Atas Nama Allah? Pengantar Bahan PA 14 Februari 2012: Wahyu 6:1-17 Oleh: Melinda Siahaan Ada tujuh materai yang akan dibuka. Angka tujuh merupakan angka kelengkapan dan kesempurnaan: ada tujuh hari dalam satu minggu, tujuh jemaat di Asia mewakili gereja yang universal, dan Yohanes menggunakan pembagian tujuh pada sejumlah bagian dari kitabnya. Ada empat kuda yang ditampakkan dari enam materai yang akan dibahas. Angka empat menandakan angka untuk dunia ciptaan yaitu ada empat penjuru bumi dan empat musim.1 Penggunaan simbol kuda adalah binatang yang biasa digunakan di dalam berperang. Materai 14 memiliki hubungan yang saling berkaitan yaitu tentang perang dan dampaknya. Dalam materai pertama ada seekor kuda putih dan penunggangnya memegang panah serta dikaruniai mahkota. Memaknai materai pertama ini agak dikelabui dengan warna putih yang menandakan kesucian, Namun ini menjadi kontras ketika dihubungkan dengan panah yang adalah simbol dari perang. Penunggang kuda pertama ini ditafsirkan sebagai invasi Partia, sebab pasukan kaveleri Partia adalah satu-satunya pasukan yang menggunakan busur, sedangkan pasukan yang lain biasanya menggunakan tombak atau pedang. Selanjutnya, mahkota dimaknai sebagai pemenang. Materai pertama mengijinkan terjadinya perang yang akan menimpa dan memukul kekaisaran Romawi. Hal ini dipertegas dengan dibukanya materai kedua. Warna merah padam adalah simbol dari warna darah. Damai sejahtera tidak ada lagi dan berganti dengan saling membunuh. Di sinilah terjadi pertumpahan darah dalam perang sebagaimana yang terungkap dari materai pertama. Jika peperangan terjadi dan menuntut pertumpahan darah, kesusahan selanjutnya adalah krisis pangan/kelaparan. Materai ketiga disimbolkan dengan kuda hitam dan timbangan. Ada empat kebutuhan pokok yang diperlihatkan di ayat 6 ini yaitu gandum, jelai, minyak, dan anggur. Namun pada masa perang harga makanan biasanya meningkat dan untuk itu lebih banyak uang yang dibutuhkan. Sedinar adalah upah sehari untuk seorang tentara atau seorang buruh (lih.Mat. 20:2). Dalam keadaan sulit ini, sedinar hanya mampu untuk membeli secupak gandum. Cupak adalah ukuran gandum dan jelai yang isinya kurang lebih 1 liter. Upah pekerja satu hari hanya untuk membeli satu liter gandum. Melihat kondisi ini tentu bencana kelaparan melanda banyak orang. Ini pun dapat mengakibatkan kematian. Posisi materai keempat mendukung situasi ini, di mana tampak kuda hijau kuning dan orang yang menungganginya bernama maut. BIS menerjemahkannya dengan warna pucat. Pucat adalah warna kematian. Kematian akan terus mengikuti akibat (1) kekerasan, melalui senjata pemusnah individu maupun masal (perang); (2) kelangkaan makanan/kelaparan yang mendatangkan kematian secara bertahap; (3) wabah penyakit yang merajalela. Penulis Wahyu menggambarkan bahwa situasi seperti di atas akan dialami oleh umat. Kematian akibat perang dan kelaparan. Dalam materai yang kelima terlihat bahwa ada seruan dari jiwa-jiwa yang telah dibunuh oleh karena Firman Allah yang mempertanyakan kepada Penguasa yang kudus dan benar bahwa berapa lama lagi peristiwa penghakiman dan membalaskan darah para martir tersebut harus terjadi? Peristiwa ini akan berakhir jika sudah genap jumlah kawan dan saudara mereka yang akan dibunuh sama seperti mereka. Dalam materai ini terungkap bahwa sang Penguasa kudus itulah yang mendesain dan merestui peristiwa penghancuran melalui peperangan ini. Materai yang keenam dengan menggunakan bahasa mitologis imaginatif yang fantastis-- bahasa ini tidak menarik bagi area logika namun sangat menarik bagi area imajinasi dan emosi dengan tujuan membangun komitmen yang lebih banyak melibatkan aspek perasaan2– memperlihatkan 1
David H. van Daalen, Pedoman Ke Dalam Kitab Wahyu Yohanes, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, 92-93. Monike Hakubun, Yerusalem Baru: Suatu Pendekatan Tafsir Retorik Terhadap Wahyu 21:1-22:9 dan Relevansi Maknanya bagi Upaya Penyelesaian Konflik Sosial di Maluku, dalam Tesis Program Pasca Sarjana UKDW, Yogyakarta, 2000, 43. 2
1
kerusakan kosmik melalui peristiwa gempa bumi, bintang di langit berjatuhan, langit menyusut bagai gulungan kitab yang digulung, dll. Tidak ada yang bisa lepas dari peristiwa ini dan orangorang menyadari bahwa peristiwa ini adalah murka Anak Domba terhadap manusia. Mengkritisi pola berpikir Yohanes Yang menjadi fokus saya yaitu bagaimana Yohanes melakukan ‘grand design’ tentang Allah yang mengijinkan peperangan dan kekerasan untuk melampiaskan murka-Nya. Allah ditampilkan sebagai inisiator dari pemberlakuan materai-materai. Ini berarti Allah yang ‘maha’ segalanya itu memiliki hak absolut atas seluruh ciptaan untuk sesuka-Nya bertindak. Tidak heran pula banyak orang akan menafsirkan bahwa apa yang terjadi dalam konteks kita sekarang ini, misalnya bencana, perang, kemiskinan, kekerasan, adalah terjadi atas kehendak Allah. Menurut saya, Allah menjadi korban/kambing hitam atas tindakan yang dialami manusia dan pada saat bersamaan seolah menjadi pelaku yang mengijinkan tindakan itu terjadi. Tulisan ini saya soroti pada kritik atas cara berpikir Yohanes sebagai penulis kitab Wahyu. Yohanes yang bermain dalam ranah imajinasinya mencoba mencari jawab atas peristiwa penderitaan yang sedang dialami oleh orang-orang Kristen di bawah tekanan kekaisaran Romawi. Atas nama mendapat ‘wahyu’, dia bebas berimajinasi dalam retorika yang dibuatnya untuk memainkan buah catur tersebut. Allah ditempatkannya sebagai ‘tokoh besar’ yang memiliki kuasa atas semesta khususnya dalam pertarungan antara yang baik melawan yang jahat. Allah dibuatnya mampu untuk meluluhlantahkan isi semesta. Namun, bukankah kondisi mengatur Allah seperti sedang memainkan catur tersebut secara ‘latah’ juga akhirnya sering kita tiru dan legitimasi? Hal menarik ketika membaca teks ini dari konteks ‘apokaliptik’ Injil. Memang ada hubungan yang dekat antara keenam materai ini dengan apokaliptik Injil, yaitu Matius 24:6,7,9a,29; Markus 13:7-9a,24-25, Lukas 21:9-12a, 25-26.3 Apokaliptik Injil ini diungkapkan oleh Yesus tentang apa yang akan terjadi pada permulaan penderitaan. Nada yang sama dari Yesus dari apokaliptiknya ini hendak mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu memang akan terjadi. Yesus melihat peristiwa dalam apokaliptik Injil yang diringkaskan oleh Yohanes dalam keenam materai sebagai peristiwa yang ‘normal’ akan terjadi karena karakter ketamakan manusia dan juga karena pilihan menjadi orang-orang yang percaya kepada Kristus. Yesus tidak melegitimasi apokaliptik-Nya dengan menggunakan nama Allah ataupun diri-Nya sendiri. Peran Yesus justru mengajak kita untuk berpikir kritis dan menyadari bahwa suatu peristiwa terjadi itu dikarenakan adanya penyebab. Berbeda dengan tindakan Yohanes, yang justru melemparkan tanggung jawab itu kepada Allah, dan menjadikan Allah alat untuk membenarkan tindakan kekerasan. Elisabeth Fiorenza4 melihat pergulatan dari kitab ini adalah hendak mempertanyakan tindakan keadilan Allah terhadap orang-orang benar yang menderita, selain untuk memperlihatkan kehebatan/kuasa Allah atas seluruh ciptaan dibandingkan dengan kekuatan kaisar pada konteks kitab Wahyu tersebut. Namun cara yang dipakai, sangat memengaruhi pola pikir pembaca, yang melihat bahwa semua peristiwa terjadi atas kehendak Allah. Walau tujuan Yohanes adalah baik untuk menguatkan orang-orang yang sedang menderita, namun tindakan mengatasnamakan Allah untuk melegitimasi kekerasan, adalah hal yang patut untuk tidak ditolerir. Hikmat adalah salah satu bentuk penyataan Allah. Orang-orang bijaksana menemukan bahwa Allah menyatakan diri dalam berbagai aktivitas dan pola kehidupan sehari-hari, namun mereka juga mengakui bahwa Allah melampaui pengertian apa pun dan bahwa pola-pola
3
John M. Court, Myth and History in the Book of Revelation, Atlanta: John Knox Press, 1979, 48-49. Elisabeth Schussler Fiorenza, The Book of Revelation: Justice and Judgment, Philadelphia: Fortress Press, 1985, 198. 4
2
kehidupan adalah misterius. Hikmat menawarkan kepenuhan hidup di dalam kehadiran Allah.5 Hikmat mengajarkan kepada kita untuk melihat secara bijak dan kritis atas setiap peristiwa yang kita alami: apakah itu berasal dari Allah ataukah desain-desain manusia dengan segala keinginannya. Berhikmat ini penting supaya tidak menjadikan Allah sebagai biang dari semua persoalan hidup. Kita pun harus berhikmat untuk bisa melihat apa yang disebut sebagai ‘tandatanda zaman’. Hikmat harus disertai dengan kesadaran kritis dalam melihat ‘kejahatan’ yang merusak ciptaan misalnya perang, ketidakadilan, tindakan kekerasan terhadap ciptaan. Melihat sosok Yesus yang berani bertanggung jawab untuk misi yang diemban-Nya dan tidak serta merta menjadi ‘cengeng’ atas penderitaan yang dialami, mental dan karakter seperti ini juga yang semestinya ada dalam diri orang-orang yang percaya kepada-Nya. Bahan Bacaan David H. van Daalen, Pedoman Ke Dalam Kitab Wahyu Yohanes, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Elisabeth Schussler Fiorenza, The Book of Revelation: Justice and Judgment, Philadelphia: Fortress Press, 1985. John M. Court, Myth and History in the Book of Revelation, Atlanta: John Knox Press, 1979. Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Monike Hakubun, Yerusalem Baru: Suatu Pendekatan Tafsir Retorik Terhadap Wahyu 21:122:9 dan Relevansi Maknanya bagi Upaya Penyelesaian Konflik Sosial di Maluku, dalam Tesis Program Pasca Sarjana UKDW, Yogyakarta, 2000.
5
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 280.
3