BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Esensi dari komunikasi politik sendiri adalah proses interaksi yang melibatkan penyebaran informasi diantara politisi, media baru dan masyarakat (Norris, 2004: 1). Dengan dikatakan interaksi maka akan ada setidaknya dua pihak yang terlibat sehingga kedua pihak ini memiliki peran penting dalam terciptanya komunikasi yang interaktif. Selain itu media baru juga berperan dalam memperlancar proses komunikasi yang terjadi diantaranya. Sehingga ketiga elemen ini menjadi penting untuk ditelaah. Disini penulis tidak akan berbicara mengenai media baru dalam hubungannya dengan kampanye politik tetapi lebih kepada pemakaian media baru yakni media sosial khususnya facebook dan twitter di lingkungan organisasi pemerintahan. Sedangkan dalam hubungannya dengan masyarakat, penulis disini membatasi pada remaja mengingat remaja merupakan pengguna dengan jumlah yang relatif tidak sedikit (lihat tabel 1.1). Ketika remaja terlibat dalam komunikasi dengan pemerintah maka setidaknya remaja sendiri harus memberikan sumbangsih yakni berupa partisipasinya dalam menanggapi informasi yang diterima dari pemerintah atau dapat berupa remaja memberikan informasi kepada pemerintah. Sehingga partisipasi juga merupakan elemen penting dari terciptanya komunikasi.
Tabel 1.1 Prosentase Pengguna Facebook Berdasarkan Usia Usia (tahun) Prosentase (%) 13-15 9,6 16-17 12,1 18-24 43,5 25-34 23,9 35-44 6,5 45-54 1,8 55-64 0,6 65-100 2,0 Sumber: http://www.socialbakers.com/facebook-statistics/indonesia Prosentase penggunaan media sosial di kalangan remaja khususnya di Indonesia menempati peringkat pertama dibanding dengan usia lainnya (tabel 1.1). Tabel tersebut dapat menggambarkan bahwa facebook sebagai salah satu media sosial banyak digunakan oleh masyarakat berusia 18 hingga 25 tahun sebanyak 43,5 persen. Jika ditarik kembali dengan definisi remaja dalam tulisan ini (10 - 21 tahun) maka pengguna facebook usia remaja dapat dikatakan mencapai kurang lebih setengah dari jumlah orang dewasa. Dapat dikatakan bahwa media sosial dan remaja seolah menjadi dua kutub yang tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut dapat berpotensi bagi organisasi pemerintah untuk melirik media sosial sebagai salah satu langkah untuk mendekatkan diri dengan remaja. Lebih lanjut media sosial dapat berpotensi bagi terciptanya ruang komunikasi antara remaja dan pemerintah. Selama ini ketika berbicara mengenai komunikasi yang dilakukan di media sosial maka erat kaitannya dengan kandidat politik yang sedang berkampanye. Padahal bukan tidak mungkin apabila media sosial dimanfaatkan oleh
organisasi pemerintah
untuk mengkomunikasikan
informasi ataupun kebijakan kepada masyarakat dan khususnya remaja. Apabila dilihat dari kacamata demokrasi, idealnya media sosial dapat digunakan sebagai salah satu media penyalur aspirasi bagi masyarakat luas sehingga dapat memunculkan adanya interaksi dan pertukaran ide. Kemampuan media sosial yang dapat mengirimkan informasi yang dibarengi dengan umpan balik menjadi kunci keberhasilan proses dialog interaktif. Secara teoritis, internet dilihat sebagai harapan demokrasi terbaik sebagai salah satu media komunikasi. Internet memungkinkan menciptakan forum untuk individu atau kelompok manapun untuk didengar oleh semua. Suatu penelitian mengusulkan bahwa makna politik (internet) terletak pada kemampuan internet untuk melawan monopoli hirarki politik yang ada dengan kekuatan media komunikasi dan mungkin membangkitkan kembali demokrasi berbasis warga negara (Rheingold dalam Morris dan Morris, 2013: 589-590). Sehingga dengan internet maka masyarakat umum, elit politik maupun kalangan pemerintah kemudian memperoleh informasi dari saluran komunikasi politik mengenai perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat, peristiwa-peristiwa atau isu-isu penting. Dari sini muncullah pendapat, penilaian, persepsi dan sikap mengenai peristiwa serta tanggapan terhadapnya (Pawito, 2009: 4-5). Bagi pemerintah, informasi yang didapat dari
media
sosial
sebagai
salah
satu
saluran
komunikasi
dapat
dipertimbangkan sebagai isu penting yang dapat dimasukan ke dalam agenda setting karena isu yang dapat masuk ke dalam agenda setting tidak harus berasal dari agenda pemerintah. Sementara bagi masyarakat, saluran
komunikasi dapat digunakan sebagai media aspirasi maupun memperoleh informasi. Sementara secara keseluruhan penggunaan internet terhadap partisipasi politik di Indonesia disimpulkan oleh Lane (Vadrevu dan Lim, 2012: 23) yang menyebutkan bahwa tidak banyak terdapat pengaruh langsung media sosial terhadap proses politik akan tetap koneksi yang ditawarkan oleh internet dan media sosial berdasarkan pada aktifitas kelompok melalui prakarsa seperti petisi facebook. Artinya keberadaan internet telah dimanfaatkan oleh masyarakat dalam kehidupan pemerintahan akan tetapi manfaat dari penggunaan internet dalam bidang politik maupun pemerintahan belum dirasakan secara langsung. Sehingga dapat dikatakan bahwa internet dapat berfungsi sebagai ruang partisipasi masyarakat akan tetapi belum sepenuhnya dapat dikatakan berfungsi sebagai media yang menjembatani komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Padahal Van Wyngarden (2012: 20) mengatakan bahwa partisipasi akan bermakna apabila tidak hanya sepihak saja yang terlibat. Mengingat media sosial memungkinkan digunakan oleh pemerintah untuk memudahkan komunikasi maka penting untuk melihat peran media sosial bagi pemerintah dan partisipasi remaja di media sosial. Fokus dari penelitian ini adalah komunikasi antara pemerintah dan remaja di media sosial dalam kaitannya dengan isu kesehatan reproduksi. Ada beberapa alasan mengapa topik ini dipilih. Pertama, prosentase penggunaan media sosial seperti facebook dan twitter di Indonesia didominasi oleh kalangan remaja. Sehingga menjadi penting untuk melihat peran remaja dalam menggunakan
dan memanfaatkan media ini untuk berpartisipasi khususnya terkait isu-isu spesifik seperti kesehatan reproduksi. Kedua, Pengadilan agama Kota Yogyakarta mencatat bahwa dispensasi kawin di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan dari tahun 2012 sebesar 38 perkara dan tahun 2013 48 perkara. Dispensasi kawin sendiri diartikan sebagai permohonan untuk menikah bagi yang terhalang oleh umur yang belum diperbolehkan oleh perundang-undangan untuk menikah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pernikahan remaja di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan dari tahun 2012 ke tahun 2013 (Laporan Tahunan Pengadilan Agama kelas IA Yogyakarta). Padahal pemerintah melalui BKKBN nasional melalui rencana strategis BKKBN Tahun 2010-2014 memiliki target untuk meningkatkan usia kawin pertama perempuan menjadi sekitar 21 tahun. Selain itu menikah usia muda dan menjadi ibu muda beresiko terhadap kesehatan reproduksi si ibu (laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah BKKBN 2013). Sehingga dari sini penting untuk melihat isu kesehatan reproduksi remaja. Sementara langkah yang sering dilakukan baik oleh BKKBN ataupun dinas kesehatan sering berhubungan dengan penyuluhan bisa dikatakan terkait dengan berkomunikasi (penyampaikan informasi). Ewang Sewoko (BKKBN DIY): Kalo bkkbn lebih ke preventif, jadi mungkin mengadakan penyuluhan kemudian advokasi dan informasi (Jumat, 4 Juli 2014). Fetty Fathiyah (Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta): kita itu mempunyai kegiatan-kegiatan, kalo melalui sekolah itu, ada kegiatan uks ya yang untuk tingkat sd sama smp. kemudian kalo yang sma, ada kegiatan PKPR (pelayanan kesehatan peduli remaja). jadi, ee kalo yang untuk tingkat sd, smp itu, kita ada pelatihan kader kesehatan kalo smp, kalo sd itu pelatihan dokter kecil (Senin, 14 Juli 2014).
Ketiga, Ada beberapa cara yang dapat diambil dalam melakukan komunikasi salah satunya dapat melalui media sosial. Di Indonesia sendiri terdapat peraturan yang mengatur tentang penggunaan media sosial di lingkungan pemerintahan yakni Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 tentang pedoman pemanfaatan media sosial instansi pemerintah. Artinya pemerintah terbuka dengan perkembangan teknologi komunikasi sehingga dengan hadirnya peraturan tersebut maka pemerintah juga terbuka terhadap partisipasi masyarakat yang dilakukan di media sosial. Keempat, adanya kebutuhan penelitian untuk memahami komunikasi dan partisipasi remaja yang dilakukan di media sosial. Telah banyak penelitian semacam ini di negara lain diantaranya: 1.
Tulisan dari Bor dengan judul Using Social Network Sites To Improve Communication Between Political Campaigns And Citizens In The 2012 Election. Temuan penelitian ini adalah teknologi melalui situs jejaring sosial berkapasitas untuk menumbuhkan komunikasi interaktif antara masyarakat dan politisi. Situs jejaring sosial dalam studi ini digunakan untuk menyebarluaskan pesan kepada masyarakat luas. Politisi menanggapi pertanyaan dan kekhawatiran masyarakat kecuali jika pertanyaan berkaitan dengan sumber daya dalam kampanye. Selain itu situs jejaring sosial juga memfasilitasi pertemuan offline dan koneksi antar pendukung.
2.
Kemudian tulisan dari Seongyi and Woo-Young: 2011 yang berjudul Political Participation Of Teenagers In The Information Era
mengatakan bahwa media sosial bagi remaja Korea yang notabene memiliki kesempatan terbatas dalam partisipasi politik (voting diijinkan bagi usia 20 tahun ke atas karena orang dewasa berpandangan negatif terhadap partisipasi remaja) mampu merevolusi pola politik melalui ruang online (the online cafein Daum.net, salah satu situs portal internet tertinggi di Korea) dan menerjemahkan pendapat umum tersebut menjadi demonstrasi offline terbesar sepanjang sejarah sehingga demonstrasi dipimpin oleh remaja. Hal tersebut juga didukung oleh ketertarikan remaja terhadap politik. Kelebihan dari tulisan ini adalah untuk menjamin validitas data maka penulis tidak hanya mengandalkan hasil survay tetapi juga digunakan observasi partisipan online maupun analisis perjalanan website. Kekurangannya adalah tidak dijelaskan batasan usia remaja yang dimaksud dalam tulisan, selain itu tidak dijelaskan pula apakah demonstrasi tersebut dapat mengubah kebijakan pemerintah atau tidak. 3.
Tulisan dari Iwokwagh dkk Tahun 2014 yang berjudul New Media Interventions For Adolescent Reproductive And Sexual Health: Evidence From Nigeria. Tulisan ini mengatakan bahwa remaja di Nigeria
memiliki masalah yang berkaitan
dengan
kesehatan
reproduksi yakni 18% perempuan usia 15-19 tahun telah menjadi ibu, 4,8% sudah hamil dengan anak pertama dan masalah kesehatan reproduksi lain seperti HIV dan infeksi menular seksual. Sementara itu melalui badan nasional untuk mengontrol AIDS (NACA)
menggunakan media baru (call centre dan facebook) untuk mengintervensi permasalahan tersebut. Penggunaan media baru ini bertujuan untuk menciptakan dialog dan interaksi untuk dapat memahami remaja dan kebutuhan kesehatan reproduksi dan seksual remaja. Dampak dari media baru ini terhadap kesehatan reproduksi remaja adalah positif yang dapat dilihat dari umpan balik para individu baik dari call ataupun postingan pesan di facebook untuk mengungkapkan apresiasi atas pesan dan potongan informasi yang diterima.
Dapat disimpulkan dari penelitian tersebut bahwa media sosial dapat menciptakan komunikasi dan menimbulkan partisipasi khususnya di kalangan remaja. Dengan adanya partisipasi maka dapat menciptakan komunikasi interaktif dan keterbukaan antara pemerintah dengan remaja. Dengan begitu dapat membantu pemerintah dalam memberikan ide ataupun informasi tentang keadaan remaja dalam hubungannya dengan kesehatan reproduksi yang pada akhirnya dapat membantu pemerintah dalam mengidentifikasi masalah, mengetahui pemahaman remaja ataupun memberikan ide atas isu kesehatan reproduksi. Berangkat dari uraian diatas maka penulis berupaya untuk mencaritahu dan melengkapi penelitian dengan topik komunikasi di media sosial. Sehingga dari tulisan ini akan dapat dilihat seberapa jauh interaksi yang tercipta di media sosial antara pemerintah dan remaja.
1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah penelitian adalah Bagaimana pola dan arah kekuatan hubungan komunikasi antara pemerintah dan remaja Kota Yogyakarta melalui media sosial terkait kesehatan reproduksi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah a. Menjelaskan sejauhmana pola hubungan yang terjadi antara pemerintah Kota Yogyakarta terkait kesehatan reproduksi. b. Mengetahui dan menggambarkan kekuatan arah hubungan antara pemerintah Kota Yogyakarta terkait kesehatan reproduksi. c. Menjelaskan faktor penyebab komunikasi yang terjadi antara pemerintah dan remaja Kota Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan tersebut maka penelitian ini diharapkan memiliki manfaat antara lain: a. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini untuk melengkapi studi tentang media sosial dan kesehatan reproduksi dan dapat digunakan sebagai wahana bacaan bagi penelitian berikutnya dengan topik yang sama. b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dalam memahami media sosial dan remaja dalam isu kesehatan reproduksi yang selanjutnya informasi
tersebut dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah. Sementara itu bagi remaja, penelitian ini diharapkan sebagai bahan refleksi dalam menjalankan perannya sebagai penerima manfaat.