BAHAN PENGANTAR PEMAHAMAN ALKITAB SELASA, 17 APRIL 2012
WAHYU 17-19
Bahan Pemahaman Alkitab kita hari ini lumayan panjang, yaitu Wahyu 17-19. Oleh karena itu, saya memilih beberapa point yang dapat kita jadikan bahan diskusi bersama. Bagian ini menceritakan tentang keberadaan Babel dan bagaimana pada akhirnya Babel itu sendiri menuai kehancuran akibat dosa-dosanya yang bertumpuk-tumpuk. 1. Si Perempuan “Pelacur Besar” Pasal 17 diawali dengan kisah seorang malaikat yang menunjukkan adanya sosok perempuan pelacur besar yang duduk di atas tempat yang banyak airnya. Kata pelacur di sini agaknya mengacu pada makna “penyelewengan keagamaan”,sehingga dapat dikatakan bahwa pelacur besar itu adalah kekuasaan Roma yang “menyelewengkan” penyembahan Tuhan kepada penyembahan kaisar. Hal tentang penyembahan kepada kaisar ini telah beberapa kali dibahas dalam pengantar PA sebelumnya. Sedangkan gambaran tempat yang banyak airnya mengambarkan Laut Besar (Laut Tengah) yang adalah juga daerah kekuasaan Roma. Digambarkan juga bahwa pelacur besar (alias Babel) telah menjalin kerjasama dengan banyak raja sehingga kekuasaannya semakin besar saja. Adegan berlanjut pada Yohanes yang dibawa ke padang gurun tempat seorang perempuan yang adalah Babel itu duduk di atas binatang dengan nama-nama hujat. Agak sedikit rancu, bukankah tadinya disebutkan bahwa ia duduk di tempat yang banyak airnya? Okey, mari kita ikuti saja alur yang disuguhkan oleh penulis. Padang gurun dalam tradisi kekristenan digambarkan sebagai tempat asketis para rahib karena dipercaya sebagai tempat bersemayam roh-roh jahat. Bahkan para rahib pada jaman itu menyempatkan diri pergi ke padang gurun untuk berperang melawan roh jahat sebagai bentuk disiplin rohani. Jadi, bisa dikatakan bahwa perempuan Babel pelacur itu adalah sekutu dari roh-roh jahat yang berdiam di sana. Dikatakan pula perempuan ini mabuk oleh darah orang-orang kudus dan para saksi Yesus. Hal ini nampak sebagai sebuah sindiran bahwa pemerintahan Roma yang memaksakan agama kaisar sebagai agama negara telah “sukses” melahirkan martir-martir Kristen. Dalam bagian ini juga diungkapkan rahasia dari simbol-simbol yang telah disebutkan di depan. Agaknya penulis pasal 17 ini cukup “murah hati” dalam menyampaikan pesan yang disertakan sekalian tentang maksudnya sekalipun masih bernuansa terselubung. Binatang di sini nampaknya adalah gambaran dari kekuasaan kaisar Roma. Binatang “yang telah ada namun tidak ada” mengacu pada penganiayaan yang diderita gereja pada masa lalu. Frasa “ia akan muncul” mengingatkan bahwa penganiayaan yang serupa masih akan ada, sekalipun dalam bentuk lain. Penganiayaan itu nampaknya masih akan muncul lagi walaupun kekaisaran Roma sudah beberapa kali berganti pemimpin. Di sinilah sebenarnya gereja ditantang untuk tetap memiliki pengharapan itu sekalipun mereka sudah mengetahui bahwa penganiayaan itu akan tetap ada di sekitar mereka. Si perempuan, binatang, serta para sekutunya berkoalisi melawan Anak Domba. Akan tetapi, tentu saja Anak Domba yang akan menang karena Anak Domba memiliki kekuasaan mutlak sebagai Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja (17:14)
Usulan untuk diskusi ringan: Agak berbau gender, mengapa gambaran pelacur dalam teks ini adalah sosok perempuan? Mungkin bisa didiskusikan dalam kelompok apakah dewasa ini kata “pelacur” masih relevan apabila dialamatkan pada perempuan saja, sementara di luar sana juga banyak pelacur (atau PSK) yang berjenis kelamin laki-laki. 2. Kejatuhan Babel Ratapan atas Babel di pasal 18 ini mirip dengan ratapan Yehezkiel atas Tirus (Yeh 28:1-19) sehubungan dengan perkataan “Aku bertahta seperti ratu”. Kesombongan tiada tara yang dimunculkan atas sosok Babel itu menggambarkan kekuasaan yang seolah-olah memang tanpa tandingan di dunia ini sehingga hanya Allah-lah yang sanggup menumpas kekuatan jahat perempuan dan binatang itu. Sebenarnya saya bertanya-tanya, kapan Babel rubuh dan apa sebabnya, karena LAI dalam pasal 18 sudah memberikan judul perikop “Jatuhnya Babel”. Rupa-rupanya memang perikop ini menguak tentang “kemarahan” Sorgawi karena perbuatan Babel yang sudah tidak ketulungan lagi jahatnya. Digambarkan dalam adegan bahwa ada malaikat yang menyerukan tentang segala sesuatunya, bahkan ada seruan lain juga yang ditujukan kepada umat Allah agar menjauhi Babel. Babel akan segera hancur dan tertimpa malapetaka hebat karena segala dosanya. Saya agak bergidik juga saat membayangkan bahwa Pihak Sorgawi sendirilah yang turun tangan dalam pemusnahan Babel karena manusia tidak dapat melawan kekejamannya. Sehebat itukah belenggu kuasa kejahatan hingga manusia tidak dapat melawannya? Malahan Anak Domba sendiri yang turun tangan dalam menumpas Babel. Agak aneh dengan gambaran Allah yang kejam dalam memusnahkan Babel. Bahkan kemusnahan itu dilihat secara mengerikan oleh para sekutu Babel di pasal sebelumnya (bdk. 17:13), sehingga para sekutu Babel meratapi celakanya. Mungkin saja para sekutu itu meratapi diri mereka sendiri yang akan menjadi lemah setelah sekutu terkuat, yaitu Babel, dikalahkan oleh Allah. 3. Perjamuan Anak Domba atau Peperangan Surgawi? Alur cerita berlanjut pada rangkaian puji-pujian kepada keadilan Allah atas Babel, sekalipun keadilan penghukuman itu juga diratapi karena kengeriannya. Bagaimanapun, Allah telah bertindak secara adil dengan menghukum mereka yang jahat. Akan tetapi, kehancuran Babel itu menjadi sebuah tanda juga bahwa Allah memakai kekerasan dalam menghadapi kekerasan. Kelompok bisa mendiskusikan hal ini, apakah kekerasan memang hanya dapat dikalahkan dengan kekerasan juga? Berlanjut lagi pada cerita dimana ada pengumuman akan dilangsungkannya perjamuan Anak Domba, dimana mereka yang diundang oleh Anak Domba akan mendapat kemuliaan seperti kain lenan halus yang berkilau dan yang putih bersih. Inilah pengharapan yang dinantikan oleh umat Allah, bahwa mereka yang bertahan dan tidak ikut serta menyembah binatang akan diundang. Mereka yang tidak ambil bagian dalam kekejian Babel atau penyelewengan agama akan mendapat kemuliaan bersama Allah. Pasal 19 berakhir dengan sebuah adegan penunggang kuda putih yang turun dari Sorga untuk menggembalakan bangsa-bangsa dan menuntaskan kegeraman murka Allah. Tentu saja dalam hal ini kegeraman karena para saksi Allah yang dibunuh dan disiksa. Sosok penunggang kuda putih pernah muncul sebelumnya dalam pasal 6. Ada beberapa diskusi yang mempertanyakan kaitan di antara keduanya. Memang penunggang kuda putih dalam pasal 6 tidak memberikan kesan mengancam, hanya disebutkan bahwa ia akan maju dan
meraih kemenangan. Sedangkan penunggang kuda putih dalam pasal 19 ini saya lebih suka mengartikannya sebagai Anak Domba yang akhirnya akan maju dan meraih kemenangan atas kejahatan. Penunggang kuda putih ini memukul bangsa-bangsa dengan pedang yang keluar dari mulutnya. Penggambaran ini cocok dengan Yesus yang menggunakan mulutNya (firman) untuk memporak-porandakan berbagai pemikiran dan paradigma yang perlu diperbaharui. Yesus tidak berperang dengan pedang di tanganNya. Seorang malaikat memberi pengumuman kepada burung-burung pemakan bangkai untuk ikut serta dalam perjamuan makan besar. Memang pada akhirnya cerita berhenti pada happy ending saat binatang dan nabi-nabi palsunya dikalahkan dilemparkan ke lautan api. Di sinilah keraguan saya muncul, apakah ini yang disebut sebagai perjamuan besar karena Anak Domba telah menang? Sebuah kesukacitaan besar karena musuh telah hancur dan dicabik-cabik dengan mengerikan. Nampaknya segala usaha dari binatang dan sekutu-sekutunya sia-sia. Hal ini bisa berarti bahwa seganas dan sejahat apapun suatu hal, Allah sebagai sumber kebenaran akan tetap menang atasnya. Kejahatan bisa saja menindas manusia, bahkan sampai pada titik dimana manusia tidak dapat melawan kejahatan itu samasekali. Hanya Anak Domba yang bisa membasmi kejahatan itu. Hanya Allah saja yang mampu melepaskan manusia dari ketidakadilan yang sudah mencapai puncaknya.
Pertanyaan untuk diskusi: 1. Pada pasal 18 diceritakan bahwa umat Allah harus menjauhi Babel supaya tidak terkena imbas dosanya, biar Allah saja yang bertindak. Bagaimana pendapat saudara tentang hal ini? Apakah kita harus menjauhi orang jahat dan membiarkan Allah sendiri bertindak supaya kita tidak tercemari oleh kejahatan itu? 2. Sorga digambarkan bersukacita karena Babel sudah jatuh. Apakah sikap yang sama juga kita lakukan saat menemukan bahwa musuh yang sangat kita benci kalah dan hancur karena muncul pembela yang lebih kuat? 3. Masa sekarang ini bukan mustahil jika gereja-gereja terbelenggu oleh berbagai sistem dan kepentingan sehingga sulit untuk menyuarakan kebenarannya. Apakah benar bahwa hanya Allah saja yang sanggup melepaskan gereja dari berbagai belenggu itu? Bukankah sebenarnya belenggu itu seringkali muncul dari intern gereja sendiri?
Yogyakarta, 9 April 2012 Iromejan GK III no. 746 Pustaka: Daalen, David H. van, 1994. Pedoman ke dalam Kitab Wahyu Yohanes. Terj. Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia Groenen, C. 1984. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius
Kuasa Yang Menindas TakAkan Kekal fTanggapan Pengantar Pemahaman Alkitab Wahyu 17-19)
tidak akan menanggapi apa yang sudah dibahas oleh Wuri, dalam mencoba memahami Wahyu 17-19. Wuri sudah mencoba memahami Wahy\t L7 -L9 dengan memahami alur cerita dan konteks historis-kristisnya sebagaimana yang sudah banyak dilakukan oleh para pengulas kitab wahyu sebelumnya. Saya juga sadar bahwa membuat sebuah pengantar PA dari tiSa pasal kitab tidaklah mudah. Saya bersy'ukur bahwa Wuri tidak tergoda untuk menulis sebuah skripsi PA dari ketiga pasal kitab ini. Dalam tanggapan ini saya hanya mencoba menemukan sisi lain dari pemahaman atas Wah''u 17-19, dengan mendaratkannya dalam konteks masyarakat kita saat inl. Dengan meminjam cara lon Paulien membaca kitab Wahyu Oon Paulien, "Reading The Apocalypse From Popular Culture", 2003), kita diingatkan bahwa realitas Wahyu adalah juga realitas kita, terutama berkaitan dengan bagaimana kita berinteraksi satu dengan yang lain, dan terlebih jika itu berkaitan dengan hal klasa, kuasa yang merusak dan menghancurkan. Terlalu membaca kitab Wah,'u hanya dari kacamata orang-orang Kristen mula-mula hanya akan membuat kita seperti menonton film box office, dan terkesima dengan seluruh jalan cedta dan adegan-adegan yang ada, tetapi tidak pernah menyadari bahwa itu adaiah cerita tentang wajah kita, bahwa itu adalah kritik atas kehidupan kita. Sebagai sebuah tulisan apokaliptih Wahyu adalah juga kritik atas kehidupan kita yang sering menggunakan kekuasaan yang ada untuk menekan pihak yang lemah dan tak berdaya. Wahyu adalah juga gambaran kehidupan kita saat ini yang sering merusak wajah-wajah ke anusiaan demi kepuasan diri sendiri atau kelompok, dan yang untuk mengatasi perilaku tersebut harus dilakukan intervensi-intervensi khusus, sebagai upaya untuk menolong kelompok yang tak berdaya dan untuk mengurangi atau menghentikan jatuhnya korban-korban lain. Terlalu membaca wahyu hanya sebagai sebuah bentuk penderitaan orang Kristen hanya akan membuat orang Kristen merasa bahwa sepanjang sejarah orang Kristen hanya menjadi korban darj penyalahgunaan kekuasaan yang ada. Tetapi jika kita membaca Wahyu sebagai sebuah bentuk penderitaan manusia secara umum, maka oran8 Kristen juga perlu melakukan introspeki diri, bahwa jangan-jangan orang K sten juga sering menyalahgunakan kuasa yang ada untuk menindas Saya
dan menghancurkan sesamanya, Terka;t dengan hal kuasa, Wahyu 17-19 juga mengingatkan saya akan gejoiak-gejolak sosial-politik dan perekonomian bangsa Indonesia, baik yang sudah ada sejak jaman 0rde Baru maupun yang sedang berlangsung di em Reformasi ini. Munculnya seorang penguasa banl selalu membuat orang
mencoba menaruh banyak harapan kepada sang penguasa. Koalisi-koalisi yang dibangun sesungguhnya bukan cara untuk bersama-sama membangun, tetapi hanyalah upaya untuk mendapat bagian dari kekuasaan yang ada. Kenyataan ini membuat penguasa yang baru seperii mendapat sebuah legitimasi untuk 'memamerkan' kuasanya dan kepercayaan-kepercayaan yang diberikan kepadanya. Kenyataan bahwa penguasa yang baru tersebut cenderung bertindak menurut kuasa yang dimilikinya saja menimbulkan ketegangan antara sang penguasa dan orangorang mempercayakan kuasa itu kepadanya. Dan akhirnya yang lebih menonjol adalah upaya untuk men8ambil alih kembali kekuasaan yang ada. Sisi lain yang tampak jelas bagi kita juga adalah bahwa kuasa yang menjndas tidak akan pernah abadi, dan bahwa pihak-pihak yang sebelumnya mendukungnya bisa berbalik menjadi lawan tandingnya. Kenyataan inilah yang selalu membangun harapan bagi pihak-pihak yang tertindas di tengah-tengah ketidakmampuannya dalarn melawan kuasa yang menindas itu. Memang lnenggambarkan penguasa bangsa ini bagaikan "pelacur besar" dalam Wahi,u 17 rasanya tidak terlalu pas, karena penguasa bangsa ini belum sampai menimbulkan penderitaan yang luar biasa seperti yang dialami oleh orang-orang Kristen dalam masa kekuasaan Roma, yang dalam wahyu 17-19 di sebut dengan Babel. Namun periiaku-perilaku penguasa dan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya yang sering kurang berpihak kepada kaum lemah nemperlihatkan bahwa pihak penguasa tjdak jauh bedanya dengan 'pelaclrr besar' yang memabukkan pihak'pihak penilonat kekuasaan dengan posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang ditawarkannya. 'Diskusi Anak Bangsa' tentang 'Apakah APBN-P 2012 Pro Rakyal?'yang ditayangkan Metro TV secara live pada Kamis [malam), 12 April 2012, pada satu sisi membuka mata dan wawasan warga masyarakat tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana mereka menggunakan kekuasaan yang ada, namun di sisi lain menimbulkan pertanyaan: kenapa mereka sendiri dulu tidak melakukan apa yang menjadi kritik mereka, ketika mereka ada di pihak
-7 / /.
yang ber kuasa? Karena mereka yang mengkritik pemer;ntah saat ini adalah juga orang-orang yang pernah diberi kuasa dan duduk di pemerintahan. Perilaku mereka ini bagaikan gambaran dalam
Wahyu 17:16-17 yang oleh Michael Gilbertson diSambarkan sebagai 'konflik internal' [Michael Gilbertson, God dnd tlistory in the Book of Revelation, 2003), setelah menyadari bahwa kuasa yang ada temyata juga merugikan 'penikmat-penikmat kuasa'yang ada. Realitas politik kekuasaan ser;ng hanya memperlihatkan bahwa 'penikmat kuasa' akan cenderung mencari selamatnya sendiri ketika sang penguasa tumbang. Mereka tampaknya ikut berkabung dengan runtuhnya kekuasaan tersebut, namun mereka meniaga jarak dan tidak mau ikut dipersalahkan dengan runtuhnya kekuasaan tersebut. Mereka seperti raja-raja, pedaganS-pedaganS dan pelaut-pelaut yang digambarkan datam Wahyu 1B:9-20, yanS telah mendapat keuntungan dari relasinya dengan Babel Ketika Babel dihancurkan, mereka hanya berdiri dan melihat serta meratapi keruntuhan Babel dari jauh. Namun perasaan yang mereka tunjukkan ini bukan persaan belas rasa yang sesunSSuhnya, tetapi sebuah kesedihan karena kesempatan untuk menikmati keuntungan dan kesenangan tidak ada lagi.
Karena itu sudah sepatutnya jika Wahlu 17 19
ini menjadi sebuah kritik atas perilaku kita dalam menggunakan kuasa yan8 ada. Kita diingatkan untuk selalu bersikap kritis terhadap prakekprakek penggunaan kekuasaan di sekitar kita, termasuk di kalangan dosen dan mahasiswa, di kalangan pimpinan dan yang dipimpin, di kalangan pemimpin Sereia dan warga jemaat, dan di kalangan keluarga. Ingatlah bahwa kuasa yang menindas tidak pernah akan kekall
Ujung Padepokan Taman Siswa, JMNH