1
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Latar Belakang Lokasi Penelitian Kota Gorontalo
Kota Gorontalo sebagai salah satu kabupaten/kota di provinsi Gorontalo, letaknya diapit oleh dua kabupaten besar, yaitu Gorontalo dan Bone Bolango. Letak astronomisnya antara 000 28’ 17” – 000 35’ 56” Lintang Utara dan antara 1220 59’ 44” – 1230 05’ 59” Bujur Timur. Luas wilayah kota Gorontalo sebesar 0,53 persen dari total luas daratan provinsi Gorontalo. Suhu udara di Gorontalo tahun 2011 berkisar antara 22,10 C sampai dengan 33,50 C. tempat-tempat yang letaknya berdekatan dengan pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi. Kelembaban udara cukup bervariasi antara 54,4 % sampai dengan 95,2 %. Kelembaban terendah terendah terjadi pada siang hari, sedangkan kelembaban udara tertinggi terjadi pada pagi hari. Selama tahun 2011, curah hujan tertinggi tercatat 322 mm pada februari 2011 sedangkan terendah tercatat 7 mm pada agustus 2011. Sementara itu, hari hujan terbanyak tercatat 27 hari pada maret 2011 sedangkan hari hujan tersedikit tercatat 8 hari pada juli 2011. Sebagian besar kelurahan di kota Gorontalo merupakan kelurahan bukan pesisir yang jumlahnya mencapai 45 kelurahan dengan topografi wilayah sebagian besar berada di dataran yaitu 36 kelurahan
2
Statistik Geografi Dan Iklim Kota Gorontalo
Tabel 4.1 Statistik Dan Iklim Kota Gorontalo
URAIAN
SATUAN
2011
Luas
Km2
64,24
Rata-rata kecepatan angin
Knot
2,08
Persen
81,7
Hari hujan
Hari
230
Kelurahan pesisir
Kelurahan
4
Kelurahan bukan pesisir
Kelurahan
45
Kelurahan di lereng
Kelurahan
9
Kelurahan
36
Rata-rata kelembaban nisbi
Kelurahan di lereng dataran Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo.
4.1.2 Keadaan Penduduk Komposisi penduduk kota Gorontalo didominasi oleh penduduk muda/dewasa. Hal menarik yang bisa diamati adalah jumlah penduduk usia 0 - 4 tahun lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk 5 – 9 tahun. Hal tersebut menunjukan tingkat laju pertumbuhan penduduk bias ditekan. Jumlah penduduk kota gorontalo mencapai 170.456 jiwa pada tahun 2009. Angka ini
3
terus meningkat dan pada tahun 2011 mencapai 184.026 jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 tingkat pertumbuhan penduduk tercatat 2,93 persen dan pada tahun 2011 tercatat 2,86 persen. Dengan luas wilayah sekitar 79,03 km2 , setiap km2 ditempati penduduk sebanyak 3.065 orang pada tahun 2011. Secara umum jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Hal ini dapat ditunjukan oleh sex ratio yang nilainya lebih kecil dari 100. Pada tahun 2011, untuk setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki. Dilihat menurut kelompok usia produktif komposisi penduduk kota gorontalo usia 15-59 tahun adalah 65,45 persen. Sementara itu, kelompok umur 04 tahun dan 60 tahun keatas masing –masing adalah 28,83 persen dan 5,71 persen.
Tabel 4.2 Indikator Kependudukan Kota Gorontalo Uraian
2009
2010
2011
170.456
180.127
184.062
100
96
99
2.631
2.780
2.491
2,63
2,93
2,86
Jumlah penduduk tengah tahun (jiwa) Sex ratio (Persen) Kepadatan penduduk (jiwa/km2) Pertumbuhan
4
Penduduk (Persen) Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo 2013.
4.1.3 Keadaan Tingkat Pendidikan Penduduk di kota Gorontalo memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi dibanding kabupaten lain di provinsi Gorontalo. Pada tahun 2011 angka melek huruf (AMH) di kota gorontalo sebesar 99,43 lebih tinggi dari AMH provinsi Gorontalo yang sebesar 96. Dibandingkan kabupaten lainnya di provinsi Gorontalo, ternyata penduduk kota gorontalo bersekolah lebih lama, dimana indikator ini ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah 10,09 tahun, atau memutuskan berhenti ketika kelas 2 SMA. Capaian di bidang pendidikan terkait erat dengan ketersediaan fasilitas pendidikan. Pada jenjang pendidikan SD di kota Gorontalo untuk tahun ajaran 2011/2012 seorang guru rata-rata mengajar 18 murid SD. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka beban seorang guru semakin sedikit, dimana untuk jenjang pendidikan SMA, SMK, dan MA rata-rata seorang guru mengajar 13, 12, dan 6 murid. Selain itu kota Gorontalo juga terdapat jenjang pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta. Salah satunya adalah Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Pada tahun 2011/2012, jumlah mahasiswa di UNG sebanyak 19.059 mahasiswa atau meningkat lebih dari tiga kali lipat dibanding pada tahun 2005 yang sebanyak 6.194 mahasiswa.
5
Tabel 4.3 Indikator Pendidikan Kota Gorontalo. Uraian
2009
2010
2011
99,42
99,43
99,43
9,50
9,85
10,09
Angka melek huruf Rata-rata lama sekolah (Tahun) Sumber: Badan Pusat Stastistik Kota Gorontalo.
4.1.4. Kelurahan Kotobangon
Sejarah singkat kelurahan Kotobangon yang tadinya berstatus desa yang didirikan pada tahun 1800 sebagai realisasi pembangunan raja kinalang, berfungsi sebagai markas pemerintahan ibu negeri ex kerajaan Bolaang Mongondow. Kotobangon sebenarnya sudah terjadi kurang lebih 200 tahun yang lampau oleh raja kinalang. Raja yang memilih lokasi tersebut atas petunjuk tonawat atau talenga ahli penterjemah suara burung hantu yang dianggap keramat untuk menentukan tempat kedudukan pemerintahan seorang raja. Kotobangon zaman dahulu kala, menjadi ibu negeri kerajaan Bolaang Mongondow sampai tahun 1950 adalah daerah pemerintahan kerajaan yang berasal dari suatu tempat yang terbuka di tengah-tengah hutan rimba. Dahulu sebelum dibangun menjadi pusat pemerintahan kerajaan, biasa disebut orang ”Tobang”. Kemudian sesudah
6
dibangun pusat pemeritahan kerajaan, raja member nama Kotobangon yang artinya sebagai berikut:
Ko = Dapat/Tujuan/Maksud.
Tobang = Tempat terbuka di tengah hutan rimba.
Bang-on = Dibangun pusat pemerintahan.
Desa ini sebelum tahun 1900 merupakan kumpulan atau kelompok masyarakat, dan tiap-tiap kelompok mempunyai kepala yang disebut hulu kelompok/hulu adat yang bertanggung jawab pada raja melalui instansi sadaha sebagai pimpinan hulu adat. Kemudian pada tahun 1900 s/d 1980 mengalami struktur pemerintahan dengan pemimpinnya yang disebut sangadi (Kepala desa). Dengan Kep. Mendagri.No.5 tahun 1979 desa Kotobangon dirubah menjadi kelurahan Kotobangon dan dipimpin oleh seorang lurah.
Adapun nama-nama kepala desa/lurah yang pernah menjabat dari tahun 1900 s/d sekarang yaitu:
1. Tahun 1900 s/d 1902 : Sandegau Sambali 2. Tahun 1902 s/d 1905 : Lanaka Mamonto 3. Tahun 1905 s/d 1906 : Sisir Mokodompit 4. Tahun 1906 s/d 1908 : Haka Damopolii 5. Tahun 1908 s/d 1911 : Kodja L. Mamonto 6. Tahun 1911 s/d 1932 : Sulow Djaman 7. Tahun 1932 s/d 1935 : Suid A. Sugeha
7
8. Tahun 1935 s/d 1936 : Poe H. Mokodompit 9. Tahun 1936 s/d 1937 : Adolf Manoppo 10. Tahun 1937 s/d 1938 : A.H. Manoppo 11. Tahun 1938 s/d 1939 : C.A. Mokoginta 12. Tahun 1939 s/d 1940 : P.H. Mokodompit 13. Tahun 1940 s/d 1942 : H.C. Manoppo 14. Tahun 1942 s/d 1943 : M. Monoarfa 15. Tahun 1943 s/d 1946 : K. Mamonto 16. Tahun 1946 s/d 1955 : L.A. Sugeha 17. Tahun 1955 s/d 1966 : D.K. Mamonto 18. Tahun 1966 s/d 1980 : A.R. Sambali
1 januari 1981 desa Kotobangon menjadi kelurahan.
19. Tahun 1981 s/d 1983 : A.R Sambali 20. Tahun 1983 s/d 1995 : Idris Gaib 21. Tahun 1995 s/d 2000 : Moh. S. Mokodompit, BA 22. Tahun 2001………....: Drs. Ferry Sugeha 23. Tahun 2001 s/d 2003 : Musmar Mokoginta 24. Tahun 2003 s/d 2005 : Mohammad Tombaan 25. Tahun 2005 s/d 2008 : Irawan Ginoga,SE 26. Tahun 2008 s/d 2009 : Amir Simbuang 27. Tahun 2009 s/d 2011 : Mohammad Tombaan 28. Tahun 2011 s/d Sekarang : Syam Mokoginta,S.Ag.S,pd.
8
Luas dan batas wilayah 247 Ha. Batas wilayah dibagian utara berbatasan dengan keluraha Biga, dibagian selatan berbatasan dengan kelurahan tumubui dan kelurahan sinindian, dibagian barat berbatasan dengan kelurahan kotamobagu, dan dibagian timur berbatasan dengan desa moyag.
Kondisi letak geografis tanah dari pemukaan laut 4 meter. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin:
Laki – laki : 2915 jiwa
Perempuan : 2767 jiwa Jumlah : 5682 jiwa
Jumlah penduduk menurut agama:
Islam : 3772
Kristen : 1796
Katolik : 100
Hindu : 1
Budha : -
Lain –lain : -
Jumlah pendidikan menurut tingkat pendidikan :
a. Lulusan pendidikan umum:
Taman Kanak-kanak : -
9
Sekolah Dasar : 332 orang
SMP/SLTP : 451 orang
SMA/SLTA : 576 Orang
Akademi / D1-D2 : 41 orang
Sarjana / S1-S2 : 172 orang
b. Lulusan pendidikan khusus:
Kelompok pesantren : 15
Madrasah : 9
Pendidikan Keagamaan : 7
Sekolah luar biasa : -
Kursus : 35
Keterampilan : 21
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian:
Pegawai negeri sipil : 87 orang
ABRI : 21 orang
Swasta : 69 orang
Wiraswasta : 54 orang
Tani : 201 orang
Pertukangan : 26 orang
Buruh tani : 23 orang
Pensiunan : 27 orang
10
Bidang pembangunan/Sarana Prasarana:
a.Sarana peribadatan:
Masjid : 5 buah
Mushola : 4 buah
Gereja : 7 buah
Vihara : -
Pura : -
4.2 Pembahasan 4.2.1 Pelaksanaan Proses Adat Pernikahan Gorontalo Perkawinan dianggap suci, agung, bahagia, dan berkesan. Itu sebabnya makna perkawinan harus dirasakan oleh kedua mempelai. Mereka tidak boleh menganggap bahwa perkawinan itu mudah, gampang dan karena itu pula gampang untuk bercerai. Menurut adat, perkawinan secara ideal hanya bercerai karena meninggal. Adat berharap agar pasangan suami istri akan kekal, hidup rukun dan damai seperti yang tampak dalam nasihat (palebohu) yang ditujukan kepada pasangan suami istri pada waktu mereka duduk di pelaminan. Untuk itulah proses perkawinan itu tidak hanya sekali jadi ia melewati tahap-tahap yang disebut proses perkawinan (lenggota lo nika). Tahap proses perkawinan bukan dibuat untuk memperlama atau mempersulit perkawinan, tetapi semata-mata bertujuan agar kedua calon suami istri dapat merasakan apa makna perkawinan yang ditandai oleh perjuangan dan kerja keras.
11
Tahap-tahap proses perkawinan menurut adat Gorontalo seperti diuraikan dibawah ini:
1. Tahap Mongilalo (Meninjau) Tahap pertama adalah tahap mongilalo (meninjau). Pada tahap ini dua pasang (biasanya laki-istri) diutus ke rumah calon pengantin perempuan. Tahap ini penting untuk menentukan, apakah calon pengantin (= kekasih sang pria) dapat dikawini atau tidak. Pasangan suami istri tadi biasanya bertamu ke tetangga calon pengantin. Hal itu penting juga karena gadis zaman dahulu biasanya dipingit, tidak mudah keluar rumah. Karena dipingit maka kadang-kadang perjumpaan antara gadis dan jejaka hampir-hampir tidak pernah ada. Untuk itu perlu sekali mongilalo (meninjau) tersebut. Tahap mongilalo bertujuan untuk mengetahui sikap dan perangai sang gadis. Menurut Richard Tacco (1935) ada tiga faktor yang menentukan langkah langkah selanjutnya. Ketiga hal itu, adalah (a) sikapnya, (b) caranya berpakaian, dan (c) kegiatannya ketika diadakan peninjauan tersebut. Dahulu peninjauan itu dihubung-hubungkan dengan keadaan alam sekitar. Jika dalam peninjauan itu sang gadis sedang duduk atau berdiri dan menghadap Timur dan Utara, hal itu menandakan bahwa gadis tersebut bersikap baik. Lebih baik lagi kalau si gadis kebetulan menghadap para peninjau, karena hal seperti itu menandakan bahwa perkawinan akan bahagia. Sebaliknya kalau gadis tersebut menghadap ke Barat atau ke Selatan, menandakan bahwa gadis tersebut sebaiknya jangan dikawini
12
karena hal itu telah menandakan kesialan. Hal yang perlu dilihat dari cara berpakaian misalnya cara menata rambut dan pakaian. Kalau gadis itu diketemukan dalam keadaan rambut yang terurai menandakan bahwa gadis tersebut pemalas, mengurus diri pun tidak mampu. Baju yang dipakainya harus diperhatikan pula, apakah kombinasi warna serasi atau tidak. Kombinasi baju harus sesuai dengan keadaan kulit gadis. Kalau tidak, hal itu menandakan bahwa gadis tersebut kurang teliti, tidak terampil, dan tidak cakap mengurus diri. Selanjutnya hal yang berhubungan dengan kegiatan yakni apakah gadis itu bekerja atau tidak. Kalau gadis tersebut dijumpai sedang tidur sedangkan peninjauan dilaksanakan setelah Ashar, itu menandakan bahwa gadis itu pemalas. Demikian pula kalau gadis tersebut didapati hanya mencari kutu sambil menghadap jalan. Sebab hal itu menandakan bahwa gadis itu bersifat suka menggunjing (momite), suka membuang-buang waktu. Yang paling disukai yakni, kalau sang Gadis didapati sedang bekerja dan memakai baju yang serasi serta menghadap ke arah Timur atau Utara. Apa yang diutarakan di atas sebagiannya telah ditinggalkan orang zaman serakang, namun hal yang berhubungan dengan kegiatan dianggap sangat menentukan. Hal itu terbukti dengan nasihat seorang ibu terhadap anaknya seperti yang telah diuraikan di atas dan juga ada anjuran untuk mencari orang yang banyak kegiatannya, banyak karya pololoheqo taa okaraja (carilah orang yang mempunyai karya atau pekerjaan). Acara mongilalo (meninjau), kini telah ditinggalkan karena si gadis dan si jejaka sudah sering bertemu dan bahkan sudah selalu diizinkan keluar
13
bersamasama. Dengan demikian, baik si gadis maupun si jejaka sudah mengetahui lebih dahulu sifat dan perangai calon suami atau istri. Kalau si peninjau merasa yakin bahwa gadis tersebut baik untuk dikawini maka mereka melaporkan hasil peninjauan tersebut, kepada orang tua laki-laki. Laporan tersebut yang dijadikan dasar untuk melaksanakan peminangan atau tidak. Kalau laporan peninjauan baik maka dilaksanakan tahap berikut, yakni tahap mohabari (kunjungan).
2. Tahap Mohabari (Kunjungan) Tahap mohabari dilakukan oleh kedua orang tua laki-laki secara rahasia kepada kedua orang tua perempuan. Kedatangan mereka pun tidak diberitahukan kepada orang tua perempuan karena kunjungan ini merupakan kunjungan tidak resmi, tetapi yang paling penting karena merupakan kunjungan awal untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan. Pada tahap mohabari ini orang tua laki-laki hanya membawa sirih, pinang, gambir, tembakau dan kapur yang dibungkus dengan dua macam kain yang polos indah serta tapahula (kotak dari kayu) yang berisikan 10 kati atau Rp.10.000. Setelah mereka tiba di rumah orang tua sang gadis, mereka memberi salam yang tentu akan diundang masuk dan dipersilakan duduk di tikar (dahulu belum ada kursi seperti sekarang). Mereka segera meminta tempat sirih-pinang (pomama). Sirih-pinang yang mereka bawa, diisi di dalam tempatnya. Baik orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan makanlah sirih-pinang bersama-sama. Setelah mereka makan sirih, maka orang tua laki-laki menyampaikan isi hati dengan katakata sebagai berikut:
14
a. Wonu ito (kepada orang tua si gadis) tahu-tahu iintani, de amiaatia taa mameqiyangomai (kalau Bapak/ibu memiliki intan, biarlah kami yang membentuknya menjadi cincin); b. Wonu ito opolohungo, de amiaatia taa lalaaita ma meqibuhuto (kalau bapak/ibu memelihara bunga hias, biarlah kami yang akan menyirainya, selalu); c. Wonu ito bia-biahe burungi; de amiaatia ta maa hemopo’a mayi (kalau bapak/ibu) memelihara burung, biarlah kami yang akan memeliharanya, memberinya makan). Kata-kata intan, iintani, polohungo, bunga hias dan kata burung hanya merupakan simbol belaka. Kata iitani menandakan bahwa orang tua si gadis yang dihadapi adalah raja, kata polohungo menandakan bahwa orang tua gadis yang dihadapi adalah rakyat biasa. Pada waktu dahulu, pada masa pemerintahan raja - raja, suku Gorontalo mengenal 4 (empat) golongan penduduk yakni: a. Olongia (Raja) dan keluarganya; b. Wali-wali (bangsawan); c. Wato (budak). Mendengar kata-kata seperti yang diutarakan di atas, ayah (orang tua) si gadis berkata: ”amiaatia mohile maqapu”. Wonu maali amiaatia donggo moqoota-awapo wolo u ngaalaqa. Sababu bo donggo to delomo ombongo walao ta duulota, dabo toqu maa yilumualai ode dunia, tio ma loali walao ta daadaata (kami minta maaf. Kalau dapat kami bermusyawarah lebih dahulu dengan keluarga. Sebab hanya ketika masih berada di dalam kandungan, anak itu adalah anak kami berdua, tetapi setelah lahir maka anak itu sudah merupakan milik
15
keluarga). Dari jawaban ini jelas, bahwa perkawinan bukan saja urusan si gadis dan si jejaka, bukan saja urusan orang tua kedua belah pihak tetapi menjadi urusan seluruh keluarga bahkan umum. Berdasarkan jawaban seperti yang dituturkan di atas, orang tua laki-laki mohon diri untuk kembali. Makna dan simbol pada adat Mohabari : 1. Sirih , pinang, kapur, gambir, dan tembakau, bermakna suatu beban tanggung jawab dari satu kesatuan kelaurga, yang ingin disampaikan, kiranya mendapat sambutan dari pihak keluarga wanita. Terbungkus dengan kain berwarna dua macam, bermakna tekad dan beban tanggung jawab ini masih rahasia, maksud yang baik dan suci, seindah kain pembungkusnya. 2. Sebuah tapahula (Kotak kayu), memakai penutup yang berisi uang 10 kati, atau Rp.10.000. Makna tapahula adalah tanggung jawab ini secara adat, dan uang yang bernilai penghargaan kepada keluarga pihak perampuan.
3. Tahap Momatata U Piloqotaawa (Meminta Ketegasan) Pihak laki-laki mencari penghubung (ti utolia). Tiga hari kemudian si utolia kembali ke rumah orang tua perempuan dengan membawa amanat dari kedua orang tua laki-laki. Si utolia hanya membawa selembar kain yang indah yang diisi dalam tapahula dan tonggu (pembayaran adat). Tahap ini disebut tahap momatata u piloqotaawa (meminta ketegasan). Kedatangan utolia ditunggu oleh orang tua si gadis dengan keluarga terdekat karena sifatnya masih merupakan rahasia. Setelah dipersilakan duduk
16
”amiaatia insya Allah loqotapu izini lonto Allahu Taqaala u mai mototalua wolo mongowutata wau mongodulaqa. Amiaatia loqotapu hihile lonto oli (disebut namanya dengan nama sapaannya) u mei peqihabarialio maqo heeluma li (disebut nama orang tua laki-laki) to ombongi mongolio”. Artinya : ”Insya Allah kami beroleh izin Allah untuk berjumpa dengan saudara-saudara dan Bapak/Ibu di sini. Kami beroleh permintaan dari Bapak ... untuk datang ke sini memohon kabar tentang permufakatan antara Bapak ... dan Ibu ... mengenai anakda ... yang direncanakan akan dijadikan menantu mereka”. Orang tua perempuan menjawab: botiitieli da bolo bilo-bilohulo wau molameta yiyintu lemei ... wau lilei ... (disebut nama orang tua laki-laki dengan sapaannya) yi ma moali ooliamai dequ polelemai diaalu, de wolua, polelemai woluo de diaalu, artinya ”dikatakan tak ada pada hal ada, dikatakan ada pada hal tak ada”. Ini berarti permintaan dari orang tua lakilaki disetujui. Mendengar jawaban seperti itu, si utolia berkata. Alhamdulillah amiaatia mosukuru, potala bolo woluo umuru ito mohu-mohualia moali masahuru (kami bersyukur dan berdoa semoga ada umur dan kita akan menyebarkan kabar perkawinan ini kepada orang banyak). Mereka berjabatan tangan dan tak berapa lamanya si utolia dan rombongan kecil tersebut kembali ke rumah orang tua laki laki. Makna dan simbol pada Momatata U Piloqotaawa : 1. selembar kain sejenis sutera berukuran 3 meter, bermakna bahwa pelaksanaan pernikahan adalah secara adat.
17
2. Tempat kain tersebut berisi tapahula bermakna bahwa adat yang dimaksud adalah adat yang sempurna. 3. Tonggu, yaitu pemberian adat kepada orang tua perempuan. Dengan diserahkan tonggu, maka leluasalah pihak laki-laki mengadakan pembicaraan dengan pihak perempuan.
4. Acara Motolobalango (Pengresmian Hasil Pembicaraan) Dengan istilah motolobalango (pengresmian hasil pembicaraan) dimaksud adalah tahap menghubungkan keluarga antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Acara motolobalango dihadiri oleh keluarga terdekat. Baik oleh rombongan keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Rombongan pihak laki-laki yang dipimpin oleh utolia (penghubung) mendatangi rumah pihak orang tua perempuan. Si utolia dari pihak laki-laki disebut utolia luntu dulungo (juru bicara) dan di pihak perempuan disebut ti utolia luntu dulungo wolato. Mereka membawa sirih-pinang, tembakau, gambir, kapur, kain sutera indah yang diisi di tapahula dan tonggu. Mereka diterima oleh pihak keluarga perempuan. Kedua belah pihak duduk beralaskan tikar atau permadani sambil duduk berhadap-hadapan. Makna dan simbol pada adat motolobalango: 1. Sirih, melambangkan urat, bermakna hubungan kekerabatan. 2. Pinang, melambangkan daging, bermakna penyempurnaan. 3. Gambir, melambangkan darah, bermakna semangat. 4. Kapur, melambangkan tulang, bermakna kekuatan.
18
5. Tembakau, melambangkan bulu roma, bermakna perasaan keikhlasan. 6. Tapahula bermakna pelaksanaan adat, kain sejenis sutera bermakna kesiapan pakaian pengantin. 7. Toyunga Bilalanga atau payung kebesaran, bermakna kemuliaan adat.
5. Tahap Monga’ata Dalalo (Meratakan Proses Pelaksanaan Pernikahan) Yang dimaksud dengan istilah monga’ata dalalo (meratakan proses pelaksanaan pernikahan) di sini yakni satu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan sebelum hari perkawinan yang bermaksud untuk meratakan proses perkawinan. Seperti telah dikatakan di atas bahwa tahap motolobalango (= meminang) bermakna permintaan secara resmi dari pihak lakilaki kepada pihak perempuan mengenai calon istri. Telah dijelaskan di atas pula bahwa persetujuan telah ada ketika orang tua laki-laki bertamu ke rumah orang tua laki-laki bertamu ke rumah orang tua perempuan. Persetujuan tersebut kemudian diresmikan pada tahap motolobalango di mana hadir keluarga terdekat terutama dari pihak perempuan. Persetujuan ini akan diperluas lagi yang secara resmi akan disaksikan oleh sanaksaudara, pemerintah dan pegawai syarak. Untuk persiapannya perlu usaha meratakan proses tersebut. Usaha meratakan jalan tersebut yang disebut mongaqataa dalalo. Sebagian orang berpendapat bahwa monga'ata dalalo merupakan tahap awal sebelum tahap motolobalango. Pendapat seperti itu dapat dibenarkan kalau kita meninjau makna mongaqataa dalalo dalam arti harafiahnya. Dari makna
19
konotatifnya, monga’ata dalalo tahap meratakan proses menuju pemberitahuan secara luas mengenai proses perkawinan itu sendiri. Apa yang diratakan itu? Yang diratakan prosesnya adalah tahap menghubungkan keluarga lelaki dengan keluarga perempuan yang disebut molenilo (menghubungkan keluarga) dan kegiatan selanjutnya yang akan diuraikan di bawah ini. Untuk menandai tahap monga’ata dalalo, maka rombongan si utolia membawa; (a) sirih pinang lima macam (tembakau, sirih, pinang, gambir dankapur), (b) 10 kati, (c) tonggu yang semuanya dibungkus pada kain yang indahdan kemudian dipayungi. Orang yang melihat bawaan seperti ini pasti mengetahui hal itu adalah simbol, dan rombongan sedang mengadakan apa yang disebut tahap monga’ata dalalo.Setibanya di rumah pihak perempuan, segera dipermaklumkan dan kemudian dibuka. Tidak terlalu banyak yang dibicarakan pada tahap ini karena kedua belah pihak telah mengerti bahwa tahap ini hanya bermaksud meratakan proses. Setelah disuguhi minuman dan kue-kue, rombongan pihak laki-laki kembali. Sebelum kembali si utolia bertugas untuk merembukkan tahap molenilo yang tiga hari lagi akan dilaksanakan. Makna dan simbol pada adat Monga’ata Dalalo: 1. Sirih, pinang, gambir, kapur, tembakau, bermakna hubungan kekerabatan, kesempurnaan, semangat membentuk keluarga, kekuatan, dan persaan keikhlasan. 2. Tapahula bermakna pelaksanaan adat, kati berasal dari kata Pongatingatilio artinya dibagi-bagikan kepada saudara-saudaranya dan adikadiknya.
20
6. Tahap Molenilo (Menghubungkan Kedua Keluarga) Kata molenilo (menghubungkan keluarga) datang dari kata tenilo yakni alat yang dipergunakan untuk mengalirkan atau menampung air pada sambungan rumah. Tenilo merupakan alat penghubung antara bahagian rumah dengan bahagian yang lain. Molenilo berarti menampung atau mengalirkan air dari dua tahap bahagian rumah. Dengan demikian molenilo bermakna menghubungkan antara kedua keluarga. Pada tahap motolobalango telah kita lihat bahwa kedua keluarga telah berhubungan tetapi baru terbatas. Dengan tahap molenilo maka hubungan itu diperluas lagi. Sehubungan dengan ini, maka pihak keluarga laki-laki mengantarkan bingkisan atau oleh-oleh (tilomungo) sebagai lambang cinta kasih dan lambang ingin menghubungkan kedua keluarga. Yang dibawa pada tahap molenilo adalah: (a) seperangkat kain untuk calon pengantin perempuan, sebagai lambang cinta kasih kekasihnya yang bakal menjadi suami, (b) tonggu, dan (c) sirih-pinang. Acara didahului oleh pemberitahuan tentang kedatangan rombongan yang akan melaksanakan acara tahap molenilo. Rombongan tetap dipimpin oleh si utolia tadi. Rombongan pihak laki-laki tersebut tetap terdiri dari keluarga terdekat dari pihak laki-laki. Mereka datang tanpa diiringi bunyi-bunyian. Rombongan pihak laki-laki ditunggu oleh keluarga terdekat dari pihak perempuan. Mereka belum boleh mengundang pemerintah dan pegawai syarak, sebab acara-acara ini baru pada tahap memantapkan hubungan antara keluarga laki-laki dan keluarga
21
perempuan. Pihak keluarga laki-laki ingin memperlihatkan kepada pihak keluarga perempuan, bahwa hubungan kekeluargaan semakin terjalin rapat. Pertemuan dilaksanakan secara kekeluargaan tanpa kata-kata yang puitis. Sudah jelas si utolia menyampaikan bingkisan tersebut dengan kata-kata yang tersusun baik, demikian pula si utolia dari pihak perempuan akan mempergunakan kata dan kalimat yang tersusun baik. Dalam setiap pertemuan dalam proses perkawinan, tonggu (upah) yang lebih dahulu diserahkan sebagai pertanda bahwa acara segera dimulai. Kalau tonggu telah diterima si utolia dari pihak laki-laki dengan leluasa menyampaikan amanat yang mereka bawa. Seperangkat kain tentu saja diteruskan kepada calon pengantin perempuan, dan sirih-pinang menjadi bahagian mereka yang hadir. Sebelum rombongan pihak laki-laki kembali, maka segera diberitahukan kapan tahap momuqo ngango membuka maksud kepada keluarga, pemerintah dan pegawai syarak akan dilaksanakan. Ada orang yang berpendapat bahwa tahap motolobalango sama dengan tahap molenilo. Pada pembahasan ini kedua istilah tersebut kami bedakan sesuai dengan keterangan-keterangan yang kami peroleh dari para informan. Kata motolobalango jelas berasal dari kata balango (seberang), mobalango (menyeberang). Motolobalango lebih dititik beratkan pada peristiwa meminta secara resmi, sedangkan molenilo lebih dititik beratkan pada peristiwa menghubungkan keluarga dengan keluarga. Jadi, kita melihat setelah permintaan pihak
laki-laki
diterima
maka
persetujuan
tersebut
satu
rumah
yang
bersambungan. Penandaan yang menghubungkan kedua keluarga yakni adanya tenilo, namun seperti telah dijelaskan di atas untuk menghubungkan kedua
22
keluarga harus didahului oleh acara meratakan proses yakni dengan jalan acara monga’ata dalalo. Tahap monga’ata dalalo telah dikemukakan di atas. Makna dan simbol pada adat Molenilo: 1. Bermakna tanggung jawab calon suami kepada istrinya. 2. Sirih, pinang, gambir,kapur, tembakau, bermakna hubungan kekerabatan, penyempurnaan, semangat, kekuatan, dan perasaan keikhlasan. 3. Tonggu, bermakna kebebasan untuk bicara.
7. Tahap Momu’o Ngango / Modutu (Mengukuhkan) Ada orang berpendapat bahwa momu’o ngango sudah termasuk acara motolobalango. Setelah diadakan pengecekan dari beberapa informan ternyata bahwa tahap momu’o ngango memang merupakan acara tersendiri. Seperti telah diterangkan di atas bahwa orang tua kedua belah pihak telah mengadakan musyawarah. Itu berarti bahwa persoalan antara kedua orang tua dari kedua belah pihak telah tiada. Yang ingin diratakan adalah pendapat keluarga terutama keluarga pihak perempuan. Pada tahap momu’o ngango semua persoalan akan dibuka, baik yang berhubungan dengan hari perkawinan maupun hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena semua akan dibuka maka tahap ini akan dihadiri oleh Pemerintah (Kepala Kampung atau Camat) dan pegawai syara’. Kehadiran mereka penting untuk menyaksikan bahwa keluarga pihak laki –laki dan keluarga pihak perempuan telah terjalin. Pemerintah dan pegawai syarak akan menyaksikan bahwa tahap meminta (motolobalango) dan tahap menghubungkan (molenilo), kini akan dikukuhkan,
23
baik oleh keluarga maupun pemerintah dan pegawai syarak. Tahap ini biasa disebut modutu. Tahap modutu yang diungkapkan di sini tidak sama dengan tahap modutu yang berlaku sekarang. Sebab tahap modutu yang berlaku sekarang sudah merupakan gabungan dari beberapa tahap dalam rangkaian proses perkawinan itu sendiri. Itulah sebabnya dalam pembahasan ini, istilah momu’o ngango akan dipertahankan. Yang perlu dipersiapkan adalah (a) kola-kola, (b) sirih-pinang, (c) tonggu, dan (d) ayua yang dilambangkan oleh lima macam benda. Adapun yang dimaksud dengan kola-kola adalah usungan yang terbuat dari buluh kuning (talila hulawa) berbentuk empat persegi panjang dan dihiasi dengan janur (lale). Kola-kola dimuat di pedati atau gerobak atau kendaraan lain, sekarang biasanya mempergunakan truk. Sirih-pinang dan sebagainya dibuat di dalam kola - kola. Karena tahap momu’o ngango merupakan tahap pemberitahuan kepada umum mengenai rencana perkawinan kedua mempelai, maka acara ini diramaikan dengan hantalo (bunyi-bunyian). Orang yang bertugas membunyikan hantalo atau genderang berada di dalam kola-kola. Ayua (bukan hungo lo ayu, seperti yang berlaku sekarang) yang disebut di atas ditandai oleh lima macam benda, yakni (I) jeruk (limau) yang besar-besar sebanyak tiga buah, (II) nenas sebanyak tiga buah, (III) nangka sebanyak dua baki, tiap baki hanya sebuah, (IV) tebu sebanyak enam baki dan terdiri dari 20 potong serta terdiri dari tiga warga, yakni tebu biasa (lumbi biasa), lumbi kuning dan lumbi darah babi, dan (V) bibit kelapa (tumula). Perlu kami jelaskan di sini bahwa ayua bukanlah hungo lo ayu. Dewasa ini terjadi salah pengertian terhadap istilah ayua. Karena dianggap hungo lo ayu maka segala macam buah-buahan
24
diikut sertakan, padahal hanya lima macam benda yang disebutkan di atas merupakan perangkat adat momu’o ngango. Tiap ayua mempunyai makna sendirisendiri. Tiap jenis ayua merupakan simbol yang perlu dicontohi kedua mempelai kalau mereka telah berumah tangga dan menjadi anggota masyarakat. Kita mengetahui bahwa jeruk, nenas, nangka,tebu, semuanya manis. Ini merupakan simbol dan harapan, agar kedua suami istri kelak menjadi orang yang baik budinya sehingga disayangi dan disukai semua orang. Penjelasan makna tiap benda tersebut kami tunda sampai di sini dan akan kami lanjutkan pada pembahasan perlengkapan perkawinan. Mengenai banyaknya sirih-pinang dan benda-benda lain ada informan yang mengemukakan: (I) 4 baki pinang, (II) 4 baki sirih, (III) 4 baki gambir, (IV) 4 baki tembakau, (V) 4 baki jeruk, (VI) 4 baki nenas (16 biji), (VII) 4 baki tebu (16 potong), (VIII) 4 baki nangka (16 biji), (IX) 4 baki tunas kelapa (16 biji). Dahulu baki menunjukkan budak. Jika dipajangkan 4 baki, maka tonelo dari pengantin perempuan adalah 4 budak. Tonggu yang dahulu bernilai Rp 25,00; dan sekarang bernilai Rp 160,00 diisi pada sebuah tempat pinang (pomama) perak dan ditutup dengan penutup tonggu (taa-qubu tonggu) berbentuk segi tiga (tutulio totolu). Seperti telah dijelaskan di atas perangkat hu’o longango ini nantinya diusung didalam kola-kola yang dahulu ditarik oleh manusia (= budak). Acara ini diakhiri dengan suguhan minuman dan kue serta jabatan tangan. Si utolia luntu dulungo laiqo tidak lupa mempermaklumkan dan meminta kepada pihak perempuan bahwa tujuh hari lagi tonelo atau mahar akan diantarkan. Makna dan simbol adat Momu’o Ngango / Modutu:
25
1. Kola-kola bermakna perahu yang menyebrang membawa hantaran adat untuk pelaksanaan pesta pernikahan. 2. Hantalo, yang dibunyikan oleh petugas yang bergelar te tamburu (penabuh gendang), bermakna pemberitahuan kepada masyarakat luas, bahwa pueri dari keluarga si …, melangsungkan pernikahan dalam waktu yang dekat. 3. Angka empat pada baki yang berisi pinang, sirih, gambir/kapur, tembakau, melambangkan empat unsure kejadian manusia yaitu, tanah, air, api dan angin (huta, taluhu, tulu, dan dupoto). 4. Limu Bongo yang masak dan manis bermakna keramahan, nenas bermakna keterampilan, nangka bermakna kebahagiaan, walaupun banyak yang dihadapi, tebu, bermakna dicintai orang dan disayangi keluarga. Tumulawak, bermakna sumber kehidupan, walaupun tidak akan jadi kaya tetapi berkecukupan. 5. Tonggu adalah kebebasan untuk berbicara.
8. Persiapan Pengantin Perempuan Sejak tahap motolobalango selesai mulailah diadakan persiapan yang berhubungan dengan hal-hal lahiriah dan bathiniah si calon pengantin perempuan. Si calon pengantin diberi tempat khusus yang disebut huali lo wadaka (kamar bersolek). Di huali lo wadaka tersebut si calon pengantin mendapat gemblengan dari petugas agama dan petugas rumah tangga (hulango). Dia akan mendapat gemblengan dalam hal (a) bergaul dengan mertua dan ipar-ipar (motolongala’a), (b) tanggung jawab terhadap tanah air (motololipu), (c) ajaran agama
26
(motolo’agama) termasuk mengaji, (d) tanggung jawab kepada suami dan anakanak (motolodepula atau motolorumahtangga), (e) tanggung jawab kepada diri sendiri termasuk memelihara kecantikan. Gemblengan ini penting sekali untuk mempersiapkan calon pengantin perempuan untuk menerima tanggung jawab, baik tanggung jawab di dalam rumah tangga maupun tanggung jawab kepada masyarakat dan agama. Kalau calon istri tidak digembleng maka dikhawatirkan akan kaku, tersisih, yang akibatnya ia akan selalu dicibirkan oleh mertua dan ipar-ipar. Cibiran seperti itu pasti mengundang perselisihan dan pertengkaran. Selama tahap persiapan itu si calon istri disuruh mengaji, disuruh menyucikan bathin. Pengajianya akan ditutup pada malam perkawinannya yang biasa disebut hatamu Quru’ani (hatam qur’an). Rasanya menggelikan juga kalau acara hatam qur’an dilaksanakan padahal pengantin sendiri tidak tahu mengaji. Itulah sebabnya ia dipersiapkan, digembleng di huali lo wadaka agar betul-betul keharusan adat bukanlah proforma tetapi betul-betul dihayati dan teramalkan. Selain itu, sang putri diberi ketrampilan yang berhubungan dengan cara memelihara kecantikan, misalnya mencat ujung jari tangan dan kaki dengan mempergunakan tilangge. Kegiatan ini disebut mopotilangge. Ia juga dilatih memangkas alis dan bulu matanya yang disebut monganingo, dan diajar memandikan haid serta mandi junub, ia diajar pula mempergunakan bedak (yilamahu) yang dalam bahasa adatnya disebut mopobada’a dan bahkan disuruh mandi uap yang dalam bahasa adat molungudu. Semuanya ini bukan saja dimaksudkan sebagai persiapan hari perkawinan, tetapi lebih dari itu perkawinan harus diikuti dengan tanggung jawab dalam segala hal.
27
Agar ia siap menerima tanggung jawab tersebut maka selama di dalam huali lowada’a, si putri jelita itu dihibur (liangolio) atau digembirakan. Menurut pendapat Sri Tambengi istilah liango adalah pesta yang dibuat setelah akad nikah yang biasanya berlangsung dari 1 sampai 3 minggu. Jika calon pengantin wanita sementara dalam pengaturan muka yang dilakukan oleh bibibibinya dan kawan - kawannya ialah menjenguknya dan menggembirakannya. Perebutan itu dikenal dengan ”motadidi”. Tetapi acara gembira ini tidak boleh diikuti dengan bunyi - bunyian. Jadi, tidak disetujui kalau diadakan acara moturunani atau moburuda karena hal seperti itu akan dianggap mopobibi (pamer). Acara turunani dan buruda dapat dilaksanakan tetapi di rumah pengantin laki-laki bukan di rumah calon pengantin perempuan. Untuk mengganti bunyi-bunyian tersebut maka kepadanya hanya diberikan gemblengan dan mengaji dan disuruh mendengarkan cerita (pohunggulialio piilu). Dengan demikian calon istri terhibur dan diharapkan ia siap menerima tanggung jawab.
9. Tahap Modepitaa Maharu (Penyerahan Mahar) Ada orang berpendapat bahwa maharu merupakan perangkat u dutuolo (hantaran adat). Dalam pembahasan ini maharu atau tonelo di bahas tersendiri karena tahap ini merupakan tahap tersendiri dalam rangkaian proses pernikahan. Kata maharu berasal dari bahasa Arab mahar dan dalam bahasa adat Gorontalo ada kata tonelo. Untuk itu terlebih dahulu diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan tonelo. Seperti dikatakan di atas kata maharu berasal dari bahasa Arab, mahar. Kata mahar biasa dipadankan dengan kata mas kawin yang dalam bahasa
28
Jawa disebut tukon, di Sulawesi Selatan disebut sunnrang, di Maluku disebut wilin, di Tapanuli Selatan disebut beli, di Sumatera Selatan disebut jujur dan di Gorontalo disebut tonelo. Mahar diwajibkan atas suami dengan sebab nikah yakni memberikan sesuatu kepada calon istri, baik pemberian berupa uang atau benda lain. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi: ”wa aatunnisaaqa shoduqaatihinna nihlatan”, yang bermakna ”berilah perempuan yang akan kamu kawini itu, sesuatu pemberian”. Dalam agama Islam banyaknya mahar tidak di tentukan. Hal itu tergantung kepada kemampuan laki-laki dan kerendahaan pihak perempuan. Di usahakan agar mahar tidak merupakan hutang bagi laki-laki sebab kalau mahar tersebut menjadi hutang laki-laki dan ternyata ia tidak dapat membayarnya maka persoalan itu menjadi masalah di hari akhirat. Itulah sebabnya agama Islam tidak menentukannya karena dijaga akan memberatkan pihak laki-laki. Karena adat Gorontalo bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah maka dalam adat Gorontalo besarnya mahar telah dimusyawarahkan oleh kedua orang tua kedua belah pihak pada saat pertama kali mereka bertemu. Tonggu yang seperti dijelaskan di atas adalah pemberian atau pembayaran adat kepada orang tua perempuan. Dengan diserahkannya tonggu maka leluasalah pihak laki-laki mengadakan pembicaraan dengan pihak perempuan. Makna dan simbol adat Modepita Maharu 1. Kola-kola, bermakna tempat khusus mengusung semua benda-benda budaya yang diperlukan pada acara adat ini.
29
2. Tonggu, adalah pemberian adat atau pembayaran adat kepada orang tua perempuan. 3. Tonelo, adalah pembayaran adat yang menjadi milik perampuan. Pembayaran inilah yang nanti diucapkan sebagai mahar pada waktu akad nikah.
10. Tahap Modepita Dilonggato (Penyerahan Alat-Alat/Bahan Dapur) Dilonggato merupakan kewajiban pihak laki-laki, sesuai dengan musyawarah kedua orang tua, baik orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan ketika untuk pertama kali mereka bermusyawarah atau bertemu. Pada pertemuan tersebut kedua orang tua laki-laki memberi makan sirih-pinang (pomama) kepada kedua orang tua perempuan. Itu menandakan bahwa kedua orang tua laki-laki bertanggung jawab untuk mengadakan seperangkat makanan dan susulannya (tunuhio) kepada orang tua perempuan. Dilonggato merupakan seperangkat bahan makanan yakni sekarung beras, seekor sapi, kambing, ayam dan sebagainya sejauh yang dimampui oleh keluarga pihak laki-laki. Yang dimaksud dengan tunuhio adalah seperangkat rempah rempah dan penyedap makanan, wangi-wangian, bedak (alat perlengkapan untuk bersolek) dan penanda lain yang berhubungan dengan kegiatan laki-laki. Misalnya kalau dalam perangkat dilonggato terdapat alumbu, ini menandakan bahwa lakilaki datang bermalam pada malam perkawinan mereka. Demikian pula kalau dalam perangkat dilonggato tersebut terdapat selendang untuk menari maka ini menandakan bahwa pengantin laki-laki
30
merencanakan akan menyelenggarakan acara menari (molapi saronde wau mopotidi) pada malam pernikahan mereka. Perangkat dilonggato harus disesuaikan dengan makanan dan hewan yang diserahkan. Artinya kalau dilonggato itu berupa beras sekarung dan seekor sapi maka rempah-rempahnya harus sesuai dengan besarnya hewan. Tidak mungkin seekor sapi hanya dipakaikan rempah-rempah 1 liter cabek, 1 liter tomat dan sebagainya. Bahkan dalam dilonggato diikutsertakan alat untuk memasak makanan di rumah keluarga perempuan, misalnya pisau, kukuran, dan sebagainya. Perangkat dilonggato diusung dengan kola-kola tetapi tidak boleh dihantalo dan ditinilo. Alasannya dilonggato adalah benda melulu yang tidak tahu apa-apa. Dilonggato sering disebut tuango balanga. Oleh karena dilonggato disebut pula tuango balanga maka dilonggato langsung diserahkan di dapur. Perangkat dilonggato tidak boleh ditutup. Jadi, kalau ada sebaki tomat maka kelihatan sebaki tomat dan sebagainya. Ini perlu sekali supaya hadirin mengetahui apa yang kurang. Sebelum rombongan pihak laki-laki kembali maka si utolia luntu dulungo meminta keterangan dari pihak perempuan yang diwakili oleh si utolia luntu wolato mengenai hari pernikahan. Acara disudahi dengan minum teh atau kopi dan kue-kue. Selesai hidangan tersebut rombongan laki-laki yang mengantarkan dilonggato kembali ke rumah orang tua laki-laki. Rombongan pun bersama-sama kola-kola kembali tanpa bunyi-bunyian. Makna dan simbol adat Modepita Dilonggato: 1.Kola-kola, bermakna tempat mengusung semua bahan-bahan Dilonggato.
31
2.Bahan-bahan Dilonggato, bermakna penyempurnaan persiapan pelaksanaan pernikahan. 3.Alumbu, bermakna mempelai laki-laki akan bermalam dirumah mempelai wanita. Selendang bermakna, dari pihak laki-laki menginginkan untuk Molapi Saronde dan Mopotidi.
11. Kegiatan Membangun Sabua/bangunan tambahan Setiap pernikahan memerlukan tempat berpesta. Untuk itu diperlukan bangunan tambahan yang disebut Bantayo (bangunan tambahan). Bantayo harus dibangun sebelum hari perkawinan. Tugas ini harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah mohuuyula momongu bantayo (bergotong-royong membangun tempat upacara). Tugas seperti ini tidak perlu dikatakan atau dimusyawarahkan karena sudah ditegaskan pada kunjungan orang tua laki-laki pada tahap pertama. Hal itu sudah tersirat pada simbol adat berupa sirih-pinang pada pertemuan pertama. Jadi, sudah merupakan kewajiban moril pihak laki-laki untuk membantu pihak perempuan membangun bantayo tersebut. Biasa ditempuh kebijaksanaan yakni pihak perempuan menyediakan bahan-bahan, pihak laki-laki yang menyiapkannya (u’bua mopodudu, u la’i momutu-mutu). Kini hal itu sudah kurang dilaksanakan karena ada ungkapan istilah dari pihak laki-laki (ma teeto u nga’ami) sudah di situ semua pada biaya pesta.
32
12. Kegiatan Mengundang Tujuh hari sebelum diadakan pesta perkawinan, maka kedua belah pihak (pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki) melaksanakan kegiatan mengundang (mopona’o lo toduo atau meqihama-hama). Undangan dapat dilaksanakan paling lambat tiga hari sebelum hari perkawinan. Orang yang diundang sehari sebelum perkawinan akan menganggap bahwa yang bersangkutan hanya untuk menambah orang yang diundang sehari sebelum hari perkawinan akan enggan untuk menghadiri pesta perkawinan tersebut. Undangan lebih afdlal kalau dilaksanakan secara lisan. Namun dengan perkembangan teknologi dan didasarkan pada faktor waktu dan kepraktisan, maka keluarga yang akan melangsungkan pesta perkawinan lebih suka mengundang tamu secara tertulis. Kartu undangan dikirim melalui kantor pos atau disuruh antarkan ke alamat. Kadang-kadang orang yang mengantarkan undangan, memakai pakaian adat dan kertas undangan diletakkan di atas baki. Seandainya undangan dilaksanakan secara lisan maka biasanya disuruh sepasang (laki-laki dan perempuan, kadang-kadang sepasang suami-istri) untuk bertamu kepada orang yang diundang. Orang yang akan melaksanakan undangan tersebut memakai pakaian penanda yang menyatakan bahwa mereka mendapat amanah untuk melaksanakan tugas mengundang. Laki-laki memakai kemeja dan kerah bertutup (boqo kini) dan memakai songkok, sedangkan perempuan memakai batik dan kebaya (asal jangan yang berwarna putih). Pasangan laki-laki dan perempuan seperti ini terutama bertugas mengundang keluarga atau handai taulan. Orang yang bertugas mengundang pejabat, misalnya Bupati atau Walikota (olongia)
33
biasanya dipercayakan kepada Baate (pemangku adat). Setelah pengundang duduk dan dipersilahkan berbicara oleh tuan rumah, maka pengundang mulai dengan kata-kata: Alhamdulillah amiaatia lodulungai bo topoqahu lemei ... woli ... ode olanto motolodile pohileelio ito motolodile mola motaalua to dulahu ... mopoqaaitomaqo oli ... walaqi ... mai nikaa le ... walaqi ... wonu diaalu pohaarusi lo Allahu Taqaala nika boito mulaialio jam ... tunggulo u lapato to bele li mongolio to kaambungu lo ... (alhamdulillah kami datang ke sini mendapat tugas dari Bapak/Ibu ... kepada Bapak/Ibu, diharapkan hadir pada hari ... untuk menikahkan si ... anak Bapak/Ibu ... yang akan dinikahi oleh si ... anak Bapak/Ibu ... kalau tidak ada aral melintang perkawinan itu akan dimulai jam ... sampai selesai bertempat di rumah mereka di kampung. Demikian seterusnya sehingga semua orang yang diundang terjangkau oleh petugas.
13. Kegiatan Mopotiladahu (Mempertunangkan) Kegiatan mempertunangkan (mopotilandahu) diadakan kalau ada penanda pada waktu pihak laki-laki mengantarkan dilonggato kepada pihak perempuan. Penanda itu berupa selendang untuk dipakai menari. Menurut Kuno Kaluku, acara mopotilandahu dikatakan pula molile huali (meninjau kamar tidur). Maksud meninjau kamar tidur yakni: (I) apakah calon istri memang sudah yang direncanakan oleh jejaka dan (II) untuk menyesuaikan dengan keinginan pengantin laki-laki mengenai kamar yang akan mereka pakai. Richard Tacco mengemukakan dua macam motilandahu, yakni: (a) motilandahu maharu, dan (b)
34
motilandahu huali. Pada saat berlangsung acara modepitaa maharu, malamnya diadakan kunjungan paling lama setengah jam oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Kunjungan ini disebut motilandahe maharu. Pada malam sebelum diadakan perkawinan, diadakan kunjungan oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Pelaksanaannya tidak secepat motilandahu maharu. Motilandahu huali perpadanan dengan kata mopotilandahu saja. Hal itu ditandai oleh selendang yang diserahkan oleh rombongan pihak laki-laki ketika mereka mengantarkan dilonggato. Pelaksanaan acara mopotilandahu dilaksanakan sebagai berikut. Pihak laki-laki akan mempersiapkan (I) kendaraan, (II) kati (pembayaran adat), (III) bubato (petugas adat), dan (IV) hantalo (genderang dan rebana). Dahulu si pengantin laki-laki tidak memakai kenderaan tetapi didukung oleh manusia. Bisa juga memakai kenderaan yang disebut bulubuluata (usungan). Bubato adalah orang yang akan bertugas untuk melaksanakan turuunani dan mengapit pengantin laki-laki kalau akan menari. Hantalo dibunyikan dalam perjalanan sedangkan rebana akan dibunyikan kalau acara moturuunani dimulai di rumah pengantin perempuan. 14. Mohaatamu Quru’ani (Khatam Pengajian) Acara mohaatamu Quru’ani dilaksanakan oleh pengantin perempuan di rumah orang tuanya. Pelaksanaannya biasanya pada malam perkawinan. Seperti telah diuraikan di atas bahwa setelah acara motolobalango maka si calon pengantin perempuan mengadakan berbagai kegiatan antara lain digembleng dengan jalan mengaji. Untuk menandai bahwa ngajinya telah tamat maka
35
diadakan acara hatam Quran. Kalau pengantin perempuan tahu mengaji maka diadakan acara hatam Quran padanya. Seandainya pada waktu tahap mengantarkan bahan makanan (= dilonggato) ada tanda bahwa pengantin laki-laki akan melaksanakan acara mopotilantahu maka acara hatam Quran biasanya didahulukan semalam. Sebab tidak mungkin acara mopotilantahu yang terdiri dari Molapi Saronde dan Motidi dirangkaikan dengan hatam Quran. Untuk menghindari kedua acara (karena hatam Quran berhubungan dengan agama dan acara molapi saronde/motidi berhubungan dengan hiburan) tersebut berurutan maka acara hatam Quran biasanya didahulukan semalam. Pada acara ’mohaatamu Quru’ani’ tersebut, pengantin perempuan dipakaikan pakaian adat, biasanya Sunti. Seorang Baate melafalkan nasehat (tuja’i) ketika mopolualo (mengundang keluar kamar), mopodiambango (mengundang untuk melangkah) dan mopohulo’o (mengundang duduk) di pelaminan. Yang melaksanakan acara ini biasanya ibu-ibu. Ibu-ibu duduk di sekitar tempat duduk pengantin perempuan. Lalu dilanjutkan dengan acara hatam Quran. Acara tutup dengan doa. Kepada tamu-tamu yang hadir yang kebanyakan ibu-ibu diberikan suguhan berupa minum-minum dan makan kue. Si pengantin perempuan kemudian diundang untuk kembali ke kamarnya (huali lo wadaka) untuk beristirahat.
15. Mopotidi (Tarian Khusus Mempelai Perempuan) Kata mopotidi berasal dari kata tidi yang bermakna tarian. Mopotidi artinya melaksanakan acara tarian tidi. Tidi ini beragam-ragam namanya. Ada
36
yang disebut tidi da’a (khusus anak raja), tidi lo polopalo (khusus puteri bangsawan), tidi lo tonggalo (acara keluarga ), tidi lo ayabu (anak pejabat kerajaan), tidi lo tihu’o (penyambutan tamu). Tidi untuk perkawinan biasanya tidi lo polopalo. Berbeda dengan acara molapi saronde di mana ada beberapa orang yang mengantarkan tarian sebelum pengantin laki-laki menari, maka pada acara motidi, yang motidi hanya pengantin perempuan. Adanya acara motidi didasarkan atas permintaan pihak laki-laki yang mereka lambangkan dengan adanya selendang tidi ketika pihak laki-laki mengantarkan bahan makanan (dilonggato) kepada pihak perempuan. Kalau ternyata ada penanda bahwa acara tidi akan dilaksanakan maka pihak perempuan akan mempersiapkannya. Pengantin perempuan di persiapkan dengan memakai pakaian khusus untuk tarian yang biasanya seperti Sunti. Warna pakaian biasanya kuning telur (u yilulupa) karena pengantin perempuan dianggap ratu sehingga mereka berhak memakai pakaian yang berwarna seperti pakaian raja dan ratu. Sebelum tidi dimulai maka si pengantin perempuan disiapkan di kamar lo wadaka. Sementara pengantin laki-laki beristirahat, Baate dalam hal ini si Utolia Luntu Dulungo Laigo meminta kepada pihak perempuan yang biasanya diwakili oleh si Utolia Luntu Dulungo Wolato, agar acara tidi dimulai. Kalau disetujui maka hantalo pun dibunyikan. Seorang Baate mengundang dengan tuja’i (pantun) kepada pengantin perempuan yakni tuja’i mopotihulo ‘mengundang berdiri’, mopodiambango ‘mengundang melangkah’ dan mopolualo ‘mengundang untuk keluar’, ke arena tari yang mudah dilihat oleh pengantin laki-laki. Seorang gadis yang juga
37
berpakaian tari datang menyerahkan pelengkap tidi (polopalo) kepada pengantin perempuan. Ketika dia menerima pelengkap tidi maka ia pun segera menari di iringi dengan hantalo (bunyi-bunyian) yang khusus untuk mengiringi tarian atau tidi tersebut. Dengan adanya perkembangan masyarakat yang kemudian mempengaruhi pelaksanaan adat maka cara hantalo biasanya diiringi pula dengan lagu untuk tidi .Selesai menari maka pengantin perempuan kembali kekamarnya untuk beristirahat. Makna dan simbol Mopotidi: Mopotidi bermakna sebagai pelajaran kepada sang pengantin wanita yang akan memasuki bahtera rumah tangga.
16. Acara Mopotuluhu (Keluar Rumah) Acara mopotuluhu (keluar rumah) dilakukan setelah acara molapi saronde dan acara motidi. Seperti telah diuraikan pada acara motidi di atas, baik pengantin perempuan maupun pengantin laki-laki akan diistirahatkan setelah acara menari usai. Kalau acara mopotuhulu disetujui untuk dilaksanakan maka si pengantin laki-laki pun diistirahatkan dikamar pengantin (hulai lo humbio) di rumah pengantin perempuan. Si pengantin laki-laki memakai Alumbu Yilulupa (selimut berwarna kuning telur) yang telah disiapkan di situ. Menjelang subuh maka si pengantin laki-laki secara diam-diam meninggalkan kamarnya dan kemudian melarikan diri sambil memakai alumbu (selimut) tersebut menuju rumahnya. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa ia melarikan selimut yang dipinjamkan diri sekitar pukul 23.00 saat
38
orang belum tidur. Alasannya supaya orang tidak terganggu dengan kegiatan itu. Penuturan itu mengatakan ketika si Utolia Luntu Dulungo Layi’o dan temantemannya kembali ke rumah maka mereka segera disusul oleh pengantin laki-laki yang melarikan diri tadi. Rombongan Utolia Luntu Dulungo Layi’o pasti tersusul oleh pengantin lakilaki karena mereka sengaja memperlambat perjalanan. Makna dan simbol adat Mopotuluhu: Melarikan Alumbu Yilulupa (selimut warna kuning telur) oleh pengantin laki-laki diartikan bahwa pengantin laki-laki melarikan selimut yang dipinjamkan kepadanya dan akan kembali pada esok hari.
17. Tahap Moponika (Menikahkan) Kata moponika berasal dari kata nika (nikah) yang bermakna menghalalkan jasmani seorang perempuan yang sebelumnya haram untuk digauli. Tahap moponika merupakan upacara peresmian, pengumuman dan pengukuhan sepasang muda mudi untuk mendirikan rumah tangga. Oleh karena perkawinan itu merupakan peresmian, pengumuman dan pengukuhan hubungan jejaka dan gadis bahkan antara keluarga dengan keluarga maka acara itu dihadiri oleh Buatulo Sara’a (pegawai agama) dan masyarakat luas (ta daadaata) terutama famili. Peserta perkawinan dianggap pula resmi keluarga karena pada waktu itu sanak keluarga yang jauh datang berkumpul. Ibu dan ayah anggota keluarga yang hadir menjelaskan kepada anak-anaknya tentang hubungan keluarga dengan tamu-tamu yang hadir. Keluarga yang hadir akan berkenalan satu sama lain. Sekarang hal yang sebaik itu sudah mulai ditinggalkan. Orang datang bukan untuk berkenalan
39
dengan sesama keluarga. Dewasa ini pesta perkawinan sudah lebih banyak bersifat (a) pamer atau memperlihatkan kekayaan (harta), (b) formalitas di mana orang duduk-duduk sambil menunggu acara bersantap dan kemudian kembali ke rumah masing-masing. Hari perkawinan merupakan hari yang agung bagi kedua mempelai bahkan keluarga. Pada hari itu, baik di rumah keluarga laki-laki maupun di rumah keluarga perempuan akan sibuk mempersiapkan segala sesuatu agar tamu yang diundang tidak kecewa. Pada pesta perkawinan sering bukan acara perkawinan saja yang dilakukan tetapi ada juga acara lain misalnya gunting rambut atau khitanan. Hal seperti ini menguntungkan jika dihubungkan dengan soal waktu dan biaya. Acara pada hari perkawinan mengikuti urutan tertentu. Misalnya pada pihak laki-laki akan melaksanakan acara mopolaahe buleentiti la`i (melepas pengantin laki-laki) yang terdiri dari (a) momudu`o (mengundang untuk berangkat), (b) mopodiambango (mengundang melangkah), (c) mopolaahu (mengundang turun tangga), (d) mopolualo (mengundang keluar halaman rumah), dan (e) mopota`e (mengundang naik kenderaan). Sebelum pengantin laki-laki berangkat, kola-kola yang akan membawa u kilati harus sudah siap. Di kola-kola itu naik pula (a) penabuh (tukang hantalo), (b) pelaksana sa’ia, (c) Utolia Luntu Dulungo Laiqo, dan petugas lain serta rombongan pihak laki-laki.
18. Acara Akad (mongakaji)
40
Sebelum acara akad nikah dilaksanakan maka diadakan dahulu penjemputan mempelai perempuan (bulentiti bua) dari kamar hias (huwali lo wadaka) ke kamar adat (huwali lo humbio). Seorang Baate segera menuju kamar pengantin perempuan. Pengantin perempuan diundang berdiri dan untuk itu ia akan dituja`i dengan tuja`i momuduqo (mengundang berdiri). Mengenai tempat pelaksanaan akad nikah, menurut penuturan para informan, harus dilaksanakan di dalam rumah, di induk rumah. Akad nikah tidak dibenarkan di teras rumah apalagi di sabua. Hal itu tidak di setujui karena teras rumah atau sabua hanya merupakan tambahan rumah saja dan masih tetap dianggap rumput. Dalam walaququ botie dila taa lotapuqu to huqoyoto yang artinya bahwa anakku ini tidak kuperoleh dari perkawinan yang tidak sah atau tidak terhormat. Itu sebabnya ia harus di hormati. Akad nikah di pelaminan pun tidak dibenarkan. Yang berhak menikahkan atau mengakad, yakni orang tua perempuan. Menurut hukum Islam yang boleh menikahkan atau memberikan izin menikah, yakni (a) bapaknya, (b) kakenya (bapak dari bapak pengantin perempuan), (c) saudara laki-laki yang seibu sebapak dengan pengantin perempuan, (d) saudara laki-laki yang sebapak dengan dia, (e) anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengan dia, (f) anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak dengan dia, (g) saudara bapak yang laki-laki, (h) anak lakilaki dari pamannya dari pihak bapak dan (i) Hakim. Untuk menjadi wali harus memenuhi syarat, (a) Islam (orang yang bukan Islam tidak boleh menjadi wali), (b) balik (sudah berumur sekurang kurangnya 15 tahun), (c) berakal, (d) merdeka, (e) laki-laki dan (f) adil. Syarat wali ini berlaku pula untuk orang yang menjadi
41
saksi dalam akad nikah yang akan dilaksanakan. Wali ini yang mengizinkan pelaksanaan akad nikah. Kalau tak ada yang mengizinkan maka perkawinan tak boleh dilangsungkan. Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan ini maka laki-laki yang telah beristri dan akan menikah lagi, ia harus mendapat izin dari istrinya. Izin tersebut harus dalam bentuk tertulis sedangkan perempuan yang akan dinikahkan harus tidak dalam persoalan misalnya masih istri orang atau sudah dicerai suaminya tetapi masih dalam keadaan indah.
19. Acara Molomela Taluhu Tabia (Membatalkan Air Wudhu) Acara ini merupakan acara untuk membatalkan air wudlu. Baik pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan sebelum diakad dan dibaiat, mereka harus berada dalam suci. Mereka harus mengambil air wudlu. Setelah akad nikah maka air wudlu itu akan dibatalkan sebab pengantin laki-laki akan segera menuju kamar adat (huali lo humbio), tempat pengantin perempuan dibaiat tadi untuk disentuh dahinya sebagai tanda bahwa mulai saat itu halal lah perempuan tersebut menjadi milik pengantin laki-laki. Makna dan simbol pada acara ini : Mulai saat acara adat ini maka halal lah perempuan tersebut menjadi milik pengantin laki-laki
20. Acara Mopopipidu (Menyandingkan Di Pelaminan)
42
Mempelai laki-laki tiba di rumah pengantin perempuan atau ia sudah berganti pakaian. Acara dilanjutkan dengan mopopipidu ’(menyandingkan)’ di pelaminan. Si Utolia Luntu Dulungo Layi’o memaklumkan kepada si Utolia Luntu Dulungo Wolato bahwa pengantin laki-laki siap untuk bersanding. Hantalo u lipu dibunyikan. Pengantin laki-laki memakai makuta (’mahkota’) dan pengantin perempuan memakai pakaian bili’u Pada hari itu kedua mempelai disebut buleentiti yang berasal dari kata bulabulaqi yingontii botii. Maksudnya pada hari itu mereka diagungkan berbuat sesuatu seperti yang dilaksanakan oleh olongia (bangsawan) sekalipun mereka bukanlah olongia.
21. Acara Palebohu (Nasihat Keluarga) Selesai do’a, mereka akan dinasihati oleh seluruh keluarga. Nasihat itu diucapkan dalam bentuk puisi yang disebut palebohu. Karena tidak semua keluarga dapat memalebohu maka mereka hanya diwakilkan kepada seorang Baate untuk mengucapkan palebohu tersebut. Kedua mempelai kini duduk bersanding. Semua mata memandang kepada kedua insan yang kini menjadi suami istri. Tetamu mengagungkan mereka sambil berdoa semoga kedua mempelai akan aman dan sejahtera dalam kehidupan mereka. Palebohu selesai. Sementara itu suguhan kopi segera dilaksanakan untuk menandai bahwa tamutamu sudah boleh meninggalkan rumah pengantin perempuan. Tamu-tamu memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Utolia Luntu Dulungo Layi’o memaklumkan kepada Utolia Luntu Dulungo Wolato bahwa akan diadakan acara modelo.
43
Makna dan simbol pada acara Palebohu: Palebohu, adalah nasihat oleh seluruh keluarga dalam berbentuk puisi dan memuat semua pesan-pesan pengajaran, yang menyangkut bagaimana ketertarikan mereka sebagai suami istri, baik melalui proses kesepakatan berdua, keluarga, adat dan hukum agama.
22. Acara Modelo (Menjemput Pengantin Wanita) Hantalo (iring-iringan) dibunyikan menandakan acara akan dilanjutkan dengan tahap modelo (Menjemput pengantin wanita). Adat dudelo diserahkan. Pengantin perempuan diizinkan untuk berangkat. Kedua mempelai dengan diapit oleh ibu-ibu (taa modelo) menuju kenderaan yang telah disiapkan. Tiba di tangga rumah orang tua pengantin laki-laki, pengantin perempuan mendapat sematan di jari manisnya yang dikenakan oleh ibu pengantin laki-laki. Seember air disiramkan ke dekat kaki pengantin perempuan untuk menandai dan menghormatinya karena selama dalam perjalanan, kaki pengantin telah dilekati abu dan sebagainya sehingga perlu dibersihkan. Mereka segera disandingkan di pelaminan yang juga telah dipersiapkan tanpa tuja’i. Kedua mempelai disuguhi adat yang disebut tilolo dan juga kue dan minuman sebagai penghormatan keluarga laki-laki kepada kedua mempelai. Kirakira setengah jam mereka berada di rumah orang tua pengantin laki-laki kedua mempelai dikembalikan lagi ke rumah orang tua perempuan. Sementara itu anggota rombongan (pada umumnya keluarga pengantin perempuan) harus dijamu dengan makan kue dan minum oleh keluarga laki-laki. Selesai jamuan kepada
44
tamu-tamu dan keluarga perempuan, kedua mempelai diberangkatkan ke rumah orang tua perempuan untuk beristirahat dan bersantap siang. Kedua mempelai tiba dirumah orang tua perempuan. Mereka disuruh mengganti pakaian untuk bersiap bersantap siang bersama-sama dengan ibu-bapak dan keluarga. Kepada mereka hanya disediakan satu piring dan harus makan bersama-sama pada piring itu (moduulua) yang menandakan bahwa mereka harus bersatu padu untuk mencari rezeki dan memanfaatkannya. Sementara itu pihak keluarga perempuan mempersiapkan
tempat
untuk
pelaksanaan
turuunani
(resepsi).
Acara
mopoturuunani diadakan malam, pada hari pertama pengantin baru tersebut. Makna dan simbol pada acara Modelo: Modu’ulau, piring menandakan mereka harus bersatu dan satu rasa.
23. Acara Mopoturuunani (Malam Pertama) Malam pertama itu kedua orang tua pengantin laki-laki datang bertamu kerumah orang tua pengantin perempuan. Orang tua laki-laki diiringi oleh keluarga terdekat. Maksud kunjungan mereka untuk mengetahui apakah gadis yang dikawini oleh anak mereka masih perawan atau tidak. Malam pertama merupakan malam pertanggungjawaban sang gadis (= kini telah menjadi istri) mengenai kehormatannya dan kehormatan kedua orang tuanya bahkan kehormatan keluarganya. Setelah mereka tiba dan disuguhi minuman kopi atau teh dan makan kue maka mereka minta izin untuk melaksanakan turuunani. Kedua mempelai yang kini telah menjadi suami istri diundang masuk kamar pengantin. Semua adat yang berhubungan dengan itu diserahkan, misalnya adati lo uua’adu
45
ta’ato ‘adat pembuka celana’, adati lo pate lo tohe ‘adat mematikan lampu’, mereka pun tidurlah. Setelah mereka melaksanakan tugas sebagai suami istri, si suami keluar untuk berjabat tangan. Kadang-kadang hanya melemparkan sapu tangan putih yang berlumuran lendir bercampur darah sebagai tanda bahwa gadis tersebut masih didapati dalam keadaan perawan. Seandainya didapati dalam keadaan tidak perawan maka kemurungan akan menimpa kedua belah pihak. Setelah berjabatan tangan atau pengantin laki-laki melemparkan sapu tangah putih, saat itu pula turuunani dihentikan. Rombongan pihak laki-laki meminta izin untuk kembali. Acara turuunani akan dilanjutkan di rumah orang tua laki-laki kalau ternyata gadis masih didapati dalam keadaan perawan. Kalau sudah tidak perawan maka turuunani tidak dilanjutkan lagi, dan orang-orang pasti akan mengetahui dari diamnya turuunani tersebut yang menyatakan bahwa sang gadis didapati tidak perawan lagi. Lanjutan turuunani di rumah orang tua laki-laki sangat menentukan dalam arti pengumuman kehormatan keluarga pihak perempuan. Kini adat serupa itu telah jarang dilakukan. Biasanya orang tua laki-laki datang setelah semalam pengantin tidur. Tanda kegadisan yang berwujud kain putih yang berlumuran darah dan lendir ditaruh di dalam tapahula untuk diperlihatkan kepada orang tua pengantin laki-laki.
24. Acara Mopotamelo (Bersama Keluarga Pihak Perempuan)
46
Besoknya kedua mempelai itu disuguhi minuman secangkir teh atau secangkir kopi dan harus minum dari yang disediakan. Si istri lebih dahulu mencicipi minuman tersebut, yang kemudian disusul oleh si suami. Ini melambangkan agar mereka bersayang-sayangan terus. Kira-kira pukul 11.00 mereka diantari makanan dari orang tua laki-laki. Hari kedua dan ketiga tidak diantari lagi sebab hal itu menjadi tanggungan pihak orang tua pengantin perempuan. Jadi, selama tiga hari mereka harus bersama dengan orang tua pihak perempuan setelah hari perkawinan. Sekalipun mereka telah bergaul (ma loqoqohamawa), mereka belum diizinkan turun. Setelah tiga hari maka mereka akan ditidurkan di rumah orang tua pengantin laki-laki. Mereka didampingi oleh keluarga pihak perempuan, biasanya tiga atau empat orang yang sudah berkeluarga. Pengiring itu adalah ibu-ibu. Hari pertama mereka akan disuguhi makanan yang berasal dari orang tua perempuan tapi hari kedua dna ketiga mereka akan disuguhi makanan yang berasal dari orang tua pengantin laki-laki. Pada hari ketiga mereka kembali lagi ke rumah orang tua perempuan. Kedatangan mereka diolu-olukan oleh keluarga. Pada hari itu, setelah mereka tiba kembali dirumah orang tua perempuan, maka ibu pengantin mengambil tapahula yang berisi tonelo = mahar yang diantarkan, oleh pihak keluarga laki-laki pada acara modepitaa maharu. Tonelo itu akan dibuka dihadapan keluarga. Ibu pengantin perempuan berkata; botii uuti maa muli popotolimoo mai lami oli mongoli maharu u mai piodutumu oli ... ami mohile duqa ode Allahutaqala potala wolo maharu botie ti mongoli ma moali moqolioqo mopeehu
47
riziki to dalalo Allahu Taqaala, yang artinya; ini nak berdua, akan kami serahkan kembali mahar yang kau anugrahkan kepada anak kami si ....dan kemi berdoa semoga dengan mahar ini kamu berdua sudah dapat berusaha untuk mencari rezeki yang diredlai Allah. Dengan adanya kata-kata ini maka seluruh proses perkawinan telah dinyatakan selesai. Kedua suami istri yang baru sudah dapat mengambil sikap, apakah (a) untuk sementara akan tinggal bersama orang tua perempuan, (b) untuk sementara akan tinggal bersama orang tua laki-laki, dan (c) akan tinggal dirumah orang lain dengan jalan menyewa. Kalau mereka memutuskan untuk tinggal bersama orang tua mereka, apakah dengan orang tua pihak perempuan atau pihak laki-laki, maka kewajiban orang tua untuk mopo’otanggala bele (meluaskan rumah) yang disebut mohutu tihengio (menambah rumah). Mulailah kedua mempelai tadi hidup sebagai suami istri. Biasanya pada hari-hari pertama kedua pasangan suami istri tersebut akan merupakan tanggungan kedua orang tua. Tetapi mereka selalu dianjurkan untuk berpikir dengan memanfaatkan mahar yang ada.
4.2.2 Pelaksanaan Proses Adat Pernikahan Mongondow Tentang pernikahan di Bolaang Mongondow adalah berlain-lainan menurut tingkat pembagian bangsa masing-masing. Kalau sama-sama bangsa anak cucu raja dikawinkan, maka mula-mula orang tua dari keluarga pihak laki-laki mengundang kepala-kepala kaum (Punu’) dan memberitahukan maksudnya, segera diadakan perundingan. Tahapan proses adat pernikahan Mongondow yaitu:
48
1.Tahap Moguman (Musyawarah) Adalah musyawarah atau dimana pertemuan para utusan orang tua kedua belah pihak calon mempelai pria dan wanita dan para lembaga adat. Menurut Zainal Sugeha, Pertemuan tersebut membahas tentang maksud yang mana si pria ingin meminang si wanita. kalau seluruh keluarga setuju barulah diadakan peminangan kepada orang tua pihak wanita, tentang peminangan ini, orang tua pihak pria termasuk para keluarga mengundang beberapa orang tua –tua dan beberapa kepala –kepala kaum memberitahukan hal itu kepada ibu bapak si gadis. Rombongan utusan keluarga pihak laki-laki menuju kerumah keluarga pihak wanita. Setibanya dirumah pihak wanita, rombongan disambut dengan penuh penghormatan. Kesemuanya disuruh duduk dan disuguhkan makan sirih dan pinang. Setelah selesai makan sirih dan pinang, maka satu diantara kepala rombongan itu atau satu diantara orang tua-tua mulai angkat bicara. Biasanya kata-kata dalam pembicaraan itu diambil dari perumpamaan, andai-andaian, kiasan, ungkapan yang kesimpulannya setuju kepada pengertian peminangan kepada si gadis (nama gadis harus disebutkan), untuk dikawinkan dengan anak pihak keluarga laki-laki yang bernama ….(nama laki-laki).. selesai orang tua pihak laki-laki berkias kiasan itu, segera disambut oleh utusan pihak wanita dengan kata-kata yang singkat yaitu pinangan diterima baik dengan catatan bahwa pria yang bersangkutan disuruh “monagu” (simpanan laki-laki, disuruh bawa barang pakaian seperti cincin emas dan manik-manik) diserahkan kepada orang tua sigadis.
49
Makna dan simbol pada acara adat ini: Moguman, bermakna pertemuan dua pihak keluarga dan membahas tentang maksud dari pihak keluarga laki-laki (meminang). Monagu’, pemberian dari pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan. Sirih
dan pinang, sirih bermakna hubungan kekerabatan dan
pinang
melambangkan penyempurnaan.
2.Tahap Monarang Kon Singog (Kesepakatan Musyawarah) Pemberitahuan pada orang banyak yang mana kedua belah pihak keluarga telah melaksanakan musyawarah tentang peminangan anak mereka. Dan disinilah timbul penentuan yoko’ atau ugat in buta’ (Harta adat) dan nabuka’ (seserahan) Makna dan simbol pada acara ini: Tahap Monarang Kon Singog atau kesepakatan musyawarah tentang peminangan. Yoko’ atau Ugat in buta’ adalah harta adat dan Nabuka’ bermakna seserahan untuk pengantin wanita.
3.Tahap Kokantangan (Masa Tenggang Waktu) Dimana adat ini dilakukan setelah prosesi adat monarang kon singog telah selesai dilaksanakan, kokantangan ini artinya proses masa tenggang waktu antara kedua belah pihak keluarga calon pengantin pria maupun wanita sebelum ke hari akad nikah dan dihadiri oleh saksi. Menurut Salimin Mamonto, Jika pada masa kokantangan ada diantara salah satu keluarga membatalkan pernikahan maka keluarga tersebut dikenakan sanksi adat, kalau pihak perempuan yg membatalkan
50
diharuskan membayar harta adat setengah dari total biaya upacara adat dan mengembalikan nabuka’ (seserahan). Jika pihak laki-laki yang membatalkan maka diharuskan membayar seluruh biaya harta adat . Makna dan simbol pada acara ini: Kokantangan adalah masa tenggang waktu antara kedua belah pihak keluarga
4.Kegiatan Mokidulu/Kuateng (Gotong Royong) Mokidulu atau kuateng adalah budaya gotong royong yang sudah turun temurun pada masyarakat mongondow biasanya dilakukan di rumah mempelai wanita pada hari sebelum pernikahan/resepsi. Menurut Zainal Sugeha, Mokidulu atau kuateng ini bermaksud meringankan beban pada pihak keluarga pria. Masyarakat, keluarga, sanak saudara handai taulan beramai ramai pergi kerumah mempelai wanita untuk membawa dan mengantarkan bahan makanan, beras, sayur mayur, sembako, hewan ternak, dan segala macam bumbu masakan. Setelah itu dikerjakan bersama-sama oleh keluarga kedua belah pihak mempelai, sanak saudara, handai taulan, sampai masyarakat . Makna dan simbol pada acara ini: Makna mokidulu adalah gotong royong para keluarga dari kedua belah pihak dan masyarakat saling membantu dalam melancarkan kegiatan ini.
5.Akad Nikah
51
Tidak berapa lama berselang adat kokantangan dilaksanakan acara akad nikah. Menurut Zainal Sugeha Setelah akad nikah selesai, dilaksanakan penyerahan nabuka (seserahan) Cincin dan manik-manik diletakan dalam baki (wadah), ditutup dengan sapu tangan yang terbuat dari sutera merah. Baki tempat meletakkan bahan-bahan itu ditatang oleh seorang pria yang masih beribu dan berbapak. Dibelakangnya ditugaskan lagi satu orang pemegang payung sutera pelindung baki dari panas matahari atau rintikan hujan. Kemudian dikawal menuju rumah si gadis. Setibanya dirumah sang gadis maka rombongan disambut oleh pihak keluarga wanita. Selesai disambut dilaksanakan makan minum seadanya dan sesudah itu diadakan penentuan waktu perkawinan. Tiba pada saat perkawinan diadakan pesta besar-besaran, dilaksanakan pemukulan kolintang, gendang, tifa, gong, dan lain-lain. Perhiasan musik soal perkawinan ini besar kecil pesta terserah kepada kemampuan. Jika diadakan pesta pernikahan maka semua kerabat handaitaulan anak cucu raja (kohongian), laki-laki perempuan berkumpul untuk santap makan minum bersama-sama. Makna dan simbol pada acara ini: Sapu tangan sutera merah, bermakna berani dalam semua tantangan kehidupan dan dalam bahtera rumah tangga,
6.Tahap Mogama (Menjemput Pengantin Wanita) Menjemput pengantin wanita untuk berkunjung ke rumah kediaman pengantin pria pada saat sehari sesudah pernikahan dilaksanakan dalam tata cara perkawinan adat ini disebut “Mogama”. Menurut Salimin Mamonto, Untuk setiap
52
fase yang dilalui ini, ditetapkan yoko' (biaya) sendiri-sendiri, kemudian ditambah dengan yoko' moloben (maskawin). Dalam era pembangunan dan pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, perincian – perincian seperti di atas ini mulai dihilangkan dan disepakati untuk menetapkan besarnya yoko' (biaya) sesuai kemampuan pihak keluarga laki-laki yang disetujui pihak wanita, disaksikan oleh guhanga (petugas adat) dan direstui oleh pemerintah. Untuk setiap tingkatan golongan, besarnya yoko' moloben telah ditetapkan, misalnya untuk kohongian sebesar 200 real. Dalam nilai 200 real itu, tidak hanya didasarkan pada satu jenis bahan, tetapi ditetapkan 50 real uang tunai, sedangkan 150 real adalah yoko' dalam bentuk barang (natura). Hal ini pun ditetapkan sesuai persetujuan kedua belah pihak, misalnya : pindan in talong, pindan mo alus, (dua jenis piring antik), sikayu (kain antik). Harga sikayu waktu itu berbeda-beda, ada yang 30 real, 20 real, 10 real, 5 real sampai 3 real. Dari setiap jenis diambil, hingga genap bernilai 150 real. Dimulai dengan yoko' untuk guman (peminangan) sebesar 10 real yang dibayar dengan benda. Dari pihak wanita, ada yang disebut : abat ing guman (jawaban atas peminangan). Abat ing guman ini diberikan kepada seorang gadis yang duduk di kursi, memakai selubung lalu menerima abat ing guman sebesar 16 real. Bila si gadis noki imontoi sebelum atau sesudah peminangan, maka seluruh biaya imontoi ditanggung oleh pihak laki-laki. Inipun atas kesepakatan kedua pihak sesuai keikhlasan. Karena dalam imontoi ini ada : le'ad, posiugan le'adan (tidur saat perataan gigi), pobangonan (bangun sesudah perataan gigi), poponungkulan im batu pole'adan (pemasangan batu perataan gigi), maka semua biaya disesuaikan dengan
53
kesepakatan bersama. Secara adat upacara ini harus dilakukan, sebab bila tidak, pengantin wanita dianggap belum berbaur dengan keluarga pengantin pria dan karena itu belum leluasa dia belum leluasa atau belum bebas bahkan belum diakui sebagai warga didalam keluarga pihak pria. dan apabila ada salah satu orang tua dari suaminya meninggal atau mertua dari wanita tersebut dan kedua suami istri itu belum melaksanakan adat mogama pada waktu lalu, maka wanita itu dilarang pergi kerumah suaminya karena belum melaksanakan adat mogama’ karena ini salah satu pedoman tata cara perkawinan adat Bolaang Mongondow. Makna dan simbol pada acara ini: Menjemput pengantin wanita untuk berkunjung ke keluarga pihak laki-laki agar pihak pengantin wanita berbaur dengan keluarga dari pihak laki-laki
4.2.3 Perbandingan adat pernikahan suku Mongondow dan suku Gorontalo: Sebelum hari H: Adat Mongondow Adat Moguman : Adalah musyawarah atau dimana pertemuan para utusan orang tua kedua belah pihak calon mempelai pria dan wanita dan para lembaga adat. Pertemuan tersebut membahas tentang maksud yang mana si pria ingin meminang si wanita.
54
Adat Monarang Kon Singog: Pemberitahuan pada orang banyak yang mana kedua belah pihak keluarga telah melaksanakan musyawarah tentang peminangan anak mereka. Dan disinilah timbul penentuan yoko’ atau ugat in buta’ (Harta adat) dan nabuka’ (seserahan) Adat Kokantangan: Dimana adat ini dilakukan setelah prosesi adat monarang kon singog telah selesai dilaksanakan, kokantangan ini artinya proses masa tenggang waktu antara kedua belah pihak keluarga calon pengantin pria maupun wanita sebelum ke hari akad nikah dan dihadiri oleh saksi. Acara Mokidulu/kuateng: Mokidulu atau kuateng adalah budaya gotong royong yang sudah turun temurun pada masyarakat Mongondow biasanya dilakukan di rumah mempelai wanita pada hari sebelum pernikahan/resepsi.
Adat Gorontalo Tahap Mongilalo Tahap pertama adalah tahap mongilalo (meninjau). Pada tahap ini dua pasang (biasanya laki-istri) diutus ke rumah calon pengantin perempuan. Tahap ini penting untuk menentukan, apakah calon pengantin (= kekasih sang pria) dapat dikawini atau tidak. Pasangan suami istri tadi biasanya bertamu ke tetangga calon pengantin.
55
Tahap Mohabari dilakukan oleh kedua orang tua laki-laki secara rahasia kepada kedua orang tua perempuan. Kedatangan mereka pun tidak diberitahukan kepada orang tua perempuan karena kunjungan ini merupakan kunjungan tidak resmi, tetapi yang paling penting karena merupakan kunjungan awal untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan. Tahap Momatata U Pilootaawa Pihak laki-laki mencari penghubung (ti utolia). Tiga hari kemudian si utolia kembali ke rumah orang tua perempuan dengan membawa amanat dari kedua orang tua laki-laki. Si utolia hanya membawa selembar kain yang indah yang diisi dalam tapahula dan tonggu. Tahap ini disebut tahap momatata u piloqotaawa (meminta ketegasan). Acara Motolobalango Dengan istilah motolobalango dimaksud adalah tahap menghubungkan keluarga antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Acara motolobalango dihadiri oleh keluarga terdekat. Baik oleh rombongan keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Tahap Monga’ata Dalalo Yang dimaksud dengan istilah monga’ata dalalo di sini yakni satu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan sebelum hari perkawinan yang bermaksud untuk meratakan proses perkawinan. Tahap Molenilo
56
Kata molenilo datang dari kata tenilo yakni alat yang dipergunakan untuk mengalirkan atau menampung air pada sambungan rumah. Tenilo merupakan alat penghubung antara bahagian rumah dengan bahagian yang lain. Molenilo berarti menampung atau mengalirkan air dari dua tahap bahagian rumah. Dengan demikian molonilo bermakna menghubungkan antara kedua keluarga. Tahap Momu’o Ngango Pada tahap momu’o ngango semua persoalan akan dibuka, baik yang berhubungan dengan hari perkawinan maupun hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena semua akan dibuka maka tahap ini akan dihadiri oleh Pemerintah (Kepala Kampung atau Camat) dan pegawai syarak. Persiapan Pengantin Perempuan Sejak tahap motolobalango selesai mulailah diadakan persiapan yang berhubungan dengan hal-hal lahiriah dan bathiniah si calon pengantin perempuan. Si calon pengantin diberi tempat khusus yang disebut huali lo wadaka (kamar bersolek). Di huali lo wadaka tersebut si calon pengantin mendapat gemblengan dari petugas agama dan petugas rumah tangga (hulango). Dia akan mendapat gemblengan dalam hal (a) bergaul dengan mertua dan ipar-ipar (motolongala’a), (b) tanggung jawab terhadap tanah air (motololipu), (c) ajaran agama (motolo’agama) termasuk mengaji, (d) tanggung jawab kepada suami dan anakanak (motolodepula atau motolorumahtangga), (e) tanggung jawab kepada diri sendiri termasuk memelihara kecantikan.
57
Tahap Modepitaa Maharu Dalam pembahasan ini maharu atau tonelo di bahas tersendiri karena tahap ini merupakan tahap tersendiri dalam rangkaian proses perkawinan. Kata mahuru berasal dari bahasa Arab mahar dan dalam bahasa adat Gorontalo ada kata tonelo. Untuk itu terlebih dahulu diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan tonelo. Seperti dikatakan di atas kata maharu berasal dari bahasa Arab, mahar. Tahap Modepita Dilonggato Dilonggato merupakan kewajiban pihak laki-laki, sesuai dengan musyawarah kedua orang tua, baik orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan ketika untuk pertama kali mereka bermusyawarah atau bertemu. Pada pertemuan tersebut kedua orang tua laki-laki memberi makan sirih-pinang (pomama) kepada kedua orang tua perempuan. Itu menandakan bahwa kedua orang tua laki-laki bertanggung jawab untuk mengadakan seperangkat makanan dan susulannya (tunuhio) kepada orang tua perempuan. Kegiatan Membangun Sabua/bangunan tambahan Setiap perkawinan memerlukan tempat berpesta. Untuk itu diperlukan bangunan tambahan yang disebut bantayo. Bantayo harus dibangun sebelum hari perkawinan. Tugas ini harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah mohuuyula momongu bantayo (bergotong-royong membangun tempat upacara). Tugas seperti ini tidak perlu dikatakan atau dimusyawarahkan karena sudah ditegaskan pada
58
kunjungan orang tua laki-laki pada tahap pertama. Hal itu sudah tersirat pada simbol adat berupa sirih-pinang pada pertemuan pertama. Jadi, sudah merupakan kewajiban moril pihak laki-laki untuk membantu pihak perempuan membangun bantayo tersebut Kegiatan Mengundang Tujuh hari sebelum diadakan pesta perkawinan, maka kedua belah pihak (pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki) melaksanakan kegiatan mengundang (mopona’o lo toduo atau meqihama-hama). Undangan dapat dilaksanakan paling lambat tiga hari sebelum hari perkawinan. Orang yang diundang sehari sebelum perkawinan akan menganggap bahwa yang bersangkutan hanya untuk menambah orang yang diundang sehari sebelum hari perkawinan akan enggan untuk menghadiri pesta perkawinan tersebut. Kegiatan Mempertunangkan Kegiatan mempertunangkan (mopotilandahu) diadakan kalau ada penanda pada waktu pihak laki-laki mengantarkan dilonggato kepada pihak perempuan. Penanda itu berupa selendang untuk dipakai menari Mohaatamu Quru’ani Acara mohaatamu Quru’ani dilaksanakan oleh pengantin perempuan di rumah orang tuanya. Pelaksanaannya biasanya pada malam perkawinan. Seperti telah diuraikan di atas bahwa setelah acara motolobalango maka si calon pengantin perempuan mengadakan berbagai kegiatan antara lain digembleng dengan jalan mengaji. Untuk menandai bahwa ngajinya telah
59
tamat maka diadakan acara hatam Quran. Kalau pengantin perempuan tahu mengaji maka diadakan acara hatam Quran padanya. Mopotidi Kata motidi berasal dari kata tidi yang bermakna tarian. Motidi artinya menari. Tidi ini beragam-ragam namanya. Ada yang disebut tidi daqa, tidi lo polopalo, tidi lo tonggalo, tidi lo oqajabu, tidi lo tihuqo dan tidi lohuo. Hal ini diuraikan tersendiri dalam buku Kesenian Gorontalo. Adanya acara motidi didasarkan atas permintaan pihak laki-laki yang mereka lambangkan dengan adanya selendang tidi ketika pihak laki-laki mengantarkan bahan makanan (dilonggato) kepada pihak perempuan. Kalau ternyata ada penanda bahwa acara tidi akan dilaksanakan maka pihak perempuan akan mempersiapkannya. Acara Mopotuluhu Kalau dalam tahap modepita dilonggato (mengantar bahan makanan) terdapat alumbu yilulupa (selimut berwarna kuning telur) itu menandakan bahwa pengantin laki-laki akan bermalam di rumah pengantin perempuan pada malam perkawinan mereka. Acara mopotuhulu dilakukan setelah acara molapi saronde dan acara motidi. Tahap Moponika Kata moponika berasal dari kata nika (nikah) yang bermakna menghalalkan jasmani seorang perempuan yang sebelumnya haram untuk digauli. Tahap moponika merupakan upacara peresmian, pengumuman dan pengukuhan sepasang muda mudi untuk mendirikan rumah tangga. Oleh
60
karena
perkawinan itu merupakan peresmian, pengumuman dan
pengukuhan hubungan jejaka dan gadis bahkan antara keluarga dengan keluarga maka acara itu dihadiri oleh Buatulo Saraqa (pegawai agama) dan masyarakat luas (ta daadaata) terutama famili.
Hari H: Adat Mongondow Akad Nikah: Tidak berapa lama berselang adat kokantangan dilaksanakan acara akad nikah. Setelah akad nikah selesai, dilaksanakan penyerahan nabuka (seserahan) Cincin dan manik-manik diletakan dalam baki, ditutup dengan sapu tangan yang terbuat dari sutera merah. Baki tempat meletakkan bahan-bahan itu ditatang oleh seorang pria yang masih beribu dan berbapak. Dibelakangnya ditugaskan lagi satu orang pemegang payung sutera pelindung baki dari panas matahari atau rintikan hujan. Kemudian dikawal oleh 12 orang pemegang tombak menuju rumah sigadis. Setibanya dirumah sang gadis maka rombongan disambut oleh pihak keluarga wanita dengan dentuman meriam 12 kali atau letusan bedil 12 kali (12 pucuk). Adat Gorontalo: Acara Akad (mongakaji): Sebelum acara akad nikah dilaksanakan maka diadakan dahulu penjemputan mempelai perempuan (bulentiti bua) dari kamar hias (huwali lo wadaka) ke kamar adat (huwali lo humbio). Seorang Baate segera menuju kamar
61
pengantin perempuan. Pengantin perempuan diundang berdiri dan untuk itu ia akan dituja`i dengan tuja`i momuduqo (mengundang berdiri).
Setelah hari H: Adat Mongondow Adat Mogama: Menjemput pengantin wanita untuk berkunjung ke rumah kediaman pengantin pria pada saat sehari sesudah pernikahan dilaksanakan dalam tata cara perkawinan adat ini disebut “Mogama”. Untuk setiap fase yang dilalui ini, ditetapkan yoko' sendiri-sendiri, kemudian ditambah dengan yoko' moloben (maskawin). Dalam era pembangunan dan pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, perincian – perincian seperti di atas ini mulai dihilangkan dan disepakati untuk menetapkan besarnya yoko' sesuai kemampuan pihak keluarga laki-laki yang disetujui pihak wanita, disaksikan oleh guhanga dan direstui oleh pemerintah. Adat Gorontalo Acara Molomela Taluhu Tabia Acara ini merupakan acara untuk membatalkan air wudlu. Baik pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan sebelum diakad dan dibaiat, mereka harus berada dalam suci. Mereka harus mengambil air wudlu. Setelah akad nikah maka air wudlu itu akan dibatalkan sebab pengantin laki-laki akan segera menuju kamar adat (huali lo humbio), tempat pengantin perempuan dibaiat tadi untuk disentuh dahinya sebagai tanda
62
bahwa mulai saat itu halallah perempuan tersebut menjadi milik pengantin laki-laki. Acara Mopopipidu (Menyandingkan) Mempelai laki-laki tiba di rumah pengantin perempuan atau ia sudah berganti pakaian. Acara dilanjutkan dengan mopopipidu ’menyandingkan’ di pelaminan. Acara Palebohu Selesai doa, mereka akan dinasihati oleh seluruh keluarga. Nasihat itu diucapkan dalam bentuk puisi yang disebut palebohu. Karena tidak semua keluarga dapat memalebohu maka mereka hanya diwakilkan kepada seorang Baate untuk mengucapkan palebohu tersebut. Acara Modelo Hantalo dibunyikan menandakan acara akan dilanjutkan dengan tahap modelo. Adat dudelo diserahkan. Pengantin perempuan diizinkan untuk berangkat. Kedua mempelai dengan diapit oleh ibu-ibu (taa modelo) menuju kenderaan yang telah disiapkan. Tiba di tangga rumah orang tua pengantin laki-lai, si pengantin perempuan mendapat sematan di jari manisnya yang dikenakan oleh ibu pengantin laki-laki. Seember air disiramkan ke dekat kaki pengantin perempuan untuk menandai dan menghormatinya karena selama dalam perjalanan, kaki pengantin telah dilekati abu dan sebagainya sehingga perlu dibersihkan.
63
Acara Mopoturuunani Malam pertama itu kedua orang tua pengantin laki-laki datang bertamu kerumah orang tua pengantin perempuan. Orang tua laki-laki diiringi oleh keluarga terdekat. Maksud kunjungan mereka untuk mengetahui apakah gadis yang dikawini oleh anak mereka masih perawan atau tidak. Acara Mopotamelo Besoknya kedua mempelai itu disuguhi minuman secangkir teh atau secangkir kopi dan harus minum dari yang disediakan. Si istri lebih dahulu mencicipi minuman tersebut, yang kemudian disusul oleh si suami. Ini melambangkan agar mereka bersayang-sayangan terus.
Dari perbandingan antara adat pernikahan kedua daerah tersebut maka penulis membuat tabel perbandingan adat pernikahan antara adat pernikahan suku mongondow dan suku gorontalo sebagai berikut:
Adat Pernikahan Adat Pernikahan Gorontalo Mongondow -
Adat Moguman
-Tahap Mongilalo Sebelum hari
-
Monarang kon singog
-Tahap Mohabari H
-
Kokantangan
-tahap momatata u piloqotaawa
-
Mokidulu/kuateng
-Acara Motolobalango -Tahap Monga’ata Dalalo
64
-Tahap Molenilo -Tahap Momu’o Ngango -persiapan pengantin perempuan -Tahap Modepitaa Maharu -Tahap Modepita Dilinggato -keg. membangun sabua -keg. Mengundang -keg.
Mempertunangankan
(mopolitandahu) -Mohatamu Quru’ani -Motidi -Acara Mopotuluhu -Tahap Moponika
Pada hari H: Adat mongondow
Adat gorontalo Hari H
-
-
Acara akad
Akad nikah (Mongakaji)
Setelah hari H: Adat mongondow
Adat gorontalo Setelah hari H
-
Adat Mogama
-
Acara Molomela
65
Taluhu Tabia -
Acara
Mopopipidu -Acara Palebohu -Acara Modelo -
Acara
Mopoturuunani -
Acara
Mopotamelo
Dari kedua adat tersebut maka bisa disimpulkan bahwa perbandingan pada pelaksanaan adat pernikahan pada suku Mongondow dilihat dari waktu adalah sangat singkat dan berbeda, pada dalam pelaksanaan adat pernikahan suku Gorontalo yang detail dan cukup banyak tahapan-tahapan adat pada pelaksanaan adat pernikahan prosesnya yang berbeda dan ada percampuran tradisi antara kedua adat pernikahan tersebut dimulai masuknya agama islam di Sulawesi utara pada masa pemerintahan Raja Bolaang Mongondow yang bernama Ismael Cornelius Manoppo (1823-1833) di desa Bolaang terdapat sekolah kristen, dimana yang manjadi gurunya adalah “ P. Bastian” yang meninggal dunia pada tahun 1831 dan sejak itu sekolah Kristen ditutup. Pada masa pemerintahan raja Yacobus Manuel Manoppo (1833-1858 ) diusahakan untuk memperoleh guru agama Kristen dari manado, namun usaha ini tidak berhasil karena permintaanya tidak diperdulikan oleh residen Manado J.P.C. Cambier. Sementara itu dipesisir pantai
66
bolaang mongondow telah banyak rakyat yang memeluk agama islam yang disebarkan oleh pedagang – pedagang bugis dan Gorontalo yang melayani route perdagangan antara ternate dan Teluk Tomini. Akibat dari itu ada percampuran antara adat pernikahan dan simbol-simbol dalam pernikahan. Pada pelaksanaan adat tersebut sama-sama mengarah pada adat bersandikan syara’ syara’ bersandikan kitabbullah, jadi tidak bertentangan dengan syariat islam.