BAB V KESIMPULAN DAN IM PLIKASI
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut: 1. M asalah sengketa batas w ilayah kawasan Pulau Tujuh memiliki akarnya di awal pemekaran Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, pada 2003. Kebijakan pemekaran dari Kemendagri untuk Kabupaten Lingga yang memasukkan kawasan Pulau Tujuh sebagai bagian dari wilayah adm inistratifnya telah melanggar UU No. 27/2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sengketa batas wilayah di gugusan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan Kepri berkembang karena kawasan tersebut memiliki potensi sumberdaya alam strategis yang sangat besar, dan kedua belah pihak mengincar atau mempertahankan sumberdaya strategis yang terbatas tersebut. Jika Pemprov Babel sejak awal dapat bersikap lebih proaktif dalam mengusahakan penyelesaian masalah sengkata batas wilayah di kawasan ini dengan melihat potensi sumberdaya alam strategis yang besar tersebut untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat setempat, sengketa batas wilayah ini dapat dike lola secara lebih baik dan menguntungkan kedua belah pihak. D inamika isu sengketa batas wilayah di kawasan P ulau Tujuh mulai meningkat pada tahun 2003 seiring dengan dibentuknya Kabupaten Lingga. Isu ini memanas lagi pada 2009 dengan adanya alokasi anggaran 900 juta untuk mengembalikan status kawasan Pulau Tujuh ke
106
dalam wilayah administrasi Pemprov Babel. Isu sengketa batas wilayah tersebut muncul kembali pada 2011 ketika Pemprov Babel menganggarkan dana Rp 1 milyar untuk menyelesaikan masalah sengketa batas wilayah setelah diketahui adanya kapal isap m ilik Pemprov Kepri yang mengeruk biji timah di perairan kawasan Pulau Tujuh. Isu sengketa batas w ilayah di Pulau Tujuh tersebut tim bul kembali ketika pada 2013 Pemprov Babel menganggarkan dana APPD Rp 3 milyar untuk menyelesaikan persoalan sengketa batas wilayah Pulau Tujuh. Dinamika isu sengketa batas wilayah ini berlangsung sampai lebih dari 10 tahun sejak 2000 sampai sekarang, sehingga konflik perbatasan tersebut dapat d ikatakan berlarut. Idealnya, kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah sangat bagus untuk mendorong pertumbuhan w ilayah. Namun, dengan adanya sengketa batas wilayah yang berlarut-larut tersebut, kebijakan otonomi daerah maupun pemekaran wilayah tersebut justru menimbulkan dampak negatif, yaitu terjadinya kelambatan pertumbuhan wilayah. Hal ini umum nya berdampak pada tidak memadainya penyelenggaraan kepentingan publik pada wilayah yang disengketakan tersebut. 2. Pemprov Babel sudah melakukan berbagai upaya menyelesaikan sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh. A kan tetapi, upaya resolusi konflik yang ditempuh oleh Pemprov Babel cenderung terlihat lambat, formalistik dan terlalu mengedepankan pendekatan musyawarah dalam kondisi masih lemahnya kepemimpinan politik dalam lingkup pemerintahan provinsi. Dapat dikatakan bahwa selama ini tidak pernah ada langkah -langkah riil
107
dalam proses penyelesaian masalah sengketa batas wilayah kawasan P ulau Tujuh. Upaya yang paling kelihatan oleh publik di Bangka Belitung adalah dianggarkannya dana APBD sebesar Rp900 juta pada 2009, Rp1 milyar pada 2011, dan Rp3 milyar pada 2013, dengan dalih untuk menyelesaikan masalah sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil sampai sekarang, dan m uncul kesan bahwa masalah sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh hanya menjadi semacam program dan kegiatan untuk menurunkan anggaran APBD demi kepentingan oknum birokrasi dengan peruntukan yang tidak jelas. Situasi dan kondisi seperti inilah yang mendasari mengapa sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh berlarut-larut sampai lebih dari satu dekade. Selain tidak adanya prakarsa penyelesaian masalah sengketa batas wilayah yang jelas dari Pemprov Babel dan Kepri, masalah sengketa yang berlarut-larut di kawasan Pulau Tujuh juga diakibatkan oleh tidak adanya sikap proaktif dan lemahnya peran fasilitasi maupun kapasitas negara yang direpresentasi oleh pemerintah pusat, dalam kasus ini Kemendagri, dalam menengahi penyelesaian konflik. Tidak adan ya sikap proaktif pemerintah pusat dengan menyerahkan masalah penyelesaian sengketa batas wilayah kepada Pemprov Babel dan Kepri hanya menunjukkan bahwa pemerintah pusat sebagai representasi negara tidak mampu menangani konflik yang melibatkan unit-unit pemerintahan provinsi di bawahnya. Seiring semakin kuatnya tuntutan otonomi daerah, peran fasilitator pemerintah pusat dalam urusan-urusan kedaerahan juga menjadi semakin minimal, termasuk dalam
108
menyelesaikan masalah sengketa batas wilayah kawasan Pulau Tuju h yang melibatkan dua provinsi yang berdekatan, yaitu Pemprov Babel dan Kepri. Sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh itu berlarut-larut karena kapasitas negara lemah dalam mengatasi dampak negatif ketidakhatihatian Kemendagri sendiri sebelumnya dalam menerapkan pemekaran daerah itu sendiri dan dalam mengatasi konsekuensi negatif dari kesalahan penetapan batas wilayah administratif antara Provinsi Babel dengan Provinsi Kepri. Selain itu, masalah lemahnya kapasitas negara pada tingkat pemerintahan pusat di daerah juga diperburuk oleh pemerintah daerah yang tidak mampu memperkuat kapasitas negara di tingkat daerah. Hal ini terlihat jelas dari ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengelola politik, sumberdaya dan pelayanan publik tingkat daerah. Banyak pejabat daerah di lingkungan Pemprov Babel sendiri bahkan tak menyadari bahwa konflik batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh sebenarnya merupakan akibat dari kebijakan yang dibuat oleh Pemprov Babel itu sendiri. Para pejabat yang seharusnya dapat terlibat dalam melakukan pengelolaan konflik justru menjadi bagian dari konflik itu sendiri. Pemprov Babel belum mampu merespon situasi-situasi yang potensial menimbulkan konflik dengan strategi pencegahan konflik dan belum mampu menangani konflik yang sudah terlanj ur terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas negara dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah masih lemah, baik pemerintah pusat dalam peran fasilitasi antara Pemprov Babel dan Kepri maupun Pemprov Babel dalam upaya negosiasi dengan Pemprov Kepri agar dapat segera menyelesaikan masalah sengketa
109
batas w ilayah secara bersama-sama dengan pendekatan musyawarah untuk mufakat. 3. M asalah sengketa batas w ilayah di kawasan P ulau Tujuh menjadi berlarutlarut karena adanya beberapa faktor, antara lain: (a) Kurangnya koordinasi, yaitu pemerintah pusat, dalam kasus ini Kemendagri, tidak pernah tegas memberi solusi penyelesaian konflik dengan koordinasi di antara Pemprov Babel dan Pemprov Kepri. (b) Pembiaran konflik tanpa kelola, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah kurang terlibat intensif dalam mengelola konflik sengketa batas wilayah kawasan Pulau Tujuh. Pemprov Babel merasa status kawasan Pulau Tujuh harus dikembalikan kepadanya, Pemrov Kepri merasa kan tidak perlu mengurusi sengketa wilayah tersebut karena secara de jure dan de facto kawasan Pulau Tujuh dimasukkan secara legal ke dalam wilayah adm inistratif Pemprov Kepri. Resolusi konflik ini membentuk konflik spiral tak-terkelola yang berlarut-larut (prolonged unmanaged spiral conflict). (c) Strategisnya sumberdaya alam di kawasan Pulau Tujuh, yaitu Pemprov Kepri maupun Babel sama-sama memahami bahwa sumberdaya alam di kawasan Pulau Tujuh sangat strategis. Besarnya potensi sumberdaya alam strategis berupa timah diperebutkan para pihak yang berkonflik , dan kedua belah pihak sama-sama bersikukuh untuk mengklaim hak penguasaan dan pengelolaan atas kawasan Pulau Tujuh.
110
5.2.
Implikasi Berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut, maka dapat dikemukakan ada
beberapa implikasi penelitian sebagai berikut: 1. Penganggaran dana besar dari APBD dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah di kawasan P ulau Tujuh mengindikasikan adanya kemauan politik pemerintah dalam menyelesaikan masalah perbatasan. Namun, tanpa ada tindakan yang tegas dari pemerintah daerah yang bersangkutan melalui koordinasi dan sinkronisasi secara bertahap pada mekanisme penyelesaian konflik yang riil dengan tujuan resolusi konflik yang jelas di antara pihak pihak yang bersengketa, masih kuatnya ambisi untuk menguasai sumber daya strategis di kawasan Pulau Tujuh, dan masih kuatnya egosentrisme daerah, maka langkah penganggaran dana besar dari APBD tersebut hanya menimbulkan pemborosan anggaran untuk peruntukan yang tidak jelas dan sangat rawan terjerat dalam tindak pidana korupsi. 2. Pendekatan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh memang baik karena tidak akan menimbulkan kekerasan. Akan tetapi, pendekatan ini hanya menyebabkan masalah konflik tersebut berlarut-larut tanpa penyelesaian masalah yang saling menguntungkan ked ua belah pihak secara berarti jika tidak diiringi dengan aksi dalam interaksi intensif berbasis pendekatan kolaboratif antar pemerintahan daerah yang bertikai. 3. Pemerintah pusat sebagai representasi negara, dalam hal ini Kemendagri, perlu bersikap proaktif dalam memberikan fasilitasi penyelesaian sengketa
111
batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan Pemprov Kepri karena masalah sengketa ini melibatkan dua wilayah provinsi yang berbeda dan hanya dapat difasilitasi oleh entitas pemerintahan y ang lebih tinggi yaitu Kemendagri itu sendiri. Jika terpaksa dilakukan uji materi atas UU No. 27/2000 tentang Pembentukan Provinsi Babel dan UU No. 31/ 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga ke M K, maka uji materi ini hendaknya diprakarsai Kemendagri mengingat masalah sengketa tersebut terjadi akibat ketidakakurasian dari Kemendagri sendiri sebelumnya dalam menetapkan batas-batas wilayah antara Kabupaten Bangka, Provinsi Babel dan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri. Sikap proaktif Kemendagri dalam memfasilitasi penyelesaian masalah sengketa batas wilayah tersebut dapat menunjukkan sikap netral pemerintah pusat. Dengan solusi tersebut, dapat diharapkan kedua pemerintah provinsi yang bertikai, baik Pemprov Babel maupun Pemprov Kepri, tidak hanya terlalu berfo kus pada kepentingannya sendiri, melainkan pada kepentingan bersama di bawah koordinasi dan sinkronisasi Kemendagri, untuk mengurangi berkembang, apalagi berlarutlarutnya, konflik yang terjadi antara dua provinsi yang berdekatan tersebut.
112