31
BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1
Letak dan Kondisi Geografis Desa Jatiwangi terletak di wilayah Kecamatan Pakenjeng Kabupaten
Garut. Desa Jatiwangi memiliki empat dusun (Ciakar, Pasir Kaliki, Halimun, dan Bojong), tiga belas rukun warga (RW), dan 54 rukun tetangga (RT) dengan luas wilayah 2.242,43 hektar yang membentang dari utara ke selatan, dengan lahan tegalan seluas 904,33 hektar. Ketinggian wilayah Desa Jatiwangi terletak antara 300-700 meter di atas permukaan laut (dpl) sedangkan jenis tanah termasuk jenis tanah latosol sebagian andosol dengan tekstur liat lempung sebagian berbatuan dan terjal dan pH-nya berkisar antara 4-6. Adapun batas–batas wilayahnya adalah sebagai berikut :
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukamulya
sebelah timur berbatasan dengan Desa Talagawangi/Sukamulya
sebelah barat berbatasan dengan Desa Depok/Wangunjaya Kondisi alam wilayah Desa Jatiwangi pada umumnya berbukit
bergelombang dengan tipologi desa sekitar pangkuan daerah hutan serta diapit oleh dua aliran sungai yaitu sungai Cikandang dan Ciarinem. Suhu harian rata-rata di Desa Jatiwangi berkisar antar 20º C sampai 27º C dengan curah hujan 2.000 mm/tahun serta enam bulan hujan dalam setiap tahunnya. Sarana transportasi yang biasa digunakan masyarakat untuk berpergian ke luar desa adalah Elf. Terdapat ± 50 unit Elf yang beroperasi dengan rute
32
Bungbulang-Garut dan sebaliknya Garut-Bungbulang. Desa Jatiwangi dilalui oleh Elf karena berada diantara Bungbulang dengan Garut. Dari arah Bungbulang Elf beroperasi pukul 06.00-18.00 WIB dan dari arah Garut pukul 10.00-22.00 WIB dengan tarif Rp 35.000,00 sedangkan tarif perjalanan Bungbulang-Jatiwangi adalah sebesar Rp 15.000,00 dan tarif perjalanan Jatiwangi-Garut adalah sebesar Rp 20.000,00. Jalan yang dilalui Elf adalah jalan aspal sehingga tidak sukar untuk dilalui dan lancar hanya saja pada beberapa titik rentan terjadi longsor yang disebabkan oleh labilnya konstruksi tanah. Jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota propinsi adalah 115 kilometer dengan waktu tempuh sekitar empat jam dan jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota kabupaten 45 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam sementara jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota kecamatan satu kilometer dengan waktu tempuh sekitar sepuluh menit. Luas lahan di Desa Jatiwangi adalah 2.242,23 hektar yang diperuntukkan sebagai sawah tadah hujan, tegal/ladang, pemukiman, fasilitas umum, perkebunan rakyat, dan tanah negara. Data luas lahan dan peruntukkannya di Desa Jatiwangi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Lahan dan Peruntukannya di Desa Jatiwangi, 2008 No Peruntukan
Luas (ha)
Persentase
1
Sawah Tadah Hujan
145,00
6,47
2
Tegal/ladang
940,93
41,96
3
Pemukiman
7,80
0,35
4
Fasilitas Umum
23,00
1,03
5
Perkebunan Rakyat
342,00
15,25
6
Tanah Negara
783,50
34,94
2.242,23
100,00
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008
33
Dari Tabel 1 dapat dilihat Tegal/ladang mendominasi pemanfaatan lahan di Desa Jatiwangi yaitu sebesar 41,96 persen dari luas total Desa Jatiwangi. Urutan kedua yang mendominasi pemanfaatan lahan di Desa Jatiwangi adalah tanah negara sebesar 34,94 persen dan urutan ketiga adalah perkebunan rakyat sebesar 15,25 persen.
5.2
Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Desa Jatiwangi berjumlah 7.709 jiwa dengan komposisi 3.870
jiwa penduduk laki-laki dan 3.839 jiwa penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.242 KK dan kepadatan penduduk (Man Land Ratio) Desa Jatiwangi termasuk dalam kategori jarang yaitu 34 orang/kilometer persegi. Data mengenai penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Mata Pencaharian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Mata Pencaharian, 2008 No Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Persentase
1.100
57,32
445
23,19
2
0,10
1
Petani
2
Buruh Tani
3
Buruh Swasta
4
Pegawai Negeri
95
4,95
5
Pengrajin
26
1,35
6
Pedagang
142
7,40
7
Jasa
109
5,68
1.919
100,00
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008
34
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa mata pencaharian utama sebagian besar penduduk di Desa Jatiwangi adalah bertani, baik sebagai petani dan buruh tani. Penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani sebesar 57,32 persen dan penduduk yang bermatapencaharian sebagai buruh tani sebesar 23,19 persen. Tidak semua petani memiliki lahan sendiri untuk digarap, ada petani yang menggarap lahan petani lain seperti yang dialami oleh responden dengan inisial ”N” (petani di Dusun Sindang Sari). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”N” dapat dilihat pada Box 2.
Box 2. Petani yang Menggarap Lahan Petani Lain Karena Tidak Memiliki Lahan Sendiri ”N” adalah petani muda yang masih berumur 29 tahun. Beliau memiliki satu orang istri yang baru dinikahinya 1 tahun lalu. Orangtua beliau dan istrinya adalah petani tetapi orangtua mereka tidak meninggalkan warisan lahan bagi mereka karena lahan yang dimiliki orangtua mereka telah dijual untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Oleh karena itu, beliau tidak memiliki lahan sendiri untuk bertani. Beliau menggarap lahan petani lain. Luas lahan yang beliau garap tidak tentu tiap musim sesuai dengan permintaan petani yang meminta beliau menggarap lahannya. Petani-petani yang sering meminta beliau untuk menggarap lahannya adalah petani-petani sesama kelompok tani. Selain bertani, beliau juga beternak dan berdagang menjual sayuran keliling desa. Beliau memiliki dua ekor domba dari bantuan pemerintah. Selain dua ekor kambing tersebut, beliau juga memelihara dan merawat domba-domba (dari bantuan pemerintah juga) petani lain. Pemeliharaan dan perawatan terhadap domba-domba, beliau lakukan tiap hari tepatnya sore hari setelah menggarap lahan pada pagi hari sampai siang hari. Sementara berdagang beliau lakukan saat masa-masa transisi dari satu musim ke musim lain. Pendapatan dari bertani, beternak, dan berdagang, beliau gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian beliau tabung untuk membeli lahan
Berkebalikan dengan kondisi petani di atas, ada petani yang memiliki lahan yang sangat luas tetapi tidak dapat menggarap semua lahannya karena kekurangan modal seperti yang dialami oleh responden dengan inisial ”D” (petani
35
di Dusun Arinem). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”D” dapat dilihat pada Box 3.
Box 3. Petani yang Memiliki Lahan Luas Tetapi Tidak Dapat Menggarap Semua Lahannya ”D” memiliki lahan yang sangat luas yaitu 8 hektar untuk bertani tetapi karena kekurangan modal beliau hanya dapat menggarap 3 hektar. Pada lahan tersebut beliau menanami padi, cabai keriting, singkong, dan kacang panjang. Sedangkan 5 hektar lainnya tidak digarap sama sekali dan dibiarkan begitu saja. Bila memiliki modal, lahan tersebut ingin beliau tanami kayu alba. Menurut beliau kayu alba lebih menguntungkan daripada padi karena biaya produksinya lebih rendah dan harganya relatif mahal dari waktu ke waktu. Selain itu, jarak lahan yang sangat jauh dari rumah juga sedikit banyaknya mempengaruhi keinginan mananam kayu alba. “Bila menanam padi misalnya, terus terang saya tidak sanggup karena letaknya sangat jauh dari rumah saya. Tidak hanya itu, medannya juga berat karena harus melalui sungai dan mendaki bukit. Untuk jalan saja saya tidak kuat palagi sambil mengangkut bibit, pupuk, dan obat yang luar biasa berat. Kalau menyuruh orang saya harus mengeluarkan uang lagi. Terus kalau padi kan kita harus rajin merawatnya karena rentan dengan hama penyakit tetapi kalau kayu alba kan tidak”. ”D” pernah ditawari kerjasama oleh orang dari desa lain untuk menggarap lahan tersebut dengan bagi untung-rugi, 20 persen bagi beliau dan 80 persen bagi orang itu. Orang itu bersedia menanggung semua biaya produksi seperti membeli bibit, pupuk, dan obat-obatan dan lain-lain. Tawaran tersebut ditolak oleh ”D” dengan alasan panen kayu sangat lama, kurang lebih 5 tahun. “Pada selang waktu tersebut saya bisa berusaha mendapatkan modal dan kemudian menanam sendiri dengan keuntungan 100 persen”. Beliau juga pernah berencana menjual lahan tersebut untuk dijadikan tambahan modal untuk menggarap lahannya yang 3 hektar, tetapi beliau urungkan karena tanah menurut beliau adalah aset bagi keluarga khususnya anak-anaknya. “tanah dari waktu ke waktu harganya terus naik. Sayang sekali kalau saya jual sekarang. Biarlah tanah ini nanti buat sekolah anak-anak saya”. Keinginan beliau untuk memiliki modal agar dapat menggarap lahan 5 hektar-nya sangat besar. Beliau pernah berkeinginan menjadi anggota kelompok tani di dusunnya agar mendapatkan kemudahan dalam meminjam uang sebagai modal -hal ini beliau dengar dari petani lain yang menjadi anggota kelompok tani di dusunny- tetapi keinginan tersebut beliau urungkan karena beliau tidak enak mengajukan diri dan lagipula beliau tidak diajak atau diundang oleh pengurus kelompok tani untuk menjadi anggota. Menurut beliau hanya orang-orang tertentu saja yang berada dalam kelompok tani yaitu keluarga dan kerabat ketua kelompok tani.
36
Diantara sekian banyak petani pria yang terdapat di Desa Jatiwangi ada petani wanita yang harus mengganti pekerjaan suami di sawah dan ladang. Suami mereka bekerja di kota sebagai usaha untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Pendapatan dari bertani dirasakan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti responden dengan inisial ”M” dan ”D” (petani wanita di Desa Jatisari). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”M” dan ”D” dapat dilihat pada Box 4.
Box 4. Petani Wanita ”M” adalah salah satu petani wanita yang berada di Desa Jatiwangi Dusun Jatisari. Beliau memiliki satu orang anak buah perkawinannya dengan ”B” yang berumur sekitar 5 tahun. Beliau dan anak jarang sekali bertemu dan berkumpul bersama suami karena sang suami bekerja di luar desa tepatnya di kota Garut. Dalam setahun, mereka hanya bisa bertemu dan berkumpul selama 2 bulan, 10 bulan selebihnya tidak bisa. Pekerjaan suaminya adalah supir angkutan kota. Pekerjaan ini menuntutnya untuk jauh lebih lama tinggal di kota daripada di desa bersama istri dan anak. Pendapatan dari pekerjaan ini sedikit banyak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam seminggu pendapatan suaminya rata-rata sebesar Rp 120.000, sebulan sebesar Rp 480.000, dan setahun sebesar Rp 4.800.000. Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pendapatan suami digunakan juga untuk membayar biaya-biaya produksi usahatani seperti membeli benih/bibit, pupuk, obat-obatan, dan membayar tenaga kerja. Dana biaya-biaya produksi ini, diatur dan dikelola sepenuhnya oleh bu Mulyati. Secara lebih besar, semua urusan mengenai usahatani dilakukan oleh bu Mulyati mulai dari menanam sampai memanen. Sama seperti ”M”, ”Diah” juga mengatur dan mengelola sepenuhnya urusan usaha tani di desa dan suaminya bekerja di kota. Hanya saja pekerjaan suami ”D” tidak sama dengan ”Mulyati”. Suami ”D” bekerja sebagai kuli bangunan. Suaminya bekerja di kota rata-rata 10 bulan/tahun dan upah dari pekerjaan suaminya rata-rata sebesar Rp 225.000/minggu, Rp 900.000/bulan, dan Rp 9.000.000/tahun Dalam berusaha tani beliau mengalami sedikit kerepotan karena beliau memiliki seorang baduta. Seringkali anaknya menangis apabila beliau titipkan di rumah neneknya atau di rumah kerabat keluarga lain. Oleh karena itu, mau tidak mau anaknya sering beliau bawa ke sawah dan ladang dalam merawat padinya.
37
5.3
Pola Tanam dan Sistem Upah Pada lahan sawah, dalam setahun petani dapat menanam sebanyak tiga
kali dengan pola menanam padi pada musim pertama dan musim kedua, pada musim ketiga (musim kemarau) menanam cabe keriting. Varietas padi yang banyak digunakan adalah Sarinah dan IR64. Dalam satu musim petani dapat memanen ± 8 ton GKP/hektar dengan satu kwintal padi biasa dijual dengan harga Rp 250.000,00-Rp 300.000,00. Benih/bibit tidak dibeli tetapi diambil dari bulir padi yang telah dipanen. Pupuk yang biasa digunakan adalah Urea, TSP, dan KCL dengan komposisi satu kwintal Urea, 50 kg TSP, 25 kg KCL pada luas lahan satu hektar sementara obat yang biasa digunakan adalah obat dengan merek dagang Matador sebanyak dua kaleng. Pupuk dan obat ini dibeli di Cikajang dengan harga masing-masing Urea Rp 1.500,00/kg, TSP Rp 2.500,00/kg, KCL Rp 3.000,00/kg, Matador Rp 15.000/kaleng. Komoditas cabe keriting banyak dipilih oleh petani untuk ditanami pada musim kemarau karena pendapatan dari panen cukup menjanjikan. Dalam satu musim, jumlah cabe keriting yang dapat dipanen adalah sebanyak ± 4 kwintal dengan harga Rp 1.500.000,00/kwintal dengan biaya produksi sebesar Rp 3.000.000,00 sehingga total pendapatan bersih petani adalah sebesar Rp 3.000.000,00. Varietas yang sering ditanam adalah TM 999, Lado F1, dan Tanamo F1. Pada lahan kering, dalam setahun petani dapat menanam padi paling banyak dua kali tetapi lebih sering satu kali tergantung ketersedian air. Varietas padi yang sering ditanami adalah varietas padi gogo Situ Patenggang dan Situ Bagendit. Dua varietas ini merupakan dua varietas unggul dari empat varietas yang diperkenalkan Prima Tani. Dalam satu musim petani dapat memanen ±
38
empat ton GKP/hektar dengan satu kwintal padi biasa dijual dengan harga Rp 250.000,00-Rp 300.000,00 sama seperti varietas Sarinah dan IR64. Benih dibeli di Cikajang, begitu pula pupuk dan obat. Untuk luas lahan satu ha, jumlah benih yang biasa dibeli adalah sebanyak sepuluh kantong dengan satu kantong berharga Rp 30.000,00 sementara pupuk dan obat yang digunakan sama seperti pada lahan sawah akan tetapi komposisinya lebih banyak. Selain padi gogo, pada lahan kering petani juga menanam kacang kedelai, kacang tanah, pisang, jagung, nilam, dan kayu-kayuan seperti Albasia, Alkasia, Belina, dan Kalicus. Dalam menjalankan usahataninya, petani sangat membutuhkan bantuan buruh tani untuk efektifitas kerja dan efisiensi waktu kerja. Upah untuk buruh tani berbeda antara pria dengan wanita, pria mendapatkan upah Rp 15.000,00/hari sedangkan wanita mendapatkan upah Rp 10.000,00/hari. Dasar dari perbedaan upah ini adalah tingkat kesulitan kerja yang dilakukan. Pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani pria lebih sulit dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani wanita. Selain mendapatkan upah tersebut, buruh tani juga mendapatkan konsumsi makan siang dari petani. Dalam satu hari kerja, buruh tani biasa bekerja dari pagi sampai siang, namun ada juga yang bekerja sampai sore hari tergantung kesepakatan dengan petani.
5.4
Pendidikan Berdasarkan data monografi desa tahun 2008, masih sangat banyak
penduduk Desa Jatiwangi yang belum sekolah yaitu sebesar 44,83 persen dan penduduk tamat SD sebesar 18,61 persen serta tamat SLTP sebesar 11,21 persen. Walau begitu tetapi masih ada penduduk yang menempuh pendidikan sampai
39
jenjang diploma dan sarjana yaitu sebesar 0,32 persen dan 0,19 persen. Data lebih lengkap tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Pendidikan, 2008 No Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase
3.456
44,83
1
Belum Sekolah
2
Tidak Pernah Sekolah
485
6,29
3
Pernah sekolah SD
523
6,78
4
Tamat SD
1.435
18,61
5
Tamat SLTP
864
11,21
6
Tamat SLTA
315
4,09
7
Diploma
25
0,32
8
Sarjana
15
0,19
9
Pondok Pesantren
50
0,65
10
Madrasah
71
0,92
11
Kursus
40
0,52
12
Pendidikan Keagamaan
430
5,58
7.709
100,00
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008
Berdasarkan data monografi desa tahun 2008 lembaga pendidikan yang terdapat di Desa Jatiwangi adalah taman kanak-kanak (TK)/raudatul atfal (RA) sebanyak empat unit, sekolah dasar (SD) sebanyak lima unit, sekolah lanjut tingkat pertama (SLTP) sebanyak satu unit, dan sekolah menengah umum (SMU) sebanyak satu unit. Untuk SD, jumlah siswanya 1.047 sedangkan untuk TK/RA, SLTP, dan SMU tidak terdapat data disebabkan pada saat penelitian pengurus desa belum melakukan pendataan. Data mengenai lembaga pendidikan yang terdapat di Desa Jatiwangi pada tahun 2008 disajikan pada Tabel 4.
40
Tabel 4. Lembaga Pendidikan yang Terdapat di Desa Jatiwangi, 2008 No Lembaga Pendidikan
Jumlah (unit)
Jumlah Siswa
1
TK/RA
4
-*
2
SD
5
1.047
3
SLTP
1
-*
4
SMU
1
-*
11
1.047
Jumlah
Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008 (* : tidak ada data)