BAB I WAHYU ALLAH A. Pengertian Wahyu Dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraa yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan. Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar ( infinitif ); dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu ; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu maka dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat dan khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha yaitu pengertian isim maf`ul, yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi: 1. Ilham, sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa. Sebagaimana Firman Allah SWT;
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul.(Q.S. al-Qashash (28):7) 2. Ilham berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah. Sebagaimana Firman Allah SWT;
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia" (Q.S. an-Nahl (16):68) 3. Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan al-Qur‟an;
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. (Q.S. Maryam (19): 11) 1
4. Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia. Sebagaimana Firman Allah SWT;
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya[501]. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (.Q.S. al-An‟am (6): 121)
Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.(Q.S. al-An‟am (6): 112). 5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Sebagaimana Firman Allah SWT;
(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Q.S. al-Anfal (8): 12) Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar'i mereka definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf'ul, yaitu almuha (yang diwahyukan). Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah ”pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa 2
pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak”. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang. Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal ini. (Manna‟ Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, 1992: 35-38). B. Cara Penyampaian Wahyu Allah Di dalam al-Qur‟an terdapat beberapa ayat tentang kata al-wahyu dengan semua derifasinya. Kata-kata tersebut yang akan dijadikan sebagai bahan kajian tentang bagaimana Allah menyampaikan wahyu kepada yag dikehendaki-Nya. 1. Penyampaian Wahyu kepada Malaikat Beberapa ayat berikut cukup memberikan penjelasan tentang penyampaian wahyu oleh Allah kepada Malaikat-Nya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqarah (2): 30). Juga terdapat ayat al-Qur‟an tentang wahyu Allah kepada mereka :
(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.(Q.S. al-Anfal (8): 12). Di samping itu ada pula ayat-al-Qur‟an tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya. 3
Dan (Malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan (Q.S. adz-Dzariyat (51): 4)
Dan (Malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia). (Q.S. an-Nazi‟at (79): 5). Ayat-ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadis dari Nawas bin Sam`an r.a yang mengatakan : Rasulullah SAW berkata : ”Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu; maka langitpun tergetarlah dengan getaran- atau Dia mengatakan dengan goncanganyang dahsyat karena takut kepada Allah Azza wa jalla. Apa bila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka diantara mereka itu adalah jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu, kepada jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian jibril berjalan melintasi para malikat, setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu; apa yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai jibril ? jibril menjawab : Dia mengatakan yang hak. Dan Dialah yang maha tinggi lagi Maha Besar. Para malikatpun mengatakan seperti apa yang dikatakan jibril. Lalu jibril menyampaikan wahyu itu seperti apa yang diperintahkan Allah azza wajalla”. Hadis ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, dan para malikatnya mendengar-Nya. Dan pengaruh wahyu itupun sangat dahsyat; apabila pada lahirnya- di dalam perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu- hadis di atas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai al-Qur‟an, akan tetapi hadis tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok permasalahan itu terdapat di dalam hadis sahih : ”Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat memukulmukulkan sayapnya karena pengaruh oleh firman-Nya, bagaikan mata rantai diatas batu yang licin.”. Telah nyata pula bahwa al-Quran telah dituliskan di lauhil mahfudz, berdasarkan firman Allah :
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (Q.S. al-Buruj (85): 21-22) Demikian pula bahwa al-Quran itu diturunkan sekaligus ke baitul izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul Qadar di bulan Ramadhan.
4
Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada malam lailatul qadar.`(Q.S. al-Qadar (97):1)
Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan (Q.S. ad-Dukhan (44): 3).
Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) (Q.S. al-Baqarah (2): 185) Di dalam sunnah terdapat hal yang menjelaskan nuzul ( turunnya ) al-Quran yang menunjukkan bahwa nuzul itu bukanlah nuzul kedalam hati Rasulullah SAW . Dari Ibnu Abbas dengan hadis mauquf : ` Quran itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul Qadar. Kemudian setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun, lalu Ibnu Abbas membacakan: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penyelesaiannya.`(al-Furqan : 33). `Dan Al-Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.`( alIsraa: 106 ). Dan dalam satu riwayat : ”Telah dipisahkan Quran dari az-Zikr lalu diletakkan dibaitul Izzah dilangit dunia; kemudian jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.” Oleh sebab itu para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa al-Quran kepada jibril dengan beberapa pendapat : a. Bahwa Jibril menerimanya secara mendengar dari Allah dengan lafalnya yang khusus. b. Bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfudz. c. Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad saw. Pendapat yang pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh ahlussunnah wal jama`ah. Serta diperkuat oleh hadis Nawas bin Sam`an di atas. Menisbahkan al-Quran kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat :
Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quraan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.(Q.S. an-Naml (27): 6 ). 5
`Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.`( Q.S.atTaubah(9) : 6).
`Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: `Datangkanlah Al Qur`an yang lain dari ini atau gantilah dia `. Katakanlah: `Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.`( Q.S. Yunus : 15 ). Al-Quran adalah kalam Allah dengan lafalnya, bukan kalam Jibril atau kalam Muhammad. Sedang pendapat kedua di atas itu tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya al-Quran di lauhul mahfudz itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk al-Quran. Dan pendapat yang ketiga lebih sesuai dengan hadis, sebab hadis itu wahyu Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad saw. Secara maknawi saja. Lalu ungkapan itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri.
`Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.`(Q.S. an-Najm (53): 3-4 ). Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadis menurut maknanya sedang al-Quran tidak. Demikianlah telah kami perbincangkan perbedaan al-Quran dengan Hadis qudsi dan Hadis Nabawi. Keistimewaan al-Quran: 1) al-Qur`an adalah mukjizat; 2) Kepastiannya mutlak; 3) membacanya dianggap ibadah; 4) wajib disampaikan dengan lafalnya. Sedang hadis kudsi, sekalipun ada yang berpendapat lafalnya juga diturunkan, tidaklah demikian halnya. Hadis nabawi ada dua macam: pertama : yang merupakan ijtihad Rasulullah SAW. Ini bukanlah wahyu. Pengakuan wahyu terhadapnya dengan cara membiarkan, hanyalah bila ijtihad itu benar. Kedua : yang maknanya diwahyukan, sedang lafalnya dari Rasulullah sendiri. Oleh sebab itu ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadis kudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafalnya tidak. Ia termasuk dalam bagian yang kedua ini. Sedang menisbatkan hadis kudsi kepada Allah dalam periwayatannya karena adanya nash syara` tentang itu, sedang hadis-hadis nabawi lainnya tidak.
6
2. Penyampaian Wahyu Kepada Para Rasul Allah memberikan wahyu kepada para rasul-Nya ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak. Yang pertama : melalui Jibril malaikat pembawa wahyu, dan hal ini akan kami jelaskan nanti. Yang kedua : tanpa melalui perantaraan. Di antaranya ialah; mimpi yang benar di dalam tidur. 1). Mimpi yang benar di dalam tidur. `Dari Aisyah r.a dia berkata : sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur, beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya di waktu pagi hari.`(H.R. Bukhari-Muslim) Hal itu merupakan persiapan bagi Rasulullah SAW untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Di dalam al-Quran wahyu diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa surah alKausar diturunkan melalui mimpi. Karena adanya satu hadis mengenai hal itu. Di dalam sahih Muslim, dari Anas r.a ia berkata : `Ketika Rasulullah SAW disuatu hari berada diantara kami didalam masjid, tiba-tiba ia mendekur, lalu mengengkat kepala beliau dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya : Apa yang menyebabkan Engkau tertawa wahai Rasulullah ? Ia menjawab: Tadi telah turun kepadaku sebuah surah; lalu ia membacakan: Bismillahirrahmanirrahim, inna a`taina kal kautsar fashalli lirabbika wanhar, inna syaa niaka huwal abtar.`(H.R. Muslim) Mungkin keadaan mendengkur ini adalah keadaan yang dialaminya ketika wahyu turun. Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para Nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail. `Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar . Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: `Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!` Ia menjawab: `Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar`. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis, . Dan Kami panggillah dia: `Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar . Kami abadikan untuk Ibrahim itu di kalangan orang-orang yang datang kemudian, `Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim`. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.`( as-Saffat : 101-112 ).
7
Mimpi yang benar itu tidaklah khusus bagi para rasul saja, mimpi yag demikian itu tetap ada pada kaum mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu. Hal itu seperti dikatakan oleh Rasulullah SAW : `Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin.` Mimpi yang benar bagi para nabi diwaktu tidur itu merupakan bagian pertama dari sekian macam cara Allah berbicara seperti yang disebutkan didalam firmanNya: `Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.`(as-Syuraa : 51 ). 2). Yang lain ialah kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Yang demikian itu terjadi pada Nabi Musa a.s. `Dan tatkala Musa datang untuk pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa: `Ya Tuhanku, nampakkanlah kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau`.( al-Araaf : 143 ). `Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.` ( al-Ma`idah : 164 ) Demikian pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad saw. Pada malam isra` dan mi`raj. Yang demikian ini yang termasuk bagian kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat di atas ( atau dari balik tabir ). Dan di dalam al-Quran macam wahyu ini tidak ada. 3). Cara Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat Kepada Rasul Wahyu Allah kepada Nabinya itu ada kalanya tanpa perantaraan, seperti yang telah kami sebutkan diatas, misalnya mimpi yang benar diwaktu tidur, dan kalam ilahi dibalik tabir, dalan keadaan jaga yang disadari. Dan ada kalanya melalui perantaraan malaikat wahyu. Wahyu dengan perantaraan malaiakat wahyu inilah yang hendak kami bicarakan dalam topik ini, karena Quran diturunkan dengan wahyu macam ini. Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul; Cara pertama : datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasul. Apa bila wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW dengan cara ini maka ia mengumpulkan semua kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dan mungkin suara itu adalah suara kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadis : `Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukulmukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemercingnya mata rantai diatas batu-batu licin.` (H.R. al-Bukhari) . Dan mungkin pula suara 8
malaikat itu sendiri pada waktu rasul baru mendengarnya untuk yang pertama kali. Cara kedua : Malaikat menjelma kepada rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini lebih ringan dari pada yang sebelumnya. Karena ada kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengar dari utusan pembawa wahyu itu. Karena merasa seperti manusia yang berhadapan saudaranya sendiri. Keadan jibril menampakkan diri sebagai seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia untuk melepaskan sifat kerohaniannya, dan tidak berarti pula bahwa dzatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan bahwa ia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk meyenangkan Rasulullah SAW sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama- tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng- tidak menyenangkan karena keadaan demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohanian malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibn Khaldun : ` Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya, sedang dalam keadaan lain, sebaliknya, malaikat berubaha dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.` Keduanya itu tersebut dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mu`minin r.a bahwa Haris bin Hisyam r.a bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu dan jawab Nabi : ` Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan akupun memahami apa yang ia katakan`(H.R. al-Bukhari). Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami Rasulullah SAW berupa kepayahan , dia berkata : `Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin, lalu malaikat itu pergi. Sedang keringatpun mengucur dari dahi Rasulullah`. Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan Ilahi yang didisyaratkan didalam ayat :
`Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana`.(as-Syuuaar : 51). SAW
Mengenai hembusan di dalam hati, telah disebutkan di dalam hadis Rasulullah
9
`Roh kudus telah menghembuskan kedalanm hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.` Hadis ini tidak menunjukkan keadaan turunnya wahyu secara tersendiri, hal ini mungkin dapat dikembalikkan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut didalan hadis Aisyah. Mungkin malaikat datang pada beliau dalam keadaan yang menyerupai dencingan lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepadanya. Dan kemungkinan pula bahwa wahyu yang melalui hembusan itu adsalah wahyu selain Qur`an.(Tentang cara penyampaian wahyu ini dikutip dari Mana‟ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an). C. Fungsi Wahyu Dalam pandangan Muhammad Abduh, keberadaan wahyu dapat dibagi dalam dua fungsi. Fungsi pokok yang pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh kasar mati. Keyakinan akan adanya hidup kedua setelah hidup yang pertama ini bukan hasil dari pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan, karena umat manusia secara keseluruhan- kecuali sedikit saja- sepakat mengatakan bahwa jiwa akan tetap hidup setelah meninggalkan tubuh. Untuk memberikan penjelasan tentang alam ghaib yang penuh dengan rahasia inilah, maka Nabi-nabi dikirim oleh Allah kepada umat manusia. Fungsi wahyu yang kedua mempunyai kaitan erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Manusia harus hidup secara berkelompok. Untuk mewujudkan kehidupan sosial yang rukun dan damai, para anggotanya harus membina hubungan antara mereka atas dasar saling mencintai. Tetapi pada dasarnya, kebutuhan manusia akan sesuatu tidaklah terbatas, sehingga akan senantiasa muncul konflik dan pertentangan. Untuk mengatasi hal itu telah diusahakan menukar prinsip cinta dengan keadilan, tetapi manusia tidaklah sanggup meletakkan dasar-dasar yang kuat tentang keadilan yang dapat diterima oleh semua orang. Untuk mengatur manusia dengan baik, maka dibutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Dengan demikian, wahyu menolong akan untuk mengetahui alam akhirat serta kehidupan manusia di sana dan untuk mengetahui sifat kesenangan serta bentuk perhitungan yang dihadapinya di akhirat kelak. Selanjutnya wahyu dapat menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya dan dalam mendidik manusia untuk hidup damai dan tenteram dengan sesamanya. Wahyu membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, kebenaran dan menepati janji. Sesungguhnya manusia dengan akalnya dapat mengetahui tentang adanya Allah dan dapat mengetahui bahwa ia wajib beribadah dan berterima kasih kepadaNya, tetapi akal manusia tidak akan mampu mengetahui semua sifat-sifat Allah dan tidak dapat mengetahui tentang cara yang paling tepat dan baik dalam mengibadahiNya. Dalam hal ini wahyulah yang menjelaskan kepada akal cara beribadat, berterima kasih dan bersyukur kepada-Nya. Akal manusia juga tidak dapat mengetahui perincian kebaikan dan kejahatan. Di antara perbuatan manusia ada yang tidak dapat diketahui oleh akal, apakah hal 10
tersebut baik atau buruk. Dalam hal ini, baik dan buruknya perbuatan ditentukan oleh perintah dan larangan Allah. Perbuatan yang diperintahkan oleh Allah pastinya mengandung kebaikan secara substantif, sebaliknya, perbuatan yang dilarang oleh Allah adalah mengandung keburukan dan kejahatan secara substantif. Hanyalah Allah yang mengatahui apa sebab perbuatan demikian baik atau buruk. Fungsi lain dari wahyu adalah menguatkan pendapat akal dan meluruskannya melalui sifat sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu. Sifat absolut inilah yang membuat orang tunduk kepada sesuatu. Memang akal manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Allah, kewajiban berbuat baik, dan menjauhi perbuatan jahat, serta selajutnya dapat membuat hukum dan peraturan mengenai kewajiban-kewajiban itu dan dapat mengajak manusia lain untuk mengetahuinya, akan tetapi sesungguhnya akal tidak dapat memaksa manusia untuk tunduk pada hukum dan peraturan yang dibuatnya itu. Oleh sebab itu, manusia berhajat kepada konfermasi dari keuatan ghaib Yang Maha Tinggi. Konfermasi datang dalam bentuk wahyu, yang membawa pengetahuan dan mampu menenteramkan jiwa manusia.
11
BAB II PENGENALAN AL-QUR’AN Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain. Seperti kita ketahui bahwa al-Qur‟an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya.[Al-Qur‟an juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Qur‟an sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut. A. Pengertian Al-Qur’an Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian al-Qur‟an baik dari bahasa maupun istilah, di antaranya adalah: 1. As-Syafi‟i mengatakan, lafadz al-Qur‟an yang terkenal itu bukan musytaq (bukan pecahan dari akar kata apa pun) dan bukan pula ber-hamzah (tanpa tambahan huruf hamzah di tengahnya, jadi dibaca al-Quran). Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertiannya Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi menurut as-Syafi‟i lafadz tersebut bukan berasal dari kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentunya setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai dengan al-Qur‟an. Lafadz tersebut memang nama khusus bagi al-Qur‟an, sama halnya dengan nama Taurat dan Injil. (AlKhatib, Tarikh Baghdad, 62) 2. Al-Farra berpendapat, lafadz al-Qur‟an adalah pecahan (musytaq) dari kata qara‟in (kata jamak dari qarinah) yang berarti kaitan, karena ayat-ayat al-Qur‟an satu sama lain saling berkaitan untuk membentuk makna yang utuh. Karena itu jelaslah bahwa huruf nun pada akhir lafadz al-Qur‟an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan. (as-Suyuthi, al-Itqan fi ‟Ulum al-Qur‟an, 1979: 87) 3. Al-Asy‟ari dan para pengikutnya mengatakan, lafadz al-Qur‟an adalah musytaq (pecahan) dari akar kata qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat qarnusy-syai bisysyai (menggabungkan sesuatu dengan sesuatu). Jadi kata qarn dalam hal itu bermakna gabungan atau kaitan, karena surat-suratdan ayat-ayat saling bergabung dan berkaitan. (az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‟Ulum al-Qur‟an, 1959: 278). 4. Az-Zajjaj mengatakan; lafadz al-Qur‟an ditulis dengan huruf hamzah di tengahnya berdasarkan pola kata (wazn) fu‟lan. Lafadz tersebut merupakan pecahan (musytaq) dari akar kata qar‟un yang berarti jam‟un. Ia mengetengahkan contoh kalimat quri‟al ma‟u fil haudhi yang berarti air dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qar‟un bermakna jam‟un yang dalam bahasa Indonesia bermakna ”kumpul”. Alasannya al-Qur‟an ”mengumpulkan” atau menghimpun intisari kitab-kitab suci terdahulu (az-Zarkasyi, al-Burhan, 1959: 278). 5. Al-Lihyani: lafadz al-Qur‟an ditulis dengan huruf hamzah di tengahnya berdasarkan pola kata gufran dan merupakan pecahan (Musytaq) dari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala (membaca). Lafadz al-Qur‟an digunakan untuk 12
menamai sesuatu yang dibaca, yakni obyek, dalam bentuk mashdar (az-Zarkasyi, al-Burhan.., 1959: 87). Pendapat terakhir lebih kuat dan lebih tepat karena dalam bahasa Arab lafadz al-Qur‟an adalah bentuk mashdar yang maknanya sinonim dengan qira‟ah, yaitu ”bacaan”. Sebagai contoh, firman Allah SWT.
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.(Q.S. al-Qiyamah (75): 17-18) Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut : 1. Safi‟ Hasan Abu Thalib menyebutkan :
Al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syariat. (Safi Hasan Abu Talib, Tatbiq alSyari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, 1990: 54.) Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :
Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.(Q.S. Yusuf (12):2) 2. Zakaria al-Birri, yang dimaksud al-Qur‟an adalah :
Al-Kitab yang disebut al-Qur‟an dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf.( Zakaria al-Birri, Masadir al-Ahkam alIslamiyah, 1975: 16.) 3. Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud alQuran adalah :
13
Al-Qur‟an yaitu merupakan firman Allah SWT.( Al-Ghazali, al-Mustasfa Min „Ilmi al-Ushul,1971: 118) Dari ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa al-Qur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur‟an dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa al-Qur‟an merupakan firman Allah SWT, akan tetapi Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa al-Qur‟an bukanlah perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.
Nabi hanya berfungsi pembawa atau penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum.(Ibid) 4. Dawud al-Attar; Al-Qur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir. Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut : 1. Al-Qur‟an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur‟an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi. 2. Al-Qur‟an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri. 3. Al-Qur‟an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur‟an tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri. 4. Al-Qur‟an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur‟an disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbedabedanya tempat tinggal mereka. Sebetulnya masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda. Dalam kaitannya dengan sumber dalil, al-Qur‟an oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut al-Quran dengan al-Kitab.Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab di dalam al-Qur‟an sendiri sering disebut alKitab –yang dimaksud adalah al-Qur‟an. Seperti firman Allah : 14
Kitab(Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (Q.S. al-Baqarah (2):2) Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan al-Qur‟an dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan alQur‟an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benarbenar memeliharanya (Q.S. al-Hijr (15): 9) B. Nama Lain al-Qur’an Al-Fairuz Abadi mengatakan ada sekitar 100 nama lain dari al-Qur‟an, misalnya al-Mubin (yang menerangkan), al-Karim (yang mulia), an-Nur (cahaya), al-Huda (petunjuk), asy-Syifa‟ (obat), al-Mubarak (yang diberkahi), al-Hakim (Kebijaksanaan), dan lain-lain. Di antara sekian banyak nama, yang paling terkenal adalah: 1. al-Kitab (al-Baqarah [2]: 2), al-A‟raf (7):2 dan lain-lain;
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
Ini adalah sebuah Kitab yang diturunkan kepadamu, Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan Kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. 2. al-Qur‟an (al-Baqarah [2]: 185; al-Hijr [15]: 87; dll).
15
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Dan Sesungguhnya kami Telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung. Al-Quran dan al-Kitab lebih populer dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Dr. Muhammada Daraz berkata: “ia dinamakan Quran karena ia `dibaca` dengan lisan, dan dinamakan al- kitab karena ia `ditulis` dengan pena. Kedua kata ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya”. Penamaan Al-Quran dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknyalah ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apa bila diantara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya, kita tidak dapat menyandarkan hanya dengan haflan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi kegenerasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak dapat menyandarkan hanya kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang sahih dn mutawatir. Dengan penjagaan yang ganda ini oleh Allah telah ditanamkan kedalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya. Maka Quran tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya Quran seperti di firmankan-Nya : `Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya`.(al-Hijr :9 ). Dengan demikian Quran tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan keterputusan sanad seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.Penjagaan ganda ini diantaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedang Quran diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu Quran mencakup hakikat yang ada didalam kitab-kitab terdahulu dan menambahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah. Quran menjalankan fungsi-fungsi kitab-kitab sebelumnya, 16
tetapi kitab-kitab itu tidak dapat menempati posisinya. Allah telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai bukti sampai hari kiamat. Dan apa bila Allah mengehndaki suatu perkara, maka Dia akan mempermudah jalannya ke arah itu. Karena Maha Bijaksana dan Maha Tahu. Inilah alasan yang paling kuat. Di namakan Al-Kitab karena memberi pengertian karena wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan. Dinamakan al-Qur‟an karena wahyu itu tersimpan dalam dada manusia, mengingat nama al-Qur‟an berasal dari kata qira‟ah dan di dalam qiro‟ah terkandung makna “agar selalu diingat”. Dengan dua nama tersebut mengisyaratkan makna wahyu tersebut akan senantiasa terpelihara dalam dua bentuk hafalan dan tulisan. Selain dua nama lain al-Qur‟an di atas, yang juga masyhur adalah: 3. al-Furqan (Ali Imran [3]: 4; al-Furqan [25]:1 ; dll);
Sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).
Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. 4. azd-Dzikr (al-Hijr [15]: 9);
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. C. Kehujjahan Al-Qur’an Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf („Ilmu Ushul Fiqh, 1990: 24), bahwa kehujjahan Al-Qur‟an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur‟an itu betulbetul datang dari Allah dan dinukil secara qat‟iy (pasti). Oleh karena itu hukumhukum yang terkandung di dalam Al-Qur‟an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur‟an, 1994: 27) menjelaskan bahwa al-Qur‟an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur‟an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur‟an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu‟tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur‟an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat 17
memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya (Harun Nasution, Islamologi (Ilmu Kalam),1980: 80). Bagi Mu‟tazilah al-Qur‟an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur‟an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur‟an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur‟an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur‟an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih. Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur‟an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran AlQur‟an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah. D. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur‟an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur‟an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur‟an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi‟ Hasan Abi Thalib (1990: 63-64) menegaskan:
Al-Qur‟an dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum syari‟at. Adapun sumbersumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur‟an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur‟an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur‟an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur‟an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur‟an. Al-Ghazali(1971: 118) bahkan mengatakan, pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
18
Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur‟an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya. E. Perbedaan antara al-Quran dengan Hadis Qudsi Sebelum beranjak pada keterangan tentang perbedaan antara al-Qur‟an dan Hadits Qudsi, ada baiknya dijelaskan dulu tentang Hadits Qudsi. Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan qudsi ( kudsi ) dinisbahkan sebagai kata quds, nisbah ini mengesankan rasa hormat, karena materi kata itu menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathiir, dan taqaddasa sama dengan tatahhara (suci, bersih ) Allah berfirman dengan kata-kata malaikat-Nya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Hadis Qudsi ialah hadis yang oleh Nabi saw, disandarkan kepada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka rasul menjadi perawi kalam Allah ini dari lafal Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan : `Rasulullah SAW mengataklan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan: `Rasulullah SAW mengatakan : Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.` Contoh yang pertama :
19
`Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasulullah SAW mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya Azza Wa Jalla, tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu siang atau malam hari’ Contoh yang kedua : `Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah SAW berkata : ` Allah ta`ala berfriman : Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebutKu.bila menyebut-KU didalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya didalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-KU dikalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya didalam kalangan orang banyak lebih dari itu’ Dari pengertian hadits qudsi di atas, maka beberapa perbedaan antara alQuran dengan hadis qudsi,yang terpenting diantaranya ialah : 1. Al-Quranul Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya. Dan dengan itu pula orang arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti al-Quran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahakan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena al-Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat.. sedang hadis kudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat. 2. Al-Quranul karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan: Allah ta`ala telah berfirman, sedang hadis kudsi-seperrti telah dijelaskan diatasterkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah; sehingga nisbah hadis kudsi kepada Allah itu merupakan nisbah yang dibuatkan. Maka dikatakan : `Allah telah berfirman atau Allah berfirman.` Dan terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah SAW tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi yang menyampaikan hadis itu dari Allah, maka dikatakan : Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannaya. 3. Seluruh isi Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadis-hadis kudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada kalanya hadis kudsi itu sahih, terkadang hasan ( baik ) dan terkadang pula da`if (lemah). 4. Al-Quranaul Karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Maka dia adalah wahyu, baik dalam lafal maupun maknanya. Sedang hadis kudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah SAW . hadis kudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Leh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis diperbolehkan meriwayatkan hadis kudsi dengan maknanya saja. 5. Membaca Al-Quranul Karim merupakan ibadah, karena itu ia dibaca didalam salat. `Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur`an itu`(al-Muzammil : 20). Nilai ibadah membaca Quran juga terdapat dalam hadis : `Barang siapa membaca satu huruf dari Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf`.
20
Sedang hadis qudsi tidak disuruhnya membaca di dalam salat. Alllah memberikan pahala membaca hadis kudsi secara umum saja. Maka membaca hadis kudsi tidak akan memperoleh pahala sperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Quran bahwa pada setiap huruf akan mendapatkan kebaikan.
21
BAB III KANDUNGAN AL-QUR`AN A. Ayat al-Qur`an 1. Pengertian Ayat Ayat ialah susunan kata dan kalimat al-Qur`an yang membentuk makna yang sempurna, dan kumpulan dari beberapa ayat tersebut dinamakan surat. Secara etimologis, ayat berarti tanda. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pemilahan makna-makna yang dikehendaki. 2. Yang Pertama Turun Ada tiga pendapat tentang ayat yang pertama turun : a. al-`Alaq 1-5, yang berbunyi :
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Pendapat di atas berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Aisyah berikut : Awal pertama wahyu yang didatangkan kepada Rasulullh SAW adalah berupa mimpi yang benar di waktu tidur. Di dalam mimpi itu beliau tiada melihat apapun melainkan dating kepada beliau seperti cahaya subuh. Kemudian timbullah keinginan beliau untuk berkhalwat. Maka beliau pergi ke gua Hira` dan bertahannus di sana untuk beberapa hari, sambil membawa bekal. Kemudian beliau kembali ke rumah, maka Khadijah membekali beliau seperti semula sampai datangnya kebenaran. Ketika beliau sedang berada di gua Hira`, Jibril mendatanginya dan berkata : Bacalah! Aku menjawab : Aku tidak pandai membaca. Malaikat kemudian menarik dan memelukku erat-erat sehingga aku kepayahan. Kemudian malaikat melepaskan aku dan berkata lagi :Bacalah! Aku menjawab : Aku tidak pandai membaca. Malaikat kemudian kembali memeluk aku ketiga kalinya sampai aku kepayahan dan kemudian melepaskan aku kembali. Kemudian malaikat berkata : Iqra` bismi Rabbika …. Sampai pada ayat „Ma lam ya`lam. Kemudian Rasulullah kembali ke rumah Khadijah, dengan gemetar karena peristiwa yang baru saja dialaminya itu. b. al-Mudassir, yang berbunyi :
1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. Bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. Dan Tuhanmu agungkanlah! 22
Ini berdasarkan riwayat Bukhari Muslim dari Jabir bin Abdillah yang artinya sebagai berikut : “Ayat apakah yang mula-mula turun ? Jabir menjawab : Ya ayyuhal-Muddassir. Aku (Abdurrahman) berkata : Bukankah Iqra` bismirabbikal-lazi khalaq ? Jabir Menjawab : Aku menceritakan kepadamu apa yang diberitakan oleh Rasulullah kepada kami. Menurut Suyuti, maksud hadis di atas ialah surat yang pertama kali turun secara utuh. Jawabannya memang al-Muddassir. c. al-Fatihah yang berbunyi :
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan. 5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. 6. Tunjukilahkami jalan yang lurus,7. (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Ini merupakan pendapat sahabat Ibnu Abbas dan sebagian mufassirin. Hal ini berdasar berita yang disampaikan oleh sahabat Maisarah. 3. Yang Terakhir Turun a. Q.S. an-Nisa` 176 yang berbunyi :
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang 23
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudarasaudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Hal tersebut menurut riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat al-Barra` bin Azib. b. Q.S. an-Nasr yang berbunyi :
1. Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, 2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, 3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat. Hal ini berdasar hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas. c. Q.S. al-Maidah: 3 yang berbunyi :
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa. Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat tersebut turun ketika Rasulullah melakukan haji wada`, dan setelah itu beliau masih hidup selama 81 hari lagi. B. Surat al-Qur`an 1. Pengertian Surat Secara etimologis
adalah bentuk masdar dari kata kerja
dan bentuk jamaknya adalah
,
yang memiliki arti
„tingkatan atau martabat, tanda atau alamat, gedung yang tinggi serta indah, sesuatu yang sempurna atau lengkap dan susunan sesuatu atas lainnya yang bertingkattingkat‟ (Louis Ma`luf, 1977:362). 24
Tentang istilah surat, ada beberapa pendapat antara lain : memisalkan dengan pagar bangunan (bagian dari al-Qur‟an); memisalkan pagar kota (karena mengelilingi ayatnya sebagaimana rumah dan pagar) ; bermakna martabat karena ayat-ayat disusun dalam surat secara tertib dan harmonis; tingginya surat (karena alQur‟an adalah Kalam Allah yang bernilai tinggi) ; dan karena masing-masing surat merupakan susunan (Suyuti, tt.:53, Zarkasyi, 1988:332). Zarqani (1988:350) menambahkan permisalannya, bahwa surat berarti penjagaan terhadap Nabi Muhammad dan risalah yang dibawanya berupa al-Qur‟an dan agama Islam karena surat merupakan mukjizat. Dalam hal ini, surat diserupakan dengan pagar kota yang dapat memelihara dari serangan musuh. Dilihat dari aspek terminologisnya, surat ialah rangkaian ayat-ayat al-Qur‟an yang ada pembuka dan penutupnya, atau istilah bahasa Arabnya memiliki fawatih as-suwar dan khawatim as-suwar. Ja`bari (Zarqani, 1988:350) menambahkan definisi ini bahwasanya surat terdiri dari minimal tiga ayat. Kata surat disebutkan Allah dalam al-Qur‟an pada beberapa ayat dan surat dengan bentuk mufrad dan jamak, juga dalam fungsi i`rab yang berlainan. Dengan lafaz
dalam Q.S. Taubah (9) ayat 64, 86,124 dan 127. Misalnya ayat 64 :
Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)." Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Q.S.an- Nur:1
(Ini adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukumhukum yang ada di dalam)nya, dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. Q.S. Muhammad :20
Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) 25
perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan Karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. Dengan lafaz
dalam Baqarah:23 & Yunus:38, misalnya:
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Dengan lafaz
dalam surat Hud:13
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". Pemakaian kata surat tersebut, antara lain ditujukan kepada orang munafiq (Q.S.9: 64, 86,124, 127 dan Q.S.47:20) ; surat tentang hukum-hukum perzinaan dan pergaulan (Q.S.24:1) ; dan tantangan membuat surat kepada kaum musyrik dan menunjukkan kemurnian surat al-Qur‟an (Q.S.2:23 ; Q.S.10:38 dan Q.S.11:13). 2. Penentuan Nama Surat Sebagian ulama tidak setuju bila dikatakan surat ini atau itu, seperti yang diriwayatkan Tabrani dan Baihaqi dari Anas, dengan hadis marfu` :” Janganlah kalian mengatakan surat al-Baqarah, surat Ali `Imran, surat an-Nisa‟ dan demikian pula seluruh surat dalam al-Qur‟an, akan tetapi katakanlah surat yang didalamnya disebutkan „al-baqarah‟, atau „Ali `Imran, demikian pula seluruh surat al-Qur‟an.” Sanad hadis ini lemah, bahkan Ibnu Jauzi menganggap maudu` (Suyuti, tt.:53). Dalam al-Qur‟an, ada beberapa surat yang memiliki satu nama, dua nama (misal al-Baqarah disebut fustatul-Qur‟an), tiga nama (misal surat al-Maidah), dan ada yang lebih dari itu (misal al-Fatihah memiliki 25 nama antara lain ummulqur‟an, fatihatul-kitab, as-sab`ul-masani), bahkan ada beberapa surat yang dinamakan dengan satu nama (misalnya alif-lam-mim dan alif-lam-ra‟ berdasarkan pendapat bahwa fawatihus-suwar bisa dijadikan nama surat) (Suyuti, tt.:54-57). Suyuti menerangkan juga alasan dan hikmah penamaan banyaknya surat itu. Nama-nama tersebut masing-masing memiliki maksud yang berbeda. Demikian pula beberapa surat lain yang memiliki lebih dari satu nama. Menurut Zarkasyi (1988 :338-342), perlu pembahasan khusus tentang banyaknya nama-nama 26
surat tersebut. Apakah secara tauqifi ataukah karena adanya kesesuaian makna. Namun kita perlu melihat kekhususan nama-nama surat tersebut. Misalnya, penamaan surat al-baqarah, karena di dalamnya ada cerita tentang sapi betina dan keajaibannya ; surat an-nisa‟, karena di dalamnya banyak dibicarakan tentang hukum-hukum wanita ; surat al-an`am, karena di dalamnya ada keterangan tentang keadaan-keadannya ; dan kisah para Nabi dalam surat-surat tertentu yang memakai nama mereka (kecuali Musa, Adam, dan Dawud, karena pembicaraan tentang mereka ada di beberapa surat). Adapun hikmah dari penentuan dan pembagian surat yaitu : a. Mempermudah dan menumbuhkan kerinduan untuk mempelajari al-Qur‟an dan menghafalkannya. Misalnya pengajaran al-Qur‟an kepada anak kecil dimulai dahulu dari surat yang pendek, kemudian sedikit demi sedikit dan secara bertahap dilanjutkan dengan surat yang lebih panjang. b. Menunjukkan tema pembicaraan. c. Mengisyaratkan bahwa panjangnya suatu surat tidak menunjukkan kelebihannya, namun semua surat adalah mukjizat meskipun pendek. d. Seorang pembaca dapat berhenti dalam tiap surat, tidak harus membaca alQur‟an sekaligus, sehingga dapat dipahami maksud dan isi tiap surat. e. Memperingan penghafal al-Qur‟an, karena apabila seorang calon hafid telah menghafal satu surat, ia merasa bahwa baru menghafal sebagian al-Qur‟an, lalu berusaha sungguh-sungguh untuk meneruskan hafalannya. f. Perincian masing-masing surat tersebut menunjukkan keterkaitan makna di dalamnya (Zarqani, 1988: 351-352 dan Zarkasyi, 1988:333-335). 3. Macam Surat Ditinjau dari segi panjang pendeknya ayat, ulama membedakan surat dalam alQur‟an sebagai berikut : a. At-Tiwal : surat yang jumlah ayatnya paling banyak. Ada 7 surat yang termasuk kategori ini, yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa‟, al-Maidah, alAn`am, al-A`raf dan Yunus. b. Al-Mi‟un : surat yang jumlah ayatnya seratus lebih sedikit. c. Al-Masani : surat yang jumlah ayatnya sedikit di bawah seratus. d. Al-Mufassal : surat yang jumlah ayatnya relatif tidak banyak dan letaknya di akhir-akhir surat al-Qur‟an. Dinamakan mufassal karena banyaknya pemisah basmalah antara surat satu dengan yang lain. Hal ini terbagi lagi menjadi tiga yaitu at-Tiwal (dari surat al-Hujurat –al-Buruj) ; al-Ausat (dari at-Tariq-alBayyinah) ; dan al-Qisar (dari az-Zalzalah - akhir al-Qur‟an) (Suyuti, tt.:58 dan 65, Zarkasyi, 1988: 307-313, dan Zarqani, 1988:352). Selain itu, pembagian surat juga dibedakan menjadi Makkiyyah dan Madaniyyah. Secara garis besar, ada tiga perbedaan pendapat yaitu : a. Ditinjau dari aspek masa turunnya al-Qur‟an, Makkiyyah berarti surat yang diturunkan sebelum hijrah dan Madaniyyah ialah surat yang diturunkan setelah hijrah baik di Makkah maupun Madinah, pada waktu pembukaan kota Makkah maupun haji wada`, atau sewaktu Rasulullah dalam perjalanan. b. Ditinjau dari aspek tempat turunnya, Makkiyyah ialah surat yang diturunkan di Makkah, meskipun setelah hijrah dan Madaniyyah yaitu surat yang diturunkan di Madinah. Sedangkan surat yang diturunkan dalam perjalanan tidak termasuk Makkiyyah maupun Madaniyyah. 27
c. Ditinjau dari aspek tujuannya, Makkiyyah ialah surat yang diturunkan untuk penduduk Makkah dan Madaniyyah diturunkan untuk penduduk Madinah. Dari ketiga pendapat tersebut, menurut jumhur ulama, yang paling kuat adalah pendapat yang pertama karena dua pendapat yang lain debatable. Bertolak dari pengertian tersebut, jumlah surat makkiyyah disepakati oleh ulama ada 82 surat, madaniyyah 20 surat, dan 12 surat masih kontroversial tentang klasifikasinya. Adapun 12 surat yang kontroversial tersebut ialah surat al-Fatihah, ar-Ra`d, arRahman, as-Saf, at-Tagabun, at-Tatfif, al-Qadr, al-Bayyinah, az-Zilzal, al-Ikhlas dan Mu`awwizatain (Suyuti, tt.:8-11, Zarkasyi,1988:239-262, Zarqani,1988:198-204 & Manna` Qattan, 53-54). Ada istilah lain yang berkaitan dengan makkiyyah dan madaniyyah sbb: a. Makkiyyah Madaniyyah : Surat Makkiyyah yang ayat-ayatnya ada yang diturunkan di Madinah. Misalnya al-An`am diturunkan di Makkah, hanya 3 ayat yang diturunkan di Madinah, yakni ayat {
}.
b. Madaniyyah Makkiyyah : surat Madaniyyah yang diturunkan di Makkah. Misalnya : al-A`raf, Yunus, Hud, Yusuf, ar-Ra`d, Ibrahim, al-Hijr, an-Nahl (kecuali 3 ayat terakhir diturunkan di antara Makkah dan Madinah), Bani Israil, al-Kahfi, Maryam,Taha, al-Anbiya‟, al-Hajj kecuali 3 ayat
{
} al-Mukminun, al-Furqan, asy-Syu`ara‟ kecuali 5 ayat terakhir }
}an-Naml, al-Qasas, al-Ankabut, ar-Rum, Luqman
kecuali 3 ayat }
} as-Sajdah kecuali 3 ayat
{
} as-Saba‟, al-Fatir, Yasin, as-Saffat, Sad,
az-Zumar kecuali 3 ayat {
} Hawamim, Fa‟, az-Zariyat, at-Tur,
an-Najm, al-al-Qamar, ar-Rahman, al-Waqi`ah, as-Saf, at-Tagabun kecuali beberapa ayat, al-Mulk, Nun, al-Haqqah, Sa‟ala, Nuh, al-Jinn, al-Muzammil
) , al-Mudassir sampai akhir surat al-
kecuali 2 ayat
Qur‟an kecuali: az-Zalzalah, an-Nasr, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas. Madaniyyah: surat yang diturunkan di Madinah, yakni al-Anfal, al-Bara‟ah, anNur, sampai at-Tahrim. Makkiyyah : surat yang diturunkan di Makkah semua, misalnya : al-Alaq, Nun, al-Muzammil, dan seterusnya. Yang menjadi pertanyaan, apakah Nabi memang menjelaskan bahwa ini surat Makkiyyah atau Madaniyah. Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Qadi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intisar (Zarkasyi, 1988:246) bahwasanya hal ini dikembalikan kepada daya ingat para sahabat dan tabi`in, karena tidak ada hadis Nabi tentang masalah ini dan seandainya ada pasti masalah ini transparan. 4. Sistematika Surat Sebagaimana kesepakatan jumhur ulama, jumlah surat dalam al-Qur‟an ada 114 seperti yang ada dalam mushaf Usmani , dimana surat pertamanya al-Fatihah dan yang terakhir an-Nas. Menurut Mujahid (Zarkasyi, 1988:317) jikalau dihitung 113 surat, karena surat at-Taubah dan al-Anfal dijadikan satu (dengan alasan bahwa 28
surat at-Taubah tanpa basmalah, sehingga menjadi satu dengan al-Anfal). Bahkan dalam mushaf Ibnu Mas`ud, hanya ada 112 surat karena tidak ada surat Mu`awwidzatain. Dalam mushaf Ubayyi, ada 116 surat karena doa istiftah dan qunut seolah-olah seperti dua surat. Mengenai jumlah huruf dan katanya, Zarkasyi (1988:314-315) mema parkan cerita tentang ketika Hajjaj bin Yusuf meminta kepada ahli qira‟ah Basrah untuk berkumpul antara lain Hasan Basri, Abu Aliyah, Nasr bin Asim, Asim al-Jahdari dan Malik bin Dinar agar menghitung huruf al-Qur‟an. Selama 4 bulan, mereka melakukan penelitian tersebut, dan hasilnya bahwa jumlah kata dalam al-Qur‟an ada 77.439, dan jumlah hurufnya ada 323.015. Adapun mengenai jumlah ayatnya ada beberapa pendapat. Menurut Ali ada 6.218; menurut `Ata‟ ada 6.177; menurut Hamid ada 6.212 ; dan menurut Rasyid ada 6.204. Yang perlu diketahui ialah bahwa penyebab perbedaan tersebut antara lain bahwasanya Nabi mewaqafkan awal suatu ayat, sehingga ada yang menganggapnya satu ayat ; dan basmalah ada yang dimasukkan ayat, ada yang tidak. Mengenai pertengahan al-Qur‟an, maka jumhur ulama berpendapat bahwa huruf pertengahannya ialah فyang terdapat dalam ( ٔنيتهطفal-Kahfi:19). Adapun tentang penyusunan ayat dalam al-Qur‟an, menurut Makki, hal itu adalah tauqifi Rasulullah, dan menurut Qadi Abu Bakar, tertibnya ayat dalam surat merupakan suatu hal yang wajib dan pasti, karena tentu Jibril mendikte Nabi bahwa ayat ini diletakkan di sini dst. Zarkasyi dengan tegas mengatakan bahwa tertib ayat dalam surat, tak diragukan lagi bahwa hal itu adalah tauqifi Nabi. Ada tiga pendapat tentang sistematika tertib surat al-Qur‟an, yaitu : a. Menurut Jumhur ulama (termasuk di dalamnya Imam Malik dan Qadi Abu Bakar), sistematika surat dalam mushaf al-Qur‟an ialah ijtihad para sahabat. Pendapat ini disinkronkan kepada Ibnu Faris yang mengatakan bahwa alQur‟an dikumpulkan dalam dua hal. Yang pertama, penyusunan surat-surat alQur‟an adalah ijtihad para sahabat, sedangkan pengumpulan ayat-ayat dalam satu surat ialah secara „tauqifi ‟ dari Rasulullah sebagaimana disampaikan Jibril dari Allah. Pendapat ini didasarkan bahwa mushaf para sahabat berbeda sistematikanya (sebelum pengumpulan al-Qur‟an masa Usman). Masing-masing berbeda awal dan akhirnya, seperti mushaf Ali (dimulai dengan surat al-`Alaq), mushaf Ibnu Mas`ud (diawali al-Baqarah), dan Mushaf Ubayyi bin Ka`ab (diawali al-Fatihah). b. Menurut sebagian ulama, sistematika surat yang seperti sekarang ini adalah tauqifi dari Rasulullah seperti halnya ayat al-Qur‟an. Pendapat ini didasarkan pada kesepakatan para sahabat tentang mushaf al-Qur‟an yang ditulis pada masa Usman. Karmani dalam kitab al-Burhan-nya menjelaskan bahwa sistematika tersebut dari Allah di Lauh Mahfud, demikian pula ketika tiap tahun Rasulullah membacakan al-Qur‟an di depan Jibril. c. Menurut sebagian ulama, termasuk Qadi Abu Muhammad bin Atiyyah, sistematika sebagian surat adalah tauqifi Rasulullah dan sebagian lain ijtihad para sahabat (Zarqani, 1988:353-358, Suyuti, tt.:64-65, dan Zarkasyi, 1988:324325). Suyuti (tt.:112) menjelaskan alasan pendapat yang mengatakan bahwa sistematika surat al-Qur‟an adalah tauqifi dari Rasulullah antara lain dengan : melihat huruf-hurufnya, kesesuaian antara awal surat dengan akhir surat sebelumnya, keseimbangan dalam lafadnya, dan kemiripan isi suatu surat dengan surat sebelumnya. Sedangkan menurut Zarkasyi (1988:328), kemungkinan urutan 29
sistematika surat ini ialah hasil ijtihad para sahabat. Sedangkan pendapat tentang penyusunan ayat-ayat dalam al-Qur‟an, antara lain, menurut Makki, hal itu adalah tauqifi Rasulullah; dan menurut Qadi Abu Bakar, tertibnya ayat dalam surat merupakan suatu hal yang wajib dan pasti, karena tentu Jibril mendikte Nabi bahwa ayat ini diletakkan di sini dst. Ada beberapa pendapat tentang bagaimana mengetahui surat yang pertama kali dan terakhir kali diturunkan. Dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa surat yang pertama kali diturunkan adalah Iqra‟ kemudian Mudassir. Sedang dalam sahih Muslim disebutkan bahwa yang pertama kali diturunkan adalah Mudassir. Ada pula pendapat bahwa yang pertama kali ialah surat Fatihah, menurut riwayat Abu Ishaq dari Abi Maisarah. Menurut Zarkasyi (1988:263-265) konklusi dari ketiga pendapat tersebut dan dengan melihat sejarah dan latar belakang ketiga pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa ayat yang pertama kali turun ialah Iqra‟, sedangkan perintah tablig pertama kali ialah al-Mudassir, dan surat yang pertama kali turun ialah surat al-Fatihah. Mengenai yang terakhir turun, ulama juga berbeda pendapat. Menurut riwayat Ibnu Abbas : an-Nasr, riwayat Aisyah : al-Maidah, riwayat lain : al-Bara‟ah dan ayat yang terakhir turun ialah akhir surat an-Nisa‟, menurut Syu`bah yang disandarkan kepada Ubayyi bin Ka`ab, ayat yang terakhir ialah at-Taubah:128-129, Riwayat Bukhari : ayat riba, dan riwayat Muslim : an-Nasr. Dalam pengelompokan surat, Zarkasyi (1988:249-252) mengklasifikasi kan surat-surat yang diturunkan pada periode Makkah dan Madinah berdasar urutannya. Periode Makkah diawali surat al-`Alaq dan tentang surat yang terakhir, ulama berbeda pendapat (ada yang al-Ankabut, a-Mu‟minun, dan at-Tatfif). Adapun periode Madinah diawali surat al-Baqarah dan diakhiri dengan surat al-Maidah. Berikut tertib surat berdasar turunnya menurut Zarkasyi, tanpa memasukkan surat al-Fatihah : Makkiyyah : Al-`Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Mudassir, Al-Lahab, AtTakwir, Al-A`la, Al-Lail, Al-Fajr, Ad-Duha, Al-Insyirah, Al-`Asr, Al-`Adiyat, AlKausar, At-Takasur, Al-Ma`un, Al-Kafirun, Al-Fil, Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlas, An-Najm, `Abasa, al-Qadar, Asy-Syams, Al-Buruj, At-Tin, Al-Quraisy, Al-Qari`ah, Al-Qiyamah, Al-Humazah, Al-Mursalat, Qaf, Al-Balad, At-Tariq, Al-Qamar, Sad, Al-A`raf, Al-Jin, Yasin, Al-Furqan, Al-Fatir, Maryam, Taha, Al-Waqi`ah, AsySyua`ra‟, An-Naml, Al-Qasas, Al-Isra‟, Yunus, Hud, Yusuf, Al-Hijr, Al-An`am, AsSaffat, Luqman, Saba‟, Az-Zumar, Al-Mukmin, Ha-Mim as-Sajdah, Asy-Syura, AzZukhruf, Ad-Dukhan, Al-Jasiyah, Al-Ahqaf, Az-Zariyat, Al-Gasyiyah, Al-Kahfi, An-Nahl, Nuh, Ibrahim, Al-Anbiya‟, Al-Mukminun, As-Sajdah, At-Tur, Al-Mulk, Al-Haqqah, Al-Ma`arij, An-Naba‟, An-Naziat, Al-Infitar, Al-Insyiqaq, Ar-Rum, Al`Ankabut, dan At-Tatfif. Madaniyyah : Al-Baqarah, Al-Anfal, Ali Imran, Al-Ahzab, Al-Mumtahanah, An-Nisa‟, Az-Zilzal, Al-Hadid, Al-Qital, Ar-Ra`d, Ar-Rahman, Ad-Dahr, At-Talaq, Al-Bayyinah, Al-Hasyr, An-Nasr, An-Nur, Al-Hajj, Al-Munafiqun, Al-Mujadalah, Al-Hujurat, At-Tahrim, As-Saf, Al-Jum`ah, At-Tagabun, Al-Fath, At-Taubah, dan Al-Maidah. 5. Pembuka Surat Fawatih as-suwar (pembuka surat) merupakan istilah untuk ayat-ayat yang mengawali sebuah surat dalam al-Qur‟an. Tak ada sebuah suratpun yang tidak ada 30
fawatih as-suwar-nya. Dalam masalah ini, Suyuti (tt.:105-107) dan Zarkasyi (1988:213219) meresume keterangan dari Syihabuddin Abu Syamah bahwa Allah membuka surat-surat al-Qur‟an dengan 10 jenis kata, yaitu : a. Pujian kepada-Nya dengan menetapkan sifat-sifat pujian dan meniadakan sifat kekurangan. Dalam menetapkan sifat pujian, Allah menggunakan dua jenis yaitu :
dalam 5 surat ( al-Kahfi, as-Saba‟, al-An`am, al-Fatir dan al-
Fatihah) dan
dalam dua surat (al-Furqan dan al-Mulk). Dalam
menafikan sifat kekurangan, Allah memakai kata
dalam 7 surat yaitu
Bani Israil dan al-Isra‟(dengan bentuk masdar), al-Hadid dan al-Hasyr (bentuk fi`il madi), al-Jum`ah dan at-Tagabun (fi`il mudari`), serta al-A`la (fi`il amr). b. Huruf tahajji/ hijaiyyah terdapat dalam 29 surat dan terdiri dari 14 huruf yaitu
(
karena ada beberapa yang
diulangi misalnya pengulangan huruf alif, lam dan mim dalam { } . Ditinjau dari segi jumlah hurufnya, Zarkasyi merangkumnya menjadi : Satu huruf ada tiga, yakni } }
: Tiga huruf ada 12 yakni }
huruf ada dua yaitu }
); Dua huruf ada 10, yakni
}
{
{ ; Empat
; Lima huruf ada dua yaitu {
. Didapati, bahwa surat yang diawali dengan huruf tahajji, ayat
selanjutnya berkaitan dengan al-Qur‟an, kecuali dalam surat al-Ankabut dan ar-Rum. Misal dalam al-Baqarah {
}
c. Huruf nida‟ dalam 10 surat, 5 surat panggilan kepada Rasulullah dalam surat al-Ahzab, at-Talaq, at-Tahrim, al-Muzammil dan al-Mudassir misalnya { } . Lima surat yang lain adalah panggilan kepada umat yakni dalam surat an-Nisa‟, al-Maidah, al-Hajj, al-Hujurat dan al-Mumtahanah, misal {
}.
d. Kalimat berita terdapat dalam 23 surat, yaitu dalam surat al-Anfal, at-Taubah, al-Mukminun, an-Nahl, al-Anbiya‟, an-Nur, az-Zumar, Muhammad, al-Fath, al-Qamar, ar-Rahman, al-Mujadalah, al-Haqqah, al-Ma`arij, Nuh, al-Qiyamah, al-Balad, `Abasa, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Qari`ah, at-Takasur, dan alKausar.Misalnya {
}
e. Kata sumpah, 15 surat (at-Tin, ad-Duha, at-Tariq, as-Saffat, adz-Dzariyat, atTur, an-Najm, al-Mursalat, an-Nazi`at, al-Buruj, al-Fajr, asy-Syams, al-Lail, al`Adiyat dan al-`Asr). Misal {
} 31
f. Kata syarat dalam tujuh surat, yakni al-Waqi`ah, al-Munafiqun, at-Takwir, alInfitar, al-Insyiqaq, az-Zalzalah dan an-Nasr. Misalnya {
}
g. Kata perintah dalam 6 surat yakni al-Jin, al-`Alaq, al-Kafirun, al-Ikhlas, alFalaq dan an-Nas. Misalnya {
}
h. Kalimat tanya dalam 6 surat yaitu al-Gasyiyah, an-Naba‟, al-Insan, al-Insyirah, al-Fil dan al-Ma`un. Misalnya { i.
}
Doa dalam tiga 3 yaitu al-Mutaffifin, al-Humazah dan al-Lahab. Misal { }
j.
Kalimat „at-ta`lil‟ dalam satu surat yaitu Quraisy {
}.
Sesuai pendapat ulama ilmu balagah, keindahan awal suatu kalimat dapat menarik perhatian para pendengar. Apabila awal kalimat tidak indah meskipun kalimat selanjutnya baik, maka hal itu tidak menarik perhatian pendengar. Demikianlah Allah mengawali surat dengan fawatih as-suwar yang dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia agar mendengarkan, lalu melihat dan memahami serta mengamalkan ayat-ayat al-Qur‟an (sebagaimana firman Allah berikut ). Dalam melihat huruf tahajji, ada beberapa pendapat ulama, yaitu : Ulama Basrah tidak menghitungnya sebagai satu ayat. Sedangkan ulama Kufah, sebagian ada yang memasukkan ayat dan sebagian yang lain tidak ; Sebagian fawatihus-suwar mendapat perlakuan I`rab, dan ada yang tidak ; Semuanya dibaca waqaf, bila tidak dihubungkan dengan kata sesudahnya ; Keseluruhannya dituliskan dalam mushaf sesuai hurufnya masing-masing, bukan namanya (Zarkasyi, 1988: 220-221). 6. Penutup Surat Adapun khawatim as-suwar (penutup surat) ialah istilah untuk akhir kata atau kalimat yang mengakhiri suatu surat dalam al-Qur‟an. Seperti halnya fawatih as-suwar, penutup surat inipun memiliki nilai keindahan karena merupakan kata akhir yang didengar oleh pendengar sehingga membekas dalam hatinya dan memberikan kesan yang mendalam. Allah memakai beberapa kalimat misalnya : Rincian permohonan di akhir surat al-Fatihah; Doa di dua ayat terakhir surat al-Baqarah; Wasiat di akhir surat Ali Imran; Wasiat dan faraidl di akhir surat an-Nisa‟; Pengagungan kepada Allah yang mengakhiri surat al-Maidah, yakni sebagai berikut { } ;Janji dan ancaman di akhir surat al-An`am { } ;Memelihara ibadah di akhir surat al-A`raf ; Himbauan jihad dan silaturahmi di akhir al-Anfal ;Sifat dan pujian kepada Rasulullah serta tahlil di akhir surat at-Taubah; Hiburan kepada Rasulullah di akhir surat Yunus dan Hud ;Sifat dan pujian kepada al-Qur‟an di akhir surat Yusuf ; Penolakan terhadap orang 32
yang mendustai Rasul di akhir surat ar-Ra`du ; Pujian dan faidah al-Qur‟an, serta dalil bahwa Allah Esa di akhir surat Ibrahim ; Wasiat al-Qur‟an kepada Rasulullah di akhir surat al-Hijr ; Pujian kepada Nabi karena tuma‟ninahnya dan janji Allah di akhir an-Nahl ; Pujian di akhir surat al-Isra‟; Perintah Tauhid di akhir surat al-Kahfi dan lain-lain yang masing-masing memiliki rahasia (Suyuti, tt.:107-108 dan Zarkasyi, 1988:233-235). Kalau kita amati lebih lanjut, terdapat kesesuaian dan keharmonisan antara pembuka dan penutup surat. Sebagai contoh antara lain : Surat Qasas dimulai hijrahnya Musa dari negaranya {
}, dan diakhiri pujian
atas hijrahnya Muhammad {
}; Surat Mukminun
diawali keberuntungan orang beriman, { ketidakberuntungan kaum kafir {
} dan diakhiri dengan }; Surat Sad diawali kata {
} dan diakhiri dengan {
} ; Surat Nun diawali penafian
atas kegilaan Muhammad {
} dan diakhiri dengan {
}. Selain itu juga ada kesesuaian antara pembuka surat tertentu dengan penutup surat sebelumnya. Sebagai contoh antara lain : awal surat Quraisy { } dan akhir surat al-Fil {
}; Pembukaan surat al-
Kausar dengan akhir surat al-Ma`un ; Pembukaan surat al-Qari`ah dengan akhir surat al-`Adiyat ; Pembukaan al-Hadid (tasbih) dengan akhir al-Waqi`ah (perintah tentang tasbih) ; Awal al-Baqarah dan akhir al-Fatihah (Suyuti,111-114 & Zarkasyi, 1988:236-237). C. Isi al-Qur`an Garis besar kandungan al-Qur`an meliputi : 1. Aqidah, yakni keyakinan yang lebih menitikberatkan pada tauhidullah, yakni meng-Esa-kan Allah dan menyatukan pengabdian hanya kepada-Nya. 2. Syari`ah, yakni hukum Islam yang meliputi Ibadah dan Muamalah, dengan kata lain petunjuk tentang beribadah bermuamalah dan cara mendekatkan diri kepada Allah. 3. Akhlaq, yakni hal-hal yang terkait dengan perilaku dan sopan santun, baik hablun minallah maupun hablun minan-nas. 4. Berita Gaib yang terkait dengan alam yang tidak terjangkau oleh manusia di dunia. 5. Janji bagi yang taat kepada perintah Allah dan Ancaman bagi yang melanggarnya. 6. Tata Hukum yang diperlukan manusia. 7. Kisah para Nabi dan Rasul serta umat terdahulu.
33
BAB IV NUZULUL QUR’AN Allah menurunkan al-Qur‟an kepada Rasulullah SAW untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur‟an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya alQur‟an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Turunnya al-Qur‟an yang kedua kali secara bertahap –berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya –sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia Allah yang ada dibalik itu. Berikut ini akan dijelaskan seputar nuzulul Qur‟an. A. Pengertian Nuzulul Qur’an Secara etimologis Nuzulul Qur‟an berarti peristiwa al-Qur‟an turun atau turunnya al-Qur‟an. Penggunaan istilah Nuzulul Qur‟an bersifat Majazi, maksudnya mempermaklumkan al-Qur‟an dengan cara dan sarana yang dikehendaki Allah sehingga dapat diketahui oleh malaikat di Lauhul Mahfudz dan oleh Nabi Muhammad SAW. di dalam hatinya yang suci. Dalam al-Qur‟an Nuzulul Qur‟an diungkap dengan dua ungkapan, yaitu (1) dengan kata Nazzala – yunazzilu – tanzilan, dengan makna konotatif “turun secara berangsur-angsur”, dan (2) dengan kata anzala – yunzilu – inzalan, dengan makna denotatif “menurunkan”. Penggunaan dua kata itulah yang menyebabkan terjadinya berbagai macam definisi dan tahapan Nuzulul Qur‟an yang mengkaji alQur‟an dari aspek bahasanya (Tim DEPAG, Ensiklopedi.., 1995: 860). Az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan fi „Ulum al-Qur‟an (1957:228) menjelaskan mengenai proses turunnya al-Qur‟an mulai dari Lauhil Mahfudz sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, turunnya al-Qur‟an melalui tiga cara: 1. Al-Qur‟an turun sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia pada malam Lailatul Qodar, kemudian dituturunkan kepada Nabi Muhammad secara bertahap, sejak diangkatnya beliau menjadi Rasul hingga wafat. Ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama Nabi Muhammad menjadi rasul, sebagian mengatakan 20 tahun, sebagian lagi 23 tahun dan sebagian lagi 25 tahun. Perbedaan ini dipicu oleh perbedaan mereka menentukan berapa lama Nabi Muhammad menetap di Makkah setelah diangkat menjadi rasul (azZarkasyi, 1957: 228). 2. Al-Qur‟an diturunkan ke langit dunia setiap tahun pada malam Lailatul Qadar , kemudian diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad. Dalam kaitan ini, setiap tahun pada malam Lailatul Qadar Allah menurunkan ayat alQur‟an sesuai dengan kadar “kebutuhan” dan “tuntutan” tahun tersebut. 3. Allah menjadikan malam lailatul Qadar sebagai awal pembuka diturunkannya al-Qur‟an secara bertahap (Ibid.) Setelah mengemukakan ketiga cara di atas, az-Zarkasyi memilih cara yang pertama sebagai cara yang paling benar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas dalam Mustadrak al-Hakim, “al-Qur‟an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadar, kemudian turun secara bertahap selama 20 tahun (Ibid.). 34
Senada dengan pendapat az-Zarkasyi, as-Suyuthi dalam al-Itqan fi „Ulum alQur‟an (1979: 41) mengutip pendapat Ibn Hajar al-Asqalani yang menyatakan bahwa cara pertama, yaitu al-Qur‟an diturunkan sekaligus dalam keseluruhannya dari Lauhil Mahfudz ke langit dunia di malam lailatul qadar kemudian diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad selama menjadi Rasul oleh Jibril adalah cara yang paling tepat. B. Bukti Historis Turunnya al-Qur’an Bertahap Al-Qur‟an adalah petunjuk bagi umat manusia yang meletakkan dasar-dasar yang prinsipil dalam segala persoalan kehidupan manusia dan merupakan kitab universal. Petunjuk ini merupakan sendi utama yang dimiliki agama Islam sebagai way of life bagi penganutnya dan menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak (Quraish Shihab, membumikan..., 1992:33). Allah menurunkan al-Qur‟an kepada Nabi Muhammad SAW. dengan perantara malaikat Jibril secara bertahap. Malaikat sebagai perantara Allah dengan manusia, karena al-Qur‟an merupakan petunjuk manusia. Ayat-ayat al-Qur‟an diturunkan sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian serta kebutuhan Nabi Muhammad SAW. Kejadian ini merupakan peristiwa besar yang dialami beliau selama hidupnya. Allah SWT berfirman:
Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.(Q.S. al-Isra‟ (17): 106).
Kitab (ini) diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. alJatsiyah (45): 2). Dilihat dari ungkapan ayat-ayat di atas (untuk arti menurunkan) semuanya menggunakan kata tanzil bukan inzal. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur‟an diturunkan secara bertahap atau berangsur-angsur. Berbeda dengan kitab samawi sebelumnya seperti Taurat, Injil, dan Zabur turunnya sekaligus, tidak bertahap. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Firman Allah SWT:
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Q.S. al-Furqan (25): 32). Pertanyaan orang kafir itulah yang dijadikan landasan beberapa ahli tafsir, bahwasanya orang kafir merasa heran dengan turunnya al-Qur‟an secara berangsurangsur karena mereka mengetahui bahwa kitab-kitab sebelumnya diturunkan secara sekaligus. Bukanlah kitab-kitab itu berwujud benda kemudian diturunkan begitu 35
saja, tetapi diturunkan (dibacakan) sekaligus oleh Malaikat Jibril (Manna‟ Khalil alQatthan, 1994: 152). Ayat al-Qur‟an yang pertama kali turun adalah Q.S. al-‟Alaq ayat 1-5:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Pada awalnya Rasulullah SAW diberitahu lewat mimpi pada bulan kelahiran beliau, yaitu bulan Rabi‟ul Awwal. Kemudian diturunkan kepada beliau dalam keadaan sadar. Sebagaimana Hadits dari ‟Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim: ”Wahyu yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah SAW ialah mimpi yang benar di waktu tidur. Setiap kali mimpi beliau melihat ada yang datang bagaikan cahaya terang di pagi hari. Kemudian beliau lebih suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk bertahannuts beberapa malam; dan untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau kembali ke rumah Khadijah r.a. dan Khadijah pun membekali seperti itu biasanya. Sehingga datanglah suatu ”kebenaran” kepada beliau sewaktu berada di gua Hira. Malaikat datang kepada beliau dan berkata: ‟Bacalah.‟ Rasulullah menjawab: Aku berkata kepadanya; ‟Aku tidak pandai membaca.‟ Lalu dia memegang dan merangkulku sampai aku kepayahan, kemudian dia melepaskan aku, lalu katanya: ‟Bacalah.‟ Aku menjawab: ‟Aku tidak pandai membaca.‟ Lalu dia merangkulku untuk yang kedua kalinya sampai aku kepayahan, lalu dia melepaskan aku, lalu katanya: ‟Bacalah‟. Lalu aku menjawab: ‟Aku tidak pandai membaca.‟ Lalu dia merangkulku untuk yang ketiga kalinya sampai aku kepayahan, kemudian dia melepaskan aku, lalu katanya: ‟Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan sampai dengan apa yang belum diketahuinya.”. Peristiwa tersebut tepatnya malam Senin 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran beliau bertepatan dengan 6 Agustus 610 M di gua Hira. Ketika turunnya wahyu yang pertama beliau masih sebagai seorang Nabi, belum ditugasi untuk menyampaikan kepada orang lain, namun setelah turun wahyu yang kedua (Q.S. alMudatsir (74): 1-7) beliau ditugasi untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya.
Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
36
Secara historis, sejarah turunnya al-Qur‟an di sini akan dibagi ke dalam tiga periode agar lebih jelas tujuan-tujuan pokok al-Qur‟an: Periode pertama, kandungan al-Qur‟an berkisar pada tiga hal; 1) Pendidikan bagi Rasulullah dalam membentuk kepribadiannya (Q.S. al-Mudatssir (74): 1-7); 2) Pengetahuan dasar mengenai ketuhanan (Q.S. al-A‟la (87) dan Q.S. al-Ikhlas (112)); dan 2) Dasar-dasar akhlak Islamiyah dan pembentukan masyarakat Muslim. Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab terhadap al-Qur‟an ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok, yaitu; 1) sebagian kecil dari mereka menerima dengan baik; 2) sebagian besar mereka menolak karena kebodohan mereka (Q.S. al-Anbiya‟ (21):24), keteguhan mereka dalam mempertahankan adat-istiadat dan tradisi nenek moyang (Q.S. az-Zukhruf (43):22), dan karena ada maksud-maksud tertentu dari suatu golongan; dan 3) Dakwah alQur‟an mulai melebar hingga perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya. Periode kedua, sejarah turunnya al-Qur‟an berlangsung selama 8-9 tahun, dimana ayat-ayat al-Qur‟an telah sanggup memblokade paham jahiliyah dari segala segi, sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam alam pikiran sehat (Q.S. an-Nahl (16): 125; Fushilat (41):13; Yasin (36): 78 – 82). Periode ketiga, pada masa ini dakwah al-Qur‟an telah mencapai atau mawujdkan prestasi yang sangat besar. Periode ini berlangsung selama 10 tahun (Quraish Shihab, 1992:35-37). Ini merupakan periode yang terakhir. Islam telah disempurnakan oleh Allah dengan turunnya ayat yang terakhir turun. Surat alMa‟idah ayat 3 (ayat tentang hukum), ketika Nabi wukuf pada waktu haji wada‟ pada tanggal 9 Dzulhijjah 10 H/ 7 Maret 632 M. Sehingga dari ayat yang pertama sampai yang terakhir turun memakan waktu sekitar 22 tahun (Muhammad Chirzin, Al-Qur‟an ...., 1998: 16-17). C. Hikmah Pentahapan dalam Penurunan al-Qur’an Adapun hikmah diturunkannya al-Qur‟an secara berangsur-angsur antara lain: 1. Menguatkan dan meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW:
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlahsupaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Q.S. al-Furqan (25): 32). 2. Memuliakan Nabi Muhammad SAW dan menunjukkan sifat lemah lembut Allah kepada beliau:
37
Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Q.S. al-Hasyr (59:21). 3. Kesesuaian dengan peristiwa dan pentahapan dalam penetapan hukum, misalnya tahapan dalam pelarangan khamr sebagaimana ayat-ayat berurut berikut ini:
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (Q.S. an-Nahl (16): 67).
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (Q.S. al-Baqarah (2): 219).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat 38
air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S. anNisa‟ (4):43).
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Ma‟idah (5): 90). 4. Tantangan dan Mukjizat:
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Q.S. al-Furqan (25): 33) 5. Mempermudah hafalan dan memahami;
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. al-Jumu‟ah (62): 2). 6. Bukti yang pasti bahwa al-Qur‟an diturunkan dari sisi yang Maha Bijaksana dan Maha terpuji:
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu. (Q.S. Hud (11): 1).
39
BAB V SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR’AN Pemeliharaan al-Qur‟an adalah penjagaan kemurnian al-Qur‟an baik lafadz maupun maknanya mulai dari pertama kali al-Qur‟an diturunkan sampai masa sekarang dan yang akan datang. Sebenarnya pemeliharaan kemurnian al-Qur‟an adalah lewat pengumpulannya. Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur‟an (Jam‟ul Qur‟an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut: Pertama : pengumpulan dalam arti Hifdzuhu ( menghafalkannya dalam hati). Jumma‟ul Quran artinya huffazuhu ( penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya didalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur‟an ketika itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya:
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepatcepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.(Q.S. al-Qiyamah: 16-19). Ibn Abbas mengatakan: “Rasulullah SAW sangat ingin segera menguasai Qur‟an yang diturunkan, ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur‟an karena hendak cepat-cepat untuk menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya , maksudnya Kami yang mengumpulknnya didadamu, kemudian kami memebacakannya. Apa bila Kami telah selesai memebacakannya, maksudnya „ apabila Kami telah menurunkannya kepadamu maka ikitilah bacaan itu, maksudnya „ dengarkan dan perhatikanlah ia‟, kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya, yakni menjelaskannya dengan lidahmu.‟ Dalam lafal yang lain ia katakan : „atas tanggungan Kamilah membacakannya‟ maka setelah ayat ini turun bila jibril datang, Rasulullah SAW diam. Dalam lafal lain: „ ia mendengarkan‟.dan bila jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana diperintahkan Allah.” Kedua : pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi ( penulisan al-Qur‟an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayatayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain. Ketiga: pengumpulan dalam arti merekam suara bacaan al-Qur‟an, yaitu pelestarian al-Qur‟an dengan cara merekam dalam pita suara.
40
A. Pengumpulan al-Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi Rasulullah SAW amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti yang dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya ( didadamu) dan ( membuatmu pandai) membacanya ( al-Qiyamah: 17 ). Oleh sebab itu ia adalah hafiz ( penghafal ) al-Qur‟an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Al-Quran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunanya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang k uat. Hal itu umumnya karena mereka buta huruf., sehingga dalam penulisan berita-berita, syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan dihati mereka. Dalam kitab sahihnya Bukhari telah mengemukakan adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah: Abdullah bin Mas‟ud, Salim bin Ma‟qal bekas budak Abu Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda‟. a. Dari Abdullah bin „Amr bin „As dikatakan : ”Aku telah mendengar Rasulullah SAW berkata: “Ambilah Qur‟an dari empat orang,Abdullah bin Ma‟ud, Salim, Muaz dan Ubai bin Kaab.” keempat orang tersebut dua orang kaum muhajirin, yaitu Abdullah bin Masud dan Salim; dan dua orang dari Anshar yaitu; Muaz dan Ubai. b. Dari Qatadah dikatakan: “Aku telah bertanya kepada Anas bin Malik: siapakah orang yang hafal Qur‟an dimasa Rasulullah SAW ? dia menjawab: „empat orang semuanya dari kaum anshar; Ubai bin Kaab , Muaz bin Jabal, Zaid bin sabit, dan Abu zaid. Aku bertanya kepadanya; siapakah Abu Zaid itu ? ia menjawab salah seorang Pamanku.” c. Dan diriwayatkan pula melalui Sabit, dari Anas yang mengatakan: “Rasulullah SAW wafat sedang Quran belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda, Muaz bin Jabal, Zaid bin Sabit, dan abu Zaid.” Abu Zaid yang disebut-sebut diatas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang dinukil oleh Ibn Hajar dengan isnad yang memenuhi persyaratan Bukhari. Menurut Anas Abu Zaid yang hafal Qur‟an itu namanya Qais bin Sakan. Kata Anas, „ia adalah seorang laki-laki dari suku kami, Bani „Adi Ibnun Najjar dan termasuk salah seorang paman kami. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewarisinya.” Ibn Hajar ketika menuliskan biografi Said bin Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang hafiz dan dijuluki pula dengan al-Qari‟ ( pembaca al-Qur‟an). 41
Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan al-Qur‟an dan mereka memerintahkan anak-anak dan ister-isteri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam salat ditengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagai suara lebah. Rasulullah SAW pun sering melewati rumah-rumah orang Anshar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca al-Qur‟an dirumahrumah. Dari Abu Musa Al-Asy‟ari: “Bahwa Rasullullah saw. Berkata kepadanya : ” tidakkah engkau melihat aku tadi malam, diwaktu aku mendengarkan engkau membaca al-Qur‟an ? sungguh engkau telah diberi seruling dari seruling Nabi Daud,” Diriwayatkan Abdullah bin Amr berkata : ” Aku telah menghafal al-Qur‟an dan aku telah menamatkannya pada setiap malam. Hal ini sampai kepada Nabi, maka katanya : ” Tamatkanlah dalam waktu satu bulan.” Abu Musa al-Asyari berkata :“Rasulullah berkata: “Sesumgguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara keturunan Asyari diwaktu malam ketika berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara bacaan al-Quran mereka diwaktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat rumah mereka diwaktu siang.” Disamping antusiasme para sahabat untuk mempelajari dan menghafal alQur‟an Rasulullah pun mendorong mereka kearah itu dan memilih orang tertentu yang akan mengajarkan al-Qur‟an kepada mereka. Ubadah bin Samit berkata: “Apabila ada seseorang yang hijrah ( masuk islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang diantara kami untuk mengajarinya al-Qur‟an. Dan dimasjid Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca al-Qur‟an, sehingga Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara agar tidaj saling mengganggu.” Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari dengan tiga riwayat diatas, diartikan bahwa mereka itilah yang hafal seluruh isi al-Qur‟an diluar kepala dan telah menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi. Serta isnad-isnad nya sampai kepada kita. Sedang para hafidz al-Qur‟an lainnya-yang berjumlah banyaktidak memenuhi hal tersebut; terutama karena para sahabat telah tersebar diberbagai wilayah dan sebagian mereka menghafalkan dari yang lain. Cukuplah sebgai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh dalam pertempuran dalam sumur “Ma‟unah” semuanya disebut “qurra” , sebanyak tujuh puluh orang sebagaiman disebutkan dalam hadis, sahih. Al-Qurtubi mengatakan : telah terbunuh tujuh orang qari‟ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa nabi sejumlah itu dalam pertempuran dalam sumur Ma‟unah.” Inilah pemahaman para ulama dan pertakwilan mereka terhadap hadis-hadis sahih yang menunjukkan terbatasnya jumlah para hafid al-Qur‟an yaitu hanya tujuh orang seperti yang telah dikemukakan. Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatakan “Tak ada yang hafal al-Qur‟an kecuali empat orang”, al-Mawardi berkata ucapan Anas yang menucapkan bahwa tidak ada yang hafal al-Qur‟an selain empat orang itu tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebabmungkin saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal alQur‟an sedangkan para sahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai wilayah ? pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hafal al-Qur‟an itu tidak 42
dapat diterima kecuali kalau ia bertemudengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna hafalannya dimasa Nabi. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya pengetahuannya sendiri maka hal ini tidak berarti bahwa kenyataannya memang demikian. Disamping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar semua pribadi hafal, bahkan bila kolektifitas sahabat telah hafal - sekalipun secara distributif maka itu sudah cukup. Dengan penjelasan ini al-Mawardi telah menghilangkan keraguan yang mengesankan sedikitnya jumlah huffaz. ( para penghafal al-Qur‟an ) dengan cara meyakinkan dan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang kuat mengenai pembatasan jumlah hafiz dalam hadis Anas dengan menjelaskan memuaskan. Abu Ubaid telah menyebutkan dalam kitab al-Qiraat sejumlah qari dari kalangan sahabat. Dari kaum muhajirin, ia menyebutkan: empat orang khalifah, Talhah,S‟ad, Ibn Mas‟ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah as-Sa‟ib, empat orang bernama Abdullah, Aisyah, Hafsah, dan Ummu Salamah.; dan dari kaum anshar : „ Ubaidah bin Samit , Mu‟az, yang dijuluki Abu Halimah, Majma‟ bin Jariyah, Fudalah bin Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad ditegaskannya bahwa sebagian mereka itu menyempurnakan hafalannya sepeninggalnya Nabi. Al-Hafiz az-Zahabi menyebutkan dalan tabaqatul qurra‟ bahwa jumlah qari‟ tersebut adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan sahabat yang hafal al-Qur‟an namun sanadnya tidak sampai kepada kita, jumlah mereka itu banyak. Dari keterangan -keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para hafiz alQur‟an dimasa Rasullulah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegangan pada hafalan dalam penukilan dimasa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari guru para qari pada masanya menyebutkan : “Penukilan al-Quran dengan berpergang Pada hafalan- bukannya pada mushaf dan kitab-kitab- merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.” B. Pengumpulan al-Qur’an dalam Arti Penulisan al-Qur’an 1.
Pada Masa Nabi
Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu al-Qur‟an dari sahabatsahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, „Ubai bin K‟ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun menuliskan al-Qur‟an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit: ” Kami menyusun al-Qur‟an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis al-Qur‟an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain saranasarana tersebut. Dan denagn demikian, penulisan al-Qur‟an ini semakin menambah hafalan mereka. Jibril membacakan al-Qur‟an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan ramadan setiap tahunnya Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah adalah orang 43
paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan ramadan, ketika ia ditemui oleh jibril. Ia ditemui oleh jibril setiap malam; jbril membacakan al-Qur‟an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh jibril it ia sangat pemurah sekali. Para sahabat senantiasa menyodorkan al-Qur‟an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan al-Qur‟an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka‟ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas‟ud telah menghafalkan seluruh isi al-Qur‟an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan al-Qur‟an dihadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan diatas. Rasulullah berpulang kerahmatullah disaat al-Qur‟an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi al-Qur‟an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang manasih (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan al-Qur‟an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabiia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) al-Qur‟an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-zarkasyi berkata: “ al-Qur‟an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur‟an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.” Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan: “Rasulullah telah wafat sedang al-Qur‟an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata: ” Rasulullah tidak mengumpulkan al-Qur‟an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar Pengumpulan al-Qur‟an dimasa Nabi ini dinamakan : a) penghafalan, dan b) pembukuan yang pertama. 2. Pada Masa Abu Bakar Abu Bakar menjalankan urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada 44
tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal al-Qur‟an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan al-Qur‟an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qarri‟. Di segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempattempat lain akan membunuh banyak qari‟ pula sehingga al-Qur‟an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut, kemudian Abu Bakar nenerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam qiraat , penulisan pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan al-Qur‟an itu. Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran ( kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaranlembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafsah putri Umar. Pada permulaan kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan Hafsah. Zaid bin Sabit berkata: Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata : „Umar telah datang kepadaku dan mengatakan bahwa perang yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra ; dan ia khawatir kalaukalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi di tempat-tempat lain, sehingga sebagain besar al-Qur‟an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memetrintahkan seseorang untuk menguimpulkan al-Qur‟an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? tetapi Umar menjawab: dan bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.” Zaid berkata lagi: “Abu Bakar berkata kepadaku: „ Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemammpuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah al-Qur‟an dan kumpulkanlah.” “Demi Allah”, Kata Zaid lebih lanjut”, ” sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku dari pada perintah mengumpulkan al-Qur‟an. Karena itu aku menjawab: ” Mengapa Anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? Abu Bakar menjawab: „demi Allah itu baik, Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari al-Qur‟an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah taubah berada pada Abu Huzaimah al-Anshari; yang tidak kudapatkan pada orang lain, sesungguhya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri hingga akhir surah. Lembaran-lembaran ( hasil kerjaku) tersebut kemudian disimpan ditangan Abu Bakar higga wafatnya. Sesudah itu berpindah 45
ketangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada ditangan Hafsah binti Umar.” Zaid bin Sabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan diatas: “Dan aku dapatkan akhir surah at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari; yang tidak aku dapatkan pada orang lain.” Tidak menghilangkan arti keberhatihatian tersebut dan tidak pula berari bahwa akhir surah Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para sahabat yang menghafalnya. Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari. Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan : ” Umar datang lalu berkata: „Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari al-Qur‟an, hendaklah ia menyampaikannya.‟ Mereka menuliskan al-Qur‟an itu pada lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma. Dan Zaid tidak mau menerima dari al-Qur‟an mengenai seseorang sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran (langsung dari Rasul), sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati. Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid: “Duduklah kamu berdua dipintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah.” Para perawi hadis ini orang-orang terpercaya, seklaipun hadis tersebut munqati,(terputus). Ibn Hajar mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.” As-Sakhawi menyebutkan dalam Jamalul qurra, yang dimaksdukan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu ditulis dihadapan Rasulullah; atau dua orang saksi iti menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu al-Qur‟an diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan al-Qur‟an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat dihadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah Taubah, „aku tidak mendapatkannya pada orang lain,‟ sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.” Kita sudah mengetahui bahwa al-Qur‟an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu al-Qur‟an diturunkan. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Qur‟an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat pula mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali, Ubai dan Ibn Mas‟ud. Tetpi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara-cara diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan. Juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansuk dan secara ijma‟ sebagaimana mushaf Abu Bakar. Keistimewaan46
keistimewaan ini hanya ada pada himpunan al-Qur‟an yang dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan al-Qur‟an dengan “mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, disaat Abu Bakar mengumpulkan al-Qur‟an. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.” 3. Pada Masa Usman Penyebaran Islam bertambah dan para Qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira‟at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) al-Qur‟an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan „huruf „ yang dengannya alQur‟an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebag ian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini.terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaanperbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan. Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca al-Qur‟an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalaukalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf. Usman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memmanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Said bin „As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Ketiga orang terkahir ini adalah orang quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa quraisy, karena al-Qur‟an turun dengan logat mereka. Dari Anas : “Bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman, ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian armenia dan azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq, Huzaifah amat terkejut dengan perbedaan mereka dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Usman “selamatkanlah umat ini sebelum 47
mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana peerselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.‟ Usman kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya; “sudilah kiranya anda kirimkan lemgbaran-lembaran yang berisi alQur‟an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.‟ Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit , Abdullah bin Zubair, Sa‟ad bin „As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang quraisy itu: “bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari qur‟an, maka tulislah dengan logat quraisy karena qur‟an diturunkan dengan bahasa quraisy.‟ Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua al-Qur‟an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata: „Ketika ami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah;maka kami mencarinya, dan aku dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari, ayat itu ialah”
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang Telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya) (Q.S. al-Ahzab (33):23) lalu kami tempatkan ayat ini pada surah tersebut dalam mushaf.‟ Berbagai „Asar atau keterangan para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan Huzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn Jarir : „Ya‟kub bin Ibrahim berkata kepadaku: Ibn „Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: pada masa kekahlifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.‟ Kata Ayyub: aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‟sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu,‟ dan hal itu akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia berpidato: „Kalian yang ada dihadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca al-Qur‟an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabatsahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur‟an pedoman) saja!‟ Abu Qalabah berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya : „aku adalah salah seorang di antara mereka yang disuruh menuliskan, ‟kata Abu Qalabah: Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah menerimanya dari Rasulullah. Akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada di luar kota, sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum 48
dan yang sesudah serta membiarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Kahlifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah yang isinya: „Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.‟ Ibn Asytah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah, keterangan yang sama. Dan Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif. Suwaid bin Gaflah berkata: „Ali mengatakan: „Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf al-Qur‟an sudah atas persetujuan kami. Usman berkata : „bagaimana pendapatmu tentang qiraat ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari qiraat orang lain. Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata : „bagaimana penadapatmu ? ia menjawab : „ aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata : baik sekali pendapatmu itu.” Keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf al-Qur‟an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk dimadinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”. Penamaan mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana ia mengatakan: ” Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf alQur‟an pedoman).” Kemudian ia memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menrima perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditingalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi. Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: „Ia menyatukan umat islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf ” berlainan “dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya.sesuai dengn permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya.tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi qiraat bagi 49
kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya. Apa bila sebagian orang lemah pengetahuan berkata : Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ? maka jawabnya ialah : „Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajibpula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, bertianya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan al-Qur‟an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu. Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yangv tujuh tersebut, yang menjadi kewajigan bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut ternyatasangat berguna bagi islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.” 4. Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman Dari teks-teks diatas jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf oleh) Abu Bakar berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya al-Qur‟an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari. Sedang motif Usman dalam mengumpulkan al-Qur‟an ialah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca al-Qur‟an yang disaksikannnya sendiri didaerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Pengumpulan al-Qur‟an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau catatan al-Qur‟an yang semula bertebaran dikulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayatayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika al-Qur‟an itu diturunkan. Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya menjadi satu huruf diantar ketujuh huruf itu, untyuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibnut Tin dan yang lain mengatakan: “Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dan Usmanialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekawatiran akan hilangnya sebagian al-Qur‟an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu al-Qur‟an belum terkumpul disatu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya. Sesuatu dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka. Sedang pengumpulam Usman sebabnya banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga 50
mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan, karena kawatir akan timbul bencana , Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu dalam satu mushaf dengan menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa quraisy saja dengan alasan bahwa qur‟an diturunkan dengan bahasa mereka (quraisy). Sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja. Al-Haris al-Muhasibi mengatakan: “Yang masyhur dikalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul al-Qur‟an itu Usman. Pada hal sebenarnya tidak demikian, Usman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya.serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana al-Qur‟an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan al-Qur‟an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq.” Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi al-Qur‟an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai daerah : a. Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekkah, Syam Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: „telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Bahrain, Yaman dan sebuah ditahan di Madinah.” b. Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah masing-masing dikirimkan ke Iraq, Syam,Mesir dan Mushaf Imam, atau dikirimkan ke Kuffah, Basyrah, Syam dan mushaf Imam berkata Abu „Amr ad-Dani dalam al-Muqni.” “sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman menulis Mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan kesetiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah, Basyrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.” c. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur. Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada ditangannya hingga ia wafat, setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan, dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar. Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keteranagn yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya Fadhailul al-Qur‟an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang menurutnya terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setalah beberapa lama berada ditangan kaisar rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakn pula bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H. Pengumpulan al-Qur‟an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H. 51
C. Pengumpulan al-Qur’an melalui Rekaman Suara Bacaan Yang dimaksud dengan memelihara al-Qur‟an lewat rekaman adalah pelestarian al-Qur‟an dengan cara merekam dlam pita suara. Sudah diketahui bersama bahwa terdapat hukum-hukum bacaan (tajwid) yang harus diperhatikan oleh pembaca al-Qur‟an. Hukum-hukum tersebut seperti al-Qalqalah, ar-raum, alikhfa‟, al-idgham dan lain-lain. Hal ini bukunlah hal muda karena cukup menyulistkan dalam penulisan. Oleh karenanya, para ulama menetapkan bahwa tidak sah berpegang kepada yang tertulis dalam mushhaf belaka, kan tetapi harus menerima dari orang yang hafal al-Qur‟an yang dipercaya. Pada ulama mengatakan,”bencana terbesar adalah berguru kepada lembaran-lembaran kasar”. (Jamaah, tt:87). Bahkan para ulama mengatakan: ”jangan kalian mempelajari al-Qur‟an dari mushhafku, juga jangan mengambil ilmu dari suhufku.” (Asykari, 1383: 10). Karena hanya Dialah yang bisa mengajari manusia dan melihat kepada rasam mushhaf. Rasulullah mengutus orang-orang yang ahli membaca al-Qur‟an (qurra) kepada orang yang baru masuk Islam, untuk mengajarkan bacaan al-Qur‟an serta, kalau mungkin, menuliskan untuk mereka. Pada masa khalifah sepeninggal beliau, mereka mengikuti jejaknya dan mereka mengutus ahli-ahli baca al-Qur‟an ke negerinegeri taklukan untuk mengajar warga negaranya membaca al-Qur‟an. Ketika Usman menyalin mushhaf, beliau mengirim mushhaf-mushhaf ke negeri-negeri tersebut dengan didampingi oleh seorang ahli baca al-Qur‟an pada masing-masing mushhaf. Tidak diragukan lagi, hal ini menunjukkan bahwa betapa hukum-hukum bacaan tidak mungkin kuat, kecuali lewat penerimaan lisan secara langsung. Untuk meguatkan hanya bisa lewat media yang merupakan metode para ahli baca alQur‟an. Sementara pada masa sekarang, media dan alat perekam suara telah ditemukan dan bacaan bida diulang kembali. Dalam rangka menyebarkan al-Qur‟an dan mengembangkannya didunia Islam, terutama ke negara-negara yang kekurangan pakar, alat tersebut bisa dipakai sebagai media terbaik untuk memelihara dan mempelajari al-Qur‟an. Orang-orang yang cemburu terhadap Islam dan orang-orang yang antusias untuk menyebarkannya, telah menyadarinya, kemudian mereka berlomba memasukkan al-Qur‟an ke dalam kaset (pisa suara) dengan semangat yang sama sebagaimana ketika mereka mengumpulkan dalam kertas-kertas dalam sebuah mushhaf. Pengumpulan tersebut melahirkan organisasi pelestarian al-Quran di Mesir pada tahun 1379 H atas prakarsa Ustadz Labib as-Said, sekaligus sebagai ketuanya. Saya merujuk pada riwayat mengenai pengumpulan sebagaimana ditulis oleh ustadz Labib as-Sa‟id dalam sebuah kitabnya al-Jami‟ as-Shauti al-Awwan li al-Qur‟an al-Karim au al-Mushhaf al-Murattal. Mereka sepakat untuk memberi nama produk mereka dengan nama al-Mushhaf al-Murattal atau al-Jami‟ as-Shauti. Adapun kata mushhaf dan mishhaf (dengan dhammah atau kasrah pada huruf mim), pada dasarnya yang terkenal adalah mushhaf yaitu dari kata ash-ha-fa, yang berarti kumpulan mushhaf. Secara istilah berarti kumpulan lembaran-lembaran alQur‟an dengan susunan ayat dan surat dalam bentuk yang telah diterima umat Islam (yang bersumber) dari Nabi Muhammad SAW. Al-Murattal berasal dari kata ratlu as-syaghri (tumbuhnya sama bagus dengan masaknya, dan merekah/membelah). Sedangkan menurut istilah adalah bacaan yang 52
tenang, keluarnya huruf dari makhraj sesuai dengan semestinya yang disertai renungan makna. Ada yang berpendapat bahwa al-murattal adalah menjaga keluarnya huruf-huruf (makhraj), mempehatkan waqaf-waqaf (tanda berhenti). At-Tartil adalah tingkatan tertinggi dalam bacaan, dari empat tingkatan yang ada, yaitu; a) at-Tahqiq, lebih tenang, lebih lamban, lebih banyak digunakan dalam pengajaran al-Qur‟an. b) At-Tartil,bacaan dengan lambat dan tentang. c) At-Tadwir, bacaan antara tartil dan hadr. d) Al-Hadr, bacaan cepat, tetapi dengan memperhatikan hukum-hukum bacaan. Yang dimaksud dengan al-Mushhaf al-Murattal adalah bentuk rekaman yang memperdengarkan al-Qur‟an dengan peralatannya berupa perangkat rekaman modern, sejumlah kaset dan piringan hitam. 1. Sebab-sebab Berdirinya Pemikiran yang mendasari pengumpulan al-Qur‟an dalam bentuk rekaman suara ini di antaranya: 1) Tuntutan pelestarian al-Qur‟an. 2) Memudahkan memahami al-Qur‟an serta menghafalkannya. 3) Pentingnya mempertahankan al-Qur‟an dalam menghadapi pada ”pencela” al-Qur‟an, serta dalam menghadapi setiap usaha untuk menyelewengkan alQur‟an, juga setiap halangan yang diletakan di depan kesatuan pengikutpengikutnya, serta didepan penyebarannya, pembagiannya diantara orangorang Islam. Hal ini bisa ditumbuhkan dalam studio, audio, dan sejenisnya. 4) Menolong Mushhaf al-Ustmanii yang telah mempersatukan umat Islam. 5) Menghindari berbagai penyimpangan terhadap al-Qur‟an. 6) Penyebaran bahasa al-Qur‟an dan memperkokoh persatuan umat Islam. 2. Sejarah al-Mushhaf al-Murattal Pada suatu sore, tanggal 14 Ramadhan 1378 H di Kairo, di bawah pimpinan ustadz Labib as-Sa‟id, pertemuan pertama organisasi pelestarian alQur‟an diadakan untuk mengkaji sebuah tema. Dan pada saat itu pulalah disepakati AD/ART dari organisasi tersebut. 3. Permulaan penerbitan produksi Produksi pertama menuai banyak kendala, baik materi maupun keilmuan dan lain sebagainya. Namun berkat pertolongan Allah semuanya bisa dilewati. Maka produksi pertama dimulai pada tahun 1379 H, pada bulan Dzulqa‟dah, dan selesai cetakan pertama pada bulan Muharram 1381 H dengan bacaan syaikh Mahmud Khalil al-Husairi, riwayat Hafsh dan Imam „Ashim. Kemudian pada tahun 1382 H diiringi rekaman bacaan Abu „Amir dengan riwayat adDauri. 4. Cara pelaksaan rekaman Merekam bukanlah sesuatu yang mudah, maka dengan kesempurnaan sang qari‟, yang saat itu sebagai syaikh (guru besar) para qari asal Mesir. Panitia 53
sering meminta mengulang-ulang bacaan beliau agar diperoleh hasil rekaman yang sempurna. Adapun para qari‟ yang dilibatkan dalam proyek ini antara lain: a) Syaikh Mahmud Khalil Khusairi, membaca dengan riwayat Hafsh dan Imam Ashim. b) Mushthafa al-Mallawani, membaca dengan riwayat Khalaf dari Hamzah. c) „Abdul Fatah al-Qadhi, membaca dengan riwayat Ibnu Wardan dari Abu Ja‟far. d) Fu‟ad al-Arusyi dan Muhammad Shiddiq al-Mansyawi, Kamil Yusuf alBahtami, dengan riwayat ad-Dauri dan Abu „Amir.
54
BAB VI KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN A. Pendahuluan Al-Qur`an sebagai kitab samawi terakhir yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan rumit sekaligus luar biasa. Hal ini lebih disebabkan karena eksistensinya yang tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar. Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelektualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi al-Qur`an sebagai kalam Allah yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Serentetan nilai alQur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan MUKJIZAT. B. Pengertian Mukjizat Kata “Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arab yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”, sedangkan ”“ةta‟ marbutah pada kata هعجزةmenunjukkan makna mubalaghah (superlative) (M. Quraish Shihab, 1999: 23). Menurut kamus besar Purwo Darminto adalah “kejadian ajaib/luar bisaa yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia” (Depdikbut, 1989: 596). Sedangkan menurut pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang disebut Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang di tantangkan pada yang meragukan, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut” (Quraish Shihab, 1999:23). Manna‟ Khalil al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “Kelemahan” secara umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari “mu‟jiz”(sesuatu yang melemahkan). Dan kata I‟jaz dalam konteks ini adalah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk menghadapi mu‟jizatnya yang abadi( al-Qur`an) (Manna‟ Khalil al-Qattan, 1998: 371). Dari definisi tersebut di atas dapat diturunkan beberapa pengertian diantaranya: Pertama; kejadian luar bisaa yang “sukar” dijangkau oleh kemampuan manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana ke-luar bisaaan mukjizat? Dan kata “sukar” pada definissi diatas menimbulkan probability tentang adanya 55
kemungkinan bahwa manusia akan bisa sampai pada maqom sukar tersebut, bila demikian masihkah disebut mu‟jizat?. Dalam bukunya yang berjudul “Mukjizat Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kejadian luar bisaa yang dimaksud adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang terdapat secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh manusia (Quraish Shihab, 1999:24). Namun demikian penulis lebih berpendapat bahwa semua keajaiban yang terjadi di alam termasuk mukjizat semuanya adalah rasional artinya bahwa sebenarnya akal mampu menerima kebenaran logis terhadap mukjizat. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat dalam al-Qur`an yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang gaib termasuk konsekuensi dari pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia besuk di hari pembalasan tetapi kenyataannya banyak manusia tidak percaya, tepatnya dalam Q.S. Yunus (10): 39:
Bahkan yang Sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan Sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka Telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu. Dalam pengertian lain bahwa pengetahuan manusia tentang hukum sebabakibat yang terdapat di alam hanyalah sebagian kecil dari hukum-hukum sebab akibat yang ada dalam pengetahuan Tuhan. Sebagai contoh adalah untuk mendapatkan hasil angka 7 bisa melalui 4+3 = 7 (hukum alam yang dapat diketahui manusia), sedangkan masih banyak sebab-akibat dari hasil angka 7 yang tidak dapat diketahui manusia karena keterbatasan penginderaan. Misalnya 3+3+1=7, (2×2)+3=7, 10-3=7, 100-99+(2×2)+2=7 dst, yang semua sebab-akibat tersebut ditunjukkan oleh Tuhan maka manusia akan mampu memahaminya. Oleh karena itu termasuk kata “sukar” di atas kurang tepat. Karena yakin bahwa manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam yang melekat pada dirinya. Tetapi seandainya Allah memberikan penjelasan maka akal akan mampu menerima kebenaran tersebut, namun kenyataannya Allah tak memberikan penjelasan karena ada tujuantujuan tertentu yang tak mudah kita pahami. Kedua; melemahkan. Istilah ini juga menggoda pada kita untuk mengkaji ulang. Diantara pendapat datang kaum Sirfah. Abu Ishaq Ibrahim An-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi‟ah seperti al-Murtadha mengatakan bahwa kemukjizatan al-Qur`an adalah dengan cara shirfah (pemalingan). Artinya bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Qur‟an, padahal sebenarnya mereka mampu, maka pemalingan inilah yang luar bisaa yang selanjutnya pendapat ini di habisi oleh Qadi Abu bakar al-Baqalani ia berkata: “kalau yang luar biasa itu adalah shirfah maka kalam Allah bukan mukjizat melainkan Shirfah itu sendiri yang mukjizat” dengan berlandasan pada QS. Al-Isra‟:88. (Manna‟ Khalil al-Qattan, 1998: 375). Berbeda dengan pendapat kaum sirfah, penulis lebih memandang melalui kaca mata dilalah siyaqiyah, bahwa makna “melemahkan-dilemahkan ” cenderung mengarah pada konteks menang dan kalah. Hal inilah yang menurut penulis kurang 56
etis. Dan ternyata kata melemahkan هعجزة- عجز– ي عجزtidak terdapat dalam alQur`an. kalimat yang digunakan adalah ( أي جtanda-tanda) dan ب ي ناث (penjelasan) yang dari kedua kata tersebut menurut Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA. mempunyai dua pengertian pertama; pengkabaran Ilahi (Q.S. Ali Imran (3):118, 252: Q.S. (al-An‟am (6):4; Q.S. Yunus (10):7 dan Q.S. (al-Baqarah (2):159; Q.S. Ali „Imran (3) :86; Q.S. Yunus (10) :150). Kedua; tanda-bukti yang termasuk digolongkan mukjizat (Q.S. Ali „Imran (3):49; Q.S. al-A‟raf (7):126; Q.S.alMu‟min (40):78; Q.S. an-Naml (27):13 dan Q.S. al-A‟raf (7):105; Q.S. an-Naml (16):44; Q.S. Thaha (20) :72) (Said Aqil Munawar, 2002: 30). yang menurut penulis sebenarnya jauh dari makna melemahkan atau bahkan mengalahkan. Ketiga; dibawa oleh seorang Nabi. Seandainya peristiwa luar bisaa tersebut terjadi bukan pada nabi meskipun secara fungsi ada kesamaan dengan mukjizat, bisakah disebut mukjizat?. Dalam buku yang sama Quraish Shihab menjelaskan, selain yang membawa nabi kejadian luar bisaa tersebut bukan dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan kalau terjadi pada seseorang yang kelak akan menjadi nabi maka disebut Irhash, adakalanya terjadi pada hamba Allah yang taat yang disebut karomah, dan apabila terjadi pada hamba yang durhaka disebut Istidroj (rangsangan untuk lebih durhaka) atau Ihanah (penghinaan) (Quraish Shihab, 1999:24). Semua peristiwa tersebut adalah merupakan tanda-tanda dan bukti atas kebesaran Allah agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui akal maupun hatinya dapat beriman kepada Allah. Keempat; sebagai bukti kerasulan. Kata “bukti” menyangkut percaya dan tidak percaya, seandainya seseorang telah percaya pada rasul bahwa Ia adalah utusan Allah, adakah masih disebut mukjizat?. Dari definisi mukkjizat, makna “bukti atau tanda” inilah yang paling utama bukan lemah dan melemahkan karena tujuan risalah (kerasulan) adalah agar seseorang mampu memahami dan meyakini bahwa risalah tersebut benar-benar dari Zat yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Adapaun bagi mereka yang sudah percaya terhadap kerasulan Nabi beserta apa yang disampaikannya yang berupa wahyu dari Tuhan maka peristiwa luar bisaa tersebut tetap disebut mukjizat. Sebab dimensi lain makna mukjizat(ketidak mampuan akal) tetap berlaku pada orang yang sudah percaya tersebut. Oleh karena itu fungsinya disamping sebagai “bukti” juga merupakan penjelasan dan pemantapan terhadap keyakinan seseorang. Kelima; mengandung tantangan. Memang kebanyakan ulama diantara misalnya Syahrur juga melihat QS. Al-Isra‟: 88 mengandung tantangan dan tantangan tersebut berakhir pada kelemahan mu‟jaz (Syahrur, 2000: 1790, namun hemat penulis bahwa sebenarnya Allah tidak hendak menantang orang-orang kafir. Bagaimana bisa Tuhan menantang mahluknya jelas inpossible, karena maksud dan tujuannya bukan untuk menantang. Dalam ilmu dilaliyah, conten analisis perlu meneropong gaya penuturan Autor, misalnya kalimat ” ayo kalau berani !” ( kondisi marah) mempunyai makna tantangan, sedangkan ” ayo kalau berani ” (kodisi tersenyum) bermakana menguji. C. Makna Kemujizatan Al-Qur`an Berdsarkan sifatnya, mukjizat (Al-Qur`an) yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. sangatlah berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Jika para nabi sebelumnya bersifat Hissiy-Matrial 57
sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawy / immateri. Perbedaan tersebut bertolak pada dua hal mendasar yaitu pertama, para nabi sebelum Muhammad SAW. ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu. Oleh karenanya mukjizat tersebut hanya sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak terbatas pada masyrakat dan masa tertentu sehingga berlaku sepanjang masa. Kedua, secara historis-sosiologis dalam pemikirannya manusia mengalami perkembangan. Auguste Comte (1798-1857) – sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab - ia berpendapat bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya mengalami tiga fase. Pertama Fase keagamaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang terjadi pada kekuatan Tuhan atau dewa yang diciptakan dari benaknya. Kedua fase metafisika, yaitu manusia berusaha menafsirkan gejala yang ada dengan mengembalikan pada sumber dasar atau awal kejadiannya. Ketiga fase ilmiah, dimana manusia dalam menafsirkan gejala atau fenomena berdasarkan pengamatan secara teliti dan eksperimen sehingga didapatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena tersebut (Quraish Shihab, 1999: 36-37). Posisi Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana ditengarahi bahwa potensi pikirrasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat universal dan eternal. Umumnya mukjizat para rasul berkaitan dengan hal yang dianggap bernilai tinggi dan sebagai keunggulan oleh masing-masing umatnya pada masa itu. Misalnya pada zaman nabi Musa lagi ngeternnya tukang sihir, maka mukjizatnya sebagaimana tertera dalam QS. Al-a‟raf: 103-126, As-Su‟ara‟: 30-51, dan Thoha: 5773. pada nabi Isa adalah zaman perdukunan / tabib maka mukjizatnya adalah seperti pada QS. Ali Imran: 49 dan Al-Maidah: 110. Dan pada zaman Muhammad lagi marak-maraknya sastra sehingga mukjizat yang mach adalah Al-Qur`an (Said Aqil Munawar, 2002: 31). Dari sinilah sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur`an yang utama saat itu adalah kebahasaan dan kesastraannya di samping isi yang terkandung di dalamnya. D. Kemukjizatan Al-Qur`an dari Aspek Basaha dan Sastra Dari segi kebahasaan dan kesastraannya Al-Qur`an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usman bin Jinni (932-1002) seorang pakar bahasa Arab -sebagaimana dituturkan Quraish Shihab- mengatakan bahwa pemilihan kosa kata dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi (Quraish Shihab, 1999:90). Kalimat-kalimat dalam Al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub Al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari balgoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor(Allah) dan penikmat (umat) (Said Aqil Mnawar, 2002: 33-34). Kajian mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut –dengan mengutip Az-Zarqoni- keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan ghunnah (nasal). Dari paduan ini 58
bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai purwakanti beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat Al-Kahfi(18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang berfariasi, sehingga tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi. Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra) yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery Watt dalam bukunya “bell‟s Introduction to the Qoran” bahwa style Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya itu sangat tipis dengan ganyanya tukang tenung, penyair dan orang gila (Shihabuddin Qalyubi, 1997: 39-41). Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mengutip pendapat Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi‟at ayat 1-5. Kemudian dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata perpaduan lagam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang (Quraish Shihab, 1999: 197). Selain efek fonologi terhadap irama, juga penempatan huruf-huruf AlQur`an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna, contohnya sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya Najlah “Lughah AlQur`an al-karim fi Juz „amma”, bunyi yang didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf sin) memberi kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan dan bacaan cepat huruf ra‟ pada QS. An-Naazi‟at menggambarkan getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surat Al-haqqah dan Al-Qari‟ah terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna pelajaran dan peringatan tentang hari kiyamat (Shihabuddin Qalyubi, 1997: 45-46). Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, Al-Qur`an mempunyai sinonim dan homonym yang sangat beragam. contohnya kata yang berkaitan dengan perasaan cinta. ع ل كdiungkapkan saat bertatap pandang atau mendengar kabar yang menyenangkan, kemudian jika sudah ada perasaan untuk bertemu dan mendekat menggunakan ه ي ل, seterusnya bila sudah ada keinginan untuk menguasai dan memiliki dengan ungkapan ه ىد ة, tingkat berikutnya ه ح ب ت, dilanjutkan dengan خ ل ت, lalu ال ص ب اب ت, terus ال ه ى ي, dan bila sudah muncul pengorbanan meskipun membahayakan diri sendiri namanya ال ع ش ك, bila kadar cinta telah memenuhi ruang hidupnya dan tidak ada yang lain maka menjadi ت ت ي ن ال, yang semua itu bila berujung pada tarap tidak mampu mengendalikan diri, membedakan sesuatu maka disebut ( ول ي هQuraish Shihab, 1999: 97) yang semua kata-kata tersebut mempunyai porsi dan efek makna masingmasing. Meminjam bahasanya Sihabuddin disebut lafal-lafal yang tepat makna artinya pemilihan lafal-lafal tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing. Misalanya, dalam menggambarkan kondisi yang tua renta (Zakaria) dalam QS. Maryam: 3-6, Wahanal „Azmu minni bukan Wahanal lahmu minni. Juga Wasyta‟alar-ra‟su syaiba (uban itu telah memenuhi kepala) bukan Wasyta‟alassyaibu fi ra‟si (uban itu ada di kepala) (Shihabuddin Qalyubi, 1997: 54).
59
Masih dalam konteks redaksi bahasa Al-Qur`an berlaku pula deviasi(penyimpangan untuk memperoleh efek lain) misalnya dalam QS. AsySu‟ara‟, ayat 78-82. Pada ayat 78, 79 dimulai dengan lafal allazi, pada ayat 80 dimulai waidza, namun pada ayat 81, 82 kembali dengan allazi, dan fail pada ayat 78,79,81,82 adalah Allah, sedang pada ayat 80 faiilnya orang pertama (saya) tentu kalau di‟atofkan pada ayat 78,79,81,82 maka terjadi deviasi pemanfaatan pronomina hua ()ه ى. Lafal yahdiin, yumiitunii wa yasqiin dan yasfiin tanpa didahului promnomina tersebut. Pengaruh dan efek deviasi yang ditimbulkan adalah munculnya variasi struktur kalimat sehingga kalimat-kalimat tersebut tersa baru dan tidak menjemukan (Ibid.). Selain itu keseimbangan redaksi Al-Qur`an telah membuat takjub para pemerhati bahasa, baik keseimbangan dalam jumlah bilangan kata dengan antonimnya, jumlah bilangan kata dengan sinonimnya, jumlah kata dengan penyebabnya, jumlah kata dengan akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan yang lain(khusus). Misalnya ال ح ي ا ةdan ال و ىثmasing-masing sebanyak 145 kali. ن ف ع الdan ف س ا د الsebanyak 50 kali dan seterusnya. Kata dan sinonimnya misalnya, ال ح رثdan ال زراع تsebanyak 14 kali, ال ع ق لdan نىر الsebanyak 49 kali dan lain sebagainya. Kata dengan penyebabnya misalnya, ( س ر يا الtawanan) dan ال ح ربsebanyak 6 kali, ال س ال مdan ال ط ي ب اثsebanyak 60 kali dan lain-lainnya. Kata dan akibatnya contohnya, ال زك ا ةdan ب رك اث الsebanyak 32 kali,ف ا ق االنdan ال رض ا sebanyak 73 kali (Quraish Shihab, 1999:141-142). Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan Al-Qur`an sebagai berikut: 1. Kelembutan Al-Qur`an secara lafziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasa. 2. Keserasian Al-Qur`an baik untuk orang awam maupun cendekiawan. 3. Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni Al-Qur`an memberi doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan sekaligus. 4. Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian. 5. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya. 6. Mencakup dan memenuhi persyaratan global (ijmali) dan terperinci (tafsily). 7. Dapat memahami dengan melihat yang tersurat dan tersirat (Said Aqil Munawar, 2002: 35). Semua data-data yang penulis paparkan, hanyalah sekelumit kandungan kemukjizatan dari sisi kebahasaan dan tentunya masih banyak hal terkait dengan kontek ini yang tak mungkin penulis bahas. Singkat kata bahwa ditinjau dari kebahasaan Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar bisa baik pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat komunikatif lagi fenomenal. Eksistensinya yang sedemikian luarbisa, membuat bangsa Arab khususnya saat itu bertekuk lutut dan tak mampu berbuat apa-apa. E. Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek Isyarat Ilmiyah Selain keistimewaan pada kebahasaan, Al-Qur`an juga mempunyai isyaratisyarat ilmiyah yang sebagian ulama menganggap sebagai bentuk kemukjizatan Al60
Qur`an. Diantara isyarat-isyarat itu adalah bagaimana Al-Qur`an berbicara tentang reproduksi manusia. Setidaknya ada beberapa ayat yang menjelaskan proses kejadian manusia yang berasal dari Nutfah (air mani), yaitu surat Al-Qiyamah (75):36 -39):
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?. Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),. Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. Surat An-. Najm (53): 45-46):
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. Dari air mani, apabila dipancarkan Surat Al-Waqi‟ah (56): 58-59)
Maka Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau kamikah yang menciptakannya? Ayat-ayat di atas pada zaman modern sesuai dengan penemuan para ahli genetika bahwa air mani yang menyembur dari laki-laki mengandung 200.000.000 lebih sel sperma yang salah satu darinya akan menembus rahim dan membuahi ovum. Dalam konsep tersebut bahwa sel sperma mempunyai kromosum yang dilambangkan hurup XY, sedangkan perempuan XX. Apabila sel sperma yang berkromosum X lebih dominan maka akan lahir perempuan sedang apabila yang lebih dominan Y maka akan lahir laki-laki. Barang kali inilah penjelasan sementara tentang informasi ayat ke 39 surat Al-Qiyamah. Kemudian setelah ovum terbuahi akan menjadi zigot atau yang dalam ayat ke 38 disebut „Alaqoh (Quraish Shihab, 1999:166-170). Selain itu, Al-Qur`an juga mengisyaratkan tentang kejadian alam semesta, bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu gumpalan seperti digambarkan dalam QS. Al-Anbiya`(21): 30.
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya.
61
dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? Pada tahun 1929 Edwin P. Hubbel (1889-1953) mengadakan observasi yang menunujukkan adanya pemuaian alam semesta. Hal ini sesuai dengan QS. Azdariyat ayat 57 bahwa alam semesta berekspansi bukan statis sebagaimana diduga Enstin. Ekspansi itu melahirkan sekitar seratur milyar galaksi yang masingmasing mempunyai 100 milyar bintang. Pada awalnya semua benda-benda langit tersebut merupakan gumpalan gas padat terdiri dari proton dan neutron yang mempunyai kisaran secara teratur, dan pada derajat temperature tertentu gumpalan tersebut meledak yang proses ini lazimnya disebut Big Bang (Quraish Shihab, 1999:171-172). Diantara isyarat ilmiyah lain adalah gunung. Secara eksplisit kata gunung dalam Al-Qur`an disebutkan sebanyak 39 kali dan secara implisit terdapat 10 kali. Dari 49 ayat tersebut 22 diantaranya menggambarkan gunung sebagai pasak atau pancang bumi. Misalnya dalam surat An Naba` (78) :7
Dan gunung-gunung sebagai pasak. Begitu juga dalam QS. 13:3, 15:19, 16:15, 21:31, 27:61, 31:10, 50:7, 77:27 dan 79:32. Fakta-fakta mengenai gunung, baru tersingkap oleh para pakar pada akhir tahun 1960-an, bahwa gunung mempunyai akar, dan peranannya dalam menghentikan gerakan menyentak horizontal lithosfer, baru dapat difahami dalam kerja teori lempengan tektonik(plate tetonics). Hal ini dapat dimengerti karena akar gunung mencapai 15 kali ketinggian di permukaan bumi sehingga mampu menjadi stabilisator terhadap goncangan dan getaran (Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, 1999: 122). Lebih lanjut Airy (1855) mengatakan bahwa lapisan di bawah gunung bukanlah lapisan yang kaku melainkan gunung itu mengapung pada lautan bebatuan yang lebih rapat. Namun demikian massa gunung yang besar tersebut diimbangi defisiensi massa dalam bebatuan sekelilingnya di bawah gunung dalam bentuk akar. Akar gunung memberikan topangan buoyancy serupa dengan semua benda yang mengapung. Ia menggambarkan kerak bumi yang berada di atas lava dapat dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari yaitu seperti rakit kayu yang mengapung di atas air, dimana permukaan rakit yang mengapung lebih tinggi dari permukaan lainnya juga mempunyai permukaan yang lebih dalam. Dengan demikian permukaan bumi tetap dalam Equilibrium Isostasis, artinya bawa permukaan bumi berada dalam titik keseimbangan akibat perbedaan antara Volume dan daya grafitasi (Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, 1999: 180). Masih banyak lagi isyarat-isyarat ilmiyah yang disinggung Al-Qur`an misalnya tentang kejadian awan, sistem kehidupan lebah, tumbuhan-tumbuhan yang berklorofil dan seterusnya, yang semua itu merangsang terhadap adanya pembuktian-pembuktian secara empiris dan rasionalis. Dan semakin bukti-bukti itu terkuak semakin nyatalah kebenaran Al-Qur`an bahwa ia bukan buatan Muhammad. Bagaimana mungkin seorang Muhammad yang 14 abad silam tak mengenal pendidikan tidak bisa baca-tulis mampu menjelaskan hal itu semua. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana posisi kebenaran ilmiyah terhadap isyarat-isyarat ilmiyah Al-Qur`an?. Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa Al62
Qur`an bukanlah buku kumpulan teori ilmiyah, ia lebih merupakan suatu petunjuk untuk menuju pada tujuan yang benar. Apabila kita menganalisa sedikit ayat-ayat diatas bahwa Al-Qur`an tidak hanya berhenti pada isyarat ilmiyah tetapi lebih pada bagaimana setelah manusia itu memahami dan mengerti terhadap isyarat-isyarat ilmiyah tersebut. Adapun ke-ilmiyah-an Al-Qur`an hanya sebatas juklak agar tujuan-tujuan Tuhan lebih komunikatif dan efektif. Sehingga ada perbedaan mendasar atas ke-ilmiyah-an Al-Qur`an dan “ke-ilmiyah-an” dalam pengetahuan manusia. Sehingga dapat di analogkan ke-ilmiyah-an Al-Qur`an adalah peta dan “ke-ilmiyah-an” manusia adalah proses penelusuran jejak-jejak tersebut, oleh karenanya hanya bersifat justifikasi andaikata benar. Sebab sevalid apapun keilmiyah-an manusia ia tetap tunduk pada hukum-hukum dan teori-teori keprobabilitas-an manusia yang notabene bersifat serba terbatas. F. Kemukjizatan al-Qur`an dari Aspek Kisah-kisah Purba Diantara hal yang menarik dari Al-Qur`an adalah bahwa Al-Qur`an memuat beberapa cerita kaum-kaum terdahulu, hingga jauh ke hulu sejarah peradaban umat manusia yang tak mungkin buku sejarah manapun mampu mengcover secara akurat. Memang Al-Qur`an tidak memaparkan secara kronologis-histories, karena memang Al-Qur`an bukanlah buku sejarah. Al-Qur`an menggunakan sejarah purba tersebut hanya sebagai icon terhadap sebuah fenomena tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Sehingga starting pointnya dalam memahami kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur`an bukan dari dimensi histories ansih, melainkan dari dimensi agama kisah merupaka metode Tuhan dalam rangka menyampaikan ajaran yang terkandung di dalamnya. Bahkan Al-Qur`an juga memberi informasi terhadap kejadian-kejadian yang bakal terjadi, misalnya kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia pada masa sekitar sembilan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi. Juga cerita tentang datangnya seekor binatang yang dapat bercakap-cakap menjelang hari kiyamat, yang terdapat dalam surat An-Naml (27): 82. (Quraish Shihab, 1999:194).
Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami. Manna‟ Kholil Khattan menyebutkan macam-macam kisah yang terdapat di Al-Qur`an. Pertama, kisah-kisah para Nabi dan segala hal yang menyangkut perjuangannya. Seperti Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, Muhammad SAW. dan seterusnya. Kedua, kisah-kisah yang berhubungan dengan masa lulu dan orang-orang yang belum bias dipastikan kenabiaanya. Misalnya kisah beribu-ribu orang yang pergi dari kampungnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, Ashaabul kahfi, Zulkarnain, ashaabul Sabt, Karun dan lainlainnya. Ketiga, kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada Nabi
63
Muhammad SAW. seperti perang badar, prang uhud, perang Hunain, perang Ahzab, tentang Isra` dan Mi‟raj dan lain-lain (Manna‟ Khalil al-Qattan, 1998:436). Sementra diantara kritikus baik dari orientalis maupun oksidentalis ada yang meragukan. Salah satunya seperti yang dikutip Manna‟Kholil Khattan, bahwa salah satu kandidat doctor di Mesir mengajukan judul Al Fannul Qasasiy fil Qur`an, yang intinya dalam disertasi tersebut menyatakan bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur`an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas kaidah-kaidah seni, tanpa harus memegangi sisi kebenaran sejarah. Dari pernyataan ini jelas sekali bahwa ia meragukan kebenaran terhadap kisah-kisah dalam Al-Qur`an (Manna‟ Khalil al-Qattan, 1998:438-439). Dalam Al-Qur`an surat Al-Hadid(57):26 disebutkan:
Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al kitab, Maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik. Barang kali kita merasa tertohok jika ada orang bertanya kapan dan dimana Nabi Nuh itu hidup adakah bukti-bukti secara empiris terhadap hal itu?. Untuk menelusuri pertanyaan ini kita dapat murujuk pada tradisi Islam yaitu Al-Qur`anhadis dan sebagainya, tradisi Semitis yang meliputi injil, data arkeologis dan antropologis. Al-Qur`an surat 11:44, mengisahkan bahwa perahu Nabi Nuh terdampar di gunung Judy. Maulana Yusuf menafsirkan, gunung Judy terletak di daerah yang meliputi distrik Bohran di Turki; yaitu dekat perbatasan Turki sekarang dan Irak dan Syiria. Yakni pegunungan besar Plateau Ararat yang mendomonasi distrik ini. Dalam teradisi Islam dari Imam Abu al-Fida‟ Al-Tadmuri (Mattewhs 1949) dapat disimpulkan bahwa sejarah Nabi Nuh AS mulai sekitar 6000 tahun yang lalu atau 4000 SM. Sementara daerah sekitar seperti ayat di atas di huni oleh penduduk lembah Trigis Hulu atau keturunan mereka. Di samping itu pertemuan tadisi Islam dan Injil menguatkan hal tersebut. Menurut Al-Tadmuri nabi Nuh mempunyai tiga putra yaitu Sam, Ham dan Yafat. Menurut tradisi Injil dan Yahudi putra Nabi Nuh adalah Shem, Ham dan Japhet. Sementara Kanaan masih polemic ada yang mengatakan termasuk putranya atau cucunya dari Ham, yang jelas masih keluarga Nabi Nuh (Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, 1999: 67-68) Para sarjan Yahudi percaya bahwa Sam adalah cikal-bakal kelompok ras yang umumnya sekarang disebut Timur Tengah. Ham dianggap sebagai nenek moyang oaring yang tinggal di Afrika Utara sedangkan kanaan sebagai asal-usul Canaanites yaitu Hittites, Amorites, Jebusites, Hivites, Girghasites dan Perrizites. Dan Yafat dianggap sebagai bapak dari bangsa yang mendiami daerah utara dan barat Palestina. Keterangan yang mirip di tuturkan oleh Al-Tadmuri dalam bukunya Muthir Al-Gharam Fi Fadl Zuyarat Al-Khalili dengan mengutip riwayat At-Tha‟labi bahwa Sam adalah bapak dari orang Arab, Parsi dan Yunani, Ham adalah bapaknya orang 64
Negro dan Yafat adalah bapaknya orang Turki, Barbar dan Ya‟juj dan Ma‟juj (Zaghul Raghib Muhammad Al Najar, 1999: 68-69). Dari perkawinan tradisi di atas nampak formasi kehidupan Nabi Nuh sekaligus mempertegas terhadap kisah yang ada dalam Al-Qur`an bukanlah mengada-ada. Meskipun dari sudut latar, setting, plot dan alur tidak jelas. Karena Al-Qur`an tidak hendak me-narasi-kan suatu peristiwa dengan pendekatan sastra. Dan menurut penulis eksistensinya Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan -terkait dengan masalah kisah-kisah ini- maka bila satu kisah sudah dapat dibuktikan secara empiris maka ini sekaligus membuktikan bahwa seluruh kisah dalam Al-Qur`an adalah benar dan non fiktif adanya. G. Kemukjizatan al-Qur`an dari Aspek Tasyri’ (hukum) Tidak kalah menakjubkan lagi ketika Al-Qur`an berbicara tentang hukum(tasyri‟) baik yang bersifat individu, sosial(pidana, perdata, ekonomi serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an. Hukum-hukum Al-Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana. Dalam menetapkan hukum Al-Qur`an menggunakan cara-cara sebgai berikut; pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu‟amalat badaniyah Al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah.sedangkang perinciannya diserahkan pada As-Sunah dan ijtihad para mujtahid. Kedua, hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. At-Taubah 9:41. Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. AlAhzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22. (Said Aqil Munawar, 2002: 49-52) Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Tuhan memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig dan tidak boleh ditinggalkan atau diganti dengan apapun. Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat yang kusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila. Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti dalam QS. Al-„Ankabut (29): 45. 65
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. yang kedua perbuatan tersebut merupakan biang kerok penyakit sosial. Semua bentuk kejahatan sosial seperti politik kotor, korupsi, kriminalitas pelecehan seksual yang semua itu disebabkan oleh nafsu (potensi) syaitoniyah dan shalat adalah obat mujarab untuk itu. Contoh lain misalnya Al-Qur`an Ali Imran (3);159 yang menanamkan sistem hukum sosial dengan berdasar pada azaz musyawarah.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma‟afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Ayat diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan azaz musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga. Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling bertanggung jawab maka bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus adanya kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai manusia. Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang selalu menjaga keadilan dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan yang tak mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan holistic. Oleh karena itu tak salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk Al-Qur`an dalam bidang akidah, metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan agama, sosial, politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi 66
nilainya. Dan jarang sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut kecuali mereka yang memusatkan diri secara penuh danmempelajarinya bertahun-tahun. Padahal sebagaimana maklum Muhammd sang pembawa hukum tersebut adalah seorang Ummy dan hidup pada kondisi dimana ilmu pengetahuan pada masa kegelapan.
67
BAB VII METODE TAFSIR AL-QUR’AN A. Pendahuluan Al-Qur‟an adalah kitabullah yang di dalamnya termuat dasar-dasar ajaran Islam. Al-Qur‟an menerangkan segala perintah dan larangan, yang halal da haram, baik dan buruk, dsb. Seluruh yang termaktub dalam al-Qur‟an itu hakikatnya ajaran yang harus dipegang umat Islam. Ia memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat dalam bentuk ajaran akidah, akhlak, ibadah, sejarah, dan sebagainya. Untuk mengungkap hal tersebut, tidaklah memadai bila seseorang yang mampu membacanya saja. Lebih dari itu diperlukan kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Kemampuan seperti inilah yang diberikan tafsir. Dikatakan tafsir karena untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur‟an. Menafsirkan berarti berupaya untuk menjelaskan maksud dan kandungan al-Qur‟an. Penafsiran terhadap al-Qur‟an tumbuh dan berkembang sejak masa awal petumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat tertentu yang maksud dan kandungannya tidak bisa dipahami sendiri oleh para sahabat, kecuali harus merujuk pada Rasulullah SAW. Hanya saja kebutuhan terhadap penafsiran al-Qur‟an pada masa itu tidak sebenar pada masa-masa berikutnya. Sejalan dengan kebutuhan umat manusia untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Qur‟an, maka tafsir al-Qur‟an terus berkembang baik pada masa ulama khalaf maupun salaf sampai sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya itu sendiri terlihat adanya karakteristik yang berbeda-beda. Pada ulama telah melakukan klasifikasi, menyangkut metode yang dipakai oleh mufassir dalam menafsirkan al-Qur‟an menjadi empat metode: 5. Metode Tahlili 6. Metode Ijmali 7. Metode Muqaran 8. Metode Maudhu‟i B. Pengertian Metode Tafsir Sebelum dibicarakan tentang metode tafsir ada baiknya kita memahami dulu apa yang dimaksud dengan tafsir. Dalam Bahasa Arab kata tafsir berasal dari kata alfasr yang berarti penjelasan atau keterangan, yaitu menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang belum jelas (az-Zarqani, tth: 3). Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan definisinya. Sebagian ulama menyatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang nuzul (turunnya) ayat-ayat, hal ihwalnya, kisah-kisahnya, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib makiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya, halal dan haramnya, wa‟ad dan wa‟id nya, nasikh dan mansukhnya, khas dan ‟ammnya, mutlaq dan muqayyad nya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamsilnya, dan sebagainya (Basuni, 1977:2). Adakalanya kata tafsir disamakan dengan ta‟wil yang berakar kata al-aulu yang artinya kembali. Dalam hal ini orang yang menafsirkan al-Qur‟an menguraikannya sedemikian rupa berdasarkan pokok pengertian yang terkandung di didalam ayat itu 68
sendiri. Ada juga yang mengatakan kata ta‟wil berakar kata dari iyalah yang berarti pengendalian. Jadi orang yang memberikan ta‟wil seolah-olah mengendalikan ucapannya dan meletakkan makna menurut yang semestinya (asy-Syirbani, 6). Adakalanya tafsir disebut dengan hikmah. Orang yang mengatakan sama antara tafsir dengan hikmah mendasarkan dalilnya pada penafsiran Ibn ‟Abbas untuk Q.S. al-Baqarah (2): 169: ”Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”. Beliau mengatakan bahwa hikmah dalam hal ini bermakna pengetahuan tentang al-Qur‟an; baik nasikh dan mansukhnya, muhkamat dan mutasyabihatnya, ayat yang didahulukan dan mana yang kemudian, ayat-ayat yang mengaharamkan dan yang menghalalkan sesuatu dan sebagainya. Dalam sebuah riwayat dari Ibn ‟Abbas dikatakan juga bahwa makna hikmah dalam ayat tersebut adalah tafsirnya, karena al-Qur‟an dapat dibaca oleh orang yang shalih atau durhaka (Ibid. 8). Terdapat banyak pengertian yang terlingkup dalam kata tafsir atau kata-kata lain yang menjadi padanannya. Namun secara umum diterima bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah usaha untuk memperjelas makna teks al-Qur‟an. Juga termasuk dalam pengertiannya adaah usaha untuk mengadaptasi teks al-Qur‟an ke dalam situasi kontemporer seorang mufasir. Dengan demikian, di samping untuk memenuhi kebutusan teoritis untuk memahami pesan-pesan al-Qur‟an, tafsir juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan praktis yang besar untuk mendapatkan petunjuk kitab suci yang akan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Ulumul Qur‟an, Vol II, 1990:14). Tidak diragukan lagi ada bermacam-macam jenis tafsir dan mazhab yang berbeda-beda yang terbentuk atas dasar masing-masing tafsir tersebut. Pada umumnya mereka berbedadalam pendekatan dan penekanan aspek. Ada jenis tafsir yang menekanan pada aspek filologis dan harfiyah dan naskah al-Qur‟an. Jenis lainnya memusatkan perhatian pada arti dan kandungannya, dan inilah yang diberikan metode tafsir. Jelasnya metode tafsir adalah cara seorang mufasir memberikan tafsirannya. Apakah ia menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, alQur‟an dengan Hadits Nabi, al-Qur‟an dengan riwayat sahabat, al-Qur‟an dengan israiliyat atau al-Qur‟an dengan pikirannya. Teknik penafsiran lebih menekankan pada prosedur penafsiran yang dilalui. C. Sejarah dan Perkembangan Tafsir 1. Tafsīr Masa Nabi Muhammad dan Sahabat Pada masa Nabi, al-Qur‟ān tersebar di kalangan sahabat dalam bentuk lisan. Namun demikian, sebahagian mereka menghapal di luar kepala dan sebahagian yang lain menulis di kulit, batu tipis, daun, tembikar dan lain-lain (al-Qurtubi, 1996:37).[Setelah banyak penghafal al-Qur‟ān meninggal dalam perang Yamamah (kira-kira 700 orang) pada zaman Abu Bakar al-Siddīq, „Umar ibn Khattāb meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur‟ān (Ibid.43-49). Namun demikian, seluruh kandungannya sebenarnya telah disalin pada masa Nabi, tetapi tidak dikumpulkan dalam satu kesatuan dan oleh kerana itu pelbagai catatan atau dokumen belum disusun secara berurutan (as-Suyuthi, 1979:41). Sebagai penerima wahyu, Nabi memahami al-Qur‟ān secara global dan terperinci setelah Allah memberi kekuatan hapalan dan penjelasan pada Nabi (Q.S. al-Qiyamah: 17-19). Sebagaimana hal yang sama juga diterima oleh Sahabat melalui 69
Nabi berkaitan dengan pemahaman global yang berkaitan dengan hukum-hukum dan terperinci berkaitan dengan hal-hal yang bersifat batiniah. Hal ini dimungkinkan, sebagaimana kata Ibn Khaldun, bahawa al-Qur‟ān diturunkan dengan bahasa Arab, termasuk gaya (uslūb), sehingga mereka boleh memahami dan mengetahui maknanya (azd-Dzahabi, 1976:33). Jadi, Nabi sebagai penerima wahyu adalah pentafsir pertama dan utama dari al-Qur‟an. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah QS. An-Nahl (16): 44:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan. Sejarah tafsir secara tradisional dimulai oleh para sahabat yang merupakan kelompok yang paling dekat dengan peristiwa pewahyuan. Namun demikian, alDhahabī menegaskan bahawa tidak semua sahabat mempunyai tingkat pemahaman makna al-Qur‟ān yang sama. Hal ini disebabkan oleh kemampuan akal dan pengetahuan mereka dalam memahami al-Qur‟ān berbeda (adz-Dzahabi, 1976: 34). Menurut as-Suyuthi, pada zaman sahabat mufasir yang paling terkenal adalah Abu Bakar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Ibn „Abbas, „Ubai Ibn Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-As‟ari, „Abdullah bin Zubair (as-Suyuthi, t.th.:63). Para sahabat mentafsirkan al-Qur‟ān berdasarkan empat sumber, yaitu alQur‟ān, hadith Nabi, ijtihad dan serta keterangan ahli kitab, Yahudi atau Kristian. Kandungan al-Qur‟an itu meliputi banyak hal, seperti yang boleh dan dilarang, global dan terperinci, mutlak dan tertentu, dan terakhir am dan khusus. Sesuatu yang boleh di satu tempat, tidak boleh di tempat lain, demikian juga berkaitan dengan pembedaan global-terperinci, mutlak-tertentu, am-khusus. Oleh kerana itu, adalah wajib bagi mufasir untuk melihat penjelasan al-Qur‟ān di dalam al-Qur‟ān itu sendiri, sehingga dimungkinkan untuk mengumpulkan satu tema yang diulangulang. Contoh pentafsiran semacam ini sangat banyak, di antaranya Q.S. al-Mukmin (40): 28
dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.
70
ditafsirkan dengan akhir surah, al-Mukmin (40):77:
Maka Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar; Maka meskipun kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang kami ancamkan kepada mereka ataupun kami wafatkan kamu (sebelum ajal menimpa mereka), namun kepada kami sajalah mereka dikembalikan. Sumber kedua tafsir Sahabat adalah Hadith Nabi. Jika mereka menemukan masalah di dalam memahami kitab Allah, mereka merujuk kepada Nabi dengan bertanya langsung. Misalnya, Hadith yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari Ibn Hibban berkata (at-Thabari,1998:109-115):
Di sini para sahabat menafsirkan akhir dari surat al-Fatihah (2): 7, bahwa orang-orang yang dikutuk itu adalah Yahudi dan orang yang sesat itu adalah kaum Kristian. Contoh lain adalah hadits yang dikeluarkan oleh Uqbah ibn Umar (azZarqani, 13):
سًعت زسٕل اهلل صهى اهلل عهيّ ٔسهى يقٕل ْٕٔ عهى انًُبس .ٔأعدٔا نٓى يب استطعتى يٍ قٕة أال ٔإٌ انقٕة انسيي Saya mendengar Rasulullah dan beliau berada di atas mimbar, dan bersiapsedialah kamu menghadapi musuh menurut kemampuan kamu, dan ingatlah kemampuan itu adalah musuh. Hadits ini digunakan untuk menafsirkan surah bahwa kekuatan yang dimaksudkan di sini adalah memanah. Sedangkan sumber ketiga adalah ijtihad, yang menuntut sahabat untuk mempunyai pengetahuan bahasa dan rahsianya, adat kebiasaan Arab, hal-ehwal Yahudi dan Kristian di semenanjung Arab ketika diturunkannya al-Qur‟ān dan pemahaman yang kuat (adz-Dzahabi, 1976: 58) Sumber ini digunakan oleh para sahabat jika mereka tidak mendapatkan kejelasan makna al-Qur‟ān dari al-Qur‟ān itu sendiri mahupun dari Nabi. Dan terakhir adalah pengetahuan sahabat akan tradisi Yahudi dan Kristian (isrā‟īliyyat). Hal ini dikeranakan dalam beberapa masalah, al-Qur‟ān mempunyai keterkaitan dengan kitab Taurat, secara khas mengenai kisah-kisah para Nabi, umatumat terdahulu, demikian juga dengan kitab Injil mengenai kisah kelahiran Nabi Isa ibn Maryam dan mu‟jizat yang dimilikinya. Namun demikian, jelas al-Dhahabī, alQur‟ān mengambil metodologi yang berbeza dengan kedua-dua kitab yang disebutkan. Biasanya al-Qur‟ān tidak menceritakan kisah-kisah secara terperinci dan dari segala segi kerana semua ini dimaksudkan untuk sekadar ibarat atau tamsil. Tetapi, terdapat sebahagian sahabat yang cenderung untuk memerinci cerita-cerita 71
global yang sebenarnya berasal dari agama mereka sebelumnya, iaitu Yahudi dan Kristian, seperti „Abdullah ibn Salam dan Ka„b al-Akhbār (adz-Dzahabi, 1976: 61). Namun demikian, sumber terakhir ini tidak sepenting tiga sumber sebelumnya, kerana kedua-dua kitab telah banyak diubah dan diganti (adz-Dzahabi, 1976: 62). Di antara para sahabat yang paling terkemuka dalam penafsiran al-Qur‟an adalah Ibn „Abbas. Kedudukan istimewa ini juga diakui oleh sahabat yang lain, di antaranya Umar Ibn al-Khattab (adz-Dzahabi, 1976: 67). Ada banyak alasan untuk ini. Nabi pernah mendoakan sang paman ini untuk diberi kemahiran ilmu kitab dan hikmah. Keistimewaan lain adalah beliau tumbuh besar di dalam lingkungan kehidupan Nabi, sehingga boleh mengikuti secara langsung transfer pengetahuan dari sang Nabi. Beliau termasuk di antara sahabat yang disegani setelah wafatnya Nabi, kerana pengetahuan yang luas tentang pelbagai tempat dan peristiwa sebabsebab turunnya al-Qur‟an. Kemampuan bahasa Arab meliputi kata-kata asing, khas, adab, gaya (uslub) dan dari puisi Arab pra-Islam. Terakhir, kedudukan yang tinggi dikeranakan keyakinannya untuk mengatakan kebenaran (adz-Dzahabi, 1976: 6768).Ibn „Abbas adalah salah satu sahabat yang menggunakan puisi Arab kuno untuk menafsirkan al-Qur‟an. Penggunaan puisi ini dimungkinkan jika tidak ada penjelasan daripada Nabi, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Abbas: Hal ini dilakukan ketika beliau menafsirkan surah al-A‟raf: 34:
Ibn Abbas menafsirkan lafaz االثىdengan makna arak (sesuatu yang memabukkan). Hal ini berdasarkan puisi Arab kuno:
شسبت االثى حتى ضم عقهى * ٔكرنك ترْب ببنعقٕل Dalam puisi yang lain juga disebutkan (al-Fairuzabadi, t.tp:126):
2. Tafsir pada Masa Tabi‟īn Mengenai tafsir Tabiīn, ulama berbeda pandangan. Namun demikian, mereka berpendapat bahawa tafsir tabi‟īn boleh diterima apabila tidak ada penjelasan dari Nabi dan sahabat. Di antara ulama yang menolak tafsir ini adalah Ibn „Aqīl. Alasannya kerana para tabi‟īn tidak mendengar dari Rasulullah, sehingga tidak mungkin untuk menerimanya sebagaimana terhadap tafsīr sahabat. Selain itu, para tabi‟īn tidak menjadi saksi terhadap masa dan hal-ikhwal berkaitan dengan turunnya al-Qur‟ān yang akan memungkinkan kesalahan pemahaman. Sementara integritas tabi„īn (adalah) tidak dijamin sebagaimana diberikan pada Nabi dan sahabat (adz-Dzahabi, 1976: 128). Sedangkan yang menerima tafsir tabi„in adalah sebahagian besar mufassir. Alasan mereka kerana para tabi„in merujuk pada tafsir sahabat. Misalnya, Mujahid mengulas mushaf dengan merujuk kepada Ibn „Abbas (Ibid.). Menurut al-Zarqanī, tafsīr tabi„īn ini boleh dibahagi ke atas tiga golongan, yaitu golongan ahli Mekah, ahli Madinah dan ahli Irak. Golongan Mekah dianggap golongan yang paling tahu 72
tentang tafsir kerana, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, mereka adalah sahabat Ibn „Abbas, seperti Mujahid ibn Abi Rabah, „Ikrimah budak Ibn „Abbas, Sa„id ibn Jubair, dan Tawus (az-Zarqani, 19-22). D. Metode Tafsir al-Qur’an 1. Tafsir Tahlili Yang dimaksud dengan tafsir tahlili adalah menafsiran al-Qur;an dengan penyampaian secara lengkap dari aspek pembahasan lafadznya, yang meliputi pembahasan kosa kata, arti yang dikehendaki, dan sasaran yang dituju dari kandungan ayat, yaitu unsur ijaz, balaghah, dan keindahan kalimat, aspek pembahasan makna, yaitu apa yang bisa diistinbatkan dari ayat yang meliputi hukum fikih, dalil syar‟i, norma-norma akhlak, akidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, dan lain-lain. Di samping itu juga mengemukakan kaitan ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (Ali Hasan „Arid, 1994:41). Dengan demikian sebab nuzul ayat, hadits-hadits Nai, pendapat para sahabat dan tabi‟in sangat dibutuhka. Dalam tafsir tahlili ini, penafsir mengurai makna yang dikandung dalam alQur‟an ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan yang telah baku di dalam mushhaf. Bentuk dan corak yang melekat pada tafsir ini sesuai dengan kapasitas keilmuan, dan keahlian, serta kecenderungan penafsir (al-Farmawi, 1994:12). Dari segi bentuknya tafsir tahlili bisa dibagi ke dalam dua pembagian: a. Tafsir bil Ma‟tsur: yaitu, menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan sunnah, al-Qur‟an dengan pendapat sahabat Nabi SAW, dan alQur‟an dengan perkataan tabi‟in (al-Qatthan). Menurut Subhi as-Shalih bentuk tafsir semacam ini sangat rentan terhadap masuknya pendapatpendapat di luar Islam, seperti kaum zindiq Yahudi dan Parsi, dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih (Subhi as-Shalih, t.th.:291). Contoh kitab-kitab tafsir yang tergolong bil ma‟tsur di antaranya adalah: 1) Jami‟ al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an (30 juz) karya Ibn Jarir at-Thabari (w. 310 H). 2) Bahr al-‟Ulum (3 Jilid) karya Abu Lais al-Samarkandi (w.373/378 H). 3) Al-Kasyaf wa al-Bayan ‟an Tafsir al-Qur‟an (hanya ditemukan 4 jilid, dari surat al-Fatihah sampai al-Furqan) karya Abu Ishaq ats-Sa‟labi (w.427 H) 4) Ma‟alim at-Tanzil karya al-Baghawi (w.516 H) 5) Tafsir al-Qur‟an al-‟Azim (4 jilid) karya Abu al-Fida‟ al-Hafidz Ibn Katsir (w.774 H) 6) Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur‟an karya Abdurrahman as-Sa‟labi (w.876 H) 7) Ad.Dur al-Mansur fi Tafsir bi al-Ma‟tsur (4 jilid) karya Jalaluddin as-Suyuthi (w.991 H). 8) Dan lain-lain. b. Tafsir bir Ra‟yi, yaitu, penafsiran al-Qur‟an dengan ijtihad, serutama setelah seorang mufasir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab annuzul, nasikh dan mansukh, dan hal-hal lain yang lazim diperlukan oleh seorang mufasir (azd-Dzahabi, 1976:155). Terhadap status tafsir bir ra‟yi ini golongan salaf sangat berkebeatan menerima penafsiran model ini kalau tidak 73
ada dasar yang shahih. Azd-Dzahabi membagi tafsir jenis ini menjadi dua, yaitu dapat diterima dan tidak dapat diterima. Tafsir bir ra‟yi dapat diterima apabila: 1) Menjauhi sikap yang terlalu berani menduga-duga kehendak Allah di dalam kalamnya tanpa memiliki persaratan sebagai seorang mufasir. 2) Memaksakan diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah SWT. 3) Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu. 4) Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan mazhab semata. 5) Meghindari penafsiran pasti (qath‟i) di mana seorang mufasir tanpa alasan mengklaim bahwa itulah yang dimaksudkan oleh Allah. (Ibid. 275). Di antara contoh kitab-kitab tafsir bir ra‟yi adalah: 1) Mafatih al-Ghaib karya Fakhr ar-Razi (w. 606 H) 2) Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta‟wil karya Baidhawi (w. 691 H). 3) Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta‟wil karya an-Nasafi (w.701 4) Dan lain-lain Dari sisi coraknya tafsir taflili dapat dibagi paling sedikit menjadi lima, yaitu: a. Tafsir Sufi Menurut Quraish Shihab, tafsir corak ini muncul sebagai akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan (Quraish Shihab, 1997:73). Corak ini terbagi menjadi dua: 1) Penafsir sufi yang mencoba meneliti dan mengkaji ayat al-Qur‟an dengan menggunakan teori-teori madzhabnya dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka berusaha maksimal menemukan teori dan ajaran di dalam al-Qur‟an yang dianggap sesuai dengan teori dan ajaran mereka. Sehingga seringkali mereka menta‟wilkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk mena‟wilkan ayat al-Qur‟an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang ari pengertian tekstual yang telah dikenal dengan dalil syar‟i serta tidak didukung oleh kajian kebahasaan (adz-Dzahabi, 1976:339). Sufi/ tasawuf semacam ini biasa dikenal dengan tasawuf teoritis atau nadhari. 2) Penafsiran sufi yang menafsirkan atau mena‟wilkan ayat-ayat al-Qur‟an berbeda dengan arti dzahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh pemimpin suluk, namun masih tetap bisa dikompromikan dengan arti dzahir yang dimaksud. Tafsir jenis ini sering disebt dengan tafsir isyari. Contoh kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsir sufi di antaranya adalah: 1) Tafsir al-Qur‟an al-Karim karya at-Tustari (w.383 H) 2) Haqaiq at-Tafsir karya as-Salami (w.412 H) 3) „Araisy al-Bayan fi Haqaiq al-Qur‟an karya as-Syairazi (w.606 H). b. Tafsir Fiqhi Tafsir corak ini munculnya bersamaan dengan lahitrnya tafsir bin ma‟tsur dan sama-sama dinukil dari Nabi SAW tanpa adanya perbedaan di antara keduanya. Tafsir ini muncul di antaranya sebagai dampak dari berkembangkan ilmu fikih dan terbentuknya madzhab fiqih, dimana setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran mereka 74
terhadap ayat-ayat hukum (Quraish Shihab, 1997:73). Berikut adalah di antara contoh tafsir jenis ini adalah: 1) Ahkam al-Qur‟an karya al-Jashash (w.370 H). 2) Ahkam al-Qur‟an karya Ibn „Arabi (w.543 H). 3) Al-Jami‟ al-Ahkam al-Qur‟an karya al-Qurthubi (w.671 H) c. Tafsir Falsafi Tafsir ini muncul akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam ajaran Islam dengan sadar atau tidak mereka mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak yang tercermin dalam penafsiran mereka (Ibid.). Dalam mensikapi fenomena semacam ini umat Islam terpecah menjadi dua, yaitu; 1) Umat Islam menolak buku-buku karya para filosof bahkan mengharamkannya karena dianggap bertentangan dengan akidah serta agama. Kemudian mereka mengarang kitab-kitab untuk menyerang mereka. 2) Mengagumi Filsafat, golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal oleh karena -menurut „Aridh –tidak mungkin ayat-ayat al-Qur‟an mengandung teori-teori mereka yang sama sekali tidak mendukungnya (Aridh, 1994:63) Di antara contoh karya tafsir jenis ini adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhr arRazi (w. 606 H). d. Tafsir „Ilmi Tafsir ini muncul berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an sejalan dengan pekembangan ilmu. Sebagaimana diketahui di dalam al-Qur‟an banyak ditemukan ayat-ayat yang mendorong pembaca untuk memperhatikan alam, maka sebagian ahli tafsir mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah tersebut berdasarkan kaedah-kaedah kebahasaan dengan keunikannya yang dikaitkan dengan bidang ilmu dan hasil kajan mereka terhadap gejala atau fenomena alam (al-Farmawi, 1994:22). Namun demikian sangat disayangkan, penafsiran corak ini masih terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masalah yang sama (Ibid.). Di antara contoh kitab tafsir jenis ini adalah: Jawahir al-Qur‟an karya Imam al-Ghazali, al-Itqan karya as-Suyuthi, at-Tafsir al-„Ilm li al-Kauniyat al-Qur‟an al-Karim karya Hanafi Ahmad, dll. e. Tafsir Adab al-ijtima‟i Yaitu satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk al-Qur‟an dengan mengemukakannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar (Quraish Shihab, 1997:73). Di antara contoh tafsir jenis ini adalah: Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha (w. 1345 H), Tafsir al-Maraghi karya Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Qur‟an al-Karim karya Mahmud Salthut, dll. 75
1) Sejarah Perkembangan Tafsir Tahlili Di atas telah disinggung tentang perkembangan tafsir al-Qur‟an. Sebenarnya sejarah perkembangan tafsir bisa dikelompokkan menjadi empat periode, yaitu periode Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabi‟in dan pembukuan. Pada masa Nabi dan sahabat tafsir al-Qur‟an masih menggunakan ijmali (global) (Nasirddin Baidan, 1998: 3), Nabi dan sahabat belum memberikan rincian yang memadai. Dengan demikian metode yang paling awal adalah ijmali. Pada periode tabi‟in tafsir masih ditulis bergabung dengan penulisan hadits-hadits dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits, belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir alQur‟an, surat demi surat dan ayat demi ayat dari awal alQur‟an hingga akhir. Pada periode kodifikasi mulailah disusun secara khusus kitab-kitab tafsir yang berdiri sendiri yang oleh sebagaian ahli dikatakan dimulai oleh al-Farra‟ (w.207 M) dengan kitabnya yang berjudul Ma‟anil Qur‟an (Quraish Shihab, 1997: 73)). Kemudian disusul oleh Ibn Majah (w.273 H), Ibn Jarir at-Thabari (w.310 H), Abu Bakar bin Mundzir an-Naisaburi (w.318 H), Ibn Abi Hatim (w.327 H), Abu Syaikh Ibn Hibban (w.369 H), al-Hakim (w.405 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w.410 H) ( al-Qatthan, 476). Tafsir pada periode ini adalah tafsir tahlili yang mengambil bentuk bil ma‟tsur. Kemudian seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan tafsir bi alma‟tsur mulai tergeser kedudukannya oleh tafsir bir ra‟yi dengan mengambil corak sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh penafsir, ada yang ahli bahasa, maka corak tafsirnya adalah bahasa, demikian juga ahli tasawuf, filsafat, kalam, dan lain-lain, dan sampai pada era baru (modern) mereka mengambil corak tafsir dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping menyingkap asas-asas kehidupan social, prinsip-prinsip tasyri‟ dan teori-teori pengetahuan dari kandungan al-Qur‟an sebagaimana terlihat dalam tafsir fi Dzilal al-Qur‟an, al-Manar, dan yang sezaman dengan keduanya. 2) Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Tahlili Untuk melihat kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili, penulis mengambil pendapat Nasiruddin Baidan dalam bukunya Metodologi Penafsiran al-Qr‟an (Nasiruddin Baidan, 1998: 53-61). a) Kelebihannya Pertama; Ruang lingkupnya luas. Penafsir dapat menggunakan dua bentuk, bil ma‟tsur atau bir ra‟yi. Yang bir ra‟yi juga bisa menggunakan corak sesuai dengan kecenderungan dan keahlian penafsir, yang ahli bahasa bisa menekankan pada aspek kebahasaanya, yang ahli qaraat bisa menekankan pada aspek qiraatnya, demikian juga yang ahli filsafat, tasawuf dan lain sebagainya. Kedua, memuat berbagai ide. Tafsir tahlili memberikan kesempatan seluasluasnya bagi mufasir untuk menuangkan berbagai ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dengan terbukanya pintu selebar-lebarnya bagi mufasir untuk mengemukakan pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur‟an, maka lahirlah berbagai kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir at-Thabari (15 jilid), tafsir ruh al-ma‟ani (16 jilid) tafsir Fakhr ar-Razi (17 jilid), tafsir al-Maraghi (10 jilid) dan lain-lain. 76
b) Kekurangannya Pertama, Menjadikan petunjuk al-Qur‟an parsial. Seperti halnya metode global, metode tahlili juga dapat membuat petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial atau terpecah-pecah. Sehingga terasa seakan-akan al-Qur‟an memberikan pedoman secara tidak komprehensip dan tidak konsisten karena menafsirkan yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya. Kedua, menghasilkan penafsiran yang subyektif. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tafsir tahlili telah memberikan peluang yang luas kepada mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga kadang-kadang mufasir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan ayat al-Qur‟an sacara subyektif, dan tidak mustahil juga ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur‟an sesuai dengan hawa nafsunya tanpa mengindahka kaedah-kaedah dan norma-norma yang berlaku. Hal ini dimungkinkan karena memang metode ini memebuka peluang untuk yang demikian. Ketiga, masuknya pemikiran isra‟iliyat. Dikarenakan tidak adanya pembatasan bagi para mufasir untuk menuangkan pemikirannya maka berbagai pemikiran dapat masuk kedalamnya tidak terkecuali pemikiran isra‟iliyat. Sepintas lalu sebenarnya kisah-kisah israiliyat tidak ada persalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur‟an. Tetapi bila dihubungkan dengan pemahaman kitab suci, timbul problem karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam cerita ini merpakan maksud dari firman Allah SWT, padalah belum tentucocok dengan apa yang dimaksudkan Allah dalam firmanNya tersebut. Keempat, mengikat generasi berikutnya. Pembahasan-pembahasan yang silakukan melalui metode ini akan mengikat generasi berikut, karena penafsirannya sangat umum dan teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang dialamai oleh mufassirin di dalam masyarakat mereka, akhirnya penafsiran tersebut mengisahkan seolah-olah itulah pandangan al-Qur‟an untuk setiap waktu dan tempat (Abdul Karim Dahlan, 1994:150). 2. Tafsir Ijmali Tafsir ijmali adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara singkat dan global, tanpa disertai uraian yang panjang dan luas. Dengan metode ini mufasir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf setelah ia mengemukakan arti-arti itu dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami oleh semua kalangan (Ali Aridh, 1994: 73). Di antara contoh kitab tafsir ijmali adalah; Tafsir Shafwat al-Bayan li Ma‟ali alQur‟an karya Syeikh Muhmad Mahlut; Tafsir Jalalain karya Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahali; Tafsir al-Qur‟an al-‟Adzim karya Muhammad Farid Wajdi; dll.
77
3. Tafsir Muqaran Metode tafsir muqarah adalah metode yang ditempuh oleh seorang mufasir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur‟an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, baik mereka yang termasuk ulama salaf maupun ulama khalaf yang metode dan kecenderungan mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber dari rasul, sahabat atau tabi‟in (tafsir bil ma‟tsur) atau berdasarkan rasio (tafsir bir ra‟yi), dengan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi kecenderungan masing-masing dalam menafsirkan al-Qur‟an. Langkah berikutnya, mufasir dengan metode ini mengungkapkan pendapatnya tentang mereka, lalu dijelaskan pula bahwa ada di antara mereka yang corak pemikirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Selain rumusan di atas, metode tafsir muqaran mempunyai pengertian dan lapangan yang lebih luas yaitu membandingkan antara ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang suatu masalah, atau membandingkan antara ayat-ayat alQur‟an dengan Hadits-hadis Rasulullah SAW yang memperkuat al-Qur‟an. 4. Tafsir Maudhu’i a. Pengertian Menurut Ibn Taimiyah (t.th.:19), tafsir maudhu‟i adalah suatu ilmu yang belum diketahui sebelumnya, kecuali zaman sekarang. Menurut sebagaian ulama, bahwa tafsir maudhu‟i ialah mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda-beda dari surat-surat al-Qur‟an yang berhubungan dengan satu tema tertentu kemudian menafsirkannya sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran dan tujuan-tujuan al-Qur‟an (Ibid, 15). Dr. Zahir al-Ma‟i memberikan definisi, bahwa tafsir maudhu‟i adalah ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan al-Qur‟an yang mempunyai satu makna dan tujuan dengan jalan mengumpulkan ayat-ayat yang berbeda kemudian mengkajinya dengan cara tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula untuk menjelaskan maknanya, mengeluarkan unsur-unsurnya kemudian merangkaian dengan rangkaian yang komprehensip (al-Ma‟i, 1405 H: 7). Sedangkan menurut al-Farmawi (1994:52), adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai membicarakan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik bersumber dari al-Qur‟an sendiri, hadits Nabi SAW, maupun pemikiran rasional. Dari berbagai definisi di atas, dapatlah ditarik benang merahnya, bahwa tafsir maudhu‟i menonjolkan tema, judul, atau topik pembahasan, sehingga ada yang menyebutnya sebagai metode topikal. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada ditengah masyarakat atau berasal dari al-Qur‟an itu sendiri, dan atau dari sumber yang lain. Kemudian grand tema yang sudah ditetapkan dkaji secara holistik dan koprehensip dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang telah dikumpulkan tersebut dan kemudian ditafsirkan. 78
Dengan demikian, penafsiran yang dilakukan tidak keluar dari pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkan dari pemikiran atau terkaan belaka. Oleh karena itu, dalam proses pemakaiannya metode ini tetap menggunakan kaedah-kaedah yang berlaku secara umum dalam ilmu tafsir, yang dilengkapi hadits-hadits Nabi, pendapat sahabat, ulamadan sebagainya. Di samping cara tersebut di atas, penafsiran yang menggunakan metode maudhu‟i juga bisa dilakukan dengan cara mengambil satu surat dari surat-surat al-Qur‟an. Surat itu dikaji secara keseluruhan, dari awal hingga akhir surat, kemudian dijelaskan tujuan-tujuan khusus dan umum dari surat itu serta menghubungkannya antara masalah-masalah (tema-tema) yang dikemukakan pada ayat-ayat dari surat itu, sehingga jelas surat itu merupakan satu kesatuan (al-Aridh, 1994: 78). Namun untuk cara yang terakhir ini, banyak ulama yang tidak mengakuinya sebagai tafsir maudhu‟i, termasuk di dalamnya adalah alFarmawi. Langkah-langkah penerapan tafsir maudhu‟i antara para ahli yang menekuni metode ini hampir sama, dan hanya kecil sekali perbedaannya, misalnya Ali Hasan al-‟Aridh merumuskan 8 langkah untuk menerapkan metode ini. Sedangkan al-Farmawi hanya merumuskan 7 langkah saja. 7 langkah tersebut adalah: 1) Memilih dan menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara tematik. 2) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan, ayat makiyah dan madaniyah. 3) Menyusun ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya, jika ada. 4) Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masingmasing surat. 5) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh. 6) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas. 7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang memunyai pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‟am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan ayat-ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tidak ada pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tetap (al-Farmawi, 1994:45-46). b. Kelemahan dan Kelebihannya Kelebihannya: 1) Menampilkan topik suatu permasalahan secara utuh tidak bercerai berai, sehingga bisa dijadikan tolak ukur untuk mengetahui pandanganpandangan al-Qur‟an terhadap suatu masalah. Dengan demikian akan menjadi lebih sistematis. 79
2) Titik tolak keberangkatannya bermula dari kenyataan yang ada dimasyarakat dan berakhir pada al-Qur‟an untuk mencari jawabannya. Dengan demikian tafsir tersebut dapat menjawab tantangan zamannya dengan lebih tepat. 3) Peran mufasir cenderung aktif, karena ia telah mempersiapkan lebih dahulu topiknya, lalu ia memilah-milah ayat al-Qur‟an yang berhubungan dengan topik terseut, sehingga penafsir lebih dinamis. 4) Mufasir tidak dituntut waktu dan nafas yang panjang karena ia hanya menyelesaikan topik yang dibahas (Asyrafuddin, 1992:87). Kelemahannya: 1) Kehilangan munasabat atau hubungan antara ayat yang satu dengan lainnya, padahal itu sangat penting. 2) Tidak bisa menafsirkan keseluruhan al-Qur‟an, karena ada ayat-ayat yang hanya bisa ditafsirkan secara tahlili saja, seperti surat at-Taubah dan lainnya. 3) Pada satu ayat terkadang mengandung beberapa pesan, yang diantaranya tidak ada kaitannya dengan topik yang dibahas, akibatnya pesan tadi tidak difungsikan. 4) Para pakar yang mendukung metode maudhu‟i menyebutkan satu syarat yang sulit untuk dilakukan, yaitu urutan turunnya ayat-ayat yang dihimpun, karena jarang ditemukan keterangan yang pasti (Ibid.) c. Beberapa Karya Tafsir Maudhu‟i 1) Al-Mar‟ah fi al-Qur‟an karya Abbas Muhammad al-‟Aqqad. 2) Riba fi al-Qur‟an karya Abu A‟la al-Maududi 3) Tafsir Surat Yasin Karya Dr. Ali Hasan al-‟Aridh 4) Tafsir Surat al-Fatihah karya Ahmad Sayyid al-Kumi 5) Adam fi al-Qur‟an karya Ali Nashr ad-Din 6) ‟Aqidah fi al-Qur‟an karya Abu A‟la al-Maududi. 7) Dan lain-lain.
80
BAB VIII PENGERTIAN HADITS, SUNNAH, KHABAR, ATSAR DAN HADITS QUDSI A. Pengertian al-Hadits Hadits menurut pengertian bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu; 1) jadid (sesuatu yang baru) lawan dari kata al-qadim, sesuatu yang lama. Seperti perkataan: artinya dia baru masuk/memeluk Islam. 2) qarib ”dekat”, yaitu tidak lama lagi akan terjadi. Sedangkan lawannya adalah ba‟id ”jauh”. 2) khabar ”berita” yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain (‟Ajjaj al-Khatib, 1971:20). Hadits dengan pengertian khabar tersebut di atas dapat dijumpai pada: 1. Q.S. at-Thur (52): 34:
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. 2. Q.S. al-Kahfi (18): 6:
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu Karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan Ini (AlQuran). 3. Q.S. ad-Dhuha (93): 11:
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan. Sedangkan menurut pengertian terjadi perbedaan pendapat antara ahli ushul dan ahli hadits. Menurut ahli hadits:
ٍِع َ كُمُ يَبأُ ِث َس:ُخس َ َأَقَْٕالُ انَُ ِبيِّ صَهَي انهَ ُّ عَهَيِّْ َٔسََهىَ َٔأَفْعَبنُُّ َٔأّحَْٕانُُّ َٔقَبلَ اْأل .ٍانَُ ِبيِّ صَهَي انهَ ُّ عَهَيِّْ َٔسََهىَ ِيٍْ قَْٕلٍ أَْٔ فِعْمٍ أَْٔ اِ ْقسَاز Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW. Sedangkan menurut yang lainnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya. Yang termasuk hal-ihwal dalam definisi di atas ialah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya. Menurut rumusan yang lain, hadits adalah:
.ًصفَت ِ َْٔيبَ أُضِ ْيفَ إِنَي انَُ ِبيِّ صَهَي انهَ ُّ عَهَيِّْ َٔسََهىَ قَْٕالً أَْ فِ ْعالً أَْ َت ْقسِ ْيسًا ا 81
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Sedangkan ahli ushul, definisi hadits adalah:
أَقَْٕانُُّ َٔأَفْعَبنُُّ َٔ َت ْقسِ ْيسَاتُُّ اَنَتِي تَثْ ُبتُ اْألَحْكَبوُ َٔ ُت َق ّسِزَُْب Semua perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hokum syara‟ dan ketetapannya. Dengan pengertian ini, jelaslah bahwa segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Yang tidak ada kaitannya dengan hukum atau tidak mengandung misi kerasulannya, seperti tatacara berpakaian, tidur dan makan, tidak termasuk hadits. B. Pengertian Sunnah Menurut bahasa, sunnah berarti:
.ًاَنسِّ ْيسَةُ َٔانطَسِيْقَتُ انًُْعْتَبدَةُ حَسََُتً كَبَتْ أَْٔ قَبِيْحَت Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelek. Menurut batasan lain, sunnah berarti:
ُ أَْٔ انطَسِيْقَتُ انًُْسْتَقِيًَْت,ًاَنسِّ ْيسَةُ حَسََُتً كَبَتْ أَْٔ سَيِّئَت Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela ataupun jalan yang lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten). Rasulullah SAW bersabda:
ْ ٍ عًَِمَ بَِٓب بَعْدَُِ ِي ٍ ْ جسُ َي ْ َجسَُْب َٔأ ْ َالوِ سَُُتً حَسََُتً فَهَُّ أ َس ْ ِسٍَ فِى اإل َ ٍَْي ٌَالوِ سَُُتً سَيِئَتً كَب َس ْ ِسٍَ فِى اإل َ ٍْىءٌ َٔ َي ْ ش َ ْغَ ْيسِ َأٌْ يَ ُْقُصَ ِيٍْ أُجُٕزِ ِْى ٍٍْ غَ ْيسِ َأٌْ يَ ُْقُصَ ِي ْ ٍ عًَِمَ بَِٓب ِيٍْ بَعْدِ ِ ِي ْ عَهَيِّْ ِٔ ْشزَُْب َٔ ِٔ ْشزُ َي ٌىء ْ ش َ ْأَ ْٔشَازِ ِْى Barang siapa yang melakukan perbuatan baik, ia akan mendapatkan pahala (dari perbuatan itu) dan pahala orang yang menirunya dengan tidak dikurangi pahala sedikitpun. Dan barang siapa yang melakukan perbuatan jelek, ia akan menanggung dosa dan dosa orang-orang yang menirunya dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun. (H.R. Imam Muslim)
Pada hadits lain Rasulullah bersabda lagi:
َْٕ حَتَى ن، ٍ َٔذِزَاعًب بِرِزَاع، ٍنَتَتَبِعٍَُ سٍَََُ يٍَْ قَبْهَكُىْ شِبْسًا بِشِبْس ًُُُِٕضبٍ نَسَهَكْت َ َسَهَكُٕا جُحْس Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan atau perbuatan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga meskipun mereka memasuki lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka (H.R. al-Bukhari)
82
Ayat-ayat al-Qur‟an cukup banyak yang menunjukkan arti sunnah menurut bahasa, di antaranya adalah : 1. Q.S. al-Kahfi (18): 55:
Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk Telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang Telah berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata. 2. Q.S. al-Isra‟ (17) :77:
(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan kami itu. 3. Q.S. al-Anfal (8): 38:
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ". 4. Q.S. al-Hijr (5):13:
Mereka tidak beriman kepadanya (Al Quran) dan Sesungguhnya Telah berlalu sunnatullah terhadap orang-orang dahulu. 5. Q.S. al-Ahzab (33) :38 dan 62:
Tidak ada suatu keberatanpun atas nabi tentang apa yang Telah ditetapkan Allah baginya. (Allah Telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabinabi yang Telah berlalu dahulu dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, 83
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah. 6. Q.S. al-Fathir (35):43:
Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan Karena rencana (mereka) yang jahat. rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang Telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. 7. Q.S. al-Mukmin (40): 85:
Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka Telah melihat siksa kami. Itulah sunnah Allah yang Telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir. Bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang berhubungan dengan hukum syara‟, maka yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan atau perbuatannya, apabila dalam dalil hukum syara‟ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkan adalah al-Qur‟an dan al-Hadits (‟Ajjaj al-Khatib, 1971:15). Sedangkan mengenai arti sunnah menurut istilah, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan perbedaan latar belakang dan persepsi masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Secara garis besarnya, mereka terbagi menjadi tiga golongan: ahli Hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih. 1. Pengertian sunnah menurut ahli hadis adalah: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti perjalanan hidup, baik sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya.
84
Dalam pengertian lain disebutkan: Segala sesuatu yang berhubungan dengan sirah (perjalanan hidup) Nabi SAW., budi pekerti, berita, perkataan, dan perbuatannya baik melahirkan syara‟ atau tidak. Mereka mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas karena mereka memandang diri Rasulullah sebagai uswatun hasanah (contoh atau teladan yang baik). Oleh karena itu, mereka menerima secara utuh segala yang diberitakan tentang diri Rasulullah SAW. tanpa membedakan apakah yang diberikan itu berhubungan dengan hukum syara‟ atau tidak. Mereka juga tidak memisahkan antara beliau sebelum diutus menjadi Rasul atau sesudahnya. Pendapat ini didasarkan pada Q.S. al-Ahzab (33): 21:
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Juga Q.S. as-Syura (42) : 52-53 juga disebutkan:
dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (yaitu) jalan Allah yang Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan. Lebih jauh lagi, ada yang mengatakan bahwa sunnah itu tidak hanya terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saja, tetapi termasuk juga segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi‟in. Ini berarti pengertian sunnah bagi mereka sama dengan pengertian hadits sebagaimana disebutkan terdahulu. 2. Pengertian sunnah menurut ahli ushul: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. selain al-Qur‟an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara‟. Definisi ahli ushul ini membatasi pengertian sunnah hanya pada sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara‟. Dengan demikian, sifat, perilaku, sejarah hidup, dan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad, yang tidak berkaitan dengan hukum syara‟ tidak dapat dikatakan sunnah. Demikian juga
85
dengan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. sebelum beliau diutus menjadi Rasul. Pemahaman ahli ushul terhadap sunnah sebagaimana tersebut diatas, didasarkan pada agumentasi bahwa Rasulullah SAW adalah pembawa dan pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang dustur alhayat (undang-undang hidup) dan menetapkan kerangka dasar bagi para mujtahid yang hidup sesudahnya. Hal-hal yang tidak mengandung misi seperti ini tidak dapat dikatakan sunnah. Oleh karena itu, ia tidak dapat dijadikan sumber hukum. Banyak ayat al-Qur‟an yang dapat dijadikan argumentasi bagi pemahaman ahli ushul di atas, misalnya Q.S. al-Hasyr (59): 7:
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. Ayat ini memerintahkan kepada umat Islam agar mentaati segala ketentuan yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. baik mengenai perintah maupun larangan-Nya. Q.S. an-Nahl (16): 44:
.... dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, Ayat ini mengisyaratkan kepada umat Islam agar mereka melaksanakan sunnah Nabi SAW. sebagaiaman mereka mengamalkan al-Qur‟an, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 3. Pengertian sunnah menurut ahli fiqih: Segala ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad selain yang difardhukan dan diwajibkan. Menurut mereka, sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib, sunnah, haram, makruh dan mbah), dan yang tidak termasuk kelima hukum ini disebut bid‟ah. Definisi lainnya adalah : Segala sesuatu yang apabila dikerjakan lebih baik dari pada ditinggalkan, kelebihan ini tidak berarti larangan (ancaman) karena meninggalkannya, seperti sunnah-sunnah dalam shalat dan wudhu. Pekerjaan sunnah ini membawa kemanfatan, sehingga dianjurkan untuk mengerjakannya, namun tidak ada yang mengharamkan meninggalkannya. Jelaslah bahwa bagi yang mengerjakan akan mendapatkan pahala dan bagi yang meninggalkannya tidak akan mendapatkan siksa. 86
Ulama ahli fiqih mendefinisikan sunnah seperti ini karena mereka memusatkan pembahasan tentang pribadi dan perilaku Rasulullah pada perbuatan-perbuatan yang melandasi hukum syara‟ agar diterapkan pada perbuatan manusia pada umumnya, baik yang wajib, haram, makruh, mubah, maupun sunnah. Ini memang tidak dapat dilepaskan dari dasar hukum menurut mereka, yaitu hukum syara‟ yang lima. Oleh karena itulah apabila mereka berkata, perkara ini sunnah, maksudnya mereka memandang bahwa pekerjaan itu membawa nilau syari‟at yang dibebankan oleh Allah kepada setiap yang baligh dan berakal dengan tuntutan yang tidak mesti. Dengan kata lain, tidak fardhu dan tidak wajib (menurut ulama Hanafiyah) dan tidak wajib (menurut ulam fiqih lainnya). Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa sunnah berlawanan dengan bid‟ah, karena di masa Rasulullah, sunnah diartikan dengan cara dan perilaku yang diikuti, yang menyangkut masalah agama. Sedangkan bid‟ah menurut bahasa adalah perkara yang baru. Imam as-Syathibi berkata, ”Pokok pengertian bid‟ah adalah menciptakan sesuatu yang baru, tanpa contoh terlebih dahulu.” (asSyathibi, t.th: 29). C. Pengertian Khabar dan Atsar 1. Pengertian Khabar Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang (Hasbi, 1954: 32). Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu' (as-Suyuthi, 1330 H: 4). Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatakan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits. Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja 2. Pengertian Atsar Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan) (Hasbi, 1954: 33). Sesuatu do'a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., 87
sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu (Ibid. 11). D. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih. Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya. 2. Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar". 3. Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. E. Perbedaan As-Sunnah dengan Bid'ah Pembahasan ini semata-mata hanya menekankan pada sisi perbedaan antara hadits dengan bid'ah, tidak membahas macam-macam bid'ah dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik pada sisi hukum syara' maupun muamalah. Bid'ah, menurut bahasa memiliki beberapa makna, yaitu; penemuan terbaru, sesuatu yang sangat indah, dan lelah. Sedang menurut pengertian agama, adalah "Apapun yang terjadi setelah Rasulullah wafat berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syarak yang jelas". Imam Syatibi, dalam kitabnya al-'Atisham, mengartikan bid'ah itu dalam bahasa sebagai penemuan terbaru. Dengan demikian, "bid'ah suatu 88
pekerjaan yang belum ada contohnya, dinamailah pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam Agama dan dipandang indah oleh yang mengadakannya, bid'ah. Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh dua golongan yang berlaianan. Yang pertama adalah golongan ahli Ushul : pendapat pertama, yaitu golongan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat saja ke dalam bid'ah. Pendapat kedua, golongan yang memasukkan dalam kata bid'ah segala urusan yang sengaja diada-adakan, baik dalam urusan 'Ibadah, maupun dalam urusan 'Adat. Sedangkan kedua, adalah golongan Ahli Fuqaha, mempunyai dua pendapat. Perdapat pertama yang memandang bid'ah ; segala perbuatan yang tercela saja, yang menyalahi kitab, atau Sunnah, atau Ijma. Pendapat yang kedua, memandang bid'ah segala yang diada-adakan sesudah Nabi, baik kebajikan maupun kejahatan, baik ibadah maupun adat (urusan keduniaan). Golongan Fuqaha yang hanya memandang bid'ah segala perbuatan yang tercela saja yang menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma', mendefinisikan Bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, perbuatan yang tercela, yaitu ; yang diada-adakan serta menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma': inilah yang tidak diizinkan Syara' sama sekali, baik perkataan, ataupun perbuatan, baik secara tegas maupun secara isyarat saja ; dan tidak masuk ke dalamnya urusan-urusan kedunian. Sedangkan golongan Fuqaha yang memandang bid'ah yang terjadi sesudah Nabi, mendefinisikan bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, ialah : Segala yang diadakan-adakan sesudah Nabi (sesudah kurun yang diakui baiknya), baik yang diadakan itu kebajikan, maupun kejahatan, baik mengenai ibadah maupun menengnai adat (yakni yang dengannya dikehendaki maksud duniawi). Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Bid'ah segala sesuatu yang diada-adakan sesudah Nabi wafat, untuk dijadikan syara' dan Agama, pada hal yang diada-adakan itu tak ada dalam Agama; diada-adakan itu pula sesuatu syubuhat (yang menyamarkan), atau karena sesuatu ta'wil. Sedangkan Sunnah, segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Dengan kata lain sesuatu yang hanya bersumber atau disandarkan kepada Nabi semata-mata. Dengan demikian antara Sunnah dan Bid'ah terdapat perbedaan yang sangat jelas sekali. Sunnah, sesuatu yang betul-betul bersumber atau sesuatu yang disandarkan kepada Nabi semata-mata, sedangkan Bid'ah merupakan sesuatu yang diada-adakan ahli atau seseorang yang tidak mempunyai dalil yang jelas. Walaupun dalam pembagian Bid'ah ada bid'ah mahmudah dan bid'ah Mazmumah atau ada bid'ah Hasanah dan bid'ah Sayyiah. Ada yang membagi bid'ah wajib, bid'ah Sunnah, bid'ah Mubah, bid'ah Haram, dan bid'ah Makruh, tetapi perbedaan antara Sunnah dengan Bid'ah sangat jelas yaitu Sunnah sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi, sedangkan Bid'ah sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi. Maka, KH.Moenawar Chalil mengatakan, bahwa "kita (ummat Islam) dalam mengerjakan agamanya haruslah mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi perbuatan-perbutan bid'ah dengan arti kata yang sebenarnya". F. Perbedaan antara al-Quran dengan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi Definisi al-Quran dan al-Hadits telah dikemukakan pada halaman terdahulu. Dan untuk mengetahui perbedaan antara definisi al-Quran dengan hadis Qudsi dan hadis Nabawi, maka disini kami kemukakan dua definisi berikut ini : 89
1. Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi Kita telah mengetahui makna hadis secara etimologi, sedangkan qudsi dinisbatkan kepada kata quds. Nisbah ini mengesankan rasa hormat karena materi kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka, kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathir, dan taqaddasa sama dengan tathahhara (suci, bersih). Allah berfirman tentang malaikat dalam Q.S. alBaqarah (2): 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Hadis qudsi adalah hadis yang oleh Rasulullah SAW. disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Rasulullah SAW. meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka, Rasulullah SAW. menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Rasulullah SAW. sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, dia meriwayatkannya dari Allah dengan disandarkan kepada Allah dengan mengatakan, "Rasulullah SAW. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya," atau ia mengatakan, "Rasulullah SAW. mengatakan, 'Allah Taala telah berfirman atau berfirman Allah Taala'."
Contoh Pertama
Allah berfirman, “Seluruh amal anak Adam untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, Aku akan memberikan balasannya. Puasa itu perisai. Apabila seorang kamu berpuasa, janganlah ia memaki-maki, mengeluarkan kata-kata keji, dan jangan ia berhiruk-pikuk. Jika ia dicarut oleh seseorang, atau dibunuh (hendak dibunuh), hendaklah ia katakana: Saya berpuasa.” (H.R. al-Bukhari) Contoh Kedua 90
:
:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata, "Allah Taala berfirman, 'Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan, bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu ...'." (HR Bukhari dan Muslim). Hadis nabawi itu ada dua, yaitu 1) bersifat tauqifi yaitu : yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW , sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun didalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain. 2) bersifat taufiqi yaitu : yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap alQuran, kerena ia mempunyai tugas menjelaskan al-Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulann yang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti. Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw. : `Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan`.(Q.S. an-najm :3-4). Hadis Qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu car penurunan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis Qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab seandainya hadis Qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis Qudsi dengan al-Quran; dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah. Mengenai hal ini timbul dua macam ketaskaan ( syubhah ) :Pertama: bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafalnya dari Rasulullah SAW , tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadsi Qudsi ? jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW ; Allah Ta`ala telah berfirman, atau Allah Ta`ala berfirman. Itulah sebabnya kita namakan hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadishadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak memuat nash tentang hal seperti ini. Disamping itu bisa jadi isinya diberitahukan ( kepada Nabi ) melalui wahyu ( yakni 91
secara tauqifi ) namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad ( yaitu secara taufiqi ), dan oleh sebab itu kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis Qudsi. Kedua : Bahwa apa bila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah SAW maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi ` Allah Ta`ala telah berfirman` atau ` Allah Ta`ala berfirman`? Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafalnya. Misalnya ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan ` si penyair berkata demikian` . juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian` . begitu juga al-Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbatkan kepada mereka. `Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa : `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun . Dan aku berdosa terhadap mereka , maka aku takut mereka akan membunuhku`.Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu . dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apaapa yang di antara keduanya , jika kamu sekalian mempercayai-Nya`.( Q.S. asysyuara` : 10-24 ) 2. Perbedaan antara al-Qur‟an dan Hadits Qudsi Ada beberapa perbedaan antara al-Qur‟an dengan hadis qudsi, dan yang terpenting adalah sebagai berikut: a. Al-Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW. dengan lafal-Nya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Alquran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena alQur‟an adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Adapun hadis qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat. b. Alquranal-Qur‟an hanya dinisbatkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah Taala berfirman. Adapun hadis qudsi, seperti telah dijelaskan di atas, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah, sehingga nisbah hadis qudsi itu kepada Allah adalah nisbah dibuatkan. Maka dikatakan, 92
c.
d. e.
f.
Allah telah berfirman atau Allah berfirman. Dan, terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah SAW. tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi menyampaikan hadis itu dari Allah. Maka, dikatakan Rasulullah SAW. mengatakan apa yang diriwayatkan dari Tuhannya. Seluruh isi al-Qur‟an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya mutlak. Adapun hadis-hadis qudsi kebanyakan adalah kabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalanya hadis itu sahih, hasan, dan kadang-kadang dhaif. Al-Qur‟an dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah dan lafalnya dari Rasulullah SAW. Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna, tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis, diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja. Membaca al-Quran merupakan ibadah, karena itu ia dibaca dalam shalat. "Maka, bacalah apa yang mudah bagimu dalam al-Qur‟an itu." (Al-Muzamil: 20). Nilai ibadah membaca al-Quran juga terdapat dalam hadis, "Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan, kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (HR Tirmizi dari Ibnu Mas'ud). Adapun hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadis qudsi secara umum saja. Maka, membaca hadis qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca al-Qur‟an bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan.
BAB IX BENTUK-BENTUK DAN UNSUR-UNSUR HADITS A. Bentuk-bentuk Hadits Sebagaimana dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa hadits mencakup segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW. Oleh karena itu pada bahasan ini akan diuraikan tentang bentuk hadits qauli, fi‟li, taqriri, hammi dan ahwali 1. Hadits Qauli Yang dimaksud dengan hadits qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat beberapa maksud syara‟, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari‟ah, akhlaq 93
maupun yang lainnya. Di antara contoh hadits qauli ialah hadits tentang do‟a Rasulullah SAW. yang ditujukan kepada yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu. Hadits tersebut di antaranya :
“Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain, karena banyak orang berbicara mengenai fiqh padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang karenanya tidak akan timbul rasa dengki di hati seorang muslim, yaitu ikhlas beramal kepada Allah swt., saling menasehati dengan pihak penguasa dan patuh atau setia kepada jama‟ah. Karena sesungguhnya do‟a mereka akan membimbing dan menjaganya dari belakang”. Juga hadits tentang bacaan al Fatihah dalam shalat :
» “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca umul Qur‟an al Fatihah”.(H.R. alBukhari dan Muslim) 2. Hadits fi’li Yang dimaksud dengan hadits fi‟li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Seperti hadits tentang shalat dan haji. Contoh hadits fi‟li tentang shalat adalah sabda Rasulullah SAW.:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Juga hadits Rasulullah SAW. :
“Raulullah SAW. shalat di atas tunggangannya, kemana saja tunggangannya menghadap”. (H.R. Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad) 3. Hadits taqriri
94
Yang dimaksud hadits taqriri, ialah segala hadits yang berisi segala ketetapan Nabi saw. terhadap apa yang datang dari sahabat. Nabi saw. membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya. Di antara contoh hadits taqriri, ialah sikap Rasulullah saw. membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsirannya masing-masing sahabat terhadap sabdanya : “Janganlah seorang pun shalat „Asar kecuali nanti di Bani Quraidlah”. (H.R. alBukhari) Sebagian sahabat memahami larangan tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan shalat „Asar pada waktunya. Sedang segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan perlunya segera menuju Bani Qaraidlah dan jangan santai dalam peperangan, sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi saw. tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya. Selain dari bentuk-bentuk di atas, masih ada bentuk lainnya, yang berupa hadits hammi dan hadits ahwali. 4. Hadits hammi Yang dimaksud dengan hadits hammi adalah hadits yang berupa hasrat Nabi saw. belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 „Asyura. Dalam riwayat ibn Abbas, disebutkan sebagai berikut :
Ketika Rasulullah SAW. berpuasa pada hari „Asyura dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata : “Ya Rasulullah ! hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Rasulullah SAW. bersabda, Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang ke sembilan”. Nabi SAW. belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai bulan „Asyura. Menurut Imam Syafi‟i dan para pengikutnya, bahwa menjalankan hadits hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnahsunnah yang lainnya. 5. Hadits ahwali Yang dimaksud hadits ahwali ialah hadits yang berupa hal ihwal Nabi saw. yang menyangkut hal fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Tentang keadaan fisik Nabi saw., dalam beberapa hadits disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan 95
tidak pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh al Bara‟i dalam sebuah hadits riwayat Bukhari :
“Rasul saw. adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh.Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”(H.R. al-Bukhari). Pada hadits lain disebutkan :
“Berkata Anas bin Malik, aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna (yang halus) sehalus telapak tangan Nabi SAW. juga belum pernah mencium wewangian seharum Nabi SAW”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim) Mengenai sifat Rasul saw. dalam hadits dari ibn Umar riwayat Bukhari :
“Rasulullah saw. bukan termasuk orang yang melampui batas dan berkata kotor dan bahkan beliau bersabda, sebaik-baik kamu adalah sebaik akhlaqmu”. B. Unsur-unsur Hadits 1. Sanad Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin jama‟ah dan at-Tiby mengatakan bahwa sanad adalah : “berita tentang jalan matan”.(as-Suyuthi, : 4) Mahmud at-Thahan mendefinisikan: “Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits), yang menyampaikan kepada matan hadits”. Muhammad „Ajjaj al-Khathib memberikan definisi:
96
“Silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumber yang pertama”. Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti, al- isnad, almusnid dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama. Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal) dan mengangkat yang dimaksudkan disini, ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf u al hadits ila qa‟ilih atau azwu al hadits ila qa‟ilih). Menurut at Tiby, sebenarnya kata al-isnad dan as-sanad digunakan oleh para ahli hadits dengan pengertian yang sama. Kata al-musnad mempunyai beberapa arti. Bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang; Bisa berarti, kumpulan hadits yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanad secara lengkap, seperti musnad al-Firdaus; Bisa berarti, nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunan bersandarkan nama-nama para sahabat para perawi hadits, seperti kitab musnad Ahmad; Bisa juga berarti nama bagi hadits yang marfu‟ dan muttasil (hadits yang disandarkan Nabi saw. dan sanadnya bersambung). Sebenarnya dari tiga definisi sanad di atas tidak ada perbedaan secara substansial. Untuk lebih jelas pembahasan tentang sanad, kita ambil satu contoh hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
Telah diberitahukan kepadaku Muhammad ibn Mutsanna, ia berkata, Abdul Wahab ats-Tsaqafi telah mengabarkan kepadaku, ia berkata telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi SAW bersabda, ”Tiga perkara yang barangsiapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yaitu; Allah dan Rasulnya hendaknya lebih dicintai daripada selain keduanya; Kecintaan kepada seseorang tidak lain karena mencintai Allah semata-mata; dan keengganan kembali kepada kekufuran seperti keengganannya dicampakkan di neraka.” (H.R. al-Bukhari) Dari hadits di atas dapatlah dijelaskan: a. Matan haditsnya dimulai dengan kata-kata tsalatsun sampai ay-yuqdafa fin-nar. b. Hadits tersebut diterima al-Bukhari melalui rangkaian sanad: 1) Muhammad ibn Mutsanna (sanad pertama) 2) Abdul Wahhab ats-Tsaqafi (sanad kedua) 3) Ayyub (sanad ketiga) 4) Abi Qilabah (sanad keempat) 97
Anas r.a. (sanad kelima) Dapat dikatakan pula bahwa sabda Nabi SAW di atas disampaikan oleh : 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Anas r.a. (sebagai rawi pertama) Abu Qilabah (sebagai rawi kedua) Ayyub (sebagai rawi ketiga) Ats-Tsaqafi (sebagai rawi keempat) Muhammad ibn Mutsanna (rawi kelima) Al-Bukhari (mukharrij hadits)
Dalam ilmu hadits faedah mempelajari sanad adalah untuk menimbang, shahih tidaknya suatu hadits, atau bahkan menjadi dha‟if. Sekiranya salah seorang dalam sanad hadits tersebut ada yang fasik atau tertuduh dusta, maka haditsnya menjadi dha‟if, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum. 2. Matan Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti ma irtafa‟a min al-ardi (tanah yang meninggi), ada yang mengartikan kekerasan, kekuatan, kesangatan. Sedang menurut istilah menurut Mahmud Thahhan: “Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”. Muhammad „Ajjaj al-Khatib: “lafat-lafaz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”. Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (ghayah as sanad). Dari semua pengertian di atas, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi atau lafaz hadits itu sendiri. Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa matan adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang dengannya diperoleh sanad terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rasulullah, sahabat atau tabi‟in. baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi SAW, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi SAW. misalnya:
. 98
Kami shalat bersama-sama Rasulullah SAW pada waktu udara sangat panas, apabila salah seorang di antara kami tidak sanggup menekankah dahinya di atas tanah, maka ia bentangkan pakaiannya, lantas sujud di atasnya. (H.R.Muslim) Perbuatan sahabat yang menejaskan perbuatan salah seorang dari mereka yang tidak disanggah ole Nabi SAW., yaitu mulai dari kata kunna sampai fasajada „alaihi disebut dengan matan hadits. 3. Rawi Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits). Orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab, apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jama‟nya ruwah, dan perbuatannya menyampaikan hadits disebut merawi (meriwayatkan) hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang disebut dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad, terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan atau menghimpun hadits). Untuk lebih jelas dapat membedakan antara sanad, rawi dan matan, sebagaima yang diuraikan di atas, ada baiknya melihat contoh hadits di bawah ini:
“Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ma‟mur bin Rabi‟i al Qaisi, katanya : Telah menceritakan kepaku Abu Hisyam al Muhzumi dari Abu al Wahid, yaitu ibn Ziyad, katanya : Telah menceritakan kepaku Utsman bin Hakim, katanya : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin al Munkadir, dari „Amran, dari Utsman bin Affan ra., ia berkata : Barang siapa yang berwudlu dengan sempurna (sebaik-baiknya wudlu) keluarlah dosa-dosanya dari seluruh badannya bahkan dari bahwa kukunya” (H.R. Muslim) Dari Muhammad bin Ma‟mar bin Rib‟i al-Qaisi sampai dengan Utsman bin „Affan ra. adalah sanad dari hadits tersebut. Mulai kata man tawadda‟a sampai dengan kata tahta azfarih, adalah mattannya. Sedang Imam Muslim yang dicatat di ujung hadits adalah perawinya, yang juga disebut mudawin
99
BAB X SEJARAH PERIWAYATAN DAN PEMBUKUAN AL-HADITS Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi‟in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H. Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut 100
berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam. A. Sejarah Perkembangan Hadits Pra Kodifikasi 1. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah) a. Masa Penyebaran Hadits Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukumhukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima. Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui. Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,
"
"
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!” (H.R. al-Bukhari) Dalam hadits lain disebutkan,
"
"
“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku) (H.R. al-Bukhari). Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum 101
agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara– saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada‟ dan wafatnya Rasulullah. Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah: a) Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya. b) Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan. c) Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya. (Zuhri, 2003:31) b. Penulisan Hadits dan Pelarangannya Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran. Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa‟id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa‟id al-Khudri yang berbunyi, "
" “Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim). Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits. Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah : a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam. b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela‟ah. c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.(Hasan Sulaiaman Abbas Alwi, 1995:16) Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. 102
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"
"
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.” (H.R. Ahmad) 2. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin) a. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits (
).
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik (Imam Malik, t.th:553). Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya." (‟Ajjaj al-Khatib, 1963:96). Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua." (Ibn Sa‟ad, juz I,135) b. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar 103
pada zaman Abu Bakar dan Umar („Ajjaj al-Khatib 1989): 97-98). Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan
. Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal. Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya. Situasi Periwayatan Hadits Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada dua tipologi periwayatan: a) Dengan menggunakan lafal hadits asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah. b) Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi. Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
3. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar) Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya 104
hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah. Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahju alBalaghah, "Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu" Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu". Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah: a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits. Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya : a. Madinah - Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam - Salim ibn Abdullah ibn Umar - Sulaiman ibn Yassar b. Makkah - Ikrimah - Muhammad ibn Muslim - Abu Zubayr c. Kufah - Ibrahim an-Nakha'i - Alqamah d. Bashrah - Muhammad ibn Sirin - Qotadah e. Syam - Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits) f. Mesir -Yazid ibn Habib g. Yaman - Thaus ibn Kaisan al-Yamani 105
B. Sejarah Perkembangan Hadits pada era Kodifikasi Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya. Abu Na‟im menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan “perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan”. AlBukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: “Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw”. (Shahih al-Bukhari, Juz I. hal 29) Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada „Amrah binti Abd alRahman bin Sa‟d bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq. Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin alHadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits). Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumbersumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits. Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah sengaja melakukan kecerobohan dalam hal ini untuk menciptakan keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Tetapi amat disayangkan banyak penulis kontemporer termasuk dari kalangan Muslim telah menjadikan karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukannya. Sungguh aneh karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah ditelan mentah-mentah oleh kelompok liberal Islam untuk menghantam karya-karya ulama terdahulu tentang hadits. Dalam bukunya “Studies In Early Hadith Literature” yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya”, M M. Azami telah mengurakian secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah. Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat 106
hingga masa tabi‟in kecil dan tabi‟ttabi‟in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu‟aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu‟aib ini berlanjut ke tangan putra dari Syu‟aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu‟aib. Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitabkitab jami‟ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa ta‟dil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari. Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa itu adalah : (1) Mushannaf oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H) (2) Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa'ad (175-H) (3) Al-Muwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H). (4) Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H) (5) Al-Musnad oleh asy-Syafi'i (204-H) (6) Jami al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan'ani (211-H) C. Sejarah Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi 1. Periode Penyaringan Hadits (abad ke-III H) Yaitu dimana tidak ditulis kecuali hadits-hadits nabi SAW saja, sehingga mulai disusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa, seperti musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Walaupun demikian, masih tercampur dengan hadits-hadits dha'if bahkan maudhu', sehingga pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan abad keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits-hadits yang shahih. Diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah : a. Mushannaf Said bin Manshur (227-H) b. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235-H) c. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (241-H) d. Shahih al-Bukhari (251-H) e. Shahih Muslim (261-H) f. Sunan Abu Daud (273-H) g. Sunan Ibnu Majah (273-H) h. Sunan At-Tirmidzi (279-H) i. Sunan An-Nasa'i (303-H) j. Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H) k. Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H) 107
2. Periode Penyempurnaan (Abad-IV H) Yaitu pemisahan antara ulama mutaqaddimin (salaf) yang metode mereka adalah berusaha sendiri dalam meneliti perawi, menghafal hadits sendiri serta menyelidiki sendiri sampai pada tingkat sahabat dan tabi'in. Sedangkan ulama muta'akhkhirin (khalaf) ciri mereka dalam menyusun karyanya adalah dengan menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh salaf, menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya (memberikan ulasan tentang isi hadits-hadits tersebut). Kitab-kitab hadits yang termasyhur pada abad ini diantaranya adalah : a. Shahih Ibnu Khuzaimah (311-H) b. Shahih Abu Awwanah (316-H) c. Shahih Ibnu Hibban (354-H) d. Mu'jamul Kabir, Ausath dan Shaghir, oleh At-Thabrani (360-H) e. Sunan Daraquthni (385-H) 3. Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab Hadits (Abad-VH) Yaitu dengan mengklasifikasikan hadits, cara pengumpulannya, kandungannya dan tema-tema yang sama. Disamping itu juga mensyarah dan meringkas kitab-kitab hadits sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitabkitab hadits hukum, seperti : a. Sunanul Kubra, al-Baihaqi (384-458 H). b. Muntaqal Akhbar, Majduddin al-Harrani (652-H). c. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H). Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti: a. At-Targhib wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H). b. Riyadhus Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H).
BAB XI KEDUDUKAN DAN FUNGSI AL-HADITS DALAM ISLAM A. Kedudukan Hadits Dalam Islam Al-Hadits adalah salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua -setelah Al-Qur`an - dari sumber-sumber hukum Islam. Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi di masyarakat, tidak ditemukan dasar hukumnya dalam al-Qur`an, maka hakim ataupun mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi SAW.. Dalam praktek banyak sekali ditemukan masalah yang tidak dimuat dalam al-Qur`an dan hanya didapatkan ketentuannya di dalam Hadits Nabi. Hal ini tak terlalu sulit dipahami, sebab al-Qur`an adalah Kitab Allah yang hanya 108
memuat ketentuan-ketentuan umum, prinsip-prinsip dasar dan garis-garis besar masalah. Sedangkan rinciannya dituangkan di dalam hadits Nabi, dan memang harus demikian. Sebab jika tidak, sulit dibayangkan al-Qur`an akan menjadi setebal apa. Karena ia harus memuat bermacam-macam masalah kecil dan parsial yang tak ada batasnya. Kemudian masalah yang dihadapi umat manusia tak pernah berhenti dan zaman senantiasa berkembang. Masalah yang aktual sepuluh tahun silam, belum tentu terdengar di zaman ini. Sekiranya al-Qur`an memuat masalah-masalah kecil dan bersifat lokal, maka penyajiannnya akan terkesan kurang sejalan dengan roda perputaran zaman. Padahal al-Qur`an diturunkan Allah SWT untuk menjadi pegangan umat manusia hingga akhir zaman, dan konsepnya senantiasa relevan untuk setiap kurun waktu dan tempat. Oleh karena itu, al-Qur`an tidak memuat cara pembuatan pesawat terbang, teknik merakit komputer, rumus-rumus matematika. Sebab masalah-masalah sejenis ini sifatnya temporer dan berkembang terus menerus sesuai dengan tingkat kemajuan peradaban umat manusia. Akan tetapi al-Qur`an cukup menginformasikan masalah-masalah general yang bersifat mutlak dan tak mengalami perubahan. al-Qur`an juga memberikan dorongan kuat untuk menggunakan akal pikiran manusia ke arah yang bermanfaat. Nah, di sinilah letaknya salah satu kemukjizatan al-Qur‟an. Masalah-masalah agama yang tidak dirinci al-Qur`an itu pada umumnya dapat ditemukan di dalam Hadits Nabi. Umpamanya aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji yang merupakan rukun Islam, tidak dijelaskan rinciannya dalam alQur`an, akan tetapi dijabarkan secara detail oleh hadits Nabi SAW. Demikian pula aturan mu‟amalat dan transaksi, pelaksanaan hukuman pidana, aturan moral dan lainnya. Dari sini dapat ditangkap betapa urgensinya hadits dalam kehidupan berIslam ini. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam didapati di dalam hadits. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, hadis adalah sumber ajaran Islam yang kedua, setelah Al-Qur‟an. Tanpa hadis, Islam tidak akan tampak ajarannya, bahkan seseorang tersesat, karena tidak mengenal ajarannya secara utuh. Hadis mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam agama mengiringi kedudukan Al-Qur‟an, karena kebanyakan ayat-ayat Al-Qur‟an mempunyai pengertian yang masih mujmal (global), mutlaq (absolut/tak terbatas) dan „amm (umum). Kemudian datang ucapan dan perbuatan Rasulullah s.a.w. yang menjadi mubayyin (penjelas), muqayyid (pembatas) dan mukhashshis (pentakhsis) (Ahmad Amin, 1975: 208). Adapun mengenai kedudukan Rasulullah s.a.w. dan sunnah beliau dalam Islam telah disebutkan dalam beberapa ayat A1-Qur‟an, di antaranya: 1. Menjelaskan Kitabullah (Abbas Bayyuni,t.th.: 4) Allah s.w.t. berfirman dalam Al-Qur‟an Surat an-Nahl ayat 44:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. an-Nahl (16): 44) 109
Di antara tugas Rasulullah s.a.w., beliau menjelaskan --baik dengan perkataan maupun perbuatan-- hal-hal yang masih global dan sebagainya dalam Al-Qur'an. Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah SWT. Tentu saja penjelasan terhadap isi Al-Qur‟an itu bukanlah sekedar Qira‟ah Al-Qur‟an (membaca Al-Qur‟an). Banyak ayat-ayat Al-Qur‟an yang memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., karenanya Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah terhadap al-Qur‟an juga tidak mungkin, karena Al-Qur‟an sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena, itu, menolak penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur‟an sama saja artinya dengan menolak Al-Qur‟an. 2. Rasulullah s.a.w. merupakan teladan baik yang wajib dicontoh oleh setiap muslim (Mustafa al-„Azami, 1994:27). Allah s.w.t. berfirman dalam Surat al-Ahzab ayat 21
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab (33): 21) 3. Rasulullah s.a.w. wajib ditaati (Ibid.,28). Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) (Q.S. an-Anfal (8): 20)
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S. an-Nisa‟ (4): 80) Ayat-ayat tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW diutus hanyalah agar dipatuhi perintah-perintahNya dengan izin Allah, bukan sekedar tablig (menyampaikan) atau memberikan kepuasan. Manusia belum dapat dikatakan beriman apabila belum mau menerima sistem dan hukum Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah sewaktu masih hidup; dan sesudah beliau wafat, menerima sistem dan hukum Allah itu dengan menjadikan Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum dan sistem kehidupan. Rasulullah SAW tidaklah sekedar penasihat yang saran-sarannya boleh diambil atau tidak. Sebab agama Islam merupakan pandangan hidup (way of life) 110
yang nyata dengan segala bentuk dan aturannya, baik yang berupa nilai-nilai, akhlak, adab, ibadah, dan lain-lain. Pemberlakuan hukum yang dilakukan Rasulullah tidaklah semata-mata masalah pribadi, tetapi hal itu merupakan penerapan sistem dan hukum Allah. Seandainya hal itu merupakan masalah pribadi, niscaya sepeninggal Rasulullah hukum Allah dan sunnah RasulNya tidak mempunyai arti lagi. Abu Bakr RA juga pernah memerangi orang-orang hanya karena mereka tidak mematuhi Allah dan RasulNya dalam masalah zakah. 4. Rasulullah SAW Mempunyai Wewenang Untuk Membuat Suatu Aturan (Syari‟ah).(Abbas, :9) Allah SWT berfirman:
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(Q.S. al-A‟raf (7): 157-158) Ayat-ayat ini berisi perintah untuk beriman kepada Allah dan RasulNya, dengan konsekuensi mematuhi perintah-perintah, aturan-aturan dan sunnah-sunnahnya. Dan manusia tidak mungkin memperoleh petunjuk dari 111
ajaran-ajaran Rasul tanpa mengikuti ajaran-ajaran itu sendiri. Sekedar percaya atau beriman dengan hati saja tanpa dibarengi dengan pengamalan yang sempurna terhadap aturan-aturan dan sunnah-sunnah Rasul, hal itu tidaklah sempurna. Ayat-ayat di atas juga mengandung penjelasan tentang wewenang dan kekuasaan Nabi untuk membuat suatu aturan hukum. Dan ini merupakan anugerah Allah kepada beliau. Allah berfirman
... dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (Q.S. al-A‟raf:157) Dalam ayat ini Allah melimpahkan wewenang untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu kepada Nabi. Karenanya tidak ada perbedaan antara hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah dengan hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Nabi. Keduanya wajib ditaati. Oleh karena itu Allah berfirman:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.S. al-Hasyr (59): 7). Sejalan dengan penjelasan di atas, ada ayat lain yang menunjukkan bahwa sumber, syari'at Islam --baik Al-Qur‟an maupun sunnah-- adalah satu, yaitu wahyu dari Allah SWT. Ayat tersebut adalah:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. an-Najm (53): 3-4) Dari keterangan-keterangan dalam ayat-ayat tersebut di atas jelaslah bahwa mengamalkan Al-Qur‟an saja dan meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu Al-Imam as-Syafi‟i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang 112
diwajibkan oleh Allah, maka berarti ia menerima sunnah-sunnah RasulNya serta menerima hukum-hukumnya. Begitu pula orang yang menerima sunnah Rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah (asy-Syafi‟I, 1969: 33). Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa taat kepada Rasulullah SAW adalah suatu kewajiban, sebab taat kepada Allah SWT juga disyaratkan taat kepada Rasul. Dan setelah Rasul wafat ketaatan itu diwujudkan dalam menerima dan mengikuti sunnah-sunnahnya. Oleh karena itu ummat Islam sejak periode-periode pertama secara praktis telah sepakat untuk menerima dan memakai sunnah-sunnah Rasul. Sebagai perwujudannya, hukum-hukum yang mereka tetapkan sejak zaman Nabi tidak pernah menyimpang dari ketentuan-ketentuan itu. B. Fungsi al-Hadits Terhadap al-Qur’an Di atas telah dijelaskan, bahwa di antara kedudukan hadits dalam Islam adalah menjelaskan kitabullah (al-Qur‟an). Sebagai penjelas, hadits memiliki bermacam-macam fungsi. Imam Malik bin Anas menyebutkan ada lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan at-tabst, bayan attasyri‟. Sementara itu, Imam Syafi‟I juga menyebutkan ada lima fungsi, yaitu sebagai bayan at-tafshil, bayan takhshis, bayan at-ta‟yin, bayan at-tasyri‟, dan bayan an-naskh. Dalam kitab ar-Risalah, asy-Syafi‟I menambahkan satu fungsi lagi, yaitu bayan alisyarah. Sedangkan Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi saja, yaitu bayan at-ta‟kid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyri‟, dan bayan at-takhshih. Berikut pejelasan masing-masing: 1. Bayan at-Ta’kid Bayan at-ta‟kid disebut juga dengan bayan at-taqrir atau bayan al-Isbat. Yang dimaksud dengan bayan at-ta‟kid ialah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalam al-Qur‟an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur‟an. Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn „Umar, sebagai berikut:
إِذَا زَأَيْتًُُُِٕ فَصُٕيُٕا َٔإِذَا زَأَيْتًُُُِٕ فَأَ ْفطِسُٔا “Apabila kalian melihat (ru‟yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru‟yah) itu maka berbukalah” (H.R. Muslim) Hadits ini men-taqrir Q.S. al-Baqarah (2): 185:
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Contoh lain, hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah :
ُالة َص َ ُ « الَ تُقْبَم- صهى اهلل عهيّ ٔسهى- َِّقَبلَ َزسُٕلُ انه َيٍَْ أَحْدَثَ حَتَى يَ َتَٕضَأ Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum berwudhu”. (H.R. al-Bukhari). 113
Hadits ini men-taqrir Q.S. al-Maidah (5): 6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat. Ayat tersebut adalah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, Juga hadits tentang dasar-dasar Islam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn ‟Umar:
سالَ ُو ْ إل ِ « بُُِىَ ا- صهى اهلل عهيّ ٔسهى- َِّقَبلَ قَبلَ َزسُٕلُ انه ، َِّس شََٓب َدةِ أٌَْ الَ إِنََّ إِالَ انهَ ُّ َٔأٌََ يُحًََدًا َزسُٕلُ انه ٍ ًْ َعَهَى خ » ٌَصْٕوِ زَيَضَب َ َٔ ، ّج ِ َ َٔانْح، َٔإِيتَبءِ انصَكَب ِة، ال ِة َص َ َٔإِقَبوِ ان Rasulullah SAW bersabda, ”Islam dibangun atas lima dasar, yaitu mengucapkan kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan”. (H.R. al-Bukhari). Hadits tersebut men-taqrir Q.S. al-Hujurat: 15; Q.S. an-Nur: 56; Q.S. alBaqarah (2): 183 dan 185 dan Q.S. Ali Imran: 97.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (Q.S. al-Hujurah (49): 15)
Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q.S. an-Nur (24): 56).
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. al-Baqarah (2): 183) 114
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. al-Baqarah (2): 185).
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Q.S. Ali Imran (3): 97). Menurut sebagian ulama, bayan ta‟kid atau bayan taqrir ini disebut juga dengan bayan al-muwafiq li an-nashi al-Kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadits-hadits itu sesuai dengan nash al-Qur‟an. 2. Bayan at-Tafsir Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang masih mujmal (global), memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang masih mutlaq, dan memberikan takhshih (penentuan khusus) terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang masih umum. Contoh ayat-ayat yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkan jual-beli, pernikahan, qishah, hudud, dan sebagainya. Ayat-ayat tentang masalah tersebut masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, ataupun halanganhalangannya. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadits-hadits berikut:
َٔصَهُٕا كًََب زَأَيْتًَُُِٕى أُصَهِى 115
Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini menerangkan tata cara menjalankan shalat, sebagaimana Q.S. alBaqarah (2): 43:
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' Contah hadits yang men-taqyid kan ayat-ayat al-Qur‟an yang bersifat mutlaq, adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:
ِأُتِيَ انَُبِيُ صَهَى انهَُّ عَهَيْ ِّ َٔسَهَىَ ِبسَب ِزقٍ فَ َقطَعَ يَ َدُِ يٍِْ يَفْصِمِ انْكَف Rasulullah didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan percuri tersebut dari pergelangan tangan.
Hadits ini mentaqyid Q.S. al-Ma‟idah: 38:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Contoh hadits yang berfungsi men-takhshih keumumman ayat-ayat alQur‟an, seperti sabda Rasulullah SAW: Kami para Nabi tidak meninggalkan harta warisan. Dan sabda Rasulullah SAW: Pembunuh tidak berhak menerima warisan Kedua hadits tersebut men-takhsis keumuman firman Allah Q.S. an-Nisa‟ (4): 11:
116
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. 3. Bayan at-Tasyri’ Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri‟ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur‟an. Bayan ini juga disebut juga dengan bayan zaid „ala al-Kitab al-Karim. Hadits Rasulullah SAW. dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi‟li maupun taqriri) berusaha untuk menunjukkan kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya. Banyak hadits Rasulullah SAW. yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya adalah hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dan bibinya), hokum syuf‟ah, hokum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hokum tentang hak waris seorang anak. Sebuah contoh hadits Nabi SAW tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
. Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satukat (sha‟) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka maupun hamba, laki-laki ataupun perempaun. (H.R. Muslim). Hadits yang termasuk bayan at-tasyri‟ ini wajib diamalkan sebagaimana halnya hadits-hadits yang lain. Ibn Qayyim berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah yang berupa tambahan terhadap al-Qur‟an harus ditaati dan tidak boleh ditolak atau mengingkarinya. Ini bukanlah sikap Rasulullah mendahului al-Qur‟an, melainkan semata-mata karena perintahnya. Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas telah disepakati oleh para ulama, namun untuk bayan yang ketiga masih sedikit dipersoalkan. Sementara itu, untuk bayan lainnya, seperti bayan an-nasakh, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi al-Qur‟an sebagai nasikh dan ada yang menolaknya. 4. Bayan an-Nasakh Kata an-nasakh dari segi bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-taqyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikannya. Hal ini juga terjadi di kalangan ulama mutaqaddimin maupun mutaakhirin. Menurut ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara‟ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada karena datangnya kemudian. 117
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian dari al-Qur‟an, dalam hal ini, dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan al-Qur‟an. Demikianlah menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits yang mutawatir dan masyhur. Sedangkan terhadap hadits ahad , ia menolaknya. Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits: Tidak ada wasiat bagi ahli waris Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 180:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
118
BAB XII ‘ULUMUL HADITS „Ulumul Hadits secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Kata 'ulum adalah bentuk jamak dari kata 'ilm (ilmu). Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk 'ulum al-hadis, seperti IbnuSalah (ahli hadis, w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya 'Ulum al-hadis, dan ada juga yang menggunakan bentuk 'ilm al-hadis, seperti Jalaluddin as-Suyuti dalam mukadimah kitab hadisnya Tadrib ar-Rawi. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW yang banyak macam dan cabangnya. Hakim an-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/1014M), misalnya,dalam kitabnya Ma'rifah 'Ulum al-hadis mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri. Hasbi ash-Shiddieqy, tokoh hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi SAW. Peryataannya ini selain bertolak dari makna lugawi- (bahasa) juga mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu yang bersangkut- paut dengan hadis Nabi SAW itu banyak macam dan cabangnya. Kajian llmu Hadis, secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmuilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah ( 'ilm al-hadis ar-riwayah) dan ilmu hadis dirayah ( 'ilm al-hadis ad-dirayah). A. Ilmu Hadits Riwayah Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW. Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi: 1) cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain; 2) cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak mem-bicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya. Ilmu Hadis Riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan 119
pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah alAhzab (33) ayat 21:
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M-102 H /720 M). Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW. Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua itu mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabiin lain atau tabi' at- tabi'in (generasi sesudah tabiin). Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh az-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besarbesaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, dan ulama- ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing. Dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga musthlahul al-hadis (ilmu peristilahan hadis) atau 'ilm ushul al-hadis (ilmu dasar hadis). B. Ilmu Hadits Dirayah 120
Ilmu Hadis Dirayah adalah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut. 1) Ittishal as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya ( wahm) atau samar . 2) Tsiqah as-sanad, yakni sifat 'adl (adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat. 3) Syazz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnva. 4) 'Illah, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syazz dan 'illah adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam. Kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd almatn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah SAW. Pokok pembahasannyameliputi: 1) Rakakah al-lafz yakni kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi 2) Fasad al-ma 'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan dengan al-hiss (indera) dan akal, bertentangan dengan nas al-Qur'an, dan bertentangan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan 3) kata-kata garib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal. Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbul(diterima) dan mardud (ditolak)-nya suatu hadis. Dalam perkembangannya, hadis Nabi SAW telah dikacaukan dengan munculnya hadishadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadis dirayah dapat diteliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah SAW, shahih, dhaif, dan palsu. Secara praktis, ilmu hadis dirayah juga sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak periode Rasulullah SAW, paling tidak dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan 121
tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit. Pada periode Rasulullah SAW, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal baka1 ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, maka ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengkonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut. Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar as-Siddiq (573-634; khalifah pertama dari al-khulafa' ar- rasyidun (Empat Khalifah Besar)), misalnya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Umar bin al-Khattab (581-644; khalifah kedua dari al-Khulafa ' ar-Rasyidun). Bahkan Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; khalifah terakhir dari al-Khulafa' ar-Rasyidun) menetapkan persyaratan tersendiri. la tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar as-Siddiq. Semua yang dilakukan mereka bertujuan untuk memelihara kemumian hadis-hadis Rasulullah SAW. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadis adalah Anas bin Malik (w. 95 H), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubadah bin as-Samit. Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H), al-Hasan al-Basri (21-110 H), Amir bin Syurahbil asy-Sya'bi (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w.110H). Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat, Aisyah binti Abu Bakar RA, misalnya, pernah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H) dengan matan berbunyi:
Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya mayat diadzab disebabkan oleh ratapan sebagian keluarganya”. (H.R. al-Bukhari) ‟Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah bersalah dalam menyampaikan hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika 122
Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya. Melihat hal tersebut Rasulullah SAW bersabda: Mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya. (H.R. al-Bukhari) Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah al-Qur'an bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah karena maknanya bertentangan dengan al-Qur'an. Ia mengutip al-Qur‟an surah al-An'am (6) ayat 164 :
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." Sejumlah sahabat lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), dan Abdullah bin Abbas. Pada periode tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang mereka hadapi. Demikian pula di kalangan ulama- ulama hadis selanjutnya. Pada penghujung abad ke-2 H barulah penelitian/ kritik hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoretis di samping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas. Imam asy-Syafi'i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karya monumentalnya arRisalah (kitab usul fikih) dan al- Umm (kitab fikih). Hanya saja teori ilmu hadisnya tersebut tidak terhimpun dalam satu kitab khusus melainkan tersebar dalam pembahasan-pembahasannya dalam dua kitab tersebut. Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis al-Fashil bain ar-Rawi wa al- wa 'iy (Ahli Hadis yang memisahkan antara rawi dan pemberi nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma'rifah 'U1um al-Hadis (Makrifat Ilmu Hadis). Meskipun demikian, kitab ini masih memiliki kekurangan. Kemudian Abu Nu'aim al-Isfahani (w. 430 H/1038 M), muhaddis (ahli hadis) dari Astalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya, al-Mustakhraj 'Ala al-hakim. Setelah itu muncul Abu Bakr Ahmad alKhatib al-Bagdadi (392 H/1002 M-463 H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni al-Kifayah fI 'ilm ar-Riwayah dan al-Jami' li Adab ar-Rawi wa as-Sami'. 123
Selain itu, al-Bagdadi juga menulis sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadis. Menurut al-Hafiz Abu Bakar bin Nuqtah, ulama hadis kontemporer dari Mesir, ulama yang menulis ilmu hadis setelah al-Bagdadi pada dasamya berutang budi kepada karya-karya yang ditinggalkannya. Kitab-kitab ulumul hadis yang terkenal pada periode berikutnya antara lain 'Ulum al-Hadits karya Abu Amar Usman bin Shalah atau Ibnu Salah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M). Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis syarah (ulasan)-nya. Misalnya, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Ifsah bi Takmil an- Nakt 'ala Ibn Sallah, Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Irsyad dan at- Taqrib, dan Ibnu Kasir (700 H/1300 M-774 H/1373 M) dalam kitabnya Ikhtisar 'Ulum al-hadis. Kitab lainnya yang cukup terkenal di antaranya ialah Tadrib ar-Rawi oleh Jalaluddin as-Suyuti, Taudih al-Afkar oleh Muhammad bin Isma'il al-Kahlani asSan'ani (1099 H/1688 M-1182 H/1772 M) dan Qawa 'id at- Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa'id bin Qasim al-Qasimi (12831332 H). Di samping kitab ulumul hadis yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam. Ilmu hadis dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Ilmu Rijal al-Hadits 'Ilm rijal al-hadis, yakni ilmu yang mengkaji keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun tabi' at- tabi'in, dan generasi sesudahnya. Bagian dari 'ilm rijal al-hadis ini adalah 'ilm tarikh rijal alhadis. Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya. Di antara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini ialah al-Isti'ab fi Ma'rifah al- Ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), al-Isabah fi Tamyiz asShahabah dan Tahdzib at- Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, serta Tahdzib alKamal karya Abul Hajjaj Yusuf bin az-Zakki al-Mizzi (w. 742 H). 2. Ilmu al-Jarh wa at-Ta‟dil 'Ilm al-jarh wa at-ta'dil, yakni ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Muhammad Ajaj al-Khatib, ahli hadis kontemporer dari Suriah, mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para periwayat masing-masing ke dalam enam tingkatan dan setiap tingkatan dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu. Untuk sifat-sifat terpuji digunakan istilah autsaq an-nas (orang yang paling dipercaya, baik kepribadian maupun hafalannya), la yus'al 'anhu (tidak perlu dipertanyakan lagi), tsiqah-tsiqah (tepercaya kuat), tsabat (kokoh), la ba'sa bih (tidak masalah) dan laisa bi ba'id min as- shawwab (tidak jauh dari kebenaran). Untuk sifatsifat tercela digunakan istilah akdzab an-nas (manusia paling pendusta), muttaham 124
kadzib (suka berdusta), muttaham bi al-kadzib (dituduh berdusta). la yuktab hadisuh (tidak perlu ditulis hadisnya), la yuhtajj bih (tidak dapat dijadikan hujah), dan fihi maqal (dipertanyakan). Untuk periwayat yang memiliki sifat terpuji hadisnya dapat diterima dengan peringkat kehujahan sesuai dengan peringkat sifat terpuji yang dimilikinya. Sebaliknya, periwayat yang memiliki sifat tercela hadisnya ditolak dengan peringkat penolakan sesuai dengan peringkat sifat jelek yang dimilikinya. Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini antara lain al-Jarh wa at- Ta dil karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 328 H) dan al-Jarh wa at-Ta'dil karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa 'id bin Qasim al-Qasimi. 3. ‟Ilmu ‟Ilal al-Hadits 'Ilm 'Ilal al-Hadits, yakni ilmu yang membahas perihal cacat tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat menjatuhkan nilai hadits yang secara lahir tampak shahih. Misalnya, hadits yang tampak muttashil (hadis yang sanadnya menyambung sampai kepada Nabi SAW atau sahabat) setelah diteliti lebih jauh ternyata munqati' (hadis yang salah seorang periwayatnya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada periwayat yang di tengah atau di akhir) .Untuk dapat mempelajari cacat tersembunyi ini diperlukan penguasaan ilmu 'ilm 'ilal al-hadis secara mendalam karena masalah yang menjadi objek kajiannya lebih rumit. Kitab-kitab terkenal di cabang ini di antaranya 'Ilal al-Hadis oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi, al- 'Ilal oleh Imam at-Tirmizi, dan al- 'Ilal al-Mutananiyah fi alAhadis al-Wahiyah oleh Ibnu al-Jauzi (510-97 H). 4. Ilmu Gharib al-Hadits Ilmu Gharib al-Hadits, yakni ilmu yang membahas masalah kata atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sasteranya yang tinggi, maupun karena sebab yang lain. 'Ilm gharib al-hadis ini mempunyai arti penting dalam memahami maksud hadis dengan baik dan tepat karena sering kali suatu lafal tidak dapat dipahami sesuai dengan maknanya yang umum dikenal (makna lahiriah) sehingga harus dipahami dengan makna tersendiri agar maksud yang dituju oleh hadis tersebut dapat diungkap dengan baik dan tepat. Ilmu inilah yang mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan makna yang tepat tersebut. Ulama perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin Mussana at- Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu al-Hasan an-Nadr bin Syunail al-Mazini (w. 203 H). Keduanya telah menulis kitab tentang gharib al-hadis. Namun, Muhammad Adib Salih (ahli hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum terdapat di dalamnya. Kitab yang terkenal ialah al-Fa'iq fi Gharib al-Hadits karya Abu Kasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari dan an-Nihayah fi Gharib al-Hadits karya Majduddin Abu as-Sa 'adah al-Mubarak bin Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Asir (544-606H). 5. Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits 125
'Ilm Asbab al-Wurud al-Hadis, yakni ilmu yang membahas sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal tersebut adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu Rasulullah SAW memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa peristiwa yang disaksikan atau dialami sendiri oleh Rasulullah SAW bersama sahabatnya, kemudian beliau menjelaskan hukumnya. Hadis-hadis yang mempunyai asbab al- wurud ini harus dipahami sesuai dengan keterikatannya dengan sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Ilmu ini bertujuan mengantarkan seseorang untuk dapat memahami hadis sesuai konteksnya. Ulama yang dipandang sebagai perintis dalam bidang ilmu ini adalah Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari (380-458 H), dan kitab yang terkenal dalam bidang ini ialah al-Bayan wa at- Ta 'rif fi Asbab Wurud al-Hadits asySyarif karya Syarib Ibrahim Muhammad bin Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi adDimasyqi yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Hamzah ( 1054 -1112 H). 6. Ilmu Mukhtalif al-Hadits 'IIm Mukhtalif al-Hadits, yakni ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara lahir tampak saling bertentangan. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk dapat menyelami makna filosofis suatu hadis, karena pada tingkat makna filosofis tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah SAW benar-benar bertentangan satu sama lain. Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu hanyalah pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju. Ulama perintis di bidang ini ialah Imam asy-Syafi'i dengan karyanya Mukhtalif al-Hadis. Kemudian muncul pula Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah atau Ibnu Qutaibah (213 H/828 M-276 H/889 M) dengan kitabnya Ta'wi1 Mukhtalif al-Hadis dan Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad at- Thahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykil al-Hadits. 7. Ilmu Nasikh wa Mansukh al-Hadits 'Ilm Nasikh wa Mansukh al-Hadits, yakni ilmu yang membahas penyelesaian hadis-hadis yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ilmu ini mempelajari sejarah munculnya hadis-hadis yang bertentangan tersebut untuk mengetahui mana di antaranya yang lebih dahulu muncul dan yang kemudian. Penyelesaian dilakukan dengan kaidah an-nasikh, yaitu hadis yang datang kemudian membatalkan hadis yang datang lebih dahulu. Selanjutnya, hadis yang membatalkan dijadikan hujjah dan diamalkan, sedangkan hadis yang dibatalkan/dihapus ditinggalkan. Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nasikh al-Hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa alMansukh min al-Atsar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H). 8. Ilmu Takhrij al-Hadits
126
'Ilm Takhrij al-Hadits, yakni ilmu yang membahas kualitas hadis. Ilmu ini membicarakan cara yang harus ditempuh dalam mencari dan menemukan hadis di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya serta menerangkan kualitas sanad yang mendukung periwayatan hadis tersebut. Yang dimaksud dengan kitab hadis sumber asli adalah kitab hadis yang ditulis langsung oleh periwayat dengan memaparkan jalur sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-sittah (kitab hadis yang enam, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tarmizi Sunan an-Nasa'i dan Sunan Ibn Majah), al-Muwatta' oleh Imam Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi. 'Ilm Takhrij al-Hadis bertujuan mengantarkan seseorang untuk menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti nama-nama periwayat yang terdapat dalam jalur sanadnya. Kitab-kitab penting di bidang ini di antaranya Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah karya Abu Muhammad Abdul Hadi (ahli hadis kontemporer dari Mesir) dan Ushul at- Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud at- Tahhan (ahli hadis kontemporer dari Mesir).
127
BAB XIII KAEDAH KESAHIHAN HADITS Yang dimaksud dengan kaedah keabsahan hadits Nabawi di sini adalah kriteria-kriteria atau syarat-syarat dimana suatu hadits yang diriwayatkan dapat dikatakan rah berasal dari Nabi SAW atau dengan kata lain hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi yang didukung dengan kaedah-kaedah kesahihan yang telah ditetapkan oleh ahli kaedah-kaedah kesahihan yang telah ditetapkan oleh ahli hadits sebagai buktinya, karena menurut ahli hadits, hadits sahih adalah hadits yang sanad dan matannya sahih. Sehingga diketahui bagaimana status hadits-hadits yang tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut dan bagaimana suatu hadits sampai kepada derajat maudhu‟ (palsu). Sebagaimana diketahui, hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur‟an. Berbeda dengan A1-Qur‟an yang bersifat qath‟iy l-dilalah, hadits sebagian besarnya bersifat dzanniy ad-dilalah. Juga melihat perjalanan hadits yang cukup panjang dengan kondisi masing-masing yang melatar belakanginya, ternyata hadits Nabi mempunyai tingkat kualitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu para ulama hadits perlu mengadakan penelitian terhadap hadits Nabi. Adapun hadits yang menjadi obyek penelitian adalah hadits-hadit ahad. Untuk itu para ulama telah menciptakan berbagai kaedah-kaedah tersebut meliputi kaedah kesahihan sanad dan kesahihan matan. A. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits Yang dimaksud dengan kaedah kesahihan sanad hadis adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas sahih (Subhi Shalih, :249). Segala syarat atau kriteria itu meliputi seluruh bagian sanad. Ulama hadis dari kalangan mutaqaddimin, yakni ulama hadis sampai abad ketiga Hijriyah, belum memberikan definisi secara eksplisit tentang hadis sahih. Menurut al-Imam as-Syafi‟i, al-khahar al-khass (hadis ahad) tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila hadis itu: 1) diriwayatkan oleh perawi yang: a) dapat dipercaya pengamalan agamanya, b) dikenal sebagai orang jujur dalam menyampaikan berita, c) memahami dengan baik makna hadis bila terjadi perubahan lafalnya, e) mampu menyampaikan riwayat hadis bi al-lafziy, yakni tidak meriwayatkan hadis bi l-ma‟na, f) terpelihara hafalannya, bila dia meriwayatkan dengan hafalan, dan terpelihara catatannya, bila dia meriwayatkan melalui kitabnya, g) apabila hadis yang diriwayatkannya juga diriwayatkan oleh orang lain, maka bunyi hadis itu tidak berbeda, dan h) terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis). 2) Rangkaian sanadnya muttasil (bersambung) kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi (Syuhudi Isma‟il, 1998: 106-107). 128
Kalangan ulama mutaakhkhirin kemudian memberikan definisi hadis sahih secara jelas. Ibn Shalah mendefinisikan hadis sahih sebagai berikut: Adapun hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai pada akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat syuzuz (kejanggalan) dan „illah (cacat) (Ibid. 109). Pengertian hadis sahih tersebut telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian perawi dalam sanad harus bersambung dan seluruh perawinya harus adil dan dabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedangkan keterhindaran dari syuzuz dan „illah, selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad, juga merupakan kriteria untuk kesahihan matan hadis. 1. Ittishal as-Sanad (Sanad Bersambung) Unsur pertama dari kaedah kesahihan sanad hadis adalah ittishal as-sanad (bersambungnya sanad). Yang dimaksud dengan bersambungnya sanad adalah tiap-tiap perawi dalam sanad hadis dari perawi pertama, yaitu mukharrij sampai perawi terakhir menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu, yaitu sahabat (Ibid, 111). Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, para ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut: a. Mencatat semua nama perawi dalam sanad yang diteliti. b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing perawi: 1) Melalui kitab-kitab rijal l-hadis, seperti Tahzib l-Tahzib dan Lisan l-Mizan, karya Ibn Hajar l-„Asqalaniy, Mizan l-I‟tidal karya Al-Zahabiy, dan lain sebagainya. 2) Dengan maksud mengetahui: (1) Apakah setiap perawi dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dabit, serta tidak suka melakukan tadlis. (2) Apakah antara perawi dengan perawi terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan mu‟asharah (sezaman pada masa hidupnya dan guru-murid dalam periwayatan hadis. (3) Meneliti kata-kata yang menghubungka.n antara para perawi dengan perawi terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata itu (yang terpakai) berupa:
atau kata-kata
lainnya (Syuhudi Isma‟il, 1992: 84-85). Dalam hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas perawi sangat menentukan. Secara mullah keadaan perawi dapat dibagi kepada yang siqah dan yang tidak siqah. Dalam menyampaikan riwayat, perawi yang siqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya dapat dipercaya riwayatnya. Bagi perawi yang tidak siqah, perlu diteliti apakah letak ketidaksiqahannya berkaitan dengan kualitas pribadinya, yakni yang menyangkut keadilannya, ataukah berkaitan dengan kapasitas intelektualnya, yakni yang menyangkut kedhabitnnya. Yang jelas, riwayat dari perawi yang tidak siqah, dari segi akurasinya berada di bawah riwayat orang yang siqah. Di samping itu metode periwayatan yang dipakai oleh para perawi perlu juga diteliti, karena tadlis (penyembunyian cacat) masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh perawi yang siqah. Maka kesiqahan perawi dalam menggunakan lambang metode periwayatan perlu diteliti secara cermat (Ibid. 112). Jadi suatu sanad hadis barulah dapat dinyatakan bersambung apabila: 129
1) Seluruh perawi dalam sanad itu benar-benar siqah (adil dan dabit). 2) Antara masing perawi dengan perawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada‟ l-hadis. 2. Perawi Bersifat Adil Secara etimologi kata „adil berasal dari bahasa Arab al-„adl, merupakan mas}dar dari kata kerja „adala. Kata ini mempunyai arti antara lain keadilan, kelurusan (istiqamah), kejujuran (Munawir, 971-973). Para ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adil. Dalam memberikan pengertian istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan kriterianya kepada empat butir. Penghimpunan kriteria itu didasarkan pada kesamaan maksud, tetapi berbeda dalam ungkapan sebagai akibat dari perbedaan tinjauan. Empat butir kriteria sifat adil tersebut adalah: a. beragama Islam; b. mukallaf; c. melaksanakan ketentuan agama; dan d. memelihara muru‟ah (Syuhudi Isma‟il, 1993: 18). Secara umum, ulama hadits telah mengemukakan cara penetapan keadilan perawi berdasarkan: a. Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama hadits. Perawi yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya: Malik ibn Anas, Sufyan as-Sauri, dan lain sebagainya, tidak diragukan lagi keadilannya. b. Penilaian dari para kritikus perawi hadits. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang ada pada perawi hadits. c. Penerapan kaedah al-Jarh wa at-Ta‟dil. Cara ini ditempuh bila para kritikus perawi hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi perawi tertentu (Ibid. 117). Khusus mengenai sahabat Nabi, hampir seluruh ulama hadits menilai mereka bersifat adil. Karenanya dalam proses penilaian perawi hadits, pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh ulama hadits dari segi keadilannya. 3. Perawi Bersifat Dhabit. Arti dhabit secara literal ada beberapa macam, yakni dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang hafal dengan sempurna (Luwis Ma‟luf, 1973: 445). Sedangkan pengertdan dabit menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam menyatakannya. Namun berbagai pernyataan tentang arti dabit itu dapat digabungkan kepada butir-butir sebagai berikut: a. Perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya). b. Perawi itu hafal dengan baik riwayat yang telah diriwayatkannya (diterimanya). c. Perawi itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik, kapan saja dia menghendakinya dan sampai saat dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain (Syuhudi Isma‟il, 1993:120). Kedhabitan yang diterangkan di atas adalah kedhabitan yang oleh ulama hadits disebut dengan istilah dhabit shadri. Di samping itu ada lagi dhabit kitabi, yakni perawi yang memahami dengan baik tulisan hadits yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, apabila ada kesalahan tulisan dalam kitab dia mengetahui letak kesalahannya (Ibid., 122). Adapun cara penetapan kedhabitan seorang perawi, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut: a. Kedabitan perawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama. 130
b. Dapat diketahui berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang telah dikenal kedabitannya. Tingkat kesesuaian itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat redaksinya. c. Apabila seorang perawi sesekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai perawi yang dabit. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka perawi yang bersangkutan tidak lagi disebut perawi yang dabit (Ibid., 121). 4. Terhindar dari syudzudz (kejanggalan) Ulama berbeda pendapat tentang pengertian syadz dalam hadits. Dari pendapat-pendapat yang bebeda itu, ada tiga pendapat yang menonjol, yaitu bahwa yang dimaksud dengan hadits syadz adalah: a. Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang siqah tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang tsiqah juga. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam as-Syaf i‟i. b. Hadits yang dikemukakan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang-orang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Hakim an-Naisaburiy. c. Hadits yang sanadnya hanya satu buah raja, baik perawinya bersifat siqah maupun tidak siqah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ya‟la al-Khaliliy (alHakim an-Naisaburi, t.th.:2). Dari ketiga pendapat itu, maka pendapat as-Syafi‟i merupakan pendapat yang banyak diikuti oleh para ulama ahli hadits sampai saat ini. Berdasarkan pendapat as-Syafi‟iy tersebut, maka kemungkinan suatu sanad mengandung syudzuz bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Hadits yang hanya memiliki sebuah sanad saja tidak dikenal kemungkinan adanya syudzuz. Oleh karena itu membandingkan-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang mempunyai topik pembahasan sama merupakan satu langkah yang penting untuk mengetahui kemungkinan adanya syuzuz dalam suatu hadits. Hadits yang mengandung syudzuz, oleh para ulama hadits disebut sebagai hadits syadz, sedangkan lawan dari hadits syadz disebut hadits mahfudz. Penyebab utama terjadinya syadz dalam sanad hadits adalah karena perbeciaan tinghat kedabitan perawi, yakni ada yang memiliki tingkat tamm ad-dabt (dabit yang sempurna), ada pula yang memiliki tingkat khafif ad-dhabt (kurang sedikit kedhabitannya). Perbedaan tingkat kedabitan perawi akan mempengaruhi ketsiqahan perawi, karena --sebagaimana diketahui-- istilah tsiqah merupakan gabungan unsur adil dan dhabit. 5. Terhindar dari „Illah (cacat) Pengertian „Illah menurut istilah ilmu hadits --sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Shalah dan an-Nawawiy-- adalah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak shahih (Syuhudi Isma‟il, 1993:130). „Illah yang disebutkan dalam salah satu unsur kaedah kesahihan sanad hadits adalah 'illah yang untuk mengetahuinya diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab hadits yang bersangkutan tampak sanadnya berkualitas shahih. Cara menelitinya antara lain dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada 131
untuk matan yang isinya semakna. Ulama ahli kritik hadits mengakui bahwa penelitian „illah hadits ini sulit dilakukan. Karena penelitian „illah hadits itu sulit dilakukan, maka Ibn al-Madiniy dan Al-Khatib al-Bagdadiy memberi petunjuk bahwa untuk meneliti „illah hadits, langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah: a. Seluruh sanad hadits untuk matan yang semakna dihimpun dan diteliti, bila hadits yang bersangkutan memiliki mutabi‟ ataupun syahid. b. Seluruh perawi dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik hadits (Syuhudi Ismail, 1992: 88). Menurut penjelasan ulama ahli kritik hadits, „illah hadits umumnya ditemukan pada: a. Sanad yang tampak muttashil (bersambung) dan marfu‟ (bersandar kepada Nabi) tetapi kenyataannya mauquf (bersandar kepada sahabat Nabi), walaupun sanadnya muttashil. b. Sanad yang tampak muttashil dan marfu', tetapi kenyataannya mursal (bersandar kepada Tabi‟i) walaupun sanadnya muttashil. c. Dalam hadits itu telah terjadi kerancuan karena bereampur dengan hadits lain. d. Dalam sanad hadits itu terjadi kekeliruan penyebutan nama perawi yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan perawi lain yang kualitasnya berbeda (Ibid. 89). Dua bentuk „illah yang disebut pertama berupa sanad hadits terputus, sedangkan dua bentuk „illah yang disebut terakhir berupa perawi yang tidak dabit, sedikitnya tidak tamm ad-dhabt. B. Kaedah Kesahihan Matan Hadits Sebagaimana diketahui bahwa menurut pendapat umum ulama hadits, yang sanadnya sahih belum tentu juga sahih matannya. Demikian pula sebaliknya, matan yang sahih belum tentu sanadnya juga sahih. Jadi kesahihan hadits tidak hanya ditentukan aleh kesahihan sanad saja, tetapi juga ditentukan oleh kesahihan matannya. Apabila dinyatakan bahwa kaedah kesahihan sanad hadits mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, maka suatu hadits yang sanadnya sahih mestinya matannya juga sahih. Pada kenyataannya tidak demikian, ada hadits yang sanadnya sahih tetapi matannya dha‟if (lemah). Hal ini terjadi bukanlah sesungguhnya disebabkan oleh kaedah kesahihan sanad hadits yang akurat, melainkan karena ada faktor-faktor lain yang telah terjadi, misalnya: a. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matan, misalnya karena kesalahan dalam menggunakan pendekatan. b. Karena telah terjadi kesalahan dalam penelitian sanad. c. Karena matan hadits yang bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami kesalahan pemahaman (Ibid. 124). Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas sahih ada dua macam, yakni terhindar dari syudzuz (kejanggalan) dan „illah (cacat). Itu berarti bahwa untuk meneliti matan, maka unsur tersebut harus menjadi acuan utama. Apabila penelitian syudzuz dan „illah pada sanad dinyatakan sebagai kegiatan yang sulit, maka demikian juga penelitian syudzuz dan „illah pada matan tidak mudah dilakukan. Dalam melaksanakan penelitian matan, ulama hadits biasanya tidak secara ketat menempuh langkah-langkah menurut unsur-unsur kaedah kesahihan 132
matan. Maksudnya mereka tidak menekankan bahwa langkah pertama haruslah meneliti „illah, atau sebaliknya. Bahkan dalam menjelaskan macam-macam matan yang da‟if, ulama hadits tidak mengelompokkannya kepada dua unsur utama dari kaedah kesahihan matan itu. Ulama hadits menerangkan tanda-tanda yang berfungsi sebagai tolok ukur bngi matan yang sahih dan juga sebagai tolok ukur untuk meneliti apakah suatu hadits berstatus palsu ataukah tidak palsu. Mereka tidak menjelaskan urutan penggunaan butir-butir tolok ukur yang dikemukakan. Hal itu dapat dimengerti karena persoalan yang perlu diteliti pada berbagai matan memang tidak selalu sama. Jadi penggunaan butir-butir tolok ukur sebagai pendekatan penelitian matan disesuaikan dengan masalah yang terdapat pada matan yang bersangkutan. Adapun tolok ukur penelitian matan (ma'ayir naqd l-matn) yang dikemukakan oleh para ulama tidak seragam. Menurut Al-Khatib al-Bagdadiy, suatu matan hadits barulah dinyatakan sebagai maqbu1 (diterima karena berkualitas sahih) apabila: a. Tidak bertentangan dengan akal sehat b. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur‟an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap). c. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir. d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (salaf). e. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti. f. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas Kesahihannya lebih kuat (al-Adlabi, 1983:236). Butir-butir di atas oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai tolok ukur untuk meneliti apakah suatu, hadits berstatus palsu ataukah tidak palsu. Pendapat tersebut memang cukup ekstrem, sebab suatu matan hadits yang tidak memenuhi salah satu butir saja tidak bisa secara cepat dinyatakan sebagai hadits palsu. Dalam hubungannya dengan tolok ukur meneliti hadits palsu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama hadits. Menurut Ibn al-Jauziy, setiap hadits yang bertentangan dengan akal atau berlawanan dengan ketentuan pokok agama, maka hadits tersebut adalah hadits palsu (Ibid. 237). Menurut jumhur ulama tanda-tanda matan hadits yang palsu itu adalah: a. Susunan bahasanya rancu Rasulullah SAW yang fasih berbahasa Arab mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu tersebut. b. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal sehat dan sulit diinterpretasikan secara rasional. c. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam. d. Kandungan pernyataannya sunnatullah hukum alam. e. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan fakta sejarah. f. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur‟an ataupun hadits mutawatir yang telah mengandung petunjuk pasti. g. Kandungan pernyataannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam; misalnya amalan tertentu yang menurut petunjuk umum ajaran Islam dinyatakan sebagai amalan yang tidak seberapa, tetapi diiming-iming dengan pahala yang sangat luar biasa (Ibid.237-238). Salahuddin al-Adlabiy menyimpulkan bahwa tolok ukur untuk meneliti matan ada empat macam, yaitu: a. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur‟an b. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat 133
c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah. d. Susunan pernyataannya tidak menunjukan ciri-ciri sabda kenabian (Ibid. 238). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penelitian dengan menggunakan berbagai tolok ukur di atas, yaitu bahwa: a. Sebagian hadits Nabi berisi petunjuk yang bersifat targhib (hal yang memberikan harapan) dan tarhib (hal yang memberikan ancaman) dengan maksud untuk mendorong ummatnya gemar melakukan amal kebajikan tertentu dan berusaha menjauhi apa yang dilarang oleh agama. b. Dalam bersabda, Nabi SAW menggunakan pernyataan atau ungkapan yang sesuai dengan kadar intelektual dan keislaman orang yang diajak bicara, walaupun secara umum apa yang dinyatakan oleh Nabi berlaku untuk semua ummat beliau. c. Terjadinya hadits, ada yang didahului oleh suatu peristiwa yang menjadi sebabnya yang diistilahkan dengan sabab wurud hadits d. Sebagian dari hadits Nabi ada yang telah dinasakh atau mansukh (dihapus masa berlakunya) e. Menurut petunjuk Al-Qur‟an, Nabi Muhammad SAW itu selain Rasul Allah juga manusia biasa. Dengan demikian ada hadits yang erat kaitannya dengan kedudukan beliau sebagai utusan Allah, di samping ada pula yang erat kaitannya dengan kedudukan beliau sebagai individu, pemimpin masyarakat, dan pemimpin negara. f. Sebagian hadits Nabi SAW ada yang berisi hukum (dikenal dengan hadits hukum) dan ada yang berisi imbauan dan dorongan untuk melakukan kebajirkan hidup duniawi (disebut hadits irsyad). Dengan uraian tersebut di atas dapatlah dinyatakan bahwa walaupun unsur-unsur pokok kaedah kesahihan matan hadits hanya dua macam saja, tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan dengan tolok ukur yang cukup banyak.
134
BAB IV PEMBAGIAN HADITS NABI SAW A. Dari Sisi Jumlah Perawinya Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits yang ditinjau dari sisi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita. Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, juga ada yang membaginya menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadits ahad dianut oleh sebagian ulama ushul, di antaranya adalah Abu Bakar al-Jashah ( 305-370 H). Adapun ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadits ahad. Itulah sebabnya mereka membegi hadits menjadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad. 1. Hadits Mutawatir a. Ta'rif Hadits Mutawatir Kata mutawatir menurut bahasa ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak (al-Fayyumi, 1978: 321). Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
135
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta. Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu. Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir. b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. 2) Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. (1) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. (2) Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. (3) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). (4) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
Hai nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu. (Q.S. al-Anfal (7): 64).
136
3) Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan AlHazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam AsSuyuthi(w.911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H). c. Faedah Hadits Mutawatir Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera). d. Pembagian Hadits Mutawatir Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam : 1) Hadits Mutawatir Lafdzi Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain : "Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya." Pengertian lain hadits mutawatir lafdzi adalah : "Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi." Contoh Hadits Mutawatir Lafdzi :
137
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka." Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut : Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat. 2) Hadits mutawatir maknawi Hadits mutawatir maknawi adalah :
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum." Atau: "Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz." Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya. Contoh :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim) Dengan redaksi yang lain, misalnya:
138
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
3) Hadis Mutawatir Amali Hadis Mutawatir Amali adalah :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu." Contohnya adalah kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian. Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi. 2. Hadis Ahad a. Pengertian hadis ahad Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara lain adalah:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
139
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: " Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir." b. Faedah hadis ahad Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qath'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan dzan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau ternyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (shahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu. Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh. B. Dari Sisi Kualitas Sanad dan Matan Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
140
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan." (Q.S. al-A‟raf (7): 155) Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang. Kata-kata
(dari sejumlah rawi yng semisal dan
seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir. Contoh hadis : “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya." Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir. Kata-kata
(dan sandaran mereka adalah
pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita. Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayatayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah. Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rendah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam. Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dhaif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis shahih, hasan, dan dhaif. 1. Hadis Shahih Hadis shahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
141
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dhabit." Keterangan lebih luas mengenai hadis shahih telah diuraikan pada bab XIV di atas tengan ”Kaedah Kesahihan Hadits”. 2. Hadis Hasan Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadis hasan adalah :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan." 3. Hadis Dhaif Hadis dhaif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadis dhaif :
"Hadis dhaif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan." Jadi hadis dhaif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW. C. Dari Sisi Kedudukan Sebagai Hujjah Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima 142
secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. 1. Hadis Maqbul Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah: "Hadis yang menunjuki menyabdakannya."
suatu
keterangan
bahwa
Nabi
Muhammad
SAW
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah: a. Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi. b. Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi. Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW. Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh. Apabila ditinjau dari segi kema‟mulannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi. a. Hadis ma‟mulun bihi Hadis ma‟mulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah: 1) Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan 2) Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahirya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah 3) Hadis nasikh 4) Hadis rajih. b. Hadis ghairu ma‟mulin bihi Hadis ghairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah: 1) Hadis mutawaqaf, yaitu hadis mukhtalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansikhkan dan tidak pula dapat ditarjihkan 2) Hadis mansukh 3) Hadis marjuh. 143
2. Hadis Mardud Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut ‟urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbul." Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi dhaif. D. Dari Sisi Persambungan Sanadnya 1. Hadis Muttashil Hadis muttashil disebutjuga Hadis Maushul.
"Hadis muttashil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf." Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttashil. Contoh Hadis Muttashil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
144
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya" (H.R. Imam Malik) Contoh hadis muttashil mauquf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya." (H.R. Imam Malik) Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masingmasing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir. Adapun hadis Maqtu‟ yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu‟ tidak dapat disebut hadis maushul atau muttashil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in. 2. Hadis Munqati' Kata Al-Inqitha' (terputus) berasal dari kata Al-Qath (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqitha' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqitha' adalah lawan kata ittishal (bersambung) dan Al-Washl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin. Definisi Munqathi‟ yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain." 145
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
“Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya." Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, AnNawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, AlKhatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya. Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
"Hadis Munqathi‟ adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad." Definisi ini menjadikan hadis munqathi' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" definisi ini tidak mencakup hadis mu'dhal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq
146
BAB XV PENCIPTAAN MANUSIA DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS Janin yang di dalam rahim adalah hasil percampuran antara sperma laki-laki dan ovum perempuan. Keduanyalah yang memiliki saham di dalam prosesi terjadinya janin. Demikianlah yang dikatakan pakar dari Italia, Spallanzani, pada tahun 1775 M. Dan pada tahun 1783, Van Beneden menetapkan “kebenaran” teori ini. Demikian juga Boveri pada pertengahan 1888 - 1909 menyatakan bahwa kromosom terbagi-bagi dan masing-masing memiliki kekhususan-kekhususan yang akan menurunkan sifat dari pemilik kromosom tersebut. Dan Morgan pada tahun 1912 mampu memberikan batasan yang lebih rinci, yaitu bahwasannya sifat keturunan ada pada tempat khusus dalam kromosom. Demikianlah informasi yang ada yang sampai kepada kita, bahwasannya sejarah kemanusiaan tidak mengetahui bahwa janin terbentuk dari percampuran sperma laki-laki dan ovum wanita kecuali setelah melewati abad 18 masehi, bahkan hal itu tidak bisa dipastikan kebenarannya kecuali setelah memasuki awal abad 19 masehi. Akan tetapi, ketika kita membuka-buka Al-Qur‟an yang mulia dan sunnah Rasulullah, kita akan mendapati penjelasan rinci dan pasti, bahwasannya manusia tercipta dari “nuthfah amsaaj”(air mani yang bercampur). Allah berfirman:
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat. (Q.S. al-Insan (76): 2) Seluruh ahli tafsir sama ketika menerangkan “nuthfah amsaj”, yaitu air mani yang bercampur; air mani laki-laki dan air mani perempuan. Dan hadits Rasulullah yang agung pun semakin menegaskan akan hal itu. Yaitu hadits yang di-takhrij oleh Imam Ahmad dalam musnadnya:
147
Seorang Yahudi yang sedang lewat disamping Rasulullah, dan dia sedang berbincangbincang dengan sahabat-sahabatnya, maka berkatalah Quraisy, “Wahai yahudi, orang ini mengaku dirinya nabi. Maka Yahudi tersebut berkata, “Aku benar-benar akan menanyakannya tentang sesuatu yang tidak akan mengetahui jawabannya kecuali pasti ialah nabi. Wahai Muhammad, Manusia diciptakan dari apa?” Rasulullah bersabda, “Wahai Yahudi, manusia diciptakan dari nuthfahnya laki-laki dan nuthfahnya perempuan. Maka Yahudi tersebut berkata, “Memang demikian, nabi-nabi sebelummu pun mengatakan demikian”.( H.R. Imam Ahmad) A. Nuthfah/Sperma 1. Data Ilmiah tentang Nuthfah/Sperma Sperma terbentuk di dalam testis yang kemudian disempurnakan keadaannya sebagaimana disebutkan di dalam embriologi dan turun ke bawah untuk bertemu dengan ovum. Kemudian ia ke punggung dan turun ke perut bagian bawah pada minggu-minggu terakhir fase kehamilan. Air mani laki-laki dapat digambarkan sebagai berikut: Air mani laki-laki yang berbentuk seperti kepala yang berbuntut yang selalu bergerak sampai terjadinya pembuahan, dan prostaglandin yang kemudian menempel di dinding rahim sehingga memudahkan dalam memindahkan sperma untuk bisa memasuki tempat pembuahan. Padahal, ada jutaan (500 600 juta) sperma yang terus memburu ovum, akan tetapi hanya satu sperma yang bisa memasuki dan membuahi ovum tersebut. Tentu saja, ini adalah hal yang sangat panjang dan lebar sekali bagi sperma untuk bisa mencapai tempat pembuahan di “uretrine tube” yang akan mengantarkan hal pembuahan ke rahim. Hal ini yang penuh dengan rintangan mungkin sama dengan perjuangan manusia untuk bisa mendarat di bulan. 148
Sesungguhnya spermatozoa terdiri atas 23 kromosom. Diantara kromosom tersebut ada satu kromosom yang membawa sifat genetik, terkadang (Y) atau (X). Adapun ovum maka kromosom jenis kelamin selalu (X). Kalau kromosom sperma jenis (Y) yang membuahi ovum, maka akan jadi laki-laki (XY). Akan tetapi jika kromosom sperma (X) yang membuahi ovum, maka akan jadi perempuan (XX). Maka yang mempengaruhi terjadinya gen/jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) adalah sperma, dan bukan ovum !! Setelah melewati masa 5 jam setelah pembuahan, maka itu adalah masa pertama terjadinya sejarah kemanusiaan yang terdiri atas 46 kromosom, dimana ia mewarisi sifat-sifat genetik yang akan dia bawa ketika menjadi makhluk baru, dan sifat-sifat resesif yang tidak akan muncul, akan tetapi muncul pada sebagian anakanaknya atau cucu-cucunya. Setelah fase ini, ovum yang sudah terbuahi ini membelah dengan cepat walaupun tidak merubah bentuknya dan terus bergerakgerak di uretrine tube (organ penghubung antara rahim dan tempat indung telur. Dan rahim adalah tempat berkembang dan sempurnanya janin sebelum lahir. Dan rahim memiliki keistimewaan-keistimewaan yang memang sangat aman untuk mengemban tugas ini. diantara sebabnya adalah: Rahim terletak di dalam salah satu ruang perut yang besar, dengan temperatur suhu yang saling berkait dengan organ di sekitar rahim, dan juga memungkinkan rahim untuk bisa bergerakgerak dan berkembang sampai ukurannya bisa berlipat lebih dari 100 kali lipat dari sebelumnya pada akhir kehamilan. Tulang-tulang reproduksi dan melindungi organ rahim. Hormon kehamilan (progesteron) terus mensuplai/membantu kekuatan rahim. Sebagaimana janin berada di dalam rahim berputar-putar dan bergerak akan menghasilkan permintaan amniosia yang bisa dilakukan oleh janin, dan sekaligus menghalanginya terjadinya dampak dari gerakan-gerakan tsb bagi organ diluar rahim. Fase ini terus berjalan di dalam rahim sampai mencapai hari ke-6, dan kemudian perkembangannya di dinding rahim sampai hari ke-15, dan kemudian memasuki “alaqah”. 2. Pembahasan Al-Qur‟an tentang Nuthfah Nuthfah, secara bahasa adalah cairan yang sedikit atau sepercik air. Dan ini berkaitan dengan air mani laki-laki yang berbentuk seperti hewan spermatozoa yang itu pun sebagian kecil dari jasad laki-laki. Spermatozoa terbentuk dari air yang hina (mani) dan kemudian menjadi spermatozoa (nuthfah). Tentang hal ini, Aِllah berfirman:
149
Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.(Q.S. as-Sajdah (32): 7-8)
Dia Telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata. (Q.S. an-Nahl (16): 4)
Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya (Q.S. ‟Abasa (80): 17-19) Dan sperma yang bercampur, sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat. (Q.S. al-Insan (76): 2) Perhatikanlah mu‟jizat ini !!! Maka, secara lughawi (bahasa) nuthfah adalah kecil atau secercah/setetes yang menyendiri, akan tetapi susunannya berupa sesuatu yang bercampur (amsyaaj), dan ini adalah ovum yang dibuahi (dicampuri) oleh spermatozoa yang sangat kecil yang pada saat yang sama ia terdiri atas kromosomkromosom sperma laki-laki dan kromosom-kromosom dari ovum. Adakah seseorang memiliki gambaran bahwasannya sperma laki-laki ketika keluar dari kelaminnya dapat diketahui alur perubahan-perubahannya, akan laki-laki kah, atau perempuan ??! Akan tetapi Al-Qur‟an telah mengatakan:
Dan sungguh, Dialah Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan yang tercipta dari nuthfah ketika keluar dari kemaluannya (Q.S. an-Najm (53): 45 - 46) Ketika air mani keluar dari kemaluan … Dan Allah telah menentukan segala hal yang akan terjadi pada calon janin tersebut, laki-laki atau perempuan!! Lalu, siapakah yang memberikan informasi kepada Muhammad SAW bahwasannya nuthfah seorang laki-laki terkandung dua jenis, yaitu X dan Y, dan jenis inilah yang akan kemudian menentukan genetika janin ? Padahal, hal ini belum diketahui oleh manusia kecuali setelah ditemukannya mikroskop elektronik pada beberapa abad yang silam !! Berdasarkan data di mikroskop elektronik itu-lah, baru diketahui 150
bahwa gen laki-laki atau perempuan hanya ada di dalam nuthfah laki-laki dan bukan di ovum perempuan !! Ini artinya, kita pada awal abad 20 secara keseluruhan, tidak mengetahui bahwa gen laki-laki atau perempuan adanya pada nuthfah laki-laki. Akan tetapi Al-Qur‟an yang mulia yang telah diturunkan Allah 14 abad yang silam sudah menegaskan akan hal itu dengan sangat jelasnya. Kita kembali kepada pembicaraan awal terjadinya pembuahan. Kami telah kemukakan bahwa sperma terbentuk di dalam testis dan kemudian disempurnakan keadaanya di dalam itu, sebagaimana kita dapati penjelasannya menurut embriologi. Kemudian sperma tersebut bertemu dengan ovum di bagian bawah lalu berpindah ke tulang punggung, kemudian turun lagi ke bagian bawah pada fase-fase akhir kehamilan. Allah menegaskan tentang hal ini dalam firman-Nya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)" (Q.S. al-A‟raf (7):172) Ini adalah penjelasan yang sangat gamblang, bahwasannya asal-mula keturunan manusia adalah diorgan tulang punggung sebagai tempat terbentuknya spermatozoa janin, Subhanallah yang Maha Mengetahui tentang ciptaan-Nya. Dan terakhir, sebagaimana kami kemukakan sesunggunya rahim adalah tempat yang kokoh lagi aman dan mengamankan bagi perkembangan janin, dan memberikan proteksi terhadap janin dari berbagai hal yang mungkin terjadi. Kita mendapati al-Qur‟an sudah menerangkan akan hal ini dan menegaskannya sejak 14 abad silam. Allah berfirman:
Maka, Kami jadikan ia (manusia) di dalam tempat yang sangat kokoh lagi aman, sampai waktu yang sudah diketahui, maka kami tetapkan segala sesuatu kepadanya, maka sungguh Allah-lah sebaik-baik pembuat ketentuan (Q.S. Al-Mursalat (77): 21-23) B. ’Alaqah 1. Pembahasan Ilmiah ‟Alaqah berkembang menjadi mudhghah pada hari ke 24 sampai hari ke 26. Dan itu adalah waktu yang singkat jika dibandingkan dengan waktu perubahan dari 151
nuthfah ke alaqah. Dan perkembangan ini bermula dari kepala yang berbentuk somites (mirip bola) pada hari ke-24 atau 25. kemudian, bagian punggung/atas dari somites ini melengkung setahap demi setahap pada ujung janin. Dan pada hari ke28 janin mulai terlihat bagian-bagiannya yang kelihatan seperti unta yang gemuk. Ia berputar dan berbola-balik di dalam rahim selama perkembangan ini hingga berakhir pada akhir minggu ke-6. Perlu juga disebutkan bahwa fase mudhghah memulai perkembangannya dengan perkembangan yang lebih berarti, ada penambahan volume ruang rahim secara berlipat-lipat. Mudhghah mulai kelihatan seperti sepotong daging, tidak kelihatan strukturnya, dan kemudian mulai pada perkembangan kedua yaitu perkembangan bentuk, mulai kelihatan beberapa organ: dua mata; lisan; (dalam minggu ke-4) dan dua bibir (pada minggu ke-5). Akan tetapi tidak jelas keadaannya kecuali diakhir minggu ke-8. Mulai kelihatan kedua tangan dan kedua siku pada perkembangan ini. 2. Pembahasan Menurut Al-Qur‟an dan al-Hadits Secara bahasa, mudhghah adalah zone tempat tumbuhnya gigi. Dan penamaan ini sangat sesuai dengan keadaan fase janin ini, sebab keadaan embrio ini seperti benda yang banyak kelok-kelok dan perubahannya terus-menerus dan kelihatan bagian-bagiannya, seperti kepala yang bulat (somites) dan selebihnya mirip dengan keadan gigi yang berjajar. Demikian juga, janin berputar-putar dan berbolak-balik di dalam rahim seperti berbolak-baliknya sesuatuyang di kulum di dalam mulut. Adanya perkembangan mudhghah adalah setelah terjadinya perkembangan alaqah. Urutan ini sesuai benar dengan ayat Al-Qur‟an:
Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. al-Mukminun (23): 14) Diantara sifat mudhghah adalah bentuknya yang menanjang dan berubahubah bentuknya ketika berputa-putar dan berbolak-balik. Dan keadaan ini adalah sesuai benar dengan fase ini. Dan sebagaimana sudah kami sebutkan bahwasannya mudhghah mengalami perkembangan yang cepat sebelum terbentuk dan terciptanya bagian-bagian organ, dan perkembangan lainnya terjadi setelah terbentuknya organ tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
152
Wahai sekalian manusia, jika kalian masih meragukan terjadinya hari kebangkitan, maka ketahuilah bahwasannya Kami menciptakan kalian dahulu dari tanah, kemudian dari nuthfah, kemudian dari alaqah, kemudian dari mudhghah yang sempurna penciptaannya dan mudhghah yang tidak sempurna penciptaannya agar Kami menjelaskan kepada kalian, dan Kami tetapkan di dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. (Q.S. Al-Hajj (22):5) Jadi, sebenarnya ada 2 buah perkembangan mudhghah: yaitu (i) mudhghah yang tidak sempurna penciptaannya dan (ii) mudhghah yang sempurna. Dan perkembangan ini berakhir pada minggu ke-6 (setelah 40 hari). Dan Imam Muslim sudah men-takhrij dalam shahih-nya sebuah hadits dari Abdullah ibn Mas‟ud. Kata Abdullah ibn Mas‟ud,
“Rasulullah menceritakan kepada kami, dan Beliau orang yang jujur dan diakui kebenarannya, “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptannya di dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian 40 hari lagi menjadi „alaqah, kemudian 40 hari berikutnya menjadi mudhghah, kemudian Allah mengutus satu malaikat, maka ia meniupkan ruhnya, dan menetapkannya dengan 4 ketetapan: (i) rizqinya, (ii) ajalnya, (iii) amalannya, (iv) kesusahannya atau bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Dzat yang haq disembah kecuali Dia, sungguh diantara kalian benar-benar beramal dengan amalan ahlul jannah sampai tidak ada batas antara dirinya dengan jannah 153
kecuali satu hasta, akan tetapi taqdir yang menyatakan lain telah mendahului dirinya, maka ia pun beramal dengan amalan ahli neraka, maka masuklah ia ke dalam neraka itu. Dan sungguh salah seorang dari kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli neraka, sampai tiada batas antara dirinya dengan neraka kecuali satu hasta, akan tetapi taqdir yang menyatakan lain telah mendahului dirinya, maka ia pun beramal dengan amalan ahli jannah, maka ia pun masuk ke dalam jannah. (H.R. Muslim) Dan ada penjelasan juga bahwa sebagian anggota badan Allah ciptakan sebelum itu, maka kedua mata dan lisan (pada minggu ke 4) diciptakan sebelum diciptakannya dua bibir (bibir diciptakan pada minggu ke 5). Dan penjelasan AlQur‟an pun mendahulukan penciptaan dua mata dan lisan sebelum dua bibir. Allah berfirman:
Bukankah kami menjadikan baginya dua mata dan lisan, dan dua bibir? (Q.S. AlBalad (90): 8-9) Lalu, siapakah yang memberi kabar kepada Muhammad SAW tentang setiap data ini? Apakah Beliau memiliki alat yang bisa menjelaskan dan menampilkan data itu, mikroskop, untuk bisa menampilkan data tentang janin yang panjangnya tidak lebih dari 1 cm? Dia-lah Allah yang Maha Perkasa. !
154