ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI PADI ORGANIK METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DENGAN PADI KONVENSIONAL (Kasus : Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)
Oleh: INGGIT RACHMIYANTI A 14105560
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN EKSEKUTIF
INGGIT RACHMIYANTI. Analisis Perbandingan Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional Kasus Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. (Di bawah bimbingan LUKMAN M. BAGA) Munculnya dampak negatif dari program revolusi hijau menyebabkan dikembangkannya sistem pertanian alternatif yang dapat memberikan produksi dalam jumlah besar namun ramah terhadap lingkungan, yaitu sistem pertanian organik. Di Indonesia terdapat beberapa daerah yang sedang mengembangkan sistem pertanian organik, salah satunya adalah Desa Bobojong, Kecamatan Mande di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Adapun yang menyebabkan dikembangkannya sistem pertanian organik di Desa Bobojong adalah akibat dari kelangkaan pupuk yang mengakibatkan para petani tidak mampu untuk membelinya, sehingga sebagian petani mulai banyak yang beralih pada pertanian organik, karena pertanian organik hanya menggunakan pupuk yang berasal dari alam, sehingga para petani dapat membuat pupuk sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan disekitarnya. Selain itu, dari aspek pengelolaan air, usahatani padi sawah pada umumnya dilakukan dengan cara penggenangan air secara terus menerus, dilain pihak ketersediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air. System of Rice Intensification (SRI) atau Sistem Rancang Intensif adalah suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. Metode tersebut memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman, dan memelihara mikroba tanah yang beraneka ragam melalui bahan organik, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia, serta dapat menghemat penggunaan air hingga 50 persen. Peralihan pertanian non-organik menjadi pertanian yang berbasis pertanian organik di tingkat petani pada tahun-tahun terakhir adalah akibat dari kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh produksi yang rendah dan distribusi yang tidak lancar. Namun, apakah dengan perubahan sistem usahatani tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani?. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengkomparasikan antara padi organik metode SRI dengan padi konvensional, sehingga dapat mengetahui tingkat produktivitas dan biaya produksi yang dikeluarkan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan dan menganalisis pengaruh perubahan sistem usahatani dari usahatani non organik menjadi usahatani organik metode SRI yang dilakukan oleh para petani terhadap tingkat pendapatannya. Penelitian ini dilakukan di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Bogor dengan dasar pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu daerah yang mengembangkan usahatani padi organik dengan metode SRI. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan
contoh acak sederhana. Jumlah petani contoh yang dipilih adalah sebanyak 17 orang petani padi organik dan 17 orang petani padi konvensional. Pada kegiatan usahatani ini, proses budidaya yang dilakukan oleh petani padi organik sama dengan petani padi konvensional. Perbedaannya hanya pada waktu pembajakan dan pemupukan. Adapun input yang digunakan pada usahatani padi organik adalah benih, pupuk organik, MOL, dan tenaga kerja, sedangkan pada usahatani padi konvensional adalah benih, pupuk (Urea, TSP, KCl), pestisida, dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, jumlah benih yang digunakan petani padi organik metode SRI lebih rendah dari petani padi konvensional. Sedangkan untuk penggunaan pupuknya, petani padi organik menggunakan pupuk dalam jumlah yang lebih besar dari petani padi konvensional, begitu pula dengan jumlah tenaga kerja (HOK) yang digunakannya. Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi konvensional. Namun hasil uji t menyimpulkan bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI ( Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani padi konvensional, yaitu Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh petani padi konvensional. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp 1,54 sedangkan petani padi konvensional lebih besar dari petani padi organik tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.
ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI PADI ORGANIK METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DENGAN PADI KONVENSIONAL (Kasus : Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)
Oleh: INGGIT RACHMIYANTI A 14105560
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
: Analisis Perbandingan Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional (Kasus: Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)
Nama
: Inggit Rachmiyanti
NRP
: A 14105560
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec NIP : 19640220 198903 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr NIP : 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI YANG BERJUDUL “ ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI PADI ORGANIK METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DENGAN PADI KONVENSIONAL (Kasus : Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)” MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SEMUA SUMBER DAN
DATA
PENULISAN
INFORMASI LAIN
TELAH
YANG
BERASAL
DISEBUTKAN
ATAU
DIKUTIP
DARI
DALAM
NASKAH
DAN
DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA.
Bogor, Agustus 2009
Inggit Rachmiyanti A 14105560
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang – Banten, pada tanggal 02 April 1984 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Rachmat Dikusumah dan Ibu Heni Sumarni. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Pertiwi pada tahun 1989. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri 3 Serang pada tahun 1990 dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya di SLTP Negeri 1 Serang hingga tahun 1999. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Cipocok Jaya dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Diploma III di Insitut Pertanian Bogor melalui jalur seleksi pada Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selepas menempuh program diploma III, penulis melanjutkan studi pada pendidikan Strata satu (S1) Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor dari tahun 2005 hingga tahun 2009. Semasa kuliah, penulis aktif pada beberapa organisasi kampus, antara lain sebagai Koordinator Biro Seni dan Olahraga Forum Mahasiswa Manajemen Agribisnis Diploma III, staff Divisi Seni dan Olahraga Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA), Badan Eksekutif Mahasiswa – KM divisi Departemen Sosial dan Lingkungan Hidup.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur selalu tercurahkan kepada Sang khalik pencipta alam beserta isinya, Allah SWT atas kebesaran dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas terselesaikannya penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Perbadingan Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dengan Padi Konvensioal (Kasus: Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat).” Upaya memberikan yang terbaik telah dilakukan secara optimal dalam penyusunan skripsi ini, namun kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amiin.
Bogor, Mei 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, diawali dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur, terucapkan kepada Allah SWT, Sang Mahahati, Sang Maha segalanya, Maha pengasih dan penyayang yang telah memberikan cinta tak terhingga, nikmat yang tak pernah berujung. Terima kasih atas berjuta kesempatan untuk selalu menengok ke atas, melihat ke langit demi mensyukuri segala nikmat dan cobaan yang penuh dengan pelajaran yang sangat berharga. Terima kasih atas segala pejaman dan ketertundukan dalam doa yang telah membuat penulis bangga dan bahagia hadir sebagai makhluk-Mu di dunia ini. Terima kasih dan sembah sujud kepada baginda Rasulullah SAW, atas segala perjuangan dan amanah yang tak pernah padam hingga akhir zaman. Terima kasih dan penghargaan juga penulis haturkan kepada : 1. Ir. Lukman. M. Baga, MA.Ec, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, , saran, dan dorongan yang sangat berarti bagi penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai. 2. Muhammad Firdaus, PhD. Terima kasih atas saran dan masukkan dalam penelitian ini sebagai dosen evaluator dalam kolokium rencana penelitian. 3. Dr.Ir.Heny K.Daryanto, MEc, sebagai dosen penguji utama. Terimakasih atas saran dan masukan untuk penelitian ini. 4. Arif Karyadi Uswandi, SP, sebagai dosen komdik. Terimakasih atas masukan yang telah diberikan. 5. Andhita Rahmawati, selaku pembahas. Terima kasih atas kritik dan saran dalam penelitian ini.
6. Keluarga tercinta, Bapak dan Mamah, jika ada balasan untuk setiap perbuatan baik yang kulakukan saat ini, semuanya untuk Mamah dan Bapak. Untuk adik-adik tercinta : Yogie dan Ambar, terima kasih atas segala kasih sayang dan perhatian serta pengertian yang amat berharga dan sangat berarti. 7. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat tanpa mengenal lelah. 8. A Jodi (alm) yang telah meluangkan waktu dan banyak membantu selama penulis mengumpulkan data di lapang, semoga segala amal kebaikan yang telah diberikan selama ini dibalas oleh Allah SWT. 9. Keluarga besar Kelompok Tani Rindu Alam dan seluruh responden yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang sangat berguna dalam penelitian ini. 10. Restu Edianur Rohman dan keluarga, terima kasih atas semangat, perhatian, dorongan, saran, pengertian, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis. 11. Teman-teman Ekstensi khususnya Ubay, Sudar, Baban, Nde, Dewi, Evi, Lia , Nunik, Oji, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan dan persahabatan yang indah. Semoga ukhuwah kita selalu terjaga dan segala amal kebaikan yang telah dilakukan menjadi hitungan ibadah dan hanya Allah SWT yang dapat menilai dan membalas semuanya. Amiin.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
vii
BAB I.
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian............................................
1 1 7 9
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1 Pertanian Organik .................................................................... 2.2 Pengertian Pertanian Organik ................................................. 2.3 Komponen Pertanian Organik ............................................... 2.4 Permasalahan Seputar Pertanian Organik ............................ 2.5 Tujuan Pertanian Organik........................................................ 2.6 Kegunaan Pertanian Organik .................................................. 2.7 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Non-Organik .... 2.8 Sejarah Metode System of Rice Intensification (SRI)................ 2.9 Konsep Dasar Pemikiran Metode System of Rice Intensification (SRI)..................................................................... 2.9.1 Varietas dan Benih ......................................................... 2.9.2 Pengolahan Lahan .......................................................... 2.9.3 Penanaman ...................................................................... 2.9.4 Perawatan Tanaman ...................................................... 2.9.5 Pemasukan dan Pengeluaran Air................................. 2.9.6 Pemupukan ..................................................................... 2.9.7 Pengendalian Hama dan Penyakit............................... 2.9.8 Panen................................................................................ 2.9.9 Pasca Panen ..................................................................... 2.10 Penelitian Terdahulu ............................................................... 2.11 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu .
10 10 11 12 16 21 22 23 24
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual ........................................... 3.1.1 Definisi Usahatani ............................................................ 3.1.2 Cabang Usahatani ............................................................ 3.1.3 Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani ....... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ..........................................
46 46 46 49 50 53
25 27 28 29 29 30 31 32 37 38 39 45
BAB IV. METODE PENELITIAN ................................................................ 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data .............................................................. 4.3 Metode Pengambilan Contoh................................................... 4.4 Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis .................... 4.4.1 Analisis Sistem Usahatani.............................................. 4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani .................................... 4.4.3 Analisis Perbandingan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)....................................................................... 4.4.4 Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan.............
56 56 56 57 57 58 58
BAB V.
63 63 66 66 67 68 69 69 71 71
BAB VI.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN.......................... 5.1 Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur ..... 5.2 Karakteristik Responden .......................................................... 5.2.1 Status Usaha ..................................................................... 5.2.2 Status Kepemilikan Lahan.............................................. 5.2.3 Tingkat Pendidikan ......................................................... 5.2.4 Aspek Usia........................................................................ 5.2.5 Pengalaman dalam Usahatani Padi .............................. 5.2.6 Luas Areal Usahatani Padi............................................. 5.2.7 Sumber Modal.................................................................. 5.3 Teknik Budidaya Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Padi Konvensional........................... 5.3.1 Pengolahan Lahan ........................................................... 5.3.2 Pembibitan........................................................................ 5.3.2.1 Penyemaian ........................................................ 5.3.2.2 Perlakuan Benih Sebelum Semai ..................... 5.3.3 Penanaman (Tandur) ..................................................... 5.3.4 Penyiangan ...................................................................... 5.3.5 Pemupukan ..................................................................... 5.3.6 Pengendalian Hama dan Penyakit............................... 5.3.7 Panen ................................................................................ 5.4 Permasalahan Usahatani ......................................................... 5.4.1 Aspek Input Produksi................................................... 5.4.2 Aspek Budidaya............................................................. ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI PADI ORGANIK METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DAN PADI KONVENSIONAL......................................... 6.1 Penggunaan Input .................................................................... 6.1.1 Benih................................................................................ 6.1.2 Pupuk .............................................................................. 6.1.3 Pestisida .......................................................................... 6.1.4 Penggunaan Tenaga Kerja............................................ 6.2 Output Usahatani ....................................................................
59 61
72 72 74 74 75 76 78 79 82 83 84 84 85
87 88 88 90 94 95 98
BAB VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI ORGANIK METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DAN PADI KONVENSIONAL......................................... 101 7.1 Analisis Perbandingan Penerimaan Usahatani.................... 101 7.2 Analisis Perbandingan Biaya Usahatani ............................... 102 7.3 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani.................... 107 7.4 Hasil Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan............ 110 7.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Uji t.................... 111 BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 114
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Data Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1980 - 2005..................................................................................
1
2.
Lahan Pertanian Organik dan Kebun Organik di Kawasan Asia Tahun 2001 – 2002 ......................................................................
14
3.
Perbedaan Sistem Pertanian Organik dengan Sistem Pertanian Non-Organik Ditinjau dari Aspek Input-Output Produksi................................................................................................
23
4.
Persentase Status Usaha Bertani di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 .....................................................
67
5.
Persentase Status Kepemilikan Lahan Sawah yang Digarap di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007.................
68
6.
Persentase Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 ...........................................................................................
68
7.
Persentase Petani Responden Berdasarkan Aspek Usia di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007.................
69
8.
Persentase Karakteristik Responden Petani Berdasarkan Pengalaman Usahatani di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 .............................................................................
70
Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Areal Usahatani Padi di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 ...........................................................................................
71
10.
Kandungan Unsur Hara pada Beberapa Kotoran Hewan ............
80
11.
Perbandingan Penggunaan Benih Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Padi Konvensioanal (Kg/Ha) di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007............................................................................................
90
Jumlah Dosis Pupuk Organik yang Digunakan Petani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 ..........................
92
9.
12.
13.
Penggunaan Rata-Rata Pupuk Kimia dalam Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 ...........................................................................................
93
14.
Jenis Obat-Obatan pada Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur untuk Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2006 (Hektar) ........... 95
15.
Perbandingan Kebutuhan Tenaga Kerja pada Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007 (HOK/Ha) ...................................
96
16.
Perbandingan Produktivitas Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007 .............. 100
17.
Penerimaan Petani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Petani Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007 .............. 102
18.
Biaya Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur untuk Musim Tanam (MT) Periode April – Juli 2007 (Hektar)................................................................................................. 105
19.
Analisis Perbandingan Biaya untuk Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007 ............................................................................... 106
20.
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007 (Rp/Ha)............................................................... 109
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Areal Pertanian Organik di Asia.......................................................
13
2.
Sistem Pertanian Organik di P. Agatho, Cisarua, Jawa Barat.......
15
3.
Alur Kerangka Pemikiran Operasional ...........................................
55
4.
Penanaman Padi Organik Satu Semai dengan Bentuk Huruf L ..
78
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Peta Lokasi Kabupaten Cianjur............................................................ 118
2.
Peta Lokasi Penelitian............................................................................ 119
3.
Seleksi Benih Padi Organik dengan Perlakuan Larutan Garam..... 120
4.
Pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL)/Pestisida Nabati ...... 121
5.
Deskripsi Varietas Sinta Nur ............................................................... 122
6.
Proses Pembuatan Pupuk Bokashi...................................................... 123
7.
Penggunaan Biaya Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) di Desa Bobojong pada Masa Tanam (MT) Periode April – Juli Tahun 2007 (Hektar) ................................ 124
8.
Penggunaan Biaya Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) di Desa Bobojong pada Luas Lahan RataRata 0,34 Hektar untuk Masa Tanam (MT) Periode April – Juli Tahun 2007............................................................................................... 125
9.
Rincian Penggunaan Biaya dalam Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong pada Masa Tanam (MT) Periode Agustus – November Tahun 2006........................................................................... 126
10. Penggunaan Biaya Usahatani Padi Konvensional pada Luas Rata-Rata 0,35 Ha di Desa Bobojong pada Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November Tahun 2006 ......................................... 127 11. Hasil Output Minitab untuk Uji t......................................................... 128 12. Proses Budidaya Padi ............................................................................ 129 13. Kuesioner Responden Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) .................................................................................. 130 14. Kuesioner Responden Padi Konvensional.......................................... 134
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir perlu diperhatikan oleh pemerintah. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 sebesar 218 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen per tahun.1 Oleh sebab itu kebutuhan pangan masyarakat pun meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tersebut. Data mengenai jumlah dan laju pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 19802005 Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan (%) 1980 1990 2000 2005
147.490.298 179.378.946 205,132.458 218.868.791
2,30 1,97 1,49 1,30
Sumber: Data Statistik Indonesia, 2008 (diolah).2
Beras yang berasal dari tanaman padi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Namun dari produksi padi yang dihasilkan ternyata tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan masyarakat. Untuk mengatasi kebutuhan pangan masyarakat yang semakin meningkat, pada tahun 1963 pemerintah telah menetapkan kebijakan bahwa untuk meningkatkan produksi padi secara cepat hanya dapat dicapai bila para petani padi dapat menerapkan teknologi pertanian modern yang kemudian dikenal sebagai teknologi "Revolusi
1
http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/task,/Itemid,165/ (03 Jan 2007) 2 http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/task,show/Itemid,165/ (03 Jan 2007)
Hijau". Revolusi hijau merupakan
perubahan
pola
budidaya
tanaman
berdasarkan efisiensi yang menjadi salah satu pemecahan masalah kekurangan pangan (Sutanto, 2002b). Teknologi revolusi hijau merupakan teknologi budidaya tanaman padi yang pada waktu itu dimasyarakatkan oleh pemerintah dengan istilah Panca Usahatani, yaitu pengolahan tanah, pemupukan dengan pupuk buatan, perbaikan jaringan pengairan, penanaman benih unggul, serta pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida. Teknologi ini menggunakan teknik bercocok tanam intensif dengan ciri pemakaian pestisida dan pupuk kimia sintetik. Dengan adanya teknologi ini diharapkan kebutuhan pangan seluruh penduduk yang setiap tahun selalu meningkat dapat terpenuhi (Untung dalam Ubaydillah, 2008). Melalui program revolusi hijau, produksi pangan di Indonesia meningkat. Sekitar tahun 1983 hingga 1984, program BIMAS (Bimbingan Massal) sebagai salah satu realisasi dari revolusi hijau telah mencapai swasembada beras, sehingga hal tersebut mampu mengatasi kerawanan pangan yang terjadi. Peningkatan produksi pangan tersebut tidak terlepas dari penggunaan teknologi modern seperti bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh, dan pertanaman monokultur. Akan tetapi program revolusi hijau hanya dapat berhasil di wilayah dengan sumber daya tanah dan air yang baik, serta infrastruktur yang mendukung (Sutanto, 2002b). Menurut pakar ekologi, teknologi modern (pertanian yang tergantung pada bahan kimia) berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil menanggulangi kerawanan pangan, namun harus dibayar mahal
dengan makin meningkatnya kerusakan atau degradasi yang terjadi di permukaan
bumi,
seperti
desertifikasi,
kerusakan
hutan,
penurunan
keanekaragaman hayati, salinitas, penurunan kesuburan tanah, pelonggokan (accumulation) senyawa kimia di dalam tanah maupun perairan, erosi dan kerusakan lainnya. Sampai saat ini masih merupakan dilema berkepanjangan antara usaha meningkatkan produksi pangan dengan menggunakan produk agrokimia dan usaha pelestarian lingkungan yang berusaha mengendalikan atau membatasi penggunaan bahan-bahan tersebut. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan dan tidak terkendali mempunyai dampak yang sama terhadap lingkungan (Sangatan dalam Sutanto, 2002b). Untuk mengatasi agar dampak yang ditimbulkan tidak berkelanjutan, muncul inisiatif dari para ahli pertanian dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap lingkungan untuk mengembangkan sistem pertanian alternatif yang secara ekologi ramah terhadap lingkungan, namun produksinya dapat mencukupi kebutuhan pangan dengan kualitas yang baik dan menyehatkan. Berdasarkan hal tersebut muncul gagasan untuk kembali bercocok tanam dengan cara tradisional dan hanya menggunakan bahan-bahan organik, alternatif tersebut disebut dengan pertanian organik. Tren keamanan pangan (food safety) menjadi isu dalam industri pangan, karena adanya berbagai kasus keracunan pangan yang terjadi, baik yang berasal dari kontaminasi bahan kimia maupun mikrobiologi, seperti muntah-muntah, diare, keracunan, dan sebagainya. Faktor kesehatan tersebut menjadi salah satu alasan konsumen mengkonsumsi pangan organik (Sutono dalam Fitriadi, 2005).
Saat ini gaya hidup sehat dengan slogan ”Back to Nature” telah menjadi tren
baru
masyarakat
dunia.
Masyarakat
semakin
menyadari
bahwa
penggunaan bahan-bahan kimia non-organik, seperti pupuk dan pestisida kimia sintetis serta hormon tumbuh dalam produksi pertanian ternyata menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Gaya hidup yang demikian ini telah mengalami pelembagaan secara internasional yang diwujudkan melalui regulasi perdagangan global yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus mempunyai atribut aman dikonsumsi (food safety attributes), mempunyai kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes), dan ramah lingkungan (eco-labelling atrributes). Adanya preferensi konsumen inilah yang menyebabkan permintaan produk pertanian organik diseluruh dunia tumbuh rata-rata 20 persen per tahun. Data WTO (World Trade Organization) menunjukkan bahwa dalam tahun 2005 perdagangan produk pertanian organik dunia telah mencapai nilai US $ 17,5 milyar. Diperkirakan pada tahun 2010 pangsa pasar dunia produk pertanian organik akan mencapai US $ 100 milyar.3 Namun produksi produk pertanian yang ada belum mampu memenuhi permintaan konsumen yang (29 Des 2007)produk organik di begitu tinggi. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan
3 http://agribisnis.deptan.go.id/pustaka/BabI&II_4thGO.pdf
dunia mencapai 15-20 persen per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2,0 persen dari keseluruhan produk
3
http://pertanian.blogsome.com/2007/10/30/pertanian-organik-pertanian-masa-depan-yangmenjanjikan/ (29 Des 2007)
pertanian.4 Berdasarkan hal tersebut maka diketahui bahwa terdapat peluang yang cukup besar untuk pasar organik dunia. Di Indonesia sendiri permintaan beras organik terus mengalami kenaikan. Tahun 2005 pasar beras organik di Indonesia mencapai 28 miliar rupiah dengan pertumbuhan sebesar 22 persen per tahun. Pada tahun 2004 volume produksi beras organik meningkat dari 1.180 ton tahun 2001 menjadi 11.000 ton. Selain itu, jumlah kelompok tani yang menanam beras organik di Indonesia pada tahun 2001 sebanyak 640 kelompok dan tahun 2004 meningkat menjadi 1.700 kelompok tani.5 Tingginya permintaan akan produk organik di dunia mendorong Indonesia sebagai negara agraris untuk mencoba memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini didukung oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian yang mencanangkan program “Go Organic 2010”. Adapun harapan pemerintah dari pencanangan program ini adalah agar tahun 2010 produk-produk pertanian di Indonesia yang layak dikembangkan dengan sistem pertanian organik sudah dapat bebas dari residu kimia, sehingga tujuan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor produk organik terbesar di dunia dapat tercapai (Sudrajat, 2003). Selain itu, luas lahan yang tersedia di Indonesia untuk mengembangkan pertanian organik memiliki potensi yang sangat besar. Dari 75,5 juta hektar lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta hektar yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan. Namun diperkirakan sekitar 60 4
http://pertanian.blogsome.com/2007/1-/30/pertanian-organik-pertanian-masa-depan-yangmenjanjikan/ (29 Des 2007) 5 http://bkp.deptan.go.id/index.php?Itemid=9&id=106&option=com_content&task=view (30 Ags 2009)
persen lahan sawah di pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia, dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik, yakni dibawah satu persen.6 Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, dan tidak responsif terhadap unsur hara tertentu. Selain itu, tanah pun menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien, serta produktivitas tanaman cenderung mengalami penurunan (levelling-off) dan semakin sulit untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat, sehingga sawah semakin tandus. Dari aspek pengelolaan air, usahatani padi sawah pada umumnya dilakukan dengan cara penggenangan air secara terus menerus, dilain pihak ketersediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air. System of Rice Intensification (SRI) atau Sistem Rancang Intensif adalah suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. Metode tersebut memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman, dan memelihara mikroba tanah yang beraneka ragam melalui bahan organik, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia, serta dapat menghemat penggunaan air hingga 50 persen (Saina dalam Fitriadi, 2005).
6
http://setjen.deptan.go.id/pla/pedum2007/PEDNIS%20DIT%20PENGELOLAAN%20LAHAN/O PTIMASI%20LAHAN/SRI/PEDOMAN%20TEKNIS%20SRI%202007%20lkp.pdf (29 Des 2007)
1.2 Perumusan Masalah Usahatani padi sawah System of Rice Intensification (SRI) merupakan teknologi usahatani
ramah lingkungan
dengan efisiensi input
melalui
pemberdayaan petani dan kearifan lokal. Beberapa daerah di Indonesia khususnya pulau Jawa telah menerapkan sistem usahatani padi organik dengan metode SRI. Salah satunya adalah Kabupaten Cianjur yang berada di Provinsi Jawa Barat. Pengembangan pertanian organik khususnya padi difokuskan di Kecamatan Mande, Desa Bobojong. Daerah ini merupakan daerah sentra pertanian di Kabupaten Cianjur khususnya padi yang menerapkan metode SRI dalam usahataninya. Karakteristik penanaman metode SRI di desa Bobojong ini tidak berbeda dengan di daerah-daerah lain yang menerapkan metode penanaman SRI, hanya saja penanaman dengan metode SRI ini baru dilakukan pada padi organik khususnya di daerah Jawa Barat. Namun dalam pembudidayaannya terdapat beberapa kendala, salah satunya adalah faktor cuaca. Faktor cuaca yang tidak mendukung seperti pada saat musim hujan yang disertai dengan angin yang cukup besar mengakibatkan tanaman menjadi rebah, hal tersebut dikarenakan pada metode SRI ini padi yang ditanam tidak terlalu dibenamkan, sehingga hal tersebut membuat tanaman padi tidak kuat menahan ketika diterjang oleh angin kencang. Selain faktor cuaca, masalah hama juga menjadi salah satu kendala dalam budidaya padi organik. Salah satu hama yang paling sering menyerang tanaman padi di desa Bobojong ini adalah tungro. Hama tungro bila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan produktivitas tanaman padi menurun bahkan hingga 50 persen
dari
produktivitas
yang
seharusnya.
Namun
hingga
saat
ini
permasalahan hama tungro tersebut masih bisa ditangani, yakni dengan cara mencabut tanaman padi yang sudah terkena hama tungro tersebut agar penyebarannya tidak menyerang ke tanaman yang lain. Peralihan pertanian konvensional menjadi pertanian yang berbasis pertanian organik di tingkat petani pada tahun-tahun terakhir adalah akibat dari pergeseran gaya hidup masyarakat yang semakin paham akan pentingnya produk organik bagi kesehatan, sehingga petani melihat adanya peluang yang cukup
besar
untuk
mengembangkan
sistem
pertanian
organik
pada
pembudidayaan padi. Hal tersebut membuat petani berharap bahwa dengan beralih sistem usatahani ini petani mampu meningkatkan pendapatan, karena harga jual dari produk organik ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk non-organik. Namun, apakah dengan perubahan sistem usahatani tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani?. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah mencoba untuk mengkomparasikan antara padi organik metode SRI dengan padi konvensional, sehingga dapat mengetahui tingkat produktivitas dan biaya produksi yang dikeluarkan sebagai modal. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi proses pengembangan pertanian organik secara bertahap pada khususnya untuk petani masyarakat. Studi mengenai analisis usahatani padi organik telah banyak dilakukan, namun studi mengenai padi organik metode SRI belum banyak dilakukan, khususnya di daerah Jawa Barat, sehingga perlu dilakukan mengenai analisis usahatani padi organik metode SRI dengan membandingkan analisis usahatani padi konvensional.
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dapat diteliti adalah sebagai berikut: 1. Apakah perubahan sistem usahatani yang dilakukan, yaitu dari padi konvensional menjadi padi organik dengan metode SRI dapat meningkatkan pendapatan petani? 2. Sejauh mana perubahan tingkat pendapatan petani tersebut dipengaruhi oleh perubahan sistem usahataninya?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan dan menganalisis pengaruh perubahan sistem usahatani dari usahatani non organik menjadi usahatani organik metode SRI yang dilakukan oleh para petani di Desa Bobojong terhadap tingkat pendapatannya. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai masukan bagi para petani agar lebih teliti dalam melakukan perubahan sistem usahatani sehingga yang menjadi tujuan dapat tercapai. 2. Sebagai masukan bagi pengambil kebijakan agar dapat menuangkan kebijakan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. 3. Sebagai referensi untuk bahan literatur bagi penelitian selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertanian Organik Pertanian organik sudah sejak lama kita kenal yakni sejak ilmu bercocok tanam dikenal manusia. Pada saat itu semuanya dilakukan secara tradisonal dan menggunakan bahan-bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan ilmu pertanian dan ledakan populasi manusia, maka kebutuhan pangan juga meningkat. Saat itu revolusi hijau di Indonesia memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Dimana penggunaan pupuk kimia sintetis, penanaman varietas unggul berproduksi tinggi (high yield variety), penggunaan pestisida, intensifikasi lahan dan lainnya mengalami peningkatan. Belakangan ditemukan berbagai permasalahan akibat kesalahan manajemen di lahan pertanian. Pencemaran pupuk kimia, pestisida dan lainnya akibat kelebihan pemakaian bahan-bahan tersebut berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia akibat selalu tercemar bahan-bahan sintetis tersebut. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam jangka waktu lama mulai disadari sehingga diperlukan alternatif bercocok tanam yang dapat menghasilkan produk yang bebas dari pencemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Sejak itulah mulai dilirik kembali cara pertanian alamiah (back to nature). Namun pertanian organik modern sangat berbeda dengan pertanian alamiah di zaman dulu. Dalam pertanian organik modern dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba serta
manajemen yang baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut (Husnain dan Syahbuddin dalam INOVASI, 2005).
2.2 Pengertian Pertanian Organik Pertanian organik merupakan sistem produksi pertanian yang holistik (keseluruhan) dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Lebih lanjut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca panen dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi. Dalam hal ini penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik mulai produksi hingga pasca panen.7 Menurut Sutanto (2002a), bahwa pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia, terutama di daratan China.
7
http://www.ifoam.org/about_ifoam/pdfs/POA_folder_indonesianpdf (29 Des 2007)
Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan ”Hukum Pengembalian (Law of Return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman, Von Uexkull (1984) dalam Sutanto (2002b) memberikan istilah ”membangun kesuburan tanah”. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Dengan kata lain, unsur hara didaur ulang melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman. Hal ini berbeda sama sekali dengan pertanian non-organik yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
2.3 Komponen Pertanian Organik a. Lahan Lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas dari bahan agrokimia yaitu pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan yaitu: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian
intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Lama masa konversi tergantung sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida dan jenis tanaman.
Gambar 1. Areal Pertanian Organik di Asia8 Berdasarkan kesesuaian lahan di Indonesia hanya 10 persen yang layak dijadikan lahan pertanian (Peta kesesuaian lahan, Puslitbangtanak). Mengingat lahan yang bisa diandalkan mendukung pertanian organik adalah lahan yang tergolong subur dan juga mempertimbangkan sumber air dan potensial cemaran dari lahan non-organik disekitarnya. Luasan lahan pertanian organik di dunia dapat dilihat pada Gambar 1. Di Indonesia luas lahan yang dikelola secara organik berkisar 40.000 Ha. Luasan lahan organik di Indonesia tersebut termasuk didalamnya lahan pertanian alami seperti kebun campuran dan sebagainya. Indonesia memiliki potensi besar dengan terdapatnya sekitar 45.000 kebun organik sebagaimana terdapat dalam Tabel 2.
8
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=80 (30 Ags 2009)
Tabel 2. Lahan Pertanian Organik dan Kebun Organik di Kawasan Asia Tahun 2001-20029 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Negara
Tahun
Azerbeijan China India Indonesia Libanon Nepal Pakistan Sri lanka Thailand Vietnam Jumlah
Luas Lahan Pertanian Organik (Ha) 2.540 301.295 37.050 40.000 250 45 2.009 15.215 3.993 6.475 871.002
Jumlah Kebun Organik
2002 2001 2002 2001 2001 2001 2001 2001 2002 2002
285 2.910 5.147 45.000 17 26 405 3.301 1.154 1.022 61.595
b. Pupuk organik Pembudidayaan tanaman dengan menggunakan sistem pertanian organik mulai dari input hingga outputnya harus menerapkan sistem organik pula, salah satu inputnya yaitu pupuk. Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam pemeliharaan yang menggunakan sistem pertanian organik ini. Pupuk yang digunakannya pun harus pupuk organik. Definisi
yang
dikemukakan
oleh
International
Organization
for
Standardization (ISO) dalam Sutanto (2002b) menyatakan bahwa pupuk organik merupakan bahan organik atau bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan kedalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan atau hewan. Asociation
of
American
Plant
Food
Control
Official
(AAPFCO)
mendefinisikan pupuk organik sebagai pupuk yang mengandung karbon sebagai komponen esensial (tetapi tidak dalam bentuk karbonat) dan istilah
9
ibid
tersebut sebetulnya berasal dari senyawa karbon yang dikandung organisme, tetapi sekarang termasuk senyawa karbon sintetik. AAPFCO mengartikan bahwa pupuk organik sebagai bahan mengandung karbon dan satu atau lebih unsur yang lain selain hidrogen dan oksigen yang penting bagi pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2002b). c. Aspek penting lainnya Dalam pertanian organik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan secara umum adalah mengikuti aturan berikut: Ø Menghindari benih atau bibit hasil rekayasa genetika. Sebaiknya benih berasal dari kebun pertanian organik. Ø Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis, zat pengatur tumbuh, dan pestisida. Pengendalian hama dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman. Ø Peningkatan kesuburan tanah dilakukan secara alami melalui penambahan pupuk organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legum. Penanganan pasca panen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.
Gambar 2. Sistem Pertanian Organik di P. Agatho, Cisarua, Jabar Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2005.
2.4 Permasalahan Seputar Pertanian Organik a. Penyediaan pupuk organik Permasalahan
pertanian
organik
di
Indonesia
sejalan
dengan
perkembangan pertanian organik itu sendiri. Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan jauh dibawah realisasi hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Sebagai ilustrasi, untuk menanam sayuran dalam satu bedengan seluas 1 x 10 m dibutuhkan pupuk organik (kompos) sekitar 25 kg untuk 2 kali musim tanam atau setara dengan 25 ton/ha. Bandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik Urea TSP dan KCl yang hanya membutuhkan total pemupukan sekitar 200-300 kg/ha. Umumnya petani kita bukan petani yang mampu memiliki lahan dan ternak sekaligus, sehingga mereka perlu membeli dari sumber lainnya dan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi disamping tenaga yang lebih besar. b. Teknologi pendukung Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama berikutnya adalah teknologi budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan efek allelopati dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang nitrogen dan unsur hara lainnya sangatlah membantu
untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada pembudidayaan pertanian organik di musim hujan. c. Pemasaran Pemasaran produk organik di dalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, yaitu konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran keluar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar international tersebut. Kendala utama dalam pemasaran adalah sertifikasi produk oleh suatu badan sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan dituju. Akibat keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Namun yang banyak terjadi di lapangan adalah masing-masing pihak melabel produknya sendiri sebagai produk organik, tetapi kenyataannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida dalam pembudidayaannya. Petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik tentu saja akan merugi dalam hal ini. d. Kesalahan Persepsi Masyarakat awam menganggap produk organik adalah produk yang bagus tidak hanya dari segi kandungan nutrisi namun juga penampilan produknya. Kenyataannya produk organik itu tidaklah selalu bagus, sebagai contoh daun berlobang dan berukuran kecil, karena tidak menggunakan pestisida dan zat perangsang tumbuh atau pupuk non-organik lainnya.
Sebagian petani kita terbiasa menggunakan pupuk non-organik yang akan memberikan respon cepat pada tanaman. Seperti misalnya pemupukan Urea akan menghasilkan tanaman yang pertumbuhannya cepat, sementara dengan pemupukan organik pengaruh perubahan pertumbuhan tanaman tergolong lambat. Pada musim ketiga dan seterusnya, efek pupuk organik tersebut menunjukkan hasil yang nyata perbedaannya dengan pertanian konvensional. Sehingga dapat disimpulkan pertanian organik di tahun-tahun awal akan mengalami banyak kendala dan membutuhkan modal yang cukup untuk bertahan. e. Sertifikasi dan Standarisasi Standar dasar (basic standard), baik yang bersifat internasional, regional, maupun terikat dengan ideologi tertentu, bukan dibuat sebagai buku pintar bagi petani di lapangan. Standar dasar tersebut sebagai acuan (reference) menuju produk organik, atau mengembangkan usahatani yang berwawasan lingkungan (Sutanto, 2002b). Beberapa lembaga standarisasi pertanian organik adalah sebagai berikut: 1. Standar internasional a. Standar IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement). Dasar IFOAM Pertanian Organik diterbitkan pertama kali pada pertengahan 1970, kemudian mengalami perbaikan tahun 1989. Masingmasing kelompok menetapkan lebih detil peraturan untuk para anggotanya. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi bentang lahan, iklim, dan teknik pertanaman yang bersifat spesifik lokal. yaitu standar dasar untuk produk organik dan prosesnya dari IFOAM sejak 1980.
b. Ketetapan Lembaga Uni Eropa (UE) No. 2092/91 terhadap Produk Organik dan Cara Pelabelan. Peraturan tentang produk yang dihasilkan pertanian organik serta indikasi produk pertanian dan bahan makanan diterapkan oleh UE pada tanggal 24 Juni 1991. Peraturan dasar tersebut diperbaiki dan ditambah dengan delapan peraturan baru. Dalam peraturan dasar tersebut tidak dijumpai peraturan yang menyangkut produk nabati organik. Tujuan
utama
disusunnya
peraturan
ini
adalah
untuk
memberikan perlindungan dan memudahkan konsumen melakukan klaim terhadap produk pertanian organik. Peraturan UE tentang pertanian organik terdiri atas 16 peraturan dan 6 lampiran, serta 25 amandemen perbaikan dan penambahan yang mengacu pada peraturan asli (1997) meliputi: ruang lingkup, memasang label dan pengolahan, usahatani, sistem pengawasan, impor dari negara berkembang, biaya administrasi dan implementasinya, prosedur amandemen, dan jangka waktu pelaksanaan. c. “Organic Foods Production Act 1990” di Amerika Serikat Di Amerika, Federal Statutory Law (Organic Foods Production Act of 1990 under the 1990 Farm Bill), memberikan waktu tiga tahun sebagai periode konversi atau transisi, selama waktu tersebut erosi harus dicegah dan kesuburan tanah ditingkatkan. Peraturan federal memberikan standar minimum nasional untuk peraturan negara bagian yang dilaksanakan di 22 negara bagian dan 30 kegiatan sektor swasta yang sudah memperoleh sertifikasi. Badan standarisasi organik nasional (National Organic Standard Board) merupakan komisi yang dibentuk oleh
USDA pada tahun 1992, dan bertanggung jawab mengembangkan peraturan yang lebih rinci untuk produk pertanian organik dan daftar bahan yang diizinkan untuk digunakan dalam pengolahan. d. “The Codex Alimentarius” FAO Komisi Codex Alimentarius yang dibentuk oleh FAO bekerja sejak tahun 1990 untuk menyusun panduan yang sejalan dengan peraturan UE. Perhatian dititik beratkan untuk menyusun definisi yang mudah dipahami oleh negara-negara yang berpartisipasi untuk mengembangkan pertanian organik. Panduan ini tidak digunakan untuk menyusun peraturan, namun merupakan acuan bagi pembuat peraturan. 2. National dan supranational regional. 3. Standar setiap negara. Departemen Pertanian juga telah menyusun standar pertanian organik di Indonesia yang tertuang dalam SNI 01-6729-2002. Sistem pertanian organik menganut paham organik proses, artinya semua proses sistem pertanian organik dimulai dari penyiapan lahan hingga pasca panen memenuhi standar budidaya organik, bukan dilihat dari produk organik yang dihasilkan. SNI sistem pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang nantinya juga harus diakreditasi oleh Departemen Pertanian melalui PSA (Pusat Standarisasi dan Akreditasi). SNI sistem pangan organik disusun dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32 1999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organically produced foods dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak mungkin mereka mendapatkan label sertifikasi dari suatu lembaga sertifikasi asing maupun dalam
negeri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu mensertifikasi lahannya. Satu-satunya jalan adalah membentuk suatu kelompok petani organik dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi. Dengan demikian mereka dapat pembiayaan sertifikasi usaha tani mereka secara gotong royong. Namun hal ini masih sangat tergantung pada kontinuitas produksi mereka.
2.5 Tujuan Pertanian Organik Tujuan utama pertanian organik adalah untuk mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas komunitas tanah, tanaman, hewan, dan manusia yang saling berkaitan satu sama lain. Tujuan dan keuntungan yang dapat diperoleh dari pengembangan pertanian organik10, antara lain: 1. Meningkatkan pendapatan petani karena adanya efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan “Impressive Premium” produk. 2. Menghasilkan pangan yang cukup, aman, dan berkualitas sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat dan sekaligus daya saing produk agribisnis. 3. Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani. 4. Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian. 5. Meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 6. Menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan sosial di pedesaan.
10
http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/BabI&II_4thGO.pdf (29 Des 2007)
2.6 Kegunaan Pertanian Organik Menurut Sutanto (2002b), kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Beberapa hal yang mencakup kegunaan budidaya organik dalam meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan kemungkinan resiko terhadap lingkungan, adalah: a. Menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur produktif tanah. b. Melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah degradasi tanah karena kerusakan struktur tanah (pemampatan tanah). c. Meningkatkan
penyediaan
lengas
tanah
sehingga
menghindarkan
kemungkinan resiko kekeringan dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan hara yang berasal dari pupuk mineral, berarti meningkatkan kemangkusan penggunaannya, dan sekaligus menghemat penggunaan pupuk buatan yang harganya semakin mahal. d. Menghindarkan terjadinya ketimpangan (unbalance) hara, bahkan dapat memperbaiki neraca (balance) hara dalam tanah. e. Melindungi pertanaman terhadap cekaman (stress) oleh unsur-unsur yang ada dalam tanah (Fe, Al, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari bahanbahan pencemar (jenis logam berat). f.
Tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat menyehatkan, berarti mempunyai daya memelihara ekosistem tanah.
g. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas sumberdaya air, karena zat-zat kimia yang terkandung berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang tidak mudah larut.
h. Merupakan teknologi berkemampuan ganda (sumber hara dan pembenah tanah),
sehingga
cocok
sekali
untuk
diterapkan
pada
tanah-tanah
berpersoalan ganda yang terdapat cukup luas terutama di luar pulau Jawa).
2.7 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Pertanian Non-Organik Pertanian organik sering juga disebut sebagai sistem pertanian berkelanjutan. Menurut Salikin (2003), pada tataran praktek pengelolaan pertanian berkelanjutan dapat dikaji dari aspek penggunaan faktor produksi atau hubungan input-output (Tabel 3). Tabel 3. Perbedaan Sistem Pertanian Organik dengan Sistem Pertanian NonOrganik Ditinjau dari Aspek Input-Output Produksi No.
Sistem Pertanian Non-Organik
1.
Lahan: Olah Tanah Intensif (OTI).
2.
Benih: ü Varietas unggul. ü Benih transgenik. Pupuk/Bahan kimia: ü Urea. ü TSP. ü NPK. ü ZPT. ü KCl. Pestisida kimia: ü Insektisida. ü Herbisida. ü Rodentisida. Tenaga kerja/Energi: ü Manusia. ü Traktor. ü Energi minyak bumi.
3.
4.
5.
6.
Manajemen: ü Orientasi jangka pendek. ü Product oriented. ü Manajemen industrial.
Sumber : Salikin, 2003.
Sistem Pertanian Organik Lahan: ü Olah Tanah Minimum (OTM). ü Olah Tanah Bermulsa (OTB). ü Olah Tanah Konservasi (OTK). ü Tanpa Olah Tanah (TOT). Benih: ü Varietas lokal. ü Varietas unggul aman. Pupuk: ü Pupuk hijau. ü Pupuk kandang. ü Guano. ü Bokasi. Pestisida alami: ü Pestisida hayati. ü Pengendalian hama terpadu. ü Agensi hayati. Tenaga kerja/Energi: ü Manusia. ü Hewan ternak. ü Traktor ringan. ü Energi matahari, air, angin, biomassa. Manajemen: ü Orientasi jangka panjang. ü Economic and ecological oriented. ü Manajemen global dan indegenius local.
2.8 Sejarah Metode System of Rice Intensification (SRI) System of Rice Intensification (SRI) pertama kali dikembangkan oleh seorang pastur Jesuit asal Perancis bernama Father Henri de Laulanie pada awal 1980-an di Madagaskar. Beliau menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama petani, mengamati, dan bereksperimen mengenai metode hemat air ini, hingga eksperimennya berhasil memperoleh kesuksesan pada tahun 1983-1984.11 Pada tahun 1983 beliau mengamati dan mengumpulkan data mengenai cara pengelolaan SRI, hingga 20 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1994, Tefy Saina dan CIIFAD mulai bekerjasama untuk mengembangkan metode SRI ini. Tahun 1999 dengan bantuan yang diperoleh dari CIIFAD, khususnya dari Profesor Norman Uphoff sebagai koordinator tim peneliti dari Cornell Unyversity-New York, metode SRI mulai disebarkan ke negara-negara lain. Di Indonesia sendiri metode SRI ini mulai diperkenalkan oleh Profesor Norman Uphoff pada tahun 1997.12 Tahun 1999, Nanjing Agricultural University di China dan Agency for Agriculture Research and Development (AARD) yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pertanian menguji coba metode SRI pertama kali di Indonesia, tepatnya di Desa Sukamandi, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pada panen pertama, yaitu pada musim kemarau (1999), hasil produksinya mencapai 6,2 ton per hektar. Sedangkan pada panen kedua, yaitu pada musim hujan (1999-2000) hasil produksi rata-ratanya sebesar 8,2 ton per hektar.13 Validasi pengaruh SRI kurang lebih di 20 negara telah berhasil, yakni pada tahun 2006. Adapun negara-negara yang mengadopsi metode SRI ini 11
http://en.wikipedia.org/wiki/System_of_Rice_Intensification (29 Des 2007) http://agribisnis-ganesha.com/?p=29 (29 Des 2007) 13 http://agribisnis-ganesha.com/?p=61 (29 Des 2007) 12
diantaranya adalah Bangladesh, Benin, Kamboja, Kuba, Gambia, Guinea, India, laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philipina, Sebegal, Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam.14 Hasil produktivitas tanaman padi adalah sebagai berikut: 1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha ke 7,5 ton/ha dengan hasil tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 persen. Saat ini produktivitas padi sekitar 13 ton/ha. 2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7 ton/ha dengan produktivitas tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha. 3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 persen dan pendapatan naik sebesar 74 persen. 4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 persen, efisiensi air 90 persen, pendapatan bersih 112 persen, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17 – 27 persen. 5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development (AARD, 2004), dengan hasil rata-rata 7 – 9 ton. Hasil coba petani terbaru SRI memberikan hasil 10 -18 ton/ha. 2.9 Konsep Dasar Pemikiran Metode System of Rice Intensification (SRI) Tanaman padi bukanlah tanaman air, namun mampu hidup dalam kondisi tergenang. Agar dapat hidup dalam ekosistem basah, padi memerlukan energi yang besar untuk membentuk kantung udara (jaringan aerenchym). Hasil penelitian menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan akar padi tanaman padi akan terhambat dengan penggenangan. Selama periode tersebut sekitar 70 persen akar tanaman akan mengalami degradasi dan kematian. Oleh karena itu, perkembangan dan pertumbuhan tanaman padi paling baik adalah dalam kondisi tanah lembab (aerob) selama fase vegetatif (moist during vegetative phase).
14
ibid
System of Rice Intensification (SRI) adalah suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. SRI merupakan cara atau sistem penanaman padi yang intensif, yang memperhatikan dan mengutamakan pengelolaan sumber kekuatan alam, daur aliran energi dan siklus nutrisi yang berawal dari tanah, potensi tumbuh dan berkembangnya tanaman, serta pengelolaan peranan atau fungsi air dalam mendukung dan memperkuat berjalannya kehidupan alamiah di ekosistem pertanian (Saina dalam Fitriadi, 2005). Metode tersebut memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah dan tanaman dengan dukungan akar yang kuat dan memelihara mikroba tanah yang melimpah dan beraneka ragam melalui masukan bahan organik, tanpa pupuk kimia sintetik (Urea, TSP, KCl, dan Za) dan pestisida kimia. Produksi tanaman padi diharapkan dapat mencapai hingga 8 ton per hektar, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10–15 ton per hektar. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (Simarmata, 2006). Melalui penerapan metode SRI diharapkan para petani memperoleh hasil panen 30 persen lebih banyak jika dibandingkan dengan pola konvensional. Hal tersebut dikarenakan metode SRI mampu menghemat air hingga 60 persen dari kebutuhan padi sawah biasa. Pengaturan tata udara tanah melalui pemberian air (lembab dan basah secara bergantian) akan meningkatkan keanekaragaman dan peranan biota tanah dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Oleh karena itu, metode ini tidak mengenal krisis air pada kemarau seperti yang terjadi pada akhir tahun 2006 hingga awal 2007. Melalui metode ini
diharapkan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan, karena harga jual Gabah Kering Panen (GKP) padi organik metode SRI ini berkisar antara Rp. 3.500,-/kg hingga Rp. 4.500,-/kg.15 Konsep SRI adalah memanfaatkan dan mengelola kekuatan sumberdaya alam secara terpadu (tanaman, tanah, air, biota, dan nutrisi) untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi secara berkelanjutan melalui dua cara, yaitu: 1. Menstimulir pertumbuhan dan perkembangan akar (bibit muda dan jarak tanam). 2. Meningkatkan dan mempertahankan populasi dan keanekaragaman biota tanah atau memanfaatkan kekuatan biologis tanah (soil biological power) melalui manajemen tanaman, tanah, air, dan pemupukan berbasis organik. Cara bertanam padi organik metode SRI pada dasarnya tidak berbeda dengan padi konvensional. Usahatani padi organik metode SRI diberikan masukan bahan organik baik pupuk dan pestisidanya. Sedangkan usahatani padi konvensional masukannya berupa bahan kimia sintetik. Cara bertanam padi organik SRI sedikit berbeda dengan padi organik biasa, yaitu pada teknik persemaian, pengolahan tanah, penanaman, dan pengaturan air seperti uraian berikut: 2.9.1
Varietas dan Benih Varietas padi yang cocok ditanam pada padi organik metode SRI adalah
varietas lokal atau alami. Padi hibrida kurang cocok karena umumnya padi hibrida hanya dapat tumbuh dan berproduksi optimal bila disertai dengan aplikasi pupuk kimia dalam jumlah banyak.
15
http://agribisnis-ganesha.com/?p=62 (29 Des 2007)
Benih bermutu merupakan syarat untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Umumnya benih dikatakan bermutu jika jenisnya murni (lokal), beras nasional (bernas), kering, sehat, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji rerumputan yang tidak dikehendaki, dan daya kecambahnya paling tidak mencapai 90 persen (Andoko, 2002). Cara mengecambahkan benih yaitu dengan cara benih direndam dalam air bersih sekitar dua hari sehingga benih menyerap air, benih yang hampa akan mengapung dipermukaan air, setelah direndam benih diangkat dan diperam sekitar dua hari agar berkecambah dengan cara dihamparkan diatas lantai kemudian ditutup dengan karung goni basah. Benih yang sudah berkecambah disebar merata dan tidak tumpang tindih. Jumlah ideal bibit yang disebarkan sekitar 50–60 gr per m2. Persemaian metode SRI memakai semacam nampan atau pepiti yang diisi media tanam yaitu campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1 : 1, kemudian benih ditaburkan secara merata tidak terlalu padat dan tidak terlalu jarang, dan tanah dijaga agar selalu lembab. Banyaknya benih bermutu 0,7–1 kg per seratus bata atau 4,9–7 kg per hektar.
2.9.2
Pengolahan Lahan Prinsip pengolahan tanah adalah dengan pemecahan bongkahan-
bongkahan tanah sawah sedemikian rupa hingga menjadi lumpur lunak dan sangat halus yang disebut koloid. Menurut metode SRI, pengolahan tanah pertama kali dilakukan dengan cara membajak menggunakan cangkul atau traktor, kemudian membenamkan pupuk organik yakni pupuk kompos kurang lebih sebanyak 5 ton per hektar, setelah itu lahan diairi dengan komposisi air macak-macak supaya pupuk tidak hanyut. Pengolahan tanah kedua yaitu
dilakukan pencangkulan halus (digaru) atau ditraktor, kemudian tanah diratakan dan komposisi air tetap macak-macak atau tidak diairi lalu endapkan semalam supaya mudah untuk digarit.
2.9.3
Penanaman Penanaman dilakukan pada saat umur bibit 5–10 hari setelah semai.
Jumlah bibit satu buah per rumpun dengan dalam penanaman 0,5–1 cm (tanam dangkal) dengan jarak tanam sekitar 25 cm x 25 cm, 27 cm x 27 cm, atau 30 cm x 30 cm. Tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah anakan produktif karena dengan jarak tanam lebar maka persaingan oksigen, energi matahari, dan nutrisi semakin berkurang. Berbeda dengan cara konvensional, biasanya bibit yang baik untuk dipindahkan ke lahan penanaman memiliki tinggi sekitar 25 cm, jumlah helai daun kurang lebih sebanyak 5–6 helai daun, batang bawah besar dan keras, bebas dari hama penyakit, dan jenisnya seragam. Varietas genjah dengan lama penanaman 100-115 hari dan umur bibit dipindahkan 18–21 hari, varietas sedang dengan lama penanaman 130 hari dan umur bibit dipindahkan 21–25 hari, dan varietas dalam dengan lama penanaman 150 hari dan umur bibit dipindahkan 30–45 hari. Jarak tanam 30 cm x 30 cm dan jumlah bibit yang digunakan 4–6 rumpun serta dibenamkan tidak terlalu dalam sekitar 5 cm.
2.9.4
Perawatan Tanaman Penyulaman dilakukan maksimal dua minggu setelah tanam. Sekitar 20
hari setelah tanam dilakukan pengolahan tanah ringan dengan menggunakan sorok, airnya dikeluarkan agar terjadi pertukaran udara, kemudian dilakukan
penyiangan
agar
tanaman
padi
dapat
tumbuh
sempurna
sehingga
produktivitasnya tinggi, yaitu dengan cara pencabutan gulma yang dilakukan sebanyak tiga kali. Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman berumur empat minggu, kedua pada umur 35 hari setelah penyiangan pertama, dan ketiga pada umur 55 hari setelah penyiangan pertama. Ada beberapa jenis gulma pada tanaman padi. Diantaranya adalah jajagoan (enchinochloa crusgalli), sunduk gangsir (digitaria ciliaris), rumput teki (cyperus ritundus), dan eceng.
2.9.5
Sistem Irigasi Pengaturan air dengan metode SRI dilakukan ketika umur padi 1–8 hari
setelah tanam (Hst) dengan air sawah macak-macak, pada umur padi 9–10 hari setelah tanam kemudian sawah digenangi air setinggi 2–3 cm (untuk memudahkan penyiangan I), setelah disiangi maka dilakukan pengeringan sawah sampai umur 18 hari. Saat umur 19–20 hari setelah tanam, sawah digenangi untuk memudahkan penyiangan II, kemudian dikeringkan lagi. Jika perlu penyiangan III, maka sawah digenangi selama dua hari dan seterusnya dikeringkan sampai tanaman berbunga. Pada saat berbunga, tanaman diairi atau digenangi sampai padi masak susu. Jika padi sudah masak susu maka pengairan dihentikan atau dikeringkan sampai menjelang panen. Cara konvensional atau non-organik, penggenangan sawah dilakukan agar produktivitas tanaman dan pertumbuhan tanaman menjadi baik tetapi tidak dilakukan secara sembarangan. Saat tanaman mulai membentuk anakan maka sawah digenangi setinggi 2–5 cm selama 15 hari agar struktur tanah dapat dipertahankan dan menghambat pertumbuhan gulma. Pada fase pembentukan
anakan, air dipertahankan antara 3–5 cm hingga tanaman bunting. Memasuki masa bunting, tinggi air sekitar 10 cm, karena jika kekurangan air maka dapat berakibat gabah menjadi hampa. Pada fase pembungaan, ketinggian air antara 5– 10 cm, bila tampak keluar bunga maka sawah dikeringkan 4–7 hari agar pembungaan terjadi secara bersamaan. Saat bunga muncul bersamaan maka air dimasukkan kembali setinggi 5–10 cm. Saat seluruh bibit padi mulai menguning, pengeringan dilakukan hingga saat panen tiba.
2.9.6
Pemupukan Seluruh pupuk yang digunakan sepenuhnya berupa pupuk organik,
mulai pemupukan awal atau dasar hingga pemupukan susulan. Pupuk dapat berbentuk padat yang diaplikasikan lewat akar, juga dapat berbentuk cair yang diaplikasikan lewat daun. Pupuk dasar berupa pupuk kandang atau kompos matang sebanyak 8–10 ton per hektar yang diberikan bersamaan dengan pembajakan, atau bisa juga diberikan pupuk fermentasi atau bokashi sebanyak 1,5–2 ton per hektar. Pemupukan susulan pertama dilakukan saat tanaman berumur 15 hari, yaitu berupa pupuk kandang sebanyak 1 ton per hektar atau kompos fermentasi (bokashi) sebanyak 0,5 ton per hektar yang disebarkan disela-sela padi. Pemupukan susulan kedua dilakukan saat umur tanaman 25–60 hari dengan frekuensi seminggu sekali berupa pupuk organik cair buatan sendiri yang kandungan unsur Nitrogennya tinggi dengan dosis sebanyak satu liter pupuk yang dilarutkan kedalam 17 liter air, kemudian disemprotkan pada daun tanaman. Pemupukan susulan ketiga dilakukan saat tanaman berumur 60 hari, yaitu berupa pupuk organik cair (POC) buatan sendiri yang terbuat dari tulang-
tulang ikan, buah-buahan, air beras, dan lain-lain yang difermentasikan terlebih dahulu dengan air nira atau air kelapa selama 15 hari. Pupuk tersebut mengandung unsur P dan K yang tinggi dengan dosis 2–3 sendok makan pupuk P dicampur dengan satu tangki kecil pupuk K, kemudian pupuk disemprotkan ketanaman seminggu sekali sampai bulir padi tampak menguning. Pada
pertanian
konvensional,
dosis
pemupukan
kimia
semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Berbeda dengan penggunaan pupuk organik yang cenderung semakin menurun karena sifat pupuk organik antara lain (Andoko, 2002): a. Memperbaiki struktur tanah dari berlempung liat menjadi ringan atau remah. b. Memperbaiki daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak terurai. c. Memperbaiki daya ikat air tanah. d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah. e. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara. f.
Mengandung unsur hara lengkap.
g. Membantu proses pelapukan bahan mineral. h. Menyediakan makanan bagi mikroba. i.
Menurunkan aktivitas mikroorganisme merugikan.
2.9.7
Pengendalian Hama dan Penyakit Pemberantasan hama dan penyakit padi organik dilakukan secara
terpadu antara teknik budidaya biologis, fisik (perangkap atau umpan), dan pestisida organik. Berikut beberapa hama dalam usahatani padi dan cara pengendaliannya.
a. Wereng Wereng merupakan serangga kecil berordo homoptera. Jenis hama wereng antara lain wereng coklat (nilaparvata lugens), wereng hijau (nepthotettix virescens), wereng zig-zag (deltocephalus dorsalis), dan wereng putih (cofana spectra). Perkembangan hama wereng diawali dengan imago betina yang bertelur 100–200 butir yang diletakkan pada jaringan daun tanaman. Stadium telur 7–10 hari, nimfa 12–15 hari, dan imago 10–24 hari. Serangga dewasa atau imago dan nimfanya mengisap cairan pangkal batang dan bulir padi yang masih lunak, sehingga tanaman padi menjadi layu, menguning, dan mati. Pengendalian hama dengan teknik budidaya antara lain dengan rotasi tanaman agar siklus terputus dengan tanaman palawija seperti kacang hijau atau kedelai dengan jarak tanaman tidak terlalu rapat. Secara biologis yaitu dengan membiarkan predator alami hama wereng, seperti laba-laba yang hidup dipersawahan
atau
dengan
menyemprotkan
larutan
spora
cendawan
entomopatogen beauveria bassiana untuk menginfeksi wereng. Secara fisik dilakukan dengan memasang perangkap menggunakan lampu, karena wereng sangat tertarik dengan cahaya lampu pada malam hari, lampu dipasang ditengah yang disekelilingnya diairi atau dibubuhi lem sehingga wereng jatuh ke air atau ke lem. Sedangkan secara kimia yaitu dengan menggunakan ramuan bio pestisida buatan sendiri yang disemprotkan ke tanaman. b. Walang Sangit (leptocorisa oratorius) Bertubuh ramping antena memanjang dan bila merasa terganggu maka imago akan mengeluarkan bau menyengat. Imago betina menghasilkan 200–300 telur. Setelah 5–8 hari, telur akan menetas menjadi nimfa, nimfa menjadi walang
sangit setelah 17-27 hari. Walang sangit menghisap bulir padi yang baru, sehingga warna bulir menjadi kecoklatan dan hampa. Pengendalian dengan teknik budidaya dilakukan dengan cara rotasi tanaman dengan tanaman kacang hijau atau kedelai. Secara biologis dapat dilakukan dengan cara penyemprotan cendawan entomopatogen metarhizium anispliae. Secara fisik dapat dilakukan dengan cara menggunakan perangkap bangkai ketam sawah. Sedangkan secara kimia dapat dilakukan dengan cara menggunakan ramuan bio pestisida. c. Penggerek Batang Beberapa jenis penggerek batang, yaitu penggerek batang bergaris (chilo supressalis), penggerek batang kuning (tryporyza incertulas), dan penggerek batang merah jambu (sesamia inferens). Imago (ngengat) hidup 3–5 hari, panjang 13 mm, bertelur 200–300 butir yang diletakkan dipermukaan bawah dan utama, kemudian menetas menjadi larva setelah 5–6 hari. Larva masuk ke pelepah batang dan menggerek jaringan tanaman padi. Serangan dilakukan saat tanaman muda yang disebut “sundep”, yaitu dengan ciri daun termuda mengering dan mudah dicabut, serangan saat tanaman pada fase bunting atau berbunga disebut “beluk” dengan ciri malai padi menjadi kering karena pangkalnya terpotong. Pengendalian dengan teknik budidaya dapat dilakukan dengan cara tunggul jerami padi yang dipotong tepat pada permukaan tanah, lalu dibenamkan pada saat pengolahan tanah agar penggereknya mati, penyiangan gulma terhadap rumput inang hama. Secara biologis dapat dilakukan dengan cara penyemprotan larutan campuran cendawan entomopatogen beauveria bassiana dan metarhizium anispliae. Secara fisik dapat dilakukan dengan cara
menggunakan perangkap seperti pada wereng. Sedangkan secara kimia dapat dilakukan dengan cara menggunakan bio pestisida buatan sendiri. d. Ganjur Imago ganjur (orseolia cryzae) seperti nyamuk yang berwarna kemerahan. Imago betina bertelur 100–250 butir. Telur menetas menjadi nimfa setelah 3–4 hari, penetasan dibantu titik-titik embun, dan masa hidup nimfa yaitu 14–17 hari. Nimfa memakan bagian dasar titik tumbuh dan pucuk tanaman. Pengendalian dengan teknik budidaya dapat dilakukan dengan cara rumput yang ada disekitar persawahan yang merupakan tanaman inang dibersihkan. Secara biologis dapat dilakukan dengan cara menggunakan predator alami yaitu laba-laba. Secara fisik dapat dilakukan dengan cara menggunakan perangkap seperti pada wereng. Sedangkan secara kimia dapat dilakukan dengan cara menggunakan bio pestisida buatan sendiri yang disemprotkan seperti pestisida yang digunakan pada pemberatasan hama walang sangit. e. Tikus (rattus argentiventer) Tikus bersifat jera hama, yaitu tidak akan memakan umpan beracun lagi bila pernah memakannya. Perkembangbiakannya sangat cepat, dalam setahun sepasang tikus dapat beranak 1.270 ekor. Tikus menyerang tanaman padi disemua bagian, baik daun, batang, maupun biji padi. Pengendalian teknik budidaya dapat dilakukan dengan cara menanam padi secara serentak. Secara biologis dengan cara menggunakan predator alami, seperti ular sawah dan burung hantu. Secara fisik dapat dilakukan dengan cara membuat perangkap dengan umpan gadung, jengkol, atau mengkudu. Sedangkan secara mekanis dengan cara membongkar sarang tikus dan pengasapan.
f.
Burung Pemakan Biji-Bijian Pipit tudung putih (lonchura leucogastroides), pipit haji (lonchura raffles),
pipit jawa (lonchura leucogastriodes orsfield), gelatik (padda oryzivora), perkutut (geopelli siriata), dan derkuku (streptopelia chinensis). Burung-burung ini memakan biji padi. Belum ada cara khusus untuk mengendalikannya, masih cara tradisional yaitu menakut-nakutinya dengan orang-orangan. Penyakit merupakan suatu kondisi tidak normal yang mnyebabkan fungsi tanaman terganggu. Beberapa jenis penyakit tanaman padi, yaitu: a. Bercak Coklat Penyakit bercak coklat disebabkan oleh cendawan helminthosporium oryzae yang menyerang tanah kurang subur dan tanah beririgasi kurang baik. Gejalanya timbul bercak-bercak coklat seperti biji wijen pada daun atau gabah yang dapat berakibat kehilangan hasil 50 persen dengan kualitas biji rendah. Pengendalian dilakukan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah yaitu dengan pupuk kandang atau kompos, bisa juga dengan fungisida organik buatan sendiri. b. Blast Blast Bersifat kosmopolit, artinya menyerang tanaman padi diseluruh dunia dengan cendawan pyricularia oryzae. Pemicunya adalah pemupukan N yang terlalu tinggi dengan gejala timbul bercak seperti mata pada daun padi. Pengendaliannya dengan menghindari penggunaan pupuk N yang terlalu tinggi dan penyemprotan fungisida organik buatan sendiri. c. Tungro Tungro disebabkan oleh virus yang dibawa oleh wereng. Akibat dari penyakit ini adalah tanaman menjadi kerdil dan daun berwarna kuning atau oranye saat tanaman masih muda yaitu ketika berumur 10–20 hari. Akibat dari
penyakit ini jumlah produksi yang dihasilkan dapat berkurang sangat besar, yaitu sekitar 67 persen. Sementara serangan yang dilakukan pada saat tanaman fase akhir akan mengakibatkan kehilangan hasil produksi sekitar 10–20 persen. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan memberantas jenis rumput liar, diantaranya jajagoan dan sunduk gangsir yang merupakan tanaman inang wereng, atau dapat juga dilakukan dengan menggunakan laba-laba untuk memberantas werengnya.
2.9.8
Panen Sepuluh hari sebelum panen, sawah dikeringkan agar masaknya padi
serentak dan memudahkan pemanenan. Pemanenan padi harus dilakukan pada saat yang tepat, pemanenan yang terlalu cepat dapat menyebabkan kualitas gabah menjadi rendah. Sebaliknya panen yang terlambat akan menurunkan produksi. Agar dapat memastikan padi siap panen dilakukan dengan cara menekan butir gabah. Bila butirannya sudah keras maka saat itu adalah saat yang paling tepat untuk dipanen. Secara tradisional padi dipanen dengan ketam, tetapi hal tersebut kurang efisien karena lambat dan perlu banyak tenaga kerja. Pada luas lahan 2.500 m2 diperlukan sepuluh tenaga kerja dalam waktu dua hari. Agar panen berlangsung cepat, alat yang digunakan adalah sabit, karena dengan empat tenaga kerja dengan luas lahan 2.500 m2 sudah dapat dipanen hanya dalam waktu setengah hari saja. Setelah dipanen, gabah dirontokkan dengan menggunakan mesin atau tenaga manusia dengan cara dipukul-pukulkan dan diberi alas terpal agar terkumpul.
2.9.9
Pasca Panen Gabah hasil panen tersebut dikeringkan dengan cara dijemur di bawah
sinar matahari menggunakan alas anyaman dari bambu, tikar, terpal, atau lantai semen. Bila cuaca cerah lama penjemuran sekitar tiga hari, tetapi bila mendung bisa sampai satu minggu. Untuk memastikan padi telah kering atau tidak yaitu dengan cara menggigitnya, bila digigit tidak patah maka gabah sudah kering, sehingga dapat disimpan atau digiling menjadi beras. Penggilingan merupakan kegiatan pemisahan beras dari kulitnya. Ada dua cara yaitu secara tradisional dan modern. Cara tradisional yaitu dengan cara gabah ditumbuk dengan menggunakan lesung dan alu yang akan menghasilkan beras dan kulit, tetapi berasnya berwarna kecoklatan karena masih berbalut bekatul atau disebut dengan beras pecah kulit. Nasi dari beras pecah kulit ini sangat
baik
gizinya,
karena
tingginya
kandungan
vitamin
B.
Untuk
mendapatkan beras kulit putih bersih, maka beras pecah kulit tersebut harus ditumbuk ulang atau disosoh. Cara tradisional ini pengerjaannya sangat lambat, karena tenaga kerja yang memadai tidak tersedia dan alatnya sulit dijumpai pada masa sekarang ini. Penggilingan dengan cara modern yaitu dengan menggunakan mesin huller. Hasil yang diperolehnya sama hanya pengerjaannya lebih cepat. Tahap pertama diperoleh beras pecah kulit dan tahap kedua akan menjadi putih bersih. Maka beras ini dapat disimpan di tempat kering atau dipasarkan langsung ke konsumen.
2.10 Penelitian Terdahulu Rahmawati (2007) melakukan penelitian yang berjudul analisis usahatani sayuran organik pada perusahaan Benny’s Organic Garden, Bogor-Jawa Barat. Analisis yang dilakukan yaitu analisis keragaan usahatani secara deskriptif dengan membandingkan keragaan antara usahatani milik sendiri dengan usahatani sistem bermitra. Sedangkan untuk analisis usahatani yang dilakukan adalah menganalisis pendapatan dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) untuk kedua jenis lahan yang diusahakan. Adapun hasil dari analisis pendapatan usahatani pada luasan yang sama yaitu 250 m2 untuk 24 kali penanaman dalam satu tahun. Total luas lahan yang dianalisis yaitu seluas 500 m2 dari 2,1 hektar total luas lahan yang dimiliki perusahaan. Analisis tersebut memperlihatkan bahwa usaha sayuran organik dilahan milik pribadi memperoleh pendapatan perusahaan yang lebih tinggi yaitu sebesar Rp 27.000.616 jika dibandingkan dengan pendapatan yang diterima pada lahan bermitra yaitu sebesar Rp 11.892.551. Selain itu pendapatan kerja perusahaan untuk lahan pribadi yaitu sebesar Rp 21.600.616 lebih besar dari pendapatan kerja perusahaan dilahan bermitra yaitu sebesar Rp 9.192.551. Nilai R/C pada usahatani dengan lahan pribadi lebih besar o,5 jika dibandingkan dengan nilai R/C pada usahatani dengan lahan bermitra. Nilai R/C menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih dari satu, maka hal ini mengindikasikan bahwa usahatani tersebut pada lahan pribadi maupun bermitra layak dan menguntungkan. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Theresia (2006) mengenai analisis pendapatan usahatani dan pemasaran sayuran organik di Yayasan Bina Sarana Bhakti menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya tunai sayur organik
sangat beragam. Terlihat dari nilai pendapatan atas biaya tunai komoditi wortel organik lebih kecil jika dibandingkan dengan brokoli dan bawang daun organik. Pendapatan atas biaya tunai wortel adalah Rp 3.000 sedangkan brokoli dan bawang daun berturut-turut adalah Rp 7.875 dan Rp 5.500. Hal ini dikarenakan harga untuk wortel lebih kecil dibandingkan dengan brokoli dan bawang daun. Pendapatan atas biaya tunai brokoli memberikan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan komoditi yang lain, hal ini disebabkan jumlah produktivitas yang lebih tinggi didukung oleh hasil penjualan yang cukup tinggi, sehingga penerimaan petani menjadi lebih besar. Apabila dilihat dari rasio penerimaan atas biaya tunai maupun totalnya, usahatani sayur organik layak untuk diusahakan. Usahatani brokoli merupakan yang paling layak dilakukan dibandingkan dengan usahatani wortel dan bawang daun, karena memiliki nilai R/C rasio paling besar dibandingkan dengan komoditi yang lain yaitu 2,11. Artinya setiap biaya yang dikeluarkan oleh petani sebesar Rp 1 maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 2,11. Usahatani ini sudah efisien karena memiliki nilai R/C rasio lebih dari satu. Secara umum pada pemasaran sayur organik dan non-organik terbentuk dua pola pemasaran, namun jumlah lembaga yang terlibat berbeda. Pada pemasaran sayuran organik lembaga yang terlibat adalah petani dan pedagang pengecer, sedangkan pada pemasaran sayuran non-organik lembaga yang terlibat adalah petani, pedagang pengumpul, dan pedagang pengecer. Nilai marjin dan efisiensi pemasaran komoditi brokoli organik lebih besar daripada wortel dan bawang daun organik. Sedangkan untuk komoditi wortel nonorganik total marjin yang diperoleh pada pola I sebesar Rp 2.500, sedangkan marjin pada pola II sebesar Rp 4.500. Besarnya nilai efisiensi pada pola I sebesar
1,55 sedangkan nilai efisiensi pada pola II sebesar 5,41. Perbedaan nilai efisiensi antara kedua pola ini cukup besar. Besarnya biaya
yang dikeluarkan, pola
pemasaran, dan harga jual yanng diperoleh berpengaruh pada besarnya nilai efisiensi. Dari hasil analisis pendapatan usahatani dan pemasaran wortel organik yang dilakukan oleh Yulia (2006) menunjukkan bahwa analisis pendapatan terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total diterima oleh petani wortel organik sebesar Rp 8.577.806,08 per hektar dan Rp 6.715.338,37 per hektar. Besarnya nilai perbandingan R/C petani wortel organik atas biaya total dan biaya tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 100 biaya yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 288 untuk biaya total yang dikeluarkan dan Rp 353 untuk biaya tunai yang dikeluarkan. Sedangkan nilai perbandingan R/C atas biaya total dan R/C atas biaya tunai petani wortel konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai perbandingan R/C atas biaya total dan biaya tunai petani responden wortel organik memiliki nilai perbandingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani wortel organik lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan usahatani wortel konvensional. Pada penelitiannya, dikarenakan tidak adanya pemasaran khusus untuk pemasaran wortel organik, maka pemasaran antara wortel organik dan konvensional masih tergabung dalam satu jalur pemasaran wortel pada umumnya. Harga yang berlaku antara komoditas wortel organik dan konvensional sama tanpa ada perbedaan. Saluran pemasaran yang paling banyak dipilih oleh petani adalah saluran pemasaran I dan II atau saluran pemasaran dengan tujuan Pasar Induk Kramatjati. Untuk saluran pemasaran
terpendek adalah saluran VII, X, dan XII, sedangkan untuk saluran pemasaran terpanjang adalah saluran pemasaran I, III, dan V. Berdasarkan marjin pemasaran wortel, pola saluran pemasaran XII merupakan saluran pemasaran yang paling efisien, karena saluran pemasaran XII memiliki marjin terkecil yakni sebesar Rp 902,86. Menurut farmer’s share, bagian terbesar yang diperoleh petani wortel berada pada saluran pemasaran XII yaitu sebesar 77,94 persen, dengan demikian saluran pemasaran XII merupakan saluran pemasaran yang paling menguntungkan bagi petani. Sedangkan menurut rasio keuntungan terhadap biaya terbesar secara total menunjukkan bahwa saluran IV memiliki pengembalian keuntungan sebesar Rp 238 per kilogram untuk setiap pengeluaran biaya pemasaran Rp 100 per kilogram. Analisis pendapatan dan marjin pemasaran padi ramah lingkungan yang dilakukan oleh Farid (2005) menunjukkan bahwa R/C rasio padi ramah lingkungan yang diperoleh atas biaya total ternyata lebih besar dibandingkan dengan petani konvensional, R/C rasio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar 3,39 sedangkan untuk petani penyakap R/C rasionya adalah 1,16. Untuk petani konvensional R/C rasio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar 1,86 sedangkan R/C rasio yang diperoleh oleh petani penyakap adalah 1,23. R/C rasio petani pemilik penggarap lebih besar dibandingkan dengan petani penyakap, disebabkan oleh biaya total penggarapan lebih besar karena adanya bagi hasil yang harus dilakukan kepada pemilik lahan. Lembaga-lembaga pemasaran yang terdapat dalam saluran pemasaran yang dihasilkan dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI adalah petani, Pedagang Pengumpul Tingkat Daerah (PPTD), Pedagang Besar Luar Daerah (PBLD), dan pengecer. Struktur pasar yang dihadapi oleh lembaga-
lembaga yang terkait dalam pemasaran untuk petani adalah monopsoni, PPTD dan PBLD adalah oligopsoni, sedangkan untuk pengecer adalah pasar persaingan. Terdapat empat saluran pemasaran untuk pemasaran padi ramah lingkungan yang berasal dari Desa Sukagalih - Kecamatan Sukaratu, yaitu: 1) Saluran 1 yaitu petani, PPTD, dan konsumen dengan marjin sebesar 55,56 persen; 2) Saluran 2 yaitu PPTD, pedagang pengecer, dan konsumen dengan besar marjin pemasarannya adalah 64,29 persen; 3) Saluran 3 yaitu petani, PPTD, PBLD, dan konsumen dengan marjin pemasarannya sebesar 64,29 persen; dan 4) Saluran 4 yaitu petani, PPTD, PBLD, pengecer, dan konsumen dengan besar marjin pemasarannya adalah 69,70 persen. Menurut penelitian Saryani (2004) tentang analisis perbandingan usahatani dan pemasaran antara padi organik dan padi anorganik di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya tunai petani padi organik lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai petani padi anorganik. Hal ini didukung oleh hasil uji z yang menyimpulkan bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. Sedangkan apabila dilihat dari pendapatan atas biaya totalnya diketahui ternyata padi organik lebih besar jika dibandingkan dengan padi anorganik. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya (R/C Rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik (1,95) lebih rendah daripada R/C rasio padi anorganik (2,23). Jika dilihat dari sisi pemasarannya diketahui bahwa nilai total marjin pemasaran yang diperoleh pola
pemasaran I dan II padi organik lebih besar dari pola pemasaran III dan IV padi organik, begitu pula jika dibandingkan dengan seluruh pola pemasaran padi anorganik. Sedangkan struktur pasar yang terbentuk untuk padi organik dan anorganik adalah sama, yaitu pasar oligopsoni. Hal ini didasarkan pada jumlah lembaga pemasaran, penentuan harga, keadaan produk, kebebasan keluarmasuk pasar, dan sumber informasi. Penelitian yang dilakukan di Desa Segaran, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah tentang analisis sistem usahatani padi organik dan pemasaran oleh Rohmani (2000) menunjukkan bahwa produktivitas padi organik ternyata masih rendah dibandingkan padi anorganik. Padi yang dibudidayakan secara organik memberikan hasil 4,79 ton per hektar untuk petani pemilik dan 4,75 ton per hektar untuk petani penggarap (penyakap), sehingga hasilnya lebih kecil jika dibandingkan dari padi yang dibudidayakan secara anorganik yang memberikan hasil sebesar 5,74 ton per hektar untuk petani pemilik dan 5,71 ton per hektar untuk petani penggarap (penyakap). Namun apabila dibandingkan dengan pendapatan bersih usahataninya ternyata komoditas padi organik memiliki pendapatan bersih usahatani lebih besar dari komoditas padi anorganik. Sedangkan untuk pemasarannya petani melakukan dengan cara sistem tebasan, yaitu jual lahan beberapa minggu sebelum waktu panen. Selain dengan sistem tebasan petani juga menjual hasil panennya dalam bentuk beras ke bagian pemasaran kelompok tani yang telah menjalin kerjasama dengan toko yang menjual produk beras organik.
2.11 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian ini memiliki kesamaan dalam unsur alat analisis yang digunakan, dimana penelitian ini menggunakan alat analisis usahatani dan uji signifikasi dengan menggunakan uji t. Sehingga penelitian terdahulu digunakan sebagai referensi mengenai alat analisis yang akan digunakan pada saat penelitian dilakukan. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada lokasi penelitian dan komoditas yang akan diteliti. Penelitian akan dilakukan di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur dengan komoditas padi organik yang menggunakan
metode
System
of
Rice
Intensification
pembudidayaannya sebagai objek yang akan diteliti.
(SRI)
pada
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Definisi Usahatani Usahatani didefinisikan sebagai organisasi dari alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini dalam ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja dilaksanakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya (Hernanto, 1991). Menurut
Soeharjo
dan
Patong
(1973),
usahatani
adalah
proses
pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan ataupun sekumpulan orangorang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. Hernanto (1991) menyatakan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam usahatani yang penting untuk diperhatikan adalah lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan (manajemen). Unsur tersebut juga dikenal dengan istilah faktorfaktor produksi. Unsur-unsur usahatani tersebut mempunyai kedudukan yang sama satu sama lainnya, yaitu sama-sama penting. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani digolongkan menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada pada usahatani itu sendiri, seperti petani pengelola, lahan usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan jumlah keluarga. Sedangkan faktor ekstern adalah
faktor-faktor di luar usahatani, seperti tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani. Analisis usahatani adalah alat analisis yang dipakai untuk pengukuran keberhasilan usahatani atau bertujuan untuk melihat keragaan suatu kegiatan usahatani. Alat analisis yang digunakan untuk melihat keragaan kegiatan usahatani adalah analisis pendapatan usahatani dan analisis rasio penerimaan atas biaya. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa terdapat empat unsur pokok dalam usahatani atau yang disebut dengan faktor-faktor produksi. Adapun empat unsur yang termasuk ke dalam faktor-faktor produksi tersebut adalah: a. Lahan Lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya di masyarakat pun tidak merata. Adapun lahan itu sendiri memiliki beberapa sifat, antara lain: luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan. Berdasarkan hal tersebut maka lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur pokok dari modal usahatani. b. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua selain lahan, modal, dan manajemen. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia
dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat memperkerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah. c. Modal Menurut Hernanto (1991), modal adalah barang atau uang yang bersamasama dengan faktor produksi lain yang digunakan untuk menghasilkan barangbarang baru, yaitu produk pertanian. Diantara empat faktor produksi yang terdapat dalam usahatani, modal merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan usahatani, terutama modal operasional. Hal ini karena modal operasional terkait langsung dengan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan usahatani. Adapun yang dimaksud dengan modal operasional adalah modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan (manajemen). d. Pengelolaan (manajemen). Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya sebaik mungkin serta mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya.
3.1.2 Cabang Usahatani Cabang usahatani merupakan kegiatan yang akan memperoleh berbagai produk sebagai hasil dan memberikan kelebihan uang (pendapatan) dari hasil kegiatan tersebut. Menurut Tjakrawiralaksana (1983) bahwa bentuk-bentuk analisa cabang usahatani yang biasa dipakai, yaitu: a. Analisa biaya per satuan produk, yang dapat dipakai untuk menentukan perkiraan harga jual atau keuntungan relatif yang bisa diperoleh dari penjualan komoditas hasil cabang usahatani, dimana secara garis besarnya diperlukan dua unsur yaitu: (1) produksi kotor hasil cabang usahatani bersangkutan atau semua produksi yang dihasilkan cabang usahatani, dan (2) biaya atau pengeluaran total atau semua pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan produksi tersebut. b. Analisa pendapatan marjinal dan pendapatan bersih cabang usahatani yang dapat dipakai untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan cabang usahatani berdasarkan perhitungan finansial, baik perhitungan pendapatan marjinal atau perhitungan pendapatan atas dasar biaya langsung yang dapat digunakan untuk memperbandingkan besar pendapatan atau keuntungan dari berbagai alternatif komoditi cabang usahatani. Perhitungan untuk biaya tetap dari masing-masing usahatani dianggap sama besarnya, atau pengaruhnya sudah dapat diduga, maupun perhitungan pendapatan bersih atau perhitungan atas dasar biaya total yang biasa digunakan untuk memperbandingkan suatu kegiatan usahatani dengan berbagai kegiatan usaha lain diluar bidang usahatani, yang mempunyai kesempatan ekonomi yang sama dalam menggunakan modal (biaya) dan memberikan pendapatan.
c. Analisa imbangan penerimaan dan biaya (R/C Rasio) dapat digunakan untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan cabang usahatani berdasarkan perhitungan finansial dimana yang menjadi titik perhatian adalah unsur biaya yang merupakan unsur modal. Dalam analisa ini akan diuji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang dipakai dalam kegiatan cabang usahatani yang bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya.
3.1.3 Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Menurut Soekartawi (1986), banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani, tetapi kadangkadang membingungkan karena tidak jelasnya penggunaan istilah. Oleh karena itu uraian berikut akan menjelaskan penggunaan beberapa istilah dan artinya. 1. Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain untuk pendapatan kotor usahatani adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani. Nisbah seperti pendapatan kotor per hektar atau per unit kerja dapat dihitung untuk menunjukkan intensitas operasi usahatani. 2. Pendapatan kotor tunai didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pendapatan kotor tunai usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda dan yang dikonsumsi. 3. Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau
makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan digudang dan menerima pembayaran dalam bentuk benda. 4. Pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. 5. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran berdasarkan nilai uang. Jadi segala keluaran untuk keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak termasuk dalam pengeluaran tunai. 6. Pengeluaran tidak tunai adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang. Contoh keluaran ini adalah nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. 7. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan total pengeluaran usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani akibat dari penggunaan faktor-faktor produksi. 8. Untuk mengukur atau menilai penampilan usahatani kecil adalah dengan penghasilan bersih usahatani. Ukuran ini diperoleh dari hasil pengurangan antara pendapatan bersih dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman, biaya yang diperhitungkan dan penyusutan. Bentuk penerimaan tunai dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi
usahatani
dalam
spesialisasi
dan
pembagian
kerja.
Besarnya
pendapatan tunai atau proporsi penerimaan tunai dari total penerimaan yang
masuk dapat digunakan untuk perbandingan keberhasilan petani satu terhadap yang lainnya (Hernanto, 1991). Pernyataan tersebut pada umumnya benar jika membandingkan perbedaan antar masyarakat ekonomi. Namun tidak demikian apabila mencoba menerapkan
perbandingan
tersebut
pada
masyarakat
yang
tradisional.
Peryataan tersebut menjadi invalid dan tidak sepenuhnya benar. Pada masyarakat tradisional, penerimaan tunai hanya merupakan sebagian kecil saja, sedangkan yang terbesar adalah berupa penerimaan dalam bentuk natura yang dikonsumsi oleh keluarga. Menurut Hernanto (1991) bentuk keperluan analisis pendapatan petani diperlukan empat unsur, yaitu: (1) rata-rata inventaris, (2) penerimaan usahatani, (3) pengeluaran usahatani, dan (4) penerimaan dari berbagai sumber. Keadaan rata-rata inventaris adalah jumlah nilai inventaris awal ditambah nilai inventaris akhir dibagi dua. Untuk menilai aset benda pada usahatani dapat dilakukan dengan: harga pembelian, nilai penjualan setelah waktu tertentu, nilai penjualan pada saat pencatatan atau perhitungan, dan harga pembelian dikurangi dengan penyusutan. Penerimaan usahatani, yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi: jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah serta barang yang dikonsumsi. Pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasional dengan tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelolaan usahatani. Pengeluaran meliputi: pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar.
Dengan memperhatikan pengertian yang telah disebutkan maka diharapkan dapat dikembangkan analisis terhadap pendapatan usahatani. Analisis tersebut meliputi analisis pendapatan dan analisis R/C rasio. Adapun tujuan dari kegiatan usahatani ini adalah bentuk mencapai produksi dibidang pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dengan uang. Nilai tersebut diperoleh setelah mengurangkan atau memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan. Berdasarkan
nilai
tersebut
diharapkan
akan
mendorong
petani
untuk
mengalokasikan nilai yang diperolehnya dalam berbagai kegunaan seperti, untuk biaya produksi periode selanjutnya, tabungan dan pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Banyaknya petani yang beralih sistem pertanian disebabkan oleh adanya permasalahan dengan biaya produksi yang tinggi, banyaknya permintaan dari masyarakat yang menginginkan produk yang ramah lingkungan, dan sarana yang belum sepenuhnya memadai menyebabkan perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap usahatani padi organik yang sedang dikembangkan. Hal ini dilakukan agar petani dapat memperoleh informasi yang lebih jelas dari usahatani yang sedang dikembangkannya, sehingga keputusan petani
untuk melakukan
perubahan
dalam sistem usahataninya
tidak
berdasarkan ikut-ikutan tetapi berdasarkan perhitungan yang matang. Hasil dari berbagai penelitian yang telah dilakukan mengenai padi organik menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem usahatani padi organik dapat meningkatkan pendapatan petani, namun penelitian mengenai padi organik dengan metode SRI belum dilakukan, sehingga apakah benar dengan
peralihan sistem usahatani dengan metode SRI yang dilakukan tersebut mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat pendapatan petani? Oleh karena itu agar petani dapat mengambil keputusan yang tepat, maka penelitian tentang usahatani padi organik ini perlu dibandingkan dengan usahatani padi konvensional. Dengan begitu maka akan diketahui usahatani padi mana yang lebih menguntungkan bila dilihat dari sisi pendapatannya. Adapun operasional penelitiannya, yaitu dengan cara membandingkan tingkat pendapatan dan R/C rasio yang diperoleh petani dari usahatani padi organik dan padi konvensional. Tingkat pendapatan yang dibandingkan terdiri dari dua komponen, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Untuk mengetahui apakah tingkat pendapatan yang diperoleh petani tersebut berbeda nyata atau tidak maka dilakukan pengujian beda nyata (uji perbedaan dua mean) dengan menggunakan alat analisis statistik, yaitu uji t. Pada penelitian ini, selain komponen pendapatan terdapat juga komponen lain yang dapat dibandingkan, yaitu komponen penerimaan dan komponen pengeluaran (tunai dan diperhitungkan). Berdasarkan perbandingan tersebut diharapkan diperoleh suatu informasi yang dapat menjelaskan perubahan tingkat pendapatan dan nilai R/C rasio yang diperoleh petani padi karena menggunakan sistem usahatani padi organik. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran dari penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.
Masalah: 1. Dampak negatif yang ditimbulkan dari program revolusi hijau. 2. Ketersediaan air tanah yang semakin berkurang. 3. Harga input yang semakin tinggi, sehingga tidak mampu dibeli oleh petani. 4. Harga jual GKP yang rendah, sehingga pendapatan petani kecil.
Pergeseran gaya hidup masyarakat yang semakin sadar akan kesehatan, sehingga pola konsumsi berubah menjadi mengkonsumsi produk-produk organik.
PADI ORGANIK Metode System of Rice Intensification (SRI)
Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur
Padi Konvensional
Layak/efisien
Analisis Perbandingan Usahatani: 1. Analisis pendapatan usahatani. 2. Analisis R/C Rasio. 3. Uji t.
Apakah perubahan usahatani yang dilakukan merupakan solusi untuk meningkatkan pendapatan petani?
Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Padi Organik SRI
Layak/efisien
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juni – Agustus 2008 di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara sengaja (purposive), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Daerah ini merupakan salah satu daerah yang petaninya turut serta dalam pengembangan usahatani padi organik. 2. Daerah ini merupakan salah satu sentra pertanian yang mengembangkan padi organik dengan metode System of Rice Intensification (SRI). 3. Pengembangan usahatani padi organik di daerah ini masih dalam tahap awal sehingga terdapat beberapa permasalahan yang perlu diteliti.
4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden yang dipandu dengan kuisioner. Wawancara dilakukan dengan petani, penyuluh pertanian dari kantor Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, dan tokoh masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran karya-karya ilmiah dan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang memberikan informasi dan data yang relevan dengan topik yang dikaji.
4.3 Metode Pengambilan Contoh Pada
penelitian
ini,
pengambilan
contoh
dilakukan
dengan
menggunakan metode purposive sampling (pengambilan contoh sengaja). Metode purposive sampling (pengambilan contoh sengaja) adalah pengambilan contoh dimana peneliti menentukan dengan sengaja contoh yang akan diteliti dengan tujuan menyajikan atau menggambarkan beberapa sifat didalam populasi. Metode pengambilan contoh ini berlaku untuk petani padi organik yang menggunakan metode System of Rice Intensification (SRI) dan petani padi konvensional. Jumlah petani yang berada dikelompok tani yang akan diteliti sebanyak 26 orang. Petani yang mengusahakan padi organik metode SRI dikelompok tani ini ada 17 orang, sehingga responden yang diambil adalah sebanyak 17 orang. Sedangkan untuk petani padi konvensional pengambilan responden adalah berjumlah 17 orang dengan asumsi bahwa 17 orang tersebut merupakan pembanding antara jumlah petani padi organik yang menggunakan metode SRI.
4.4 Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk data kuantitatif pengolahan datanya dilakukan dengan menggunakan kalkulator dan komputer (software Microsoft Excel). Sedangkan untuk data kualitatif, pengolahan datanya dilakukan secara deskriptif. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah meliputi analisis sistem usahatani dan analisis pendapatan usahatani.
4.4.1 Analisis Usahatani Analisis
data
ini
dilakukan
secara
kualitatif,
yaitu
dengan
membandingkan keragaan antara usahatani padi organik dengan usahatani padi non-organik. Adapun yang dibandingkan pada analisis ini adalah proses budidaya, penggunaan input, dan hasil produksi (output).
4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal sebagai korbanannya. Penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total usahatani adalah semua nilai input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dan total pengeluaran. Rumus penerimaan total, biaya, dan pendapatan adalah: Y = PT – BT – BD
PT = P x Q
Keterangan: Y PT P Q BT BD
= Tingkat pendapatan usahatani (Rp) = Total penerimaan usahatani (Rp) = Harga output (Rp) = Jumlah output (Kg) = Total biaya tunai (Rp) = Total biaya tidak tunai (Rp) Pengeluaran total usahatani terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai.
Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan petani secara tunai. Sedangkan biaya tidak tunai adalah biaya yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat pertanian, imbangan sewa lahan, serta biaya imbangan bibit.
Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal pakai. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu: Biaya Penyusutan
=
Nb –Ns n
dengan: Nb Ns n
= Nilai pembelian (Rp) = Tafsiran nilai sisa (Rp) = Jangka usia ekonomis (Tahun)
4.4.3 Analisis Perbandingan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio) Suatu usaha dikatakan efisien secara ekonomis dari usaha lain apabila rasio output terhadap inputnya menguntungkan. Untuk menunjukkan berapa penerimaan yang diterima petani dari setiap rupiah yang dikeluarkan maka dapat digunakan ukuran kedudukan ekonomi R/C rasio. Adapun rumus yang digunakannya adalah sebagai berikut: R/C rasio
=
Jumlah penerimaan (Rp) Jumlah Biaya (Rp)
Bila nilai R/C rasio yang diperoleh melebihi nilai satu, maka usahatani tersebut dapat dikatakan layak. Sebaliknya jika nilai R/C rasio kurang dari nilai satu maka usahatani tersebut tidak dapat dikatakan tidak layak.
Untuk menentukan nilai revenue (penerimaan) dan cost (biaya) yang diperlukan agar dapat menghitung nilai R/C rasio dan sekaligus menghitung nilai pendapatan usahataninya, maka dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: A. P. Tunai B. P. Yang diperhitungkan C. Total penerimaan D. Biaya Tunai
E. Biaya diperhitungkan
Harga x Hasil panen yang dijual (Kg) Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (Kg) A+B Benih Pupuk organik Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK Sewa lahan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Penyusutan alat D+E
F. Total Biaya G. Pend. Atas biaya C–D tunai H. Pend. Atas biaya total C – F I. Pend. Tunai A–D Sumber: Hernanto, 1991 Keterangan: P = Penerimaan, Pend = Pendapatan
Rumus tersebut juga berlaku untuk menghitung nilai revenue dan cost serta tingkat pendapatan dari usahatani padi non-organik yang pada penelitian ini dijadikan sebagai pembanding. Namun untuk menggunakan rumus tersebut beberapa komponen biaya tunai dan biaya diperhitungkan perlu dihilangkan atau ditambahkan. Contohnya adalah untuk komponen pupuk organik pada biaya tunai perlu dihilangkan. Sedangkan komponen yang perlu ditambahkan pada biaya tunai dan biaya diperhitungkan adalah komponen pestisida. Unsur sewa lahan dihilangkan dari perhitungan di lapangan, karena dilihat dari bagi hasil yang dilakukan untuk sewa lahan dirasa kurang objektif. Dimana dalam sistem bagi hasil 40 persen dari hasil penerimaan dibayarkan untuk sewa lahan, sedangkan penerimaan dari setiap petani berbeda-beda.
4.4.4 Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan Salah satu penggunaan statistik adalah untuk menguji hipotesis tentang perbedaan tingkat pendapatan yang diperoleh petani karena melakukan perubahan sistem usahatani. Adapun alasan mengapa perlu dilakukan perubahan tingkat pendapatan ini adalah karena walaupun secara nominal pendapatan petani tersebut tidak sama, namun secara statistik belum tentu berbeda karena bisa saja perbedaan yang terjadi disebabkan oleh faktor kebetulan (Nazir, 1988). Oleh karena itu perbedaan tersebut perlu diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji perbedaan dua mean. Adapun alat analisis yang digunakan untuk menguji perbedaan dua mean tersebut adalah uji t berpasangan. Uji t berpasangan digunakan karena jumlah contoh yang diuji pada penelitian ini adalah kurang dari 30 orang petani. Uji t ini digunakan untuk menganalisis
pengaruh
perubahan
sistem
usahatani
terhadap
tingkat
pendapatan petani berdasarkan kepada rata-rata pendapatannya. Selain itu, uji t berpasangan ini digunakan karena tipe penelitian yang dilakukan adalah untuk melihat perubahan pendapatan setelah mengubah sistem usahatani dari usahatani konvensional menjadi usahatani organik metode SRI (before-after). Untuk melakukan uji t berpasangan ini diasumsikan yang digunakan adalah contohnya berdistribusi normal. Pada uji t sama halnya pada pendugaan parameter, sampel yang diambil dari dua populasi yang tak saling bebas disebut data berpasangan. Sehingga, harus dihitung dulu selisih antarpasangan, baru dilakukan pengujian. Adapun rumus yang digunakan adalah (Sugiarto):
t=
d - D0 Sd n
Keterangan:
d Sd n
= rata-rata selisih pasangan = standar deviasi selisih pasangan = Jumlah populasi Adapun untuk mencari nilai standar deviasi didapat melalui rumus
berikut (Sugiarto):
å (di - d ) =
2
Sd
n -1
Keterangan:
di d n
= contoh responden = rata-rata selisih pasangan = jumlah populasi Bentuk hipotesis yang akan dirumuskan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut: Ho
: A = a, dengan hipotesis alternatifnya adalah, Ha : A ≠ a
Keterangan: A a
= Pendapatan petani padi organik = Pendapatan petani padi konvensional Level signifikan (α) yang digunakan untuk menolak atau menerima
hipotesis pada penelitian ini sama dengan 5 % (0,05). Hipotesis akan ditolak jika t hitung
> t tabel.
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur Desa Bobojong secara administratif terletak di Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Cianjur secara geografis berada di antara 6 derajat 21 detik Lintang Selatan – 7 derajat 25 detik Lintang Selatan dan 106 derajat 42 detik Bujur Timur – 107 derajat 25 detik Bujur Timur. Posisi tersebut menempatkan Kabupaten Cianjur berada di tengah-tengah wilayah Provinsi Jawa Barat, memanjang dari Utara ke Selatan. Wilayah Kabupaten Cianjur meliputi areal seluas 350.148 hektar, terdiri dari 30 kecamatan dengan 348 desa. Perbatasan wilayah Kabupaten Cianjur yaitu: 1. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta. 2. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. 3. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. 4. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi. Keadaan topografi wilayah Kabupaten Cianjur sebagian besar berupa daerah pegunungan, berbukit-bukit, dan sebagian merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 0 meter sampai 2.962 meter di atas permukaan laut (puncak Gunung Gede-Pangrango), dengan kemiringan antara 1 sampai 40 persen ( Lampiran 1).
Pada tahun 2005 sektor pertanian di Kabupaten Cianjur memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 48,64 persen dari total PDRB. Sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sub sektor tanaman bahan makanan yaitu sebesar 36,16 persen (Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa sub sektor tanaman bahan makanan memiliki peran penting dalam perekonomian Kabupaten Cianjur. Berdasarkan wilayah pembangunannya, Kabupaten Cianjur dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu: 1. Wilayah Pengembangan Utara, merupakan wilayah dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan daerah dataran yang digunakan untuk areal perkebunan dan persawahan. 2. Wilayah Pengembangan Tengah, merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor, dataran lainnya terdiri dari areal perkebunan dan persawahan. 3. Wilayah Pengembangan Selatan, merupakan daerah dataran rendah akan tetapi terdapat bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia. Seperti halnya daerah Cianjur bagian tengah, kondisi struktur tanah di daerah selatan berstruktur labil dan sering terjadi longsor. Areal perkebunan dan persawahan di daerah ini tidak terlalu luas. Walaupun daerah Pengembangan Tengah memiliki struktur tanah yang labil namun daerah ini cukup ideal untuk pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Cianjur, terbukti dari banyaknya areal perkebunan dan persawahan di wilayah Pengembangan bagian Tengah tersebut. Salah satu kecamatan yang
terletak dalam daerah Pengembangan Tengah adalah Kecamatan Mande. Kecamatan Mande memiliki luas wilayah seluas 10.520 hektar dengan ketinggian wilayah sekitar 250 meter sampai 500 meter di atas permukaan laut, dan kemiringannya sekitar 0 sampai 40 persen. Jumlah penduduk Kecamatan Mande sekitar 64.654 jiwa dengan jumlah desa sebanyak 12 desa, 60 jumlah Rukun Warga, dan sekitar 276 jumlah Rukun Tetangga. Adapun keduabelas desa tersebut adalah Desa Kademangan, Desa Bobojong, Desa Jamali, Desa Cikidangbayangbang, Desa Mande, Desa Mulyasari, Desa Ciandam, Desa Sukamanah, Desa Leuwikoja, Desa Mekarjaya, Desa Kutawaringin, dan Desa Murnisari. Desa Bobojong memiliki luas wilayah seluas 707,006 hektar dengan ketinggian kurang lebih sekitar 400 meter di atas permukaan laut, sehingga Desa Bobojong termasuk ke dalam tipologi daerah dataran rendah dan berpotensi untuk pengembangan budidaya padi. Di sebelah Barat desa ini berbatasan dengan Desa Kademangan, sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukajadi. Pada bagian Utara desa ini berbatasan dengan Desa Mulyasari, kemudian di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukamanah (Lampiran 2). Berdasarkan data potensi desa Kecamatan Mande (2006), lahan yang berfungsi sebagai tanah sawah adalah seluas 268,305 hektar, tanah kering 256,187 hektar, tanah perkebunan 71,192 hektar, dan tanah untuk fasilitas umum seluas 114,322 hektar. Didukung oleh lingkungan dan sumberdaya yang ada, desa ini berpotensi untuk lahan pertanian, khususnya padi. Sebagian besar lahan pertanian untuk budidaya padi, yaitu seluas 204,775 hektar dengan rata-rata hasil produksi 13,416 ton per hektar (Kecamatan Mande, 2006).
Desa Bobojong terdiri dari lima dusun, lima Rukun Warga, dan empat puluh Rukun Tetangga. Pada tahun 2006, jumlah penduduk Desa Bobojong sebanyak 12.896 orang dengan jumlah penduduk pria sebanyak 6.580 orang dan perempuan sebanyak 6.316 orang. Mayoritas penduduk Desa Bobojong memiliki profesi yang berkaitan langsung dengan pertanian. Terdapat 697 orang penduduk berprofesi sebagai buruh tani dan 913 berprofesi sebagai petani. Sisanya berprofesi sebagai buruh/swasta, PNS, pedagang, dan TNI/Polri. Berdasarkan tingkat pendidikan, terdapat 273 orang penduduk tidak menamatkan pendidikan sekolah dasarnya. Sedangkan penduduk desa yang menamatkan pendidikan sekolah dasarnya sebanyak 9.690 orang. Hanya sebagian kecil saja penduduk yang mengenyam pendidikan hingga SLTP dan SMU. Jumlah penduduk yang mencapai tingkat pendidikan SLTP sebanyak 890 orang, sedangkan tingkat SMU sebanyak 380 orang.
5.2 Karakteristik Petani Responden Karakteristik responden yang dianggap penting dalam penelitian ini meliputi status usaha, status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, aspek usia, pengalaman dalam usahatani padi, luas areal usahatani padi, dan sumber modal yang digunakan. 5.2.1 Status Usaha Umumnya petani di Desa Bobojong menjadikan bertani sebagai mata pencaharian utama (88, 24 persen). Walaupun bertani menjadi mata pencaharian pokok, para petani responden memiliki mata pencaharian sampingan seperti berdagang, beternak, dan kuli bangunan. Hanya 11,76 persen dari total
responden (n=17 responden) yang menjadikan bertani sebagai mata pencaharian sampingan. Tabel 4. Persentase Status Usaha Bertani di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab.Cianjur Tahun 2007 Jumlah Petani Responden No. Status Usaha (Orang) (%) 1. Utama 15 88,24 2. Sampingan 2 11,76 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer (Diolah)
Berdasarkan Tabel 4, terdapat 88,24 persen petani baik organik maupun konvensional menjadikan bertani sebagai mata pencaharian utama. Persentase mengenai status usaha pada kedua sistem usahatani tersebut sama dikarenakan responden yang bersangkutan merupakan responden yang sama, yakni sebelum melakukan sistem usahatani padi organik metode SRI responden merupakan petani yang melakukan usahatani konvensional.
5.2.2 Status Kepemilikan Lahan Berdasarkan data responden, status kepemilikan lahan petani adalah seluruhnya sebagai penggarap namun dalam hal ini responden diasumsikan sebagai pemilik seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Luas lahan keseluruhan yang digarap oleh petani kurang lebih adalah seluas 6 hektar, yang masing-masing digarap oleh petani kurang lebih seluas 0,35 hektar. Data mengenai persentase status kepemilikan lahan yang digarap oleh masing-masing petani dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan kriteria lahan yang disyaratkan untuk lahan organik diketahui bahwa lahan yang digunakan di Desa Bobojong ini belum termasuk kedalam kriteria lahan organik. Lahan yang digunakan oleh petani masih
mengandung residu kimia akibat dari penanaman padi konvensional pada musim sebelumnya. Tabel 5. Persentase Status Kepemilikan Lahan Sawah yang Digarap di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab Cianjur Tahun 2007 Status Kepemilikan Jumlah Petani Responden No. Lahan (Ha) (Orang) (%) 1. < 0,2 1 5,88 2. 0,21 – 0,40 10 58,82 3. 0,41 – 0,60 5 29,41 4. > 0,61 1 5,88 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer (Diolah)
5.2.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan petani responden akan berpengaruh pada tingkat penyerapan teknologi baru dan ilmu pengetahuan. Di daerah penelitian, sebagian besar petani responden telah mengenyam pendidikan formal. Persentase jumlah petani padi organik SRI maupun petani padi anorganik yang menyelesaikan tingkat pendidikan sekolah dasar adalah sebesar 82, 35 persen. Sedangkan sisanya adalah petani yang mengenyam tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama hanya 17,65 persen, dan tidak ada petani responden yang mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah Umum. Data mengenai tingkat pendidikan petani responden dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 Jumlah Petani Responden No. Tingkat Pendidikan (Orang) (%) 1. SD 14 82,35 2. SLTP 3 17,65 3. SMU 0 0,00 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer (Diolah)
Biasanya petani mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar kurang memperhitungkan resiko yang akan dihadapinya dalam melakukan perubahan
usahataninya. Hal ini karena petani melakukan perubahan berdasarkan ikutikutan petani lain. Sedangkan petani yang berpendidikan akan selalu berhatihati dalam mengambil keputusan dengan terlebih dahulu memperhitungkan resiko yang akan dihadapinya.
5.2.4 Aspek Usia Usia petani responden di Desa Bobojong rata-rata berusia 57 tahun. Berdasarkan Tabel 7, banyak petani telah berusia lanjut (lebih dari 51 tahun) masih tetap bertani, mereka berpendapat bahwa bertani adalah mata pencaharian pokok mereka yang telah turun temurun. Umumnya para petani berusia antara 55 tahun sampai 70 tahun. Dilain pihak banyak generasi muda yang tidak ingin terjun pada sektor pertanian, karena mereka lebih tertarik menjadi tukang ojek, sopir angkot, atau bekerja di kota. Aspek usia mempengaruhi responden pada kondisi fisiknya. Umur yang semakin tua mengakibatkan kondisi fisik responden menjadi cepat lelah, sehingga pada saat pengelolaan lahannya sedikit kurang maksimal. Tabel 7. Persentase Petani Responden Berdasarkan Aspek Usia di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 No. 1. 2. 3.
Usia (Tahun)
Jumlah (Orang)
15 – 30 31 – 55 > 56 Jumlah
Petani Responden ( % ) 0 8 9 17
0,00 47,05 52,95 100,00
Sumber : Data Primer (Diolah)
5.2.5 Pengalaman Dalam Usahatani Padi Tingkat pendidikan atau pengetahuan yang tinggi tidaklah cukup untuk mendukung keberhasilah suatu usaha. Selain pendidikan, baik formal maupun
non-formal dibutuhkan pula pengalaman. Hampir sebagian besar petani responden telah lama berprofesi sebagai petani. Mereka beralasan bahwa bertani merupakan usaha turun-temurun dari orang tua mereka. Dari 17 orang petani responden, rata-rata mereka telah berprofesi sebagai petani kurang lebih selama 32 tahun. Pengalaman yang cukup lama dalam berusahatani menjadikan mereka lebih paham terhadap usahatani padi. Pemahaman tersebut tak jarang berawal dari teknik coba-coba (trial and error). Dengan pengalaman tersebut banyak petani menjadi lebih paham mengenai praktek di lapang untuk usahatani padi. Pemahaman petani akan semakin bertambah karena mereka dibantu oleh petugas PPL (Petugas Penyuluh Lapang) yang lebih memahami secara konsep maupun teori. Adapun persentase jumlah petani yang memiliki pengalaman lebih dari 40 tahun mencapai 35,30 persen. Sedangkan jumlah petani yang memiliki pengalaman selama kurang lebih 30 tahun sebanyak 29,42 persen, sisanya adalah para petani yang memiliki pengalaman dibawah 20 tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Karakteristik Responden Petani Berdasarkan Pengalaman Usahatani di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 Pengalaman Usahatani Jumlah Petani Responden No. (Tahun) (Orang) (%) 1. < 10 0 0 2. 11- 20 3 17,61 3. 21 – 30 5 29,42 4. 31 – 40 3 17,61 5. > 40 6 35,30 Jumlah 17 100,00 Sumber : Data Primer (Diolah)
5.2.6 Luas Areal Usahatani Padi Luas areal rata-rata usahatani padi yang digarap oleh petani secara keseluruhan adalah seluas 0,35 hektar. Sebagian besar responden petani memiliki luasan areal usahataninya seluas 0,2 hektar sampai 0,4 hektar (Tabel 9). Tabel 9. Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Areal Usahatani Padi di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4.
Luas Lahan (Ha) < 0,2 0,21 – 0,40 0,41 – 0,60 > 0,61 Jumlah
Jumlah (Orang)
Petani Responden ( % ) 1 10 5 1 17
5,88 58,82 29,41 5,88 100,00
Sumber : Data Primer (Diolah)
Perbedaan luas lahan yang digarap oleh petani ditentukan oleh pemilik lahan sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kelompok tani bahwa luas lahan yang berbeda tersebut sudah ditentukan sesuai dengan kemampuan para petani yang akan menggarap lahan tersebut, hal tersebut sudah disepakati antara pemilik dengan para petani yang bersangkutan. Luas lahan yang digarap mempengaruhi tingkat produksi dari padi yang dihasilkan.
5.2.7 Sumber Modal Sebagian besar sumber modal usahatani padi berasal dari modal pribadi. Modal tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan input produksi hingga tenaga kerja. Pada petani organik SRI modal awal didapat dari pemilik kemudian dibayarkan dengan cara bagi hasil dari total produksi yang dihasilkan sebesar 60 : 40, dimana 60 persen dari total produksi untuk petani penggarap, sedangkan 40 persen untuk pemilik sebagai ganti dari modal awal.
Namun apabila ada petani yang belum dapat mengembalikan pinjaman setelah panen karena hasil panennya rendah maka petani tersebut dapat mengembalikannya pada musim tanam berikutnya.
5.3 Teknik Budidaya Padi Organik Metode SRI dan Padi Konvensional Kegiatan usahatani padi metode SRI (System of Rice Intensification) adalah suatu teknik budidaya pada tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengolahan tanah, tanaman, dan air. Kegiatan budidaya padi metode SRI tidak lagi menggunakan input anorganik (pupuk pabrik dan pestisida kimia), namun budidayanya juga masih belum sepenuhnya bebas dari residu kimia karena dalam saluran irigasinya masih menerima air dari areal sawah padi konvensional dan lahan yang digunakannya pun masih terdapat residu bahan kimia akibat dari penanaman padi konvensional pada musim sebelumnya. Saat penelitian dilakukan budidaya padi organik metode SRI baru dikembangkan di Desa Bobojong kurang lebih selama 1 tahun. Budidaya padi di Desa Bobojong meliputi pengolahan lahan, pembibitan, penanaman (tandur), pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, serta panen.
5.3.1 Pengolahan Lahan Pada dasarnya persiapan dan pengolahan lahan sama dengan yang biasa dilakukan, yaitu pengolahan lahan pertama, kedua, dan seterusnya. Pengolahan lahan bertujuan untuk menciptakan struktur tanah yang mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, selain itu pengolahan juga bertujuan untuk menstabilkan kondisi tanah yakni memperbaiki sifat fisik tanah dan
memperbaiki drainase (pengairan) sehingga diharapkan hasil yang diperoleh akan maksimal. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengolahan lahan padi organik metode SRI di Desa Bobojong tidak jauh berbeda dengan penerapan seperti pada pedoman budidaya padi organik metode SRI secara umum yaitu babad jerami, pembajakan, pembuatan saluran air, perataan tanah (ngegaru), dan memopok atau numpang galeng pematang. Proses awal yang dilakukan dalam pengolahan tanah ini adalah membersihkan sisa-sisa jerami (babad jerami) yang ada di areal persawahan, karena pada umumnya setelah masa panen terdapat sisa-sisa tanaman dari musim sebelumnya (jerami). Sisa-sisa jerami tersebut dibersihkan dengan cara membenamkan jerami ke dalam tanah. Cara tersebut dilakukan agar jerami cepat membusuk dan berubah menjadi kompos. Setelah lahan bersih dari jerami, proses selanjutnya adalah membajak. Pengolahan lahan dapat dilakukan secara manual (dicangkul), dibajak atau dengan menggunakan traktor. Perbedaannya dengan sistem konvensional adalah setelah pengolahan lahan dan perataan, pada usahatani padi organik metode SRI dilakukan penataan sistem saluran (kanal) dalam lahan. Pada petakan
lahan dibuat saluran air dengan jarak 3 meter dengan kedalaman
sekitar 30 cm. Petani di Desa Bobojong biasanya menggunakan bajak traktor. Kegiatan pembajakan dilanjutkan dengan kegiatan perataan tanah atau lebih dikenal dengan istilah ngegaru, yaitu kegiatan menghaluskan struktur tanah hasil pembajakan yang masih berupa bongkahan-bongkahan tanah. Pembajakan tanah biasanya tidak mencapai sudut sawah, sehingga tanah yang tidak terbajak diselesaikan dengan cara dicangkul. Pada waktu yang bersamaan, biasanya
petani merapikan pematang sawah. Pematang sawah dirapikan dengan cara dikikis dengan cangkul yang kemudian dilempar ke lahan. Setelah itu, pematang kembali ditambal dengan tanah berlumpur hingga rata (memopok). Setelah kegiatan pembajakan dilakukan, kemudian lahan diberakan selama beberapa minggu. Lamanya waktu pemberaan tanah tergantung pada umur bibit semai. Penyemaian benih (pembibitan) pada kedua usahatani memerlukan waktu yang berbeda. Bibit yang digunakan untuk usahatani padi organik metode SRI berusia 7–14 hari setelah disemai. Sementara bibit untuk usahatani padi konvensional berumur 20-28 hari setelah disemai, sehingga waktu pemberaan untuk masing-masing usahatani berbeda. Tanah kembali dibajak dengan kerbau atau traktor setelah bibit siap dipindah ke lahan (tandur). Pembajakan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tanah setelah beberapa waktu diberakan (diistirahatkan). Setelah pembajakan selesai dilakukan, kemudian lahan diratakan dengan gagaruan (papan perata) hingga permukaan lahan relatif rata.
5.3.2 Pembibitan 5.3.2.1 Penyemaian Persemaian benih metode SRI dapat dilakukan pada lahan di lapangan atau menggunakan baki (nampan). Penyemaian untuk padi organik metode SRI di Desa Bobojong dilakukan diatas terpal plastik dengan ukuran 1,5 m x 2,5 m. Penggunaan terpal persemaian dalam pengamatan maupun seleksi benih. Kemudian terpal yang sudah dipersiapkan ditaburi dengan kompos kemudian ditimpa oleh pasir atau tanah. Tidak ada anjuran tertentu untuk jumlah kompos yang akan digunakan. Kemudian benih disebar diatas permukaan terpal tersebut
dan ditutup dengan jala. Untuk luasan lahan satu hektar benih yang digunakan adalah sebanyak lima kilogram. Berbeda dengan perlakuan penyemaian yang dilakukan pada usahatani padi konvensional, bahwa pada saat akan dilakukan penyemaian terlebih dahulu lahan dipersiapkan untuk tempat penyemaian. Persiapan lahan untuk pembibitan biasanya dilakukan setelah lahan selesai dibajak atau saat waktu pemberaan lahan setelah dibajak. Lahan yang telah dibajak pada pengolahan lahan dibuat menjadi beberapa petak. Petak-petakan tersebut dibuat lebih tinggi dari permukaan lahan sekitarnya yang kemudian petak semai tersebut diratakan permukaannya. Luas lahan yang digunakan untuk pembibitan tergantung jumlah benih, namun tidak ada anjuran tertentu yang digunakan untuk luasan lahan semai atau pembibitan. Perbedaan dalam penggunaan lahan semai tersebut karena jumlah benih yang digunakan berbeda untuk kedua usahatani padi tersebut.
5.3.2.2 Perlakuan Benih Sebelum Sebar Benih merupakan faktor produksi yang sangat menentukan dalam kegiatan usahatani selain faktor-faktor produksi lainnya. Benih yang baik akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang optimal di lahan. Beberapa kegiatan yang dilakukan petani di Desa Bobojong dalam mempersiapkan benih untuk sebar yaitu proses seleksi dan perendaman benih. Perlakuan benih untuk padi organik metode SRI sedikit berbeda dengan perlakuan benih padi konvensional. Terdapat perlakuan tambahan bagi benih padi organik metode SRI dalam proses seleksi benih dimana benih diseleksi dengan perlakuan air garam (Lampiran 3).
Namun untuk proses selanjutnya benih mendapat perlakuan yang sama (perendaman benih). Perendaman benih dilakukan untuk merangsang perkecambahan, sehingga diperoleh benih yang siap disebar dan tumbuh secara optimal di lahan persemaian. Kegiatan ini berlaku bagi benih padi organik metode SRI maupun padi konvensional, namun benih padi organik metode SRI maupun benih padi konvensional, namun benih padi organik metode SRI sebelumnya telah diseleksi dengan larutan garam sebelum direndam. Benih dimasukan kedalam karung, kemudian direndam selama 24 jam. Setelah perendaman, benih dicuci sambil dipisahkan antara benih yang bernas dengan benih hampa dan kotoran lainnya. Setelah itu, benih kembali didiamkan selama 12 jam sebelum tanam.
5.3.3 Penanaman (Tandur) Bibit siap ditanam ketika mencapai umur yang optimal untuk dipindah ke lahan. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama perkembangan anakan setelah ditanam. Selain itu, faktor yang berpengaruh dalam menentukan umur bibit yaitu musim tanam. Penentuan umur bibit untuk padi organik metode SRI lebih didasarkan pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman di lahan. Bibit umur muda akan menghasilkan anakan yang banyak karena masih dalam masa pertumbuhan generatif yang tinggi. Petani organik metode SRI menggunakan bibit yang relatif muda yakni pada saat bibit masih berumur 7 hari – 14 hari. Bibit pada umur ini sudah memiliki dua helai daun atau sudah lebih tinggi kurang lebih 10 sampai 15 cm. Sehingga bibit perlu diperlakukan secara hati-hati terutama pada bagian akar agar tidak rusak saat dicabut dari persemaian.
Tanaman padi konvensional menggunakan bibit yang telah berumur 20 sampai 28 hari setelah disemai. Petani padi konvensional di Desa Bobojong menggunakan bibit berumur 20 hari sampai 24 hari setelah disemai untuk penanaman musim kemarau. Sementara penanaman untuk musim hujan menggunakan bibit yang berumur 25 hari sampai 28 hari setelah disemai. Umur bibit yang digunakan untuk penanaman musim hujan (paceklik) relatif lebih tua dibandingkan musim tanam kemarau. Alasannya adalah tingkat serangan penyakit dan hama pada musim paceklik lebih tinggi, sehingga membutuhkan bibit tua karena relatif lebih tahan terhadap serangan penyakit. Musim tanam paceklik dimulai pada bulan Desember hingga Maret dan dilanjutkan pada Agustus sampai November. Sementara musim tanam ketiga dimulai pada bulan April hingga Juli. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu lahan dibuat pola dengan maksud untuk membuat jarak tanam tanaman dengan menggunakan alat caplakan. Menaplak lahan dilakukan sebanyak dua kali dengan arah yang berlawanan (vertikal-horizontal) sehingga terbentuk pola tanam dengan jarak tanam yang telah ditentukan pada alat caplakan tersebut. Pada usahatani padi organik metode SRI menggunakan jarak tanam lebar yakni 25 cm x 25 cm sampai 30 cm x 30 cm. Jarak tanam tersebut relatif lebih lebar jika dibandingkan dengan jarak tanam padi anorganik yaitu 22 cm x 22 cm sampai 25 cm x 25 cm. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa jika jarak tanam antar tanaman lebih luas maka akan memberikan banyak ruang bagi tanaman untuk memperoleh oksigen dan unsur hara, sehingga tanaman akan tumbuh lebih optimal dengan jumlah anakan yang maksimal juga. Adapun jumlah anakan padi organik metode SRI bisa mencapai 120 anakan, minimal 45 anakan dapat dihasilkan.
Cara penanaman padi organik metode SRI agak sedikit berbeda jika dibandingkan dengan cara penanaman padi konvensional pada umumnya. Biasanya pada padi konvensional bibit yang ditanam minimal lima bibit per rumpun dan ujung akar tanaman biasanya masih berada dipermukaan tanah. Berbeda dengan cara penanaman padi organik metode SRI, pada metode SRI banyaknya bibit yang ditanam adalah satu bibit per rumpun (tanam tunggal) atau maksimal dua bibit per rumpun dengan kedalaman yang dianjurkan sekitar 1 hingga 1,5 cm, sedangkan batang dan akar bibit ditanam membentuk huruf L.
Gambar 4. Penanaman Satu Semai dengan Bentuk Huruf L
5.3.4 Penyiangan Penyiangan dilakukan bertujuan untuk membersihkan atau mengurangi tanaman selain tanaman pokok yang ditanam (padi) atau bisa disebut dengan tanaman gulma. Kegiatan penyiangan dilakukan bertujuan untuk mengurangi populasi gulma yang dapat menjadi pesaing dalam penyerapan unsur hara, selain itu juga kegiatan penyiangan dilakukan untuk mencegah serangan hama yaitu tikus. Gulma dicabut dengan cara manual yaitu dengan menggunakan tangan atau biasa disebut dengan ngarambet. Ngarambet dilakukan disekitar
rumpun padi, kemudian dibenamkan kelumpur atau dibuang ke pematang sawah. Sebelum kegiatan ngarambet dilakukan, biasanya para petani mengurangi gulma dengan cara ngagarok. Ngagarok merupakan kegiatan penyiangan yang dilakukan dengan cara mengerok permukaan tanah dengan menggunakan alat garokan. Kegiatan ini dilakukan dengan bantuan alat yang pada umumnya dibuat sendiri oleh petani. Beberapa petani padi organik metode SRI tidak melakukan kegiatan ini karena dapat merusak perakaran padi. Kegiatan penyiangan pada umumnya dilakukan dua kali yaitu ketika tanaman berumur 15 HST (Hari Setelah Tanam) dan umur tanaman 30 HST. Namun kegiatan ini bersifat fleksibel, maksudnya adalah kegiatan ngagarok dapat disesuaikan dengan pertumbuhan gulma dilahan. Pada penyiangan kedua, kegiatan ngagarok tidak dilakukan karena pertumbuhan gulma sudah berkurang.
5.3.5 Pemupukan Kebutuhan hara tanah perlu ditambah dari luar dengan menggunakan pupuk organik maupun pupuk anorganik (kimia), karena kandungan unsur hara yang terdapat dalam tanah tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tanaman sebab ketersediannya terbatas. Kegiatan pemupukan yang dilakukan petani padi organik dan petani padi konvensional dalam satu musim tanam pada umumnya sama, yaitu 2-3 kali pemupukan. Sementara pemupukan berdasarkan rekomendasi pemerintah untuk padi konvensional dilakukan tiga kali untuk pupuk Urea, sementara itu untuk pupuk TSP dan KCl diberikan sekaligus saat pemupukan pertama. Dosis yang dianjurkan untuk pemupukan
per hektar adalah 200-300 kg Urea, 100 kg TSP, dan 50 kg KCl. Perbedaanya hanya terletak pada jenis pupuk yang digunakan. Petani padi konvensional masih tetap menggunakan pupuk buatan pabrik seperti Urea, TSP, dan KCL. Sedangkan pada padi organik metode SRI pupuk yang digunakan adalah pupuk bokashi. Pupuk bokashi terdiri dari bahan-bahan organik yang sebagian besar unsurnya berasal dari alam, seperti kotoran hewan atau pupuk kandang, sedangkan sisanya adalah berupa sekam, hijauan, dan bahan-bahan lainnya yang telah dikompos dengan bantuan mikroorganisme. Kotoran hewan sendiri banyak mengandung unsur hara seperti yang terdapat pada pupuk kimia anorganik. Kandungan unsur hara beberapa kotoran hewan disajikan pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Hewan Jenis Kotoran Unsur Hara (%) Hewan Nitrogen Fosfor Kalium Ayam 1,0 – 2,1 8,9 – 10,0 Sapi 1,5 – 1,6 2,4 – 2,9 Kerbau 0,6 – 0,7 2,0 – 2,5 Kuda 1,5 – 1,7 3,6 – 3,9 Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah, Fak. Pertanian UGM dalam Sutanto, 2006.
0,4 0,5 0,4 4,0
Biasanya sebagian besar komposisi bokashi terdiri dari kotoran hewan (60-70 persen), sedangkan sisanya adalah hijauan, jerami, dan sekam. Pupuk bokashi dapat diaplikasikan dalam dua cara, yaitu disebar langsung sepanjang jalur antara rumpun padi, dan yang kedua dengan cara menempatkan bokashi pada tiap rumpun padi. Awal pengembangan padi organik metode SRI, pupuk bokashi diberikan saat pengolahan tanah. Hal ini dikarenakan sebelumnya tanah belum menerima pupuk organik (non kimia). Pemberian pupuk bokashi dilakukan saat umur tanaman 15 HST atau setelah tahap ngarambet dilakukan. Kebutuhan pupuk bokashi yang digunakan oleh petani organik metode SRI di
Desa Bobojong rata-rata 6.928,14 kg per hektar. Pemberian pupuk bokashi dapat dilakukan kembali apabila perkembangan tanaman disarakan belum optimal. Pemupukan kedua ini dapat dilakukan setelah tanaman berumur 30 HST. Pupuk daun atau pupuk pelengkap cair (PPC) yang digunakan petani biasanya menggunakan pupuk buatan pabrik. Namun, para petani padi organik metode SRI pada umumnya memperoleh pupuk daun dengan cara membuat sendiri dari bahan hijauan dan bahan-bahan lainnya. Pupuk daun yang digunakan petani padi organik tersebut lebih dikenal sebagai Mikro Organisme Lokal (MOL). MOL
merupakan
larutan
dari
berbagai
bahan
organik
yang
difermentasikan. Bahan organik yang digunakan dalam pembuatan MOL disesuaikan dengan bahan-bahan organik yang tersedia. MOL terbuat dari berbagai bahan organik yang biasanya dinamakan sesuai dengan bahan dasar pembuatnya dan memiliki fungsi yang berbeda, seperti MOL brenuk berfungsi sebagai penambah unsur nitrogen, MOL rebung berfungsi sebagai zat peninggi tanaman, MOL bonggol pisang berfungsi sebagai konsumsi perbanyakan anakan (unsur KCl), dan lain-lain. MOL tidak memiliki efek samping yang menyebabkan overdosis pada tanaman khususnya padi, sehingga penyemprotan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kemampuan petani itu sendiri. Namun, pada beberapa tanaman hortikultura dapat menyebabkan kematian tanaman bila diberikan dosis yang berlebihan. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan MOL per tangki sprayer yaitu 50 : 50. Rata-rata kebutuhan MOL yang digunakan petani di Desa Bobojong adalah sebanyak 285,90 liter per hektar. Kegiatan penyemprotan pupuk daun biasanya dilakukan pada tanaman padi
pada umur tanaman 15 HST, 25 HST, 35 HST, 45 HST, dan 60 HST. Adapun cara pembuatan MOL dapat dilihat pada Lampiran 4.
5.3.6 Pengendalian Hama dan Penyakit Pemberantasn hama dan penyakit sangat penting dilakukan agar hasil produksi tidak turun. Dalam pemberantasan hama dan penyakit, budidaya padi organik berbeda dengan budidaya padi secara konvensional. Budidaya padi konvensional biasanya menggunakan pestisida kimia untuk memberantas hama dan penyakit. Sedangkan pada pengendalian hama dan penyakit padi organik metode SRI tidak boleh menggunakan pestisida, namun menggunakan pestisida alami, pestisida ini dibuat sendiri oleh petani seperti dari daun-daunan atau umbi-umbian. Hal ini karena dapat berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk pengendalian hama dan penyakitnya para petani melakukannya dengan cara mekanik, yaitu dengan cara mencabut gulma yang berada di lahan dan pematan sawah. Hal ini dilakukan agar kondisi lahan bersih dari gulma-gulma tersebut yang biasanya dijadikan oleh hama dan penyakit sebagai tempat bersemayam. Pestisida yang biasa digunakan dalam pemberantasan hama dan penyakit pada padi organik metode SRI adalah ramuan dari daun sirsak dan bawang putih. Daun sirsak dan bawang putih merupakan pestisida alami yang cukup ampuh dalam memberantas hama wereng. Bahan tersebut ditumbuk sampai halus kemudian ditambahkan air secukupnya dan dibiarkan selama dua hari. Setelah dua hari, larutan disaring dengan kain halus. Hasil saringan tersebut disemprotkan ketanaman yang terserang hama. Ramuan ini biasanya digunakan untuk memberantas hama wereng.
Sedangkan pada usahatani padi konvensional pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan cara menaburkan dan menyemprotkan pestisida. Pestisida tersebut digunakan oleh petani ketika pertanaman sedang atau tidak sedang terserang hama dan penyakit. Adapun alasan petani tetap melakukan penyemprotan ketika pertanaman sedang tidak terserang oleh hama dan penyakit adalah sebagai tindakan antisipasi untuk menghalau serangan hama dan penyakit.
5.3.7 Panen Keberhasilan suatu budidaya dapat dilihat dari hasil yang diperoleh pada saat panen. Oleh karena itu penanganan pada saat sebelum panen, panen dan pasca panen perlu diperhatikan. Pemanenan padi harus dilakukan pada waktu yang tepat, tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lambat. Pemanenan yang terlalu cepat dapat menyebabkan kualitas gabah menjadi rendah karena banyak butir yang masih hijau atau butir berkapur. Sedangkan pemanenan yang terlalu lambat juga dapat menurunkan produksi karena banyak butir gabah yang sudah dimakan burung atau tikus. Secara umum, padi siap dipanen apabila butir gabah yang menguning sudah mencapai sekitar 80 persen dan tangkai sudah menunduk. Sekitar sepuluh hari sebelum pemanenan dilakukan, sawah harus dikeringkan terlebih dahulu. Pengeringan ini bertujuan untuk mempercepat dan menyamakan
masaknya
padi.
Pengeringan
ini
juga
bertujuan
untuk
memudahkan petani disaat pemanenan berlangsung. Cara pemanenan yang biasa dilakukan oleh petani padi organik dan petani padi konvensional pada dasarnya masih menggunakan teknologi yang sederhana, yaitu dengan menggunakan pisau khusus dan biasanya bergerigi
atau sabit. Adapun proses kegiatannya pada tahap awal yakni padi dipotong dengan pisau tersebut, kemudian padi dikumpulkan pada satu tempat yang luas untuk mempermudah dalam kegiatan perontokan. Adapun cara perontokannya adalah dengan dipukul ke papan kayu atau hamparan kayu yang telah disiapkan. Perontokan padi tersebut dilakukan dilahan. Setelah gabah diperoleh dari hasil perontokan, gabah dibersihkan dari sisa-sisa daun dan kotoran lain dengan
cara
diangin-anginkan,
kemudian
setelah
dirontokan
petani
mengemasnya dalam wadah karung berukuran 50 kilogram.
5.4 Permasalahan Usahatani Masalah-masalah teknis maupun non teknis pengusahaan padi organik metode SRI maupun padi konvensional mampu menurunkan jumlah output dan harga jual. Permasalahan yang dihadapi oleh para petani di desa Bobojong diantaranya aspek budidaya. Pada saat pembudidayaan padi organik metode SRI ini dibutuhkan ekstra perhatian, karena tanaman rentan terhadap hama dan penyakit. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan pestisida alami. Selain itu, masalah lain yang timbul adalah saat musim hujan. Hujan yang disertai angin yang cukup besar akan mengakibatkan tanaman menjadi rebah, karena padi organik metode SRI ditanam dengan kedalaman dangkal. Hal tersebut membuat tanaman menjadi mudah rebah.
5.4.1 Aspek Input Produksi Permasalahan yang dihadapi petani padi konvensional dari aspek input produksi adalah tingginya harga dan kelangkaan input produksi. Salah satu input yang berperan penting adalah benih dan pupuk anorganik. Para petani
lebih banyak menggunakan benih hasil budidaya mereka sendiri dibandingkan dengan menggunakan benih berlabel yang diproduksi oleh penangkar benih. Benih tersebut didapat dari produksi padi musim sebelumnya. Mereka menganggap harga benih berlabel relatif lebih mahal, sehingga mereka menggunakan benih hasil produksi sendiri. Selain benih, input lain yang berperan penting dalam pengusahaan padi konvensional adalah pupuk. Para petani mengeluhkan kelangkaan pupuk pada saat musim tanam. Saat terjadi kelangkaan tersebut harga pupuk pun meningkat hingga 16,67 persen. Akibatnya para petani tidak dapat memupuk lahannya dengan pupuk lengkap (N. P, K). Selain faktor harga dan kelangkaan input produksi, beberapa petani belum memahami manfaat dari penggunaan pupuk lengkap. Pada usahatani padi organik metode SRI permasalahan dalam input produksi yakni dalam permasalahan biaya, dimana dalam usahatani ini biaya yang dibutuhkan cukup besar. Hal tersebut dikarenakan tenaga kerja yang digunakan menjadi lebih banyak sebab banyaknya tahapan produksi yang harus dikerjakan secara berulang, seperti pemupukan yang harus dilakukan sebanyak empat kali, sedangkan pada usahatani konvensional pemupukan dilakukan sebanyak dua kali saja. Selain itu, harga benih padi organik dua kali lipat dari harga padi konvensional yakni sebesar Rp. 6.000 per kilogram, sehingga modal yang dibutuhkan lebih banyak.
5.4.2 Aspek Budidaya Pada
aspek
budidaya,
organisme
penganggu
tanaman
menjadi
permasalahan yang banyak dikeluhkan oleh petani, baik petani organik maupun
petani konvensional. Berdasarkan hasil wawancara dengan para petani, mereka menyebutkan bahwa serangan hama tungro mampu menurunkan produksi padi 20 persen hingga 50 persen, hama tikus 10 persen, hama burung 10 persen, dan hama keong 10 persen. Tentunya keempat hama tersebut tidak menyerang secara bersamaan. Hama tungro merupakan hama yang cukup meresahkan bagi para petani padi, baik organik maupun konvensional. Masyarakat disana menyebut hama tungro dengan sebutan mentek. Penyakit yang disebabkan oleh hama tungro mengakibatkan kadar gabah hampa meningkat dan titik tumbuh padi mati. Beberapa petani tidak mengetahui apa sebenarnya penyakit yang disebabkan oleh hama tungro dan apa yang menyebabkannya, sehingga tanaman padi mereka mudah terserang oleh penyakit tersebut. Salah satu solusi untuk menanggulangi serangan organisme pengganggu tersebut adalah dengan melakukan pergiliran varietas dan pola serempak panen. Dengan demikian resiko serangan hama mampu ditekan sekecil mungkin. Permasalahan lain yang dihadapi oleh petani padi organik pada aspek budidaya adalah tanaman yang selalu rebah yang disebabkan oleh angin. Bila angin bertiup terlalu kencang maka tanaman akan menjadi rebah, dikarenakan padi organik ditanam tidak terlalu dibenamkan ke dalam tanah. Berbeda pada padi konvensional, pada saat penanaman dilakukan benih ditanam cukup dalam sehingga pada saat terjadi angin kencang tanaman padi cukup kuat untuk menahan terpaan angin tersebut.
BAB VI ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI PADI ORGANIK METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL
Sistem usahatani padi organik yang dikembangkan di Desa Bobojong dimulai sekitar pertengahan tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan keinginan pemilik lahan yang bekerjasama dengan Yayasan Aliksa dan MEDCO untuk mengembangkan padi organik dengan metode SRI (System of Rice Intensification). Metode ini merupakan teknik budidaya yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengolahan lahan, tanaman dan air. Sementara itu pengembangan usahatani padi konvensional di Desa Bobojong sudah dimulai sejak diberlakukannya revolusi hijau atau di Indonesia dikenal dengan gerakan BIMAS. Sebelum era revolusi hijau dimulai, petani padi di Desa Bobojong dalam bercocok tanam sudah menggunakan pupuk kandang atau kompos dan pestisida botanis sebagai inputnya. Namun, akibat kekurangan pangan yang terjadi pada waktu itu maka pemerintah menetapkan program revolusi hijau yang menggunakan bahan kimia (pupuk dan pestisida) sebagai input produksi dengan tujuan agar produktivitas padi meningkat dan akhirnya kebutuhan akan pangan dimasyarakat dapat terpenuhi. Hal ini dilakukan agar dihasilkan beras dalam jumlah yang besar namun dalam waktu yang relatif singkat.
Pada
pelaksanaan
penelitian
ini
dilakukan,
pengembangan
usahatani padi organik metode SRI di Desa Bobojong ini masih dalam tahap awal karena baru satu kali panen, namun sebagian besar petani responden sudah tidak menggunakan bahan-bahan kimia sebagai input produksinya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keseriusan petani responden yang ingin mengembangkan usahatani padi organik. Analisis sistem usahatani dilakukan dengan cara membandingkan keragaan usahatani yang dilakukan oleh petani di Desa Bobojong, baik petani padi organik SRI maupun petani padi konvensional. Usahatani ini dianalisis dengan cara mengidentifikasi penggunaan sumberdaya (input) hingga output yang dihasilkan. Kemudian analisis akan dilanjutkan dengan menghitung tingkat pendapatan masing-masing usahatani, baik usahatani padi organik SRI maupun padi konvensional.
6.1 Penggunaan Input 6.1.1 Benih Pada usahatani padi organik metode SRI ini, benih yang digunakan oleh petani responden adalah varietas Sinta Nur, karena varietas ini memiliki keunggulan dan cocok untuk sistem usahatani organik metode SRI. Salah satu keunggulan dari varietas Sinta Nur ini adalah tahan terhadap hama dan penyakit terutama hama wereng coklat dan penyakit hawar daun. Hal ini sangat diperlukan karena dalam sistem usahatani padi organik metode SRI ini input yang digunakan merupakan input
organik, sehingga hama ataupun penyakit akan mudah untuk menyerang tanaman. Selain itu, varietas Sinta Nur juga memiliki keunggulan lain yakni dalam produksi anakannya cenderung lebih banyak jika dibandingkan dengan varietas yang lain (Lampiran 5). Hal ini juga sangat diperlukan dalam usahatani padi organik SRI karena pada saat penanaman bibit yang ditanam hanya satu rumpun, sehingga diperlukan anakan yang produktif untuk menghasilkan malai padi yang banyak. Benih yang
digunakan petani organik metode
SRI
yakni
menggunakan benih yang dijual dipenangkaran benih, sebab setiap hasil produksi seluruhnya dijual kepada pemilik sehingga petani tidak dapat menggunakan benih sebelumnya sebagai benih yang akan digunakan pada musim tanam berikutnya, begitu pula dengan petani padi konvensional. Berdasarkan
data
yang
diperoleh,
kebutuhan
benih
yang
digunakan petani padi organik SRI pada musim tanam pertama rata-rata sebesar 6,54 kg/ha. Jumlah tersebut sudah memenuhi jumlah benih yang dianjurkan yakni berkisar antara 5 – 7 kg/ha. Bila dibandingkan dengan penggunaan benih pada usahatani padi konvensional, jumlah tersebut jauh berbeda dimana petani padi konvensional rata-rata menggunakan benih sebesar 55,25 kg/ha dari jumlah yang dianjurkan pemerintah yakni sebesar 25 kg/ha. Padi konvensional biasanya ditanam 3 – 5 bibit per
rumpun bahkan lebih, dengan jarak tanam rapat yakni 22 cm x 22 cm sampai 25 cm x 25 cm. Selain itu, banyaknya gabah hampa saat proses seleksi benih mempengaruhi jumlah benih yang digunakan. Dengan demikian, usahatani padi organik SRI dapat menghemat penggunaan benih sebanyak 48,71 kg/ha atau mengurangi biaya pembelian benih sebesar Rp. 276.631,10/ha dengan harga rata-rata Rp. 5.837,73/kg. Sebaliknya, petani padi konvensional menggunakan benih yang melebihi anjuran pemerintah sehingga terjadi pemborosan biaya untuk pembelian benih. Untuk lebih jelasnya maka besarnya jumlah benih yang digunakan oleh masing-masing usahatani dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Perbandingan Penggunaan Benih Padi Organik SRI dan Padi Konvensional (Kg/Ha) di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 - 2007 Anjuran N Penggunaan Selisih Usahatani Pemerintah o (Kg/Ha) (Kg/Ha) (Kg/Ha) 1. Padi organik 6,54 7,00 0,46 Padi 2. 55,25 25,00 30,25 konvensional Sumber: Data Primer (diolah)
6.1.2 Pupuk Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pupuk yang digunakan
petani
padi
organik
metode
SRI
seluruhnya
telah
menggunakan pupuk organik, sementara petani padi konvensional masih menggunakan pupuk kimia seperti Urea, TSP, dan KCl. Definisi pupuk organik dalam International for Standardization (ISO) adalah bahan organik
atau bahan karbon yang ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai unsur hara yang mengandung nitrogen dari tumbuhan atau hewan (Sutanto, 2006). Pada umumnya pupuk diberikan dengan cara sebar atau ditabur melalui daun dengan cara disemprot. Pada usahatani padi organik SRI, pupuk yang digunakan oleh petani organik untuk menbudidayakan tanamannya adalah dengan menggunakan pupuk kompos atau bokashi. Pupuk kompos ini dibuat dari berbagai campuran bahan organik yang terdapat di alam, seperti pupuk kandang (kotoran hewan), sekam bakar, arang bambu, daundaunan hijau, sampah dapur, dan bahan lainnya yang berasal dari hasil limbah pengolahan produk ternak yang kemudian didekomposisikan. Bila ditambahkan campuran molase (air gula), EM-4 (Effective Microorganisme), dan air dalam proses dekomposisi maka hasilnya disebut pupuk bokashi (Lampiran 6). Pupuk kompos yang digunakan petani padi organik SRI rata-rata adalah 6.928,14 kg/ha dengan harga rata-rata adalah Rp. 500,00/kg. Jumlah tersebut masih jauh dari jumlah yang dianjurkan yaitu sebesar 20 ton/ha. Hal ini dikarenakan petani masih memanfaatkan bahan-bahan organik yang tersedia dilingkungan mereka. Untuk mendapatkan pupuk ini, petani dapat membuatnya sendiri atau membeli di toko-toko sarana tani yang ada di kota Cianjur. Struktur fisik tanah di Desa Bobojong berubah menjadi lebih baik dan kandungan hara juga menjadi bertambah diduga karena pemberian
pupuk organik yang selalu dilakukan sejak dikembangkannya padi organik metode SRI ini. Menurut petani responden, manfaat pupuk organik sudah dirasakan terutama sejak pengolahan tanah. Pengolahan tanah menjadi lebih mudah karena lahan yang sudah diberikan pupuk kompos/bokashi menjadi lebih cepat dikerjakan karena struktur tanahnya lebih gembur jika dibandingkan dengan lahan yang diberikan pupuk kimia. Selain itu, tanaman juga terlihat lebih hijau dan segar jika dibandingkan dengan padi yang diusahakan secara konvensional. Namun, timbul dampak negatif dari penggunaan pupuk organik ini yakni sering terjadi longsor pada pematang sawah yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas hewan sawah, seperti belut. Selain menggunakan pupuk kompos, petani padi organik SRI pun menggunakan
pupuk
daun
sebagai
pupuk
pelengkap,
yaitu
menggunakan mikroorganisme lokal (MOL). Hal ini dilakukan petani untuk menambah jumlah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. MOL ini digunakan dengan cara disemprotkan menggunakan handsprayer. Pada umumnya MOL dibuat sendiri oleh petani karena menggunakan bahan-bahan organik yang mudah ditemukan di lingkungan. Berdasarkan data yang diperoleh, kebutuhan MOL yang digunakan rata-rata sebesar 285,90 lt/ha. Penggunaan MOL tidak memiliki rekomendasi khusus, apabila petani akan menggunakan MOL lebih banyak dari dosis yang telah ditetapkan itu lebih bagus, karena jumlah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman jadi lebih tercukupi. Selain itu, tidak ada efek
samping yang ditimbulkan apabila penggunaan MOL melebihi dosis yang dianjurkan, karena pupuk ini terbuat dari bahan organik. Namun, takaran yang dianjurkan yaitu 50:50, artinya setengah bagian MOL dicampur dengan setengah bagian air. Penyemprotan MOL yang dianjurkan dalam satu musim tanam dilakukan sebanyak tujuh kali, namun untuk penyemprotan MOL yang dilakukan oleh petani responden adalah sebanyak empat kali dalam satu musim tanam. Bila kapasitas handsprayer yang digunakan adalah sebanyak 17 liter, maka diperoleh jumlah penggunaan MOL yang dianjurkan sebanyak 59,50 lt/ha. Dengan demikian, jumlah rata-rata MOL yang digunakan petani (258,90 lt/ha) melebihi jumlah yang dianjurkan. Untuk lebih jelasnya jumlah dosis pupuk organik yang digunakan oleh petani responden dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah Dosis Pupuk Organik Yang Digunakan Petani Padi Organik SRI di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2007 Jenis Anjuran No. Satuan Jumlah Selisih Pupuk Pemerintah 1. Kompos Kg/Ha 6.928,14 20.000,00 -13.071,86 2. MOL Lt/Ha 285,90 59,50 226,40 Sumber : Data Primer (diolah)
Penggunaan pupuk kimia dalam usahatani padi konvensional biasanya menggunakan pupuk standar yaitu pupuk urea, TSP, dan KCl. Dosis penggunaan pupuk kimia yang dianjurkan oleh pemerintah untuk urea sebesar 200 kg/ha, sedangkan untuk pupuk TSP dan KCl diberikan dengan dosis yang sama yaitu 100 kg/ha.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, penggunaan pupuk kimia ternyata melebihi dosis yang telah dianjurkan oleh pemerintah, untuk pupuk urea yang digunakan adalah sebesar 316,15 kg/ha, sedangkan untuk pupuk TSP sebesar 234,36 kg/ha. Namun dalam penggunaan pupuk KCl masih dibawah dosis yang dianjurkan karena ada beberapa petani yang tidak menggunakan pupuk KCl sebagai pupuk standarnya, sebagai gantinya petani menggunakan pupuk majemuk yakni pupuk phonska (NPK) dan pupuk SP 36. Penggunaan KCl sebagai pupuk standar hanya sebesar 74,80 kg/ha, dosis tersebut masih dibawah dosis yang dianjurkan oleh pemerintah yakni sebesar 100 kg/ha. Untuk penggunaan pupuk phonska (NPK) dan pupuk SP 36 masing-masing sebesar 38,02 kg/ha dan 26,24 kg/ha. Penggunaan pupuk pada usahatani padi konvensional disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Penggunaan Rata-Rata Pupuk Kimia dalam Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 Anjuran Penggunaan Selisih No. Jenis Pupuk Pemerintah (Kg/Ha) (Kg/Ha) (Kg/Ha) 1. Urea 316,15 200,00 116,15 2. TSP 234,36 100,00 134,36 3. KCl 74,80 100,00 -25,20 4. Phonska 38,02 100,00 -61,98 5. SP 36 26,24 100,00 -73,76 Sumber : Data Primer (diolah)
Penggunaan pupuk kimia oleh petani padi konvensional seperti pada Tabel 13 melebihi dosis yang telah dianjurkan oleh pemerintah. Bahkan kelebihan pupuk dari penggunaan pupuk urea sebesar 158,075
persen, kemudian disusul dengan penggunaan pupuk TSP yang mencapai 234,36 persen. Hal tersebut menyebabkan tingginya pengadaan pupuk kimia dalam usahatani padi konvensional. Lebih lanjut biaya pengadaan pupuk merupakan biaya terbesar ketiga (12,15 persen dari biaya total) setelah biaya tenaga kerja dan biaya sewa lahan. Jika melihat output yang dihasilkan, ternyata produksi GKP (Gabah Kering Panen) yang dihasilkan tidak lebih dari produktivitas padi konvensional pada umumnya yaitu 5.752,32 kg/ha. Dengan demikian petani perlu lebih bijak dalam menentukan jumlah penggunaan pupuk, terutama pupuk urea.
6.1.3 Pestisida Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani
organik
tidak
boleh
menggunakan
pestisida.
Hal
ini
dikarenakan dapat berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu, untuk pengendalian hama dan penyakitnya, para petani organik melakukannya dengan cara pengendalian fisik dan penyemprotan dengan menggunakan handsprayer. Pengendalian fisik dilakukan dengan cara mencabut gulma yang berada dilahan dan pematang sawah, sedangkan penyemprotan hama dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang biasanya dibuat sendiri pada Lampiran 3. Seringkali petani melakukan tindakan pengendalian bersamaan dengan saat penyemprotan MOL dilakukan (pupuk daun), karena dalam komposisi MOL terkadang dicampurkan bahan-bahan
organik seperti gadung, daun nimba, dan lain-lain yang dapat mengendalikan hama. Hal ini dilakukan agar kondisi lahan bersih dari gulma yang biasanya dijadikan oleh hama dan penyakit sebagai tempat bersemayam. Sedangkan
pada
petani
padi
konvensional,
petani
dalam
melakukan pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh petani konvensional terdiri dari dua jenis yakni berdasarkan cara aplikasinya yaitu pestisida semprot dan pestisida tabur. Pada pestisida tabur, petani menggunakan pestisida yang berbentuk karbofuran, yaitu pestisida dengan merek dagang Furadan. Sedangkan pestisida semprot yang digunakan petani padi konvensional seluruhnya dalam bentuk formula cair dengan beragam merek dagang seperti
Decis,
Arivo,
dan
Matador.
Petani
biasanya
melakukan
penyemprotan pestisida bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama sebagai tindakan pencegahan. Hal serupa juga dilakukan dengan cara menaburkan furadan. Rata-rata penggunaan furadan yang dilakukan petani adalah sebesar 3,36 kg/ha. Berdasarkan
data
yang
diperoleh,
pestisida
yang
banyak
digunakan oleh petani yaitu Decis sebesar 69,06 persen, kemudian pestisida merek Arivo sebesar 18,21 persen. Berikut adalah beberapa jenis obat-obatan yang digunakan petani padi konvensional yang dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Jenis Obat-Obatan Pada Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur untuk Musim Tanam (MT) Periode Agustus – November 2006 Per Hektar Jenis ObatPenggunaan Persentase No. Satuan Obatan (Kg/Ha) (%) Pestisida semprot: 1. Decis ml 456,25 69,06 2. Arivo ml 120,29 18,21 3. Matador ml 84,12 12,73 Pestisida tabur: 4. Furadan Kg 3,36 100 Sumber: Data Primer (Diolah).
6.1.4 Penggunaan Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu dalam penggunaannya petani harus memperhitungkannya. Kebutuhan tenaga kerja yang digunakan petani berasal dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Kebutuhan tenaga kerja dalam satu musim tanam yang digunakan petani baik usahatani padi organik maupun padi konvensional di Desa Bobojong pada umumnya relatif sama. Namun kebutuhan tenaga kerja pada beberapa kegiatan dalam usahatani padi organik dengan padi konvensional berbeda. Penggunaan tenaga kerja pada kedua jenis usahatani di Desa Bobojong dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Perbandingan Kebutuhan Tenaga Kerja pada Usahatani Padi Organik Metode SRI dan Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 - 2007 (HOK/Ha) No
Kegiatan
Metode SRI Kebutuhan
(%)
Metode Konvensional Kebutuhan
(%)
(HOK) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pengolahan tanah Penyiapan media Penyemaian benih Menaplak Menanam/Tandur Penyiangan Pemupukan Penyemprotan Pembersihan pematang Panen Total Sumber : Data Primer (Diolah)
103,60 3,66 3,13 4,70 22,98 54,15 7,66 22,98 14,28 65,99 303,13
(HOK) 34,17 1,21 1,04 1,55 7,58 17,86 2,53 7,58 4,72 21,76 100,00
98,42 3,36 52,32 10,60 21,37 27,92 6,39 3,20 11,10 59,39 294,07
33,47 1,14 17,80 3,60 7,27 9,50 2,17 1,09 3,77 20,19 100,00
Tabel 15 memperlihatkan bahwa kebutuhan total tenaga kerja pada kedua jenis usahatani tersebut relatif sama, hanya saja pada usahatani metode SRI kebutuhan tenaga kerjanya sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan usahatani metode konvensional yaitu kurang lebih sebanyak sembilan orang. Proporsi kebutuhan tenaga kerja untuk kedua jenis usahatani tersebut paling besar dialokasikan pada kegiatan pengolahan tanah, penyiangan, dan panen. Pada usahatani padi organik metode SRI, sebanyak 34,17 persen tenaga kerja dicurahkan untuk melakukan kegiatan pengolahan tanah, kemudian diikuti oleh kegiatan penyiangan dan panen yang masing-masing sebesar 17,86 persen dan 21,76 persen. Persentase kebutuhan tenaga kerja yang dicurahkan dalam usahatani padi konvensional relatif sama meskipun dalam proses penyiangan usahatani padi konvensional lebih kecil jika dibandingkan dengan usahatani padi organik metode SRI yakni sebesar 9,50 persen. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada usahatani padi organik metode SRI
proses penyiangan dilakukan lebih sering jika dibandingkan dengan usahatani padi konvensional. Penggunaan jumlah tenaga kerja dimasing-masing usahatani terlihat perbedaan yang cukup besar, yakni pada kegiatan pengolahan tanah, penyiangan, dan penyemprotan. Pada Tabel 15 memperlihatkan bahwa sebanyak 103 HOK dibutuhkan dalam pengolahan tanah pada usahatani padi organik metode SRI, sedangkan pada usahatani padi konvensional membutuhkan kurang lebih 98 HOK. Perbedaan dalam penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pengolahan tanah tersebut sekitar kurang lebih 5 HOK atau sekitar 35 jam kerja (7 jam kerja/hari). Hal tersebut terjadi karena pada pengolahan tanah sawah yang diusahakan secara organik membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pengolahan tanah pada sawah padi konvensional, seperti pada proses pembuatan saluran air dan memopok atau numpang galeng. Penggunaan tenaga kerja yang dibutuhkan pada dua proses lainnya yaitu penyiangan dan penyemprotan lebih banyak digunakan pada usahatani padi organik metode SRI. Kedua kegiatan tersebut memerlukan tambahan tenaga kerja lebih banyak karena proses penyemprotan MOL pada usahatani padi organik metode SRI dilakukan sebanyak empat kali jika dibandingkan dengan proses penyemprotan yang dilakukan pada usahatani padi konvensional yang dilakukan sebanyak dua kali pada setiap musim tanam, sedangkan pada proses
penyiangannya juga lebih sering dilakukan pada usahatani padi organik karena pertumbuhan gulma pada usahatani padi organik lebih banyak. Penyemprotan padi organik memerlukan 19 HOK lebih banyak dibanding penyemprotan pada padi konvensional, sementara kegiatan penyiangan atau ngarambet memerlukan tambahan sekitar kurang lebih sebanyak 26 HOK. Upah yang diterima buruh tani di Desa Bobojong, baik pada usahatani padi organik maupun padi konvensional pada umumnya adalah sama. Kisaran upah yang berlaku sekitar Rp 15.000,00 – Rp 20.000,00 untuk hari kerja pria dan Rp 10.000,00 – Rp 15.000,00 untuk hari kerja wanita. Berdasarkan data yang diperoleh dilapang, rata-rata upah yang diterima oleh buruh tani pria pada usahatani padi organik sebesar Rp 14.421,79/HOK dan upah yang diterima buruh tani wanita sebesar Rp 11.586,50/HOK. Sedangkan upah yang diterima oleh buruh tani pada usahatani padi konvensional rata-rata yang diterima buruh tani pria adalah sebesar Rp 13.138,17/HOK dan upah yang diterima buruh tani wanita sebesar Rp 12.940,24/HOK.
6.2 Output Usahatani Output dalam usahatani padi yakni berupa gabah. Gabah adalah bulir padi yang telah dirontokkan melalui kegiatan panen. Gabah yang diterima petani di lahan atau gabah yang belum mendapat perlakuan
pengeringan disebut gabah kering panen (GKP). Sementara gabah yang telah dikeringkan disebut gabah kering giling (GKG). Berdasarkan informasi yang diperoleh, kehilangan bobot GKP yang disebabkan oleh proses penjemuran adalah sekitar 15 persen, dengan kata lain bobot GKG lebih rendah 15 persen dari bobot GKP. Adapun jenis gabah yang sering dijual oleh petani di Desa Bobojong biasanya adalah GKP. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani diketahui bahwa jumlah hasil panen petani padi organik metode SRI ternyata lebih rendah dari hasil panen yang diperoleh petani padi konvensional. Dari rata-rata luas lahan yang diusahakan petani padi organik metode SRI yakni seluas 0,34 hektar hanya mampu menghasilkan gabah kering panen (GKP) sebesar 1.943,35 kg (Tabel 16). Bila luas lahan dikonversikan kedalam satuan hektar maka produktivitas tanaman padi organik metode SRI menghasilkan GKP sebesar 5.752,32 kg. Sedangkan gabah yang diterima petani padi konvensional yang diusahakan pada lahan rata-rata seluas 0,35 hektar mampu menghasilkan GKP sebesar 2.134,76 kg. Bila dikonversikan kedalam luasan hektar maka diperoleh produktivitas sebesar 6.105,43 kg GKP. Jumlah ini lebih besar dari hasil yang diperoleh petani padi organik metode SRI yakni dengan rasio 1 : 1,06, artinya petani padi konvensional memperoleh 1,06 bagian dari hasil panen petani padi organik metode SRI. Jumlah yang dihasilkan petani padi organik metode SRI ternyata tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa dengan menggunakan metode SRI maka jumlah
produktivitas beras akan naik sebesar 78 persen. Hal ini disebabkan karena lahan petani masih dalam tahap proses konversi sehingga menyebabkan pasokan unsur hara untuk tanaman menjadi berkurang, sehingga proses mineralisasi pupuk organik di dalam tanah menjadi sangat lambat. Namun, walaupun hasil panennya lebih rendah daripada hasil panen padi konvensional ternyata apabila dilihat dari harga jual GKP organik yang ditawarkan ternyata lebih tinggi dari harga jual GKP padi konvensional yaitu sebesar Rp 3.000,00/Kg , sedangkan harga jual GKP padi konvensional hanya Rp 2.000,00/Kg. Untuk lebih jelasnya output per hektar dari petani tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16.Perbandingan Produktivitas Padi Organik Metode SRI dan Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007 Jenis Usahatani
Luas Lahan Rata-Rata (Ha)
Organik Metode SRI Konvensional Sumber : Data Primer (Diolah)
0,34 0,35
GKP (Kg) 1.943,35 2.134,76
Produktivitas/Ha 5.752,32 6.105,43
BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI ORGANIK METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL 7.1
Analisis Perbandingan Penerimaan Usahatani Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara usahatani
padi organik metode SRI dan usahatani padi konvensional dilihat dari sisi penerimaan. Penerimaan yang diperoleh petani merupakan nilai dari total produksi usahatani yang dikelolanya. Hasil penjualan gabah yang merupakan output dalam usahatani merupakan pendapatan kotor sebelum dkurangi dengan biaya-biaya yang digunakan dalam usahatani. Dalam menganalisis penerimaan petani, peneliti menggunakan asumsi bahwa gabah yang dihasilkan petani seluruhnya akan dijual (100 persen). Para petani di Desa Bobojong pada umumnya menjual gabah dalam bentuk gabah kering panen (GKP), yang dijual langsung pada penampung yaitu Yayasan Aliksa yang bekerja sama dengan MEDCO melalui kelompok tani. Selain itu pembahasan akan dijelaskan
mengenai petani padi organik metode SRI sebagai petani penggarap, dan akan diasumsikan jika petani padi organik SRI sebagai petani pemilik, sehingga dapat dilihat perbedaannya. Berdasarkan Tabel 17 diketahui ternyata rata-rata penerimaan total usahatani padi organik metode SRI lebih besar dari rata-rata penerimaan total usahatani padi konvensional. Rata-rata penerimaan total usahatani padi organik adalah Rp 17.259.000 dengan hasil GKP sebesar 5.753 kg/ha, sedangkan rata-rata penerimaan total usahatani padi konvensional adalah Rp 12.212.000 dengan hasil produksi GKP sebesar 6.106 kg/ha.
Tabel 17. Penerimaan Petani Padi Organik Metode SRI dan Petani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, Kab. Cianjur Tahun 2006 – 2007 Jenis Usahatani
Satuan
Organik SRI Kg Konvensional Kg Sumber : Data Primer (Diolah)
Volume (GKP/Ha) 5.753 6.106
Harga (Rp/Satuan) 3.000 2.000
Nilai (Rp) 17.259.000 12.212.000
Jika dilihat dari hasil produksi GKP per hektar ternyata padi organik lebih kecil jika dibandingkan dengan padi konvensional, namun rata-rata penerimaan total petani organik metode SRI lebih besar dari petani konvensional. Besarnya rata-rata penerimaan total yang diperoleh petani padi organik dikarenakan harga jual GKP padi organik per kilogram lebih tinggi dari harga jual GKP padi konvensional per kilogramnya, yaitu Rp. 3.000/Kg sedangkan harga GKP untuk padi konvensional adalah Rp. 2.000/Kg. Tingginya harga jual GKP padi organik per kilogram yang diterima oleh petani padi organik dikarenakan adanya kepercayaan konsumen terhadap kualitas padi organik yang dihasilkan, sehingga konsumen bersedia untuk membayar mahal produk tersebut.
7.2
Analisis Perbandingan Biaya Usahatani Dalam satu musim tanam, biaya total yang dikeluarkan petani padi
organik metode SRI mengeluarkan biaya rata-rata sebesar Rp 11.197.559 per hektar. Biaya tersebut merupakan hasil penjumlahan dari total penggunaan biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Pada pengeluaran biaya total menunjukkan bahwa biaya total yang dikeluarkan petani pemilik lebih kecil jika dibandingkan dengan petani penggarap, karena pada perhitungannya petani pemilik tidak mengeluarkan biaya untuk sewa lahan, sehingga biaya total yang
dikeluarkannya pun lebih kecil. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 menunjukkan bahwa biaya tunai proporsinya lebih besar dari biaya yang diperhitungkan dalam struktur biaya total, karena biaya ini merupakan modal operasional yang harus dimiliki oleh petani untuk menjalankan
aktifitas
usahataninya.
Apabila
dilihat
dari
perbandingan
penggunaan biaya tunainya antara petani pemilik dan petani penggarap maka diketahui ternyata biaya tunai yang dikeluarkan pada petani penggarap lebih besar dari petani pemilik. Biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh petani sebesar Rp 8.730.221 per hektar atau sekitar 77,97 persen dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu musim tanam, sisanya merupakan biaya yang diperhitungkan yaitu sebesar Rp 2.467.338 per hektar atau 22,03 persen dari total biaya yang digunakan dalam satu musim tanam usahatani. Berdasarkan data yang diperoleh, besarnya penggunaan biaya oleh petani dalam usahatani padi organik ini sebagian besar dialokasikan untuk membayar upah tenaga kerja dan pengadaan pupuk. Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi organik metode SRI sebagian besar menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Adapun biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja dari luar keluarga (TKLK) yaitu sebesar Rp 4.028.908 per hektar dari total kebutuhan usahatani, sedangkan pengeluaran untuk pengadaan pupuk (kompos dan MOL) adalah sebesar Rp 4.591.047 per hektar. Jumlah biaya untuk penggunaan tenaga kerja yang lebih besar pada budidaya padi organik metode SRI disebabkan oleh proses budidayanya yang membutuhkan tahapan cukup banyak jika dibandingkan dengan tahapan budidaya pada pertanian padi konvensional.
Biaya diperhitungkan yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah TKLK, yaitu sebesar Rp 474.819 per hektar. Artinya, kegiatan dalam usahatani tidak dapat dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga sehingga kekurangan tenaga kerja dicukupi dengan menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Hal ini akan berdampak pada besarnya biaya tunai yang akan dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja. Dengan demikian, petani seharusnya memperhatikan kebutuhan tenaga kerja yang
benar-benar
diperlukan
untuk
menggarap
sawahnya,
sehingga
pemborosan biaya yang disebabkan oleh penggunaan tenaga kerja yang berlebihan dapat diminimalisir. Biaya pengadaan pupuk, baik kompos maupun pupuk organik cair (MOL) termasuk kedalam biaya tunai dan biaya diperhitungkan, karena pengadaan pupuk setengahnya dibantu oleh pemilik lahan, sedangkan setengahnya lagi dibuat sendiri oleh petani. Rincian penggunaan biaya dalam usahatani padi organik metode SRI di Desa Bobojong baik satuan hektar maupun rata-rata perluasan lahan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Tabel 18. Biaya Usahatani Padi Organik Metode SRI dan Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande, 2007 (Hektar) Padi Organik No
Jenis Pengeluaran
Biaya tunai Biaya variabel: ü Benih ü Kompos ü MOL/Pestisida ü Tenaga kerja luar keluarga (TKLK) ü Pengairan (Ulu-ulu) Sub total 2. Biaya diperhitungkan Biaya variabel: ü Kompos ü Tenaga kerja dlm keluarga (TKDK) Biaya tetap: ü Penyusutan alat Sub total Total biaya Sumber : Data Primer (Diolah)
Biaya (Rp)
%
Padi Konvensional Biaya (Rp)
%
1.
38.179 1.732.035 2.859.012 4.028.908 72.087 8.730.221
0,34 15,47 25,53 35,98 0,64 77,97
310.210 1.226.587 1.982.839 3.080.412 105.084 6.746.732
4,19 17,06 26,65 41,49 1,42 90,86
1.732.025 474.819
15,47 4,24
0 449.301
0 6,05
260.494 2.467.338 11.197.559
2,33 22,03 100,00
229.320 678.621 7.425.353
3,09 9,14 100,00
Tabel 18 memperlihatkan bahwa biaya total yang dikeluarkan petani padi konvensional adalah sebesar Rp 7.425.353 per hektar. Alokasi pembagian biaya pada padi konvensional pun sama dengan padi organik metode SRI, yakni pada penggunaan biaya tenaga kerja dan pupuk hanya saja terdapat penambahan biaya yang alokasinya juga cukup besar yaitu pestisida. Bagian biaya total yang digunakan untuk biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) adalah sebesar Rp 3.080.412 per hektar atau 41,49 persen, untuk pengadaan pupuk alokasi biaya yang dikeluarkan adalah sebesar 17,06 persen atau Rp 1.266.587 per hektar, sedangkan untuk pestisida alokasi biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 1.982.839 dan sisanya merupakan untuk biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), pengairan, dan lain-lain. Berdasarkan informasi yang diperoleh yaitu bagian biaya tunai dan biaya diperhitungkan memiliki proporsi yang berbeda dalam membentuk biaya total
usahatani padi konvensional, hal ini sama dengan pada kasus padi organik metode SRI. Sebagian besar biaya yang dikeluarkan petani padi konvensional merupakan biaya tunai (90,86 persen) dan sisanya adalah biaya yang diperhitungkan (9,14 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan padi konvensional secara finansial sangat bergantung pada biaya tunai dalam pengadaan inputnya terutama dalam pengadaan pupuk Urea, terlebih lagi bahwa petani padi konvensional di Desa Bobojong menggunakan pupuk urea jauh diatas jumlah yang disarankan oleh pemerintah (Tabel 13). Rincian biaya usahatani padi konvensional dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa rata-rata total biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik adalah Rp. 11.197.559, sedangkan rata-rata total biaya yang dikeluarkan oleh petani padi konvensional adalah Rp. 7.425.353. Tabel 19. Analisis Perbandingan Biaya untuk Usahatani Padi Organik Metode SRI dan Padi Konvensional di Desa Bobojong Kec. Mande per Hektar Tahun 2006 - 2007 No 1. 2.
Biaya Usahatani
B. Tunai B. Diperhitungkan Total Biaya Sumber : Data Primer (Diolah)
Usahatani Padi Organik (Rp) 8.730.221 2.467.338 11.197.559
Usahatani Padi Konvensional (Rp) 77,97 6.746.732 22,03 678.621 100,00 7.425.353 (%)
(%) 90,86 9,14 100,00
Tingginya rata-rata total biaya yang harus dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI dikarenakan petani harus mengeluarkan biaya penggunaan pupuk dalam jumlah yang lebih besar dari petani padi konvensional sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Hal menyebabkan biaya pemupukan lebih besar karena pemupukan dilakukan sebanyak empat kali setiap musim tanam. Selain itu dalam pengolahan lahan petani organik harus melakukan pembajakan sebanyak dua kali, sementara petani padi konvensional hanya sekali. Hal ini berdampak pada besarnya penggunaan tenaga kerja atau
waktu kerja yang digunakan sehingga akibatnya petani harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.
7.3
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Suatu usahatani dikatakan menguntungkan apabila selisih antara
penerimaan dengan pengeluarannya itu bernilai positif. Pendapatan usahatani tersebut dianalisis dengan menggunakan konsep pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dari hasil pengurangan penerimaan petani terhadap komponen biaya-biaya yang dikeluarkan secara tunai dalam proses usahataninya. Sedangkan pendapatan atas biaya total diperoleh dari penerimaan petani yang dikurangi dengan seluruh biaya (biaya total) yang telah dikeluarkan dalam proses usahataninya, termasuk biaya yang diperhitungkan, sehingga hasil akhir dari pendapatan atas biaya total akan lebih rendah dari pendapatan tunai. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masing-masing responden, bahwa penjualan gabah hasil panen padi organik metode SRI menghasilkan nilai total produksi rata-rata sebesar Rp 17.259.000 per hektar. Sedangkan hasil penjualan dari padi konvensional rata-rata sebesar Rp 12.212.000 per hektar. Perbedaan jumlah penerimaan pada kedua usahatani tersebut disebabkan perbedaan tingkat harga jual hasil panen yang cukup besar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari harga jual tersebut mengakibatkan penerimaan untuk padi organik lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan padi konvensional, walaupun hasil produksi padi konvensional lebih besar daripada padi organik metode SRI. Jika dibandingkan dengan hasil produksi padi organik yang menggunakan metode SRI di daerah lain hasil produksinya lebih tinggi
daripada padi konvensional, namun dalam kasus ini berbeda. Padi organik metode SRI baru pertama kali dikembangkan di Desa Bobojong sehingga lahan yang digunakan masih belum bisa maksimal dalam penyerapan unsur haranya atau dengan kata lain masih dalam tahap konversi. Selain itu para petani baru pertama kali mempraktekkan sistem usahatani metode SRI ini sehingga hasil panen pada musim pertama ini masih belum maksimal. Jika dilihat dari sisi biaya, usahatani padi organik memiliki biaya yang lebih besar dibandingkan dengan padi konvensional, terutama pada komponen biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dan pengadaan pupuk. Pada Tabel 20 diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai padi organik metode SRI nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai padi konvensional. Petani padi organik metode SRI memperoleh pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 8.528.778 per hektar. Sedangkan pada pendapatan atas biaya tunai padi konvensional diketahui bahwa nilainya sebesar Rp 7.245.966 per hektar. Hal tersebut terjadi karena rata-rata penerimaan tunai petani padi organik lebih besar dari petani padi konvensional, sehingga diketahui bahwa selisih antara padi organik dengan petani padi konvensional rata-rata sebesar Rp 1.282.812 dan ternyata nilainya lebih menguntungkan bagi petani padi organik metode SRI jika dibandingkan dengan petani konvensional. Berbeda dengan pendapatan atas biaya totalnya diketahui bahwa petani padi konvensional nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan petani padi organik metode SRI. Jika dilihat pada tabel bahwa petani padi konvensional menerima pendapatan atas biaya totalnya sebesar Rp 6.567.345 per hektar, dengan kata lain petani padi konvensional masih memperoleh keuntungan apabila biaya yang tidak diperhitungkannya tetap dibayarkan. Berbeda dengan
petani padi organik, jika dilihat dari pendapatan atas biaya totalnya petani padi organik hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp 6.061.430 per hektar. Hal tersebut disebabkan oleh besarnya biaya yang diperhitungkan, sehingga pendapatan atas biaya totalnya menjadi lebih kecil. Uraian tersebut dapat dijelaskan dengan nilai R/C ratio usahatani yang menunjukkan efisiensi masingmasing usahatani. Tabel 20. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik Metode SRI dan Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kec. Mande Tahun 2006 – 2007 (Rp/Ha) No 1. 2.
Uraian
Pend.usahatani Biaya usahatani: Tot. Biaya tunai Tot. Biaya diperhit Tot. Biaya 3. Pend. Atas B. Tunai 4. Pend. Atas B. Total 5. R/C Ratio B. Tunai 6. R/C Ratio B. Total Sumber : Data Primer (Diolah)
Padi Organik SRI (Rp)
(%)
17.259.000 8.730.222 2.467.348 11.197.570 8.526.778 6.061.430 1,98 1,54
77,97 22,03 100,00
Padi Konvensional (Rp) 12.212.000 4.966.034 678.621 5.644.655 7.245.966 6.567.345 2,46 2,16
(%)
87,98 12,02 100,00
Efisiensi usahatani aktual diperlihatkan oleh nilai R/C ratio atas biaya tunai. Tabel 20 menjelaskan bahwa nilai R/C ratio atas penggunaan biaya usahatani padi konvensional lebih besar dari R/C ratio usahatani padi organik metode SRI bagi yang hanya sebesar Rp 1,98. Hal ini menjelaskan bahwa petani padi konvensional memperoleh keuntungan sebesar Rp 2,46 dari setiap satu rupiah input yang dikeluarkan, sementara petani padi organik hanya menerima keuntungan sebesar Rp 1,98 dari setiap satuan inputnya. Lebih lanjut jika menggunakan biaya total usahatani, petani padi organik metode SRI hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1,54 sedangkan petani padi konvensional memperoleh keuntungan sebesar Rp 2,16 dari setiap satu
rupiah yang digunakan dalam proses usahatani. Meskipun demikian, jika dilihat dari R/C ratio biaya tunai kedua sistem usahatani tersebut masih tergolong menguntungkan secara ekonomi karena nilai R/C ratio masing-masing usahatani tersebut bernilai positif (R/C > 1). Untuk perincian perbandingan antara sebelum dan sesudah petani menerapkan sistem usahatani padi organik metode SRI dengan padi konvensional dapat dilihat pada Lampiran 14.
7.4
Hasil Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan Berdasarkan Lampiran 9 diketahui bahwa hasil uji t untuk pendapatan
atas biaya total petani padi organik metode SRI yang dibandingkan dengan pendapatan atas biaya total petani konvensional nilainya memberikan hasil uji yang lebih kecil dari nilai t untuk taraf nyata (α) 5 % (1,63) yaitu sebesar 0,99. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pendapatan atas biaya total petani padi konvensional (terima H0). Hal ini terjadi karena nilai pendapatan atas biaya total yang diperoleh petani padi organik metode SRI lebih kecil dari pendapatan atas biaya total padi konvensional. Adapun yang mempengaruhi
perubahan
tersebut
adalah
besarnya
biaya
total
yang
dikeluarkan oleh petani padi organik, hasil ini membuktikan pembahasan pada sub bab analisis perbandingan usahatani. Apabila dilihat dari pendapatan atas biaya tunainya ternyata kesimpulan yang diambilnya pun berbeda yaitu tolak H0, dimana nilai t hitungnya lebih besar dari nilai nilai t tabel untuk taraf nyata (α) 5 % (1,63) yaitu sebesar 1,64. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi
organik metode SRI memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan atas biaya total petani (Lampiran 9).
7.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Uji t Padi Organik Metode SRI Pada sub bab sebelumnya diketahui bahwa nilai uji t hitung ternyata tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata dengan tingkat pendapatan petani, terutama pada pendapatan atas biaya total. Setelah dianalisa ternyata terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi nilai uji t hitung yang hasilnya menunjukkan tidak signifikan, adapun faktor-faktor tersebut adalah: 1.
Sistem usahatani metode SRI yang masih baru di Indonesia terutama di daerah penelitian belum bisa diterapkan oleh petani secara maksimal. Petani di daerah penelitian masih dalam fase pengenalan dan adaptasi dalam melakukan setiap proses tahapan sistem usahatani metode SRI ini, sehingga hasil produksinya pun belum mencapai optimal. Dengan kata lain para petani masih dalam masa transisi dari usahatani padi konvensional ke usahatani padi organik metode SRI.
2.
Tahapan-tahapan yang dilakukan pada usahatani metode SRI lebih banyak jika dibandingkan dengan tahapan yang dilakukan pada sistem usahatani konvensional. Misalkan pada proses pemupukan, dalam sistem usahatani metode SRI pemupukan harus dilakukan sebanyak empat kali dalam satu kali musim tanam, sedangkan pada sistem usahatani konvensional pemupukan dilakukan hanya dua kali sehingga korbanan untuk tenaga kerja dan biaya yang dibutuhkan lebih banyak daripada sistem usahatani konvensional.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian usahatani padi organik metode SRI yang
dibandingkan
dengan
usahatani
padi
konvensional,
maka
disimpulkan bahwa: 1. Sistem usahatani padi organik yang sedang dikembangkan oleh petani di Desa Bobojong Kecamatan Mande Kabupaten Cianjur secara umum kegiatannya sama dengan sistem usahatani padi konvensional. Perbedaannya hanya terletak pada input yang digunakannya saja, yaitu pupuk dan pestisida. 2. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh untuk petani padi organik metode SRI masih lebih besar dari pendapatan atas biaya tunai petani padi konvensional. Dari perhitungan hasil uji t dapat disimpulkan bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani tidak begitu berpengaruh nyata terhadap pendapatan atas biaya total petani padi organik, namun pada pendapatan atas biaya tunainya hasil uji t menunjukkan bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan berpengaruh nyata. 3. Apabila ditinjau dari efisiensi usahatani aktual yang diperlihatkan oleh nilai R/C ratio atas biaya tunai menjelaskan bahwa nilai R/C ratio atas penggunaan biaya usahatani padi konvensional lebih besar
dari R/C ratio usahatani padi organik metode SRI yang hanya sebesar Rp 1,98. Hal ini menjelaskan bahwa petani padi konvensional memperoleh keuntungan sebesar Rp 2,46 dari setiap satu rupiah input yang
dikeluarkan,
sementara
padi
organik
hanya
menerima
keuntungan sebesar Rp 1,98 dari setiap satuan inputnya. Meskipun demikian, jika dilihat dari R/C ratio biaya tunai kedua sistem usahatani tersebut masih tergolong menguntungkan secara ekonomi karena nilai R/C ratio masing-masing usahatani tersebut bernilai positif (R/C > 1). 8.2 Saran Perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi di Desa Bobojong telah membawa perubahan yang positif kepada tingkat pendapatan atas biaya tunai petani. Oleh karena itu sebaiknya perubahan sistem usahatani ini dapat dipertahankan dan lebih dikembangkan oleh petani setempat. Namun untuk memperlancar dalam pengembangan sistem usahatani padi organik maka sebaiknya sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh petani dapat dilengkapi. Selain itu kemandirian dan kemampuan
petani
dalam
membuat
input
(pupuk)
perlu
lebih
ditingkatkan lagi sehingga kebergantungan petani terhadap orang lain dapat dikurangi. Oleh karena itu, penyuluhan dari pemerintah (Dinas Pertanian) terhadap petani harus lebih ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko, Agus. 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya. Jakarta. Anonymous. 2006. Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan, Daftar Isian Potensi Desa. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa. Pemerintah Kabupaten Cianjur. Jawa Barat. Anonymous. 2006. Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan, Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa. Pemerintah Kabupaten Cianjur. Jawa Barat. Fitriadi, Farid. 2005. Analisis Pendapatan dan Marjin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan (Kasus di DesaSukagalih, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. Swadaya. Jakarta. Inovasi. 2005. Pertanian Organik. Edisi Vol. 4/XVII/Agustus. Jakarta. Khairina, Yulia. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemsaran Wortel dengan Budidaya Organik (Studi kasus: Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusumah, Saryani Jaya. 2004. Analisis Perbandingan Usahatani dan Pemasaran Antara Padi Organik dan Padi Anorganik (Kasus: Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mei, Theresia M.H. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Sayuran Organik Yayasan Bina Sarana Bhakti. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nazir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Rahmawati. 2007. Analisis Usahatani Sayuran Organik Pada Perusahaan Benny’s Organic Garden Bogor-Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rohman, Restu Edianur. 2008. Analisis Daya Saing Beras Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Oryza Sativa) (Kasus: Desa Bunikasih, Kec. Warungkondang, Kab. Cianjur, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rohmani, D. 2000. Analisis Sistem Usahatani Padi Organik, Suatu Studi Perbandingan, Kasus: Desa Segaran, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Siagian, Dergibson dan Sugiarto. 2000. Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Simarmata, Tualar. 2006. Modul Peningkatan Mutu Intensifikasi Padi Dengan NPK-BIO Berpola SRI (System of Rice Intensification). Laboraturium Biologi dan Bioteknologi Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung. Soeharjo, A dan D Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi, et. Al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sudrajat, A. 2003. Pengembangan Pertanian Organik di Kota Bogor dalam Rangka Menunjang Agribisnis Perkotaan yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan (Makalah). Seminar Sehari Pertanian. Biocert Bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kota Bogor. Bogor.
Sutanto, Rachman. 2002a. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta. . 2002b. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Tjakrawilaksana, A dan Muh. Cuhya Soeriaatmadja. 1983. Usahatani untuk Sekolah Menengah Teknologi Pertanian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan dan Menengah. Jakarta. Ubaydillah, Muhammad. 2008. Analisis Pendapatan dan Margin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan Metode SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang, Kec. Sagalaherang, Kab. Subang, Jawa Barat). Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole, RE. 1995. Pengantar Statistik (Edisi ke-3). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Kabupaten Cianjur
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 3. Seleksi Benih Padi Organik dengan Perlakuan Larutan Garam
Tujuan perlakuan : Adapun tujuan dari perlakuan ini adalah untuk memperoleh benih yang bernas serta memisahkannya dari benih hampa dan kotoran lainnya. Kegiatan ini biasanya dilakukan bagi benih tradisional (gabah hasil panen sebelumnya). Bahan dan alat yang diperlukan: Ø Garam dapur Ø Telur ayam Ø Air Ø Ember Ø Wajan penyaring Cara perlakuan : Ø Siapkan ember kemudian isi dengan air secukupnya untuk kebutuhan benih yang akan diseleksi. Ø Larutkan
garam
secukupnya
ke
dalam
air.
Larutan
garam
akan
meningkatkan massa jenis air untuk memisahkan benih berisi (bernas) dengan benih hampa. Gunakan telur ayam sebagai indikator untuk melihat apakah kebutuhan sudah tercukupi. Tambahkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan hingga telur terapung. Setelah telur terapung, maka seleksi benih dapat dilakukan. Ø Benih dimasukkan secukupnya ke dalam larutan garam dalam ember. Aduk perlahan hingga benih hampa dan bernas terpisah. Setelah diperoleh benih yang bernas segera cuci bersih benih tersebut dengan air bersih. Kegiatan ini dilakukan hingga semua benih bernas dapat dipisahkan dari benih hampa dan kotoran lainnya. Selanjutnya benih siap direndam untuk merangsang perkecambahan sebelum disebar.
Lampiran 4. Pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) atau Pestisida Nabati Bahan Dasar: Prinsip pemilihan bahan MOL adalah memanfaatkan nutrisi atau zat pertumbuhan yang bermanfaat bagi tanaman. Bukan hanya itu, banyak petani yang menggunakan MOL untuk mengendalikan hama karena bahan-bahan dasarnya mengandung racun. Dengan demikian, fungsi MOL tidak hanya untuk pupuk pelengkap cair saja, namun juga berfungsi sebagai pestisida nabati. MOL dapat dibuat dari semua bahan organik mulai dari buah-buahan, pucuk daun, rebung bambu, ikan asin, dan sampah dapur. Bahkan bangkai hewan dan telur busuk pun dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan MOL. Bahan-bahan yang efektif mengendalikan hama dan penyakit yaitu gadung, puntung rokok, daun nimba, dan bahan lainnya sesuai dengan ketersediannya di lingkungan. Bahan-bahan tersebut dibuat dengan cara dicampur maupun dengan cara terpisah. Bahan dasar lainnya yaitu air beras dan lahang untuk mempercepat perkembangan bakteri. Adapun cara pembuatannya adalah sebagai berikut: 1. Bahan dasar dihancurkan atau diekstraksi terlebih dahulu dengan cara ditumbuk atau diblender. 2. Masukan bahan dasar yang telah diekstraksi tersebut ke dalam wadah seperti toples, kemudian tambahkan air cucian bersa secukupnya. Untuk mengurangi bau dari bahan-bahan tersebut dapat ditambahkan air kelapa atau larutan lahang. 3. Setelah semua bahan dimasukan kemudian wadah ditutup dengan kertas kano (kertas koran), hal ini dilakukan untuk mencegah lalat masuk ke dalam wadah namun udara tetap bisa masuk. 4. Lakukan fermentasi kurang lebih selama dua minggu. Setelah difermentasi, hasil fermentasi tersebut disaring untuk diaplikasikan dengan sprayer. Penyimpanan MOL atau pestisida nabati: MOL bisa dikatakan sebagai bahan dekomposer karena banyak bakteri didalamnya, sehingga penyimpanan MOL memerlukan teknik agar bakteri tetap hidup. Cara yang biasa dilakukan agar bakteri tetap hidup yaitu dengan menutup rapat wadah MOL, kemudian hubungkan wadah MOL dengan wadah lain berisi air melalui pipa atau selang. Dengan demikian udara dalam wadah penyimpanan MOL hanya terhubung dengan air dengan air dalam wadah yang lain.
Lampiran 5. Deskripsi Varietas Sinta Nur16
No. Seleksi : B9645e – Mr – 89 – 1 Asal persilangan : Lusi/B7136E – Mr – 22 – 1 – 5 (Bengawan Solo) Golongan : Cere Umur tanaman : 120 hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi Tanaman : 120 cm Anakan produktif : Banyak Warna kaki : Hijau Warna batang : Hijau Warna daun telinga : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna Muka daun : Kasar Warna daun : Hijau Posisi daun : Tegak sampai miring Daun bendera : Tegak Bentuk gabah : Medium atau sedang Warna gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang Kerebahan : Agak tahan Tekstur nasi : Pulen Rasa nasi : Enak Bobot 1.000 bulir : 27,4 gr Kadar amilosa : 18 % Hasil : 6 ton/Ha (GKP) Ketahanan terhadap hama : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 1 dan 2, peka terhadap wereng coklat biotipe 3. Penyakit : Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III, dan tahan lebih tanah terhadap strain IV jika dibandingkan dengan IR 64. Keterangan : Sesuai untuk sawah irigasi dataran rendah sampai ketinggian < 500 m dpl. Peneliti lapang : Abdjono Pa, Soewito Tj, Suwarno B, Kustianto, Allidawati BS, Shaqir Sama. Teknisi : Sularjo, Supraptopo, Pantja HS, Indarjo MA, Barata, dan Koesnang. Dilepas tanggal : 12 Januari 2001
16
http://ntb.litbang.deptan.go.id/p/SINTANUR.pdf (10 Jan 2009)
Lampiran 6. Proses Pembuatan Pupuk Bokashi Bahan Dasar: 1. Kotoran hewan, seperti : Sapi (60%), Ayam (15%), Domba (5%). 2. Bahan-bahan lainnya (30%) seperti hijauan, bonggol pisang, rebung, sekam, serbuk gergaji, dan MOL. Cara pembuatan: 1. Bahan dasar seperti bonggol pisang dan rebung dipotong-potong terlebih dahulu kemudian dicampur dengan bahan-bahan lainnya secara merata. 2. Siramkan larutan MOL secara perlahan dan merata pada timbunan bahan campuran organik tersebut hingga kandungan air sekitar 30 persen. MOL digunakan sebagai bahan substitusi EM4 untuk mempercepat proses pengomposan bahan-bahan organik. Konsentrasi larutan dibuat dengan satu liter MOL dicampur dengan 100 liter air. 3. Proses pengomposan dilakukan secara terbuka ditempat teduh. Suhu pada timbunan bahan organik tersebut harus dipertahankan agar tidak terlalu panas, yaitu sekitar 400 sampai 500 C. Cara mempertahankan suhu tersebut yaitu dengan menggunakan pipa cerobong yang biasanya terbuat dari bambu. 4. Proses pengomposan hingga menjadi pupuk bokashi membutuhkan waktu dua minggu. Pupuk bokashi yang sudah matang biasanya sudah berubah bau manjadi asam dan tidak panas.
Lampiran 7. Penggunaan Biaya Usahatani Padi Organik Metode SRI di Desa Bobojong pada Musim Tanam (MT) Periode April – Juli Tahun 2007 (Hektar) No. A. B. C. 1. 2. 3.
Uraian
Luas lahan Penerimaan Sarana Produksi: Benih Kompos Pupuk Organik Cair (MOL) Sub Total D. Tenaga Kerja: 4. Pengolahan tanah I * Babad jerami * Membajak * Pembuatan saluran air * Perataan tanah * Memopok 5. Pembibitan * Penyiapan media * Penyemaian benih 6. Menaplak 7. Menanam/Tandur 8. Penyulaman 9. Pemeliharaan * Penyiangan I * Pemupukan * Penyemprotan MOL * Penyiangan II * Pembersihan pematang 10. Panen Sub Total 11. Biaya Lainnya: * Nilai penyusutan alat * Pengairan (Ulu-ulu) Sub Total Biaya Total * Gabah GKP **Persentase terhadap biaya total
Satuan
Volume
Ha Kg
1,00 5.753,00
Kg Kg Lt
Harga (Rp/Satuan)
Nilai (Rp)
(%)
3.000,00
0,00 17.259.000,00
95,34
6,54 6.928,14
5.837,73 500,00
38.178,78 3.464.070,59
0,21 19,14
285,90
10.000,04
2.859.011,76
15,80
6.361.261,13
35,14
7.220,58
HKP HKP HKP HKP HKP
8,88 48,58 14,10 8,01 24,03
14.941,18 14.999,64 15.003,75 14.998,90 14.998,90
132.677,65 728.682,35 211.552,94 120.141,18 360.423,53
0,73 4,03 1,17 0,66 1,99
HKP HKP HKP HKW HKW
3,66 3,13 4,70 22,98 10,80
14.842,82 14.185,30 10.002,50 10.888,04 12.284,97
54.324,71 44.400,00 47.011,76 250.207,06 132.677,65
0,30 0,25 0,26 1,38 0,73
HKP HKP HKP HKP HKP HKP
27,51 7,66 22,98 26,64 14,28 65,99 313,93
14.791,46 15.002,30 15.002,30 13.352,94 14.814,63 14.968,47
406.912,94 114.917,65 344.752,94 355.722,35 211.552,94 987.769,41 4.503.727,06
2,25 0,63 1,90 1,97 1,17 5,46 24,88
260.494,17 72.086,97 332.581,14 11.197.569,33
1,44 0,40 1,84 100,00
0,00 0,00 0,00 7.534,51
Lampiran 8. Penggunaan Biaya Usahatani Padi Organik Metode SRI di Desa Bobojong pada Luas Lahan Rata-Rata 0,34 Ha pada Musim Tanam (MT) Periode April – Juli Tahun 2007 No A B C 1 2
Uraian
Luas lahan Produksi Sarana Produksi: Benih Kompos Pupuk Organik Cair 3 (MOL) Sub Total D Tenaga Kerja: 4 Pengolahan tanah I * Babad jerami * Membajak * Pembuatan saluran air * Perataan tanah * Memopok 5 Pembibitan * Penyiapan media * Penyemaian benih 6 Menaplak 7 Menanam/Tandur 8 Penyulaman 9 Pemeliharaan * Penyiangan I * Pemupukan/tabur kompos * Penyemprotan MOL * Penyiangan II * Pembersihan pematang 10 Panen Sub Total E Biaya Lainnya: 11 Nilai penyusutan alat 12 Pengairan (Ulu-ulu) Sub Total Biaya Total *Prosentase terhadap biaya total
Satuan
Volume
Ha Kg
0,34 1.944,00
Kg Kg
Harga (Rp/Satuan)
Nilai (Rp)
(%)*
3.000,00
0,00 5.832.000,00
95,35
2,21 2.341,59
5.836,20 499,79
12.898,00 1.170.294,12
0,21 19,14
Lt
96,59
9.999,82 16.335,80
965.882,35 2.149.074,47
15,80 35,15
HKP HKP HKP HKP HKP
3,00 16,41 4,76 2,71 8,12
14.941,18 15.001,61 15.014,83 14.977,21 14.995,65
44.823,53 246.176,47 71.470,59 40.588,24 121.764,71
0,73 4,03 1,17 0,66 1,99
HKP HKP HKP HKW HKW
1,24 1,06 1,59 7,76 3,65
14.800,76 14.150,94 9.988,90 10.892,97 12.280,42
18.352,94 15.000,00 15.882,35 84.529,41 44.823,53
0,30 0,25 0,26 1,38 0,73
HKP
9,29
14.797,70
137.470,59
2,25
HKP HKP HKP
2,59 7,76 9,00
14.680,90 15.009,10 13.352,94
38.023,53 116.470,59 120.176,47
0,62 1,90 1,97
HKP HKP
4,82 22,29
14.827,92 14.971,10 224.684,13
71.470,59 333.705,88 1.520.729,42
1,17 5,46 24,87
Rp Rp
0,00 0,00
88.004,79 24.353,71 2.444.382,03 6.114.185,92
1,44 0,40 1,84 100,00
Lampiran 9. Rincian Penggunaan Biaya dalam Usahatani Padi Konvensional di Desa Bobojong pada Musim Tanam (MT) Periode April – Juli Tahun 2007 (Hektar) No. A. B. C. 1. 2.
Uraian
Luas lahan Produksi Sarana Produksi: Benih Pupuk Anorganik: * Urea * TSP * KCl * SP 36 * Phonska (NPK) 3. Pestisida: * Furadan * Decis * Arivo * Matador Sub Total D. Tenaga Kerja 1. Pengolahan Lahan: * Babad jerami * Membajak * Pemb.saluran air * Perataan tanah * Numpang galeng 2. Pembibitan * Penyiapan media * Penyemaian benih 3. Menaplak 4. Menanam/Tandur 5. Pemeliharaan: * Penyiangan I * Pemupukan I * Pemupukan II * Penyemprotan * Penyiangan II * Babad galeng 6. Panen Sub Total E. Biaya Lainnya 1. Nilai penyusutan alat 2. Pengairan (Ulu-Ulu) Sub Total Biaya Total *Persentase terhadap biaya total
Harga (Rp/Satuan)
Satuan
Volume
Nilai (Rp)
(%)*
Ha Kg
1,00 6.106,00
2.000,00
12.212.000,00
Kg
55,25
5.625,52
310.809,88
2,98
Kg Kg Kg Kg Kg
316,15 234,36 74,80 26,24 38,02
1.541,95 1.854,27 2.806,83 2.000,95 2.158,81
487.486,59 434.566,59 209.950,59 52.504,94 82.077,88
4,68 4,17 2,01 0,50 0,79
Kg ml ml ml
3,36 456,25 120,29 84,12
12.867,65 231,63 425,56 37,01 29.550,16
43.235,29 105.682,62 51.190,59 3.112,94 1.780.617,91
0,41 1,01 0,49 0,03 17,09
HKP HKP HKP HKP HKP
7,91 52,32 10,60 6,22 21,37
15.348,26 15.303,43 15.417,87 15.431,25 15.416,61
121.404,71 800.675,45 163.429,41 95.982,35 329.452,94
1,17 7,68 1,57 0,92 3,16
HKP HKP HKP HKW
3,36 52,32 10,60 21,37
15.286,76 882,56 4.160,38 12.940,24
51.363,53 46.175,29 44.100,00 276.532,94
0,49 0,44 0,42 2,65
HKP HKP HKP HKP HKP HKP HKP
13,96 4,87 3,52 3,20 13,96 11,10 59,39
12.413,11 15.340,98 14.591,92 15.078,31 13.342,24 13.648,33 15.410,52 210.012,76
173.287,06 74.710,59 51.363,57 48.250,59 186.257,65 151.496,47 915.230,65 3.529.713,20
1,66 0,72 0,49 0,46 1,79 1,45 8,78 33,87
229.319,66 105.084,25 5.110.105,32 10.420.436,43
2,20 1,01 3,21 100,00
Lampiran 10. Penggunaan Biaya Usahatani Padi Konvensional pada Luas Lahan Rata-Rata 0,35 Ha di Desa Bobojong pada Musim Tanam (MT) Periode April – Juli Tahun 2007 No. A. B. C. 1. 2.
Uraian
Luas lahan Produksi Sarana Produksi: Benih Pupuk Anorganik: * Urea * TSP * KCl * SP 36 * Phonska (NPK) 3. Pestisida: * Furadan * Decis * Arivo * Matador Sub Total D. Tenaga Kerja 1. Pengolahan Lahan: * Babad jerami * Membajak * Pemb.saluran air * Perataan tanah * Numpang galeng 2. Pembibitan * Penyiapan media * Penyemaian benih 3. Menaplak 4. Menanam/Tandur 5. Pemeliharaan: * Penyiangan I * Pemupukan I * Pemupukan II * Penyemprotan * Penyiangan II * Babad galeng 6. Panen Sub Total E. Biaya Lainnya Nilai penyusutan 1. alat 2. Pengairan (Ulu-Ulu) Sub Total Biaya Total *Persentase terhadap biaya total
Harga (Rp/Satuan)
Satuan
Volume
Nilai (Rp)
(%)*
Ha Kg
0,35 2.135,00
2.000,00
4.270.000,00
Kg
19,32
5.471,93
105.717,65
2,98
Kg Kg Kg Kg Kg
110,54 82,12 26,15 9,18 13,29
1.500,02 1.799,95 2.730,85 1.945,41 2.100,65
165.811,76 147.811,76 71.411,76 17.858,82 27.917,65
4,68 4,17 2,01 0,50 0,79
Kg ml ml ml
1,18 159,53 42,06 29,41 492,78
12.462,61 225,33 413,97 36,00
14.705,88 35.946,47 17.411,76 1.058,82 605.652,33
0,41 1,01 0,49 0,03 17,09
HKP HKP HKP HKP HKP
2,76 18,79 3,71 2,18 7,47
14.961,64 14.493,80 14.983,35 14.975,72 15.001,18
41.294,12 272.338,59 55.588,24 32.647,06 112.058,82
1,17 7,68 1,57 0,92 3,16
HKP HKP HKP HKW
1,18 1,06 1,00 7,82
14.805,58 14.816,87 15.000,00 12.027,98
17.470,59 15.705,88 15.000,00 94.058,82
0,49 0,44 0,42 2,65
HKP HKP HKP HKP HKP HKP HKP
4,88 1,35 0,88 1,12 4,88 3,88 20,76 83,72
12.078,11 18.823,48 19.852,94 14.653,36 12.982,16 13.280,78 14.995,32
58.941,18 25.411,70 17.470,59 16.411,76 63.352,94 51.529,41 311.302,94 1.200.582,64
1,66 0,72 0,49 0,46 1,79 1,45 8,78 33,87
77.999,88 35.742,94 1.738.131,06 3.544.366,03
2,20 1,01 3,21 100,00
Lampiran 11. Hasil Output Minitab untuk Nilai Uji t Paired T-Test and CI: SRI; Konven (Pendapatan Atas Biaya Tunai) Paired T for SRI - Konven
SRI Konven Difference
N 17 17 17
Mean 9156419 8169492 986927
StDev 2827831 2328518 2479679
SE Mean 685850 564749 601410
95% CI for mean difference: (-288006; 2261860) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 1,64 0,120
P-Value =
Paired T-Test and CI: SRI ; Konven (Pendapatan Atas Biaya Total) Paired T for SRI_1 - Konven_1
SRI_1 Konven_1 Difference
N 17 17 17
Mean 6487971 7124468 -636497
StDev 2815562 2283173 2659072
SE Mean 682874 553751 644920
95% CI for mean difference: (-2003665; 730671) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 0,99 0,338
P-Value =
Lampiran 12. Proses Budidaya Padi
Proses perataan tanah (Ngagaru)
Proses penanaman (Tandur)
Proses panen dan pasca panen
Lampiran 13. Kuesioner Responden Padi Organik Metode SRI
KUESIONER ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK METODE SYSTEM OF RICE INTESIFICATION (SRI) PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS Oleh: Inggit Rachmiyanti / A 14105560
*) coret yang tidak perlu A. Karakteristik Petani Responden 1. Nama
:
…………………………………………………………………. 2. Jenis kelamin
: L / P*
3. Umur
:…………tahun
4. Pendidikan terakhir a) SD
:
b) SLTP
c) SMU
e) lainnya :…
d) perguruan tinggi :.....
5. Luas lahan yang diusahakan untuk padi SRI : ………….ha dari total :………………ha 6. Status pengusahaan lahan : pemilik/…………………….* 7. Varietas yang digunakan (untuk padi konvensional) :................................... 8. Musim tanam : 9. Sumber modal usahatani : sendiri / pinjam ke petani lain / lainnya……..................* 10. penjualan hasil panen? ( tengkulak lokal/lainnya……………………………)* 11. Permasalahan yang sering dihadapi dalam usahatani padi organik SRI : ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................ 12. Sifat usahatani : utama / sampingan* 13. Pekerjaan diluar usahatani :……. 14. Pendapatan rata-rata diluar usahatani : ……………(Rp/bulan)
15. pengeluaran rata-rata diluar usahatani :......................(Rp/bulan) 16. Jumlah tanggungan keluarga (termasuk responden) :…………. 17. Pengalaman bertani padi organik SRI :………..tahun 18. Darimana responden memperoleh informasi padi organik SRI? 19. Apakah responden melaksanakan semua tahapan usahatani padi organik SRI? Ya/tidak*Alasannya ……………………. ............................................................................................................................ ............................................................................................................................ B. Pertanyaan tentang manfaat usahatani padi organik SRI 20. Bagaimana pendapatan responden setelah melaksanakan pertanian organik SRI? (meningkat/tetap/menurun)* 21. Bagaimana penggunaan biaya usahatani setelah responden melakukan usahatani padi organik SRI? (meningkat/tidak meningkat/…………….)* Alasannya............ 22. Bagaimana penyerapan tenaga kerja dalam usahatani padi organik SRI? (meningkat/tidak meningkat)*tanggapan responden……….. 23. Manfaat apa yang dirasakan responden setelah melakukan usahatani padi organik SRI terhadap lingkungan tempat tinggal maupun sawah? - ..................................................................................................................... - ..................................................................................................................... - ..................................................................................................................... 24. Apakah daerah tempat tinggal responden mendukung ketersedian kotoran hewan dan bahan organik lain untuk keberlanjutan usahatani padi organik SRI? (sangat mendukung/kurang mendukung)* Alasan………………….. 25. Manfaat usahatani padi SRI lainnya : - ..................................................................................................................... - ..................................................................................................................... - ..................................................................................................................... 26. Permasalahan yang sering dihadapi dalam usahatani padi konvensional (budidaya, teknologi, modal, hama, lainnya................) Uraian singkat: ....................................................................................................................... .......................................................................................................................
A. Penggunaan input usahatani padi organik SRI No.
Uraian
Pupuk organik padat : Pupuk kandang Kompos Pupuk organik cair 2. (MOL) 3. Benih *coret yang tidak perlu
Satuan
Jumlah fisik
Harga per satuan
Nilai total (Rp) Keterangan
1.
Kg Kg Liter/ml* Kg
B. Penggunaan tenaga kerja padi organik SRI No 1.
2.
3. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12.
Periode Pengolahan tanah : · Babad Jerami · Membajak · Pembuatan saluran air · Perataan tanah · Memopok/Numpang Galeng Pembibitan : · Penyiapan media · Penyemaian benih Menaplak Menanam/tandur Penyulaman Pemeliharaan : · Penyiangan I · Pemupukan - Tabur kompos · penyemprotan MOL · penyiangan II · pembersihan pematang/galangan: Panen Mengangkut hasil panen
Kebutuhan Tenaga Kerja TKDK1 TKLK2 L P M L P M
Berapa Upah Hari ? (Rp/HOK)
Keterangan : 1TKDK (tenaga kerja dalam keluarga) ; 2TKLK (tenaga kerja luar keluarga) L = laki-laki; P = perempuan; M = mesin · Laki-laki = Rp/hari................................(............jam/hari) · Perempuan = Rp/hari................................(............jam/hari) · Mesin = Rp/hari................................(............jam/hari) C. Peralatan yang digunakan dalam usahatani padi organik SRI
No.
Jenis alat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Cangkul Golok/bedog Handsprayer Garokan Caplakan Karung Terpal Garukan/perata tanah Garpu
Jumlah (buah)
Harga beli (Rp)
Berapa lama sudah dipakai? (Thn)
Bisa dipakai berapa lama? (Thn)
D. Pengeluaran usahatani lainnya padi organik SRI No. 1 2 3
Jenis pengeluaran
Jumlah (Rp)
Pajak Sewa lahan/……………………… Ulu-ulu/Irigasi Total E. Penerimaan hasil produksi padi organik SRI
No. 1. 2. 3.
Produksi Gabah Kering Panen (GKP) Gabah Kering Giling (GKG) Beras Nilai Total Produksi
Total produksi (kg)
Harga (Rp/Kg)
Lampiran 14. Kuesioner Responden Padi Konvensional
KUESIONER ANALISIS USAHATANI PADI KONVENSIONAL PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS Oleh: Inggit Rachmiyanti / A 14105560
*) coret yang tidak perlu B. Karakteristik Petani Responden 22. Nama
:
23. Jenis kelamin
: L / P*
24. Umur
:
25. Pendidikan terakhir a) SD
:
b) SLTP
c) SMU
e) lainnya :…
d) perguruan tinggi :.....
26. Pengalaman bertani padi konvensional :………..tahun 27. Luas lahan yang diusahakan : ………….ha dari total:……………ha 28. Status pengusahaan lahan : pemilik/…………………….* 29. Sifat usahatani : utama / sampingan* 30. Pekerjaan diluar usahatani :……. 31. Pendapatan rata-rata diluar usahatani : ……………(Rp/bulan) 32. pengeluaran rata-rata diluar usahatani :......................(Rp/bulan) 33. Jumlah tanggungan keluarga (termasuk responden) :…………. 34. Varietas yang digunakan :…………………….(hibrida/persarian terbuka)* 35. Luas lahan untuk semai :...................m2 36. Musim tanam :………. 37. Sumber modal usahatani : sendiri / pinjam ke petani lain / lainnya……* 38. Kemana hasil panen dijual ? ( tengkulak lokal/lainnya……………………………)* 39. Permasalahan yang sering dihadapi dalam usahatani padi konvensional (budidaya, teknologi, modal, hama, lainnya.............................)
Uraian singkat : ....................................................................................................................... .......................................................................................................................
B. Penggunaan Input Usahatani Padi Konvensional No. 1
2
3 4 5
Uraian Pupuk kimia Pupuk padat · Urea · TSP · KCl · … · … · … Pupuk cair · PPC · … · … · … Pestisida kimia Pestisida padat · Furadan · ... · ... · ... Pestisida cair · ... · ... · ... · ... · ... Benih .................. ..................
Satuan
Kg Kg Kg Kg Kg Kg Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc*
Kg / .......* Kg / .......* Kg / .......* Kg / .......* Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc* Liter / cc* Kg
Jumlah fisik
Harga per satuan
Nilai total (Rp)
Keterangan
C. Penggunaan Tenaga Kerja No
1
2
3
4 5 6
7 8
Periode
Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) TKDK TKLK L P T M L P T M
Pengolahan tanah I · Membajak · Memopok · ……………. Pembibitan · Penyiapan media · Penyemaian benih Pengolahan tanah II · membajak · mojokan · meratakan Menaplak Menanam/tandur Pemeliharaan · penyiangan I · ngagarok · pemupukan I · penyemprotan (………………) · penyiangan II · ngagarok · pembersihan pematang : ü nyopak ü ngabutik Panen Mengangkut hasil panen
Keterangan : TKDK (tenaga kerja dalam keluarga) ; TKLK (tenaga kerja luar keluarga) L = laki-laki; P = perempuan; T = ternak; M = mesin · Laki-laki = Rp/hari................................(............jam/hari) ·
Perempuan = Rp/hari................................(............jam/hari)
·
Ternak
= Rp/hari................................(............jam/hari)
·
Mesin
= Rp/hari................................(............jam/hari)
Upah (Rp.)
Catatan : ......................................................................................................................... ....................................................................................................................................... ....................................................................................................................................... .......................................................................................................................................
D. Peralatan yang digunakan dalam Usahatani Padi Konvensional No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jumlah (buah)
Jenis alat
Harga beli (Rp)
Masa pakai (th)
Estimasi umur ekonomis (th)
Cangkul Kored Parang Handsprayer Garokan Capalakan Karung Terpal Garukan/perata tanah
E. Pengeluaran Usahatani Lainnya No. Jenis pengeluaran 1 Pajak 2 Sewa lahan 3 Ulu-ulu 4 5 Total
Jumlah (Rp)
Keterangan
F. Penerimaan Hasil Produksi No. 1 2 3
Produksi
Total produksi (kg)
Gabah Kering Panen (GKP) Gabah Kering Giling (GKG) Beras Nilai Total Produksi (NTP)
Harga (Rp/Kg)
a) Total biaya dikeluarkan
= Rp………………..
b) Total biaya diperhitungkan = Rp……………….. c) Pendapatan dari biaya yang dikeluarkan § Pendapatan bersih = Rp……………….. § R/C ratio secara usahatani =................................ d) Pendapatan bersih dari biaya yang dikeluarkan ditambah dengan biaya yang diperhitungkan § Pendapatan bersih secara usahatani (NTP – (Total Biaya dikeluarkan + Total Biaya diperhitungkan)) = Rp...... § R/C ratio secara usahatani (NTP/Total Biaya) = .....................