualitas Air Susu Ibu (ASI) dengan Pokok Bahasan Utama Mineral Seng (Zn). Disertasi yang tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Riyadi. H. 2002. Pengaruh Suplementasi Zn dan Fe terhadap ststus anemia, ststus seng dan pertumbuhan anak usia 6 – 24 bulan. Disertasi yang tidak publikasikan. Program Pascasarjana. Intitut Pertanian Bogor Shrimptom.2001. Wordwide Timing of Growth Faltering Implication may be inadeguate for some infans in a rural farming community in san amteo Capulhuac, Mexico. Am.Clin. Nutr. Vol 78: 782 – 789 . UNICEF. 2001. The State of World’s Children. Washington DC Widodo Y.2004. Pertumbuhan bayi 0-4 bulan yang mendapat ASI Eksklusif dan makanan Pendampingan ASI. Tesis. Program Pascasarjana. UGM.Yogyakarta. World Health Organotion. (WHO). 2002. The optimal duration of Exclusive Breastfeeding World Health Organotion. (WHO). 2002 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes R.I. Situasi Gizi Indonesia. Makalah pada seminar nasional pangan dan gizi. Jakarta 2006
23
TABEL & GRAFIK
Table 1. Panjang Badan bayi menurut umur Jenis kelamin Perlakuan n = 48 Laki-laki: - Awal - Akhir - Selisih Perempuan: - Awal - Akhir - Selisih Total: - Awal - Akhir - Selisih
Panjang badan (cm) Kontrol n = 50
Total n = 98
Nilai-p beda antar kelompok
57,69 ± 4,48 72,09 ± 1,80a 14,40 ± 3,14a
58,01 ± 3,78 71,31 ± 2,04b 13,30 ± 2,91b
57,85 ± 4,13 71,17 ± 1,92 13,32 ± 3,03
0,501 0,033* 0,035*
58,75 ± 4,48 70,48 ± 2,01a 11,73 ± 3,25a
58,31 ± 3,17 69,81 ± 2,80b 11,50 ± 2,99b
58,53 ± 3,82 70,15 ± 2,41 11,62 ± 3,12
0,407 0,042* 0,039*
58,22 ± 4,48 71,29 ± 1,91 13,07 ± 3,20
58,16 ± 3,48 70,56 ± 2,42 12,40 ± 2,95
58,19 ± 3,97 70,66 ± 2,17 12,47 ± 3,07
*Keterangan: a,b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan antar kelompok. Dampak ini sudah dikontrol dengan panjang badan awal, berat badan awal, jenis kelamin intik protein, zink dan besi.
Tabel 2: Rerata Z Skor PB/U bayi menurut jenis kelamin dan kelompok (cm). Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Waktu Pengamatan Bulan ke 1 Bulan ke 6 Bulan ke 1 Bulan ke 6 Bulan ke 1 Bulan ke 6
Perlakuan
Kontrol
-0,21 ± 1,47 0,19 ± 1,37a 0,72 ± 1,08 0,18 ± 0,91a 0,20 ± 1,35 0,18 ± 1,06
0,79 ± 0,89 0,26 ± 0,95b 0,25 ± 0,90 -0,60 ± 0,98b 0,55 ± 0,91 -0,43 ± 0,97
Nilai-p beda antar kelompok 0,374 0,023* 0,414 0,029*
*Keterangan: a,b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan antar kelompok. Dampak ini sudah dikontrol dengan panjang badan awal, berat badan awal, jenis kelamin intik protein, zink dan besi.
Tabel 3: Asupan zat gizi protein, zink dan besi dari pangan ibu menyusui menurut kelompok Zat Gizi Protein (gr) Zink (mg) Besi (mg)
Perlakuan (n=50) Mean ± SD 46,53 ± 18,69 6,01 ± 3,05 14,76 ± 3,78
Kontrol (n=48) Mean ± SD 44,92 ± 20,87 5,16 ± 2,45 13,06 ± 4,24
Total (n=98) Mean ± SD 45,72 ± 19,78 5,58 ± 2,75 13,91 ± 4,01 24
Tabel 4. Kadar Zink dan Besi ASI pada ibu menyusui (mg/L) Kadar zat dalam ASI
Perlakuan (n=50) Mean ± SD
Zink (mg/l) Besi (mg/l)
2,89 ± 1,85 5,82 ± 2,90
Kontrol (n=48) Mean ± SD 2,15 ± 1,68 3,95 ± 2,56
Total Mean ± SD
Sig
2,52 ± 1,76 4,88 ± 2,73
0,75 0,20
Grafik 1 Rata-rata pertambahan panjang bayi laki-laki 80 panajang badan (cm)
70 60 50 40
perlakuan
30
kontrol
20
WHO 2006
10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 umur (bulan)
25
Grafik 2 Rata-rata pertambahan panjang bayi Perempuan 80 Panjang Badan (cm)
70 60 50 40
perlakuan
30
kontrol
20
WHO 2006
10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 umur (bulan)
Grafik 3 Rata-rata Z skor PB/U bayi Laki-laki 1 0.8 0.6 Z skor PB/U
0.4 0.2 0 -0.2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 umur (bulan)
perlakuan kontrol
-0.4 -0.6 -0.8 -1
26
Grafik 4 Rata-rata Z skor PB/U bayi Perempuan 1 0.8 0.6 Z skor PB/U
0.4 0.2 0 -0.2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 umur (bulan)
perlakuan kontrol
-0.4 -0.6 -0.8 -1
27