BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Hasil penelitian tentang penerapan model humas di Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
(PPA) ini menemukan bahwa
pada periode 2005-2010
pra
Muktamar Jelang Satu Abad Ke-46 di Yogyakarta, kecenderungan dominan model humas yang diterapkan PPA adalah model informasi publik. Sebab, semua dimensi dari model ini diterapkan oleh PPA. Sedangkan model – model humas yang lain tidak diterapkan secara utuh karena tidak semua dimensi model tersebut dipraktikkan oleh PPA. Pada dimensi efek komunikasi yang berada pada kontinuum simetris versus asimetris, komunikasi asimetris lebih mendominasi. Pada tataran praktis, komunikasi asimetris itu teraplikasikan pada situasi – situasi di mana Lembaga Humas dan Penerbitan (LHP) PPA merumuskan tujuan – tujuan program humas, merespon opini publik dan melibatkan publik pada penetapan kebijakan – kebijakan organisasi. Dimensi asimetris ini termuat pada model keagenan pers, informasi publik dan asimetris dua arah. Sementara dimensi simetris yang termuat pada model simetris dua arah hanya terlihat saat PPA menggalang kerjasama dengan pihak eksternal.
145
Pada dimensi arah komunikasi yang berada pada kontinuum satu arah versus dua arah, dimensi satu arah yang termuat pada model keagenan pers dan informasi publik lebih mendominasi. Pada tataran praktis, komunikasi satu arah itu teraplikasikan pada situasi – situasi di mana LHP PPA lebih banyak berelasi dengan
publik
melalui
mekanisme
monolog
yang
meliputi
publikasi,
penyampaian informasi serta pencitraan. LHP PPA belum sampai pada penetapan suatu aktivitas komunikasi yang khusus dilakukan untuk mendengarkan opini publik seperti penelitian dan sebagainya. Sementara itu, dimensi komunikasi dua arah dapat dilihat dari aktivitas perencanaan humas, serta langkah-langkah kegiatan seperti monitoring dan evaluasi yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Namun, karena perencanaan program yang dilakukan ini masih belum melibatkan aktivitas penelitian, maka dimensi dua arah yang diterapkan lebih mengarah pada model asimetris dua arah dibandingkan model simetris dua arah. Pada dimensi bentuk komunikasi yang meliputi komunikasi termediasi versus interpersonal, komunikasi termediasi lebih mendominasi. Pada tataran praktis, hal ini terlihat dari strategi komunikasi yang dominan digunakan yakni penerbitan rilis berita dan material tercetak yang merepresentasikan organisasi, penerbitan majalah organisasi hingga pengelolaan website dan media sosial online yang dikelola secara profesional. Bentuk komunikasi interpersonal via telepon maupun tatap muka langsung juga digunakan namun dalam frekuensi yang lebih jarang. Kontinuum bentuk komunikasi yang lebih mengarah pada format termediasi ini termuat dalam model informasi publik.
146
Sedangkan pada dimensi etik, LHP PPA cenderung menjalankan aktivitas – aktivitas humas secara etis. Pada tataran praktis, hal ini terlihat pada situasi – situasi di mana LHP PPA hanya menyampaikan informasi – informasi semi terbuka yang tidak hanya positif, perlu dan aman, tapi juga benar. Selain itu, meskipun tidak mengadopsi kode etik kehumasan, namun PPA memiliki panduan organisasi yang menghormati prinsip – prinsip etika dan sesuai dengan karakternya sebagai organisasi sosial keagamaan perempuan. Muatan etis tersebut terkandung dalam model informasi publik, asimetris dua arah dan simetris satu arah. Sementara itu, subordinasi bagian humas pada bagian sekretaris yang dilakukan pada periode 2010 - 2015 paska Muktamar Ke-46 rupanya tidak mempengaruhi penerapan model
- model humas maupun efektivitas humas
organisasi secara signifikan. Periode ini tinggal mereproduksi praktik humas periode 2005 – 2010 pra Muktamar Ke-46.
Bahkan dalam beberapa hal,
subordinasi tersebut justru merugikan organisasi baik dari sisi konsep perencanaan program humas maupun kuantitas produk-produk humas yang dihasilkannya. Penerapan humas yang didominasi oleh model informasi publik
di atas
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain latar pendidikan dan profesional sebagian besar manajemen puncak organisasi maupun ketua dan anggota bagian humas yang berada di luar bidang Ilmu Komunikasi, adanya perbedaan perspektif antara manajer puncak dengan bagian humas dalam
147
memandang kinerja humas itu sendiri, dan kultur partisipatif organisasi yang belum optimal. Di samping
itu, dominasi penerapan model humas informasi publik oleh
PPA dengan publikasi sebagai orientasi utamanya ini menyumbang satu hal penting. Secara umum teori ini mengindikasikan bahwa orientasi publikasi humas pada organisasi akan mendorong diterapkannya model keagenan pers sebagai model yang dominan digunakan. Namun pada organisasi sosial perempuan, khususnya yang bersifat keagamaan seperti ‘Aisyiyah, hal itu justru tidak terbukti. Faktor karakter organisasi sebagai organisasi sosial keagamaan perempuan rupanya mendorong organisasi untuk tetap memgang prinsip etis dalam praktik publikasi humasnya. Hal ini membuat penerapan humas yang dilakukannya, meskipun tidak ideal, namun dengan keteguhan atas etikanya itu,
lebih condong
pada model informasi publik. Dengan demikian, berdasarkan keseluruhan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa humas yang dilakukan PPA pada level organisasi belum efektif. Sebab, tipologi humas yang paling sering diterapkan belum berada pada tataran ideal.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan kepada sekretaris PPA untuk segera membentuk tim humas yang fokus mengelola humas sehingga aktivitas kehumasan organisasi bisa berjalan lebih optimal. Sebab, penelitian ini
148
menemukan bahwa meskipun secara keseluruhan tidak ada perbedaan signifikan antara penerapan humas pada periode pra dan paska Muktamar Ke-46, namun secara kuantitas, produk – produk humas justru cenderung menurun. Selain itu, perencanaan aktivitas humas yang tertulis sebagaimana penjabaran program nasional humas periode 2005 – 2010 juga belum ada. Dari sisi akademik, studi kasus pada penelitian ini baru menggambarkan model penerapan humas PPA yang merupakan representasi dari organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia. Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus tunggal. Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan penelitian baru terkait model penerapan humas yang
membandingkan penerapan humas pada
lebih dari satu organisasi dengan menggunakan studi kasus multiple atau ganda. Di samping itu, hasil penelitian ini didapat dari analisis yang disandarkan pada proposisi – proposisi The Hunt Grunig model sebagai acuan utama. Oleh karenanya, penulis menyarankan adanya usaha memperluas penelitian dengan menggunakan perspektif teoritis yang lain, atau melanjutkan penelitian dengan tema yang sama dalam pilihan domain institusi yang berbeda. Hal tersebut penting dilakukan untuk meningkatkan dokumentasi akademik mengenai model penerapan humas di Indonesia serta menambahkan perspektif Indonesia itu dalam global
public relations theory.
149