BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Produk Cakalang precooked loin beku adalah produk yang dihasilkan oleh PT..Gabungan Era Mandiri (GEM). Produk diekspor sebagai bahan baku pengalengan karena perusahaan ini belum mempunyai tempat memadai dalam proses pengalengan. Produk ini cukup diminati negara pengimpor yang mempunyai pabrik pengalengan seperti Jepang, Thailand,Vietnam, Iran dan Oman. Produk cakalang precooked loin beku memiliki beberapa tahapan proses mulai dari penerimaan bahan baku, pelelehan, penyiangan, pengukusan, pendinginan suhu ruang, pemotongan kepala, pengulitan, pembersihan, metal detekting, penimbangan, pengemasan, pembekuan, penyimpanan beku dan pengepakan. Deskripsi produk cakalang precooked loin beku di PT. GEM dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Deskripsi Produk cakalang precooked loin beku di PT.GEM Deskripsi Produk Cakalang Precooked Loin Beku Nama Produk
Cakalang precooked loin beku dan shredded
Nama Species
Katsuwonus pelamis
Kapal Penangkap
Penangkapan menggunakan purse seine
Bagaimana Ikan diterima
Bahan baku diterima dalam keadaan utuh beku 90% dan segar 10%
Produk Akhir
Frozen precooked loin dan frozen precooked shredded
Tahapan Proses
Penerimaan bahan baku, Pelelehan, Penyiangan, Pengukusan, Pendinginan Suhu Ruang, Pemotongan Kepala, Pengulitan, Pembersihan, Metal Detector, Penimbangan, Pengemasan, Pembekuan, Penyimpanan Beku, Pengepakan
Tipe Kemasan
Kemasan dalam kantong plastik, Kemasan luar karung
Daya Awet
Produk dapat bertahan selama ±1 tahun dengan suhu maksimal -18OC
Label/Spesifikasi
Kode produksi, negara asal produksi.
Penggunaan Produk Akhir
Bahan baku pengalengan
Sasaran Pelanggan
Asia : Vietnam, Jepang, Thailand Timur Tengah: Iran, Oman Eropa
27
28
4.1.1 Bahan baku Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diterima dalam keadaan beku. Bahan baku diperoleh dari kapal penangkapan yang daerah fishing ground di Samudra Hindia. Jumlah bahan baku yang diterima oleh perusahaan dari setiap kapal sebanyak 6-8 ton setiap kali kapal datang. Ukuran bahan baku ikan yang diterima mempunyai bobot ±1kg. PT. GEM dapat memproses sekitar 8-10 ton per hari. Bahan baku diterima dalam keadaan beku menggunakan mobil pick up dari kapal ke perusahaan. Mutu bahan baku ikan cakalang beku yang diterima harus mempunyai mutu yang baik, tidak kotor, tidak mengandung bahan kimia dan tidak berasal dari perairan yang tercemar. Menurut Ditjenkan (1997) dalam Nasution (2009) bahwa suatu unit pengolahan tidak boleh menerima bahan baku yang berasal dari perairan tercemar, yaitu perairan yang dicemari baik sengaja maupun tidak sengaja oleh kotoran manusia atau hewan yang dapat mengkontaminasi dan membahayakan kesehatan manusia. 4.1.2 Bahan Pembantu Penanganan Ikan Cakalang Bahan pembantu merupakan bahan yang digunakan untuk membantu proses produksi pengolahan ikan meliputi air, es dan klorin. Air digunakan di PT. GEM diperuntukan dalam proses pelelehan (thawing), mencuci tangan dan proses pencucian peralatan. Air merupakan bahan pembantu yang sangat penting dalam pencucian, pembersihan tempat produksi serta pembersihan alat kerja yang dibutuhkan dalam jumlah besar. Menurut Thaheer (2005), air dalam penanganan pangan terdiri dari air pengolahan, air minum, dan air bersih. Air yang digunakan di PT. GEM adalah air PDAM yang telah diuji terlebih dahulu melalui Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan (BPMPHP) Jakarta. Kualitas air di PT. GEM telah sesuai dengan standar
yang
ditetapkan
pemerintah
yaitu
Permenkes
RI
No.907/MENKES/SK/VII/2002 mengenai syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum. Standar baku mutu air dan es yang digunakan oleh PT. GEM disajikan pada Tabel 5.
29
Tabel 5. Standar Mutu Air dan Es dalam PT. GEM No.
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
ALT (koloni/ml) Escherichia coli (MPN/ml) pH Bau Turbiditas (NTU) Total Dissolved Solid (mg/L) Klorida (mg/L) Klorin (mg/L) Hg (mg/L) Pb (mg/L) Cd (mg/L) Cu (mg/L)
Hasil Uji Air 20 <2 7,22 Tidak Berbau 0,26 84 10 0,5 Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi
Es 20 <2 6,55 Tidak Berbau 0,68 61 10 <0,1 Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi
Persyaratan 100 <2 6,5-8,5 Tidak Berbau 5 500 250 5 0,001 0,003 0,010 2,00
Sumber: BPMPHP (2013) Es merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam memepertahankan mutu ikan. Es akan menurunkan suhu sehingga dapat mempertahankan kesegaran ikan dan menghambat pertumbuhan mikroba. Es digunakan oleh PT.GEM bila bahan baku datang dalam keadaan segar dan es berasal dari air PDAM yang diproduksi sendiri perusahaan. Klorin digunakan sebagai desinfektan yang mempunyai kemampuan untuk membunuh mikroba. Penggunaan klorin di PT. GEM untuk cuci kaki sebelum masuk ke dalam ruang produksi. Konsentrasi klorin yang digunakan untuk pemakaian cuci kaki adalah 200 ppm dan 50 ppm digunakan untuk mencuci peralatan produksi. 4.2 Alur Proses dan Analisis Bahaya Penanganan Cakalang precooked Loin beku Alur proses pengolahan di PT. GEM telah menerapkan cara berproduksi yang baik dan benar sesuai dengan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan pada Lampiran 1. Alur proses pengolahan cakalang precooked loin beku yaitu penerimaan bahan baku, pelelehan, penyiangan,
pengukusan, pendinginan
suhu
ruang, pemotongan
kepala,
pengulitan, pembersihan, deteksi logam, penimbangan, pengemasan, pembekuan, penyimpanan beku dan pengepakan. Setelah mengetahui alur proses penanganan
30
cakalang precooked loin beku maka dapat dianalisis bahaya yang mungkin terjadi pada tahapan proses pengolahan cakalang precooked loin beku pada Lampiran 5. 4.2.1 Penerimaan Bahan Baku Hal yang perlu diperhatikan pemilihan bahan baku adalah mutu bahan baku saat penerimaan. Mutu bahan baku mempengaruhi produk akhir yang dihasilkan dalam proses pengolahan cakalang precooked loin beku. Menurut Hadiwiyoto (1993), mutu bahan baku menentukan hasil akhir pengolahannya. Proses pengolahan tidak dapat meningkatkan mutu tetapi hanya mempertahankan mutu dan memperlambat pertumbuhan bakteri. Penerimaan bahan baku ikan cakalang berasal dari kapal penangkapan yang transit di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman. Kapal purse seine memiliki palka yang berfungsi untuk membekukan dan menyimpan ikan cakalang dalam keadaan beku sehingga memiliki suhu ±-10OC. Ikan cakalang beku datang dikeluarkan dari kapal terbungkus karung untuk mempermudah pengangkutan. Ikan cakalang dari kapal diangkut dengan wadah box fiber dan tong plastik menggunakan mobil pick up (bak terbuka). Jarak antara transit dengan perusahaan berjarak ±200m sehingga tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengangkutan bahan baku. Bahaya potensial yang mungkin timbul dalam hal ini adalah kenaikan suhu saat diangkut sehingga dapat meningkatkan histamin. Bahaya ini dapat dicegah dengan penerapan GMP dengan mempertahankan suhu bahan baku ikan cakalang -18OC dalam wadah saat pengangkutan dari tempat transit kapal. Staff penerimaan bahan baku dan Quality Control (QC) melakukan pencatatan penerimaan bahan baku (lampiran 15) dan pengecekan mutu bahan baku ikan cakalang dengan uji organoleptik setelah sampai di pabrik untuk penentuan harga dari bahan baku ikan cakalang. setiap kapal mempunyai kapasitas muatan 6-8 ton. Ukuran bahan baku ikan cakalang yang diterima 1 kg sampai 3 kg. Bahan baku ikan cakalang masuk ke dalam cold storage dan diberi tanda berupa tanggal dan asal kapal bahan baku. Tahap penerimaan bahan baku ini memiliki potensi bahaya yang cukup tinggi pada proses sortasi. Terkadang
31
mutu bahan baku ikan yang diterima tidak sesuai standar yang diminta. Proses sortasi perlu dilakukan ketika ditemukan bahan baku yang diterima lalu disortasi dengan sampling sehingga terdapat ikan cakalang yang tidak sesuai dengan mutu. Hal ini terjadi karena banyaknya bahan baku yang harus disortir dan pekerja pada tahap penerimaan terbatas. Bahaya ini dapat dikategorikan bahaya yang signifikan apabila tidak ditangani secara baik dengan menerapkan GMP perusahan karena dapat berpengaruh pada mutu produk akhir. Penyebab bahaya yang lain saat penerimaan bahan baku yaitu adanya kontaminasi silang dengan lingkungan atau daerah penangkapan ikan. Bahaya yang mungkin timbul seperti kontaminasi logam berat seperti Cd, Hg dan Pb. Bahaya ini dapat dikategorikan ke dalam bahaya yang tidak sering terjadi. Bahan baku ikan cakalang yang diterima di PT. GEM dilakukan monitoring penerimaan bahan baku dengan melakukan pengujian kadar logam berat di Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan (BPMPHP) Jakarta Utara. Pengujian ini dilakukan setiap 3 bulan sekali pada sampel ikan tuna dari masingmasing transit yang mensuplai bahan baku. 4.2.2 Pelelehan (thawing) Tahap proses pelelehan (thawing) bertujuan untuk melelehkan bahan baku ikan cakalang beku. Bahan baku ikan cakalang dalam keadaan beku dikeluarkan dari cold storage, lalu direndam ke dalam bak yang berisi air. Permukaan air menutupi seluruh permukaan ikan cakalang. Proses pelelehan perlu diperhatikan dalam pencatatan suhu pusat ikan dan suhu air. Proses pelelehan berhenti ketika suhu pusat ikan antar -3-0OC dan suhu air 15OC, waktu yang dibutuhkan dalam proses pelelehan sekitar ±4-6 jam. Bahan baku ikan cakalang dilanjutkan ke proses penyiangan dan pengukusan. Tahap pelelehan (thawing) memiliki potensi bahaya yaitu bahaya biologi yang meliputi kontaminasi mikroba Coliform, E. Coli, Vibrio cholera dan Salmonella. Penyebab bahaya timbul yaitu kontaminasi peralatan dan air. Bahaya ini mempunyai peluang yang tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan dengan penerapan SSOP dan GMP dengan kualitas air sesuai dengan
32
Standar
yang
ditetapkan
Permenkes
RI
No.907/MENKES/SK/VII/2002.
Kebersihan peralatan pekerja dilakukan pembersihan setiap awal memulai produksi dan secara berkala. Pengujian kualitas air dan peralatan produksi dilakukan oleh laboratorium pemerintah yaitu Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan (BPMPHP). 4.2.3 Penyiangan Tahap proses penyiangan (butchering) bahan baku ikan cakalang setelah dilakukan proses pelelehan. Penyiangan yang dilakukan membersihkan kotoran isi perut dan insang pada ikan cakalang. Penyiangan dilakukan untuk mencegah pertumbuhan mikroba dalam organ ikan. Penyiangan dilakukan oleh pekerja dengan peralatan yang bersih dan higienis. Proses penyiangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter karena bahan baku harus secepatnya dimasukan ke dalam pan untuk dilanjutkan pada proses pengukusan. Bahaya yang muncul pada proses penyiangan adalah kontaminasi mikroba, Coliform, E. Coli, Vibrio cholera dan Salmonella. Penyebabnya kontaminasi silang dari peralatan dan darah tahap proses penyiangan. Bahaya ini dapat dikendalikan dengan GMP dan SSOP perusahaan dengan sanitasi peralatan secara berkala serta dilakukannya pengawasan dan penanganan secara hati-hati oleh pekerja yang terlatih. 4.2.4 Pengukusan Tahap proses pengukusan dilakukan dengan cara memasak ikan cakalang yang telah di siangi dan telah disusun ke dalam panning sesuai ukuran ikan cakalang. Waktu antara pelelehan dan pencairan sampai dengan pengukusan tidak lebih dari 2 jam, karena bila terlalu lama dapat suhu sehingga dapat meningkatkan kadar histamin dan pertumbuhan mikroba dalam ikan. Lama pengukusan waktu yang dibutuhkan sesuai ukuran bahan baku ikan cakalang. Ikan cakalang ukuran 1 kg dilakukan ±20 menit, Lama pengukusan ikan cakalang yang berukuran 1,2-2 kg selama ±30 menit dan ikan cakalang yang berukuran 2 kg lebih lama pengukusan ±40 menit. Alat pengukus diatur pada suhu 95OC dalam proses pengukusan. Pengecekan suhu pusat Ikan dilakukan untuk
33
mengetahui tingkat kematangan daging ikan cakalang.. Suhu pusat ikan yang matang harus mencapai suhu 65-75OC. Apabila suhu pusat ikan tidak mencapai 65-75OC, ikan belum matang secara merata sampai ke dalam daging sehingga dilakukan penambahan waktu lama pengukusan. Tahap proses pengukusan ditemukan potensi bahaya dalam proses pengukusan adalah bahaya fisik yaitu degradasi bentuk daging loin. Bahaya ini disebabkan lama pengukusan yang dilakukan. Bahaya ini dapat dikategorikan bahaya yang signifikan apabila tidak ditangani secara baik dengan menerapkan GMP perusahan karena dapat berpengaruh pada mutu produk akhir. Pengawasan saat proses pengukusan perlu diperlukan seperti kalibrasi alat pengukus pengecekan suhu oven dan pengecekan hasil pengukusan loin. 4.2.5 Pendinginan suhu ruang Tahap pendinginan suhu ruang dilakukan setelah pengukusan bertujuan untuk menurunkan suhu ikan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. Tahap pendinginan dibantu dengan penyemprotan/ water spray. Bahaya yang timbul pada tahap pendinginan suhu ruang yaitu bahaya biologis yaitu terjadinya kontaminasi dari pekerja. Peluang terjadinya bahaya dengan tingkat keseriusan yang tinggi tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP perusahaan dengan menjaga sanitasi pekerja seperti mencuci tangan sebelum masuk ke ruang proses pendinginan suhu ruang dan dilakukan pengawasan terhadap kebersihan pekerja oleh pengawas per divisi dan Quality Control (QC). 4.2.6 Pemotongan kepala dan ekor Tahap pemotongan kepala dan ekor ikan cakalang dilakukan setelah pendinginan suhu ruang. Tahap ini kepala dipotong menggunakan tangan tanpa menggunakan bantuan peralatan seperti pisau. Bahaya yang mungkin timbul pada saat pemotongan kepala dan ekor adalah bahaya biologi yaitu kontaminasi mikroba. Penyebab timbulnya
bahaya berasal dari kontaminasi silang dari
kebersihan pekerja. Peluang terjadinya bahaya dengan tingkat keseriusan yang tinggi tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan oleh GMP dan
34
SSOP perusahaan dengan menjaga sanitasi pekerja seperti mencuci tangan sebelum masuk ke ruang proses produksi dan dilakukan pengawasan terhadap kebersihan pekerja oleh pengawas per divisi. 4.2.7 Pengulitan Tahap pengulitan dilakukan setelah ikan cakalang masak yang dipotong kepala dan ekor. Pembersihan kulit dan duri dengan bantuan pisau dilakukan oleh pekerja. Kemudian ikan cakalang dipotong menjadi 4 bagian loin. Bahaya yang mungkin timbul adalah bahaya biologis yaitu kontaminasi peralatan pisau dan kebersihan pekerja. Tahap ini harus dikerjakan dengan cepat dan cermat agar dapat dilanjutkan ke proses tahapan selanjutnya. Peluang terjadinya bahaya dengan tingkat keseriusan yang tinggi tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan oleh SSOP perusahaan dengan menjaga kebersihan peralatan dan kebersihan pekerja seperti mencuci peralatan secara berkala dan pencucian tangan serta pengecekan kebersihan pekerja oleh pengawas sebelum masuk ke ruang proses produksi dan dilakukan pengawasan saat proses produksi berlangsung. Bahaya lainnya yang timbul adalah bahaya fisik yaitu masih tertinggalnya duri dan kulit yang menempel pada loin. Bahaya ini bisa dikategorikan bahaya yang sering terjadi dan tidak termasuk bahaya yang signifikan karena pada saat proses pengulitan dapat dikontrol penerapan GMP perusahaan dengan cara melakukan training pekerja untuk proses pengulitan dan juga dilakukan pengawasan hasil pengulitan oleh pengawas per divisi dan QC. 4.2.8 Pembersihan Tahapan pembersihan merupakan tahapan lanjutan dari tahap pengulitan. Tahapan ini melakukan pembersihan daging merah pada loin. Bahaya yang mungkin timbul adalah bahaya biologis yaitu kontaminasi silang dari peralatan dan kebersihan pekerja. Peluang terjadinya bahaya memiliki tingkat keseriusan tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan oleh SSOP perusahaan dengan menjaga kebersihan peralatan dan kebersihan pekerja seperti mencuci peralatan secara berkala dan pencucian tangan serta pengecekan kebersihan
35
pekerja oleh pengawas sebelum masuk ke ruang proses produksi dan dilakukan pengawasan saat proses produksi berlangsung. 4.2.9 Metal Detector Setelah loin melewati berbagai proses tahapan pembersihan, loin melewati metal detector sebelum masuk ke penimbangan loin. Bahaya yang mungkin terjadi adalah bahaya fisik yaitu adanya benda asing seperti serpihan logam dari pisau yang digunakan dalam pan loin. Bahaya ini mempunyai peluang yang tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan dengan penerapan GMP perusahaan dengan pengontrolan setiap pan loin masuk ke metal detector. QC melakukan kalibrasi alat metal detector setiap akan mulai produksi dan mengecekan sensitifitas metal detector setiap 1 jam sekali. Setiap produk yang terdeteksi adanya logam maka dikembalikan (reprocess) dan dilakukan pengecekan ulang pan loin lalu hasil yang ditemukan dilaporkan dan dibuat pencacatan dalam laporan catatan harian.
4.2.10 Penimbangan Tahap penimbangan berat loin dalam pan ditimbang seberat 5.030 g. Penimbangan dilakukan untuk mempermudah pengemasan loin dalam plastik pada tahap pengemasan. Penentuan berat loin dalam kemasan sesuai dengan permintaan buyer. Tahapan penimbangan dilanjutkan ke tahapan pengemasan. Bahaya yang mungkin timbul pada tahap penimbangan adalah kesalahan pekerja dalam melakukan penimbangan loin. Bahaya ini mempunyai peluang yang tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan dengan penerapan GMP perusahaan dengan pengontrolan penimbangan oleh pengawas dan QC. Tindakan pencegahan lain adalah pemberian pelatihan dan informasi pada pekerja dalam penimbangan berat minimal cakalang loin. 4.2.11 Pengemasan Tahap pengemasan yang dilakukan loin yang telah ditimbang dalam pan kemudian dimasukan ke dalam plastik dilanjutkan proses vaccum dan wrapping. Bahaya yang mungkin timbul adalah bahaya fisik yaitu kesalahan pekerja pada
36
saat loin dilakukan vaccum dan wrapping yang dilakukan oleh kesalahan pekerja (humman error). Kesalahan ini terjadi karena kesalahan tata cara pengemasan loin saat proses vaccum dan wrapping. Bahaya ini mempunyai peluang tingkat kesalahan yang tinggi tidak mungkin terjadi karena bahaya dapat dikendalikan dengan penerapan GMP perusahaan yaitu pengontrolan tata cara pengemasan dan pengecekan hasil produk yang telah di vaccum dan wrapping oleh pengawas dan QC. Proses pengemasan bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi, kerusakan selama transportasi, mempermudah dalam proses pembekuan dan penyimpanan. Bahan pengemas harus bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi syarat kemasan untuk bahan pangan. 4.2.12 Pembekuan Tahap pembekuan bertujuan untuk membekukan produk hingga mencapai suhu beku secara cepat. Produk cakalang precooked loin yang telah dikemas vaccum kemudian diletakkan di dalam wadah long pan diletakkan ke dalam rak ruangan Contact Plate Freezer (CPF) dibekukan dengan suhu -40OC. Pembekuan dilakukan untuk membuat suhu pusat loin tuna mencapai maksimal -18oC sehingga tidak terdapat organisme mikrobiologi yang dapat hidup dalam daging tuna. Proses pembekuan dilakukan selama 4 jam untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada cakalang precooked loin. Bahaya yang mungkin timbul adalah bahaya fisik yaitu suhu tidak mencapai suhu optimal dalam proses pembekuan sehingga hasil produk akhir tidak mencapai suhu yang diinginkan dan ditetapkan sehingga bisa berpotensi pertumbuhan mikroba pada produk. Bahaya ini bisa dikategorikan bahaya yang tidak sering terjadi dan tidak termasuk bahaya yang signifikan karena pada saat proses penyimpanan beku dapat dikontrol penerapan GMP perusahaan dengan cara pengawasan hasil pencatatan suhu oleh pengawas operator CPF dan QC. 4.2.13 Penyimpanan beku Fungsi penyimpanan beku adalah untuk menyimpan produk beku pada tingkat suhu rendah diinginkan sehingga dapat mempertahankan kondisi dan mutu
37
produk beku selama jangka waktu yang ditetapkan (Ilyas 1983). Produk cakalang precooked loin yang telah dikemas dan dibekukan kemudian dimasukan ruang penyimpanan. Pengamatan I, II, III suhu pada ruang penyimpanan ABF (Air Blast Freezer) sebesar -22OC, -25OC dan -30OC. Pengecekan suhu selama penyimpanan dilakukan agar suhu tidak mengalami penurunan ataupun kenaikan. Pengawas dan operator yang mempunyai tanggung jawab menjaga suhu tetap stabil dan melakukan pencatatan suhu dalam ABF. Bahaya yang mungkin timbul adalah bahaya fisik yaitu penyusutan fisik dan pertumbuhan mikroba pada produk akibat fluktuatif suhu. Bahaya ini bisa dikategorikan bahaya yang tidak sering terjadi dan tidak termasuk bahaya yang signifikan karena pada saat proses penyimpanan beku dapat dikontrol penerapan GMP perusahaan dengan cara melakukan pengawasan hasil pencatatan suhu oleh pengawas operator dan QC. 4.2.14 Pengepakan Tahap pengepakan dilakukan dengan mengepak cakalang precooked loin beku ke dalam karung. Setelah pengepakan loin siap dimasukan ke dalam truk kontainer dengan suhu maksimal -18OC. Bahaya potensial yang mungkin timbul pada proses pengepakan adalah bahaya kimia diantaranya histamin yang disebabkan kenaikan suhu pada saat pengepakan. Bahaya ini dapat dicegah dengan penerapan GMP yaitu mempertahankan suhu dingin dalam ruangan dan melakukan proses pengepakan dengan cepat dan cermat. Tabel 6. Analisis Bahaya Penanganan Cakalang Precooked Loin beku No
Alur Proses
1
Penerimaan Bahan Baku
Penyebab Bahaya Kesalahan sortir Bahan baku mutu
Bahaya Potensial Bahaya fisik: Mutu yang tidak sesuai
Kenaikan suhu
Bahaya kimia : Kenaikan histamine Bahaya kimia : Cemaran kadmium, timbal, dan
Cemaran logam berat
SSOP/GMP SSOP GMP √
-
√
-
√
Tindakan Pencegahan Penggunaan pekerja terampil dan pemeriksaan oleh QC Pengecekan dan kontrol suhu. Pengecekan uji labs.
38
No
Alur Proses
Penyebab Bahaya Kontaminasi air dan peralatan
Bahaya raksa Potensial Bahaya biologi: Kontaminasi bakteri
2
Pelelehan
3
Penyiangan
Kontaminasi silang dari peralatan
4
Pengukusan
Mutu tidak sesuai dengan spesifikasi
5
Pendinginan Suhu Ruang
Kontaminasi dari pekerja
6
Pemotongan Kepala dan ekor Pengulitan
7
8
Pembersihan
9
Metal Detector
10
Penimbangan
11
Pengemasan Wrapping dan vacuum Pembekuan
12
13
Penyimpanan Beku
14
Pengepakan
SSOP/GMP
Tindakan Pencegahan Periksa mutu dari air yang digunakan untuk pelelehan setiap awal produksi.
√
√
Bahaya biologi : Pertumbuhan mikroba Bahaya Fisik: Degradasi bentuk daging
√
√
Pembersihan peralatan secara berkala.
-
√
Bahaya biologi: Kontaminasi mikroba Kontaminasi dari Bahaya biologi: pekerja Kontaminasi mikroba Kesalahan Bahaya Fisik: pekerja Kesalahan pemotongan Kontaminasi Bahaya biologi: silang dari Kontaminasi peralatan mikroba Kesalahan Bahaya fisik: pekerja Duri dan daging merah Kontaminasi Bahaya biologi: silang dari Kontaminasi peralatan mikroba Kontaminasi Bahaya Fisik: peralatan logam Adanya serpihan logam Kesalahan Bahaya Fisik: pekerja Kekurangan berat Kesalahan Bahaya fisik : wrapping dan Kemasan bocor vacuum Waktu dan Bahaya biologi: peningkatan Pertumbuhan suhu mikroba Suhu tidak Bahaya mencapai biologi: optimal Pertumbuhan mikroba Peningkatan Bahaya kimia: suhu Kenaikan Histamin
√
√
Kalibrasi alat, pengecekan suhu pusat dan pengukusan kembali. Sanitasi pekerja
√
√
Sanitasi pekerja
-
√
√
-
Pelatihan pekerja dan pengecekan kembali oleh QC Sanitasi peralatan
√
√
√
-
-
√
-
√
-
√
-
√
-
√
Pengecekan suhu secara berkala
-
√
Pengecekan suhu
Pelatihan pekerja dan pengecekan kembali oleh QC Sanitasi peralatan
Pengontrolan alat dan Pengecekan sensitifitas alat Pengecekan berat produk Pengecekan kondisi dan tata cara pengemasan Pengecekan suhu secara berkala
39
4.3 Identifikasi Titik Kendali Kritis/Critical Control Point (CCP) Setelah tahap analisis bahaya dilakukan pada setiap tahapan pengolahan cakalang precooked loin beku, maka diperoleh tahapan yang mengandung bahaya potensial. Penentuan CCP pada alur proses dilakukan untuk memudahkan pengontrolan titik kritis terhadap bahaya yang telah diidentifikasi. Penentuan CCP dapat digunakan pohon keputusan “Decision Tree” pada Lampiran 3. Alur proses penanganan cakalang precooked loin beku di PT. Gabungan Era Mandiri pada tahapan yang teridentifikasi sebagai CCP. Bahaya potensial ini bila tidak ditangani dengan baik yaitu pada tahap penerimaan bahan baku dapat menyebabkan meningkatnya kadar histamin yang terkandung pada ikan cakalang. Kandungan histamin ini tidak dapat dihilangkan atau dikurangi tetapi hanya bisa dihambat dengan cara pengawasan khusus, karena bila tidak diawasi dan melewati batas kritis maka histamin dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen. Gejala ini hanya akan muncul apabila Anda mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin yang berlebih. Akibatnya, timbul muntah-muntah, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerahmerahan, gatal-gatal dan badan lemas (FDA 2013). Bahaya ini dapat dihambat dengan dilakukan penanganan cepat dan penerapan sistem rantai dingin (cold chain). Pengawasan juga dilakukan dengan analisis laboratorium pemerintah Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan (BPMPHP) seiap 3 bulan sekali untuk mengetahui batas bahaya yang dapat diterima. Hasil identifikasi CCP dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Identifikasi CCP Pada Penanganan Cakalang Precooked Loin Beku Tahapan Proses Penerimaan Bahan Baku
Bahaya Signifikan Penurunan mutu bahan baku
Q1 Y
Histamin Logam berat
Y Y
Identifikasi CCP Q2 Q3 N N Y N
N
Q4 -
CCP/ Not CCP Not CCP
-
CCP Not CCP
Keterangan: Q1 : Q2 :
Adakah tindakan pengendalian? Jika tidak bukan CCP, jika ya lanjut ke Q2 Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau
40
Q3 :
Q4 :
mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkat yang dapat diterima? Jika ya CCP, jika tidak lanjutkan ke Q3 Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkan ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima? Jika tidak bukan CCP, jika ya lanjutkan ke Q4 Akankah tahapan berikutnya menghilangkan atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima? Jika ya bukan CCP, jika tidak CCP.
4.4 Hasil Uji Mikrobiologi Pengujian mikrobiologi bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri dalam suatu produk yang diuji. Pengujian dilakukan di laboratorium pemerintah Balai Pengujian Mutu dan Penolahan Hasil Perikanan (BPMPHP) setiap 3 bulan sekali terhadap bahan baku, air, es, peralatan dan hasil akhir produk. Penghitungan jumlah koloni bakteri merupakan salah satu uji yang penting dalam menilai mutu suatu bahan pangan, karena selain menduga daya tahan suatu makanan juga dapat digunakan sebagai indikator kebersihan dan keamanan pangan (Fardiaz 1996). 4.4.1 Hasil Uji Bahan Baku Pengujian mikrobiologi terhadap bahan baku di laboratorium pemerintah BPMPHP dilakukan setiap 3 bulan sekali. Pengujian terhadap bahan baku dilakukan sebagai syarat eksport ke negara pengimpor untuk menjamin bahwa bahan baku yang digunakan aman untuk dikonsumsi. Parameter uji pada pengujian bahan baku meliputi jumlah bakteri Angka Lempeng Total (ALT), E. Coli, Salmonella dan Vibrio cholera. Tabel 8. Hasil Uji Mikrobiologi Bahan Baku Ikan Cakalang Beku Jenis Uji Organoleptik Cemaran Mikroba - ALT - Escherichia coli - Vibrio cholerae - Salmonella
Satuan Angka (1-9)
Persyaratan SNI Minimal 7
Hasil Uji 7
SNI 2346:2011
Koloni/g APM/g Per 25 g Per 25 g
Maks.5,0 x 105 Maks.< 2 negatif negatif
8x103 <2 Negatif Negatif
SNI 01-2332.3-2006 SNI 01-2332.1-2006 SNI 01-2332.4-2006 SNI 01-2332.2-2006
Sumber: BPMPHP (2013)
Metode
41
4.4.2 Hasil Uji Produk Akhir Cakalang Precooked Loin Beku Pengujian mikrobiologi terhadap bahan baku di laboratorium pemerintah BPMPHP dilakukan setiap 3 bulan sekali. Pengujian terhadap produk akhir cakalang precooked loin beku dilakukan sebagai syarat eksport ke negara pengimpor untuk menjamin bahwa bahan baku yang digunakan aman untuk dikonsumsi. Parameter uji pada pengujian bahan baku meliputi jumlah bakteri Angka Lempeng Total (ALT), E. Coli, Salmonella dan Vibrio cholera. Tabel 9. Hasil Uji Produk Akhir Cakalang Precooked Loin Beku Jenis Uji Organoleptik Cemaran Mikroba - ALT - Escherichia coli - Vibrio cholerae - Salmonella
Satuan
Hasil Uji
Metode
Angka (1-9)
Persyaratan SNI Minimal 7
7
SNI 2346:2011
Koloni/g APM/g Per 25 g Per 25 g
Maks.5,0 x 105 Maks.< 3 negatif negatif
5x103 <2 Negatif Negatif
SNI 01-2332.3-2006 SNI 01-2332.1-2006 SNI 01-2332.4-2006 SNI 01-2332.2-2006
Sumber: BPMPHP (2013) 4.4.3 Hasil Uji Bahan Pembantu Air dan Es Pengujian mikrobiologi terhadap bahan pembantu air dan es di laboratorium pemerintah BPMPHP setiap 3 bulan sekali. Pengujian terhadap air dan es dilakukan sebagai syarat dokumen ekspor ke negara pengimpor untuk menjamin bahwa bahan pembantu air dan es yang digunakan aman untuk dikonsumsi. Hasil pengujian air dan es dapat dilihat di Tabel 10. Tabel 10. Hasil Pengujian Air dan Es PARAMETER
HASIL UJI ES
HASIL UJI AIR
PERSYARATAN
METODE
20
20
100
SNI 01-2332.3-2006
<2
<2
<2
SNI 01-2332.1-2006
Mikrobiologi test Angka
Lempeng
Total
(ALT) (koloni/ml) Escherichia coli (MPN/ml)
Sumber: BPMPHP (2013) Berdasarkan Tabel 10 pertumbuhan jumlah bakteri masih memenuhi persyaratan standar yang ditetapkan yaitu untuk jumlah ALT 100 koloni/g,
42
sedangkan hasil uji untuk air yang digunakan memiliki nilai 20 koloni/g dan hasil uji untuk es memiliki nilai 20 koloni/g. Hasil uji Escherichia coli dari air dan es masih memenuhi standar yaitu kurang dari 2. Hasil uji tersebut berarti bahan pembantu air dan es masih memenuhi standar karena hasil tidak melampaui dari standar yang ditetapkan dan tidak membahayakan kesehatan. 4.4.4 Hasil Uji Swab Peralatan Produksi Pengujian Swab terhadap peralatan produksi dilakukan di laboratorium pemerintah BPMPHP setiap 3 bulan. Pengujian terhadap peralatan produksi yaitu pan cleaning, pan sortir, timbangan, pisau, apron dan meja dalam Tabel 11. Tabel 11. Hasil Uji Swab Peralatan Parameter Pan uji Sortir ALT 300
Pan Timbangan Apron Cleaning
Meja
Pisau
Standar
Metode
100
200
100
2000
100
500.000
SNI 01-2332.3-2006
<2
<2
<2
<2
<2
<2
SNI 01-2332.1-2006
Salmonella Negatif
Negatif
Negatif
Negatif Negatif Negatif
Negatif
SNI 01-2332.2-2006
V. cholerae Negatif
Negatif
Negatif
Negatif Negatif Negatif
Negatif
SNI 01-2332.4-2006
E. coli
<2
Berdasarkan Tabel 11 pertumbuhan jumlah bakteri memenuhi persyaratan standar yang ditetapkan yaitu untuk jumlah ALT 500.000.koloni/100cm2, sedangkan hasil uji
swab peralatan pan cleaning, pisau dan apron memiliki
jumlah ALT 100 koloni/100cm2 sedangkan meja memiliki jumlah ALT 2.000 koloni/100cm2, pan sortir memiliki jumlah ALT 300 koloni/100cm2.dan timbangan memiliki jumlah ALT 200 koloni/100cm2. Persyaratan standar bakteri Salmonella dan V. cholerae adalah negatif, hasil uji swab yang dilakukan juga semua peralatan negatif. Persyaratan bakteri E.Coli memiliki persyaratan <2MPN.cm2, hasil uji swab yang dilakukan semua peralatan adalah <2MPN.cm2. Hasil uji swab pan cleaning, pan sortir, timbangan, pisau, apron dan meja masih memenuhi standar karena hasil tidak melampaui dari standar yang ditetapkan. 4.5 Hasil Uji kimia Pengujian kimia bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia yang terkandung dalam suatu produk yang diuji. Pengujian kimia dilakukan di
43
laboratorium pemerintah Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan (BPMPHP) setiap 3 bulan sekali terhadap bahan baku, air, es, peralatan dan hasil akhir produk. Pengujian kimia terhadap produk akhir cakalang precooked loin beku dilakukan sebagai syarat ekspor ke negara pengimpor untuk menjamin bahwa bahan baku yang digunakan aman untuk dikonsumsi. Parameter uji pada pengujian kimia bahan baku dan hasil produk yaitu mercury (Hg) dan histamin. Parameter uji pada pengujian kimia bahan pembantu air dan es meliputi mercury (Hg), lead (Pb), cadmium (Cd), Copper (Cu), pH, odor, chloroide, turbidity, total dissolved solid dan klorin. 4.5.1 Hasil Uji Bahan Baku dan Hasil Produk Pengujian kimia terhadap bahan baku ikan cakalang dilakukan adalah uji histamin dan mercury (Hg). Standar yang ditetapkan untuk mercury (Hg) sebesar 1.00 mg/kg dan kandungan histamin sebesar 100 mg/kg. Hasil uji kimia mercury dan histamin bahan baku dan hasil produk pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Uji Kimia Kandungan Mercury dan Histamin Bahan Baku dan Hasil Produk Akhir PARAMETER
BAHAN BAKU
PRODUK PERSYARATAN AKHIR
METODE
Chemical test : -Histamin (mg/Kg)
0.076
0.062
100
SNI 2354.10-2009
-Mercury /Hg (mg/Kg)
0.28
-
1.00
Direct Mercury Analyzer
Sumber: BPMPHP (2013) Berdasarkan hasil uji, bahan baku memiliki kadar histamin yang rendah yaitu 0.0076 mg/kg, sedangkan hasil uji histamin produk akhir sebesar 0.062 mg/kg. Umumnya Ikan laut memiliki kandungan histamin yang berasal dari pemecahan protein histidin. Histidin bebas yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap (merah) kandungan histidin bebasnya tinggi (Rospiati, 2006). Berdasarkan hasil pengujian laboratorium kandungan histamin mengalami penurunan, hal ini dapat terjadi karena kandungan histamin pada daging merah
44
terbuang pada saat proses produksi yaitu pembersihan daging merah (trimming) yang terdapat pada ikan cakalang. Hasil uji mercury (Hg) bahan baku memiliki 0.28 mg/kg dan hasil uji produk akhir tidak terdeteksi adanya mercury. Menurut Darmono (2001), logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Akumulasi logam tertinggi biasanya dalam hati (detoksikasi) dan ginjal (ekskresi). Mercury dapat menempel pada kulit dan insang saat ikan melakukan respirasi. Akumulasi logam berat pada organ hati ikan lebih banyak dibandingkan dengan ginjal. Proses penyiangan, pengulitan dan pembersihan dimungkinkan mereduksi mercury dalam bahan baku yang terdapat di kulit dan organ ikan. Hasil ini menunjukkan bahan baku dan hasil produk akhir dapat dinyatakan aman dikonsumsi karena hasil pengujian masih dibawah standar yang ditetapkan oleh perusahaan. 4.5.2 Hasil Uji Air dan Es Pengujian kimia terhadap bahan pembantu air dan es dilakukan dengan uji pH, odor, turbidity, total dissolved solid, chloride, chlorine, mercury, cadmium, copper dan lead. Hasil pengujian kimia mercury dan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil Uji Kimia Air dan Es PARAMETER
HASIL UJI ES
HASIL UJI AIR
PERSYARATAN
METODE
6.55
7.22
6.5-8.5
pH Meter
Odorles
Odorless
Odorless
Tes sensori
s
0.26
5
Turbiditymeter
0.68
84
500
SNI 06-6989.26-2005
Chloride (mg/L)
61
10
250
SNI 6989.19-2009
Chlorine (mg/L)
10
0.5
5
Tes klorin
<0.1
-
0.001
SNI 01-2354.6-2006
Lead /Pb (mg/L)
-
-
0.003
SNI 2354.5:2011
Cadmium /Cd (mg/L)
-
-
0.010
SNI 2354.5-2011
Copper / Cu (mg/L)
-
-
2.00
SNI 01-2362-1991
Chemical test pH Odor Turbidity (NTU) Total dissolved solid (mg/L)
Mecury /Hg (mg/L)
Sumber: BPMPHP (2013)
45
Air merupakan bahan pembantu yang sangat penting dalam pencucian, pembersihan tempat produksi serta pembersihan alat kerja yang dibutuhkan dalam jumlah besar. Menurut Thaheer (2005), air dalam penanganan pangan terdiri dari air pengolahan, air minum, dan air bersih. Berdasarkan pengujian kimia dengan masing-masing parameternya, hasil uji yang dihasilkan masih sesuai standar yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Hasil ini dapat dinyatakan hasil uji air dan es pada pengujian kimia aman sehingga penggunaan bahan pembantu air dan es tidak membahayakan kesehatan. 4.6 Hasil Uji Fisik Pengujian fisik yang dilakukan yaitu pengecekan suhu pusat terhadap hasil bahan baku ikan cakalang beku. Bahan baku yang telah melewati proses pembekuan dilakukan pengecekan suhu pusat yang diambil secara sampling. Suhu pusat yang ditetapkan perusahaan maksimal -18 OC. Pengamatan pengecekan suhu yang dilakukan pada pengamatan I mendapati hasil suhu pusat -19OC, pengamatan II -18OC dan pengamatan III -20OC. Suhu pusat yang didapat masih diatas masih memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu -18OC. Hasil rata-rata pengujian suhu pusat produk akhir memiliki suhu pusat sebesar -18OC. 4.7 Hasil Uji Organoleptik Pengujian organoeptik di PT. Gabungan Era Mandiri (GEM) dilakukan setiap bahan baku datang. Pengujian organoleptik pada bahan baku langsung dari kapal dalam keadaan beku oleh bagian penerimaan dan Quality Control (QC). Berikut ini hasil pengujian organoleptik bahan baku yang berasal dari kapal disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Pengujian Organoleptik Bahan Baku. Sampel ikan 1
2
3
4
5
7
7
8
7
7
Rata-Rata 7,2
46
Berdasarkan Tabel 14 penilaian organoleptik meliputi mata, insang, perut dan bau. Penilaian diatas merupakan parameter uji yang penting dalam menentukan bahan baku yang layak. Hasil pengujian organoleptik PT. Gabungan Era Mandiri menunjukan hasil 7,2 sehingga bahan baku masih bisa dilanjutkan proses selanjutnya. Penanganan ikan di kapal yang kurang baik dan kurang cepat dapat mempengaruhi mutu ikan. Penanganan ikan pasca tangkap yang baik sangat penting dalam mempertahankan kesegaran dan mutu ikan (Maulana 2012).