BAB VI ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI
Keragaan usahatani pada penelitian ini dijelaskan secara deskriptif. Penjelasan keragaan usahatani meliputi penggunaan input dan cara budidaya padi dengan metode SRI organik yang dibandingkan dengan pertanian konvensional. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam memahami perbedaan dari kedua metode tersebut. 6.1. Penggunaan Input 6.1.1. Lahan Lahan yang digunakan dalam budidaya padi SRI organik memiliki luas kurang lebih 2000 m2 atau penduduk sekitar sering mengistilahkannya dengan satu iring. Satu iring setara dengan 130 ubin, dengan luas per ubinnya 12 cm x 14 cm. Harga sewa yang ditetapkan per iringnya yaitu Rp 1.700.000 pertahun dan dibayarkan pada musim tanam pertama. Untuk pajak lahan sawah dibedakan atas letak sawah tersebut. Apabila letak sawah berada dekat dengan jalan utama atau saluran irigasi, maka pajak lahan sawah semakin besar dan sebaliknya bila lahan sawah berada jauh dari jalan utama atau saluran irigasi maka pembayaran pajak akan semakin kecil. Pembayaran pajak dilakukan pada akhir tahun saat musim tanam pertama. 6.1.2. Bibit Bibit yang digunakan oleh petani SRI organik Desa Ringgit merupakan bibit yang dibuat sendiri baik oleh anggota maupun ketua kelompok tani, yang nantinya ketua kelompok tani akan membagikan bibit tersebut kepada petani anggota lain yang tidak mampu membuat bibitnya sendiri. Varietas bibit yang ditanam yaitu Sintanur, Pandan Wangi, atau Janur. Varietas Janur merupakan persilangan antara Sintanur dan Jasmin yang disilangkan oleh ketua kelompok Pemuda Tani Lestari (PTL). Varietas Janur digunakan oleh sebagian besar petani SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada metode SRI. Jumlah bibit yang digunakan dalam metode SRI organik untuk luasan lahan satu
iring yaitu 1-2 kg. Penggunaan jumlah bibit sebenarnya hanya 7-8 ons, kelebihan bibit digunakan untuk penyulaman tanaman. Untuk pertanian konvensional, varietas bibit yang digunakan yaitu IR 64, Janur, Ciherang, Pandan Wangi, dan Sintanur. Kebutuhan bibit pada pertanian konvensional per iringnya yaitu 5-7 kg. Perbedaan jumlah penggunaan bibit dikarenakan oleh jarak tanam dan jumlah bibit per lubang tanam dalam kegiatan penanaman yang dijelaskan di sub bab budidaya. Penggunaan bibit pada pertanian konvensional berasal dari produsen bibit dengan harga beli Rp 8000-Rp 9000 per kilogram. Bibit yang dijual berada pada kemasan lima kiloan dengan harga Rp 40.000-Rp 45.000 berdasarkan varietas bibit. 6.1.3. Pupuk Penggunaan pupuk pada pertanian SRI organik yaitu dengan pupuk kandang yang dibuat oleh petani kelompok PTL. Pupuk kandang yang dibuat berasal dari kotoran sapi. Ada pula petani yang menggunakan kotoran hewan lain seperti ayam, kambing, serta burung sebagai pupuk kandangnya. Untuk pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi memiliki nilai jual seharga Rp 6.000 per kg, Rp 8.889 per kg untuk kotoran ayam, dan untuk kotoran kambing Rp 10.000 per kg. Pupuk kandang diberikan setelah lahan dibajak pertama kali (di luku). Ciri kompos yang siap untuk digunakan adalah berwarna kehitaman dan remah seperti tanah. Banyaknya kompos yang dibutuhkan tanaman tergantung kesuburan tanah, kondisi agroklimat, dan jenis tanaman. Pupuk yang digunakan untuk pertanian konvensional merupakan pupuk kimia berupa urea, ponskha, SP 36, dan Za. Pengaplikasian pupuk dengan cara mencampur beberapa jenis pupuk yang digunakan kemudian di sebar pada saat tanaman sudah mencapai usia 10-15 hari setelah tanaman di watun. Hal tersebut dilakukan agar pupuk yang disebar di sekitar tanaman mampu diserap dengan sempurna. Meskipun pada kenyataannya pupuk yang disebar akan menguap, mengalir bersama aliran air, dan mengendap yang pada akhirnya akan membuat tanah menjadi keras dan sulit diolah karena tekstur pupuk kimia rapat dan tidak bercelah. Adapun jumlah penggunaan pupuk yang diaplikasikan dapat dilihat pada Tabel 13.
45
Tabel 43. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata 1 Ha Pada Pertanian Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II Tahun 2011 No. 1.
2.
Jenis pupuk
Harga Satuan (Rp/kg)
Urea Ponskha SP 36 Za Kotoran Ayam Kotoran Sapi Kotoran Kambing
1.600 2.300 2.200 1.200 120 177,78 200
Penggunaan Pupuk (kg) Petani Petani SRI Konvensional Organik 214,83 156,50 109,17 40,83 3.662,5 5.593,05 2.733,33
6.1.4. Pestisida Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani organik tidak boleh menggunakan pestisida. Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu, untuk pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan beberapa macam cara misalnya penyemprotan mol, penambahan pupuk kandang, mengurangi atau menambah volume air genangan, serta menghadirkan musuh alami. Mol merupakan salah satu bentuk pestisida nabati yang terbuat dari beberapa jenis tanaman dengan kegunaannya masing-masing. Rata-rata takaran perbandingan antara mol dan air yaitu 1 : 2, dengan jumlah mol sebanyak lima liter dan air sepuluh liter. Hal ini disebabkan karena mol berupa cairan yang tidak begitu pekat. Berbeda
dengan
SRI
organik,
petani
konvensional
melakukan
pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh petani konvensional memiliki beragam merek dagang seperti Spontan, Fastac, dan Score. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama sebagai tindakan pencegahan. Takaran penggunaan pestisida umumnya 20 – 30 ml dalam satu tangki sprayer volume 14 L. Penggunaan takaran pestisida yang sedikit disebabkan oleh bentuk pestisida yang berupa cairan pekat.
46
6.1.5. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu, dalam penggunaannya petani harus memperhitungkannya. Tenaga kerja yang digunakan petani berasal dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKDK dan TKLK memiliki porsi yang sama dalam jumlah jam kerja per harinya yaitu delapan jam. Pemberian upah bagi TKLK terbagi menjadi dua, yaitu borongan dan perorangan. Pemberian upah secara borongan biasanya dilakukan pada saat kegiatan membajak sawah, penanaman, serta pemanenan. Untuk tenaga kerja perorangan, perhitungan pemberian upah diberikan per dua jam kerja (1 HKW/HKP = 2 jam kerja) sebanyak Rp 7.000 untuk wanita dan Rp 8.000 untuk pria. Dengan demikian, dalam satu hari terdapat delapan jam kerja (1 HOK = 8 jam kerja) dengan upah sebesar Rp 28.000 untuk wanita dan Rp 32.000 untuk pria. Penggunaan tenaga kerja pada metode konvensional dan SRI organik tidak terlalu berbeda kuantitasnya. Hanya saja dari segi kualitas bekerja, tenaga kerja SRI organik lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi upah yang diberikan dan perbedaan metode yang dilakukan. Misalnya pada kegiatan pembajakan dan penanaman. Kegiatan membajak pada lahan konvensional cukup berat karena lahan keras dan sulit untuk diolah, sehingga membutuhkan tenaga yang cukup besar. Pada lahan SRI organik, karena selama budidaya menggunakan pupuk kandang maka saat dibajak lahan tidak terlalu keras dan mudah untuk diolah. Oleh sebab itu, dengan penetapan upah borongan pada kegiatan membajak Rp 100.000 per iring, pembajak sawah SRI organik lebih untung karena dengan lahan yang mudah diolah dapat menghemat waktu dan tenaga, sehingga pembajak sawah dapat membajak sawah petani lainnya. Untuk penggunaan TKDK dan TKLK dalam metode konvensional dan SRI organik dapat dilihat pada Tabel 14.
47
Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit pada MT II No. 1.
2.
Jenis Tenaga Kerja Dalam Keluarga : Pria Wanita Luar Keluarga : Pria Wanita Total
Penggunaan Tenaga Kerja Petani Konvensional Petani SRI Organik 12,84 HKP 7,5 HKW
24,73 HKP 13,57 HKW
36,86 HKP 40,33 HKW 457,25 HOK
35,66 HKP 31,78 HKW 420,29 HOK
Berdasarkan Tabel 14. dapat diketahui bahwa rata-rata penggunaan TKDK lebih banyak pada petani SRI organik, sedangkan rata-rata penggunaan TKLK lebih banyak digunakan pada pertanian konvensional. Hal tersebut dapat disebabkan karena pertanian SRI organik pada dasarnya membutuhkan banyak tenaga kerja untuk kegiatan pemupukan dan penyiangan. Kegiatan pemupukan membutuhkan banyak tenaga kerja atau waktu karena pupuk kandang yang dibutuhkan cukup banyak, serta pengangkutan pupuk dari tempat pupuk dibuat dan dibawa ke lahan cukup jauh. Dengan demikian, petani lebih memilih menggunakan tenaga kerja keluarga untuk membantu kegiatan pemupukan. 6.1.6. Peralatan Pertanian Alat pertanian yang digunakan dalam membudidayakan tanaman padi baik secara konvensional maupun SRI organik sebagian besar sama, yaitu cangkul, traktor, arit, sprayer, gathak atau penggaris untuk menggaris lahan saat kegiatan penanaman pada metode SRI organik, tambang, serta karung untuk menempatkan gabah yang sudah dirontokkan. Metode perhitungan penyusutan alat pertanian menggunakan metode garis lurus. Nilai penyusutan dihitung dalam komponen biaya diperhitungkan. 6.2. Teknik Budidaya 6.2.1. Pengolahan Tanah Persiapan lahan untuk bertani dimulai dengan mengolah lahan sebelum tanam menggunakan traktor. Traktor yang digunakan umumnya merupakan traktor milik kelompok, meskipun sebenarnya setiap petani memiliki traktor
48
masing-masing. Hal ini dikarenakan penggunaan traktor sudah termasuk tenaga kerja khusus untuk membajak sawah SRI organik. Biaya yang dikenakan untuk membajak sawah hingga selesai yaitu Rp 100.000 per iring (2000 m2). Pembajakan dengan traktor untuk sepetak lahan seluas 2000 m2 dapat diselesaikan setengah hari (2HKP = 4 jam kerja). Pembajakan lahan dilakukan dalam dua langkah, yaitu di luku kemudian di garu. Perbedaan antara ngeluku dan ngegaru yaitu terletak pada model alat yang digunakan pada traktor yang dipasang di bagian depan. Pada saat ngeluku, pupuk organik disebar sebanyak kurang lebih 30-40 karung dengan berat per karungnya 50 kg. Setelah sawah selesai dibajak, tanah diratakan dan di bagian pinggir dan tengah tiap petakan sawah dibuat parit untuk memudahkan pengaturan air serta mencegah tanaman terserang hama keong. Untuk pertanian konvensional, kegiatan membajak sawah dilakukan dengan cara yang sama. Perbedaannya adalah pertanian konvensional memberikan pupuk pada saat tanaman sudah ditanam. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa perilaku usahatani pada umumnya lebih tertuju pada cara memupuk tanaman, bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman. 6.2.2. Persiapan Benih Benih yang dibutuhkan untuk persemaian adalah 1-2 kg per iring. Sebenarnya pada saat proses penanaman benih yang dibutuhkan hanya 7-8 ons. Akan tetapi, kelebihan benih yang ada digunakan untuk kegiatan penyulaman tanaman yang mati karena tertiup angin, terinjak, atau dimakan oleh keong. Hal ini dikarenakan benih yang dipindah dari lahan persemaian ke lahan sawah masih sangat muda (7-14 hari) dan belum kokoh, sehingga sangat rentan terhadap kondisi lingkungan. Penggunaan bibit muda dalam metode SRI membantu tanaman dalam mempermudah menyerap makanan, sehingga mampu menghasilkan banyak anakan. Pada metode konvensional, bibit relatif tua saat ditanam, yakni sekitar 2530 hari. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa bibit tua akan menghasilkan tanaman yang tahan terhadap hama dan mudah dalam pencabutan bibit. Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat pada produksi jumlah
49
anakan padi yang tidak maksimal. Selain itu, umumnya pertumbuhan tanaman mengalami keterlambatan. Karena pada saat pemindahan tanaman, terjadi kondisi stagnasi dan adaptasi sehingga daya jelajah akar dalam mencari makanan terbatas. Dalam menyeleksi benih yang akan disemai, petani SRI organik menggunakan metode larutan garam. Benih yang mengapung adalah benih yang kurang baik kualitasnya, sedangkan benih yang tenggelam adalah benih yang baik. Benih-benih yang baik kemudian diambil dan dicuci untuk menghilangkan larutan garam yang menempel pada benih. Setelah benih berkualitas baik telah dicuci, benih harus diperam dulu selama satu hari satu malam. Ini dilakukan agar benih tumbuh seragam. Setelah diperam, akan terlihat adanya bintik pada lembaga atau embrio benih (tetapi belum tumbuh akar) yang merupakan tanda benih yang baik dan siap disemai. Tempat untuk menyemai benih ada yang dilakukan di sawah persemaian atau di besek. 6.2.3. Penanaman Bibit siap dipindahkan ke lahan setelah mencapai umur 10 - 14 hari setelah semai. Bibit yang akan di tanam dalam keadaan utuh (akar tidak putus) dan rentang waktu antara pencabutan dan penanaman tidak terlalu lama (maksimal 30 menit) agar bibit tidak stres. Kondisi air pada saat tanam adalah “macak-macak” yaitu kondisi tanah yang basah tetapi bukan tergenang. Bibit yang ditanam setiap lubangnya berisi satu benih dan ditanam dangkal, yaitu pada kedalaman 2-3 cm dengan bentuk perakaran horizontal (seperti huruf L). Jarak tanam yang digunakan bervariasi, yaitu 25x25 cm dan 30x30 cm. Pembuatan jarak tanam menggunakan penggaris yang dibuat oleh petani (Gambar 2.). Perlakuan terhadap benih yang ingin ditanam pada pertanian konvensional yaitu (a) daun di potong karena benih yang digunakan sudah tua, (b) batang diikat untuk memudahkan pembagian saat tanam, (c) benih dilempar, (d) benih ditanam banyak, (e) benih ditanam dalam dan akhirnya di petakan sawah direndam. Penanaman dengan metode konvensional menggunakan gathak. Gathak merupakan alat tanam terbuat dari kayu dengan sepanjang kayu tersebut diberi lengkungan kecil. Jarak antar lengkungan disesuaikan dengan jarak tanam yang biasa digunakan untuk menanam padi konvensional yaitu 15 cm x 15 cm dan 20 cm x 20 cm. Pada Lampiran 1. terdapat gambar kegiatan menanam padi dengan
50
metode konvensional. Dari gambar tersebut dapat terlihat di pinggiran sawah terdapat tambang yang digunakan untuk memastikan bahwa jarak penanaman tetap rapih, sebab panjang gathak hanya setengah dari panjang sawah pada umumnya. Penanaman jarak tanam yang lebar yaitu 25 cm x 25 cm sampai 30 cm x 30 cm dalam prinsip SRI mendorong pertumbuhan akar secara optimal serta memaksimalkan sinar matahari yang cukup secara optimal. Namun kebiasaan yang dilakukan oleh petani konvensional dalam menanam padi biasanya menggunakan jarak tanam yang rapat, yaitu 20 cm x 20 cm atau bahkan 15 cm x 15 cm. Kebiasaan ini didasarkan oleh bermacam-macam alasan diantaranya adalah kepemilikan lahan yang sempit. Penggunaan
jarak
tanam
yang
sempit,
petani
berpikiran
akan
menghasilkan padi lebih banyak karena jumlah tanamannya lebih banyak. Namun di dalam prakteknya, harapan yang dijadikan alasan oleh petani tersebut seringkali berbeda, karena jarak tanam yang rapat menyebabkan tanaman lembab dan gelap sehingga akan disenangi hama seperti wereng dan tikus. Di samping itu, tanaman yang lembab sangat berpotensi terhadap berkembangnya jamur. Penanaman dengan bibit yang banyak dalam satu lubang pula akan mengakibatkan tanaman tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan terjadi persaingan dalam memperebutkan makanan dan kekurangan sinar yang diperlukan bagi tanaman. 6.2.4. Pemupukan Setelah Tanam Terdapat perlakuan yang berbeda dalam kegiatan pemupukan setelah tanam pada kedua metode ini. Untuk metode SRI organik, pupuk yang digunakan setelah benih ditanam yaitu dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL). Mol digunakan sebagai katalisator dalam pembuatan pupuk organik cair. Mol berfungsi dalam membantu pertumbuhan tanaman dan kesehatan ekosistem, serta dapat melarutkan unsur hara makro dan mikro tanah. Pada metode SRI, petani diharuskan untuk membuat mol sendiri. Hal ini dilakukan agar petani dapat lebih mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar. Untuk petani SRI di Desa Ringgit, tidak semua petani mampu membuat mol, tapi mol dibuat oleh kepala kelompok tani yang nantinya dibagi-bagikan kepada seluruh anggota kelompok.
51
Gambar 4. Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 Sumber : Pak Wuryanto (anggota kelompok Pemuda Tani Lestari) Pengaplikasian mol dalam SRI organik dibagi menjadi empat jenis yaitu mol tunas (Giberelin), mol batang (Sitokinin), mol daun (Auxin), mol Inhibitor, serta mol untuk pengisian bulir. Masing-masing mol diberikan setiap 10 hari sekali secara berurutan dimulai pada 10 Hari Setelah Tanam (HST). Mol tunas, mol batang, dan mol daun berfungsi dalam mempercepat proses pertumbuhan dan menghasilkan anakan lebih banyak. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ketiga mol tersebut yaitu jenis tanaman yang cepat tumbuh seperti bambu muda (rebung), bonggol pisang, buah mojo, dan lain-lain. Mol inhibitor berfungsi untuk menghentikan pembuatan anakan agar nutrisi dapat terserap dengan baik oleh malai yang sedang berbuah. Mol inhibitor sering pula disebut dengan mol buah karena bahan pembuatnya berasal dari buah-buahan yang mengandung rasa manis. Mol yang terakhir digunakan untuk membantu bulir padi lebih berisi. Untuk metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah tanam, yang dilanjutkan dengan penyemprotan pestisida dan insektisida guna mempermudah petani dalam merawat tanaman padinya. Petani konvensional menganggap bahwa seluruh serangga atau mahkluk hidup yang hidup bersamaan dengan tanaman padi adalah hama dan musuh tanaman yang harus dibasmi. Pada kenyatannya, tidak semua serangga tersebut merusak tanaman. Sebab, ada serangga yang menjadi musuh alami serangga yang sebenarnya menjadi perusak tanaman padi. Ilmu inilah yang tidak didapat dari petani konvensional, karena penyuluh pertanian hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan pestisida sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
52
Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan dalam budidaya tanaman padi seperti pupuk kimia, pestisida, dan insektisida, selain dapat merusak lingkungan karena merubah susunan ekosistem, pula membuat petani menjadi ketergantungan. Sebagian besar petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat meracik pupuk kimia buatannya sendiri, sehingga petani hanya dapat menerima dan menunggu pupuk yang telah dihasilkan oleh industri-industri pupuk sintetis. 6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan Proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI Desa Ringgit dilakukan sebagai berikut : 1. Ketika padi mencapai umur 1 – 8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air di lahan adalah “macak-macak”. 2. Sesudah padi mencapai umur 9 – 10 HST air kembali digenangkan dengan ketinggian 2 – 3 cm selama satu malam. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan tahap pertama. 3. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai umur 18 HST. 4. Pada umur 19 – 20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan tahap kedua. 5. Setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1 – 2 cm dan kondisi ini dipertahankan sampai padi “masak susu” (± 15 – 20 hari sebelum panen). Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba. Kegiatan penyiangan (watun) dilakukan sebanyak 2 – 4 kali setiap 10 hari sekali sebelum disemprot dengan mol. Hal ini ditujukan agar tanaman dapat menyerap dengan sempurna nutrisi yang diberikan melalui mol tersebut. Penyiangan dilakukan dengan alat buatan sendiri yang disebut gosrok. Gosrok merupakan alat yang terbuat dari bambu dengan bentuk seperti sikat pada ujungnya, namun sikat tersebut diganti dengan paku agar rumput dapat tercabut. Selain dengan menggunakan gosrok, seringkali petani juga menyiangi dengan cara manual yaitu dengan tangan, apabila rumput tidak tumbuh terlalu banyak dan tinggi. Pada pertanian konvensional penyiangan hanya dilakukan sebanyak 1 – 2 kali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Meskipun pada
53
kenyataannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiangi lahan konvensional sangat banyak. Dalam satu iring luasan lahan membutuhkan 12 – 24 orang dalam satu hari kerja. 6.2.6. Panen dan Pasca Panen Umur panen dipengaruhi oleh varietas yang ditanam, umumnya berkisar antara 100-120 hari sejak masa tanam. Kegiatan panen yang dilakukan untuk metode SRI organik biasanya dengan dipekerjakannya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) yang terbentuk dalam suatu tim dengan jumlah 10 orang atau lebih. Sistem pengupahannya disebut dengan sistem bawon, yaitu memberikan upah dalam bentuk gabah dengan proporsi yang biasanya digunakan yaitu 1 : 8. Jadi apabila hasil panen mencapai 10 kuintal per iringnya, maka 8,75 kuintal menjadi bagian pemilik hasil panen sedangkan sisanya yaitu 1,25 kuintal menjadi upah bagi tenaga kerja yang memanen. Untuk pertanian dengan cara konvensional, cara panen terbagi menjadi dua yaitu dengan sistem bawon dan tebasan. Tebasan atau tebas di sawah merupakan salah satu cara panen yang beresiko. Sebab kegiatan tawar menawar harga dilakukan sebelum padi mulai siap panen. Dengan demikian petani hanya mampu mengira-ngira jumlah hasil panen yang akan dihasilkan apabila dikonversi ke nilai uang yang akan diterima dengan sistem tebasan. Kebaikan sistem tebasan ini yaitu apabila terjadi kegagalan panen atau harga gabah turun, maka penebas menanggung risiko atas kegagalan tersebut. Akan tetapi, bila saat panen terjadi lonjakan harga maka petani tidak dapat menikmatinya karena tanaman di sawahnya sudah tidak menjadi miliknya. Hasil panen tanaman padi yaitu berupa gabah dan jerami. Gabah yang sudah dikeringkan dan digiling menyisakan kulit gabah dan dedak. Kulit gabah yang dibakar dapat digunakan sebagai pupuk yang disebut dengan merang, sedangkan dedak dapat digunakan sebagai pakan ternak seperti ayam, bebek, sapi, dan lain-lain. Untuk jerami dalam metode SRI harus dikembalikan kembali ke lahan yang dijadikan sebagai kompos. Sebab, dalam satu kilogram jerami terdapat unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti Nitrogen (N), Phosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), serta Silikat (Si) yang berfungsi sebagai imun bagi tanaman padi.
54