BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Simpulan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan mengenai penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) secara umum dan bagaimana penghitungan kerugian keungan negara BPK dan BPKP pada kasus yang penulis pilih yaitu kasus dugaan korupsi Biaya Operasional Kendaraan (BOK) PT Jogja Tugu Trans. Kasus yang peneliti pilih sangat menarik untuk diteliti karena mengacu pada kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut. Penelitian kasus dugaan korupsi BOK PT Jogja Tugu Trans ini diangkat berdasarkan berita pada situs BPK yang bertajuk “Purwanto Merasa Dikriminalisiasi” yang didalam berita tersebut pada intinya penasihat hukum terdakwa pada saat itu berpendapat bahwa BPKP dan BPK melakukan penghitungan kerugian keuangan negara pada kasus tersebut. Hal tersebut menjadi sangat menarik untuk diteliti karena awal dugaan penulis atas kasus tersebut bahwa ada perbedaan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP sehingga menarik untuk diteliti. Proses penelitian dilakukan dengan cara mengambil data dari beberapa wawancara yang dilakukan dengan BPKP Yogyakarta, penasihat hukum tersangka, Kejaksaan Negeri Sleman (Kejari), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Yogyakarta, dan BPK perwakilan Yogyakarta. Penulis mendapatkan sumber data
82
yang lain yaitu dokumentasi Direktori Putusan Mahkamah Agung, Petunjuk Teknis (Juknis) penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan Pedoman Penugasan Audit Investigatif oleh BPKP. Pertanyaan penelitian yang penulis buat terdiri atas 2 (dua) pertanyaan. Pertama bagaimanakah penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP secara umum. Kedua bagaimanakah penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP pada kasus dugaan korupsi BOK Pt Jogja Tugu Trans. Dasar permasalahan dari pertanyaan pertama yaitu ada kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP sehingga penulis tertarik untuk mendapatkan penjelasan atas tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh kedua lembaga tersebut. Konsentrasi audit yang menjadi latar belakang pendidikan penulis juga menjadi alasan mengapa penulis mengangkat pertanyaan penelitian tersebut, karena dalam perkuliahan pada Magister Akuntansi tidak diajarkan secara rinci bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara dan bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara yang tepat. Dasar permasalahan dari pertanyaan kedua yaitu informasi berita yang secara tidak langsung menyatakan bahwa ada dua lembaga yaitu BPK dan BPKP yang melakukan kerugian keuangan negara pada dugaan kasus korupsi BOK PT Jogja Tugu Trans, sehingga menarik untuk meliti bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara dari kedua lembaga tersebut. Temuan yang penulis dapatkan dari penelitian ini dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
83
1. Tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK terdiri atas tahapan persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Sedangkan tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP terdiri atas pra perencanaan penugasan, perencanaan, pengumpulan dan evaluasi bukti, pengkomunikasian hasil penugasan kepada pihak yang berkepentingan, dan pengelolaan kertas kerja penugasan bidang investgasi. 2. Berdasarkan hasil wawancara dan dokumentasi, penulis mendapatkan bahwa walaupun tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP berbeda tetapi secara substansi tahapan penghitungan kerugian keuangan negara kedua lembaga ini adalah sama. Perbedaan penghitungan bisa saja terjadi pada setiap kasus yang ditangani karena luasnya ranah kerugian keuangan negara itu sendiri. Dalam penghitungan pun, kedua lembaga ini menggunakan pertimbangan profesional masing-masing auditor sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan hasil penghitungan. 3. Sebelum proses penghitungan kerugian keuangan negara, BPK dan BPKP harus melakukan audit investigatif untuk memperoleh bukti dan fakta terkait kasus yang sedang diperkarakan. Tetapi BPK maupun BPKP dapat langsung melakukan penghitungan kerugian keuangan negara tanpa didahului dengan pemeriksaan investigatif. Hal tersebut dapat dilakukan tergantung pada status kasus yang terjadi. Apabila kasus sudah masuk dalam ranah penyidikan, maka
84
kasus tersebut sudah bisa dilakukan penghitungan kerugian keuangan negara. 4. Sebelum
aparat
penegak
hukum
dalam
hal
ini
Kejaksaan
mengeluarkan surat permintaan penghitungan kerugian keuangan negara, Kejaksaan akan melakukan ekspose awal pada BPK atau BPKP. Tujuan dari ekspose awal ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas persoalan atau masalah atas suatu kasus oleh Kejaksaan kepada BPK atau BPKP sehingga dari penjelesan tersebut dapat diambil kesimpulan apakah BPK atau BPKP dapat menghitung kerugian keuangan negara atau tidak. 5. Penghitungan
kerugian
keuangan
negara
diperlukan
didalam
persidangan. Salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pidana korupsi yaitu ada kerugian negara. Proses penghitungan kerugian keuangan negara tanpa didahului dengan audit investigatif, dalam proses penghitungan auditor memakai bukti dan dokumen dari Kejaksaan. Proses konfirmasi kepada tersangka oleh BPK harus melalui Kejaksaan. Hal tersebut mengakibatkan beberapa kelemahan dalam proses penghitungan kerugian keuangan negara (penjelasan pada BAB VI). 6. Penghitungan kerugian keuangan negara pada dugaan kasus korupsi BOK PT Jogja Tugu Trans hanya dilakukan oleh 1 lembaga saja yaitu BPK. Dari hasil wawancara dengan BPKP, BPKP berpendapat bahwa mereka tidak pernah melakukan penghitungan kerugian keuangan
85
negara pada kasus tersebut. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Jaksa pada Kejati Yogyakarta bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan surat permintaan penghitungan kerugian keuangan negara kepada BPKP. 7. Pernyataan dari penasihat hukum terdakwa bahwa BPKP dan BPK mengitung kerugian keuangan negara pada kasus dugaan korupsi BOK tidak terbukti kebenarannya karena pihak penasihat hukum terdakwa tidak dapat menunjukan penghitungan BPKP yang adalah hasil
pembanding
penghitungan
kerugian
keuangan
negara
sebelumnya sebelum BPK menghitung kerugiannya. Berdasarkan dokumentasi yang penulis lakukan pada Kejari Sleman yaitu berkas perkara yang dilakukan oleh Kejati Yogyakarta didapati bahwa tidak ada penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP dan dalam nota pembelaan penasihat hukum terdakwa pada kasus tersebut tidak terdapat hasil pembanding yaitu penghitungan kerugian keuangan negara PT Jogja Tugu Trans. 8. Hanya ada satu lembaga yang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, walapun BPK dan BPKP mempunyai kewenangan yang sama dalam melakukan penghitungan. Dalam hal penghitungan, BPK dan BPKP tidak bisa dibenturkan. Artinya hanya ada satu diantara BPK dan BPKP yang menghitung kerugian keuangan negara. Hal tersebut diperkuat oleh petunjuk teknis dan pedoman dari BPK dan BPKP bahwa ketika suatu perkara sudah ditangani oleh
86
salah satu lembaga (BPK atau BPKP) maka BPK atau BPKP tidak akan masuk dalam perkara tersebut. 9. Hasil penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK adalah senilai Rp413.437.743. hasil penghitungan tersebut didapat dari nilai pertanggungjawaban kilometer tempuh PT Jogja Tugu Trans tanggal 18 Februari 2008 sampai 29 Februari 2008 senilai Rp788.262.200 dikurangin dengan kilometer tempuh sebenarnya pada tanggal 18 Februari 2008 sampai 23 Februari 2008 senilai Rp374.834.457. 10. Penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tersebut dihitung berdasarkan adanya potensi bahwa negara dapat mengalami kerugian sebesar nilai tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada BAB V dan BAB VI bahwa PT Jogja Tugu Trans telah melakukan pelanggaran dengan
meminta
pencairan
BOK
tanpa
adanya
laporan
pertanggungjawaban dan pada saat itu armada Trans Jogja belum melaksanakan tanggung jawabanya 100% sehingga belum berhak mendapatkan pencairan dana BOK. Oleh karena perbuatan melawan hukum dari PT Jogja Tugu Trans, maka BPK berkesimpulan ada potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp413.437.743. 11. Majelis Hakim pada persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada kasus ini berpendapat bahwa PT Jogja Tugu Trans memenuhi unsur kerugian keuangan negara. Hal tersebut dikeluarkan oleh Majelis Hakim sesuai dengan pertimbangan dan perhitungan yang dilakukan sendiri oleh Majelis Hakim.
87
7.2. Rekomendasi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analis dan temuan fakta yang penulis dapatkan, maka penulis mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Adanya keselarasan pengertian kerugian negara dalam perspektif Undang-Undang dan Peraturan yang dipakai dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan peraturan yang dipakai dalam persidangan yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim. Seperti yang telah dijelaskan pada BAB VI bahwa ada perbedaan delik yang dipakai pada Undang-Undang yang membahas tentang kerugian negara, yaitu Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mamakai delik formil yang berfokus pada perbuatan apa yang dilakukan oleh terdakwa tanpa melihat dampak dari perbuatan itu dan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang memakai delik materiil yang berfokus pada dampak yang dihasilkan bukan dari perbuatan yang dilakukan. 2. Peraturan yang menjadi dasar penghitungan oleh BPK adalah Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 tahun 2006 tentang BPK. Kedua Undang-Undang tersebut bermuatan delik materiil. Apabila dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK memakai Undang-Undang tersebut, maka sebaiknya penghitungan kerugian keuangan negara harus berdasarkan nilai rupiah atau uang yang benar-benar keluar dan
88
merugikan negara tanpa memakai terminologi potensi kerugian keuangan negara. 3. Dalam proses penghitungan kerugian keuangan negara, sebaiknya BPK dan BPKP juga mengikutsertakan Kantor Akuntan Publik yang menjadi
pilihan
dari
organisasi
perusahaan
yang
sedang
diperkarakan. Hal tersebut tujuannya adalah supaya penghitungan kerugian keuangan negara mendapatkan hasil penghitungan yang tidak terpaku pada penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK atau BPKP saja. Berdasarkan kasus lain yang menjadi pembanding yang penulis dapatkan, ditemukan bahwa BPK pernah melakukan kesalahan dalam penghitungan dan Kantor Akuntan Publik yang melakukan penghitungan juga dinyatakan benar untuk hasil penghitungannya. BPK dalam kasus tersebut pun mengakui dalam persidangan bahwa BPK telah salah dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. 4. Diperlukan adanya pelatihan atau pendidikan tentang penghitungan kerugian keuangan negara antara auditor BPK, auditor BPK, dan auditor Kantor Akuntan Publik bekerja sama dengan pihak Kejaksaan dan Majelis Hakim. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah cara atau metode penghitungan yang tepat pada suatu perkara. Peneliti menemukan bahwa banyak terjadi perbedaan penghitungan diluar kasus yang penulis angkat ini. Oleh karena itu, perlu ada keselarasan antara lembaga yang memeriksa dan Aparat Penegak Hukum dalam
89
penghitungan kerugian keungan negara sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atas hasil penghitungan kerugian keuangan negara. 5. Materi bahan perkuliahan sebaiknya memasukan pembahasan tentang penghitungan kerugian keuangan negara pada mata kuliah audit investigatif sehingga mahasiswa khususnya mahasiswa magister akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki pengetahuan tentang apa itu kerugian negara dan bagaimana seluk beluk perhitungan kerugian keuangan negara itu sendiri.
7.3. Keterbatasan Penelitian Proses penelitian yang penulis lakukan tidak luput dari keterbatasan yang terjadi selama proses penyusunan penelitian ini. Studi kasus dalam lingkup audit investigatif mendorong penulis untuk dapat menggali berbagai macam informasi dari berbagai narasumber untuk dapat menghasilkan sebuah penjelasan akan sebuah studi kasus. Berikut adalah keterbatasan penelitian yang penulis temui yaitu: 1. Kasus yang penulis angkat penjadi topik penelitian terjadi pada tahun 2008 dan proses pemeriksaan dan penghitungan kerugian keuangan negara dilakukan pada tahun 2013. Hal tersebut mengakibatkan proses wawancara dengan para narasumber mengalami sedikit hambatan karena beberapa narasumber sudah tidak lagi bekerja pada instansi mereka dan narasumber lain sudah tidak mengingat lagi kasus tersebut sehingga proses penggalian informasi menjadi lama
90
karena penulis harus mencari sumber dan fakta dari narasumber yang lain. 2. Penulis menemui hambatan lain dari narasumber wawanara yaitu narasumber tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai kebenaran kasus yang diteliti. Informasi yang diberikan juga tidak didukung dengan bukti-bukti pendukung atas informasi tersebut. Hal ini mengakibatkan penulis melakukan konfirmasi kepada narasumber yang lain yang juga menjadi bagian dari kasus penelitian ini. 3. Penelitian ini tidak membahas mengenai perspektif hukum akan kasus yang diteliti tetapi masih tetap mengambil teori hukum yang relevan dengan topik penghitungan kerugian keuangan negara. 4. Penelitian ini tidak membahas mengenai penghitungan lembaga mana yang paling tepat untuk terapkan, tetapi menjelaskan bagaimana lembaga tersebut melakukan penghitungan dan dasar apa yang dipakai auditor ketika menghitung kerugian keuangan negara pada kasus tersebut.
91