BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1) Kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan serta kerapatan absolut vegetasi mangrove Sungai Donan, Cilacap secara umum sebagai berikut. Rata-rata suhu perairan (31,37±1,96°C), salinitas (22,64±1,26‰), dan pH air (7) masih dalam
kisaran baku mutu yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Sementara itu, rata-rata kandungan oksigen terlarut (3,89±1,10 mg/l), konsentrasi polutan Pb dalam air (0,007±0,01 mg/l) dan konsentrasi Cu dalam air (0,025±0,189 mg/l) sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Konsentrasi polutan Pb dalam substrat (6,853± 2,72 mg/kg) dan Cu dalam substrat (12,594±4,30 mg/kg) masih di bawah level target baku mutu IADC/CEDA, 1997. 2) Status mutu air kawasan perairan mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap dengan indeks pencemaran berkisar 1-5 adalah tercemar ringan dengan status kondisi mangrove baik sangat padat (kerapatan ≥1500 pohon/ha). 3) Peranan hutan mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian polutan Pb dan Cu di perairan mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Hutan mangrove di tepi Sungai Donan berperan dalam mengurangi konsentrasi polutan Pb dalam air dan substrat dari sumber polutan ke 104
103
terutama kemampuan kawasan dalam mengurangi konsentrasi polutan Pb dalam substrat yang berkurang secara signifikan.
102
Tabel 4. 18. Hasil uji lanjut BNT untuk variabel polutan Pb dalam sedimen tiap zona pengamatan (I) Zona
Kontrol
Dalam
Tengah
Luar
(J) Zona Dalam Tengah Luar Kontrol Tengah Luar Kontrol Dalam Luar Kontrol Dalam Tengah
Perbedaan Rata-rata -3,87914811* 0,57057193 0,27787594 3,87914811* 4,44972004* 4,15702405* -0,57057193 -4,44972004* -0,29269599 -0,27787594 -4,15702405* 0,29269599
Standar galat 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538 1,56124538
Signifikansi 0,029* 0,721 0,862 0,029* 0,015* 0,021* 0,721 0,015* 0,854 0,862 0,021* 0,854
*)
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05 Hasil uji lanjut BNT (Tabel 4. 18) untuk perbedaan konsentrasi polutan Pb
dalam zona menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada zona dalam terhadap zona tengah, zona luar, dan zona kontrol sedangkan zona tengah dan zona luar tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap zona kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin menjauhi Kilang Minyak Pertamina konsentrasi polutan Pb-nya semakin mendekati nilai konsentrasi Pb di zona kontrol. Dengan kata lain, keberadaan mangrove di tepi Sungai Donan mampu mengurangi polutan Pb dalam substrat secara signifikan melalui mekanisme pengendapan logam berat dalam lumpur. Di sisi lain, berdasarkan Tabel 4. 17, dapat disimpulkan bahwa kawasan mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap mampu mengurangi konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam kawasan tersebut mulai dari sumber pencemar hingga luaran,
101
sedangkan polutan Pb dalam substrat menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang yang signifikan antar zona pengamatan untuk polutan Pb dalam substrat, sedangkan konsentrasi polutan Pb dalam air tidak berbeda signifikan. Nilai signifikansi dari variabel polutan Cu dalam air dan sedimen lebih dari 0,05, H0 diterima, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsentrasi polutan Cu dalam air dan sedimen diantara keempat zona pengamatan. Selanjutnya, dilakukan analisis pembandingan ganda untuk melihat zona mana saja yang berbeda dan zona mana saja yang relatif sama dengan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk variabel Pb dalam substrat. Uji lanjut BNT dipilih karena setiap variabel yang dianalisis telah memenuhi asumsi kesamaan variansi dimana sig. > 0,05 (terdapat variasi) serta jumlah data tiap variabel adalah sama.
100
vegetasi yang memiliki kemampuan dalam menyerap logam berat. Semakin rapat mangrove di suatu kawasan, semakin tinggi pula konsentrasi polutan yang tersimpan dalam kawasan tersebut sehingga semakin berkurang pula konsentrasi polutan yang keluar kawasan.
3. Kemampuan hutan mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian polutan Pb dan Cu Kandungan logam berat yang diuji adalah logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) yang terdapat di air dan sedimen (substrat). Pengukuran polutan Pb dan Cu sama halnya dengan pengukuran kualitas fisis dan kimiawi habitat lainnya, yaitu pada empat zona berupa zona kontrol, zona dalam, zona tengah, dan zona luar. Untuk mengetahui peran hutan mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian polutan Pb dan Cu, analisis sidik ragam dilakukan dengan hasil berikut ini (Lampiran 8). Tabel 4. 17. Analisis sidik ragam untuk variabel konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam air serta sedimen pada tiap zona pengamatan Variabel Konsentrasi Pb dalam air Konsentrasi Pb dalam substrat Konsentrasi Cu dalam air Konsentrasi Cu dalam substrat
Perlakuan
Antar Zona
Derajat Bebas 15
Selang Kepercayaan 0,007±0,009
F Hitung 1,333
15
6,85±2,72
3,598
0,046*
15
0,025±0,189
1,173
0,361
15
12,59±4,30
0,849
0,493
Signifikansi 0,310
Tabel di atas menunjukkan nilai signifikansi (Sig.) masing-masing variabel polutan Pb dan Cu dalam air dan substrat. Pada variabel polutan Pb, nilai signifikansi untuk polutan Pb dalam air lebih dari 0,05 atau H0 diterima,
99
yang terikat oleh akar mangrove. Jika kawasan tersebut tercemar oleh logam berat Pb atau Cu, dalam sedimen tersebut akan terkandung logam berat Pb atau Cu karena bentuk Pb dan Cu yang berupa partikel mempercepat logam tersebut terakumulasi dalam sedimen. Nybakken (1982) dalam Marasabessy dkk (2010) menjelaskan bahwa sekali mengendap sedimen tidak akan dialirkan lagi keluar. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen (mengandung logam berat) yang terbawa aliran akan tertahan pada perakaran mangrove sehingga semakin lama sedimen yang terbawa aliran akan berkurang dari lokasi satu ke lokasi lain sepanjang aliran sungai. Berdasarkan hal tersebut, ekosistem mangrove terbukti mampu mengurangi konsentrasi polutan Pb dan Cu yang keluar dari kawasan tersebut. Pengaruh kerapatan absolut vegetasi mangrove terhadap konsentrasi Pb dan Cu dalam organ tumbuhan (akar dan daun) menunjukkan nilai koefisien yang positif artinya terjadi hubungan positif antara kerapatan absolut vegetasi mangrove dengan konsentrasi Pb dan Cu dalam organ tumbuhan, semakin rapat mangrove di suatu kawasan maka semakin meningkatkan konsentrasi Pb dan Cu dalam organ tumbuhan. Hal tersebut terkait dengan kemampuan mangrove dalam menyerap logam berat melalui akar yang kemudian didistribusikan ke bagian tubuh yang lain seperti cabang dan daun serta melalui stomata pada daun (Wittig, 1993 dalam Munawar dan Rina, 2010). Berdasarkan beberapa persamaan regresi di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan hutan mangrove memiliki peran dalam mengurangi polutan logam berat, baik dalam skala ekosistem (penahan sedimen dan air) maupun sebagai
98
konsentrasi logam berat dalam perairan. Sebagai contoh salah satu persamaan di bawah ini. Konsentrasi Pb dalam air = 1,079*10-6 kerapatan absolut vegetasi mangrove. Persamaan di atas memiliki arti pada tiap kenaikan 1 pohon/ha menyebabkan kenaikan konsentrasi Pb dalam air yang terperangkap dalam kawasan mangrove sebesar 1,079x10-6 mg/l. Hal tersebut terkait dengan keberadaan ekosistem mangrove di suatu kawasan, ekosistem mangrove selain mampu menahan sedimen juga mampu menahan air yang memasuki kawasannya. Semakin rapat kawasan mangrove semakin banyak pula air yang terperangkap dalam kawasan tersebut. Air yang terperangkap adalah air permukaan bagian bawah, bentuk logam berat yang berupa partikel meyebabkan logam berat berada pada bagian tersebut sehingga semakin rapat suatu kawasan, semakin banyak pula kandungan logam berat dalam air di kawasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa mangrove di tepi Sungai Donan berperan dalam mengurangi konsentrasi logam berat dalam air yang keluar dari kawasan tersebut. Pengaruh kerapatan absolut vegetasi mangrove terhadap konsentrasi Pb dan Cu dalam sedimen juga menunjukkan nilai koefisien positif atau dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kerapatan absolut vegetasi mangrove semakin tinggi pula konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam sedimen di kawasan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan akar mangrove dalam mengikat sedimen. Jadi, semakin banyak individu dalam suatu kawasan semakin banyak pula sedimen
97
2. Pengaruh kerapatan absolut vegetasi terhadap konsentrasi logam berat Tabel 4. 16. Hasil analisis regresi untuk variabel kerapatan absolut vegetasi mangrove (Lampiran 7) Variabel Xi
Hasil Analisis Regresi Yi
dalam air dalam Kosentrasi sedimen Pb dalam daun Kerapatan dalam akar absolut vegetasi dalam air mangrove dalam Kosentrasi sedimen Cu dalam daun dalam akar
Koefisien Determinasi
Signifikansi
0,615
0,002
Yi= 1,078*10-6 Xi
0,847
0,000
Yi = 0,001 Xi
0,476 0,729 0,798
0,013 0,000 0,000
Yi = 1,444 + Xi Yi = 1,419*10-5 Xi Yi = 3,300*10-6 Xi
0,843
0,000
Yi= 0,001 Xi
0,899 0,918
0,000 0,000
Yi = Xi Yi = 2,023*10-5 Xi
Persamaan
Tabel diatas memberikan informasi tentang model persamaan regresi yang diperoleh serta signifikansi dari koefisien regresi. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi yang diperoleh. Nilai signifikansi di atas menunjukkan nilai lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan yang terbentuk layak digunakan. Nilai koefisien determinasi menyatakan besarnya kontribusi variabel X (kerapatan absolut vegetasi mangrove) terhadap perubahan variabel Yi (Konsentrasi polutan Pb dan Cu). Nilai koefisien determinasi pada Tabel 4. 16 tidak ada yang menunjukkan nilai 1, berarti ada variabel lain selain kerapatan absolut vegetasi mangrove yang memengaruhi konsentrasi polutan Pb dan Cu di kawasan tersebut. Pengaruh kerapatan absolut vegetasi mangrove terhadap konsentrasi logam Pb dan Cu di perairan menunjukkan nilai koefisien positif. Hal tersebut berarti semakin tinggi nilai kerapatan absolut vegetasi mangrove semakin tinggi pula
96
asam-asam poliamino-polikarboksilik. Dengan kata lain, logam Pb lebih lambat ditranslokasikan ke tajuk dibandingkan dengan logam Cu. Hasil ini juga menunjukkan bahwa Rhizophora apiculata bukanlah tumbuhan hiperakumulator sebab untuk menjadi tumbuhan hiperakumulator, besar faktor translokasi harus lebih dari satu (TF > 1) (Lorestani et al., 2011 dalam Siahaan dkk., 2013). Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang dapat mengakumulasi logam dengan konsentrasi yang sangat tinggi pada jaringan permukaan (aboveground) di habitat alamiahnya (Baker dan Brooks, 1984). Nilai TF < 1 menunjukkan Rhizophora apiculata pada hutan mangrove di tepi Sungai Donan mengalami mekanisme fitostabilisasi. Fitostabilisasi adalah penghentian kontaminan di tanah melalui absorpsi dan akumulasi oleh akar. Fitostabilisasi sangat berguna untuk pengolahan timbal, arsenik, cadmium, kromium, tembaga, dan seng. Hal tersebut menunjukkan bahwa Rhizophora apiculata akan menghambat mobilitas logam dalam sedimen dan terbawa aliran air.
95
yang terdapat dalam ekosistem habitatnya. Perbedaan konsentrasi logam berat pada organ tumbuhan tertentu berkaitan dengan proses fisiologis tumbuhan tersebut. Menurut Rosmarkam dan Nasih (2002) bahwa ada tiga jalan yang dapat ditempuh oleh air dan ion-ion yang terlarut bergerak menuju sel-sel xilem dalam akar, yaitu (1) melalui dinding sel (apoplas) epidermis dan sel-sel korteks,(2) melalui sistem sitoplasma (simplas) yang bergerak dari sel ke sel, dan (3) melalui sel hidup pada akar, tempat sitosol dari setiap sel membentuk suatu jalur. Brooks (1997) dalam Hamzah dan Setiawan (2010) mengatakan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian akan membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma, dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola transpor, molekul kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk membentuk akseptor kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan akseptor kompleks logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses fisiologi sel tumbuhan. Kapasitas transfer logam dari akar ke daun dihitung dengan menggunakan perhitungan faktor translokasi (Translocation Factor
TF). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai TF Pb dan Cu dari akar ke daun bervariasi antara 0,09 – 0,91. Menurut sifatnya, logam berat Pb merupakan logam yang memiliki daya translokasi yang rendah (Hamzah dan Setiawan, 2010) sehingga nilai TF Pb lebih kecil dari Cu yang biasanya mengalami translokasi pembentukan khelat dengan
94
Tabel 4. 14. Nilai Faktor Biokonsentrasi (BCF) Pb dan Cu di keempat zona pengamatan Zona Kontrol Dalam Tengah Luar
Konsentrasi Pb Tumbuhan Air (Akar dan Daun) (mg/l) (mg/kg) 2.44 0.004 4.35 0.015 1.66 0.004 2.02 0.007
BCF Pb (l/kg) 668.95 297.64 455.25 276.33
Konsentrasi Cu Tumbuhan Air (Akar dan daun) (mg/l) (mg/kg) 4.67 0.017 7.96 0.04 5.49 0.022 5.58 0.023
BCF Cu (l/kg) 274.44 198.29 251.21 241.18
Tabel 4. 15. Nilai Faktor Translokasi (TF) Pb dan Cu di keempat zona pengamatan Zona
Pb dalam Daun (mg/kg)
Pb dalam Akar (mg/kg)
TF Pb
Cu dalam Daun (mg/kg)
Cu dalam Akar (mg/kg)
TF Cu
Kontrol Dalam Tengah Luar
0.384 0.855 0.156 0.170
2.06 3.49 1.51 1.85
0.19 0.24 0.10 0.09
2.22 3.58 2.47 2.54
2.44 4.38 3.02 3.03
0.91 0.82 0.82 0.84
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Faktor Biokonsentrasi (BCF) dalam air diketahui nilai BCF Cu zona kontrol sebesar 274,44 l/kg dan zona tengah sebesar 251, 21 l/kg dikategorikan memiliki kemampuan sedang sementara zona dalam dan zona luar termasuk dalam kategoti rendah karena nilai BCF Cu lebih kecil dari 250 l/kg. Sementara itu, nilai BCF Pb termasuk dalam kategori sedang untuk semua zona. Nilai BCF tertinggi sebesar 668,95 (Pb) dan terendah 198,29 (Cu) sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan Rhizophora apiculata
dalam mengakumulasi logam berat dalam air berupa Pb lebih besar daripada logam Cu. Data BCF tersebut menunjukkan bahwa pohon Rhizophora apiculata mempunyai kecenderungan untuk menyerap dan mengakumulasi logam berat
93
B. Kemampuan Hutan Mangrove sebagai Biofilter dalam Pengendalian Polutan Pb dan Cu
1. Faktor biokonsentrasi (Bioconcentration Factor
BCF) dan faktor
translokasi (Translocation Factor TF) logam Pb dan Cu Akumulasi logam bisa dilihat dengan cara membandingkan konsentrasi antar organ tumbuhan mangrove. Baker dan Brooks (1989) dalam Hamzah dan Setiawan (2010) menyatakan bahwa tumbuhan mampu mengakumulasi logam berat
hingga
>
1000
mg/kg
dan
dikenal
sebagai
hiperakumulator.
Bioconcentration Factors (BCF) dan Translocation Factors (TF) bisa digunakan untuk menduga tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai fitoremediasi. Melalui hasil analisis konsentrasi polutan Pb dan Cu pada masing-masing zona maka dapat dihitung nilai BCF untuk melihat sejauh mana Rhizophora apiculata mampu mengakumulasi polutan tersebut dalam air dengan kata lain untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi logam pada akar dan daun yang berasal dari lingkungan (MacFarlane et al., 2007), sedangkan dari nilai TF dapat diketahui proses yang dilakukan Rhizophora apiculata dalam mengurangi keberadaan logam merupakan proses fitoekstraksi atau fitostabilisasi.
92
kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan mangrove sehingga perlu dilakukan upaya pengendaliannya, salah satu upaya pengendalian untuk melindungi mangrove dari kerusakan adalah dengan mengetahui adanya tingkat kerusakan berdasarkan kriteria baku kerusakannya. Penentuan tingkat kerusakan mangrove di suatu kawasan didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Tabel 4. 13. Status kondisi hutan mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap Zona Kontrol Dalam Tengah Luar
Selang Kepercayaan Kerapatan Vegetasi mangrove (pohon/ha) 7200±400 10533±3055 9876 ±1404 10267±1803
Status Baik sangat padat Baik sangat padat Baik sangat padat Baik sangat padat
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004, kerapatan absolut vegetasi mangrove di tepi Sungai Donan termasuk dalam kondisi baik sangat padat. Akan tetapi, secara fisiognomi banyak ditemukan tanaman mangrove yang mengalami kerusakan, baik itu mengalami defoliasi pada bagian daun maupun kekeringan. Selain itu, sebagai kawasan rehabilitasi yang ditanam pada tahun 1982 dan 1983, pertumbuhan tanaman cenderung terhambat akibat adanya masukan bahan pencemar ke habitat perairan mangrove.
91
Donan mampu berperan sebagai biofilter walaupun belum mampu meningkatkan status mutu air kawasan. Zona kontrol sebagai zona yang berada sebelum kawasan industri juga berada dalam status tercemar ringan sehingga perlu adanya perhatian yang lebih serius dari pihak yang terkait untuk menganggulangi masalah tersebut. Begitu pula dengan zona lainnya, perlu dilakukan adanya peninjauan ulang terhadap limbah yang dibuang oleh Kilang Minyak Cilacap serta pemantauan secara berkala terhadap kualitas perairan Sungai Donan untuk meminimalisir dampak yang timbul. Penurunan kualitas perairan di hutan mangrove Sungai Donan ini hendaknya menyadarkan kita bahwa jika pembangunan maupun aktivitas yang berdampak negatif terhadap hutan mangrove diteruskan dan mengakibatkan kerusakan bahkan berkurangnya areal mangrove, pada akhirnya yang diperlukan adalah teknologi pengolah limbah dimana secara biaya lebih tinggi. Selain itu, adanya akumulasi limbah terutama logam berat bisa saja menyebabkan daya toksisitasnya menjadi lebih tinggi. b. Penentuan status kondisi mangrove. Mangrove merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi antara lain, sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut, juga sebagai biofilter dalam pengendalian polutan dan harus tetap dipelihara kelestariannya. Semakin meningkatnya
90
dengan Kilang Minyak Cilacap sebesar 3,36. Walaupun zona dalam memiliki nilai indeks pencemaran tertinggi, tetapi zona ini masih termasuk dalam status tercemar ringan. Dari hasil pengukuran pada zona kontrol dan zona tengah, nilai parameter suhu air, salinitas, konsentrasi Pb, dan pH air sudah memenuhi baku mutu, tetapi nilai parameter kandungan oksigen terlarut serta konsentrasi Cu dalam air tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Untuk zona luar, zona yang paling dekat dengan muara, hanya nilai parameter salinitas, konsentrasi Pb, dan pH air saja yang memenuhi baku mutu, sedangkan parameter lain tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Nilai indeks pencemaran zona luar lebih tinggi daripada zona kontrol dan zona dalam karena banyak nilai parameternya yang melebihi baku mutu. Hal tersebut diduga karena lokasi zona luar dekat dengan muara yang digunakan sebagai tempat bongkar muat kapal. Hal ini memungkinkan zona luar mendapat pengaruh buangan dari bahan bakar kapal ke lokasi tersebut sehingga memengaruhi kualitas airnya. Jika dilihat dari indeks pencemaran (Tabel 4.12), nilai tertinggi terdapat pada zona dalam dan dapat dilihat bahwa terjadi penurunan indeks pencemaran dari zona dalam (sumber pencemar) hingga zona luar (luaran) sehingga dapat dikatakan bahwa hutan mangrove di tepi Sungai
89
4. Penentuan status mutu air dan kondisi mangrove a. Penentuan status mutu air. Status mutu air adalah tingkat cemar air yang diuji berdasarkan beberapa parameter air dibandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2003). Dalam studi ini, penghitungan status mutu air menggunakan beberapa parameter kualitas air, yaitu suhu air, salinitas, pH air, kandungan oksigen terlarut, serta konsentrasi logam berat Cu dan Pb dalam air yang dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 3). Hasil
perhitungan Nilai Indeks Pencemaran sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air dapat dilihat pada Tabel 4. 12 (Lampiran 6). Tabel 4. 12. Status mutu air kawasan perairan mangrove di tepi Sungai Donan berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut No 1 2 3 4
Zona Kontrol Dalam Tengah Luar
Indeks Pencemaran 1.989 3.361 2.375 2.532
Status Mutu Air Tercemar Ringan Tercemar Ringan Tercemar Ringan Tercemar Ringan
Dari hasil analisis Status Mutu Air pada Tabel 4. 13, kondisi mutu air kawasan perairan mangrove Sungai Donan dapat dikategorikan sebagai tercemar ringan dengan nilai indeks pencemaran antara 1 – 5. Indeks pencemaran tertinggi ada pada zona dalam, yaitu lokasi yang paling dekat
88
Tabel 4. 11. Hasil uji lanjut BNT untuk variabel konsentrasi polutan Pb dalam daun pada tiap zona pengamatan (I) Zona Kontrol
Dalam
Tengah
Luar
(J) Zona Dalam Tengah Luar Kontrol Tengah Luar Kontrol Dalam Luar Kontrol Dalam Tengah
Perbedaan Ratarata (I-J) 0,47111000* 0,69889000* 0,68500333* -0,47111000* 0,22778000 0,21389333 -0,69889000* -0,22778000 -0,01388667 -0,68500333* -0,21389333 0,01388667
Standar Galat
Signifikansi
0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113 0,17261113
0,026* 0,004* 0,004* 0,026* 0,223 0,250 0,004* 0,223 0,938 0,004* 0,250 0,938
*)
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05 Hasil uji lanjut BNT pada Tabel 4. 11 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara zona kontrol dengan ketiga zona lainnya. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara zona dalam dengan zona tengah dan Luar. Dengan demikian, walaupun pada analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang signifikan, organ daun mangrove di tepi Sungai Donan belum mampu mengurangi konsentrasi polutan secara signifikan karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara zona paling dekat dengan Kilang Minyak Cilacap (sumber polutan) hingga yang paling jauh dari Kilang Minyak Cilacap (luaran). Begitu pula dengan kemampuan akar mangrove yang tidak cukup mampu mengurangi konsentrasi polutan Pb dan Cu secara signifikan.
87
kompleksasi dengan zat yang lain seperti fitokelatin (Baker dan Walker, 1990 dalam MacFarlane et al., 2003). Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam organ tumbuhan yang signifikan antar zona pengamatan maka dilakukan analisis statistik menggunakan analisis sidik ragam dengan hasil berikut ini. Tabel 4. 10. Analisis sidik ragam untuk variabel konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam organ tumbuhan pada tiap zona pengamatan Variabel Konsentrasi Pb dalam daun Konsentrasi Cu dalam daun Konsentrasi Pb dalam akar Konsentrasi Cu dalam akar
Perlakuan
Antar Zona
Derajat Bebas 11 11 11 11
Selang Kepercayaan 0,39±0,35 2,70±1,08 0,13±0,94 0,19±0,70
F Hitung 7,146 0,890 0,702 1,774
Signifikansi 0,012* 0,487 0,577 0,230
*)
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05 Hasil analisis sidik ragam di atas menunjukkan bahwa hutan mangrove di tepi
Sungai Donan hanya mampu mengurangi konsentrasi polutan Pb secara signifikan melalui daunnya. Untuk menguji zona mana yang memiliki perbedaan yang signifikan atau tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan zona lainnya maka dilakukan uji lanjut perbandingan ganda BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan hasil seperti di bawah ini.
86
disebabkan spesies tumbuhan secara genetis mempunyai kemampuan yang sangat beragam untuk toleran atau tidak terhadap unsur seperti timbal, tembaga, perak, kadmium, dan nikel yang meracuninya. Pada beberapa spesies, unsur-unsur tersebut diserap dalam jumlah terbatas. Pada spesies lain, unsur tersebut ditimbun dalam akar dan dipindahkan sedikit ke tajuknya. Menurut Fitter dan Hay (1998), kelebihan logam berat yang diserap oleh tumbuhan akan berpengaruh pada kemampuan tumbuhan dalam memperoleh dan menggunakan sumberdaya. Kelebihan logam berat dapat menjadi sumber racun bagi tumbuhan tersebut, tetapi beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh pada tanah-tanah yang mengandung ion toksis mempunyai mekanisme penanggulangan (ameliorasi) terhadap ion tersebut. Proses ameliorasi dilakukan dengan empat pendekatan, yaitu lokalisasi, ekskresi, dilusi, dan inaktivasi. Lokalisasi dilakukan sebagai usaha ameliorasi terhadap ion toksik oleh tumbuhan di bagian akar yang menyebabkan konsentrasi ion toksik di bagian akar lebih tinggi dibandingkan bagian tumbuhan yang lain. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa tumbuhan mangrove di tepi Sungai Donan juga melakukan lokalisasi. Berdasarkan mekanisme fisiologis, mangrove secara aktif mengurangi penyerapan logam berat ketika konsentrasi logam berat dalam sedimen tinggi. Penyerapan tetap dilakukan tapi dalam jumlah yang terbatas dan terakumulasi di akar. Selain itu, terdapat sel endodermis pada akar yang menjadi penyaring dalam proses penyerapan logam berat. Dari akar, logam akan di translokasikan ke jaringan lainnya seperti batang dan daun serta mengalami proses
85
diperlukan tanaman, tetapi hanya sebagai akibat ukuran stomata daun yang cukup besar dan ukuran partikel timbal yang relatif kecil dibanding ukuran stomata (Widiriani, 1996 dalam Siregar, 2005). Faktor-faktor yang memengaruhi konsentrasi timbal dalam tanaman, yaitu jangka waktu tanaman kontak dengan timbal, konsentrasi timbal dalam tanah, morfologi dan fisiologi tanaman, umur tanaman, dan faktor yang memengaruhi areal seperti banyaknya tanaman penutup, serta jenis tanaman di sekeliling tanaman tersebut (Siregar, 2005). Oleh sebab itu, keberadaan logam berat dalam zona kontrol juga diduga berasal dari logam berat timbal yang secara alami terdapat di dalam batuan induk (Widowati dkk., 2008). Timbal adalah sebuah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu - batuan, tanah, tumbuhan, dan hewan. Konsentrasi Pb yang secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13 mg/kg. Khusus Pb yang tercampur dengan batu fosfat dan terdapat di dalam batu pasir konsentrasinya lebih besar, yaitu 100 mg/kg. Pb yang terdapat di tanah berkonsentrasi sekitar 5 - 25 mg/kg dan di air bawah tanah (ground water) berkisar antara 1- 60 ppb. Secara alami Pb juga ditemukan di udara yang konsentrasinya berkisar antara 0,0001 - 0,001 μg/m3. Sementara itu, zona dalam mempunyai konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam daun tertinggi karena polutan Pb dan Cu dalam akar pada zona dalam mempunyai konsentrasi tertinggi. Seperti yang dikatakan oleh Lahuddin (2007) bahwa polutan yang terserap oleh akar tanaman terdistribusi ke bagian tanaman yang lain seperti daun. Dari hasil analisis konsentrasi logam berat dengan SSA menunjukkan konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam akar lebih tinggi dibanding daun. Hal ini
84
batang, cabang (ranting), dan daun (Lahuddin, 2007). Akumulasi logam berat terjadi pada akar dan dibawa ke jaringan lainnya dan proses ini bisa membatasi masuknya udara ke dalam jaringan tersebut (Silva et al., 1990; Chiu dan Chou, 1991 dalam MacFarlane et al., 2003). Hasil pengukuran kandungan logam berat Pb dan Cu dalam daun pada tiap zona (Gambar 4. 8) menunjukkan hasil untuk konsentrasi polutan Pb tertinggi terdapat pada zona dalam sebesar 0,85 mg/kg dan konsentrasi terendah sebesar 0,16 mg/kg di zona tengah. Sama halnya dengan polutan Pb, konsentrasi tertinggi polutan Cu juga terdapat pada zona dalam, sedangkan yang terendah pada zona kontrol sebesar 2,22 mg/kg. Konsentrasi polutan Pb pada zona kontrol lebih tinggi dibanding zona tengah dan zona luar dikarenakan lokasi zona kontrol yang dekat dengan daratan sehingga kemungkinan masuknya timbal dari udara akibat aktivitas lalu lintas lebih besar dibanding zona yang lain. Hasil pembakaran dari bahan tambahan Pb pada bahan bakar kendaraan bermotor menghasilkan emisi Pb. Logam berat Pb yang bercampur dengan bahan bakar tersebut akan bercampur dengan oli dan melalui proses di dalam mesin maka logam berat Pb akan keluar dari knalpot bersama dengan gas buang lainnya. Daun merupakan organ tumbuhan yang peka terhadap pencemar karena paling sering dan mudah terpapar oleh sumber pencemar udara (Nugroho, 2005). Menurut Siregar (2005), pencemaran timbal dalam tanaman terjadi karena timbal melekat pada permukaan daun atau masuk melalui stomata dan berikatan dengan kloroplas. Masuknya partikel timbal dalam jaringan daun bukan karena timbal
83
Konsentrasi Pb dan Cu tertinggi terdapat pada zona dalam karena konsentrasi logam berat Pb dan Cu dalam air dan substrat (sedimen) pada zona dalam juga menunjukkan nilai yang tertinggi. Semakin tinggi konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam air dan sedimen dalam suatu tempat tumbuh semakin tinggi pula kemungkinan konsentrasi polutan yang akan terserap oleh akar mangrove. Menurut Priyanto dan Prayitno (2006) mekanisme penyerapan logam berat pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung. Pertama adalah penyerapan logam berat oleh akar. Agar dapat menyerap logam, tanaman membentuk suatu enzim reduktase di membran akarnya. Reduktase ini berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut ke bagian tumbuhan lainnya melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem. Untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul kelat kemudian senyawasenyawa yang larut dalam air biasanya diserap oleh akar bersama air. Kedua, melalui translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain, yaitu setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut (xilem) ke bagian tanaman lainnya. Ketiga, lokalisasi logam pada sel dan jaringan yang bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, yaitu penimbunan logam di dalam organ tertentu seperti akar (Lahuddin, 2007). Konsentrasi polutan yang terserap oleh mangrove melalui akar selanjutnya terdistribusi ke bagian tanaman lainnya seperti
82
berlumpur > lumpur berpasir > berpasir. Hal tersebut berkaitan dengan jenis substrat dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi yang memengaruhi bahan organik. Semakin halus tekstur substrat semakin besar kemampuannya dalam mengikat bahan organik (Nybakken, 1992 dalam Marasabessyi dkk., 2010). Berkaitan dengan sifat logam berat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga konsentrasi logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991 dan Leiwakabessy, 2005). Logam berat yang terdapat di lingkungan tanah, air, dan udara dengan suatu mekanisme dapat masuk ke dalam tubuh tanaman melalui akar dan mulut daun (stomata) dalam bentuk partikulat (Charlena, 2004). Partikulat adalah bahan padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu, dan uap yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Umumnya tumbuhan akan menyerap unsur hara yang larut dalam air maupun tanah melalui akarnya (Fitter dan Hay, 1991). Jika logam berat memasuki lingkungan tanah, akan terjadi ketidakseimbangan dalam tanah sehingga logam berat akan terserap oleh tanaman melalui akar dan selanjutnya akan terdistribusi ke bagian tanaman lainnya seperti batang, cabang (ranting), dan daun (Lahuddin, 2007). Hasil pengukuran logam berat dalam organ tumbuhan mangrove pada tiap zona pengamatan menunjukkan bahwa zona dalam mempunyai konsentrasi polutan Pb dan Cu tertinggi dengan rata-rata konsentrasi polutan Pb dan Cu di dalam akar Rhizophora apiculata berturut-turut 3,49 mg/kg dan 4,38 mg/kg.
81
di Indonesia sehingga sebagai acuan digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai konsentrasi logam berat yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, seperti dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4. 9. Baku mutu logam berat yang terdapat dalam substrat (mg/kg) Logam Berat Timbal (Pb) Tembaga (Cu)
Selang Kepercayaan Konsentrasi (mg/kg)
Level Target
Level Limit
Level Tes
Level Intervensi
Level Bahaya
6,85±2,72
85
530
530
530
1000
12,59±4,30
35
35
90
190
400
Sumber: IADC/CEDA (1997) Berdasarkan baku mutu IADC/CEDA di atas, selang kepercayaan konsentrasi Pb dalam substrat (sedimen) mangrove Sungai Donan masih di bawah level target (85 mg/kg) begitu pula dengan rata-rata konsentrasi Cu (35 mg/kg) maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Gambar 4. 8 menunjukkan bahwa konsentrasi Pb dan Cu dalam substrat lebih tinggi dibanding konsentrasi Pb dalam air. Hal tersebut dikarenakan kandungan logam Pb dan Cu dalam air, batuan, maupun bagian tumbuhan yang gugur akan mengalami pengendapan dan sedimentasi di dasar perairan. Selain itu, jenis sedimen yang ada dalam kawasan mangrove Sungai Donan berupa sedimen berlumpur juga ikut berpengaruh. Korzeniwski dan Newgebauer (1991) menyatakan bahwa tipe sedimen dapat memengaruhi kandungan logam berat sesuai kisaran yang dibuatnya, yaitu kandungan logam berat dalam sedimen
80
keberadaan polutan Pb dan Cu dalam air yang tinggi pada zona dalam. Keberadaan logam berat yang cenderung mengendap di dasar perairan akan berikatan dengan partikel-partikel sedimen kemudian terendap ke dalam sedimen. Selain itu, logam dalam air dan sedimen yang terserap oleh akar hingga ke dalam daun yang kemudian gugur dan terombak lagi masuk ke dalam sedimen menyebabkan nilai akumulasi logam berat dalam sedimen semakin tinggi. Hal itu terbukti dari nilai rata-rata konsentrasi Pb dan Cu tertinggi baik dalam air, substrat (sedimen), daun, dan akar yang terdapat pada zona dalam menduduki posisi teratas (Gambar 4. 8). Dari Gambar 4. 8 juga diketahui bahwa terjadi penurunan rata-rata konsentrasi Pb dan Cu dari zona dalam ke zona luar sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian polutan Pb dan Cu sudah terlihat. Walaupun zona luar memiliki konsentrasi Pb lebih tinggi dibandingkan dengan zona tengah, nilainya masih di bawah zona dalam. Tingginya konsentrasi Pb dan Cu dalam substrat pada zona luar dikarenakan lokasinya yang paling dekat dengan muara dimana terdapat aktivitas bongkar muat kapal yang membuang limbahnya ke perairan yang lama-kelamaan akan mengendap. Selain itu, muara juga tempat bertemunya beberapa aliran sungai yang juga membawa logam berat baik dari alam maupun perbuatan manusia. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa selang kepercayaan konsentrasi Pb yang ada dalam substrat hutan mangrove Sungai Donan 6,85±2,72 mg/kg dan konsentrasi Cu sebesar 12,59±4,30 mg/kg. Berkaitan dengan belum adanya ketetapan tentang baku mutu konsentrasi logam berat dalam substrat atau sedimen
79
mengakibatkan kematian fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton. Jenisjenis yang termasuk dalam famili Crustasea akan mengalami kematian dalam waktu 96 jam bila konsentrasi Cu berada dalam kisaran 0,17-100 mg/l. Dalam jangka waktu yang sama, biota yang tergolong ke dalam famili Moluska akan mengalami kematian bila konsentrasi Cu yang terlarut berkisar 0,16-0,5 mg/l. Konsentrasi Cu sebesar 2,5-3,0 mg/l dalam perairan dapat membunuh ikan-ikan (Jakickins et al., 1970; Bryan, 1976; Resch et al., 1979 dalam Palar, 1994). Keberadaan logam berat Cu yang melebihi ambang batas dalam perairan pada keempat zona terutama zona kontrol yang letaknya jauh dari Kilang Minyak Cilacap tentunya membutuhkan perhatian yang lebih serius dari pihak yang terkait untuk menanggulangi dan mencari penyebab keberadaan polutan tersebut demi keberlangsungan kehidupan mahluk hidup yang mendukung. Logam berat yang masuk ke dalam habitat perairan mangrove mengalami berbagai proses seperti pengenceran, adsorpsi oleh partikel, terakumulasi dalam biota, dan akhirnya mengendap dalam sedimen. Menurut Amin et al (2009), 90% logam berat yang mengontaminasi lingkungan perairan akan terendap di dalam sedimen. Konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam sedimen menunjukkan nilai yang bervariasi pada tiap zona pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata konsentrasi polutan dalam substrat (sedimen) di kawasan mangrove di tepi Sungai Donan, konsentrasi Pb dalam substrat tertinggi (9,975 mg/kg) dan konsentrasi Cu tertinggi (15,197 mg/kg) terdapat pada zona dalam. Hal tersebut disebabkan oleh
78
aktifitas katalis karena mampu menurunkan produk gasoline, menghasilkan banyak gas, dan pembentukkan coke. Limbah timbal yang dibuang ke perairan Sungai Donan pada zona dalam dan limbah tembaga dalam zona kontrol, zona dalam hingga zona luar sudah melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 terkait baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu sebesar 0,008 mg/l tapi semakin menjauhi Kilang Minyak Cilacap, konsentrasi polutan semakin menurun. Zona luar memiliki konsentrasi Pb dan Cu yang lebih tinggi (0,007 mg/l untuk Pb dan 0,023 mg/l untuk Cu) dibandingkan dengan zona tengah (0,004 mg/l untuk Pb dan 0,022 mg/l untuk Cu) dikarenakan letak zona luar yang dekat dengan muara dimana terdapat aktivitas bongkar muat kapal yang mampu mempercepat peningkatan konsentrasi polutan dalam perairan (Palar, 1994). Konsentrasi logam berat Pb dalam air pada zona tengah, zona luar, dan zona kontrol masih di bawah baku mutu yang di tetapkan, sedangkan zona dalam sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Sementara itu, konsentrasi polutan Cu dalam perairan sudah melebihi baku mutu untuk keempat zona. Secara alami unsur-unsur logam berat yang berada di perairan sudah ada dengan konsentrasi yang rendah, yaitu sekitar 10-5 – 10-2 mg/l (Hutagalung, 1984) sehingga apabila kandungan logam berat di perairan melebihi nilai tersebut berarti ada masukan dari sumber lain termasuk buangan limbah produksi dari pabrik. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan tempat hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut sebesar 0,01 mg/l dapat
77
Keberadaan logam dalam perairan terutama muara dapat berasal dari sumber alamiah dan aktifitas manusia (Suhendrayatna, 2001 dalam Jovita dkk., 2003). Salah satunya dari buangan sisa industri dari Kilang Minyak Cilacap yang terletak di sebelah barat Sungai Donan, dimana logam berat ini mengalir ke sungai dan akhirnya sampai di muara dan mengendap dalam sedimen. Lumpur minyak yang kadang-kadang juga mengandung logam berat dengan konsentrasi yang tinggi yang terbuang sampai ke muara dan mengendap dalam sedimen serta pembakaran hidrokarbon yang melepaskan senyawa logam berat ke udara kemudian bercampur dengan air hujan dan mengalir melalui sungai yang pada akhirnya sampai di muara. Berdasarkan Gambar 4. 6 dan Gambar 4. 7, dapat dilihat bahwa zona dalam memiliki rata-rata konsentrasi Pb dalam air sebesar 0,015 mg/l dan Cu dalam air sebesar 0,040 mg/l, lebih tinggi dibanding dengan zona lainnya. zona dalam memiliki rata-rata konsentrasi Pb dan Cu dalam air tertinggi karena lokasinya yang berdekatan dengan lokasi pembuangan limbah Kilang Minyak Cilacap sementara limbah buangan hasil produksi Kilang Minyak diantaranya adalah Pb, Cu, Cd, Zn, Ni, Mn, Fe, dan Co (Syafriadiman, 2011). Timbal (Pb) berupa tetra ethyl lead dan tetra methyl lead banyak dipakai sebagai anti knock pada bahan bakar sehingga baik industri maupun bahan bakar yang dihasilkan merupakan sumber pencemaran Pb, sedangkan timbal sendiri merupakan bahan aditif untuk bensin yang mampu menambah nilai oktan bensin jenis premium (Laws, 1993). Sementara itu, tembaga berperan pada proses catalytic cracking memengaruhi
76
Gambar 4. 7. Rata-rata konsentrasi polutan Cu dalam air, substrat, dan organ tumbuhan
Gambar 4. 8. Rata-rata konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam air, substrat, dan organ tumbuhan mangrove
75
4. 7). Menurut Wardhani (2011), Rhizophora apiculata adalah jenis yang mendominasi hutan mangrove di tepi Sungai Donan. Karena keterbatasan biaya, pengujian konsentrasi logam berat dalam organ tumbuhan hanya dilakukan pada jenis Rhizophora apiculata.
Gambar 4. 6. Rata-rata polutan Pb dalam air, substrat, dan organ tumbuhan
74
2) Pasokan dari laut dalam yang meliputi logam yang dilepaskan gunung berapi di laut dalam dan dari partikel atau endapan oleh adanya proses kimiawi. 3) Pasokan yang berasal dari lingkungan dekat muara dan meliputi logam yang diangkat kedalam atmosfer sebagai partikel debu. Sementara itu, keberadaan logam-logam berat dalam muara yang disebabkan oleh aktifitas manusia dapat berasal dari: 1) Buangan rumah tangga 2) Buangan sisa industri, logam berat ini mengalir ke sungai dan akhirnya sampai di muara dan mengendap dalam sedimen 3) Lumpur minyak yang kadang-kadang juga mengandung logam berat dengan konsentrasi yang tinggi yang terbuang sampai ke muara dan mengendap dalam sedimen 4) Pembakaran hidrokarbon dan batu bara diantaranya ada yang melepaskan senyawa logam berat ke udara kemudian bercampur dengan air hujan dan mengalir melalui sungai yang pada akhirnya sampai di muara. Untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi polutan logam berat yang telah memasuki perairan serta untuk melihat kemampuan mangrove dalam menyerap polutan yang memasuki kawasan dilakukan pengujian konsentrasi logam berat polutan Pb dan Cu dalam air, substrat, dan organ tumbuhan mangrove. Kemampuan akumulasi logam berat tersebut berbeda untuk tiap jenis. Jenis mangrove yang terdistribusi pada semua zona adalah Rhizophora apiculata (Tabel
73
3. Konsentrasi logam berat Salah satu masalah besar di dunia adalah pencemaran logam berat, terutama karena akumulasinya pada rantai makanan dan keberadaannya di alam serta peningkatan jumlahnya sehingga menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara, dan air. Logam berat sendiri termasuk dalam parameter kualitas kimiawi perairan. Menurut Darmono (1995), pencemaran suatu perairan oleh unsur-unsur logam berat selain mengganggu ekosistem secara langsung juga secara tidak langsung dapat mengganggu kehidupan manusia. Kawasan mangrove Sungai Donan yang terletak di dekat Kilang Minyak Cilacap menyebabkan kawasan tersebut rentan akan pencemaran logam berat yang berasal dari industri tersebut. Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam berat termasuk dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi. Logam berat yang digunakan dalam industri tersebut antara lain logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu). Kedua polutan tersebut akan masuk ke dalam perairan Sungai Donan bersama limbah yang dibuang dan kemudian mengalir memasuki kawasan mangrove Sungai Donan dan berakhir di laut. Keberadaan logam berat dalam air terutama muara dapat berasal dari sumber alamiah dan aktifitas manusia (Suhendrayatna, 2001 dalam Jovita dkk., 2003). Masuknya logam berat kedalam muara secara alamiah dapat digolongkan sebagai berikut. 1) Pasokan dari daerah hulu sungai karena erosi yang disebabkan oleh gerakan gelombang air
72
zona pengamatan dengan nilai signifikansi 0,204 (> 0.05) sehingga hipotesis nol (H0) ditolak. Dengan demikian, adanya masukan polutan tidak sampai berpengaruh pada kematian individu, ditunjukkan oleh jumlah pohon/ha dari keempat zona yang tidak berbeda signifikan. Berdasarkan Gambar 4. 5 terlihat bahwa zona dalam memiliki kerapatan absolut vegetasi mangrove tertinggi (10.533 pohon/ha) dan kerapatan absolut vegetasi mangrove terendah adalah zona kontrol sebanyak 7.200 pohon/ha. Zona tengah dan zona luar memiliki kerapatan absolut vegetasi yang lebih rendah dibanding dengan zona dalam karena pada lokasi tersebut sering terjadi pencurian kayu untuk bahan kayu bakar karena kayu mangrove memiliki bara yang bertahan lebih lama, sedangkan zona dalam sendiri terletak di depan Kilang Minyak Cilacap yang penjagaannya lebih ketat terhadap aktivitas manusia yang ada di sekitar kawasan tersebut. Pada dasarnya hutan mangrove di tepi Sungai Donan telah ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) yang berarti pada kawasan tersebut tidak diperbolehkan adanya penebangan maupun aktivitas perusakan yang lain karena akan mengganggu fungsi dari mangrove itu sendiri. Adanya penebangan liar di kawasan tersebut tentunya menjadi catatan penting bagi pengelola agar perusakan tersebut tidak semakin parah. Perlunya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya keberadaan mangrove pada kawasan tersebut juga perlu ditingkatkan.
71
Dalam tabel diatas ditampilkan distribusi jenis-jenis mangrove pada empat zona pengamatan. Terlihat bahwa Rhizophora apiculata mempunyai daerah distribusi pada semua zona pengamatan dan menjadi jenis dengan jumlah terbanyak di tiap zona. Sementara untuk jenis yang lain, yaitu Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, dan Bruguiera gymnorrhiza juga ditemukan walaupun tidak sebanyak Rhizophora apiculata.
Gambar 4. 5. Rata-rata kerapatan absolut vegetasi mangrove (pohon/ha) pada tiap zona pengamatan Tabel 4. 8. Analisis sidik ragam untuk variabel kerapatan absolut vegetasi mangrove pada tiap zona pengamatan Variabel Kerapatan absolut vegetasi mangrove
Derajat Bebas
Selang Kepercayaan
11
9466,67±2146,17
F Hitung 1,923
Signifikansi 0,204
Kerapatan absolut tanaman menunjukkan jumlah tanaman per satuan luas sehingga dengan kerapatan absolut tanaman yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah individu dalam luasan tersebut terdapat dalam jumlah yang banyak. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam di atas (Tabel 4. 8), diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari kerapatan absolut vegetasi mangrove pada
70
Uji lanjut dengan BNT diatas menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan antar zona ada beberapa zona yang menunjukkan perbedaan nyata dengan zona lain (Tabel 4. 9). Zona- zona yang memiliki perbedaan yang signifikan antara lain zona dalam dengan zona luar, zona tengah dengan zona luar, zona dalam dengan zona luar, serta zona kontrol dan zona dalam.
2. Kerapatan absolut vegetasi mangrove Di Cilacap, rehabilitasi mangrove pertama kali dilakukan pada tahun 1932 oleh Jong dengan menanam jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Apabila di lapangan ditemukan jenis lain seperti Avicennia spp. maka jenis tersebut merupakan tanaman ikutan (Poedjirahajoe, 1995). Hutan mangrove di tepi Sungai Donan yang digunakan sebagai lokasi pengamatan merupakan kawasan mangrove yang ditanam pada tahun 1982 dan 1983. Dari hasil pengumpulan contoh dan identifikasi yang dilakukan, ditemukan lima jenis mangrove. Dari famili Avicenniaceace dijumpai adanya Avicennia marina, dari famili Rhizophoraceae ditemukan adanya Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, dan Bruguiera gymnorrhiza sedangkan dari famili Sonneratiaceae terdapat Sonneratia alba. Tabel 4. 7. Distribusi jenis mangrove pada tiap zona pengamatan No
Spesies 1 2 3 4 5
Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia alba Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza
Ditemukan dalam zona pengamatan
Zona Kontrol
Dalam
Tengah
Luar
69
pada lokasi pengamatan berdasarkan hasil analisis statistik uji beda menggunakan analisis sidik ragam menunjukkan hasil sebagai berikut. Tabel 4. 5. Analisis sidik ragam untuk variabel ketebalan lumpur pengamatan Variabel
Derajat Bebas
Ketebalan lumpur
11
Selang Kepercayaan 96,08±57,90
tiap zona
F Hitung
Signifikansi
12.263
.002*
*)
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05 Tabel Analisis sidik ragam di atas menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Sig.)
antar zona pengamatan sebesar 0,002, lebih kecil dari 0,05, H0 ditolak. Karena ada H0 yang ditolak, berarti terdapat perbedaan ketebalan lumpur yang signifikan dari keempat zona tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pembandingan ganda untuk melihat zona mana saja yang berbeda dan zona mana saja yang dapat dikatakan relatif sama (Tabel 4. 6). Tabel 4. 6. Hasil uji lanjut BNT untuk variabel ketebalan lumpur tiap zona pengamatan (I) Zona Kontrol
Dalam
Tengah
Luar *)
(J) Zona Dalam Tengah Luar Kontrol Tengah Luar Kontrol Dalam Luar Kontrol Dalam Tengah
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05
Standar galat 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903 23,43074903
Signifikasi 0,024* 0,013* 0,071 0,024* 0,691 0,001* 0,013* 0,691 0,001* 0,071 0,001* 0,001*
68
Rata-rata ketebalan lumpur pada perbedaan zona menunjukkan hasil bahwa zona tengah memiliki kedalaman lumpur yang paling dalam, yaitu sebesar 148 cm sedangkan nilai kedalaman lumpur yang paling kecil ada pada zona luar. Dari model linearitas yang terdapat pada Gambar 4. 4 di atas juga dapat dijelaskan bahwa semakin ke muara ketebalan lumpur (sedimen) semakin berkurang. Hal ini didukung oleh akar-akar mangrove yang berfungsi sebagai penahan sedimen. Menurut Nontji (1987) dalam Marasabessy dkk (2010), akar-akar hutan mangrove yang kokoh dapat meredam pengaruh gelombang dan mengendapkan lumpur sehingga mempercepat timbulnya lahan baru. Peranan akar mangrove menjadi sangat penting berkaitan dengan fungsi mangrove sebagai pelindung ekosistem pantai. Adanya sistem perakaran yang padat akan mengurangi gerakan air sehingga partikel yang sangat halus dapat mengendap di sekeliling akar mangrove dan membentuk lapisan sedimen. Nybakken (1982) dalam Marasabessy dkk (2010) menjelaskan bahwa sekali mengendap sedimen tidak akan dialirkan lagi keluar. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen yang terbawa aliran akan tertahan pada perakaran mangrove sehingga semakin lama sedimen yang terbawa aliran akan berkurang dari lokasi satu ke lokasi lain sepanjang aliran sungai. Proses sedimentasi dipengaruhi oleh aliran air dalam ekosistem mangrove, lapisan sedimen akan terbentuk di sekitar perakaran ketika gerakan aliran terhambat oleh akar vegetasi mangrove. Kecilnya gerakan air ini berpengaruh terhadap partikel sedimen halus yang terbawa aliran untuk mengendap dan mengumpul di dasar perairan (Nybakken, 1982 dalam Marasabessy dkk., 2010). Ketebalan lumpur
67
yang telah ditetapkan. Selain itu, menurut Arsornkoae (1993), pertumbuhan tanaman mangrove akan menurun pada salinitas kurang dari 28‰. Selang kepercayaan salinitas hutan mangrove di tepi Sungai Donan (22,64 ± 1,26‰) yang berada di bawah 28‰ menyebabkan pertumbuhan mangrove terhambat ditandai dengan tingkat pertumbuhannya yang masih pancang walaupun sudah ditanam sejak tahun 1980-an dengan diameter dan tinggi pohon yang cenderung kecil. Menurut Well (1982) dalam Arsornkoae (1993), Avicennia officinalis dapat tumbuh pada salinitas maksimum 63‰, sedangkan salinitas maksimum untuk Ceriops tagal spp. adalah 72‰, Sonneratia spp. 44‰, Rhizophora mucronata 65‰, dan Rhizophora stylosa 74‰. Sementara itu, Xylocarpus granatum hanya dapat tumbuh pada kawasan yang salinitasnya tidak lebih dari 34‰, dan Bruguiera spp. tumbuh pada salinitas tidak lebih dari 37‰ (Arsornkoae, 1993).
Gambar 4. 4. Rata-rata kedalaman lumpur pada tiap zona pengamatan
66
Gambar 4. 3. Rata-rata salinitas pada tiap zona pengamatan Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata salinitas pada keempat zona, zona dalam memiliki rata-rata salinitas tertinggi (23,50‰), sedangkan salinitas terendah terdapat di zona kontrol (21,95‰). Zona dalam hingga zona luar memiliki nilai salinitas yang tidak berbeda signifikan dengan zona kontrol (21,95‰). Hal tersebut berdasarkan hasil analisis sidik ragam di bawah ini. Tabel 4. 4. Analisis sidik ragam untuk variabel salinitas tiap zona pengamatan Variabel
Derajat Bebas
Salinitas
15
Selang Kepercayaan 22,64± 1,26
F Hitung
Signifikansi
1,426
0,283
*)
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05 Kisaran salinitas pada hutan mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap adalah
21-24‰ dan kisaran yang diizinkan dalam perairan mangrove untuk biota laut adalah sampai dengan 34‰ sehingga walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara zona dalam hingga luar tidak berpengaruh terhadap biota dalam kawasan mangrove tersebut karena kisaran salinitas tidak melampaui baku mutu
65
air normal. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 terkait baku mutu air laut untuk biota laut dalam kawasan mangrove, yaitu sebesar 7 – 8,5. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. Setiap organisme membutuhkan derajat keasaman (pH) yang optimum bagi kehidupannya. Pescod (1973) dalam Suriadarma (2011) mengatakan bahwa batas toleransi organisme terhadap pH air bervariasi bergantung pada faktor fisis, kimiawi, dan biologis. pH air yang ideal untuk kehidupan fitoplankton berkisar antara 6,5-8,0. Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat memengaruhi nilai pH perairan. Namun, limbah Kilang Minyak Cilacap baik logam berat Pb maupun Cu belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH air kawasan mangrove Sungai Donan karena pada setiap plot pengamatan menunjukkan nilai pH air yang sama, yaitu pH air 7 dan masih dalam baku mutu pH air yang diperbolehkan.
64
Suhu air yang tinggi dapat meningkatkan kecepatan metabolisme hewan air, meningkatkan respirasi ikan, dan dapat menurunkan jumlah oksigen yang terlarut dalam air sehingga dapat mengakibatkan matinya hewan air akibat kekurangan oksigen (Cahyani, 2001). Hal tersebut sesuai dengan grafik kandungan oksigen terlarut dan suhu air pada Gambar 4. 1 yang menunjukkan bahwa zona pengamatan dengan suhu air terendah memiliki kandungan oksigen terlarut tertinggi sedangkan zona pengamatan dengan suhu air tertinggi memiliki kandungan oksigen terlarut yang terendah.
Gambar 4. 2. Rata-rata pH air pada tiap zona pengamatan Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata pH air tiap zona pengamatan menunjukkan nilai pH air yang sama, yaitu pH air 7. Nilai pH air pada kawasan mangrove di tepi Sungai Donan masih mampu mendukung kehidupan biota air (baik hewan maupun tumbuhan) kawasan tersebut karena masih dalam kisaran pH
63
keseimbangan osmotik, dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen terlarut di perairan sangat sedikit (melebihi mutu yang ditetapkan), perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup di perairan karena akan memengaruhi kecepatan pertumbuhan organisme air tersebut. Menurut Lee et al (1978) dalam Selanno (2009), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel 4. 3 di bawah ini. Tabel 4. 3. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Oksigen Terlarut No
Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l)
Status Mutu Air
1
> 6.5
Tidak tercemar sampai tercemar ringan
2
4.5-6.4
Tercemar ringan
3
2.0-4.4
Tercemar sedang
4
<2.0
Tercemar berat
Sumber: Lee et al (1978) dalam Selanno (2009) Berdasarkan status mutu air di atas, diketahui bahwa kawasan rehabilitasi mangrove di tepi Sungai Donan dengan selang kepercayaan kandungan oksigen 3,89+1,10 mg/l memiliki status mutu air yang tercemar sedang bila hanya dilihat dari parameter kandungan oksigen terlarutnya. Menurut Enviroment Canada (1992) dalam Desratriyanti (2009), kandungan oksigen terlarut yang terlampau tinggi merupakan tekanan bagi banyak organisme air. Selain itu, dinyatakan pula bahwa tekanan akibat oksigen rendah saling memengaruhi dengan beberapa tekanan yang berasal dari toksikan seperti toksisitas tembaga yang meningkat dengan menurunnya oksigen terlarut (Effendi, 2003).
62
Dari Gambar 4. 1 juga diketahui bahwa terjadi penurunan kandungan oksigen terlarut dari zona dalam hingga zona luar, sedangkan zona kontrol memiliki ratarata kandungan oksigen terlarut hanya sebesar 3,50 mg/l. zona dalam mempunyai kandungan oksigen terlarut tertinggi karena pada saat pengambilan data kondisi zona dalam memiliki suhu air yang terendah dibanding zona lain. Suhu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen. Kenaikan suhu perairan akan menyebabkan laju metabolisme mahluk hidup meningkat dan selanjutnya menaikkan kebutuhan oksigen (Dahuri, 2001). zona kontrol memiliki rata-rata kandungan oksigen terlarut hanya sebesar 3,50 mg/l, di bawah baku mutu yang ditetapkan sebesar >5 mg/l, begitu juga dengan zona tengah dan luar. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kandungan oksigen terlarut yang signifikan antar tiap zona pengamatan, dilakukan analisis statistik sidik ragam (Tabel 4. 1) dengan nilai signifikansi (Sig.) pada pengamatan sebesar 0,072, lebih besar dari 0,05, dengan demikian hipotesis nol (H0) ditolak. Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan kandungan oksigen terlarut yang signifikan pada tiap bagian zona pengamatan. Kandungan oksigen terlarut zona Kontrol yang jauh dari lokasi industri sudah tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian yang lebih serius dari pihak yang terkait untuk mengetahui penyebab rendahnya kandungan oksigen terlarut pada kawasan tersebut, begitu pula dengan zona lainnya. Oksigen diperlukan oleh organisme air untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan
61
dalam karena merupakan lokasi yang pertama kali diambil (Pukul 09.00 WIB) dengan kata lain zona ini diambil saat intensitas radiasi matahari paling rendah dibanding ketiga zona yang lain sehingga jumlah radiasi yang berhasil diserap oleh permukaan perairan pada zona dalam
lebih sedikit maka suhu (jumlah
panas) yang dimiliki oleh perairan tersebut juga lebih rendah sedangkan suhu perairan tertinggi terdapat pada zona luar diakibatkan pengambilan data suhu air pada zona luar dilakukan pada pukul 12.00 WIB saat intensitas radiasi matahari lebih tinggi dibanding ketiga zona lain. Kisaran suhu air pada keempat zona pengamatan tergolong tinggi, ditandai dengan munculnya ikan ke permukaan air yang terlihat di Sungai Donan (Hadianto, 1995 dalam Cahyani, 2001). Berdasarkan penelitian dari Martodigdo et al (1986) dalam Perdana (2006), pada tahun 1986 suhu air hutan mangrove Cilacap berkisar antara 27-29ºC, sedangkan berdasarkan penelitian Wardhani (2010), suhu air di lokasi pengamatan rata-rata berkisar antara 29,50-33,30°C. Berdasarkan kedua hasil penelitian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa rata-rata suhu air kawasan mengalami kenaikan. Suhu perairan dapat memengaruhi kegiatan hewan air
seperti
migrasi,
pemangsaan, kecepatan berenang,
perkembangan embrio, dan kecepatan proses metabolisme (Hadianto, 1995 dalam Cahyani, 2001). Suhu air dapat memengaruhi fotosintesis dan respirasi tanaman mangrove. Namun, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap vegetasi mangrove karena vegetasi mangrove mampu menoleransi peningkatan temperatur air (Kusmana, 2003).
60
Tabel 4. 2. Hasil uji lanjut BNT untuk variabel suhu air tiap zona pengamatan (I) Zona Kontrol
Dalam
Tengah
Luar
(J) Zona Dalam Tengah Luar Kontrol Tengah Luar Kontrol Dalam Luar Kontrol Dalam Tengah
Standar galat 0,924 0,924 0,924 0,924 0,924 0,924 0,924 0,924 0,924 0,924 0,924 0,9242
Signifikansi 0,019* 0,791 0,083 0,019* 0,012* 0,001* 0,791 0,012* 0,131 0,083 0,001* 0,131
*)
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05 Gambar 4. 1 diatas menunjukkan bahwa rata-rata suhu air habitat mangrove di
tepi Sungai Donan tiap zona sekitar 29-33°C. Kementrian Lingkungan Hidup (2004) menetapkan suhu air yang baik untuk kawasan mangrove antara 28-32°C. Dengan demikian, suhu air pada zona kontrol, zona dalam, dan zona tengah masih baik untuk kehidupan dan perkembangbiakan biota pada mangrove, sedangkan zona luar memiliki rata-rata suhu air diatas baku mutu yang ditetapkan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 4. 1) diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tiap zona pengamatan, ditandai dengan nilai sig. < 0,05, yaitu sebesar 0,005. Untuk melihat zona mana yang berbeda dilakukan analisis pembandingan ganda dengan hasil seperti yang ditunjukkan oleh hasil uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) pada Tabel 4. 2. Perbedaan yang signifikan terdapat pada zona dalam dengan ketiga zona yang lain. Hal tersebut dikarenakan nilai selisih antara zona dalam dengan zona lainnya lebih kecil atau sama dengan nilai BNT. Rata-rata suhu perairan terendah sebesar 29°C terdapat pada zona
59
Gambar 4. 1. Rata-rata suhu air dan kandungan oksigen terlarut pada tiap zona pengamatan Berdasarkan hasil analisis statistik uji beda menggunakan analisis sidik ragam, rata-rata suhu air dan kandungan oksigen terlarut antar zona pengamatan menunjukkan hasil sebagai berikut: Tabel 4. 1. Analisis sidik ragam untuk variabel suhu air dan kandungan oksigen terlarut tiap zona pengamatan Variabel
Derajat Bebas
Suhu air Oksigen terlarut
15 15
*)
Selang Kepercayaan 31,37±1,96 3,89±1,10
Berbeda signifikan pada taraf uji 0,05
F Hitung
Signifikansi
7,268 3,020
0, 005* 0,072
58
1. Kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove Hasil pengukuran kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove di tepi Sungai Donan kemudian dibandingkan dengan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yang dijelaskan berikut ini. Radiasi cahaya matahari yang tiba pada permukaan perairan akan memberikan suatu panas pada badan perairan. Jika jumlah radiasi yang berhasil diserap oleh permukaan perairan berbeda, temperatur (jumlah panas) yang dimiliki oleh perairan tersebut juga akan berbeda. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air, serta kedalaman badan air (Effendi, 2003). Suhu perairan akan memengaruhi aktivitas organisme yang akan berpengaruh terhadap kandungan oksigen terlarut. Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata suhu dan kandungan oksigen terlarut pada empat zona diperoleh hasil sebagai berikut:
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kualitas Fisis dan kimiawi Habitat Perairan Mangrove serta Kerapatan absolut vegetasi Mangrove di Tepi Sungai Donan, Cilacap Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kawasan rehabilitasi mangrove di tepi Sungai Donan yang terbagi menjadi empat zona pengamatan dengan tiga zona ditempatkan berdasarkan jarak dari kawasan industri (Kilang Minyak Cilacap) dengan jarak masing-masing satu km selanjutnya diberi keterangan sebagai zona dalam merupakan zona yang paling dekat dengan lokasi pembuangan limbah Kilang Minyak Cilacap, zona tengah, dan zona luar, yaitu zona yang paling dekat dengan muara, serta zona pengamatan yang berada pada lokasi sejauh tiga km sebelum lokasi pembuangan limbah Kilang Minyak Cilacap yang disebut dengan zona kontrol, diperoleh hasil pengukuran kualitas fisis dan kimiawi perairan serta hasil perhitungan kerapatan absolut vegetasi mangrove yang berbeda (Lampiran 1 dan 2). Kualitas fisis yang diukur dalam penelitian ini meliputi suhu air, salinitas, dan ketebalan lumpur, sedangkan kualitas kimiawi yang diukur meliputi kandungan oksigen terlarut dalam air , pH air, serta konsentrasi kandungan Pb dan Cu.
57
56
zona pengamatan, serta terpenuhinya uji normalitas dan uji kesamaan variansi (Lampiran 5). Untuk mengetahui secara lebih detail bagian yang berbeda, digunakan uji lanjut Least Significant Difference (LSD) atau disebut uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) karena asumsi kesamaan variansi telah terpenuhi dan jumlah sampel tiap variabel adalah sama.
55
3) Konsentrasi Polutan Pb dalam akar = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove 4) Konsentrasi Polutan Pb dalam daun = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove 5) Konsentrasi Polutan Cu dalam air = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove 6) Konsentrasi Polutan Cu dalam substrat = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove 7) Konsentrasi Polutan Cu dalam akar = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove 8) Konsentrasi Polutan Cu dalam daun = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove.
c. Perbedaan konsentrasi polutan Pb dan Cu di keempat zona pengamatan. Data konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam air dan substrat dengan jumlah sampel masing-masing 16 sampel (satu kali ulangan) dengan empat perlakuan berupa zona pengamatan dengan unit eksperimen berupa plot pengamatan kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji One way Anova (Analysis of Variance) atau analisis sidik ragam satu faktor untuk mengetahui perbedaan konsentrasi polutan Pb dan Cu pada tiap zona pengamatan. Analisis sidik ragam satu faktor digunakan karena hanya memperhitungkan satu faktor yang menimbulkan variansi, yaitu
54
menggunakan software SPSS (Stastistical Product and Service Solutions) 17.0 for Windows dengan jumlah sampel sebanyak 16 sampel. Karena uji normalitas, uji homogenitas, dan uji linieritas sebagai asumsi analisis regresi terpenuhi (Lampiran 4), serta dengan hanya memiliki satu variabel prediktor, maka analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear sederhana. Grafik analisis regresi terdapat pada Lampiran 4. Persamaan analisis regresi sederhana, yaitu Yi = β0+β1X dengan keterangan sebagai berikut. 1) Variabel
respon
(variable
dependent),
yaitu
variabel
yang
keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan Yi. 2) Variabel prediktor (variable independent), yaitu variabel yang bebas tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan X. 3) β0, yaitu konstanta 4) β1, yaitu koefisien regresi dengan masing-masing persamaan sebagai berikut. 1) Konsentrasi Polutan Pb dalam air = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove 2) Konsentrasi Polutan Pb dalam substrat = β0+β1 Kerapatan absolut vegetasi mangrove
53
menunjukkan kemampuan tanaman dalam memindahkan logam dari akar ke tajuk (Wei et al., 2008). Dari nilai BCF dapat diketahui kemampuan tumbuhan yang diteliti dalam mengakumulasi logam berat di lingkungannya, sedangkan dari nilai TF dapat diketahui proses yang dilakukan tanaman dalam mengurangi keberadaan logam merupakan proses fitoekstraksi atau fitostabilisasi.
(
jika nilai
)
)
(
)
BCF > 1000
= kemampuan tinggi
1000 > BCF > 250
= kemampuan sedang
BCF < 250
= kemampuan rendah.
(
) (
Jika nilai TF < 1 TF > 1
(
)
= Mekanisme fitostabilisasi = Mekanisme fitoekstraksi.
b. Pengaruh kerapatan absolut vegetasi mangrove terhadap konsentrasi polutan Pb dan Cu. Untuk mengetahui pengaruh kerapatan absolut vegetasi mangrove terhadap konsentrasi polutan Pb dan Cu dalam air, substrat, serta organ tumbuhan (akar dan daun), dilakukan delapan analisis regresi dengan
52
disebutkan di atas merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam kriteria baik (sangat padat), baik (sedang), serta rusak (jarang). Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan persentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup sebagaimana dimaksud dalam Tabel 3. 1 di bawah ini. Karena perhitungan yang dilakukan hanya kerapatan mangrove, kriteria baku kerusakan mangrove di tepi Sungai Donan hanya ditetapkan berdasarkan nilai kerapatan mangrovenya. Tabel 3. 1. Kriteria baku kerusakan mangrove Kriteria Baik Rusak
Penutupan (%)
Kerapatan (pohon/ha)
Sangat Padat
≥ 75
≥ 1500
Sedang
≥ 50 - < 75
≥ 1000 - < 1500
Jarang
<50
< 1000
3. Peranan mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian polutan Pb dan Cu a. Faktor biokonsentrasi (Bioconcentration Factor translokasi (Translocation Factor TF).
BCF) dan faktor
Setelah kandungan logam berat dalam air dan substrat serta organ tumbuhan diketahui, maka data tersebut digunakan untuk menghitung kemampuan Rhizophora apiculata dalam menyerap logam berat Pb dan Cu dari lingkungan melalui tingkat Bioconcentration Factor (BCF). Faktor terpenting kedua untuk melihat potensi tanaman sebagai fitoremidiator adalah nilai Translocation Factor (TF). Nilai TF
51
Apabila (Ci/Lij)M adalah nilai maksimum dari Ci/Lij dan(Ci/Lij)R adalah nilai rata-rata dari Ci/Lij, formula penghitungan indeks pencemaran dapat ditulis sebagai PIj = √
.
Evaluasi terhadap nilai PIj adalah sebagai berikut. 1) Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 ≤ PIj ≤ 1,0 2) Tercemar ringan jika 1,0 < PIj ≤ 5,0 3) Tercemar sedang jika 5,0 < PIj ≤ 10,0 4) Tercemar berat jika PIj > 10,0. b. Penentuan status kondisi mangrove. Data berupa kerapatan mangrove kemudian dibandingan dengan kerapatan mangrove yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang sedangkan status kondisi mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove. Penetapan Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ini diterapkan untuk sempadan pantai mangrove dan sempadan sungai mangrove di luar kawasan konservasi. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove sebagaimana
50
2. Penentuan status mutu air dan status kondisi mangrove a. Penentuan status mutu air. Data berupa kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove kemudian dibandingan dengan standar kandungan yang diperbolehkan dari masing-masing unsur fisis dan kimiawi perairan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai penentuan status mutu air dengan metode Indeks Pencemaran (Pollution Index – PI). Indeks Pencemaran (Pollution Index) digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974 dalam Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2003). Menurut definisinya PIj adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan air j. Dalam hal ini peruntukan yang digunakan adalah klasifikasi berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut pada habitat mangrove (Lampiran 3).
49
E. Metode Analisis Data 1. Kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove serta kerapatan absolut vegetasi mangrove a. Kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove serta jumlah individu dan jenis mangrove. Data kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove serta data jumlah individu dan jenis mangrove (Lampiran 1 dan 2) yang diukur, dihitung, dan disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove serta kerapatan absolut vegetasi mangrove dengan zona pengamatan sehingga dapat diketahui pola perbedaan data yang dianalisis antar zona pengamatan. Kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove serta kerapatan absolut vegetasi mangrove sebagai sumbu y, sedangkan zona pengamatan sebagai sumbu x. Analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan membandingkan data yang berada di dekat Kilang Minyak Cilacap dengan data yang berada jauh dari Kilang Minyak Cilacap sekaligus dibandingkan dengan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut dalam Keputusan Metnteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004.
48
cetok sebanyak satu kg setiap sampel, sedangkan pengambilan sampel air sebanyak 1,5 liter menggunakan water sampler. Sampel air kemudian dianalisis di Laboratorium Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL PPM) Yogyakarta, sedangkan sampel substrat dianalisis di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta untuk diukur konsentrasi polutan Pb dan Cu yang terkandung di dalamnya. Pengujian konsentrasi polutan Pb dan Cu dilakukan dengan menggunakan metode secara langsung spektrofotometer serapan atom (SSA) dengan satuan mg/l untuk konsentrasi polutan dalam air dan mg/kg untuk konsentrasi polutan dalam substrat. b. Pengambilan sampel akar dan daun mangrove. Sampel akar dan daun mangrove diambil dengan menggunakan gunting tanaman. Sampel akar yang diambil merupakan akar mangrove yang masuk ke dalam sedimen sedangkan daun mangrove yang diambil merupakan daun mangrove yang sehat. Sebanyak ± 30 daun diambil dari jenis Rhizophora apiculata yang merupakan jenis dominan di hutan mangrove di tepi Sungai Donan (Wardhani, 2011) dan ditemui di setiap plot pengamatan. Pengujian konsentrasi Pb dan Cu dilakukan dengan menggunakan metode secara langsung dengan alat spektrofotometer serapan atom (SSA) dengan satuan mg/kg.
47
e. Ketebalan lumpur. Ketebalan lumpur diukur dengan menggunakan galah bambu atau tongkat ukur yang ditancapkan dalam lumpur kemudian dilihat kedalamannya pada ukuran yang tertera pada alat tersebut. Pengukuran ini dilakukan di dalam petak ukur 5 x 5 m.
3. Pengambilan data vegetasi berupa jumlah individu dan jenis mangrove Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan membuat kuadrat sampling dengan ukuran 10 x 10 meter untuk vegetasi tingkat pohon (diameter > 10 cm), 5 x 5 m untuk vegetasi tingkat pancang (diameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 m) dan kuadrat ukuran 2 x 2 m untuk tingkat semai (tinggi < 1,5 meter). Karena tingkatan hidup yang ada dalam kawasan hanya tingkat pancang, petak ukur yang dibuat hanya berukuran 5 x 5 m. Rumus yang digunakan untuk perhitungan kerapatan absolut vegetasi mangrove adalah: Kerapatan absolut vegetasi mangrove =
(pohon/ha).
4. Pengambilan sampel untuk mengetahui konsentrasi polutan Pb dan Cu a. Pengambilan sampel air dan substrat. Titik pengambilan substrat berada di tengah plot di dalam petak ukur 5 x 5 m. Pengambilan sampel substrat dilakukan dengan menggunakan
46
c. Salinitas air. Salinitas perairan diukur menggunakan
Salinity Test Digital. Cara
pengukurannya dengan mencelupkan ujung alat ke dalam air sebatas tanda yang tertera pada alat kemudian tombol bagian atas ditekan ke depan, maka angka salinitas akan muncul pada layar alat tersebut dengan satuan persen (%) yang kemudian diubah menjadi satuan permil (‰) dengan mengalikan hasil dengan nilai 10. Setelah digunakan, alat segera dibersihkan dengan akuades. Pengambilan sampel air dilakukan di dalam petak ukur 5 x 5 m.
d. Kandungan oksigen terlarut dalam air. Alat yang digunakan untuk mengukur kandungan oksigen terlarut adalah Oxymeter. Pengukuran dilakukan dengan cara mencelupkan ujung sensoris oxymeter pada air sampai sebatas tanda yang tertera pada alat, tombol “on” ditekan, maka terbaca jumlah oksigen terlarut dalam air tersebut dengan satuan mg/l. Setelah alat ini selesai digunakan, tombol “off” ditekan kemudian alat dibersihkan dengan akuades. Pengambilan sampel air dilakukan di dalam petak ukur 5 x 5 m.
45
2. Pengambilan data kualitas fisis dan kimiawi habitat mangrove a. Derajat keasaman (pH air). Pengukuran pH air dilakukan menggunakan
pH stick. Pengukuran
dengan pH stick dilakukan dengan cara mencelupkan pH stick ke dalam perairan selama tiga menit kemudian mencocokkan warnanya dengan warna pH standar yang berada pada kotak pH. Pengukuran ini dilakukan di dalam petak ukur 5 x 5 m.
b. Suhu air. Alat
yang digunakan
untuk
mengukur
suhu
perairan,
yaitu
thermometer stick yang ujungnya berlubang untuk mengaitkan tali. Thermometer stick dicelupkan sebatas cairan merah yang ada dalam stik kaca (tanda air raksa) dan termometer tidak dipegang dengan tangan melainkan digantung dengan tali. Suhu air terlihat pada skala termometer setelah dibiarkan konstan selama 5 menit tercelup air. Setelah digunakan, alat segera dibersihkan dengan menggunakan akuades. Satuan suhu air adalah derajat Celcius (°C). Pengukuran ini dilakukan di dalam petak ukur 5 x 5 m.
44
Gambar 3. 2. Lokasi Pengambilan Sampel
43
D. Metode Pengambilan Data 1. Penentuan Lokasi Sampel Lokasi penelitian terbagi menjadi empat zona pengamatan dengan tiga zona ditempatkan berdasarkan jarak dari lokasi pembuangan limbah Kilang Minyak Cilacap dengan jarak masing-masing 1 km (Gambar 3. 2). Selanjutnya diberi keterangan sebagai zona dalam, merupakan zona yang paling dekat dengan Kilang Minyak Cilacap, zona tengah, dan zona luar, yaitu zona yang paling dekat dengan muara. Selain ketiga zona diatas, juga ditempatkan zona pengamatan yang berada pada lokasi sejauh 3 km sebelum lokasi pembuangan limbah Kilang Minyak Cilacap yang disebut dengan zona kontrol. Pada tiap zona dibuat empat plot pengamatan, plot pertama terdapat di badan air (sungai) yang disebut Plot 1, sedangkan tiga plot lain ada dalam kawasan mangrove dengan nama Plot 2, 3, dan 4. Dalam setiap plot dibuat petak ukur 5 x 5 m untuk mengidentifikasi jumlah individu dan jenis mangrove (Plot 2 hingga 4) serta menjadi lokasi pengambilan sampel air, substrat, dan organ tumbuhan mangrove untuk analisis konsentrasi polutan Pb dan Cu (Plot 1 hingga 4).
42
2. Bahan penelitian Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini antara lain: 1) Kawasan mangrove sekitar Kilang Minyak Cilacap dan kawasan mangrove yang berada sebelum Kilang Minyak Cilacap. 2) Sampel air dan substrat dari lokasi penelitian. 3) Sampel akar dan daun mangrove. Bahan yang digunakan untuk analisis konsentrasi polutan pada air, substrat, akar, dan akar mangrove (analisis laboratorium) antara lain: 1) Larutan induk tembaga, Cu 1000 μg/ml; larutan induk timbal, Pb 1000 μg/ml 2) Asam nitrat, HNO3 pekat (65%) 3) Air suling 4) Asam perklorat, HClO4 pekat 5) Kertas saring kuantitatif dengan ukuran pori 8,0 μm.
41
Alat pengukuran konsentrasi polutan pada air, substrat, daun, dan akar mangrove (analisis laboratorium) antara lain: 1) Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) 2) Timbangan analitik dengan ketelitian sampai dengan 0,0001 g 3) Cawan porselin 4) Desikator 5) Oven 6) Gelas ukur 100 ml 7) Pipet volumetri 2,0 ml; 5,0 ml; 10,0 ml; 15,0 ml; 20,0 ml; dan 10 ml 8) Pipet komagome 3 ml dan 5 ml 9) Gelas piala 100 ml 10) Penangas listrik (hot plate) 11) Corong 12) Kaca arloji 13) Batang pengaduk 14) Spatula 15) Erlenmeyer 250 ml 16) Mortar dan alu 17) Botol gelas atau polietilen bertutup 18) Labu ukur 50 ml; 100 ml dan 1000 ml 19) Pipet ukur 10 ml
40
C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian Alat penelitian yang digunakan untuk pengambilan data di lapangan antara lain: 1) Perahu sebagai alat transportasi untuk mencapai lokasi sampel 2) Cetok untuk mengambil sampel sedimen 3) Water sampler untuk mengambil sampel air 4) Salt meter untuk mengukur salinitas 5) Dissolved Oxygen meter untuk mengukur oksigen terlarut 6) Termometer untuk mengukur suhu air 7) pH stik untuk mengukur tingkat pH 8) Galah bambu untuk mengukur ketebalan lumpur 9) Roll meter sebagai alat bantu untuk mengukur plot sampel 10) Tally sheet untuk dokumentasi data lapangan 11) Tali tampar untuk membuat petak ukur 12) Alat tulis untuk mencatat data di lapangan 13) GPS untuk membantu navigasi.
39
Gambar 3. 1. Lokasi Pengambilan Data
B. Waktu Penelitian Waktu pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 25 hingga 27 Maret 2013. Penentuan titik sampel dilakukan pada tanggal 25 Maret 2013, pengukuran kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove serta pengambilan sampel air, substrat, dan organ tumbuhan mangrove dilakukan pada tanggal 26 Maret 2013 pada pukul 09.00 hingga 12.00 WIB saat kondisi surut, sedangkan pengambilan data jumlah individu dan jenis mangrove pada tanggal 27 Maret 2013. Analisis laboratorium untuk sampel air, substrat, dan organ tumbuhan mangrove dilaksanakan pada 28 Maret sampai 25 Mei 2013.
38
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan rehabilitasi mangrove Segara Anakan, Cilacap tepatnya di tepi Sungai Donan sekitar Kilang Minyak Cilacap yang dikelola oleh pihak Perum Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cilacap, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Banyumas Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat. Pengelolaan hutan mangrove di RPH Cilacap diarahkan pada pengawetan keanekaragaman ekosistem jenis tumbuhan dan satwa liar agar tetap lestari dengan penggolongan kawasan perlindungan setempat. Pada bagian utara Sungai Donan berhulu dengan Sungai Jeruklegi dan bagian selatan bermuara dengan Sungai Kembangkuning yang merupakan jalur air antar kampung di Cilacap, sedangkan bagian barat Sungai Donan merupakan hutan mangrove dan bagian timur sungai tersebut merupakan kawasan industri yang meliputi pelabuhan, pabrik pengawetan hasil laut, Kilang Minyak Cilacap , PLN Cilacap, dan Pabrik Semen Holcim. Berikut ini merupakan peta lokasi pengambilan data (tanda merah).
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Kawasan rehabilitasi mangrove di sekitar Sungai Donan termasuk ke dalam hutan mangrove Segara Anakan, Cilacap yang terletak diantara 108°42’ – 109°42’ Bujur Timur dan 7°30’ – 7°44’ Lintang Selatan. Hutan mangrove Segara Anakan terbentang sepanjang pantai selatan Jawa Tengah. Hal yang istimewa dari hutan mangrove ini adalah letaknya yang berada di Pantai Selatan Pulau Jawa dengan gelombang Samudera Indonesia cukup besar dan pantai-pantai yang cukup terjal. Hutan mangrove Segara Anakan merupakan lanjutan dataran rendah Cilacap dan berbatasan dengan Segara Anakan. Ketinggian tanah pada umumnya berkisar antara 0 hingga 20 meter di atas permukaan laut dan terdapat muara beberapa sungai seperti Sungai Citanduy, Cibeureum, Donan, dan sungai-sungai kecil lainnya. Sungai-sungai tersebut banyak membawa partikel-partikel tanah sehingga terjadi endapan lumpur yang cukup cepat. Dengan banyaknya endapan lumpur tersebut, terjadilah banyak tanah-tanah timbul dan pulau-pulau kecil (Haditenojo dan Abas, 1982 dalam Perdana, 2006). Hutan mangrove di tepi Sungai Donan terbentuk karena lindungan Pulau Nusakambangan dan aliran Sungai Citanduy. Aliran Sungai Citanduy yang masuk bercampur dengan air laut Samudera Indonesia dan membentuk perairan payau yang ditumbuhi oleh hutan mangrove (Perdana, 2006). 37
36
logam berat pada air dan tanah mengingat bahwa logam-logam berat tersebut tidak dapat terurai saat vegetasi mengalami dekomposisi. Dengan demikian, jumlah logam berat terutama pada air akan bertambah. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, menjadi suatu akumulasi logam berat dengan konsentrasi yang tinggi, mengakibatkan turunnya kualitas air sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sesuai ambang batas yang diperbolehkan untuk setiap baku mutu air. Peranan mangrove sebagai biofilter dalam mengendalikan polutan logam berat terutama Pb dan Cu terbukti dari beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti penelitian yang dilakukan di kawasan perairan estuari Pantai Timur Surabaya diketahui bahwa rata-rata kadungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo adalah 5,60 mg/l, sedangkan dalam sedimen sebesar 3,19 mg/l, lebih kecil dari kandungan tembaga dalam akar mangrove (Mulyadi dkk., 2009). Penelitian lain menyebutkan bahwa dari hasil analisa organoleptik terdapat bukti nyata bahwa mangrove jenis Bruguiera gymnorrhiza tahan terhadap konsentrasi toksik, sedangkan mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata tidak tahan terhadap konsentrasi toksik, tetapi mangrove jenis Avicennia marina, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza dapat menyerap logam berat dengan efektif terbukti pada analisa logam berat yang dilakukan (Munawar dan Rina, 2010).
35
Jadi, limbah tersebut memengaruhi kesehatan masyarakat, rekreasi, budidaya laut, dan menurunkan amenitas (kenyamanan) umum lainnya. Keseimbangan ekosistem dapat dilihat dari siklus energi dan rantai makanan ekosistem tersebut. Setiap ekosistem yang seimbang mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengembalikan dirinya sendiri seperti keadaan sebelumnya jika ada masukan dari luar. Jika perairan mangrove sebagai tempat berpijah, bertelur, dan mencari makan biota tercemar, tentu akan berimbas pada kehidupan biota itu sendiri dan juga manusia sebagai pengguna akhir hasil laut.
C. Mangrove sebagai Biofilter dalam Pengendalian Polutan Logam Berat Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya disebut ekologi (Soemarwoto, 1989). Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah permasalahan ekologi yang menyangkut mahluk hidup dalam kesatuannya dengan tempat hidupnya. Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang menempati lingkungan interface yang sangat dinamik antara darat dan laut. Oleh karena itu, mangrove bersifat sangat rentan terhadap gangguan (Suprakto, 2005). Pencemaran yang terjadi di hutan mangrove tidak hanya merusak tumbuhan saja, tetapi juga akan menimbulkan dampak negatif pada komponen ekosistem lainnya seperti biota laut. Limbah hasil produksi yang berupa logam berat dapat memengaruhi jumlah
34
ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Berkaitan dengan pengaruh bahan-bahan pencemar terhadap kehidupan manusia, Williams (1979) dalam Supriharyono (2000) mengelompokkan bahan pencemar menjadi tiga tipe, yaitu patogenik, estetik, dan ekomorpik. Bahan pencemar yang bersifat patogen adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Bahan pencemar yang berkaitan dengan nilai estetika, yaitu bahan pencemar yang menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak nyaman bagi indera mata, telinga, maupun hidung, sedangkan bahan pencemar yang ekomorpik adalah bahan pencemar yang menghasilkan perubahan sifat-sifat fisik lingkungan. Bahan-bahan pencemar juga diketahui memengaruhi populasi dan kesehatan ikan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang pengaruhnya diketahui dalam jangka panjang dan lebih berbahaya. Pengaruh langsung adanya bahan pencemar, misalnya perubahan keanekaragaman populasi ikan. Hanya spesies yang tahan yang akan mendominasi di daerah tercemar, sedangkan spesies yang tidak tahan akan mati. Pada kondisi ekstrim, yaitu pada keadaan anoksik, populasi yang hidup hanya bakteri anaerob. Pertambahan jumlah penduduk memungkinkan bahan sisa yang dibuang ke lingkungan perairan bertambah banyak, tidak hanya dari limbah domestik, tetapi juga dari industri yang mengeluarkan limbah dengan jumlah yang cukup besar.
33
Kerusakan mangrove ini akan menimbulkan berbagai efek dan berimplikasi terhadap berbagai sektor di kawasan pesisir dan perkotaan dataran rendah. Penyebab kerusakan hutan mangrove lainnya adalah penggunaan hutan mangrove sebagai tempat pembuangan akhir akibat semakin sempitnya lahan yang ada. Hal ini bisa saja memberikan dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem mangrove. Hutan mangrove juga merupakan muara dari beberapa sungai tempat sungai-sungai tersebut membawa limbah yang dibuang ke sungai tersebut baik limbah rumah tangga maupun limbah industri, salah satunya adalah kawasan rehabilitasi Hutan Mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Kawasan Pantai Cilacap merupakan muara dari sungai-sungai yang dijadikan tempat pembuangan limbah. Kawasan ini dikembangkan sebagai kawasan industri tempat dibangun berbagai industri dan beberapa diantaranya terletak di tepi Sungai Donan dan membuang limbahnya ke perairan sungai tersebut (Sugiharto, 2005). Limbah-limbah yang dibuang di aliran tersebut diantaranya mengandung logam berat karena terdapat beberapa pabrik pengawetan hasil laut, Kilang Minyak, pabrik semen, dan kegiatan industri lain yang limbahnya mengandung logam berat logam berat diantaranya Pb (timbal) dan Cu (Tembaga) (Sudaryanto, 2011). Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Indonesia melalui Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup sebagai peristiwa masuknya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan turun sampai
32
3) Kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain 4) Sumber plasma nutfah dan sumber genetika 5) Habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut.
c. Fungsi kimiawi. 1) Tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen 2) Penyerap karbondioksida 3) Pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapalkapal di lautan 4) Penyerap dan penetralisir polutan yang masuk ke badan perairan mangrove. Begitu banyak manfaat yang diperoleh dari keberadaan hutan mangrove. Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatannnya harus benar-benar diperhatikan agar keseimbangan ekosistem mangrove terjaga. Pada kenyataannya, hutan mangrove yang terletak di wilayah pesisir keberadaannya semakin terdesak dan rusak akibat dari berbagai pembangunan di wilayah pesisir. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai dampak negatif terhadap potensi yang ada. Dari waktu ke waktu, hutan mangrove yang ada semakin berkurang dan rusak akibat kegiatan konversi lahan menjadi tambak, pembabatan dan penimbunan mangrove untuk keuntungan investor atau swasta, kepentingan pemerintah, bahkan pemukiman masyarakat.
31
2. Fungsi lain (wanawisata) 1) Sebagai kawasan wisata alam pantai dengan keindahan vegetasi dan satwa, serta berperahu di sekitar mangrove 2) Tempat pendidikan, konservasi, dan penelitian.
3. Fungsi ekologis a. Fungsi fisis. 1) Menjaga garis pantai agar tetap stabil (land stabilizer) 2) Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat 3) Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru 4) Kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat serta sebagai filter air asin menjadi tawar 5) Wind breaker.
b. Fungsi biologis. 1) Penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar 2) Kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya
30
terlarut dalam air tawar ataupun air laut hampir sama, yaitu 4 hingga 8 mg/l. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), kandungan oksigen terlarut dalam air memiliki hubungan dengan suhu lingkungan air. Semakin tinggi suhu air maka kemampuan air untuk mengikat oksigen semakin rendah sehingga kandungan oksigen dalam air menjadi sedikit pula.
B. Fungsi Hutan Mangrove Menurut Arief (2003) dan Supriharyono (2000), berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai penyedia bahan pangan, papan, dan kesehatan serta lingkungan, mangrove dibedakan menjadi lima fungsi, yaitu fungsi ekonomis, fungsi lain (wanawisata), serta fungsi ekologis yang terbagi menjadi fungsi fisis, fungsi biologis, dan fungsi kimiawi.
1. Fungsi ekonomis Secara ekonomi, kawasan mangrove merupakan devisa (pendapatan) baik bagi masyarakat, industri, maupun bagi negara. Adapun fungsi ekonomis mangrove antara lain: 1) Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang, serta kayu untuk bahan bangunan dan perabot rumah tangga 2) Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obatobatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika, dan zat pewarna 3) Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu.
29
lambat dan secara relatif merupakan bentuk yang tidak efektif dari penyediaan oksigen dalam air meskipun itu terjadi 24 jam sehari (Welch, 1952 dalam Mahayani, 2005). Fitoplankton dan tumbuhan air lain yang mengandung klorofil, dalam aktifitas fotosintesisnya melepaskan oksigen secara langsung ke dalam air dan kemudian dengan gerakan air yang efektif mengalami distribusi yang meluas. Selama siang hari, fotosintesis cenderung menyebabkan bertambahnya jumlah oksigen yang ada, tetapi sesudah matahari tenggelam respirasi
organisme perairan dan
proses dekomposisi
mengurangi oksigen bebas dalam air. Banyaknya oksigen yang berasal dari tumbuhan hijau tergantung pada jumlah tumbuhan atau konsentrasi tumbuhan dalam tiap unit kubik air, dan pada lamanya cahaya efektif. Bila tumbuhan air atau fitoplankton lebih banyak, oksigen yang dihasilkan selama satu hari jumlahnya lebih besar meskipun itu tidak mencolok karena gerakan air memelihara distribusi oksigen tersebut dalam area yang lebih luas dari tempat tumbuhan itu sendiri. Oksigen terlarut tidak bersenyawa secara kimiawi dengan air itu sendiri, tetapi bereaksi dengan Fe atau bahan organik dalam air (Husin, 1989). Menurut Brotowijoyo dkk (1999), kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum 5 mg/l dan selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, adanya pencemar, dan suhu air. Kandungan oksigen
28
jenis ganggang tidak dapat hidup di perairan dengan pH lebih besar dari 8,5. Ditinjau dari segi kesehatan terhadap manusia, nilai pH dapat memengaruhi rasa, korosivitas air, dan efisiensi klorinasi (Asdak, 1995). d. Oksigen t
.
Sumber oksigen terlarut dalam air ada dua, yaitu difusi langsung dari udara melalui permukaan serta hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Difusi oksigen dari permukaan air dapat terjadi secara langsung dan melalui berbagai bentuk peristiwa pada permukaan seperti gelombang, air terjun, dan aliran turbulensi karena ada hambatan aliran (Welch, 1952 dalam Mahayani, 2005). Oksigen terlarut penting bagi perkembangan flora dan fauna pada ekosistem mangrove. Menurunnya kandungan oksigen terlarut akan memengaruhi organisme yang hidup di dalamnya. Aktivitas organisme yang paling banyak menggunakan oksigen adalah proses pembusukan atau dekomposisi. Proses ini dapat berlangsung karena adanya aktivitas bakteri pembusuk yang menguraikan bahan-bahan organik. Bagi kawasan mangrove, oksigen terlarut juga memegang peranan penting bagi keberadaan vegetasi dan biota yang hidup di dalamnya serta penting dalam dalam proses dekomposisi seresah di kawasan ini (Aksornkoae, 1993). Difusi langsung dari udara melalui lapisan permukaan dan masuk ke dalam lapisan air yang lebih bawah secara
27
menjadi garam mineral seperti amonia, nitrat, dan fosfat. Garam-garam mineral ini selanjutnya akan digunakan oleh tanaman air untuk proses pertumbuhan fotosintesis. Semakin tinggi kandungan mineralnya semakin tinggi pula tingkat kesuburan perairan tersebut. pH dapat memengaruhi respirasi, sistem enzim, kandungan nutrisi, dan produktifitas organisme. Oleh karena itu, pH mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan organisme perairan. pH yang terlalu tinggi sangat memengaruhi aktivitas biota perairan sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas lain dalam ekosistem. Derajat keasaman pH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan melihat tingkat keasaman atau kebasaan air yang dikaji, terutama oksidasi sulfur dan nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi kalsium dan magnesium pada pembasaan. Besarnya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimiawi dan unsur-unsur hara yang amat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik (Bougis, 1976). pH air juga mempunyai peranan penting bagi kehidupan ikan dan fauna lain yang hidup di perairan tersebut. Umumnya, perairan dengan pH kurang dari 4,8 dan lebih besar dari 9,2 sudah dapat dianggap tercemar (Brook et al., 1990 dalam Asdak, 1995). Bagi kebanyakan ikan yang hidup di perairan tawar, angka pH yang dianggap sesuai untuk kehidupan ikanikan tersebut berkisar antara 6,5 hingga 8,4. Sementara itu, sebagian besar
26
b. Salinitas air. Salinitas atau biasa disebut juga konsentrasi garam merupakan kandungan berbagai garam terutama garam dapur (NaCl) dalam air laut. Secara lebih rinci salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, misalnya dinyatakan dengan satuan ‰ (promil), semua ion negatif dianggap sebagai khlor (CL-) dan ion positif diperhitungkan sebagai natrium (Na). Pada kawasan mangrove, salinitas penting untuk pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove (Bowman, 1917 dalam Arsornkoae, 1993). Salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif, tetapi mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt tolerant bukan salt demanding sehingga mangrove dapat tumbuh secara baik di habitat air tawar. Selain itu, salinitas juga mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut. c. pH air. pH air merupakan tingkat keasaman air yang ditunjukkan oleh nilai pH air dan berkaitan erat dengan aktivitas dekomposer. Air yang agak alkalis (basa) akan lebih cepat mendorong proses pembongkaran bahan organik
25
menyukai kisaran suhu 21-26°C dengan pengecualian jenis Xylocarpus granatum (28°C). Menurut Walsh (1974) dalam Supriharyono (2000), suhu yang menjadi pembatas kehidupan mangrove adalah suhu yang rendah dan kisaran suhu yang musiman. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove adalah suhu yang tidak kurang dari 20°C sedangkan kisaran musiman suhu tidak lebih dari 5°C. Suhu yang tinggi (>40°C) cenderung tidak memengaruhi pertumbuhan dan/ atau kehidupan tumbuhan mangrove (Kolehmainen et al., 1973 dalam Supriharyono, 2000). Suhu air berbeda-beda sesuai dengan iklim dan musim. Suhu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen. Kenaikan suhu perairan akan menyebabkan laju metabolisme mahluk hidup meningkat dan selanjutnya menaikkan kebutuhan oksigen. Suhu air yang sesuai untuk kehidupan fitoplankton berkisar 0-30°C sedangkan suhu air yang baik untuk menumbuhkan plankton adalah 25-30°C. Suhu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi antara air dan udara, seperti alih panas, penguapan, dan hembusan angin (Dahuri, 2001).
24
air (°C), pH air, salinitas air (‰), kedalaman lumpur (cm), dan oksigen terlarut/Dissolved Oxygen DO (mg/l). Penjelasan mengenai faktor-faktor diatas adalah sebagai berikut. a. Suhu air. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting di dalam lingkungan perairan karena mempunyai pengaruh yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitasnya
(Welch,
1952). Suhu perairan dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis, terutama suhu di dalam air yang telah melampaui ambang batas bagi flora dan fauna akuatis tersebut. Jenis, jumlah, dan keberadaan flora dan fauna akuatis seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air (Asdak, 1995 dalam Mahayani, 2005). Suhu perairan juga sangat menentukan kehidupan vegetasi hutan mangrove. Terdapat hubungan antara temperatur dengan pertumbuhan tanaman mangrove. Hutching dan Saenger (Arsornkoae, 1993) mempelajari kondisi di Australia dan menemukan bahwa Avicennia marina memiliki daun yang segar pada suhu 18-20°C dan hasil observasi pada temperatur yang lebih tinggi, Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha, dan Lumnizera spp., tumbuh optimal pada suhu 26-28°C. Untuk Bruguiera spp., temperatur yang optimal adalah 27°C, sedangkan Xylocarpus spp.,
23
Arnold ex Giffith. Mangrove jenis Bruguiera gymnorhiza ini tahan terhadap konsentrasi toksik serta mampu menyerap logam berat dengan efektif (Munawar dan Rina, 2010). d. Avicennia spp. (Api-api). Api-api masuk ke dalam famili Verbenaceae. Habitus berupa pohon kecil, berakar antena, menjulang ke atas permukaan tanah. Kulit batang bervariasi dari yang kasar sampai beralur dan berlentisel. Duduk daun bersilang berhadapan, tangkai daun pendek, dengan helaian daun tebal mengulit atau tebal berdaging, tulang daun sekunder tidak jelas, bentuk helaian daun bervariasidari bulat telur, elips memanjang atau lanset. Buah bertipe kapsul satu biji, berbentuk elips atau bulat telur, elips memanjang atau lanset. Jenis dari genus ini yang ditemui di hutan mangrove Cilacap ialah Avicennia officinalis L. dan Avicennia alba Blume.
2. Faktor lingkungan Kehidupan di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan di perairan tersebut. Faktor fisis dan kimiawi air pada suatu ekosistem perairan sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan biotanya. Penurunan sifat fisis dan kimiawi perairan akan berakibat pada menurunnya produktivitas yang secara tidak langsung memengaruhi pertumbuhan vegetasi dan kelangsungan ekosistem hutan mangrove sehingga dalam mengolah sumberdaya perairan faktor-faktor lingkungan harus diperhatikan. Faktor fisis dan kimiawi tersebut antara lain suhu
22
2011). Jenis dari genus ini yang dijumpai di hutan mangrove Cilacap ialah jenis Sonneratia caseolaris (L) Engler dan Sonneratia alba J. Smith. b. Rhizophora spp. (Bakau). Bakau termasuk dalam famili Rhizophoraceae. Habitusnya berupa pohon, berakar jangkar, daun tebal mengulit, berbintik-bintik hitam pada bagian permukaan bawah, duduk daun berhadapan, bentuk daun elips, tunggal, ujung bermukro (ekor), tangkai daun pendek, terdapat stipula di ujung, dan berbentuk tabung; buah berbentuk bulat telur, berwarna coklat, biji vivipar, berkecambah dengan mengeluarkan hipokotil, panjang 15-70 cm. Jenis dari genus ini yang dijumpai di hutan mangrove Cilacap ialah Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata BI. Mangrove jenis Rhizophora mucronata tidak tahan terhadap konsentrasi toksik tapi dapat menyerap logam berat dengan efektif (Munawar dan Rina, 2010). c. Bruguiera spp. (Tancang). Tancang termasuk dalam famili Rhizophoraceae. Habitus berupa pohon, berakar lutut, kulit batang berlentisel, duduk daun berhadapan, jorong atau bulat telur, ujung tumpul, tebal mengulit. Stipula di ujung berbentuk tabung, panjang dapat mencapai 4 cm, bunga 2-6, cymus, calyx sampai 13; buah vivipar, hipokotil seperti cerutu, dan berusuk. Jenis dari genus ini yang dijumpai di hutan mangrove Cilacap ialah Bruguiera gymnorhiza (L) Lamarck dan Bruguiera parvifolia (Robx) Wight dan
21
1. Karakteristik hutan mangrove Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di hutan mangrove mempunyai variasi yang seragam, yakni hanya terdiri dari satu strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20 – 30 meter (Kusmana, 2003). Hutan mangrove yang belum banyak mengalami gangguan pada umumnya membentuk zonasi, yaitu mulai dari arah laut ke daratan (Hadipurnomo, 1995), berturut-turut sebagai berikut. 1).
Zonasi Avicennia sp. dan Sonneratia sp. yang tumbuh pada lumpur garis pantai yang paling ke arah laut
2).
Zonasi Bruguiera sp. dijumpai pada lumpur yang lebih tinggi (ke arah daratan)
3).
Zonasi Rhizophora sp. dijumpai pada arah lebih ke daratan. Vegetasi yang ada dalam hutan mangrove Cilacap antara lain: a. Sonneratia spp. Jenis ini termasuk dalam famili Sonneratiaceae. Habitusnya berupa pohon kecil sampai sedang, berakar nafas (pneumatophor) yang mirip antena menjulang ke atas permukaan tanah. Kulit batang bervariasi dari putih kelabu sampai coklat muda, duduk daun berhadapan, tangkai daunnya pendek dengan helaian daun tebal atau agak tebal, bentuk bervariasi dari hampir bulat hingga elips. Buah berbentuk bulat atau bulat memipih dengan kelopak yang persisten sebanyak 6-8 Cuping (Anonim,
20
1) Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5°C dan suhu udara ratarata di bulan terdingin lebih dari 20°C 2) Arus laut yang tidak terlalu deras 3) Tempat-tempat yang terlindungi dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat, misalnya estuaria, teluk, laguna, delta, dan lain-lain 4) Topografi pantai yang landai/datar 5) Keberadaan air laut 6) Fluktuasi pasang surut yang cukup besar yang berasosiasi dengan pantai yang bertopografi landai 7) Keberadaan lumpur dan tanah vulkanik. Sumberdaya mangrove di suatu daerah terdiri atas (1) satu atau lebih jenis pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove), (2) jenis-jenis tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, tetapi juga dapat hidup di habitat non-mangrove (non- exclusive mangrove), (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri, dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekalikali, biasa ditemukan, kebetulan, maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses yang dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya (Saenger et al., 1983). Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan berfungsi ganda dalam lingkungan hidup. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh lautan dan daratan (Arief, 2003).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekosistem Hutan Mangrove Pengertian hutan mangrove dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian Nomor 60 Tahun 1978 tentang Silvikultur Hutan Payau, hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968 dalam Kusmana, 2003). Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut, sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. FAO (1982) menyarankan agar kata mangrove digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Hutan mangrove merupakan ekosistem peralihan, yaitu suatu ekosistem yang berada di antara dua ekosistem (ekosistem daratan dan ekosistem lautan) dan sekaligus menjadi penghubungnya. Champman (1975) dalam Kusmana (1996) mengemukakan bahwa ada tujuh persyaratan utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove yang baik, yaitu: 19
18
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi pihak Perhutani Unit I Jawa Tengah, RPH Cilacap, BKPH Banyumas Barat, KPH Banyumas Barat sebagai pengelola mengenai kualitas fisis dan kimiawi habitat serta kondisi vegetasi hutan mangrove yang terletak di sekitar Sungai Donan, Cilacap terkait dengan peranannya sebagai biofilter dalam pengendalian polutan Pb dan Cu di perairan. Selain itu, informasi tersebut dapat berguna dalam meningkatkan
motivasi
pengembangan
rehabilitasi
mangrove
secara
berkelanjutan. Informasi mengenai kandungan polutan Pb dan Cu yang terdapat di perairan mangrove dapat dijadikan acuan bagi pemerintah setempat dalam mengontrol konsentrasi limbah yang dibuang di Sungai Donan sehingga dampak lingkungan yang timbul dapat diminimalisir.
17
dalam batas yang melebihi toleransinya dapat menyebabkan kematian. Logam berat terakumulasi ke dalam tubuh biota laut dapat melalui permukaan tubuh, terserap insang, dan rantai makanan (Susiati, 2008). Pb dapat merusak sistem saraf biota laut, mengganggu keseimbangan berenang, dan dapat menyebabkan hasil budidaya laut berkurang sedangkan Cu walaupun termasuk logam berat essensial karena keberadaannya dalam tubuh diperlukan dalam jumlah sangat sedikit untuk proses fisiologis organisme tapi bila jumlahnya melebihi kebutuhan organisme, logam berat Cu dapat mengganggu kesehatan atau mengakibatkan keracunan (Clark, 1989 dalam Rompas, 2010). Melihat kondisi tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang peranan hutan mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian bahan pencemar lingkungan di sepanjang Sungai Donan, Cilacap.
C. Tujuan Penelitian 1) Mengetahui kualitas fisis dan kimiawi habitat perairan mangrove serta kerapatan absolut vegetasi mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap. 2) Mengetahui status mutu air dan status kondisi mangrove berdasarkan kerapatan absolut vegetasi mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap. 3) Mengetahui peranan hutan mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian polutan Pb dan Cu di perairan mangrove di tepi Sungai Donan, Cilacap.
16
pencemar. Namun, ekosistem mangrove itu sendiri memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyerap dan menetralisir bahan pencemar sehingga dapat mengancam keberadaan mangrove dan ekosistem sekitarnya yang berakibat pada kematian organisme-organisme penghuni ekosistem (Mahayani, 2005). Berdasarkan hal tersebut diatas, keberadaan dan kondisi hutan mangrove memegang peranan penting dan strategis dalam memulihkan kerusakan lingkungan perairan melalui kemampuannya dalam mengakumulasi berbagai bahan pencemar. Oleh karena itu, penelitian tentang peranan hutan mangrove sebagai biofilter dalam pengendalian bahan pencemar lingkungan, khususnya logam berat Pb dan Cu perlu dilakukan.
B. Permasalahan Hutan
mangrove
memiliki
banyak
fungsi,
salah
satunya
adalah
kemampuannya sebagai biofilter dalam pengendalian polutan. Salah satu hutan mangrove yang tersisa di Pulau Jawa adalah hutan mangrove yang terletak di tepi Sungai Donan, Cilacap. Dengan diarahkannya Kota Cilacap sebagai kota industri, maka dibangunlah berbagai industri yang beberapa diantaranya menempati lokasi di dekat Sungai Donan dan membuang limbah ke perairan sungai tersebut. Limbah-limbah yang dibuang di aliran tersebut diantaranya mengandung logam berat seperti Pb dan Cu, padahal logam berat adalah salah satu pencemar perairan yang sangat berbahaya karena bila terakumulasi dalam tubuh organisme hidup