BAB I Lineamenta Politik Kewargaan Manusia adalah makhluk yang mampu mengenali dirinya sendiri sebagai korban. Di momen seperti itu ia menolak menjadi sampah. Ia ada bukan menuju mati tetapi ia ada menuju emansipasi, Dia adalah demosi (Badiou)
1. Latar Belakang Riset ini berusaha untuk melacak politik dari subjek yang senjang, subjek yang kita sebut sebagai warga negara yang lahir sebagai antagonisme terhadap struktur simbolik dominan yang sedang dan terus mengisi ruang kosong kekuasaan, menciptakan efek universal sehingga seolah menjadi representasi tunggal bagi cara berpolitik warga di Manggarai Barat. Dalam rumusan yang lebih lengkap, saya ingin melacak bagaimana antagonisme politik ini, sebagai warga negara aktivis, hadir melalui tindakan dan membangun multitude warga negara aktivis. Kegairahan penulis dalam mengangkat tema ini berangkat dari dua dorongan penting. Pertama, refleksi terkait gap dalam kajian mengenai kewarganegaraan di Manggarai khususnya dan di Indonesia umumnya. Dalam bahasa metodologis,refleksi ini disebut dorongan karena adanya defisiensi dalam keilmuan. Kedua, problem atau krisis ideologis yang melahirkan demarkasi internal dalam diri masyarakat Manggarai Barat. Demarkasi internalii merujuk pada tereksklusinya warga lokal dari ruang bersama yang disebabkan oleh beroperasinya ideologi neoliberal sebagai rasionalitas politik yang memandu cara kerja negara. Fakta ketidakadilan ini mewujud dalam persoalan tereksklusinya warga Labuan Bajo akibat kebijakan pengelolaan Pantai Pede oleh PT. Sarana Investama Manggabar. Selain problem tersebut, limitasi dalam ideologi neoliberal juga terlacak pada kondisi keterjajahan petani yang tersekap di bawah kekuatan modal, rule of capital. Terkait dengan persoalan pertama, ada empat hal penting
yang menjadi perhatian.
Pertama, riset terkait multitude activist citizen belum pernah dilakukan di Manggarai. Penstudi
politik tentang Manggarai lebih banyak menangkap realitas subjek yang terdepolitisasi baik dalam relasi klientelistik maupun dalam jaringan korporatisme negara. Walaupun sudah ada studi terkait aktor pro demokrasi, studi tersebut hanya membatasi pengamatannya pada partisipasi politik aktor pro demokrasi dalam proses Pemilu (Tim Demos, 2006). Kajian tersebut tidak melihat dimensi ideologis dibalik kehadiran warga negara. Kedua, Studi kewarganegaraan di Indonesia cenderung menjelaskan warga negara dalam birai pendisiplinan struktur simbolik tertentu bukan rupture atau krisis yang mendorong lahirnya agen transformatif. Ketiga, kencendrungan memaknai warga negara dalam cara pikir dimensional. Dalam hal ini, saya ingin mengatakan bahwa kewarganegaraan sering juga didedah secara segmented berdasarkan dimensidimensi yang dimiliknya, misalnya studi yang hanya menekankan aspek hak, atau studi-studi yang berkutat soal partisipasi semata. Keempat, jika kita sepakat bahwa demos adalah unsur politik penting dalam membangun demokrasi, maka kita akan disuguhi oleh fakta yang berkebalikan terkait kajian demokratisasi di Indonesia. Sebagian besar penstudi dalam era reformasi telah memfokuskan diri mereka pada peran atau fungsi elit sebagai elemen kunci bagi beroperasinya politik. Studi-studi ini menegaskan tesis bahwa proses demokratisasi digerakan oleh patronase politik (Van Klinken-2009; Van Klinken & Nordholt-2007) dan didominasi oleh elit predator (Hadiz 2010). Penilikan terhadap Manggarai dalam berbagai literatur politik selalu berakhir pada suatu kesimpulan bahwa politik Manggarai adalah “politik minus warga negara”. Studi yang dilakukan oleh Frans Djalong, misalnya, menunjukan bahwa absennya warga negara dipengaruhi oleh mengokohnya wacana pembangunan yang mendepolitisasi warga menjadi roeng pembangunan. Roeng merupakan subjek minus emansipasi yang kehadirnya secara politis ditentukan oleh keberadaan tuang pegawe, tuang gereja, dan tuang politik. Dengan kata lain, meminjam istilah
Isin, roeng menjadi the immanent otheriii dari subjek yang disebut tuang. Roeng inilah yang menjadi subjek apolitis yang selalu bertindak dalam fantasi keagenan para birokrat dan politisi lokal (Djalong, 2011). Dalam perspektif yang berbeda, ketidak hadiran warga negara juga terefleksi dalam praktik bosisme dan korporatisme negara yang berlangsung di Manggarai. Bosisme yang ditandai oleh penguasaan jaringan oleh kekuatan partai politik, birokrasi, konglomerasi, hirarki gereja, kelompok adat dan kelas menengah telah menyebakan kebuntuhan demokrasi (Hargens, 2009). Begitu pun dengan model korporatisme negara yang memasung demokrasi dengan mekanisme politik simbiotik antara birokrat dan pengusaha lokal yang terhubung ke rana politik berdasarkan basis kekeluargaan (Sahdan, 2009). Pada tataran yang lebih luas, kajian tentang kewarganegaraan di Indonesia akan mengafirmasi fakta bahwa imaji kita soal warga negara yang demokratis belum sepenuhnya hadir mengisi keIndonesiaan saat ini. Studi yang dilakukan oleh Lydersen (Lydersen, 2011), misalnya, menegaskan bahwa pasca keruntuhan rejim Orde Baru, politik kewarganegaraan kita sesungguhnya tidak bergerak jauh dari apa yang terjadi di zaman Orde Baru. Penelisikan akademiknya memperlihatkan masih kokohnya diskursus civic republican dalam politik kewarganegaraan (Lydersen,2011:65). Diskursus ini ditandai oleh nilai-nilai seperti cinta tanah air, kohesivitas, dan patriotisme. Berbeda dengan studi Lydersen, kajian Vegitya Ramadhani justru sampai pada kesimpulan bahwa kewarganegaraan di Indoensia memiliki
bentuk hibridasi-
oposisional dari dua konstruksi ideologis yakni liberalisme dan komunitarianisme. Dia membahasakannya sebagai model denizenship (Ramadhani, 2013). Mendasari tesis tersebut, Ramadhani menunjukan bahwa nilai-nilai liberal menjadi nalar yang memberi bentuk dan orientasi terhadap kerja negara. Namun, nalar ini beroperasi dalam konteks masyarakat komunitarian.
Konsekuensinya, dua regim of knowledge yang sejatinya saling menolak ini melahirkan gradasi hubungan antara negara dan warga negara (Ramadhani, 2013:201-202). Sepintas kontradiksi tertampak dalam dua temuan di atas, namun satu kesamaan yang perlu kita amati dalam studi-studi tersebut adalah kecendrungan yang menekankan penjelasannya pada aspek tatanan/ order, pendisiplinan dan rutinisasi, dan habitus oleh dan melalui wacana. Kajiankajian tersebut gagal melihat kehadiran subjek politik yang dapat mengartikulasikan tuntutantuntutan transformatif sehingga mampu membuka ruang kemungkinan baru dalam berpolitik. Selain kecendrungan di atas, studi tentang kewarganegaraan di Indonesia kadang terjebak pada hal yang bersifat dimensional. Kajian-kajian ini biasanya mengedepankan dimensi-dimensi tertentu dalam tema besar kewarganegaraan. Krisna Sen, misalnya, lebih mefokuskan diri pada dimensi hak, khususnya hak-hak sipil politik dalam menjelaskan geliat kewarganegaraan kaum perempuan dalam demokrasi (Sen, 2002). Jika Sen mengedepankan dimensi right dalam kajiannya, Budianta menitikberatkan studi kewarganegaraan pada dimensi partisipasi (Budianta, 2006). Namun, bagi saya, studi-studi yang bersifat dimesional ini, gagap dalam melihat dan abai dalam memahami kewarganegaraan sebagai suatu horizon yang di dalam dirinya mencakup beragam elemen yang terhubung satu sama lain. Keterhubungan itulah yang memungkinkan kita mampu menjelaskan kewarganegaraan sebagai tema penting dalam agenda transformasi. Studi ini mencoba mengambil rute yang berbeda dengan penstudi politik Manggarai sebelumnya. Jika para penstudi sebelumnya-dalam perspektif yang berbeda-menghadirkan penjelasan yang canggih tentang ketidak hadirann warga negara yang demokratis, maka studi ini menelusuri rute yang sebaliknya, yakni melacak formasi warga negara aktivis dalam universum politik Manggarai. Studi ini juga memiliki rute yang berbeda dengan studi-studi kewarganegaraan yang berkembang di Indonesia. Meskipun masih dipandu oleh perkakas analisis wacana, kajian
ini berusaha untuk keluar dari salah satu kecendrungan studi wacana yang meluluh melacak proses pendisiplinan subjek dalam diskurus. Kajian ini justru berusaha melihat sisi negatif atau krisis dalam tubuh wacana hegemonik, berikutnya melacak tindakan transformatif subjek politik (baca:warga negara aktivis) sebagai respon terhadap krisis tersebut. Lalu apakah problem ideologis yang menjadi landasan kontekstual studi ini? Siapapun saat ini akan sulit menyangkal argumen yang menempatkan neoliberal sebagai diskursus paling hegemonik yang menjadi rasionalitas bagi bekerjanya sebagian besar sistem sosial,politik dan ekonomi saat ini. Kapitalisme dalam wujud neoliberal saat ini telah dianggap menjadi objektivitas sosial yang alamiah yang tidak lagi memiliki determinasi negasiiv terhadap dirinya (Robet, 2010, 30-31). Beragam istilah pun lahir dari kepala para intelektual untuk menggambarkan keadaan tersebut. Fred Block menyebutnya sebagai conversion narratives (Sommers, 2008), Paley menyematkanya dengan sebutan marketing democracy (Paley, 2001), Jayasuria menjulukinya sebagai economic constitualismv (Jayasuriya, 2006). “Tak ada alternatif”, segala imajinasi mengenai kemakmuran seolah lahir dari mantra “pasar”, yang membentuk realitas dengan elemenelemen seperti, kontraktual, individualisme, kompetisi, efisiensi, kalkulasi, kewirasusahaan, good governance, profesionalisme, dan demokrasi prosedural (Sommers, 2008; Brown, 2005). Negara pasca Orde Baru, menjadi perwujudan dari proses bekerjanya pasar. Proses itu ditandai oleh dua fenomena yakni globalisasi dan lokalisasi (Harris, Stokke, Tornquist ed, 2004:2). Dua fenomena yang bekerja secara simultan ini menandai terintegrasinya sistem politik dan ekonomi lokal dan nasional ke dalam pasar global dan disokong oleh proses reformasi dalam bentuk desentralisasi yang berprinsip Good Governance untuk menjamin beroperasinya rasionalitas pasar dalam tubuh institusi-intitusi lokal. Dalam dua gerak yang berlangsung simultan itu, Manggarai Barat menjadi bagian yang integral dari proses tersebut. Dengan demikian, Manggarai Barat menjadi lokus
kekuasaan di mana diskursus neoliberal menjadi model artikulasi yang memandu praktik institusi politik, sosial dan ekonomi dari tubuh sosial masyarakat. Namun konstruksi realitas dalam ideologi neoliberal ini menampakan kerentanannya di mana klaim kesejahteraan dan keadilan yang bisa terjamin melalui mekanisme pasar seperti investasi, semakin tidak terbukti. Yang terjadi justru terciptanya internal border, suatu kondisi yang melahirkan ketimpangan.Fenomena seperti “dolar ketemu dolar”, resource grabbing, eksklusi warga dari ruang publik (kasus Pantai Pede), dan ketermarjinalan petani lokal, merupakan fenomena atau simptom yang menunjukan krisis permanen dalam konstruksi ideologi neoliberal. Dalam kasus Pantai Pede, misalnya, negara yang bertindak dalam dan melalui prinsip regulatif pasar justru melahirkan suatu kondisi keterhempasan warga lokal dari ruang yang sudah lama menjadi “natas bate labar” (halaman tempat bermain). Persoalan ini terbayankan dalam kegelisahan dan keresahan yang disuarakan oleh salah seorang warga yang terlibat dalam perjuangan Save Pede. Dia menegaskan bahwa: Kita tidak boleh dibodohi oleh konsep-konsep bahwa investor yang akan mendatangkan kesejahteraan. Kita menolak konsep itu. Seluruh harta kita dirampas atas nama pembangunan. Jadi apa kita ini. Kita harus meredesain pembanguna kita. Kita harus mengubah konsep pembanguna kita. Kita harus menjadi tuan bagi negeri kita (Alo B)vi Krisis dalam wacana hegemonik merupakan problem ideologis yang menjadi kondisi yang memungkinkan lahirnya corak politik yang berbedavii. Suatu corak politik yang muncul sebagai antagonisme dari diskursus hegemonik. Dalam situasi krisis ini penulis ingin melihat kehadiran Gerakan Baku Peduli sebagai praktik artikulasi baru yang dimaknai sebagai tindakan kewarganegaraan. Kajian ini berangkat dari argumentasi bahwa kewargaan merupakan tindakan yang membangun keterputusan terhadap tatanan simbolik yang hegemonik melalui multitude warga negara aktivis. Tindakan yang dimaksud di sini adalah tindakan activis citizen yang mendorong lahirnya kordinat-kordinat baru dalam universum politik. Argumentasi ini dibangun
dalam logika berikut: subjek pada dirinya selalu menjadi subjek yang kehilangan (lack), yang tidak dapat mencapai kepenuhannya dalam satu tatanan simbolik tertentu. Dalam kondisi ini, subjek mengalami kondisi terdislokasi karena krisis dalam wacana hegemonik. Kondisi krisis di sini terejawantah dalam puspa ragam soal, misalnya, eksklusi warga lokal dan ketermarjinalan dalam ekonomi, etc. Krisis dalam wacana hegemonik adalah condition of possibility bagi proses identifikasi mendorong politik yang lebih emansipatif. Memahami krisis yang mendorong terbentuknya gerakan alternatif merupakan cerminan metodologi berpikir dekonstruktif dan konstruktif yang menjiwai penulis sebagai basis logika berpikir dalam riset ini. Dekonstruksi bertujuan untuk memahami subversi terhadap nalar hegemonik sehingga memungkinkan kita memahami alternatif ontologis baru dalam praktik sosial. Sedangkan logika konstruktif diaplikasikan untuk memahami bagaimana praktik politik alternatif tersebut beroperasi (Negri & Hardt,2000:47). Praktik politik alternatif yang dibangun dalam merespon krisis menegaskan apa yang pernah dikatakan oleh Badiou, bahwa “manusia menjadi makhluk politis yang mampu mengenali dirinya sendiri sebagai korban. Pada momen itulah, manusia bukan ada menuju mati tetapi ia ada menuju emansipasi”. Praktik politik alternatif yang emansipatif ini bukanlah klaim etis semata melainkan klaim yang memiliki muatan politis karena hadir dalam praktik politik dari subjeksubjek yang senjang. Melalui praktik politik ini, warga negara membangun dan membentuk cara politik yang mampu menjawab persoalan-persoalan mereka sekaligus menciptakan kemungkinankemungkinan baru di luar rasionalitas struktur simbolik yang hegemonik. Menciptakan kemungkinan baru melalui tindakan politis merupakan ciri utama dari warga negara aktivis. Seperti yang dijelaskan oleh Isin, Warga negara aktivis dirumuskan sebagai, Subjek politik yang menciptakan kordinat-kordinat baru dari ruang politik yang ada. Subjek ini pun bertindak tidak
secara apriori ditentukan oleh rumusan-rumusan hukum yang ada tetapi justru melalui tindakannya, berusaha untuk mempengaruhi dan melampaui hukum yang ada (Isin, 2008: 38-39). 2. Rumusan Masalah Alur problematisasi di atas mengantarkan penulis pada rumusan pertanyaan riset berikut: Bagaimankah Gerakan Baku Peduli melakukan resistensi terhadap kepengaturan neoliberal? 3. Literature Riview Kegairahan penulis terhadap tema kewarganegaraan merupakan suatu bentuk kegelisahan akademik saat melacak pustaka Indonesia yang belum cukup banyak mendiskusikan isu kewarganegaraan sebagai suatu kajian penting.Di Indonesia, kajian ini memang sedikit telat hadir dalam ruang perbebatan akademik. Namun, pada aras global, studi ini telah berkembang sejak dua dekade terakhir (Isin, 2008, Petersen, 1999). Tema ini berkembang bersamaan dengan perkembangan demokrasi yang meluas. Mantan Presiden Brazil, yang juga seorang sosiolog, Fernando Henrique Cardoso (2000) bahkan menjuluki fenomena ini sebagai “an age of citizenship”. Di sisi lain, meluasnya studi-studi menyangkut kewarganegaraantidak hanya berkaitan dengan konteks berkembangnya demokrasi namun berasosiasi juga dengan kondisikondisi seperti post-modernisasi dan globalisasi yang termanifestasi dalam isu-isu seperti: rekonfigurasi kelas-kelas sosial, munculnya pemerintahan internasional, rasionalitas baru dalam pemerintahan, dan juga merebaknya gerakan sosial baru yang memperjuangkan politik pengakuan dan redistribusi (Mouffe, 1988, Meredyth, 1997). Berbagai pendekatan terhadap studi kewarganegaraan yang berkembang sesungguhnya ditilik dalam dua cara pandang, pertama, kewarganegraan dipahami sebagai isu normatif dan kedua kewarganegraan dipahami sebagai konsep analitis dan empiris (Andersen dan Hoff, 2001: 2-3; Sommers, 2008). Sebagai isu normatif maka kewarganegaraan dipahami dalam beberapa
konstruksi ideologis berikut. Pertama, kewarganegaraan Liberal. Dalam diskursus Liberal, hak individu menjadi basis dari suatu pendefinisian mengenai kehidupan yang baik dalam masyarakat. Diskursus ini berangkat dari metodologi individualisme sehingga kewarganegaraan berkaitan erat dengan isu kebebasan individu, pengakuan terhadap hak-hak individu, dan perlindungan negara terhadap setiap hak yang melekat pada individu yang ada (Lydersen, 2011, Mouffe, 1993). Selain itu, wacana liberal juga menitikberatkan pada status legal dari warga negara di mana mereka secara individual memiliki hak yang dilindungi dan dipenuhi oleh negara (Jones&Gaventa, 2002:3) Kedua, civic republican. Diskursus ini menekankan nilai-nilai seperti cinta tanah air, kesediaan melayani negara, dan kohesivitas dalam satu kesatuan.Selain itu, setiap orang juga dituntut untuk setia kepada negara sebagai suatu komunitas bersama dan menghargai simbol-simbol yang mengikutinya(Abowitz & Harnish 2006). Ketiga, critical/ radical citizenship. Pendekatan ini menekankan pada dimensi aktif dari warga negara. Namun bobot keaktifan ini terkait erat dengan perjuangan untuk mereinterpretasi dan mengembangkan gagasan kebebasan dan kesetaraan dalam semangat emansipasi. Wacana ini secara khusus meletakan isu keadilan, kesetaraan, kebebasan, dalam penjelasan yang melampaui pemahaman liberal (Mouffe, 1992). Dua diskursus yang disebut di awal, Liberal dan Civic Republican, memiliki kerentanan mendasar dalam dirinya. Dalam rumusan Liberal, partisipasi aktif di dalam ruang publik diganti oleh aktivitas politik yang bernalar sangat individual dan instrumental. Seperti yang dijelaskan oleh Sandel, penekanan Liberal pada hak dan kebebasan individu telah melemahkan ikatan sosial warga yang menjadi basis penting untuk berpartisipasi dalam ruang publik (Dagger, 2002:152). Dalam kondisi tersebut, mekanisme politik pun dibingkai dalam partisipasi yang bersifat instrumental di dalam pemilu (Gaventa,2002). Mekanisme pemilu yang hanya menekankan pada metode politik untuk memilih elit yang diyakini (baca: homo credens) akan mewakili dan bekerja
di dalam negara untuk memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara telah mereduksi politik hanya sebagai mekanisme yang bersifat instrumental yang secara potensial dapat melahirkan individuindividu yang pasif. Sedangkan dalam diskursus Civic Republican, penekanan pada identifikasi dalam komunitas abstrak yang substantif cendrung melahirkan politik otoritarian (Mouffe, 1993:63). Dalam situasi ini, kebebasan individu akan ditekan atau direpresi sehingga individu hanya menjadi absah ketika dia berada dalam garis yang ditentukan oleh negara. Di luar hal itu, warga negara dianggap sebagai pembangkang, subversif, dan keluar dari cita-cita bernegara. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan membiaknya praktik-praktik represif negara. Selain pemahaman yang bersifat normatif, kewarganegaraan juga sering dipahami sebagai konsep analitis dan empiris. Dalam kerangka ini, kewarganegaraan dilihat dalam perspektif dimensional, yakni, suatu pendekatan yang memahami kewarganegraan dari dimensi yang dimilikinya. Ada tiga dimensi penting dalam kewarganergaan. Pertama, dimensi hak, kedua, dimensi partisipasi, dan ketiga, dimensi identitas. Dalam konteks Indonesia, studi kewarganegaraan di negeri ini menghadirkan narasi teoritik yang beragam pula. Situasi ini tidak bisa dipahami sebagai suatu cacat metodologis namun harus dicerna dalam kesadaran bahwa memang tidak ada ketunggalan penjelasan mengenai apa itu kewarganegaraan dan bagaimana dia dipraktikan. Peta penjelasan berikut sedikitnya menunjukan keragaman penjelasan tersebut. Indonesia pasca keruntuhan Suharto merupakan kata yang terisi oleh berbagai semantik politik. Hadiz menabiskannya sebagai negara para oligark predator, di mana sistem politik dijalankan oleh kekuatan-kekuatan oligarki yang lahir dari Orde Baru dan mampu beradaptasi dan mengokupasi sistem demokrasi Liberal dan ekonomi Neoliberal (Hadiz, 2010). Narasi lain datang dari Klinken dan Nordholt, dalam terang perspektif historis-sosiologis, menegaskan bahwa politik
pasca Suharto ditandai oleh menguatnya kekuatan primodialisme dalam demokrasi elektoral (changing continuities) (Klinken& Nordholt, 2007:2). Selain itu, Para penstudi demos mencoba menerangkan Indonesia dalam satu istilah “deficit democracy”(Tornquist et al, 2010; Tornquist et al, 2005). Demokrasi yang mengalami stagnasi yang ditandai oleh depolitisasi demokrasi dan rapuhnya insturmen-instrumen demokrasi seperti representasi. Apa yang menarik dari studi-studi di atas bagi saya bukanlah semata soal kecanggihan metodologis, kekayaan data dan semarak adjektiva (predatoris, dll) dalam menjelaskan kondisi demokrasi di Indonesia. Namun dalam perbedaan kesimpulannya, kita dapat melihat kesepakatan “tersirat” dari studi tersebut yakni menangkap suatu fakta di mana warga negara sebagai episentrum dalam demokrasi tidak hadir sebagai elemen penting dalam politik demokrasi pasca keruntuhan Suharto. Ruang politik lokal juga diisi oleh berbagai kajian menarik. Untuk tujuan tulisan ini, saya membatasi diri pada beberapa kajian para sarjana lokal (baca:orang Manggarai) yang secara tidak langsung menjelaskan ketidakhadiran warga negara dalam proses politik demokrasi. Studi yang dilakukan oleh Frans Djalong, misalnya, menunjukan praktik politik patronase yang diproduksi dalam diskursus Developmentalisme dan Kairos telah melumpuhkan keagenan politik yang aktif dari warga negara. Relasi antara negara dan warga negara justru dibingkai dalam relasi tuan dan hamba (tuang dan roeng). Patronase yang diproduksi dalam dua diskursus tersebut terjadi melalui suatu jenis pengaturan yang lebih demokratis, menjadi imanen dalam ruang sosial, terdistribusi melalui pikiran dan tubuh roeng (Djalong, 2011). Apa yang ingin ditunjukan di sini adalah suatu bentuk kekuasaan yang dipraktikkan secara langsung melalui pengorganisasian otak atau pikiran (dalam sistem komunikasi, jaringan-jaringan informasi) dan tubuh ( dalam welfare system, aktivitas monitoring, dll) (Negri & Hardt, 2000:23).
Studi lain yang menjelaskan absenya warga negara diuraikan oleh Boni Hargens dalam tulisannya mengenai Bosisme dan Pergeseran Sumber Kekuasaan di Manggarai (Hargens, 2009). Dengan menggunkan perspektif institusionalis-behavioralis,
penulis berargumentasi bahwa
kekuasaan politik di Manggarai terdapat pada jaringan kekuasaan partai politik, birokrasi, konglomerasi, hirarki gereja, kelompok adat dan kelas menengah. Jaringan kekuasaan ini telah menyebabkan kebuntuhan demokrasi lokal yang ditandai oleh tidak hadirnya demos sebagai kekuatan politik demokrasi. Nuansa pesimistik dalam kajian-kajian di atas, mengantar kita pada pertanyaan, apakah demos sesungguhnya tidak muncul dalam ruang empiris dan perdebatan keilmuan di Indonesia? Tentu terlalu naif jika kita mengamini pertanyaan tersebut. Lalu, jika tidak, seperti apakah demos itu dipahami dalam kajian-kajian yang selama ini ada di Indonesia? Indonesia sebagai suatu semantik politik harus diakui tidak memiliki ketunggalan makna ketika kita berusaha untuk memahaminya dari sisi kewarganegaraan. Berbagai pembacaan terkait konstruksi ideologi yang telah dan sedang mengisi pemaknaan tentang apa dan siapa itu warga negara telah banyak dilakukan oleh para penstudi ilmu politik. Bahkan tidak hanya memaknai konstruksi ideologis, berbagai penstudi pun secara tekun mencoba melacak aspek dimensional dalam menjelaskan beroperasinya kewarganegaraan di Indonesia. Dalam usaha penjajakan berikut, saya ingin menunjukan beberapa studi yang telah dituntun oleh dua skenario tersebut. Ketika kita menalar kewarganegaraan yang dibangun Orde Baru, kita akan disuguhi oleh suatu penjelasan yang menguraikan bekerjannya logika civic republican. Beroperasinya diskursus ini, dapat dicandra dalam serba rupa kebijakan Orde Baru. Sebagai contoh, pada tahun 1968, kurikulum diartikulasikan sekitar tema hak dan kewajiban seorang Pancasilais. Dalam kurikulum ini warga negara yang baik didefinisikan sebagai subjek yang prilaku sehari-harinya merefleksikan
prinsip-prinsip Pancasila (Sander& Elawati,2008). Tesis menarik lainya dimunculkan oleh Lydersen (2011). Dalam studinya mengenai “wacana pendidikan kewarganegaraan di Indonesia pasca-suharto”, dia justru sampai pada kesimpulan bahwa, politik kewarganegaraan kita sesungguhnya tidak bergerak jauh dari apa yang terjadi di zaman Orde Baru. Penelisikan akademiknya dengan pandu analisis diskursus menunjukan bahwa diskursus yang masih berkembang di Indonesia adalah diskursus civic republican (Lydersen, 2011). Bagi Lydersen, masih menguatnya wacana ini menjadi salah satu penjelas bagi lemahnya aspek transformatif dalam politik Indonesia. Vegitya Rahmadhani memiliki penjelasan lain mengenai kewarganegaraan di Indonesia. Menurutnya, Kewarganegaraan di Indonesia adalah bentuk hibridasi-oposisional dari dua konstruksi idiologis yakni Liberalisme dan Komunitarianisme. Dia membahasakannya dengan model denizenship (Ramadhani, 2013). Dia membahasakannya sebagai model denizenship (Ramadhani, 2013). Mendasari tesis tersebut, Ramadhani menunjukan bahwa nilai-nilai liberal menjadi nalar yang memberi bentuk dan orientasi terhadap kerja negara. Namun, nalar ini beroperasi dalam konteks masyarakat komunitarian. Konsekuensinya, dua regim of knowledge yang sejatinya saling menolak ini melahirkan gradasi hubungan antara negara dan warga negara (Ramadhani, 2013:201-202). Berbeda dengan kajian di atas, mendedah dalam bingkai pikir dimensional, Melani Budianta mencoba mengelaborasi dimensi partisipasi dalam studi kewarganegaraan, khususnya yang terkait dengan isu gender. Dalam kajiannya, ia menekankan makna yang politis dalam partisipasi sebagai warga negara dari kelompok perempuan. Oleh karena itu, Budianta memahami demokrasi adalah bentuk keterlibtan aktif warga negara di dalam ruang politik (Budianti, 2006: 920-921).
Keterlibatan aktif perempuan terekam dalam kehadiran berbagai organisasi perempuan seperti, Komnas Perempuan, Duek Pakat Anong Aceh, Perempuan Kepala Keluarga. Kelompokkelompok ini telah berjuang untuk memperbaiki tata kelolah pemerintahan, transparansi, dan akuntabilitas publik. Terlepas dari hambatan-hambatan struktural yang sering dihadapi oleh gerakan perempuan, Penulis mempertegas artikulasinya dengan mengatakan bahwa “Demokrasi mungkin bukan sebuah obat mujarab, tetapi keterlibtan aktif di dalam ruang demokrasi yang plural adalah satu-satunya jalan yang memungkinkan wanita Indonesia menciptakan dunia di mana relasi personal di ruang publik dan juga di rana privat bisa berlangsung secara adil dan setara”. Berangkat dari suatu kajian berdimensi hak, studi Krisna Sen mendiskusikan pentingnya hak-hak sipil dan politik bagi kaum perempuan. Dia menangkap isu eksklusi yang dialami oleh perempuan dalam ruang-ruang politik formal seperti Pemilu. Bagi Sen, struktur politik yang ada telah mengeksklusi hak-hak politik perempuan dalam mengakses jabatan-jabatan publik, oleh karena itu, tuntutan perempuan sebagai warga negara adalah mendapatkan kesetaraan dalam mengaktualisasi hak-hak sipil dan politiknya (Sen, 2002) Narasi argumentatif di atas membuka ruang kritis bagi saya untuk merumuskan suatu cara pikir yang berbeda dalam menjelaskan politik kewarganegaraan. Untuk itu kita perlu mencermati kelemahan-kelemahan studi-studi di atas. pertama, para penstudi terlalu memfokuskan diri pada tatanan, keteraturan, dan pendisiplinan terhadap warga negara. Hal ini merupakan kecendrungan umum dalam ilmu sosial dan politik akhir-akhir ini. Seperti yang ditegaskan oleh Theodore Schatzki, “tatanan (order) dan praktik telah menjadi objek dominan dari studi-studi sosial dewasa ini” (Isin, 2008: 21). Studi-studi tersebut gagal melihat krisis atau kerentanan di dalam tatanan atau diskursus yang beroperasi. Konsekuensinya, studi ini tidak memiliki penjelasan mengenai bagaimana subjek yang senjang (lack)/antagonisme hadir dan bertindak untuk melakukan
transformasi atau membangun keterputusan dengan habitus yang terbentuk dalam sturktur simbolik dominan. Dalam rumusan Isin, studi-studi di atas gagal menjelaskan politik dari subjek yang disebut activist citizen. Kedua, studi-studi di atas juga tidak memiliki penjelasan mengenai multitude warga negara aktivis, yakni multiplisitas resistensi yang lahir untuk membangun keterputusan dengan tatanan simbolik yang ada. Ketiga, studi-studi yang bersifat dimensional ini, gagap dalam melihat dan abai dalam memahami kewarganegaraan sebagai suatu horizon yang di dalam dirinya mencakup beragam elemen yang terhubung satu sama lain. Keterhubungan itulah yang memungkinkan kita mampu menjelaskan kewarganegaraan sebagai tema penting dalam agenda transformasi. Studi ini sesungguhnya tetap menggunakan pendekatan wacana namun penulis tidak lagi berkutat pada proses pendisiplinan subjek dalam krangkeng diskursus tertentu namun justru melihat politik antagonisme yang lahir karena krisis dalam tatanan simbolik (discourse) atau menggunakan rumusan Bonaventura De Sousa Santos, studi ini ingin melihat kehadiran warga negara, melalui gerakan alternatif atau gerakan perlawanan yang disebut, Hermeneutic of emergence,yakni suatu gerakan di mana subjek mencari, mengakui, sekaligus mengembangkan sistem yang selama ini tersubordinasi, yang ditutup, dipinggirkan, diabaikan dalam permainan kuasa sistem dominan (Cypri,2012:138, Howart, 2000:13-14).
4. Kerangka Berpikir Bingkai pikir dalam studi ini dibangun di atas keterjalinan tiga konsep penting. Pertama konsep mengenai subjek, kedua, konsep tindakan kewargaan,dan ketiga, multitude. Tenunan antara tiga bangunan teori itu menjelaskan juga posisi argumentasi epistemologi yang diusung dalam studi ini.
Mengombinasikan ketiga konsep merupakan upaya teoritik yang berpijak pada prinsip artikulasi dalam teori diskursus (Mouffe, 1993:78; Howart, 2000:7). Prinsip ini tidak menekankan pada kontradiksi dari yang berbeda namun posibilitas yang mungkin terjalin antara berbagai elemen untuk membentuk satu kekuatan penjelas. Dengan kata lain, apa yang dikerjakan oleh penulis tidak berfokus pada kontradiksi metodologis antara konsep namun sebaliknya penulis mencari keserupaan atau family of resemblances yang memungkinkan keterjalinan ketiga konsep yang penulis gunakan. Berdasarkan daya jelajah teoritik yang dilakukan, penulis menemukan beberapa poin kunci yang memungkinkan kontradiksi dapat teratasi. Pertama, ketiga konsep ini sama-sama menekankan pada dimensi rupture. Konsep subjek yang senjang berbicara soal ketidakmungkinan dari yang simbolik dalam memainkan fungsi representasi yang total sehingga kondisi tersebut melahirkan jenis subjek yang “menjauh dari sebuah bentuk konstruksi simbolik tertentu”guna melakukan bentuk identfikasi baru (Robert, 2010:80). Begitu pula dengan konsep tindakan yang menekan pada lahirnya subjek yang disebut warga negara aktivis yang mampu melepaskan diri dari (rupture from) pola-pola histors yang hegemonik. Hal yang sama termuat dalam konsep multitude yang berpijak pada proyek eksodus yang bekerja pada logic of withdrawal (Negri & Hardt, 2009:165). Kedua, secara keilmuan, konsep-konsep di atas berangkat dari proposisi filosofis yang disebut constituent ontology, yakni suatu gagasan yang melihat realitas sebagai suatu yang dikonstruksi melalui proses sosial (Negri, 2009:171; Andersen, 2003:ix). Ketiga, baik Laclau maupun Negri dan Hardt, sama-sama berbicara tentang antagonism dalam kekuasaan. Multitude merupakan antagonisme karena bagi Negri dan Hardt, multitude adalah limit dari kekuasaan itu sendiri (Negri, 2008:105). Dalam Laclau, anatagonisme pun merujuk pada limitasi kekuasaan dan bagi dia limitasi adalah the nature of power. Perbedaan mereka terletak pada bagaimana kekuatan
antagonistik ini digarap dalam proyek politik. Bagi Laclau, keberadaan dari beragam kekuatan antagonistik merupakan kondisi utama untuk sebuah proyek hegemoni. Oleh karena itu, proyek hegemoni menjadi strategi politik untuk mengorganisasi kepelbagaian dari kekuatan antagonistik (Laclau & Mouffe, 2001:136). Sedangkan bagi Negri dan Hardt, antagonism yang beragam yang mereka sebut sebagai multitude tidak perlu disatukan dalam satu proyek hegemoni. Biarkan perlawanan itu berserak dan menggempur kekuasaan dari berbagai arah. Terlepas dari perbedaan Laclau dan Negri dalam memperlakukan antagonism, penulis melihat bahwa, apa yang sedang dilakukan oleh Gerakan Baku Peduli saat ini adalah menggarap antagonism dalam berbagai sektor kehidupan atau dalam istliah Negri apa yang terjadi adalah “making the multitude”(Negri& Hardt, 2009:173). Berdasarkan kondisi tersebut, penulis dalam memahami politik kewargaan yang dibangun oleh Gerakan Baku Peduli bersandar pada multiude dan belum jauh menuju pada proyek hegemoni yang disuarakan oleh Laclau dan Mouffe. Secara konstitutif konsep-konsep yang penulis gunakan memberi konstribusi metodologis sebagai berikut: pertama, konsep subjek yang senjang menjadi penjelas bagi proses identifikasi baru dari subjek politik. Konsep tindakan menjelaskan karakteristik tindakan subjek yang senjang dalam frame kewargaan dan secara khusunya menyebutnya sebagai tindakan warga negara aktivis. Terakhir, konsep, multitude menjelaskan politics of citizenship dari warga negara aktivis.
4.1 Subjek yang senjang Bagaimana kita mengkonseptualisasi aktor yang berpartisipasi dalam perjuangan mendefinisikan dan membentuk realitas politik? Pertanyaan ini akan dijawab dengan menguraikan apa itu subjek dan bagaimana subjek itu terbentuk. Berbeda dengan pemahaman fenomenologi, empirisme, dan rational choice theory, yang melihat subjek sebagai aktor yang memiliki ide yang
otentik dan memiliki keotonomian dalam dirinya, Laclau dan Mouffe sepakat dengan Althuser, yang melihat subjek sebagai agen atau aktor yang terbentuk di dalam diskurus politik tertentu. Subjek sangat bergantung pada proses diskursif yang diupayakan untuk mendefiniskan subjek itu sendiri. Dengan demikian subjek adalah agen yang terinterpelasi di dalam diskursus (Laclau, 1985; Robet, 2010:103). Bagaimana kita dapat memahami hal ini? saya akan mengajukan suatu contoh sederhana, ketika seseorang beribadah di dalam suatu rumah ibadah atau seorang menggunakan simbol-simbol religius dan memperlihatkan prilaku yang sesuai dengan kaidah-kaidah agama maka individu itu kita sebut sebagai “umat”. Penyebutan “umat” inilah yang kita maksudkan sebagai subjek yang terinterpelasi-dalam konteks ini-dalam diskursus teologis. Kesadaran subjek dibentuk oleh berbagai rantai penanda dalam tatanan simbolik (ideologi, sistem bahasa, etc) yang membentuk orientasi dan identitas dalam subjek. Namun, subjek yang berposisi di dalam suatu medan diskursus tertentu tidak bersifat lengkap pada dirinya. Walaupun subjek selalu terperangkap di dalam dunia simbolik, dia akan selalu mengalami kesenjangan yang disebabkan oleh keterbatasan stuktur simbolik yang menjadi pendanda representasi bagi dirinya. Subjek akan selalu bertemu dengan keterbatasan penanda simbolik untuk menentukan kepenuhan di dalam diri subjek. Penanda selalu memiliki cacat yang tidak terelakan. Hal ini menjadi kondisi yang memungkinkan adanya proses identifikasi yang terus-menerus (Newman,2001:138-139, Stavrakakis, 1999). Oleh karena itu, memahami subjek dalam ideologi berarti menganalisis limitasi simbolik dari suatu ideologi sehingga memungkinkan adanya proses identifikasi baru. Penjelasan di atas sebenarnya merefleksikan dua tema sentral dalam memahami subjektivitas. Teori diskurus membedakan antara subject position dan political subjectivity. pembedaan ini bertujuan untuk menjelaskan pemosisian individu dalam suatu sistem diskursif di
satu sisi dan untuk menjelaskan tentang fungsi agensi dari subjek di sisi lain atau aktor sosial yang bertindak melampaui previlese struktur terhadap agen (Howart et al, 2000:12). Krisis yang menyebabkan agen sosial hadir dan melakukan identifikasi baru dalam artikulasi wacana yang berbeda merupakan kondisi yang oleh Laclau disebut dislokasi. Dislokasi merujuk pada proses yang olehnya kontigensi dari struktur diskursif dibuat nampak. Konsep ini fokus pada elemen negatif yang inheren dalam pengalaman manusia dan krisis yang mengancam dan mensubversi representasi dalam idelogi hegemonik. namun demikian, dislokasi memiliki karakter produktif, karena selain mengancam ideologi hegemonik, faktor-faktor dislokasi melahirkan situasi lack yang mendorong proses artikulasi baru. Dengan melacak dislokasi maka kita dapat memahami kondisi-kondisi rupture yang menjadi condition of possibilty dari agensi politik baru (Stavrakakis, 2000:106). Dalam riset ini, penulis menggunakan alur konseptual subjek yang senjang atau terdislokasi untuk untuk menjawab pertanyaan mengenai latar kemunculan artikulasi warga negara aktivis dalam gerakan baku peduli. Dengan demikian, penulis melakukan mengambil dua jalur dalam satu sapuan yakni melacak diskursus hegemonik yang beroperasi dan mendasari praktik kepemerintahan pada negara lokal (baca: Manggarai Barat) dan kedua menjelaskan kerentanan dalam diskursus hegemonik tersebut sebagai basis penjelas kelahiran gerakan Baku Peduli sebagai subjek yang senjang atau terdislokasi. Sebagai subjek yang terdislokasi, subjek mengalami dua gerak yang nampak paradoksal, yakni menjauh dari subjektivikasi neoliberal dan sekaligus menuju model identifikasi yang baru dalam penanda Baku Peduli. Setelah memahami kerangka konseptual yang membingkai penjelassan mengenai condition of possibility dari gerakan baku peduli, kita perlu mengajukan pertanyaan penting berikut: bagaimana memahami subjek yang senjang sebagai bentuk kehadiran gerakan
kewargaan? Untuk menjawab ini maka konsepsi tindakan kewargaan menjadi suatu keniscayaan teoritis yang perlu dijelaskan.
4.2 Tindakan Kewargaan Kajian kewargaan pada umumnya berbicara mengenai status legal atau berkaitan dengan habitus atau praktik di dalam tatanan simbolik tertentu. Hal ini diamini oleh Theodore Schatzki yang menegaskan bahwa tatanan (order) dan praktik (practices) telah menjadi objek dominan dari studi-studi sosial (Isin, 2008: 21). Studi-studi kewargaan memberi ruang yang kecil terhadap kehadiran subjek politik yang berusaha untuk melawan tatanan. Persis pada titik inilah teori tindakan kewargaan hadir sebagai penjelas yang berbeda.Namun kita belum mendapat jawaban mengenai pertanyaan mengapa tindakan tersebut disebut sebagai tindakan kewargaan. Pada studi ini, kajian kewargaan bukan lagi soal status legal yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok warga negara juga bukan soal praktik (Habitus, rutinisasi yang terbentuk dalam struktur wacana hegemonik) namun bergeser ke soal tindakan (act/deeds) yang membentuk atau mengkonstruksi dirinya sebagai subjek politik yang dapat mengklaim hak-haknya. Dengan demikian kewargaan bukan lagi soal institusi kewarganegaraan melainkan tindakan kolektif atau individu yang mengambil jarak dari pola-pola sosial historis yang ada, misalnya dominasi atau relasi subordinasiviii. Dalam rumusan yang sama, Tindakan kewargaan berkaitan dengan cara subjek politik untuk mengorganisasi, melawan, membentuk kembali, etika-politik mereka dengan yang lainix. Konsep ini berusaha untuk mendasari kemungkinan transformatif dalam suatu medan sosial. Konsep transformasi yang ditekankan di sini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Olle Tornquist dan Stokke. Tornquist dan Stokke hanya mendefinisikan transformasi demokrasi
sebagai agenda, strategi dan aliansi politik warga yang menggunakan institusi demokrasi untuk meningkatkan kesempatan rakyat dalam memperbaiki demokrasi dan kapasitas mereka dalam memperjuangkan tujuan-tujuan mereka (Stoke & Tornquist, 2013:6). Dalam definisi seperti ini, kita tidak menemukan penjelasan mengenai kontestasi ideologis dalam mereartikulasi demokrasi dan usaha menciptakan kemungkinan baru dalam ruang demokrasi. Studi ini ingin meletakan politik transformasi sebagai “rupture from order.”. Teori tindakan pada dasarnya menekankan pada subjek radikal. Subjek radikal merujuk pada elemen-elemen berikut.pertama, subjek atau agen politik yang meruntuhkan habitus, atau pendisplinan dalam struktur simbolik tertentu. Kedua, Agen yang mampu menciptakan kemungkinan baru yang tidak selalu mendasari tindakanya pada hukum yang diproduksi oleh stuktur kekuasaan hegemonik tertentu. Ketiga, tindakan subjek adalah tindakan yang didorong oleh suatu tuntutan atas keadilan untuk melawan ketidakadilan.x Pertanyaan yang kita perlu ajukan adalah, siapakah subjek politik yang dimaksudkan oleh Isin?Agen politik dalam tindakan kewarganegaraan Isin disebut Activist Citizen. Warga negara aktivis dirumuskan sebagai, pertama, Subjek yang terlibat dalam perumusan setiap kepentingannya dan secara politik menciptakan kordinat-kordinat baru dari ruang politik yang ada. Kedua, warga negara yang bertindak tidak secara apriori ditentukan berdasarkan hukum yang ada tetapi justru melalui tindakannya, berusaha untuk mempengaruhi hukum yang ada.xi Teori tindakan kewarganegaraan Isin pada dasarnya menandaskan arti penting yang politis dalam demokrasi kontemporer. Dari penjelasannya yang menggeser soal kewarganegaraan dari status legal dan praktik (rutinisasi, pendisiplinan, habitus), bagi kita, menunjukan penekanannya pada dimensi yang politis dari pada yang politik. Dengan demikian, teori tindakan
kewarganegaraan sangat penting dan dapat membantu kita dalam memahami aktivitas berbagai antagonisme dalam demokrasi saat ini. Namun kelemahan mendasar dari Isin adalah dia tidak menjelaskan bentuk perjuangan politik dari warga negara aktivis. Isin memang mengandaikan subjek politiknya sebagai subjek yang dapat menciptakan keterputusan, namun dia tidak menjelaskan bentuk perjuangan politik dari warga negara aktivis dalam membangun keterputusan.Pada momen ini, penjelasan Antoni Negri dan Michael Hardt mengenai multitude menjadi suatu suplemen teoritis dan politis yang penting. 4.3 Multitude Multitude adalah konsep pengorganisasian politik melalui pencitptaan multiplisitas gerakan dalam berbagai sektor (Negri & Hardt, 2009:1690. Dalam bahasa peulis, Multitude merupakan wujud kehadiran dari beragam kekuatan antagonistik. Penulis sesungguhnya mengambil langkah yang sedikit berbeda dalam memahami multitude. Penulis tidak secara ketat memahami Multitude dalam proyek perlawanan dalam era postmodernism yang mewujud dalam kapasitas berbagai kekuatan mengekspresikan immaterial labour. Namun, berdasarkan jelajah teoritik yang dilakukan, penulis merumuskan multitude sebagai multiplisitas kekuatan antagonistik. Rumusan ini sesungguhnya memiliki dasar yang kuat dalam refleksi teoritik Negri. Bagi Negri, untuk mendapatkan penjelasan yang kuat mengenai multitude maka multitude perlu dipahami sebagai limit dari kekuasaan (Negri, 2008:105). Menegaskan arti multitude sebagai limit dari kekuasaan sesungguhnya bercerita soal antagonism dalam tradisi Laclau. Lebih jauh, pendasaran penulis juga mengacu pada kritik Negri terhadap Laclau. Negri mengarahkan kritiknya pada konsep Laclau mengenai hegemoni. Bagi dia, beragam kekuatan biarlah tersebar dalam sektornya masing-masing tanpa harus diartikulasi dalam satu kekuatan hegemoni. Pernyataan ini secara tersirat sesungguhnya menegaskan makna multitude sebagai keberagaman kekuatan
antagonistik. Jika Negri tidak menyepakati upaya hegemoni Laclau di sini, maka sesungguhnya dia sedang menegaskan apa yang menjadi prasyarat dasar dari hegemoni yakni keberadaan dari beragam kekuatan antagonistik. Lebih jauh, multiplisitas memiliki potensi (Potenza) membangun keterputusan dengan tatanan hegemonic. Dalam rumusan Negri, potensi tersebut dimaknai sebagai kairos atau momen untuk memutuskan bentuk monolitik dari yang sosial (Negri, 2009: 165). Ketika multitude ada sebagai potensi yang mampu menciptakan keterputusan maka multitude hadir sebagai proliferasi dari kebebasan. Aspek keterputusan yang terartikulasi dalam multitude merupakan aspek yang terkait dengan bentuk tindakan kewargaan. Dalam hal ini, elemen keterputusan dalam multitude memungkinakn kita tidak menemukan kontradiksi ketika kita memahami multitude sebagai bentuk aktivasi politik warga negara aktivis. Penekanan pada multiplistas kekuatan antagonistik yang mengarah pada keterputusan terhadap tatanan simbolik yang hegemonik (baca: ideologi) menjadi bingkai konseptual untuk memahami model Gerakan Baku Peduli sebagai gerakan yang dibangun di atas logic Movement of movement. Logic ini merujuk pada upaya gerakan ini membangun berbagai upaya perlawanan terhadap neoliberalisme dari berbagai sektor, yaitu pertanian dan pariwisata. Pengorganisasian resistensi tersebut menubuh dalam dua gerakan, pertama, gerakan Save Pede for Natas Labar dan kedua, Gerakan Daulat Tani.
Kerangka Konseptual
Hegemonic Regime
Multitude of activist citizen
Space of antagonism
Gerakan Baku Peduli
Krisis dalam sturktur hegemonik
Sekelebat penjelasan: Rejim Hegemoni terbentuk dari usaha simbolisasi final terhadap realitas. Namun usaha fiksasi terhadap realitas selalu mengalami kegagalan permanen karena kehadiran antagonisme yang tidak mungkin dilenyapkan (real). Kegagalan ini nampak dalam krisis yang tidak terelakan. Kondisi krisis menjadi kondisi yang memungkinkan kehadiran antagonisme politik. Dalam Skema
di atas, krisis yang inheren dalam rejim hegemonik menjadi kondisi yang mendorong tindakan atau multitude warga negara aktivis.
5. Tesis statemen: Merujuk pada kerangka berpikir di atas, maka saya merumuskan argumentasi saya sebagai berikut: Kewargaan merupakan tindakan yang membangun keterputusan terhadap tatanan simbolik yang hegemonik melalui multitude warga negara aktivis. 6. Metode penelitian Riset ini menggunakan analisis wacana Laclauian sebagai pedoman sekaligus perkakas analitis untuk memahami realitas. Metode ini berangkat dari satu asumsi dasar bahwa setiap material empris dan informasi merupakan objek atau subjek diskursif atau dalam bahasa lain, semuanya merupakan teks yang maknanya dibentuk dalam diskursus tertentu. Konsekuensinya, semua data baik lingusitik maupun non-linguistik dipikirkan sebagai suatu yang tidak netral namun berada dalam suatu medan makna yang siap untuk disingkap melalui berbagai teknik, seperti dekonstruksi, arkelologi ataupun geneologi (Howart, 2000: 4-5). Lalu bagaimana metode ini diterapakan dalam riset saya? Pertama-tama, saya akan melacak secara cepat diskursus hegemonik yang sedang mengovermentalisasi ruang politik di Manggarai. Pelacakan ini tidak semata-mata menjawab bagiamana suatu diskursus beroperasi dalam ruang socio-politico namun yang terpenting adalah menemukan krisis di dalam diskursus hegemonik yang ada. Dengan demikian saya bisa menjelaskan kondisi-kondisi yang memungkinkan kemunculan dari Gerakan Baku Peduli. Untuk mencapai misi di atas, maka dalam tuntunan analisis wacana, saya akan melakukan analisis terhadap data berikut: Data terkait kepengaturan Neoliberal
-
Dokumen RPJMD Kabupaten Manggarai Barat 2011-2015
-
Dokumen Sosialisasi Pembangunan Pantai Pede, Pemerintah Provinsi NTT 2015
-
Majalah Pijar Edisi Januari-November 2011
-
Renstra Dinas Pertanian, 2011-2015
-
Wawancara dengan Kepala Dinas Pertanian
-
Wawancara Dengan Pegawai Penyuluhan Lapangan
-
Wawancara dengan aktivis Gerakan Baku Peduli
-
Wawancara dengan Anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat
-
Majalah Lintas Timur Edisi Juli-Oktober 2013
Data terkait resistensi yang dilakukan oleh Gerakan Baku Peduli -
Strategic Plan Sun Spirit, 2011
-
Wawancara dengan Aktivis Gerakan Baku Peduli
-
Dokumen Forum Watu Langkas
-
Hasil crtical Riset yang dibukukan dalam buku “Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sitemik”(2013)
-
Dan data yang diperoleh penulis dari keterlibatan penulis dalam gerakan ini.
7. Sitematika Bab II : Dalam Bab ini penulis menghadirakan narasi tentang kepengaturan neoliberal. Tesis dasar yang dikemukakan pada bab ini adalah, negara dalam segala rupa praktik kelembagaanya berpijak
pada rasionalitas politik neolib. Dalam rumusan tersebut, penulis menjelaskan bahwa negara mengalami apa yang disebut Foucault sebagai, governmetalization of the state, yakni negara sebagai suatu taktik kepemeritnahan yang dipandu oleh rasionalittas politik tertentu (Lemke, 2000:11). Dengan demikian, bab ini, tidak berangkat dari cara pikir yang memisahkan negara dengan pasar seperti kajian pada umumnya yang menjelaskan posisi negara dalam rejim neoliberal, namun justru memahami negara yang bertindak dalam rasionalitas pasar dalam mengelolah pembangunan. Pada Bab ini, penulis menguraikan kepengaturan Neoliberal dalam dua sektor pembangunan yakni Sektor Pariwisata dan Sektor Pertanian. Dua Sektor ini menjadi penting untuk dilihat karena di dalam dua sektor inilah penulis menemukan kokohnya preskripsi kebijakan yang dibangun di atas rasionalitas neoliberal sekaligus di dalam dua sektor inilah penulis menemukan krisisyang mendorong lahirnya perlawanan.
BAB III Gerakan Baku Peduli: Menggarap Multitude Warga Negara Aktivis
Bab III merupakan bagian yang menghadirkan penjelasan mengenai perlawanan yang dilakukan oleh Gerakan Baku Peduli terhadap ideologi neoliberal. Perlawanan yang dilakukan oleh gerakan ini bercerita tentang bentuk tindakan kewargaan warga negara aktivis yang mencoba menciptakan retakan (rupture) terhadap ideologi neoliberal. Secara spesifik, bagian ini menjelaskan tentang resistensi dalam wujud multitude warga negara aktivis. Bab IV Post-scriptum: Multitude Warga Negara Aktivis, Keutamaan Sebuah Resistensi Bab ini merupakan catatan penutup penulis berupa refleksi teoritis. Refleksi teorits ini bertujuan untuk memberikan pendasaran argumentatif terkait multitude sebagai resistensi yang mewujud dalam upaya menggarap berbagai kekuatan antagonistik di berbagai sektor.
Bab V Kesimpulan Pada bagian ini, penulis merumuskan kesimpulan berdasarkan tesis dasar tulisan ini yakni kewargaan merupakan tindakan yang membangun keterputusan melalui multitude warga negara aktivis. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan politik Gerakan Baku peduli sebagai warga negara aktivis yang melakukan resistensi dengan membangun multiplisitas kekuatan antagonistik atau multitude warga negara aktivis.
END NOTE Bab I Lineamenta Politik Kewargaan i
Demos merupakan sebuah kategori politico-filosofis yang merujuk pada subjek politik yang bertindak dalam dimensi keterputusan. Seperti yang ditegaskan oleh Ranciere, Demos engages in a distinctly political act. Act that resists, refuse, dissents, objects, repudiates, and rejects the logic of arche (Bennet, 2005:139140). ii Demarkasi internal merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Margaret Somers yang menjaskan kondis tereksklusinya suatu entitas politik (Somers, 2008:21) iii Imanent other merupakan liyan yang merupakan bagian konstitutif dan integral dari pembentukan identitas (Isin, 2002: 4) ivDeterminasi negasi merupakan istilah yang menggambarkan kemampuan untuk memutuskan rantai spiral kapitalisme (Robet, 2010: 30) vEconomic constitutionalism merupakan terma yang dipakai Jayasuriya untuk menjelaskan sentralitas pasar sebagai framework politik dan ekonomi (Jayasuriya, 2006) vi Orasi Alo Basri dalam Demonstrasi Gemas P2 didepan Kantor Bupati, 27 Oktober 2014 viiKrisis di sini tidak dipahami sebagai suatu yang bersifat Objektif dalam pandangan Marxian. Namun dilihat sebagai suatu yang politis. Bahwa krisis tidak selamanya secara langsung mendorong kesadaran akan perjuangan akan tetapi perjuangan itu merupakan hasil dari konstruksi secara sosial. Dengan kata lain krisis itu sendiri bersifat politis (political) karena lahir dari proses politik dekonstruktif dan konstruktif. Seperti yang dijelaskan oleh Kitsue dan Spector, kehadiran masalah sosial tergantung pada eksistensi dari kelompok atau agensi sosial yang mendefenisikann kondisi-kondisi tertentu sebagai masalah dan berusaha untuk melakukan sesuatu dalam merespon hal tersebut (Kitsue dan Spector dalam Yearley dalam Stavrakakis, 2000) viii
Ibid, hal. 2 ibid, hal. 44 x Isin,Op Cit, hal.39 xi ibid, hal. 38-39 ix