BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penjara atau yang saat ini kita sebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas adalah merupakan tempat penghukuman yang telah berlangsung kurang lebih 200 tahun yang lalu dan hingga saat ini masih berguna menampung berbagai pelaku kriminal. Penjara merupakan tempat untuk menghukum seseorang yang telah melanggar hukum dengan cara membatasi kebebasannya dengan cara dikurung, sehingga si terhukum merasa sangat menderita karena kebebasannya telah diambil oleh yang berwenang atau aparat penegak hukum. Menurut Dwidja Priyatno (2006:87-88), bahwa “Di sekitar abad ke-16 di Inggris terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang terkenal dengan nama Thriftless Poor bertempat di bekas istana Raja Edward VI tahun 1522. Bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana”. Menurut A. Josias Simon R., dan Thomas Sunaryo (2011:1), Penjara masa dulu
menjadi tempat dimana orang-orang mendapat hukuman sadis berupa
penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau dibakar. Namun saat ini, penjara di Indonesia yang sudah berubah namanya dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan merupakan
bangunan
tempat
isolasi
yang
1
secara
filosofis
ditujukan
untuk
menghilangkan kemerdekaan narapidana atau mengalami pencabutan kemerdekaan serta membina atau mendidik para narapidana agar menjadi baik selama di dalam Lapas. Menurut Ahli Sosial Erving Goffman, dalam bukunya Asylum (1961) menguraikan bahwa karakteristik lingkungan penjara adalah sama dengan rumah sakit jiwa dan organisasi militer sebagai satu institusi total (total institution) yang menampung dan mengatur hidup orang banyak secara seragam. Struktur totaliter ini berisi peraturan-peraturan detil, pengawasan ketat, jurang lebar antara yang berkuasa dan yang dikuasai, konsentrasi kekuasaan di tangan sekelompok yang berkuasa (rulling few). Segala peristiwa yang terjadi di dalam penjara, seperti pemukulan, penyiksaan, pembunuhan, tindakan sodomi antar sesesama lak-laki, mabuk-mabukan, melakukan bisnis narkoba di dalam Lapas dan di luar Lapas dengan menggunakan Handphone, tidur di lantai, kedinginan dan digigit nyamuk, tidak diberikan makanan, serta segala hal yang menyeramkan, yang terjadi di dalam Lapas, sulit diketahui dan dikontrol oleh masyarakat publik. Segala peristiwa yang tidak semestinya terjadi di dalam Lapas dapat terjadi, karena tertutupnya sistem birokrasi yang dibangun pada Lapas serta bentuk bangunan yang dibatasi dengan tembok yang tinggi dan tidak mudah diakses oleh masyarakat. Masyarakat yang akan memasuki Lapas pun harus mendapat ijin resmi dari pejabat yang berwenang, misalnya dari pengadilan, serta sebelum memasuki gedung Lapas tersebut para pengunjung diperiksa dan diawasi atau mendapat pengawasan yang ketat dari petugas Lapas. Tidak sedikit dari pengunjung yang tidak diperbolehkan masuk untuk membesuk keluarganya atau hanya melihat-lihat di dalam
2
Lapas, dengan alasan peraturan atau kebijakan. Hal ini menunjukkan sistem birokrasi pemerintah di dalam Lapas menjadi sesuatu yang sakral. Menurut R. Abdoel Djamali (2009 : 188-189), Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan hakim. Fungsi kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat berkomunikasi dengan terhukum lainnya, seperti dikucilkan dari pergaulan sosial. Dengan jalan demikian, diharapkan setelah menjalankan hukumannya ia akan menjadi insaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Dengan demikian secara logika, seorang yang dimasukkan ke dalam penjara atau Lapas tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, karena telah diisolasikan dan tidak bisa keluar atau bebas dari Lapas tanpa seijin dari pimpinan Lapas atau telah selesai masa tahanannya. Penjara atau Lapas merupakan tempat untuk menampung berbagai pelaku kriminal, tempat yang bersifat isolasi, yang membatasi gerak-gerik para pelaku kriminal dengan tembok yang kokoh dan tinggi serta pintu dan jendela yang terbuat dari trali besi, terkungkung dalam kamar yang gelap dan pengab. Selain itu, pengawasan dan penjagaan di dalam penjara oleh para petugas Lapas sangat ketat serta karakter dari Petugas Lapas sering dikenal sangat beringas dan kejam serta menyeramkan. Bahwa gambaran dari penjara atau Lapas adalah tempat yang sangat menyeramkan, tidak mendapatkan makanan yang enak, tidur di lantai dan digigit nyamuk, terdapat penyiksaan dan sangat tidak nyaman, sulit berkomunikasi dengan dunia luar dan keluarga, tidak ada hiburan serta menderita dan terbatas dalam segala hal. Penjara juga dapat memberikan gambaran kepada masyarakat umum, bahwa tempat tersebut merupakan tempat dimana para pelaku kejahatan dirampas
3
kebebasannya dan disiksa serta dipekerjakan atau dilatih agar dapat membentuk perilaku dan karakter yang baik setelah keluar dari penjara. Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan (Prasetyo, 2010:78). Gambaran penjara yang memberikan image menakutkan bagi masyarakat umum, bertujuan memberikan unsur jera bagi para pelaku kejahatan (kriminal), agar menjadi sadar dan merubah sikap dan perilakunya yang jahat. Pidana penjara yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk menghukum seseorang yang secara sadar dan dengan sengaja melakukan suatu tindakan kejahatan agar orang tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah. Lapas sebagai institusi tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik dan organisatoris. Lapas tidak saja dibatasi oleh batas-batas fisik tapi juga batas-batas sosial. Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji, diberlakukan bagi terhukum agar tidak berinteraksi secara bebas layaknya masyarakat di luar Lapas. Batas sosial seperti tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat secara bebas layaknya masyarakat di luar Lapas. Batas-batas fisik dan sosial mendasari timbulnya kesepakatan-kesepakatan tertentu diantara petugas dan narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan penggunaan dan pemanfaatan batas-batas tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Batas-batas ini mencerminkan struktur masyarakat di balik tembok Lapas tak jauh berbeda dengan struktur masyarakat di Luar Lapas (Josias Simon R, 2012:4). Munculnya sistem pemidanaan dengan penggunaan penjara dapat diketahui dari Kodifikasi hukum Perancis yang dibuat tahun 1670, belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam arti tindakan penyanderaan dengan
4
penebusan
uang atau
penggantian hukuman mati sebelum ditentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Pada permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi
kebebasan
bergerak,
merampas
kemerdekaan,
menghilangkan
kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. Dengan berjalannya waktu, pandangan masyarakat umum tentang penjara yang begitu menyeramkan dan menakutkan seperti yang diuraikan di atas mulai berubah pandangannya menjadi tempat pembinaan dan pembimbingan bagi para pelaku kriminal, yaitu dengan “Bertolak dari pandangan Dr.Saharjo,SH., tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina” (Dwidja Priyatno, 2006:97). Bahwa sejak saat itulah terjadi pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Perubahan nama dari penjara menjadi Pemasyarakatan merupakan suatu proses yang panjang, sehingga dengan suatu kebijakan yang tegas perubahan itu dapat terjadi. Hal ini menjadi lebih jelas sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sehingga kata penjara sudah jarang disebut atau jarang terdengar oleh masyarakat
5
umum, karena telah berubah penyebutannya dari penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan atau disingkat Lapas. Dengan adanya perubahan penyebutan nama dari penjara menjadi Lapas memberikan paradigma yang baru bagi masyarakat umum bahwa perlakuan terhadap para narapidana di dalam penjara tidak seperti dulu kala, karena mengingat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka bagi narapidana yang berada di dalam Lapas diberikan kesempatan untuk direhabilitasi, memperbaiki diri serta dibimbing agar tidak akan mengulangi perbuatan kriminal. Hal ini telah dijelaskan oleh Syaiful Bakhri (2009:65), bahwa “pidana penjara sebagai pidana yang ditakuti setelah pidana mati mengalami banyak perubahan dari model yang semula paling keras dan kejam tanpa perikemanusiaan sampai model yang paling ringan, longgar sesuai dengan tuntutan zaman, seperti pada abad ke 20.” Dengan adanya perubahan paradigma dari masyarakat tersebut tidak berarti akan menghapus pidana penjara tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Barda Nawawi Arief (1985:349-354), bahwa dilihat dari pemidanaan dalam masyarakat modern, pidana sebagai proses untuk merobah tingkah laku, maka pidana penjara masih dapat dipertahankan, dan dilihat dari perlunya upaya pengamanan masyarakat, pidana penjara, merupakan salah satu dari pemidanaan yang lebih manusia dibanding dengan tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum. Tujuan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, adalah agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
6
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Pidana penjara dengan pendekatan secara sistem pemasyarakatan diharapkan dapat merubah paradigma masyarakat pada umumnya, bahwa kebijakan dan tindakan Pimpinan Lapas dan Petugas Lapas tidak seperti pada jaman dahulu, yaitu penjara merupakan tempat pemukulan dan penyiksaan bagi para pelaku tindak kriminal. Lembaga Pemasyarakatan juga bukan berarti tempat untuk menampung orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana kejahatan lalu setelah dimasukan ke dalam Lapas, para tahanan atau narapidana tersebut bisa santai-santai dan bisa hidup enak di dalam penjara dengan fasilitas yang tidak bedanya seperti di luar penjara. Dengan
berubahnya
paradigma
masyarakat
tentang
penjara
yang
menyeramkan dan tempat penyiksaan, menjadi sebuah Lapas, yang bertujuan membina dan membimbing para tahanan dan narapidana, bukan berarti peraturan di dalam Lapas tersebut menjadi lebih longgar dan dapat dilanggar. Dengan adanya perubahan paradigma tersebut seharusnya lebih membantu para tahanan dan narapidana untuk lebih mudah dibina dan dibimbing menjadi baik dan berguna bagi bangsa. Banyak peraturan atau kebijakan dan pembinaan bertujuan agar para narapinda wajib mentaati semua peraturan yang berlaku di dalam Lapas. Hal ini sesuai dengan pendapat P.A.F.Lumintang (1988:69), yaitu bahwa pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku
7
di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Peraturan-peraturan yang berlaku di dalam Lapas merupakan kebijakan yang telah dibuat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku di dalam Lapas, baik oleh para tahanan, narapidana maupun Petugas Lapas. Dan peraturan-peraturan atau kebijakan yang dibuat untuk mengatur agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan tersebut. Seperti yang didefinisikan oleh Titmuss (1974), yaitu kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan. Demikian juga menurut Edi Suharto (2010:2), bahwa fungsi kebijakan adalah untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan sosial yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan. Menurut Dwidja Priyatno (2006:103), bahwa “Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan, yaitu melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum”. Untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan nilai-nilai dari Pancasila, diperlukan implementasi kebijakan yang baik dan benar serta tidak menyimpang dari peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut Edi Suharto (2010:18), bahwa
8
Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Dari penjelasan tentang penjara di atas dapat memberikan gambaran bahwa sistem birokrasi yang dibangun di dalam Lapas ini cukup ketat dan bersifat tertutup serta didukung dengan berbagai aturan yang menutupi kebijakan yang diterapkan di dalam Lapas. Selain dari itu, birokrasi yang tertutup di dalam Lapas tersebut didukung oleh bentuk bangunan dengan tembok yang tinggi dan diberi kawat berduri, sehingga tidak mudah diakses oleh masyarakat umum, kecuali mendapat ijin dari pengadilan atau lembaga yang berwenang. Alasan logis dari dibangunnya sistem birokrasi yang ketat dan tertutup ini, karena Lapas merupakan tempat isolasi yang menampung berbagai pelaku kriminal yang secara sadar dan dengan sengaja melakukan suatu tindakan kejahatan agar orang tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah atau memberikan unsur jera baginya serta untuk menghilangkan atau pencabutan kemerdekaan narapidana. Sistem birokrasi yang bersifat tertutup membuat banyak masyarakat tidak mengetahui aktifitas dan kebijakan yang diterapkan di dalam Lapas. Sistem birokrasi yang tertutup yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sistem birokrasi yang tertutup karena sistem yang terbentuk di dalam Lapas atau sistem di dalam Lapas yang menggariskan demikian, seperti sistem yang digariskan pada lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang mana tidak bisa semua orang keluar masuk lingkungan TNI tanpa ijin, sehingga lingkungan tersebut menjadi tampak
9
sakral atau menakutkan. Selain daripada itu karena pandangan masyarakat, yang mana Lapas merupakan tempat dimana orang umum sulit untuk memasukinya apabila tidak mempunyai tujuan selain daripada membesuk para narapidana yang ada di dalam Lapas. Bahwa dengan sistem birokrasi yang terbangun secara tertutup seperti di dalam Lapas
tersebut,
sehingga
tidak
menutup
kemungkinan
terjadinya
berbagai
penyimpangan di dalam Lapas sebagaimana telah disebutkan, yaitu terjadinya sodomi, bisnis narkotik dari dalam Lapas, transaksi illegal di dalam Lapas, pemalakan terhadap setiap para tahanan yang masuk untuk membayar kamar, pemukulan, menggunakan handphone untuk tujuan melakukan tindak kriminal yang baru dan lain sebagainya yang merupakan suatu bentuk penyimpangan dalam implelemtasi kebijakan di dalam Lapas. Sistem birokrasi yang tertutup sebagaimana yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sistem yang terbangun pada Lapas adalah tertutup, baik dalam segi fisik maupun informasi atau aturan main yang sebenarnya di dalam Lapas. Dengan sistem yang terbangun pada Lapas yang secara fisik tertutup, maka informasi maupun aturan main atau soft file-nya juga menjadi tertutup, mengingat yang secara fisik sulit untuk ditembusi terlebih lagi mengenai aturan main atau soft file di dalam Lapas yang bersifat rahasia di dalam Lapas, sudah pasti akan sulit ditembusi atau dipublikasikan kepada masyarakat umum. Dengan adanya sistem birokrasi di dalam Lapas yang terbangun secara tertutup tersebut, maka hampir dapat dipastikan bahwa segala bentuk penyimpangan yang terjadi di dalam Lapas tidak akan diketahui oleh masyarakat umum, kecuali apabila diceritakan secara langsung oleh petugas Lapas dan/atau warga binaan di dalam Lapas.
10
Dengan sistem birokrasi yang terbangun secara tertutup tersebut, sehingga tidak semua orang umum mengetahui sistem yang terbangun di dalam Lapas dan apa saja yang dilakukan di dalam Lapas. Berbeda dengan sistem birokrasi yang terbangun di kantor kelurahan tentang bagaimana orang mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), bagaimana prosedurnya, berapa biayanya, dan apa saja yang harus disiapkan untuk pengurusan dan berapa lama pengurusan KTP. Dalam sistem birokrasi tertutup di dalam Lapas, masyarakat umum tidak mengetahui apakah ada biaya untuk membayar kamar tahanan (sel) atau tidak? Apakah ada transaksi illegal di dalam Lapas? Apakah adanya tindakan kekerasan di dalam Lapas oleh Petugas Lapas terhadap para tahanan dan narapidana? Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan tentang Lapas tidak ada biaya untuk pembayaran kamar tahanan (sel), tidak diperbolehkan adanya transaksi illegal, tidak diperkenankan adanya tindakan kekerasan di dalam Lapas serta perbuatan tercela di dalam Lapas, karena peraturan perundang-undangan yang diterapkan di dalam Lapas bertujuan untuk mendidik dan membina para tahanan dan narapidana agar menjadi baik. Tidak menutup mata, kehidupan Lapas berulang kali menjadi sorotan atau fokus tayangan media visual atau ulasan media cetak. Opini negatif bermunculan tentang keberadaan Lapas. Berbagai ulasan media massa menegaskan lebih intens cara pandang yang menekankan aktor atau elit dan konteks, sebagai alternatif atas ketidakpuasan sudut pandang institusional. Yang menjadi pertanyaan menarik dari penelitian ini adalah Penjara atau Lapas yang merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal dengan sistem birokrasi yang
11
tertutup dan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas kebebasannya karena memang demikian kebijakan yang diterapkan dengan tujuan untuk memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun mengapa dalam praktek implementasi kebijakan tidak mencapai tujuan yang diharapkan?
Banyak
terjadi
penyimpangan-penyimpangan
dalam
implementasi
kebijakan di dalam Lapas, sehingga tujuan yang diharapkan tidaklah tercapai. Penyimpangan yang dimaksud adalah narapidana yang berada di dalam Lapas yang seharusnya telah dirampas kemerdekaannya, namun narapidana tersebut dapat keluar masuk dengan bebas dari Lapas dan bisa berkomunikasi dengan orang di luar Lapas secara bebas dan bahkan bisa mengendalikan kejahatan dari dalam Lapas, baik kejahatan dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Narapidana yang seharusnya hak kemerdekaan dicabut sehingga harus tetap berada di dalam Lapas, namun narapidana dapat jalan-jalan bebas di luar Lapas. Narapidana di dalam Lapas yang seharusnya dibina agar berubah perilakunya dari yang jahat menjadi baik, namun sebaliknya narapidana tersebut menjadi semakin profesional dalam melakukan kejahatan, bahkan mempengaruhi petugas Lapas dan Kepala Lapas untuk melakukan tindakan kriminal atau kejahatan. Kita dapat melihat contoh adanya kejahatan yang dikendalikan dari dalam Lapas (sel) yang berskala nasional dan internasional, yaitu bisnis jaringan narkotik skala nasional dan internasional yang dikendalikan dari dalam Lapas Nusakambangan oleh narapidana Hartoni bekerja sama dengan anggota staf Lapas, Budhiyono dan Iwan Syaefuddin serta dibantu oleh Kepala Lapas Narkotika, Marwan Adli 1. Memang sulit diterima dengan akal sehat, di Lapas yang super ketat itu narapidana dapat 1
Kompas, Kamis, 10 Maret 2011, Ada Jaringan Narkotik di LP dan Mengatur dari Nusakambangan, hal.3-7, 15.
12
menggunakan telepon seluler dan penguat jaringan yang dipasang di luar sel. Selain daripada itu, narapidana mampu membeli dan memasang antena tanpa sepengetahuan petugas Lapas. Dengan modal komunikasi itulah narapidana di sebuah pulau yang terpencil di Nusakambangan dapat mengendalikan bisnis narkotika di luar Lapas, bahkan komunikasi yang dilakukan dapat mencapai mancanegara. Manajemen bisnis narkotika di Lapas Nusakambangan sudah sangat rapi. Narapidana, khususnya bandar narkotika dapat berkomunikasi untuk memesan barang kepada pemasok dengan telepon seluler. Bahkan di Lapas Narkotika, narapidana dapat menggunakan antena penguat jaringan 2. Demikian pula dengan seorang warga negara asing bernama SBT alias Kiran dari negara Nepal dapat melakukan transaksi Narkotika secara internasional dari dalam Penjara di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.3 SBT merasa lebih nyaman melakukan transaksi Narkotika dari dalam Penjara (Lapas) Nusakambangan, karena berpikir melakukan transaksi Narkotika dari dalam Lapas Nusakambangan lebih aman dibanding melakukan transaksi Narkotika di luar Lapas. Menurutnya, kalau melakukan transaksi di luar Lapas akan menjadi kejaran aparat penegak hukum, sedangkan jika dilakukan dari dalam Lapas tidak mungkin dikejar-kejar, tetapi malah dilindungi atau mendapat perlindungan dari Petugas Lapas (Polisi Khusus Lapas atau disingkat Polsuspas). Transaksi Narkotika dari dalam Lapas Nusakambangan dilakukan juga oleh SBT alias Kiran dengan menggunakan Handphone yang disewakan atau disediakan
2
3
Ibid. Kompas, Rabu, 9 Maret 2011, Jaringan Narkoba, Kepala LP Ditangkap Aparat BNN, Bisnis Narkoba dari Penjara, hal.1.
13
oleh para petugas Lapas Nusakambangan. Dengan komunikasi melalui Handphone dari dalam Lapas Nusakambangan tersebut, sehingga memudahkan SBT alias Kiran melakukan transaksi bisnis Narkotik tingkat Internasional. Lapas Nusakambangan adalah Penjara yang sangat terisolir dari masyarakat luar, karena lokasi penjaranya terletak di suatu pulau tersendiri serta mendapat pengawasan yang sangat ketat. Bahwa modus kejahatan bisnis narkotika dari dalam Lapas sudah merupakan hal yang biasa ditemukan pada Lapas di Indonesia, yaitu bisnis narkoba dari Sel Tahanan sebanyak 80.000 pil Ekstasi dengan nilai Rp. 16 Milyar yang diatur dari Lapas Merahmata, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan untuk bisnis lintas negara. Seorang tersangka dalam kasus tersebut adalah WH alias Sucai yang berada di dalam tahanan narkotika Lapas Merahmata, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, yang diduga mengendalikan peredaran narkotika dengan telepon genggam dan kurir dari Lapas.4 Contoh lain, yaitu Gayus Tambunan, kasus korupsi pajak, yang mendapat perlakukan khusus agar bisa keluar masuk Rumah Tahanan (Rutan) dengan bebasnya dari Mantan Kepala Rutan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Komisaris Iwan Siswanto, setelah Gayus mengancam agar diberikan perlakukan yang sama dengan tahanan Wiliardi Wizar dan Susno Duadji, Aulia Pohan dan memberikan uang bulanan kepada Iwan Siswanto sebesar Rp. 50 Juta 5. Nenek berumur 60 (enam puluh) tahun bernama Laila berhasil menyelundupkan 100 butir obat daftar G jenis Lexotan ke dalam Lapas Banjarmasin Barat, Jalan Sutoyo S. Penyelundupan obat-obatan tersebut
4 5
Kompas, Sabtu, 24 Maret 2012, Bisnis Narkoba dari Sel Tahanan, hal. 23. Kompas, Sabtu, 2 April 2011, Penyuapan, Kepala Rutan Terima Rp. 264 Juta, hal. 4 dan Selasa, 7 Juni 2011, Suap Gayus, Iwan Akui Langgar Prosedur, hal. 3.
14
diduga sudah sering dilakukan oleh nenek tersebut untuk diberikan kepada menantu dan cucunya yang sedang menjalani hukuman di Lapas tersebut.6 Kasus bisnis Sabu senilai hampir Rp.100 Milyar yang dikendalikan dari Lapas Salemba, Jakarta Pusat dengan tersangka Jl yang merupakan narapidana narkoba yang baru saja keluar/bebas dari penjara. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Unit Direktorat Narkoba Mabes Polri Ajun Komisaris Besar, Reza Kelvian Gumay, bahwa awalnya Jl dianggap sudah kapok, namun ternyata cara beroperasinya yang berubah. 7 Bahwa dari berbagai kasus yang telah dijelaskan di atas, yang terjadi dan dilakukan atau dikendalilan dari dalam Lapas, seringkali terungkap setelah pelaku atau kurir yang berada di luar Lapas tertangkap oleh aparat penegak hukum. Namun apabila pelaku atau kurir di luar Lapas tidak tertangkap, maka hampir pasti segala praktek penyimpangan implementasi kebijakan yang dilakukan di dalam Lapas tidak akan terungkap kepada masyarakat banyak. Sedangkan tujuan dari dibangunnya Lapas agar memberikan unsur jera kepada para pelaku kriminal agar tidak mengulangi perbuatannya, merampas kebebasan atau kemerdekaan, dan membina para pelaku kriminal menjadi baik. Namun sebaliknya para pelaku kriminal merasa aman dan terlindung melakukan praktek kriminalnya bila berada di dalam Lapas, bahkan dilindungi serta dibantu oleh birokrat dalam melakukan praktek kriminal tersebut, yaitu dengan cara misalnya memfasilitasi penggunaan handphone di dalam Lapas. Perilaku para narapidana di dalam Lapas bukannya menjadi baik, karena memberikan unsur jera dan dapat dibina menjadi baik, namun sebaliknya justru di dalam Lapas para narapidana mendapat pengetahuan untuk melakukan pola kriminalnya dengan cara6 7
Jawa Pos, Minggu, 15 April 2007, Banjarmasin, Nenek Selundupkan Lexotan ke Lapas, hal.4. Kompas, Senin, 21 Maret 2011, Disita, Sabu Rp. 100 Milyar, Sindikat Sabu Malaysia-Indonesia Gunakan Pola Baru Melalui Jalur Darat, hal, 26.
15
cara yang professional serta dengan bentuk kejahatan yang baru, yang dapat dilakukannya setelah bebas dari Lapas. Bahwa implementasi kebijakan yang menyimpang yang dilakukan oleh birokrat dalam birokrasi yang bersifat tertutup atau bersifat tidak transparan terhadap masyarakat publik, akan sulit mendapatkan pengawasan atau kontrol dari publik. Demikian
pula
segala
informasi
tentang
praktek-praktek
implementasi
yang
menyimpang tidak akan mudah diakses oleh masyarakat publik. Dari contoh-contoh di atas dan fakta-fakta yang terjadi dapat memberikan petunjuk, bahwa dalam Lapas yang merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal atau kejahatan, yang dibangun dengan sistem birokrasi tertutup dan mendapat penjagaan yang super ketat, serta bertujuan untuk memberikan unsur jera dan dibina agar perilakunya menjadi baik, namun ternyata sebaliknya bahwa narapidana yang berada di dalam Lapas bisa bebas keluar dari Lapas untuk bersenang-senang dan bisa melakukan berbagai tindakan kriminal dari dalam Lapas. Selain itu, narapidana yang telah keluar/bebas dari Lapas bisa menjadi lebih profesional dalam melakukan kejahatan yang baru dan bahkan bisa mempengaruhi Petugas Lapas dan Kepala Lapas untuk melakukan kejahatan secara bersama-sama, saling melindungi, sistematis dan saling menutupi kejahatan yang dilakukan di dalam Lapas serta memberikan kesempatan kepada petugas Lapas untuk melakukan korupsi secara terselubung. Bahwa praktek implementasi kebijakan yang menyimpang dapat terjadi karena adanya interaksi antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lain serta interaksi antara narapidana dengan petugas Lapas dan Kepala Lapas, sehingga terjadi penyimpangan dalam Implementasi kebijakan di dalam Lapas. Bahwa mengenai
16
interaksi yang mengakibatkan timbulnya kejahatan ini dikemukakan pula oleh Harry A.Allen dan Clifford E.Simonsen (1989 : 17), seorang kriminal atau narapidana ada, bukan karena dibentuk secara lahiriah tapi karena dibentuk secara sosial budaya dimana ia berada, demikian pula penghukuman yang dijalani bukanlah konstruksi sosial-budaya seperti hasil interaksi, komunikasi, bentukan solidaritas dan konflik yang terjadi. Pejabat
dan
Petugas
Lapas
yang
melakukan
praktek
birokrasi
dan
implementasi kebijakan di dalam Lapas serta narapidana yang melakukan aktifitas di dalam Lapas, terlihat menutup informasi tentang kebijakan-kebijakan dan berbagai aktifitas yang dilakukan di dalam Lapas. Menurut Fardiansah Noor, saat sebuah informasi ditutup-tutupi dari masyarakat, itulah indikasi adanya penyelewenganpenyelenggara negara.8 Selain dari tanggapan tersebut oleh Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, terjadi ruang yang abu-abu ketika informasi publik ditutup-tutupi, salah satunya adalah karena korupsi.9 Kebijakan yang telah dibuat oleh Eksekutif dan Legislatif berupa UndangUndang Nomor: 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan serta Peraturan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang kebijakan-kebijakan yang berlaku di dalam Lapas guna mencapai tujuan yang diharapkan, Namun kenyataannya terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi kebijakan pada tingkat (level) paling bawah terhadap para tahanan dan narapidana. Lapas yang telah didirikan dan dimplementasikan
berdasarkan
kebijakan
(peraturan-peraturan)
sesuai
dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan, dengan tujuan agar
8 9
Media Indonesia, Pejabat Publik Takut Diawasi Masyarakat, hal. 6. Ibid.
17
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
(para
tahanan
dan
narapidana)
menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana serta mewajibkan para tahanan dan narapidana untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lapas. Lapas menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan tindakan kejahatan (kriminal) yang baru, bahkan bukan hanya dalam skala nasional saja, tetapi juga dalam skala internasional. Tujuan kebijakan di dalam Lapas, agar seorang Narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas dapat dididik dan dibina supaya menjadi baik, namun dalam kenyataannya, seorang narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas lebih professional dalam melakukan tindakan kriminal dibanding dengan perilakunya sebelum dimasukan ke dalam Lapas. Hal ini telah membuktikan adanya penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas, sehingga tujuan kebijakan dalam implementasi kebijakan tidak tercapai seratus persen. Lapas dibangun atas dasar aturan (fair play) dan sistem birokrasi yang telah dibentuk, yaitu para birokrat dan birokrasi, guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Menurut Martin Albrow (1996), birokrasi sebagai organisasi rasional; birokrasi dipandang sebagai suatu alat yang dapat membuat suatu organisasi berjalan secara efisien dalam mencapai tujuan. Birokrasi diartikan sebagai suatu bentuk organisasi yang muncul sebagai upaya birokrat untuk bekerja sama mencapai tujuan-tujuan. Selaku
individu
(birokrat)
dalam
organisasi
(birokrasi),
keduanya
mempunyai
karakteristik tersendiri dan jika kedua karakteristik tersebut berinteraksi, maka akan menimbulkan perilaku birokrat dan birokrasi, seperti yang dikemukakan oleh David A.Nadler, dkk (dalam Miftah Thoha (2002: 30-31), dapat dikemukakan bahwa perilaku
18
birokrat adalah suatu fungsi dari interaksi antara birokrat tersebut dengan lingkungan organisasinya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan pertanyaan mendasar yang
akan
dijadikan
fokus
penelitian
sebagai
berikut:
“Mengapa
terjadi
penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B di Cebongan, Sleman ?”.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut: a. Mengetahui implementasi kebijakan pada sistem birokrasi tertutup oleh Pimpinan dan para Petugas Lapas terhadap para tahanan dan narapidana di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. b. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan implementasi kebijakan di Lapas Kelas IIB Cebongan Sleman. c. Mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi yang tertutup. d. Mengetahui solusi terhadap penyimpangan implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi yang tertutup.
19
2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan teoritis dan praktis, antara lain: a. Menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan untuk lebih tegas, konsisten dan konsekuen dalam implementasi kebijakan sesuai dengan aturan main (fair play). b. Dapat memberikan gambaran bagaimana bentuk-bentuk penyimpangan implementasi kebijakan dapat terjadi dalam sistem birokrasi tertutup di Lapas dan bagaimana solusi untuk mengatasi penyimpangan implementasi tersebut. c. Dapat menunjukkan faktor-faktor yang memberikan peluang (penyebab) terjadi penyimpangan dalam Implementasi kebijakan di dalam sistem birokrasi tertutup di Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
D. Kerangka Pikir 1. Sistem Birokrasi Pemerintah Sistem birokrasi di dalam Lapas sebenarnya terdapat beberapa perbedaan dengan sistem birokrasi pemerintah yang ada pada institusi atau lembaga pemerintah yang ada di Indonesia. Beberapa perbedaan tersebut dapat terlihat pada aturan, kebijakan dan bangunan fisik, implementasi kebijakan serta pada sistem birokrasi. Misalnya pada sistem birokrasi di dalam Lapas yang turut melibatkan pada narapidana dalam sistem birokrasi di dalam Lapas, yaitu dengan menempatkan narapidana, yang bukan sebagai Petugas Lapas, sebagai Tamping guna membantu tugas-tugas Petugas Lapas. Berbeda dengan sistem birokrasi pada institusi atau
20
lembaga pemerintah lainnya yang tidak melibatkan pihak luar, yang bukan pegawai institusi pemerintah tersebut sebagai bagian dari pegawai institusi. Namun sebagai pendekatan guna mempermudah memahami sistem birokrasi di dalam Lapas, maka dilakukan pendekatan dengan teori-teori pada sistem birokrasi pemerintah pada umumnya dan setelah itu baru akan dibahas tentang sistem birokrasi yang terbangun di dalam Lapas. Demikian pula dengan kebijakan-kebijakan dan implementasi kebijakan serta penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas, akan dilakukan pendekatan secara teoritis tentang kebijakan publik dan implementasi kebijakan publik serta penyimpangan dalam implementasi kebijakan publik, yang mana semuanya itu guna memudahkan pemahaman terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan serta penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas. Sebelum membahas tentang birokrasi, kita terlebih dahulu melihat apa yang dimaksudkan dengan biro dan siapa birokrat itu. Biro (bureau) merupakan suatu bentuk organisasi. Organisasi adalah suatu sistem koordinasi kegiatan-kegiatan atau kekuatan-kekuatan dua orang atau lebih yang secara sadar dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu (Joko Widodo, 2005:9). Implementasi kebijakan tidak dapat dilakukan apabila tidak terdapat birokrat (individu) dan birokrasi (organisasi). Suatu kebijakan dapat diimplementasikan apabila terdapat dua unsur tersebut. Birokrasi dalam arti harfiahnya adalah “kekuasaan kantor”, umumnya berupa “organisasi” formal yang mempunyai skala luas/besar, mempunyai pemisahan yang jelas, dan diorganisasi secara efisien oleh jaringan perintah yang hierarkis. Birokrasi yang berkembang di Indonesia, sebagaimana birokrasi di bekas
21
negara jajahan di berbagai negara di dunia ketiga, adalah birokrasi warisan penjajah.
Birokrasi
dalam
bentuk
yang
demikian
adalah
birokrasi
yang
mengupayakan ketaatan bangsa terjajah terhadap penjajahnya, serta birokrasi yang melayani berbagai kepentingan baik ekonomi, politik, maupun kebudayaan penjajahnya (Rukmadi Warsito, 1995:106). Birokrasi juga sering didefinisikan sebagai organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administrasi dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan orang banyak secara sistematis (Peter M. Blau & Meyer, 1987:4). Birokrasi diartikan sebagai suatu bentuk organisasi yang muncul sebagai upaya birokrat untuk bekerja sama mencapai tujuan-tujuannya. Selaku
individu
(birokrat)
dalam
organisasi
(birokrasi),
keduanya
mempunyai karakteristik tersendiri dan jika kedua karakteristik tersebut berinteraksi, maka akan menimbulkan perilaku birokrat dan birokrasi. Perilaku birokrat adalah suatu fungsi dari interaksi antara birokrat tersebut dengan lingkungan organisasinya. Menurut Miftah Thoha (2010:2), Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan moderen. Dalam kerajaan pejabat tersebut, proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis (the files). Itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat. Menurut Mohtar Mas’oed (2003:68), bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan. Menurut Down dalam Joko Widodo (2005 : 11-12), pengertian birokrasi dapat dibedakan dalam tiga pengertian berikut: Pertama, birokrasi biasanya
22
menujukkan suatu lembaga atau tingkatan lembaga khusus. Dalam pengertian ini, birokrasi dinyatakan sebagai suatu konsep yang sama dengan biro (walaupun tidak semua pengarang setuju dengan konsep tersebut). Kedua, birokrasi juga dapat berarti suatu metode tertentu untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu organisasi yang berskala besar. Pergertian ini sama dengan pembuatan keputusan birokratis (bureaucratic decision making). Ketiga, birokrasi diartikan sebagai “bureauness” or “quality that distinguishes bureaus from other types of organization”. Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (2004 :20), birokrasi dituntun oleh aturan: “yaitu, oleh hukum atau peraturan-peraturan administrasi” yang stabil, yang mencakup semua hal dan birokrasi terstandarisasi dan impersonal, memberikan perlakuan atau pelayanan yang sama kepada setiap orang”. Birokrasi sebagai organisasi didefinisikan oleh Eva Etsioni-Halevy (dalam Amalinda Savirani & Haryanto : 2006), sebagai “organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk melayani kepentingan umum”. Pengertian birokrasi yang lebih luas dalam perkembangannnya hingga saat ini, telah didefinisikan oleh Martin Albrow (1996) dalam tujuh (7) konsep modern birokrasi sebagai berikut: 1. Birokrasi sebagai organisasi rasional; birokrasi dipandang sebagai suatu alat yang dapat membuat suatu organisasi berjalan secara efisien dalam mencapai tujuan. 2. Birokrasi sebagai enefisiensi organisasional; dalam konsep ini birokrasi dipandang sebagai salah satu penyebab tidak efisiennya organisasi dalam mencapai tujuannya. 3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
23
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik); J.T.Dorsey secara khusus mendefinisikan
birokrasi
sebagai
komponen
sistem
politik
administrasi
pemerintahan sipil publik. 5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat; konsep ini berhubungan dengan suatu kerangka yang eksplesit bagi analisis organisasi yang dengannya organisasi dilihat sebagai struktur-struktur tiga pihak, dimana staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian merupakan bagian penting. Staf-staf terdiri dari orang-orang yang diangkat dan mereka dapat disebut birokrasi-birokrasi. 6. Birokrasi sebagai organisasi. 7. Birokrasi sebagai masyarakat modern. Birokrasi negara muncul untuk menanggapi perluasan dan kompleksitas tugas-tugas administratif pemerintahan. Birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan pejabat atau lembaga negara yang berwenang. Birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi
pemerintah,
tetapi
juga
kehidupan
politik
masyarakat
secara
keseluruhan. Birokrasi sebenarnya diciptakan untuk menjalankan fungsi pendisiplinan dan pengendalian. Dan kebutuhan akan fungsi pendisiplinan dan pengendalian ini berkaitan dengan perkembangan kapitalisme. Birokrasi mengusahakan agar masyarakatnya bekerja lebih giat dan menghasilkan output yang lebih dari sekedar cukup untuk hidup. Pembahasan mengenai birokrasi tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai kapitalisme. Bahwa tidak dapat dipungkiri seringkali terjadi 24
birokrasi bekerja demi kepentingan atau golongan borjuasi atau kapitalis. Pada negara metropolit ada kelompok borjuasi sebagai motor penggerak kehidupan politik yang bisa mengendalikan birokrasi. Birokrasi itu dirancang untuk bekerja demi kepentingan borjuasi di negara metropolit itu (Mohtar Mas’oed, 2003:70-78) Dalam sistem birokrasi pemerintahan, implementasi kebijakan dilakukan oleh pejabat-pejabat karier dan/atau pegawai-pegawai birokrasi (implementor). Pejabat adalah orang-orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat (Miftah Thoha, 2010:2-3). Birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan di pejabat pemerintah yang berwenang membuat kebijakan. Posisi birokrasi didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber-sumber kekuasaannya, yaitu: kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi (Mohtar, 2003:71). Menurut Joko Widodo (2005 : 14), dalam setiap birokrasi, perlu ada struktur organisasi (hierarchy). Artinya, harus ada perjenjangan dan tanggung jawab di antara mereka yang berada dalam suatu birokrasi. Ada yang bertindak sebagai pemimpin dan ada pula yang bertindak sebagai staf, pelaksana, atau bawahan. Hal ini menjadi penting, karena dengan adanya hierarki tersebut, setiap orang dalam suatu birokrasi menjadi tahu ia harus bertanggung jawab dan melapor kepada siapa. Demikian pula sebaliknya, tahu kepada siapa-siapa harus meminta laporan dan tanggungjawab dan melapor kepadanya. Hierarki tersebut akan mempermudah berlangsungnya proses koordinasi, pelaporan, dan pengendalian.
25
Di dalam yurisdiksi birokrasi seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab
resmi
(official
duties)
yang
memperjelas
batas-batas
kewenangan
pekerjaannya. Semua birokrat bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi adalah sentra dari penyelesaian urusan birokrasi. Semakin tinggi hierarki jabatan tersebut semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah hierarkinya semakin tidak berdaya (powerless). Hierarki yang paling bawah (beyond the hierarchy) adalah masyarakat atau rakyat. Pada posisi ini mereka sama sekali tidak mempunyai kekuasaan (Miftah Thoha, 2010:7). Demikian pula dengan hierarki birokrasi di dalam Lapas, dimana posisi para narapidana dan tahanan di dalam Lapas sama sekali tidak mempunyai kekuasaan, kecuali terhadap para Tamping yang terdiri dari para narapidana yang tugasnya membantu para Petugas Lapas di dalam Lapas. Posisi hierarki para Tamping di dalam Lapas masih lebih tinggi dari para tahanan dan narapidana lainnya di dalam Lapas, karena para Tamping dipercayakan tugas dan tanggungjawab di dalam Lapas oleh Petugas Lapas yang tidak diberikan kepada narapidana dan tahanan lainnya. Kekuasaan itu ada dalam suatu birokrasi karena adanya interaksi. Pada saat interaksi antar kelompok berlangsung dalam suatu lingkungan, tidak jarang mengandung aspek kekuasaan di dalamnya. Menurut Haryanto (2005:1,22), interaksi memungkinkan adanya satu fihak, dengan kekuasaan yang dimilikinya, yang dapat memaksakan kepentingannya kepada fihak yang lainnya. Sementara fihak yang lain, dengan keterbatasan kekuasaan yang dimilikinya, bersedia tunduk
26
dan mematuhinya. Kekuasaan antara lain dapat bersumber pada kedudukan, kekayaan dan dapat pula pada kepercayaan. Kekuasaan karena kedudukan didasarkan pada menduduki posisi yang tinggi atau memegang kedudukan tertentu. Kekuasaan karena kekayaan didasarkan pada kekayaan atau sumber ekonomi yang dimilikinya. Kekuasaan karena kepercayaan didasarkan pada memang orang tersebut dapat dipercaya. Kinerja birokrasi pemerintahan dalam tata pemerintahan yang baik (Good Governance), seharusnya diperlihatkan oleh birokrasi pemerintah dalam wujud akuntabilitas, yaitu transparansi, keterbukaan, dan kejujuran dari kinerja birokrasi pemerintah. Apabila kinerja birokrasi dapat mewujudkan akuntabilitas dalam kinerjanya,
maka
dengan
demikian
implementasi
kebijakan
publik
yang
diimplementasikan oleh implementor (kinerja birokrasi) dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan tersebut. Namun sebaliknya, menurut Miftah Thoha (2010:5), birokrasi yang tertutup dan centralized cenderung menghasilkan kelangkaan open people di dalamnya. Itulah sebabnya upaya untuk mereformasi birokrasi pemerintah yang paling mendasar ialah bagaimana bisa mengubah mindset dan perilaku dari para pelaku birokrasi publik. Menurut Bentham, seperti yang dikutip oleh Saldi Isra (2009:159), bahwa lembaga yang tidak terbuka menjadi begitu rentan untuk terjadinya segala macam bentuk penyimpangan. Pengadilan meski hampir setiap proses persidangan dimulai dengan kalimat, “sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum”, tidak berarti pengadilan lebih terbuka dibanding lembaga-lembaga negara yang lain.
27
Sistem birokrasi yang tertutup, kekuasaan (power) cenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang sakral. Kekuasaan pada birokrasi yang diwujudkan dalam jabatan pejabat bisa sangat menakutkan, dan hampir tidak mungkin bisa ditembus oleh lapisan masyarakat yang sangat lemah di hadapan kekuasaan birokrasi tersebut. kekuasaan seperti ini yang membuat birokrasi menjadi sakral (Miftah Thoha, 2010:5). Bahwa untuk memahami masalah birokrasi, menurut Agus Dwiyanto, dkk (2002: vii–viii) melalui hasil studi pada beberapa daerah di Indonesia, telah memetakan berbagai masalah yang dihadapi birokrasi publik dalam dua kelompok besar yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Hasil studi tersebut menunjukkan terdapat beberapa variable yang berkaitan dengan lingkungan eksternal antara lain lingkungan sejarah, budaya, ekonomi, dan politik yang menjadi variable pengaruh yang amat penting dalam menjelaskan buruknya kinerja birokrasi. Selanjutnya lingkungan eksternal birokrasi tersebut berinteraksi dengan karakteristik internal birokrasi yang akhirnya membentuk praktik dan perilaku para pejabat birokrasi yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, mengabaikan kepentingan para pengguna jasa dan sangat kaku dalam menjalankan prosedur dan peraturan sehingga membuat kinerja pelayanan publik menjadi sangat buruk. Menurut Joko Widodo (2005:1-2), masalah strategis yang dihadapi oleh birokrasi publik, baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal, muaranya lebih banyak diarahkan pada kinerja birokrasi dalam melaksanakan tupoksi yang diamanatkan kepadanya. Lingkungan internal birokrasi bisa berupa situasi dan kondisi, baik berupa organisasi (struktur, penempatan personel,
28
efektivitas,
kegiatan),
efektivitas
komunikasi
antarunit,
sumber
daya
dan
pemberdayaannya, maupun faktor-faktor lain yang mendukung kelangsungan hidup organisasi. Lingkungan eksternal bisa berupa situasi dan kondisi di sekeliling organisasi yang berpengaruh terhadap kehidupan organisasi, seperti faktor ekonomi, teknologi, sosial budaya, ekologi, geografi, politik, keamanan, dan kompetitif. Selain daripada itu, menurut Joko Widodo (2005:1-33), tuntutan pelayanan publik oleh organisasi publik (birokrasi) lebih mengarah pada pemberian layanan publik sebagai berikut: 1. Professional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). 2. Efektifitas lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. 3. Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan yang diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan. 4. Kejelasan dan kepastian (transparan) mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Prosedur/tata cara pelayanan. b. Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif. c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan. d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya. e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan. 5. Keterbukaan mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tariff serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan. Semua itu, wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak. 6. Efisiensi mengandung arti berikut:
29
a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan. b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. 7. Ketepatan waktu criteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 8. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat dalam menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan, dan aspirasi yang dilayani. 9. Adaptif cepat menyesuaikan tuntutan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian agar suatu birokrasi dapat dikatakan berdaya guna dan berhasil, maka birokrasi tersebut harus transparan, akuntabilitas dan jujur serta senantiasa melakukan pengembangan organisasi sesuai dengan beberapa hal yang telah dijelaskan di atas.
2. Kebijakan dan Tujuan Kebijakan Publik 2.a. Kebijakan Publik Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi. Kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian tujuantujuan pembangunan ke dalam beragam program dan proyek. Pembangunan pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Menurut Conyers dan Hills, 1989, dalam buku Edi Suharto (2010:3),
30
pembangunan bisa diartikan sebagai proses memajukan atau memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap secara terencana dan berkesinambungan. Menurut Edi Suharto (2010:2,12), suatu perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap pelaksanaan strategi-strategi pembangunan dapat kita sebut sebagai kebijakan atau kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Fungsi kebijakan di sini adalah untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan sosial yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan. Umumnya kebijakan publik dimanfaatkan atau dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh organisasi publik. Kebijakan publik sebagai upaya untuk membantu atau memperlancar penerapan hukum (rechtstoepassing) yang telah ditetapkan. Kebijakan publik merupakan penyederhanaan pelaksanaan dari suatu produk hukum yang mungkin tidak mudah untuk dipahami dalam pelaksanaannya. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur kehidupan orang seorang atau golongan (Riant Nugroho, 2003:58). Menurut Harold Laswell, seorang pakar pertama yang mencanangkan studi kebijakan publik sebagai bagian dari ilmu sosial, kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
31
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Saiful Bahri dkk, 2004:20). Definisi kebijakan menurut Titmuss (1974), adalah sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Menurut Riant Nugroho (2008:11), kebijakan publik dapat berupa hukum, dapat juga berupa konvensi atau kesepakatan, bahkan pada tingkat tertentu berupa keputusan lisan atau perilaku dari pejabat publik. Dengan alasan yang dinyatakan oleh Nugroho tersebut, sehingga sebuah kebijakan tidak hanya sebatas pada suatu aturan yang tertulis, tetapi juga pada aturan yang tidak tertulis yang merupakan suatu perintah atasan kepada bawahan, dimana bawahan harus tunduk dan patuh pada perintah tersebut. Menurut Suharto (2010:12), bahwa peraturan atau perundang-undangan adalah sebuah kebijakan, namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau perundang-undangan. Kebijakan dapat pula berbentuk naskah kebijakan atau policy paper. Peraturan dan pengaturan (rule and regulation) merupakan “rule of game’ dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang telah ditetapkan dalam suatu birokrasi. Peraturan dan pengaturan ini menjadi penting karena dapat digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, karena telah ada “rule and regulation” dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut.
32
2.b. Tujuan Kebijakan Publik Implikasi dari semua proses kebijakan publik akan mengkonsentrasikan dirinya pada proses internal pencapaian hasil yang dicita-citakan. Keberhasilan sebuah proses kebijakan publik yang dijalani ketika hasil (output) yang ditetapkan sudah dapat dicapai dengan baik. Bahwa yang menjadi persoalan di sini adalah apakah hasil yang telah dicapai melalui proses internal tersebut sudah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat atau belum? Karena
kebijakan
publik
sebagai
sarana
pemenuhan
kebutuhan
atau
kepentingan masyarakat, itu berarti ukuran sukses tidaknya sebuah kebijakan publik tergantung bagaimana masyarakat menilainya. Pada dasarnya implementasi kebijakan publik adalah bertujuan untuk bagaimana agar cita-cita yang ada dalam sebuah produk hukum itu dapat terealisasikan dengan baik. Namun keberhasilan sebuah implementasi kebijakan publik itu juga sangat tergantung dari kualitas dan substansi produk hukum atau undang-undang yang ada, dan tergantung pada pejabat birokrasi (implementor) serta implementasi kebijakan sampai level (tingkat) paling bawah. Bila kualitas dari undang-undang atau produk hukum (policy content) yang ada itu rendah, maka tingkat kesuksesan proses implementasi kebijakan publiknya pun menjadi rendah. Sebaliknya, bila undang-undang yang ada substansinya berkualitas tinggi, maka kualitas proses implementasi kebijakan publik yang ada pun akan tinggi pula. Sesungguhnya implementasi kebijakan publik itu sangat tergantung dan saling terkait dengan undang-undang sebagai sebuah produk hukum. Sukses tidaknya sebuah implementasi kebijakan publik
33
sedikit banyak ditentukan oleh kualitas dari produk hukum yang hendak diterapkan (Saiful Bahri, 2004:88-89). Gagalnya sebuah kebijakan juga disebabkan oleh karena desain kebijakan aslinya kurang, atau mungkin karena disain tidak pernah diimplementasikan (George Edwards, 2003:10). Kegagalan implementasi kebijakan yang disebabkan oleh karena birokrasi, Purwo Santoso memberikan pendapat sebagai berikut, yaitu, “Kalau birokrasi gagal, masyarakat harus berani memojokkan birokrasi. Di level masyarakat, reformasi birokrasi harus dijadikan gerakan sosial. Di level pemerintah, harus dikawal orang-orang yang kuat. Komitmen harus datang dari pucuk pemerintah. Repotnya, banyak orang yang justru diuntungkan dari birokrasi yang bobrok. Kalaupun gagal, mereka happy-happy saja”.10 Menurut Riant Nugroho (2003:158) tentang implementasi kebijakan yang gagal, yaitu Perencanaan atau sebuah kebijakan yang baik akan berperan menentukan hasil yang baik. Bahkan kontribusi konsep mencapai 60% dari keberhasilan. Jika sudah mempunyai konsep yang baik, maka 60% keberhasilan sudah di tangan. Namun yang 60% itu pun akan hangus, jika 40% implementasinya tidak konsisten dengan konsep. Menurut Rondinelli (1983:3), menjelaskan bahwa program-program aksi itu sendiri boleh jadi juga diperinci lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk proyekproyek ke dalam bentuk proyek-proyek ini dapat dimaklumi mengingat proyekproyek
itu
merupakan
instrumen
yang
lazim
digunakan
untuk
mengimplementasikan kebijakan. Maksud utama dari program-program aksi tersebut dan masing-masing proyek yang tercakup di dalamnya tidak lain ialah 10
Jawa Pos, Senin, 12 November 2007, Publik Turut Bersalah, hal. 14.
34
menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam lingkungan kebijakan, yakni suatu perubahan yang diklaim dan diperhitungkan sebagai hasil akhir dari program/proyek tersebut. Jenis-Jenis hasil kebijakan, yaitu keluaran (outputs) dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan atau sumber daya yang diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok penerima. Dampak kebijakan merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh keluaran kebijakan tersebut (Alisjahbana : 2004).
3. Implementasi Kebijakan Publik Tahap implementasi tidak akan bermula sebelum suatu kebijakan ditetapkan oleh birokrat (pejabat) atau organisasi yang berwenang menetapkannya menjadi suatu ketetapan untuk dilaksanakan. Implementasi hanya dapat dilakukan setelah tujuan-tujuan dan saran-saran telah ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusankeputusan kebijaksanaan atau peraturan tertulis atau lisan dari birokrat atau pejabat. Implementasi kebijakan mencakup usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusankeputusan kebijaksanaan (Budi Winarno, 1989:65). Menurut Jenkins (1978:203), studi implementasi adalah studi perubahan; bagaimana
perubahan
terjadi,
bagaimana
kemungkinan
perubahan
bisa
dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka
35
dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda. Berbicara tentang kinerja dari kebijakan publik, pada dasarnya kita sedang berbicara tentang bagaimana proses implementasi kebijakan itu dapat dilaksanakan dengan baik sampai pada tingkat yang paling bawah. Sebuah kebijakan publik itu akhirnya akan bermuara pada hasil (output) dari sebuah proses kebijakan. Apabila kebijakan dan proses implementasi kebijakan itu dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementornya, maka pencapaian hasilnya akan baik pula. Demikian pula sebaliknya,
apabila proses implementasi kebijakan
itu
menyimpang,
maka
pencapaian hasil yang diharapkan akan gagal pula. Kebijakan yang dibuat tidak akan mempunyai arti apa-apa atau hanya akan merupakan rangkaian kata-kata yang indah dan baku yang tersimpan rapi dalam sebuah dokumen kalau tidak diimplementasikan. Implementasi kebijakan adalah proses dimana formula kebijakan ditransformasikan menjadi produk konkrit kebijakan. Implementasi kebijakan publik adalah sebagai proses pelaksanaan dari undang-undang atau produk hukum yang ada. Implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya (Saiful Bahri dkk, 2004:90-91). Konsep implementasi kebijakan publik adalah bahwa implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individuindividu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan (Saiful Bahri dkk, 2004:91). Secara ideal menurut Grindle (1980:6), implementasi
36
kebijakan adalah upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai akibat dari aktivitas pemerintah. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang mampu diimplementasi dengan baik, dan sekaligus kebijakan publik itu dalam proses implementasi dapat mencapai hasil yang diinginkan (Saiful Bahri dkk, 2004:86). Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya (Riant Nugroho, 2003:158). Implementasi kebijakan juga menekankan pada suatu tindakan yang difokuskan untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Tindakantindakan tersebut, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusankeputusan menjadi pola operasional, dan melanjutkan upaya tersebut untuk mencapai perubahan seperti yang digariskan dalam peraturan atau keputusankeputusan tertentu, yang merupakan suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Mazmanaian dan Sabatier (Hartono, 2002:99) menjelaskan bahwa mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa” yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat (Bambang Dwi Hartono: 2002). Implementasi menurut Edi Suharto (2010:18), Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Implementasi mengatur kegiatankegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan
37
kebijakan yang diinginkan. Menurut Patton dan Sawicki (1993), bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasi program, dimana
pada
posisi
ini
eksekutif
mengatur
cara
untuk
mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Makna implementasi seperti yang dikatakan oleh Purwo Santoso (2002), Implementasi akan lebih baik jika dimaknai sebagai: proses administrasif untuk mengeksekusi keputusan-keputusan politis dengan mendayagunakan serangkaian instrumen
kebijakan
untuk menghasilkan
perubahan
sosial
ke
arah
yang
dikehendaki, yang mencakup pula serangkaian proses negosiasi antara implementor dengan
sasaran
kebijakan
untuk
memastikan
tercapainya
misi
kebijakan.
Implementasi menurut Winarno (1989:65), bahwa implementasi kebijakan mencakup usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahanperubahan
besar
dan
kecil
yang
ditetapkan
oleh
keputusan-keputusan
kebijaksanaan. Menurut Bahri dkk (2004:26), bahwa dalam melihat kinerja dari kebijakan publik, pada dasarnya kita sedang berbicara tentang bagaimana proses yang ada di dalam keseluruhan dimensi kebijakan publik itu, yaitu baik pada saat formulasi, implementasi maupun evaluasinya. Dinamika proses implementasi kebijakan, menurut Grindle, melibatkan paling tidak ada dua variabel utama, yaitu policy content dan policy context. Policy content mempengaruhi proses implementasi karena policy content yang dihasilkan melalui proses policy making menentukan apa yang harus dideliver melalui sebuah kebijakan, perubahan apa yang bakal muncul sebagai akibat
38
dari
kebijakan
yang
diimplementasikan,
di
mana
kebijakan
tersebut
diimplementasikan, dan siapa yang mengimplementasikan kebijakan tersebut. Policy context merepresentasikan lingkungan di mana suatu proses kebijakan, termasuk implementasi berlangsung. Policy context meliputi: kekuatan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik rezim dan institusi; dan kepatuhan dan responsivitas (Santoso, 2010:127). Bahwa berdasarkan pemikiran Grindle tersebut, maka implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi pemerintahan yang tertutup dapat terjadi penyimpangan pada Policy context. Hal ini disebabkan, karena dengan sistem birokrasi yang tertutup akan sulit dikontrol atau diawasi oleh publik tentang kinerja atau praktik-praktik kebijakan dari implementor atau pejabat birokrasi dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Akibat adanya unsur kepentingan dalam policy context yang dimiliki oleh implementor kebijakan, sehingga implementor tidak lagi patuh pada kebijakan publik yang telah dibuat. Sebagai contoh dapat kita lihat pada dugaan praktik korupsi dan permainan proyek di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, yang terkadang disebut anggaran, melibatkan banyak pihak dan tertutup. Sulit untuk membuktikan dugaan permainan itu karena praktiknya seperti orang buang gas. Ada bau, tetapi sulit diketahui siapa yang membuang gas. 11 Keberhasilan atau kegagalan implementasi dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan programprogram yang dirancang sebelumnya. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi
11
Kompas, Kamis, 29 September 2011, Permainan di Badan Anggaran Tertutup, hal.1.
39
kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan. Grindle (1980:7) menjelaskan proses implementasi kebijakan negara beserta cara mengevaluasinya dengan diagram berikut: Tujuan-tujuan Kebijakan
Tujuan Tercapai
Program-program Aksi dan proyekproyek tertentu dirancang & dibiayai
Kegiatan-kegiatan Implementasi Dipengaruhi oleh: a. Isi Kebijakan 1. Pihak yang kepentingannya dipengaruhi 2. Jenis manfaat yang bisa diperoleh 3. Jangkauan perubahan yang diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksanaan-pelaksanaan program 6. Sumber -sumber yg dpt disediakan b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi-strategi dari para aktor yang terlibat. 2. Ciri-ciri kelembagaan dan regim. 3. Konsistensi dan daya tanggap
Hasil Akhir: a.Dampaknya terhadap masyarakat, perseorangan dan kelompok. b.Tingkat Perubahan dan penerimaannya
Program-program disampaikan sesuai dengan rancangan
PENGUKURAN KEBERHASILAN Gambar 1.7. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi. Sumber: Grindle, 1980:7
Dalam pelaksanaan implementasi kebijakan, ada dua hal penting yang harus diperhatikan menurut Budi Winarno (1989:75), yaitu pertama, nasihat dan bantuan teknis dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi seringkali dapat melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi dengan membantu 40
pejabat-pejabat bawahan dalam menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis
pedoman
pemerintah,
menstrukturkan
tanggapan-tanggapan
terhadap inisiatif-inisiatif, dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan. Kedua, pejabat-pejabat atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Jika suatu sebuah kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan dalam implementasi pun masih bisa terjadi, jika proses implementasi tidak tepat. Namun bahkan sebuah kebijakan yang brilliant dan sempurna sekalipun jika diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancang kebijakan tersebut. Terjadinya
penyimpangan
atau
kegagalan
dalam
implementasi
kebijakan dapat terjadi karena tidak sejalannya perencanaan dan implementasi kebijakan. Kebijakan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena lemahnya sistem pengawasan atau kontrol dari masyarakat (Suharto, 2010:136). Dalam implementasi kebijakan kurang mendapat pengawasan dari birokrasi serta sering kekurangan keahlian dalam administrasi untuk melakukan pengawasan. Selain dari pada itu, para pejabat birokrasi sedikit memberikan penghargaan atau insentif jika kebijakan tersebut dikelola dengan baik karena adalah amat sulit untuk mengatribusikan implementasi efektif kepadanya secara pribadi (Hessel Nogi S.,dkk, 2003:7). Selain daripada itu, adalah tidak adanya sanksi yang tegas terhadap para pelaku yang melanggar aturan atau kebijakan yang telah ditetapkan dalam
41
suatu organisasi pemerintah. Hukum harus dapat memberikan sebuah kepastian akan tercapainya sasaran dan tujuan dari sebuah proyek pembangunan. Dan segala bentuk penyimpangan atas sumber-sumber ini (korupsi) haruslah dapat ditindak dengan tegas dan pasti. Dengan adanya penindakan yang tegas terhadap implementor yang menyimpang dalam proses implementasi kebijakan, menunjukkan adanya kepastian hukum dalam implementasi kebijakan. Para pejabat birokrasi harus berani memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaksana (pejabat-pejabat bawahan) apabila tidak melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Bila sanksi-sanksi digunakan atau ancaman sanksi-sanksi itu dapat dipercaya, maka sanksi-sanksi mungkin efektif dalam memperbaiki implementasi (Budi Winarno, 1989:104). Bahwa akibat dari tidak adanya sanksi yang tegas kepada implementor yang melakukan penyimpangan dalam implementasi kebijakan, sehingga tumbuh karakter tidak patuhnya para pelaksana kebijakan (implementing agent) dalam proses pelaksanaan kebijakan publik. Aspek yang penting dalam implementasi kebijakan adalah kepatuhan. Yang dimaksud dengan kepatuhan di sini, yaitu perilaku yang taat hukum (Bahri, 2004:95). Menurut Saiful Bahri dkk (2004: 26-95), Penyebab terjadinya bentukbentuk penyimpangan dalam implementasi kebijakan juga dijelaskan sebagai berikut: a. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap para pelaku yang melanggar aturan atau kebijakan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi pemerintah. Hukum harus dapat memberikan sebuah kepastian akan tercapainya sasaran dan tujuan dari sebuah proyek pembangunan. Dan 42
segala bentuk penyimpangan atas sumber-sumber ini (korupsi) haruslah dapat ditindak dengan tegas dan pasti. b. Tidak patuhnya para pelaksana kebijakan (implementing agent) dalam proses pelaksanaan kebijakan publik. Menurut Anderson, bahwa aspek yang penting dalam implementasi kebijakan adalah kepatuhan. Yang dimaksud dengan kepatuhan di sini, yaitu perilaku yang taat hukum. c. Sikap mental para pejabat publik yang cenderung yang acuh tak acuh terhadap dinamika kepentingan masyarakat. d. Tidak adanya sistem kontrol (pengawasan) dan komunikasi yang terbuka. e. Tidak tersedianya sumberdaya untuk melakukan pekerjaan. f. Tidak dilandasinya dasar-dasar hukum yang kuat dan lemahnya penerapan hukum (rechtstoepassing). g. Adanya kepentingan. h. Tidak adanya evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik yang dilakukan. Implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanismemekanisme dan prosedur-prosedur lembaga, sehingga pejabat-pejabat tinggi (atasan) dapat meningkatkan kemungkinan bahwa para pelaksana (pejabatpejabat bawahan) akan bertindak dalam suatu cara yang konsisten
dengan
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Implementasi yang berhasil mungkin mengalami hambatan bila pejabat-pejabat tidak menyadari bahwa mereka tidak mentaati kebijakan sepenuhnya (Budi Winarno, 1989:79). Tolok-ukur lainnya, yaitu keberhasilan suatu kebijakan terletak pada proses implementasinya. Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Menurut Nugroho (2008:6), dalam teori Pareto, kebijakan publik adalah faktor 20% yang menyebabkan terjadinya yang 80%. Kebijakan yang telah dibuat dengan baik untuk mencapai tujuan yang 43
mulia, belum tentu dapat tercapai dengan baik sesuai yang diharapkan, apabila tidak diimplementasi dengan baik oleh pelaksana kebijakan pada tingkat (level) yang paling bawah. Menurut Riant Nugroho (2003:158) tentang implementasi kebijakan yang gagal, yaitu Perencanaan atau sebuah kebijakan yang baik akan berperan menentukan hasil yang baik. Bahkan kontribusi konsep mencapai 60% dari keberhasilan. Jika sudah mempunyai konsep yang baik, maka 60% keberhasilan sudah di tangan. Namun yang 60% itu pun akan hangus, jika 40% implementasinya tidak konsisten dengan konsep. Implikasi dari semua proses kebijakan publik akan mengkonsentrasikan dirinya pada proses internal pencapaian hasil yang dicita-citakan. Keberhasilan sebuah proses kebijakan publik yang dijalani ketika hasil (output) yang ditetapkan sudah dapat dicapai dengan baik. Bahwa yang menjadi persoalan di sini adalah apakah hasil yang telah dicapai melalui proses internal tersebut sudah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat atau belum? Karena
kebijakan
publik
sebagai
sarana
pemenuhan
kebutuhan
atau
kepentingan masyarakat, itu berarti ukuran sukses tidaknya sebuah kebijakan publik tergantung bagaimana masyarakat menilainya.
E. Kerangka Konseptual Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena abstrak yang secara empirik dapat memberikan arah pada variabel penelitian. Kepastian arah dalam ruang lingkup penelitian akan mudah dipahami melalui pembatasan dan penegasan definisi konsep. Definisi konsep disesuaikan dengan permasalahan 44
sekaligus mampu memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan penelitian. Oleh karena itu definisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Birokrasi Adalah organisasi hierarkis pemerintah yang dijalankan oleh pejabat (birokrat), yang berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi, menjalankan fungsi pendisiplinan dan pengendalian serta dapat melayani kepentingan umum.
2. Kebijakan Adalah suatu perangkat pedoman yang dibuat oleh suatu organisasi formal guna memberikan arah dan cara serta penyederhanaan dalam pelaksanaan suatu produk hukum dan/atau keputusan lisan, agar mudah dipahami, yang umumnya dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan dapat berupa produk hukum tertulis dan juga dapat berupa keputusan lisan, atau perilaku pejabat publik, atau dapat berupa kesepakatan.
3. Implementasi Kebijakan Adalah usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha atau pelaksanaan kebijakan dengan baik sampai pada tingkat yang paling bawah untuk mencapai perubahan-perubahan yang lebih baik atau mencapai tujuan atau pencapaian hasil yang telah ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Implementasi sebagai upaya untuk membantu atau memperlancar penerapan hukum (rechtstoepassing) yang telah ditetapkan. 45
4.
Diskresi Pada Street Level Birokrasi Diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri di setiap situasi yang dihadapi.
Implementasi
memiliki
diskresi
yang
hebat
di
dalam
mengimplementasikan kebijakan. Komunikasi dari atasan seringkali tidak jelas atau tidak konsisten, dan kebanyakan implementor menikmati ketergantungan substansial dari atasannya. Peraturan yang terbatas, kepentingan, tekanan dan hambatan, baik dalam birokrasi maupun dari luar birokrasi, dalam implementasi kebijakan serta ketatnya peraturan di dalam sistem birokrasi, sehingga birokrat atau para implementor mungkin kurang cenderung menghargai terhadap kebijakan yang telah diatur dan mungkin akan bereaksi terhadap kebijakan yang telah diatur dan dapat mengambil keputusan sendiri. Menurut Hessel Nogi S. Tangkilisan (2003: 127), bahwa dua karakteristik utama dari birokrasi adalah prosedur pengoperasian standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan fragmentasi. Yang pertama berkembang sebagai respon-respon internal pada waktu dan sumber implementasi terbatas dan keinginan atas keseragaman di dalam operasi organisasi kompleks dan organisasi yang tersebar secara luas. Yang kedua, pada dasarnya terjadi dari tekanan di luar unit birokrasi sebagai komite legislatif, kelompok kepentingan, pejabat eksekutif, konstitusi negara bagian dan sifat dari kebijakan luas mempengaruhi organisasi birokrasi publik.
F. Definisi Operasional Bahwa
untuk
menghindari
terjadinya
kekaburan/kesalahan
dalam
penginterprestasikan variabel penelitian, sebagaimana dimaksud peneliti, maka
46
terjadinya penyimpangan dalam implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi di dalam Lapas dapat dilihat dari:
1. Sistem Birokrasi a. Birokrasi Publik, sebagai pedoman, standart dan/atau tolok ukur dalam menilai sistem birokrasi yang tertutup di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman. b. Birokrasi dan Struktur Organisasi di Lapas b.1. Birokrasi di Lapas, untuk melihat dan menilai bagaimana sistem birokrasi yang terbangun di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman sesuai
dengan
Prosedur
Tetap
(Protap)
Pelaksanaan
Tugas
Pemasyarakatan. b.2. Struktur Organisasi di Lapas, untuk melihat dan menilai bagaimana struktur organisasi telah ditetapkan oleh Pejabat Birokrasi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
2. Kebijakan dan Tujuan Kebijakan a. Kebijakan Publik, sebagai pedoman, standart dan/atau tolok ukur dalam menilai kebijakan yang telah ditetapkan di dalam Lapas sebagai suatu keputusan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Birokrasi, agar dapat diterapkan, dilaksanakan atau diimplementasikan di dalam Lapas. b. Tujuan Kebijakan Publik, dapat sebagai tolok ukur untuk menilai apakah tujuan kebijakan di dalam Lapas telah sesuai dengan standar pemerintah dalam mencapai tujuan kebijakan di dalam Lapas.
47
c. Kebijakan di Lapas c.1. Kebijakan Terhadap Tahanan Baru, untuk melihat dan menilai bagaimana kebijakan di dalam Lapas terhadap Para Tahanan yang baru dimasukan ke dalam Lapas membandingkannya dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. c.2. Kebijakan Penyimpanan dan Penggunaan Uang Tahanan, untuk melihat dan menilai bagaimana kebijakan di dalam Lapas terhadap uang dari Para Tahanan dan/atau Narapidana yang disimpan di dalam Lapas serta membandingkannya dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. c.3. Kebijakan Terhadap Narapidana, untuk melihat dan menilai bagaimana kebijakan yang diterapkan kepada para narapidana di dalam Lapas, setelah narapidana tersebut ditetapkan bersalah oleh pengadilan, serta membandingkannya dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. d. Tujuan Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai tentang tujuan kebijakan di dalam Lapas dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
3. Implementasi Kebijakan dan Tujuannya a. Implementasi Kebijakan Publik, sebagai pedoman, standart dan/atau tolok ukur dalam penerapan atau pelaksanaan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan di dalam Lapas, sebagai suatu keputusan yang telah ditetapkan
48
oleh
Pejabat
Birokrasi,
agar
dapat
diterapkan,
dilaksanakan
atau
diimplementasikan di dalam Lapas. b. Implementasi Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai fakta atau kenyataan
sebenarnya
tentang
bagaimana
implementasi
kebijakan
dilakukan/dilaksanakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Apakah dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas tidak terjadi penyimpangan dalam
praktek
implementasi
kebijakan
terhadap
para
tahanan
dan
narapidana? c. Tujuan Implementasi Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai apakah tujuan dari implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas IIB Cebongan Sleman tercapai atau tidak.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian mengenai “Implementasi Kebijakan dalam Sistem Birokrasi Tertutup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Kabupaten Sleman”,
merupakan
Penggunaan
metode
penelitian kualitatif
yang pada
menggunakan penelitian
ini
metode
kualitatif.
dimaksudkan
untuk
memperoleh gambaran mendalam tentang bagaimana implementasi kebijakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman, apakah tidak terdapat penyimpangan dalam Implementasi kebijakan dan apa penyebab penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman? Secara teoritis, metode kualitatif digunakan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, penyesuaiannya lebih mudah apabila 49
berhadapan dengan kenyataan yang ada. Kedua, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2001:5). Ketiga peneliti bisa bertemu dan mendengar secara langsung dari pembuat kebijakan (pimpinan Lapas atau pejabat di atasnya), pelaksana kebijakan (petugas Lapas) serta melihat dan mengalami secara langsung dari implementasi kebijakan yang diterapkan atau dilaksanakan di dalam Lapas terhadap para tahanan dan/atau narapidana. Selain daripada itu, dengan jenis penelitian kualitatif ini bisa lebih memberikan kesempatan ruang dan waktu bagi peneliti untuk melakukan penelitian, observasi pada lokasi penelitian dan memilih objek penelitian yang akan diteliti. Kelebihan lainnya, yaitu dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara deskriptif bagi masyarakat umum dan pembuat kebijakan serta hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Fokus dalam penelitian mengenai “Implementasi Kebijakan dalam Sistem Birokrasi Tertutup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Kabupaten Sleman”, yaitu pada kebijakan di dalam Lapas terhadap para tahanan yang baru dimasukkan ke dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, kebijakan terhadap para tahanan dan narapidana selama berada di dalam serta kebijakan sesaat sebelum bebas dari Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Fokus dalam penelitian tersebut bertujuan agar penelitian ini menjadi lebih rinci dan jelas tentang bagaimana implementasi kebijakan di dalam Lapas guna dapat memberikan gambaran bagi masyarakat umum.
50
2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat peneliti dapat menangkap keadaan yang sebenarnya terjadi dari obyek yang akan diteliti, mengingat kondisi yang dilihat adalah proses implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi pemerintahan yang tertutup, maka lokasi penelitiannya adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan Sleman. Adapun pertimbangan lokasi penelitian adalah sesuai dengan substansi penelitian yang merupakan masalah birokrasi pemerintahan yang tertutup dan merupakan pembicaraan masyarakat publik yang menjadi berita yang sedang up to date (hangat) dibicarakan baik di media cetak maupun media elektronik. Sedangkan dipilihnya lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman, karena lokasi tersebut merupakan salah satu contoh implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi pemerintahan yang tertutup serta dekat dengan lembaga pendidikan yang sedang dijalani oleh peneliti. Bahwa selain daripada itu, peneliti juga telah meneliti di dalam Lapas Kelas II B di Cebongan Sleman selama lebih dari 6 (enam) bulan, yaitu dengan cara tinggal bersama-sama tahanan dan narapidana di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman serta melihat, mengamati serta berkomunikasi dengan para tahanan dan narapidana di dalam Lapas.
3. Teknik Pengumpulan Data Obyek kajian adalah suatu peristiwa yang sudah berlangsung sekitar lebih dari 1 (satu) tahun yang lalu dan masih terus dilakukan penelitian oleh peneliti sampai saat ini untuk melengkapi data-data formalitas yang masih kurang. Oleh 51
karena itu penelitian ini lebih banyak bergantung pada data-data primer di dalam pengumpulan data dan juga data sekunder. Dalam rangka memperoleh data dan informasi
yang
dapat
melengkapi
dalam
penelitian
ini,
maka
peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1). Observasi, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman dan membuat catatan yang sistematis terhadap kegiatan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Kemudian melihat juga bagaimana kegiatan para tahanan dan narapidana serta petugas Lapas di dalam Lapas selama 6 (enam) bulan lebih. Hal ini dimaksudkan agar observasi ini mencapai hasil yang maksimal, digunakan penelitian berupa catatan-catatan (check list), menyiapkan alat elektronik, seperti camera digital, alat recorder, dengan memusatkan pada data-data yang relevan. 2). Wawancara, yaitu mengadakan wawancara dengan berbagai pihak terkait dengan kegiatan di dalam Lapas. Tujuan wawancara adalah agar pertanyaan yang diajukan dapat difokuskan pada study kasus yang ingin dicapai, sehingga mudah diolah, dianalisis secara kualitatif dan kesimpulan yang diperoleh lebih reliable, dalam arti observasinya dilakukan secara cermat dan dapat diandalkan. 3). Dokumentasi, yaitu upaya-upaya untuk mendapatkan data sekunder dari dokumen-dokumen yang relevan yang memuat data dan informasi yang berkaitan dengan penelitian di dalam Lapas. Dokumen-dokumen yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 3.1). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
52
3.2). Himpunan Peraturan tentang Pemasyarakat. 3.3). Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M.HHOT.02.02 Tahun 2009 Tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. 3.4). Prosedur Tetap (PROTAP) Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2009. 3.5). Buku Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP). 3.6). Buku Pegangan untuk Kalapas, Kepala Sub.Bagian Tata Usaha, KAURS Kepegawaian dan Keuangan, KAURS Umum, Kepala Seksi Binadik dan Giatja, Kepala Sub.Seksi Registrasi dan Bimpas, Kepala Sub.Seksi Perawatan, Kepala Seksi Administrasi Kamtib, Kepala Sub.Seksi Keamanan, Kepala Sub.Seksi Pelatib, Kepala KPLP. 3.7). Buku catatan tentang sewa-menyewa Handphone di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman oleh Para Tahanan dan Narapidana dari para Petugas Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. 4). Kuesioner, yaitu sebagai fungsi untuk cross check, sehingga dapat memperkuat keakuratan dan validitas data yang diperoleh dalam penelitian.
4. Sumber Data Sesuai masalah dan fokus penelitian, sumber data penelitian adalah: a. Narasumber Narasumber dipilih secara sengaja (purposive sampling), pemilihan informan ini didasarkan atas subyek penelitian yang menguasai masalah, memiliki
53
data, dan bersedia memberikan data-data kepada peneliti. Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber adalah sebagai berikut: a.1. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kantor Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. a.2. Pimpinan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman. a.3. Petugas atau Sipir atau Polisi Khusus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman (Polsuspas). a.4. Para Tahanan pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman. a.5. Para Narapidana pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman. a.6. Para
Mantan
Narapidana
yang
telah
bebas
dari
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman.
b. Kuesioner Kuesioner dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada: b.1. Para Tahanan pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman. b.2. Para Narapidana pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman.
c. Dokumen Dokumen yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian adalah sebagai berikut:
54
c.1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. c.2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor: M.HH-OT.02.02 Tahun 2009 Tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman & Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2009. c.3. Himpunan
Peraturan
tentang
Pemasyarakat,
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan 2009. c.4. Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman & Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2003. c.5. Buku Pegangan untuk Kalapas, Kepala Sub.Bagian Tata Usaha, KAURS Kepegawaian dan Keuangan, KAURS Umum, Kepala Seksi Binadik dan Giatja, Kepala Sub.Seksi Registrasi dan Bimpas, Kepala Sub.Seksi Perawatan, Kepala Seksi Administrasi Kamtib, Kepala Sub.Seksi Keamanan, Kepala Sub.Seksi Pelatib, Kepala KPLP. c.6. Buku Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP), Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Depatemen Hukum dan HAM DIY Tahun 2008. c.7. Buku catatan tentang sewa-menyewa Handphone di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman oleh Para Tahanan dan Narapidana dari para Petugas Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
55
c.8. Surat jual-beli fasilitas negara untuk para tahanan dan narapidana di dalam Lapas oleh KAUR Umum kepada para tahanan dan narapidana. c.9. Liflet Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. d. Dokumen Bank yang sebagai bukti adanya transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh seorang narapidana (kasus penipuan) dari dalam Lapas Kelasa II B Cebongan Sleman.
H. Metode Analisis Data Analisis data menurut Nasution (1998:126) adalah proses menyusun data agar dapat ditafsir. Analisis data dilakukan secara terus menerus selama proses pengamatan dilakukan verifikasi. Jadi selama proses penelitian berlangsung data yang diperoleh langsung dianalisis dan data yang sudah diperoleh terus dicek kebenarannya pada pihak-pihak lain (cross check) yang memahami informasi tersebut. Berdasarkan metode penelitian dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis diskripsi. Melalui teknik ini diharapkan akan memberikan gambaran dan makna dari seluruh data atau fakta yang diperoleh dengan jelas.
56