ISSN 2087-2208
PERILAKU POLITIK DI INDONESIA Oleh: Suryana Aminudin, S.IP. PENDAHULUAN Nilai klasik dari demokrasi umumnya ditakar dari seberapa besar kesadaran rakyat berpartisipasi dalam memberikan suaranya pada sebuah Pemilihan Umum (Pemilu). Di masa Orde Baru, partisipasi masyarakat dalam Pemilu cukup tinggi, akan tetapi partisipasi tersebut tidak cukup menggambarkan makna dari partisipasi masyarakat yang sebenarnya. Rezim Orde Baru yang mendominasi kehidupan politik saat itu, memobilisasi masyarakat dalam setiap Pemilu dengan intimidasi, kekerasan dan manipulasi. Dengan kata lain karakteristik partisipasi yang termobilisasi (mobilized participation) sepanjang sejarah Orde Baru, tidak bisa dikatakan sebagai partisipasi yang berkualitas, yang demokratis dan otonom (outonomous participation). Pelaksanaan Pemilu Tahun 2004 berbeda dengan Pemilu Tahun 1999. Pertama, Pemilu untuk memilih anggota legislatif yang terdiri dari DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD, dengan menggunakan sistem pemilihan dengan cara proporsional daftar terbuka; Kedua, memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dan Ketiga, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung (selanjutnya disebut Pemilukada) baik gubernur, bupati/walikota oleh rakyat di daerah. Selama ini paling tidak ada tiga faktor yang mempengaruhi untuk memilih atau tidak memilih dalam Pemilu1, yaitu: Pertama, identitas partai, dimana semakin solid dan mapan suatu partai politik maka akan memperoleh dukungan yang mantap dari para pendukungnya. Sebaliknya kondisi partai politik yang buruk akan mengakibatkan berkurangnya dukungan terhadap partai politik yang bersangkutan. Begitu pula dalam Pilkada secara langsung, dimana pasangan calon Bupati/Wakil Bupati yang didukung oleh partai politik yang solid dan mapan akan mendapat dukungan dari pendukung dan simpatisan partai tersebut. Kedua, kemampuan partai dalam menjual isu kampanye. Partai yang hegemoni (status quo) biasanya menjual isu-isu kemapanan dan keberhasilan yang telah mereka raih. Partai-partai politik baru biasanya menjual isu-isu “menarik” dan partai politik tersebut, biasanya dianggap “bersih” terutama dari nuansa money politics. Menarik untuk dicermati, dalam Pilkada secara langsung di Kabupaten Sukabumi, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati berasal dari kandidat yang hegemoni (status quo) yaitu sebagian besar pasangan calon tersebut dari PNS (birokrat), dan diperkirakan isu yang akan dijual adalah isu kemapanan dan keberhasilan yang telah mereka raih. Ketiga, penampilan kandidat, dimana performa kandidat sangat menentukan keberhasilan kandidat. Di Indonesia, hal ini sudah dibuktikan dalam Pemilu Presiden/Wakil Presiden yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla. Faktor lain yang turut mempengaruhi perilaku pemilih adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Dalam tulisan ini, membahas “Bagaimana perilaku politik masyarakat dalam pemilihan umum Kepala Daerah di Indonesia sekarang ini?”
1
Sobirin Malian. 2004. Menakar Loyalitas dan Volatilitas Pemilih Pada Pemilu 2004 (dalam Jurnal UNISIA NO.51/XXVII/I/2004). Yogyakarata: Unisia. hlm 81-82.
FISIP UNWIR Indramayu
1
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
LANDASAN TEORI Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, pasal 1 ayat (1) disebutkan: “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada secara langsung dilakukan dengan persyaratan dan tata cara yang telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 56 ayat (1) disebutkan: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”2. 1)
Langsung, berarti dalam Pilkada secara langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan hati nuraninya dan tanpa perantara.
2)
Umum, pada dasarnya semua warga Negara yang berada di propinsi dan/atau kabupaten/kota, yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, berhak mengikuti Pilkada secara langsung. Asas umum ini mengandung pula makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
3)
Bebas, berarti dalam Pilkada secara langsung setiap warga Negara yang berada di propinsi dan/atau kabupaten/kota, bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, warga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4)
Rahasia, dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa-pun suaranya diberikan.
5)
Jujur, dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap penyelenggara Pilkada secara langsung (KPUD-pen), aparat pemerintah, calon atau peserta Pilkada secara langsung, pengawas Pilkada secara langsung (Panwaslu Daerah-pen), pemantau Pilkada secara langsung, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6)
Adil, dalam penyelenggaraan Pilkada secara langsung, setiap pemilih dan calon atau peserta Pilkada secara langsung mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Sistem Pilkada secara langsung menandai popularitas paradigma demokrasi partisipatoris dan sekaligus surutnya popularitas paradigma demokrasi representasi (demokrasi perwakilan) atau ‘kemenangan’ para pengajur demokrasi massa terhadap demokrasi elite. 3 Oleh karenanya, nilai-nilai demokrasi menjadi indikator keberhasilan dalam proses penyelenggaraan Pilkada secara langsung. Nilai-nilai demokrasi tersebut diwujudkan dalam asas-asas Pilkada langsung. Dalam Pelaksanaan Pilkada secara langsung yang menggunakan asas-asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, layak disebut sebagai sistem rekrutmen pejabat publik yang memenuhi 2
Secara lebih rinci tentang pemilihan Kepala Daerah dapat dilihat dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 56-119, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah. 3 Joko J. Prihatmoko.2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 31.
2
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
indikator demokrasi. Dalam text book Ilmu Politik, suatu rekrutmen politik disebut demokratis apabila: 1)
Menggunakan sistem pemilihan umum yang teratur;
2)
Memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan;
3)
Mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka; dan
4)
Akuntabilitas publik.4
Dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung, yang menjadi perhatian adalah apakah Pilkada secara langsung berdampak positif atau tidak bagi pengembangan demokrasi. Afan Gaffar, dkk mengemukakan bahwa indikator untuk mengamati terwujudnya demokrasi antara lain: 1)
Pemilihan umum;
2)
Rotasi kekuasaan;
3)
Rekrutmen secara terbuka;
4)
Akuntabilitas publik;
5)
Menikmati hak-hak dasar.5
Penjelasan dari masing-masing poin tersebut dan hubungannya dengan pelaksanaan Pilkada secara langsung adalah sebagai berikut: ad.1. Pemilihan Umum Rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan Pemilu, termasuk dalam hal ini adalah Pemilu lokal (Pilkada secara langsung-pen) yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil. Pilkada secara langsung merupakan gerbang pertama yang harus dilewati, kemudian setelah pemilihan biasanya orang akan melihat dan menilai seberapa besar Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih memenuhi janji-janjinya. Penilaian terhadap kinerja pejabat politik itu akan digunakan sebagai bekal untuk memberi ganjaran atau hukuman (reward and punishment) dalam pemilihan mendatang. Pejabat yang tidak dapat memenuhi janji-janjinya dan tidak menjaga moralitasnya akan dihukum dengan cara tidak dipilih, sebaliknya pejabat yang berkenan di hati masyarakat akan dipilih kembali. ad.2. Rotasi Kekuasaan. Rotasi kekuasaaan juga merupakan indikator demokrasi setidaknya dalam suatu rekrutmen pejabat politik. Rotasi kekuasaan mengandaikan bahwa kekuasaan atau jabatan politik tidak boleh dan tidak bisa dipegang terus-menerus oleh seseorang, seperti dalam sistem monarkhi. Artinya, kalau seseorang yang berkuasa terus-menerus atau satu partai politik mengendalikan roda pemerintahan secara dominan dari waktu ke waktu sistem itu tidak layak disebut demokratis. Dengan lain kata, demokrasi memberikan peluang rotasi kekuasaan atau rotasi pejabat politik secara teratur dan damai dari seorang Kepala Daerah satu ke Kepala Daerah lain, dari satu partai politik ke partai politik yang lain. ad. 3. Rekrutmen Terbuka. Demokrasi membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang yang sama. Oleh karena itu dalam mengisi jabatan politik, seperti Kepala Daerah, sudah seharusnya peluang terbuka untuk semua orang yang memenuhi syarat, dengan
4 5
Ibid. hlm 20. Syaukani, HR, Drs. Prof. Dr. Afan Gaffar, MA, dan Prof.Dr.M. Ryaas Rasyid, MA. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan. hlm 1213.
FISIP UNWIR Indramayu
3
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
kompetisi yang wajar sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Di Negara-negara totaliter dan otoriter, rekrutmen politik hanyalah merupakan domain dari seseorang atau sekelompok kecil orang. ad. 4. Akuntabilitas Publik Para pemegang jabatan politik (juga pejabat publik harus dapat mempertanggungjawabkan kepada publik apa yang dilakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik. Seorang Kepala Daerah harus dapat menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijakan A, bukannya kebijakan B, mengapa menaikkan pajak daripada melakukan efisiensi dalam pemerintahan dan melakukan pemberantasan KKN. Apa yang mereka lakukan terbuka untuk dipertanyakan kepada publik. Demikian pula yang dilakukan keluarga terdekatnya, sanak saudaranya, dan bahkan teman dekatnya seringkali dikaitkan dengan kedudukan atau posisi pejabat tersebut. Hal itu karena pejabat publik merupakan amanah dari masyarakat, maka ia harus dapat menjaga, memelihara dan bertanggungjawab dengan amanah tersebut. Ad.5. Menikmati hak-hak dasar Dalam suatu Negara yang demokratis, setiap warga Negara dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of the pers). 2.2. Perilaku Politik Dalam kaitannya dengan Pemilukada, hak menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan pilihan politiknya terhadap seorang kandidat Kepala Daerah. Kebebasan berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dalam bentuk menjadi anggota partai politik, masuk menjadi tim sukses tanpa dihalang-halangi oleh siapapun dan oleh institusi manapun. Kebeban pers mempunyai makna bahwa masyarakat pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang di pandang perlu dalam Pilkada secara langsung, sepanjang dia tidak memihak salah satu kandidat, tidak mengadu domba masyarakat dan lain-lain. Keterlibatan masyarakat dalam pemilihan lokal (dalam hal ini Pemilukada) sebagai salah satu bentuk partisipasi politik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Sejauhmana orang menerima perangsangan politik (peka/tidak); Karakteristik pribadi seseorang (sikap/perasaan seseorang); Karakteristik sosial seseorang (status sosial ekonomi, ras, etnis, usia, agama, sex) dan; Keadaan politik/lingkungan politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri (sistem politik, sistem partai, sistem pemilihan) atau perbedaan regional juga menyajikan tipe dan faktor lingkungan lainnya yang sering menjadi dasar munculnya keanekaragaman dalam tingkah laku elektoral dan bentuk-bentuk lain dari partisipasi politik.6 Selanjutnya faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik ialah: Kesadaran politik: kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik. Kepercayaan pada pemerintah: penilaian seseorang terhadap pemerintah.7
6 7
Arbi Sanit. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. hlm 170. Ibid. hlm172.
4
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Kedua faktor tersebut bukan faktor yang berdiri sendiri hal ini dipengaruhi pula oleh faktor lain seperti struktur sosial, status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi. 8 Dengan demikian terlihat bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Partisipasi politik terwujud melalui: Kegiatan pemilihan mencakup pemberian suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi proses pemilihan umum. Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok-kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuan utama dan ekplisit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabatpejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang. Tindakan kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk partisipasi politik dan untuk keperluan analisa ada manfaatnya untuk mendefinisikannya sebagai satu kategori sendiri, artinya sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.9 Perilaku memilih dapat ditunjukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pilkada secara langsung. Pemberian suara atau voting secara umum dapat diartikan sebagai; “Sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan ikut menentukan konsensus diantara anggota kelompok seorang pejabat maupun keputusan yang diambil”.10 Pemberian suara dalam Pilkada secara langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang didukungnya atau ditunjukkan dengan perilaku masyarakat dalam memilih pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Adapun perilaku memilih menurut Surbakti adalah: “Aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum (Pilkada secara langsung- pen). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters akan memilih/mendukung kandidat tertentu”11. Untuk memperoleh gambaran yang cukup komprehensif tentang fenomena pemilih dalam Pilkada secara langsung, peneliti menggunakan metode community dynamic study tampaknya memadai untuk digunakan. Jenis penelitian ini bertolak dari asumsi bahwa tingkah laku politik sangat dipengaruhi oleh situasi komunitas dimana seseorang berada.12 Karenanya untuk memahami tingkah laku individual, termasuk keputusan memilih dalam Pilkada secara langsung, harus dihubungkan dengan interaksi sosial yang terjadi dalam satu masyarakat. Selanjutnya, interaksi antar anggota masyarakat, yang kemudian menentukan interpretasi seseorang terhadap satu fenomena sosial. Peter Bryant mengemukakan bahwa: “Persepsi seseorang ditentukan oleh hubungan antara halhal yang diyakini dengan hal-hal yang diharapkan. Semakin kecil jarak (gap) antara keduanya, akan semakin baik persepsi seseorang terhadap satu fenomena. Karena itu, persepsi sangat dipengaruhi oleh faktor pengalaman masa lalu, latar belakang sosial-budaya, motivasi, dan suasana hati”.13 Fremond E. Kast dan J.E. Rozenwigh mengatakan: “Persepsi sangat menentukan sikap seseorang. Melalui persepsi yang berfungsi sebagai filter (saringan), seseorang membangun kepercayaan dan 8
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. hlm 144. Samuel P Huntington dan Joan Nelson. 1994. Gelombang Demokrasi ketiga. Jakarta: Rineka Cipta. hlm 16-18. 10 Gosnel F Horald. 1934. Ensyklopedia of The Social Science. New York: Mc Grew Hill Book Company. hlm 32. 11 Surbakti. op.cit. hlm.192. 12 Samuel J. Elderveld dalam Riswandha Imawan. 1993. Analisis Hasil Pemilihan Umum 1992 di Indonesia (Laporan Penelitian). Yogjakarta. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM hlm 7. 13 Ibid. 9
FISIP UNWIR Indramayu
5
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
motivasi terhadap satu stimulus (dalam hal ini fenomena sosial), yang kemudian menentukan perilaku seseorang.14 Peran sentral persepsi dalam membentuk atau menentukan tingkah laku seseorang, digambarkan dalam satu diagram oleh Chung dan Megginson15. Diagram 1.1 Hubungan antara Persepsi dan Tingkah Laku16
Perceptual input Objects Events
Perceptual Mechanism Selection --- Interpretation
Perception outputs: Attitude Opinion Feeling
Behav ior
Organization
Lebih lanjut Imawan mengemukakan bahwa: “Perceptual input” disini pada dasarnya berupa rangsangan (stimulus) yang datang dari luar diri seseorang. Stimulus yang masuk, akan diolah dulu dalam satu proses yang disebut “Perceptual Mechanism”. Dalam proses ini terjadi proses yang lebih kecil lagi, yakni seleksi, organisasi, dan interpretasi terhadap stimulus yang ada. Dalam proses inilah berperan pengalaman serta norma-norma kemasyarakatan yang diyakini seseorang. Produk dari “Perceptual Mechanism” itu dapat berwujud sikap, opini, ataupun perasaan terhadap stimulus; yang akhirnya akan menentukan tingkah laku seseorang. Perilaku pemilih dalam Pilkada secara langsung dapat dijelaskan sebagai berikut: Masuknya rangsangan-rangsangan (stimulus) yang datang dari luar seorang pemilih. Rangsangan tersebut bisa berupa pengalaman memilih dalam Pemilu legislatif atau Pemilu Presiden/Wakil Presiden secara langsung; pengaruh kampanye pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan lain-lain. Rangsangan tersebut, kemudian diolah dalam suatu proses yang disebut Perceptual Mechanism, dari seleksi yang masuk kedalam pikiran pemilih, pemilih akan menginterprestasikan setiap alternatifalternatif pilihan (kepada siapa suara pemilih akan diberikan nantinya-pen). Dari seleksi dan interprestasi tersebut, akan diorganisasikan dalam pikiran pemilih, dan dalam proses ini akan berperan pula faktor-faktor lain seperti pengalaman pemilihan nilai-nilai atau normanorma kemasyarakatan yang berlaku dan diyakini tidak bertentangan dengan keyakinan pemilih. Produk dari Perceptual Mechanism berupa sikap mendukung pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, opini yang berkembang di masyarakat (seperti apakah pasangan calon tersebut baik atau tidak baik?), perasaan pemilih terhadap pasangan calon (suka atau tidak suka?), yang mana semua itu, akan mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya. Dalam ilmu politik untuk menjelaskan tingkah laku politik, dikenal adanya dua pendekatan besar (utama) untuk menerangkan tingkah laku politik pada saat berlangsungnya Pemilu, yaitu pendekatan sosiologis (Columbia School) atau lebih dikenal dengan Mazhab Columbia dan pendekatan aspek sosio psikologis (Michigan School) atau dikenal dengan Mazhab Michigan.
14
Ibid. Ibid. hlm 8. 16 Ibid. 15
6
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
1) Mazhab Columbia (Columbia School) Pendekatan ini menerangkan gejala memberikan suara berdasarkan atas latar belakang sosialekonomi para pemilih. Pendekatan ini berkembang pertama kali di benua Eropa. Pendekatan ini memandang masyarakat terdiri atas status hirarkis. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, dan lainnya. Seymour Martin Lipset misalnya, mengajukan sejumlah variabel yang dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku orang menentukan pilihan politiknya. Variabel-variabel tersebut adalah: pendapatan (income), ras, jenis kelamin, umur, status kewarganegaraan, dan partisipasi sosial. 17 Seperti yang tampak dalam Diagram 1.2 berikut ini, pola memilih seseorang sebenarnya sudah dapat diramalkan sesuai dengan karakteristik sosial yang melingkupinya. Diagram 1.2 Model Sosiologi Bagi Keputusan Memilih18 Karakteristik sosial-ekonomi sebagai basis bagi pengelompokan sosial
Berpengaruh kepada: - Kelas sosial - Status ekonomi - Pendidikan
Menentukan: - Tujuan kelompok - Type kepemimpinan - Aktivitas rutin - Sistem komunikasi internal
Persepsi
Keputusan memilih
Lingkungan
- Agama Dari diagram tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam Pilkada secara langsung, perilaku pemilih dipengaruhi oleh latar belakang karakteristik sosial-ekonomi sebagai basis pengelompokan sosial diantara pemilih. Pengelompokan sosial ini berpengaruh terhadap kelas sosial pemilih, status ekonomi pemilih, pendidikan pemilih dan agama yang dianut oleh pemilih. Dari latar belakang tersebut, akan menentukan terhadap tujuan kelompok dimana pemilih berada, tipe kepemimpinan yang diinginkan oleh pemilih, aktivitas-aktivitas rutin pemilih dan sistem komunikasi dimana pemilih berada. Dari hal tersebut akan melahirkan persepsi pemilih terhadap pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan persepsi tersebut dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan (baik eksternal maupun internal) dimana pemilih berada yang pada akhirnya akan menentukan keputusan memilih atau tidak memilih terhadap pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang Sosiologis berusaha memahami perilaku pemilih dari perspektif hirarki kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Kelompok sosial tersebut, bisa terpetakan dalam berbagai kategorisasi, seperti kelas, agama, etnisitas, pekerjaan, penghasilan dan lain-lain.
17 18
Ibid. hlm 9. Ibid. hlm 10.
FISIP UNWIR Indramayu
7
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
Imawan mengemukakan pula bahwa kelemahan utama dari model Sosiologi adalah kenyataan bahwa memilih merupakan satu tindakan individual. Bukan satu tindakan kolektif. Dapat saja seseorang dijejali dengan norma-norma sosial yang berlaku. Tetapi tidak ada jaminan bahwa pada saat seseorang menentukan pilihan, dia tidak akan menyimpang dari norma yang dimilikinya. Dengan kata lain, selalu ada kemungkinannya bahwa seseorang akan bertindak menyimpang dari norma-norma atau keyakinan kelompoknya19. 2) Mazhab Michigan (Michigan School) Pendekatan ini sebenarnya merupakan respons terhadap pendekatan yang pertama. Pendekatan ini mengemukakan aspek sosio-psikologis yang menentukan tindakan memilih, yang dikembangkan oleh “The Survey Research Center, University of Michigan”. Karena itu, model ini lebih dikenal sebagai Michigan School, atau “Mazhab Psikologi” 20. Mengamati para pemilih dalam Pemilu Amerika Serikat, mazhab Psikologi ini membangun asumsi bahwa penentuan pilihan politik sangat ditentukan oleh pengaruh kekuatan psikologis. Penentuan untuk memilih atau memihak kepada satu kekuatan politik, dipandang sebagai produk dari sikap dan disposisi psikis para pemilih. Karena itu, kata mereka: “voting is in the end an act of individuals, and the motives for this act must be sought in psychological forces of individual human beings.”21 Mazhab psikologis ini percaya bahwa tingkah laku memilih dari seseorang dapat dideteksi dengan dua konsep. Pertama, disebut political involvement, yakni perasaan penting atau tidak untuk terlibat ke dalam isu-isu politik yang bersifat umum (general). Kedua, disebut party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai atau kelompok politik tertentu. Pada tahap awal, seseorang harus merasa yakin bahwa kehadirannya atau keikutsertaannya dalam proses politik memang sangat diperlukan. Hanya dengan memiliki perasaan seperti ini, maka seseorang akan memiliki kepedulian politik yang tinggi. Dia akan termotivasi untuk memperhatikan serta memberikan respons terhadap perkembangan isu-isu politik yang ada. Tahap awal ini akan segera diikuti dengan kesadaran bahwa berpolitik tidak lepas dari berorganisasi. Dunia politik sangat mengandalkan legitimasi massa. Legitimasi ini sangat sulit diperoleh bila seseorang bertindak seorang diri. Satu hal yang menarik untuk dikemukakan adalah, sekalipun seseorang terikat atau berafiliasi dengan satu partai tertentu, tidak berarti bahwa norma partai yang ada akan menentukan pilihannya. Pilihan atau tindakan politik seseorang, sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang isu-isu kontemporer yang berkembang dalam masyarakat. Isu-isu ini dapat berbentuk isu jangka pendek (Short Term Issue), dan isu jangka panjang (Long Term Issue). Secara diagramatik model pemikiran Michigan School ini dapat digambarkan sebagai berikut: Diagram 1.3 Model Psikologi Untuk Memilih
Short Term Issues Party Identification
Voting Behavior
Long Term Issues
19
Ibid. hlm 11. Ibid. 21 Ibid. 20
8
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Sekalipun tampak “ringkas” dan “sederhana”, variabel-variabel di atas mencakup dimensi yang sangat luas. Seperti yang dikatakan oleh Paul Alien Beck: “The American voters employs virtually all of the concepts conventionally drawn upon in analyzing voter choice; attitudes toward parties, candidates, and issues, party loyalities, ideology, election laws, social group membership, social class, economic outlooks, farm conditions, geographical mobility, education, incupations, sex, personality and party performance”.22 Namun demikian, variasi yang luas itu sebenarnya dapat dikelompokan ke dalam enam faktor. Keenam faktor itu: (1) identifikasi terhadap partai; (2) persepsi pemilih terhadap atribut-atribut pribadi masing-masing calon (candidate); (3) kepentingan kelompok yang mereka wakili; (4) isu-isu politik dalam negeri; (5) isu-isu politik luar negeri; (6) penampilan partai dalam mengelola pemerintahan. Cara berfikir kelompok Michigan ini juga tidak luput dari kritik. Setidaknya ada tiga kelemahan utama dari pemikiran kelompok Michigan. Pertama, model ini hanya menekankan pengaruh satu arah (one way influence). Identifikasi terhadap partai dianggap sebagai varibel bebas yang mempengaruhi isu jangka pendek, isu jangka panjang, kemudian keputusan memilih. Model ini menihilkan kemungkinan adanya pengaruh balik (feedback influence) dari, misalnya, isu jangka pendek terhadap identifikasi partai. Dapat saja seseorang secara formal berafiliasi ke satu partai. Tapi di saat dia akan memberikan suaranya, dia teringat akan posisi partai tentang satu isu yang tidak sesuai dengan pandangannya. Dia kemudian memutuskan untuk tidak memilih atau bahkan pindah dan berafiliasi ke partai yang lainnya. Kedua, pengaruh langsung yang dikemukakan dalam model ini, bisa saja menjadi pengaruh yang tidak langsung (indirect influence). Adanya kemungkinan hubungan yang bersifat timbal balik (reciprocal) antar variabel-variabel yang terlibat, dapat mengakibatkan turunnya daya penjelas langsung antara identifikasi ke partai dengan keputusan memilih. Ketiga, sebagai konsekuensi dari kelemahan-kelemahan di atas, maka identifikasi partai tidak selamanya berfungsi sebagai faktor penjelas (independent variable). Faktor ini dapat pula berubah menjadi faktor yang dijelaskan (dependent variable). Menyadari kelemahan-kelemahan di atas, serta pada saat yang bersamaan kekuatan dari pemikiran Sosiologis, maka para analis berusaha untuk memperbaharui pola pemikiran Kelompok Michigan. Viorina, misalnya, menemukan bahwa identifikasi ke satu partai itu sebenarnya merupakan keputusan yang berkembang berdasarkan pada identifikasi partai terdahulu (past party identification), penilaian-penilaian penampilan partai di masa lalu (retrospective evaluations of performance), dan harapan-harapan terhadap partai itu di masa mendatang (future expectations).23 Dengan demikian, identifikasi terhadap partai itu bersifat dinamis. Dapat berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Berdasarkan hasil temuannya itu, Viorina berusaha melakukan rekonstruksi atas pemikiran Kelompok Michigan. Dia mensinyalir bahwa identifikasi ke partai merupakan produk dari sosialisasi politik yang diterima seseorang, pemahamannya akan sejarah bangsanya, dan pemahamannya akan peristiwa politik yang sedang berlangsung. Dengan demikian, sebelum identifikasi partai ini berinteraksi dengan isu jangka pendek maupun isu jangka panjang, terlebih dahulu mendapat pengaruh dari sosialisasi, sejarah, dan peristiwa politik. Sehingga pengembangan model kelompok Michigan dapat digambarkan sebagai berikut:
22 23
Ibid. hlm 13. Ibid. hlm 13-14.
FISIP UNWIR Indramayu
9
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
Diagram 1.4 Pengembangan Model Kelompok Michigan 24 Sos Pol
Is. Pol
Sejarah
Id. Partai
I.P.K
Kep. Pil
Is. Kand
Keterangan: Sospol
: Sosialisasi Politik.
Sejarah
: Pemahaman akan Sejarah.
I.P.K.
: Isu Politik Masa Kini.
Is. Pol.
: Isu Politik secara Umum.
Is. Kand.
: Isu seputar Kandidat yang akan ditampilkan.
Kep. Pil.
: Keputusan untuk memilih.
Dari diagram tersebut terlihat, bahwa kunci utama bagi satu partai untuk memelihara keterikatan anggotanya terletak pada interaksi antara tiga anteseden variabelnya. Nilai-nilai yang disosialisasikan harus sesuai pengalaman sejarah yang dipahami. Nilai-nilai itu juga harus dapat menyediakan landasan yang cukup kuat, agar dapat digunakan untuk menginterpretasikan isu-isu politik yang berkembang. Interpretasi itu sendiri sebenarnya tidak pernah lepas dari dengan pengalaman sejarah. Kuatnya ketiga variabel anteseden ini, tidak menjamin bahwa orang yang secara formal berafiliasi ke satu partai, benar-benar akan memberikan suaranya pada kandidat calon Kepala Daerah. Keputusan memberi suara, masih tergantung kepada perkembangan isu politik secara umum, serta penampilan atau kemampuan kandidat menangkal atau mengantisiapsi isu-isu tersebut. 3) Pendekatan Rasional Pada kenyataannya sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari satu pemilihan ke pemilihan lainnya, peristiwa atau kejadian politik dan sosial tertentu dapat mempengaruhi perilaku politik seseorang. Begitu pula dengan acara kumpul-kumpul seperti majelis ta’lim atau pengajian jika dikemas dengan substansi dan strategi tidak mustahil dapat pula mempengaruhi preferensi pemilih. Ketertarikan pemilih pada isu-isu tertentu dan figur kandidat yang ditawarkan oleh partai politik bersifat situsional dan tidak selalu permanen dan bisa berubah-ubah, dan tidak terlepas dari peristiwa sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung menjelang dan selama pilkada secara langsung. Dalam pendekatan rasional, perilaku pemilih ditentukan pula oleh faktor-faktor tertentu seperti prosedur dan aturan main dalam pilkada. Bahkan aturan main yang menguntungkan calon tertentu (yang biasanya disertai ancaman dan paksaan) merupakan salah satu strategi kunci calon untuk memenangkan pilkada. Faktor lainnya adalah imbalan ekonomi dan imbalan lainnya terutama yang ditujukan kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi turut pula mempengaruhi perilaku mereka.
24
Ibid. hlm 15-16.
10
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Pendekatan rasional menekankan bahwa para pemilih benar-benar rasional dalam memilih dan melakukan penilaian yang valid terhadap tawaran calon Kepala Daerah. Pemilih rasional biasanya memiliki sifat rasional sebelum menjatuhkan pilihannya, motivasi yang tinggi, prinsip yang kuat, memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup luas, pilihan mereka terhadap calon Kepala Daerah bukanlah faktor kebetulan atau kebiasaan, bukan pula untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan umum.
Adapun ciri-ciri pemilih rasional antara lain: 1.
Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada suatu alternatif;
2.
Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama dengan atau lebih rendah dibandingkan alternatif lain;
3.
Menyusun alternatif secara transitif; Jika A lebih disukai daripada B, dan B lebih baik daripada C, maka A lebih disukai daripada C.
4.
Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih tinggi;
5.
Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif yang sama.25
4) Pendekatan Domain Kognitif (Political Marketing) Newman & Sheth (1985) mengembangkan model perilaku pemilih berdasarkan beberapa domain yang terlibat dengan marketing dalam pengembangan model tersebut. Mereka menggunakan dasar pemikiran bahwa perilaku pemilih berdasarkan kepada sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti komunikasi dari mulut ke mulut, media massa (baik elektronik maupun cetak). Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksi perilaku pemilih. 26 Adman Nursal mengemukakan bahwa political marketing bertujuan untuk “membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi perilaku pemilih. Perilaku pemilih diharapkan adalah ekspresi pendukung dengan berbagai dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat tertentu”.27 Menurut Nursal, ada lima hal mengapa political marketing bisa berkembang di Indonesia : 1)
Sistem multi partai yang memungkinkan siapa saja boleh mendirikan partai politik dan konsekuensinya menyebabkan persaingan tajam antar parpol.
2)
Pemilih telah lebih bebas menentukan pilihannya dibandingkan pemilu sebelumnya, sehingga syarat bagi penerapan political marketing terpenuhi.
3)
Partai-partai lebih bebas menentukan platform dan identitas organisasinya.
4)
Pemilu merupakan momentum sejarah dalam perjalanan bangsa sehingga pihak-pihak kepentingan terutama para elit politik akan berusaha keras untuk ambil bagian.
5)
Sistem pemilihan anggota parlemen, DPD, dan Presiden secara langsung, yang kelak akan diikuti oleh pemilihan gubernur, bupati dan walikota.28
Keempat model tersebut satu sama lain saling menguatkan dan saling melengkapi. Akan tetapi, model-model tersebut tidak dapat begitu saja diterapkan untuk menganalisis kehidupan politik di Indonesia, baik dalam pemilu maupun pilkada secara langsung. Menurut Imawan Setidaknya ada empat perbedaan mendasar antara pengamatan empiris di Amerika Serikat dengan situasi di Indonesia,29 keempat perbedaan tersebut adalah:
25
Nursal, Adman. 2004. Poltical Marketing. Jakarta: Gramedia. hlm 67. Ibid. hlm 69. 27 Ibid. hlm 23. 28 Ibid. hlm 9-10 29 Imawan. op.cit. hlm 24-26. 26
FISIP UNWIR Indramayu
11
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
Pertama, budaya politik di Amerika Serikat terkesan “sangat demokratis”, dimana pemilih dengan sadar dan penuh kebebasan dapat menentukan pilihannya sendiri. Sebaliknya di Indonesia, yang baru “belajar demokrasi” faktor mobilisasi dan juga faktor euforia demokrasi sangat menentukan dan keberanian seseorang dalam menentukan pilihannya. Kedua, sistem informasi di Amerika Serikat sudah sangat maju, sehingga memungkinkan masyarakatnya menerima informasi secara luas dan terbuka, yang memungkinkan pemilih berfikir soal alternatif pilihan secara rasional. Sebaliknya, di Indonesia, meskipun kebebasan pers sudah terbuka pemilih belum dapat mencerna informasi politik secara luas dan mendalam sebelum menentukan pilihannya. Ada beberapa sebab, antara lain kebebasan pers selama ini cenderung “kebablasan”, masih kentalnya pola hubungan patron-clients dan juga sentimen primordialisme dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, praktek politik di Amerika Serikat mengenal sistem kandidat. Masyarakat secara langsung mengenal wajah ataupun ide-ide dari calonnya, sehingga orang memilih wakilnya sesuai dengan kualitas kandidat yang sebenarnya. Sebaliknya, di Indonesia praktek politik dengan sistem kandidat baru pertama kali dilaksanakan yaitu pada Pemilihan Presiden secara langsung, dan dalam Pilkada secara tahun 2005. Dalam pemilu legislatif, sistem kandidat ini masih dikombinasikan dengan sistem gambar, sehingga urutan kandidat masih “ditentukan” oleh partai politik yang bersangkutan. Dalam sistem ini sangat dimungkinkan adanya calon yang tidak mampu tetapi ditempatkan di nomor urut atas dan calon yang mampu ditempatkan di nomor urut bawah, sehingga sistem ini sangat menguntungkan calon yang berada di nomor urut atas. Keempat, pelapisan sosial di Amerika Serikat didasarkan atas ekonomi (seperti pola Marxian). Di Indonesia, status sosial itu bisa diperoleh dari keturunan (misal bangsawan), atau karena keyakinan agamanya. Dari pola tersebut, konsep seperti “kanan-kiri”, “liberal-konservatif”, “progresif-oposan” tidak dikenal dalam khasanah politik Indonesia. Salah satu penelitian tentang perilaku pemilih di Indonesia adalah yang dilakukan oleh Afan Gaffar. Dalam penelitiannya di Jawa Tengah, ada empat variabel yang menjelaskan perilaku pemilih. Pertama, keyakinan sosio-religius, keyakinan keagamaan merupakan variabel yang sangat signifikan dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap partai politik. Kedua, adalah identifikasi partai dalam konteks ini, perilaku pemilih sangat bergantung pada persoalan psikologis. Maksudnya sejauhmana seseorang merasa dekat secara psikologis (secara emosional) dengan partai tertentu maka sejauh itulah ia akan memilih kandidat seorang Kepala Derah. Kelekatan psikologis ini dapat dibentuk melalui institusi yang bernama sosialisasi. Ketiga, pola kepemimpinan, dalam masyarakat Jawa terdapat dua pemimpin, yaitu; Pemimpin birokratik formal dan pemimpin non formal. Perilaku pemilih biasanya sangat dipengaruhi oleh peran pemimpin non formal seperti; kyai, haji, guru, dukun dan lain-lain. Keempat, Kelas atau status sosial. Menurut konsep ini, kelas atas yang berstatus sosial yang tinggi akan memilih parpol (dalam hal ini Kepala Daerah-pen) yang status quo, sedangkan mereka yang berada di kelas bawah yang berstatus sosial rendah akan memilih partai (Kepala Daerah) yang non status quo bahkan oposan.30 Selain hal tersebut di atas, faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam memberikan suaranya adalah karakteristik sosial. Adapun karakteristik sosial yang mempengaruhi partisipasi politik dalam pemberian suara yaitu: “pendidikan, pekerjaan, penghasilan, usia, jenis kelamin”. 31 Begitu pula dengan pengelompokan sosial, seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-lakiperempuan), agama dan lain-lain, mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih.32
30
Affan Gaffar.1992. The Javanes Voters:A Case Studi of Election Under Hegemoni: Party System. Yogjakarta: Gadjah Mada University. hlm 124. 31 Campbel Angus. 1976. The Amerikan Voter. Unbridge Edition: University of Chicago Press. hlm 475. 32 Dean Jaros, et al. 1974. Political Behavior Choice and Perspektif. New York: St Martin Press.
12
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, peneliti menyimpulkan ada empat faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih, yaitu: karakteristik sosial, identifikasi partai politik, orientasi kandidat dan, orientasi isu. Dari keempat faktor tersebut, dalam Pilkada secara langsung, peneliti melihat ada dua faktor utama yang mempengaruhi perilaku pemilih yaitu orientasi kandidat dan orientasi isu.33 DAFTAR PUSTAKA Affan Gaffar. 1992. The Javanes Voters:A Case Studi of Election Under Hegemoni: Party System. Yogjakarta: Gadjah Mada University. Arbi Sanit. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogjakarta: Pustaka Pelajar Campbel Angus. 1976. The American Voter. Unbridge Edition: University of Chicago Press. Dean Jaros, et al. 1974. Political Behavior Choice and Perspektif. New York: St Martin Press Gosnel F Horald. 1934. Ensyclopedia of The Social Science. New York: Mc Grew Hill Book Company. Joko J. Prihatmoko.2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nursal, Adman. 2004. Political Marketing. Jakarta: Gramedia Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. Riswandha Imawan. 1993. Analisis Hasil Pemilihan Umum 1992 di Indonesia (Laporan Penelitian). Yogjakarta. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 56-119, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah. Samuel P Huntington dan Joan Nelson. 1994. Gelombang Demokrasi ketiga. Jakarta: Rineka Cipta. Sobirin Malian. 2004. Menakar Loyalitas dan Volatilitas Pemilih Pada Pemilu 2004 (dalam Jurnal UNISIA NO.51/XXVII/I/2004). Yogyakarata. Sutoro, Eko. 2004. Mengkaji Ulang Otonomi Daerah dalam Herudjati Purwoko dan Pradjotta Dirdjosanjoto (peny). Desentralisasi dalam Perspektif Lokal. Salatiga: Pustaka Percik Syaukani, HR, Drs. Prof. Dr. Afan Gaffar, MA, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan
33
Posisi partai politik hanya berperan pada saat pencalonan saja, setelahnya partai tidak banyak begitu berperan dengan kata lain pengaruhnya tidak begitu besar. Dalam Pilkada secara langsung di Kabupaten Sukabumi hal ini terlihat dari kalahnya calon yang diusung oleh partai –partai politik besar pemenang Pemilu legislatif.
FISIP UNWIR Indramayu
13