BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah yang berasal dari area bekas kebakaran 1 kali yang terbakar pada tahun 2004, area bekas kebakaran 3 kali yang terbakar pada tahun 2002, 2003, dan 2004 serta contoh tanah yang berasal dari area yang tidak tebakar.
Penentuan lokasi
pengambilan contoh tanab berdasarkan data sekunder antara lain peta kerja BKPH Tomo Utara skala 1: 50.000, peta tanah tinjau wilayah Sumedang Utara skala 1: 100.000, peta mpa bumi skala 1:25.000, dan data kebakaran hutan BKPH Tomo Utara.
Metode Penelitian Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pengurnpulan data, penentuan plot pengamatan, pengambilan contoh tanah dan serasah, analisis contoh tanah dan serasah, clan analisis data dan penyajian hasil.
Penentuan Plot Pengamatan Kegiatan penelitian ini diawali dengan pengumpulan data sekunder berupa data kebakaran hutan yang terjadi di BKPH Tomo Utara. Selanjutnya, dilakukan survei pendahuluan yang ditunjang oleh peta tanah dan peta kerja BKPH Tomo
Utam untuk menentukan satuan lahan homogen pada area kebakaran dan area yang tidak terbakar. Satuan lahan homogen ini sebagai dasar penentuan plot pengamatan dan pengambilan contoh tanah. Satuan lahan homogen memiliki keseragaman jenis tanah yaitu Vertic Ustropepts, lereng, dan area bekas kebakaran hutan. Pemilihan area bekas kebakaran berdasarkan frekuensi kebakaran yang terjadi, yaitu area yang terbakar 1 kali pada tahun 2004 dan area yang terbakar 3 kali yang terjadi pada tahun 2002, 2003, dan 2004, serta memiliki jenis dan umur tanaman yang seragam yaitu tanaman jati yang ditanam pada tahun 1998. Untuk lereng dibagi ke dalam kelas lereng 0-8% dan 15- 25% pada masing-masing area yang terbakar dan yang tidak terbakar. Selanjutnya, pada masing-masing satuan
lahan homogen ditentukan plot pengamatan yang berukuran 20 x 20 meter (petak contoh primer).
Pengambilan Contoh Tanah dan Serasah Pengambilan contoh tanah dilakukan untuk menganalisis sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada masing-masing plot pengamatan. Pengambilan contoh tanah
dan serasah dilakukan pada bulan Mei 2005 yaitu 9 bulan setelah terjadi kebakaran terakhir yang terjadi pada bulan Agustus 2004. Pembuatan Profil Tanah Pada masing-masing unit pengamatan dibuat satu profil tanah. Pembuatan profil tanah dilakukan sampai kedalaman 1 meter untuk mengetahui tebal horison atas dan sifat- sifat morfologi tanah, serta sebagai dasar pengambilan contoh tanah untuk keperluan analisis. Pengambilan Contoh Tanah untuk Analisis Sifat Fisika Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat fisika dilakukan pada dua horison teratas pada profil tanah yang telah dibuat. Contoh tanah yang diambil mempakan contoh tanah tidak terganggu dengan menggunakan ring contoh dan contoh tanah agregat utuh berupa bongkahan tanah. Contoh tanah tidak terganggu temtama digunakan untuk analisis bobot isi, porositas, dan permeahilitas tanah. Contoh tanah agregat utuh digunakan untuk analisis distrihusi dan stabilitas agregat tanah. Selain itu, juga dilakukan analisis tekstur dan kadar air serta dilakukan pengukuran infiltrasi di lapangan. Pen~ambilanContoh Tanah untuk Analisis Sifat Kimia Untuk sifat kimia tanah, pengambilan contoh tanah pada masing masing plot pengamatanlpetak contoh primer dilakukan pada petak contoh sekunder yang berukuran 1x1 meter, dimana setiap plot pengamatan terdapat tiga petak contoh sekunder yang mewakili masing-masing satuan lahan homogen yang ada. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada dua horison teratas pada profil yang telah dibuat dan menggunakan bor tanah pada dua petak contoh sekunder lainnya. Contoh tanah yang diambil mempakan contoh tanah terganggu. Tanah hasil pengambilan tersebut dikompositkan dari tiga petak contoh sekunder
masing-masing dalam unit petak contoh primer yang telah dibuat sebelumnya. Selanjutnya, contoh tersebut dipisahkan pada masing-rnasing horison yang sama, kemudian diaduk secara merata untuk diambil hasilnya untuk dianalisis. Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah pH, C-organik total, C-organik pada berbagai ukuran agregat, N- total, P HC1 25 %, P-tersedia, dan kation-kation basa (K, Ca,
Mg, dan Na) Pengambilan Contoh Serasah Pengambilan contoh serasah dilakukan pada setiap satuan lahan hornogen. Satu plot petak contoh primer 20x20 meter yang mewakili satuan lahan homogen yang ada diambil contoh serasah dari 3 petak contoh sekunder yang berukuran
1x1 meter. Contoh serasah digunakan untuk analisis kandungan hara dari serasah. Pada setiap petak contoh sekunder juga dihitung jumlah serasah berdasarkan bobot isi per satuan luas. Analisis Contoh Tanah dan Serasah
Analisis contoh tanah dilaksanakan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB untuk memperoleh sifatsifat fisika dan kirnia tanah. Parameter sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang dianalisis dan metode analisis yang digunakan disajikan pada Tabel 3. Selain analisis tanah, juga dilakukan analisis kandungan hara dari serasah jati. Analisis Data dan Penyajian Hasil
Analisis Sifat Fisika dan Kimia Analisis data tanah untuk mengetahui dampak kebakaran terhadap sifatsifat fisik dan kimia tanah dilakukan secara deskriptif antara data pada area yang terbakar yang dibedakan berdasarkan frekuensi kebakaran dengan area yang tidak terbakar yang mempunyai kerniringan lereng yang sama dan jenis tanah yang sama. Penentuan Laiu Erosi dan Erosi Potensial Setiap Unit Lahan Penentuan laju erosi dan erosi potensial pada setiap satuan lahan homogen dengan memanfaatkan data sifat-sifat fisik dan kimia dari hasil analisis. Laju erosi
dan erosi potensial ditentukan berdasarkan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikemukan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yaitu :
A = RKLSCP dimana A adalah besamya erosi (tonJhaftahun),R adalah faktor erosivitas hujan, K adalah faktor erodibilitas tanah, LS faktor panjang dan kemiringan lereng, C adalah faktor pengelolaan tanaman, dan P adalah faktor tindakan konservasi
Tabel 3. Parameter dan metode analisis
No 1
Jenis Analisis Bulk Density Kadar air Infiltrasi Porositas Distribusi agregat f. Ketahanan agregat g. Permeabilitas
Gravimetri Gravimetri Lapangan (infiltrometer) Gravimetri Pengayakan Pengayakan keringhasah Lambe
dcc %
cdjarn %
mm
cdjam
Sifat-Sifat Kimia Tanah
a. pH
3
Satuan
Sifat-Sifat Fisika Tanah a. b. c. d. e.
2
Metode analisis
b. C-organik c. N-total d. P-tersedia e. P-HC125 % f. K,Ca, Mg, Na Jaringan Tanaman a. Curganik b. N-total c. P, K,Ca, Mg
pH meter Walkley and Black Kjeldahl Bray I HC125 % Ekstrak NHdOAcpH7 Walkley and Black Kjeldahl Pengabuan basah
YO %
PPm PPm me/ 1OOg YO %
YO
Faktor Erosivitas Huian (R) Faktor erosivitas hujan diperoleh berdasarkan data curah hujan. Perhilungan faktor erosivitas hujan ditentukan dengan menggunakan rumus :
yang dikemukakan oleh Levain (1975), diacu dalam Bols (1978), dimana El,, adalah indeks erosivitas hujan bulanan, R adalah curah hujan bulanan dalam sentimeter. Faktor Erodibilitas Tanah (K) Faktor erodibilitas tanah ditetapkan pada setiap satuan lahan homogen yang memuat data fisik tanah dan kimia tanah hasil analisis, yaitu permeabilitas, struktur, tekstur, dan kandungan bahan organik. Nilai faktor erodibilitas tanah tersebut diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan persamaan : lOOK =1.292 12.1~'-'~10"(12-a)+3.25(b-2)+2.5(~-3)] yang dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978), dimana K adalah faktor erodibilitas tanah, M adalah ( persentase pasir sangat halus dan debu) x (100persentase liat), a adalah persentase bahan organik, b adalah kode struktur tanah, c adalah kelas permeabilitas tanah. Faktor Lereng (LS) Faktor lereng diperoleh dari perkalian faktor panjang lereng dan faktor kemiringan lereng. Faktor panjang lereng diperoleh dengan menggunakan persamaan yang diperkenalkan oleh Eyces (1968), diacu dalam Haryanto (1994) yaitu :
L = (~0/22ys dimana L adalah faktor panjang lereng, Lo adalah panjang lereng dalam meter, sedangkan untuk menghitung faktor kemiringan lereng digunakan persamaan :
s = (s/9y4 yang dikemukakan oleh Eppink (1979), diacu dalam Haryanto (1994), dimana S adalah faktor kemiringan lereng dan s adalah kemiringan lereng dalam persen. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Faktor Tindakan Konservasi Tanah (PI Penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan jati yang pernah terbakar pada tahun 2002, 2003, dan 2004. Faktor pengelolaan
tanaman (C) dan tindakan konservasi tanah (P) ditentukan berdasarkan literatur yang ada.
HASlL DAN PEMBAHASAN Serasah Tanaman Jati Bobot Tumpukan Serasah Tauaman Jati Bobot tumpukan serasah tanaman jati yang dominan berupa daun dan ranting, yang berada di atas permukaan tanah dari masing-masing titik pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Bobot tumpukan serasah tanaman jati di atas permukaan tanah Lereng
Bobot tumpukan serasah (tonha) Area tidak terbakar Area terbakar lx
Area terbakar 3x
Hasil tersebut menunjukkan bahwa area yang tidak terbakar mempunyai bobot tumpukan serasah yang lebih tinggi (3.46 tonha) dibandingkan dengan area bekas kebakaran 1 kali (2,78 toniha) maupun area bekas kebakaran 3 kali (2.76 toniha). Sedangkan antara area bekas kebakaran 1 kali dengan area bekas kebakaran 3 kali bobot tumpukan serasahnya hampir sama. Rendahnya tumpukan serasah pada area bekas kebakaran karena pada suatu kejadian kebakaran, serasah yang ada pada area tersebut habis terbakar, sedangkan di area yang tidak terbakar dalam kurun waktu yang sama masih ada sisa serasah yang belum terdekomposisikan. Selain itu, diduga jatuhan serasah di area yang terbakar lebih sedikit dibandingkan area yang tidak terbakar. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan tanaman jati di area yang tidak terbakar lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman jati di area bekas kebakaran, terutama area yang bemlang kali terbakar.
Kandungan Hara Serasah Tanaman Jati Serasah adalah sumber utama bahan organik yang akan mengalami pelapukan dan terangkut ke horison lebih dalam dan selanjutnya bersatu dengan
tanah dan menyumbangkan sejumlah unsur hara. Kandungan hara serasah jati yang diperoleh dari hasil analisis disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis kandungan hara serasah jati Unsur hara
Serasah tanaman jati
Analisis serasah tanaman jati menunjukkan bahwa sebagian besar jaringan tanaman jati mengandung 42.17% karbon (C-organik), hanya sebagian kecil terdapat unsur-unsur lain seperti 0.94% nitrogen (N), 1.43% kalsium(Ca), 0.41% magnesium (Mg), 0.07% kalium (K), dan 0.05% fosfor (P). Kandungan hara tersebut mengalami perubahan setelah serasah berubah menjadi abu akibat proses kebakaran. Grier (1975), diacu dalam Daniel et al. (1987) menyatakan bahwa pembakaran sisa tanaman akan menyebabkan kehilangan nitrogen sebesar 10-
15%. Menurut Spurr dan Barnes (1980) berkurangnya kandungan C-organik dan N-total tersebut karena proses pembakaran menyebabkan unsur tersebut hilang melalui konveksi dan volatilisasi.
Perubahan Morfologi Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Pengamatan profil di lapangan (Lampiran 1 ) menunjukkan bahwa pada saat 9 bulan setelah kebakaran, secara umum tidak terjadi perubahaan morfologi tanah akibat proses kebakaran. Analisis warna tanah berdasarkan pengamatan profil di lapangan dengan menggunakan MunseN Soil Color diketahui bahwa warna tanah area bekas kebakaran secara umum tidak berbeda dengan area yang tidak terbakar. Horison atas tanah, baik pada area bekas kebakaran maupun area
yang tidak terbakar pada lereng 0-8% berwarna coklat gelap (7.5 YR 4/3), clan pada lereng 1525% benvama coklat (7.5 YR 4/61.
Dari pengamatan profil diketahui tebal horison atas area bekas kebakaran mengalami penurunan jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (Gambar 5). Pada lereng 0-8% area bekas kebakaran 3 kali mempunyai tebal horison atas 18 cm, area bekas kebakaran 1 kali tebal horison atasnya 21 cm,
Gambar 5. Perubahan tebal horison atas akibat kebakaran lantai hutan dan area yang tidak terbakar mempunyai horison atas setebal 23 cm. Hal ini menunjukkan bahwa erosi yang terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali lebih tinggi yang menyebabkan hilangnya horison atas setebal 5 cm jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, dan pada area bekas kebakaran 1 kali horison atasnya berkurang setebal 2 cm. Untuk area pada lereng 15-25%, baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali kehilangan horison atasnya lebih besar jika dibandingkan dengan area yang sama pada lereng
0-8%. Pada area bekas kebakaran 3 kali dengan tebal horison atas 26 cm mengalami kehilangan horison atas setebal7 cm, dan pada area bekas kebakaran 1 kali mengalami kehilangan horison atas setebal 3 cm jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar.
Hal di atas membuktiian bahwa kebakaran yang
berulang-ulang menyebabkan terjadinya erosi yang intensif seperti yang
diiemukakan oleh Giovannini et al. (1990) dan dengan bertambahnya kemiringan lereng erosi yang terjadi akan lebih besar (Arsyad, 1989). Perubahan Sifat Kimia Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Reaksi Tanah (pH tanah) Hasil analisis sifat kimia tanah (Lampiran 2) menunjukkan adanya pembahan pH tanah akibat kebakaran lantai hutan. Nilai pH tanah area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali pada lereng 0-8% daerah penelitian berturut-turut adalah 6.29, 6.84, dan 6.20 untuk horison atas dan 7.65, 7.87, 7.24 untuk horison bawah. Pada lereng 15-25% bertumt-tumt adalah 5.93, 6.10 dan 5.87 untuk horison atas, serta 6.57, 6.63 dan 5.81 untuk horison bawah (Garnbar 6). Dari data tersebut diketahui hahwa pH tanah area
Gambar 6. Pembahan pH tanah akibat kebakaran lantai hutan. bekas kebakaran 1 kali pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran lebih tinggi jika dibandiigkan dengan area yang tidak terbakar, sebaliknya pada area bekas kebakaran 3 kali lebih rendah. Peningkatan pH tanah pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran pada area bekas kebakaran 1 kali disebabkan oleh adanya penambahan unsur hara terutama basa-basa yang berasal dari abu serasah sisa kebakaran yang dapat
meningkatkan pH tanah, dan penambahan tersebut dalam jangka waktu 9 bulan setelah tejadi kebakaran diduga lebih besar jika dibandingkan dengan kehilangan yang dimanfaatkan tanarnan, proses pencucian, dan proses erosi setelah tejadi kebakaran. Hal yang sama juga disampaikan oleh De Bano et al. (1998), yaitu penambahan basa-basa yang berasal dari abu sisa kebakaran yang relatif lebih tinggi sehingga banyak mengandung unsur hara yang dapat meningkatkan pH tanah, karena adanya penguraian materi organik bempa limbah (serasah di lantai hutan) dan jaringan vegetasi yang terbakar, sehingga menghasilkan abu yang mengandung kation basa. Peningkatan pH tanah horison atas (0-2 1 cm) pada lereng 0-8% area bekas kebakaran 1 kali sebesar 0.55 satuan unit pH, ha1 ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Pennington, et a1 (2001) yaitu tejadi peningkatan pH tanah sebesar 0.5-0.7 satuan unit pH pada kedalaman 0-20 cm dalam jangka waktu 9 bulan setelah terjadi kebakaran. Pada horison atas area bekas kebakaran 3 kali, pH tanahnya lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Diduga sesaat setelah terjadi kebakaran, pH tanah pada area bekas kebakaran 3 kali mengalami peningkatan, tetapi dalam jangka waktu 9 bulan setelah tejadi kebakaran terakhir, pH tanah area bekas kebakaran 3 kali mengalami penurunan. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh proses erosi yang terjadi pada lahan tersebut sangat intensif akibat terjadinya kebakaran yang bemlang-ulang yang dapat menyebabkan tejadiiya pemadatan tanah sehingga memperburuk sifat fisik tanah seperti porositas tanah rnenurun dan kemampuan tanah menyerap air menurun serta meningkatkan aliran permukaan.
Erosi yang tinggi karena curah hujan yang
tinggi setelah terjadi kebakaran pada area bekas kebakaran 3 kali menyebabkan abu serasah sisa kebakaran yang banyak rnengandung unsur-unsur hara yang awalnya dapat meningkatkan pH tanah sebagian besar hilang bersamaan dengan aliran permukaan sehingga m e n d a n pH tanah. Pa& horison bawah, pH tanah cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan horison atas tanah untuk setiap titik pengamatan (Gambar 6). Hal ini diduga karena adanya penambahan
basa-basa pada horison bawah akibat
terjadinya pencucian basa-basa pada horison atas. Selain itu, faktor utama yang
menyebabkan tingginya pH tanah pada horison bawah kemungkinan karena bahan induk di daerah penelitian berkembang dari batuan napal yang banyak mengandung kalsit.
C-Organik Total Tanah dan C-Organik Total pada Berbagai Ukuran Agregat Tanah Hasil analisis kadar C-organik total disajikan pada Gambat 7. Kadar Corganik total pada horison atas area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakarn 3 kali pada lereng 0-8% berturut-turut adalah 1.84%, 1.53%, dan 1.53%, sedangkan pada lereng 15-25% adalah 1.64%, 1.52%, dan 1.36%.
Gambar 7. Perubahan C-organik total tanah akibat kebakaran lantai hutan. Dari data tersebut di atas diketahui bahwa pada saat 9 bulan setelah terjadi
kebakaran C-organik total tanah pada area yang terbakar cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali. Penurunan kadar Corganik total antara tanah area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali relatif hampir sama pada lereng 0-8%, sedangkan pada lereng 15-25%
penurunan C-organik total pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar daripada area bekas kebakaran 1 kali. Penurunan C-organik total pada area bekas kebakaran 1 kali akibat kebakaran mencapai nilai sebesar 16-17% dari C-organik total pada area yang tidak terbakar. Hasil penelitian Pennington et al. (2001) juga menunjukkan ha1 yang sama yaitu tejadi penurunan C-organik total sebesar 16.9% pada area bekas kebakaran pada saat 9 bulan setelah tejadi kebakaran. Lebih rendahnya kadar Corganik total pada area bekas kebakaran diduga karena kehilangan C-organik total yang berasal dari pembakaran serasah pada saat kebakaran lebih besar dari kehilangan C-organik total pada area yang tidak terbakar (berasal dari dekomposisi bahan organik berupa serasah). C-organik total pada horison atas area bekas kebakaran tersebut hilang melalui proses volatilisasi, pencucian dan erosi intensif, terutama pada area bekas kebakaran 3 kali akibat sering terbukanya lantai hutan. Tabel 6 menunjukkan kadar C-organik total pada berbagai ukuran agregat tanah. Sama dengan C-organik total tanah, kadar C-organik total pada berbagai ukuran agregat tanah cenderung lebih rendah pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran. Penurunan terbesar tejadi pada agregat ukuran 4.8-8 mm, yaitu pada lereng 0-8% terjadi penurunan sebesar 26.13% pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan 26.63% pada area bekas kebakaran 3 kali. Pada agregat yang paling kecil (0.1-0.3 mm) terjadi penurunan yang lebih rendah yaitu sebesar 20.59% pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan 21.08% pada area bekas kebakaran 3 kali. Kadar C-organik total pada masing-masing agregat cenderung berbeda. Pada agregat yang mempunyai ukuran yang paling kecil(0.10.3 mm) cenderung mempunyai kadar C-organik total lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar C-organik total dalarn agregat yang berukuran lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa agregat yang lebih kecil mengikat bahan organik lebih banyak dibandingkan agregat yang lebih besar. Pujiyanto (2004) menyatakan bahwa jumlah bahan organik yang dapat diikat tiap satuan bobot agregat akan lebih tinggi pada agregat yang ukurannya lebih kecil, karena agregat yang berukuran lebih kecil memiliki luas permukaan spesifik yang lebih tinggi
Tabel 6. Kadar C-Organik Total pada Berbagai . Ukuran Agregat ~. Tanah Titik Pengamatam
Lereng 0-8 % 1. Horison atas -area tidak terbakar - areaterbakar lx -areaterbakar3x 2. Horison bawah -area tidak terbakar - areaterbakar lx -aeaterbakar3x
Lereng 15-25 % I . Horison atas - area tidak terbakar -area terbakar lx -areaterbakar3x 2. Horison bawah area tidak terbakar -area terbakar lx -areaterbakar3x
-
Ketermran :
4.8-8
2.8-4.8
C-organik total pada berbagai ukuran agregat ( O h ) 1-2 0.5-1
2-2.8
.'
0.1-0.5
20.59*(-) 21.08**(-)
1.99 1.47 26.13*(-) 1.46 26.63**(-)
1.99 1.53 2 I - ) 1.48 25.63**(-)
2.01 1.55 22.88*(-) 1.49 25.87**(-)
2.02 1.55 23.27*(-) 1.52 24.75**(-)
2.03 1.58 22.17*(-) 1.57 22.66**(-)
1.91 1.59 1.59
16.75*(-) 16.75**(-)
2.04 1.62 1.61
0.91 0.76 16.48*(-) 0.92 1.09**(+)
0.94 0.78 1.06
17.02*(-) 1.06**(+)
0.95 0.81 15.74*(-) 0.97 2.ll**(+)
0.95 0.80 15.79*(-) 0.96 1.05**(+)
0.99 0.89 10.10*(-) 1.06 7.07**(+)
0.96 0.78 1.12
18.75'(-) 16.67**(+)
0.99 0.90 1.16
9.0Yr(-) 17.17**(+)
1.59 1.32 16.98*(-) 1.20 24.53**(-)
1.62 1.41 1.24
12.96*(-) 23.46'*(-)
1.63 1.42 12.88'(-) 1.24 23.93**(-)
1.62 1.47 9.26*(-) 1.23 24.07"(-)
1.63 1.49 8.59*(-) 1.31 19.63**(-)
1.66 1.52 1.35
18.67'*(-)
1.72 1.57 1.36
8.72*(-) 20.96**(-)
0.70 0.94 34.2S1(+) 0.98 40.0**(+)
0.63 0.95 0.99
50.79*(+) 57.14**(+)
0.70 1.11 58.57*(+) 1.01 44.28**(+)
0.72 1.12 55.55*(+) 1.02 41.67**(+)
0.61 0.95 55.74*(+) 0.99 62.29**(+)
0.71 1.11 1.13
56.34*(+) 59.15**(+)
0.72 1.15 1.13
Denuruflan. (+I oeninekatm dibandinekan terhadm area vane tidak. terbakar . ~ ;&rrr.nlnsc per;hahm ~ ~ o r g marea t l vri&aks I kali icrhadap arein lld& tcrhakar per
(-)
0.3-0.5
~~
8.43*(-)
59.72*(+)
56.94**(+)
dibandingkan agregat yang berukuran lebih besar, dengan demikian agregat yang berukuran lebih kecil mempunyai peluang kontak untuk membentuk ikatan yang lebih besar dibandingkan dengan agregat yang berukuran besar. Selain itu, aksesibilitas mikroorganisme pada agregat yang berukuran 0.1-0.3 mm lebih rendah dibandingkan pada agregat yang berukuran lebih besar, sehingga dekomposisi bahan organik dalam agregat yang be&menjadi sulit dan lebih lama.
lebih kecil akan
Edward dan Bremner (1967), diacu dalam
Sudarsono (1991) menyatakan bahwa konservasi bahan
organik pada
mikroagregat terjadi karena mikroagregat tersebut dipandang tidak dapat dimasuki oleh mikroorganisme sehingga bahan organik di dalamnya tidak dirombak.
Nitrogen Total Tanah Kadar nitrogen total pada area bekas kebakaran mengalami pembahan jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Gambar 8 menunjukkan kadar nitrogen total pada masing-masing titik pengamatan.
Gambar 8. Perubahan nitrogen total tanah akibat kebakaran lantai hutan. Kadar N-total pada area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali, dan area bekas kebakaran 3 kali pada lereng 0-8% berturut-turut adalah 0.14%, 0.12% clan 0.09% untuk horison atas dan 0.13%, 0.10%, dan 0.07% untuk horison bawah. Pada lereng 15-25% kadar N-total berturut-turut adalah 0.17%, 0.14%,
dan 0.10% untuk horison atas dan 0.10%, 0.1 1%, dan 0.10% untuk horison bawah. Secara umum rata-rata kadar nitrogen total dalam tanah yang berasal dari area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar nitrogen total dalam tanah yang berasal dari area yang tidak terbakar. Penurunan nitrogen total dalam tanah area bekas kebakaran disebabkan oleh proses pembakaran serasah-serasah di atas permukaan tanah menyebabkan sebagian besar nitrogen total yang terkandung dalam serasah hilang melalui proses volatilisasi. Selain volatilisasi nitrogen dari abu serasah, kehilangan nitrogen juga diduga karena volatilisasi nitrogen yang ada di tanah akibat terjadinya pernanasan tanah karena proses kebakaran. Nitrogen juga dapat hilang melalui proses pencucian dan erosi pada saat terjadi hujan, disamping diambil oleh tanaman dan dimanfaatkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Chandler et al.
(1983a) menyatakan bahwa
kecenderungan perubahan nitrogen beberapa periode setelah tejadinya kebakaran di area bekas kebakaran disebabkan karena unsur nitrogen sangat mudah menguap ke udara.
Disamping itu, perubahan nitrogen di dalam tanah dapat juga
disebabkan oleh proses imobilisasi nitrogen karena adanya penguraian bahan organik pada area bekas kebakaran dan meningkatnya mikroorganisme dekomposer setelah terjadi kebakaran. Penurunan nitrogen total tanah pada area bekas kebakaran 1 kali pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran berkisar antara 12-17% dari nitrogen total tanah pada area yang tidak terbakar. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Pennington et al. (2001) yaitu terjadi penurunan nitrogen total sebesar 12.3% pada saat 9 bulan
setelah terjadi kebakaran. Penurunan nitrogen total tanah pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar daripada penurunan nitrogen total pada area bekas kebakaran 1 kali yaitu berkisar 36-40% dari nitrogen total area yang tidak terbakar. Hal ini terjadi karena kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan nitrogen yang menguap melalui proses volatilisasi akan lebih banyak. Selain itu, nitrogen yang hilang melalui proses pencucian dan proses erosi yang intensif pada saat musim hujan pada area bekas kebakaran 3 kali juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan area
bekas kebakaran 1 kali karena sering terbukanya lantai hutan akibat kebakaran yang terjadi.
Fosfor HC1 2Soh dan Fosfor Tersedia Hasil analisis P-HC1 25% pada area yang tidak terbakar dan area bekas kebakaran
disajikan pada Gambar 9.
Dari data tersebut diketahui bahwa
kebakaran lantai hutan menyebabkan terjadinya peningkatan P-HC1 25% horison atas tanah baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali. Horison atas tanah area yang tidak terbakar mengandung P-HCI 25% sebesar 188ppm pada lereng 0-8% dan 158ppm pada lereng 15-25%. Pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, horison atas tanah area bekas kebakaran 1 kali meningkat menjadi 206 ppm pada lereng 0-8% dan 179 ppm pada lereng 1525%. Hal yang sama juga terjadi pada area bekas kebakaran 3 kali dengan peningkatan P-HCl 25% lebih tinggi daripada area bekas kebakaran 1 kali yaitu menjadi 334 ppm pada lereng 0-8% dan 206 ppm pada lereng 15-25%.
Gambar 9. Perubahan fosfor HCI 25 % tanah akibat kebakaran lantai hutan. Peningkatan P-HCI 25% tanah pada area bekas kebakaran diduga berasal
dari penguraian materi organik berupa limbah serasah di lantai hutan dan jaringan vegetasi yang terbakar, sehingga menghasilkan abu yang mengandung unsur hara
fosfor.
Fosfor merupakan unsur yang sangat stabil dalam tanah sehingga
kehilangan melalui pencucian relatif tidak pemah terjadi. Hal ini menyebabkan kelarutan fosfor dalam tanah sangat rendah yang konsekuensinya ketersediaan fosfor untuk tanah relatif sangat sedikit d m ketersediaan fosfor tersebut sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah. Berkaitan dengan P-tersedia dalarn tanah, kebakaran hutan cenderung menyebabkan tejadinya perubahan P-tersedia dalam tanah area bekas kebakaran seperti yang disajikan pada
Gambar 10.
Kebakaran hutan cenderung
li~ei~yebabkanP-tersedia pada area bekas kebakaran, baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, dan penurunannya relatif hampir sama untuk horison atas.
Gambar 10. Perubahan fosfor tersedia tanah akibat kebakaran lantai hutan. P-tersedia pada horison atas tanah pada area bekas kebakaran 1 kali mengalami penurunan menjadi 5.22 ppm pada lereng 0-8% dan 4.61 ppm pada lereng 15-25% jika dibandingkan dengan P-tersedia pada area yang tidak terbakar yang mengandung kadar P-tersedia sebesar 10.94 ppm pada lereng 0-8% dan 6.56 ppm pada lereng 15-25%. Penurunan P-tersedia horison atas pada area bekas kebakaran diduga karena P-tersedia hilang melalui proses erosi yang intensif dan
lebih tinggi pada area bekas kebakaran daripada area yang tidak terbakar. Kehilangan P-tersedia dalam tanah dapat disebahkan oleh terangkut tanaman, pencucian, dan proses erosi, tetapi kehilangan unsur hara fosfor melalui erosi intensif lebih besar daripada kehilangan oleh faktor-faktor lainnya. Kehilangan ini lebih besar dari yang diperkirakan, karena partikel-partikel halus yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi keseluruhan akan terangkut dari tanah oleh erosi. Kehilangan ini diperbesar lagi oleh curah hujan yang tinggi dan tidak adanya perlindungan terhadap permukaan tanah setelah tejadi kebakaran karena terbakarnya serasah dan tumbuhan permukaan. Selain itu, lebih rendahnya P-tersedia pada area bekas kebakaran diduga karena lebih rendahnya kandungan bahan organik pada area tersebut jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar akibat kebakaran yang terjadi.
Bahan organik sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan P tersedia dalam tanah, karena : (1) pembentukan senyawa fosfohumik yang mudah diambil tanaman, (2) reaksi pertukaran dengan ion-ion humat dan (3) dapat menyelimuti seskuioksida dan dapat menyanggah pengikatan P oleh tanah. Perubahan P-HCI 25% dan P-tersedia tanah yang telah dibahas sebelurnnya akibat k e b a k m lantai hutan yang terjadi merupakan suatu karakteristik sifat tanah yang mencirikan suatu area bekas kebakaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa P-HCI 25% pada horison atas area bekas kebakaran lebih tinggi daripada P-HCI 25% pada horison bawah (Gambar 9). dan P-tersedia pada horison atas area bekas kebakaran lebih rendah daripada Ptersedia pada horioson bawah (Gambar 10). Hal ini berbeda dengan area yang tidak terbakar dan tanah-tanah normal yang urnumnya P-HCI 25% pada horison atas lebih rendah daripada P-HC1 25% pada horison bawah, dan P-tersedia pada horison atas lebih tinggi daripada P-tersedia pada horison bawah (Tisdale et al. 1985).
Sebagai contoh, dari hasil analisis pada tanah-tanah di Kabupaten
Bandung seperti tanah Ultisol Cicalengka, Alfisol Ciwidey, dan Mollisol Cililin, P-tersedia semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman tanah (PPT 1993). Hasil penelitian Hussain et al. 1999 dan Ishaq et al. 2002 menunjukkan bahwa pada tanah yang diolah secara minimum maupun konvensional, P-tersedianya semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman tanah.
Kation-Kation Basa (Ca, Mg. K dan Na)
Kebakaran hutan cendemg memberikan pengaruh terhadap susunan kation yang dapat dipertukarkan dalam tanah baik pada area bekas kebakaran 1 kali maupun area bekas kebakaran 3 kali. Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar kalsium (Ca) pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, baik pada lereng 0-8% (17.02 me1100g) maupun pada lereng 15-25% (9.78 me1100 g) lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar dengan kandungan Ca sebesar 16.37 mellOOg pada lereng 0-8% dan 9.54 mellOOg pada lereng 15-25%. Sebaliknya, pada area bekas kebakaran 3 kali, kadar Ca lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar yaitu menjadi 9.92 me1100g pada lereng 0-8% dan 7.86 me1100g pada lereng 15-25%.
Gambar 11. Perubahan kalsium tanah akibat kebakaran lantai hutan. Demikian pula halnya dengan kation magnesium (Mg), cenderung lebih tinggi pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali clan lebih rendah pada area bekas kebakaran 3 kali
pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran jika
dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (Gambar 12).
Gambar 12. Perubahan magnesium tanah akibat kebakaran lantai hutan. Perubahan Ca dan Mg mempunyai pola yang sama dengan perubahan pH tanah. Pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, kadar kalsium dan magnesium pada area bekas kebakaran 1 kali relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar yang menyebabkan meningkatnya pH tanah. Hal ini diduga karena penambahan unsur kalsium dan magnesium dari serasah jati di permukaan tanah yang mengandung 1.43% Ca dan 0.41% Mg yang terbakar lebih besar jika dibandingkan dengan kehilangan kalsium dan magnesium yang dimanfaatkan oleh tanaman, proses pencucian, dan kehilangan melalui proses erosi setelah tejadi kebakaran. Pada area bekas kebakaran 3 kali, penambahan unsur kalsium dan magnesium dari abu sisa kebakaran tidak dapat mengimbangi kehilangan Ca dan Mg yang lebih besar, terutama kehilangan yang disebabkan oleh erosi yang intensif akibat terjadinya kebakaran yang berulang-ulang. Hal ini sejalan dengan pendapat Pritchett (1979) yang mengemukakan bahwa berkurangnya basa-basa tanah antara lain dapat disebabkan oleh penyerapan tanaman dan mikroorganisme tanah, diikat oleh koloid liat, dan hilang bersama air perkolasi dan aliran permukaan. Secara m u m , horison bawah pada setiap titik pengamatan cenderung mengandung kalsium dan magnesium lebih tinggi daripada horison atas. Hal ini diduga karena terjadinya pencucian kalsium dan magnesium pada horison atas
akibat curah hujan yang tinggi, dan yang paling utama adalah bahan induk yang berkembang pada daerah penelitian berasal dari batuan napal yang mengandung kalsit yang dicirikan oleh adanya konkresi kapur benvarna putih pada horison bawah, terutama pada lereng 0-8%. Pada saat 9 bulan setelah terjadi kebakaran, baik pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali pada berbagai tingkat kelerengan, kation kalium cenderung lebib rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar sebagaimana yang disajikan pada Gambar 13.
Kadar kalium pada horison atas area yang tidak terbakar sebesar 0.25 meI100g pada lereng 0-8% dan 0.30 me1100g pada lereng 15-25%. Pada area bekas kebakaran 1 kali kadar kalium mengalami penurunan menjadi 0.16 me1100g pada lereng 0-8% dan 0.21 meI100g pada lereng 15-25%. Dan pada area bekas kebakaran 3 kali penurunan semakin besar jika dibandingkan dengan area bekas kebakaran 1 kali yaitu menjadi 0.12 meI100g pada lereng 0-8% dan 0.1 1 me/100g pada lereng 15-25%.
Gambar 13. Perubahan kalium tanah akibat kebakaran lantai hutan. Perubahan natrium dalam tanah akibat kebakaran mempunyai pola yang sama dengan kalium. Kadar natrium pada horison atas area bekas kebakaran cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar seperti
yang disajikan pada Gambar 14. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Spurr dan Barnes (1980) bahwa kebakaran hutan yang menyebabkan terbakarnya serasah
dan vegetasi permukaan akan terjadi kehilangan beberapa kation terutama kalium
clan natrium.
Gambar 14. Perubahan Natrium Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan
Perubaban Sifat Fisika Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Bobot Isi, Porositas, dan Permeabilitas Tanab Hasil analisis sifat fisika tanah (lampiran 3) menunjukkan bahwa pada horison atas tanah terjadi perubahan bobot isi tanah (bulk density) akibat kebakaran yang terjadi. Sembilan bulan setelah teqadi kebakaran, bobot isi tanah pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali maupun pada area bekas kebakaran 3 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar pada berbagai tingkat kelerengan (Gambar 15 ). Pada horison bawah cenderung tidak terjadi perubahan bobot isi tanah terutarna pada lereng 0-8%. Kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan bobot isi tanah menjadi lebih tinggi
seperti yang disajikan pada Gambar 15.
Pada lereng 0-8%,
peningkatan bobot isi tanah pada area bekas kebakaran 3 kali (1.96 g/cm3) lebih besar daripada bobot isi pada area bekas kebakaran 1 kali (1.86 g/cm3) jika
Gambar 15. Perubahan bobot isi tanah akibat kebakaran lantai hutan. dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (1.75 g/cm3). Hal yang sama juga terjadi pada lereng 15-25% yaitu bobot isi tanah pada area bekas kebakaran 3 kali meningkat menjadi 1.89 g/cm3, sedangkan pada area bekas kebakaran 1 kali peningkatan bobot isi tanah menjadi 1.74 g/cm3 jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (1.64 g/cm3). Peningkatan bobot isi tanah pada area bekas kebakaran menyebabkan porositas total tanah menurun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 16. Porositas total pada horison atas area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali bemuut turut adalah 31.64%, 27.73%, dan 23.44 % pada lereng 0-8%, dan 35.94 %, 32.03 %, dan 26.17% pada lereng 15-
25%. Sejalan dengan penurunan porositas tanah pada area bekas kebakaran juga terjadi penurunan permeabilitas tanah seperti yang disajikan pada Gambar 17. Perubahan bobot isi tanah, porositas total, dan permeabilitas tanah setelah terjadi kebakaran kemungkinan disebabkan oleh adanya penyumbatan atau penutupan ruang pori tanah di horison permukaan pada saat tunm hujan karena terjadi pukulan/tumbukan secara langsung pada permukaan tanah yang telah terbuka akibat kebakaran hutan oleh butir-butir air hujan yang dapat menghancurkan dan
mendispersikan
agregat-agregat tanah
yang
dapat
menyebabkan ruang pori tanah berubah menjadi berkurang ukurannya sehingga tanah menjadi lebih padat.
Gambar 16. Pembahan porositas total tanah akibat kebakaran lantai hutan
Gambar 17. Perubahan permeabilitas tanah akibat kebakaran lantai hutan. Dengan demikian semakin padat suatu tanah maka bobot isi tanah akan meningkat, sebaliknya porositas total dan permeabilitas tanah menurun. Selain itu pemadatan tanah juga dapat terjadi karena abu sisa kebakaran dapat memenuhi
atau menyumbat pori-pori tanah. Pemadatan tanah tersebut semakin meningkat dengan tejadinya kebakaran yang bemlang-ulang yang menyebabkan sering terbukanya lantai hutan pada saat musim hujan sehingga bobot isi tanah meningkat dan porositas tanah menurun.
Sebaliknya pada area yang tidak
terbakar, serasah dan tumbuhan permukaan &pat berfungsi sebagai mulsa yang dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan butir-butir hujan secara langsung, mengurangi erosi permukaan dan juga dapat mempengaruhi kemampuan tanah menahan air. Kapasitas Tanah Menahan Air Kebakaran hutan menyebabkan terjadinya pembahan kapasitas tanah menahan air yang ditunjukkan oleh perubahan kadar air tanah dalam keadaan kapasitas lapang dan kadar air tersedia di dalam tanah.
Pada area bekas
kebakaran, kadar air dalam keadaan kapasitas lapang cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar seperti yang disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Perubahan kadar air dalam keadaan kapasitas lapang akibat kebakaran lantai hutan. Kadar air tanah dalam keadaan kapasitas lapang pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali mengalami p e n m a n menjadi 27.47% jika dibandingkan
dengan area yang tidak terbakar (34.04%) pada lereng 0-8%, dan penurunan kadar air tanah pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar yaitu menjadi 21.05%. Untuk lereng 15-25%, kadar air tanah pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali juga mengalami penurunan menjadi 29.56% dan 26.39%jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar ( 33.17%). Gambar 19 menunjukkan bahwa air tersedia pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali (6.13%) lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (9.14%) pada lereng 0-8 %, dan penurunan air tersedia pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar yaitu menjadi 5.48%. Untuk lereng 15-25% kadar air tersedia pada horison atas area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali juga lebih rendah yaitu menjadi 6.14% dan 5.73% jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar ( 6.87%).
Gambar 19. Perubahan kadar air tersedia akibat kebakaran lantai hutan. Perubahan kapasitas tanah menahan air yang terjadi akibat kebakaran dipengaruhi oleh perubahan porositas tanah setelah terjadi kebakaran, disamping disebabkan oleh adanya perubahan kemampuan partikel tanah mengikat air. Dengan menurunnya porositas total tanah menyebabkan kapasitas tanah menahan air berkurang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh De Bano et al.
(1998) yang menyatakan bahwa kebakaran menyebabkan kemampuan partikel
tanah dalam memegang air menjadi berkurang, sehingga kapasitas tanah menahan air juga menurun. Berkaitan dengan kebakaran hutan, menurut Chandler et al. (1983a) kemampuan tanah menahan air dipengaruhi beberapa faktor penyebab antara lain: (1) Hubungannya dengan variabel faktor fisika tanah lainnya yang berpengaruh terhadap kemampuan partikel tanah dalam memegang air tersebut seperti perbedaan bobot isi dan porositas tanah. (2) Bentuk tipe dan vegetasi penutup tanah. (3) Bentuk penutupan tajuk tegakan hutan. (4) Variasi jenis jaringan tumbuhan baik yang masih hidup maupun yang telah menjadi limbah berupa serasah yang terbakar, sehingga mempengaruhi banyaknya volume dan biomassa jaringan tumbuhan yang ikut terbakar, dan akan m e m p e n g d besarnya sisa abu kebakaran yang dapat mempengaruhi besarnya porositas tanah dan selanjutnya akan m e m p e n g d kapasitas menyimpan air tanah. (5) Ketebalan serasah yang
menumpuk sesaat beberapa periode setelah tejadinya kebakaran yang mempengaruhi sifat fisik tanah di bawahnya. (6) Tipe kebakaran d m intensitas lama waktu kebakaran yang terjadi. (7) Temperatur panas api selama kebakaran tejadi pada horison permukaan tanah tersebut. (8) Faktor iklim terutama curah hujan selama beberapa periode setelah kebakaran tersebut terjadi dan (9) Rentang lama waktu kejadian kebakaran dengan waktu pengambilan contoh tanah. Distribusi dan Stabilitas Agregat Tanah Distribusi agregat tanah dari setiap titik pengamatan ditetapkan dalam 8 kelas ukuran agregat tanah seperti yang disajikan pada Lampiran 4. Data tersebut menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi menyebabkan perubahan distribusi agregat tanah. Hal ini dapat dilihat dari persentasi agregat tanah yang berukuran lebih dari 2 rnm pada area bekas kebakaran lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (Gambar 20), tetapi persentasi agregat tanah yang berukuran lebih dari 2 m m masih tetap lebih besar jika dibandingkan dengan agregat yang berukuran kurang dari 2 mrn. Demikian pula halnya dengan indeks stabilitas agregat mengalami p e n m a n (Gambar 21), akan tetapi stabilitas agregat tanah pada area bekas kebakaran tetap sangat stabil seperti pada area yang tidak terbakar (Lampiran 4).
Crambar 20. Perubahan distribusi agregat tanah akibat kebakaran lantai hutan.
Gambar 21. Perubahan stabilitas agregat tanah akibat kebakaran lantai hutan.
Hasil pengukuran laju infiltrasi di lapangan dengan menggunakan double ring inJilhometer pada masing-masing unit satuan lahan, baik pada area yang tidak terbakar maupun pada area bekas kebakaran 1 kali dm area bekas kebakaran
3 kali disajikan pada Lampiran 5-10. Dari hasil p e n g u k m tersebut ditetapkan
kapasitas infiltrasi berdasarkan persamaan Horton seperti yang terdapat pada Tabel 7 clan disajikan dalam bentuk kurva laju infiltrasi pada Gambar 22 untuk lereng 0-8 % dan Gambar 23 untuk lereng 15-25 %. Tabel 7. Kapasitas lnfiltrasi Berdasarkan Persamaan Horton Titik pengamatan
Laju infiitrasi awal (cdmenit)
Laju infibsi konstan (cdmenit)
KA Tanah awal
f = 0.2 +0.476 e6 0 4 2 1 t
0.676
0.20
24.26
6.03421
f = 0.1 +0.812 e
0.912
0.10
19.04
f = 0.1+1.033 ea0374'
1.133
0.10
15.92
f = 0.2 +0.540 e-"036n
0.740
0.20
24.19
f = 0.15 +0.729 eaMon
0.879
0.15
23.06
f = 0.1 +0.876 e"OM4'
0.976
0.10
18.03
Ka~asitasInfiltrasi
dengan Persamaan Horton
(%)
Lereng 0.8%
- area tidak terbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x Lereng 15-25%
- area tidak terbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x
Secara umum dapat dikatakan bahwa kapasitas infiltrasi pada masingmasing unit lahan menunjukkan perbedaan akibat kebakaran hutan. Kurva laju infiltrasi pada lahan area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali menggambarkan nilai-nilai dan pola penurunan laju infiltrasi yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan air tanah awal, sifat-sifat tanah, dan keadaan vegetasinya. Laju infiltrasi awal pada area bekas kebakaran 3 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju infiltrasi awal pada area bekas kebakaran 1 kali dan area yang tidak terbakar baik pada lereng 0-8 % maupun pada lereng 15-25 % (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena rendahnya kadar air tanah awal pada area bekas kebakaran 3 kali. Tingginya laju infiltrasi awal pada tanah yang kadar air awalnya rendah disebabkan oleh hisapan matrik yang tinggi pada saat tanah belum jenuh. Sebaliknya pada tanah yang berkadar air awal tinggi akan menyebabkan laju infiltrasi awal akan lebih rendah karena hisapan matrik tanah menjadi lebih rendah. Tingginya kandungan air tanah awal akan mempercepat tercapainya laju infiltrasi konstan seperti yang terjadi pada lahan area yang tidak terbakar. Hal ini
Gambar 21. Kuwa laju infiltrasi pada lereng 0-8%.
Gambar 22. Kuwa laju infiltrasi pada lereng 15-25%. terjadi karena berkurangnya volume ruang pori yang tersedia untuk infiltrasi (Skaggs dan Khaleel, 1982). Dengan demikian, hisapan matrik semakin cepat berkurang, dan pergerakan air ke bawah hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi (Phillips, 1986). Sedangkan pada area bekas kebakaran 3 kali, waktu yang
diperlukan untuk mencapai laju infiltrasi konstan lebih lama. Hal ini disebabkan oleh kandungan air tanah awal yang lebih rendah sehingga masih banyak volume ruang pori yang tersedia untuk infiltrasi. Gambax 22 dan 23 menunjukkan bahwa kebakaran hutan menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas infiltrasi tanah. Pembahan kapasitas infiltrasi tersebut akibat terjadinya perubahan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi setelah terjadiiya kebakaran hutan seperti bobot isi, porositas tanah, stabiltas agregat, serta kandungan bahan organik tanah yang telah dibahas sebelumnya. Kapasitas infiltrasi tanah pada area bekas kebakaran cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar, baik pada lereng 0-8% maupun pada lereng 15-25%. Hal ini ditunjukkan oleh laju infiltrasi konstan yang lebih rendah pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Lebih rendahnya kapasitas infiltrasi pada area bekas kebakaran diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan, di antaranya terjadinya pemadatan tanah akibat kebakaran sehingga bobot isi tanah meningkat dan porositas tanah menurun, serta berkurangnya kandungan bahan organik d m serasah yang ada di permukaan tanah. Bahan organik yang tinggi secara tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi berkaitan dengan meningkatnya aktivitas makro dan mikroorganisme tanah untuk mendekomposisikan bahan organik, sebagai contoh meningkatnya aktivitas cacing tanah sehingga terbentuk lubang-lubang cacing yang akan berfungsi sebagai media salutan untuk meloloskan air ke horison tanah yang lebih dalam. Bahan organik tanah sebagai hasil proses dekomposisi juga
dapat berfimgsi sebagai bahan penyemen dalam pembentukan agregat tanah yang lebih mantap. Selain itu, banyaknya serasah di permukaan dapat berfungsi untuk melindungi permukaan tanah dari gaya pukul butir-butir hujan sehingga agregat tanah lebih stabil. Tanah-tanah yang mempunyai agregat yang stabil atau mantap akan mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanah yang agregatnya kurang stabil.
Perubahan Laju Erosi dan Erosi Potensial Tanah Akibat Kebakaran Lantai Hutan Penentuan laju erosi dan erosi potensial dilakukan di tiap-tiap titik pengamatan menggunakan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE). Untuk pendugaan laju erosi berdasarkan persamaan USLE terlebih dahulu ditetapkan faktor-faktor erosi yang terdapat pada persamaan tersebut yaitu faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor lereng, faktor pengelolaan tanaman, dan faktor konservasi tanah. Faktor Erosivitas Hujan (R) Faktor erosivitas hujan diasumsikan sama di setiap titik pengamatan. Faktor erosivitas hujan tersebut dihitung berdasarkan data curah hujan stasiun Tomo (Tabel 1). Tabel 8. Faktor erosivitas hujan daerah penelitian Bulan
Curah hujan (cm)
Eke
44.75
388.57
35.58
284.47
40.97
344.62
24.34
169.74
13.24
75.38
7.38
33.49
3.9
14.07
2.36
7.10
3.8
13.58
8.58
41.11
27.23
197.72
41.71
353.1 1
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total
1922.26
Faktor Erodibilitas Tanah (K) Faktor erodibilitas tanah menunjukkan tingkat kepekaan tanah terhadap daya perusak hujan Nilai erodibilitas tanah pa& area penelitian berkisar dari 0.23 sampai 0.39. Nilai K untuk tiap titik pengamatan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai faktor erodibilitas tanah (K) daerah penelitian Titik pengamatan
% psh
% debu
%liat
% BO
Kode Srmktur
Kode Pemeabiltas
Lereng 0-8 % - areahdakterbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x
1.17 3.04 11.78
28.06 34.55 36.50
72.12 61.54 42.74
3.163 2.630 2.638
4 4 4
6 6 6
0.23 0.28 0.39
Lereng 15-25 % -area tidak terbakar - area terbakar I x - area terbakar 3x
1.30 3.42 14.94
26.14 40.33 36.26
70.35 55.04 44.88
2.829 2.620 2.348
4 4 4
6 6 6
0.24 0.32 0.40
K
Kererongon : psh = pasir sangat halus. B0= Bahm oorganik K = Faktor Ercdibilitas Tanah
Keragaman nilai K tersebut merupakan akibat dari perbedaan sifat-sifat tanah setiap titik pengamatan yang digunakan untuk menentukan nilai erodibilitas tanah karena terjadiiya kebakaran. Sifat-sifat tanah yang mengalami perubahan tersebut adalah persentasi kandungan liat dan persentasi kandungan bahan organik, sedangkan struktur dan permeabilitas tetap sama untuk setiap titik pengamatan. Faktor Lereng (LS) Faktor lereng diperoleh berdasarkan kemiringan lereng dan panjang lereng. Titik pengamatan yang ada mempunyai kelas kemiringan lereng 0-8% dan 15-25% baik untuk area yang terbakar maupun yang tidak terbakar dengan panjang lereng ditetapkan 20m.
Faktor lereng mempakan perkalian faktor
panjang dan faktor kemiringan lereng dan di sajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Faktor Lereng (LS) Daerah Penelitian. Kelas lereng
s (%)
Lo (m)
Ketemngon : s = Kemiringm lereng Lo = Panjmg iereng S = LS = Faktor Lereng
S
L
Faktor kemiringan lereng, S
LS
=
Faktor panjang lereng,
Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Tindakan Konservasi Tanah (P) Faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konsewasi pada setiap titik pengamatan sama. Daerah penelitian mempakan hutan produksi tebang pilih dengan tanaman utama jati yang mempunyai faktor pengelolaan tanaman 0.2 dan
tanpa tindakan konservasi tanah dengan nilai tindakan konservasi tanah 1. Penentuan nilai faktor CP berdasarkan data-data dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Dari hasil perkalian faktor-faktor erosi tersebut diperoleh besar laju erosi yang mungkin tejadi dan erosi potensial pada setiap titik pengamatan (Tabel 11). Tabel 11. Laju erosi, erosi potensial, erosi yang masih dapat dibiarkan (TLS) dan indeks bahaya erosi (IBE) pada tiap titik pengamatan Titik pengamatan
Lereng 0-8 % - area tidak terbakar - area terbakar 1 x - area terbakar 3x Lereng 15-25 % - area tidak terbakar - area terbakar l x - area terbakar 3x
Laju Erosi
Erosi Potensial
TSL
(tonlhallh) cmlth (ton/ha/th)
IBE
(tonhdth)
cmhh
27.05 32.93 45.87
0.15 0.18 0.23
135.25 164.65 229.35
0.77 0.89 1.17
39 39 39
0.69 0.84 1.18
268.90 358.53 448.16
1.54 1.94 2.29
1344.5 1792.6 2240.8
7.68 9.96 1 1.43
39 39 39
6.89 9.19 1 1.49
Keterangnn : TSL = Erosi yang Masih Dapal Dibiarkan, IBE = lndeks Bahaya Erosi
Laju erosi yang mungkin tejadi pada area yang terbakar 3 kali (45.87 todtahun) dan yang terbakar 1 kali (32.93 todtahun) lebih tinggi jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar (27.05 tonltahun) untuk area dengan kemiringan lereng 0-8%. Hal yang sama juga tejadi pada area dengan kemiringan lereng 15-25%, yaitu area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali perkiraan laju erosinya mencapai 268.90 tonltahun 358.53 tonhahun, dan 448.16 tonltahun. Demikian pula halnya dengan erosi potensial dengan faktor CP I juga lebih tinggi pada area bekas kebakaran jika dibandingkan dengan area yang tidak terbakar. Erosi potensial pada area yang tidak terbakar, area bekas kebakaran I kali dan area bekas kebakaran 3 kali adalah 135.25 ton/ha/th, 164.65 tonhdth, dan 229.35 ton/hdth untuk lereng 0-8 %, dan 1 344 ton/hdth 1 792.6 tonhdth, dan 2 240.8 ton/hdth untuk lereng 15-
25%. Pada lereng 0-8%, perbedaan hilangnya horison atas area bekas kebakaran 1 kali terhadap area yang tidak terbakar yang diperoleh dari hasil perhitungan
erosi potensial (0.12 c d t h ) lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (2 cmlth). Pada area bekas kebakaran 3 kali, hasil perhitungan erosi potensial (0.4 c d t h ) juga lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (5 c d 3 th atau rata-rata 1.65 c d t h ) . Hal yang sama juga terjadi pada lereng 15-25% area bekas kebakaran 1 kali yaitu perbedaan hilangnya horison atasnya terhadap area yang tidak terbakar yang diperoleh dari hasil perhitungan erosi potensial (2.1 cmlth) lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (3 cmlth). Hal ini dapat disebabkan karena tejadi pemadatan tanah pada area bekas kebakaran sehingga perbedaan ketebalan horison atas antara area bekas kebakaran dengan area yang tidak terbakar menjadi lebih besar. Sebaliknya pada lereng 15-25%, perbedaan hilangnya horison atas pada area bekas kebakaran 3 kali terhadap area yang tidak terbakar yang diperoleh dari hasil perhitungan erosi potensial (3.68 c d t h ) lebii besar dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan (7 c d 3 t h atau rata-rata 2.33 cmlth). Rata-rata hilangnya horison atas pada lereng 15-25% area bekas kebakaran 3 kali yang diperoleh dari perhitungan erosi potensial sekitar 1.6 x lipat dari hasil pengukuran di lapangan. Perbedaan h a i l perhitungan erosi potensial dengan pengukuran di lapangan dapat disebabkan oleh perhitungan faktor-faktor erosi dalam persamaan USLE.
Di
antaranya dalam penilaian faktor lereng hanya memperhitungkan panjang dan kemiringan lereng, unsur topografi lainnya seperti bentuk lereng tidak diperhitungkan.
Selain itu, dalam penentuan faktor erosivitas hujan (EI3o)
berdasarkan curah hujan bulanan, berbeda dengan penentuan Eljo yang ditetapkan oleh Wischrneier dan Smith (1978) berdasarkan perkalian energi kinetik hujan dan intensitas hujan maksimum selama 30menit. Hal ini diduga dapat menyebabkan hasil perhitungan prediksi lebih besar dari pengukuran di lapangan. Meningkatnya laju erosi clan erosi potensial pada area bekas kebakaran 3 kali maupun area bekas kebakaran 1 kali disebabkan oleh faktor erodibilitas tanah tersebut lebih tinggi daripada area yang tidak terbakar, sedangkan faktor-faktor erosi yang lainnya sama. Peningkatan nilai erodibilitas tanah ini sebagai akibat dari kebakaran hutan yang terjadi. Peristiwa kebakaran tersebut menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat tanah seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
terutama persentasi fraksi liat dan persentasi bahan organik yang menentukan tingkat erodibilitas tanah. Pada area bekas kebakaran 3 kali terjadi p e n m a n persentasi liat dan persentasi bahan organik yang lebih besar dari area bekas kebakaran 1 kali. Penurunan tersebut sebagai akibat proses erosi dan pencucian yang tejadi sebelumnya karena terbukanya lantai hutan dan curah hujan yang tinggi setelah terjadi kebakaran. Rendahnya persentasi liat dan persentasi bahan organik menyebabkan tingginya nilai erodibilitas tanah sehingga tanah lebih peka terhadap erosi. Sebaliknya persentasi liat dan persentasi bahan organik yang tinggi akan memperkecil faktor erodibilitas tanah karena bahan organik dan liat berfungsi sebagai cementing agent sehingga tanah tidak mudah tererosi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kohnke dan Bentrand (1959) yang menggarnbarkan bahwa ketahanan tanah terhadap proses terlepasnya partikel tanah ditentukan oleh kandungan liat dan bahan organik tanah tersebut. Berdasarkan Tabel 11 juga diketahui bahwa laju erosi yang akan tejadi pada area kelas lereng 15-25% lebih tinggi dibandingkan dengan area kelas lereng 0-8% baik pada area yang terbakar maupun yang tidak terbakar. Hal ini selain disebabkan faktor lereng yang tinggi, pada area kelas lereng 15-25% faktor erodibilitas tanahnya juga lebih tinggi akibat dari proses erosi yang tejadi sebelumnya. Meningkatnya kemiringan lereng menyebabkan aliran permukaan meningkat, sehingga tanah lebih mudah terangkut karena energi angkutnya lebih besar dan kandungan liat dan bahan organik akan menurun yang menyebabkan erodibilitas tanah meningkat. Tabel 11 menunjukkan bahwa laju erosi pada lereng 0-8% area tidak
terbakar dan area bekas kebakaran 1 kali lebih kecil daripada erosi yang masih dapat dibiarkan (TSL) sehingga indeks bahaya erosinya <1 (rendah). Sebaliknya laju erosi yang mungkin tejadi pada area bekas kebakaran 3 kali lebih besar daripada TSL dan indeks bahaya erosinya meningkat menjadi 1.18 (sedang). Pada lereng 15-25%, laju erosi yang mungkin tejadi pada setiap titik pengamatan lebih besar dari pada TSL. Area tidak terbakar mempunyai indeks bahaya erosi 6.89 (tinggi), pada area bekas kebakaran 1 kali dan area bekas kebakaran 3 kali indeks bahaya erosinya meningkat menjadi 9.19 (tinggi) dan 11.45 (sangat tinggi).
Area yang mempunyai indeks bahaya erosi yang tinggi menunjukkan bahwa area tersebut perlu dilakukan berbagai tindakan konservasi tanah untuk menekan laju erosi yang terjadi sehingga lebih rendah daripada TSL. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi degradasi lahan lebih lanjut sehingga terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman dan tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari.