Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
INSPIRASI MENJAMIN ALKITAB SEBAGAI WAHYU ALLAH Ev. Rizal Calvary Pendahuluan Ciri khas berteologi di abad XX adalah teologi dan ajaran Kristen tidak semakin kembali kepada sumbernya yang normatif, yakni Alkitab. Bahkan diperkirakan semangat berteologi demikian akan terus berlanjut di abad XXI ini.1 Hal ini disebabkan karena berkembangnya teologi-teologi sekular, sejarah, sosial dan pluralisme secara khusus dalam dunia barat di abad itu (abad XX) lebih di motivasi oleh adanya keinginan untuk berteologi dari konteks kondisi dunia yang sedang berada dalam perubahan-perubahan sosial-politik, budaya, ekonomi dan agama, daripada adanya niat untuk berteologi dari teks Alkitab itu sendiri.
Dalam konteks Asia kita melihat suatu semangat yang sama dalam berteologi. Di penghujung abad XX, "pameran" rancang-bangun teologi diusahakan untuk indigenous (membumi) dan kontekstual (relevan) dengan maksud yang baik - agar teologi itu gampang diterima oleh masyarakat lokal Asia itu sendiri, namun justru menghasilkan teologiteologi Asia yang tidak sungguh-sungguh berbasis pada pengertian otoritas Alkitab yang semestinya. Pada akhirnya teologi-teologi itu justru menunjukkan sifat yang sama dengan teologi-teologi yang berkembang di barat itu, yakni kehilangan daya kritisnya terhadap kebudayaan maupun sejarah dan mengeliminir keunikan iman Kristen itu sendiri ke dalam berbagai keyakinan iman yang ada. Seperti yang digambarkan oleh Bong Rin Ro, seorang teolog Asia sendiri: "understanding the bible from purely a subjective, relativising perspective has opened the door to sincretism and universalism, Page 1
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
particulary when synthesised with a similiar spirit common to much Asia religion."2
Di Indonesia, bangkitnya berbagai gerakan-gerakan spiritualitas Kristen kontemporer yang berusaha untuk mengatasi "kejenuhan" dan "kebekuan" spiritualitas gereja-gereja arus utama (main-line church), yang sudah terkontaminasi oleh semangat liberalisme, kurang lebih menunjukkan gejala yang sama, yakni di satu pihak secara positif menyadarkan gerejagereja akan pentingnya kebangunan kerohanian, namun di pihak lain rumusan-rumusan teologis yang dipegang oleh gerakan-gerakan kontemporer itu cenderung subyektif dan bersikap "setengah hati" untuk menjadikan Alkitab sebagai basis ajarannya. Bahkan tidak jarang menimbulkan polemik-polemik doktrinal dan ketegangan-ketegangan hermeneutik di sekitar gereja. Fenomena-fenomena di atas bukan saja menunjukkan bahwa telah dan sedang terjadi keseragaman degradasi penghormatan terhadap posisi Alkitab di dalam kehidupan iman Kristiani di masa lalu dan sekarang, namun sekaligus menunjukkan minimnya (bahkan semakin ditolak) pengertian yang kuat dan tegas mengenai otoritas Alkitab; yakni Alkitab dipegang sebagai Wahyu Allah itu sendiri yang secara khusus diberikan Allah agar manusia dapat mengenal maksud dan kehendak Allah yang sesungguhnya. Maksud dan kehendak Allah itu secara eksklusif hanya ada di dalam Alkitab. Di dalam Alkitab telah tertuang suatu kehendak Allah yang cukup (sufficiency) dan dalam kualitas yang tidak dapat disetarakan dengan pernyataan-pernyataan umum lainnya. Itu sebabnya Alkitab menjadi satu-satunya sumber normatif ajaran dan teologi Kristen. Hanya dengan adanya keyakinan demikian maka kita dapat menghindarkan iman Kristen dari usaha-usaha spekulatif dan subyektif manusia di dalam berteologi dan mengenal ajaran Kristen.3 Formulasi-formulasi ajaran dan teologi Kristen akan semakin subyektif, tidak jelas dan relatif ketika teologi tersebut tidak berbasis secara mutlak dari Alkitab. Sifat ketidakjelasan, subyektifitas dan relatifitas ini nampak sekali dalam isi teologi-teologi yang berkembang di
Page 2
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
abad XX yang lalu dan besar kemungkinan akan terulang lagi di abad XXI ini. Teologi atau ajaran Kristen hanya akan nampak jelas, jika teologi itu secara secara normatif berpijak pada Alkitab (back to the bible). Bahkan bukan saja Alkitab menjadi sumber normatif ajaran Kristen, namun juga seharusnya dapat menguji ajaran-ajaran teologi yang berkembang. Penegasan keyakinan ini tidak lain-tidak bukan didasari pada realitas Alkitab sebagai Wahyu dan Firman-Nya sendiri. Tanpa meletakkan Alkitab sebagai Wahyu-Nya sendiri maka kita tidak dapat memiliki alasan yang kuat untuk menjadikan Alkitab sebagai sumber teologi yang normatif dan mutlak ataupun penguji ajaran Kristen. Alkitab akan setara dan sekualitas dengan penyataan umum lainnya jika Alkitab lepas dari statusnya sebagai Wahyu. Justru statusnya sebagai Wahyu dan FirmanNya inilah yang menjadikan Alkitab berotoritas untuk memperkenalkan Allah dan kehendak-Nya. Pertanyaan kemudian bermunculan; apa yang mendasari anggapan kita bahwa Alkitab adalah atau sebagai Wahyu Allah? Bukankah Alkitab sepenuhnya ditulis oleh manusia? Bukankah Alkitab tidak "jatuh dari langit" (seperti yang diyakini umat Islam fundamentalis terhadap Al Quran)? Kalau Alkitab memang dicatat oleh manusia, lalu mengapa iman Kristen konservatif menolak jika Alkitab hanya disebut sebagai kitab catatan kesaksian tentang Wahyu Allah, padahal Alkitab tidak "diturunkan dari langit"? Apa yang menyebabkan Alkitab identik dengan Wahyu Allah itu sendiri? Mengapa Alkitab disebut sebagai Firman Allah yang tertulis, padahal tidak semua kata-kata dan kalimat di dalam Alkitab merupakan kutipan langsung dari perkataan Allah? Dalam artikel ini penulis tidak akan membahas panjang lebar tentang Wahyu khusus dan umum. Artikel singkat ini terfokus pada usaha untuk membahas tentang alasan Alkitab disebut sebagai Wahyu Allah. Jelaslah bahwa yang akan disorot adalah inspirasi atau asal-muasal terjadinya Alkitab. Dalam soal inspirasi ini pun tidak akan membahas - apalagi memperdebatkan soal metode-metodeee inspirasi - termasuk tidak membahas mengenai kualitas hasil dari inspirasi itu (full inerrant atau tidak). Artikel ini hanya bertugas untuk membuka pengertian kita akan Page 3
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
pentingnya suatu korelasi mutlak sebab akibat antara status Alkitab sebagai Wahyu Allah secara khusus dan inspirasi itu sendiri. Sebelum kita melangkah ke pembahasan ini, terlebih dulu kita perjelas pengertian istilah inspirasi itu sendiri.
Terminologi Inspirasi Inspirasi (Ind: Ilham) dari kata Latin, yang berarti suatu keberadaan "dikuasai" atau "diisi" oleh Roh Allah.4 Alkitab sebagai kitab-kitab yang diinspirasikan mengacu pada ayat yang ditulis Rasul Paulus dalam II Timotius 3:16, yakni: "Segala tulisan diilhamkan (diinspirasikan) Allah memang bermanfaat untuk ... ". Kata sifat untuk diinspirasikan adalah "theospneustos" yang artinya "dihembuskan Allah". Teolog Reformed Benjamin B. Warfield mengatakan bahwa kata ini hanyalah berbentuk pasif.5 Artinya kitab-kitab itu dalam keadaan pasif diberikan otoritas dari Allah yang secara aktif menghembuskan atau menghasilkan karya kitab suci itu. Di dalam Perjanjian Lama kata "hembusan" atau "roh" menekankan keaktifan daya kuasa ilahi, yang sering dipakai apakah di dalam penciptaan (Maz. 33:6, Ayub 33:4, Kej. 1:2; 2:7), pemeliharaan (Ayub 34:14), pewahyuan melalui nabi (Yes. 48:16; 61:1; Mi. 3:8; Yl. 2:28), pembaharuan (Yeh. 36:27), penghakiman (Yes. 30:28, 33). Perjanjian Baru menyebut "hembusan" (Yunani: Pneuma) Ilahi ini sebagai oknum keTritunggalan Allah. Di dalam penginspirasian Alkitab, Allah secara aktif terlibat dalam pencatatan Kitab Suci. Tanpa keaktifan Allah dalam penginspirasian, maka Alkitab hanya melulu hasil karya sastra manusia yang teragung. Namun dengan adanya inspirasi, Alkitab bukan hanya hasil karya manusia, justru sekaligus karya Allah. Jika Alkitab hanya sebatas karya manusia - yang sering disebut sebagai suatu "kesaksian" terhadap Wahyu - maka Alkitab tidak akan memiliki Allah. Tanpa Allah maka Alkitab tidak memiliki otoritas pada dirinya sendiri. Hanya melalui doktrin inspirasi kita dapat mengaitkan antara Allah dan Alkitab.
Page 4
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
Tetapi juga doktrin inspirasi membuktikan bahwa Alkitab tidak diturunkan "dari atas" atau yang melulu hasil karya Allah. Justru inspirasi membuktikan terlibatnya unsur-unsur kemanusiaan (yang diinspirasikan) di dalamnya. Kita sebut saja bahwa inspirasi seperti kedua sisi koin; di satu pihak dicatat oleh manusia, tetapi sekaligus karya Allah (co-author). Jadi, ada yang menginspirasikan (Allah secara aktif) dan ada yang diinspirasikan (manusia = nabi dan rasul). Penginspirasian haruslah suatu kombinasi kerja yang harmonis antara karya Allah dan karya manusia. Artinya, walaupun manusia yang mencatat semua kitab suci, Allah tetap memegang peran dalam membimbing dan mengarahkan (superintendance) manusia agar tidak keliru dan tersesat (infallible) di dalam mengutarakan kebenaran Allah. Namun, walaupun Allah yang membimbing manusia dalam mencatat kitab suci, tidak menunjukkan penginspirasian ini menghilangkan pengaruh unsur-unsur kepribadian dan latar belakang penulis. Kenyataan menunjukkan bahwa pada akhirnya Alkitab mulai Kejadian sampai dengan Wahyu secara konsisten setia pada satu pesan yang sama (yakni keselamatan di dalam Yesus Kristus) dan di saat yang sama tidak menghilangkan karakteristikkarakteristik para penulis.6 G.C. Berkouwer dengan tepat mengatakan bahwa dengan inspirasi manusia (penulis: Rasul dan Nabi) tidak, "a swerving from the truth and upseting the faith (II Tim 2:18)"7 Inspirasi memperjelas bahwa Alkitab di satu sisi sebagai karya manusia dan disisi lain sebagai karya Allah. Di dalam kombinasi kerja harmonis ini tidak ada satu pun unsur (manusia atau Allah) yang perlu disingkirkan.8 Kedua-duanya adalah fakta. Fakta bahwa Alkitab secara "sadar"9 dicatat oleh manusia dan juga fakta adanya keajaiban pekerjaan Allah di mana walaupun Alkitab dicatat oleh manusia dengan profesi mereka yang berbeda, jaman yang berbeda, sejarah, sosial, budaya dan bahasa yang berbeda namun tetap Alkitab, seperti yang dikatakan Berkouwer, "is infallible in a complishing its purpose, ... to witness of the salvation of God unto faith."10
Sejarah Singkat Penegakan Doktrin Inspirasi Page 5
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
Jauh sebelumnya dalam sejarah gereja yakni pada jaman bapa-bapa gereja, Alkitab ditetapkan dan dipegang sebagai Wahyu Allah yang final. Bapa-bapa gereja mencapai kata sepakat (consensus) bahwa Perjanjian Baru adalah kanon (standar) yang sama dengan Perjanjian Lama pada tahun 200 M (secara definitif tahun 300 M). Sejak itu kedua perjanjian itu berlaku efektif di dalam menentukan ajaran gereja yang benar dan yang menyesatkan. Alkitab praktis menjadi tolok-ukur (kanon) yang "sah" di dalam menyikapi berbagai ajaran sesat yang berkembang dengan cepat di sekitar gereja saat itu. Setiap aliran Kristen wajib membuktikan kesesuaian ajarannya dengan Alkitab. Termasuk tradisi gereja pun wajib tunduk kepada kuasa Firman Tuhan. Tidak ada lembaga, tradisi atau pengajaran apapun yang lebih tinggi statusnya dari kitab suci. Bapa-bapa gereja dengan tegas memegang prinsip ini. Salah satu contoh bentuk ketegasan itu dengan menggunakan Alkitab untuk menilai setiap ajaran para bidat. Bidat yang dianggap menyimpang jauh dari prinsip di atas salah satunya adalah Montanisme. Di dalam ajarannya montanisme menganggap adanya kemungkinan "wahyu baru". Mereka mengajarkan bahwa Roh Allah dapat memberi penyataan-penyataan baru kepada siapa saja.11 Mereka bahkan mengklaim bahwa pengetahuan baru yang didapat dari pengalaman subyektif itu lebih sempurna daripada Wahyu yang ada di dalam Alkitab.12 Di dalam menyikapi pengajaran bidat ini, para Bapa gereja selalu menegaskan bahwa Alkitab harus berotoritas terhadap gereja dan pengajarannya. Bahkanjuga dalam segala area kehidupan umat Tuhan. Seperti dikatakan oleh Geoffrey W. Bromiley, "as the word of God Scripture had for the fathers the status of primary authority in the life, teaching, and mission of the church."13 Menjelang reformasi, gereja Katolik tidak konsisten dengan prinsip yang dipegang turun-menurun oleh Bapa-bapa gereja ini. Tradisi lisan gereja naik sejajar dengan otoritas Alkitab. Timbulah saat itu teori dua sumber ajaran gereja: tradisi lisan gereja dan Alkitab. Oleh karena teori dua sumber inilah di kemudian hari para reformator Protestan dengan tajam melontarkan kritiknya. Pasalnya, alasan Katolik Roma mensejajarkan tradisi gereja dengan Alkitab sangat jelas bertentangan keyakinan ortodoksi yang dipegang oleh Bapa-bapa gereja. Para Bapa Page 6
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
gereja tidak pernah mensejajarkan diri mereka dengan kuasa Alkitab. Bahkan mereka sendiri tidak berani mengklaim diri sebagai sumber ajaran gereja. Mereka hanya setia kepada apa yang Alkitab katakan. Lalu mengapa gereja Katolik berlawanan dengan ortodoksi gereja ini? Apa alasan pensejajaran itu? Penting ditekankan bahwa pasca Bapa-bapa gereja (abad pertengahan), gereja Katolik merasa perlunya penerusan tradisi apostolik (kerasulan). Suksesi tradisi apostolik yang diemban oleh Bapa-bapa gereja sebelumnya, ingin dipertahankan. Namun di dalam praktek suksesi itu justru terjadi penyimpangan interpretasi terhadap fungsu tradisi gereja yang kemudian tidak dapat ditoleran oleh reformator. Pasalnya, tradisi apostolik yang ada dalam Katolik Roma terlalu berani mengklaim diri sebagai penerus penyataan (Wahyu) Allah.14 Jadi setelah para nabi dan rasul mendapatkan Wahyu, tradisi gereja Roma Katolik merasa mendapat "wangsit" yang sama untuk meneruskan Wahyu yang menurut mereka terus-menerus dinyatakan di dalam gereja.15 Padahal para Bapa gereja tidak pernah mengklaim diri sebagai penerus Wahyu atau menerima Wahyu. Tradisi yang mereka (Bapa-bapa gereja) pegang justru hanya berfungsi menegaskan supremasi Kitab Suci di antara berbagai tafsir sesat para bidat terhadap Kitab Suci. Bapa-bapa gereja saat itu hanya sebatas mengambil alih otoritas penafsiran Alkitab, oleh sebab terjadi penyelewengan penafsiran di sana-sini terhadap Alkitab. Maka perlu adanya penafsiran Alkitab yang berwibawa dan sesuai dengan ajaran para rasul. Jadi bukan dalam rangka menjadi "tandingan" dari Alkitab. Tepat seperti dikatakan Heiko A. Oberman: "Katolikisme semakin tidak dapat membedakan akan tradisi 'kerasulan' (pada masa patriakal) dan tradisi pertengahan."16
Tradisi gereja menurut reformator harus tunduk pada kuasa Kitab Suci. John Calvin dengan tegas mengatakan bahwa: "tidak mungkin ada lembaga atau tradisi apapun yang berada "diatas" atau "disamping" Kitab Suci."17 Slogan itu kemudian dikenal dengan istilah Sola Scriptura (hanya Alkitab) yang dikumandangkan oleh para penggerak reformasi gereja.18 Page 7
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
Memasuki pencerahan (abad XVII-XVIII) tantangan terhadap otoritas Alkitab tidak datang secara institusional atau dari dalam tubuh gereja sendiri, seperti jaman reformasi. Tantangan datang dari semangat penelitian ilmiah dalam dunia akademis yang menandai semangat pencerahan. Segala macam yang "berbau" spiritualitas, keagamaan, mujizat, inspirasi dan pewahyuan harus diukur oleh kaidah-kaidah ilmiah (hukum Natural). Singkatnya, unsur-unsur supranatural digeser oleh yang natural. Satu-satunya yang kita ketahui dan yakini adalah yang tidak misteri (fenomena).19 Semangat ilmiah pencerahan inilah kemudian yang menggugat jantung keyakinan iman Kristen yakni status "ke-wahyu-an" Alkitab. Pada saat yang sama berarti terjadi penolakan terhadap inspirasi Alkitab. Pewahyuan dan inspirasi adalah suatu peristiwa supranatural. Suatu intervensi Allah. Keyakinan inilah yang harus ditolak oleh pencerahan. Bahkan bukan saja inspirasi ditolak, tetapi juga dalam penelitian teks-teks (textual-critisism), harus ditolak teks-teks yang berkait dengan mujizat. Menurut semangat pencerahan sejarah harus lepas dari interverensi Allah. Allah memang tetap ada, namun Dia bertahta nun jauh dari bumi (di wilayah noumena) dan membiarkan bumi ini bekerja berdasarkan hukum alam yang sudah diberikan Allah-Nya (deisme). Menghadapi pencerahan yang berusaha merontokan fondasi iman Kristen itu, Old Princeton (selanjutnya: Princeton Lama) mengambil posisi berhadap-hadapan dengan semangat jaman ini. Pertama-tama yang ditegaskan dan dirumuskan secara mendasar oleh gerakan Princeton Lama justru perumusan secara ketat akan ajaran inspirasi.20 Mengapa inspirasi? Fondasi iman Kristen akan rontok jika ajaran inspirasi tidak ditegakkan. Bagaimana kita dapat yakin akan kewahyuan Alkitab jika tanpa inspirasi? Bagaimana Alkitab dapat menjalin suatu ajaran yang utuh jika tanpa inspirasi? Bagaimana Alkitab layak (trustworthyness) menjadi tuntutan orang Kristen jika tidak diinspirasikan? Pada akhirnya yang menentukan Alkitab adalah Wahyu atau tidak adalah diinspirasikan atau tidak diinspirasikan. Namun yang menjadi sanggahan dari semangat pencerahan adalah: bukankah inspirasi adalah suatu interverensi Allah? Termasuk suatu peristiwa supranatural? Itu sebabnya inspirasi terhadap Alkitab pun harus Page 8
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
ditolak. Dari sinilah kita dapat mengerti mengapa tradisi Princeton Lama "bersih-keras" memperjuangkan ajaran inspirasi Alkitab itu. Warfield mengatakan bahwa ajaran inilah yang sangat mendasar: "The most fundamental of Christian doctrines... These we first prove authentic, historical crediblle, generally trustworthy, before we prove them inspired."21 Dengan jalan mempertahankan inspirasi Alkitabiah, kemudian kita dapat mempertahankan Alkitab sebagai Wahyu-Nya. Teolog-teolog Princeton Lama dengan tepat berusaha mempertahankan secara panjang lebar mengenai ajaran inspirasi ini. Penjabaran secara lengkap dan panjang lebar mengenai ajaran inspirasi ini belum pernah terjadi sebelumnya di dalam sejarah teologi Kristen, walaupun sejak Bapa-bapa gereja sampai dengan para reformator percaya akan inspirasi Alkitab. Salah satu karya yang terkenal dari Princeton Lama dalam usaha mempertahankan ajaran inspirasi adalah The Inspiration and Authority of the Bible. Agar kita dapat menggumuli lebih dalam lagi perjuangan Princeton Lama dalam upayanya mempertahankan dan menjelaskan ajaran inspirasi secara panjang lebar, baiklah kita maju pada pembahasan berikutnya.
Inspirasi dan Wahyu Penegakan ajaran inspirasi mesti dipahami sebagai bentuk usaha mempertahankan Alkitab sebagai Wahyu Allah. Hendry H. Knight dengan tepat mengatakan bahwa inspirasi adalah suatu usaha untuk menjamin kata-kata di dalam Alkitab adalah benar-benar dari Allah.22 Sedangkan istilah Wahyu berarti suatu penyingkapan. Memberitahukan yang misteri tentang Allah. Dengan adanya Wahyu ada sesuatu yang dapat dikenal mengenai Allah. Wahyu bukannya Allah itu sendiri, namun Wahyu harus memiliki otoritas Allah. Wahyu mutlak hasil karya Allah sendiri. Atau Wahyu adalah tindakan aktif dengan suatu cara yang khusus. Abraham mendapat penyataan khusus dari Allah, demikian juga Musa, Yakub, dan Nabi-nabi, Rasul-rasul lainnya. Pertanyaannya, bagaimana Allah menyatakan diri-Nya secara khusus kepada kita zaman sekarang? Adakah Wahyu yang kita dapatkan dari Allah? Tentu jawabannya dari Alkitab. Namun yang menjadi pertanyaan adalah Page 9
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
bagaimana Alkitab yang seratus persen ditulis oleh manusia dapat memiliki otortias sebagai Wahyu Allah? Bagaimana Alkitab dapat disebut sebagai kitab dari Allah (Firman-Nya)? Hanya doktrin inspirasi yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Untuk mempertajam pemahaman kita mengenai sentralitas ajaran inspirasi ini, penting kita memahami dulu pandangan dari arah yang berlawanan dengan pandangan ortodoks ini yakni kaum neo-ortodoks -yang memahami Wahyu hanya tiba kepada para penulis secara pribadi. Teolog-teolog neo-ortodoks umumnya memahami pewahyuan harus personal bukan preposisional seperti yang terdapat dalam Kitab Suci. Pewahyuan menurut mereka tidak dalam bentuk narasi, abstraksi, penjabaran apalagi penjelasan. Bagi Karl Barth menyamakan Alkitab dengan Firman / Wahyu berarti: "mengobyektifikasikan dan mematerialisasikan penyataan." Emil Brunner menekankan Wahyu sebagai suatu peristiwa dan kejadian.23 Dengan asumsi ini kemudian para teolog neo-ortodoks menolak jika Alkitab disebut sebagai Wahyu Allah, yang tepat menurut mereka adalah Alkitab adalah kesaksian tertulis Wahyu. Jadi, Wahyu hanya tiba pada penulis-penulis Alkitab, selanjutnya Alkitab menjadi dokumen sejarah semata. Pandangan ini menjadi tepat jika penulis Alkitab tidak mengalami inspirasi dari Allah dan menjadi tidak tepat jika ada inspirasi. Menjadi tepat jika kita melihat Alkitab hanya sebagai salah satu bentuk sastra karya manusia bernilai tinggi, yang mampu mengutarakan apa yang dilihat, dialami, dipikirkan oleh manusia sebagai penulisnya. Jika pandangan kita hanya sebatas hasil kemampuan manusia mengutarakan apa yang disaksikannya, maka Alkitab tidak dapat disebut sebagai Wahyu melainkan catatan kesaksian Wahyu Allah. Tetapi ajaran inspirasi berada dalam posisi yang berlawanan dengan konsep di atas. Inspirasilah yang memungkinkan Alkitab selanjutnya dapat disebut sebagai atau adalah Wahyu Allah itu sendiri. Inspirasi memungkinkan Wahyu nampak dalam bentuk Kitab Suci.
Page 10
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
Perhatikan gambar berikut! 1. Pandangan Ortodoks
2. Pandangan Neo-Ortodoks
Dari gambar sederhana di atas kita dapat mengerti bahwa: pertama, jika Wahyu itu datang kepada penulis Alkitab, maka inspirasi bertugas meneruskan Wahyu itu hadir dalam bentuk tulisan. Kedua, menunjukkan bahwa inspirasi tidak hanya sebatas tiba pada ide (gagasan) manusia (penulis) semata, namun inspirasi termasuk membimbing dalam penulisan Page 11
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
seluruh Kitab Suci (full-plenary inspiration). Sebagai ilustrasi, seorang sastrawan boleh saja menerima ide atau gagasan dari berbagai sumber, lalu menuangkannya dalam bentuk syair, puisi atau cerita tertulis. Namun ketika ia menulis, jika tanpa dipimpin oleh pemberi ide itu maka tulisan itu adalah murni milik sastrawan itu. Tidak ada hak kepemilikan dari pemberi ide itu. Tetapi jika pemberi ide itu turut serta dalam penulisan karya sastra itu, maka tulisan itu bukan hanya karya dari sastrawan itu namun juga karya dari pemberi ide. Demikian juga dengan inspirasi, Allah tidak hanya mengkomunikasikan inti pesan (kerygma) yang mesti dicatat oleh manusia lalu membiarkan manusia menulis sendiri, namun juga Ia turut terlibat dalam pencatatan Kitab Suci. Di dalam inspirasi Allah membimbing dan mengarahkan para penulis agar tidak menyimpang dari kebenaran Allah yang seharusnya mereka catat. Demikianlah status Alkitab sebagai Wahyu tidak dapat dipisahkan dari inspirasi. Dari sinilah kita dapat menyelami sebetapa berat pergumulan teolog-teolog Princeton Lama, yang dengan tegas dan panjang lebar mempertahankan ajran ini. Alasannya, ajaran inspirasi sangat penting untuk menjelaskan bahwa Alkitab adalah Wahyu Allah. Lalu kemudian muncul pertanyaan, bukankah inspirasi hanya suatu teori yang kemudian dibangun untuk mempertahankan serangan terhadap status Alkitab sebagai Wahyu? Bukankah tidak ada yang menyaksikan inspirasi itu? Pertanyaan ini sama sulitnya dengan permintaan bukti-bukti dunia diciptakan oleh Allah. Siapa yang menyaksikan penciptaan itu lalu mencatatnya? Tulisan ini tentu tidak akan membahas pertanyaanpertanyaan ini dalam ruang yang sempit ini. Namun demikian, walaupun inspirasi adalah suatu teori, hal ini tidak menunjukkan lemahnya alasan kita untuk meyakini ajaran ini. Bagaimanakah Alkitab yang ditulis oleh puluhan penulis dengan berbagai latar belakang zaman, profesi, kondisi sosial, pendidikan, tempat dan bahasa yang berbeda dapat mencapai kata sepakat untuk mencatat inti berita yang sama yakni Injil Kerajaan Allah? Dengan cara apalagi kita dapat menjelaskan suatu kesatuan yang unik mulai dari Kejadian sampai Wahyu selain ajaran inspirasi? Tepat seperti dikatakan Garret Green: "the doctrin of scripture account of Scripture three closely interrelated qualities of the Bible: its inspiration, its unity, and its authority."24 Page 12
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
Sikap dalam Membaca Alkitab Setelah kita tahu bahwa Alkitab adalah Wahyu Allah itu sendiri, ada dua konsekuensi logis yang akan mempengaruhi sikap kita dalam membaca Alkitab: 1. Kita Menggali Arti Dari Alkitab Itu Sendiri (Eksegesis) Lawan dari konsekuensi logis pertama ini adalah eisegesis. Yakni ketika seseorang membaca Alkitab lebih terdorong untuk memasukkan arti pada teks yang ia baca. Dengan demikian arti yang ia temukan bukan arti yang asli dari teks itu sendiri. Kerugian dari eisegesis ini adalah semakin menyimpulkan arti suatu teks akan semakin jauh dari apa yang Alkitab maksud. Pembaca Alkitab dengan cara demikian tidak akan menemukan arti asli (original meaning) yang Tuhan ingin katakan kepadanya. Sebab itu cara membaca yang paling tepat adalah dengan menyadari bahwa Alkitab adalah Wahyu-Nya. Jika Ia menyatakan diri berarti ia ingin menyampaikan sesuatu pengetahuan mengenai diri-Nya (proposisional truth). Dan penyataan pengetahuan itu sudah ada dalam Alkitab. Maka tugas pembaca bukan mengadakan spekulasi atau menanamkan asumsiasumsi subyektif tertentu terhadap Alkitab, tetapi harus berupaya mengungkapkan arti dari teks itu sendiri apa adanya, sebab: pertama, segala bentuk grammar, budaya, sejarah, genre, dan konsep berpikir (filsafat) yang terdapat di dalam Alkitab termasuk Wahyu Allah. Jadi arti dari Alkitab terbentuk dari ketelitian untuk mempertimbangkan segala aspek ini. Itu sebabnya metode ini disebut sebagai historical-grammatical interpretation. Tujuan dari metode ini adalah mengangkat arti subyektif dari Kitab Suci. Pembaca diwajibkan untuk kembali ke konteks penulis, dengan mengadakan penelitian latar-belakang sejarah, budaya penulis dan analisa teks. Hasil dari penafsiran ini akan menghasilkan ajaran-ajaran penting iman Kristen.25 Kedua, oleh sebab Alkitab adalah Wahyu Allah maka sejarah dan budaya di dalam Alkitab adalah supra-historis dan supra-kultural. Itu Page 13
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
sebabnya walaupun kita berusaha mengungkapkan arti Alkitab apa adanya - dengan sejarah dan budayanya yang telah lampau atau kuno - Alkitab tetap relevan bahkan melampaui waktu dan budaya mana saja. Maka tidak dapat diterima jika kita menganggap makna Alkitab itu tidak relevan dengan sejarah dan budaya manapun. Prinsip ini penting untuk dipegang ketika kita menganggapi teologi atau ajaran-ajaran yang marak berkembang di sekitar gereja kita saat ini.
2. Menghormati Penulis Alkitab Ketika kita membaca Alkitab berarti kita mendapat kekhususan dari Allah. Dari ajaran inspirasi kita tahu bahwa Allah sengaja menulis suatu berita untuk kita. Dan ketika Dia ingin menyampaikan sesuatu kepada kita Ia mencatat isi berita itu. Allah tidak menjadikan para penulis Alkitab seperti sekretaris yang hanya menangkap inti berita dari majikannya kemudian membuat surat kepada yang akan dituju. Namun dari inspirasi kita tahu bahwa Alkitab adalah hasil karya-Nya sendiri. Ketika kita menerima dan membaca Alkitab bukankah adalah suatu kehormatan untuk kita yang membacanya? Ajaran inspirasi juga menunjukkan bahwa isi Alkitab itu demikian penting dan serius bagi eksistensi manusia. Jika Allah tidak serius dalam menyatakan diri-Nya maka Ia tidak perlu menginspirasikan Alkitab. Bahkan Alkitab tidak ada pun, tidak menjadi masalah bagi-Nya. Jika kita memakai konsep pewahyuan neo-ortodoksi, maka Wahyu tidak memiliki makna universal dan obyektif yang penting dan serius bagi eksistensi kita dan orang lain selain memberi makna subyektif bagi kita sendiri. Namun dengan inspirasi kita dapat ketahui bahwa isi Alkitab itu sangat penting, sampai harus diabadikan dalam bentuk tulisan. Bahkan inspirasi membuktikan adanya harapan dari Allah agar kita juga serius dalam membaca Alkitab, sebab buku itu datangnya dari Allah. Maka suatu sikap yang keliru jika kita membaca Alkitab dengan sikap yang sama ketika kita membaca buku-buku, koran, majalah atau teks-teks lainnya dengan motivasi hanya untuk mencari berita atau pengetahuan semata. Ketika Alkitab berbicara kepada kita, biarkanlah penulisnya, Allah itu sendiri, berbicara kepada kita. Jika kita belum menerapkan prinsip ini, mungkin Page 14
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
kita belum mengerti apa itu inspirasi atau kita adalah penolak setia ajaran ini.
1
Lebih jelasnya lihat tulisan dari Daniel Lucas Lukito, Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Teologi Abad XXI, Veritas Vol. I, No. I (April 2001), hal. 3-17. 2
Bon Ring Ro, "The Bible Theology In Asian Today; Declaration of sixth Asian Theological Consultation". The Bible And Theology In Asian Contexts. Ed. Bong Rin Ro & Ruth Eshenaur (Banglore, 1984), hal. 5. 3
W. Gary Crampton, Verbum Dei (Jakarta: Momentum, 2000), hal. 36,37.
4
Donald Bloesch, Holy Scripture (Illinois: IVP, 1994), hal. 117.
5
Pengertian pasif adalah di mana Alkitab dihembuskan oleh Allah di dalam proses pencatatan Alkitab atau sebelum Alkitab selesai. Sedangkan pengertian Alkitab Aktif berarti Alkitab yang menghembuskan Roh Allah. Pengertian kedua ini dikenakan pada fungsi Alkitab setelah Alkitab selesai ditulis. Dengan demikian pengertian Alkitab aktif sama sekali tidak ada kaitannya dengan proses inspirasi. Pendapat Alkitab secara aktif menghembuskan Roh Allah dipegang oleh Karl Barth. Bagi Barth Alkitab bukan hanya berarti pasif di dalam proses terjadinya melainkan juga kemudian secara aktif menghembuskan dan menyebarluaskan dan memperkenalkan Roh Allah. Lihat Karl Bath, Church Dogmatics. Trans. G.T. Thompson (New York: Scribener's Sons, 1936), hal. 504. Bandingkan dengan pernyataan John Albert Bengel bahwa: "Scripture was divinely inspired not merely while it was being written God breathing throught the writters, but also while it was being read. God breathing trought the Scripture". William Childs Robinson, "The Inspiration of Holy Scripture", Christianity Today 13, No. 1 (oct 11, 1968), hal. 7. 6
Dalam kenyataan inspirasi tidak membunuh karakteristik dan peran yang sangat manusiawi di dalam Alkitab misalnya: 1) Terdapat perbedaan cara pengutaraan maksud Allah. Penulis Alkitab memakai berbagai bentuk sastra untuk mengutarakan maksud Allah. Itu sebabnya ada yang memakai cerita (narasi), puisi, sejarah, syair, surat-surat, dan lain-lain. 2) Para penulis memakai sumber-sumber kitab yang tidak diinspirasikan untuk mendukung tulisan mereka. Misalnya Lukas mengakui bahwa Injilnya di dasarkan pada dokumen-dokumen manusia yang sudah ada pada masanya (Lukas 1:1-4). Penulis Yosua menggunakan kitab-kitab orang jujur untuk menguatkan argumennya (Yosua 10:13). Lebih jelas dapat dilihat dalam Norman L. Geiser & William L. Nix, A General Introduction to The Bible (Chicago Press, 1969), hal. 54-57. Page 15
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary 7
G.C. Berkouwer, Holy Scripture, Trand. Jack B. Rogers (Grand Rapids: Eerdmans, 1975), hal. 181. 8
Bandingkan antara teori Mekanikal (ekstasi) yang menolak keterlibatan manusia secara penuh, diekstrim yang lain dan liberalisme yang menolak keterlibatan Allah di ekstrim yang lain pula (bagian ini akan dibahas kemudian). 9
Penulis (Rasul dan Nabi) tahu apa yang mereka tulis, mereka tidak hanya seperti sebuah pensil atau alat tulis, yang dipakai tanpa memiliki kesadaran. 10
G.C. Berkouwer, Holy Scripture, hal. 183.
11
Bandingkan dengan gejala-gejala gerakan Kharismatik yang salah satunya menekankan adanya wahyu baru. Bukankah ini menunjukkan suatu pengulangan terhadap ajaran montanisme?
12
H. Berkhof, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hal. 25.
13
Geoffrey W. Bromiley, "The Origin of Scripture", Scripture and Truth. D.A, Carson and John D, Woodbridge, (ed) (Grand Rapids: Zondervan, 1983), hal. 209.
14
Robert M. Grant & David Tracy, A Short History of the Interpretation of the Bible, (USA: Fotress, 1993), hal. 102. 15
Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam bukunya Nico Syukur, Pengantar Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 122.
16
Alister McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, Trans. Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hal. 176.
17
ibid, hal. 185.
18
Selain Sola Fide dan Sola Gratia.
19
Pada masa pencerahan agama harus alamiah murni. Eduart Herbert (1581-1748) menganggap bahwa akal haruslah memiliki otonomi mutlak terhadap agama. John Toland (1670-1772) menulis "Christianity not Misterius".
20
Princeton Lama pada masa-masa pencerahan merupakan benteng pertahanan Protestan Ortodoks menghadapi serangan-serangan liberalisme yang menggerogoti teologi Kristen saat itu. Dengan mewarisi ajaran Reformed dari Francis Turetin (1623-1687), Archibald Alexander (1772-1851), Charles Hodge (1797-1878), A.A. Hodge (1823-1886), B.B. Wardfield (1851-1921), dan Jon Gresham Machen (18811937) mempelopori gerakan Princeton Lama. Yakub B. Susabda, Pengantar Teologi Reformed (Jakarta: LRII, 1997), hal. 62-67. Page 16
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary 21
B.B. Warfield, The Inspiration and Authority of the Bible, (Philadelphia: P&R, 1948), hal. 210.
22
Hendry H. Knight III, A Future For Truth, (Nashville: Abingdon Press, 1997), hal. 93
23
Harvey Conn, Teologia Kontemporer, (Malang: SAAT, 1991), hal. 34.
24
Garret Green, Imaging God: Theology and the Religious Imagination (Grand Rapids: Eerdmans, 1976), hal. 106. 25
Sebagai contoh adalah doktrin Trinitas, Inkarnasi, Penebusan, Keselamatan, Gereja, dll. Paul Avis, "Teologi dan Studi Keagamaan", Ambang Pintu Teologi, ed Paul Avis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 141.
DAFTAR PUSTAKA Avis, Paul. "Teologi Dan Studi Keagamaan". Ambang Pintu Teologi, ed Paul Avis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Barth, Karl. Church Dogmatics. Trans. G. T. Thompson. New York: Scribener's Sons, 1936. Berkhof, H. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. Berkouwer, G. C. Holy Scripture. Trand. Jack. B. Rogers. Grand Rapids: Eerdmans, 1975. Bloesch, Donald. Holy Scripture. Illinois: IVP, 1994. Bromiley, Geoffrey W. "The Origin of Scripture". Scripture and Truth. D. A, Carson and John D, Woodbridge, (ed) Grand Rapids: Zondervan, 1983. Conn, Harvey. Teologia Kontemporer. Malang: SAAT, 1991. Crampton, W. Gary. Verbum Dei. Jakarta: Momentum, 2000. Geiser, L. Norman & Nix William. A General Introduction To The Bible Chicago Press, 1969. Page 17
Inspirasi Menjamin Alkitab Sebagai Wahyu Allah – Rizal Calvary
Grant M. Robert. & Tracy, David. A Short History of the Interpretation of the Bible, USA: Fotress, 1993. Green, Garret. Imaging God: Theology and the Religious Imagination. Grand Rapids: Eerdmans, 1976. Knight III, Hendry H. A Future For Truth, Nashville: Abingdon Press, 1997. Lukito, Lucas Daniel. Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Teologi Abad XXI, Veritas Vol. I, No. 1 (April 2001). McGrath, Alister. Sejarah Pemikiran Reformasi, Trans. Liem Sien Kie, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ro, Bong Rin "The Bible Theology In Asian Today; Declaration of sixth Asian Theological Cunsultation." The Bible And Theology In Asian Contexts. Ed. Bong Rin Ro & Ruth Eshenaur. (Banglore, 1984). Robinson, William Childs. "The Inspiration of Holy Scripture", Christianity Today 13 No. 1 (Oct. 11, 1968). Susabda, B. Yakub. Pengantar Teologi Reformed. Jakarta: LRII, 1997. Syukur, Nico. Pengantar Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Warfield, B. B. The Inspiration and Authority of the Bible, Philadelphia: P&R, 1948.
Sumber: Semi Jurnal Reformata Vol. I (Mei 2002), halaman 38-52 Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari http://www.geocities.com/thisisreformed/artikel/inspirasialkitab.html
Page 18