BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Karakteristik Desa 5.1.1. Kondisi Geografis Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa Ringgit berada pada 4km dari ibu kota kecamatan, dan 20 km dari ibu kota kabupaten dengan batas wilayah desa sebagai berikut : Sebelah barat
: Desa Kaliwungu Lor
Sebelah utara
: Desa Susukan
Sebelah timur
: Tunjungan
Sebelah selatan
: Kelurahan Lereng
Luas wilayah Desa Ringgit ±103 ha yang terdiri atas sawah, pemukiman dan pekarangan, bangunan umum, dan lain-lain. Secara topografi daerah ini termasuk daerah yang landai, tidak berbukit dengan ketinggian 133 m di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata di daerah ini 2066 mm per tahun dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 220-340C. Jenis tanah di daerah ini adalah Regosol dengan pH 5,0-5,4 sehingga tanah cenderung asam. 5.1.2. Kondisi Demografi dan Keadaan Sosial Ekonomi Jumlah penduduk di Desa Ringgit hingga akhir tahun 2009 berjumlah 4.668 jiwa yang terdiri dari 1440 Kepala Keluarga (KK) dan terbagi dalam satu Rukun Warga (RW) dan empat Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk berjenis kelamin pria sebanyak 367 jiwa dan wanita sebanyak 335 jiwa. Kelompok umur yang terbanyak adalah usia 26-50 tahun. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 Umur (Tahun) 0-5 6-15 16-25 26-50 >50 Jumlah
Jenis Kelamin Pria (jiwa) Wanita (jiwa) 115 105 374 341 520 475 1.079 985 352 322 2.440 2.228
Jumlah 220 715 995 2.064 674 4.668
Persentase (%) 4,71 15,32 21,31 44,21 14,44 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009 Tingkat pendidikan masyarakat sudah cukup baik, dimana persentase lulusan SLTA dan sederajat sudah cukup besar yaitu 32,61 persen, disusul kemudian dengan lulusan SLTP sebesar 27,17 persen dan Sekolah Dasar sebesar 17,40 persen. Perincian mengenai tingkat pendidikan masyarakat Desa Ringgit dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7
Pendidikan Belum sekolah TK Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat Diploma Tamat Sarjana Jumlah
Jumlah (Jiwa) 30 34 64 100 120 10 10 368
Persentase (%) 8,15 9,24 17,40 27,17 32,61 2,72 2,72 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009 Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Desa Ringgit bekerja di sektor pertanian. Dalam usahataninya ada yang menggarap lahan sawah baik milik sendiri maupun milik orang lain (buruh tani). Selain itu, ada petani penggarap, yaitu petani yang menggarap sawah dengan cara menyewa lahan dan hasil panen diterima secara utuh oleh petani, dan petani penyakap, yaitu petani yang menggarap sawah namun tidak dengan menyewa lahan melainkan dengan pembagian hasil panen (sistem bagi hasil 50:50) serta biaya yang
35
dikeluarkan dari proses penanaman hingga panen berasal dari petani penggarap. Rincian mengenai jenis mata pencaharian penduduk Desa Ringgit pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7
Mata Pencaharian Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Tani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Total
Jumlah 20 7 22 105 7 80 6 247
Persentase (%) 8,09 2,83 8,91 42,51 2,83 32,39 2,43 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009 5.2. Gambaran Umum Usahatani Padi di Desa Ringgit Penerapan sistem pertanian padi SRI organik di Desa Ringgit diawali dengan penanaman padi secara organik yang telah dilakukan sejak tahun 1997. Penerapan padi secara organik ini didasari oleh kesadaran petani setempat akan buruknya dampak yang diberikan dari penggunaan bahan-bahan kimia terhadap tanah. Pada tahun 2003 pertanian SRI organik mulai diperkenalkan oleh Suster Alfonsa Triatmi PMY yang berasal dari kongregasi Suster Puteri Maria dan Yosef Magelang, Wonosobo. Perkenalan metode SRI pada saat itu dengan diikutsertakannya beberapa petani Purworejo ke Indramayu, Jawa Barat untuk mengikuti Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) dan Praktek SRI Organik selama lima hari. Metode PET dan praktek SRI Organik ini kemudian dikembangkan untuk memperbaiki metode pembelajaran pertanian organik yang sudah dijalankan sejak tahun 1997. Tanggal 12 - 16 Oktober 2003 kelompok Tani Lestari desa Ringgit mengadakan PET dengan mengundang narasumber Pak Alik Sutaryat dari Ciamis, Jawa Barat. Pembelajaran ini juga menjadi awal terbentuknya pemahaman baru tentang pertanian organik dan bergabungnya petani organik di Purworejo dengan jaringan yang lebih luas untuk mengembangkan PET dan SRI Organik. Pemahaman praktek PET dan SRI Organik beberapa petani terus terasah melalui kegiatan-kegiatan jaringan yang diikuti. Hingga saat ini para petani telah melaksanakan pembelajaran sebanyak 19 kali, baik secara mandiri maupun 36
dengan dukungan pihak-pihak yang peduli termasuk pemerintah. Jaringan petani pelaku SRI Organik Kabupaten Purworejo memiliki setidaknya 10 orang petani yang memiliki kemampuan untuk mendampingi pembelajaran ekologi tanah dan praktek SRI Organik, sedangkan jaringan petani pelaku SRI Organik menjangkau tujuh kecamatan dari 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Jumlah petani yang aktif dalam praktek SRI Organik dan masih terus terhubung dalam komunikasi jaringan ada 85 orang petani. Tahun 2010 negara Jepang melalui pemerintah Kabupaten Purworejo memberikan bantuan kepada seluruh kelompok tani yang menjalankan program SRI. Terdapat tujuh desa yang diberikan bantuan, salah satunya yaitu Desa Ringgit yang ditujukan untuk dua kelompok tani, kelompok Tani Lestari dan Margodadi. Bantuan pemerintah tersebut berjumlah Rp 309 juta untuk setiap kelompok tani dan diwajibkan mengembangkan padi SRI pada lahan seluas 20 Ha. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah kompos, pembelian 30 ekor sapi, kendaraan roda tiga (Viar), alat pembuat pupuk organik (APPO), serta sekolah lapang. Musim tanam padi yang ada di desa tersebut ada dua, yaitu musim kemarau (gadu) dan musim hujan (rendeng). Musim kemarau disebut juga dengan Musim Tanam I (MT I), sedangkan musim hujan disebut juga dengan Musim Tanam II (MT II). MT I dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT II dilakukan pada bulan April hingga Juli. Pada peralihan musim tanam antara MT II dan MT I, petani banyak yang menanami ladangnya dengan tanaman palawija. Tanaman palawija yang biasa ditanam adalah cabai, tomat, kacang panjang, jagung, serta kacang tanah. Hal ini dilakukan agar lahan sawahnya tidak ditumbuhi banyak rumput yang nantinya menjadikan lahan susah diolah, serta dapat menjadi penghasilan tambahan bagi petani. Akan tetapi, sebagian besar petani padi SRI organik tidak melakukan hal tersebut. Sebab, penanaman tanaman palawija biasanya menggunakan pupuk kimia. Dengan demikian, lahan yang telah ditanami organik harus mengalami proses konversi lagi selama kurang lebih 1-2 tahun tergantung dengan kondisi lahan yang ada. Pada MT I dan MT II hampir seluruh petani padi konvensional maupun SRI organik mengalami perbedaan hasil produksi. Hasil produksi MT I dilihat
37
dari kuantitasnya lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen MT II. Akan tetapi, apabila dilihat dari kualitasnya MT II memiliki kualitas yang lebih baik dari kualitas gabah pada MT I. Hal ini disebabkan karena pada saat musim penghujan kebutuhan tanaman akan air sangat tercukupi, namun dengan kadar air sangat tinggi menyebabkan kualitas gabah cenderung tidak bagus. Adapun pada musim kemarau kebutuhan tanaman akan air kurang tercukupi, sehingga kadar air yang terkandung dalam gabah sedikit. Selain itu pula pada proses penjemuran gabah pada musim penghujan membuat kualitas gabah menjadi tidak baik, karena gabah yang tidak terjemur dengan baik dapat mengakibatkan beras patah dan cepat membusuk. Varietas padi yang umumnya ditanam yaitu IR 64, Ciherang, Sintanur, Jasmin, serta Janur. Varietas Janur merupakan varietas padi yang dihasilkan oleh salah satu petani setempat dengan mengawinkan benih antara varietas Jasmin dan Sintanur. Varietas Janur ini banyak digunakan oleh petani SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada sistem tanam SRI organik. 5.3. Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden akan diuraikan berdasarkan umur petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, luas lahan garapan serta pengalaman berusahatani padi baik konvensional maupun SRI organik. 5.3.1. Umur Petani Berdasarkan hasil wawancara terhadap petani responden, diperoleh data yang menunjukkan bahwa sebaran umur petani secara keseluruhan dimulai dari umur 24-66 tahun. Untuk petani konvensional sebaran umur yaitu antara 25-66 tahun, sedangkan untuk petani SRI organik sebaran umur berada antara 24-55 tahun. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa jumlah petani terbanyak baik dari petani konvensional dan SRI organik terletak pada sebaran umur antara 38-44 tahun dengan jumlah petani sebanyak 19 jiwa dan persentase sebesar 63,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani Desa Ringgit berada pada usia produktif. Pada responden petani SRI organik terdapat jumlah petani terbanyak kedua pada sebaran usia 52-58 tahun sebanyak delapan jiwa dengan persentase
38
26,67. Hal ini membuktikan bahwa penerapan metode SRI organik di Desa Ringgit bukan semata-mata karena adanya kelangkaan pupuk atau naiknya harga pupuk, melainkan kesadaran seorang petani terhadap lingkungannya yang sudah mulai rusak. Tabel 8. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Golongan Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 Golongan Umur (Tahun) 24 – 30 31 – 37 38 – 44 45 – 51 52 – 58 59 – 66 Jumlah
Jumlah (Jiwa) Petani Petani Konvensional Organik 5 5 9 4 5 2 30
2 4 10 6 8 0 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional Organik 16.67 6,67 16,67 13,33 30,00 33,33 13,33 20,00 16,67 26,67 6,67 0,00 100,00 100,00
5.3.2. Tingkat Pendidikan Ditinjau dari sisi tingkat pendidikan yang pernah diikuti, maka petani responden dapat digolongkan atas beberapa kategori. Berdasarkan tingkat pendidikan yang diperoleh, sebagian besar responden telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMU dan sederajat yaitu sebanyak 22 orang, dengan persentase sebesar 46,808 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani responden sudah cukup tinggi. Bahkan ada pula petani responden yang telah menempuh pendidikan hingga sarjana, yaitu sebanyak lima orang atau sebesar 10,638 persen dari total responden secara keseluruhan. Secara terperinci penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 9.
39
Tabel 9. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik
Tidak Sekolah SD SLTP SMU /sederajat Diploma Sarjana Total
3 3 5 15 1 3 30
1 4 7 12 2 4 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional SRI Organik 10,00 3,33 10,00 13,33 16,67 23,33 50,00 40,00 3,33 6,67 10,00 13,33 100,00 100,00
Untuk pendidikan non formal, mayoritas petani pernah mengikuti pelatihan atau penyuluhan seperti Pelatihan PET, Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), dan lain sebagainya. Pelatihan yang dilakukan untuk tanaman padi khususnya seperti masuknya pembelajaran metode SRI yang dimulai dengan PET diikuti oleh sebagian besar petani di Desa Ringgit. Akan tetapi, keikutsertaan dalam menanam padi dengan metode SRI organik ini hanya dilakukan oleh beberapa petani, dan sebagian besar petani yang menerapkan metode SRI organik tersebut tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Seperti dapat dilihat pada Tabel 5, jumlah petani dengan tingkat pendidikan SMU atau sederajat pada responden SRI organik lebih rendah yaitu berjumlah 12 orang, sedangkan responden konvensional berjumlah 15 orang. 5.3.3. Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan yang berada di Desa Ringgit terbagi menjadi empat jenis, yaitu
lahan milik sendiri, lahan sewa, lahan sakap, serta lahan
bengkok. Lahan sewa merupakan lahan yang disewa oleh petani selama beberapa musim tanam dengan sewa lahan per tahun sebesar Rp 1.700.000. Lahan sakap merupakan lahan milik orang lain yang digarap oleh petani dengan sistem bagi hasil namun biaya operasional ditanggung oleh petani, dan pemilik hanya menanggung biaya tetap seperti pajak. Sedangkan lahan bengkok merupakan lahan yang diberikan oleh desa kepada perangkat desa selama menjabat sebagai perangkat desa. Untuk lahan sewa dan bengkok diasumsikan menjadi lahan sewa,
40
karena lahan bengkok pada dasarnya merupakan penerimaan seorang perangkat desa dalam bentuk sawah. Status kepemilikan lahan untuk responden petani SRI organik sebagian besar adalah lahan milik sendiri, dan sebagian lain merupakan lahan sakap. Hal ini disebabkan karena luas lahan yang dimiliki oleh petani pada umumnya kecil, dengan luas minimum kurang lebih 2000 m2. Dengan demikian, sebagian besar petani umumnya lebih memilih untuk menerapkan metode SRI organik pada lahannya sendiri. Adapun alasan lain penerapan metode SRI organik pada lahan sakap karena adanya permintaan dari pemilik, dan pemilik pun akan mencari petani yang akan bersungguh-sungguh mengelola lahannya dengan baik menggunakan
metode
SRI
organik
tersebut.
Untuk
responden
petani
konvensional, status kepemilikan lahannya bermacam-macam seperti yang ada pada Tabel 10. Tabel 10. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 No . 1. 2. 3.
Status Kepemilikan Lahan
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik
Milik Sendiri Sakap Sewa Total
21 8 1 30
23 7 0 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional SRI Organik 70,00 76,67 26,67 23,33 3,33 0,00 100,00 100,00
5.3.4. Luas Lahan Garapan Apabila dilihat dari luas lahan yang digarapnya, ternyata luas lahan petani cukup beragam, yaitu dari petani yang hanya memiliki lahan garapan seluas 769 m2 sampai dengan petani yang memiliki luas lahan garapan lebih dari satu hektar. Pada Tabel 11. diketahui bahwa luas lahan garapan petani konvensional terbanyak berada pada kisaran 0,34-0,99 ha dengan jumlah petani sebanyak 17 orang, sedangkan luas lahan garapan kurang dari 0,34 ha menjadi luas lahan terbanyak yang digarap petani SRI organik dengan jumlah 19 orang. Luas lahan yang digarap lebih dari satu hektar sebagian besar dimiliki oleh para petinggi di perangkat desa seperti Lurah, Sekretaris Desa, atau perangkat desa lainnya.
41
Tabel 11. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 No. 1. 2. 3.
Luas Lahan Garapan (ha) < 0,34 0,34-0,99 >1 Total
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik 9 19 17 8 4 3 30 30
Persentase (%) Petani Petani SRI Konvensional Organik 30,00 63,33 56,67 26,67 13,33 10,00 100,00 100,00
Berdasarkan Tabel 11 dapat terlihat pula petani konvensional memiliki lahan garapan yang lebih luas dibandingkan dengan petani SRI organik. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa lahan pertanian organik di Desa Ringgit memiliki luasan yang kecil, meskipun dengan jumlah petani yang relatif besar. Hal ini menjadi suatu alasan mengapa banyak produk organik yang dipertanyakan keorganikannya karena seharusnya lahan organik berupa hamparan. 5.3.5. Pengalaman Berusahatani Padi Lama pengalaman berusahatani padi masyarakat Desa Ringgit dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 11 orang dan 10 orang dari golongan petani metode konvensional dan SRI organik telah bertani padi selama kurang dari 10 tahun. Pengalaman bertani kurang dari 10 tahun tahun termasuk pengalaman yang belum terlalu lama. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani merupakan penduduk yang telah pulang kembali ke desa dari perantauan di kota besar. Apabila dilihat dari rentang usia petani pada Tabel 8, usia terbanyak berada pada rentang 38-44 tahun. Hal ini menegaskan bahwa pada usia kurang dari 38 tahun petani lebih memilih untuk mencari pekerjaan di kota besar dan pertanian menjadi harapan terakhir bagi petani sebagai mata pencaharian.
42
Tabel 12. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Pengalaman Berusahatani Padi di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 Pengalaman Usahatani (Tahun)
No. 1. 2. 3. 4.
< 10 11-20 21-30 31-40 Total
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik 11 8 7 4 30
10 7 8 5 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional SRI Organik 43,33 33,33 26,67 23,33 16,67 26,67 13,33 16,67 100,00 100,00
Rentang lama pengalaman berusahatani padi petani konvensional terbanyak kedua yaitu pada rentang 11-20 tahun, sedangkan pada petani SRI organik berada pada rentang 21-30 tahun. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa petani dengan pengalaman berusahatani padi lebih lama, petani lebih mampu mempertimbangkan adanya metode atau inovasi baru untuk diaplikasikan pada lahannya. Hal tersebut sejalan dengan kutipan yang diberikan oleh seorang praktisi organik bahwa “semakin lama petani mengenal lahannya, maka akan semkin bijaksana petani tersebut dalam mengelola lahannya”12. Pengalaman berusahatani padi SRI organik seluruhnya berada pada rentang waktu kurang dari 10 tahun. Hal ini disebabkan karena metode SRI organik diperkenalkan pada tahun 2003 dan dilaksanakan secara bertahap pada tahun 2006. Selama tahun 2003 hingga 2006 penerapan yang dilakukan masih dalam tahap pengenalan dan pembelajaran, sehingga banyak petani yang belum berani mengaplikasikan pada lahannya sendiri.
12
Alik Sutaryat dalam diskusi perkumpulan petani organik di Ciamis, Jawa Barat.
43