Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
ISSN 2442 - 2606
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
B B
IOTEKNOLOGI & IOSAINS
ISOLASI DAN DAN AMPLIFIKASI AMPLIFIKASI DNA DNA KELADI KELADI TIKUS TIKUS (Thyponium (Thyponium flagelliform) flagelliform) ISOLASI UNTUK IDENTIFIKASI IDENTIFIKASI KERAGAMAN KERAGAMAN GENETIK GENETIK UNTUK M. Fazri Fazri Hikmatyar, Hikmatyar, Juwartina Juwartina Ida Ida Royani, Royani, Dasumiati Dasumiati M.
PRODUKSI BIOETANOL BIOETANOL DARI DARI BATANG BATANG TUA TUA KELAPA KELAPA SAWIT SAWIT DENGAN DENGAN PRODUKSI HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL Suyanto, Kotetsu Kotetsu Matsunaga, Matsunaga, Hiroyuki Hiroyuki Inoue, Inoue, Kinya Kinya Sakanishi Sakanishi Suyanto,
FITOREMEDIASI KANDUNGAN KANDUNGAN KROMIUM KROMIUM PADA PADA LIMBAH LIMBAH CAIR CAIR FITOREMEDIASI MENGGUNAKAN TANAMAN TANAMAN AIR AIR MENGGUNAKAN Anna Safarrida, Safarrida, Ngadiman, Ngadiman, Jaka Jaka Widada Widada Anna
OPTIMASI METODE METODE LISIS LISIS ALKALI ALKALI UNTUK UNTUK MENINGKATKAN MENINGKATKAN OPTIMASI KONSENTRASI PLASMID PLASMID KONSENTRASI Dudi Hardianto, Hardianto, Alfik Alfik Indarto, Indarto, Nurtjahjo Nurtjahjo Dwi Dwi Sasongko Sasongko Dudi
KAJIAN ELONGASI ELONGASI PADA PADA TANAMAN TANAMAN IN IN VITRO VITRO GAHARU GAHARU (Aquilaria (Aquilaria KAJIAN beccariana Van Van Tiegh) Tiegh) beccariana Yusuf Sigit Sigit Ahmad Ahmad Fauzan, Fauzan, Edi Edi Sandra, Sandra, Daru Daru Mulyono Mulyono Yusuf
INDUCING THE THE IN IN VITRO VITRO ROOTING ROOTING OF OF SAGO SAGO PALM PALM (Metroxylon (Metroxylon INDUCING sagu Rottb.) Rottb.) USING USING AUXIN AUXIN sagu Teuku Tajuddin, Tajuddin, Karyanti, Karyanti, Tati Tati Sukarnih, Sukarnih, Nadirman Nadirman Haska Haska Teuku
GROWTH OF OF CARP CARP (Cyprinus (Cyprinus carpio carpio L.) L.) FED FED WITH WITH RICE RICE BRAN-COCONUT BRAN-COCONUT BAGASSE BAGASSE GROWTH MIXED SUBSTRATE SUBSTRATE FERMENTED FERMENTED USING USING Rhizopus Rhizopus oryzae oryzae MIXED Robby Dzul Dzul Umam, Umam, Catur Catur Sriherwanto, Sriherwanto, Etyn Etyn Yunita, Yunita, Imam Imam Sujai Sujai Robby
D-ASAM AMINO AMINO OKSIDASE OKSIDASE DARI DARI MIKROBA: MIKROBA: PRODUKSI PRODUKSI DAN DAN APLIKASI APLIKASI (TINJAUAN) (TINJAUAN) D-ASAM Ahmad Wibisana Wibisana & & Indria Indria Puti Puti Mustika Mustika Ahmad
Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT Center for Biotechnology Assessment - BPPT Membangun keunggulan bioteknologi industri, kesehatan, dan pertanian untuk meningkatkan daya saing industri dan pertumbuhan ekonomi Nasional
Balai Pengkajian Bioteknologi Center for Biotechnology Assessment
Kawasan PUSPIPTEK Gedung 630, Setu - Tangerang Selatan BANTEN – Indonesia Telp. +62 21 7563120, Fax +62 21 7560208
Fasilitas Laboratorium
Fasilitas Pilot Plant
Laboratorium Rekayasa Genetika Laboratorium Mikrobiologi Laboratorium Mikrobiologi Vitamin dan Enzim Laboratorium Teknologi Fermentasi Laboratorium Rekoveri dan Ekstraksi Senyawa Obat Laboratorium Analitik dan Kontrol Kualitas Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak Laboratorium Agromikrobiologi
Pilot plant fermentasi (bioreaktor : 75l L (3 buah), 500 L, dan 2.500 L) Pilot plant penapisan (recovery) Filtrasi membran mikro, ultra nano dan Reverse Osmosis Destilasi dan stripping Kristalisasi dan Pengeringan vakum Sentrifugasi dan Ekstraksi (padat/cair dan cair/cair) Pilot plant teknologi mikropropagasi tanaman (In Vitro) Pilot plant teknologi Ex Vitro Unit pengolah limbah Cair aerob/anaerob
Rekayasa Industri Berbasis Bioteknologi Teknologi Fermentasi & Proses Hilir
Rekayasa Genetika Terapan
Teknologi Mikropropagasi Tanaman
KOMPETENSI
Pelayanan Teknis Pengujian Teknologi Agromikrobiologi
BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI
Teknologi Ex-vitro Tanaman
Aplikasi Bioteknologi Pakan Ternak
CENTRE CENTERFOR FORBIOTECHNOLOGY BIOTECHNOLOGYASSESSMENT ASSESMENT
Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
JURNAL
ISSN 2442 - 2606
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
Indonesia ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati
PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi
FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada
OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko
KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana Van Tiegh) Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono
INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska
GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai
D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN) Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia terbit 2 kali setahun sejak Desember 2014 Penanggung Jawab Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi Ketua Dewan Redaksi Dr. Rofiq Sunaryanto Dewan Redaksi Drs. Tarwadi, M.Si Dr. Anis H Mahsunah, M.Sc Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc Juwartina Ida Royani, M.Si Dr. Yenni Bakhtiar, M.Ag.Sc Redaktur Pelaksana Endah Dwi Hartuti, S.Si, Apt Diana Dewi, M.Si Mitra Bestari Dr. Pudjono (Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada) Dr. Elok Zubaidah (Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya) Dr. Josephine Elizabeth Siregar, M.Sc (Eijkman Institute Indonesia) Dr. Mulyoto Pangestu, PhD (Monash Clinical School, Monash Universit, Australia) Marwan Diapari, PhD (London Research & Development Centre, Agriculture & Agri-Food, Canada) Desain Grafis & Informatika Dr. rer.nat. Catur Sriherwanto Sekretariat & Distribusi Siti Zulaeha, S.Si Imron Rosidi, M.Si Nuryanah, S.E. Alamat Redaksi Balai Pengkajian Bioteknologi, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi – BPPT, Gedung 630 Kawasan Puspiptek Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314, Indonesia, Telp. +62 21 7563120, Fax. +62 21 7560208 E-mail:
[email protected]
[email protected]
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
KATA PENGANTAR Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami kembali menghadirkan Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) Volume 2 Nomor 2. JBBI merupakan media publikasi ilmiah bagi para peneliti, perekayasa, praktisi, akademisi dan pengamat di bidang bioteknologi dan biosains. Naskah mencakup beberapa bidang bioteknologi seperti bioteknologi pertanian, bioteknologi industri, bioteknologi kesehatan, bioteknologi lingkungan dan lain sebagainya. Edisi ini memuat 7 makalah ilmiah dari hasil penelitian, pengembangan teknologi dan kerekayasaan, serta 1 makalah ulasan singkat. Edisi ini menampilkan kajian potensi dari tanaman keladi tikus, kelapa sawit, gaharu, sagu dan beberapa tanaman air. Makalah tentang plasmid memaparkan tentang pengembangan metode untuk meningkatkan konsentrasinya. Sebagai makalah penutup, produksi enzim D-asam amino oksidase dan aplikasinya dalam bidang bioteknologi dibahas dalam sebuah tinjauan. Dalam menyusun dan menerbitkan jurnal ini, kami menyadari akan adanya kekurangan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu kami sangat mengharapkan sumbang saran dan pemikiran demi kemajuan dan kesempurnaan JBBI pada edisi-edisi berikutnya.
Redaksi
i
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis yang dengan komitmen dan semangat tinggi telah berkontribusi pada Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) ini. Penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungannya untuk kelancaran penerbitan JBBI edisi Bulan Desember 2015.
Redaksi
ii
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
DAFTAR ISI Halaman: KATA PENGANTAR
i
UCAPAN TERIMA KASIH
ii
LEMBAR ABSTRAK
iv
ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK
88 – 94
M. Fazri Hikmatyar, Juwartina Ida Royani, Dasumiati
PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN HOT COMPRESSED WATER DAN BALL MILL
95 – 100
Suyanto, Kotetsu Matsunaga, Hiroyuki Inoue, Kinya Sakanishi
FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR
101 – 105
Anna Safarrida, Ngadiman, Jaka Widada
OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID
106 – 110
Dudi Hardianto, Alfik Indarto, Nurtjahjo Dwi Sasongko
KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana Van Tiegh)
111 – 118
Yusuf Sigit Ahmad Fauzan, Edi Sandra, Daru Mulyono
INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN
119 – 126
Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska
GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae
127 – 133
Robby Dzul Umam, Catur Sriherwanto, Etyn Yunita, Imam Sujai
D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN)
134 – 142
Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika
INDEKS PENGARANG
143
INDEKS KATA KUNCI
145
iii
LEMBAR ABSTRAK ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK Isolation and amplification of Keladi tikus (Thyponium flagelliform) DNA for identification of genetic variation 1
2,
1
M Fazri Hikmatyar , Juwartina Ida Royani *, Dasumiati 1 Jurusan Bioteknologi, Fakultas Teknologi dan Sains, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan 2 Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):88-94 ABSTRACT Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) is one of considerable potential medicinal plants, especially as anticancer herbal medicine. In Indonesia, this plant grows throughout the island of Java, in part of Kalimantan, Sumatra and Papua. The development of Keladi tikus plants to provide raw material to meet public demand is constrained with the quality of the plants that is not standardized yet. DNA marker technique has been widely used for identification of standardization and diversity of varieties. The aims of this research were to isolate DNA from 17 accessions of Keladi tikus from various regions in Indonesia and to amplify the DNA using ISSR primers. The results obtained were 17 accessions of Keladi tikus that had been isolated using the modified CTAB method. Amplifications were done by using SBLT2 and SBLT8 primers that facilitated the appearance of the polymorphism bands on the 17 accessions of Keladi tikus. Thus, SBLT2 and SBLT8 primers can be used to identify genetic variations of Keladi Tikus.
ABSTRAK Keladi tikus (Typonium flagelliforme) merupakan salah satu tanaman obat yang cukup potensial khususnya sebagai obat herbal antikanker. Tanaman ini di Indonesia tersebar di sepanjang Pulau Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatera dan Papua. Pengembangan tanaman keladi tikus untuk memenuhi bahan baku kebutuhan masyarakat saat ini terkendala pada mutu tanaman tersebut yang belum terstandar. Teknik penanda DNA telah banyak digunakan untuk standarisasi dan identifikasi keragaman varietas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dari berbagai daerah di Indonesia dan mengamplifikasi DNA tersebut dengan primer ISSR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 17 aksesi keladi tikus telah dapat diisolasi dengan menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Amplifikasi dilakukan dengan primer SBLT2 dan SBLT8 yang mampu memunculkan pita-pita polimorfisme pada ke 17 aksesi Keladi tikus. Primer SBLT2 dan SBLT8 dapat digunakan untuk identifikasi variasi genetic Keladi tikus.
Keywords: Typonium flagelliforme, Keladi tikus, ISSR, medicinal plant, amplification
Kata Kunci: Keladi tikus, Typonium flagelliforme, ISSR, tanaman obat, amplifikasi
PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN AIR PANAS BERTEKANAN DAN BALL MILL Production of Bioethanol from Old Trunks of Palm Oil Using Hot Compressed Water and Ball Mill 1,
1
2
2
2
Suyanto *, Kotetsu Matsunaga , Hiroyuki Inoue , Kinya Sakanishi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 2 15314 Biomass Technology Reseach Center, AIST, Hiroshima, Japan. *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):95-100
ABSTRACT Bioethanol from oil palm trunk is one important source of energy to reduce greenhouse gas emissions and to avoid competition between the use for food and for energy as happens in other commodities. Pre-treatment of lignocellulosic biomass using sulfuric acid has high efficiency but requires high cost to neutralize the byproducts formed. Pre-treatment using hot compressed water and ball mill can be used to break down the structure and composition of lignocellulose so as to increase the rate of enzymatic hydrolysis and increase the sugar yield. Hydrolysis using an enzyme cocktail with hot compressed water and ball mill can each produce 210 mg of glucose at a temperature of 220°C and 200 mg of glucose for 120 minutes at room temperature per gram of oil palm trunk. Both of these processes are environmentally friendly and have a high efficiency in the production of bioethanol from oil palm trunks.
ABSTRAK Bioetanol dari batang kelapa sawit adalah salah satu sumber energi yang penting untuk mengurangi emisi rumah kaca dan menghindari konflik kepentingan antara kebutuhan bahan pangan dan penggunaan energi sebagaimana terjadi pada komoditas lain. Pengolahan awal biomassa lignoselulosa menggunakan asam sulfat memiliki efisiensi yang tinggi tetapi membutuhkan biaya yang tinggi guna menetralisisr produk samping yang terbentuk. Pengolahan awal menggunakan air panas bertekanan dan ball mill dapat digunakan untuk memecah struktur dan komposisi lignoselulosa sehingga dapat meningkatkan laju hidrolisis enzim dan meningkatkan hasil gula. Hidrolisis menggunakan multienzim dengan air panas bertekanan dan ball mill masing-masing dapat menghasilkan 210 mg glukosa pada suhu 220°C dan 200 mg glukosa selama 120 menit pada suhu kamar per gram batang kelapa sawit. Kedua proses tersebut ramah lingkungan dan memiliki efisiensi yang tinggi pada produksi bioetanol dari batang kelapa sawit.
Keywords: bioethanol, oil palm trunk, ball mill, hot compressed water, hydrolysis
Kata Kunci: bioetanol, batang kelapa sawit, ball mill, air panas bertekanan, hidrolisis
iv
LEMBAR ABSTRAK FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR Phytoremediation of Chromium in Aqueous Waste Using Aquatic Plants 1,
1
2
2
Anna Safarrida *, Ngadiman , Jaka Widada Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian, UGM *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):101-105
ABSTRACT Existence of heavy metals in industrial waste is gaining global attention since their negative impact to environment. One of the efforts to solve the problem was to use plant to absorb metal in liquid medium, known as rhizofiltration. This research was aimed to select aquatic plants which showed relative resistantce and susceptibility to chromium. Four species of aquatic plants (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor and Salvinia sp.) were grown in artificial medium (Hoagland) supplemented with 0, 1, 2, 4 and 8 ppm chromium. The plants resistance and absorption toward chromium was observed based on the morphology and chromium content in their biomass. Based on their resistance to and absorption of chromium, the selected plants were tested further in liquid waste of tanning industry. In Hoagland medium, Salvinia sp. demonstrated 67.2% higher resistance and absorption toward chromium while that of P. stratiotes 20.3% lower compared to other plants which were tested. This result could be applicable in reducing such environmental pollutant as the heavy metal chromium from industrial waste.
ABSTRAK Logam berat dalam limbah industri merupakan bahan pencemar lingkungan yang mendapatkan perhatian global. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan tanaman untuk menyerap logam dalam medium cair atau dikenal sebagai fitoremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanaman air lokal yang tahan dan peka secara relatif terhadap kromium. Empat spesies tanaman air (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor, dan Salvinia sp.) ditumbuhkan pada medium buatan (Hoagland) yang dipasok kromium 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm. Pengujian toleransi tanaman dan serapan terhadap kromium dilakukan berdasarkan pengamatan morfologis serta analisis kadar kromium dalam biomasa. Berdasarkan daya tahan dan serapan kromium, tanaman terseleksi diujikan lebih lanjut dalam limbah cair industri penyamakan kulit. Dalam medium Hoagland, Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi sebesar 67,2% sedangkan P. stratiotes mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan tanaman lain yang diujikan. Hasil penelitian ini dapat diterapkan untuk mengurangi bahan pencemar lingkungan berupa logam berat kromium dari limbah industri.
Keywords: Phytoremediation, chromium, medium, aquatic plants, liquid waste
Kata Kunci: Fitoremediasi, kromium, Hoagland, tanaman air, limbah cair
Hoagland
medium
OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID Optimization of Alkaline Lysis Method for the Improvement of Plasmid Concentration 1,
1
2
2
Dudi Hardianto *, Alfik Indarto , Nurtjahjo Dwi Sasongko Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah 53122 *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):104-110
ABSTRACT Plasmids are extra chromosomal molecules of DNA that replicate autonomously and found in prokaryote and eukaryote cells. There are a number of methods that are used to isolate plasmids, such as alkaline lysis, boiling lysis, using cesium chloride, and chromatography. Amongst the disadvantages in plasmid isolation methods are lengthy time especially when handling a large number of samples, high cost, and low purity. Alkaline lysis is the most popular for plasmid isolation because of its simplicity, relatively low cost, and reproducibility. This method can be accomplished in 50 minutes to one hour. In this research, the alkaline lysis method was developed to obtain suitable plasmid for applications in a molecular biology laboratory. The aim of this research was to reduce contaminants and improve yield of plasmid. The result of isolation of pICZA plasmid in Escherichia coli gave the concentration of 3.3 to 3.8 µg/µL with the purity of 1.99.
ABSTRAK Plasmid merupakan molekul DNA ekstrakromosomal yang bereplikasi secara mandiri dan ditemukan dalam sel prokariot dan eukariot. Banyak metode yang digunakan untuk isolasi plasmid, seperti: lisis alkali, lisis dengan pemanasan, penggunaan sesium klorida, dan kromatografi. Kelemahan beberapa metode isolasi DNA adalah waktu isolasi yang lama terutama saat isolasi plasmid dalam jumlah banyak, mahal dan kemurniannya yang rendah. Metode lisis alkali merupakan metode yang sangat umum untuk isolasi plasmid karena mudah dilakukan, relatif murah, dan reprodusibilitas. Metode ini dapat dilakukan dalam 50 menit sampai 1 jam. Pada penelitian ini dikembangkan metode lisis alkali untuk memperoleh plasmid yang sesuai untuk penggunaan di laboratorium biologi molekuler. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi jumlah kontaminan dan meningkatkan konsentrasi plasmid. Hasil isolasi plasmid pICZA dalam Escherichia coli mempunyai konsentrasi antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL dan kemurniannya 1,99.
Keywords: Plasmid isolation, pICZ A, Escherichia coli, rapid, alkaline lysis
Kata Kunci: Isolasi plasmid, pICZ A, Escherichia coli, cepat, lisis alkali
v
LEMBAR ABSTRAK KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana van Tiegh) Elongation Study on In Vitro Agarwood (Aquilaria beccariana van Tiegh) 1,
1
2
3
Yusuf Sigit Ahmad Fauzan *, Edi Sandra , Daru Mulyono Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Fakultas Kehutanan, IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor 3 Laboratorium Teknologi Produksi Pertanian BPPT, Gedung 612 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):111-118
ABSTRACT The population density of natural agarwood (Aquilaria beccariana) in Indonesia decreased to less than one tree per hectare. Efforts have been carried out on ex situ conservation of agarwood despite facing many obstacles. In vitro propagation is one alternative to speed up the recovery of natural agarwood populations. The purpose of this study was to obtain optimal elongation media for in vitro culture with addition of auxin and cytokinin, namely IBA, BAP and kinetin. The results showed that the best auxincytokinin combination was IBA 0.1 mg/L and BAP 0.05 mg/L. This combination increased the height and number of segments of A. beccariana with an average height of 1.64 cm and average number of sections of 6.40. It is suggested that this combination of IBA and BAP was the most effective compared to the other treatments. In addition, the combination of IBA 0 mg/L and BAP 0.03 mg/L gave rise to the best response to increase the number of shoots with an average of 1.91 shoots.
ABSTRAK Kepadatan populasi gaharu (Aquilaria beccariana) alam di Indonesia kurang dari satu pohon per hektar. Upaya pelestarian gaharu ex situ telah banyak dilakukan tetapi masih banyak kendala. Perbanyakan gaharu in vitro merupakan salah satu cara alternatif untuk mempercepat pemulihan populasi gaharu alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh media elongasi yang optimal pada kultur in vitro gaharu dengan penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Pada penelitian ini digunakan auksin IBA, serta sitokinin BAP dan Kinetin. Hasil penelitian elongasi diperoleh kombinasi auksin dan sitokinin terbaik yaitu, IBA 0,1 mg/L dan BAP 0,05 mg/L. Kombinasi ini meningkatkan tinggi dan jumlah ruas Aquilaria beccariana dengan tinggi rata-rata sebesar 1,64 cm dan jumlah ruas rata-rata sebesar 6,40 ruas. Pada kombinasi dan taraf ini diduga mekanisme kerja IBA dan BAP paling efektif dibanding perlakuan yang lain. Sedangkan kombinasi IBA 0 mg/L dan BAP 0,03 mg/L memberikan respon terbaik terhadap peningkatan jumlah tunas dengan rata-rata sebanyak 1,91 tunas.
Keywords: Aquilaria beccariana, shoot, elongation, auxin, cytokinin
Kata Kunci: Aquilaria beccariana, tunas, elongasi, auksin, sitokinin
INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN Induksi Perakaran In Vitro pada Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) dengan Auksin Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):119-126 ABSTRAK Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) memiliki potensi yang besar sebagai sumber pangan, energi dan bahan baku industri. Kultur jaringan tanaman sagu telah dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dalam rangka perbanyakan genotipe atau aksesi unggul secara massal. Namun demikian, kendala utama yang dihadapi pada perbanyakan in vitro tanaman sagu adalah sulitnya pembentukan akar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi hormon yang tepat dalam menginduksi perakaran tanaman sagu in vitro. Tunas anakan muda (15-20 cm) yang diperoleh dari daerah Rangkasbitung, Provinsi Banten digunakan sebagai eksplan. Dalam penelitian ini perakaran in vitro diinduksi dengan berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi hormon auksin, konsentrasi medium dan jenis agar. Sebagai medium dasar digunakan medium Gamborg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi IBA dan NAA yang terbaik adalah pada taraf 35 ppm. Selanjutnya Gelrite memberikan respon yang positif dengan munculnya perakaran pada pangkal eksplan.
ABSTRACT Sago palm (Metroxylon sagu Rottb) has huge potential as food, energy and industrial bioresources. In vitro culture of sago palm was performed in Biotech Center, BPPT in order to obtain a large-scale of mass clonal propagation of superior genotypes. Nevertheless, the main obstacle for the sago palm in vitro propagation was rooting formation. The purpose of our study was to obtain the best hormones combination for root induction on sago palm shoots in vitro. The young suckers (15-20 cm) obtained from Rangkasbitung area, Banten Province, were used as explants. In our study, in vitro rooting was induced by different types and concentrations of auxin, medium strength and solidifying agents. The shoots were cultured on Gamborg media. The result showed that the best level of both hormones IBA and NAA for root induction was 35 ppm. Moreover the solidifying agent of Gelrite gave positive response by stimulating root at the basal-end.
Kata Kunci: Induksi perakaran, jenis agar, kultur in vitro, auksin, sagu
Keywords: Rooting induction, solidifying agent, in vitro cultures, auxin, sago palm
vi
LEMBAR ABSTRAK GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio. L) yang Diberi Pakan Fermentasi Substrat Campuran Dedak Padi dan Ampas Kelapa Menggunakan Rhizopus oryzae 1
1)
2,
1
2
Robby Dzul Umam , Catur Sriherwanto *, Etyn Yunita , Imam Suja’i Dept. Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2) Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):127-133
ABSTRAK Dedak padi dan ampas kelapa dicampur dengan perbandingan tertentu dan kemudian difermentasi menggunakan Rhizopus oryzae untuk pakan ikan. Uji pemberian pakan lalu dilakukan untuk mengetahui pengaruh pakan terhadap pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L.). Dalam penelitian ini digunakan 5 perlakuan: satu perlakuan pakan tanpa fermentasi (pakan komersial 100%), dan empat perlakuan pakan fermentasi substrat campuran bekatul dan ampas kelapa dengan empat perbandingan yang berbeda, yakni 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, dan 0%:100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan komersial 100% (protein sejati 15,25% dan serat kasar 6,27%) memperlihatkan hasil terbaik terhadap pertumbuhan ikan mas dengan pertambahan bobot badan 2,56 g dan rasio konversi pakan 1,95. Sementara itu pemberian pakan fermentasi (protein sejati berkisar 4,89-9,97% dan serat kasar 22,87-25,70%) hanya menghasilkan pertambahan bobot badan ikan pada kisaran 0,47-0,64 g dengan rasio konversi pakan 2,50-2,64. Dengan demikian pakan fermentasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ikan mas meskipun masih kurang optimal dibandingkan dengan pakan komersial.
ABSTRACT Rice bran and coconut bagasse were mixed and then fermented using Rhizopus oryzae for preparing aquafeed. Subsequent feeding test was carried out to determine the effect on the growth of carps (Cyprinus carpio L). Five feeding treatments were employed, one unfermented feed (commercial feed 100%), and the other four feeds produced by fermentation using substrate mixture of rice bran and coconut pulp in four different ratios, namely 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, and 0%:100%. The results showed that feeding 100% commercial feed (true protein 15.25% and crude fibre 6.27%) showed the best results on the fish growth with body weight gain of 2.56 g and feed conversion ratio of 1.95. Meanwhile, feeding fermented feeds (true protein 4.89-9.97% and crude fiber 22.87-25.70%) only resulted in body weight gain in the range of 0.47 to 0.64 g with feed conversion ratio of 2.50 to 2.64. Thus, the fermented feeds promoted growth in tested carps albeit less optimally than commercial feed.
Kata Kunci: Rhizopus oryzae, Cyprinus carpio, rice bran, coconut bagasse, fermentation
Keywords: Rhizopus oryzae, Cyprinus carpio, dedak, ampas kelapa, fermentasi
D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI (TINJAUAN) Microbial D-amino Acid Oxidase: Production and Application (Review) Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(2):134-142 ABSTRACT D-amino acid oxidase (DAAO) is a flavin adenine dinucleotide-containing enzyme that catalyzes the oxidative deamination of amino acid D-isomers with high stereospecificity, which results in α-keto acids, ammonia and hydrogen peroxide. Having high stereospecificity, DAAO is used in a variety of applications such as drug, biocatalyst, biosensor and preparation of transgenic plants. DAAO is widespread in nature, found in microorganisms to mammals. Microbial DAAO is considered more important than mammalian DAAO for biotechnology application. DAAO production in submerged fermentation is influenced by several factors, such as carbon source, nitrogen source, inducer, dissolve oxygen, temperature and pH. The influence of those factors on DAAO production by microbial origin, DAAO production by microbial recombinant, and its application in biotechnology are discussed in this review.
ABSTRAK Enzim D-asam amino oksidase (DAAO) merupakan enzim yang mengandung Flavin Adenine Dinucleotide yang bekerja mengkatalisis reaksi oksidasi deaminasi D-asam amino dengan stereospesifisitas yang tinggi menghasilkan α-asam keto, amonia dan hidrogen peroksida. Karena mempunyai karakteristik sreteospesifisitas yang tinggi, enzim DAAO banyak digunakan untuk berbagai aplikasi seperti obat, biokatalis, biosensor dan penyiapan tanaman transgenik. Enzim ini dapat dihasilkan oleh organisme mulai dari bakteri hingga mamalia, namun untuk aplikasi dibidang bioteknologi, enzim DAAO yang berasal dari mikroorganisme dipandang lebih penting dari pada yang berasal dari mamalia. Produksi enzim dari DAAO dari mikroorganisme dalam kultur cair dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber karbon, nitrogen, senyawa penginduksi, oksigen terlarut, temperatur dan pH medium. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap produksi enzim DAAO, produksi enzim DAAO menggunakan mikroba rekombinan serta aplikasinya dalam bidang bioteknologi dibahas dalam tinjauan.
Keywords: Enzyme, DAAO, D-amino acid, production, application
Kata Kunci: Enzim, DAAO, D-asam amino, produksi, aplikasi
vii
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
ISOLASI DAN AMPLIFIKASI DNA KELADI TIKUS (Thyponium flagelliform) UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK Isolation and amplification of Keladi tikus (Thyponium flagelliform) DNA for identification of genetic variation 1
2,
1
M Fazri Hikmatyar , Juwartina Ida Royani *, Dasumiati 1 Jurusan Bioteknologi, Fakultas Teknologi dan Sains, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan 2 Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) is one of considerable potential medicinal plants, especially as anticancer herbal medicine. In Indonesia, this plant grows throughout the island of Java, in part of Kalimantan, Sumatra and Papua. The development of Keladi tikus plants to provide raw material to meet public demand is constrained with the quality of the plants that is not standardized yet. DNA marker technique has been widely used for identification of standardization and diversity of varieties. The aims of this research were to isolate DNA from 17 accessions of Keladi tikus from various regions in Indonesia and to amplify the DNA using ISSR primers. The results obtained were 17 accessions of Keladi tikus that had been isolated using the modified CTAB method. Amplifications were done by using SBLT2 and SBLT8 primers that facilitated the appearance of the polymorphism bands on the 17 accessions of Keladi tikus. Thus, SBLT2 and SBLT8 primers can be used to identify genetic variations of Keladi Tikus. Keywords: Typonium flagelliforme, Keladi tikus, ISSR, medicinal plant, amplification ABSTRAK Keladi tikus (Typonium flagelliforme) merupakan salah satu tanaman obat yang cukup potensial khususnya sebagai obat herbal antikanker. Tanaman ini di Indonesia tersebar di sepanjang Pulau Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatera dan Papua. Pengembangan tanaman keladi tikus untuk memenuhi bahan baku kebutuhan masyarakat saat ini terkendala pada mutu tanaman tersebut yang belum terstandar. Teknik penanda DNA telah banyak digunakan untuk standarisasi dan identifikasi keragaman varietas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dari berbagai daerah di Indonesia dan mengamplifikasi DNA tersebut dengan primer ISSR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 17 aksesi keladi tikus telah dapat diisolasi dengan menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Amplifikasi dilakukan dengan primer SBLT2 dan SBLT8 yang mampu memunculkan pita-pita polimorfisme pada ke 17 aksesi Keladi tikus. Primer SBLT2 dan SBLT8 dapat digunakan untuk identifikasi variasi genetic Keladi tikus. Kata Kunci: Keladi tikus, Typonium flagelliforme, ISSR, tanaman obat, amplifikasi
88
Isolasi dan Amplifikasi DNA Keladi Tikus... M Fazri Hikmatyar et al.
PENDAHULUAN Keladi tikus (Typonium flagelliforme) merupakan tanaman yang termasuk golongan rerumputan yang bentuknya menyerupai talas. Tanaman ini di Indonesia tersebar di sepanjang Pulau Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatera dan Papua (Harfia 2006). Keladi tikus merupakan salah satu tanaman obat yang potensial khususnya sebagai obat herbal antikanker, tetapi tanaman ini tergolong pendatang baru dalam khasanah pengobatan herbal (Sudewo 2004). Analisis fitokimia terhadap Keladi tikus menunjukkan bahwa terdapat kandungan senyawa alkaloid, saponin, steroid, glikosida, antioksidan (Syahid 2007) fitol dan asam lemak (fatty acid) (Choon et al. 2008). Senyawa aktif tersebut memiliki sifat antineoplastik atau antikanker yang mampu mencegah, membunuh serta menghambat pertumbuhan dan penyebaran sel kanker. Pengembangan tanaman keladi tikus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini terkendala pada mutu tanaman tersebut yang belum terstandar. Hal ini disebabkan penyediaan tanaman keladi tikus masih dilakukan dengan teknik yang konvensional. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini ialah dengan mengetahui informasi keragaman tanaman keladi tikus. Penelitian tanaman keladi tikus dengan tujuan mengatasi masalah ini telah dilakukan. Salah satunya ialah penelitian yang dilakukan oleh Syahid (2008) mengenai keragaman morfologi, pertumbuhan, mutu, produksi dan fotokimia pada tanaman keladi tikus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampakan secara morfologi tidak ada perbedaan sama sekali, namun untuk karakter mutu dan fotokimia sangat berbeda. Perkembangan identifikasi keragaman genetik tanaman secara molekuler berbasis Polymerase Chains Reaction (PCR) menjadi solusi untuk mendeteksi dan menentukan keaslian bahan baku tanaman obat. Teknik penanda DNA telah banyak digunakan untuk mengetahui keaslian spesies-spesies penting dari tanaman obat (Joshi et al. 2004). Teknik ini dapat digunakan untuk penentuan sidik jari DNA (DNA fingerprinting) dari tanaman obat dan identifikasi keragaman varietas. Penanda
DNA sangat akurat karena dapat memberikan informasi polimorphisme, sebagai komposisi genetik yang unik pada masing-masing spesies, yang tidak tergantung pada umur dan kondisi fisiologi seperti faktor lingkungan (Joshi et al. 2004). Teknik penanda DNA ini juga telah banyak digunakan untuk mengetahui keaslian spesies-spesies penting dari tanaman obat (Joshi et al. 2004). Peneliti dari Cina telah mengaplikasikan penanda DNA secara ekstensif untuk karakterisasi tanaman dari tanaman obat Cina. Salah satu penanda DNA yang banyak digunakan saat ini adalah penanda Inter Simple Sequences Repeats (ISSR). Penanda ISSR merupakan salah satu penanda dengan motif urutan berulang yang mengamplifikasi urutan DNA pada inter-SSR bagian flanked genom secara berlawanan pada area yang dekat dengan urutan berulang (Zietkiewicz et al. 1994). Penanda ISSR potensial digunakan untuk mendeteksi keragaman genetik tanaman baik pada tingkat intraspesies maupun pada tingkat interspesies antara lain keragaman genetik gandum di Cina Barat (Hou et al. 2005) dan jarak pagar di India dan Meksiko (Basha & Sujatha 2007). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dari berbagai daerah di Indonesia dan mengamplifikasi DNA tersebut dengan primer ISSR. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah daun tanaman keladi tikus dari 17 aksesi yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia Tabel 1. Isolasi DNA 17 Aksesi Isolasi DNA tanaman keladi tikus dilakukan dengan menggunakan metode Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) yang telah di modifikasi (Royani 2012). Sebanyak 17 aksesi tanaman keladi tikus diisolasi DNA nya dari daun muda. Daun dibuang tulang daunnya dan ditimbang sebanyak 200 mg kemudian digunting hingga berukuran kecil dan dimasukkan ke dalam lumpang. Daun ditambahkan larutan Poly Vinyl Pyrolidone (PVP) 1% sebanyak 100 µL, dapar CTAB suhu 60°C sebanyak
89
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Tabel 1. Aksesi 17 Keladi tikus dari berbagai daerah di Indonesia Aksesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Asal/lokasi Petulu Agung Bali Bogor Jawa Barat Suka Raja Baru Ogan Ilir, Sumatera selatan Solok Sumatera Barat Balikpapan BPTO I Tawangmangu Bank Mandiri Jogjakarta Singa Raja, Bali Menoreh, Jogjakarta Sukabumi Jawa Barat Salatiga Kabupaten Sengon (I) Timbangan Indralaya, Sumatera Selatan Ny Mener Ungaran Semarang Tanjung Bungkak Denpasar Bali Indmira Jogjakarta Matesih, Jogjakarta Merapi Farm Jogjakarta
250 µL dan 2% merkaptoetanol suhu 60°C sebanyak 100 µL. Ekstrak daun yang telah digerus halus dimasukkan ke tabung mikro dengan menggunakan spatula dan ditambahkan dapar CTAB sebanyak 250 µL ke dalam tabung mikro. Sampel dinkubasi dalam water bath dengan suhu 60°C selama 30 menit dan setiap 10 menit sampel dihomogenkan dengan vortex. Sampel diangkat dan ditambahkan larutan Chloroform Isoamyl Alcohol (CIAA) sebanyak 500 µL dan dibolak-balik ±15 menit. Kemudian sampel disentrifugasi pada kecepatan 800 rpm selama 10 menit. Larutan supernatan yang terbentuk pada bagian atas sampel dipindahkan ke tabung mikro yang baru dan dihitung volume supernatan yang dipindahkan. NaCl 5 M sebanyak 250 µL ditambahkan ke dalam sampel, lalu dikocok perlahan hingga tercampur. Larutan isopropanol dingin sebanyak 0,6x volume total sampel (supernatan dan NaCl) ditambahkan ke tabung mikro. Tabung mikro yang berisi sampel dibolak-balik perlahanlahan hingga larutan tercampur rata. Sampel diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang dan sebanyak 200 µL ethanol 80% ditambahkan. Larutan etanol dibuang, pelet DNA yang didapat dikeringkan dengan cara
90
membalikkan tabung mikro di atas kertas tissu. Etanol yang masih tersisa di dalam tabung mikro dikeringkan dengan kertas tissu yang telah digunting membentuk segitiga lancip. Pelet DNA ditambahkan Tris HCl:EDTA (TE) pH 8 sebanyak 30 µL dan dihomogenkan. DNA hasil isolasi yang didapat disimpan di lemari pendingin dengan suhu -20°C sampai akan digunakan. Pengukuran Kualitatif dan Kuantitatif DNA Pengukuran DNA secara kualitatif pada 17 aksesi tanaman Keladi tikus dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa dan diperiksa di bawah UV transilluminator. Sedangkan untuk pengukuran DNA secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan nanodrop spektrofotometri dengan perbandingan absorbansi pada 260/280. Amplifikasi DNA dengan Penanda ISSR Amplifikasi DNA dari 17 aksesi tanaman Keladi tikus dilakukan dengan menggunakan primer ISSR yaitu primer SBLT2 (AG)8T dan SBLT8 (CT)8G (Royani 2012) dengan menggunakan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Amplifikasi dilakukan pada kondisi: denaturasi awal 5 menit pada 94°C, denaturasi selama 1 menit pada 94°C, annealing primer dilakukan selama 45 detik dengan suhu 52°C. Primer yang digunakan adalah 2 primer ISSR yaitu primer SBLT2 dan primer SBLT8. Tahap berikutnya ialah elongasi pada suhu 72°C selama 2 menit dilanjutkan dengan tahap elongasi akhir pada suhu 72°C selama 5 menit. Hasil produk PCR diperiksa dengan elektroforesis dengan 1,5% (w/v) gel agarosa. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transiluminator untuk mengetahui pita yang terbentuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA tanaman keladi tikus pada penelitian ini dilakukan dengan metode CTAB yang dimodifikasi (Royani 2012). Penggunaan daun yang masih muda disebabkan daun muda memiliki tekstur lunak dan sedikit mengandung serat sehingga mudah dalam proses penggerusan dan pemurnian DNA (Ardiana 2009). Uji DNA secara kualitatif untuk mengetahui
Isolasi dan Amplifikasi DNA Keladi Tikus... M Fazri Hikmatyar et al.
kualitas DNA yang diisolasi dilakukan dengan elektroforesis gel agarosa 1,5% (w/v) menggunakan pewarna SYBR safeTM. Elektroforesis memiliki prinsip kerja memanfaatkan muatan listrik yang ada pada DNA yang bermuatan negatif. DNA yang dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif (Yuwono 2005). Hasil uji DNA yang baik dengan elektroforesis ditunjukkan dengan pita DNA yang tebal dan tampak sedikit atau tidak ada smear jika divisualisasikan di atas sinar UV (Sauer et al. 1998). Elektroforegram hasil isolasi DNA 17 aksesi Keladi tikus (Gambar 1) menunjukkan hampir seluruh DNA aksesi Keladi tikus berhasil diisolasi. DNA yang berhasil diisolasi ditunjukkan dengan pita DNA tegas dan jelas yang berpendar di atas gel pada saat disinari sinar ultraviolet. Smear yang nampak di bawah dekat pita DNA menunjukkan bahwa DNA yang diisolasi tidak utuh atau patah-patah, sedangkan penampakan smear yang terletak pada bagian terbawah setiap lajur menunjukkan adanya kontaminasi berupa RNA. Menurut Sauer et al. (1998) smear atau bayangan yang muncul pada setiap lajur dan terletak paling bawah menunjukkan bahwa DNA terkontaminasi RNA. Elektroforegram hasil isolasi DNA di atas menunjukkan bahwa hampir seluruh sampel DNA memiliki kualitas baik, namun ada 2 sampel DNA asal aksesi Balikpapan dan Sukabumi yang memiliki kualitas kurang baik. Kedua sampel DNA tersebut tidak tampak adanya pita yang tegas dan jelas pada gel agarosa. Hal ini dapat disebabkan oleh kedua sampel DNA aksesi tersebut memiliki kemurnian dan konsentrasi yang rendah. Uji keberhasilan DNA yang kedua ialah uji kuantitatif dengan menggunakan nano drop spektrofotometri. Prinsip kerja nano drop spektrofotometri ialah DNA murni mampu menyerap cahaya ultraviolet karena adanya basa purin dan pirimidin (Fatchiyah et al. 2011). Hasil uji nano drop ialah berupa nilai kemurnian DNA pada Å260/Å280 dan nilai konsentrasi DNA. DNA berkualitas baik berdasarkan uji nano drop memiliki kemurnian 1,8-2,0 (Fatchiyah et al. 2011; Sambrook et al. 2001) dan konsentrasi di atas 100 ng/µL.
Sebagian besar DNA aksesi keladi tikus memiliki kemurnian yang baik (Tabel 2) dengan kemurnian berkisar antara 1,8-2,0. Hanya ada 4 sampel DNA yang memiliki kemurnian kurang baik. Aksesi dengan kemurnian kurang baik yaitu aksesi dari Balikpapan, Bogor, Solok dan Sukabumi. DNA aksesi Balikpapan memiliki nilai kemurnian di bawah 1,8. Nilai kemurnian DNA di bawah 1,8 mengindikasikan pada DNA hasil ekstraksi masih terdapat kontaminan berupa senyawa protein. Kontaminasi berupa senyawa protein pada DNA dapat disebabkan oleh tidak adanya penambahan enzim protease pada protokol isolasi DNA (Kartini 2012). DNA aksesi Bogor, Solok dan Sukabumi memiliki nilai kemurnian di atas 2,0. Menurut Fatchiyah et al. (2011) nilai kemurnian DNA di atas 2,0 mengindikasikan masih terdapat kontaminan berupa RNA. Hal ini mungkin disebabkan pada penelitian ini tidak dilakukan penambahan ribonuklease. Menurut Kartini (2012) kontaminan berupa RNA dapat diatasi dengan penambahan ribonuklease. Penambahan ribonuklease pada penelitian ini tidak dilakukan karena protokol penambahan enzim melalui banyak tahapan-tahapan yang sering kali dapat mengurangi konsentrasi DNA secara signifikan. Tabel 2. Aksesi Keladi tikus dan hasil pengukuran kualitatif dan kuantitatif DNA dari 17 aksesi Aksesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Rata-rata Kemurnian Petulu Agung Bali 1,82 Bogor Jawa Barat 2,02 1,88 Suka Raja Baru Ogan Ilir, Sumatera Selatan Solok Sumatera Barat 2,13 Balikpapan 1,39 BPTO I Tawangmangu 1,89 Bank Mandiri Jogjakarta 1,84 Singa Raja, Bali 1,93 Menoreh, Jogjakarta 1,91 Sukabumi Jawa Barat 2,15 Salatiga Kabupaten Sengon (I) 1,93 1,87 Timbangan Indralaya, Sumatera Selatan Ny Mener Ungaran Semarang 1,84 Tanjung Bungkak Denpasar Bali 1,95 Indmira Jogjakarta 1,88 Matesih, Jogjakarta 2,00 Merapi Farm Jogjakarta 1,85 Lokasi Asal
Rata-rata Konsentrasi 132,69 3302,56 975,47 2762,21 4478,66 1057,53 4011,11 3667,60 53,53 1028,49 3878,64 960,79 3995,21 72,88 1262,65 1679,70 1951,33
91
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Gambar 1. Elektroforegram hasil isolasi DNA dari 17 aksesi Keladi tikus. M: marker 1 kb, 1-17: aksesi keladi tikus
Selain melihat kemurnian DNA dari uji nano drop juga dapat dilihat konsentrasi DNA hasil isolasi. Sebagian besar sampel DNA yang diisolasi memiliki konsentrasi yang sangat tinggi, hanya ada 2 sampel DNA (aksesi Menoreh dan Tanjung Bungkak) yang memiliki konsentrasi yang sangat rendah dengan nilai berturut-turut 53,53 ng/µL dan 72,88 ng/µL. Hasil uji DNA secara kualitatif dan kuantitatif sebagian besar menunjukkan bahwa DNA yang diisolasi dengan metode modifikasi CTAB pada penelitian ini memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan. Kelebihan metode CTAB ini adalah mampu mengurangi senyawa polisakarida dan senyawa metabolit sekunder. Hal ini sangat terlihat dari data kemurnian DNA aksesi keladi tikus (Tabel 2) yang menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki nilai yang baik, yaitu berkisar antara 1,8-2,0. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Khanuja et al. (1999) bahwa isolasi DNA menggunakan metode CTAB dimodifikasi dengan bahan tanaman penghasil senyawa metabolit sekunder yang tinggi mampu menghasilkan kualitas DNA yang baik. Kualitas DNA yang baik dibuktikan kembali dengan amplifikasi yang menghasilkan pola pita yang sangat jelas. Masalah yang dihadapi pada isolasi DNA pada tanaman Keladi tikus ialah senyawa metabolit sekunder yang sering kali mengurangi kemurnian DNA. Senyawa polisakarida merupakan salah satu senyawa yang dapat mengganggu kemurnian DNA. Menurut Khanuja et al. (1999) polisakarida dapat diatasi dengan penambahan NaCl dengan konsentrasi yang tinggi. Fang et al.
92
(1992) dan Tel-zur et al. (1999) menambahkan bahwa penambahan NaCl dengan konsentrasi di atas 1M dapat meningkatkan kelarutan polisakarida sehingga lebih mudah untuk dihilangkan dari DNA. Berdasarkan hal tersebut maka pada protokol isolasi DNA ditambahkan NaCl dengan konsentrasi 5M. Senyawa lain dari tanaman Keladi tikus yang dapat menghambat kemurnian DNA ialah polifenol dan protein. Polifenol dapat diatasi dengan PVPP dan merkaptoetanol yang terdapat pada komposisi dapar ekstraksi (Khanuja et al. 1999). Kontaminasi protein dapat diatasi dengan Kloroform isoamilalkohol. Kloroform isoamilalkohol mampu menghilangkan senyawa protein tanpa mendenaturasi DNA karena DNA merupakan senyawa hidrofilik yang tidak larut dalam pelarut organik. Kemampuan deproteinasi kloroform didasarkan atas kemampuan kloroform untuk mendenaturasi rantai polipeptida yang sebagian masuk atau termobilisasi pada interfase air-klorofom. Isoamilalkohol memiliki fungsi sebagai emulsifier, yaitu meningkatkan luas tegangan permukaan dari air-kloroform agar proses deproteinasi semakin maksimal (Agrawal 2008). DNA dimurnikan kembali dengan proses presipitasi. Presipitasi bertujuan untuk mengendapkan DNA dan memisahkannya dari senyawa garam-garam mineral dan sisa-sisa CTAB. Senyawasenyawa tersebut dapat mengganggu proses enzimatis pada tahap PCR (Weising et al. 1995). Proses presipitasi DNA dilakukan dua kali dengan menggunakan larutan isopropanol dingin dan etanol 80%.
Isolasi dan Amplifikasi DNA Keladi Tikus... M Fazri Hikmatyar et al.
Gambar 2. Elektroforegram hasil amplifikasi DNA 17 aksesi tanaman Keladi tikus menggunakan primer SBLT2 (atas) dan SBLT8 (bawah), M: Marker 1 kb, 1-17: aksesi keladi tikus)
Tahapan presipitasi ini pada prinsipnya ialah menurunkan kelarutan DNA dalam air. Isopropanol dingin dapat mengurangi aktivitas molekul air dan mampu menghilangkan molekul air dalam larutan DNA sehingga DNA dapat terpresipitasi (Surzycki 2000). Residuresidu garam yang terlibat dalam proses ekstraksi bersifat kurang larut dalam isopropanol. Residu garam tersebut dapat terpresipitasi bersama DNA, oleh sebab itu dibutuhkan pemurnian kembali menggunakan etanol 80% (Ausubel et al. 2003). Berdasarkan hasil uji kualitatif dan uji kuantitatif DNA menunjukkan bahwa tidak semua sampel DNA memiliki kualitas dan kuantitas yang baik, namun sampel DNA ini tetap dilanjutkan ke proses amplifikasi untuk mengetahui DNA yang diisolasi dapat diperbanyak dan dapat digunakan pada penelitian selanjutnya. Padmadi (2009) menyatakan bahwa sampel DNA yang digunakan pada analisis PCR khususnya dalam penanda yang dominan tidak harus merupakan DNA murni. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kartini (2012) bahwa DNA dengan kemurnian 1,12-1,64 juga mampu teramplifikasi dan menghasilkan pola pita amplifikasi yang jelas. Amplifikasi DNA Keladi tikus dengan menggunakan primer ISSR dilakukan untuk membuktikan bahwa DNA yang diisolasi masih mampu untuk diperbanyak dan dapat
digunakan untuk penelitian selanjutnya. Hasil amplifikasi DNA 17 aksesi tanaman Keladi tikus dapat dilihat pada Gambar 2. Semua DNA dari 17 aksesi Keladi tikus dapat teramplifikasi pada pemakaian primer SBLT2. Pada pemakaian primer SBLT8, hanya 1 aksesi yaitu aksesi Tanjung Bungkak Denpasar Bali tidak dapat teramplifikasi. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya pita pada aksesi tersebut meskipun sudah diulang beberapa kali. Menurut Wang et al. (2009), pita DNA hanya akan teramplifikasi bila urutan DNA pada urutan primer cocok dengan urutan basa pada bagian inter mikrosatelit genom tanaman sampel. Sedangkan menurut Tingey et al. (1994) keberhasilan amplifikasi ditentukan oleh ada atau tidaknya urutan DNA yang komplemen atau homolog dengan urutan pada primer. Ditambahkan oleh Weeden et al. (1992) bahwa keberhasilan primer dalam mengamplifikasi dan menghasilkan pita polimorfik juga ditentukan oleh ada atau tidak adanya serta adanya distribusi situs pengenalan annealing primer pada template DNA. Pada penelitian ini pita-pita yang terbentuk dari hasil amplifikasi juga terlihat jelas pada pemakaian primer SBLT2 dan SBLT8 dan menunjukkan pita-pita polimorfisme yang dapat digunakan untuk penelitian keragaman genetik tanaman selanjutnya.
93
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
KESIMPULAN Ke-17 aksesi tanaman Keladi tikus telah berhasil di isolasi DNA nya dengan menggunakan metode modifikasi CTAB dan berhasil diamplifikasi dengan primer SBLT 2 dan SBLT 8. Hasil penelitian ini dapat dilanjutkan pada penelitian selanjutnya untuk mengetahui keragaman genetik tanaman Keladi tikus. DAFTAR PUSTAKA Agrawal S (2008) Techniques in Molecular Biology. International Book And Distrubuting Co. India. Ardiana DW (2009) Teknik isolasi DNA genom tanaman papaya dan jeruk dengan menggunakan modifikasi bufer CTAB. Bul Teknik Pertanian 14(1):1216. Ausubel FM, R Brent, RE Kingston, DD Moore, JG Seidman, JA Smith, K Struhl (2003) Current Protocols in Molecular Biology Vol 3. John Wiley and Sons. New York. Choon SL, HMH, Rosemal, NK Nair, MIA Majid, SM Mansor, V Navaratnam, (2008) Typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth in vitro and induces apoptosis: An evaluation by the bioactivity guided approach. J Ethnopharm 118(1):14-20. Faatih M (2009) Isolasi dan Digesti DNA Kromosom. J Penelitian Sains Teknol (10):61-67. Fang DQ, ML Roose, RR Krueger, CT Federici (1997) Fingerprinting of trifoliate orange germ plasm accessions with isozymes, RFLPs and inter-simple sequence repeat marker. Theor Appl Genet 95(1-2):211-219. Fatchiyah A, LE Widyarti, S Rahayu (2011) Biologi Molekular Prinsip Dasar Analisis. Erlangga. Malang. Harfia M (2006) Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 50% Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lood) Bl) terhadap Sel Kanker Payudara (MCF-7 Cell line) secara In-Vitro. Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan Kartini AR (2012) Karakterisasi Molekular Padi Transgenik dengan Beberapa Metode Isolasi DNA. Skripsi.
94
Departemen Biokimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bogor. Khanuja SPS, KA Shasany, S Darokar, Kumar (1999) Rapid Isolation of DNA from Dry and Fresh Samples of Plants Producing Large Amounts of Secondary Metabolites and Essential Oil. Plant Mol Biol Rep 17(1):74-74. Padmadi B (2009) Identifikasi sifat aroma tanaman padi menggunakan marka berbasis gen aromatik. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Royani JI (2012) Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Cobalt 60 Terhadap Perubahan Karakter Morfologi, Molekuler dan Senyawa Aktif Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Wallich Ex Ness. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor Sauer PM, Muller, J Kang (1998) Quantitation DNA. Qiagen News 2:2326. Sudewo B (2004) Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. Surzycki SJ (2000) Basic Techniques in Molecular Biology. Springer-Verlag Publisher 3-540-66678-8. Syahid SF (2007) Pertumbuhan, produksi, analisa mutu dan fitokimia keladi tikus (Thyponium flagelliforme) asal kultur kalus. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. (Belum dipublikasi). Syahid SF (2008) Keragaman Morfologi Pertumbuhan, Produksi, Mutu dan Fitokimia Keladi Tikus (Typonium Flagelliforme Lodd.) Blume Asal Variasi Somaklonal. J Penelitian Tanaman Industri 14(3):113-118. Tel-zur NS, D Abbo, Myslabodski, Y Mizrahi (1999) Modified CTAB procedure for DNA isolation from epiphytic cacti of genera hylocereus and selenicereus (Cactaceae). Plant Mol Biol Rep 17(3):249-254. Weising K, H Nybom, K Wolff, W Meyer (1995). DNA fingerprinting in plants and fungi. CRC Press. Boca Raton. Yuwono T (2009) Biologi Molekular. Erlangga, Jakarta.
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
PRODUKSI BIOETANOL DARI BATANG TUA KELAPA SAWIT DENGAN AIR PANAS BERTEKANAN DAN BALL MILL Production of Bioethanol from Old Trunks of Palm Oil Using Hot Compressed Water and Ball Mill 1,
2
2
2
Suyanto *, Kotetsu Matsunaga , Hiroyuki Inoue , Kinya Sakanishi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Biomass Technology Reseach Center, AIST, Hiroshima, Japan. *E-mail:
[email protected]
1
ABSTRACT Bioethanol from oil palm trunk is one important source of energy to reduce greenhouse gas emissions and to avoid competition between the use for food and for energy as happens in other commodities. Pre-treatment of lignocellulosic biomass using sulfuric acid has high efficiency but requires high cost to neutralize the byproducts formed. Pre-treatment using hot compressed water and ball mill can be used to break down the structure and composition of lignocellulose so as to increase the rate of enzymatic hydrolysis and increase the sugar yield. Hydrolysis using an enzyme cocktail with hot compressed water and ball mill can each produce 210 mg of glucose at a temperature of 220 °C and 200 mg of glucose for 120 minutes at room temperature per gram of oil palm trunk. Both of these processes are environmentally friendly and have a high efficiency in the production of bioethanol from oil palm trunks. Keywords: bioethanol, oil palm trunk, ball mill, hot compressed water, hydrolysis ABSTRAK Bioetanol dari batang kelapa sawit adalah salah satu sumber energi yang penting untuk mengurangi emisi rumah kaca dan menghindari konflik kepentingan antara kebutuhan bahan pangan dan penggunaan energi sebagaimana terjadi pada komoditas lain. Pengolahan awal biomassa lignoselulosa menggunakan asam sulfat memiliki efisiensi yang tinggi tetapi membutuhkan biaya yang tinggi guna menetralisisr produk samping yang terbentuk. Pengolahan awal menggunakan air panas bertekanan dan ball mill dapat digunakan untuk memecah struktur dan komposisi lignoselulosa sehingga dapat meningkatkan laju hidrolisis enzim dan meningkatkan hasil gula. Hidrolisis menggunakan multienzim dengan air panas bertekanan dan ball mill masing-masing dapat menghasilkan 210 mg glukosa pada suhu 220°C dan 200 mg glukosa selama 120 menit pada suhu kamar per gram batang kelapa sawit. Kedua proses tersebut ramah lingkungan dan memiliki efisiensi yang tinggi pada produksi bioetanol dari batang kelapa sawit. Kata Kunci: bioetanol, batang kelapa sawit, ball mill, air panas bertekanan, hidrolisis
95
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
PENDAHULUAN Biomasa lignoselulosa yang berasal dari limbah pertanian dan perkebunan adalah bahan baku yang sangat potensial untuk memproduksi bahan bakar bioetanol, di mana biomasa lignoselulosa tersebut dapat menjadi sumber energi hijau yang menjadi energi alternatif dalam krisis bahan bakar fiosil pada saat ini. Hal ini dikarenakan bahan material tersebut sangat berpotensi mengandung sejumlah gula fermentasi dari ikatan polimer selulosa dan hemiselulosa. Dalam mengkonversi biomasa lignoselulosa menjadi bioetanol terdiri dari tiga tahapan proses (Mosier et al. 2005) yaitu tahap pertama adalah proses praperlakuan untuk memecah ikatan polimer selulosa dan hemisulosa dalam biomasa kemudian tahap kedua adalah proses hidrolisis enzimatik untuk merecovery gula fermentasi dari hasil praperlakuan dan terakhir adalah proses fermentasi untuk mengkonversi gula fermentasi menjadi bioetanol. Komponen utama dari biomassa lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Di antara komponen tersebut, selulosa dan hemiselulosa memiliki molekul yang terdiri dari gula dan bisa diubah menjadi etanol dengan hidrolisis enzimatis dan fermentasi. Selulosa adalah substrat kristal dan sangat sulit untuk dihidrolisis. Pemisahan hemiselulosa dan lignin dari biomasa lignoselulosa secara konvensional dengan penambahan bahan kimia seperti asam, basa atau larutan organik dilaporkan mempunyai efek yang signifikan terhadap hidrolisis enzimatik (Sun & Cheng 2002; Wyman et al. 2005; Yang et al. 2004). Namun bahan kimia tersebut menyebabkan korosi pada reaktor dan biaya daur ulang atau penetralan pelarut (asam, basa atau larutan organik) membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam mengurangi efek negatif pada lingkungan. Selain itu juga menyebabkan bentukan zat baru yang dapat menekan pembentukan bioetanol oleh yeast dalam proses fermentasi. Di sisi lain, Indonesia adalah negara tropis yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terbesar didunia dan menunjukan peningkatan secara signifikan luas area perkebunan pada tahun terakhir ini. Usia produksi pohon kelapa sawit berkisar antara
96
22 hingga 25 tahun, sehingga dalam tahun ini diperkirakan lebih dari 150 juta pohon yang harus di tebang di Indonesia untuk peremajaan tanaman kelapa sawit dan jumlah tersebut akan terus beratambah setiap tahunnya. Batang kelapa sawit tersebut merupakan sumber biomasa lignoselulosa yang sangat potensial untuk dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol sehingga dapat mengurangi konflik terhadap sumber bahan baku bioetanol dari tanaman pangan. Harga produksi bioetanol dari biomasa lignoselulosa masih terlalu mahal yang didasarkan pada teknologi saat ini, dan oleh karena itu diperlukan riset untuk menekan biaya dalam improvisasi hidrolisis biomasa lignoselulosa (Sun & Cheng 2002). Pemilihan praperlakuan dari biomasa lignoselulosa merupakan hal yang utama dalam menekan biaya produksi tersebut (Wyman et al. 2005). Pada proses hidrotermal hidrolisis dan proses mekanik (milling) dalam pemecahan struktur kimia biomasa lignoselulosa merupakan proses ramah lingkungan karena tidak ada penambahan bahan kimia dalam proses praperlakuan tersebut. Proses air panas bertekanan adalah proses yang efektif untuk hidrolisis enzimatik kayu dan biomasa limbah pertanian (Grous et al. 1986; Mosier et al. 2005; Sun & Cheng 2002). Hal ini disebabkan air bereaksi dengan gugus asetil dalam hemiselulosa menjadi asam, sehingga dapat melarutkan hemiselulosa dari biomasa lignoselulosa (Ando et al. 2000; Liu et al. 2005; Weil et al. 1998). Untuk proses mekanik dengan menggunakan ball mill dapat menurunkan kristalinasi pada selulosa, sehingga meningkatkan kerja enzim dalam pemutusan ikatan selulosa menjadi gula sederhana (Koullas et al. 1992; Chang et al. 2000). Dari uraian di atas, praperlakuan adalah hal yang sangat penting dalam menrubah atau menghilangkan hambatan fisik dan kimia yang berguna untuk aksesibilitas enzim dalam substrat dan dalam makalah ini akan dibahas pengaruh praperlakuan dengan ball mill dan air panas bertekanan pada hidrolisis enzimatik dalam produksi bioetanol dengan menggunakan bahan batang tua kelapa sawit. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah pengembangan bio ethanol dengan sumber
Produksi Bioetanol dari Batang Tua Kelapa Sawit... Suyanto et al.
daya biomassa terbarukan dari limbah pabrik kelapa sawit, berdasarkan paradigma baru pengelolaan limbah sebagai profit center, manajemen ramah lingkungan, dan minimisasi limbah BAHAN DAN METODE Batang kelapa sawit yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari Perkebunan Kelapa Sawit PTP Nusantara VII, Indonesia. Batang kelapa sawit yang sudah dipisahkan dari kulit luar dan dikeringkan selama 24 jam dalam oven 60 oC, kemudian dicacah menjadi chip. Chip tersebut dihaluskan menggunakan choper dan dalam penelitian ini dipergunakan ukuran antara 500 sampai 1000 m. Bahan dicampur secara merata untuk menghindari perbedaan komposisi dalam percobaan dan disimpan dalam kondisi kering sebelum digunakan. Pada saat dipergunakan bahan batang kelapa sawit tersebut dikeringkan dalam vakum dryer pada suhu 40°C selama 3 hari. Praperlakuan dengan Ball Mill Bahan batang kelapa sawit dihaluskan dengan menggunakan Planetary Micro mill pulverisette 5 (Fritsch, Germany). Sebanyak 20 gram bahan dihaluskan dengan kecepatan 250 rpm selama 120 menit menggunakan siklus 10 menit penghalusan dan 10 menit berhenti sementara pada suhu ruang. Praperlakuan dengan Air Panas Bertekanan Bahan batang kelapa sawit sebanyak 20 gram dan air 180 mL dicampur dalam wadah 300 mL stainless steel autoclave dengan satu pengaduk jenis turbin. Gas nitrogen untuk menghilangkan udara didalam autoclave dengan tekanan 5 MPa. Autoclave dipanaskan dan dipertahankan selama 30 menit dengan deviasi ±2 °C pada suhu yang ditentukan (160–240 oC). Waktu pemanasan bahan baku diprogram sebesar 16 oC/menit. Pada akhir reaksi autoclave didinginkan sampai suhu ruang. Pengambilan fraksi padat menggunakan filtrasi, dan dicuci dengan air demin kemudian diliophilisasi. Hidrolisis Enzimatik Hidrolisis enzimatik menggunakan multienzim yang mengandung 10 dan 40 FPU Acremonium cellulose (Meiji Seika Co,
Japan), 0,04 mL Optimash BG (Genencor International, USA) per gram bahan kering. Dalam standar perhitungan, 1 mL multienzim dilarutkan dalam 50 mM buffer asetat (pH 5,0). Campuran reaksi diinkubasi dalam shaker pada 45°C selama 72 jam. Percobaan dilakukan sebanyak dua kali. Hasil hidrolisis disentrifugasi untuk dipisahkan fase cair dan residu dan dianalisa kadungan glukosa dan silosa. Fermentasi Bioetanol Pada akhir hidrolisis enzimatik, gula yang terbentuk langsung difermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae IR-2 untuk memproduksi bioetanol. Waktu inkubasi selama 36 jam pada 30°C menggunakan shaker. Analisa Analisa komposisi kimia batang kelapa sawit menggunakan metode NREL (Sluiter et al. 2005). Glukosa dan silosa dianalisa menggunakan HPLC dengan sebuah refractive index detector (RI2031Plus, JASCO, Japan) dan kolom Aminex HPX-87P (7,8 mm I.D. 30 cm, BioRad, USA) dengan Carbo-P microguard cartridge. Fase gerak menggunakan air demin dengan kecepatan aliran 1 mL/min pada 80°C. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini semua perhitungan didasarkan pada berat kering batang kelapa sawit. Komposisi batang kelapa sawit adalah 47% selulosa, 32% hemiselulosa, 17% lignin, 3% ekstraktif dan 1% abu, yang dirujuk dari prosedur analitik dari NREL. Hidrolisis Enzimatik pada Praperlakuan Ball Mill Kemampuan enzimatik pada bahan batang kelapa sawit yang sudah di treatment menggunakan ball mill dievaluasi dengan berbagai komposisi enzim yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Hidrolisis dengan multienzim yaitu ACC(40FPU) dan OBG menunjukkan hasil yang lebih besar baik glukosa dan silosa dari komposisi enzim lainnya, sehingga komposisi multienzim tersebut dipergunakan sebagi standar dalam penentuan hidrolisis enzimatik pada substrat selanjutnya.
97
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Tabel 1. Perbedaan berbagai hidrolisis enzimatis pada hasil praperlakuan ball mill pada batang kelapa sawit Kandungan gula (mg/g)
Tabel 2. Glukosa dan silosa dari fraksi cair dan residu batang kelapa sawit pada hasil praperlakuan dengan air panas bertekanan Kandungan gula (mg/g)
Glukosa
Silosa
Suhu o ( C)
ACC(10 FPU)
175
38
ACC (40 FPU)
189
ACC (10 FPU) +OBG ACC (40 FPU) +OBG
Enzim
Residu
Glukosa
Silosa
Glukosa
Silosa
160
0,82
1,00
92
66
69
180
0,92
1,82
149
85
181
116
200
0.93
1,62
182
87
200
121
220
0,72
3,19
210
90
240
0,60
1,20
162
70
ACC =Acremonium cellulose; OBG=Optimash BG
Dari Tabel 1. menunjukan OBG dapat memecah ikatan selulosa disamping memecah ikatan hemiselulosa menjadi silosa sedangkan ACC merupakan selulase komersial yang memiliki aktivitas β– glucosidase tinggi dibandingkan dengan konvensional selulase dari Trichoderma spesies lainnya (Yamanobe et al. 1990). Hidrolisis enzimatik batang tua kelapa sawit tanpa pretretment ball mill dengan menggunakan ACC menghasilkan glukosa sebesar 72 mg/g substrat (data tidak ditunjukkan). Dari data tersebut menunjukkan bahwa glukosa dari hidrolisis ezimatik dengan praperlakuan ball mill meningkat secara signifikan. Hal ini disebabkan selulosa mikrofibril pada dinding sel batang tua kelapa sawit terganggu oleh efek mekanik dari ball mill sehingga disebut efek mechanochemical (Ago et al. 2004). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kerja enzimatik dengan mechanochemical yang membuat struktur jaringan selulosa-hemiselulosa-lignin terganggu atau putus, sehingga dapat memaksimalkan kerja enzim. Pengaruh Perlakuan Air Panas Bertekanan Praperlakuan air panas bertekanan dilakukan pada lima tingkat suhu pada kisaran 160-240°C selama 30 menit. Hasil dari hidrolisis enzimatik pada gula fraksi larut dan residu dirangkum pada Tabel 2. Peningkatan xilan terlarut dari praperlakuan batang kelapa sawit menggunakan air panas bertekanan terjadi di atas 160°C. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa hemiselulosa terdegradasi dan membuat struktur jaringan selulosahemiselulosa-lignin terputus sehingga 98
Fraksi larut
pembentukan glukosa dari selulosa dari hidrolisis enzimatis meningkat sampai pada suhu 220°C (Tabel 2). Dari hasil percobaan tersebut dapat diketahui, meningkatnya kemampuan enzim dalam memutus ikatan polimer selulosa yang berakibat bertambahnya kandungan glukosa dalam residu berkaitan dengan putusnya ikatan hemiselulosa yang disebabkan oleh efek hidrotermal. Sedangkan pada suhu di atas 220°C, hasil silosa pada fraksi larut sangat terpengaruh pada dekomposisi hemiselulosa menjadi furfural dan turunannya sehingga jumlah silosa menurun. Demikian halnya dengan jumlah glukosa mengalami penurunan yang sangat signifikan. Berdasarkan data pada Tabel 2 jumlah glukosa maksimum pada hidrolis enzimatik batang kelapa sawit dengan praperlakuan air panas bertekanan terjadi pada suhu 220°C dengan jumlah glukosa sebesar 210 mg/g substrat. Pada suhu 240°C kandungan glukosa menurun sehingga pada suhu tersebut penggunaan multienzim (ACC (40 FPU) dan OBG) terjadi penurunan, karena terdekomposisinya selulosa menjadi bahan yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Ando et al. (2000) pada dekomposisi biomasa dalam air panas bertekanan. Fermentasi Bioethanol Fermentasi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae IR-2 pada hasil hidrolisis enzimaitis multienzim (ACC (40 FPU) dan OBG) dari praperlakuan batang kelapa sawit menggunakan ball mill disajikan pada Gambar 1, di mana semua
Produksi Bioetanol dari Batang Tua Kelapa Sawit... Suyanto et al.
Gambar 1. Hasil fermentasi bioetanol dari praperlakuan batang kelapa sawit dengan ball mill
glukosa habis terkonversi menjadi bioetanol pada jam ke 12, sedangkan silosa tetap kandungannya sampai jam ke 36. Hal ini dikarenakan strain Saccharomyces cerevisiae IR-2 hanya dapat mengkonversi glukosa menjadi bioetanol. Sedangkan fermentasi bioethanol pada hasil hidrolisis enzimatis dari residu praperlakuan batang kelapa sawit dengan air panas bertekanan pada suhu 220°C (Gambar 2), juga menunjukkan hasil glukosa dapat terkonversi sempurna menjadi bioetanol. Namun waktu fermentasinya lebih lama yaitu pada jam ke20 terkonversi sempurna dan kandungan silosa sama dengan praperlakuan menggunakan ball mill. Waktu fermentasi yang lebih lama tersebut disebabkan oleh zat inhibitor seperti furfural dan asam asetat (data tidak ditunjukkan) yang terbentuk selama proses air panas bertekanan. Dari hasil tersebut (Gambar 1 dan Gambar 2) di mana kedua praperlakuan (ball mill dan air panas bertekanan) menunjukkan produktivitas bioetanol yang tinggi dan hampir sama dari gula fermentasi dalam hidrolisat enzimatik batang kelapa sawit yaitu 0,12 mL/g batang tua kelapa sawit pada praperlakuan menggunakan ball mill dan 0,13 mL/g batang tua kelapa sawit dengan menggunakan preteratment air panas bertekanan. Dari hasil tersebut di atas dapat memberi gambaran potensi batang kelapa sawit untuk dikonversi menjadi bioethanol dengan produktivitas yang tinggi tanpa menggunakan bahan kimia, sehingga lebih ramah lingkungan dan penggunaan energi hijau dapat terwujud.
Gambar 2. Hasil fermentasi bioetanol dari praperlakuan batang kelapa sawit dengan air panas bertekanan
KESIMPULAN Batang kelapa sawit yang ditreatment dengan air panas bertekanan menghasilkan glukosa yang lebih tinggi 0,01 mL/g batang tua kelapa sawit dari penggunaan ball mill. Namun dalam air panas bertekanan terbentuk zat baru seperti furfural dan asam asetat yang dapat menghambat proses fermentasi sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk konversi menjadi bioetanol, sedangkan ball mill membutuhkan energi yang besar untuk proses penghalusan batang kelapa sawit. Dengan mengkobinasikan praperlakuan ball mill dengan waktu yang pendek dan air panas bertekanan dengan suhu rendah merupakan teknologi alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk skala yang lebih besar. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada NEW Energi Foundation, Japan yang telah membiayai penelitian ini melalui Asia Biomass Energy Researchers Invitation Program. DAFTAR PUSTAKA Ando H, T Sakaki, T Kokusho, M Shibata, Y Uemura, Y Hatate (2000) Decomposition behavior of plant biomass in hotcompressed water. Industrial and Eng Chem Res 39(10):3688-3693. Ago M, T Endo, T Hirotsu (2004) Crystalline transformation of native cellulose from
99
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
cellulose I to cellulose II polymorph by a ball milling method with a specific amount of water. Cellulose 11(2):163-167. Chang VS & MT Holtzapple (2000) Fundamental factors affecting biomass enzymatic reactivity. Appl Biochem Biotechnol 84(1):5-37. Grous WR, AO Converse, HE Grethlein (1986) Effect of steam explosion pretreatment on pore size and enzymatic hydrolysis of poplar. Enzyme MicrobTechnol 84(1):274-280. Koullas DP, P Christakopoulos, D Kekos, BJ Macris, EG Koukios (1992) Correlating the effect of pretreatment on the enzymatic hydrolysis of straw. Biotechnol Bioeng 39(1):113-116. Liu C & CE Wyman (2005) Partial flow of compressed-hot water through corn stover to enhance hemicellulose sugar recovery and enzymatic digestibility of cellulose. Biores Technol 96(18):1978-1985. Mosier N, CE Wyman, B Dale, R Elander, YY Lee, M Holtzapple, Ladisch M (2005) Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Biores Technol 96(6):673-686. Sluiter A, B Hames, R Ruiz, C Scarlata, J
100
Sluiter, D Templeton (2005) Determination of structural carbohydrates and lignin in biomass. NREL Biomass. http://www.nrel.gov/biomass/analytical _ procedures.html#lap-002. Diakses 10 November 2010. Sun Y & J Cheng (2002) Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production. Biores Technol 83(1):1-11. Wyman CE, BE Dale, RT Elander, M Holtzapple, MR Ladisch, YY Lee (2005) Coordinated development of leading biomass pretreatment technologies. Biores Technol 96(18):19591966. Weil JR, A Sarikaya, SL Rau, J Goetz, CM Ladisch, M Brewer, R Hendrickson, LR Ladisch. (1998) Pretreatment of corn fiber by pressure cooking in water. Appl Biochem Biotechnol 73(1):1-17. Yamanobe T, J Hiraishi, I Kruus (1990) Improvement of fungal strain Y-94, a cellulolytic enzyme hyperproducer, and enzymatic saccharification of exploded wood. Agric Biol Chem 54(2):535-536. Yang B & CE Wyman (2004) Effect of xylan and lignin removal by batch and flow through pretreatment on the enzymatic digestibility of corn stover cellulose’, Biotechnol Bioeng 86(1):88-95.
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
FITOREMEDIASI KANDUNGAN KROMIUM PADA LIMBAH CAIR MENGGUNAKAN TANAMAN AIR Phytoremediation of Chromium in Aqueous Waste Using Aquatic Plants 1,
2
2
Anna Safarrida *, Ngadiman , Jaka Widada Balai Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian, UGM *E-mail:
[email protected]
1
ABSTRACT Existence of heavy metals in industrial waste is gaining global attention since their negative impact to environment. One of the efforts to solve the problem was to use plant to absorb metal in liquid medium, known as rhizofiltration. This research was aimed to select aquatic plants which showed relative resistantce and susceptibility to chromium. Four species of aquatic plants (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor and Salvinia sp.) were grown in artificial medium (Hoagland) supplemented with 0, 1, 2, 4 and 8 ppm chromium. The plants resistance and absorption toward chromium was observed based on the morphology and chromium content in their biomass. Based on their resistance to and absorption of chromium, the selected plants were tested further in liquid waste of tanning industry. In Hoagland medium, Salvinia sp. demonstrated 67.2% higher resistance and absorption toward chromium while that of P. stratiotes 20.3% lower compared to other plants which were tested. This result could be applicable in reducing such environmental pollutant as the heavy metal chromium from industrial waste. Keywords: Phytoremediation, chromium, Hoagland medium, aquatic plants, liquid waste ABSTRAK Logam berat dalam limbah industri merupakan bahan pencemar lingkungan yang mendapatkan perhatian global. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan tanaman untuk menyerap logam dalam medium cair atau dikenal sebagai fitoremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanaman air lokal yang tahan dan peka secara relatif terhadap kromium. Empat spesies tanaman air (Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, Lemna minor, dan Salvinia sp.) ditumbuhkan pada medium buatan (Hoagland) yang dipasok kromium 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm. Pengujian toleransi tanaman dan serapan terhadap kromium dilakukan berdasarkan pengamatan morfologis serta analisis kadar kromium dalam biomasa. Berdasarkan daya tahan dan serapan kromium, tanaman terseleksi diujikan lebih lanjut dalam limbah cair industri penyamakan kulit. Dalam medium Hoagland, Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi sebesar 67,2% sedangkan P. stratiotes mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan tanaman lain yang diujikan. Hasil penelitian ini dapat diterapkan untuk mengurangi bahan pencemar lingkungan berupa logam berat kromium dari limbah industri. Kata Kunci: Fitoremediasi, kromium, medium Hoagland, tanaman air, limbah cair
101
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan, khususnya di bidang industri, memerlukan pemikiran dan tindakan untuk meminimalkan dampak negatif limbah industri terhadap pencemaran lingkungan. Limbah buangan industri tersebut umumnya mengandung senyawa organik atau anorganik yang bersifat toksik dan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Parsek et al. 1997). Senyawa anorganik utama dalam limbah industri berupa logam berat. Logam berat tidak dapat didegradasi secara biologis, tetapi hanya dapat dialihrupakan atau dipindahtempatkan. Keberadaan logam berat dalam air akan diserap dan diakumulasi dalam sel organisme yang hidup dalam lingkungan tersebut. Apabila organisme air yang lebih tinggi tingkat tropiknya seperti ikan memakan plankton, maka akan terjadi akumulasi logam berat dalam tubuh ikan. Selanjutnya apabila ikan tersebut dikonsumsi akan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang serius bagi manusia (Haryadi 1996). Dalam dua dasawarsa terakhir ini, remediasi cemaran logam berat di lingkungan banyak difokuskan pada pemanfaatan tanaman (fitoremediasi). Tanaman dapat menyerap dan mengakumulasi logam berat dalam biomasanya. Tanaman yang mampu mengakumulasi logam dalam konsentrasi yang tinggi disebut sebagai hiperakumulator. Beberapa tanaman air yang seringkali menjadi gulma telah banyak dimanfaatkan dalam remediasi pencemaran logam berat dalam lingkungan perairan (Smits 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanaman air lokal yang tahan dan peka secara relatif terhadap kromium. BAHAN DAN METODE Tanaman air yang digunakan meliputi enceng gondok (Eichhornia crassipes), kayu
apu (Pistia stratiotes), mata ikan (Lemna minor), dan kayambang (Salvinia sp.). Uji Toleransi Tanaman Air terhadap Kromium Sebanyak 2 L larutan Hoagland dimasukkan ke dalam ember kemudian dipasok logam berat Cr (K2Cr2O7) dengan konsentrasi 0, 1, 2, 4, 8 ppm. Masingmasing perlakuan dibuat 3 ulangan. Tanaman air diinokulasikan ke dalam medium tersebut dalam jumlah tertentu sedemikian sehingga menutupi permukaan medium 25%, diinkubasi selama 12 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi parameter: (i) pengukuran laju pertumbuhan tanaman (growth rate) yaitu diukur sebagai selisih berat biomasa pada akhir terhadap awal inkubasi, kemudian dibagi lama (hari) inkubasi, (ii) Kenampakan tanaman (growth response) dilakukan pengamatan terhadap morfologi tanaman (warna daun) setiap 2 hari selama 12 hari, Pada hari akhir inkubasi, tanaman dipanen, diukur beratnya, dan dilakukan: (iii) analisis kandungan Cr dalam medium serta (iv) dalam jaringan tanaman (biomassa). Analisis Cr menggunakan metode destruksi asam dan kadar Cr dideteksi (dalam biomassa) dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS Perkin-Elmer 3110) dengan λ 357,9 nm. Uji Lanjut Toleransi dan Kepekaan Tanaman air terseleksi yang toleran dan peka secara relatif terhadap kromium selanjutnya diujikan lebih lanjut ke dalam limbah industri penyamakan kulit. Sebanyak 2 L medium berisi limbah penyamakan kulit yang telah diencerkan 10, 20, 40, dan 60 kali dengan air ledeng dimasukkan ke dalam ember. Masing-masing perlakuan dibuat 3 ulangan. Tanaman air terseleksi yang toleran dan peka secara relatif terhadap kromium, yang diambil dari alam, diino-
Gambar 1. Tanaman air (dari kiri ke kanan): Eichhornia crassipes, Pistia stratiotes, Lemna minor, dan Salvinia sp.
102
Fitoremediasi Kandungan Kromium... Anna Safarrida et al.
A
B
Gambar 2. Pengaruh logam kromium: (A) produksi biomassa tanaman, (B) Serapan Cr
kulasikan ke dalam medium tersebut dalam jumlah tertentu sehingga menutupi permukaan medium 25%, dan diinkubasi selama 12 hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Toleransi Tanaman Air terhadap Kromium Hasil pengamatan dan tanggapan pertumbuhan tanaman terhadap logam berat selama 12 hari inkubasi. Pada perlakuan 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm logam Cr diperoleh bahwa tanaman Lemna minor dan Pistia stratiotes hanya bertahan hingga konsentrasi 4 ppm, sementara Eichhornia crassipes dan Salvinia sp. mampu bertahan sampai 8 ppm. Tanggapan pertumbuhan tanaman Lemna minor dan Pistia stratiotes terhadap paparan Cr (4 ppm) ditandai dengan adanya bercak coklat pada tepi dan ujung daun, kekeringan dan pertumbuhan lambat. Sementara pada tanaman Eichhornia crassipes, paparan terhadap Cr (8 ppm) ditandai oleh pertumbuhan yang lambat. Klorosis terjadi pada daun muda tanaman Salvinia sp. Logam Cr menyebabkan keracunan tanaman yang ditandai oleh adanya klorosis terutama pada daun yang muda. Hal ini dikarenakan logam berat tersebut terakumulasi di dalam jaringan tanaman, sehingga menyebabkan
tanaman keracunan (Panda 2005). Pengaruh logam berat kromium terhadap produksi biomas dan serapan Cr tanaman air lokal (Eichhornia crassipes, Pistia stratiotes, Lemna minor, dan Salvinia sp.) disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil uji toleransi dan serapan kromium yang diketahui dari data di atas, maka Salvinia sp. mempunyai kemampuan yang lebih tinggi sebesar 67,2%, sedangkan Pistia stratiotes mempunyai kemampuan lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan dengan tanaman air lokal lainnya (Lemna minor dan Eichhornia crassipes). Hasil penelitian Susilaningsih (1992) juga menunjukkan kombinasi tumbuhan Hydrilla verticillata dan Eichornia crassipes mampu menyerap logam kromium (VI) lebih dari kemampuan secara monokultur. Pada pemaparan 96 jam dicapai hasil penyerapan terbesar sebanyak 88,282%. Hal ini dimungkinkan oleh kemampuan tumbuhan beradaptasi, kemampuan tumbuhan mengakumulasi logam berat dan kemampuan tumbuhan meredam stres metal. Sugiyanto et al. (1991) memperkuat pernyataan tersebut yang mengemukakan bahwa gulma air terapung, yaitu Eichornia crassipes, Salvinia molesta dan Pistia stratiotes mampu menyerap
103
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
A
B
Gambar 3. Respon tanaman air terseleksi dalam limbah cair industri penyamakan kulit: (A) produksi biomassa tanaman, (B) serapan Cr
logam berat krom dari medium air habitatnya dan lebih banyak tertimbun di akar daripada di daun. Kemampuan ini didukung oleh mekanisme tumbuhan tersebut dalam mengakumulasi logam berat krom, seperti yang dijelaskan oleh Thilakar et al. (2012) dan Prajapati et al. (2012) yang menyebutkan bahwa Pistia stratiotes merupakan tanaman air yang lebih efisien dalam mengakumulasi logam berat kromium melalui proses rhizofiltrasi. Oleh karena itu tanaman Salvinia sp. dan Pistia stratiotes yang diambil dari alam dipilih untuk diujikan lebih lanjut pada medium limbah cair industri penyamakan kulit. Pertumbuhan dan Serapan Kromium Gambar 3 menunjukkan bahwa tanaman Salvinia sp. mampu tumbuh pada medium limbah pengenceran 10 kali, sebaliknya tanaman Pistia stratiotes hanya mampu tumbuh pada medium limbah yang diencerkan 60 kali. Salvinia sp. mampu menyerap logam sebesar 0,49; 0,28; 0,20; dan 0,11 mg Cr/g biomas/hari berturutturut pada pengenceran limbah 10, 20, 40, dan 60 kali. Sedangkan Pistia stratiotes mampu menyerap logam sebesar 0,05 mg Cr/g biomas/hari pada pengenceran 60 kali. Berdasarkan Gambar 3, penyerapan Cr menurun sebanding dengan peningkatan pengenceran limbah. Dalam inkubasi 12 hari, tanaman air lokal Pistia stratiotes dan Salvinia sp. mampu menguras kromium dalam medium (% removal Cr) berturut-turut sebesar 9,9% dan 80,4%. Dengan membandingkan dua tanaman di atas diketahui bahwa rata-rata produksi biomas tanaman Salvinia sp. dalam medium limbah lebih tinggi daripada 104
tanaman Pistia stratiotes. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa Salvinia sp. mampu menyerap Cr dalam medium limbah lebih tinggi dari pada medium Hoagland berturut-turut sebesar 80,4% dan 67,2% selama inkubasi 12 hari. Dalam penelitian Thilakar et al. (2012) dijelaskan bahwa penyerapan kromium oleh Salvinia natans menunjukkan akumulasi lebih baik daripada Pistia stratiotes. Sedangkan kemampuan yang dimiliki Pistia stratiotes adalah memecah krom menjadi partikel yang tidak membahayakan bagi tumbuhan dan kemampuannya membentuk fitokelat 7 yang mampu mengikat logam berat sehingga menghilangkan efek toksiknya untuk kemudian menyimpannya dalam vakuola. Hidayati (2013) meneliti biomassa Pistia stratiotes 150 gram dengan waktu pemaparan 9 hari memberikan hasil yang terbaik bagi Pistia stratiotes sebagai fitoremediator limbah cair industri pelapisan krom. Menurut Puspita (2011) diantara 3 tumbuhan air yang dicobakan, Eichhornia crassipes merupakan tumbuhan yang paling mampu menurunkan kadar Cr air limbah batik, diikuti Pistia stratiotes dan Hydrilla verticillata dengan persentase penurunan secara berturut-turut: 49,56%, 33,61% dan 10,84%. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengurangi pencemaran lingkungan khususnya dalam penanganan limbah cair industri yang mengandung logam berat. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada lingkungan yang tepat akan memaksimalkan pengaruh fitoremediasi terhadap penyerapan dan pengurangan racun yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia ini.
Fitoremediasi Kandungan Kromium... Anna Safarrida et al.
KESIMPULAN Dalam medium Hoagland, tanaman Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi sebesar 67,2% sementara tanaman Pistia stratiotes mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih rendah sebesar 20,3% dibandingkan tanaman air lokal lainnya. Sedangkan dalam medium limbah cair industri penyamakan kulit, tanaman air Salvinia sp. mempunyai ketahanan dan serapan kromium lebih tinggi daripada tanaman Pistia stratiotes berturut turut sebesar 80,4% dan 9,9%. DAFTAR PUSTAKA Haryadi (1996) Heavy metal contents in the industrial wastes in Indonesia. Proc.symposium on Metal bioaccumulation. Yogyakarta 17 September 2000, Indonesia. Hidayati N (2013) Mekanisme Fisiologis Tumbuhan Hiperakumulator Logam Berat. J Tek Lingkungan 14(2):75-82. Parsek RM, MS McFall, MA Chakrabarty (1997) Microbial degradation of toxic chemicals: Evolutionary Insight. (hal: 1-15) In: Moo-Young M., Anderson A. W & Chakrabarty M. A (eds). Environmental Biotechnology: principal & application. Prajapati SK, N Meravi, S Singh (2012) Phytoremediation of Chromium and Cobalt using Pistia stratiotes: A Sustainable Approach. Proceedings of
The International Academy of Ecology and Environmental Sciences 2(2):136138. Puspita UR, AS Siregar, NV Hidayati (2012) Kemampuan Tumbuhan Air Sebagai Agen Fitoremediator Logam Berat Kromium (Cr) yang terdapat Pada Limbah Cair Industri Batik. Berkala Perikanan Terubuk 39(1):58-64. Pilon-Smits E (2005) Phytoremediation. Annu Rev Plant Biol 56:15-39. Sugiyanto T, M Darussalam, N Nurhidayat (1991) Pemanfaatan Gulma Air untuk Menanggulangi Pencemaran Limbah Aktif Cr-51. Proceedings Seminar Reaktor Nuklir dalam Penelitian Sains dan Teknologi menuju Era Tinggal Landas, Bandung, 8-10 Oktober 1991. PPTNBATAN. Susilaningsih D (1992) Pemanfaatan Tumbuhan Hydrilla verticillata dan Eichornia crassipes sebagai Salah Satu Usaha Pengendalian Pencemaran Logam Kromium (Cr) dari Limbah Pelapisan Logam. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 75 hal. Thilakar RJ, J Rathi, PM Pillai (2012) Phytoaccumulation of Chromium and Copper by Pistia stratiotes L. and Salvinia natans (L.) All. J Nat Prod Plant Resour 2(6):725-730. Zayed A, CM Lytle, JH Qian, N Terry (1998) Chromium Accumulation, Translocation and Chemical Speciation in Vegetable Crops. Planta 206(2):293299.
105
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
OPTIMASI METODE LISIS ALKALI UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI PLASMID Optimization of Alkaline Lysis Method for the Improvement of Plasmid Concentration 1,
2
2
Dudi Hardianto *, Alfik Indarto , Nurtjahjo Dwi Sasongko Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah 53122 *E-mail:
[email protected] 1
ABSTRACT Plasmids are extra chromosomal molecules of DNA that replicate autonomously and found in prokaryote and eukaryote cells. There are a number of methods that are used to isolate plasmids, such as alkaline lysis, boiling lysis, using cesium chloride, and chromatography. Amongst the disadvantages in plasmid isolation methods are lengthy time especially when handling a large number of samples, high cost, and low purity. Alkaline lysis is the most popular for plasmid isolation because of its simplicity, relatively low cost, and reproducibility. This method can be accomplished in 50 minutes to one hour. In this research, the alkaline lysis method was developed to obtain suitable plasmid for applications in a molecular biology laboratory. The aim of this research was to reduce contaminants and improve yield of plasmid. The result of isolation of pICZA plasmid in Escherichia coli gave the concentration of 3.3 to 3.8 µg/µL with the purity of 1.99. Keywords: Plasmid isolation, pICZ A, Escherichia coli, rapid, alkaline lysis ABSTRAK Plasmid merupakan molekul DNA ekstrakromosomal yang bereplikasi secara mandiri dan ditemukan dalam sel prokariot dan eukariot. Banyak metode yang digunakan untuk isolasi plasmid, seperti: lisis alkali, lisis dengan pemanasan, penggunaan sesium klorida, dan kromatografi. Kelemahan beberapa metode isolasi DNA adalah waktu isolasi yang lama terutama saat isolasi plasmid dalam jumlah banyak, mahal dan kemurniannya yang rendah. Metode lisis alkali merupakan metode yang sangat umum untuk isolasi plasmid karena mudah dilakukan, relatif murah, dan reprodusibilitas. Metode ini dapat dilakukan dalam 50 menit sampai 1 jam. Pada penelitian ini dikembangkan metode lisis alkali untuk memperoleh plasmid yang sesuai untuk penggunaan di laboratorium biologi molekuler. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi jumlah kontaminan dan meningkatkan konsentrasi plasmid. Hasil isolasi plasmid pICZA dalam Escherichia coli mempunyai konsentrasi antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL dan kemurniannya 1,99. Kata Kunci: Isolasi plasmid, pICZ A, Escherichia coli, cepat, lisis alkali
106
Optimasi Metode Lisis Alkali… Dudi Hardianto et al.
PENDAHULUAN Plasmid merupakan molekul DNA ekstrakromosomal yang dapat bereplikasi (memperbanyak diri) secara mandiri dan ditemukan dalam sel prokariot dan eukariot. Secara alami plasmid terdapat pada bakteri dan beberapa organisme eukariot seperti Saccharomyces ceriviseae. Ukuran plasmid bervariasi antara 1 kb sampai 200 kb. Dalam penelitian rekayasa genetika, plasmid digunakan sebagai kendaraan molekuler untuk memasukkan gen dari luar ke dalam sel inang (Palomares et al. 2004; Yadav et al. 2011). Plasmid mempunyai 3 komponen penting yaitu: 1) Origin of replication (ORI), sehingga plasmid dapat bereplikasi secara mandiri, 2) mempunyai daerah unik sebagai situs pemotongan enzim endonuclease, yang biasa disebut multiple cloning site (MCS), 3) membawa penanda seleksi (biasanya resistensi terhadap antibiotika) untuk membedakan antara sel inang yang mengandung plasmid atau tidak. Klasifikasi plasmid berdasarkan karakteristik gen yang dikodenya. Terdapat 5 jenis plasmid (Brown 2010), yaitu: 1) plasmid fertilitas atau F, membawa gen tra sehingga plasmid dapat berpindah secara konyugasi, contoh plasmid F pada E. coli, 2) plasmid resisten atau R, membawa gen resistensi terhadap antibiotika, contoh: resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan zeocin, 3) Plasmid Col mempunyai gen pengkode protein kolisin, protein yang dapat membunuh bakteri lain, contoh ColE1 pada E. coli, 4) plasmid degradatif memungkinkan sel inang memetabolisme senyawa yang tidak umum (toluene dan asam salisilat), contoh: Tol pada Pseudomonas putida, 5) plasmid virulensi, memungkinkan sel inang dapat menginfeksi organisme lain. Contoh plasmid Ti pada Agrobacterium tumefaciens a
b Gambar 1. Plasmid dalam sel bakteri, a: plasmid, b: kromosom bakteri (Brown 2010)
a
sehingga dapat menginfeksi tanaman dikotiledon. Plasmid pICZ A merupakan salah satu jenis plasmid resisten yang mempunyai gen pengkode resisten terhadap zeocin. Plasmid yang pertama kali dikonstruksi adalah plasmid pBR322 (pada tahun 1974) dan merupakan salah satu plasmid yang pertama kali digunakan dalam rekayasa genetika. Sistem penamaan plasmid menggunakan huruf dan angka. Sebagai contoh pBR322, p berarti pasmid, BR merupakan nama orang yang pertama kali mengkonstruksi plasmid (Bolivar & Rodriquez), dan 322 merupakan nomor identitas spesifik dari plasmid (Balbas et al. 1986). Pada penelitian ini digunakan plasmid pICZ A sebagai model untuk optimasi isolasi plasmid dengan metode lisis alkali. Plasmid pICZ A berukuran 3329 bp mempunyai pUC sebagai ORI yang berasal dari Escherichia coli (E. coli) sehingga dapat bereplikasi di sel E. coli, mempunyai daerah MCS dengan 10 situs enzim restriksi, dan membawa penanda seleksi resitensi terhadap antibiotika zeocin (gen Sh ble). Perbedaan antara plasmid pICZ A, pICZ B, dan pICZ C adalah pada salah satu dari 10 situs enzim restriksi, untuk pICZ A terdapat Apa I, pICZ B Xba I, sedangkan pICZ C Snab I. Kelebihan plasmid pICZ A selain dapat bereplikasi dalam E. coli juga dapat terintegrasi ke dalam genom Pichia pastoris. Sejak ditemukan plasmid, telah banyak metode dikembangkan untuk mengisolasi plasmid. Metode isolasi plasmid yang tepat sangat penting untuk mendapatkan plasmid dengan konsentrasi dan kemurnian yang tinggi. Keberhasilan Polymerase Chain Reaction (PCR), penentuan urutan DNA (sequencing), dan kloning gen sangat ditentukan oleh konsentrasi dan kemurnian plasmid. Beberapa metode isolasi plasmid antara lain: lisis alkali, lisis dengan pemanasan, menggunakan bahan kimia sesium klorida, metode dengan menggunakan microwave (Dederich et al. 2002), dan metode kromatograpi (Birnboim & Doli 1979). Metode isolasi plasmid yang biasa dipakai adalah lisis alkali dan lisis dengan pemanasan (Kiran et al. 2010; Perez-ortin et al. 1986; Yadav et al. 2011). Kelemahan metode lisis dengan pemanasan adalah beberapa E. coli seperti HB101t
107
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Gambar 2. Plasmid pICZ A (Easyselect Pichia Expression Kit 2015)
selnya tidak dapat dilisis dengan pemanasan (Sambrook & Russell 2001). Metode lain untuk isolasi plasmid dengan menggunakan sesium klorida, yang sangat mahal, korosif, toksik, dan memerlukan waktu yang sangat lama, sehingga metode ini jarang digunakan (Perez-ortin et al. 1986). Banyak kit untuk isolasi plasmid beredar di pasaran. Kit ini menggunakan kolom kromatografi sekali pakai untuk mengabsorpsi plasmid. Matriks yang digunakan beragam, antara lain gelas, resin anion (dietilaminoetil, dietil-2hidroksipropil-aminoetil). Isolasi plasmid menggunakan kit relatif lebih mudah tetapi mahal jika dilakukan secara rutin (Sambrook & Russell 2001). Dari metodemetode isolasi di atas, metode lisis alkali merupakan metode isolasi plasmid yang banyak digunakan karena simpel, relatif murah, dan reprodusibilitas (Sambrook & Russell 2001). Biasanya plasmid diisolasi dari hasil kultivasi E. coli dalam media LB cair yang mengandung antibiotika tetapi E. coli dalam LB padat dapat juga digunakan untuk isolasi plasmid. Penggunaan E. coli dalam LB padat lebih menghemat waktu karena tidak memerlukan tahap sentrifugasi untuk mendapatkan sel E. coli dari media cair (Sato et al. 2012). Masalah utama dalam isolasi plasmid adalah kontaminan yang berasal dari senyawa fenolik dan polisakarida. Polisakarida menghambat aktivitas enzim restriksi Hind III dan Taq polymerase
108
sehingga menyebabkan kesalahan dalam interpretasi data penelitian (Kotchoni et al. 2003). Pengembangan metode isolasi plasmid diperlukan untuk mendapatkan plasmid yang murni, mudah, sederhana, cepat, dan murah. Metode yang digunakan merupakan modifikasi metode lisis alkali dari Kotchoni karena metode ini sederhana dan cepat. Modifikasi metode lisis alkali yang telah dilakukan adalah dengan mengganti diterjen sodium dodesil sulfat (SDS) sebagai senyawa pelisis sel dengan campuran enzim lipase dan diterjen (Yadav et al. 2011). Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan metode isolasi plasmid yang mempunyai konsentrasi dan kemurnian tinggi, metode isolasi yang mudah, aman (tidak menggunakan bahan berbahaya), murah, dan waktu yang diperlukan untuk isolasi plasmid antara 50 menit sampai satu jam. BAHAN DAN METODE Bahan Luria-Bertani (LB) mengandung ekstrak ragi 5%, tripton 10%, dan NaCl 10% dalam air. LB padat mengandung ekstrak ragi 5%, tripton 10%, dan NaCl 10%, agar 2% dalam air. Larutan I mengandung glukosa 50 mM, trisHCl pH 8,0 25 mM, EDTA pH 8,0 10 mM. Larutan I disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dan setelah dingin di simpan pada suhu 4°C. Enzim lisozim ditambahkan ke dalam larutan I saat akan digunakan. Laruran II mengandung NaOH 0,2 M, SDS 1% (b/v). Larutan II harus dibuat segar dari stok NaOH 2 M dan SDS 10% (b/v). Larutan IIIA mengandung ammonium asetat 8 M. Larutan III A disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dan setelah dingin di simpan pada suhu ruang. Larutan III B mengandung kalium asetat 5 M 60 mL, asam asetat glasial 11,5 mL, air steril 28,5 mL. Stok larutan enzim lisozim mengandung 20 mg/mL enzim lisozim dalam tris-HCl pH 8,0 10 mM. Regenerasi E. coli Satu koloni E. coli yang mengandung plasmid pICZ A diinokulasi dalam media LB padat yang mengandung zeocin 50 µg/mL dan diinkubasi pada suhu 37°C selama semalam.
Optimasi Metode Lisis Alkali… Dudi Hardianto et al.
Isolasi Plasmid pICZ A Koloni tunggal E. coli diinokulasi dalam media LB cair yang mengandung zeocin 50 µg/mL dan diinkubasi dengan kecepatan putaran 200 rpm dan suhu 37°C selama semalam. Sebanyak 2 mL suspensi E. coli disentrifugasi dengan kecepatan 5000 g selama 5 menit pada suhu ruang. Endapan E. coli diresuspensi dalam 200 µL larutan I yang mengandung lisozim 4 µg/mL dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Kemudian ditambahkan larutan II sebanyak 400 µL dan dicampur dengan cara inversi 4 sampai 6 kali. Lalu ditambahkan larutan III A sebanyak 200 µL dan dicampur secara hatihati dengan menggunakan mikropipet dan diinkubasi pada suhu 4°C selama 5 menit. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit pada suhu ruang. supernatan dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf baru dan ditambah 0,6 volume isopropanol (misalnya jika diperoleh supernatant 1,0 mL maka ditambahkan isopropanol 0,6 mL), dicampur dengan cara inversi sebanyak 4 sampai 6 kali, diinkubasi pada suhu -20°C selama 10 menit, dan disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit pada suhu 4°C. supernatan dibuang. Pelet dicuci dengan etanol 70% 400 µL dan disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 5 menit pada suhu 4°C. Supernatan dibuang dan pelet dikeringkan dengan desikator vakum selama 10 menit. Pelet diresuspensi dalam air bebas DNAse dan RNAse 50 µL, ditambahkan RNAse A 1 µL, dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 5 menit. Untuk modifikasi metode Kotchoni larutan III A diganti dengan larutan III B. Konsentrasi dan Kemurnian Plasmid pICZ A Sampel plasmid sebanyak 2 µL diukur dengan menggunakan nanodrop untuk mengetahui konsentrasi dan kemurnian plasmid. Elektroforesis Gel agarosa 1% dibuat dengan mengunakan agarosa 0,4 gr dicampurkan dengan TAE 1X sebanyak 40 mL, dan dipanaskan menggunakan microwave sampai larut, setelah hangat ditambahkan SYBR Safe sebanyak 1 µL, dicampur sampai homogen, dan dituang ke dalam cetakan dan dibiarkan sampai padat. Sampel sebanyak 5 µL ditambahkan loading dye 6x 1 µL
dihomogenkan, lalu dimasukan ke dalam sumur gel agarosa yang terbentuk. Elektroforesis dilakukan pada 100 volt selama 30 menit. Hasil elektroforesis dilihat dengan UV-transilluminator. HASIL DAN PEMBAHASAN Escherichia coli diregenerasi dalam LB padat yang mengandung zeocin 50 µg/mL untuk mendapatkan E. coli yang segar, muda, dan mencegah terjadinya kontaminasi saat penyimpanan. Koloni tunggal E. coli digunakan untuk mengisolasi plasmid pICZ A. Tiga jenis optimasi yang dilakukan pada tahap penambahan larutan III dan kondisi sentrifugasi. Pada metode Kotchoni pengendapan kontaminan atau pengotor plasmid digunakan ammonium asetat 8 M sedangkan pada penelitian ini digunakan larutan yang mengandung kalium asetat 5 M 60 mL, asam asetat glasial 11,5 mL, air steril 28,5 mL sehingga diharapkan pengotor lebih mudah mengendap. Kondisi sentrifugasi yang dioptimasi pada tahap pemisahan pengotor yang tidak larut dengan plasmid, pada metode Kotchoni disentrifugasi dengan kecepatan putaran 10000 g selama 3 menit, sedangkan pada penelitian ini disentrifugasi dengan kecepatan putaran 13000 g selama 5 menit. Hal ini dilakukan agar semua pengotor mengendap sempurna. Optimasi yang ketiga pada tahap pengendapan plasmid, untuk metode Kotchoni plasmid diendapkan dengan penambahan 0,6 volume isopropanol dan diinkubasi pada suhu ruang, sedangkan metode modifikasi plasmid diendapkan dengan penambahan 0,6 volume isopropanol dan diinkubasi pada suhu -20°C selama 10 menit sehingga
Gambar 3. Regenerasi E .coli yang mengandung plasmid
109
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 4. Elektroforegram plasmid. Sumuran 1-2 hasil isolasi plasmid pICZ A dengan metode Kotchoni, sumuran 5-6 hasil isolasi plasmid pICZ A dengan metode modifikasi, sumuran 7-8 hasil isolasi plasmid pET-21d(+) dengan kit, Marker 1 kb.
diharapkan jumlah plasmid yang mengendap lebih banyak karena suhu dingin akan menyebabkan berkurangnya kelarutan plasmid. Salah satu faktor keberhasilan proses kloning adalah konsentrasi dan kemurnian plasmid yang diperoleh dari hasil isolasi. Penentuan konsentrasi plasmid diukur pada panjang gelombang 260 nm sedangkan kemurnian plasmid ditentukan dengan membandingkan serapan pada panjang gelombang 260/280 nm. DNA murni mempunyai nilai antara 1,8 sampai 2,0. Untuk penentuan konsentrasi dan kemurnian plasmid pICZ A digunakan Nanodrop. Dari hasil penentuan konsentrasi plasmid pICZ A diperoleh antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL, sedangkan metode Kotchoni menghasikan plasmid sebanyak 2,0 sampai 2,8 µg/µL. Kemurnian plasmid pICZA adalah 1,99 (memenuhi persyaratan). Modifikasi metode Kotchoni menghasilkan jumlah plasmid lebih banyak dibandingkan metode Kotchoni. Hasil visualisasi plasmid pICZ A menunjukkan bahwa plasmid yang diperoleh dengan modifikasi metode Kotchoni mempunyai pita yang lebih tebal dibandingkan dengan metode Kotchoni (Gambar 4.) Modifikasi Kotchoni mempunyai lebih tebal karena mempunyai konsentrasi plasmid lebih besar (antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL). KESIMPULAN Modifikasi metode Kotchoni menghasilkan plasmid pICZ A antara 3,3 sampai 3,8 µg/µL dan kemurniannya 1,99.
110
Birnboim HC & J Doli (1979) A rapid alkaline extraction procedure for screening recombinant plasmid DNA. Nucleic Acids Res 7(6):1513-1523. Brown TA (2010) Gene Cloning and DNA Analysis: An Introduction, ed. Ke-6. Graphicraft Limited. Hongkong.13-17. Dederich DA, G Okwuonu, T Garner, A Denn, A Sutton, M Escotto, A Martindale, O Delgado, DM Muzny, RA Gibbs, ML Metzker (2002) Glass bead purification of plasmid template DNA for high throughput sequencing of mammalian genomes. Nucleic Acids Res 30(7):1-5. Easyselect Pichia Expression Kit for Expression of Recombinant Protein Using pPICZ and pPICZα in Pichia https://tools.thermofisher.com/content/sfs/m anuals/easyselect_man.pdf, diakses 20 Oktober 2015. Kiran C, P Sreekanth, D Ponnala, KR Paithankar (2010) A quick and economical method to isolate plasmid DNA for large scale sequencing. Int J Appl Biol Technol 1(3):12361238. Kotchoni SO, EW Gachomo, E Betiku, OO Shonukan (2003) A home made kit for plasmid DNA mini-preparation. Afr J Biotechnol 2(4):88-90. Palomares LA, ST Mondaca, OT Ramirez (2004) Production of recombinant proteins: challenges and solutions. In: Methods in Molecular Biology: Recombinant Gene Expression Reviews and Protocols, vol 267. Balbas P & A Lorence (ed). Humana Press Inc., New Jersey. Perez-ortin JE, D Ramon, S Ferrer, V Tordera (1986) Rapid plasmid isolation, A laboratory experiment. Biochem Edu 14(3):142-144. Sambrook J & DW Russell (2001) Molecular Cloning, vol. 1.Cold Spring Harbor Laboratory Press., New York. Sato M, E Akasaka, I Saitoh, M Ohtsuka, S nakamura, T Sukarai, S Watanabe (2012) A simplified protocol for the semi-large scale recovery of plasmids from Escherichia coli grown on agar plates. J Biomed Sci Eng 5(7):406-408. Yadav P, A Yadav, V Garg, TK Datta, SL Goswami, S De (2011) A novel method of plasmid isolation using laundry detergent. Indi J Exp Biol 49(7): 558-560.
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
KAJIAN ELONGASI PADA TANAMAN IN VITRO GAHARU (Aquilaria beccariana van Tiegh) Elongation Study on In Vitro Agarwood (Aquilaria beccariana van Tiegh) 1,
2
3
Yusuf Sigit Ahmad Fauzan *, Edi Sandra , Daru Mulyono Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Fakultas Kehutanan, IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor 3 Laboratorium Teknologi Produksi Pertanian BPPT, Gedung 612 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected] 1
ABSTRACT The population density of natural agarwood (Aquilaria beccariana) in Indonesia decreased to less than one tree per hectare. Efforts have been carried out on ex situ conservation of agarwood despite facing many obstacles. In vitro propagation is one alternative to speed up the recovery of natural agarwood populations. The purpose of this study was to obtain optimal elongation media for in vitro culture with addition of auxin and cytokinin, namely IBA, BAP and kinetin. The results showed that the best auxin-cytokinin combination was IBA 0.1 mg/L and BAP 0.05 mg/L. This combination increased the height and number of segments of A. beccariana with an average height of 1.64 cm and average number of sections of 6.40. It is suggested that this combination of IBA and BAP was the most effective compared to the other treatments. In addition, the combination of IBA 0 mg/L and BAP 0.03 mg/L gave rise to the best response to increase the number of shoots with an average of 1.91 shoots. Keywords: Aquilaria beccariana, shoot, elongation, auxin, cytokinin ABSTRAK Kepadatan populasi gaharu (Aquilaria beccariana) alam di Indonesia kurang dari satu pohon per hektar. Upaya pelestarian gaharu ex situ telah banyak dilakukan tetapi masih banyak kendala. Perbanyakan gaharu in vitro merupakan salah satu cara alternatif untuk mempercepat pemulihan populasi gaharu alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh media elongasi yang optimal pada kultur in vitro gaharu dengan penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Pada penelitian ini digunakan auksin IBA, serta sitokinin BAP dan Kinetin. Hasil penelitian elongasi diperoleh kombinasi auksin dan sitokinin terbaik yaitu, IBA 0,1 mg/L dan BAP 0,05 mg/L. Kombinasi ini meningkatkan tinggi dan jumlah ruas Aquilaria beccariana dengan tinggi rata-rata sebesar 1,64 cm dan jumlah ruas rata-rata sebesar 6,40 ruas. Pada kombinasi dan taraf ini diduga mekanisme kerja IBA dan BAP paling efektif dibanding perlakuan yang lain. Sedangkan kombinasi IBA 0 mg/L dan BAP 0,03 mg/L memberikan respon terbaik terhadap peningkatan jumlah tunas dengan rata-rata sebanyak 1,91 tunas. Kata Kunci: Aquilaria beccariana, tunas, elongasi, auksin, sitokinin
111
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
PENDAHULUAN Sejarah perdagangan gaharu telah dimulai sejak abad 3 M, (Soehartono & Mardiastuti 2003). Cina secara teratur telah mengimpor gaharu dari Semenanjung Malaya dan wilayah lainnya. India dan negara-negara tetangganya juga telah lama dikenal sebagai negara-negara produsen gaharu. Perdagangan gaharu di Indonesia dimulai sejak abad ke-5 kemudian perdagangan gaharu berlanjut pada masa pemerintahan Hindia Belanda (abad 18permulaan abad 19) dan hingga sekarang. Permintaan komersial dunia terhadap gaharu dari Indonesia mulai meningkat pada tahun 1970-an. Perdagangan domestik yang tercatat selama tahun 1986 sampai dengan tahun 1996 menunjukkan rata-rata ekspor tahunan resin gaharu kurang lebih sebesar 174 ton per-tahun dengan nilai US $ 1.401.900 sampai 2.014.200 sedangkan rata-rata ekspor kayu gaharu mencapai 147 ton dengan nilai US $ 329.200 sampai 488.500, (BPS 1981-1996). Perkembangan produksi dan ekspor perdagangan gaharu di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan mulai dari tahun 1918 hingga 2000 sebesar 456 ton dengan nilai produksi US $ 2.200.000. Pada tahun 2000-2002 mengalami penurunan sebesar 30 ton dengan nilai produksi US $600.000, (BPS 2000 dalam Asgarin 2002). Meningkatnya perdagangan gaharu telah mengakibatkan populasi Aquilaria sp di Indonesia mendekati kepunahan, (Olfield et al.1998 dalam Soehartono & Mardiastuti 2003). Kelangkaan pasokan gaharu alam lebih disebabkan tingginya permintaan pasar terhadap gaharu. Hal ini disebabkan dalam perburuan gaharu penduduk pendatang cenderung menebang habis semua pohon tanpa mengetahui karakter pohon yang terinfeksi gaharu, sehingga peluang kelangkaan Aquilaria sp semakin besar. La Frankie, (1994) dalam Soehartono & Mardiastuti (2003), menyatakan bahwa penyebaran Aquilaria sp sangat terpencar dan kepadatannya sangat rendah < 1 pohon per hektar. Pada dataran rendah di Malaysia kepadatan genus Aquilaria sp hanya sekitar 2.5 pohon per hektar. Sehingga pada tahun 2004 atas inisiatif Pemerintah Indonesia, semua spesies di dalam genus Aquilaria dan
112
Gyrinops dimasukkan ke Apendiks II dari Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies-spesies Langka (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) (CITES 2005) Sejak saat itu pohon gaharu oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dimasukkan ke dalam ”Daftar merah spesies-spesies langka” (IUCN 2006). Akibat merosotnya populasi gaharu di alam, diperlukan upaya khusus untuk pelestariannya. Salah satunya adalah dengan cara penangkaran di luar habitat aslinya (ex situ) melalui penerapan bioteknologi kultur jaringan sehingga diharapkan populasi jenis Aquilaria sp dan Gyrinops sp dapat segera terpulihkan. Perbanyakan gaharu dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Tetapi perbanyakan secara generatif kurang efektif karena tergantung pada musim bunga dan buah. Disamping itu persentase perkecambahan biji juga sangat rendah (46%) (Asgarin 2002). Penerapan bioteknologi kultur jaringan merupakan usaha alternatif, selain dapat mempercepat perbanyakan diharapkan kualitas bibit gaharu yang dihasilkan menjadi lebih baik. Teknik kultur jaringan ini selain bertujuan perbanyakan, diharapkan dapat mendukung upaya konservasi Aquilaria beccariana khususnya serta Aquilaria sp pada umumnya sehingga nantinya dapat mendukung upaya konservasi in situ melalui pengembalian spesies ini kepada habitat aslinya. Multiplikasi horisontal pada kultur in vitro gaharu telah berhasil dilakukan. Tetapi morfologi shootlet yang diperoleh memiliki beberapa kekurangan salah satunya adalah jarak antar ruas shootlet sangat pendek dan memiliki ukuran yang kecil. Sehingga perlu dilakukan multiplikasi vertikal (elongasi) untuk memperbaiki performannya. Penambahan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dengan konsentrasi tertentu diduga dapat meningkatkan elongasi tunas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode elongasi terbaik dengan menggunakan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin (IBA (indole-3-butyric acid), kinetin, dan BAP (6benzylaminopurine)) pada media dasar Murashige & Skoog (1962).
Kajian Elongasi pada Tanaman... Yusuf Sigit Ahmad Fauzan et al.
Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan diperoleh formula elongasi yang tepat dan optimal serta dapat memberikan informasi bagi perbanyakan spesies Aquilaria sehingga kelestariannya dapat terjaga. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Agro dan Bioteknologi, BPPT di Ciampea, Bogor-Jawa Barat. Alat-alat yang digunakan meliputi: laminar air flow, alat tanam berupa pinset, pisau scalpel, gunting tanaman serta cawan petri. Sedangkan bahanbahan yang digunakan secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga macam: a) Bahan media kultur jaringan yaitu media dasar Murashige & Skoog (MS), gula, agar-agar, zat pengatur tumbuh kinetin, BAP (Benzil Amino Purin) dan IBA (Indole Butiric Acid). b) Bahan tanaman yaitu shootlet tanaman A. beccariana masing-masing dua ruas yang merupakan hasil multiplikasi tunas. c) Bahan Disinfektan yaitu fungisida (agrept), bakterisida (benlate), betadin, alkohol 70%, Clorok dan deterjen atau tween. Penelitian ini dilakukan di dalam laboratorium dengan tahapan sebagai berikut: Pelaksanaan inisiasi dilakukan dengan menanam eksplan hasil multiplikasi ke dalam media elongasi. Eksplan yang digunakan pada penelitian ini memiliki ukuran 1 cm atau 2 ruas. Penaman dalam media elongasi dilakukan dengan cara ditambahkan beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin (Tabel 1). Pengamatan dan pengambilan data dilakukan setiap minggu selama dua bulan. Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi parameter kuantitatif dan parameter kualitatif. Adapun parameter kuantitatif meliputi: tinggi planlet, jumlah ruas, jumlah tunas baru. Sedangkan parameter kualitatif diperoleh dengan mendeskripsikan setiap kondisi parameter kualitatif yang meliputi: warna eksplan dan kondisi daun (rontok/tidak), planlet (berakar/tidak), berkalus/tidak, kondisi ruas (panjang/pendek). Rancangan percobaan yang digunakan dalam analisis data adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 4 x 8 dengan jumlah 32 perlakuan masing-masing ulangan sebanyak 10 kali. Total planlet yang diamati adalah sebanyak 320 planlet. Kombinasi perlakuan disajikan Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan Kombinasi Aksin (A): IBA dan Sitokinin (S): Kinetin, dan BAP
IBA (mg/L) (A) Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh 0.00 (A1) 0.10 (A2) 0.30 (A3) 0.50 (A4) 0.00 (S1) BAP (mg/L) 0.01 (S2) 0.03 (S3) (S) 0.05 (S4)
A1S1
A2S1
A3S1
A4S1
A1S2 A1S3 A1S4
A2S2 A2S3 A2S4
A3S2 A3S3 A3S4
A4S2 A4S3 A4S4
0.00 (S5) Kinetin 0.01 (S6) (mg/L) 0.03 (S7) (S) 0.05 (S8)
A1S5
A2S5
A3S5
A4S5
A1S6 A1S7 A1S8
A2S6 A2S7 A2S8
A3S6 A3S7 A3S8
A4S6 A4S7 A4S8
Rancangan Acak Lengkap (RAL), Gasperz (1991) Yijk = + Ai + Sj + (AS)ij + ijk Keterangan: i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3, ..., 8 Yijk = Nilai respon tanaman terhadap perlakuan auksin ke-i, sitokinin ke-j dan ulangan ke-k. = Nilai tengah populasi. Ai = Pengaruh perlakuan auksin ke-i. Sj = Pengaruh perlakuan sitokinin ke-j. (AS)ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan auksin ke-i dan sitokinin ke-j. ijk = Nilai galat percobaan pada perlakuan auksin ke-i, sitokinin ke-j, dan ulangan ke-k. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Daftar Sidik Ragam. Hipotesis dalam uji P. Value: Ho
Hi
= Perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertambahan tinggi, jumlah buku, dan jumlah tunas. = Perlakuan berpengaruh terhadap pertambahan tinggi, jumlah buku, dan jumlah tunas.
Pengambilan keputusan uji P. Hitung P. Hitung < α maka tolak Ho P. Hitung > α maka terima Ho Jika penelitian ini memberikan hasil signifikan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Rang Test (DMRT) untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan yang diberikan.
113
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis sidik ragam, secara umum kombinasi auksin dan sitokinin (IBA, BAP, dan kinetin) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap parameter peubah tinggi dan jumlah ruas tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah tunas pada minggu ke-8. Uji lanjut Duncan’s pada Tabel 2, 3, dan 4 menunjukkan kelompok kombinasi auksin dan sitokinin IBA + BAP lebih baik dibandingkan kombinasi IBA + kinetin dalam berbagai taraf yang sama terhadap parameter pertambahan tinggi, pertambahan jumlah ruas, serta pertambahan jumlah tunas. Pertambahan Tinggi Tanaman Uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada Tabel 2, menunjukkan perbedaan pengaruh antar perlakuan. Penggunaan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA, BAP, dan kinetin memberikan respon terhadap tinggi A. beccariana pada 8 minggu setelah tanam. Interaksi antara IBA + BAP berbeda nyata dengan IBA + kinetin. IBA + BAP memberikan nilai ratarata lebih tinggi dibanding IBA + Kinetin. Pertambahan tinggi terbaik pada kombinasi IBA + BAP terdapat dalam media dengan kombinasi IBA0,1 mg/L + BAP 0,05 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar 1,70 cm dan terendah pada IBA 0,0 mg/L + BAP 0,00 mg/L dengan nilai rata-rata 0,26 cm. Sedangkan pertambahan tertinggi pada kombinasi IBA + Kinetin yaitu pada IBA 0,3 mg/L + Kinetin 0,03 mg/L yaitu sebesar 0,59 cm dan terkecil terdapat dalam media IBA 0,5 mg/L + kinetin 0,03 mg/L dengan nilai 0,12 cm. Berdasakan penelitian ini diketahui pula pengaruh tunggal dari masing-masing zat pengatur tumbuh IBA, BAP dan kinetin. Semakin bertambahnya konsentrasi IBA di dalam media (BAP 0 mg/L atau kinetin 0 mg/L) maka pertambahan tinggi tanaman cenderung meningkat. Demikian juga halnya dengan pengaruh BAP tunggal (IBA 0 mg/L). Semakin bertambahnya konsentrasi BAP, maka pertambahan tinggi tunas juga meningkat hingga pada konsentrasi 0.03 mg/L. Pemberian kinetin tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertambahan tinggi tunas. Seba-
114
Tabel
2.
Hasil Uji Duncan Terhadap Pengaruh Perlakuan Kombinasi Auksin (A) dan Sitokinin (S) pada Pertambahan Tinggi A. beccariana pada 8 MST
Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh BAP (mg/L) (S)
Kinetin (mg/L) (S)
0.00 (S1) 0.01 (S2) 0.03 (S3) 0.05 (S4)
IBA (mg/L) (A) 0.00 (A1) 0,26hijk
0.10 (A2) 0.30 (A3) 0.50 (A4)
0,80cdefg 1,18bc 1,16bc
0,43fghijk 1,47ab 1,44ab 1,70a
0,62efghi 0,88cde 1,09bcd 1,50ab
0,85cdef 1,64a 0,80cdefg 1,22bc
0.00 (S5)
0,56efghijk
0,16jk
0,28hijk
0,68cdefg
0.01 (S6)
0,36ghijk
0,39ghijk
0,43fghijk
0,22ijk
0.03 (S7)
0,27hijk
0,34hijk
0,59efghij
0,12ijk
0.05 (S8)
0,31hijk
0,37ghijk
0,36ghijk
0,33hijk
Keterangan: Angka dalam kelompok pada kolom dan baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada tingkat kepercayaan 5,00%
liknya dengan semakin meningkatnya konsentrasi kinetin, pertam-bahan tinggi tanaman semakin menurun. Elongasi eksplan gaharu (A. beccariana) dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari bahan tanaman. Faktor internal dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan tumbuh seperti suhu, cahaya, kelembaban serta zat pengatur tumbuh. Pada bagian ini akan dibahas pengaruh/peranan zat pengatur tumbuh terhadap kemampuan elongasi A. beccariana in vitro. Menurut Gunawan (1992), salah satu fungsi auksin (IBA) adalah dapat memperpanjang sel-sel tanaman. Auksin berperan sebagai pengembangan sel (perpanjangan sel). Media dengan penambahan IBA pada taraf 0 mg/L, 0,1 mg/L, 0,3 mg/L, dan 0,5 mg/L pada kombinasi BAP maupun kinetin pada taraf 0,00 mg/L memperlihatkan pertambahan tinggi maupun jumlah ruas yang selalu signifikan. Abidin (1985), menambahkan bahwa pada konsentrasi auksin tertentu dapat menaikkan tekanan osmotik, peningkatan permeabilitas sel terhadap air, pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel. Peranan auksin mendorong perpanjangan sel (sel elongation) dengan cara mempengaruhi metabolisme dinding sel. Efeknya adalah
Kajian Elongasi pada Tanaman... Yusuf Sigit Ahmad Fauzan et al.
banyak bahan dinding sel primer yang dihasilkan dan didepositkan pada ke dua ujung sel, kemudian struktural sel diregangkan sehingga dimungkinkan deposit dinding sel yang lebih banyak. Dengan demikian ujung tunas terjadi perpanjangan sel. Lebih lanjut Gunawan (1992), menyatakan pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman yaitu dengan cara menginduksi sekresi H+ ke luar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan susunan matrix dinding sel merenggang (wall lossening), akibatnya air menjadi masuk ke dalam sel, sehingga sel membesar. Pada perlakuan media dengan kombinasi IBA 0 mg/L + BAP pada taraf 0,01 dan 0,03 mampu menghasilkan tinggi planlet yang signifikan. Sedangkan peningkatan konsentrasi BAP 0,05 mg/L cenderung menurunkan tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Lan-juan et al (2005), media MS dengan penambahan BA pada konsentrasi yang tinggi (2,6-5,2 µmol/l) dapat menghasilkan tunas Aquilaria agallocha yang transparan (seperti vitrous) dan menghambat elongasi tunas. Kombinasi IBA 0 mg/L + kinetin 0,01, 0,03, dan 0,05 mg/L pada hasil uji Duncan menunjukkan rata-rata tinggi yang semakin menurun dibanding perlakuan kontrol. Penambahan konsentrasi IBA 0,3 dan 0,5 mg/L baik pada kombinasi BAP maupun kinetin pada taraf 0,01, 0,03, 0,05 mg/L tidak menyebabkan penambahan tinggi. Hal ini diduga bahwa penambahan taraf auksin (IBA) dapat mempengaruhi pertambahan tinggi yaitu dampak kelebihan jumlah auksin akan ditranslokasikan ke bagian pangkal untuk pembentukan kalus dan akar akibatnya pertambahan tinggi terhambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weier et al. (1974) dalam Abidin (1985) pada penelitiannya terhadap tanaman tembakau, bahwa dengan penambahan konsentrasi auksin akan terbentuk kalus/akar pada bagian ujung maupun pangkal yang terinisiasi (Gambar 1). Berdasarkan Tabel 2 dan 3, penambahan konsentrasi IBA 0,1 mg/L + BAP 0,05 mg/L merupakan kombinasi terbaik untuk elongasi. Pada kombinasi dan taraf ini diduga mekanisme kerja IBA dan BAP paling efektif dibanding perlakuan yang lain. Sedangkan perlakuan kombinasi
IBA dan kinetin hanya menghasilkan pertambahan tinggi rata-rata yang lebih rendah. Hal ini diduga mekanisme kerja IBA dan kinetin kurang efektif terhadap pertambahan tinggi. Santosa (1993) dalam Maulida (2004) menyatakan bahwa BAP lebih cenderung merangsang multiplikasi tunas dibanding kinetin. Sedangkan kinetin lebih cenderung mempercepat induksi tunas. Selain itu kesesuaian pemakaian zat pengatur tumbuh juga merupakan faktor pembatas bagi spesies tanaman, (Wattimena 1992). Pertambahan Jumlah Ruas Uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada Tabel 3 menunjukkan perbedaan pengaruh antar perlakuan. Penggunaan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA, BAP, dan kinetin memberikan respon terhadap jumlah ruas A. beccariana pada 8 minggu setelah tanam. Interaksi antara IBA + BAP berbeda nyata dengan IBA + kinetin. Pertambahan jumlah ruas terbaik pada kombinasi IBA + BAP terdapat dalam media dengan kombinasi IBA 0,3 mg/L + BAP 0,05 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar 6,50 ruas dan terendah pada IBA 0,0 mg/L + BAP 0,00 mg/L dengan nilai rata-rata 0,00 ruas. Sedangkan pertambahan jumlah ruas terbanyak pada kombinasi IBA + Kinetin yaitu pada IBA 0,1 mg/L + Kinetin 0,01 mg/L yaitu sebesar 1,50 ruas dan terkecil terdapat dalam media IBA 0,5 mg/L + kinetin 0,03 mg/L dengan nilai 0,00 ruas. Dari penelitian ini juga diketahui pengaruh tunggal dari masing-masing zat pengatur tumbuh IBA, BAP dan kinetin. Dengan semakin bertambahnya konsentrasi IBA di dalam media (BAP 0 mg/L atau kinetin 0 mg/L) maka pertambahan jumlah ruas tanaman cenderung meningkat. Demikian juga halnya dengan pengaruh BAP tunggal (IBA 0 mg/L). Semakin bertambahnya konsentrasi BAP, maka pertambahan jumlah ruas juga meningkat hingga pada konsentrasi 0,05 mg/L. Sebaliknya, kinetin tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertambahan jumlah ruas. Tetapi dengan semakin meningkatnya konsentrasi kinetin, pertambahan jumlah ruas tanaman semakin menurun. Pada perlakuan media dengan kombinasi IBA 0 mg/L + BAP pada taraf 0,01 dan 0,03 mampu menghasilkan jumlah ruas
115
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Tabel
3.
Hasil uji Duncan terhadap pengaruh perlakuan kombinasi auksin (a) dan sitokinin (s) pada pertambahan jumlah ruas A. beccariana pada 8 MST
Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh BAP (mg/L) (S)
Kinetin (mg/L) (S)
IBA (mg/L) (A) 0.00 (A1) 0.10 (A2) 0.30 (A3)
0.50 (A4)
0.00 (S1)
0,00i
0,80fghi
2,30defg
2,00defgh
0.01 (S2)
3,33bcd
5,55a
3,22bcde
5,40a
0.03 (S3)
4,86ab
5,86a
4,73abc
3,09cde
0.05 (S4)
4,90ab
6,40a
6,50a
5,25a
0.00 (S5)
1,00fghi
0,00i
1,15fghi
0.01 (S6)
0,60ghi
1,50efghi
0.03 (S7)
0,00i
0,40hi
0.05 (S8)
0,20hi
0,30hi
Tabel 4. Hasil uji Duncan terhadap pengaruh perlakuan kombinasi auksin (a) dan sitokinin (s) pada pertambahan jumlah tunas baru A. beccariana pada 8 MST Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh
IBA (mg/L) (A) 0.00 (A1) 0.10 (A2) 0.30 (A3)
0.50 (A4)
0.00 (S1) BAP 0.01 (S2) (mg/L) 0.03 (S3) (S) 0.05 (S4)
1,00cde
1,00cde
1,00cde
1,00cde
1,67a
1,27c
1,33bc
1,11cde
1,91a
1,64ab
1,64ab
1,22cd
1,80a
1,90a
1,80a
1,60ab
2,60def
0.00 (S5)
1,10cde
1,00cde
1,00cde
1,00cde
0,70ghi
0,40hi
1,00cde
1,00cde
0,80e
0,00i
1,00cde
1,00cde
1,00cde
0,80e
1,30fghi
0,40hi
Kinetin 0.01 (S6) (mg/L) 0.03 (S7) (S) 0.05 (S8)
0,90de
1,50efghi
1,00cde
1,00cde
1,00cde
0,90de
Keterangan: Angka dalam kelompok pada kolom dan baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada tingkat kepercayaan 5.00%
Keterangan: Angka dalam kelompok pada kolom dan baris yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada tingkat kepercayaan 5.00%
yang signifikan. Sedangkan peningkatan konsentrasi BAP 0,05 mg/L cenderung menurunkan jumlah ruas planlet yang dihasilkan. Kombinasi IBA 0 mg/L + kinetin 0,01, 0,03, dan 0,05 mg/L pada hasil uji Duncan juga menunjukkan rata-rata jumlah ruas yang semakin menurun dibanding perlakuan kontrol. Penambahan konsentrasi IBA 0,3 dan 0,5 mg/L baik pada kombinasi BAP maupun kinetin pada taraf 0,01, 0,03, 0,05 mg/L tidak menyebabkan penambahan jumlah ruas planlet. Hal ini diduga bahwa penambahan taraf auksin (IBA) dapat mempengaruhi pertambahan jumlah ruas yaitu dampak kelebihan jumlah auksin akan ditranslokasikan ke bagian pangkal untuk pembentukan kalus dan akar akibatnya pertambahan jumlah ruas terhambat. Pertambahan Jumlah Tunas Baru Uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada tabel 4 menunjukkan perbedaan pengaruh antar perlakuan. Penggunaan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA, BAP, dan kinetin memberikan respon terhadap pertambahan jumlah tunas A. beccariana pada 8 minggu setelah tanam (Tabel 4). Interaksi antara IBA + BAP berbeda nyata dengan IBA + kinetin. Pertambahan jumlah tunas terbaik pada kombinasi IBA + BAP terdapat dalam media dengan kombinasi IBA 0,0 mg/L + BAP 0,03 mg/L dengan nilai rata-rata sebesar 1,91 tunas dan terendah pada IBA 0,0 mg/L + BAP 0,00 mg/L dengan nilai rata-rata 1,00
tunas. Sedangkan pada perlakuan kombinasi IBA dan Kinetin tidak terjadi pertambahan jumlah tunas. Dari penelitian ini diketahui pengaruh tunggal dari masing-masing zat pengatur tumbuh IBA, BAP dan kinetin. Dengan semakin bertambahnya konsentrasi IBA di dalam media (BAP 0 mg/L atau kinetin 0 mg/L) maka pertambahan jumlah tunas tanaman cenderung meningkat. Demikian juga halnya dengan pengaruh BAP tunggal (IBA 0 mg/L). Semakin bertambahnya konsentrasi BAP, maka pertambahan jumlah tunas juga meningkat hingga pada konsentrasi 0,03 mg/L. Sebaliknya, kinetin tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertambahan jumlah tunas. Semakin meningkatnya konsentrasi kinetin tidak menambah jumlah tunas yang dihasilkan. Disamping itu pada perlakuan tersebut tunas yang dihasilkan tidak membentuk tunas yang normal/transparan (vitrous). Pada penelitian ini pada umumnya terjadi pembentukan kalus. Kalus yang terbentuk berwarna bening kehijauan sampai hijau, bertekstur padat dan kompak. Kalus terbentuk pada pengamatan minggu ke-3 dan selalu mengalami pertambahan besar tetapi tidak mempengaruhi bentuk tunas. Kalus terbentuk pada bagian pangkal ruas yang kontak langsung dengan media. Kalus terbentuk dan membesar seiring dengan peningkatan konsentrasi IBA yang ditambahkan. Pada konsentrasi IBA 0,3-0,5
116
Kajian Elongasi pada Tanaman... Yusuf Sigit Ahmad Fauzan et al.
Gambar 1. Kalus terbentuk pada shootlet
mg/L kalus yang terbentuk lebih besar dibanding dengan kontrol. Kombinasi IBA + BAP tidak mengalami pembentukan akar pada semua taraf perlakuan, serta pada kombinasi ini warna planlet yang dihasilkan terlihat hijau tua. Media dengan kombinasi IBA 0,5 mg/L + kinetin 0,05 mg/L akar mulai terbentuk pada minggu ke-4. Akar yang terbentuk merupakan akar adventif yang berjumlah satu sampai dua akar dengan warna putih kecoklatan. Penambahan taraf konsentrasi IBA + BAP/kinetin tidak mampu memperbanyak jumlah tunas yang dihasilkan. Berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Rosdayanti, (personal communication 2007) penelitian dengan menggunakan kombinasi sitokinin (BAP dan kinetin) pada taraf 1 mg/L dan 0,5 mg/L mampu menghasilkan 4-5 tunas adventif pada Aquilaria malaccensis. Hal ini diduga bahwa kombinasi auksin dan sitokinin efektif dalam multiplikasi vertikal (elongasi) sedangkan kombinasi sitokinin mampu menghasilkan multiplikasi horisontal. Kombinasi IBA + BAP berpengaruh pada pembentukan kalus pada semua taraf perlakuan, begitu juga pada kontrol terlihat adanya pembentukan kalus pada bagian pangkal. Pembentukan kalus yang terjadi diduga akibat adanya auksin endogenous (IAA) yang terbentuk secara alami pada bagian meristem. Kombinasi IBA + kinetin berpengaruh pada pembentukan kalus pada pengamatan minggu ke-3. Media dengan penambahan IBA + kinetin pada semua taraf mempengaruhi pembentukan kalus.
Gambar 2. Akar terbentuk pada minggu ke-4
Pemakaian IBA dan kinetin pada konsentrasi yang tinggi yaitu IBA 0,3 dan 0,5 mg/L + kinetin 0,01, 0,03, dan 0,05 mg/L cenderung terbentuk planlet yang tidak sempurna. Pada minggu ke-3 planlet mulai terbentuk kalus yang membesar kemudian secara perlahan akan menutupi seluruh bagian planlet sehingga planlet tidak mengalami pertambahan tinggi, tidak beruas, serta tidak mengalami pertambahan tunas baru pada ketiak daun. Planlet yang terbentuk menjadi kerdil dan berwarna kuning kehijauan. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa, a). Penambahan zat pengatur tumbuh auksin (IBA) dan sitokinin (BAP/kinetin) berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi dan jumlah ruas, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas planlet A. beccariana. b). Kombinasi auksin IBA 0,1 mg/L dan sitokinin BAP 0,05 mg/L memberikan hasil yang paling optimal dalam peningkatan tinggi dan jumlah ruas A. beccariana pada minggu ke-8 dengan pertambahan tinggi rata-rata hasil uji Duncan sebesar 1,70 cm dan jumlah ruas rata-rata sebesar 6,40 ruas. c). Kombinasi auksin IBA 0 mg/L dan sitokinin BAP 0,03 mg/L memberikan hasil yang paling optimal dibanding perlakuan yang lain dalam peningkatan jumlah tunas A. beccariana pada minggu ke-8 dengan rata-rata hasil uji Duncan’s sebesar 1,91 tunas.
117
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z (1985) Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Penerbit Angkasa. Asgarin (2005) Budidaya, Teknik Inokulasi, Cara Pemanenan, dan Induksi Gaharu. makalah, Pelatihan Budidaya dan Pengolahan Gaharu. SEAMEO-BIOTROP, Bogor BPS (1981–1996) Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia (Indonesian Foreign Trade Statistics) Vol. I & II. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. BSN (2004) Standar Nasional Indonesia Gaharu. http//www.dephut.go.id/INFORMAS I/SNI/gaharu.HTM. Diakses 30 Februari 2016. CITES (2005) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna: Resolution of the conference of the attendant parties. 13th meeting, 2-14th October, 2004; Bangkok, Thailand. Gasperz & Vincent (1991) Metode Perancangan Percobaan untuk IlmuIlmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik dan Biologi. Bandung: Penerbit Armico. Gunawan LW (1992) Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. IUCN (2015) World Conservation Monitoring Centre, Aquilaria beccariana. The IUCN Red
118
List of Threatened Species Threatened Species 1998: e.T38067A10095644.. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.199 8.RLTS.T38067A10095644.en. Diakses Februari 2015. Lan-Juan Hu, M He, S Qi (2005) Rapid In Vitro Propagation of Medicinally Important Aquilaria agallocha. J Zhejiang Univ Sci B. 2005 Aug; 6(8): 849-852. Maulida (2005) Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh IBA dan BAP pada Perbanyakan Tanaman Jarak Kaliki (Ricinus communis L.) Varietas Bangkok secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Departemen Biologi. Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor. Murashige T & F Skoog (1962) A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15(3):473-497. Soehartono T & A Mardiastuti (2003) Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. terjemahan dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Japan International Cooperation Agency-Jakarta. http://www.worldcat.org/title/pelaksan aan-konvensi-cites-di indonesia/oclc/225522402. Diakses Februari 2016. Wattimena GA (1992) Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
INDUCING THE IN VITRO ROOTING OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) USING AUXIN Induksi Perakaran In Vitro pada Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) dengan Auksin Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) memiliki potensi yang besar sebagai sumber pangan, energi dan bahan baku industri. Kultur jaringan tanaman sagu telah dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dalam rangka perbanyakan genotipe atau aksesi unggul secara massal. Namun demikian, kendala utama yang dihadapi pada perbanyakan in vitro tanaman sagu adalah sulitnya pembentukan akar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi hormon yang tepat dalam menginduksi perakaran tanaman sagu in vitro. Tunas anakan muda (15-20 cm) yang diperoleh dari daerah Rangkasbitung, Provinsi Banten digunakan sebagai eksplan. Dalam penelitian ini perakaran in vitro diinduksi dengan berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi hormon auksin, konsentrasi medium dan jenis agar. Sebagai medium dasar digunakan medium Gamborg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi IBA dan NAA yang terbaik adalah pada taraf 35 ppm. Selanjutnya Gelrite memberikan respon yang positif dengan munculnya perakaran pada pangkal eksplan. Kata Kunci: Induksi perakaran, jenis agar, kultur in vitro, auksin, sagu ABSTRACT Sago palm (Metroxylon sagu Rottb) has huge potential as food, energy and industrial bioresources. In vitro culture of sago palm was performed in Biotech Center, BPPT in order to obtain a large-scale of mass clonal propagation of superior genotypes. Nevertheless, the main obstacle for the sago palm in vitro propagation was rooting formation. The purpose of our study was to obtain the best hormones combination for root induction on sago palm shoots in vitro. The young suckers (15-20 cm) obtained from Rangkasbitung area, Banten Province, were used as explants. In our study, in vitro rooting was induced by different types and concentrations of auxin, medium strength and solidifying agents. The shoots were cultured on Gamborg media. The result showed that the best level of both hormones IBA and NAA for root induction was 35 ppm. Moreover the solidifying agent of Gelrite gave positive response by stimulating root at the basal-end. Keywords: Rooting induction, solidifying agent, in vitro cultures, auxin, sago palm
119
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
INTRODUCTION Sago palm is the original plant from Southeast Asia, and has a huge potential as food and energy bioresources, as well as raw material for various industries. This palm is recognized as the mankind's oldest food plant with the starch contained in the trunk used as a staple food in Southeast Asia. The starch production of sago palm is 3 to 4 times higher than rice, corn or wheat, and 17 times higher than cassava (Karim 2008). In order to support the food security program and to fulfill the national food consumption, it is important to develop the nonrice food crops as an alternative source of carbohydrates and food diversification. The sago palm is one of those prospective plants that have attracted the government attention as the alternative non-rice food crop, with the environmental conserved function. This palm was included in the program to accelarate its development (Direktorat Jenderal Perkebunan 2013). The starch of sago in 100 g contains some nutrition such as: 285 calori, 77 g water, 0.2 g protein, 30 mg calsium, 71 g carbohydrate, 0.7 mg Fe and 0.3 g fiber (Johnson 2010). Natural sago forest is wide spread in large area in Maluku and Papua regions. Bintoro (2003) stated that high quality sago palm, with high starch productivity, can only be found in those regions. Sago palm has many advantages over other starchproducing crops especially for its higher yield, grows along riverbanks and in swampy areas which are not suitable for other crops. Moreover, for the benefit of plantation no regular replanted is needed. Sago palm is propagated generatively by seed and vegetatively by suckers. Since there are little number of seed found in the fruit bunch and low rate of seed germination ability, production of seedling from seed is not recommended. The result of germination study showed that the seed had low germination rate outcome, which was only 3.50 to 6.43% (Limbongan et al. 2005). Moreover, sago palm propagation by seed will resulted in high genotypic variation. Vegetative propagation using suckers is a common practice and preference for sago palm farmers (Wahid 1987; Kanro et al. 2003). This type of propagation can pro-
120
duce seedlings that have the same characteristic as their mother plants. As seedling resources, suckers can be obtained from mature sago tree that going to be cut down for starch harvesting. The suckers that usually used for seedling are already 1 one year-old with ±1 m in height, 3-5 kg in weight and 10 to 15 cm in diameter. Rooting is induced traditionally by immersing the suckers in running water or river for 2-4 weeks, or sometimes more, depending on the roots development (Mashud 1991). In nurseries, the mortality rate of suckers is around 20-40%. In the dry season, higher mortality rates are common (Jong 1995). Trimming of roots to as short as 1 cm did not affect the subsequent survival of the suckers. Trimming of the rhizomes close to the growing point of the sucker was deleterious. When planting of suckers was delayed, treatment with a wide-spectrum fungicide while storing the suckers in cool and moist places was proved can reduce their mortality rate. Nevertheless supplying seedling derived from the old and large suckers is challenging, since the amount of the old suckers is only a few in one mature tree. In contrary, from one mature sago tree, there are a lot of small and young suckers available. The small and young suckers though can only be induced using artificial media via plant tissue culture. Using in vitro culture technology, the small and young suckers can be stimulated to provide vigor and high quality planting materials. To fulfill market demand, and to some extend, to prevent its extinction, sago palm plantation need to be developed by planting elite varieties in other areas. For these reasons a large number of seedlings are needed. Using the in vitro culture and high qualities mother plants, qualified seedling can be generated. In vitro propagation of sago palm has been conducted by many researchers using embryos (Hisajima et al. 1991), through somatic embryogenesis (Tahardi et al. 2002; Riyadi et al. 2005; Sumaryono et al. 2012) and direct shooting (Tajuddin et al. 2015). The problem arises when the in vitro sago shoots are usually weak with few roots or no root at all, and have low survival rates during acclimatization. The roots are important during acclimatization stage, so plantlet can pass this
Inducing the In Vitro Rooting of Sago Palm… Teuku Tajuddin et al.
B. Experiment 2 In the second experiment, two kinds of auxin, NAA and IBA, were applied in combination treatments. The concentration levels of NAA were 1.0, 1.5, 2.0, 2.5 ppm. Whilst IBA, in low concentration, were 0.25 and 0.5 ppm. The third factor was medium strengths, which were normal concentration (full strength) and half of normal concentration (half strength). The basic media used was B5 (Gamborg et al. 1976). The fourth factor was solidifying agent, which was applied when a semi solid medium was required. The solidifying agents used were Agar and Gelrite. The experimental design was illustrated in Table 1. Ascorbic acid and casein hydrolisate were added into the media, but not as treatment factors. The same as previous experiment, the explants used were shoots without any roots. The explants were cut at the basal-end point to increase the surface contact with media. Variables observed were percentage of rooted explants, number of root obtained, length of root, and color of root. The treatment repetition was 3 times.
period with success. The purpose of this study was to obtain the best hormones combination for root induction on sago palm shoots via in vitro culture. MATERIALS AND METHODS Plant Materials Research activity was performed in Plant Tissue Culture Laboratory, Biotech Center BPPT, located in Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten Province. For the purpose of in vitro propagation, samples of sago suckers, as long as 7-10 cm, were taken from Rangkasbitung area, Banten Province. The sucker sterilization was conducted as described by Tajuddin et al. (2014). Rooting Induction A. Experiment 1 As explant resources, the sago palm shoots were prepared by in vitro culture as performed by Tajuddin et al. (2015) which had no any roots yet. The selected explants were subsequently transferred into rooting induction media containing auxin. In this experiment, several kinds of auxin were applied in high concentration as a single factor. Kinds of auxin were IAA (indole-3-acetic acid), IBA (indole-3-butyric acid) and NAA (naphthaleneacetic acid), with the concentration ranged from 15, 20, 25, 30, 35 upto 40 ppm in B5 media (Gamborg et al. 1976). The explants were cut at the basal-end point to increase their surface area in contact with media. Variables observed were percentage of rooted explants, number of root obtained, length of root, and color of root. All treatments were repeated for 5 times.
C. Experiment 3 Based on the results obtained from experiment 1, the experiment 3 was designed in order to find the right formula of auxin for root formation by selecting the range of IBA concentration in narrow scale. The auxin of IBA was applied as a single treatment, and ranged as 33, 33.5, 34, 34.5, 35, 35.5, 36, 36.5, 37 and 37.5 ppm. The explants used were shoots without any roots. The explants were cut at the basal-end point to increase their surface area in contact with media. Variables observed were percentage of rooted explants, number of root obtained,
Table 1. Treatment combination of growth hormones, medium strength and solidifying agents NAA (ppm) Medium Strength
Half Strength Medium (H)
Full Strength Medium (F)
IBA (ppm)
Solidifying Agent: Agar (A)
Solidifying Agent: Gelrite (G)
1
1.5
2
2.5
1
1.5
2
2.5
0.25
HA1
HA2
HA3
HA4
HG1
HG2
HG3
HG4
0.5
HA5
HA6
HA7
HA8
HG5
HG6
HG7
HG8
0.25
FA1
FA2
FA3
FA4
FG1
FG2
FG3
FG4
0.5
FA5
FA6
FA7
FA8
FG5
FG6
FG7
FG8
121
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
length of root, and color of root. All treatments were repeated for 10 times.
el of concentration had no response on root initiation (data not shown). Based on the types of growth hormones applied, only NAA and IBA gave positive responses. IBA stimulated growth of root from the concentration level of 15 to 40 ppm, whereas the concentration of 35 ppm induced the highest number of roots. NAA induced rooting from the concentration level of 30 to 40 ppm. Based on the number of root and rooting performance, the best level of both hormones was 35 ppm. Roots were emerged from shoots started from red swollen structure at the basal end in the 6th week, then changed into small red roots on the 8th week. Comparing the shoot to each other, the emergence of roots were observed at various time. First swollen structure was examined on the IBA 35 ppm treatment. On the 12nd week, the root became larger, longer, with hairy roots, and still red in color. While on the 16th week, the root color changed to green, and after 24th week the shoots (or plantlets) were ready to transfer into the green house for acclimatization phase (Figure 1). Different timing of root formation among treatments may be as a result of different concentration of growth hormone added, as well as physiological differences
RESULTS AND DISCUSSION A. Experiment 1 In order to pass the acclimatization phase and to be successful after planting in the field, the root system has to be established on the plantlets or seedlings. In our study, the rooting system was induced by growth hormones in sago shoots derived from in vitro culture. The growth hormones were selected from auxin class, such as NAA, IAA and IBA, which function in roots stimulation. These kinds of auxin are also commonly applied for rooting induction on many other plants in tissue cultures media. For this experiment, the concentration of auxin was applied in high concentration, given that in low concentration had no response in our previous initial trials, although having 2 months incubation in culture room. The observation results of our experiment are exposed in Table 2. It shows that the treatment of IBA 15, 25, 30, 35, 40, as well as NAA 30, 35 and 40 gave positive responses. Rooting emerged from the basal-end of shoots, which differ in number and length. The root color was also gradually fluctuated from red to green in color. While the treatments of IAA at all lev-
Table 2. The results of auxins concentration for rooting formation in sago shoots Hormone (ppm)
Shoot response
Explants with roots
Average no. of roots
Root Color
Length of root (cm)
% Rooting
IBA 15
Rooting
1
6
Red
0.2-0.5
20
IBA 20
No
0
0
-
-
0
IBA 25
Rooting
3
6
Greenish Red
0.2-2.3
60
IBA 30
Rooting
1
8
Brownish Red
0.5-1
20
IBA 35
Rooting
3
7.3
Green
0.2-2.2
60
IBA 40
Rooting
3
2.6
Reddish Green
0.3-1.5
60
NAA 15
No
0
0
-
0
0
NAA 20
No
0
0
-
0
0
NAA 25
No
0
0
-
0
0
NAA 30
Rooting
2
6
Green
0.2-3
40
NAA 35
Rooting
3
2
Reddish Green
0.2-4.5
60
NAA 40
Rooting
1
2
Reddish Green
0.7-1.2
20
122
Inducing the In Vitro Rooting of Sago Palm… Teuku Tajuddin et al.
A. A.
B. B.
C. C.
Figure 1. Roots formation on treatment IBA 35 ppm, which roots are red in color (A); the root color turn to green (B); the plantlet ready for acclimatization phase (C)
A.
Figure 2. New shoots appearence on the explants at the end of experith ment period, 24 week
B.
Figure 3. Root formation at the base of sago shoot on Gelrite treatment. Half strength (A), and full strength (B)
of sago shoots. The average time to establish roots formation, from the first emergence up to ready for acclimatization, was 4 to 5 months. For other treatment that did not producing any root, was maintained its freshness until the end of experiment period. The shoots were green in color and the increased in height. Surprisingly, still new shoots were initiated on that treatment (Figure 2). B. Experiment 2 The rooting experiment was performed in order to find the best formulation of growth hormones for inducing rooting system in sago shoots in vitro. Similar to our previous work, in this experiment, two kinds of auxin were added, NAA and IBA. Instead of using high concentration of auxin, this time the concentration applied was low, lesser than 3 ppm. In combination, the level of NAA was slightly higher than IBA. The result of experiment is shown in Table 3. It clearly shows that the solidifying agent of Agar has negative response on rooting formation. All treatment that cultured on Agar media did not induce any roots, eventhough some treatments indi-
cated the swollen structure at the basal end (treatment HA1, HA2 and HA5). On the other hand, the solidifying agent Gelrite gave positive response by stimulating the swollen structure followed by the root appearance at the basal-end, regardless the concentration of basic media. Gelrite was high purity solidifying agent, while the Agar used was the commersially purchased Agar. The different composition between these solidifying agents may result in different response of rooting formation. Both half strength and full strength of basic media concentration, producing swollen structure at the basal end, as well as the root formation (Figure 3). It seems that the difference of osmotic potential among these two media had no effect on the growth of sago shoots and roots initiation. C. Experiment 3 This experiment was a continuation of rooting induction treatment in Experiment 1, which was concluded that adding 35 ppm IBA into the shoot culture resulted in the best root formation.
123
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Table 3. Effect of auxins concentration in basic media and kind of solidifying agents on roots formation at sago shoots Response on basal end
Shoots with root
Average root number
Root color
Root length (cm)
Swollen basal end
HA1
Swollen
-
-
-
-
2
HA2
Swollen
-
-
-
-
2
HA3
-
-
-
-
-
-
HA4
-
-
-
-
-
-
HA5
Swollen
-
-
-
-
1
HA6
-
-
-
-
-
-
HA7
-
-
-
-
-
-
HA8
-
-
-
-
-
-
HG1
Rooting
1
1
Red
0.2
2
HG2
Rooting
1
1
Red
0.6
2
HG3
-
-
-
-
-
-
HG4
-
-
-
-
-
-
HG5
-
-
-
-
-
-
HG6
Swollen
-
-
-
-
3
HG7
Swollen
-
-
-
-
3
HG8
Swollen & Red
-
-
-
-
3
FA1
-
-
-
-
-
-
FA2
-
-
-
-
-
-
FA3
-
-
-
-
-
-
FA4
-
-
-
-
-
-
FA5
-
-
-
-
-
-
FA6
-
-
-
-
-
-
FA7
-
-
-
-
-
-
FA8
-
-
-
-
-
-
FG1
Rooting
1
1
Red
1.1
2
FG2
Swollen & Red
-
-
-
-
3
FG3
-
-
-
-
-
-
FG4
Rooting
1
1
Red
1.5
2
FG5
-
-
-
-
-
-
FG6
-
-
-
-
-
-
FG7
Swollen & Red
-
-
-
-
3
FG8
-
-
-
-
-
-
Treatment
Note: Treatment codes are refer to Table 1 (Materials & Methods)
In this experiment, the range of IBA concentration was narrowly outlined, in order to observe its effect on rooting formation specifically. The outcome of this experiment was similar to the result of Experiment 1. 124
Only the treatment of IBA 35 ppm showed swollen structure at basal-end of shoot, which was red in color. The concentration of IBA, either lower or higher than 35 ppm, did not show any positive effect on rooting
Inducing the In Vitro Rooting of Sago Palm… Teuku Tajuddin et al.
Figure 4. Swollen structure appearance (white arrow) at the basal end of shoot on the treatment IBA 35 ppm
formation. It seems that the concentration of 35 ppm was the precise level of IBA to induce rooting on sago shoots. Swollen structure was formed after 8 weeks of culture. The result from previous experiment indicated that after 8th week, the swollen structure developed into roots. Roots system soon expanded and elongated. Figure 4 presents the response of treatment IBA 35 ppm to sago shoots. CONCLUSION From our research activities it can be concluded that the best treatment for inducing root was IBA at the concentration of 35 ppm. Moreover, the solidifying agent Gelrite gave positive response by stimulating the root formation. Rooting emerged from the basal-end of shoots, which varied in number and length. The root color was also gradually changed from red to green in color. ACKNOWLEDGMENTS This work was supported by research collaboration between PT Sampoerna Bio Energi and Biotech Center BPPT on the Establishment of Tissue Culture System of Sago Palm. REFERENCES Direktorat Jenderal Perkebunan (2013) Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tahunan: Pedoman teknis pengembangan tanaman sagu. Pedoman teknis pengembangan
tanaman sagu tahun 2014. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, 24p. Bintoro MH (2003) Potensi pemanfaatan sagu untuk industri dan pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado 06 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Gamborg OL, T Murashige, TA Thorpe, IK Vasil (1976) Plant tissue culture media. In Vitro 12(7):473-478. Hisajima S, FS Jong, Y Arai, ES Sim (1991) Propagation and breeding of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) plant in vitro: 1. Embryo culture and induction of multiple shoots from sago embryos in vitro. Jap J Trop Agric 35(4):259-267. Johnson DV (2010) Tropical palms. 2010 revision. Food and Agricultural Organization of United Nation. 242p. Jong FS (1995) Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) cultivation in Sarawak, Malaysia. PhD Thesis, Wageningen Univ. 139p. Kanro MZ, A Rouw, A Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, Ateka (2003) Tanaman sagu dan pemanfaatannya di Propinsi Papua. J Litbang Pertanian 22(3):116-124. Karim AA, AP Tie, DMA Manan, ISM Zaidul (2008) Starch from sago (Metroxylon sagu) palm tree – Properties, prospect and challenges as a new industrial source for food and other uses. Comprehensive Reviews in Food Sci & Food Safety 7(3):215-228. Limbongan J, A Hanafiah, M Nggobe (2005) Pengembangan sagu Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Mashud N (1991) Faktor-Faktor yang harus diperkirakan untuk membudidayakan tanaman sagu. Balai Penelitian Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Manado. Buletin Balitka No 13: 111-116. Riyadi I, JS Tahardi, Sumaryono (2005) The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) on solid media. Menara Perkebunan 73(2):33-40.
125
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Sumaryono, W Muslihatin, D Ratnadewi (2012) Effect of carbohydrate source on growth and performance of in vitro sago palm (Metroxylon sagu Rottb) plantlets. Hayati J Biosci 19(2):88-92. Tahardi JS, NF Sianipar, I Riyadi (2002) Somatic embryogenesis in sago palm (Metroxylon sagu Rottb). In: K Kaimuna, M Okazaki, Y Toyoda, JE Cecil (eds.), New Frontiers of Sago Palm Studies, p. 75-81. Universal Academic Press, Inc. Tokyo, Japan. Tajuddin T, Karyanti, T Sukarnih, N Haska (2014) A revised method for sucker steri-
126
lization to support the in vitro propagation of sago palm (Metroxylon sagu Rottb). J Bioteknol Bios Indon 1(1):21-26. Tajuddin T, Karyanti, T Sukarnih, N Haska (2015) The combination of growth hormones increased in vitro shoots multiplication on sago palm (Metroxylon sagu Rottb). J Bioteknol Bios Indon 2(1):73-79. Wahid AS (1987) Pengaruh besar anakan, naungan dan penyimpanan terhadap pertumbuhan bibit tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb). Tesis. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
GROWTH OF CARP (Cyprinus carpio L.) FED WITH RICE BRAN-COCONUT BAGASSE MIXED SUBSTRATE FERMENTED USING Rhizopus oryzae Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio. L) yang Diberi Pakan Fermentasi Substrat Campuran Dedak Padi dan Ampas Kelapa Menggunakan Rhizopus oryzae 1
1)
2,
1
2
Robby Dzul Umam , Catur Sriherwanto *, Etyn Yunita , Imam Suja’i Dept. Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2) Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dedak padi dan ampas kelapa dicampur dengan perbandingan tertentu dan kemudian difermentasi menggunakan Rhizopus oryzae untuk pakan ikan. Uji pemberian pakan lalu dilakukan untuk mengetahui pengaruh pakan terhadap pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L.). Dalam penelitian ini digunakan 5 perlakuan: satu perlakuan pakan tanpa fermentasi (pakan komersial 100%), dan empat perlakuan pakan fermentasi substrat campuran bekatul dan ampas kelapa dengan empat perbandingan yang berbeda, yakni 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, dan 0%:100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan komersial 100% (protein sejati 15,25% dan serat kasar 6,27%) memperlihatkan hasil terbaik terhadap pertumbuhan ikan mas dengan pertambahan bobot badan 2,56 g dan rasio konversi pakan 1,95. Sementara itu pemberian pakan fermentasi (protein sejati berkisar 4,89-9,97% dan serat kasar 22,87-25,70%) hanya menghasilkan pertambahan bobot badan ikan pada kisaran 0,47-0,64 g dengan rasio konversi pakan 2,50-2,64. Dengan demikian pakan fermentasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ikan mas meskipun masih kurang optimal dibandingkan dengan pakan komersial. Kata Kunci: Rhizopus oryzae, Cyprinus carpio, rice bran, coconut bagasse, fermentation ABSTRACT Rice bran and coconut bagasse were mixed and then fermented using Rhizopus oryzae for preparing aquafeed. Subsequent feeding test was carried out to determine the effect on the growth of carps (Cyprinus carpio L). Five feeding treatments were employed, one unfermented feed (commercial feed 100%), and the other four feeds produced by fermentation using substrate mixture of rice bran and coconut pulp in four different ratios, namely 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, and 0%:100%. The results showed that feeding 100% commercial feed (true protein 15.25% and crude fibre 6.27%) showed the best results on the fish growth with body weight gain of 2.56 g and feed conversion ratio of 1.95. Meanwhile, feeding fermented feeds (true protein 4.89-9.97% and crude fiber 22.87-25.70%) only resulted in body weight gain in the range of 0.47 to 0.64 g with feed conversion ratio of 2.50 to 2.64. Thus, the fermented feeds promoted growth in tested carps albeit less optimally than commercial feed. Keywords:
Rhizopus
oryzae,
Cyprinus
carpio,
dedak,
ampas
kelapa,
fermentasi
127
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
INTRODUCTION Up to 80% of animal feed raw materials in Indonesia are supplied from abroad (IFT Online 2013), an irony as Indonesia is an agrarian country that could have been self sufficient in supplying national demand for animal- and plant-based animal feedstuffs. The locally produced raw materials have been so far underutilized and poorly managed, causing discontinuous supply and scarcity (Kementrian Pertanian Indonesia 2014). Thus, the so called national “selfproduced feeds” program has been launched to encourage fish farmers to produce aquafeed on their own. Constituting about 60-70% of the total fish production cost, the use of feed (Sidik 2014) or feed raw materials must be as efficient as possible so as to maximise the profit. To achieve this, technology that can improve the nutritional quality of such cheap, locally available, feed raw materials is of highly important, aimed at increasing their inclusion rate in fish diet. Such technology would be widely adopted when proven to be highly applicable, low cost, and profitable to the farmers (Animal Feed Directorate 2014). Solid fermentation of agroindustrial byproducts using the edible tempe mould Rhizopus spp. could provide solution to this problem owing to the fungus ability to confer on the fermented substrates better nutritional qualities such as higher contents of protein, vitamins (Sriherwanto 2010), as well as lower antinutrient like mycotoxins (Varga et al. 2005). Moreover, being the origin country of tempe, Indonesia provides an ample collection of edible Rhizopus strains as well as the practical solid fermentation technology which could be applicable for fermentation of animal feed. Initially used in soybean tempe production, Rhizopus spp. has been studied in the fermentation of other various plant materials intended for fish feed ingredients such as palm kernel cake (Amri 2007), leaves of Alocasia macrorrhiza (L) Schott (Bakhtiar 2002), cassava bagasse (Antika et al. 2014), Sesbania grandiflora leaf powder (Utami et al. 2012), and okara (Rijal 2014). However, all these fermented feedstuffs were used partially, not wholly, in limited proportion in the diets of the test fishes.
128
In this study, solid fermentation of rice bran-coconut bagasse mixed substrate using Rhizopus oryzae was carried out to prepare floating aquafeeds. The fermented feeds were subsequently fed wholly on carps (Cyprinus carpio L.) with the aim of finding out the effect on the fish growth relative to those fed with commercial feeds. MATERIALS AND METHODS Fermented Feed Preparation Fermentation was carried out at the Feed Biotechnology Laboratory-BPPT, Serpong, Banten and the feed test in Cibinong, Gunung Sindur, Bogor, West Java. Substrates consisting of rice bran (RB) and coconut bagasse (CB) in various ratios (Table 1) were mixed well before being sterilized at 121°C for 15 minutes. Having cooled down to room temperature, the substrates were mixed with starter powder of R. oryzae (3.3 x 107 cfu/g) at the concentration of 1-1.5 g/100 g substrate, and moisturized to 75% using CIS™ mineral solution. Incubation was then carried out at 28-30°C for 96-120 hours after which the substrate physically transformed into cottony white cake with soft cheesy texture (Figure 1). The cake was then diced into small cubes, approximately 5 mm per side, and dried at 50°C for 24 hours. The dried fermented feeds were subjected to analyses of true protein content (Sriherwanto 2010), and crude fibre (Badan Standardisasi Nasional 1992). Feeding Test Feeding test on carps were undertaken in a completely randomized design with three replications per treatments. Five feeding treatments were carried out, namely: commercial feed 100% (unfermented), 75% Table 1. Ratio of rice bran (RB) and coconut bagasse (CB) in the mixed substrate to be fermented Fermentation treatment
Ratio percentage of mixed substrate
1
75% RB + 25% CB
2
50% RB + 50% CB
3
25% RB + 75% CB
4
0% RB + 100% CB
Growth of Carp (Cyprinus carpio L.) Fed with... Robby Dzul Umam et al.
Figure 1. RB-CB mixed substrate before (left) and after fermentation (right) using R. oryzae
Figure 2. True protein content of RB-CB mixed substrate before and after fermentation using R. oryzae
Figure 3. Crude fibre content of RB-CB mixed substrate before and after fermentation using R. oryzae
RB + 25% CB (fermented), 50% RB + 50% CB (fermented), 25% RB + 75% CB (fermented), and 100% CB (fermented). Carp fingerlings were obtained from Parung fish market, Bogor, and acclimatized for two weeks to feeding on the fermented feed inside aquarium environment in Gunung Sindur, Bogor. Post acclimatization, the 3-5 g weighed fingerlings were fasted for 24 hours, weighed out and transferred into 40 x 30 x 30 cm glass aquaria placed randomly and in apparently similar positions in a shaded house. Six fishes were reared in each of the 15 aquaria for 60 days, aerated for 24 hour. To maintain the quality of aqueous environment, at least 30% of aquarium water was replaced every two days, regularly removing all dirt attached on the aquarium glass sides. Water temperature, dissolved oxygen (DO), and pH values were taken three times monthly, at the beginning, middle, and end of the month. Feed was given
at satiation twice daily in the morning and afternoon with a daily dosage of 4% of the fish weigh. Fish performance was evaluated by measuring the fish weight, survivability, daily growth rate, feed conversion ratio (FCR), as well as protein efficiency ratio (PER). RESULTS AND DISCUSSION The substrate consisting RB and CB supported good growth of R. oryzae as seen from the fungal white dense mycelial mass overwhelming the whole substrate post fermentation (Figure 1). When thrown into water, these fresh fermented feeds showed floating ability, which was enhanced further through overnight drying in an oven. The fermented feeds were subjected to true protein content and crude fibre analyses. The true protein concentration was measured based on the total nitrogen
129
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Figure 4. Increase of body weight of carps (C. carpio L.) fed with commercial feed or R. oryzaefermented feeds
Figure 5. FCR and PER of the 60-day reared carps (C. carpio L.) fed with unfermented commercial or R. oryzae-fermented feeds
content of trichloroaetic acid-precipitated sample using Kjeldahl method. The resulted protein values differed from available literatures which commonly provide information on the crude protein contents. The later inaccurately took into account all non-protein nitrogenous compounds contained in samples. Figure 2 showed that the R. oryzae fermentation increased the true protein content of the RB-CB mixed substrates from 1.96-5.85% to 4.89-9.97%, which is still below that of the commercial feed (15.25%). Highest increase (from 1,96% to 8,39%) in the protein content was achieved with 50% RB-50% CB substrate, whereas the lowest was that of 100% CB (from 5.77% to 9.97%). Variation in the true protein content might be due to the different initial substrate composition. Changes in protein content through Rhizopus fermentation have been previously reported. Sago flour fermented using Rhizopus sp. contained higher protein content (3.4%) than the unfermented one (1.6%) (Ab Jalil et al. 2015). CB fermented with Rhizopus sp. resulted in 531% increase in true protein content (from 1.45% to 9.15%) (Sriherwanto 2010). The fermentation also modified the crude fibre content of the RB-CB mixed substrates from 22.58-33.15% to 22.8725.70% (Figure 3). These values were much higher than that of the commercial aquafeed (6.27%). In general, the fermentation caused the crude fibre content to decrease in all substrates, except when 75% RB-25% CB combination was used. This increase might be due to the fibre being hardly degraded cellulolytically
while at the same time significant dry matter loss occurred. Thus, the seemingly percentage increase in the crude fibre might actually be the decrease of dry matter. Lower crude fibre content post fermentation in the other substrate combinations might be attributed to better fungal cellulolytic activity, whereby the highest decline (by 31%) in crude fibre was obtained by 25% RB-75% CB substrate combination. This value is higher than previous report, in which 10 dayfermentation of rapeseed (Brassica napus) using Rhizopus oligosporus reduced the crude fibre content by 25.5% (Vig and Walia 2001). The fermented feed prepared in this study contained 22.87-25.70% crude fibre, which is much higher than the recommended value of maximum 5% (FAO 2015). This might be the reason behind the poor growth of all the fishes fed with the fermented feeds as compared to those fed with the commercial feed (Figure 4). It is well known that crude fibre is poorly digested by fish due to the lack of cellulolytic activity inside fish digestive tract. Thus, not only nutritionally poor, crude fibre might also act as antinutrient since cellulose, one of the main components of crude fibre, is classified as Non-Starch Polysaccharide (NSP). As stated in a previous review (Sinha et al. 2011), NSPs were shown to negatively effect the lipid digestion as well as absorption in Atlanticsalmon. Nutrient availability was demonstrated to be impaired when salmonids were fed with diets containing NSP.
130
Growth of Carp (Cyprinus carpio L.) Fed with... Robby Dzul Umam et al.
Table 2. Feed conversion ratio from week six to eight Fish Diet
FCR week 6 to 8
Commercial feed (unfermented)
0.73
75% RB + 25% CB (fermented)
0.61
75% RB + 25% CB (fermented)
0.61
75% RB + 25% CB (fermented)
0.62
75% RB + 25% CB (fermented)
0.60
FCR varies depending on nutrition and physical quality of aquafeed, as well as environmental conditions such as temperature, production intensity, availability of natural feed, and other factors such as genetics (New & Wijkström 2002). In this study, varying the diets resulted in different FCRs (Figure 5). Feeding the fermented feeds gave FCR values ranging from 2.50 to 2.64, which are still much higher than that of commercial feed (1.95) (Figure 5). This indicates that the commercial feed promoted better growth than the fermented feeds. Thus, feeding carps exclusively R. oryzae- fermented feed based on CB, alone or in combination with RB, resulted in slower growth relative to commercial feed. However, other studies demonstrated that when fermented feeds were not given exclusively but used as feed constituent, better growth performance was possible. It was reported that carp fish fed with diets containing 12% and 18% fermented palm kernel gave FCR values of 2.40 and 2.14, respectively (Amri 2007). PER is used in feed industry to determine protein quality in feed and as effectivity reference for protein sources. PER is calculated based on the increase in body weight of the test animal divided by the amount of the feed protein consumed during the test period (Bhilave 2011). As seen in Figure 5, fermented feeds resulted in PERs in the range of 1.62-3.41, whereas that of commercial feed gave 1.68. The later value is close to that of 100% CB fermented feed (1.62) which is the lowest amongst all the fermented feeds. Taken together, the average PER value of all four fermented feeds is 2.16, which is much better than control. This result might indicate that, even though containing lower levels of true protein content than the
commercial feed, the fermented feeds might contain better quality amino acid composition than commercial feed did. Indeed, essential amino acid profile of R. oryzae had been demonstrated to be closely similar to that of FAO standard (Hamdy 2013). Fermented organic materials added as ingredients in fish diets at certain levels have been reported by others to improve PER values. Fermented lamtoro (white leadtree, Leucaena leucocephala) leaf powder was used in red tilapia (Oreochromis niloticus) diets at the inclusion rates of 5%, 10% and 15%. The PERs achieved were 1.39, 2.03, and 1.43, respectively. These three values were higher than control diet without the fermented leaf, which was 1.27 (Restiningtyas 2015). All these suggest that PER can be improved by using fermented organic materials at appropriate inclusion levels. The difference in inclusion levels of the fermented feeds as mentioned above was not so much, but could cause significant difference in PER values. This suggests that the quality of amino acid composition in the fermented samples might be the reason. It was reported that adding amino acid DL-methionine into methioninepoor diets increased protein digestibility, improving body weight gain and feed efficiency of carps (Nwanna et al. 2012). Feeding carps with commercial feed resulted in very steep and almost linear growth rate within the first six weeks, outperforming all those fermented-diet fed carps (Figure 4). However, all the four graphs representing the growth of the fishes fed with fermented feeds were of the same trends, being linear with slight slopes from the beginning to the end of the rearing period. This could be explained by the fact that the four fermented feeds contained lower protein levels (Figure 2) and higher fibre contents (Figure 3) than the commercial feed did. Feed rich in fibre might have antinutritional effect and cause the diet hardly digestible by carps (Sinha et al. 2011). Previous study demonstrated that supplementing fish diet with alphacellulose at the level of 25% and 40% decreased growth and feed conversion efficiency of tilapia (Oreochormis niloticus) (Anderson et al. 1984).
131
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Table 3. Water quality measured during carp fish feeding experiment using the fermented feed Measured Value
SNI Reference (2015)
4.9-7.3
6.5-8.5
Temperature ( C)
24-27
25-30
DO (ppm)
5.0-7.6
at least 1.7
Parameter pH 0
REFERENCES Figure 6. Survival rate of carp (C. carpio L.) fed with commercial feed and R. oryzae-fermented RB-CB mixed substrate
It is worth to note that although the fermented feed treated carps overall showed poorer growth than the control fishes, their growth curves from week six to week eight showed very similar gradients to the control (Figure 4), with very close FCR values (Table 2) indicating the fermented feeds possible ability to wholly substitute commercial feed in the later phase of the rearing period (from week six to week eight). Variation in survival rates was observed for the fermented feed treated carps (Figure 6), ranging from 50.0% to 88.9% with the average value of 69.5%. This is lower than that of commercial feed treated carps. In general, fermented feeds resulted in poor survival rate, considering the standard values of 80-90% (SNI 2015). Nutrient quality of the commercial feed which is much better than fermented feeds might be responsible for this discrepancy. Table 3 shows temperature and dissolved oxygen (DO) values which were within the recommended values, except pH (SNI 2015). Low pH, which is below the recommended level of 6.5, might account for the poor survival rates of the carps (Figure 6). CONCLUSION Solid fermentation using R. oryzae did increase the true protein content in all substrate combination and decrease crude fibre content in all but one substrate mixture (75% RB-25% CB). Used wholly as aquafeed, the fermented feeds promoted growth of carps but with much slower rates than those fed with the commercial feed.
132
Ab Jalil A, N Abdullah, AR Ali (2015) Nutrient enhancement of ground sago (Metroxylon sagu Rottboll) pith by solid state fermentation with Rhizopus oligosporus for poultry feed. J Food Res 4(2):1-15. Amri M (2007) Pengaruh bungkil inti sawit fermentasi dalam pakan terhadap pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L.) J Ilmu-Ilmu Perta Indon 9(1) 71-76. Anderson J, A Jackson, A Matty, B Capper (1984) Effects of dietary carbohydrate and fibre on the tilapia Oreochromis niloticus (Linn.) Aquaculture 37(4): 303-314. Animal Feed Directorate (2014) Apresiasi Peningkatan Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal, the Grand Palace Hotel, Yogyakarta, 13-14 Maret 2013. Official website of General Directorate of Animal Husbandry and Health, Ministry of Agriculture of the Republic of Indonesia. http://pakan.ditjennak.pertanian.go.id/in dex.php/blog/read/kegiatan/apresiasibpl accessed on 3 March 2016 at 15:08. Antika R, S Hudaidah, L Santoso (2014) Penggunaan tepung onggok singkong yang difermentasi dengan Rhizopus sp. sebagai bahan baku pakan ikan nila merah (Oreochromis niloticus) J Rekayasa dan Teknol Budidaya Perairan 2(2):279-284. Bakhtiar A (2002) Pengaruh daun sente (Alocasia macrorrhiza (L) Schott) yang difermentasi Rhizopus oligosporus sebagai bahan substitusi tepung bungkil kedelai terhadap pertumbuhan ikan gurame (Osphronemus gouramy, Lac.) Bogor, Jawa Barat, Indonesia: Bachelor Thesis, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Growth of Carp (Cyprinus carpio L.) Fed with... Robby Dzul Umam et al.
Bhilave M, S Nadaf, S Bhosale (2011) Nutritional efficiency in fish fed on formulated feeds. Retrieved September 29, 2015, from http://www.allaboutfeed.net/Nutrition/Ra w-Materials/2011/8/Nutritionalefficiency-in-fish-fed-on-formulatedfeeds-AAF012616W/ FAO (2015) Table 4.4. Recommended contents of compounded feeds for the different age groups of common carp (Cyprinus carpio) Retrieved September 16, 2015, from Aquaculture Feed and Fertilizer Resources Information System: http://www.fao.org/fileadmin/user_uploa d/affris/docs/NewCommonCarp/carpT44.pdf Hamdy, H (2013) Production of mini-food by Aspergillus niger, Rhizopus oryzae and Saccharomyces cerevisiae using orange peels. Rom Biotechnol Lett 18(1):7929-7946. IFT Online (2013) Pertumbuhan industri pakan ternak di 2014 berpotensi melambat. Indonesia Finance Today. Retrieved December 14, 2015, from http://www.ift.co.id/posts/pertumbuhanindustri-pakan-ternak-di-2014berpotensi-melambat Kementrian Pertanian Indonesia (2014) Rapat koordinasi pengembangan bahan pakan lokal. Bandung, West Java, Indonesia: Direktorat Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Retrieved December 16, 2015, from http://pakan.ditjennak.pertanian.go.id/in dex.php/blog/read/kegiatan/rapatkoordinasi-bahan-pakan-lokal New M, U Wijkström (2002) Use of fishmeal and fish oil in aquafeeds. further thoughts on the fishmeal trap. FAO Fisheries Circular No. 975 (FIPP/C975) Rome: FAO. Nwanna L, A Lemme, A Metwally, F Schwarz (2012) Response of common carp (Cyprinus carpio L.) to supplemental DL-methionine and different feeding strategies. Aquaculture 356: 365-370. Restiningtyas R, Subandiyono, Pinandoyo (2015) Pemanfaatan tepung daun lamtoro (Laucaena gluca) yang telah difermentasikan dalam pakan buatan
terhadap pertumbuhan benih ikan nila merah (Oreochromis niloticus). J Aquacult Manag Technol 4(2):26-34. Rijal S (2014) Pemanfaatan limbah tahu terfermentasi dan ikan rucah sebagai bahan baku dalam pakan terhadap pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia: Bachelor Thesis, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Sidik P (2014) Dr. Yuli Andriani. S.Pi. MP. “Pakan dari bahan lokal bukan cuma untuk kepentingan ekonomis, tapi juga ekologis”. Profil, Unpad.ac.id. Profil, Unpad.ac.id, terbitan tanggal 9 Juni 2014. http://www.unpad.ac.id/profil/dryuli-andriyani-s-pi-mp-pakan-daribahan-lokal-bukan-cuma-untukkepentingan-ekonomis-tapi-jugaekologis/ visited on 16 September 2014 at 16:28. Sinha A, V Kumar, H Makkar, K De Boeck (2011) Non-starch polysaccharides and their role in fish nutrition–A review. Food Chem 127(4):1409-1426. SNI (2015) Pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio, Linnaeus 1785) dalam karamba jaring apung di sungai. Standar Nasional Indonesia (SNI), SNI 8123:2015, 2-5. Sriherwanto C (2010) Studies on the solid state fermentation of cassava bagasse for animal feed. Hamburg, Germany: Doctoral Thesis, Department of Chemistry, University of Hamburg. Utami IK, K Haetami, Rosidah (2012) Pengaruh penggunaan tepung daun turi hasil fermentasi dalam pakan buatan terhadap pertumbuhan benih bawal air tawar (Colossoma macropomum Cuvier) J Perikanan Kelautan 3(4):191-199. Varga J, Z Péteri, K Tábori, J Téren, C Vágvölgyi (2005) Degradation of ochratoxin A and other mycotoxins by Rhizopus isolates. Int J Food Microbiol 99(3):321-328. Vig AP, A Walia (2001) Beneficial effects of Rhizopus oligosporus fermentation on reduction of glucosinolates, fibre and phytic acid in rapeseed (Brassica napus) meal. Bioresour Technol 78(3):309-312.
133
VOLUME 2 NOMOR 2 DESEMBER 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
TINJAUAN D-ASAM AMINO OKSIDASE DARI MIKROBA: PRODUKSI DAN APLIKASI A Review Microbial D-amino Acid Oxidase: Production and Application Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT D-amino acid oxidase (DAAO) is a flavin adenine dinucleotide-containing enzyme that catalyzes the oxidative deamination of amino acid D-isomers with high stereospecificity, which results in α-keto acids, ammonia and hydrogen peroxide. Having high stereospecificity, DAAO is used in a variety of applications such as drug, biocatalyst, biosensor and preparation of transgenic plants. DAAO is widespread in nature, found in microorganisms to mammals. Microbial DAAO is considered more important than mammalian DAAO for biotechnology application. DAAO production in submerged fermentation is influenced by several factors, such as carbon source, nitrogen source, inducer, dissolve oxygen, temperature and pH. The influence of those factors on DAAO production by microbial origin, DAAO production by microbial recombinant, and its application in biotechnology are discussed in this review. Keywords: Enzyme, DAAO, D-amino acid, production, application ABSTRAK Enzim D-asam amino oksidase (DAAO) merupakan enzim yang mengandung Flavin Adenine Dinucleotide yang bekerja mengkatalisis reaksi oksidasi deaminasi D-asam amino dengan stereospesifisitas yang tinggi menghasilkan α-asam keto, amonia dan hidrogen peroksida. Karena mempunyai karakteristik sreteospesifisitas yang tinggi, enzim DAAO banyak digunakan untuk berbagai aplikasi seperti obat, biokatalis, biosensor dan penyiapan tanaman transgenik. Enzim ini dapat dihasilkan oleh organisme mulai dari bakteri hingga mamalia, namun untuk aplikasi dibidang bioteknologi, enzim DAAO yang berasal dari mikroorganisme dipandang lebih penting dari pada yang berasal dari mamalia. Produksi enzim dari DAAO dari mikroorganisme dalam kultur cair dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber karbon, nitrogen, senyawa penginduksi, oksigen terlarut, temperatur dan pH medium. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap produksi enzim DAAO, produksi enzim DAAO menggunakan mikroba rekombinan serta aplikasinya dalam bidang bioteknologi dibahas dalam tinjauan. Kata Kunci: Enzim, DAAO, D-asam amino, produksi, aplikasi
134
Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika
PENDAHULUAN D-asam amino oksidase (D-amino acid oxidase; DAAO; EC 1.4.3.3,) merupakan enzim yang mengandung flavin adenine dinucleotide (FAD) yang bekerja mengkatalisis reaksi oksidasi deaminasi D-asam amino menghasilkan asam imino dan hidrogen peroksida. Asam imino selanjutnya dengan reaksi non-enzimatis dihidrolisis menjadi α-asam keto dan amonia, sedangkan FADH2 yang terbentuk dioksidasi kembali oleh oksigen menghasilkan hidrogen peroksida (Gambar 1). Enzim DAAO merupakan enzim yang digolongkan dalam sub-grup flavoprotein kelompok dehydrogenase-oksidase, di mana seluruh enzim dalam bentuk tereduksi dapat bereaksi cepat dengan oksigen, menstabilkan radikal anion flavin melalui mekanisme perpindahan satu ion dan menghasilkan flavin N(5)-sulfit (Massey & Hemmerich 1980). Enzim DAAO dapat dihasilkan oleh berbagai makhluk hidup mulai dari bakteri hingga manusia dengan fungsi fisiologi yang berbeda-beda. Pada mikroorganisme, enzim DAAO berperan sebagai katabolik (sebagai contoh enzim DAAO diperlukan agar kapang dapat menggunakan D-asam amino untuk tumbuh), sedangkan pada sel mamalia enzim DAAO berperan penting pada tingkat fisiologi asam amino dalam meregulasi berbagai proses metabolisme seperti penuaan, kontrol sinyal saraf, sekresi hormon dan lain sebagainya (Rosini 2009). Tinjauan peran fisiologi enzim DAAO pada berbagai organisme telah dilakukan oleh Pollegioni et al. (2007a). Pada mamalia, enzim DAAO dapat ditemukan di berbagai jaringan, seperti ginjal, hati dan otak. Keberadaan enzim DAAO dalam jaringan mamalia tergantung dari jenis hewannya, sebagai contoh pada babi, enzim DAAO dapat ditemukan di hati dan ginjal, sedangkan pada tikus hanya dapat ditemukan dalam ginjal saja. Berbagai mikroorganisme seperti jamur (Cephalosporium acremonium, Neurosporacrassa, Fusarium solani dan Fusarium oxysporum), alga (Chlorella vulgaris), kapang (Candida tropicalis, Trigonopsis variabilis dan Rhodotorula gracilis) serta bakteri (Alcali-genes denitrificans) mampu menghasilkan enzim DAAO (Saleem 2012).
Gambar 1. Siklus katalitik konversi D-asam amino menjadi asam imino yang dikatalisis oleh D-asam amino oksidase dan selanjutnya secara spontan bereaksi menjadi α- asam keto (Verrall 2010)
Tanaman dilaporkan tidak mampu menghasilkan enzim DAAO. Untuk aplikasi di bidang bioteknologi enzim DAAO yang berasal dari mamalia kurang mendapat perhatian karena jumlahnya sangat sedikit dan bersifat tidak stabil. Enzim DAAO yang dihasilkan oleh mikroorganisme lebih berpotensi untuk aplikasi diberbagai bidang bioteknologi karena mempunyai turnover number yang lebih tinggi, ikatan dengan koenzim yang lebih kuat, gen pengekspresi yang lebih banyak serta mampu menggunakan substrat secara efesien. Hingga saat ini enzim DAAO yang potensial diaplikasikan untuk industri berasal dari Rhodotorula gracilis (RgDAAO) dan Trigonopsis variabilis (TvDAAO), sedangkan dari sumber lainnya secara teknis dianggap kurang penting (Khoronenkova et al. 2008; Sacchi et al. 2004). Upaya penerapan enzim DAAO dalam industri menghadapi dua permasalahan utama yaitu terkait dengan produktifitas dan stabilitas enzim. Dalam upaya memperoleh mikroba penghasil DAAO baru dengan karakteristik enzim yang lebih baik, maka skrining mikroba penghasil DAAO tetap dilakukan oleh beberapa peneliti. Saleem et al. (2012) melakukan skrining terhadap berbagai spesies jamur (40 spesies) dan memperoleh Fusarium heterosporum dan Nectria haematococca sebagai penghasil enzim DAAO dengan aktifitas tertinggi 210,41 dan 207,94 unit/mL. Permasalahan stabilitas enzim DAAO terutama terkait dengan konsentrasi protein, oligomerisasi, ikatan ko-faktor dan oksidasi rantai samping asam amino. Peningkatan stabilitas enzim DAAO dapat dilakukan dengan imobilisasi dalam penyangga padat, seperti magnetik, agarose maupun beads epoksi. Peningkatan produktifitas dan stabilitas enzim juga telah dilakukan melalui rekayasa genetika dengan teknik random mutagenesis, error prone PCR maupun mutasi terarah.
135
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
PRODUKSI ENZIM DAAO Pengembangan Medium Untuk Produksi Enzim DAAO Enzim DAAO merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Berbagai studi telah dilakukan untuk memperoleh kondisi lingkungan dan komposisi nutrisi yang optimal dari mikroba alami. Produksi enzim DAAO dalam kultur cair dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi sumber karbon, nitrogen, ion logam, senyawa penginduksi (Gupta et al. 2012) dan konsentrasi oksigen terlarut (Gabler & Fischer 1999). Kondisi lingkungan seperti pH dan temperatur juga dilaporkan berpengaruh terhadap perolehan enzim DAAO (Saleem et al. 2012; Gupta et al. 2012). Studi pengaruh jenis sumber karbon terhadap produksi enzim DAAO telah dilakukan dengan menggunakan berbagai monosakarida dan disakarida seperti glukosa, fruktosa, galaktosa, sukrosa, maltosa dan laktosa. Penggunaan monosakarida sebagai sumber karbon untuk produksi DAAO dari T. variabilis menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi dibanding dengan disakarida dan polisakarida. Diantara monosakarida, glukosa merupakan sumber karbon terbaik untuk menginduksi enzim DAAO (Horner et al. 1996; Ballagi 1999; Prell et al. 2001 & Gupta et al. 2012). Hal ini menunjukkan penggunaan sumber karbon yang mudah diasimilasi dapat meningkatkan produksi enzim DAAO. Hal yang sama juga dilaporkan untuk produksi DAAO dari F. oxysporum (Gabler & Fisher 1999), Fusarium heterosporum dan Nectria haematococca (Saleem et al. 2012). Sumber nitrogen juga merupakan salah satu komponen yang esensial dalam medium fermentasi karena berpengaruh terhadap pembentukan asam amino, asam nukleat maupun protein dalam sel mikroba. Penggunaan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen dilaporkan dapat menghasilkan produksi enzim DAAO dari T. variabilis yang maksimal (Horner et al. 1996; Ballagi 1999; Prell et al. 2001). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Gabler & Fisher (1999) untuk produksi DAAO dari F. oxysporum. Pengaruh produksi enzim DAAO dari T. variabilis yang signifikan juga ditunjukkan oleh penggunaan Zn sulfat dalam medium produksi. Tanpa penambahan Zn sulfat, medium produksi yang mengandung glukosa,
136
amonium sulfat dan D-alanin, induksi enzim DAAO tidak terjadi meskipun sel tetap dapat tumbuh dengan baik seperti pada medium yang mengandung Zn sulfat. Konsentrasi Zn sulfat yang diperlukan untuk mencapai kondisi produksi enzim DAAO dan pertumbuhan sel yang baik berkisar antara 20 hinggga 420 mM, dan menghasilkan aktifitas spesifik DAAO yang maksimum pada konsentrasi 70 mM. Penggunaan Zn sulfat di atas 280 mM dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel (Horner et al. 1996). Induksi enzim DAAO dengan menggunakan berbagai jenis asam amino baik yang dapat dimetabolisme maupun turunan asam amino yang tidak dapat dimetabolisme oleh sel juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Gabler & Fischer (1999) melaporkan bahwa D-alanin merupakan senyawa penginduksi terbaik untuk produksi DAAO dari F. oxysporum. Hal yang sama dilaporkan oleh Kuan et al. (2008) untuk produksi enzim DAAO dari R. gracilis. Penggunaan D-alanin pada kultivasi F. oxysporum mampu meningkatkan aktifitas spesifik enzim DAAO sebesar 13 kali dibandingkan dengan tanpa penggunaan senyawa penginduksi (Gabler & Fischer 1999). Hal yang menarik adalah induksi DAAO semakin meningkat ketika senyawa penginduksi yang digunakan merupakan campuran antara D dan L-alanin. Perbandingan D dan L alanin yang optimal untuk produksi DAAO adalah 3:1. Dengan pertimbangan faktor ekonomi maka asam amino rasemat D,L-alanin lebih banyak digunakan sebagai senyawa penginduksi. Berbeda dengan F. oxysporum, produksi DAAO dari T. variabilis dilaporkan lebih sesuai menggunakan senyawa penginduksi berupa turunan asam amino yang tidak dapat dimetabolisme oleh sel. Dibandingkan dengan induksi DAAO menggunakan D-alanin, penggunaan N-Carbamoyl-D-alanine mampu meningkatkan aktifitas DAAO dalam sel sebesar 4,2 kali (Horner et al. 1996) serta penggunaan 3-(3,4-Dihydroxyphenyl) D,Lalanin meningkatkan sebesar 4,1 kali (Gupta et al. 2012). Gabler & Fischer (1999) melaporkan bahwa pembatasan konsentrasi oksigen terlarut pada kultivasi T. variabilis dalam fermentasi cair sangat penting. Oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup diperlukan pada fase pertumbuhan sel (setelah 12 jam kultivasi) dan menurun menjadi pO2 < 10%
Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika
hingga fase stasioner (sekitar jam ke 18). Pada fase stasioner DAAO disintesis secara maksimal ketika konsentrasi oksigen berada dalam jumlah yang terbatas serta tersedianya senyawa penginduksi. Hal ini disebabkan karena tejadinya reaksi reoksidasi FAD (kofaktor enzim DAAO) sangat bergantung pada konsentrasi oksigen terlarut. Sel merespon kondisi menurunnya proses asimilasi D-asam amino dan terbatasnya konsentrasi oksigen terlarut dengan meningkatkan sintesis DAAO. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sel menjadi terhambat. Temperatur merupakan faktor yang secara umum berpengaruh terhadap fermentasi. Gabler & Fisher (1999) melaporkan bahwa produksi DAAO dari F. oxysporum mencapai aktifitas DAAO dan pertumbuhan miselia yang maksimum pada temperatur inkubasi 30°C dalam waktu 7 hari. Penurunan temperatur inkubasi menjadi 15°C atau kenaikan temperatur menjadi 40°C mengakibatkan tidak terbentuknya DAAO. Hal yang sama juga dilaporkan untuk produksi DAAO dari T. variabilis (Gupta (2012), F. heterosporum dan N. haematococca (Saleem et al. 2012), sedangkan temperatur optimum untuk produksi DAAO oleh R. gracillis dilaporkan pada 37°C (Simmonetta et al. 1998). pH medium juga sangat berpengaruh terhadap produksi DAAO. Horner et al. (1996) melaporkan bahwa pada kultivasi T. variabilis, pH medium turun dari 6,0 menjadi sekitar 2,2 pada akhir fermentasi. Dengan menggunakan senyawa penginduksi Ncarbamoyl-D,L-alanine serta tanpa perlakuan pengontrolan pH medium (pH akhir fementasi 2,2), produksi DAAO lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol pH (pH medium dikontrol antara 3,8-6,0). Hal ini diduga terkait dengan proses pemanfaatan senyawa penginduksi yang dipengaruhi oleh pH medium. Pada proses kultivasi dengan perlakuan kontrol pH, sel dapat tumbuh lebih baik, namun enzim DAAO yang dihasilkan lebih sedikit. Produksi DAAO dari Mikroba Rekombinan Guna meningkatkan produksi enzim, mikroba rekombinan telah digunakan untuk mengekspresikan enzim DAAO. E. coli rekombinan yang dihasilkan dari sistem pT7DAAO mampu mengekspresikan enzim
RgDAAO dengan aktifitas volumetrik sebesar 2300 U/L dan aktifitas spesifik 930 U/g sel (Molla et al. 1998). Dengan desain kombinasi gen dan heterologues over-expression RgDAAO dalam Pichia pastoris dapat dihasilkan enzim RgDAAO dengan produktifitas 3,1 kUnit/L.jam dan aktifitas volumetrik mencapai 350 kUnit/L yang diperoleh melalui fermentasi secara fed-batch (Abad et al. 2011). Dengan menggunakan teknik optimasi bertahap, Pichia pastoris mampu mengekspresikan TvDAAO dengan spesifik aktifitas enzim mencapai 1,3 kU/g sel kering serta aktifitas volumetrik 218 kU/L yang diperoleh dengan menggunakan metanol senyawa penginduksi (Abad et al. 2010). TvDAAO yang diekspresikan oleh E. coli menggunakan sistem, berturut-turut, pTvDAAO dan pET-DAAO serta senyawa penginduksi IPTG dan laktosa dapat menghasilkan aktifitas enzim 9700 dan 11.700 U/L (Dib et al. 2007; Hwang et al. 2000). APLIKASI ENZIM DAAO DARI MIKROBA Karakteristik utama enzim DAAO adalah spesifisitas kerja yang tinggi terhadap substrat isomer D-asam amino, dan bersifat tidak aktif terhadap substrat isomer L-asam amino (Khoronenkova & Tishkov 2008; Kuan et al. 2008). Berdasarkan karakteristik tersebut, enzim DAAO banyak digunakan dalam industri untuk memperoleh senyawa enantiomer murni L-asam amino dan αasam keto, sintesis bahan antara 7aminocephalosporanic acid (7-ACA) di industri farmasi dan pembuatan biosensor untuk deteksi D-asam amino guna keperluan analitik maupun klinik (Pollegioni & Molla 2011). Senyawa α-asam keto dan Lasam amino dibutuhkan oleh industri makanan dan farmasi. Sebagai contoh αasam keto digunakan sebagai agen terapeutik untuk pengobatan uremia yang kronik, sedangkan L-asam amino banyak digunakan untuk aditif makanan dan komponen dalam cairan infus. Produksi Senyawa Antara 7-ACA Aplikasi enzim DAAO yang paling penting adalah penggunaan dalam industri antibiotik untuk proses konversi sefalosporin C menjadi senyawa antara 7-ACA. Proses produksi 7-ACA secara enzimatis mempunyai beberapa keunggulan
137
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Gambar 2. Konversi sefalosporin C menjadi 7-ACA menggunakan dua tahap reaksi yang melibatkan enzim DAAO dan glutaril-7- ACA asilase (kiri) dan satu tahap reaksi yang dikatalisis oleh enzim sefalosporin asilase (kanan) (Pollegioni 2008)
dibandingkan dengan proses sintesis secara kimiawi. Proses sintesis 7-ACA secara kimiawi memerlukan pelarut organik yang toksik serta membutuhkan banyak tenaga. Sebagai alternatif produksi 7-ACA dapat dilakukan dengan transformasi secara enzimatik melalui dua tahap reaksi (Gambar 2). Tahap I: Reaksi deaminasi sefalosporin C menjadi 7-(5-oxoadipoamido) cephalosporanic acid yang dikatalisis oleh enzim DAAO dan selanjutnya reaksi dekarbosilasi menjadi glutaril 7-ACA terjadi secara spontan dengan adanya H2O2. Tahap II: Reaksi hidrolisis glutaril 7-ACA menghasilkan 7-ACA dilakukan dengan menggunakan enzim glutaril asilase. Dalam industri biokonversi, enzim DAAO amobil pada umumnya digunakan untuk meningkatkan stabilitas enzim. Imobilisasi enzim DAAO yang dihasilkan oleh R. gracilis dengan menggunakan matrik glioksi agarose teraktifasi dapat meningkatkan stabilitas sekitar 15.000 kali (Betancor et al. 2003). Proses biokonversi yang dikatalisis oleh enzim DAAO juga dapat dilakukan dengan menggunakan sel utuh. Faktor pembatas yang berupa hambatan difusi substrat ke dalam sel dapat diatasi dengan teknik
138
permeabilisasi sel. Kelemahan utama penggunaan sel utuh adalah adanya enzim yang lain seperti katalase dan esterase yang dapat menurunkan baik perolehan maupun kualitas produk glutrail 7-ACA. Sintesis L-asam Amino dan α-asam Keto Karakteristik enzim DAAO yang mempunyai spesifitas tinggi terhadap Dasam amino dapat dimanfaatkan untuk produksi α-asam keto maupun pemurnian Lasam amino dari campuran rasemik D,Lasam amino. Senyawa α-asam keto dan asam amino non-alami yang murni secara optik telah mendapat perhatian sejak lama oleh industri kimia dan farmasi, khususnya untuk penemuan obat. Enzim DAAO dari hati babi (pkDAAO) digunakan pertama kali pada tahun 1971 untuk membuat L-pipecolic acid dari campuran rasemik melalui oksidasi Disomer. L-pipecolic acid merupakan senyawa antara hasil katabolisme L-Lisin dari organisme yang mengalami kondisi disfungsi peroksisom (Tranchant et al. 1993). Asam amino ini mempunyai peranan yang sangat penting terutama yang berkaitan dengan penyakit pada sistem saraf (Plecko et al.
Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika
2005). Berbagai turunan L-pipecolic acid disintesis untuk digunakan sebagai obat neuroprotektif, imunodepresan dan antikanker (Maddess 2008). Pada perkembangan terakhir, enzim DAAO dari T. variabilis dan R. gracilis digunakan untuk menggantikan enzim DAAO dari hati babi. Senyawa penting dalam industri farmasi lainnya adalah 4-Methylthio-2oxobutyric acid (MTOBA). Sebagai prekursor metabolit dari senyawa methional, yaitu senyawa penginduksi yang kuat untuk proses apoptosis, MTOBA dapat digunakan sebagai obat antikanker. Pada sel kanker yang bersifat methionine-dependent, kandungan MTOBA lebih kecil dibandingkan dengan sel normal. Sintesis MTOBA dapat dilakukan dari oksidasi deaminasi dari Dmetionin. Metode terbaru yang lebih ekonomis untuk produksi MTOBA adalah berdasar pada pengolahan campuran rasemik D,L-metionin (Garcia-Garcia 2008). Senyawa penting lainnya yang dihasilkan dengan menggunakan enzim DAAO adalah L-6-hydroxynorleucine. Senyawa kiral ini digunakan untuk sintesis Omapatrilat dan seluruh seri inhibitor metalloproteinase (Patel 2001). Omapatrilat adalah inhibitor dari enzim pengkonversi angiotensin dan endopeptidase netral sehingga efektif digunakan sebagai obat antihipertensi (Patel 2001). Produksi L-6hydroxynorleucine stereoisomer dapat dilakukan menggunakan bahan baku campuran rasemik 6-hydroxynorleucine sebagai (Taylor 1998). L-asam amino yang mengandung kelompok naptalen banyak digunakan untuk pengembangan obat baru. Sebagai contoh L-2-naphthylalanine merupakan komponen dari obat peptide Naferelin (Caligiuri 2006a). Asam amino ini dapat dihasilkan dari campuran rasemik 2-naphthylalanine, dengan melibatkan tiga enzim, yaitu RgDAAO, katalase, dan L-aspartate aminotransferase (Caligiuri 2006b). Perkembangan terbaru potensi aplikasi senyawa D-asam amino untuk terapeutik adalah sebagai antibakteri, antijamur dan aktifitas sitotoksitas. Aktifitas antibakteri dari beberapa senyawa D-asam amino yaitu Dalanin, D-lisin, D-serin dan D-prolin telah diuji terhadap berbagai patogen, yaitu Bacillus subtilis ATCC 11562, Staphylococcus aureus ATCC 6538, Staphylococcus
epidermidis ATCC 12228, Escherichia coli ATCC 29425, Pseudomonas aeuriginosa ATCC 11921 dan Xanthomonas vesicatoria ATCC 11633. Aktifitas antibakteri dari asam amino di atas dilaporkan relatif rendah, dengan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) berada dalam rentang milimolar. Aktifitas antibakteri tertinggi ditunjukkan oleh D-lisin diikuti oleh D-alanin (Sanaa 2014). Hal yang menarik adalah penggunaan Dasam amino yang dikombinasikan dengan antibiotik lain sebagai antibakteri menunjukkan hubungan yang sinergistik sehingga meningkatkan aktifitas antibakteri. Kombinasi D-lisin dan D-alanin dengan sodium sefuroksim dilaporkan dapat menurunkan KHM dengan rentang berturutturut antara 5,0-6,5 kali dan 3,7-5,3 kali terhadap bakteri uji yang digunakan. Aktifitas antijamur dari D-lisin dan D-alanin juga dievaluasi terhadap Candida albicans, salah satu patogen utama penyebab infeksi nosokomial. Kedua asam amino menunjukkan aktifitas antijamur yang moderat dengan KHM berturut-turut, 39 dan 18 μg μL-1. Kombinasi kedua asam amino dengan ampoterisin B mampu menurunkan KHM sebesar 6 kali. Biosensor Enzim DAAO juga telah dimanfaatkan sebagai biosensor untuk deteksi D-asam amino yang dihasilkan oleh organisme. Meskipun analisa D-asam amino dengan metode kromatografi telah menghasilkan metode yang sensitif, tepat dan akurat, namun mempunyai kelemahan yaitu memerlukan waktu lama, peralatan mahal dan metode yang sulit. Oleh karena itu deteksi D-asam amino yang berbasis pada kerja enzim DAAO sangat diperlukan untuk keperluan analitik maupun klinik (Pilone & Pollegioni 2010). Di bidang kesehatan, deteksi D-asam amino dalam tubuh dapat digunakan sebagai indikator berbagai penyakit yang terkait dengan kelainan fungsi syaraf dan psikiatrik seperti scizoprenia (Chumakov et al. 2002; Hashimoto et al.2003; Tsai et al. 2006; Bendikov et al. 2007), iskemia, epilepsi dan nyeri kronik yang disebabkan oleh saraf (Zhao et al. 2010). Di bidang pangan, biosensor yang bekerja berdasar atas enzim DAAO telah digunakan untuk deteksi kontaminasi makanan oleh bakteri. D-asam amino
139
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
merupakan komponen peptidoglikan dari dinding sel bakteri sehingga keberadaannya dalam makanan dapat digunakan sebagai indikator terjadinya kontaminasi oleh bakteri (Sacchi et al. 2004). Enzim DAAO Untuk Bidang Pertanian Dalam bidang pertanian, kontribusi penting bioteknologi terkait dengan tanaman transgenik. Tanaman mempunyai kemampuan yang terbatas dalam metabolisme D-asam amino, tetapi dapat menyerap D-asam amino yang berasal dari lingkungan. Karena sel tanaman tidak mempunyai enzim DAAO indigenous maka akumulasi D-asam amino dalam tanaman akan meningkat sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Erikson et al. 2004). Guna mengatasi masalah tersebut, tanaman transgenik Arabidopsis thaliana yang dapat mengekspresikan RgDAAO telah berhasil dikembangkan Erikson et al. (2004). Tanaman transgenik ini mampu mengkonversi D-asam amino menjadi Dasam α-keto yang tidak berbahaya bagi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman tidak terhambat. Sistem ini telah dikonfirmasi menggunakan tanaman transgenik padi, dan dilaporkan bahwa ekspresi TvDAAO ke dalam tanaman tidak menimbulkan abnormalitas tanaman (Lin et al. 2009). KESIMPULAN DAAO merupakan enzim yang penting untuk aplikasi di bidang bioteknologi pangan, kesehatan maupun pertanian. Potensi aplikasi enzim DAAO terus berkembang seiiring dengan ditemukannya berbagai aplikasi baru. Pada awalnya enzim DAAO dihasilkan dari ginjal babi, sehingga tidak sesuai untuk aplikasi dalam skala besar. Sebagai alternatifnya, DAAO dapat dihasilkan dengan menggunakan mikroba. Selain dapat mengatasi masalah yang terkait dengan keekonomian, enzim DAAO dari mikroba juga menunjukkan karakteristik yang lebih baik, seperti produktifitas dan stabilitas enzim. Dengan memanfaatkan bioteknologi modern melalui rekayasa genetika dan pemahaman fungsi struktur yang lebih baik, maka diharapkan dapat dihasilkan varian baru enzim DAAO dengan karakteristik yang baru.
140
DAFTAR PUSTAKA Abad S, J Nahalka, G Bergler, SA Arnold, R Speight, I Fotheringham, B Nidetzky, A Glieder (2010) Step wise engineering of a Pichia pastoris D-amino acid oxidase whole cell catalyst. Microb Cell Fact 9(24):1-12. Abad S, J Nahalka, M Winkler, G Bergler, R Speight, A Glieder, B Nidetzky (2010) High-level expression of -amino acid oxidase in Pichia pastoris. Biotechnol Lett 33(3):557-563. Ballagi A (1999) High cell densityfermentation of Trigonopsis variabilis with D-amino acid oxidase production. M.Sc. Thesis, Biochemistry and Biotechnology Department, The Technical University of Braunschweig. Bendikov I, C Nadri, S Amar, R Panizzutti, J De Miranda, H Wolosker, G Agam (2007) A CSF and postmortem brain tudy of D-serine metabolic parameters in schizophrenia. Schizophr Res 90(13):41-45. Caligiuri A, E. Rosini, P D’arrigo, D Tessaro, G Molla, L Pollegioni (2006b) Enzymatic conversion of unnatural amino acids by yeast D- amino acid oxidase. Adv Synth Catal 348(15):2183-2190. Caligiuri A, P D’arrigo, T Gefflaut, G Molla, L Pollegioni, E Rosini, S Servi (2006a) Multistep enzyme catalysed deracemisation of 2-naphthyl alanine. Biocatal Biotransfor 24(6):409-413. Chumakov I, M Blumenfeld, O Guerassimenko, L Cavarec, M Palicio, H Abderrahim, L Bouqueleret, C Barry, H Tanaka, P La Rosa, A Puech, N Tahri, A Cohen-Akenine (2002) Genetic and physiological data implicating the new human gene G72 and the gene for D-amino acid oxidase in schizophrenia. Proc Natl Acad Sci USA 99(21):3675-13680. Dib I, Stanzer D, Nidetzky B (2007) Trigonopsis variabilis D-amino acid oxidase: control of protein quality and opportunities for biocatalysis through production in Escherichia coli. Appl Environ Microbiol 73(1):331-333. Erikson O, M Hertzberg, T Näsholm (2004) A conditional marker gene allowing both positive and negative selection in plants. Nat Biotechnol 22(4):455-458. Gabler M & L Fisher (1999) Production of a new D-amino acid oxidase from the
Tinjauan: D-Asam Amino Oksida… Ahmad Wibisana & Indria Puti Mustika
fungus Fusarium oxysporum. Appl Environ Microbiol 65(8):3750-3753. Garcia-Garcia M, I Martinez-Martinez, A Sanchez-Ferrer, F Garcia-Carmona (2008) Production of the apoptotic cellular mediator 4-methylthio-2-oxobutyric acid by using an enzymatic stirred tank reactor with in situ product removal. Biotechnol Prog 24(1):187-191. Gupta N, RK Gundampati, M Debnath (2012) Screening of Novel Inducer for D-amino Acid Oxidase by Trigonopsis variabilis. Int J of Bioscience Biochem Bioinformat 2(3):200-2002. Hashimoto K, T Fukushima, E Shimizu, N Komatsu, H Watanabe, N Shinoda, M Nakazato, C Kumakiri, S Okada, H Hasegawa, K Imai, M Iyo (2003) Decreased serum levels of D-serine in patients with schizophrenia: evidence in support of the N-methyl-Daspartate receptor hypofunction hypothesis of schizophrenia. Arch Gen Psychiatry 60(6):572-576. Horner R, F Wagner, L Fisher (1996) Induction of the D-amino acid oxidase from Trigonopsis variabilis. Appl Environ Microbiol 62(6):2106-2110. Hwang TS, HM Fu, LL Lin, WH Hsu (2000) High-level expression of Trigonopsis variabilis D-amino acid oxidase in Escherichia coli using lactose as inducer. Biotechnol Lett 22(8):655-658. Khoronenkova SV & VI Tishkov (2008) DAmino Acid Oxidase: Physiological Role and Applications. Biochem 73(13):1511-1518. Kuan I, R Liao, H Hsieh, K Chen, C Yu (2008) Properties of Rhodotorula gracilis D-amino acid oxidase immobilized on magnetic beads through HisTag. J Biosci Bioeng 105(2):110-115. L Pollegioni & G Molla (2011) New biotech applications from evolved D-amino acid oxidases. Trends Biotechnol 29(6):276-283. Lin SY, JD Wang, JH Lin (2009) Expression of Trigonopsis variabilis D-amino acid oxidase in transgenic rice for cephalosporin production. Botanical Stud 50:181-192. Maddess ML, MN Tackett, SV Ley (2008) Total synthesis studies on macrocyclic pipecolic acid natural products: FK506, the antascomicins and rapamycin. Progress in Drug Research 66:15-186. Massey V & P Hemmerich (1980) Active-site
probes of flavoproteins. Biochem Soc Trans 8(3):246-257. Molla G, Vegezzi C, Pilone MS, Pollegioni L (1998) Overexpression in Escherichia coli of a recombinant chimeric Rhodotorula Gracilis D-amino acid oxidase. Protein Expr Purif 14(2):289-294. Patel RN (2001) Enzimatic synthesis of chiral intermediate for Omapatrilat, an anti-hypertensive drug. Biomol Eng 17(6):167-182. Patel RN (2001) Enzymatic synthesis of chiral intermediate for drug development. Adv Synth Catal 343(6-7):527-546. Pilone MS & L Pollegioni (2010) Enzymes, D-amino acid oxidases in Encyclopedia of Industrial Biotechnology: Bioprocess, Bioseparation, and Cell Technology (Flickinger, M.C., ed.), pp. 1–11, John Wiley & Sons Plecko B, C Hikel, GC Korenke, B Schmitt, M Baumgartner, F Baumeister, C Jakobs, E Struys, W Erwa, S StocklerIpsiroglu (2005) Pipecolic acid as a diagnostic marker of pyridoxinedependent epilepsy. Neuropediatrics 36(3):200-205. Pollegioni L, G Molla, S Sacchi, E Rosini, R Verga, MS. Pilone (2008) Properties and applications of microbial D-amino acidoxidases: current state and perspectives. Appl Microbiol Biotechnol 78(1):1-16. Pollegioni L, L Piubelli, S Sacchi, MS Pilone, G Molla (2007a) Physiological functions of D-amino acid oxidases: from yeast to humans. Cell Mol Life Sci 64(11):1373-1394. Pollegioni L, S Sacchi, L Caldinelli, A Boselli, MS Pilone, L Piubelli, G Molla (2007b) Engineering the properties of D-amino acid oxidases by a rational and a directed evolution approach. Curr Protein Pept Sci 8(6):600-618. Pollegioni L, G Molla, S Sacchi, E Rosini, R Verga, MS Pilone (2008) Properties and applications of microbial D-amino acid oxidases: current state and perspectives. Appl Microbiol Biotechnol 78(1):1-16. Prell A, P Kujan, H Safar, P Holler, K Plhackova, A Sobotka (2001) D-amino acid oxidase an improved production of the enzyme by the yeast Trigonopsis variabilis in laboratory fermentor. Folia Microbiol 46(5):427431.
141
J Bioteknol Bios Indon – Vol 2 No 2 Thn 2015
Rosini E, L Pollegioni, S Ghisla, R Orru, G Molla (2009) Optimization of Damino acid oxidase for low substrate concentrations towards a cancer enzyme therapy. FEBS J 276(17):4921-4932. Sacchi S, E Rosini, G Molla, MS Pilone, L Pollegioni (2004) Modulating D-amino acid oxidase substrate specificity: production of an enzyme for analytical determination of all D-amino acids by directed evolution. Protein Eng Des Sel 17(6):517-525. Sacchi S, M Bernasconi, M Martineau, JP Mothet, M Ruzzene, MS Pilone, L Pollegioni, G Molla (2008) pLG72 modulates intracellular D-serine levels through its interaction with D-amino acid oxidase: effect on schizophrenia susceptibility. J Biol Chem 283(32):22244-22256. Saleem A, AM Moharram, N Fathy (2012) Production and optimization of Damino acid oxidase which is involved in the biosynthesis of β-lactam antibiotics. African Journal of Microbiology Research 6(20):4365-4376. SK Bardaweel (2014) D-amino Acids: Prospects for new therapeutic agents. J Med Bioeng 3(3):195-198.
142
Simonetta PM, R Verga, A Fretta, GM Hanozet (1989) Induction of D-amino acid oxidase by D-alanine in Rhodotorula gracilis grown in identified medium. Microbiology 135(3):593-600. Taylor PP, DP Pantaleone, RF Senkpeil, IG Fotheringham (1998) Novel biosynthetic approaches to the production of unnatural amino acids using transaminases. Trends Biotechnol 16(10):412-418. Tranchant C, P Aubourg, M Mohr, F Rocchiccioli, C Zaenker, JM Warter (1993) A new peroxisomal disease with impaired phytanic and pipecolic acid oxidation. Neurology 43(10):2044-2048. Tsai GE, P Yang, YC Chang, MY Chong (2006) D-Alanine added to antipsychotics for the treatment of schizophrenia. Biol Psychiatry 59(3):230-234. Verrall L, PWJ Burnet, JF Betts, PJ Harrison (2010) The neurobiology of D-amino acid oxidase (DAO) and its involvement in schizoprenia. Mol Psychiatry 15(2):122137. Zhao WJ, ZY Gao, H Wei, HZ Nie, Q Zhao, XJ Zhou, YX Wang (2010) Spinal D-amino acid oxidase contributes to neuropathic pain in rats. J Pharmacol Exp Ther 332(1):248-25
INDEKS KATA KUNCI A
Escherichia coli ....106, 107, 109, 110, 139, 140, 141
air panas bertekanan .................... 95, 96, 98, 99 alkaline lysis .................................................. 106 ampas kelapa ............................................... 127 amplification.................................................... 88
F
fermentasi .........96, 99, 127, 132, 133, 136, 137 fermentation 127, 128, 129, 130, 132, 133, 134,
amplifikasi............................................ 88, 92, 93 aplikasi...................................134, 135, 139, 140
140 Fitoremediasi................................................. 101
application ............................................. 105, 134 aquatic plants ................................................ 101 Aquilaria beccariana...................... 111, 112, 118 auksin ... 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119 auxin ............................. 111, 119, 121, 122, 123
H
hidrolisis........................... 95, 96, 97, 98, 99, 138 Hoagland medium ........................................ 101 hot compressed water .................................... 95 hydrolysis ................................................ 95, 100
B
ball mill..................................... 95, 96, 97, 98, 99 batang kelapa sawit ...................... 95, 97, 98, 99 bioetanol .................................. 95, 96, 97, 98, 99 bioethanol .................................................. 95, 99 C
cepat.............................................. 106, 108, 135
I
in vitro cultures .............................................. 119 Induksi perakaran ...................................... 119 ISSR.............................................. 88, 89, 90, 93 J
jenis agar ..................................................... 119
chromium ...................................................... 101
K
coconut bagasse ................................... 127, 128
Keladi tikus .................. 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94
Cyprinus carpio .....................127, 128, 132, 133
kromium ........................101, 102, 103, 104, 105
cytokinin......................................................... 111
kultur in vitro ............................... 111, 112, 119
D
L
DAAO ........... 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140
limbah cair ..................................... 101, 104, 105
D-amino acid ................ 134, 135, 140, 141, 142
liquid waste ................................................... 101
D-asam amino...... 134, 135, 137, 138, 139, 140
lisis alkali ....................................... 106, 107, 108
dedak............................................................. 127
M
E
medicinal plant ............................................... 88
elongasi .......... 90, 111, 112, 113, 114, 115, 117
medium Hoagland ........................ 101, 104, 105
elongation .............................................. 111, 114 Enzim ..... 98, 108, 134, 135, 136, 138, 139, 140
O
oil palm trunk ................................................... 95
Enzyme ................................................. 100, 134
143
P
S
Phytoremediation ..................................101, 105
sago palm......................119, 120, 121, 125, 126
pICZ A .......................... 106, 107, 108, 109, 110
sagu ......................................119, 125, 126, 132
Plasmid isolation............................................ 106
shoot..............................111, 122, 123, 124, 125
production ...... 95, 100, 120, 128, 131, 134, 140,
sitokinin................. 111, 112, 113, 114, 116, 117
141, 142 produksi89, 94, 95, 96, 103, 104, 112, 125, 134, 136, 137, 138, 139
solidifying agent.....................119, 121, 123, 125 T
tanaman air ...................101, 102, 103, 104, 105
R
tanaman obat ............................................ 88, 89
rapid ...............................................106, 110, 118
tunas............. 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117
Rhizopus oryzae
Typhonium flagelliforme
R. orzyae ............................................127, 128, 133
T. flagelliforme ............................................. 88, 94
rice bran.................................................127, 128
Typonium flagelliforme ............................ 88, 89
Rooting induction........................................... 119
144
INDEKS PENGARANG
A
Juwartina Ida Royani ................................ 88
Ahmad Wibisana .....................................134
K
Alfik Indarto .............................................106
Karyanti .......................................... 119, 126
Anna Safarrida ........................................101
Kinya Sakanishi ........................................ 95
C
Kotetsu Matsunaga ................................... 95
Catur Sriherwanto ...................................127
M
D
M Fazri Hikmatyar ..................................... 88
Daru Mulyono ..........................................111
N
Dasumiati ..................................................88
Nadirman Haska ..................................... 119
Dudi Hardianto ........................................106
Ngadiman ............................................... 101
E
Nurtjahjo Dwi Sasongko .......................... 106
Edi Sandra ..............................................111
R
Etyn Yunita ..............................................127
Robby Dzul Umam .................................. 127
H
S
Hiroyuki Inoue ...........................................95
Suyanto .................................................... 95
I
T
Imam Suja’i .............................................127
Tati Sukarnih........................................... 119
Indria Puti Mustika ...................................134
Teuku Tajuddin ....................................... 119
J
Y
Jaka Widada ...........................................101
Yusuf Sigit Ahmad Fauzan...................... 111
145
PETUNJUK UNTUK PENULIS
menyisipkan kotak dengan tinggi 4 cm untuk penempatan logo Jurnal
JUDUL ARTIKEL DALAM DWI BAHASA (HURUF BESAR, TEBAL, TENGAH, ARIAL 14, tidak lebih dari 15 kata) Article Title (Capitalized each word, Arial 12, Center) Penulis Pertama (Huruf awal kapital, tanpa gelar, center, Arial bold 10) Apabila nama penulis lebih dari satu maka alamat korespondensi diberi tanda bintang (*). Alamat Instansi (tengah, tidak tebal, arial 10) E-mail:
[email protected] ABSTRACT (Arial Bold 10, 1 cm from left and right margin) Abstract should be written in Indonesian and English using Arial font, size 10 pt, italic, single spasing. Abstract should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in bahasa Indonesia and 150 words in English. If the article is written in English, the first abstract is in Bahasa, and vise versa. Keywords: 5 keywords (Arial 10) ABSTRAK (Arial Bold 10, 1 cm dari margin kiri dan kanan) Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Arial, ukuran 10, italic, spasi tunggal. Abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan 150 kata dalam bahasa Inggris. Jika artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka abstrak pertama dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya. Kata kunci: 5 kata kunci (Arial 10)
ATURAN UMUM Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 2.5 cm, margin bawah 2,5 cm, margin kiri 2,5 cm dan kanan 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm, ukuran huruf 11 arial. Indent kalimat pertama dalam setiap paragraf adalah 1 cm. Panjang naskah maksimal 8 halaman, termasuk lampiran. Jarak antar baris dan antar paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah disusun dalam 4 subjudul yaitu:
PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN. Subjudul ditulis dengan huruf kapital. UCAPAN TERIMA KASIH (jika ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (jika ada) ditulis berurutan setelah kesimpulan dan di awal kata tidak diberi nomor. Subjudul untuk naskah bahasa Inggris sebagai berikut: INTRODUCTION, MATERIALS AND METHODS, RESULTS AND DISCUSSION, CONCLUSION. ACKNOWLEDGEMENT (jika ada), REFERENCES dan APPENDIX
(jika ada) ditulis berurutan setelah Conclusion. Sub-subjudul (jika ada) ditulis tanpa penomoran, dengan huruf kapital di awal setiap kata, bold, indent 1 cm. Penggunaan catatan kaki tidak diperkenankan. Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu bisa ditulis kata singkatnya. PENDAHULUAN (ARIAL KAPITAL, BOLD)
11,
HURUF
Pendahuluan mencakup hal -hal berikut ini: latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, dan hipotesis (jika ada). BAHAN DAN METODE HURUF KAPITAL, BOLD)
(ARIAL
11,
Bahan (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Alat dan bahan yang dipakai dalam penelitian harus ditulis dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Metode (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Demikian juga dengan metode penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah. HASIL DAN PEMBAHASAN (ARIAL 11 BOLD, HURUF KAPITAL) Hasil dan pembahasan hanya berisi hasil penelitian yang relevan dengan tema kajian. Tabel hanya menggunakan garis horizontal, ditulis dengan arial ukuran 9 dan berjarak satu spasi dari judul tabel. Judul tabel ditulis dengan arial ukuran 9 dan ditempatkan di atas tabel. Kata tabel dan Tabel 1. Hasil etanol pada percobaan dan perkiraan pada keadaan optimum
Variabel
Nilai Optimum
Sugar (g/L)
206,01
Urea (g/L)
3,16
Inokulum (%v/v)
23,05
Hasil Etanol Optimum (g/L) Percobaan
Perkiraan
58,97
59,77
Gambar 1. Bioasay Transforman U dan W Penicilin A. Nidulans G191 dan pXBG1. Baris bawah diperlukan dengan penicilinase.
nomor tabel ditulis bold. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1,2,…..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah. Gambar diletakkan setelah disebutkan dalam naskah, gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman dan tidak boleh diapit kalimat. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab (1,2,…..). Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf arial berukuran 9, diletakkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Kata gambar dan nomor gambar ditulis bold. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Grafik ditampilkan dengan cara penyajian yang sederhana tanpa warna latar atau garis. KESIMPULAN Kesimpulan bisa berupa kesimpulan khusus dan kesimpulan umum. Kesimpulan khusus merupakan hasil analisa data atau hasil uji hipotesa tentang fenomena yang diteliti. Kesimpulan umum sebagai hasil generalisasi atau keterkaitan dengan publikasi terdahulu. DAFTAR PUSTAKA Penulisan daftar pustaka dengan urutan pengutipannya
sesuai dalam
Guo Q, G Daosen, B Zhao, J Xu, R Li (2007) Two cyclic dipeptides from Pseudomonas Fluorescens GcM5-1A carried by the pine wood nematode and their toxicities to Japanese black pine suspension cells and seedlings in vitro. J Nematol 39(3):243-247. Salehizadeh H & SA Shojaosadati (2003) Removal of metal ions from aqueous solution by polysaccharide produced from Bacillus firmus. Water Res 37(17):4231-4235. Buku Moore-Landecker E (1990) Fundamentals of the Fungsi. Ed. Ke-3 Prentice Hall, Inc., New Jersey
Gambar 2. Internal temperature and pH of fermented GSP at optimized conditions for 7 days (top); Amylase, FPase and CMCase activities in fermented GSP at different source of nitrogen, 55 ml liquid/50 gm substrate moisture, 30 °C incubation temperature and initial pH of 6.0 (bottom).
naskah dibuat sejajar dalam dua kolom. Jumlah sumber acuan dalam satu tulisan paling sedikit sepuluh sumber acuan, dengan 80% merupakan sumber acuan primer dan 80% merupakan terbitan 5 tahun terakhir. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk dalam sumber acuan sekunder. Format daftar pustaka yang digunakan mengacu pada model APA yang dikembangkan oleh American Psychological Association, seperti contoh berikut ini: Jurnal Andrews JM (2001) Determination of minimum inhibitory concentration. J Antimicrob Chemother 48 (suppl.1): 5-16.
Bab dalam buku: Weiss R (1984) Experimental biology and assay of RNA tumor viruses, hlm. 209260. Di dalam: R Weiss, N. Teich, H. Varmus & J. Coffin (ed.), RNA Tumor Viruses, vol. 1. Cold Spring Harbor Laboratory. Cold Spring Harbor, New York. Prosiding: Raffiudin R, D Nandika, M Amir, N Si (1991) Populasi flagelata pada usus rayap Coptotermes curvignatus Holmgren dengan Pemberian pakan tiga jenis kayu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional: Biologi Ketahanan Bangsa Melalui Perbaikan Mutu Pangan, Kesehatan, dan Lingkungan11: 482-487. Artikel dari internet: WHO (World Health Organization) (2009) Dengue and dengue haemorrhagic fever. http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs117/en/index.html, diakses 6 Mei 2014.
ALAMAT PENGIRIMAN NASKAH Redaksi JBBI Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT Gedung 630 – Kawasan Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten, 15314 E-mail:
[email protected]
Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT Center for Biotechnology Assessment - BPPT PELAYANAN TEKNIS PENGUJIAN DAN JASA HPLC-MS (Liquid Chromatography – Mass Spectrometry ) LC -MS untuk analisa senyawa berdasarkan berat molekul. Sampel harus larut dalam air/ metanol / acetonitril. Sampel harus berupa senyawa (bukan elemen) dengan berat molekul lebih besar dari 100 dalton. Sampel murni hanya 1 senyawa dapat langsung dianalisa dengan LC MS dengan direct infusion tanpa melalui HPLC. Untuk sample campuran/ ekstrak harus dianalisa melalui HPLC dan keberhasilan analisa ditentukan oleh pemisahan senyawa menggunakan HPLC. LC-MS juga dapat menganalisa asam amino esensial, vitamin dan lain-lain. HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Bahan pengawet kuantitatif (asam benzoat, boraks, asam salisilat), pemanis buatan kuantitatif (sakarin, siklamat, aspartam), pewarna makanan kuantitatif, antibiotik (penisilin, tetrasiklin, eritromisin, siklosporin, sepalosporin, statin (lovastatin, simvastatin), vitamin ( B12, C), pola fitokimia, alkohol, metanol, etanol, asam lemak, asam linoleat, asam oleat, asam arachidonat, glukosa, manosa, ramnosa, hormon (IAA, IBA, adenin, hemisulfat, kinetin, zeatin), dan lain-lain. Spektrofotometri, Gravimetri dan Analisa Proksimat SNI • Karbon-organik, kalsium, fosfor, magnesium, besi, klorida, nitrat, nitrit, sulfat, gula pereduksi dan gula total. • neutral detergent fibre (NDF), acid detergent fibre (ADF) dan lignin, selulosa, hemiselulosa. • Kadar air, abu total, bobot jenis, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar.
• • • •
Biologi Molekuler (16s rRNA, 28s rRNA, ITS dan GMO serta SDS-page) Sequensing DNA, identifikasi bakteri, jamur dan yeast secara molekuler. Deteksi Genetically Modified Organism (GMO) . Amplifikasi DNA, PCR (Ploymerase Chain Reaction) dan SDS Page. Transformasi pada Escherichia coli.
Mikrobiologi (Cemaran Mikroba Makanan dan Minuman) • Uji Escherichia coli, coliform, Salmonella sp., Clostridium perfringens, enterococci, Staphylicoccus aureus, Vibrio cholerae • Uji angka lempeng total, uji kapang dan khamir. Produksi Bibit Tanaman dan Pupuk Hayati • Uji zona bening. • Bibit tanaman kehutanan, perkebunan, hortikultura, tanaman hias dan angrek. • Uji efektivitas sanitizer, sabun dan toiletries lainnya. • Pupuk hayati (mikoriza, penambat nitrogen, penghasil zat tumbuh dan pelarut fosfat). • Uji mikrobiologi lainnya • Pakan dan suplemen pakan ternak ruminansia, unggas dan ikan. • Dekomposer.
• • • •
Praktikum dan Pelatihan Bioteknologi Dasar-dasar mikrobiologi dan pengujian mikrobiologi. Kultur jaringan tanaman in vitro dan kultur ex vitro. Dasar-dasar teknologi gen/DNA dan identifikasi secara molekuler. Teknologi fermentasi dan proses hilir. Kontak Person: Bioteknologi Industri : Bioteknologi Pertanian : Kerjasama : Jasa Pengujian :
BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI
Dr. Edi Marwanta, M.Eng Ahmad Riady, M.Si Danang Waluyo, M.Eng Imron Rosidi
CENTRE CENTERFOR FORBIOTECHNOLOGY BIOTECHNOLOGYASSESSMENT ASSESMENT
(0858 838 16566) (0815 808 8442) (0858 143 55173) (0856 745 1933)