BAB V PROSES PRODUKSI “There is no such thing as ‘away’, when we throw anything away it must be go somewhere” (Annie Leonard) Kegagalan uji coba Komunitas Sapu menggunakan kembali sampah plastik kemasan untuk dibuat barang kebutuhan seharihari seperti tas dan lainnya menerbitkan pemikiran baru, bahwa ada limbah lain yang lebih kuat dan tahan lama dibanding dengan bahan plastik yang bisa dilakukan upcycle.
Mulai Menggunakan Bahan Ban Dalam Sampah lain yang tingkat keparahannya lebih tinggi dalam merusak lingkungan selain plastik adalah ban. Ban berasal dari karet alam dan bahan sintetis yang tidak bisa terurai sama sekali oleh
mikroorganisme
tanah.
Jika
dibiarkan
saja
menggeletak
teronggok di atas tanah, tentu akan mengganggu keindahan. Jika musim hujan tiba, akan menjadi genangan air yang berpotensi besar menjadi sarang nyamuk, bisa-bisa nyamuk aedes aygepti penyebab demam berdarah maupun chikungunya berkembang biak di tempat itu. Begitu pula jika dibakar seperti yang dilakukan oleh tukang tambal ban. Pembakaran tersebut juga tidak kalah membahayakan lingkungan karena akan menghasilkan sampah lain karena sejatinya ban tidak dirancang untuk dibakar. Ban mengandung zat berbahaya seperti minyak extender 25 persen berasal dari benzena, stirena, turunan benzena, dan butadiena. Baik benzena dan butadiena, disinyalir merupakan racun yang membahayakan tubuh manusia. Ban jika dibakar, akan menghasilkan asap yang mengandung partikel-partikel halus yaitu zinc oxide. Menghirup partikel halus yang mengandung zinc bias menyebabkan peradangan di paru-paru.
Pembakaran ban juga akan meningkatkan kadar emisi dioksin dan merkuri di udara. Dioksin sendiri salah satu penyebab timbulnya penyakit kanker. Tidak ada tingkat yang aman dari asupan dioksin oleh manusia. Ban-baik ban dalam maupun ban luar-terbagi dalam dua jenis material penyusun. Pertama adalah karet alam (lateks) yang disebut ban natural, dan yang kedua sintetis. Ban natural tersebut terbuat dari karet dan belerang yang divulkanisasi sehingga menjadi bahan yang siap pakai.
Bahan utama karet natural adalah getah karet
yang disadap dan kemudian diolah sedemikan rupa sehingga menjadi ban. Jenis karet atau ban yang kedua adalah karet sintetis. Karet jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu styrena butadiene rubber dan isoprene rubber. Secara umum, kelebihan karet atau ban adalah materi yang menyusunnya sangat kuat, lentur, alot, relative tahan panas, plastis, dan kedap air sehingga bisa menjalankan fungsi yang sangat berat, yaitu mengangkat beban. Keunggulan ban natural dibanding ban sintetis adalah ban natural lebih alot, sedangkan ban sintetis lebih mudah patah dan pecah (getas). Akan tetapi, kekurangan material ban dibanding bahan kulit (leather) adalah ketiadaan serat. Untuk menutupi kekurangan ini, dalam proses pembuatan ban luar, bahan karet diberi penambah kawat, benang, serta fiberglass sehingga diperoleh bahan yang lentur, kuat, kenyal, serta tidak mudah patah. Materi karet atau ban juga mengalami aus dan rusak jika dipakai dalam waktu yang lama. Ketika ban tersebut sudah aus dan rusak, ban tersebut sudah tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik dan harus diganti dengan yang baru. Ban yang rusak tersebut sudah menjadi limbah, namun bisa digunakan kembali dengan cara recycle menjadi ban baru yang bisa dipakai, namun dengan kualitas, kekuatan, dan kelenturan yang jauh di bawah ban yang benar-benar
baru. Proses recycle yang panjang dan rumit menghasilkan leimbah berupa emisi karbon.
Supplier Bahan Baku Tahun 2010, Komunitas pertama kali menggunakan ban dalam bekas dengan penyuplai bengkel di Tanjung Priok Surabaya. Ban tersebut diperoleh secara gratis, dan hanya mengalokasikan biaya angkut dari Surabaya ke Salatiga. Informasi ketersediaan ban dalam bekas tersebut diperoleh dari teman yang ada di Surabaya. Namun dengan alas an biaya tinggi, Komunitas Sapu mencari supplier lain yang lebih dekat. Kurang lebih 70 km arah utara Kota Salatiga, terdapat pelabuhan yang dianggap sebagai pelabuhan laut terbesar ketiga di Indonesia setelah Tanjung Priok di Jakarta dan Tanjung Perak di Surabaya, pelabuhan tersebut adalah Tanjung Emas. Pelabuhan itu melayani penyeberangan, pengiriman barang atau ekspedisi, serta bongkat muat barang. Gambar V.1 Aktivitas Kontainer
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Adanya
aktivitas
bongkat
muat
barang
mengakibatkan
tingginya lalu lintas truk kontainer yang membawa peti kemas. Barang-barang tersebut datang dari kapal laut, yang berasal dari
pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia dikemas dalam bentuk peti kotak kontainer yang berasal dari logam. Kontainer tersebut diangkat menggunakan crane dan kemudian ditaruh di atas truk trailer, selanjutnya akan didistribusikan ke daerah di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Sampai saat ini tercatat 4000 truk kontainer yang melayani distribusi barang dari Tanjung Emas. Demi
kelancaran
distribusi, di tanjung emas juga tersedia bengkel yang melayani perbaikan (servis) dan penggantian suku cadang truk kontainer, sehingga jika ada truk container yang mengalami permasalahan, baik mesin maupun bagian dan onderdil lain akan dipecahkan di tempat dengan waktu yang cepat.
Gambar V.2 Aktivitas Bengkel
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Salah satu komponen truk yang memiliki beban tinggi adalah ban sehingga mudah rusak dan harus mendapat penggantian rutin, baik ban bagian luar (tire) maupun ban bagian dalam (inner tube). Maka tak heran jika di bengkel Tanjung Emas, banyak tertumpuk ban bekas yang sudah tidak terpakai, baik ban bagian luar maupun ban bagian dalam. Ban bagian dalam bekas dimasukkan secara tertata ke dalam kotak besi berwarna merah dengan tulisan “Ban Dalam Marset Rusak.”
Ban akan mengalami kerusakan yang disebabkan oleh bebrapa hal. Pertama
mendapat tekanan tinggi dan konstan sehingga
mengalami pecah ban, atau yang kedua mengenai benda tajam dan runcing
yang mengakibatkan lubang kebocoran. Jika mengalami
kebocoran, dan tersebut masih bisa ditambal. Namun,biasanya jumlah toleransi ban yang masih bisa dipakai kurang lebih dengan jumlah tambalan 2-3 tambalan. Jika lebih, ban kontainter tersebut berpotensi mengalami kebocoran setelah pemakaian dalam jangka waktu yang pendek. Namun dalam banyak kasus, ban sudah tidak bisa digunakan lagi walaupun baru sekali ditambal dengan alasan lubang yang ada sudah terlalu besar diakibatkan pecah ban. Hal lain yang perlu dicatat adalah ban adalah materi yang tidak tahan api dan mudah terbakar.
Gambar V.3 Ban Siap Dipakai
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar V.4 Ban Rusak
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Tahun 2012, berbekal informasi dari salah satu aktivis pencinta lingkungan di Semarang, Komunitas Sapu
mencoba
menggunakan ban bekas bagian dalam tersebut. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan menemui kepala bengkel, dengan hasil yang tidak sia-sia, ban bekas tersebut boleh diambil, tanpa membayar, hanya menyediakan biaya transport untuk mengangkut dari pelabuhan ke Salatiga. Sejak itulah ban bekas dipakai sebagai bahan baku utama. Ban bekas yang dipakai adalah ban bekas bagian dalam (inner tube) bekas ban truk kontainer ukuran R-20 (ring 20) dengan harga persatu ban 25 ribu rupiah, termasuk biaya kirim dari pengelola bengkel Tanjung Emas. seratus
ban.
Selama
Dalam sebulan Sindu bisa menghabiskan ini,
suplai
dari
Tanjung
Emas
sudah
mencukupi, karena memang tidak banyak kalangan yang tertarik.
Dari Ban Bekas Menjadi Hasil Kerajinan Proses produksi dilakukan sendiri, mulai dari pencarian bahan baku, produksi, sampai pemasaran. Berbekal modal 10 juta rupiah, Sindhu membeli peralatan pengolahan ban menjadi tas dan dompet
berupa pisau ukir wayang, gunting, dan sebuah mesin jahit bekas pabrik garmen, saat itu harganya 1 juta rupiah. Pada awalnya, semua jenis ban dalam dipakai, baik natural maupun ban sintetis. Namun, setelah beberapa bulan didapati kenyataan bahwa ban sintetis lebih mudah patah dan pecah. Dan mulai saat itu, bahan yang dipakai adalah ban dengan jenis natural. Produk yang pertama dibuat sebagai uji coba adalah tas selempang dan dompet dengan alasan pertama adalah bahan baku yang dibutuhkan relatif sedikit, dan alasan kedua adalah mudah membuat. Dibantu beberapa teman, dimulailah proses produksi itu. Namun, didapati kenyataan bahwa memotong dan menjahit ban bekas bukanlah hal yang mudah. Pekerja yang ada di Komunitas Sapu sebanyak 14 orang dengan tugas dan fungsi yang berbedabeda. Perlahan namun pasti, mulai ditemukan teknik memotong dan menjahit ban. Teknik yang ditemukan dalam memotong ban adalah dengan cara membuat pola pada computer, kemudian dicetak dan ditempelkan pada kertas karton untuk pola. Pola tersebut ditempel pada material ban bekas siap pakai, kemudian dipotong dengan cutter dan tatah wayang. Sekali pengiriman, satu truk ban bekas didatangkan ke bengkel Komunitas Sapu dengan jumlah kurang lebih 1000 buah. Kondisi ban bekas saat dikirim, masih sangat kotor dan beraneka ragam sehingga perlu dipilah dan dibersihkan. Tahap pertama setelah ban bekas datang adalah memotong di bagian tengah dalam menggunakan gunting sehingga menghasilkan lembaran-lembaran ban yang masih kotor dengan tingkat kerusakan dan
motif yang tidak sama. Untuk menghilangkan kotoran, ban
tersebut dicuci dengan cara dicelup ke dalam air deterjan dan disikat.
Tahap
selanjutnya
adalah
pengeringan
dengan
cara
membiarkan ban yang sudah relatif bersih tadi di tempat khusus pengeringan yang tidak langsung terkena cahaya matahari. Jika
pengeringan dilakukan dengan cara menjemur di bawah cahaya matahari langsung, kandungan minyak pada ban tersebut akan menguap dan hilang sehingga ban tersebut mudah patah ketika ditekuk. Setelah ban kering, proses selanjutnya adalah pemilahan berdasarkan motif, kerusakan, dan ketebalan sehingga didapatkan bahan dasar dengan motif dan ketebalan yang sama. Setelah didapat bahan dasar yang seragam, ban dipotong berdasarkan ukuran pola. Langkah selanjutnya adalah membersihkan kotoran yang masih menempel menggunakan cairan terpentin. Caranya, secarik kain dicelupkan ke dalam cairan terpentin, dan kemudian digosok pada kedua sisi ban yang sudah terpotong. Untuk membuat pola, alat yang digunakan adalah kpmputer, printer, dan pisau cutter. Pola yang sudah dirancang, dicetak dan ditempel
di
atas
kertas
karton
tebal
kemudian
dipotong
menggunakan pisau cutter sehingga menghasilkan pola dari kertas karton.
Untuk menghasilkan motif diatas ban, pola dari kertas
karton tadi dilekatkan pada permukaan ban kemudian digambar menggunakan ballpoint dan terakhir digunting atau dipotong. Jenis barang
yang
menggunakan
motif
karton
ini
adalah
gelang,
gantungan kunci, dan hiasan rumah. Selain menggunakan karton, penggambaran pola juga bisa menggunakan alat press. Alat ini dipakai untuk membuat pola dan garis
pada
tas
dan
dompet.
Ban
yang
sudah
dipres
akan
meninggalkan pola dan garis. Ban yang sudah tergambar sesuai motif kemudian dipotong menurut alur sesuai garis yang nampak menggunakan alat ukir wayang dan palu kecil. Tahap ini bisa dikatakan tahap yang sangat sulit karena jika terjadi sedikit goresan yang salah, bahan dasar tersebut tidak bisa dipakai sama sekali. Goresan
yang tidak rata itu membuat ban
nratas, tidak kuat, dan nantinya rentan terjadinya sobekan, baik pada saat penjahitan maupun setelah dijahit . Untuk mengatasi
risiko itu, kehati-hatian dan ketelitian menjadi kunci utama. Pada awalnya, banyak bahan dasar yang terbuang sia-sia atau diubah modenya pada tahap ini karena kesalahan tadi. Proses akhir adalah adalah penjahitan. Namun sebelum dijahit, kedua sisi ban diberi lem agar kedua ban bisa menyatu dengan erat, baru dijahit. Proses penjahitan merupakan proses tersulit pada tahap produksi. Hal ini disebabkan karena kenyalnya ban bisa mengakibatkan jarum patah atau benang putus. Selian itu, pada proses ini juga dituntut kerapian yang tinggi. Jadi, pekerja harus ekstra hati-hati pada tahap ini.
Gambar V.5 Proses Produksi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Dalam tahap produksi, Komunitas Sapu bisa menghasilkan kurang lebih 100 macam, dan dalam sebulan bisa menghasilkan 3000 jenis kerajinan. Dari seratus ban dalam bekas, dapat menghasilkan seribu item yang terbagi dalam dua puluh lima jenis produk. Dalam sebulan omset yang dihasilkan mencapai sekitar empat puluh juta rupiah dengan biaya produksi sebesar enam belas
juta rupiah, untuk membeli bahan baku dan memberi gaji sepuluh karyawannya. Barang yang dihasilkan dari ban bekas tersebut berupa dari barang kecil seperti gantungan kunci, gelang, hiasan rumah, dompet, sandal, sampai barang yang besar seperti tas selempang, tas punggung, maupun tas jinjing dengan berbagai corak dan mode.
Gambar V.6 Hasil Produksi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Penentuan harga jual produk mempertimbangkan banyak hal. Pertimbangan pertama adalah bahan baku, meliputi harga ban bekas, pengangkutan, harga kain dalam dan zipper, benang, serta paku. Untuk menjamin kualitas, bahan-bahan tadi harus memiliki kualitas yang tinggi, misalnya kain dan zipper, merupakan barang dari China dengan kualitas bagus. Pertimbangan kedua adalah tenaga
kerja
penjahitan
yang
dan
meliputi
distribusi.
pencucian, Pertimangan
desain,
pengepresan,
selanjutnya
adalah
kerumitan, yang mana barang dengan kerumitan tinggi dihargai semakin
mahal,
Pertimbangan
dan
barang
selanjutnya
yang
adalah
mudah
biaya
dihargai distribusi
murah. meliputi
pengemasan, perizinan, dan sedikit biaya pengiriman. Adapun biaya kirim ke luar negeri ditanggung sepenuhnya oleh perantara atau reseller . Pertimbangan lain adalah biaya promosi, dalam hal ini adalah biaya
mengikuti
pameran,
yang
meliputi
biaya
transportasi,
akomodasi, sewa stan, dan konsumsi. Melalui pertimbangan-pertimbangan itulah tercipta kewajaran harga. Harga termurah dimulai 30 ribu rupiah berupa gantungan kunci, dan termahal sampai 700 ribu rupiah berupa tas punggung.
Tak Hanya Ban Bekas Sesuai dengan tujuan utama pendirian komunitas, yaitu memanfaatkan barang limbah yang tidak bernilai dan dianggap sampah menjadi barang yang bisa bernilai ekonomi dan berfungsi tanpa menghasilkan limbah lain yang lebih besar, Komunitas Sapu tidak hanya menggunakan ban dalam bekas untuk dijadikan kerajinan. Komunitas Sapu mulai menggunakan drum bekas, logam bekas, tenda militer bekas, tong oli, korek bekas, kayu pallet bekas, botol dan kaca bekas. Bahan-bahan bekas tadi diperoleh secara kebetulan. Artinya Komunitas Sapu tidak memburu bahan tadi. Misalnya tenda bekas untuk militer, didapat dari Markas Kodam IV Diponegoro, Semarang, berdasarkan
informasi
yang
diperoleh
dari
sesame
pencinta
lingkungan yang ada di Semarang. Begitu pula dengan pallet bekas, didapat dari PLN yang asalnya untuk pembungkus travo, didapat berdasarkan informasi dari sesama aktivis pencinta lingkungan. Sedangkan tong bekas, botol bekas, diperolah secara insidentil dan didapat secara kebetulan. Bahan bekas tadi diolah sedemikian rupa sehingga bisa berfungsi dan bernilai. Produk yang dihasilkan antara lain kap lampu, sabuk, sandal, tempat power bank, miniature kendaraan.
Gambar V.7 Hasil Kerajinan dari Bahan Lain
Sumber: www.sapustore.com
Limbah Produksi Proses pembuatan kerajinan dari bahan baku menjadi barang siap
pakai
menghasilkan
sisa
produksi
berupa
limbah
yang
berwujud potongan ban-ban kecil, potongan, kain untuk tas bagian dalam,
serta
potongan
benang.
Jika
dilakukan
persentase,
perbandingan jumlah barang limbah dengan barang baru adalah 95 persen limbah, 5 persen barang baru. Barang baru tersebut berupa benang pada proses pembuatan dompet, zipper dan kain pada pembuatan tas, kancing pada gelang dan sepatu. Dengan
demikian,
limbah
yang
dihasilkan
pada
proses
pembuatan kerajinan ini sangat minim atau tepatnya dibuat seminimal mungkin. Karena berdasarkan tujuan usaha, konsep yang diusung adalah memanfaatkan barang bekas. Maka, Komunitas Sapu meminimalisasi adanya bahan yang tidak terpakai dan tidak menambah sampah ke alam. Maka pada praktinya, sisa membuat tas dipakai untuk membuat dompet, dan sisanya lagi untuk membuat gantungan kunci maupun aksesoris lainnya. Barang sisa yang memang tidak bisa dipakai sama sekali, misalnya dop ban yang dibuat dari kuningan, dikumpulkan dan dijual. Sedangkan sisa-sisa potongan ban maupun kain yang kecil, dikumpulkan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir. Barang
sisa lain adalah peralatan yang sudah mengalami kerusakan, dan itu dikumpulkan untuk dijual kembali sebagai barang rongsokan. Berbeda
dengan
recylcle,
proses
upcylcle
hamper
tidak
menghasilkan limbah sama sekali. Proses recycle menggunakan teknologi tinggi dan membutuhkan energi yang tinggi sehingga menghasilkan emisi karbon yang merusak lingkungan. Prose situ menelan waktu yang lama dan pada ujungnya akan menghasilkan produk yang benar-benar baru dengan jenis barang yang sama, namun kualitasnya sedikit berbeda. Sedangkan proses upcycle yang dilakukan di Komunitas Sapu, menggunakan energi yang sedikit, hanya sebatas mesin jahit dan lampu penerangan, dan diproses handmade dengan waktu yang pendek. Barang yang dihasilkan adalah bisa bermacam-macam, dan bisa benar-benar berbeda dengan bahan asalnya.