II.
BAHAN DAN METODE
2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari subset penelitian faktorial untuk mendapatkan dosis PMSG dengan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan yang dapat menginduksi rematurasi dan kualitas telur terbaik pada ikan patin siam.
Dosis yang diuji adalah 5, 10 dan 20 IU PMSG. Anggota tim yang
mengerjakan subset penelitian lainnya adalah Citra Fibriana (C14060390) dan Syifania Samara (C14060468) dengan perlakuan seperti diperlihatkan di Tabel 1.
Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin Mahasiswa Citra Fibriana Syifania Hanifah Samara
Perlakuan Kombinasi penyuntikan PMSG mix 5, 10, dan 20 IU/kg induk dan penambahan vitamin mix 100 mg/kg pakan Kombinasi penyuntikan PMSG mix 5, 10, dan 20 IU/kg induk dan penambahan vitamin mix 300 mg/kg pakan
Kolam pemeliharaan (Gambar 1) induk ikan patin siam (Gambar 2) yang digunakan selama penelitian adalah kolam yang disemen berukuran 20 x 10 x 1,5 m. Induk ikan patin betina yang ditebar sebanyak 25 ekor (15 ekor ikan perlakuan dan 10 ekor ikan kontrol). Sebelum ditebar, induk ikan patin tersebut diperiksa kematangan gonadnya dengan menggunakan kateter dan dipilih induk yang sedang tidak bertelur. Kemudian induk ditimbang bobotnya dan diberi tagging atau tanda berupa goresan di kepala ikan patin untuk membedakan antar dosis perlakuan.
Gambar 1. Kolam pemeliharaan induk.
3
Gambar 2. Induk ikan patin siam.
2.2 Pembuatan dan Pemberian Pakan Perlakuan Pakan perlakuan (Gambar 3) yaitu pakan yang telah dicampur dengan vitamin mix dosis 200 mg/kg pakan. Pakan buatan yang digunakan adalah pakan komersil yang memiliki kadar protein sebesar 31-33%. Pembuatan pakan dilakukan dengan mencampurkan 1 liter air hangat dan 2 gram vitamin mix ke dalam spray, lalu spray tersebut digoyang-goyangkan agar vitamin mix larut dalam air. Larutan vitamin mix disemprotkan secara merata ke pakan buatan, diangin-anginkan sampai kering dan selanjutnya pakan disimpan di tempat yang kering. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 08:00 dan pukul 16:00 WIB dengan tingkat pemberian pakan (feeding rate, FR) 3%. Ikan kontrol diberi pakan tanpa penambahan vitamin mix.
Gambar 3. Pakan perlakuan.
2.3 Dosis PMSG, Penyuntikan, dan Pemijahan
Hormon yang digunakan adalah hormon PMSG mix dengan merk dagang PG600 (Gambar 4) yang diproduksi oleh Intervet. Setiap ampul (5 ml)
4
mengandung 400 IU PMSG dan 200 IU HCG. Dosis perlakuan PMSG yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5, 10, dan 20 IU/kg bobot induk yang dihitung berdasarkan bobot induk pada sampling sebelumnya sehingga jumlah yang disuntikkan berbeda pada tiap penyuntikan. Hormon PMSG diencerkan dengan perbandingan 1 IU PMSG untuk 0,1 ml akuabides. Setiap perlakuan terdiri atas 4 individu ikan sebagai ulangan.
Gambar 4. Hormon PMSG. Penyuntikan dilakukan secara intramuskular (Gambar 5), seminggu sekali yaitu setiap minggu pada pagi hari sekitar pukul 08:00 WIB. Bobot ikan diukur setiap penyuntikan. Untuk membedakan antar individu ikan perlakuan diberi tagging berupa tanda di kepala induk. Sampel gonad diambil menggunakan kateter, dilakukan sebelum penyuntikan.
(a)
(b)
Gambar 5. Penimbangan bobot (a) dan penyuntikan induk patin secara intramuskular (b).
5
Pemijahan dilakukan hanya pada induk yang sudah benar-benar matang gonad. Induk yang sudah matang gonad dipisahkan ke dalam bak untuk mempermudah pengambilan induk saat akan dilakukan penyuntikan. Telur diambil dengan kateter untuk diperiksa diameternya dan sebagian diletakkan dalam wadah berisi larutan Sera (tersusun atas 6 bagian etanol, 3 bagian formalin, dan 1 bagian asam asetat). Telur diamati di bawah mikroskop lalu didokumentasikan dengan kamera. Induk yang dipisahkan disuntik dengan chorulon sebanyak 0,5 ml/kg berat induk. Penyuntikan kedua dilakukan sekitar 24 jam setelah penyuntikan pertama. Setelah ovulasi, telur dikeluarkan dengan cara stripping (Gambar 6a). Selain itu, induk jantan juga disuntik ovaprim sebanyak 0,5 ml/kg bobot induk. Telur diberi larutan fisiologis NaCl 0,9% (Gambar 6b), dicampur dengan sperma (Gambar 6c), dan kemudian diaduk dengan menggunakan bulu ayam (Gambar 6d).
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 6. Stripping induk betina (a), pemberian NaCl 0,9% (b), stripping induk jantan (c), dan pencampuran telur dan sperma menggunakan bulu ayam (d).
6
Setelah itu telur diambil dengan sendok makan dan ditebar ke dalam akuarium. Telur diinkubasi di akuarium yang diberi lampu untuk meningkatkan suhu. Air akuarium penetasan telur diberi methylene blue dan elbaju untuk mencegah serangan penyakit. Larva menetas sekitar 18-24 jam setelah pembuahan telur. Kelangsungan hidup (SR, survival rate) larva diamati selama 4 hari. Larva yang telah berumur 1 hari diberi pakan berupa nauplii Artemia.
Gambar 7. Akuarium pemeliharaan larva.
2.4 Parameter Penelitian 2.4.1 Kebuntingan Induk yang bunting (Gambar 8a) adalah induk yang mengeluarkan telur saat dilakukan kanulasi dengan kateter. Cara untuk menghitung persentase kebuntingan adalah dengan membandingkan jumlah ikan yang bunting dengan jumlah ikan total. ∑ ikan bunting
Kebuntingan =
x 100% ∑ikan total
(a) (b) Gambar 8. Induk bunting (a) dan induk tidak bunting (b)
7
2.4.2 Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh induk per satuan bobot tubuh (Murtejo, 2008). Fekunditas dihitung dengan rumus:
∑ telur yang dihasilkan Fekunditas = Bobot induk
2.4.3 Derajat Pembuahan (FR,Fertilization Rate) Derajat pembuahan (FR, Fertilization Rate) adalah persentase jumlah telur yang dibuahi oleh sperma dibandingkan dengan jumlah telur keseluruhan. Telur yang terbuahi akan berwarna bening, sedangkan telur yang tidak terbuahi akan berwarna putih susu. Pengamatan FR dilakukan 3 jam setelah pembuahan.
∑ telur yang terbuahi FR =
x 100%
∑ total telur 2.4.4 Derajat Penetasan Derajat penetasan (HR, Hatching Rate) adalah persentase jumlah telur yang menetas menjadi larva dibandingkan dengan jumlah telur yang dibuahi. Larva yang telah menetas dihitung sehari setelah telur menetas.
∑ telur yang menetas HR =
x 100%
∑ telur yang terbuahi 2.4.5 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Laju pertumbuhan harian (α) atau SGR (Specific Growth Rate) yaitu selisih antara bobot rata-rata pada hari ke - t dengan bobot rata-rata awal pemeliharaan dan dibandingkan dengan waktu pemeliharaan. SGR dihitung dengan rumus:
wt SGR = t − 1 × 100% w0 Keterangan: α = Laju pertumbuhan harian (%) wt = Bobot rata-rata ikan pada hari ke - t (kg) wo = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (kg)
8
t
= Lama pemeliharaan (hari)
2.4.6 Laju Pertumbuhan Bobot Total Laju pertumbuhan bobot total atau GR (growth rate) adalah nilai yang menunjukkan
pertumbuhan
ikan
pada
suatu
waktu
tertentu
dengan
membandingkan bobot ikan awal dan bobot akhir, yang dihitung dengan rumus:
Wt − W 0 GR = t Keterangan: wt = Bobot rata-rata ikan pada hari ke - t (kg) wo = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (kg) t
= Lama pemeliharaan (hari)
2.4.7 Derajat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup (survival rate, SR) yaitu persentase ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan dibagi dengan jumlah ikan pada awal pemeliharaan (Goddard, 1996). SR yang diamati pada penelitian ini adalah SR selama 4 hari.
Nt SR = × 100 % N0 Keterangan : SR = Derajat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)
2.5 Analisis Data Penelitian ini menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan 3 perlakuan dosis PMSG mix dan setiap perlakuan terdiri atas 4 individu ikan sebagai ulangan. Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta diolah menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Tukey’s.
9