1
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS
A. Analisis Hukum Putusan Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo, Putusan Pengadilan Tingkat Tinggi, Putusan Mahkamah Agung. 1. Sistem atau Teori Pembuktian Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebnaran materil. Mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah, alat-alat bukti yang yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relative. Kesaksian diberikan oleh oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Oleh karena itu, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa tersebut. Diusahakanlah memeperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam pemeriksaan, yang akan menenteramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran materiil itu.
2
Putusan
Hakim
Pengadilan
Negeri
Gorontalo
Nomor:
105/PID.B/2006/PN.GTLO hanya di dasarkan pada pada kesimpulankesimpulan, dengan tanpa memepertimbangkan/mengaitkan alat bukti keterangan saki-saksi, keterangan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian yang digunakan dalam putusan ini hanyalah menggunakan sistem pembuktin yang berdasarkan pada keyakinan hakim semata yaitu : didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benarbenar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapka bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini member kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa sulit untuk melakukan pembelaan. Demikian juga pengawasan terhadap putusan hakim sulit dilakukan karena tidak dapat diketahui pendapat-pendapat ataupun ataupun pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
3
Sistem pembuktian yang dianut diindonesia adalah sistem pembuktian “Negatief wettelijk”. hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR sebagai berikut : Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut : “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya. Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yag tersebut pada Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi : “tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yag didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan. Penjelasan Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. 2. Alat-alat bukti dan Kekuatan Pembuktian. Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah :
4
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut pada umummnya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Namun untuk keterangan saksi dan keterangan terdakwa harus harus dikuatkan oleh alat bukti lain agar dapat membuktikan perbuatan yang didakwakan. a. Keterangan saksi. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP: keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau yang bersama-sama terdakwa, dari terdakwa. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. Dengan demikian keterangan saksi yang diberikan diluar sidang pengadilan bukan merupakan keterangan saksi. Sebagai salah satu dari alat bukti, keterangan yang diberikan soeorang mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VII/2010 keterangan saksi jugaharus dimaknai “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka peyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang
5
tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri “. Mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dimaksudkan bahwa keterangan saksi dapat diartikan pula saksi ahli yang member keterangan namun tidak ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri tentang peristiwa pidananya yang dapat pula dihadirkan oleh terdakwa pada waktu pemeriksaan sidang dipengadilan. Jaksa
Jenuntut
Umum
dalam
perkara
Nomor
:105/PID.B/2006/PN.GTLO. mengajukan 6 saksi untuk membuktikan dakwaan, masing-masing telah memberikan keterangannya dibawah sumpah: bahwa dari ke enam (6) saksi terserbut adalah polisi kehutanan yang menemukan bekas tebangan kayu sebanyak tiga pohon, jenis kayu yang ditemukan adalah jenis kayu Tohupo, lokasi penebangan ada diareal penggunaan lain (APL), penebangan tersebut harus ada izin dari dinas kehutanan, apabila hanya untuk dipakai di rumah tinggal hanya diperlukan surat keterangan dari kepala desa, kayu tersebut terdakwa peroleh dari membeli. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian tertentu (Pasal 185 ayat [4] KUHAP).
6
Saksi dalam memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. Sedangkan kesaksian yang diberikan dengan tidak bersumpah/janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti tetapi hanya sebagai keterangan saja yang menguatkan keyakinan hakim. Namun apabila keterangan saksi yang tidak sumpah/janji itu sesuai dengan keterangan saksi yang bersumpah/janji dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain (Pasal 185 ayat [7] KUHAP). Seorang saksi atau beberapa saksi yang memberikan keterangannya sebagai alat bukti dapat berkedudukan sebagai saksi a charge (yang memberatkan dakwaan) maupun sebagai saksi a decharge (yang meringankan dakwaan). Sebelum Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo di ikrarkan, terdakwa mengajukan saksi ahli. Keterangan saksi ahli diberikan dibawah sumpah/janji dihadapan hakim. Sebagai suatu perbandingan, dapat dibaca pada California Evidence Code Definisi tentang “seorang ahli” sebagai berikut. A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to quality him as an expert on the subject to which his testimony relates. (seseorang dapat member keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya).
7
Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula di bedakan dengan tegas. Kadang-kadang seorang ahli merangkap pula sebagai saksi. Keterangan saksi ahli yang diajukan terdakwa dalam persidangan adalah sebagai berikut : terdakwa pernah melihat pohon tersebut sebelum ditebang dan berdiri diperkebunan, terdakwa membeli kayu tesebut dari Latif Balu dengan harga 50.000.-, pohon tersebut tumbuh di perkebunan milik dari Latif Balu, dan terdakwa tidak merasa bersalah karena terdakwa hanya membeli kayu tersbut dari pemiliknya. Untuk memperjelas dan memastikan tentang letak dan keadaan lokasi penebangan kayu dimaksud, maka dalam pemeriksaan perkara ini, oleh majelis hakim telah dilaksanakan pemeriksaan setempat dilokasi penebangan tersebut, pemeriksaan setempat mana dihadiri oleh terdakwa dan penuntut umum dan dinas kehutanan serta Kepala dusan II Desa Lonuo. 3. Acara Pengambilan Keputusan. Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia mempersilahkan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasihat hukummnya membacakan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal 182 ayat [1] KUHAP).
8
Menurut ketentuan tersebut, tuntutan dan jawaban
atas pembelaan
dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera di serahkan kepada hakim ketua sidang dan terunannya kepada pihak yang berkepentingan. Dalam persidangan jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan menjatuhkan pidana penjara selama dua (2) tahun dikurangi selamat terdakwa dalam penahanan sementara dan denda sebesar Rp. 1.000.000,- subsida3 bulan kurungan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, menyatakan barang bukti dirampas untuk Negara. Sedangkan dalam pembelaan terdakwa menyatakan bahwa perbuatan terdakwa membeli 3 (tiga) pohon kayu jenis tohupo dari Latif Balu yang diketahui kepala desa kemudian menyuruh, menebang, mengelola menjadi balok/barang bukti, bukan merupakan kejahatan ataupun pelanggaran (tindak pidana) melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum, karena sangat tidak adil apabila seorang petani dihukum karena mengambil hasil hutan dari kebunnya sendiri. Akan tetapi pembelaan terdakwa tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan putusan hakim. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa (Pasal 182 ayat [8] KUHAP). Satu hal yang penting tidak disebut ialah berapa lama penundaan itu dapat berlangsung. Jelas ditentukan bahwa penundaan penjatuhan putusan hakim itu paling lama dapat berlangsung empat belas hari.
9
Sesudah
pemeriksaan
dinyatakan
ditutup,
hakim
mengadakan
musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. Ditentukan selanjutnya dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Dalam ayat berikutnya (ayat [6] Pasal 182 KUHAP) itu diatur bahwa sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sunggguh-sungguh tidak dapat dicapai maka ditempuh dua caraa, yaitu: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim, yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pengambilan keputusan itu didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan (Pasal191 KUHAP). 4. Isi Keputusan Hakim. Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinann: 1.Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tata tertib;
10
2.Putusan bebas. 3.Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima. Putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir (vonis), tetapi merupakan suatu ketetapan. Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonis). Dalam suatu putusan hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya. Dalam hal ini isi putusan pengadilan Negeri dalam Kasus terdakwa dituduh mengambil hasil hutan di Areal Penggunaan Lain atau disebut juga Hutan Negara. Yaitu : Yusuf Dani Kue, warga Negara Indonesia, umur 50 tahun, selanjutnya disebut sebagai terdakwa dituduh melakukan penebangan pohon diluar Hutan Kawasan Taman Nani Nasional Wartabone atau tepatnya di Areal Penggunaan Lain, dalam melakukan penebangan pohon-pohon tersebut terdakwa tidak memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana, dalam pasal 78 ayat (5) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Penuntut umum mengajukan 6 orang saksi, yang masing-masing telah memberikan keterangannya dibawah sumpah. Dari 6 orang saksi tersebut terdapat kesimpulan yang menerangkan bahwa mereka menemukan bekas penebangan pohon yang berjumlah sebanyak 6 pohon kayu jenis tohupo
11
sudah berbentuk balok masing-masing berukuran 40 x 20 x 4 meter sebanyak 2 panggal, ukuran 30 x 20 x 4 meter sebanyak 2 panggal, dan ukuran 25 x 20 x 4 meter sebanyak 2 panggal. Namun dalam persidangan diperoleh fakta dan keterangan terdakwa, pada versi pihak Kehutanan tempat dimana barang bukti ditebang adalah Areal Pengunaan Lain (APL) dan wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) harus ditentukan dengan SK Menteri Kehutanan. Tetapi pada keterangan terdakwa tempat dimana barang bukti ditebang adalah kebun milik Latif Balu bukan hutan ataupun Areal Penggunaan Lain (APL). Dari fakta diatas dihubungkan dengan berita acara pemeriksaan setempat diperoleh fakta bekas tebangan pohon yang kemudian diolah menjadi barang bukti, ternyata 10 meter dari bekas pohon tebangan terdapat pohon kelapa berumur + 50 tahun dan pohon langsat berumur + 20 tahun. Namun, Saksi-saksi dari Dinas Kehutanan tidak dapat menunjukan SK Menteri Kehutanan tentang wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) di areal tempat pohon tersebut ditebang dan tidak dapat menunjukan batas wilayah Areal Pengunaan Lain. Tempat penebangan pohon bukan didekat sumber air (mata air), kemiringan tanah tidak mengakibatkan lengser apabila pohon tersebut ditebang. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ditujukan pada Hutan Negara, dan tidak mengatur tentang Areal Pengunaan lain, tetapi Areal Pengunaan Lain Hanya diatur dalam ketentuan lama dimana ketentuan lama
12
tersebut tidak mengatur tentang ancaman pidana. Pohon yang di Areal Penggunaan Lain dapat ditebang dan hanya dibuktikan melapor pada Kepala Desa, nanti apabila hendak dijual belikan atau diangkat keluar desa membuktikan surat. Areal Penggunaan Lain harus dituangkan dalam SK menteri Kehutanan atau usulan PEMDA. Akan tetapi pada kenyataannya, Dinas Kehutanan Bone Bolango tidak dapat menunjukan SK menteri Kehutanan tentang wilayah Areal Penggunaan Lain dan tidak dapat menunjukan batas wilayah Areal Penggunaan Lain dan Areal perkebunan. Tidak adil apabila terdakwa (seorang petani) dihukum, karena mengambil hasil dari kebunnya sendiri, akan tetapi Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana
terhadap
terdakwa
tanpa
mempertimbangkan
hal-hal
yang
meringankan terdakwa. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo, yang memeriksa perkara ini memberikan
pertimbangan
hukum
yang
pada
pokoknya
mengadili,
menyatakan terdakwa Yusuf Dani Kue telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah malakukan tindak pidana “Dengan sengaja membeli hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”. 5. Upaya Hukum Biasa (Pemeriksaan Tingkat Banding). Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali putusan bebas, putusan lepas dari
13
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67 KUHAP). Tata cara banding diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP, tata cara banding ini antara lain : a. Permintaan banding oleh terdakwa atau penuntut umum diajukan kepada ketua pengadilan tinggi lewat panitera pengadilan negeri yang memutus perkara pidana yang bersangkutan dalam jangka waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir. b. Atas permintaan banding itu oleh panitera dibuatkan surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera dan pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon banding. c. Apabila pengadilan negeri menerima permohonan banding, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari piha yang satu kepada pihak yang lain. d. Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permintaan banding diajukan, panitera mengirim salinan putusan pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti kepada pengadilan tinggi (Pasal 236 ayat [1] KUHAP). e. Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon banding diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara yang telah dikirim ke pengadilan tinggi selama tujuh hari setelah
14
berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi apabila pemohon banding denga jelas menyatakan secara tertulis keinginannya itu. Juga pemohon banding diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti keaslian berkas perkaranya
yang
sudah
ada
dipengadilan.
Pertimbangan
hukum
Pengadilan Tingkat Tinggi yang memeriksa upaya hukum banding dengan alasan memberikan pertimbangan hukum yang pada pokoknya mengadili, menyatakan terdakwa Yusuf Dani Kue telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah malakukan tindak pidana “Dengan sengaja membeli hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”. Kemudian Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Gorontalo yang memeriksa perkara ini memberikan pertimbangan hukum dan telah mempelajari, meneliti berita acara persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut Pengadilan Tinggi Berpendapat bahwa apa yang dipertimbangkan serta disimpulkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam
putusannya
tanggal
3
oktober
2006
Nomor
:
105/PID.B/2006/PN.GTLO adalah pertimbangan Hukum Hakim Tingkat Pertama
hanya
didasarkan
pada
kesimpulan-kesimpulan,
tanpa
mempertimbangkan/mengaitkan alat bukti dan keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Dengan demikian pertimbangan Hukum Hakim Tingkat Pertama bertentangan dengan Undang-undang yang mengatur untuk itu Putusan
15
Pengadilan Negeri Gorontalo tanggal 3 oktober 2006 Nomor : 105/PID.B/2006/PN.GTLO,
menurut
Hemat
Pengadilan
Tinggi
Gorontalo tidak dapat dijadikan dasar menjatuhkan pidana terhadap Yusuf Dani Kue dalam perkara ini, Sehingga pertimbangan-pertimbangan tersebut diambil alih oleh Majelis Hakim Banding Pengadilan Tingkat Tinggi sebagai pertimbangannya sendiri dalam memutus perkara ini sebagai berikut : 1. membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo tanggal 3 oktober Nomor : 105/PID.B/2006/PN.GTLO; 2. menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum; 3. memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya; 4. memerintahkan barang bukti berupa 6 (enam) panggal berbentuk balok jenis rimba campuran dikembalikan kepada terdakwa; 5. membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan kepada Negara. 6. Kasasi. Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas (Pasal 244 KUHAP). Namun pada kenyataanya putusan bebas
16
dapat diajukan kasasi, hal ini dapat dilihat pada ketentuan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP (surat keputusan menteri kehakiman Nomor M.14 PW07.03 tahun 1983 tanggal 10 desember) yang menyebutkan bahwa demi keadilan, situasi dan kondisi terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi dapat dimintakan kasasi. Ketentuan yang demikian ini setidaktidaknya harus dipahami benar oleh para praktisi hukum agar pengajuan kasasinya harus benar-benar mencerminkan keadilan berdasarkan situasi dan kondisi, sehingga putusannya memang merupakan putusan yang adil guna penegasan kepsatian hukum. Yang diperiksa oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi ini hanyalah segi penerapan hukumnya, sedangkan untuk perkaranya (faktafaktanya) tidak dipriksa lagi. Hal ini harus dipahami secara benar bahwa segi penerapan hukum dari perkara pidana yag diajukan kasasi tersebut terkait dengan apakah suatu peraturan perundang-undangan atau hukum sudah diterapkan atau tidak, apaka proses berlangsungnya pemeriksaan disidang pengadilan sudah sesuai dengan ketentuan hukum acaranya atau tidak, serta apakah pengadilan yan menyidangkan perkaranya melampaui wewenangnya atau tidak. Seorang hakim yang mengadili dalam tingkat pertama atau tingkat banding kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah Agung, maka mereka dilarang bertindak sebagai hakim atau penitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.
17
Pemeriksaan kasasi berkisar pada : a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak dapat dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang. c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Putusan Mahkamah Agung berkisar pada ketiga hal dari pemeriksaan kasasi diatas dan apabila : a. Suatu putusan dibatalkan karena peraturang hukum tidak diterapkan atau diterapkan atau diterapkan atau sebagaiman mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut. b. Suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. c. Suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang berangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersbut (Pasal 255 KUHAP).
18
Pernyataan Kasasi yang di ajukan oleh Penuntut Umum Dalam Perkara Putusan Bebas Nomor 20/PID/2007/PT.GTLO : Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahannya yang membebaskan terdakwa, yaitu guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan bawahannya itu. Namun demikian sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (meskipun hal ini tidak diajukan sebagai keberatan kasasi) Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut. Menurut pendapat Penuntut Umum, putusan tersebut adalah putusan bebas tidak murni atau bebas yang terselubung, karena putusan pembebasan tersebut ternyata tidak memenuhi syarat-syarat pengertian pembebasan menurut ilmu hukum pidana formil tetapi justru lebih cocok dan memenuhi syarat-syarat pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo tersebut apabila kita cermati secara mendalam akan terlihat bahwa putusan bebas
19
tersebut sebenarnya adalah merupakan bebas terselubung. Bahwa Hakim Pengadilan Tinggi Gorontalo dalam purtusannya telah keliru menafsirkan unsur tindak pidana yang didakwakan yakni Pasal 78 ayat (5) dan Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengandung unsur pokok primair dan subsidair. Fakta yuridis yang membuktikan bahwa putusan Hakim Majelis Pengadilan Tinggi Gorontalo tersebut adalah merupakan putusan bebas yang tidak murni dengan alasan sebagai berikut : Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Gorontalo didalam pertimbangannya didasarkan dari hasil putusan Hakim Hakim Pengadilan Negeri dimana di dalam pemeriksaan hanya didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan semata tanpaa melihat atau mengaitkan dan menghubungkan keterangan-keterangan saksi yang mana benar adanya kepemilikan kayu milik terdakwa Yusuf Dani Kue d ambil dari kawasan diluar hutan lining namun telah ditetapkan sebagai Areal Penggunaan Lain dengan dasar KepMen Nomor : SK.382/MenHut-11/2004 tentang izin pemanfaatan kayu dan hal ini juga dikuatkan dengan keterangan saksi saksi yang sebagian besar saksi-saksi adalah Polisi Kehutanan dani Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Kehutanan Kabupaten Bone Bolango yang mana benar adanya hasil hutan tersebut ditebang atau dimiliki oleh Terdakwa Yusuf Dani Kue tanpa bukti atau izin dari pejabat yang berwenang, sedangkan dalam pemeriksaan di depan persidangan dibawah sumpah saksi-saksi mengatakan Terdakwa Yusuf Dani Kue tidak dapat menunjukan bukti kepemilikan kayu sesuai aturan yang berlaku dalam hal ini surat keterangan Asal-usul atau yang lazim disebut (SKAU), sehingga apa yang tertuang dalam peraturan Menteri
20
Kehutanan Nomor : P.51/Menhut-11/2006, tentang penggunaan Surat Keterangan Asal-Usul (SKAU) untuk pengangkutan Hasil Kayu yang berasal dari Hutan Hak sebagaiman telah mengalami perubahan kedua, yang tertuang dalam peraturan Menteri Nomor : P.33/Menhut-11/2007, tentang perubahan kedua atas peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.51/Menhut-11/2006, hal ini tertulis dengan jelas dala Pasal 2 peraturan Mneteri Nomor : P.33/Menhut-11/2007, tentang pengunaan Surat Keterangan Asal-Usul (SKAU) untuk pengankutan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari hutan harus dibuktikan dengan : a. Sertifikat hak milik atau Leter C atau Surat Keterangan lain yang diakui oleh badan Pertanahan Nasional sebagai dasar kepemilikan lahan; b. Sertifikat Hak Pakai; c. Surat atau dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya. Dari semua bukti tersebut terdakwa tidak dapat membuktikan dengan nyata dan jelas di depan persidangan bahwa kepemilikan kayu tesebut telah diurus perizinannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.. Penuntut umum berpendapat Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Gorontalo di dalam pertimbangannya dan pendapatnya telah keliru serta terlalu sederhana, sehingga tidak berdasar atas fakta yuridis yang terungkap dipersidangan, karena secara factual keterangan saksi-saksi telah bersesuaian dan hal ini telah diakui oleh terdakwa Yusuf dani Kue sendiri, sehingga pertimbangan mana yang
21
menyebutkan bahwa lahan atau Areal tersebut bukan merupakan kawasan Hutan yang dilindungi dan kawasan hutan tersebut adalah milik perorangan atau rakyat, bahwa kayu atau yang ditebang tersebut telah mendapat izin dari aparat desa adalah pertimbangan keliru dan tidak berdasar alasan yuridis, sungguh naïf apabila pertimbangan tersebut dibenarkan semantara dalam fakta persidangan maupun penunjauan lokasi oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo kawasan tersebut adalah Hutan Areal Pengunaan Lain, Hal ini telah tegas diatur dalam Kepmen Nomor : 382/Menhut-11/2004 tentang izin pemanfaatan kayu (IPK) serta aturaan Menteri Kehutanan Nomor : P.26/Menhut-11/2006, tentang pedoman pemanfaatn Hutan Hak yang digariskan secara tegas pada ketentuan umummnya bahkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan alas atau hak atas tanah, kemudian dalam status fungsi khususnya dalam permen ini menyebutkan tanah yang telah dibebani alas tittel berupa sertifikat hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai, dapat ditunjuk sebagai hutan hak menurut fungsinya. Apakah tindakan Terdakwa Yusuf Dani Kue memiliki hasil hutan tanpa izin dalam bentuk (SKAU) tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum ? sungguh sangat ironis bila hal tersebut dibebaskan, maka dengan sendirinya masyarakat khususnya masyarakat yang berada dekat kawasan hutan tersebut menganggap atau akan melakukan perbuatan-perbuatan yang sama untuk membenarkan perbuatan tersebut. Dengan adanya hal-hal yang tidak dipertimbangkan atau kurang seksama
22
dipertimbangkan oleh Hakim Majelis, maka mengakibatkan putusan tersebut dapat dibatalkan.