Beberapa Komentar Terkait Laporan CIPG Ignatius Haryanto i 1. Pada akhirnya saya menemukan lebih banyak orang sekarang yang peduli dengan isu yang terkait dengan masalah kepemilikan media di Indonesia, dan terutama adalah pada dampak konsentrasi kepemilikan media di tangan sejumlah pihak. Saya memperhatikan isu ini sejak tahun 1997, dan saya pernah mengikuti tiga kali mengikuti seminar internasional masalah kepemilikan media secara regional baik di Bangkok (dua kali) dan Slovenia. ii 2. Hingga hari ini saya masih memperhatikan isu ini, walaupun dengan nada yang makin khawatir, karena beberapa hal: pertama, tingkat perluasan (ekstentifikasi) dari ekspansi berbagai grup media sangat luar biasa – lihat dalam laporan ini disebutkan bahwa Jawa Pos memiliki 171 terbitan di bawah mereka – hampir mencapai setengah jumlah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Kedua, tingkat konflik kepentingan yang ada saat ini sangatlah besar, bahkan para pemilik grup media yang ada tidak lagi malu-malu, atau bahkan sangat terus terang untuk mempergunakan media-media yang ada di bawah grup mereka sebagai instrument untuk mendukung kepentingan ekonomi dan politik para pemiliknya, apakah itu seorang pengusaha, ataupun politikus. Ketiga, bahaya dari konsentrasi kepemilikan ini sudah semakin jelas: informasi jadi bias atau bahkan memproduksi berita bohong (jangan lupa bahwa mendapatkan informasi yang benar adalah bagian dari hak asasi manusia, dan sesuai dengan konstitusi republik ini), informasi jadi semata-mata komoditas, kualitas jurnalis(tik) jadi menurun: hanya menampilkan yang sensasional, yang komersial semata, liputan investigasi hanya dilakukan semakin sedikit media (karena takut menyinggung kepentingan pemilik, saudara pemilik, pengiklan terbesar, dan perusahaan lain yang juga adalah teman bos) para pekerja dalam industri media tak serta merta jadi lebih sejahtera daripada masa sebelumnya. iii 3. Apresiasi yang tinggi harus diberikan kepada CIPG dan para peneliti yang telah menuntaskan mapping kondisi industri media kontemporer serta juga memetakan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan media di Indonesia. Potret semacam ini penting untuk disajikan sebagai bagian untuk kita mengenali wajah kita sembari kita menengok seberapa jauh sudah perjalanan yang dilakukan oleh industri media, para aktor penting dalam dunia media, serta juga menengok bagaimana “institusionalisasi demokrasi” dijalankan dalam ranah media. Saya mengatakan soal “institusionalisasi demokrasi” sebagai suatu upaya agar arah perubahan yang mulai terjadi sejak tahun 1998 mengarah pada nilai demokrasi yang sesungguhnya, dan juga tertata dalam bentuk institusi-institusi pendukungnya. Namun kita melihat bahwa perkembangan yang terjadi sejak tahun 1998 masih terus diwarnai dengan tarik menarik antara dunia industri, kelompok profesi, pemerintah, regulator media, dan masyarakat sipil. Tarik menarik ini terus terjadi terutama dalam wilayah regulasi, dimana peluang untuk turut mempengaruhi kebijakan yang ada dimanfaatkan oleh berbagai kelompok untuk membuat regulasi media yang ada lebih menampung kepentingan mereka. Saya menduga tarik menarik seperti ini akan terus terjadi (jika harus menyebut sejumlah fenomena aktual adalah pada saat sekarang sedang dilakukan revisi terhadap UU Penyiaran, kemudian juga gugatan dari Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran – KIDP – ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan pasal soal kepemilikan silang dalam UU Penyiaran), dan saya pun merasakan bahwa pertarungan seperti ini dari hari ke hari makin keras terjadi. 4. Apa yang telah, sedang dan masih akan dilakukan ini tak lepas dari perjuangan untuk membuat situasi sekarang menuju pada demokratisasi yang tidak hanya dinikmati oleh masyarakat luas lewat peran informasi dari media massa,tetapi juga mengarah pada kondisi demokratisasi di dalam industri
media massa itu sendiri. Apakah hal ini merupakan utopia atau tidak, biarlah waktu yang menentukan jawabannya. Namun paling tidak upaya sejenis ini pernah dilakukan oleh sekelompok akademisi di Amerika yang salah satunya dimotori oleh Prof. Robert W. Mc Chesney dan kawan-kawan untuk melakukan regulasi terhadap media di Amerika yang sudah sangat terkonsentrasi itu iv. 5. Tentu kita memperkarakan masalah ini semua karena di dalamnya kita membahas unsur fundamental dalam kehidupan manusia terutama yang terkait dengan hak asasi manusia yang terkait dengan kebebasan memperoleh informasi,dan juga hak manusia untuk mengekspresikan pendapatnya. Kondisi industri media yang terkonsentrasi semacam ini buat saya menjadi suatu ancaman bagi proses pertukaran informasi (yang berkualitas – yang di dalamnya mengandung unsur akurat, serta penting untuk publik) dalam masyarakat, dan juga menjadi ancaman atas upaya menyampaikan ekspresi ataupun pendapat. 6. Dekade 1950 dan 1960an di Indonesia kita mengenal aneka suratkabar yang memiliki afiliasi terhadap partai-partai politik pada saat itu. Kita mengenal Koran Merdeka yang disebut dekat dengan Partai Nasional Indonesia, Koran Abadi yang dekat dengan Masyumi, Duta Masyarakat yang dekat dengan Nahdlatul Ulama, Harian Rakyat yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia, atau juga Pedoman yang disebut dekat dengan Partai Sosialis Indonesia v. Kini seluruh surat kabar itu telah tiada akibat represi dan pembredelan terus menerus terhadap suratkabar-suratkabar politik masa itu. Kini kita menyaksikan aneka media yang ada kita lekatkan dengan perusahaan-perusahaan besar yang menguasai Indonesia. Apakah kondisi hari ini lebih baik daripada era Koran-koran partai politik? Duaduanya untuk saya tidaklah baik, karena persoalan independensi dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang sesungguhnya jadi mendapat tantangan di sini. 7. Saya kira justru kondisi sekarang malah lebih buruk terutama ketika tingkat kompleksitas dari konflik kepentingan yang ada membuat informasi jadi tak lebih dari sekedar komoditi dan kemudian informasi yang dihadirkan sebagiannya lebih mengandung unsur “public relations” (dari perusahaan) – dengan banyak informasi yang lebih bernilai sebagai newsletter perusahaan ketimbang informasi yang layak dimuat oleh media massa - ketimbang mengandung unsur “public information”. Seorang pengusaha memiliki media massa sebagai salah satu cabang industri yang ia miliki, di samping ia menguasai sejumlah tempat hiburan, outlet makanan, dan lain-lain. Lalu apa yang kita lihat sebagai hasil? Informasi pembukaan hotel baru yang berlokasi berdekatan dengan tempat hiburan yang ia miliki pun masuk dalam siaran berita sore di satu stasiun televisi. Gejala Narsisme dari si pemilik dan kepentingan pemilik media tersebut tak lagi-lagi malu-malu (namanya saja Narsis, ) vi Belum lagi jika kita harus menelanjangi kepentingan politiknya. Seorang pengusaha yang baru saja bergabung dengan partai politik kini tak malu-malu tampil dalam siaran berita di salah satu televisinya untuk meresmikan angkatan muda dari partai baru tersebut. Item berita seperti ini bukankah lebih cocok jika ditampilkan dalam buletin internal mereka ketimbang informasi yang disajikan kepada publik? 8. Pada akhir dekade 1980an dan awal 1990an wacana dalam pers Indonesia kala itu membicarakan dikotomi antara yang disebut sebagai “pers perjuangan” dengan “pers industri” – itu kurun waktu dimana industri media mulai makin membesar dan masuknya sejumlah pengusaha dalam industri media – dan mencoba untuk melihat kondisi pers di Indonesia sembari merujuk pada kondisi ketika pers Indonesia muncul sebagai bagian dari pergerakan nasional sejak awal abad 20 dan kemudian juga ketika Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Suratkabar yang muncul pada periode itu adalah surat kabar yang lekat dengan sosok para pejuang, dan ketika masuk jaman kemerdekaan, maka dibayangkan semangat perjuangan (yang kerap disimplifikasi sebagai
“idealisme”) yang pernah dikobarkan, masih akan diteruskan dalam periode-periode berikutnya. Ketika orang bicara soal pers Industri, banyak orang menyebut soal perubahan masa, dan juga di dalamnya menunjuk pada pertumbuhan ekonomi yang juga dinikmati oleh industri media. Dulu orang masih malu mengakui dirinya sebagai “pers Industri”, tetapi kini orang yang sama mungkin bicara sangat fasih jika membicarakan “perluasan jaringan industri media”, “penambahan modal”, “ekspansi pada sektor-sektor lain” atau yang dalam bahasa bisnisnya dikatakan “diversifikasi produk”. Sekarang, apakah masih relevan jika kita kembali membicarakan dikotomi antara “pers perjuangan” dengan “pers (hiper)industri” ini? Apakah kita masih “boleh” bicara soal “idealisme” dari pers atau industri media hari ini? 9. Jikalau report semacam ini mau dikemas dalam bentuk lain, mungkin juga akan menarik, yaitu melacak soal industri media dari sisi biografi para pemilik media yang ada sekarang ini. Menarik untuk melihat vii kondisi dari para pemilik media besar ini. Beberapa dari mereka sudah menerbitkan biografinya (Jakob Oetama, Dahlan Iskan, Surya Paloh), beberapa yang lain mungkin akan menyusul. Menarik misalnya untuk menyimak pernyataan dari salah seorang raja media yang pernah “bersumpah” untuk tidak mengangkat anaknya jadi penggantinya, namun pernyataan itu harus direvisi kemudian dan anaknyalah yang kini menjadi pangeran pengganti dari kerajaan media yang ia miliki. Jika kita melacak masalah ini dari sisi biografis kita akan menemukan sejumlah orang yang memiliki latar belakang sebagai wartawan yang kemudian menjadi konglomerat, dan dalam periode berikutnya kita lebih melihat bagaimana para pebisnis yang lebih mendominasi kepemilikan media dan sebagian besar dari mereka tidak memiliki latar belakang sebagai jurnalis. Mengapa hal ini penting untuk dibedakan? Karena bagaimana pun juga walau tidak menjadi faktor tunggal, namun latar belakang ini penting untuk melihat bagaimana kualitas media yang mereka kelola (walau ini tak bisa digeneralisir), apakah cenderung menonjolkan unsur jurnalistik, unsur hiburan atau bauran dari dua wilayah itu. viii 10. Apakah gambaran industri media kita demikian kelam? Tidak adakah harapan di dalamnya? Saya kira tetap ada harapan yang saya kira bisa dilihat dalam tiga segi: Pertama, Media Komunitas, Media Alternatif, dan kehadiran Media Sosial. Kedua, Lembaga Penyiaran Publik, dan Ketiga, sejumlah individu ataupun lembaga masyarakat yang punya pengaruh untuk terus menyampaikan kritik-kritik terhadap industri media yang hiperkomersial dan hipersensasi ini. 11. Media komunitas, media alternatif dan media sosial. Saya percaya bahwa industri media yang ada saat ini bukan satu-satunya tata produksi yang ada, dan di luar realitas itu, kita masih memiliki peluang untuk terus mengembangkan media alternatif, media komunitas, dan sosial media. Mengapa tiga hal ini saya katakan, karena jika ada kondisi dimana informasi yang hadir tidak lagi memenuhi kebutuhan atau keinginan sekelompok masyarakat, maka ada mekanisme untuk memunculkan atau memproduksi informasi lain yang tidak muncul pada media massa mainstream ix. Saya percaya bahwa jika ada upaya keras untuk membangun tiga entittas ini menuju pada ‘demokratisasi dalam industri media’ maka kita bisa berharap ada keberimbangan informasi (ada istilah yang dikemukakan oleh Joseph Stiglitz, “asymetrical information”, walau mungkin penggunaanya dalam konteks ini tidak terlalu pas) untuk publik. x 12. Lembaga Penyiaran Publik secara legal dan teoritis diakui, serta sering disebut sebagai entitas yang juga bisa mengimbangi kehadiran lembaga penyiaran swasta (untuk menyebut sebagian kecil namun dominan dari industri media yang ada sekarang ini). Namun jauh teori dari lapangan, karena masih banyak hal yang harus dikerjakan untuk membuat lembaga penyiaran publik lebih berdaya daripada situasi hari ini. Tradisi lembaga penyiaran publik yang kuat di Eropa Barat menarik untuk jadi rujukan, namun sulit dikembangkan karena lembaga penyiaran publik (khusus tentang TVRI) sulit berkembang di sini karena akar historis yang monopolis, kemudian kultur birokrat yang jauh lebih kental dan jauh
dari profesionalisme, serta penuh dengan korupsi terselubung, dan juga jadi ajang pertarungan kepentingan partai-partai yang berkuasa saat ini. 13. Individu dan lembaga swadaya masyarakat yang berpengaruh saya bayangkan sebagai pihak yang juga bisa berkontribusi atas perubahan yang mungkin atas landskap industri media yang ada sekarang ini. Makin banyak kritisisme yang ditunjukkan oleh kelompok seperti ini akan membuat kesadaran lebih luas pada masyarakat untuk lebih kritis pada industri media dan apapun produk yang dihasilkannya. Saya masih percaya sepandai-pandainya industri media melompat, ada waktunya dimana industri media akan tersandung (atau jika kita percaya pada tesis Marx: “kontradiksi dalam kapitalisme”). Satu contoh yang saya sukai adalah tutupnya tabloid News of the World di London, yang dimiliki oleh Rupert Murdoch, yang menjadi hasil kulminasi dari ketidaksukaan publik Inggris atas media yang terbukti telah bertahun-tahun melakukan penyadapan terhadap sejumlah figur orang biasa dan orang penting, guna publikasi yang eksklusif dari tabloid ini. xi Secara tidak langsung para individu dan lembaga yang terus menerus mengangkat masalah ini berkontribusi pada proses melakukan “media literacy” kepada masyarakat luas. 14. Menyangkut media policy yang merupakan laporan terpisah kita melihat bagaimana dinamika proses pembuatan kebijakan yang terjadi paska turunnya Suharto (saya sudah capek menggunakan istilah ‘Reformasi’ karena pada akhirnya tak ada yang tereformasi juga) dimana peluang untuk turut berkontribusi dalam proses pembuatan kebijakan jadi ajang tarik menarik antara pihak seperti pemerintah, kalangan industriawan, kalangan masyarakat sipil, lembaga regulator media. Tarik menarik ini menurut saya akan jadi abadi, namun persoalannya apakah masing-masing pihak punya daya tahan yang sama panjang untuk terus berkontestasi dalam jangka panjang? Pemerintah dengan kelembagaan birokrasi memiliki nafas yang panjang untuk melakukan hal tersebut. Pihak industri dengan segala sumber daya yang mereka miliki juga memiliki nafas panjang untuk bertarung maraton seperti ini, namun pihak regulator media dan juga lembaga masyarakat sipil apakah punya nafas yang sama panjang? Bukan rahasia lagi, lembaga regulator media pun disusupi (atau malah terang-terangan) oleh kepentingan industriawan, dan mereka mencoba segala upaya untuk mendominasi kebijakan yang tampil di hadapan publik, demi menguntungkan posisinya. Kalau sudah begini, bagaimana publik akan diperhitungkan (atau mereka tak lebih akan disebut sebagai ‘pasar’ semata...) dalam putusan atau kebijakannya. Sedangkan organisasi masyarakat sipil selalu naik turun, dengan sumber daya manusia yang terus berganti, berganti kepentingan juga, dan dengan dukungan finansial yang pastilah recehan jika dibandingkan dengan kekuatan pemerintah dan industri. Jadi media policy masih akan terus berupa ajang kontestasi antar kepentingan ini. Akankah kondisi ini menjadi total hegemony dari kekuatan pasar? Kita tentu tidak berharap demikian, dan mudah-mudahan kedua laporan panjang dan mendalam ini membawa kita pada suatu kesadaran bersama, penting dan sangat terkait dengan hak asasi manusia untuk kita peduli serta berupaya untuk menghasilkan “demokratisasi dalam industri media” di Indonesia ini. Sekian dan terima kasih.
i) Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Penulis, trainer jurnalistik, dosen, dan peneliti.
Salah satu tulisan terakhir yang pernah dibuat misalnya adalah “Media Ownership and Its Implication to Journalists and Journalism” in Krishna Sen & David Hills (eds.) Politics and the Media in Twenty First Century Indonesia: Decade of Democracy, London: Routledge, 2011 ii) Sejumlah buku ‘klasik’ jika berbicara masalah ini misalnya Ben Bagdikian (1997), Media Monopoly; Robert
W McChesney (1999), Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times; Edward S Herman dan Robert W McChesney (1997), The Global Media: the New Missionaries of Corporate Capitalism; Noam Chomsky & Edward S. Herman, Manufacturing Consent: Political Economy of the Mass Media, 1988; Vicki MacLeod (1996), Media Ownership and Control in the Age of Convergence; Jeremy Tunstall dan Michael Palmer (1991), Media Moguls; Gene Roberts, Leaving Readers Behind: The Age of Corporate Newspapering; Gillian Doyle (2002), Media Ownership: The Economics and Politics of Convergence and Concentration in the UK and uropean Media; Brankica Petkovic (2004), Media Ownership and Its Impact on Media Independence and Pluralism; David Ward (2004), Mapping Study of Media Concentration and Ownership in Ten European Countries. Beberapa studi atau bahasan yang lebih kontemporer misalnya Bill Kovach & Tom Rosenthiel, Blur: How To Know What’s True in The Age of Information Overload, New York: Bloomsbury, 2010; Lee Artz & Yahya R. Kamalipour (eds.) The Globalization of Corporate Media Hegemony, State University of New York, 2003; Daya Kishan Thussu (ed.) Electronic Empires: Global Media and Local Resistance, London & New York: Arnold, 1998; Daya Kishan Thussu, News as Entertainment: The Rise of Global Infotainment, London: Sage, 2007; Pradip N. Thomas & Zaharom Nain (eds.) Who Owns the Media: Global Trends and Local Resistances, London: Zed Books, 2004; Des Freedman, The Politics of Media Policy, Cambridge: Polity, 2008; Justin Lewis, Sanna Inthorn & Karin Wahl-Jorgensen, Citizens or Consumers? What the Media Tells us about Political Participation, Open University Press, 2005. iii) Beberapa tulisan lama saya yang membahas masalah ini misalnya, “Media Mogul dan Ancaman Terhadap
Keebasan Media Massa”, paper diskusi panel “Reformasi Media Massa” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen, di Jakarta, pada tanggal 2 Juni 1998 di Jakarta, hanya kurang dari sebulan setelah jatuhnya Suharto. Kumpulan paper ini terbit dengan diedit oleh Ery Sutrisno, Reformasi Media Massa, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1998; “Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap Demokrasi” ( Kompas 4 Agustus 2004) “Harapan Pada Dewan Pers”, (Kompas 17 Februari 2010), “Junk Food News” (Kompas 18 April 2004), “Leviathan yang Menghibur” (Kompas 2 Agustus 2002), “Manuver Industri Media” (Kompas 9 Juli 2011).
iv) Lihat Robert Mc Chesney, Communication and Revolution : Critical Junctures and the Future of Media (2007), juga The Political Economy of Media: Enduring Issues, Emerging Dilemmas (2008). Saya menulis bahasan terhadap Robert W McChesney ini dalam sebuah paper tidak dipublikasikan,“Robert McChesney, Ilmu Komunikasi dan Tradisi Kritis”, paper disajikan dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Yayasan Tifa, pada hari Selasa 9 September 2009 di Jakarta. v) Kondisi tentang pers pada dekade 1950-60an bisa melihat pada misalnya Oey Hong Lee, The Indonesian
Government and the Press during Guided Democracy, Hull Monograph on Southeast Asia no.4, 1971, juga Edward C Smith, A History of Newspaper Supression in Indonesia 1945-1965, Doctoral Thesis from University of Iowa, 1969 (Indonesian translation, 1983) vi) Mungkin tidak terlalu melenceng untuk mengatakan bahwa perilaku narsistik dalam dunia psikologi dianggap suatu penyakit, dan ada salah satu buku yang menarik terkait dengan masalah ini The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement, Jean M. Twenge & W. Keith Campbell, New York: Free Press, 2009.
vii) Misalnya hal ini dilakukan oleh Nicholas Coleridge ketika ia menggambarkan profil dan biografi dari para
pemilik industri media di dunia pada dekade 1980-90an: Paper Tigers: The Latest Greatest Newspaper Tycoons
and How They Won the World, Mandarin, 1993. Untuk bicara soal Rupert Murdoch saja misalnya, paling tidak ada empat buku yang pernah membahas sosok dirinya yang memang menarik, dan kontroversial, William Shawcross: The Making of a Media Empire, Touchstone Books, 1997, Neil Chenoweth, Virtual Murdoch: Reality Wars on the Information Highway, Vintage 2001, Bruce Page, The Murdoch Archipelago, London: Pocket Books, 2003, Bruce Dover, Rupert Murdoch’s China Adventures: How the World’s Most Powerful Media Mogul Lost a Fortune and Found a Wive, Tokyo, Singapore:Tuttle Publishing, 2008 viii) Pendekatan ini misalnya pernah dilakukan oleh Jean K. Chalaby, “No Ordinary Press Owners: Press Barons
as a Weberian Ideal Type”, Media, Culture and Society vol. 19, 1997 ix) Inilah kondisi yang memunculkan adanya media alternatif dalam masa kekuasaan-kekuasaan otoriter, seperti Indonesia pada jaman Suharto, atau kelompok Sjahir dan para pemuda lain yang mendengarkan radio siaran Barat ketika Jepang berkuasa di Nusantara dan melarang masyarakat untuk mendengarkan siaran radio lain di luar radio yang dikelola oleh pemerintah kolonial Jepang. x) Saya menulis sedikit soal ini bersama dengan Shita Laksmi sebuah bab berjudul: “Indonesia: Alternative Media Enjoying a Fresh Breeze”, dalam Kalinga Seneviratne (eds.) Media Pluralism in Asia The Role and Impact of Alternative Media, Singapore: AMIC, 2007. xi) Saya menulis ulasan terhadap kasus ini “Di Balik Skandal News of the World”, Koran Tempo 15 Juli 2011.