Politik Hukum Perburuhan di Indonesia Oleh Restaria F Hutabarat, SH 1. Pendahuluan Kebijakan perburuhan terbukti tidak pernah muncul tiba-tiba. Ia (baca: kebijakan) senantiasa dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu yang disusupkan dalam grand strategy kebijakan nasional (selective mirror thesis: hukum mencerminkan kepentingan pihak tertentu). Trauma tiga paket kebijakan perburuhan ( UU No 21 Tahun 2000, UU No 13 Tahun 2003 dan UU No 2 Tahun 2004) belum usai, kini buruh harus lagi berhadapan dengan rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang merupakan kelanjutan dari UUK yang sudah bermasalah sejak awalnya. Tiga Paket Kebijakan perburuhan tersebut dilatarbelakangi oleh program globalisasi Multi National Coorperation yang didirikan oleh Negara-negara kaya kapitalis di dunia. MNC inilah yang kita kenal antara lain sebagai IMF dan World Bank. Dengan dalih mengentaskan kemiskinan, IMF menawarkan pemberian hutang kepada Indonesia dengan syarat Indonesia harus melakukan perubahan beberapa kebijakan agar lebih menguntungkan Negara-negara kapitalis tersebut. Dalam salah satu pasal dalam Letter of Intent[2] dinyatakan bahwa Indonesia harus melakukan beberapa perubahan yang berkaitan dengan perburuhan, salah satunya adalah adanya flexibility labour marketatau dalam bahasa awam dikenal dengan hubungan perburuhan yang bersifat fleksibel. Following the major reform of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market[3] Bagan berikut menunjukan beberapa pasal dalam 3 Paket Kebijakan yang tidak berpihak pada buruh UU No 21 Tahun 2000
UU N0 13 Tahun 2003
UU No 2 Tahun 2004
Politik pecah
Pasal 5 ayat (2)
Pasal 119
Pasal 1 angka 5 Perselisihan
belah buruh
Serikat buruh
pekerja/serikat dibentuk
oleh
sekurang-kurangnya
10
(sepuluh)
orang
(2) Dalam hal di satu
antar serikat pekerja/serikat
perusahaan
hanya
buruh
serikat
antara serikat
terdapat
satu
pekerja/serikat
adalah
perselisihan
buruh
pekerja/serikat buruh dengan
dimaksud
serikat pekerja/serikat buruh
pekerja/buruh.
sebagaimana
Pasal 35
pada ayat (1) tetapi tidak
lain hanya dalam satu
Setiap perselisihan antar
memiliki jumlah anggota
perusahaan,
serikat
lebih dari 50% dari jumlah
adanya persesuaian paham
seluruh pekerja/buruh di
mengenai keanggotaan,
perusahaan maka serikat
pelaksanaan
pekerja/serikat
kewajiban keserikatpekerjaan.
buruh,
pekerja/serikat federasi
dan
konfederasi serikat pekerja/serikat diselesaikan
buruh secara
dapat
musyawarah oleh serikat
pekerja/buruh
pekerja/serikat buruh,
perundingan
buruh mewakili dalam dengan
pengusaha apabila serikat
karena
hak,
tidak
dan
federasi dan konfederasi
pekerja/serikat buruh yang
serikat
bersangkutan
pekerja/serikat
telah
buruh yang bersangkutan.
mendapat dukungan lebih
Pasal 36
50%
Dalam
hal
musyawarah
(lima
perseratus)
dari
puluh jumlah
sebagaimana
dimaksud
seluruh pekerja/buruh di
dalam
35
perusahaan
Pasal
tidak
mencapai
melalui
pemungutan suara.
kesepakatan,
perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh,
federasi
dan
konfederasi serikat
pekerja/serikat
buruh diselesaikan sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengekangan
Pasal 37
aktivitas
Serikat
serikat buruh
buruh,
pekerja/serikat federasi
dan
konfederasi
serikat
Pasal 137
Pasal 66 ayat (1)
Mogok kerja sebagai hak
Hakim Ad-Hoc tidak boleh
dasar pekerja/buruh dan
merangkap jabatan sebagai
serikat
:…
pekerja/serikat
pekerja/serikat buruh bubar
buruh dilakukan
k.
dalam hal :….
secara sah, tertib, dan
pekerja/serikat
damai
pengurus
a.
dinyatakan
oleh
anggotanya anggaran
menurut dasar
sebagai
akibat
pengurus
gagalnya perundingan.
pengusaha.
Pasal 59
Pasal 1 angka 2
dan
anggaran rumah tangga; b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk
selama-lamanya
yang mengakibatkan hubungan seluruh
putusnya
kerja
bagi
pekerja/buruh
di
perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha
terhadap
pekerja/buruh diselesaikan menurut peraturan
perundang-
undangan yang berlaku; c.
dinyatakan
dengan
putusan Pengadilan. Tidak adanya Jaminan
Pasal 37
serikat
buruh
atau
organisasi
Kerja
(Job
Security)
Serikat
pekerja/serikat
buruh,
federasi
dan
konfederasi
serikat
(1) Perjanjian kerja untuk
Perselisihan
hak
adalah
waktu tertentu hanya dapat
perselisihan
yang
timbul
dibuat
karena tidak dipenuhinya hak,
untuk
pekerjaan
pekerja/serikat buruh bubar
tertentu yang menurut jenis
akibat
dalam hal :….
dan sifat atau kegiatan
pelaksanaan atau penafsiran
pekerjaannya akan selesai
terhadap ketentuan
dalam waktu tertentu,
peraturan
Jika dilanggar tidak ada
undangan, perjanjian kerja,
sanksinya
peraturan perusa-haan, atau
a.
dinyatakan
oleh
anggotanya anggaran
menurut dasar
dan
anggaran rumah tangga;
adanya
perbedaan
perundang-
b. perusahaan tutup atau
perjanjian kerja bersama.
menghentikan kegiatannya
Pasal 4 ayat (1)
untuk
Dalam hal perundingan bipartit
selama-lamanya
yang
gagal sebagaimana dimaksud
mengakibatkan hubungan seluruh
putusnya
kerja
dalam Pasal 3 ayat
bagi
pekerja/buruh
(3), maka salah satu atau
di
kedua
belah
pihak
perusahaan
mencatatkan perselisihannya
setelah seluruh kewajiban
kepada
pengusaha
instansi
terhadap
yang
bertanggung
pekerja/buruh diselesaikan
jawab
menurut
ketenagakerjaan
peraturan
perundang-
di
dengan
undangan yang berlaku;
melampirkan
c.
upaya-upaya
dinyatakan
bidang setempat
dengan
bukti
bahwa
penyelesaian
putusan Pengadilan.
melalui perundingan bipartit
Pasal
telah dilakukan.
Deregulasi
Pasal 38
Pasal 64
perlindungan
1. Pengadilan sebagaimana
Perusahaan
dapat
Perselisihan
hak
adalah
hak buruh
dimaksud dalam Pasal 37
menyerahkan
sebagian
perselisihan
yang
timbul
huruf
pelaksanaan
pekerjaan
c
dapat
Pasal 1 angka 2
karena tidak dipenuhinya hak,
membubarkan
kepada perusahaan
akibat
serikat
lainnya melalui perjanjian
pelaksanaan atau penafsiran
pemborongan
terhadap ketentuan peraturan
pekerja/serikat
buruh,
federasi
konfederasi
dan serikat
atau
pekerjaan
penyediaan
jasa
adanya
perbedaan
perundang-undangan,
pekerja/serikat buruh
pekerja/buruh
perjanjian
dalam hal:
yang dibuat secara tertulis.
per-usahaan, atau perjanjian
a.
serikat pekerja/serikat
buruh,
federasi
konfederasi
dan serikat
pekerja/serikat buruh
mempunyai
asas
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; b.
pengurus
dan/atau
anggota atas nama serikat
kerja,
kerja bersama.
peraturan
pekerja/serikat
buruh
terbukti melakukan
kejahatan
terhadap keamanan negara dan dijatuhi pidana penjara sekurang-kurangnya
5
(lima) tahun yang telah mempunyai
kekuatan
hukum tetap. 2. Dalam hal putusan yang dijatuhkan pelaku
kepada tindak
para pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, lama hukumnya tidak sama, maka sebagai dasar gugatan serikat buruh,
pembubaran pekerja/sserikat federasi
dan
konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh
digunakan putusan yang memenuhi syarat. 3.
Gugatan
serikat buruh,
pembubaran pekerja/serikat
federasi
dan
konfederasi serikat pekerja/serikat sebagaimana
buruh dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diajukan oleh instansi
pemerintah
kepada pengadilan tempat serikat
pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan berkedudukan.
· Kebijakan Upah Murah Salah satu daya tarik yang digunakan pemerintah untuk menarik investor ke Indonesia adalah murahnya upah buruh Indonesia. Perusahaan-perusahaan transnasional seperti Nike, Adidas, GAP berdasarkan penelitian John Pigler selalu memilih Negara-negara maju dan berkembang sebagai tampat pembuatan barang produksi, dengan demikian biaya produksi data ditekan sedemikian rupa
karena upah buruh di Negara maju dan berkembang rendah. Negara-negara berekembang tersebut adalah Cina, Indonesia, Vietnam, Thailand dan beberapa Negara lain di Asia dan Afrika. Dari penelitian di atas, maka kita dapat melihat bahwa buruh murah sebagai daya tarik bagi investor bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga fenomena yang mendunia. Di salah satu pabrik mainan anak-anak di Cina misalnya, membayar buruhnya dengan upah yang sangat murah. Bagan di bawah ini membuktikan bagaimana Tahun
KHL menurut pemerintah
Rp 759.953
Rp 711.843
Rp. 1.100.020
Rp 819.100
Rp 991.988.
Rp 900.500
Kondisi ini menggambarkan betapa pemerintah senantiasa berupaya menekan upah buruh seminimal mungkin. Pertama, penghitungan UMP didasarkan pada standar kebutuhan hidup layak seorang pria lajang di , yang berarti berarti menghilangkan kebutuhan faktual buruh untuk juga memenuhi kebutuhan keluarganya. Kedua, pemerintah masih juga menetapkan UMP di bawah jumlah yang dihitung oleh Dewan Pengupahan yang notabene merupakan lembaga resmi yang ditunjuk oleh UU. Di DKI Jakarta, secara nominal UMP memang naik sebesar 9,9 % . Namun kenaikan tersebut tetap tidak mendekatkan buruh pada kebutuhan hidup layak, karena selama tahun 2006 terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, pun mengakui kenaikan UMP dilakukan setelah mempertimbangkan inflasi tahun 2007 yang mencapai 7% dan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,6% sehingga kenaikan upah hanya bisa menutup biaya hidup yang semakin bertambah akibat kenaikan harga.[4] Dengan kata lain tidak terjadi peningkatan kesejahteraan buruh. Pemerintah tetap mempertahankan kondisi buruh yang dibayar di bawah kebutuhan hidup layaknya! Belum selesai tentang besaran upah minimum yang menimbulkan permasalahan serius, UU Ketenagakerjaan versi pemerintah yang baru justru mengurangi besaran pesangon dan uang pensiun. Dengan argumentasi bahwa pesangon terlalu membebani pengusaha dan tidak adanya dasar ekonomi bahwa pengusaha masih harus menanggung kehidupan buruh ketika buruh tersebut tidak lagi bekerja untuk pengusaha tersebut. Di beberapa negara maju memang hak atas pesangon telah dihapus. Penghilangan kewajiban pesangon dan uang pensiun dilakukan dengan menerapkan sistem kerja kontrak. Setelah masa kerja selesai, pengusaha tidak perlu memberikan uang pesangon kepada buruh. Masyarakat seringkali tidak peka bahwa sistem kerja kontak bukan hanya mengakibatkan tidak adanya kepastian kerja (job security) tetapi juga tidak adanya jaminan mendapatkan kebutuhan hidup layak. Padahal pesangon dan/atau uang pensiun diharapkan sebagai jaring pengaman bagi buruh yang tidak lagi bekerja. Mengingat selama buruh tersebut bekerja, ia tidak mendapatkan upah yang mencukupi kebutuhan hidup layak bagi keluarganya, apalagi untuk tabungan hari tua. Uang pesangon dan/atau pensin inilah yang diharapkan menutupi kebutuhan buruh dan keluarganya setelah Ia tidak mampu lagi bekerja/ tidak produktif. Mengingat di Indonesia, negara tidak memberikan jaminan social bagi pengangguran, walaupun pengangguran tetap memberikan pajaknya buat negara. Tidak adil jika membandingkan Indonesia dengan negara maju yang telah menghapuskan aturan uang pesangon dan/pension tetapi memberikan jaminan social bagi warga negaranya yang tidak bekerja. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup layak seorang buruh, Pesangon dan uang pensiun bukanlah derma pengusaha tetapi merupakan uang penebusan dosa pengusaha yang tidak membayar buruhnya sesuai kebutuhan hidup layak.
SK Gubernur DKI Jakarta di atas memang tidak berdiri sendiri. SK Gubernur tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) yang memuat guideline bagi seluruh kepala daerah di Indonesia dalam membuat kebijakan upah di daerahanya masing-masing. Berdasarkan Permenaker No 17 Tahun 2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahap Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak terdapat beberapa komponen kebutuhan hidup layak untuk menghitung besar UMP. Komponen tersebut adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Salah satu contoh bagaimana Pemerintah menentukan besaran upah berdasarkan penghitungan kebutuhan yang sangat minimal adalah komponen untuk perumahan. Yang dimaksud dengan komponen perumahan adalah segala komponen kebutuhan tempat tinggal dan perangkatnya untuk 1 bulan yang terdiri dari: Kebutuhan untuk perumahan
Kualitas
Sewa kamar
Sederhana
Dipan/tempat tidur
No.3 polos
Jumlah
Satuan
1 bulan
Kasur dan bantal
Seprei dan sarung bantal
Katun
Meja dan kursi
1 meja/4 kursi
Lemari pakaian
Kayu sedang
Ijuk sedang
Perlengkapan makan 1.
Piring makan
2.
Gelas minum
3.
Sendok dan garpu
Polos
3/12
Buah
Polos
3/12
Buah
Sedang
3/12
Pasang
10.00
Liter
Ceret alumunium
Ukuran 25 cm
Wajan alumunium
Ukuran 32 cm
Panci alumunium
Ukuran 32 cm
Sendok masak
Alumunium
Kompor minyak tanah
16 sumbu
Minyak tanah
Eceran
Ember plastik
Isi 20 liter
Listrik
450 watt
Bola lampu pijar/neon
25 watt/15 watt
Bulan
6/12 atau 3/12
Air Bersih
Standar PAM
Sabun cuci
Cream/deterjen
Meter kubik
Perhatikan daftar di atas, dengan dengan gaji yang sebesar UMP buruh hanya bisa menyewa kamar sederhana. Perhatikan pula jumlah perlengkapan rumah tangga yang jumlahnya ditulis dalam bentuk pecahan karena perlengkapan dihitung sesuai kebutuhan satu bulan. Secara ekstrim, karena UMP hanya mampu menutupi biaya untuk membeli dipan untuk satu orang sebanyak 1/48 buah maka seorang buruh dengan gaji UMP baru bisa membeli sebuah dipan untuk satu orang setelah bekerja 48 bulan atau 4 tahun! Inipun jika buruh tersebut adalah buruh laki-laki yang melajang, jika si buruh dengan gaji UMP tersebut adalah perempuan ataupun punya keluarga maka jika memiliki kebutuhan lain dengan gaji UMP tersebut tersebut si buruh harus tambal sulam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, secara ekonomis buruh tersebut memerlukan waktu lebih dari 4 tahun untuk bias membeli sebuah dipan. Sehingga menjadi mustahil seorang buruh mampu memiliki rumah sendiri, sebab berdasarkan data Perumnas terakhir harga rumah sangat sederhana adalah Rp 24 juta. Mari bandingkan dengan alokasi UMP untuk tabungan yaitu sebesar 2 % dari UMP (besar terakhir tahun 2007 sebesar Rp 900.500) yang jika dinominalkan sebesar Rp 18.100 untuk sebulan. Dengan kata lain, buruh lajang baru bisa membeli rumah sangat sederhana setelah bekerja 1333,3 bulan atau 111 tahun! karena tidak ada pengembang yang menyediakan cicilan kredit rumah sebesar Rp 18.000,00 per bulan. Begitulah nasib buruh di Indonesia, hamper mustahil memiliki rumah di negeri sendiri. 4. Kondisi Dunia yang melatarbelakangi kebijakan perburuhan Menurut PBB, pada tahun 1970 jumlah TNC adalah 7.000 buah. Di tahun 1997 TNC bertambah menjadi 44.000 buah dengan 280.000 afiliasi di seluruh dunia. Dari jumlah itu, hanya 200 TNC yang paling dominan.Data ini menunjukan bahwa TNC (baca: perwujudan neoliberalisme) semakin hari semakin berkembang. Dari banyaknya TNC yang bertambah terdapat 200 TNC saja yang memiliki keuntungan tertinggi yang membuat pemilik TNC tersebut memiliki kekayaan sama dengan kekayaan sebuah negara. Bahkan biaya yang dikeluarkan untuk mengelola sebuah TNC jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengelola suatu negara[5]. Misalnya uang yang dihabiskan di perusahaan garmen Walmart untuk pakaian dalam dan barang-barang diskon di tahuan 1997 senilai dengan PBD 163 negara. Dalam pengertian yang lebih ekstrim, sebuah TNC dapat membiayai hidup suatu negara. Sehingga tidak mustahil sebuah TNC membiayai negara untuk kepentingan pengelolaan TNC.
· Lembaga Multinasional IMF adalah lembaga yang didirikan pada tahun 1944 beranggota 184 negara. Didirikan untuk mendukung kerjasama moneter internasional keuangan, stabilitas nilai tukar uang dan pengaturan, mendorong pembangunan ekonomi, memberikan pinjaman bagi Negara-negara yang membutuhkan. Dalam memberikan pinjaman, IMF dan Negara peminjam membuat ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian pinjam meminjam untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi, social dan politik Negara peminjam.[6] Sedangkan WTO adalah lembaga internasional yang didirikan pada tahun 1995 untuk mengurus masalah pengaturan perdagangan antar Negara dengan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan Negara-negara dan parlemen. Tujuan utama WTO ialah untuk membantu para pengusaha penghasil barang/jasa, importir maupun maupun eksportir dalam menjalankan bisnis mereka.[7] World Bank didirikan pada tahun 1944 dengan tujuan sebagai sumber keuangan vital membangun Negara-negara di dunia. Salah satu program yang dilakukan Wolrd Bank adalah memberikan pinjaman kepada Negara-negara miskin dengan bungan lunak, membantu Negara-negara peminjam dalam aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dll. Tujuan World Bank ialah untuk menghapuskan kemiskinan dan keberlanjutan pembangunan. Dalam pemahaman Wolrd Bank, yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan ialah pertumbuhan ekonomi, membangun iklim yang baik untuk investasi.iklim investasi yang baik dianggap mampu menjawab permasalahan kemiskinan di suatu negara. Dari uraian singkat di atas mengenai lembaga multinasional di atas, maka dapat terlihat bahwa tujuan didirikannya lembaga-lembaga tersebut ialah untuik mempermudah pengusaha dalam melebarkan sayap bisnisnya di seluruh dunia. Bagaimana Lembaga Multinasional tersebut menguasai dunia? IMF menguasai negara-negara yang dilanda krisis ekonomi lewat Program Penyesuaian Struktural (SAP=Structural Adjustment Program) dengan kontrak LOI (letter of intent). Dalam kontrak ini terdapat klausul-klausul dalam perjanjian konvensional yang memuat sejumlah hak dan kewajiban yang negara peminjam (debitur) dan lembaga yang memberi pinjaman (kreditur) .Indonesia menjadi pasien IMF sejak krisis 1997, dengan paket bantuan $ 43 milyar; juga program bail-out utang swasta (obligasi) yang sekarang berjumlah Rp 600 trilyun. Salah satu kewajiban yang harus dilakukan Indonesia sebagai negara peminjam ialah menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU Hak Kekayaan Intelektual, UU Sumber Daya Air, dll.[9] Sedangkan WTO mendikte strategi dan program pembangunan di negara-negara berkembang lewat pinjaman proyek dan pinjaman program berdasarkan SAP Di Indonesia, sebagai ketua di CGI (Consultative Group on Indonesia) yang setiap tahun memberikan utang yang sekarang berjumlah $ 140 milyar. WTO adalah Organisasi Perdagangan Dunia yang mengikat secarahukum (legal binding) anggotaanggotanya untuk menjalankan liberalisasi perdagangan dan ekonomi sebesar-besarnya untuk kepentingan ekspansi ekonomi negara maju dan TNC. WTO menjadi super-kuat, karena perjanjian-perjanjiannya (agreements) memaksa negara Berkembang untuk membuka pasarnya seluas-luasnya, memaksa Investasi asing 100%, menghapus subsidi, menswastakan pelayanan publik, memonopoli pengetahuan. Indonesia Kondisi di atas menggambarkan bagaimana kondisi Indonesia sebagai bagian dari dunia dipengaruhi TNC dan MNC. Salah satu contoh, melalui Letter of Intent yang disepakati Indonesia dan IMF, Indonesia melakukan perubahan beberapa kebijakan di bidang ketenagakerjaan, investasi, sumber daya alam, dll yang intinya mempermudah investor masuk ke Indonesia. Namun sebagaimana diuraikan di atas, investasi tanpa batas negara merupakan agenda neoliberal yang membawa lebih banyak kesengsaraan daripada kesejahteraan. Jika kebijakan Indonesia cenderung melindungi pengusaha, mengapa selalu pengusaha yang menutup perusahaannya di Indonesia? Opini yang dibangun pengusaha dan pemerintah ialah iklim investasi yang belum cukup baik sehingga masih perlu diperbaiki. Namun kasus tutupnya 3 (tiga) pabrik sepatu besar di Indonesia mematahkan opini tersebut.
Tutupnya PT Dong Joe, PT Tong Yang dan PT Spotec pada tahun 2006 ternyata bukanlah dikarenakan iklim investasi melainkan karena manajemen internal perusahaan. Hal tersebutpun diakui oleh Mari E. Pangestu.[10] Sedemikian kuatirnya Menperindag akan kepergian investor lain sehingga pasca penutupan 3 perusahaan sepatu tersebut, Menperidag melakukan pendekatan dengan buyers (investor) dan Aprisindo (Asosiasi Persepatuan Indonesia) untuk melakukan pertemuan dengan perbankan dan para pemasok mereka dan menjelaskan duduk persoalan ketiga kasus tersebut.[11] serta menjelaskan potensi bisnis persepatuan di dalam negeri dan upaya penyelamatan industri tersebut. Utang PT Dong Jo Indonesia ke bank diperkirakan mencapai sekitar 30 juta dolar AS atau sekitar Rp 300 miliar, yang sebagian besar berasal dari Bank BRI (sekitar 25 juta dolar AS) dan sisanya dari bank lain. Sedangkan utang ke pemasok mencapai sekitar Rp 150 miliar. Berangkat dari kasus tersebut, ketika pemerintah berhadapan dengan buruh dan masyarakat lainnya, pemerintah mengusung isu perbaikan iklim investasi. Masalah perburuhan dianggap sebagai penyebab tidak baiknya iklim investasi.buruh dijadikan kambing hitam atas minimnya invetor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini karena biaya untuk buruh dalam produksi dianggap lebih mudah dipangkas daripada biaya-biaya lainnya seperti pungli, bunga pinjaman bank yang tinggi, dll. Tetapi ternyata, pemerintahpun tak bisa menyembunyikan lagi bahwa penyebab utama buruknya iklim investasi bukanlah pada masalah perburuhan. Benarkan investor adalah jawaban atas masalah pengangguran? Pengusaha dan pemerintahjuga seringkali membangun opini bahwa investasi mampu menjadi jalan keluar masalah pengangguran di Indonesia. Dengan adanya perusahaan yang beroperasi di Indonesia maka akan banyak tenaga kerja yang terserap sehingga pengangguran semakin sedikit. Besarnya modal yang ditanam, ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja yang diserap. PT. Sri Tang Lingga Indonesia (PT. STL) yang memiliki pabrik karet terbesar di Indonesia, dengan kapasitas produksi 108.000 ton per tahun, dan dana investasi sebesar 20 juta dolar AS (Rp 180 milyar) diperkirakan hanya akan menyerap 600 tenaga kerja.[12] Sedangkan pabrik kelapa sawit PT Hindoli A-Vargill Company dengan investasi Rp 82 milyar dan 12,2 juta dolar AS (Ro 110 milyar) hanya menyerap 200 tenaga kerja.[13] Dari kedua kasus tersebut, dapat terlihat bahwa jumlah tenaga kerja yang diserap oleh usaha investor tidak signifikan. Namun, Keberadaan Menteri atau Presiden dalam peresmian pabrik-pabrik menggambarkan bahwa dalam kondisi apapun, pemerintah lebih memihak kepada pengusaha. 5. Pemetaan Posisi Aktor yang Mempengarugi Kebijakan Perburuhan a. Keterlibatan Serikat Buruh, Pemerintah dan Masyarakat Dalam proses pembuatan UUK, terdapat 14 akademisi dari 5 universitas negeri dari seluruh Indonesia[14] yang terlibat dalam perumusannya. Para akademisi inilah yang kemudian merekomendasikan beberapa ketentuan yang merugikan buruh antara lain: 1. adanya ketentuan hukum yang mendorong terlaksananya perundingan kolektif antara buruh dan pengusaha. 2. upah minimum merupakan jaring pengaman agar buruh dapat hidup cukup layak paling tidak pada garis kemiskinan 3. standardisasi penetapan upah minimum dengan menggunakan data kemiskinan. 4. pekerja kontrak tidak dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu saja tetap diserahkan pada kondisi actual pasar tenaga kerja 5. istirahat panjang diatur dalam UU namun pelaksanaanya diserahkan perundingan bipartid kedua belah pihak. 6. Jika upah terakhir pekerja cukup tinggi, maka besar pesangon bias lebih rendah dari UU.
Masih banyak lagi rekomendasi para akademisi yang kemudian mempegaruhi UUK yang berlaku saat ini. Namun jika diuraikan akan sangat panjang. Namun dari gambaran ini maka terlihat bagaimana keberpihakan para akademisi terhadap pengusaha yang melanggengkan pemiskinan terhadap buruh. Dalam forum Tripartid Summit tanggal 19 Januari 2005 terjadi kesepakatan untuk mengkaji kembali berbagai peraturan perundang-undangan yang dirasakan dapat menghalangi penciptaan situasi yang kondusif bagi pemulihan ekonomi Indonesia.[15] UUK yang sudah merugikan buruh, hendak diubah agar semakin merugikan buruh, menguntungkan pengusaha dan mengurangi peran pemerintah. Pada tahun 2006 terjadi aksi besar-besaran yang dilakukan oleh hampir seluruh buruh di Indonesia untuk menolak Revisi UUK yang akan diadakan pemerintah. Beberapa usulan pemerintah dalam revisi UUK adalah memangkan hak-hak buruh sebagai berikut: Berikut ini usulan revisi pemerintah yang diusung pada saat itu : 1. Pasal 35 ayat 3 UUK DIHAPUS. Artinya perusahaan tidak punya lagi kewajiban memberikan perlindungan yang mencakup kesejahterahan, kesehatan dan keselamatan kerja. 2. Pasal 59 UUK lama tentang kontrak direvisi hingga SEMUA JENIS PEKERJAAN BISA DIKONTRAK dan waktu kontrak boleh 5 tahun. 3. Pasal 64, 65, 66 tentang Outsourcing dalam UUK akan diefektifkan hingga SELURUH JENIS PEKERJAAN BISA DI OUTSORCING! Ini jelas menambah jenis penindasan yang semakin memperburuk nasib kaum buruh. Outsorcing membuat buruh tidak berhadapan langsung dengan majikan tetapi yayasan penyalur tenaga kerja yang tidak ada hubungan dengan produksi dalam perusahaan. Akibatnya hubungan kerja menjadi tidak jelas termasuk ketidakjelasan pemenuhan hak-hak buruh. 4. Pasal 68 revisi UUK memperbolehkan anak berumur 15 tahun bekerja dan bahkan untuk pengecualian anak umur 13 tahun diperbolehkan bekerja. 5. CUTI PANJANG ATAU ISTIRAHAT PANJANG DIHAPUS. 6. Pasal 88 revisi UUK tentang upah : upah adalah jaring pengaman dan TIDAK mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tetapi didasarkan pada sektor industri/usaha terlemah. Artinya memberikan peluang untuk upah murah. 7. Pasal 142 tentang mogok, revisi UUK mempersulit atau lebih jelasnya dilarang karena bisa dianggap tidak sah dan buruh bisa dituntut, mulai di PHK hingga di tuntut ganti rugi! 8. Pasal 156 revisi UUK ayat 2, buruh yang mendapat PESANGON adalah buruh yang BERPENGHASILAN LEBIH RENDAH DARI PTKP (penghasilan tidak kena pajak) DIATAS ITU TIDAK DAPAT PESANGON. Nilai PESANGON tidak lagi maksimal 8 tahun tapi DIBATASI 6 TAHUN. Uang PENGHARGAAN MASA KERJA SETELAH BEKERJA 5 TAHUN ATAU KELIPATANNYA. 9. Pasal 162 revisi UUK, BURUH MENGUNDURKAN DIRI HANYA MENDAPAT 5% DARI NILAI PENGHARGAAN MASA KERJA 10. Pasal 164 revisi UUK, BURUH yang terkena EFISIENSI (pengurangan buruh) HANYA MENDAPAT 1X NILAI PESANGON, tidak lagi 2x pesangon/PMTK. 11. Pasal 166 revisi UUK, SANTUNAN KEMATIAN BAGI BURUH MENINGGAL yang tadinya mendapat 2x nilai pesangon dan penghargaan serta uang ganti kerugian, nilai ini akan DIKURANGI DANA SANTUNAN JAMSOSTEK. 12. pasal 167 PROGRAM PENSIUN DIHAPUSKAN
Saat itu serikat buruh secara masif turun ke jalan menolak revisi UUK yang akhirnya memang berhasil menggagalkan rencana pemerintah untuk merevisi UUK. Namun, dalam aksi mogok nasional seperti itu selalu ada buruh yang kemudian dikriminalisasi. Hal ini dikarenakan mogok yang diakui oleh buruh hanyalah mogok akibat gagalnya perundingan atas kepentingan yang ada d dalam tembok-tembok perusahaan Negara belum mengakui adanya hak buruh untuk mogok menolak kebijakan yang berkaitan dengan buruh. Pada Mayday 2006, ketika serikat buruh melakukan haknya, terkadang anggota serikat buruh tersebut ditangkap, ditahan, diadili dan kemudian divonis bersalah. Sebagai contoh kasus anggota SPSI yang ditangani LBH Jakarta. Dalam aksi memperingati hari buruh mei 2006, ribuan anggota SPSI melakukan aksi di depan gedung DPR RI Jakarta. Dalam aksi tersebut ribuan buruh merubuhkan pagar gedung DPR. Tindakan perubuhan pagar tersebut didorong oleh kemarahan buruh terhadap DPR RI yang tidak menerima utusan SPSI untuk audiensi dengan DPR RI, setelah 2 jam di bawah terik matahari ribuan buruh melakukan aksi damai di depan gedung DPR.Akibat perubuhan pagar tersebut, 8 orang ditangkap dan ditahan dengan tuduhan pengrusakan barang (Pasal 406 KUHP) dan melawan perintah pejabat yang berwenang (Pasal 212KUHP). Selama mengadvokasi para buruh Tim Advokasi Buruh 3 Mei berargumentasi bahwa tindakan perubuhan gedung DPR tersebut dilakukan dalam rangkaian aksi mogok serikat buruh. Sehingga tidak tepat jika 8 buruh orang tersebut dijerat tindak pidana yang sifatnya individual. Apalagi tindak pidana yang dijeratkan aalah tindak pidana yang di luar konteks perburuhan yaitu perusakan barang dan melawan perintah pejabat yang berwenang. Saat itu terdapat lebih dari ribuan orang buruh yang saling dorong mendorong karena ada sebagai kelompok buruh yang marah dengan tindakan DPR yang tidak mengacuhkan keberadaan mereka. Bahkan megaphone yang digunakan aparat untuk memerintahkan buruh untuk bubar saat itu, tidak terdengar dengan jelas karena ramainya situasi. Tidak tepat jika 8 orang buruh tersebut ditangkap, karena saat itu polisi menyaksikan ada ribuan buruh yang mendorong pagar hingga rubuh dan tidak membubarkan diri ketika ada perintah aparat. Terdapat pelanggaran yang dilakukan aparat, mulai dari penangkapan yang terkesan asal tangkap, dan ketika ditangkap para buruh tersebut disuruh memegangi pagar DPR yang sudah rubuh kemudian difoto untuk dijadikan barang bukti juga intimidasi dari aparat selama berada di dalam, tahanan. Kasus lainnya Terjadi di tangerang, ketika 9 orang buruh ditangkap karena mengajak buruh lainnya untuk aksi. Tidak ada surat penagkapan dengan alasan buruh terangkap tangan, padahal penangkapan dilakukan beberapa saat setelah peristiwa terjadi. saat itu, terdapat manipulasi pelapor dan intimidasi dan penyiksaan terhadap para buruh yang dilakukan oknum kepolisian dan aparat Rutan. Bahkan salah seorang buruh tetap dipenjara ketika masa hukumannya telah habis. Berdasarkan kedua kasus tersebut, dapat terlihat bahwa terkadang negara bersikap represif terhadap buruh ketika buruh menggunakan haknya sebagai bagian serikat buruh.aparat kepolisian yang mengamankan buruh ketika melakukan mogok justru nmenjadi pihak yang mengancam keamanan buruh Selain itu, buruh terbukti rentan terhadap kriminalisasi. Terutama di saat-saat memperingati hari buruh, selalu ada buruh yang ditangkap, ditahan, kemudian divonis bersalah. Negara terkadang melepaskan konteks penggunaan hak serikat buruh ketika menjerat seorang individu buruh. Hal ini dikarenakan tidak diakuinya hak mogok nasional, UU 21 tahun 2000 hanya mengakui penggunaan hak mogok sebagai akibat gagalnya perundingan. Indonesia belum mengakui hak mogok buruh untuk melakukan perubahan kebijakan negara. Sehingga seringkali penggunaan hak mogok untuk mengubah kebijakan negara disamakan dengan aksi demonstrasi biasa. Buruh bukan hanya mendapatkan tindaka represif dari negara, berupa penghalang-halangan penggunaan haknya untuk berserikat. 69 anggota dan Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) di PT. PBS di Tangerang, di PHK dan tidak diberikan THR karena mendirikan serikat baru. Untuk menutupi indikasi anti union, pengusaha membiarkan serikat buruh lainnya ada di perusahaan. 69 anggota dan pengurus
PT PBS mendirikan serikat buruh baru. Modus semacam ini memang seringkali dilakukan oleh pengusaha. Namun dengan menghalangi suatu serikat buruh dan mendukung serikat buruh lainnya terdapat beberapa implikasi berbahaya. Pertama, eksistensi serikat buruh menjadi tergantung pada like and dislike pengusaha. Kedua, kondisi demikian berpotensi menyebabkan konflik horisontal antara serikat buruh yang didukung dan tidak didukung pengusan. Ketiga, dalam kondisi konflik tersebut maka akan melemahkan gerakan serikat buruh. Kehadiran pejabat Pemerintah, termasuk Presiden, dalam peresmian pabrik-pabrik adalah gambaran yang sederhana mengenai keberpihakan pemerintah pada pengusaha. Sangat tidak seimbang dengan sikap pemerintah yang sangat sulit bahkan cenderung menghindar untuk bertemu dengan buruh. Contoh dalam Mayday terbaru tahun 2007, meskipun sudah ada ribuan buruh yang mendatangi instana kepresidenan yang sudah menjadi agenda rutin namun presiden, wakilnya ataupun anggota jajaran kabinet yang bersedia menemui buruh yang menunggu di luar istana. b. Praktek ilegalisasi Serikat Buruh Kewajiban untuk mencatatkan serikat buruh ke Disnaker memang membawa permasalahan tersendiri. Karena jika suatu serikat buruh belum atau tidak tercatat maka keberadaan serikat buruh tersebut tidak diakui. Akibanya, pengurus serikat buruh tersebut tidak dapat turut serta dalam pembuatan PKB, mewakili anggotanya dalam perselisihan hubungan industrial apalagi menjadi anggota tripartid daerah maupun nasional. Namun, pencatatan tersebut seringkali bermasalah. Karena merupakan kewajiban serikat buruh di satu sisi dan kewenangan pejabat disnaker di sisi lain maka kerap terjadi penolakan pencatatan karena berbagai alas an antara lain: Dalam perusahaan yang sama telah ada serikat buruh, Anggaran Dasar belum sesuai dengan ketentuan,Tidak memenuhi persyaratan, Perusahaan keberatan, dll. Berdasarkan data Depnakertrans terdapat lebih dari 140 lebih federasi dan konfederasi serikat buruh yang tercatat di seluruh Indonesia, pemerintah hanya melibatkan 2 konfederasi. Namun dalam Tripartid Nasional, hanya 2 Konfederasi yang diikutsertakan sebagai perwakilan seluruh buruh Indonesia. Dalam proses pembuatan RPP Pesangon dan Jaminan PHK peristiwa berikut ini patut dicatat untuk mengevaluasi proses politik pembuatan. Pada tanggal 19 Juli 2007 ada 3 serikat buruh diundang oleh DEPHUMHAM melalui salah satu staf dan dibatalkan olehnya karena perintah atasan dengan alasan belum ada kata sepakat tentang konsep RPP antar departemen terkait. Tanggal 12 Juni kembali ada draft yang keluar dan hanya mengkosongkan salah satu pasal tentang nilai pesangon. Dari 140 lebih federasi dan konfederasi serikat buruh yang tercatat di seluruh Indonesia, pemerintah kembali hanya melibatkan 2 konfederasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa sebenranya tidak ada keterwakilan serikat buruh yang proporsional dalam proses pembuatan RPP. Proses yang demikian memiliki kelemahan lain yaitu tidak adanya pengawasan yang seimbang bahwa kedua RPP tersebut akan menjamin perlindungan terhadap buruh. Karena berdasarkan pengalaman beberapa kebijakan perburuhan, serikat-serikat buruh yang dilibatkan dalam pembuatan memiliki banyak kepentingan yang tidak berpihak kepada buruh.