BAB IV POLITIK SAYAP KIRI DI INDONESIA
4.1. Pra-kemerdekaan hingga 1965 Secara historis, politik sayap kiri dilahirkan oleh kumpulan pengalaman yang kompleks dari interaksi pemikiran-pemikiran politik radikal yang berkembang di Eropa sejak abad 17. Di Indonesia, politik sayap kiri merupakan hasil dari injeksi pemikiran radikal kaum kiri Belanda. Sehingga, politik sayap kiri di Indonesia tidak berevolusi dari konsepsi utopis sosialisme melainkan langsung pada praktik politik Marxisme-Leninisme. 4.1.1 Marxisme di Hindia Belanda Di Hindia Belanda, masuknya Marxisme dipengaruhi oleh perpecahan Partai Buruh Sosial Demokratik Belanda (SDAP-Sociaal Democratische Arbeidersrpartij) pada tahun 1909. Perpecahan SDAP membentuk partai kiri yang lebih faksi sosialis radikal yaitu SDP (Sociaal Democratische Partij). Perpecahan antara SDAP dan SDP diawali oleh perbedaan pandangan politik terhadap kapitalisme dunia, meliputi praktik politik etis di Hindia Belanda. SDP menentang kaum sosial demokrat Belanda yang mendukung politik Etis dengan mengajukan tesis bahwa kapitalisme sedunia telah meningkat menjadi imperialisme. Tesis ini merupakan landasan bagi mereka untuk meluaskan gerakan proletariat di negara-negara jajahan. Mengikuti tesis tersebut, salah satu anggota SDP yang bekerja di Hindia Belanda, Sneevliet, pada tahun 1914
68
69
mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) dan membuat koran organisasi bernama Het Vrije Woord. Anggota ISDV yang kebanyakan adalah orang Belanda. Pada awalnya mereka menjalin komunikasi dengan Insulinde atau Indische Partij yang beranggotakan orang Indo Eropa. Namun organisasi ini terpisah dari kaum pribumi Hindia Belanda. Pada tahun 1916, ISDV memusatkan perhatiannya pada SI dan meninggalkan Insulinde untuk membangun basis massa dari kaum pribumi. ISDV juga berhasil merekrut anggota dari kalangan pribumi yang terlibat di sebuah serikat buruh kereta api bernama VSTP (Vereniging Voor Spoor en Tram Personeel) di Surabaya dan Semarang. Banyak dari anggota serikat buruh ini juga berafiliasi dengan SI di Semarang. Salah seorang anggota VSTP dan ISDV adalah Semaun, anggota SI Surabaya yang pindah ke Semarang. Melalui Semaun, ISDV berhasil menjalin kontak dengan SI memiliki basis massa yang luas di seluruh Hindia Belanda. Dalam tubuh SI Semarang, pengaruh ISDV dimungkinkan oleh peluang keanggotaan ganda dalam SI (Ricklefs. 2009; 375-376). ISDV menghimpun massa di Kota pelabuhan Surabaya selama tahun 1918-1919 melalui dewandewan rakyat. Aktivitas ini diketahui oleh pemerintahan Hindia Belanda, Sneevliet dan anggota ISDV lain yang juga terlibat dalam Sarikat Islam Seksi B (disebut juga sebagai Afdeling B) ditangkap dan diasingkan. Pada tahun 1919, Semaun diangkat menjadi pengganti Sneevliet memimpin ISDV bersama Darsono Notosudirdjo. Ia membentuk Partij der Kommunisten in Indie atau Perserikatan Komunis di India yang pada kongresnya
70
di bulan Juli 1924 di Jakarta berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Naiknya Semaun dan Darsono sebagai pimpinan PKI dan diasingkannya tokohtokoh ISDV berkebangsaan Belanda membuat kaum pribumi mendominasi organisasi ini. PKI lebih banyak mengeksplorasi nilai-nilai kepahlawanan Indonesia, romantisme pra kolonial dan ramalan mesianik seperti Ratu Adil ketimbang doktrin Marx dan Lenin (Ricklefs, 2009: 376). Pada bulan Oktober 1921, setelah Kongres SI yang memutuskan pelarangan terhadap keanggotaan ganda, PKI memisahkan diri dan membentuk SI Merah. Pun, mobilisasi SI terbelah disetiap cabangnya menjadi “SI Putih” dan “SI Merah” dan berubah kembali menjadi Sarekat Rakyat setelah pada Mei 1922 setwlah dibentuknya Partai Sarikat Islam. 4.1.2 Pemberontakan PKI 1926 Setelah berpisahnya PKI dari SI, represi terhadap PKI meningkat. Semaun ditangkap dan diasingkan ke Eropa pada pertengahan 1923. Pada tahun yang sama, Tan Malaka, ketua PKI pengganti Semaun diasingkan. Pemerintah kolonial membentuk organisasi reaksioner bernama “Sarikat Hijau” di Priangan yang berisi gerombolan-gerombolan penjahat, anggota polisi, para kiyai yang mendapat dukungan pemerintah kolonial dan pejabat priyayi (Ricklefs, 2009;384). Organisasi ini menyerang rapat-rapat PKI menangkap dan mengancam para pimpinan organisasi politik lainnya. Pada bulan Desember 1924, PKI memutuskan untuk mempersiapkan pemberontakan. Pemberontakan ini diputuskan secara organisasional melalui pertemuan Prambanan yang diselenggarakan pada bulan Desember 1925. Rencana
71
pemberontakan ini tidak disetujui oleh Semaun di Pengasingan dan Tan Malaka yang saat itu menjadi Wakil Komintern di Asia Timur di Manila. Sebelum keputusan ini diambil, Darsono telah ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda karena pemogokan besar pada September 1925. Alimin, salah seorang pimpinan PKI, lari ke Singapura untuk berkomunikasi dengan Tan Malaka. Sementara pimpinan PKI yang tertinggal yaitu Musso menolak untuk menerima gugatan Tan Malaka dan tetap melancarkan pemberontakan pada bulan November 1926 hingga Januari 1927. Pemberontakan PKI pertama meletus di Banten, Batavia, dan Priangan pada bulan November 1926. Disusul dengan pemberontakan yang dilakukan di Sumatera pada bulan Januari 1927. Gelombang pemberontakan yang terbelah dan tidak beraturan ini berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kegagalan pemberontakan 1926 melenyapkan PKI dari peta politik pergerakan anti kolonial menyisakan kekosongan politik sayap kiri di Indonesia. Rakyat pedesaan tidak pernah lagi terlibat dalam pergolakan politik di Indonesia hingga awal Perang Dunia II. Bersamaan dengan padamnya PKI, gerakan-gerakan politik yang memiliki ideologi solid pun mulai berjatuhan. Kelompok Islam lama di SI tidak lagi mengambil bentuk perlawanan radikal melainkan melalui diplomasi dan membentuk elit politik Islam. 4.1.3 Nasionalisme Kiri Kekosongan politik radikal anti-kolonial setelah kegagalan PKI kemudian diisi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengusung ide Nasionalisme Indonesia dengan menggabungkan tiga unsur utama isu pergerakan di Indonesia
72
yaitu Marxisme, Islam, dan Nasionalisme. Kolaborasi ekletik yang dipelopori oleh Soekarno ini mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah persatuan nasional dan bertujuan untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat baru dengan harmoni kelas-kelas sosial. Komposisi ideologis ini merupakan sintesis dari periode awal pergerakan di Indonesia yang didominasi oleh ide Marxisme dan Islamisme. Meskipun tidak memiliki garis ideologis yang jelas, komposisi ideologis nasionalisme ala PNI ini berhasil menggalang dukungan masyarakat luas dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. PNI menghilangkan batas-batas tersebut dan meleburkannya pada satu mistifikasi politik yaitu nasionalisme bagi negara jajahan. Dalam perjuangan politiknya, PNI mengadopsi konsep perjuangan non-kooperasi dengan pemerintah Hindia Belanda seperti yang dilakukan oleh PKI dan SI. Selain itu, PNI juga mengadopsi konsep aksi massa yang dikembangkan oleh PKI dan diperluas pada aktivitas intelektual seperti propaganda melalui terbitan dan rapat-rapat umum. Kemiripan sikap politik PNI dengan PKI yang menjadikannya pionir gerakan radikal setelah 1926. Baru pada tahun 1930an pengaruh-pengaruh politik radikal lainnya mulai berkembang melalui priyayi pribumi yang berpendidikan barat. Hatta dan Sjahrir memperkenalkan jalan demokratis dengan strategi reformasi dan diplomasi dalam perjuangan kemerdekaan. Ide ini berasal dari tradisi reformis sosial demokrasi di Eropa yang dipelopori oleh Kautsky. Pengaruh sosial demokrasi Eropa berkembang meluas terutama ketika Soekarno ditangkap pada tahun 1930. Pengaruh sosial demokrasi Eropa dibawa oleh Hatta dan Sjahrir yang membentuk PNI baru yang melandaskan programnya
73
pada pendidikan dan bukan lagi aksi massa. Partai ini berseberangan dengan Partai Indonesia yang dibangun oleh mantan PNI lainnya meneruskan garis perjuangan PNI lama. Pada masa kemerdekaan, PNI kembali mengkonsolidasikan kekuatannya yang terbelah. Sementara, Hatta dan Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang berhaluan sosial demokrasi. 4.1.4 Tentara Politik FDR/PKI (1948) Politik sayap kiri mulai terkonsolidasi setelah kemerdekaan melalui upaya interaksi dari kubu Muso melalui FDR/PKI dan kubu Tan Malaka melalui Persatuan Perjuangan (PP) dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR)1. Kedua kubu ini melakukan reorganisasi partai yang sempat terpecah selama perang kemerdekaan ke dalam kelompok-kelompok politik kecil dan laskar-laskar bersenjata. Pada tahun 1948, republik masih dalam bentuk yang rentan baik secara politik maupun organisasinya sebagai negara. Kelompok-kelompok politik yang terlibat dalam perang kemerdekaan mulai menginterpretasikan kembali konsep kemerdekaan berdasarkan ideologi politiknya. Pada saat yang sama kelompok Islam di bawah Darul Islam melakukan deklarasi Negara Islam Indonesia dan melancarkan pemberontakan di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan. Kubu republik mengalami situasi yang paling sulit karena ditekan oleh pemberontakan bersenjata laskar-laskar rakyat di satu sisi dan intervensi politik Belanda dengan membangun Negara Federal disi lainnya. Meskipun perpecahan dalam bentuk negara ferderal berhasil dihalau oleh republik persoalan laskar bersenjata masih mengancam konsolidasi republik. Menyikapi situasi ini 1
GRR terdiri dari; Partai Rakyat (PR), Partai Rakyat Djelata (PRD), Partai Wanita Rakyat (PWR), Angkatan Komunis Muda (AKOMA), Persatuan Invaliden Indonesia, Laskar Rakyat jakarta, Barisan Banteng Surakarta, dan Partai Rakyat yang dipimpin Maruto Nitimihardjo.
74
pemerintahan Hatta melancarkan program demobilisasi tentara yang memicu bentrokan dengan laskar-laskar bersenjata terutama yang berposisi mendukung PKI/FDR. PKI/FDR menyikapi program reorganisasi dan rasionalisasi tentara Hatta dengan menginstruksikan pembentukan area militer di Madiun dengan penguatan laskar bersenjata. Strategi ini dalam kajian politik sayap kiri dikenal sebagai strategi militer politik atau junta militer atau Politicio de Militar. Namun kekuatan militer FDR/PKI tidak mampu menandingi persenjataan militer Republik. Dalam waktu singkat PKI terisolasi di Madiun dan berhasil dilumpuhkan. Sekali lagi, PKI mengulang kegagalan pemberontakan bersenjata. 4.1.5 Strategi Parlementarian PKI (1955) Kegagalan pemberontakan PKI 1948 tidak menyebabkan pembubaran PKI yang masih diteruskan oleh Tan Ling Djie di Semarang. PKI kembali melakukan reorganisasi pada tahun 1950 di bawah kepemimpinan kaum muda yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan yaitu D.N Aidit, Njoto dan Sudisman. Ketiga tokoh ini mengakhiri “garis Dimitrov” atau Stalinisme yang diwarisi oleh Musso dan menggantikannya pada strategi yang lebih populis. Di bawah kepemimpinan Aidit pada tahun 1951, PKI merubah pandangan resminya terhadap Soekarno. Aidit mengambil model front rakyat lintas kelas yang dipelopori oleh Mao di RRC dan berposisi untuk mendukung PNI dan Soekarno. Pilihan politik membawa PKI pada puncak popularitasnya. Strategi ini memungkinkan PKI untuk meluaskan pengorganisiran partai hingga ke kalangan non kelas pekerja seperti petani, pemuda miskin perkotaan hingga kaum
75
perempuan. Hasilnya PKI berhasil merebut posisi ketiga dalam pemilihan Umum 1955 dengan jumlah pemilih lebih dari 3 juta pemilih pada dua pemilihan umum. 4.1.6 Penghancuran Politik Sayap Kiri (1965) Kegemilangan strategi pemilu PKI 1955 tidak berlangsung lama, kelompok politik lain yang merasa terancam oleh menguatnya pengaruh PKI dan besarnya dukungan Soekarno terhadap PKI mulai mendapat perlawanan. Secara politik, PKI berhasil mengalahkan kontestasi politik sayap kiri dengan mendukung pembekuan Murba dan pembubaran PSI. Kelompok Islam yang mayoritas kedua setelah kelompok nasionalis pada saat itu didominasi oleh model kepemimpinan patrimonial dengan jarak dikotomis dengan massa yang umumnya tidak terorganisir. Konfigurasi kekuatan politik pada periode ini didominasi oleh Soekarno, PKI, dan Militer terutama Angkatan Darat yang pernah mengancam kudeta pada tahun 1952. Pada akhir 1965, PKI dan Soekarno berhasil dikalahkan oleh koalisi militer dengan sipil sayap kanan anti komunis. Koalisi ini terdiri dari tokoh-tokoh PSI dan Masyumi dalam pengasingan, Militer Anti-Komunis dan kelompok Islam lainnya2. Momentum yang menjadi antiklimaksnya adalah peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat pada tanggal 30 September yang melibatkan para pimpinan PKI dan kubu Angkatan Darat pro-PKI. Hingga saat ini peristiwa ini masih belum terjelaskan secara ilmiah, namun secara politik oleh Orde Baru peristiwa ini disebut sebagai pemberontakan PKI yang melegitimasi kampanye pemberantasan komunisme. 2
Koalisi ini kemudian membentuk pemerintah Orde Baru setelah jatuhnya Soekarno pada tahun 1966.
76
Selama tahun 1965-1967 dilakukan kampanye pembersihan PKI dan kelompok sayap kiri lainnya termasuk kaum Soekarnois kiri dengan pembubaran organisasi dan pelarangan penerbitan juga operasi pembunuhan, penangkapan, dan pengasingan secara massal. Teror ini tidak hanya bertujuan untuk membasmi PKI namun juga mengakhiri proses revolusi nasional dan menghentikan pergerakan nasional sekaligus gagasan-gagasan politiknya (Lane, 2004; 41). 4.2 Konsolidasi Gerakan di Masa Orde Baru Pada tahun 1965, kehancuran politik sayap kiri menandai periode baru dalam politik Indonesia yaitu lahirnya Orde Baru3 yang didominasi oleh militer dan aristokrat. Orde Baru tidak hanya menolak komunisme melainkan melakukan depolitisasi total melalui konsep massa mengambang4 yang digagas oleh Ali Moertopo. Konsep ini membalikkan model politik Indonesia sejak masa pergerakan yang aktif menjadi pasif dan hanya terkonsentrasi pada elit politik di pusat pemerintahan. Ali Moertopo menyatakan bahwa; “Rakyat di desa tidak perlu lagi menghabiskan waktu dan tenaganya yang berhara untuk melibatkan dirinya dalam kancah perjuangan politik partai dan golongan, tetapi menyibukkan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan, sehingga didapatla apa yang disebut sebagai ‘floating mass’ yang tidak terikat secara permanen dalam keanggotaan sesuatu partai politik.” (Moertopo dalam Bourchier dan Hadiz, 2003; 46) Konsep massa mengambang pada dasarnya merupakan gagasan kepasifan politik massa seperti pada sistem dua partai demokrasi parlementer Amerika pada 3
Orde baru merupakan terminologi umum bagi sistem politik yang berlaku setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1966. Terminologi ini pada mulanya digunakan sebagai sebutan terhadap koalisi antara tentara, mahasiswa, intelektual dan kelompoik muslim yang beroposisi terhadap Soekarno dan PKI. Terminologi ini juga dipertentangkan dengan istilah Orde lama sebagai penanda sistem politik dibawah Soekarno. (seperti dijelaskan dalam Cribb dan Kahin. 2004;298) 4 Depolitisasi Orde Baru lebih lengkap pada konsep massa mengambang yang dikembangkan oleh Ali Moertopo, dalam Indonesian Politics and Society D. Bourchier and Hadiz, 2003; 45-49.
77
1950an (Lane, 2007;43). Moertopo juga mengingatkan tentang massa yang tidak terikat secara permanen dengan partai politik yang juga berarti pembatasan aktivitas partai politik. Singkatnya, Orde Baru memandang politik sebagai akar permasalahan yang melahirkan konflik sosial dan mengancam pembangunan oleh karenanya harus dipisahkan dari kehidupan sosial rakyat. Konsep ini dipastikan dengan membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) yang kemudian diganti dengan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (BAKOSTRANAS) yang merupakan perpanjangan tangan militer untuk mengatur dan mengawasi aktivitas sipil. Orde Baru mengaktifkan Komando Teritorial dari tingkatan nasional hingga tingkatan Desa untuk mengawasi aktivitas sipil. Selain itu fungsi partai politik juga direpresi dengan pembatasan aktivitas politiknya. Semua gerakan demokratik disebut kiri atau ekstrim kiri yang ditautkan pada PKI. Sedangkan gerakan Islam dikategorikan sebagai ekstrim kanan yang ditautkan pada DI/TII sebagai basis legitimasi untuk merepresi mereka. Pada tahun 1973, Orde Baru meningkatkan kontrolnya dengan melakukan fusi partai dengan mengelompokkan partai berdasarkan orientasi politik menjadi dua partai politik yaitu PDI dan PPP dan satu Golongan Karya5. Kebijakan ini disusul dengan kebijakan kontrol terhadap organisasi non politik dengan mendirikan organisasi buruh, petani, nelayan, pemuda, pegawai negeri hingga
5
Fusi partai ditetapkan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis BesarHaluan Negara (GBHN) hasil Sidang MPR Tahun 1973. Ketetapan tersebut menyatakan bahwa pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya yang dtentukan berdasarkan Orientasi politik tersebut dikelompokan melalui kelompok materiil-spirituil (PNI, Partai Murba, IPKI, Parkindo) dan kelompok spirituil (PSII, Masyumi dan NU).
78
istri-istrinya yang dianggap sebagai kelompok fungsional untuk berfiliasi ke Golkar. Orde Baru meningkatkan pengawasan terhadap pendirian serikat atau organisasi-organisasi massa dengan Undang-Undang Organisasi massa pada tahun 1985 yang mengharuskan organisasi massa untuk menggunakan ideologi resmi negara dengan menganut asas tunggal Pancasila yang pemaknaannya diatur oleh pemerintah6. Akibatnya, gerakan perlawanan dan protes lahir di luar dari organisasi-organisasi sentral tersebut. 4.2.1 Protes Politik Gerakan Mahasiswa (1970) Pada tahun 1971, mahasiswa mulai melakukan protes. Arif Budiman7, salah satu pimpinan mahasiswa mengeluarkan isu Golongan Putih atau GOLPUT8 sebagai bentuk protes dengan tidak memilih pada pemilihan umum pada saat itu. Perlawanan ini akhirnya dapat diredam dengan ditangkapnya Arief Budiman pada akhir januari 1972. Pada tahun 1974, gerakan protes kembali muncul dengan terjadinya demonstrasi yang dipelopori oleh Dewan Mahasiswa UI dengan tokohnya, Hariman Siregar. Eskalasi protes menolak investor jepang dan mempertanyakan kedekatan pemerintah dengan pengusaha domestik etnis Tionghoa ini menghasilkan kerusuhan yang dikenal sebagai malapetaka 15 6
Lane (2007;47) Menjelaskan bahwa Konsepsi Pancasila yang dianut oleh Orde Baru berbeda dengan konsepsi Pancasila yang dirumuskan oleh Soekarno yang menafsirkan pancasila sebagai konsultasi demokratis, kesatuan nasional, internasionalisme, keadilan sosial dan monoteisme dengan perlawanan-perlawanan besar revolusioner dalam sejarah umat manusia, seperti yang ia jelaskan dalam pidato-pidatonya. Pancasila versi Orde Baru lebih menekankan pada gagasan kepatuhan pada kekuasaan negara bahkan mengatur detail kehidupan sosial melalui butir-butir pancasila yang harus diamalkan oleh warganegara. 7 Mantan Anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa yang terlibat alam proses penggulingan Soekarno pada ahun 1966. 8 Golongan putih sendiri bukanlah organisasi melainkan identidikasi bagi mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang karena aturan permainan demokrasi telah diinjak-injak oleh partai-partai dan Golongan Karya, yang dalam usaha memenangkan pemilu ini menggunakan aoarat pemerintah dan cara-cara yang di luar batas aturan permainan dalam suatu masyarakat demokratis (Arsip Golput Jakarta, 28 Mei 1971) Istilah Golput saat ini disalah artikan dengan menerjemahkannya sebagai tindakan abstain/tidak memilih dalam pemilihan umum
79
Januari atau MALARI. Kerusuhan ini dapat diredam, beberapa tokoh yang terkait dengan PSI/Gemsos ditangkap karena dianggap menjadi dalang kerusuhan ini9. Gerakan protes ini dapat terus berlanjut hingga tahun 1978. Tuntutantuntutan mahasiswa pada saat itu berorientasi pada demokrasi sosial dan liberal yang hanya terfokus pada isu-isu korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan kesenjangan ekonomi dan tidak melibatkan rakyat secara luas (Lane, 2004; 222). Namun, pada saat itu rezim tidak menyepelekan konsolidasi mahasiswa yang dikoordinasikan oleh Dewan Mahasiswa secara nasional. Melalui Dewan Mahasiswa, isu politik disebarkan secara berantai dai kampus ke kampus melalui media mahasiswa dan pertemuan-pertemuan antara aktivis kampus. Rezim Orde Baru menyadari bahwa potensi ini adalah ancaman bagi legitimasi Orde Baru dan membuka peluang munculnya oposisi politik yang mengancam rencana stabilitas. Respon rezim menghadapi ancaman ini adalah dengan melakukan represi terhadap para aktivis mahasiswa dan membubarkan Dewan Mahasiswa dengan alasan bahwa Dewan Mahasiswa telah melawan hukum dan konstitusi. Soedomo menyatakan; secara sistematis, melalui Dewan Mahasiswa telah melawan hukum dan konstitusi, mahasiswa telah menggunakan diskusi untuk membangun opini untuk mengganti kepemimpinan nasional.; tuduhan melalui ikrar mahasiswa tanggal 28 November di Bandung bahwa presiden telah menyeleweng dari UUD 1945 adalah melawan kekuasaan MPR; kedatangan Dewan Mahasiswa se-Indonesia ke MPR untuk menyatakan ketidakpercayaan kepada lembaga negara itu pada tanggal 7 Januari 1978 merendahkan lembaga negara; dan juga surat kabar secara tidak seimbang telah menyiarkan kegiatan mahasiswa. Menurut Soedomo, Abri tidak akan diam diri menghadapinya karena itu kepada mahasiswa perlu diambil tindakan represif. (Miftahuddin, 2004, hal. 56)
9
Pada tanggal 19 Januari, Hariman Siregar bersama 18 tokoh lainnya, tiga hari berikutnya Yap Tiam Hien dan H.Princen yang memprotes penangkapan mahasiswa juga ditangkap.
80
Pernyataan ini disusul dengan pembubaran Dewan Mahasiswa dan mengintegrasikan mahasiswa dalam konsep massa mengambang dengan melarang aktivitas mahasiswa di dalam kampus yang diduga akan menghasilkan ancaman. Aktivitas organisasi mahasiswa ditekan pada aktivitas hobi yang dianggap tidak memiliki kemungkinan interaksi politik. Pun, gerakan mahasiswa berhasil dipatahkan melalui peraturan normalisasi kehidupan kampus dan pembentukan badan koordinasi kampus (NKK/BKK) untuk mengontrol kehidupan kampus. Namun secara politik, inilah pertama kalinya mahasiswa menghadapi represi politik negara secara langsung. Seperti dijelaskan oleh Miftahudin sebagai berikut; Garis besar kebijakan NKK-BKK adalah menata ulang dan meredefinisi kehidupan kampus secara mendasar, fungsional dan bertahap. Sementara itu diterapkannya BKK sebagai badan non struktural berfungsi membantu rektor untuk merencanakan kegiatan mahasiswa. Dengan begitu segenap kegiatan mahasiswa, baik kurikuler maupun non kurikuler dikontrol oleh pimpinan perguruan tinggi. (Miftahuddin, 2004, hal. 55) Pada periode ini, kekuatan mahasiswa dan intelektual yang sebelumnya mendukung berdirinya pemerintahan Orde Baru dan ikut mendirikan Golkar mulai terpecah. Kelompok ini adalah para mahasiswa yang pada tahun 60an terlibat dalam organisasi bawah tanah GMSOS yang berafiliasi secara politik dengan PSI yang saat itu dilarang oleh Soekarno. Salah satu tokohnya, Rahman Tolleng menyatakan bahwa PSI saat itu terbelah menjadi lima kepemimpinan yang salah satunya mengambil garis politik yang sangat bertentangan dengan mengadopsi tendensi kiri baru (new left). Kelompok inilah yang mengenalkan kembali Marxisme pada kelompok-kelompok diskusi mahasiswa.
81
“Dalam pertemuan dengan kami, Ali Moertopo membuat lima kategori (PSI): PSI terbaik adalah PSI Rahman Tolleng. Nomor dua, PSI yang masih bisa kerjasama tapi tidak sepenuh hati yaitu PSI Widjodjo Nitisastro dan Emil Salim -- ketika itu saya pikir dia PSI kan saja semua orang hehe…PSI ketiga yaitu Soemitro Djojohadikoesoemo. PSI keempat yang sudah agak jauh yaitu Soedjatmoko dan Soebadio Sastrosatomo. Kemudian PSI kelima yang benar-benar sudah musuh yakni newleft seperti Arief Budiman” (Tolleng, 2013). Terlepas dari kegagalannya, gerakan mahasiswa 1970an menyediakan embrio kelahiran kembali kritik kiri di Indonesia terutama model populis radikal yang sebelumnya diusung oleh Soekarno. Gerakan mahasiswa 1970-an mulai mengampanyekan retooling pemerintahan, penolakan terhadap dominasi modal asing dan menggunakan model demonstrasi yang mirip dengan metode pergerakan pra 1965. Sentimen ini kemudian berkembang menjadi sentimen anti kediktatoran pada dekade berikutnya. 4.2.2 Kiri Baru dan Represi Negara (1980) Pada tahun 1981, Pramoedya Ananta Toer10 dan Joesoef Ishak11 mendirikan peneribit Hasta Mitra dan menerbitkan novel Bumi Manusia karangan Pramoedya semasa ia dalam pengasingan. Penerbitan novel ini menghasilkan kontroversi hebat dan dilarang. Akibatnya, novel ini malah populer di kalangan mahasiswa dan mengingatkan kembali mereka dengan tradisi radikal di Indonesia pada awal abad ke-20. Peran penting dari penerbitan novel ini adalah kembalinya ingatan mengenai peran kaum pergerakan pra kemerdekaan.
10
Sastrawan kiri dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang terlibat dalam politik sayap kiri pra-65 dan PKI. Ia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru pada tahun 1965 dan dibebaskan pada tahun 1979. 11 Editor Harian Merdeka yang juga terlibat dalam politik sayap kiri pra 65. Ia ditangkap pada tahun 1967 dan dibebaskan pada 1977.
82
Menjelang akhir 1980-an, Orde Baru mengendurkan pengawasan terhadap pembentukan organisasi-organisasi berbasis penelitian dan advokasi12. Generasi aktivis 1970an banyak membangun LSM/NGO yang berorientasi pada penelitian dan pengembangan kemandirian masyarakat. Periode ini merupakan periode diskusi dan pembelajaran politik yang sangat intensif bagi kaum pemuda. Seperti didokumentasikan
oleh
Fazlur
Ahmad13
dalam
analisisnya
mengenai
perkembangan gerakan mahasiswa yang dimuat pada majalah Prisma (no 47, September, 1989). Ahmad menyatakan bahwa menjamurnya LSM pada dekade 1980an tidak terlepas dari menjamurnya kelompok-kelompok diskusi di kalangan mahasiswa setelah diberlakukannya NKK/BKK. Ia memetakan konfigurasi politik di dalam LSM berdasarkan korelasinya dengan kekuatan-kekuatan politik lama yang tersingkir dari rezim Orde Baru. ... Terdapat spektrum luas dari NGO, yang dikendalikan oleh, pertama, kelompok sosial demokratik (berhubungan dengan generasi PSI) dan, kedua, oleh protestan, katolik atau kelompok medernis Islam (berhubungan dengan generasi NU dan Masyumi). Konsep dan aksi politik mereka sama: jalan tengah. (Bourchier and Hadiz, 2003;169) Kebebasan relatif dari rezim Orde Baru berbanding terbalik dengan peningkatan represi terhadap masyarakat atas nama pembangunan. Pemikiran kiri juga mulai diterima dengan masifnya pembahasan tema ekonomi politik terutama pada majalah Prisma, juga melalui teori ketergantungan yang mengkritik teori
12
Dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 agustus 1990 Soeharto menyerukan agar masyarakat tidak perlu takut menyatkan pandangan yang berbeda. Tetapi pada tahun 1994, Menteri Penerangan, Harmoko, memberdel 3 majalah sekaligus, Tempo, Editor dan Tabloid Detik. (Miftahuddin, 2004, hal. 63) 13 Fazlur Akhmad adalah nama samaran dari Daniel Inderakusuma, salah seorang pendiri PRD, yang juga figur terkemuka dalam aktivitas pembentukan pra-partai yang menghasilkan PRD. (Lane,2007;131)
83
pembangunan. Periode ini juga ditandai oleh aktifnya komunitas-komunitas mahasiswa yang melakukan advokasi terhadap petani dan buruh. Pada periode 1980an terjadi dua peristiwa represif yang mendorong radikalisasi di kalangan mahasiswa tersebut. Rezim Orde Baru melakukan tindakan represif dalam upaya penggusuran petani di Kedung ombo (Jawa Tengah) dan Nipah (Madura). Peristiwa Kedung Ombo memanas setelah petani melakukan perlawanan pada tahun 1989. Sedangkan peristiwa Nipah terjadi karena penembakan aparat militer terhadap petani yang berunjuk rasa di Desa Planggaran Barat, Madura. Kedua peristiwa ini disusul oleh peristiwa-peristiwa represif lain di berbagai daerah seperti Blangguan, Cimacan, Talang Sari, dan Way Kambas Lampung. Pada saat itu, radikalisasi menyebar cepat di kalangan mahasiswa, mereka melancarkan aksi solidaritas dengan membentuk komitekomite aksi yang aktif melakukan demonstrasi dalam skala kecil namun tersebar di seluruh daerah. 4.2.3 Radikalisasi Gerakan Mahasiswa-Rakyat (1990) Pada akhir 1990an, Orde Baru tidak dapat lagi menghindari krisis politik yang terjadi di Indonesia. Konsolidasi oposisi semakin menguat di dalam tubuh parlemen dan partai-partai yang sebelumnya pasif. Selain itu, di luar parlemen konsolidasi gerakan protes dan demonstrasi yang dimobilisasi oleh komite-komite aksi mahasiswa juga semakin tidak dapat dikendalikan. Upaya mengendalikan pers dengan melakukan pembredelan terhadap majalah Editor, Tempo, Tabloid Detik malah memancing aksi solidaritas semakin meluas.
84
Di pihak lain, konsolidasi elit politik mulai mengalami perpecahan setelah Orde Baru mencoba untuk menghentikan pergerakan dua tokoh populer yang memiliki basis massa luas yaitu Megawati Soekarnoputri di PDI dan Abdurrahman Wahid di Nahdlatul Ulama. Orde Baru berupaya untuk mendongkel kedua tokoh tersebut dari kepemimpinan mereka di organisasi masing-masing. Pada tahun 1994, Orde Baru menempatkan Abu Hasan Rivai sebagai kandidat lawan Abdurrahman Wahid dalam Muktamar NU ke 29 di Cipasung, Jawa barat. Dua tahun kemudian, Orde Baru juga berupaya mendongkel Megawati lewat kongres PDI di Medan yang menempatkan Soerjadi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Salah satu jaringan mahasiswa radikal yang menggabungkan aksinya dengan advokasi terhadap buruh dan petani berhasil membentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (selanjutnya disingkat menjadi SMID). Organisasi ini memiliki jaringan organisasi massa sektoral buruh, petani dan kaum miskin perkotaan. Pada tahun 1996, organisasi-organisasi tersebut membentuk PRD. Deklarasi PRD direspon dengan pelarangan dan penangkapan para pemimpin PRD14. Melalui represi kediktatoran Orde Baru, politik sayap kiri kembali lahir di ruang dan waktu yang berbeda dengan pendahulunya. 4.3 Era Reformasi Era reformasi ditandai dengan terjadinya fragmentasi politik di kalangan pergerakan. Kelompok kiri melakukan percobaan perjuangan parlemen dengan ikut sertanya PRD pada pemilu 1999. Namun percobaan ini juga tidak berhasil, 14
Surat Keputusan Mendagri Nomor 201-221 Tahun 1997 yang menyatakan PRD dan ormasormasnya sebagai Organisasi Terlarang (OT). Alasan pembubaran dan pelarangan adalah karena PRD tidak berasaskan Pancasila serta jiwa dan semangatnya bertentangan dengan UUD 1945.
85
PRD hanya mendapatkan 78.000 suara dan tidak berhasil mendapatkan kursi di DPR-RI. PRD melakukan dua kali percobaan pembentukan partai electoral baru yang dibangun dari aliansi gerakan sosial yaitu pembentukan POPOR (2003) dan PAPERNAS (2007). Kedua partai inipun tidak mampu menembus verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Partai ini tidak pernah benar-benar berhasil meluas secara organisasional (Lane, 2010;75). Garis politik radikal15 yang dijadikan panduannya seringkali menempatkannya dalam posisi yang sulit karena dibenturkan pada isu phobia komunisme (PKI) yang masih menjadi alat politik ampuh untuk meredam protes. Disamping itu, percobaan perjuangan parlementer PRD juga menghasilkan perpecahan di tubuh PRD yang kemudian berkembang menjadi berbagai organisasi berhaluan kiri. Perpecahan PRD pada tahun 2002 yang melahirkan Perhimpunan Demokratik Sosialis (PDS). Sebagian dari mereka kini membentuk Perhimpunan Rakyat pekerja yang kini menjadi Partai Rakyat Pekerja (PRP). Organisasi ini berhasil menjaga kontaknya dengan serikat buruh kiri yaitu Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan berkonsentrasi pada masalah perburuhan. Pada tahun 2007, perpecahan terakhir PRD melahirkan kelompok kiri radikal baru yaitu partai Pembebasan Rakyat (PPR)16. Menurut Max Lane (2012;78), Pada era reformasi, seiring dengan menurunnya represi negara dan perpecahan di kalangan kiri mengakibatkan kelompok kiri yang aktif tidak lagi didominasi oleh organisasi-organisasi politik sayap kiri berskala nasional. Saat ini kelompok kiri tersebar dalam penerbit-penerbit radikal, 15
Mengenai garis politik radikal PRD, lebih lengkap pada Manifesto Partai Rakyat Demokratik (1996) 16 sebelumnya bernama Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik/KPRM-PRD
86
individu-individu yang berpikiran kiri dan tidak berpartai, kelompok seniman, pengelola website, kelompok diskusi dan lain sebagainya. 4.4 Sekuensi Historis Politik Sayap Kiri di Indonesia Berdasarkan pemaparan mengenai politik sayap kiri di atas, politik sayap kiri di Indonesia dapat dibedakan secara periodikal. 1. Periode pertama 1920-1948, politik sayap kiri di Indonesia menggunakan tendensi Bolshevis (Marxisme-Leninisme) dengan model partai pelopor (vanguard). Periode ini juga mengadopsi stratetegi insureksi bersenjata dalam dua varian yaitu varian perang sipil (1926) dan gerilya tentara politik (1948). 2. Periode kedua, periode politik terbuka 1950-1965, partai kiri menggunakan jalur terbuka melalui pemilu dan parlemen (PKI, PSI, MURBA, dll). Pada periode ini, analisis kelas yang digunakan adalah aliansi antar kelas PKI (Buruh-tani-borjuis nasional), definisi kelas tertindas luas Murba (lumpen proletariat, petani miskin, buruh nonindustri, borjuis kecil). Partai-partai kiri pada periode ini memandang negara sebagai tujuan dan memperkuat partainya sebagai organisasi politik terbuka. Mobilisasi insureksi bersenjata mulai ditinggalkan sebagai konsekuensi fasilitasi pemilu. 3. Periode ketiga adalah periode pembentukan kembali politik sayap kiri 1971-1998. Periode ini ditandai dengan hilangnya memori kolektif massa tentang politik kaum kiri dan lenyapnya kelompok komunis. Periode pembentukan kembali ini mengadopsi pandangan kelas dalam
87
tradisi kiri baru yaitu pengorganisiran kelas menengah. Negara didefinisikan sebagai penindas dan dipersepsikan sebagai diktator. Pada periode ini, strategi politik yang digunakan adalah insureksi tanpa kekerasan dengan advokasi politik dan aksi massa. Organisasi politik yang dibentuk cenderung bersifat temporal dan berada di luar jalur formal negara karena pembatasan demokrasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Keterkaitan kaum kiri yang lahir pada periode ini, terutama pada awal 1990an dengan kaum kiri sebelum 1965 sangat sulit untuk dibuktikan. Bukan hanya bentuk organisasi dan pemikiran politik, situasi politik yang mereka hadapi pun sudah sangat berubah. 4. Periode keempat masih dalam tahapan pembentukan kembali politik sayap kiri 1999-2009. Periode ini ditandai dengan demokratisasi dan akslerasi teknologi informasi. Pada periode ini, Negara dipandang dari berbagai macam sudut baik secara instrumental, struktural maupun otonomi relatif. Kaum kiri pada periode ini memulai interpretasi terhadap
Marxisme
dari
awal
begitupun
juga
upaya
kontekstualisasinya pada kondisi objektif di Indonesia yang telah berubah sejak berakhirnya Orde Baru. Politik sayap kiri pada periode ini memperlihatkan fragmentasi yang besar dan tersebar dalam berbagai bentuk organisasi.