BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Penelitian ini mencoba untuk mengurai dinamika persentuhan identitas sosial pada pelaku perkawinan beda agama. Pelbagai temuan dan refleksi atas temuan penulis coba rangkum menjadi beberapa sekuel kesimpulan guna mengunci pokokpokok pikiran dalam tesis ini. Tesis ini menegaskan bahwa perkawinan merupakan ruang konsolidasi dan integrasi antar individu yang juga merepresentasikan identitas sosial masing-masing. Identitas sosial, sebagai atribut bawaan pasangan, menentukan keberlangsungkan dan intergrasi antar individu dalam perkawinan itu sendiri. Perkawinan tidak semata dapat menjadi ruang integrasi dengan mengandalkan rasa cinta semata, melainkan konsolidasi antar elementer psikologis pada masing-masing individu, termasuk identitas sosial. Keberhasilan untuk melakukan persilangan kategori sebagai bentuk konsolidasi antar identitas sosial menentukan keberhasilan perkawinan itu sendiri. Rekategorisasi, dekategorisasi dan perbedaan mutual menjadi bentuk-bentuk ideal untuk merekonstruksi kembali pandangan atas identitas sosial pasangan untuk kepentingan integrasi dan konsolidasi dalam keluarga. Keberhasilan konsolidasi identitas yang mewujud pada interaksi dalam keluarga menentukan keberhasilan perkawinan, terutama pada perkawinan beda agama.
240
241
1. Keberhasilan konsolidasi perkawinan beda agama terletak pada tingkatan intrapersonal, interpersonal dan antar-kelompok. Ketiganya menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses dan upaya intergerasi antar individu ini. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam perkawinan beda agama bukan semata produk dari aspek interpersonal, melainkan serangkain aspek lain dalam kategori intrapersonal dan antar kelompok. Skema intrapersonal membentuk pemaknaan yang kemudian menentukan relasi interpersonal. Rekonstruksi dan refleksi atas makna dan implikasi dari kategorisasi sosial yang terjadi sebagai elementer bawaan perlu dilakukan oleh individu. Hal ini kemudian menentukan relasi interpersonal dalam keluarga. Di lain sisi, pemaknaan dan refleksi pada tataran interpersonal menentukan interdependensi antar pasangan dan sekaligus penentunan relasi terhadap keluarga inti.
2. Interdependensi terhadap keluarga inti (nuclear family) menjadi faktor penentu keberhasilan intergerasi antar pasangan dalam keluarga perkawinan beda agama. Model interdependensi penuh atas keluarga inti menghambat proses konsolidasi dalam keluarga yang baru terbentuk. Hal ini menjadi penghambat konsolidasi apabila interdependensi atas keluarga inti lebih bertujuan untuk menempatkan keluarga baru sebagai sub-keluarga dari keluarga inti dengan segala ketundukan atas bentuk-bentuk atribut yang disediakan oleh keluarga inti tersebut. Kecenderungan kuat keluarga inti untuk menempatkan keluarga baru sebagai
sub-group
dan
kegagalan
keluarga
baru
untuk
menjaga
interdependensi atas keluarga inti dapat menjadi faktor yang menggagalkan intergenerasi keluarga baru pasangan beda perkawinan agama.
242
Selain itu, terdapat beberapa pokok bahasan diskusi dalam tesis ini yang digunakan untuk membantu perangkaian makna supaya dapat dibaca lebih utuh. Rincian pokok pikiran terangkum sebagai berikut:
1. Agama Sebagai Identitas Sosial dan Perkawinan Campur Beda Agama Agama sebagai identitas sosial menunjukkan bentuknya yang ditandai dengan dua hal, yaitu adanya struktur kognitif yang membedakan satu agama dengan agama yang lain; dan adanya kategorisasi dan pembedaan yang memisahkan antara pemeluk satu agama dengan pemeluk agama lainnya. Pada konteks perkawinan, identitas sosial agama yang berbeda masih tampak sebagai pembeda individu dengan individu lainnya terkait dengan keanggotaan sebagai pemeluk suatu agama. Tesis ini menunjukkan bahwa agama menjadi salah satu identitas sosial yang berpengaruh pada tataran individu dalam hubungannya dengan orang lain, termasuk pasangan pada ruang perkawinan. Sebagai identitas sosial, agama bisa menjadi salah penentu dalam pembangunan keluarga yang terdiri dari anasir kepercayaan berbeda ini. Namun, tesis ini justeru tidak menemukan bahwa agama menjadi faktor yang dominan sebagai penyebab perpecahan perkawinan. Favoritisme memang adalah salah satu hasil yang kerap ditemukan dari pembentukan kelompok sosial berbasis agama. Masyarakat “timur” identik dengan kekentalan cara pandang yang menganggap penting agama dalam ruang sosial. Agama bukan semata kepercayaan, tetapi narasi sosial (Shepherd 2007). Kajian yang dilakukan oleh Severson (2011) menunujukkan bahwa keberagamaan tidak
243
semata persoalan teologis yang diintisarikan dari kitab suci, tetapi juga merupakan bagian dari tradisi yang diwariskan dalam keluarga secara turun temurun. Agama bukan semata kepercayaan, tetapi juga simbol –bahkan, identitas pada pemeluknya. Hal ini dapat berimplikasi pada perkawinan campur beda agama dan harus disikapi dan dipersiapkan secara lebih dini oleh pelaku perkawinan beda agama. Dalam pandangan teori struktural fungsional keluarga, perkawinan beda agama
menjadi
sorotan
penting
mengingat
perkawinan
jenis
ini
dinilai
membahayakan struktur keberlangsungan keluarga itu sendiri. Klein dan White (1996) memandang bahwa keluarga idealnya mengarah pada situasi homeostatis atau situasi dengan stabilitas yang mencukupi pada lingkup keluarga untuk menciptakan stabilitas sosial pada lingkup yang lebih tinggi. Secara teoritis, dalam pandangan teori ini, kegagalan salah satu keluarga subjek menunjukkan tidak idealnya
situasi
perkawinan
campur
beda
agama
yang
membahayakan
keberfungsian keluarga. Namun, di lain sisi, pelbagai konflik yang terjadi pada beberapa keluarga lainnya menunjukkan bahwa konflik tersebut merupakan bagian dari dinamika keluarga untuk kian mematangkan kualitas perkawinan. Konflik akibat perbedaan identitas sosial keagamaan bukanlah semata ancaman, melainkan faktor yang dapat memperkuat fondasi keluarga dan melahirkan definisi-definisi baru atas keluarga itu sendiri. Kegagalan merajut perkawinan beda agama justeru muncul dari dependensi yang kuat kepada keluarga inti. Situasi keterkurungan identitas ini menyebabkan keluarga baru gagal melakukan konsolidasi pembentukan keluarga. Dependensi yang juga bermakna kecenderungan keluarga batih (extended family) untuk
244
mendorong keluarga baru sebagai sub kelompok, justeru menjadi anasir yang menyebabkan perpecahan dalam keluarga perkawinan beda agama. Penyesuaian terjadi pada semua model perkawinan. Sepasang manusia yang mengikat diri dalam perkawinan harus berhadapan dengan situasi penyesuaian diri pada ambang minimal hingga maksimal. Penyesuaian diri dilakukan pada dua aspek yaitu sosial dan psikologis (Qin, 2008). Pada tataran ini, individu harus sampai pada aspek kemampuan untuk membedakan antara merasakan bahwa keluarga baik-baik saja (feeling well) dan melakukan sesuatu secara tepat dalam keluarga (doing well). Kegagalan periode penyesuaian –pra maupun paska perkawinan– berimplikasi serius pada status perkawinan, pengasuhan anak hingga pada keberfungsian keluarga sebagai unit sosial. Salah satu penyesuaian yang terberat pada konteks perkawinan beda agama justeru ada pada penyesuaian diri dengan keluarga batih masing-masing pasangan. Pada ruang psikologis, penyesuaian penting salah satunya menyangkut narasi –ruang kognitif- dalam pendefinisian agama itu sendiri. Mewakili identitas sosial tertentu –hingga keluarga sebagai kelompok– individu harus bisa terlebih dahulu membangun pemahaman komprehensif tentang calon atau pasangan. Konsep penerimaan atas pasangan yang berbeda menjadi elemen terpenting dalam upaya membangun keluarga dari anasir agama yang berbeda ini. Bagaimana pun, identitas sosial merupakan perangkat kognitif yang digunakan untuk mendefinsikan diri sebagai bagian dari kelompok tertentu dan berbeda dengan kelompok lainnya (Tajfel, 1981; Hogg & Abrams, 1998; Jenkis, 2008). Bergabungnya dua individu dalam keluarga mendorong adanya pendefinisian kembali. Upaya pendefinisian
245
ulang ini, meski ada pada tataran individu, harus saling terhubung satu dengan lainnya. Dengan demikian, upaya untuk mempertahankan nilai identitas agar senantiasa bermuatan positif tidak justeru menyudutkan pasangan yang beridentitas sosial berbeda. Proses evaluasi diri sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses identifikasi sosial memang mengarah pada pemenuhan self esteem agar bermuatan positif dalam relasi sosial. Kebutuhan self esteem yang positif merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia (Hogg & Abrams 1998). Namun pendekatan kompetitif menjadi tidak relevan dalam keluarga jika diperbandingkan dengan tujuan dasar pembentukan keluarga: fungsionalitas peran dan fungsi individu. Evaluasi atas identitas yang menekankan favoritisme kelompok yang berimplikasi pada penilaian buruk terhadap pihak lain –dalam konteks ini adalah pasangan dan keluarga– menjadi tidak relevan. Meski demikian, refleksi atas proses evaluasi yang dilakukan oleh pelaku perkawinan beda agama, justeru menunjukkan bahwa beragam konflik yang muncul dapat mematangkan konsep keluarga. Dinamika perselisihan, silang pendapat, kekuasaan dan distribusi kewenangan menunjukkan bagaimana konflik pada satu sisi membangun ketahanan keluarga pada pasangan yang tetap mempertahankan keluarganya. Konflik mematangkan persepsi penerimaan atas perbedaan yang ada dalam keluarga beda agama. Melalui konflik-konflik tersebut, upaya perbedaan mutual, rekategorisasi dan dekategorisasi sebagai metode penguatan identitas sosial agar bermakna positif merupakan proses dinamis yang salah satunya dilahirkan dari konflik.
246
2. Interdependensi antar Pasangan Vis a Vis Kemandirian dari Keluarga Inti Tema penting dalam identitas sosial dalam ranah perkawinan beda agama pada penelitian ini adalah interdependensi. Kelley dan Thibaut (1978) mengandaikan adanya hubungan timbal balik dalam relasi sosial manusia. Hubungan timbal balik menjadi
penting
dalam
penyesuaiannya,
relasi
berhadapan
keluarga. dengan
Pasangan
dua
beda
tantangan,
agama,
yaitu
dalam
memperkuat
interdependensi antar pasangan; dan membangun otonomi sebagai keluarga baru dari keluarga inti. Secara teoritis, situasi ini dituntut pula pada perkawinan umumnya. Namun, dengan status perkawinan beda agama yang sudah membawa potensi konflik, maka kesadaran akan pentingnya kedua hal tersebut menjadi relevan dipersiapkan oleh calon pasangan perkawinan beda agama. Kagitcibasib
dalam
Mayer
dkk
(2012)
menawarkan
tiga
bentuk
interdependensi yang relevan untuk melihat hubungan timbal balik antara keluarga – baru– dengan keluarga inti, yaitu independen, interdependensi penuh dan interdependensi emosional. Diskursus tentang bagaimana pasangan yang baru menikah bersikap terhadap keluarga cukup sentral dalam kajian ini. Model independen mengandaikan bahwa keluarga baru melepaskan diri secara utuh dan sepenuhnya dari keluarga inti. Interdependensi sepenuhnya menunjukkan situasi saling ketergantungan antara keluarga baru dengan keluarga inti pada aspek emosional
dan
material.
Bentuk
yang
ketiga
hanya
menyisakan
ikatan
interdependensi pada aspek emosional dan melepaskan interdependensi material. Interdependensi mengandaikan pula adanya elemen kekuasaan (power) dalam relasi. Pada situasi tersebut, makna sumber daya material tidak semata
247
bermakna fisik, tetapi sesuatu yang bisa dipertukarkan (Neal, J. & Neal, Z, 2010). Pada konteks tersebut, campurtangan dalam pengambilan keputusan bisa menjadi salah satu bentuk interdependensi antara keluarga baru (atau anggotanya) terhadap keluarga inti. Temuan
pada
penelitian
ini
menunjukkan
pentingnya
memperkuat
interdependensi antarpasangan. Di lain sisi, membangun independensi atau interdependensi yang bersifat terbatas menjadi hal yang penting diperhatikan oleh pelaku perkawinan beda agama. Pada periode rawan penyesuaian diri, pasangan sebisa mungkin harus mengambil keputusan secara mandiri dari keluarga inti dan membangun konsensus-konsensus yang mengikat keduanya secara proporsional. Konsensus idealnya dibangun melalui mekanisme differensiasi mutual yang mengedepankan kesamaan atribut dan hal-hal yang dapat dipertukarkan dalam keluarga secara seimbang. Komunikasi, pembagian peran dan kekuasaan serta upaya membangun konsensus menjadi upaya penting yang dilakukan dalam periode penyesuaian setelah membangun konstruksi kognitif yang relevan dan positif atas pasangan dalam keluarga.
B. Saran Menceburkan diri ke dalam penelitian ini memberikan ruang refleksi yang penting bagi penulis guna memahami lebih rinci dan mendalam dinamika seputar pertemuan antar agama dalam ranah keluarga.
248
1. Saran Bagi Peneliti Lainnya Mengungkap perkawinan beda agama dalam sebuah karya penelitian merupakan hal yang bagi penulis tidaklah mudah. Mempertimbangkan resistensi dan kerahasiaan sumber-sumber yang bersedia menjadi subjek-subjek penelitian ini, tidak semua aspek dapat tergambarkan secara terperinci pada dokumen tesis sebagai laporan penelitian. Kondisi tersebut dan keunikan-keunikan yang terjadi secara faktual pada masing-masing keluarga memunculkan ambang pada penelitian ini yang secara prinsipil tidak bisa digeneralisir untuk kepentingan-kepentingan yang lebih umum dan besar. Resistensi subjek pada penelitian ini menjadi cukup penting diperhatikan dalam proses penelitian ini. Beberapa kali penulis harus kehilangan subjek akibat ketidaksediaan belah pasangan lain untuk menjadi subjek setelah salah satunya selesai diwawancarai. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi peneliti terutama dalam upaya menemukan kembali subjek-subjek yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Akan sangat membantu bagi peneliti lain yang ingin menggeluti isu serupa untuk memperhatikan kedekatan dan proses pendekatan pra penelitian kepada subjek. Hal ini penulis rasakan pada beberapa subjek yang telah menjalani proses pendekatan untuk kurun waktu tertentu. Pemaknaan atas agama pada tataran bersifat subjektif. Pendapat satu penganut dengan penganut lainnya sangat berkemungkinan berbeda. Hal tersebut selanjutnya menjadi lebih problematis ketika sudah memasuki ranah penafsiran yang bersifat perseorangan. Penulis merasakan betapa sulitnya masuk dalam kancah penelitian yang dipenuhi dengan istilah-istilah keagamaan yang beragam
249
dan sebagian besarnya tidak penulis pahami dengan rinci dan cukup baik. Hal ini menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi penulis mengingat penafsiran agama – bagi penulis-- tidak dapat dilakukan secara ceroboh terutama pada karya ilmiah yang berkemungkinan akan dikutip dan dibaca oleh banyak orang. Penulis kemudian menyarankan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian serupa untuk terlebih dahulu membaca dan memahami konteks keagamaaan masing-masing subjek agar mendapatkan potret yang lebih komprehensif. Di lain sisi, peneliti tidak dalam posisi menafsirkan pada kutipan atau pernyataan yang sedikit banyak menjelaskan atau menguraikan nilai-nilai keagamaan yang tidak penulis anut secara langsung. Dengan demikian, upaya merujuk kembali dokumen ini terutama pada bagianbagian yang menjelaskan definisi dan konsep keagamaan lain ada baiknya turut disertai dengan upaya memperdalam dari sumber-sumber lainnya.
2. Saran Bagi Calon Pelaku Perkawinan Beda Agama Tesis
ini
mencoba
mempelajari
kemungkinan
ragam
dinamika
dan
pemaknaan atas identitas dalam lingkup perkawinan beda agama. Mengacu pada beragam pembelajaran yang terungkap pada tesis ini, masa persiapan menjadi hal terpenting dalam perkawinan beda agama. Upaya menemukenali perbedaan dan pemahaman atas agama masing-masing menjadi hal krusial yang perlu dilakukan terlebih dahulu. Rasa suka (cinta) bukan menjadi faktor utama keberhasilan dalam pelaksanaan perkawinan ini, melainkan upaya antar belah pasangan untuk menemukan titik temu atau penyesuaian antar antar belah pasangan yang berbeda agama. Independensi terhadap keluarga batih menjadi salah satu hal yang perlu
250
diupayakan selain interdependensi antar belah pasangan. Pasangan yang akan melakukan perkawinan beda agama idealnya sudah mempersiapkan diri secara mental dan materiil untuk pelbagai risiko jangka panjang dan jangka pendek yang timbul sebagai konsekuensi perkawinan ini. Pada resiko jangka pendek, penyesuaian diri menjadi salah satu tantangan terbesar yang akan muncul. Mendudukkan agama yang berbeda dalam lingkup keluarga tidaklah mudah.
Mempertimbangkan
hal
tersebut,
maka
persiapan-persiapan
perlu
dilakukan. Penyikapan terhadap keberadaan keluarga batih (inti) menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang. Keterikatan yang sangat dominan dalam pengambilan keputusan dengan keluarga inti, akan mencegah interdependensi antar belah pasangan dan meningkatkan dependensi keluarga terhadap keluarga asli tersebut.