INFORWAS Edisi 1 Th 2012
1
Berdasarkan SK Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan RI NO: 01T.PS.12.00.211.064.2012 Tgl: 4 Januari 2012 Susunan Dewan Redaksi Pelindung Yudhi Prayudha Ishak Djuarsa Penasehat Drs. Wiyono Budihardjo, MM dr. Zusy Arini Widyati, MM Dra. Rahmaniar Brahim, Apt, M.Kes Drs. Mulyanto, MM Drs. Wayan Rai Suarthana, MM Penanggungjawab : drg. S.R. Mustikowati, M.Kes Pemimpin Redaksi Irwansyah, SE, M.Kes., M.Ak. Wakil Pemimpin Redaksi Sunaedi Pradja, SP, M.Kes. Anggota Dewan Redaksi drg. Mirna Putriantiwi, M.QIH. Dede Sunardi, SH, MM. dr. Doli Wilfried H. S., M.Kes. Dede Mulyadi, SKM, M.Kes. Eko Sanova, SKM, MM. Retno Budiarti, SST, MM. R. Sjaefudin, SKM, MKM. Rudi Supriatna N. S., S.Kp., M.Kep. Penyunting/Editor Hendro Santoso, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom. drg. Lia Leita Kania Amalia Hotmedi Listia Doriana, SKM, M.Epid. dr. Merki Rundengan, MKM. Oong Rusmana, SKM. Tafsir Hanafi, SKM, M.Ak. Eka Widianti, SKM, MM. Desain Grafis & Fotografer Wahono, ST, MM. Adhitya Andy Widyatmono, SE. Ario Agung Bramanthi, S.Kom. Rudiyanto, SE. Andri Rubiana, S.Kom. RD. Yandri Achmad Sariffudin, Apt. Sekretariat Hidayanti, S.Sos,MM. Eko Haryanto, SE, M.Ak Wiji Lestari, SE. Rico Edra Saputra, SIP.
2
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Desain Grafis & Fotografer Wahono, ST, MM. Adhitya Andy Widyatmono, SE. Ario Agung Bramanthi, S.Kom. Rudiyanto, SE. Andri Rubiana, S.Kom. RD. Yandri Achmad Sariffudin, Apt. Sekretariat Hidayanti, S.Sos,MM. Eko Haryanto, SE, M.Ak Wiji Lestari, SE. Rico Edra Saputra, SIP.
Daftar Isi Beranda dan Surat Pembaca
3
Laporan Utama : Rapat Kerja Kesehatan Nasional Tahun 2012
4
Laporan : Rapat Kerja Pengawas
8
Profile : Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung “Negeri Laskar Pelangi”
12
Laporan : Evaluasi Kinerja Tahun 2011 dan Program Prioritas 2012 Kementrian Kesehatan
16
Tulisan : SPIP Antara Harapan dan Kenyataan
18
Perubahan Paradigma Pengawasan Inspektorat Jenderal Kemenkes RI
20
Upaya Membangun Pengendalian Intern yang Efektif Galeri Foto
35
Cambuk Meperbaiki diri & Meningkatkan Pelayanan
37
Galeri Foto
41
Beranda Beranda
Suara Pembaca
Pembaca Inforwas yang budiman, Edisi awal tahun 2012, kami menyajikan Laporan Utama mengenai Pelaksanaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) yang dilaksanakan di Hotel Bidakara Jakarta dengan tema“ Dengan Reformasi Birokrasi Kita Tingkatkan Kinerja dan Prestasi” Dari tema tersebut, sangat jelas bahwa Kementerian Kesehatan memberikan perhatian yang lebih pada pembenahan sistim di dalam institusi Kementerian Kesehatan agar menjadi suatu institusi pemerintah yang lebih bersih, lebih baik, sesuai perubahan paradigm yang ada. Sangat berkaitan erat dari tema Rakerkesnas ,salah satu tulisan yang ditampilkan dalam Inforwas kali ini adalah tulisan mengenai SPIP, yang kami harapkan dapat berguna untuk menambah referensi kita untuk mengimplementasikannya. Selain itu kami tampilkan tulisan lainnya dengan harapan memberikan informasi yang berguna bagi pembaca Inforwas. Tentunya kami Redaksi, menunggu partsipasi aktif teman sejawat auditor dan rekan kerja di lingkungan Kemeterian Kesehatan untuk mengirimkan tulisannya seperti tulisan selama pelaksanaan kegiatan di lapangan. Salam Redaksi
INFORMASI PENGAWASAN Saya salah satu pembaca setia Inforwas yang selalu setia menunggu kehadirannya di tengah kesibukan kerja saya sehari-hari. Tampilannya cukup menarik dan isinyapun cukup informatif. Saya sudah membaca semua edisi yang telah terbit, namun kenapa kehadiran Inforwas tidak bisa rutin atau tepat waktu. Untuk itu sebagai pembaca setia saya berharap redaksi dapat lebih memperhatikan waktu cetak dan tayangnya, sehingga bisa mengobati kerinduan saya terhadap informasi mengenai pengawasan yang saya butuhkan dalam mendukung aktifitas saya sehari-hari di kantor. Informasi mengenai pengawasan sangat saya butuhkan, minimal saya tahu apa yang harus saya lakukan dalam miminimalkan kesalahan kerja yang mungkin saja akan berdampak pada kerugian uang negara. Pembaca Setia Ademansa, KKP Poso Jawaban : Terima kasih atas kesediaan sdr. Ademansa, KKP Poso menjadi pembaca setia inforwas, redaksi akan terus berusaha menampilkan informasi yang menarik baik tampilan maupun isinya dan mudah2an di tahun depan inforwas akan terbit secara rutin dan tepat waktu.
PERAN PENGELOLA BMN Mohon dijelaskan, sebagai salah satu pengelola BMN di Satuan Kerja BLU, apa peran pengelola BMN dalam upaya Raih WTP 2012? Idmadi Azis, Poltekkes Padang Jawab: peran pengelola BMN dalam meraih WTP: 1. Mengelola BMN sesuai dengan aturan yang berlaku, khususnya untuk Satker BLU, misalnya mengetahui kebijakan akuntansi yang ditetapkan oleh Unit Utamanya.2. Melakukan input data secara tepat waktu berdasarkan seluruh dokumen sumber. 3. Berhasil melakukan rekonsiliasi data dengan petugas SAK. 4. Menyusun laporan tepat waktu. INFORWAS Edisi 1 Th 2012
3
Laporan Utama
Rapat Kerja Kesehatan Nasional Tahun 2012 Oleh: Ario Agung Bramanthi S.Kom & Andri Rubiana S,Kom Staff Sekretariat Itjen Kemenkes RI
K
ementerian Kesehatan kembali mengadakan acara tahunan Rapat Kerja Kesehatan Nasional (RAKERKESNAS) tahun 2012. Format penyelenggaraan Rakerkesnas tahun 2012 kali ini berbeda dengan tahun 2011 yaitu diadakan di dua regional, sedangkan Rakerkesnas tahun 2012 hanya diadakan satu pertemuan yang dimulai dari tanggal 28 Februari s.d 2 Maret 2012 di Hotel Bidakara Jakarta. Pada Rakerkesnas kali ini, diselenggarakan “Expo Pembangunan Kesehatan 2012” diikuti oleh + 1.500 orang berasal dari seluruh Indonesia yang terdiri 8 Unit Utama di
lingkungan Kementerian Kesehatan, Badan POM Pusat, BKKBN Pusat, 33 Dinas Kesehatan Provinsi se-Indonesia, Direktur RSUD Provinsi serta Kepala Dinkes Kabupaten/Kota dan para Direktur RSUD Kabupaten/Kota dan Organisasi Masyarakat serta Dunia Usaha yang peduli terhadap pembangunan kesehatan. Tema yang diusung pada Rakerkesnas tahun 2012 ini adalah “Dengan Reformasi Birokrasi Kita Tingkatkan Kinerja dan Prestasi”. Sesuai tema tersebut diharapkan Kementerian Kesehatan mampu untuk: 1. Mensinergikan
kebijakan pembangunan kesehatan antara pemerintah Pusat dan Daerah, 2. M e n s o s i a l i s a s i k a n berbagai informasi penting yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan kesehatan dan berbagai inovasi-inovasi daerah di dalam pembangunan kesehatan. Acara Rakerkesnas diawali pembukaan oleh Inspektur
4
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Laporan Utama Jenderal Kementerian Kesehatan RI dr. Yudhi Prayudha Ishak Djuarsa, MPH. Dalam dalam sambutannya beliau mengungkapkan bahwa “Reformasi Birokrasi merupakan pembaharuan sistem penyelenggaraan pemerintah dalam aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur. Pembaharuan ini dilakukan sebagai upaya untuk percepatan pelaksanaan program pembangunan kesehatan sesuai dengan target MDG’s yang pada akhirnya dapat mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan”. Acara berikut sambutan Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH menyampaikan “capaian kinerja selama tahun 2011 terfokus pada lima hal yang sangat strategis yaitu: a) alokasi dan realisasi APBN Kesehatan Tahun 2011, b) pelaksanaan Jamkesmas dan Jampersal, c) pemanfaatan BOK, d) pelaksanaan PDBK dan e) pemenuhan SDM Kesehatan di DTPK. Beliau juga mengemukakan bahwa menjelang akhir tahun 2011 Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) telah diberlakukan. Berbagai langkah telah dilakukan Pemerintah termasuk Kementerian Kesehatan dalam menyongsong dimulainya pelayanan kesehatan pada tahap Universal Coverage tanggal 1 Januari 2014. Menteri Kesehatan juga menyampaikan paparan mengenai upaya peningkatan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu pada tahun 2012 -2013 dan peluncuran
secara resmi Akreditasi rumah sakit versi 2012, Flying Health Care, e-Accreditation, e-Monev dan e-DAK serta penyerahan secara simbolis bantuan Puskesmas Keliling (Pusling) perairan. Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah proses menata ulang, mengubah, memperbaiki dan menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih baik profesional, bersih, efisien, efektif dan produktif. Agenda prioritas untuk program reformasi birokrasi di Kemenkes di fokuskan pada tiga program, yaitu peningkatan kualitas pelayanan publik, penguatan akuntabilitas kinerja dan manajemen perubahan. Lebih lanjut beliau menginstruksikan kepada seluruh peserta Rakerkesnas, “Melalui rakerkesnas ini diharapkan provinsi sebagai wakil pemerintah di daerah, menjadi koordinator dan mampu mengefektifkan penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah masing-masing. Dengan harapan agar berbagai upaya kesehatan dapat dilaksanakan secara optimal di daerah,” Pembukaan Rakerkesnas ditandai dengan pemukulan gong oleh Menteri Kesehatan dr.Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH didampingi oleh Wakil Menteri Kesehatan Prof. DR.dr Ali Ghufron Mukti, MPH dan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan dr. Yudhi Prayudha Ishak Djuarsa, MPH. Salah satu materi yang disampaikan pada acara Rakerkesnas adalah paparan tentang “Reformasi Birokrasi” oleh Wakil Menteri Pemberdayaan INFORWAS Edisi 1 Th 2012
5
Laporan Utama meningkatkan tata pemerintahan yang baik sehingga dapat mewujudkan pemerintah yg bersih dari KKN dan peningkatan pelayanan publik. Keberhasilan Reformasi Birokrasi sektor kesehatan menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan dan seluruh jajaran kesehatan di daerah.
Aparatur Negara dan RB, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas, Sekretaris Jenderal Kemenkes RI, dan Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian dalam Negeri. Materi lainnya adalah “Program Terkini Kementerian Kesehatan” oleh Kepala Badan Litbang Kesehatan, Dirjen P2PL, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dan Dirjen Bina Upaya Kesehatan, kemudian “Inovasi Pembangunan Daerah” yang disampaikan Bupati Kabupaten Ngada, Provinsi NTT dan Walikota
Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Materi “Menuju Implementasi BPJS I bidang Kesehatan” disampaikan oleh Ketua Komisi IX DPR RI, Wakil Menteri Kesehatan, Direktur Utama PT Askes dan Kepala BKKBN. Di sesi akhir Rakerkesnas Tahun 2012, panitia menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi: 1.
6
Reformasi Birokrasi bertujuan meningkatkan profesionalisme INFORWAS Edisi 1 Th 2012
untuk dan
2.
Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, peran provinsi sebagai wakil pusat di daerah perlu ditingkatkan, terutama pada proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pola pembinaan, koordinasi dan fasilitasi ke kabupaten/kota. 3. Tahun 2013, Dana Dekon dan TP yang menjadi urusan Pemda direncanakan akan dimasukan dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dituangkan dengan Perpres. Kementerian Kesehatan akan menetapkan target, alokasi, penggunaan dana, monev dan pendampingan yang akan diatur melalui Juknis. Pemerintah daerah diwajibkan untuk melaporkan pemanfaatan DAK kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan.
4.
Penundaan sementara penerimaan CPNS berlaku mulai September 2011 sampai dengan Desember 2012, dikecualikan untuk tenaga dokter, perawat dan sanitarian (KKP). Pemerintah daerah masih dapat mengajukan penambahan PNS Kesehatan
Laporan Utama tersebut setelah membuat rencana kebutuhan berdasarkan analisis beban kerja yang jelas. 5.
Hasil Rifaskes Tahun 2011 menunjukkan masih banyak Puskesmas dan RS yang belum sesuai standar. Kementerian Kesehatan akan mendukung daerah namun tanggung jawab utama tetap ditangan Pemerintah Daerah sesuai dengan semangat otonomi daerah.
6.
Kegiatan promotif dan preventif seperti pemberdayaan masyarakat melalui UKBM, peningkatan PHBS dan kegiatan intensifikasi imunisasi perlu dilaksanakan secara terintegrasi di pusat dan daerah.
7.
Inovasi daerah seperti Performace Base Finance (PBF) yang merupakan Sistem pembiayaan berdasar kinerja Provider dan Gerakan Indonesia Bersih perlu dikembangkan di daerah lain karena terbukti telah mengatasi berbagai masalah kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perlu dukungan Pemda dalam pelaksanaan inovasi.
8.
Komisi IX DPR RI sebagai inisiator UU SJSN dan BPJS akan memberikan dukungan penuh dan mengawal proses pembentukan BPJS I.
Adanya pembukaan stand dari Unit Utama Pusat, sebagian Unit Eselon II Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi se Indonesia, Badan POM Pusat dan BKKBN Pusat turut memeriahkan acara Rakerkesnas ini dengan menyajikan berbagai informasi program kerja yang menarik melalui leaflet, pamflet, brosur, poster dll. Serta kegiatan atraktif lainnya dengan memberikan doorprize kepada pengunjung di stand rakerkesnas. Selamat bertugas selamat berjumpa kembali di acara Rakerkesnas tahun depan.
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
7
Laporan
Rapat Kerja Pengawasan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan Tahun 2012 di Bangka Tengah – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan mengharapkan agar Itjen dapat mengawal Pelaksanaan Reformasi Birokrasi untuk mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih di Lingkungan Kemenkes RI “Reformasi Birokrasi merupakan kunci terwujudnya tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih, oleh karenanya pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Kesehatan RI sudah tidak bisa ditawartawar lagi. Tata kelola kepemerintahan yang baik tidak semata-mata hanya dilihat dari penyerapan anggaran yang tinggi tetapi harus disertai dengan kinerja yang tertib, ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Sehubungan dengan itu maka jajaran Itjen Kemenkes RI diminta untuk menjamin dan mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi di Kementerian Kesehatan berjalan dengan baik”
8
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
hal tersebut disampaikan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan RI, Yudhi Prayudha Ishak Djuarsa saat pembukaan Rapat Kerja Pengawasan (Rakerwas) Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI Tahun 2012 di Bangka Tengah – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada hari selasa, 13 Maret 2012. Pada kesempatan tersebut Inspektur Jenderal juga mengingatkan seluruh jajaran Itjen Kemenkes RI untuk merubah paradigma peran dari watchdog menjadi katalisator, fasilitator, dan sebagai quality assurance dalam mewujudkan good governance.
Laporan Pada akhir sambutannya Inspektur Jenderal mengungkapkan harapannya agar pelaksanaan rapat kerja pengawasan tahun 2012 ini akan muncul ide-ide dan masukan langkah-langkah strategis dalam melaksanakan perubahan peran Itjen dalam rangka mewujudkan tujuan tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih di lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Perubahan paradigma harus diikuti dengan perubahan attitude dan mindset untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi Rapat kerja pengawasan Itjen Kemenkes RI Tahun 2012 diselenggarakan selama 4 hari, dari tanggal 13 sampai 16 Maret 2012, bertempat di hotel Aston Solmarina - Bangka Tengah. Rakerwas Tahun 2012 dengan tema “Peningkatan Peran Inspektorat Jenderal Sebagai Penjamin Kualitas “Quality Assurance’”. Dalam Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik di Lingkungan Kementerian Kesehatan RI” kali ini diikuti kurang lebih 150 peserta dari jajaran struktural dan fungsional Itjen Kemenkes. Topik yang dibahas pada kegiatan Rakerwas meliputi : 1.
Penguatan peran Itjen sebagai penjamin kualitas dalam mewujudkan good governance di lingkungan Kemenkes RI
2.
Reformasi Birokrasi
3.
Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan,
4.
Standar Biaya Keluaran.
Pada acara pembukaan turut hadir pejabat eselon II dan III satuan kerja Dinas Kesehatan Provinsi dan unit vertikal Kemenkes RI di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dr. Hendra Kusuma yang mewakili satuan kerja lingkungan Kemenkes RI yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dalam sambutan “selamat datang”, beliau mengungkapkan kebahagiaan dan apresiasi yang tinggi karena Inspektorat Jenderal sudah berkenan untuk melaksanakan Rakerwas tahun 2012 di wilayah kerjanya yang juga merupakan wilayah binaan Inspektur Jenderal. Selain ucapan selamat datang kepada para peserta Rakerwas, Kepala Dinas juga menyampaikan kondisi sarana, fasilitas dan pencapaian program-program kesehatan yang dilaksanakan oleh Dinkes Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tidak lupa juga pejabat yang hobi bercanda ini memperkenalkan sekilas pandang tentang wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mulai dari sejarah terbentuknya provinsi yang dikelilingi tidak kurang dari 900 pulau ini, keindahan alam negeri laskar pelangi yang sangat mempesona, wisata kuliner yang sangat beragam dan menggugah selera, serta tidak lupa juga bapak yang selalu dihiasi senyuman ini mempromosikan gadisgadis bangka yang cantik-cantik...selorohnya. Pada hari kedua Rakerwas, hadir narasumbernarasumber yang kompeten yaitu Ismail Mohamad, Deputi Program dan Reformasi Birokrasi Kementerian PAN dan RB; Erif Ilmi dari Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi; Drs. Imam Subarkah, MM. - Inspektur Insvestigasi Itjen Kementerian Pertanian; H.Ahmad Zaenuddin - Inspektur Itjen Kementerian Agama; dan Hari Wisudo Bagio dari Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. INFORWAS Edisi 1 Th 2012
9
Laporan Deputi Program dan Reformasi Birokrasi Kementerian PAN dan RB memberikan pembahasan perihal pelaksanaan reformasi birokrasi sejak dicanangkannya RB tahun 2008, kemudian disusul dengan penyusunan dokumen terkait program dan kegiatan reformasi birokrasi dengan mengacu pada Keputusan Menteri PAN dan RB No. Kep.15/M.PAN/12/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi pada tahun 2009, kemudian keluar Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri Negara PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 20102014, dan sekarang sudah terbit Peraturan Menteri Negara PAN dan RB Nomor 01 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB). Dengan terbitnya peraturan tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi ini setiap kementerian/lembaga bisa melakukan evaluasi dan penilaian secara mandiri atas pencapaian pelaksanaan reformasi birokrasi pada masingmasing satuan kerja. Dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No. 1 tahun 2012 diatur bahwa yang menjadi koordinator pelaksanaan PMPRB adalah Inspektorat Jenderal di masing-masing Kementerian/Lembaga yang nantinya dibantu dengan pembentukan asesor-asesor.
peserta bagaimana bahaya laten dari korupsi yang telah membuat banyak anak dengan busung lapar, sekolah-sekolah yang tidak layak, dan membebani anak cucu bangsa dengan hutang negara ditengah-tengah negeri tanah air ini yang sangat kaya dan berlimpah ruah dengan berbagai sumber daya alam yang tidak dimiliki negara lain.
Dalam paparan pada acara panel I, Erif Emil Narasumber dari KPK memberikan pencerahan, membangkitkan semangat serta berusaha menanamkan dan menumbuhkan jiwa antikorupsi kepada seluruh peserta dalam penyampaiannya yang santai, penuh canda tetapi tetap fokus dan serius. Bapak yang berperawakan kurus ini mengingatkan para
Acara Rakerwas semakin semangat ketika narasumber dari Itjen Kementerian Agama, H. Ahmad Zaenuddin, hadir dalam acara panel II, yang juga didampingi oleh narasumber dari Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan yang membahas tentang Standar Biaya Keluaran (SBK). Topik sejalan dengan wacana yang sedang dibangun berupa
10
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Masih dalam acara panel I, paparan narasumber dari Itjen Kementerian Pertanian semakin memberikan semangat perubahan dan menumbuhkan jiwa anti korupsi dengan topik Wilayah Bebas Korupsi (WBK) yang sudah sejak tahun 2009 telah dirintis oleh tim WBK Kementerian Pertanian. Suasana semakin menggetarkan jiwa ketika narasumber menayangkan liputan bagaimana jerih payah tim WBK Kementan dari awal perjuangan menggagas program ini sampai dengan berhasil menciptakan ratusan satuan kerja di lingkungan Kementan dengan predikat wilayah bebas dari korupsi. Lebih mengharukan lagi bagi kami, para peserta saat itu adalah tim WBK Kementan yang menjadi leader program ini dengan perjuangan sangat gigih, tidak kenal lelah, kerja keras dan berkomitmen tinggi tersebut seluruhnya adalah auditor Itjen Kementan. Luarrrr...biasa.... (kalau auditor Kementan bisa...kita juga pasti bisa!!!!!!!!!)
Laporan penerapan Standar Biaya Keluaran (SBK) dalam pola pembiayaan di lingkungan Itjen Kemenkes, dengan harapan akan meningkatkan kinerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan para pelaksananya. Dalam paparannya Itjen Kemenag yang sudah lebih dahulu menerapkan SBK ini, memberikan pencerahan bagaimana pelaksanaan SBK dalam pelaksanaan tugas pokok Itjen, khususnya dalam pelaksanaan tupoksi tenaga fungsional auditor yang telah memberikan peningkatan output kinerja dan tambahan nilai bagi auditor Itjen Kemenag. Hal ini dipertegas dengan paparan narasumber dari DJA yang menjelaskan tatacara penyusunan dan pengajuan Standar Biaya Keluaran khususnya bagi Inspektorat Jenderal di Kementerian/ Lembaga. Menindaklanjuti paparan dari topik-topik tersebut, acara Rakerwas dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk membahas dan merumuskan langkah-langkah strategis yang akan diambil oleh Itjen Kemenkes RI dalam rangka pelaksanaan program Reformasi Birokrasi, program Wilayah Bebas Korupsi (WBK), dan Standar Biaya Keluaran (SBK). Peserta dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan topik yang telah ditentukan tersebut. Setiap kelompok terdiri dari penanggungjawab kelompok yaitu para pejabat Eselon II Itjen Kemenkes, anggota kelompok yaitu para pejabat fungsional (auditor) dan pejabat struktural, serta kelompok kesekretariatan. Pembahasan permasalahan dalam diskusi kelompok dilaksanakan selama dua hari. Saat diskusi terlihat para peserta sangat antusias membahas isu-isu dan langkah-langkah strategis masing-masing topik, hal ini terbukti acara diskusi dilaksanakan sampai lewat tengah
malam dengan diikuti seluruh peserta bahkan para penanggungjawab diskusi pun terlibat secara aktif sampai acara diskusi berakhir. Pada akhir sesi diskusi kelompok dilaksanakan panel untuk memaparkan hasil pembahasan pada masing-masing kelompok. Acara panel tersebut dihadiri pula oleh Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan, bahkan pada sambutan penutupannya Inspektur Jenderal memberikan semangat dan pesan singkat agar hasil pembahasan ketiga topik tersebut ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pembahasan lebih lanjut sampai dengan program penilaian dan evaluasi reformasi birokrasi, pembentukan WBK di Kementerian Kesehatan dan penerapan SBK untuk TA 2013 di Inspektorat Jenderal Kemenkes dapat terlaksana dan memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga........ (Liputan Tim Inforwa : Oong Rusmana & Rudi Supriatna Nata Saputra)
Jaga hati hilangkan cemas, kalau cemas ke Ujungpandang ... sampai jumpa pada Rakerwas mendatang....
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
11
Profil
Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung “Negeri Laskar Pelangi” Oleh : SunaediPradja,SP, M.Kes (Auditor Inspektorat III Itjen Kemenkes RI)
Negeri Laskar Pelangi, itulah nama sanjungan baru untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sering disingkat dengan Provinsi Babel. Laskar pelangi adalah sebuah judul buku karangan Andrea Hirata yang kemudian diangkat menjadi film box office yang disutradarai oleh Riri Riza dengan Cut Mini sebagai bintang filmnya. Kali ini kita bukan untuk membahas film laskar pelangi tetapi kita akan menampilkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang merupakan salah satu provinsi wilayah binaan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Sirih berlipat sirih pinang, Sirih dari Tanjung Kalian Pemanis kata Selamat Datang, Assalamuaikum Kami ucapkan Indah berbalam si awan Petang, Berarak di celah pepohonan ara Pemanis kalam Selamat Datang, Awal Bismillah pembuka bicara.
Itulah sambutan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Kepulauan Babel ketika mendapat kunjungan Inspektur Jenderal Kemenkes RI sebagai Pembina Program Kesehatan di daerahnya. Dalam acara sambut datang Bapak Irjen Kemenkes RI tersebut, Bapak Kadinkes Prov Kepulauan Babel menyampaikan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Babel sebagai berikut: A. Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPMK) merupakan indikator kemajuan
12
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
pembangunan suatu daerah. IPM digunakan untuk membandingkan pembangunan Sumber Daya Manusia yang meliputi: indikator kesehatan (Umur Harapan Hidup); indikator pendidikan (Angka Melek Huruf dan Sekolah); dan indikator ekonomi (Pengeluaran Riil per Kapita), sedangkan IPMK merupakan indikator komposit yang menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan dari data Kesehatan Berbasis Komunitas, yaitu: Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar); Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dan Survei Podes (Potensi Desa).
Profil IPM Provinsi Babel tahun 2009 menduduki peringkat 11 dari 33 provinsi di Indonesia, sedangkan IPKM menduduki peringkat ke14 pada tahun 2010 dari 33 Provinsi di Indonesia. B.
terdiri dari 2 (dua) RSUD dengan tipe C dan D; dan 1 (satu) RS Swasta. C. Jumlah Puskesmas, Posyandu, Polindes/ Poskesdes Tahun 2011. Selain sarana kesehatan di atas masih terdapat sarana kesehatan lain yang merupakan ujung tombak pelayan kesehatan di masyarakat adalah Puskesmas, Posyandu dan Polindes. Adapun Jumlah seluruh Puskesmas adalah 59 Puskesmas meliputi 18 Puskesmas Rawatan dan 41 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah Posyandu 903 dan Polindes/Poskesdes 276.
Sarana Pelayanan Kesehatan Sarana pelayanan kesehatan yang terdapat di Provinsi Kep. Babel dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sarana yang terdapat di Wilayah Pulau Bangka dan di Wilayah Pulau Belitung. Sarana yang terdapat di Pulau Bangka terdiri dari 1 Rumah Sakit Jiwa, 5 buah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan tipe C dan D, 4 Rumah Sakit Swasta.
D. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan Tahun 2011. Pencapaian terhadap SPM bidang Kesehatan tahun 2011 di Provinsi Kep. Babel dapat dilihat pada tabel berikut:
Sedangkan sarana pelayanan kesehatan yang terdapat pada Wilayah Pulau Belitung
NO.
JENIS PELAYANAN
Pelayanan a. Kesehatan Dasar
NO.
INDIKATOR KINERJA
1 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 2 3
4 5 6
Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan Cakupan pelayanan nifas Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani Cakupan kunjungan bayi
7 Cakupan Desa/Kelurahan UCI 8 Cakupan pelayanan anak balita Cakupan pemberian makanan 9 pendamping ASI pada anak BGM usia 6 - 24 bulan keluarga miskin Cakupan balita gizi buruk mendapat 10 perawatan Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 12 Cakupan peserta KB aktif 11
Kab. Bangka
Kab. Belitung
Kab. Kab. Kab. Kab. Kota Prov.Kep Bangka Bangka Bangka Belitung Pangkal Target Nasional . Babel Barat Tengah Selatan Timur pinang
94,51
99,25
85,40
94,65
94,93
102,07
98,19
94,64
95%
31,48
55,19
98,42
100,00
51,94
28,65
77,53
53,42
80%
94,33
100,30
82,91
94,81
95,16
105,34
97,91
94,53
90%
93,67
100,30
75,34
88,67
91,22
100,56
89,84
90,29
90%
14,23
62,24
95,71
100,00
29,83
34,74
69,16
40,85
80%
86,83
48,43
39,31
89,83
90,04
124,85
90,19
79,06
90%
100,00
97,62
95,31
92,98
52,83
97,44
88,89
89,44
100%
42,85
152,76
3,89
50,19
42,96
57,88
72,46
45,59
90%
100,00
12,63 100,00
100,00 100,00
100,00
100,00
45,94
100%
100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
100,00 100,00!
100,00
100%
80,31
0,00
95,76
95,05 100,00
71,86
76,95
28,26
65,29
85,60
100,00
100,00
92,23
100%
95,16
75,48
70,81
70%
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
13
JENIS PELAYANAN
NO.
NO.
13
INDIKATOR KINERJA
15
100,00
e. Penemuan penderita diare
440,36
Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin
Cakupan pelayanan gawat darurat 16 level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota Penyelidikan Epidemiologi Cakupan Desa/Kelurahan mengalami c. dan 17 KLB yang dilakukan penyelidikan Penanggulangan epidemiologi < 24 jam KLB Promosi Kesehatan dan 18 Cakupan Desa Siaga Aktif d. Pemberdayaan Masyarakat
Kab. Kota Kab. Kab. Kab. Prov.Kep. Target Bangka Bangka Bangka Belitung Pangkal Babel Nasional Barat Tengah Selatan Timur pinang
Kab. Belitung
Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit *) a. Acute Flacid Paralysis rate per 100.000 pend < 15 th b. Penemuan Penderita Pneumonia Balita c. Penemuan pasien baru TB BTA Positif d. Penderita DBD yang ditangani
Cakupan pelayanan kesehatan dasar 14 masyarakat miskin Pelayanan b. Kesehatan Rujukan
Kab. Bangka
0,00
3,81
4,29
≥ 2/ 100000
10,32
0,00
24,94
30,25
100%
47,83
48,51
84,29
53,07
100%
100,00 100,00
100,00
100,00
100,00
100%
1
7
1,96
10,10
5,57
54,46
44,97
16,02
35,48
47,48
57,83
48,95
37,36
100,00 100,00 56,59
12,82 0,97
45,58
55,84
28,03
100,00
41,31
68,52
100%
24,37 151,83
1,61
2,46
100,00
12,44
30,00
100%
0,25
1,30
4,32
9,04
8,01
100%
0,00
88,12
100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
100,00
7,14
43,48
100%
100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
100,00
100,00
100,00
100%
19,30 100,00
100,00
100,00
60,47
80%
71,01
E. Realisasi Prevalensi Balita Gizi Kurang
26,32
G. Angka Kematian Ibu (AKI)
Dinas Kesehatan Provinsi Kep. Babel mempunyai target akan menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990 - 2015. Adapun target pencapaian prevalensi Balita Gizi Kurang pertahun sampai dengan tahun 2015 berturut-turut telah mengalami penurunan yaitu tahun 2009 berkisar 3,73, dan tahun 2010 menjadi 2,76. F. Angka Kematian Bayi Dinkes Provinsi Kep. Babel menargetkan menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015, target yang dicanangkan dalam rangka menurunkan AKBA adalah dengan menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) Per 1.000 KH, yaitu 37 pada tahun 2011 dan 35 pada tahun 2012
62,30
Dinkes Provinsi Kep. Babel menargetkan turunnya Angka Kematian Ibu (AKI) hingga tiga per empat dalam kurun waktu 19902015, target yang dicanangkan dalam rangka menurunkan AKI Per 1.000 KH, yaitu 37 pada tahuin 2011 dan 35 pada tahun 2012. Realisasi AKB per 1.000 KH di Provinsi Kep. Babel adalah sebagai berikut pada tahun 2009 mencapai 168,92, tahun 2010 mencapai 129,58, dan tahun 2011 mencapai 150,32. H. Angka Kesakitan Malaria dan Penyakit Lainnya Provinsi Kep. Babel merupakan daerah endemis malaria, diharapkan sampai dengan tahun 2015 dapat menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya. Data Angka Kesakitan Maliaria Per 1.000
Realisasi AKB per 1.000 KH di Provinsi Kep. Babel adalah 8,93 pada tahun 2009, 9,26 pada tahun 2010 dan 8,44 (minus Kab. Bangka Tengah) pada tahun 2011.
14
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
NO 1
INSTANSI Dinkes Bangka
REALISASI KEUANGAN
(%)
620.573.500
75,22
NO 1 2 3 4 5 6 7
INSTANSI Dinkes Bangka Dinkes Babar Dinkes Bateng Dinkes Belitung Dinkes Beltim Dinkes Pkpinang Dinkes Basel TOTAL
REALISASI KEUANGAN 620.573.500 269.186.500 219.508.400 596.487.750 355.279.500 281.966.600 375.905.250 2.718.907.500
(%) 75,22 44,86 41,81 88,37 78,08 41,77 62,65 62,43
Penduduk di Provinsi Kep. Babel , yaitu 25 pada tahun 2011 dan dan 20 pada tahun 2012. Realisasi terhadap Kesakitan Akibat Penyakit Malaria per 1.000 penduduk di Provinsi Kep. Babel adalah sebagai berikut tahun 2009 mencapai 58,4, tahun 2010 mencapai 43,5 dan tahun 2011 mencapai 3,10 (minus Kab. Belitung dan Bangka Tengah). I. Angka Kesakitan Deman Berdarah Dengue (DBD) per 100.000 Penduduk Target pencapaian penurunan angka kesakitan DBD sampai dengan tahun 2015 di Provinsi Kep. Babel, yaitu 55 pada tahun 2011 dan 50 pada tahun 2012. Realisasi terhadap Kesakitan DBD per 100.000 penduduk sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Kep. Babel sebagai berikut tahun 2009 mencapai 31,43, tahun 2010 mencapai 28,36 dan tahun 2011 mencapai 27,07 (minus kab. Bangka Tengah). J. Persentase Keluarga yang Memiliki Akses Terhadap Air Bersih Target pencapaian keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih - air minum dan sanitasi dasar hingga tahun 2015 di Provinsi Kep. Babel, yaitu 40 pada tahun 2011 dan 47 pada tahun 2012. Realisasi terhadap Kesakitan air bersih-air minum dan sanitasi dasar sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Kep. Babel adalah sebagai berikut tahun 2009 mencapai 28,29,
Profil tahun 2010 mencapai 60,37, dan tahun 2011 mencapai 81,01. K. Alokasi Dana Tugas Pembantuan BOK Kab/ Kota Tahun 2011 Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kep. Babel dalam sambutannya di depan Irjen Kemenkes RI menyampaikan rincian alokasi dana Tugas Pembantuan (TP) Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tahun anggaran 2011 dengan nilai sebesar Rp4.355.000.000,kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan rincian seperti gambar dibawah ini: Realisasi dana TP-BOK sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Kep. Babel dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Selain dana TP-BOK diatas, Kepala Dinas Kesehatan juga menyampaikan alokasi dan realisasi dana untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan dana Jaminan Persalinan (Jampersal) seperti pada tabel dibawah ini: Sebagai kata penutup sambutannya Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Babel tidak lupa untuk berpantun ria seperti pantun dibawah ini:
Gangan dan lempah pake ikan krisi, Palinglah enak dimakan di siang hari Kedatangan Tuan-Tuan dan Saudara memanglah dinanti Berikanlah Pembinaan demi kemajuan kesehatan di Negeri Kami. Kalau pergi Kampung Keramat, Anak manis jangan diangkat Bersama kita memohon rahmat, Moga Majelis mendapat berkat Bunga dedap di atas para, Anak dusun pasang pelita Kalau tersilap tutur bicara, Jemari disusun maaf dipinta
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
15
Tulisan
EVALUASI KINERJA TAHUN 2011 DAN PROGRAM PRIORITAS 2012 KEMENTERIAN KESEHATAN Oleh : Eka Widianti, SKM, MM ( Auditor Inspektorat III Itjen Kemenkes RI) R. Sjaefudin, SKM, MKM (Auditor Inspektorat II Itjen Kemenkes RI)
Menteri Kesehatan melakukan jumpa pers bersama insan pers pada hari Rabu tanggal 4 Januari 2012 di gedung Siwabesi tepat pukul 14.00 WIB dengan agenda Evaluasi Kinerja Tahun 2011 dan Program Prioritas 2012 Kementerian Kesehatan. Hadir mendampingi Menteri Kesehatan, Wakil Menteri Kesehatan, Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan beserta para Eselon I dan II. Kalimat pertama yang disampaikan Menteri Kesehatan adalah ucapan “SELAMAT TAHUN BARU 2012”, selanjutnya dihadapan 50 – 60 insan pers; Menteri Kesehatan menyampaikan hasil kerja Kementerian Kesehatan tahun 2011. Dijelaskan bahwa Kementerian Kesehatan berhasil melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp389 Milyar (1,32%) dari total anggaran tahun 2011 sebesar Rp29,448 Trilyun. Efisiensi anggaran tersebut melalui program Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Prosentase dari anggaran tersebut 88% digunakan untuk pembangunan kesehatan daerah selebihnya pembangunan kesehatan di Pusat (12%). Pada kesempatan yang sama Wakil Menkes Prof. DR. Dr. Ali Ghufron Mukti mengatakan “khusus untuk jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) tercatat 76,4 juta rakyat Indonesia mendapat Jaminan Kesehatan. Hal Ini berarti 63,1% penduduk Indonesia sudah terlayani program Jaminan Kesehatan namun tidak seluruhnya terlayani oleh
16
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
fasilitas kesehatan milik pemerintah. Dalam tahun 2011 tercatat 704 fasilitas kesehatan pemerintah dan 374 fasilitas kesehatan swasta yang menjadi rujukan Jamkesmas. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program Jamkesmas tahun 2011 sebesar Rp6,3 triliun. Menteri Kesehatan menegaskan bahwa beban pengeluaran pemerintah dari APBN dan APBD untuk biaya pengobatan tiap tahun dialokasikan lebih dari Rp10 Triliun. Jumlah masyarakat miskin, hampir miskin dan penyandang masalah sosial, serta masalah gangguan bencana alam dalam program Jamkesmas setiap tahunnya pemerintah menanggung pengobatan 76 juta orang dengan biaya sekitar Rp. 6 Triliun. Ini belum termasuk alokasi dana oleh pemerintah daerah melalui APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Tentang perbedaan jumlah masyarakat miskin yang ditanggung melalui Program Jamkesmas yang berjumlah 76 juta orang dibandingkan jumlah masyarakat miskin data Biro Pusat Statisktik (BPS), Menteri
Tulisan Kesehatan menjelaskan bahwa klaim program Jamkesmas telah mencakup masyarakat miskin, masyarakat yang hampir miskin, penyandang masalah sosial juga bila terjadi bencana alam. Salah satu indikator pembangunan kesehatan adalah semakin rendahnya jumlah masyarakat berobat karena sakit dari sumber gangguan kesehatan lingkungan. Sebaliknya bukan menjadi kebanggaan bila setiap tahun ada 100 juta penduduk berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit dari total penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta. Jika semakin sedikit orang sakit, investor tentu enggan membangun Rumah Sakit baru, demikian Menteri Kesehatan menjelaskan. Lebih lanjut Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa tahun 2012 jumlah anggaran secara kuantitatif mengalami kenaikan sebesar Rp467 Milyar sehingga menjadi Rp29,915 Triliun. Dilihat dari total APBN tahun 2012 yang berjumlah Rp1.435 Triliun, alokasi anggaran untuk bidang kesehatan mengalami penurunan 0,2% dari 2,3% tahun 2011 dengan total APBN Rp1.299 Triliun. Sesungguhnya alokasi untuk kesehatan masih jauh dari amanat UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yaitu 5% dari APBN, namun, kami tetap akan mengupayakan yang terbaik. Dana yang dialokasikan tahun 2012 sebanyak Rp15.56 Triliun digunakan untuk kegiatan kuratif dan sisanya Rp14,355 Triliun untuk kegiatan preventif/promotif. Mayoritas dana APBN Kementerian Kesehatan dialokasikan untuk daerah. Disampaikan juga bahwa “Terdapat 10 Provinsi dengan 130 Kabupaten/ Kota masuk kategori Merah atau Daerah Bermasalah Kesehatan yaitu wilayah tersebut terdapat banyak sumber penyakit yang mengganggu kesehatan. Ke 10 Provinsi tersebut yaitu Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih MPH, Dr.PH dan Wakil Menteri Kesehatan Prof. DR. Dr. Ali Ghufron Mukti serta seluruh jajaran eselon I dan II Kementerian Kesehatan sepakat dengan prioritas tahun 2012 “Menanggulangi dan meningkatkan pembangunan kesehatan pada 10 Provinsi tersebut di atas”. Ditegaskan pula bahwa mestinya pemerintah bersama-sama masyarakat mampu mencegah munculnya sumber penyakit di lingkungan masing-masing namun baru 5.886 desa dan 267 Kabupaten/Kota yang melaksanakan program sanitasi total berbasis masyarakat. Indikator dari kesehatan lingkungan mencakup lingkungan sehat, kawasan hutan hijau, pembuangan limbah industri melalui instalasi pembuangan limbah, pembuangan limbah rumah tangga pada tempatnya, asap pabrik yang tidak mencemari udara, rendahnya tingkat pencemaran udara dari kendaraan bermotor serta penyakit yang bersumber dari bahan makanan dan minuman. Dalam tahun 2012 ini, Kementerian Kesehatan telah menetapkan “10 Program Prioritas” meliputi (1) upaya Promotif dan Preventif, (2) pencegahan dan pengendalian penyakit terutama penyakit tak menular, (3) menuju universal coverage, (4) upaya penurunan AKI, (5) upaya perbaikan Gizi, (6) saintifikasi jamu dan kemandirian bahan baku obat, (7) perencanaan pembangunan kesehatan paralel, (8) Reformasi Birokrasi, (9) peningkatan penggunaan teknologi informasi di segala aspek dan (10) pusat tanggap respon cepat. Demikian jumpa pers dan dialog Menteri Kesehatan bersama rekan-rekan media yang berakhir pada pukul 16.00 wib. INFORWAS Edisi 1 Th 2012
17
Tulisan
SPIP ANTARA HARAPAN KENYATAAN
&
Oleh: Hendro Santoso S.Kp.,M.Kep Sp.Kom (Kasubbag APTLHP Itjen Kemenkes RI) “Penerapan SPIP di Lingkungan Kementerian Kesehatan masih jauh dari yang diharapkan”. Satu langkah kegiatan nyata penerapan SPIP di lingkungan Itjen Kemenkes RI adalah dengan diselenggarakannya kegiatan Workshop Permenpan No. 42 tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Ikhtisar Laporan Hasil Pengawasan APIP yang diselenggarakan pada tanggal 29 Februari sampai dengan 3 Maret 2012. SPIP menjadi permasalahan yang mendasar pada Inspektorat Jenderal karena merupakan instrumen yang sangat fundamental dalam mewujudkan suatu pengawasan yang akuntabel di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Namun demikian, apakah Itjen saat ini telah memiliki komitmen dan kapasitas untuk mensinergikan penyelenggaraan fungsi-fungsi pengawasan yang berbasis SPIP, khususnya dalam penulisan Laporan Hasil Audit (LHA) secara tertib, terkendali serta efektif dan efisien? bagaimana proses transisi yang terjadi dari perubahan kebiasaan penulisan LHA yang mengacu pada Permenpan No Per/35/M.PAN/10/2006 yang harus disesuaikan dengan PP No.60 Tahun 2008 tentang SPIP? Berdasarkan PP No. 60 tahun 2008 Bab I pasal 1, SPIP merupakan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang mana SPI merupakan proses yang
18
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi, melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara/daerah dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa SPIP melekat sepanjang kegiatan yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah (IP), dipengaruhi oleh sumber daya manusia mulai dari managerial sampai dengan staf, dan hanya memberikan keyakinan memadai, bukan keyakinan yang mutlak dalam mencapai tujuan organisasi, serta mencakup 5 (lima) unsur pengendalian, yang meliputi: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi komunikasi dan pemantauan/monitoring. Secara harfiah terdapat perbedaan antara pengawasan melekat (Waskat) yang telah kita jalankan selama ini dengan SPIP. Secara garis besar perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: URAIAN
WASKAT
SPIP
Definisi
Alat
Proses
Sifat
Statis
Dinamis
Framework
8 Unsur Sisdalmen
5 Unsur
Tanggungjawab
Atasan langsung
Seluruh
pegawai
dlm
organisasi Keberadaan
Berdiri sendiri
Penekanan
• Pengawasan
atasan • Lingkungan pengendalian
Terintegrasi
langsung
• Penilaian Resiko
• Pengawasan Fungsional
Sejak dikeluarkannya PP Nomor 60 Tahun 2008, dalam prakteknya masih banyak yang belum memahami apalagi menerapkannya dalam mencapai tujuan IP. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil monitoring/pemetaan yang telah dilakukan oleh Inspektorat Jenderal terhadap Satker-Satker vertikal di daerah yang meliputi
Tulisan 31 KKP dan 30 Poltekkes. Tujuan Pemetaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), adalah untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi penerapan SPIP yang terdiri dari Lingkungan Pengendalian, Penilaian Risiko, Kegiatan Pengendalian, Informasi dan Komunikasi dan Evaluasi/Pemantauan pada satuan kerja, kelemahan-kelemahan yang ada (area of improvement) serta memberikan saran perbaikan atas kelemahan yang dijumpai. Kenyataan yang didapatkan dari hasil monitoring tersebut adalah berdasarkan aspek persepsi menunjukkan kurangnya pemahaman pegawai tentang SPIP, berdasarkan aspek pemasyarakatan (desiminasi) menunjukan masih kurangnya pemasyarakatan (diseminasi) SPIP kepada seluruh pegawai dan berdasarkan aspek kondisi unsur SPIP menunjukan adanya kelemahan dalam penerapan unsur-unsur SPIP. Sejatinya harapan dengan lahirnya SPIP adalah seluruh satker tanpa kecuali harus sudah mengerti dan memahami SPIP, serta menerapkannya dalam setiap kegiatan, tidak hanya sekedar pembuatan rambu-rambu semisal pembuatan SOP saja, namun bila SOP tersebut tidak pernah dilaksanakan dan hanya sebagai syarat formalitas, maka harapan untuk menjadikan IP yang akuntabel dan good governance akan semakin menjauh. Kondisi diatas berbanding terbalik dengan upayaupaya yang telah dilakukan oleh Inspektorat Jenderal sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), hal ini dapat dilihat dari beberapa upaya yang sudah mulai dilakukan untuk menerapkan SPIP di lingkungan Itjen, seperti dengan telah dilakukannya sosialisasi SPIP terhadap seluruh pegawai, adanya
komitmen pegawai terhadap aturan perilaku dalam bentuk pakta integritas, pendidikan dan pelatihan SPIP yang melibatkan auditor dan unit utama, pemetaan/monitoring dalam rangka mengevaluasi penerapan SPIP di satker, dan kegiatan workshop Permenpan nomor 42 tahun 2011 dalam upaya mendesiminasikan kode-kode temuan pada auditor. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Inspektorat Jenderal belumlah cukup, jika belum ada perubahan Standar Penulisan Laporan Hasil Audit yang mengacu pada PP nomor 60 tahun 2008. KOMITMEN ITJEN Berdasarkan kondisi diatas dibutuhkan sebuah komitmen Itjen dalam menerapkan dan mengembangkan SPIP dalam LHA, yang mana upaya pengembangan unsur-unsur SPIP perlu mempertimbangkan aspek biaya-manfaat (cost and benefit), sumber daya manusia, kejelasan kriteria pengukuran efektivitas dan perkembangan teknologi informasi yang pertimbangannya dilakukan secara komprehensif. Pertanyaannya kemudian apakah seluruh staf mulai dari pimpinan sampai dengan fungsional di lingkungan Inspektorat Jenderal Kemenkes telah memiliki komitmen dan kapasitas dalam menerapkan, mengefektifkan dan mengembangkan SPIP? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, selain komitmen dan kelengkapan instrumen yang harus dibuat, tentunya dibutuhkan kerja keras dan kerjasama seluruh pegawai Inspektorat Jenderal untuk bersama-sama, mulai saat ini dan secara berangsur-angsur mencoba untuk menerapkan SPIP dalam setiap unsur kegiatan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporan. INFORWAS Edisi 1 Th 2012
19
Tulisan
PERUBAHAN PARADIGMA PENGAWASAN INSPEKTORAT JENDERAL KEMENKES RI Oleh: Hendro Santoso S.Kp.,M.Kep Sp.Kom (Kasubbag APTLHP Itjen Kemenkes RI)
“Betul kita melakukan korektif, betul kita melakukan represif, namun alangkah lebih baik seandainya kita melakukan cegah dini sebelum terjadi”
D
emikian ungkapan yang disampaikan Inspektur Jenderal dalam rapat kerja pengawasan Inspektorat Jenderal yang dilaksanakan di Bangka Belitung pada tanggal 13 – 16 Maret 2012. Dalam Rakerwas kali ini, terdapat perubahan beberapa issue strategis yang menjadi fokus program pengawasan Itjen di tahun 2012 meliputi: Komitmen “Raih WTP 2012”, Reformasi Birokrasi, Peningkatan kinerja program yang transparan dan akuntabel, serta perubahan paradigma pengawasan menjadi Quality Assurance. Selain mengungkap issue strategis, dalam Rakerwas Inspektur Jenderal juga menyatakan adanya perubahan strategi yang terjadi pada tahun 2012, yaitu meliputi: 1.
2.
3. 4. 5.
20
Perubahan Paradigma dari Peran Itjen sebagai Watch Dogs menjadi Quality Assurance. Peningkatan Intensitas dan Kualitas pengawasan mulai dari perencanaan dan bersifat pencegahan. Peningkatan kualitas SDM pengawasan. Sinergitas pengawasan dengan APIP dan APF lainnya melalui Joint Audit. Penyelesaian pengaduan masyarakat (DUMAS) secara terpadu. INFORWAS Edisi 1 Th 2012
6.
Percepatan Tindak Pengawasan (TLHP).
Lanjut
Hasil
Peran APIP sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang SPIP, pasal 11 menyatakan bahwa peran APIP yang efektif sekurang-kurangnya harus: pertama, memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; kedua, memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan ketiga, memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Berdasarkan PP Nomor 60 tahun 2008 tersebut diatas, maka dalam kebijakan Itjen di tahun 2012 perlu adanya perubahan paradigma dari paradigma Watch Dogs menjadi paradigma baru yang meliputi 3 hal utama peran Inspektorat Jenderal, yaitu: Quality Assurance, Consulting Partner dan Peran sebagai Catalyst. Peran Itjen sebagai Quality Assurance adalah bagaimana inspektorat jenderal berperan
Tulisan sebagai penjamin kualitas bahwa suatu kegiatan dapat berjalan secara efisien, peran Itjen sebagai consulting partner merupakan peran Itjen menyediakan informasi utama bagi manajemen pemerintahan dalam rangka pengembalian keputusan untuk perbaikan dalam sistem maupun kebijakan, sedangkan peran Itjen sebagai catalyst adalah bagaimana peran Itjen sebagai fasilitator manajemen untuk menggali sendiri kecukupan pengendalian, mengidentifikasi risiko dan mengevaluasi risiko, membuat rencana tindakan dan mencegah terjadinya korupsi dan penyimpangan. Selain adanya perubahan paradigma pengawasan, Inspektorat Jenderal pada tahun 2012 berencana melakukan peningkatan intensitas dan kualitas pengawasan melalui kegiatan-kegiatan yang meliputi: memastikan bahwa seluruh unit kerja telah menyusun disbursement plan (rencana pengeluaran) dan procurement plan (rencana pengadaan); peningkatan komitmen dan pemahaman SPIP oleh satker; help desk pengadaan barang dan jasa; aktif memberikan pandangan independen atas setiap siklus anggaran mulai dari perencanaan; serta melakukan reviu laporan keuangan dan audit kinerja. Untuk peningkatan sumber daya manusia, salah satu program Inspektorat Jenderal adalah dengan adanya rekruitmen auditor, pendidikan dan latihan/inhouse training/sertifikasi, studi banding/sharing antar APIP, pembinaan, koordinasi dan konsultasi pengawasan, dan penguatan organisasi profesi Ikatan Auditor Kesehatan (IAKES). Tidak hanya itu saja, sebagai sinergitas pengawasan dengan APIP dan APF lainnya kegiatan yang akan dilakukan di tahun 2012 meliputi kegiatan joint audit dengan BPKP
atas program Jamkesmas dan BOK; koordinasi pengawasan dengan BPKP dan Itjen K/L, provinsi dan kabupaten/kota; dan liaison officer melalui pendampingan oleh BPK. Selain program diatas Inspektorat Jenderal juga merencanakan adanya pembentukan tim Pengaduan Masyarakat (Dumas) dan percepatan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan (TLHP). Tim Dumas merupakan Tim terpadu di tingkat Kementerian Kesehatan dengan melakukan koordinasi penyelesaian Dumas antar unit utama, penjaminan penyelesaian Dumas oleh unit utama, dan melakukan monitoring dan evaluasi. Sementara itu untuk kegiatan TLHP, program kegiatannya meliputi koordinasi penyelesaian tindak lanjut LHP oleh satker, koordinasi pemutakhiran hasil pengawasan dengan APF/APIP lainnya, dan peningkatan kualitas MONEV hasil pengawasan dan tindak lanjut LHP. Perubahan paradigma dan strategi tidaklah bermakna jika tidak dilaksanakan dengan komitmen antara pimpinan dan seluruh staf Itjen. Oleh karena itu dalam pengarahannya Inspektur Jenderal menambahkan bahwa mulai saat ini kita harus berubah, tinggalkan masa lalu, dan bersama-sama kita berjuang untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) serta terciptanya aparatur yang akuntabel, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan Kementerian Kesehatan.
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
21
Tulisan Abstrak PP 60 Tahun 2008 mewajibkan menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati, dan walikota untuk mengimplementasikan SPIP dan menetapkan BPKP sebagai Pembina SPIP. BPKP telah melakukan sosialisasi dan diklat SPIP agar setiap instansi memahami makna SPIP, menyadari pentingnya SPIP, dan mampu mengimplementasikan SPIP. Peserta diklat dan sosialisasi umumnya dapat memahami makna dan arti penting SPIP dalam penyelenggaraan pemerintahan namun belum mengetahui bagaimana cara mengimplementasikan SPIP. Narasumber BPKP umumnya kesulitan untuk menjelaskan langkah praktis implementasi karena materi sosialisasi dan bahan ajar diklat belum mencakup langkah-langkah nyata untuk menerapkan kerangka kerja SPIP secara komprehensif. Tulisan ini berusaha untuk merumuskan panduan praktik implementasi SPIP secara komprehensif melalui studi literatur. Implementasi SPIP dapat diawali dengan pembangunan falsafah manajemen risiko (lingkungan pengendalian dalam arti sempit), penetapan tujuan organisasi dan tujuan kegiatan, identifikasi dan penilaian risiko, pelaksanaan kegiatan pengendalian, pembangunan mekanisme informasi dan komunikasi yang dapat mengukur dan melaporkan risiko aktual dan biaya yang ditimbulkan, monitoring, dan pengembangan lingkungan pengendalian dalam arti luas. Langkah tersebut diterapkan dari tingkat aktivitas, unit organisasi, dan diintegrasikan untuk entitas organisasi secara menyeluruh. Monitoring dan perbaikan yang berkelanjutan akan menjamin SPIP dapat berfungsi efektif.
22
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Kata Kunci: Implementasi SPIP, SPIP Komprehensif, Sektor Publik PENDAHULUAN Krisis ekonomi 1997 menimbulkan kesadaran publik bahwa tanpa pengendalian yang memadai penyelenggaraan pemerintahan mudah terjerumus ke dalam masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kesadaran tersebut memperoleh pengukuhan secara formal dalam pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mewajibkan presiden untuk menyelenggarakan sistem pengendalian intern lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut presiden menetapkan PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang mewajibkan menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati, dan walikota untuk mengimplementasikan SPIP di lingkungannya dan menetapkan BPKP sebagai pembina penyelenggaraan SPIP. Sebagai pembina SPIP, BPKP telah melakukan sosialisasi dan diklat teknis agar kementerian, lembaga, dan istansi pemerintah memahami makna, menyadari arti penting, dan mulai mengimplementasikan SPIP. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa umumnya peserta diklat dan sosialisasi dapat memahami makna dan arti penting SPIP dalam penyelenggaraan pemerintahan tetapi belum memahami cara untuk membangun SPIP secara komprehensif di lingkungan instansi masingmasing. Materi bahan ajar dan sosialisasi BPKP belum mencakup langkah-langkah nyata untuk
Tulisan membangun SPIP secara komprehensif. Alih -alih mengembangkan panduan praktis implementasi SPIP, BPKP justru lebih dulu mengembangkan alat untuk menilai SPI dalam bentuk Diagnostic Assesment yang lebih bermanfaat untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus diperbaiki pada setiap unsur pengendalian. Ketidaktersediaan pedoman praktis untuk membangun SPIP dapat menyebabkan kebingungan dan menyurutkan semangat kementerian, lembaga, serta pemda untuk segera mengimplementasikan SPIP. Tulisan ini bertujuan untuk mencari model yang berisi langkah-langkah praktis untuk membangun SPIP secara komprehensif. Suatu model praktis yang dapat dimanfaatkan oleh semua entitas dan aktivitas organisasi dengan tanpa melihat perbedaan ukuran, budaya, dan pengalaman manajemen risiko. Mengingat SPIP pada dasarnya merupakan adopsi dan adaptasi dari konsep pengendalian menurut The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) maka penelitian dilakukan dengan studi literatur mengenai implementasi COSO’s Entreprise Risk Management Integrated Framework pada sektor privat serta pedoman standar pengendalian intern sektor publik dari INTOSAI. Dari hasil studi tersebut akan dirumuskan suatu model praktis yang dapat digunakan untuk membangun SPIP secara komprehensif. PEMBAHASAN Gambaran Umum SPIP SPIP merupakan sistem pengendalian yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan daerah. SPIP dilaksanakan menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan
instansi pemerintah. SPIP bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset, dan ketaatan pada peraturan perundangundangan. Menurut BPKP (2009), selain untuk melaksanakan amanat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP, implementasi SPIP juga timbul dari kesadaran atas kegagalan pelaksanaan sistem pengendalian yang telah diterapkan sebelumnya dalam mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengendalian intern sebelum SPIP dilakukan mengacu pada Inpres No.15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, Inpres No. 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, serta Kepmenpan No.93/Menpan/1994 tentang Petunjuk Pengawasan Melekat. Penyebab kegagalan pengendalian tersebut antara lain terjadi karena adanya reduksi makna pengawasan melekat. Pengawasan melekat yang secara ilmiah merupakan pengendalian yang dibangun melekat pada kegiatan (built in control) mengalami reduksi makna sebagai pengawasan langsung dari atasan kepada bawahan. Kegagalan juga terjadi karena pengendalian lebih berorientasi pada “hard factor” yangbersifatstatik. Pengendalian dianggap kuat jika organisasi telah memiliki unsur-unsur pengendalian yang dikelompokkan ke dalam enam sarana: struktur organisasi, kebijakan pelaksanaan, rencana kerja, prosedur kerja, pencatatan dan pelaporan, serta pembinaan personil. Peran faktor manusia yang bersifat dinamik berupa kesadaran dan tanggung jawab semua personil terhadap INFORWAS Edisi 1 Th 2012
23
Tulisan pentingnya pengendalian dalam organisasi (soft factor) belum memperoleh perhatian yang serius, padahal soft factor/aspek dinamik merupakan kunci efektivitas pengendalian karena subjek pengendalian adalah manusia. SPIP merupakan adopsi konsep pengendalian
COSO dengan berbagai penyesuaian untuk diterapkan pada sektor publik di Indonesia. Adopsi dan adaptasi tersebut dapat dilihat dari kemiripan antara COSO Integrated Framework dengan perspektifSPIP sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1. COSO Integrated Framework dan Perspektif SPIP
COSO Integrated Framework Gambar 1 menunjukkan bahwa untuk mewujudkan operasi yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset, dan ketaatan terhadap peraturan maka setiap aktivitas dan unit organisasi perlu mengimplementasikan lima komponen pengendalian yang integral. Lima komponen tersebut meliputi: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, serta pemantauan pengendalalian. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa pengamanan aset negara merupakan masalah yang serius sehingga perlu dinyatakan secara tegas sebagai tujuan implementasi SPIP. SPIP telah menekankan pentingnya aspek dinamik & soft factor dalam pengendalian dengan mengakui lingkungan pengendalian sebagai unsur pengendalian.
24
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Perspektif SPIP
Sosialisasi dan Diklat SPIP oleh BPKP dan Kelemahannya Pasal 59 PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP telah menunjuk BPKP sebagai Pembina penyelenggaraan SPIP. Pembinaan oleh BPKP tersebut dilaksanakan melalui penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP, sosialisasi SPIP, diklat SPIP, pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta peningkatan kompetensi auditoraparatpengawasanintern pemerintah. BPKP telah merespon tugas tersebut dan menegaskanbahwa penyelenggaraan SPIP akan dilaksanakan dalam tahapan implementasi sebagai berikut:
Tulisan
Sesuai dengan tahapan tersebut, BPKP telah aktif memfasilitasi implementasi SPIP dengan melakukansosialisasi SPIP, menyiapkan alat pemetaan pengendalian (diagnostic assessment tools), serta menerbitkan panduan cara pembangunan infrastruktur dan internalisasi setiap unsur SPIP. Untuk mendukung sosialisasi dan pembangunan unsur-unsur SPIP, BPKP melalui Pusdiklat Pengawasan BPKP telah menerbitkan enam modul diklat SPIP, yaitu: • • • • • •
Modul Modul Modul Modul Modul Modul
1 2 3 4 5 6
Gambaran Umum SPIP Lingkungan Pengendalian Penilaian Risiko Kegiatan Pengendalian Informasi dan Komunikasi Pemantauan Pengendalian Intern.
Modul 1 Gambaran Umum SPIP menguraikan makna dan arti penting SPIP
bagikementerian/lembaga/instansi emerintah. Modul 2 sampai dengan Modul 6 menjelaskan unsur dan subunsur SPIP secara rinci, lengkap dengan penjelasanmengenai pembangunan infrastruktur dan internalisiasi tiap-tiap subunsur SPIP. Walaupun modul tersebut telah menguraikan secara lengkap cara membangun setiap unsur dan subunsur SPIP namun tidak menyediakan panduan untuk membangun SPIP secara komprehensif. Membangun SPIP dengan mengimplementasikan semua subunsur pengendalian bukan merupakan hal yang praktis, belum tentu efektif, dan memerlukan sumber daya yang besar. Tidak ada rancangan SPI yang mampu memenuhi kebutuhan semua instansi pemerintah. Pengendalian harus dirancang sesuai dengan sifat aktivitas dan kondisi entitas yang bersangkutan. Modul dan bahan sosialisasi BPKP tidak memuat langkah praktis untuk membangun SPIP yang bersifat selektif tetapi komprehensif. BPKP juga belum INFORWAS Edisi 1 Th 2012
25
Tulisan menerbitkan pedoman teknis untuk membangun SPIP secara komprehensif. Hal-hal tersebut menimbulkan kesulitan narasumber BPKP untuk memberikan tuntunan kepada peserta diklat dan sosialisasi yang akan membangun SPIP secara komprehensif di instansi masing-masing. Jika dibiarkan, hal tersebut dapat menyurutkan gairah dan komitmen untuk segera mengimplementasikan SPIP.
suatu pendekatan untuk mengimplementasikan COSO’s Entreprise Risk Management Integrated Framework yang dapat diterapkan untukberbagaiukuranorganisasi, berbagai budaya organisasi, dan berbagai pengalaman manajemen risiko yang diberi nama “buildingblock approach”. Pendekatan tersebut memilih unsur-unsur pengendalian secara selektif untuk memulai membangun SPI yang komprehensif.
Beberapa Model Implementasi Sistem Pengendalian Intern Berbasis COSO yang Komprehensif
Kunci pendekatan ini adalah mulai dari tujuan dan risiko organisasi, kemudian melaksanakan semua tahap pengendalian dengan mengambil unsur pengendalian secara selektif. Sistem yang selektif dan komprehensif tersebut dijadikan sebagai pondasi bagi pengembangan pengendalian yang lebih lengkap secara bertahap. Secara garis besar pendekatan Ballau dan Heitger dapat dituangkan dalam tabel sebagai berikut:
“Building-block approach” Ballau dan Heitger Ballau dan Heitger (2005) menyadari bahwa merubah kultur untuk menerapkan Entreprise Risk Management (ERM) secara utuh membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Oleh karena itu mereka mengemukakan
No 7 8
26
Tahap Informationand Communication Monitoring
Langkah Praktis Meyakinkan bahwa sistem informasi dapat mengukur dan melaporkan risiko Mengomunikasikan efektivitas manajemen risiko dan biayanya Melaksanakan evaluasi Mengevaluasi kembali penilaian risiko Memperluas penerapan manajemen risiko
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Tulisan Pembangunan SPI dengan pendekatan Ballau dan Heitger dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemetaan risiko berdasarkan selera risiko dapat digambarkan sebagai berikut:
- Mempersiapkan lingkungan internal untuk penerapan manajemen risiko. Organisasi harus memahami selera risiko dari setiap stakeholder kunci. Menyelaraskan selera risiko para stakeholder menjadi selera risiko organisasi. Organisasi menciptakan kultur manajemen risiko dengan menekankan nilai integritas dan etika pada setiap urusan, Berdasarkan analisis risiko, organisasi menekankan pentingnya komitmen dan menetapkan respon untuk setiap risiko apakah kapabilitas pegawai melalui insentif dan akan diterima, dihindari, dibagi, atau dikurangi. pengukuran kinerja, serta mendesain kebijakan Organisasi juga harus mempertimbangkan efek dan praktik SDM yang baik. Agar lebih formal, respon terhadap suatu risiko pada risiko lain organisasi perlu membuat uraian tanggung dan menyesuaikanpetarisikoyang dihasilkan jawab untuk mana-jemen dan pimpinanBerdasarkan analisis risiko, organisasi dap suatu risiko pada risiko lain dan menetapkan untukpenilaian setiap risiko risiko sebagaimana menyesuaikanpetarisikoyang padarespon tahap dapat serta mempertimbangkan adanya komite &apakah akan diterima, dihindari, dibagi, dihasilkan pada tahap penilaian risiko atau dikurangi. Organisasi jugaGambar harus terdapat pada 3. sebagaimana dapat terdapat pada mempertimbangkan efek respon terhaGambar 3. manajemen yang menangani urusan risiko. - Penetapan tujuan organisasi dan implementasi manajemen risiko
7
Gambar 3 Peta Risiko Disesuaikan dengan Respon terhadap Risiko Tinggi Risiko 5 (Asuransi)
Risiko 2 Organisasi harus menspesifikasi tujuan Risiko 4 (Dikurangi) stratejik, tujuan operasional, dan menetapkan Biaya (Aliansi) Dampak Risiko strategi untuk mencapai tujuan. Untuk setiap tujuan, organisasi mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan Risiko 1 dan risiko yang dapat menghambat pencapaian (Diterima) Organization’s Risk tujuan; menetapkan metode/teknik Appetite untuk menilai dan mengukur risiko, serta Rendah Tinggi Probabilitas (Frekuensi) Kejadian Risiko melakukan analisis risiko dalam kategori stratejik, operasional, pelaporan, & ketaatan.Kegiatan pengendalian melaporkan informasi kejadian aktual - Kegiatan Organisasi yang memilih pengendalian respon untuk (termasuk yang dapat dihindari orgaSelanjutnya, organisasi menetapkan metodemengurangi risiko harus menetapkan nisasi). Sistem informasi harus mampu kegiatan pengendalian yang tepat & melaporkan biaya pengendalian aktual untuk menganalisis tingkat probabilitasmenghitung biayanya. Biaya untuk untuk ditandingkan dengan estimasiOrganisasi yang memilih respon untuk mengurangi risiko meliputi semua biaya nya. Sistem komunikasi harus mampu untuk asuransi, aliansi, & implementasi menjamin pelaporan manajemen risiko dan dampak suatu risiko serta memetakan mengurangi risiko harus menetapkan kegiatan aktivitas pengendalian. Pelaksanaan di semua jenjang secara tepat waktu terhadap risiko biasanya tidak sehingga efektivitas dan biaya manajerisiko berdasarkan dampak dan probabilitas.respon menghilangkan risiko. Oleh karena itu,
biaya pengendalian juga mencakup biaya atas risiko residual.
men risiko selalu tersedia up to date bagi pimpinan.
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Informasi dan Komunikasi Secara minimal, sistem informasi dan komunikasi harus dapat melacak dan
27
Pemantauan Pemantauan merupakan dasar bagi organisasi untuk memutuskan pengembangan lebih lanjut penerapan mana-
Tulisan pengendalian yang tepat & menghitung biayanya. Biaya untuk mengurangi risiko meliputi semua biaya untuk asuransi, aliansi, & implementasi aktivitas pengendalian. Pelaksanaan respon terhadap risiko biasanya tidak menghilangkan risiko. Oleh karena itu,biaya pengendalian juga mencakup biaya atas risiko residual. - Informasi dan Komunikasi Secara minimal, sistem informasi dan komunikasi harus dapat melacak dan melaporkan informasi kejadian aktual (termasuk yang dapat dihindari organisasi). Sistem informasi harus jemen risiko. Dengan membandingkan kejadian dan biayanya dengan mampuaktual melaporkan biaya pengendalian aktual estimasi risiko dan dampaknya orgauntuk ditandingkan dengan estimasinya. Sistem nisasi dapat memperbaiki mutu proses komunikasi harus menjamin pelaporan penilaian risiko dan mampu penentuan responnya. Apabila pimpinan dan manajemen manajemen risiko di semua jenjang secara sudah nyaman dan merasakan manfaat tepat waktu sehingga efektivitas dan biaya manajemen risiko yang dijalankan maka kultur dan falsafah risiko yang manajemen risiko selalu tersedia up to date lebih luas dan lebih mantap dapat dibagi pimpinan. kembangkan untuk seluruh organisasi. - Pemantauan Pemantauan merupakan dasar bagi
Tiga Fase Implementasi Menurut Institute organisasi untuk memutuskan pengembangan of Management Accountants Institute of Management lebih lanjut penerapanAccountants manajemen risiko. (2007) menyatakan bahwa implementasi Dengantergantung membandingkan kejadian aktual dan ERM sangat pada kondisi organisasi. Tidak adaestimasi resep khusus yang biayanya dengan risiko dan dampaknya menjamin kesuksesan implementasi organisasi dapat memperbaiki mutu proses pada setiap organisasi. Pendekatan umum yang sering digunakan adalah responnya. penilaian risiko dan penentuan membentuk tim ERM untuk memfasilitasi
Apabila pimpinan dan manajemen sudah nyaman dan merasakan manfaat manajemen
risiko yang dijalankan maka kultur dan falsafah risiko yang lebih luas dan lebih mantap dapat di kembangkan untuk seluruh organisasi. Tiga Fase Implementasi Menurut Institute of Management Accountants Institute of Management Accountants (2007) menyatakan bahwa implementasi ERM sangat tergantung pada kondisi organisasi. Tidak ada resep khusus yang menjamin kesuksesan implementasi pada setiap 8 organisasi. Pendekatan umum yang sering digunakan adalah membentuk tim ERM untuk lokakarya risiko, membantu memfasilitasi lokakarya risiko,pimpinan membantu dan unit organisasi memahami risiko, pimpinan dan unit organisasi memahami risiko, mengumpulkan data seluruh organisasi, dan membantu pelaporan pada dan mengumpulkan data seluruh risiko organisasi, pimpinan puncak. Elemen umum dalam membantu pelaporan risiko pada pimpinan implementasi ERM adalah: adanya komitmen pimpinan; risiko; pelapuncak. Elemen umumkebijakan dalam implementasi poran kepada manajamen dan pimpinan; ERM adalah: adanya komitmen pimpinan; pengembangan kerangka risiko; pekebijakan risiko; istilah pelaporan kepada manajamen ngembangan baku risiko; teknik identifikasi risiko; sarana penilaian risiko; dan pimpinan; pengembangan kerangka sarana pelaporan dan monitoring risiko; risiko; pengembanganrisiko istilah bakuuraian risiko; mengintegrasikan dengan tugas / jabatan dan tanggung jawab teknik identifikasi risiko; sarana penilaian pegawai; mengintegrasikan risiko derisiko; sarana penganggaran; pelaporan dan monitoring ngan fungsi serta mengintegrasikan penilaian risiko ke risiko; mengintegrasikan risiko dalam dengan strategi organisasi. uraian tugas / jabatan dan tanggung jawab pegawai; mengintegrasikan risiko dengan fungsi penganggaran; serta mengintegrasikan penilaian risiko ke dalam strategi organisasi. Menurut implementasiERM ERM dapat Menurut IMA,IMA,implementasi dapat dikembangkan dalam tiga fase dikembangkan dalamutama tiga fase dengan tahapan dengan tahapan sebagai berikut: utama sebagai berikut:
Gambar 4. Tahapan Implementasi ERM FASE I Pembangunan Pondasi ERM Tahapan: 1. Awareness 2. Capability 3. Allignment
FASE II Implementasi Tingkat Unit Tahapan: 1. Engagement 2. Value 3. Operationalize
28 4 menunjukkan bahwa impleGambar mentasi pengendalian secara utuh diawali dengan peletakan pondasi untuk penerapan manajemen risiko, implementasi pada tingkat segmen dan unit organisasi, serta implementasi secara penuh INFORWAS Edisi 1 Th 2012
FASE III Implementasi Tingkat Organisasi Tahapan: 1. Collaborate 2. Coordinate 3. Integrate
pada tingkat organisasi. Implementasi dapat dilaksanakan dalam 9 tahap. Kegiatan yang harus dilakukan untuk setiap tahap dapat disajikan secara ringkas dalam tabel berikut ini:
Tulisan Gambar 4 menunjukkan bahwa implementasi pengendalian secara utuh di awali dengan peletakan pondasi untuk penerapan manajemen risiko, implementasi pada tingkat segmen dan unit organisasi, serta implementasi secara
penuh pada tingkat organisasi. Implementasi dapat dilaksanakan dalam 9 tahap. Kegiatan yang harus dilakukan untuk setiap tahap dapat disajikan secara ringkas dalam tabel berikut ini:
Tabel 2. Tahapan Implementasi ERM menurut IMA Tahapan
Tujuan Tahapan
Awareness Capability
Membangun visi manajemen risiko, strategi dan kesadaran Membangun struktur dasar manajemen risiko, sumber daya, dan model implementasi
Allignment
Menyatukan tujuan melalui komitmen manajemen risiko
Engagement
Melaksanakan komitmen pada area/isu tertentu
Value
Menunjukkan manfaat nyata dari pelaksanaan manajemen risiko
Operationalize Collaborate
Menerapkan secara penuh ERM pada tingkat unit organisasi Meningkatkan kolaborasi tim manajemen risiko segmen lain untuk mengatasi keterkaitan antar risiko
Coordinate
Meningkatkan koordinasi antar area/unit organisasi Mengintegrasikan secara penuh ERM dengan perencanaan, manjemen kinerja,
Integrate
manajemen mutu, dan proses manajemen kunci lainnya Pedoman bagi standar pengendalian internal sector publik INTOSAI 2004 Menurut pedoman standar pengendalian intern untuk sektor publik yang dikeluarkan International Organization of Supreme Audit Institutions / INTOSAI (2004), pengendalian intern merupakan suatu proses integral dinamik yang selalu disesuaikan dengan perubahan yang dihadapi organisasi. Manajemen dan pegawai pada setiap level terlibat dalam proses ini untuk menentukan risiko dan memberikan jaminan yang layak atas pencapaian misi dan tujuan umum entitas organisasi. SPI akan efektif jika bersifat padu/melekat dan menjadi bagian utuh dari aktivitas organisasi.
Pedoman INTOSAI 2004 menegaskan bahwa manajemen, auditor internal, dan pegawai memiliki tanggung jawab terhadap pengendalian; sementara eksternal seperti auditor eksternal, legislator, penerima manfaat, serta rekanan memiliki pengaruh pada pengendalian intern. Pedoman telah menguraikan unsur-unsur pengendalian intern secara rinci. Pedoman tidak menguraikan tahapan implementasi SPI tetapi memberikan contoh berupa matriks untuk menentukan unsur pengendalian intern yang harus dimplementasikan untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana tabel 3 berikut ini.
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
29
aktivitas organisasi.
tertentu sebagaimana tabel 3 berikut ini.
Tulisan Tabel 3. Matriks Pengembangan Pengendalian – INTOSAI 2004 Unit Organisasi: ….. Tujuan: ….. Lingkungan Pengendalian Unsuryang relevan
Penilaian Risiko Unsur relevan
yang
Aktivitas Pengendalian Unsur yang relevan
Tabel 3 menunjukkan bahwa unsur lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan monitoring harus diterapkan secara komprehensif mengacu pada tujuan yang akan dicapai orga-nisasi. Sebagaipelengkappedoman tersebut, INTOSAI (2004) menerbitkan Guidelines for Internal Control Standards for the Public Sector– Further Information on Entity Risk Management sebagai kerangka untuk menerapkan prinsipprinsip entity risk management di sektor publik dan sebagai dasar agar aktivitas manajemen risiko dapat dievaluasi. INTOSAI menganggap penting COSO Entity Risk Management karena eksistensi entitas adalah
Informasi dan Komunikasi Unsur yang relevan
Monitoring Unsur yang relevan
untuk menghasilkan manfaat bagi pemangku kepentingan. Setiap entitas menghadapi ketidakpastian dan manajemen harus menentukan seberapa jauh ketidakpastian yang dapat diterima dalam menciptakan manfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholders). Menurut INTOSAI, entity risk management merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh pimpinan puncak organisasi, manajemen, & pegawai lain yang diterapkan dalam penentuan strategi dan diterapkan diseluruh entitas, dirancang memanajemen risiko sesuai selera risiko entitas, dan untuk memberikan keyakinan yang memadai terhadap pencapaian tujuan organisasi. ERM terdiri dari delapan komponen yang dapat diterapkan dengan tahapan sebagai berikut:
Gambar 4. Tahapan Implementasi Entity Risk Management
Risk Enviroment/Context
Setting Objectives: Strategic, Operational, Reporting, Compliance
Identifying Events, Risks, & Opportunities
Assessing Risks
Monitoring
Information and Communication
Control Activities
Risks Respons
30
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Tulisan Gambar 4 menunjukkan bahwa tahapan ERM dibangun secara lengkap di mulai darimempersiapkanlingkungan pengendalian yang diperlukan untuk implementasi manajemen risiko, penetapan tujuan, pelaksanaan manajemen risiko dan aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta monitoring. Lingkungan pengendalian yang harus disiapkan untuk implementasi manajemen risiko meliputi falsafah manajemen risiko; selera risiko; pengawasan pimpinan; nilai-nilai etik dan integritas; kompetensi staf; dan cara manajemen untuk melimpahkan otoritas dan tanggung jawab, merancang organisasi, serta mengembangkan staff. Setelah lingkungan intern siap, organisasi menerapkan manajemen risiko secara lengkap. Kegiatan pengendalian yang diterapkan meliputi pengendalian preventif, pengendalian direktif, pengendalian detektif, dan pengendalian korektif. Sistem informasi dan komunikasi dibangun untuk
menjamin pencapaian pengendalian intern. Sistem informasi menjamin informasi yang tepat akan sampai pada pimpinan dan orang yang tepat. Komunikasi diperlukan untuk mengarahkan personil pada tanggung jawab dan perilaku yang diharapkan. Monitoring dilaksanakan untuk menjamin bahwa setiap kelemahan akan ditemukan dan diperbaiki terus-menerus sehingga setiap unsur Entity Risk Management dapat berfungsi dangan baik. COSO Guidance on Monitoring Internal Control Systems Menurut pedoman monitoring sistem pengendalian intern yang diterbitkan COSO (2009), pengendalian yang tidak dimonitorakanmelemahdengan berjalannya waktu. Monitoring dibangun untuk meyakinkan bahwa pengendalian internal terus berfungsi secara efektif. Oleh karena itu COSO menghendaki monitoring yang kontinyu sebagimana gambar 5 sebagai berikut:
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
31
Tulisan Dengan monitoring yang kontinyu, organisasi mampu mengidentifikasi masalah dalam pengendalian intern secara tepat waktu, menghasilkan informasi yang lebih akurat untuk pengambilan putusan dan pelaporan keuangan, serta selalu dapat mengetahui efektivitas pengendalian intern. MODEL IMPLEMENTASI SPIP SECARA KOMPREHENSIF
pelaksanaan mana jemen risiko, menetapkan tujuan secara jelas, mengidentifikasi risiko, menganalisis dan menentukan res-pon terhadap risiko, membangun kegiatan pengendalian sesuai dengan respon terhadap risiko, membangun sistem informasi dan komunikasi untuk memungkinkan jalannya ERM, serta melakukanmonitoringberkelanjutan terhadap jalannya ERM. Agar ERM tersebut menjadi lebih efektif maka lingkungan pengendalian dalam arti luas perlu dilengkapi secara bertahap. Jika hanya memperhatikan komponen SPIP maka implementasi pengendalian intern dapat digambarkan dalam gambar 6 sebagai berikut:
Berdasarkan hasil studi literatur tersebut kita dapat merumuskan suatu suatu model implementasi SPIP yang sederhana tetapi efektif. Suatu model yang utuh Gambar 6 Implementasi SPIP Komprehensif dengan Menggunakan ERM tetapi selektif sehingga cocok untuk berbagai organisasi dan tidak Penanggungjawab terlalu menghamburkan sumber Tujuan 5. Monitoring daya. Dengan berjalannya waktu, bertambahnya pengalaman, serta 4. Informasi 1a. Lingkungan 2. Penilaian Kejelasan 3. Kegiatan dan Pengendalian bertambahnya manfaat yang Risiko Tujuan Pengendalian Komunikasi dalam arti sempit dirasakan manajemenmaka model tersebut akan diperbaiki secara 1.b. Lingkungan Pengendalian dalam Arti luas berkelanjutan. Secara garis besar, model yang penulis sarankan adalah sebagai berikut: Kultur instansi pemerintah sangat berbeda 1. Implementasi SPIP perlu Menggunakan dengan kultur sektor privat. Pada sektor Entity Risk Management Fokus implementasi privat, kegagalan menerapkan Entreprise SPIP adalah pencapaian tujuan organisasi, Risk Management dapat berakhir dengan kebangkrutan organisasi, suatu hal yang tidak bukan penciptaan pengendalian yang lengkap tanpa memperhitungkan biaya manfaat. terjadi pada sektor publik di Indonesia. Oleh Agar implementasi tetap fokus pada karena itu, pihak yang bertanggung jawab tujuan, organisasi harus mengimple terhadap tujuan dan risiko harus ditetapkan mentasikanpengendaliandalam kerangka secara tegas. Konsekuensi atas kegagalan dan manajemen risiko entitas (ERM). Implementasi keberhasilan pencapaian tujuan juga harus awal SPIP dimu lai dengan memilih secara dinyatakan secara tegas. Dengan demikian selektif unsur-unsur pengendalian yang diperlu implementasi SPIP dengan kerangka ERM kan untuk memungkinkan jalannya ERM. mampu menghadirkan dan menghidupkan Organisasi harus memper siapkan lingkungan unsur-unsur SPIP secara dinamik dalam pengendalian yang diperlukan untuk
32
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Tulisan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk membantu memperjelas keterkaitan tujuan yang akan dicapai dengan unsurunsur SPIP yang akan diterapkan, instansi pemerintah dapat menggunakan matriks pada pedoman standar pengendalian intern untuk sektorpublikyangdikeluarkan INTOSAI sebagaimana Tabel 3. Agar lebih jelas, matriks tersebut dapat dimodifikasi. Matriks dibuat untuk setiap tujuan lengkap dengan penanggung jawab untuk setiap tujuan. 2. Implementasi Bertahap dari Area Tertentu Sampai Keseluruhan Entitas Sebagai permulaan, SPIP dibangun pada lingkungan yang kecil (area tertentu/kegiatan tertentu) sehingga tidak terlalu rumit dan tidak memakan biaya yang besar. Implementasi awal tersebut merupakan sarana pembelajaran dan sarana unjuk manfaat. Jika implementasi pada area/ kegiatan tertentu telah berhasil maka cakupan implementasi dapat diperluas untuk unit organisasi. Keberhasilan implementasi pada suatu unit organisasi akan membuka mata unit organisasi lain bahwa pengendalian mampu menjamin penca paian tujuan organisasi. Unit organisasi yang berhasil tersebut dapat menjadi pusat percontohan bagi unit lainnya sehingga pengembangan pada unit-unit berikutnya menjadi lebih mudah. Tahap terakhir adalah implementasi secara penuh untuk tingkat entitas. 3. Monitoring & Perbaikan Berkelanjutan Manusia merupakan subjek pengen dalian. Manusia adalah makhluk yang rasional. Manusia akan terdorong mela kukan pengendalian jika sejalan dengan kepentingannya. Jika tidak sejalan dengan kepentingannya maka manusia akan bereaksi terhadap pengen dalian sehingga rancangan pengen dalian menjadi tidak efektif. Untuk menjamin efektivitas implementasi SPIP
maka monitoring harus dilakukan secara berkelanjutan dan hasil monitoring harus segera ditindaklanjuti. PENUTUP
Simpulan dan Saran Implementasi SPIP dapat diawali dengan pelaksanaan entity risks management secara lengkap tetapi selektif. Implementasi SPIP dapat diawali dengan pembangunan falsafah manajemen risiko (lingkungan pengendalian dalam arti sempit), penetapan tujuan organisasi dan tujuan kegiatan, identifikasi dan penilaian risiko, pelaksanaan kegiatan pengendalian, pembangunan mekanisme informasi dan komunikasi yang dapat mengukur dan melaporkan risiko aktual dan biaya yang ditimbulkan, pelaksanaan monitoring, dan pengembangan lingkungan pengendalian dalam arti luas. Langkah tersebut mulai diterapkan pada tingkat area/aktivitas, unitorganisasi, dan pada akhirnya diintegra sikan untuk organisasi secara menyeluruh. Monitoring dan perbaikan yang berkelanjutan akan menjamin SPIP dapat berfungsi efektif. Agar peserta sosialisasi dan diklat SPIP mampu mengimplementasikan SPIP pada instansi masing-masing, kami sarankan agar sosialisasi dan diklat SPIP dilengkapi dengan materi mengenai model implementasi SPIP yang komprehensif. Materi tersebut meliputi: Panduan implementasi entity risk management yang bersifat selektif tetapi komprehensif, termasuk menggunakan matriks untuk merancang pengendalian yang relevan secara utuh; Tahapan implementasi SPIP dari pembangunan pondasi ERM, implementasi tingkat kegiatan, unit organisasi, dan tingkat entitassecaramenyeluruh;serta Monitoring & perbaikan yang berkelanjutan untuk menjamin efektivitas SPIP. INFORWAS Edisi 1 Th 2012
33
14
Tulisan
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR Ballou, Brian andPUSTAKA L. Heitger. 2005. A Building-Block Approach for ImpleBallou, Brian and L. Heitger. 2005. A menting COSO’s Enterprise Risk Building-Block Approach for ImpleManagement-Integrated Framework. menting COSO’s Enterprise Management Accounting Quarterly, Risk Management-Integrated Framework. Winter 2005, Volume.6, No.2. Management Accounting Quarterly, Winter 2005, Volume.6, No.2. BPKP. 2009. Modul 1: Gambaran Umum SPIP. Pusdiklatwas BPKP. Ciawi. BPKP. 2009. Modul 1: Gambaran Umum SPIP. Pusdiklatwas BPKP. Ciawi. BPKP. 2009. Modul 2: Lingkungan Pengendalian. Pusdiklatwas BPKP. BPKP. 2009. Modul 2: Lingkungan Ciawi. Pengendalian. Pusdiklatwas BPKP. Ciawi. BPKP. 2009. Modul 3: Penilaian Risiko Pusdiklatwas BPKP. Ciawi. BPKP. 2009. Modul 3: Penilaian Risiko Pusdiklatwas BPKP. Ciawi. BPKP. 2009. Modul 4: Kegiatan Pengendalian. Pusdiklatwas BPKP. BPKP. 2009. Modul 4: Kegiatan Ciawi. Pengendalian. Pusdiklatwas BPKP. Ciawi. BPKP. 2009. Modul 5: Informasi dan Komunikasi. Pusdiklatwas BPKP. BPKP. 2009. Modul 5: Informasi dan Ciawi. Komunikasi. Pusdiklatwas BPKP. Ciawi. BPKP. 2009. Modul 6: Pemantauan Pengendalian Intern. Pusdiklatwas BPKP. 2009. Modul 6: Pemantauan BPKP. Ciawi. Pengendalian Intern. Pusdiklatwas
BPKP. Ciawi. Institute of Management Accountants. 2007.Institute Enterprise Management: of Risk Management Accountants. Tools And2007. Techniques For Risk Effective Enterprise Management: Implementation. Tools Andwww.imanet.org Techniques FordiEffective akses 27 Implementation. Juli 2011. www.imanet.org di akses 27 Juli 2011.
34
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
INTOSAI. 2004. Guidelines for Internal Control Standards for the Public 2004. Guidelines for Internal Sector.INTOSAI. INTOSAI General Secretariat. Vienna. Control Standards for the Public Sector. INTOSAI General Secretariat. Vienna. INTOSAI. 2004. Guidelines for Internal Control Standards for the Public Guidelines for Internal Sector INTOSAI. – Further 2004. Information on Entity Control Standards for the Risk Management. INTOSAI General Public Sector – Further Information on Entity Secretariat. Vienna. Risk Management. INTOSAI General Secretariat. Vienna. Republik Indonesia. 2004. UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 Republik Indonesia. 2004. UndangTentang Perbendaharaan Negara. Undang Nomor 1 Tahun 2004 Setneg. Jakarta. Tentang Perbendaharaan Negara. Setneg. Jakarta. Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Republik Indonesia. 2008. Peraturan Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Instansi Pemerintah. Setneg. Jakarta. Tentang Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah. Setneg. Jakarta. TheCommitteeofSponsoring Organizations of the Treadway TheCommitteeofSponsoring Commission(COSO).2009. Organizations of the Treadway Guidance Commission(COSO).2009. on Monitoring Internal Control Systems. www.cpa2biz.com Guidance on Monitoring Internal diakses tanggal 27 Juli 2011.www.cpa2biz.com Control Systems. diakses tanggal 27 Juli 2011.
Tulisan
Sosialisasi Pemetaan SPIP
Upaya Membangun Pengendalian Intern yang Efektif Oleh : Tafsir Hanafi, SKM,MAk (Auditor Inspektorat IV Itjen Kemenkes RI)
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 (PP 60/2008) tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah salah satu bukti komitmen pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. Hadirnya SPIP adalah jawaban atas komitmen pemerintah dalam membangun sistem pengendalian intern pemerintah yang efektif. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) seperti telah menjadi sebuah semangat atau gerakan yang harus dijalankan dalam birokrasi pemerintahan dalam beberapa waktu belakangan ini. Tuntutan tersebut seolah berhadapan dengan kenyataan bahwa di instansi pemerintah sudah terlebih dahulu hadir model pengendalian yang selama ini kita kenal dengan istilah pengawasan melekat (waskat). Sehingga dengan hadirnya SPIP instansi pemerintah mau tak mau harus memadukan dan mensinkronkan penerapan keduanya. Saat ini seluruh jajaran birokrasi pemerintah sudah sering mendengar bahkan terlibat dalam kegiatan SPIP. Belakangan ini banyak kegiatan digelar dalam upaya mensosialisasikan SPIP tersebut. Meskipun SPIP telah di-launch pada 2008, dan sosialisasi telah banyak digelar
namun hingga saat ini masih banyak jajaran birokrasi yang merasa asing dengan kata dan istilah tersebut, apalagi dalam pemahaman dan penerapannya. Untuk menjawab itu semua, dan dalam rangka memberikan pembekalan sebelum auditor melakukan pemetaan penerapan SPIP pada satker vertikal, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan menggelar Sosialisasi tentang SPIP. Bertempat di Hotel Manhattan, Jln. Prof. Dr. Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, kegiatan tersebut dilaksanakan pada 20 Februari 2012. Bapak Inspektur Jenderal berkesempatan hadir membuka acara tersebut. Dalam sambutannya beliau menyinggung pentingnya penerapan SPIP, terlebih untuk lingkungan Inspektorat Jenderal sendiri. Selain itu beliau juga menyampaikan beberapa informasi penting lainnya terkait penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Kesehatan 2011 dan juga proses Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Kesehatan. Sebagai Narasumber dalam acara tersebut adalah para Auditor Inspektorat Investigasi, yang dalam paparannya antara lain menyampaikan prinsip kerja SPIP, proses penilaian terhadap INFORWAS Edisi 1 Th 2012
35
Tulisan pelaksanaan penerapan SPIP. Dengan demikian dapat diketahui area of improvement dan perbaikan untuk meningkatkan penerapan SPIP. Selain itu dijelaskan pula tata cara pengisian Formulir SPI di lingkungan KKP yang terdiri dari: Keandalan Laporan Keuangan; Pengamanan Aset Negara; Efektivitas dan Efisiensi Kegiatan Instansi Pemerintah; Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Prioritas Pencapaian Tujuan SPIP. Tidak ketinggalan diberikan pula materi terkait manajemen Rumah Sakit (RS) dan manajemen Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), sebagai panduan awal sebelum melakukan pemetaan.
36
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Pemetaan SPIP adalah sebuah tahapan penting dari penyelenggaraan SPIP setelah tahapan pemahaman dan penyamaan persepsi. Untuk kemudian dilanjutkan pada tahap membangun infrastruktur, tahap internalisasi, dan tahap pengembangan berkelanjutan. Tahapan-tahapan tersebut bukanlah sebuah urutan yang sifatnya sequential, dalam arti satu tahapan baru bisa dilaksanakan setelah tahapan sebelumnya selesai. Namun penerapan tahapan-tahapan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat urgensi pada setiap intansi pemerintah.
Tulisan
SurveiIntegritas KPK 2011
Cambuk Meperbaiki diri & Meningkatkan Pelayanan Setelah berkutat sekian lama dalam upaya meraih Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), menjelang akhir tahun, tepatnya 28 November 2011, kabar menyenangkan diterima keluarga besar Kementerian Kesehatan. Kabar menyenangkan tersebut adalah dirilisnya hasil survei integritas sektor publik tahun 2011 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menempatkan Kementerian Kesehatan pada peringkat kedua dibawah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Capaian tersebut tentu saja sesuatu yang sangat membanggakan ditengah upaya seluruh jajaran Kementerian Kesehatan meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk Laporan Keuangan Tahun 2011, setelah mendapat opini disclaimer pada Laporan Keuangan Tahun 2010. Hasil survei Integritas 2011 sebagaimana yang dipaparkan Wakil Ketua KPK, M. Jasin, pada 28 November 2011 tersebut, adalah hasil survei yang dilakukan kepada 89 instansi yaitu 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerintah daerah. Jumlah responden mencapai 15.540 yang terbagi dalam 507 unit layanan dengan rincian 43 unit layanan di instansi pusat dengan 1.290 responden, 284 unit layanan di instansi vertikal dengan 8.580 responden dan 180 unit layanan di pemda dengan 5.670 responden. Dalam survey tersebut rata-rata jumlah responden adalah 30 per
unit layanan dengan kurun waktu pengumpulan data April-Oktober 2011. Adapun indikator yang dinilai dalam survei adalah pengalaman korupsi, cara pandang terhadap korupsi, lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu, dan pencegahan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rilis di situsnya, mengatakan bahwa survei integritas 2011 tersebut bertujuan untuk mengetahui nilai integritas, indikator, dan subindikator integritas dalam layanan publik. Pelaksanaannya dilakukan dengan pengukuran ilmiah terhadap tingkat korupsi dan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di lembaga publik dengan mensurvei pengguna langsung layanan publik. Survei tersebut juga bertujuan untuk memberi bahan masukan bagi instansi layanan publik untuk mempersiapkan upaya-upaya pencegahan korupsi yang efektif pada wilayah/layanan yang rentan terhadap korupsi. Bagi Keluarga Besar Kementerian Kesehatan, hasil survei tersebut di satu sisi patut disyukuri. Disisi lain harus menjadi cambuk untuk selalu terus memperbaiki diri dalam hal pelayanan publik. Ini tentu saja merupakan modal dalam mewujudkan tata kelola kementerian yang bersih, transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi. (Laporan Tim Inforwas : tafsir hanafi)
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
37
38
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
39
40
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
Pembukaan acara Rakerkesnas Tahun 2012 oleh Menteri Kesehatan RI di Hotel Bidakara Jakarta
Photo bersama seluruh pserta Rapat Kerja Pengawasan (Rakerwas) Tahun 2012 Inspektorat Jenderal Kemenkes RI
Paparan hasil diskusi Rapat Kerja Pengawasan (Rakerwas) Inspektorat Jenderal Kemenkes RI
Inspektur Jenderal Kemenkes RI melaksanakan kunjungan kerja ke Puskesmas Pangkalan Baru Kab. Bangka Tengah Prov. Kep. Bangka Belitung
Rapat Kerja Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan bersama dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kep. Bangka Belitung
Peserta rapat kerja Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota se Provinsi Kep. Bangka Belitung beserta jajaran pimpnan Inspektorat Jenderal Kemenkes RI
Rapat Kerja Pembinaan dan Pengawasan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan bersama Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota se Provinsi Kep. Bangka Belitung, 15 Maret 2012
Diskusi bersama antara Inspektur Jenderal Kemenkes RI (kanan) dengan Bupati Bangka Tengah (kiri)
INFORWAS Edisi 1 Th 2012
41
42
INFORWAS Edisi 1 Th 2012