BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82 DALAM TAFSIR ASH-SHOWI TENTANG MENGHORMATI GURU DI PONDOK PESANTREN DARULLUGHAH WADDA’WAH BANGIL PASURUAN JAWA TIMUR A. Pemahaman Sebagai Implementasi 1. Supaya ilmu yang didapat akan berkah dan bermanfaat Biasanya dalam kegiatan mencari ilmu, kita mencari manfaat dari ilmu tersebut. Karena dengan ilmu, manusia dapat memperoleh kehidupan dunia, dan dengan ilmu pula manusia menggapai kehidupan akhirat. Baik atau buruknya suatu ilmu bukan karena ilmunya, melainkan karena niat dan tujuan si pemiliki ilmu. Ibarat pisau tergantung siapa yang memilikinya. Jika pisau dimiliki oleh orang jahat, maka pisau itu bisa digunakan untuk membunuh, merampok atau mencuri. Tetapi jika dimiliki oleh orang baik, maka pisau itu bisa digunakan untuk memotong hewan qurban, mengiris bawang atau membelah ikan. Kita berharap dengan ilmu yang kita dapat, kita juga berharap mendapatkan hasil, yang biasa disebut manfaat. Tapi ternyata, manfaat saja tidaklah cukup. Seperti layaknya rezeki yang halal, tentu tidak akan lengkap jika tidak ada toyyiban. Halal itu bisa bagaimana cara mendapatkan harta, atau jenis harta tersebut, sedangkan toyyiban itu adalah baik untuk si penerima rezeki tersebut. Jadi misal kita mendapatkan rezeki halal, tetapi tidak toyyiban ya itu rasanya kurang lengkap saja. Begitu juga dalam berilmu, ternyata
101
102
manfaat saja tidak cukup. Ada satu hal lagi yang perlu kita perhatikan baikbaik, yaitu berkah. Berkah bisa secara sederhana diartikan sebagai “yang mendatangkan kebaikan bagi si pelakunya”. Berkah itu bisa didapat salah satunya dengan menghormati guru, menghormati waktu yang diluangkan untuk belajar. Sehingga setelah mendapatkan ilmu, nantinya ilmu kita bermanfaat untuk diri kita sendiri (terlebih untuk orang lain) dan juga mendatangkan kebaikan pula untuk kita. Sehingga jika kita mendapatkan berkah, tentunya hidup kita akan lebih baik lagi kedepannya. Jika hidup kita semakin baik, kita bisa meneruskan ilmu yang kita dapat tadi karena manfaat dan keberkahannya. Tetapi, jika hanya mendapat manfaat tetapi tidak mendapatkan berkah, biasanya sebanyak apapun manfaat yang didapat tetapi tanpa berkah didalamnya, orang tersebut akan sulit sekali untuk menularkan ilmunya kepada orang lain, karena ilmu yang didapat tidak membawa keberkahan bagi dirinya, hanya sekedar bermanfaat. Jadi misalkan kita belajar suatu ilmu, katakanlah tentang adab-adab Rasulullah SAW, kita bisa saja mendapatkan manfaat dari ilmu tersebut, yang mana kita bertambah ilmunya, dari yang semula tidak tahu menjadi tahu. Tetapi ternyata setelah mendapatkan ilmu, perilaku kita tetap sama saja seperti itu, yang ternyata tidak membawa kebaikan bagi kita. Jadi meskipun manfaatnya dapat, tetapi berkahnya belum bisa didapatkan. Ini semacam teguran bagi kita semua khususnya para santri (murid) semoga kedepannya dalam berilmu kita bisa mengejar keduanya, yaitu
103
manfaat dan berkah. Dan semoga kita bisa terus memberikan ilmu-ilmu kita agar bisa bermanfaat dan berkah untuk orang lain juga (jadi tidak hanya bermanfaat dan berkah untuk diri sendiri, tapi untuk orang lainnya juga). Allah SWT membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh. Terlepas dari substansi ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh jelas tidak sama. Seperti halnya antara orang buta dan orang yang melihat, kegelapan dan cahaya, orang yang hidup dan mati, manusia dan hewan, serta penghuni surga dan penghuni neraka.1 Dalam kisah para Nabi dan kaum mukminin dalam al-Qur‟an, kita dapat menangkap nilai dan keutamaan ilmu disisi Allah SWT dan disisi manusia, serta pengaruhnya bagi agama dan dunia. Semua Nabi dan Rasul dalam alQur‟an diberikan ilmu oleh Allah SWT, meskipun ada sebagian dari mereka yang dilebihkan kedudukannya oleh Allah SWT. Al-Qur‟an memuji ahli ilmu pengetahuan dan menisbatkan kepada mereka beberapa keutamaan pemikiran, keimanan serta akhlāq. Mereka yang mendapatkan ilmu adalah yang dibukakan kebenaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dari sini kita dapati bahwa ilmu membuahkan keimanan, dan keimanan membuahkan ketundukan kepada Allah SWT. Mereka yang diberikan ilmu tersebut adalah orang-orang yang terus berinteraksi dengan al-Qur‟an sehingga hati mereka merasa takut, mata mereka mencucurkan air mata, dan kening mereka tunduk sujud kepada Allah SWT. Mereka mengetahui 1
Moh Haitam Salim dan Syamsul Kurniawan. Studi Ilmu Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012) Hlm 47.
104
keagungan al-Qur‟an dan menempatkannya dalam kedudukan yang selayaknya dalam diri mereka.2 Karena pentingnya ilmu, al-Qur‟an menyebutkan perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Menurut alQur‟an hanya orang-orang yang berakal (yang berilmu) yang dapat menerima pelajaran. Ini ditunjukkan pada surat az-Zumar ayat 9, yaitu:
ٌ ًِأَ َّه ْي ُُ َْ قَا اَخ َزةَ ٌََّزْ جُْ َرحْ َوةَ َربِّ َِ قُلْ َُلْ ٌَ ْسح َِْي ِ اجذًا َّقَائِ ًوا ٌَحْ َذ ُر ِ ث آًَا َء اللٍَّ ِْل َس ْ ٌَُْ ْ لَ ُوْىَ ًَِّ َوا ٌَحَ َذ َّ ُز أُّل ا ِ اال َا
َالَّ ِذٌيَ ٌَ ْ لَ ُوْىَ َّالَّ ِذٌي
Artinya: “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.3
Kemudian, hanya orang-orang yang berilmu yang takut kepada Allah SWT, ini ditunjukkan pada surat Fathir ayat 28, yaitu:
َّ ف أَ ْل َْاًَُُ َ َذلِكَ ًَِّ َوا ٌَ ْخ َشى ٌ ِاس َّال َّذ َّااِّ َّاا ًْ َ ِام ُه ْخحَل َّللاَ ِه ْي ِع َا ِد ٍِ ْال ُ لَ َوا ُء ِ َّى ِ ٌََّّ ِهيَ ال َّ َيٌ ٌي َ ُْ ٌر ِ َّللاَ ع Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”.4
2
Moh Haitam Salim dan Syamsul Kurniawan. Studi Ilmu Pendidikan Islam. hlm 50-68. Mohammad Daud Ali. Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998) hlm 404. 4 Mohammad Daud Ali. Pendidikan Agama Islam. hlm 404. 3
105
Kemudian, hanya orang-orang yang berilmu yang mampu memahami hakikat
sesuatu
yang
disampaikan
Allah
melalui
perumpamaan-
perumpamaan. Ini ditunjukkan pada surat al-Ankabut ayat 43, yaitu:
َاس َّ َها ٌَ ْ ِلَُِا ِ ْال َ الِ ُوْى ِ ٌََّّجِ ْلكَ اا ْه َا ُا ًَ ْ ِزبَُِا لِل Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.5
Seperti contoh bahwasanya Nabi Adam dimuliakan dengan ilmu. Disebutkan dalam al-Qur‟an bahwa Allah memberikan keutamaan kepada Adam, bapak manusia. Juga menjadikannya sebagai khalīfah Allah dimuka bumi dan meninggikannya diatas malaikat yang mengisi seluruh waktunya dengan ibadah kepada Allah, yaitu dengan ilmu yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Adam dan mengungguli ilmu malaikat pada ujian yang dilakukan Allah antara mereka dan manusia.6 Setelah Allah SWT menciptakan Nabi Adam, mengajarinya dengan berbagai konsep ilmu dan keterampilan melalui simbolisasi al-asma’, kemampuan intelektualnya telah teruji di hadapan para malaikat, serta manusia diangkat-Nya sebagai khalīfah fi al-ardh, lalu Allah SWT menyuruh para malaikat menghormati Nabi Adam atas kelebihannya. 7 Kepada Nabi Muhammad pun Allah SWT memberi berbagai ilmu. Ilmu yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tercermin dalam 5
Mohammad Daud Ali. Pendidikan Agama Islam. hlm 404. Yusuf Qardhawi. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) hlm 96. 7 Nanang Gojali. Tafsir Hadis Tentang Pendidikan. ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2013) hlm. 59. 6
106
kehidupannya sebagai Rasulullah SAW. Oleh karena itu pula dapat dikatakan bahwa kehidupan Rasulullah adalah contoh hidup al-Qur‟an atau dengan perkataan lain al-Qur‟an dalam praktek. Ilmu yang terdapat dalam al-Qur‟an diteladankan oleh Nabi melalui ucapan, perbuatan dan sikap beliau. Karena itu, sunnah Rasulullah yang kini terdapat dalam kitab-kitab hadits (al-Hadits) menjadi sumber pengetahuan yang kedua setelah alQur‟an.8 Itulah penjelasan antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu, sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat dan tidak membawa keberkahan untuk dirinya dan orang lain, maka ilmu tersebut tidak ada nilainya. 2. Supaya Mendapatkan Pahala Dari Allah SWT Kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan pondok pesantren tidak lepas atas dasar niat beribadah kepada Allah SWT, hal ini disebabkan karena pada dasarnya kegiatan pembelajaran adalah bagian dari ibadah yang harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Sebelum memulai kegiatan pembelajaran santri harus dibiasakan untuk berdo‟a terlebih dahulu. Pembiasaan mengucapkan salam ketika guru masuk dan keluar kelas, berdiri berjejer ketika guru lewat didepan kerumunan para santri, mentaati peraturan dan tata tertib yang sudah ditentukan oleh guru merupakan contoh penghormatan kepada guru yang tentunya bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah SWT.
8
Mohammad Daud Ali. Pendidikan Agama Islam. hlm 405.
107
Pergaulan dipondok pesantren diupayakan atas dasar nilai-nilai Islam yang mengutamakan akhlāq al-karīmah dimana tingkah laku santri (murid) selalu berkaitan dengan tata tertib yang dicanangkan oleh para guru dan peraturan-peraturan pondok pesantren yang harus dijiwai dengan nilai-nilai Islam. Suasana kehidupan keagamaan akan lebih mudah diwujudkan jika para santri (murid) berperilaku sebagai seorang muslim dan muslimah yang selalu berperilaku, tutur kata, cara berpakaian, cara bergaul dan berbicara dengan mengedepankan akhlāq. Semua aktifitas yang dilakukan oleh santri tersebut semata-mata hanya bertujuan untuk menghormati guru dan mendapatkan pahala dari Allah SWT, karena guru adalah perantara didalam memberikan ilmu kepada kita, dengan ilmu itulah kita mendapat pahala dari Allah SWT. Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul tugas hidup sebagai khalīfah Allah SWT dimuka bumi. Untuk maksud tersebut, manusia diciptakan lengkap dengan potensinya berupa akal dan kemampuan belajar.9 Tujuan pendidikan Islam menjadikan manusia bertaqwa, manusia yang dapat mencapai kesuksesan hidup yang abadi, dunia dan akhirat. Selain itu tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah dan tunduk kepada Allah serta mensucikan diri dari dosa.10 Sehingga orang yang mengutamakan pendidikan, utamanya
9
Hery Noer Aly. Watak Pendidikan Islam. (Jakarta: Friska Agung Insani,2003) hlm 11. Sahiron Syamsudin. Studi Al-Qur’an dan Konsep. (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010) hlm
10
281.
108
pendidikan Islam, maka tidak dipungkiri bahwa pahala akan selalu mengikutinya. 3. Supaya Mendapat Kebahagiaan Dunia dan Akhirat, Kemuliaan Hidup serta Ridho Allah SWT Pendidikan yang diberikan oleh guru akan meningkatkan pencapaian kebahagiaan didunia dan diakhirat, karena ilmu yang diberikan oleh kepada santri, mementingkan aqīdah, akhlāq dan amal soleh serta menguasai ilmu pengetahuan dan keahlian di bidangnya masing-masing. Dalam hubungan semacam itu, maka pendidikan yang diberikan oleh guru membentuk kepribadian yang kaffah sebagai muslim yang taat menjalankan ajaran agamanya, sehingga program pendidikan yang diberikan oleh guru kepada santri tentu akan memberi manfaat yang luar biasa terhadap kehidupan santri didunia bahagia dan diakhirat pun bahagia. Kemudian dikembangkannya suatu pendidikan yang berkualitas yang menyiapkan para santri menjadi khalīfah Allah SWT dimuka bumi yaitu lulusan yang beriman, bertakwa serta mengaktualisasikan didalam kehidupan masyarakat. Dengan mendapatkan ilmu pengetahuan dari para guru, santri (murid) akan mendapat ilmu yang membawa derajat dan kemuliaan hidupnya didunia dan diakhirat. Didunia dia akan menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang di sekitarnya dan menjadi panutan dimasyarakat, apalagi pada saat dia meninggalkan alam fana ini, dia akan mendapatkan pahala dari Allah SWT yaitu menjadi manusia yang mendapat ridho dan ampunan dari Allah SWT,
109
karena
dengan
ilmunyalah
jalan
hidupnya
selalu
dituntun
untuk
melaksanakan amar ma’rūf nahi munkar demi tegaknya agama Islam di bumi Allah ini. B. Perilaku Sebagai Implementasi 1. Dengan Menghormati Guru dan Menuntut Ilmu Darinya Akan Mendapatkan Barokahnya Dengan ilmu yang didapat dari guru, tentunya akan memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung kepada seluruh santri didalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini. Guru telah memberikan ilmu dan nasihat-nasihat kepada para santrinya agar mendapatkan kehidupan yang barokah didunia dan diakhirat. Dimana do‟a dan dorongan ilmu dari guru akan menjadi barometer akhlak santri sehingga secara lahiriyah maupun batiniyah tingkah laku dan perbuatan santri tidak akan melanggar ketentuan-ketentuan al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Barokah yang kita terima dari guru adalah ketenangan hati dan ilmu yang kita dapatkan tidak akan mudah lupa, tidak mudah digunakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan selalu memberikan keberkahan tersendiri didalam mengembangkan ilmu kepada orang lain. Dari ilmu yang kita dapat dari guru tentu tidak terlepas dari barokah keikhlasan memberi ilmu dari para guru tersebut. Tanpa keikhlasan dan ketekunan serta perjuangan yang tiada henti dari para guru, tentu para santri tidak maksimal mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
110
Mendapatkan ilmu yang barokah dari guru tentu berdampak belajar dengan penuh ketenangan (sakīnah) dan kehormatan (waqar) termasuk dalam hal ini merendahkan hati atau tawāḑu´ kepada guru, kemudian serius dalam semua hal, lebih-lebih dalam menuntut ilmu, demikian juga harus cinta dan haus pada ilmu itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa barokah dari guru adalah ilmu tersebut senantiasa bertambah hari akan selalu berkembang, sehingga tiada terasa wawasan dan pengertian ilmu pengetahuan bertambah luas dan bersinergi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh santri, baik dilingkungan pesantren itu sendiri maupun diluar pesantren. Seorang guru merupakan unsur terpenting didalam pendidikan, khususnya pendidikan disekolah. Hari depan anak didik tergantung banyak kepada guru. Guru yang pandai, bijaksana dan mempunyai keikhlasan dan sikap positif terhadap pekerjaannya akan dapat membimbing anak-anak didik ke arah sikap yang positif terhadap pelajaran yang diberikan kepadanya dan dapat menumbuhkan sikap positif yang diperlukan dalam hidupnya kemudian hari.11 Dalam pemikiran pendidikan, Imam al-Ghazali menekankan betapa pentingnya unsur ikhlas dalam mengajar. Sebagaimana dikemukakan dalam kitabnya yaitu Fatihah Al-Ulum, “Manusia itu semuanya bakal binasa, kecuali orang alim. Orang alim itu pun semuanya akan hancur, kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya akan lenyap, kecuali orang yang ikhlas dalam
11
Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm 82.
111
beramal”. Ikhlas dalam pandangan Imam al-Ghazali adalah sesuatu yang menyangkut nilai. Nilai ini adalah nilai (jiwa) Islam. Jadi, ilmu apa pun yang diajarkan oleh guru harus dilandasi dengan nilai Islam. Dari pernyataan tersebut sangat jelas betapa pentingnya guru untuk mengajarkan ilmunya. Tidak akan ada proses pengajaran tanpa adanya guru. 12 Oleh karena itu, sudah menjadi tugas santri (murid) untuk memuliakan guru. Berikut merupakan contoh adab murid atau santri terhadap guru pada umumnya: 1. Ucapkanlah salam terlebih dahulu bila berjumpa dengan guru. 2. Senantiasa patuh dan hormat kepada segala perintah guru, sepanjang tidak melanggar ajaran agama dan undang-undang Negara. 3. Tunjukkan perhatian ketika guru memberikan pelajaran, bertanyalah dengan sopan menurut keperluannya. 4. Bersikap merendahkan diri, sopan dan hormat dalam bergaul atau berhadapan dengan guru. 5. Jangan berjalan dimuka atau berjalan mendahului guru, kecuali dengan izinnya.13 Pada hakikatnya, yang wajib belajar adalah murid, sedangkan guru bertugas membimbingnya, berperan sebagai petunjuk jalan dalam belajar. Seorang murid yang belajar tanpa bimbingan atau arahan dari guru, apalagi
12
Mahmud. Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011) hlm 245-
246. 13
Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. hlm 274.
112
yang dipelajari adalah berbagai disiplin ilmu, bisa jadi ia tidak akan memperoleh ilmu itu.14 Pandangan al-Ghazali yang sufi senantiasa mewarnai pendapat yang dikemukakannya. Berkaitan dengan tugas murid dalam kegiatan belajar, alGhazali menasihatkan agar murid mempunyai sikap tawāḑu´ dan merendahkan diri terhadap ilmu dan guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu. Takabbur terhadap ilmu bukanlah sikap murid yang akan mengembangkan ilmunya. Ia harus memandang bahwa guru adalah penunjuk jalan untuk memperoleh dan mendalami ilmu-ilmu yang harus dikaji, karena menurut al-Ghazali tujuan belajar yaitu untuk berakhlāq alkarīmah. Oleh karena itu, ia harus ta´ᶎīm, senantiasa menghormat, tawāḑu´, dan menjaga kehormatannya.15 Ketaatan seorang murid terhadap gurunya membawa barokah dalam proses pencarian ilmu. Untuk itu, maka murid dalam interaksi dengan guru merupakan upaya mencari ridha-nya (kerelaan hatinya), menjauhi amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya selama tidak bertentangan dengan agama.16 Sedangkan kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir telah dijelaskan pada surat al-Kahfi ayat 60-82, dari kisah tersebut dapat disimpulkan bagaimana seharusnya adab seorang murid terhadap gurunya. Seperti yang telah diketahui bahwa Nabi Musa lebih tinggi derajatnya daripada Nabi Khidir.
14
Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. hlm 77. Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. hlm 80-81. 16 Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) 15
hlm 209.
113
Allah berfirman dalam surat al-A‟raf ayat 144
َاس بِ ِز َسا جًِ َّبِ َكال ِهً فَ ُخ ْذ َها آجَ ٍْحُكَ َّ ُ ْي ِهي َ َق ِ ٌَّاا ٌَا ُهْ َسى ًًِِّ اصْ طَ َ ٍْحُكَ َعلَى ال َال َّشا ِ ِزٌي Artinya: “Allah berfirman: "Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur". Dan firman-Nya juga dalam surat al-Baqarah ayat 253
َّ ْض ِه ٌُِْ ْن َه ْي َ لَّ َن ت َّآجَ ٌٍَْا ٍ َّللاُ َّ َرفَ َع بَ ْ َ ُِ ْن د ََر َجا ٍ َجِ ْلكَ الزُّ ُس ُل فَ َّْلٌَا بَ ْ َ ُِ ْن َعلَى ب َّ س َّلَْْ َشا َء َّللاُ َها ا ْقحَح ََل الَّ ِذٌيَ ِه ْي بَ ْ ِذ ُِ ْن ِه ْي ِ ِعٍ َسى ا ْبيَ َهزْ ٌَ َن ْال ٌٍََِّا ِ ُّح ْال ُ ُذ ِ ت َّأٌََّ ْذًَاٍُ بِز َّ اخحَلَ ُْا فَ ِو ٌُِْ ْن َه ْي آ َهيَ َّ ِه ٌُِْ ْن َه ْي َ َ َز َّلَْْ َشا َء ْ َات َّلَ ِك ِي ُ ٌٍَِّ بَ ْ ِذ َها َجا َء ْجُِ ُن ْال َّللاُ َها َّ ا ْقحَحَلُْا َّلَ ِك َّي َّللاَ ٌَ ْ َ ُل َها ٌ ُِزٌ ُذ Artinya: “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. Kata ِم ْن ُه ْن َم ْن َم َّل َم َّل ُهyaitu Nabi Musa sebagaimana disebutkan dalam surat yang lain, yaitu surat an-Nisa‟ ayat 164 :
َّ صصْ ٌَاُُ ْن َعلَ ٍْكَ ِه ْي قَ ْ ُل َّ ُرسُال لَ ْن ًَ ْصُصْ ُِ ْن َعلَ ٍْكَ َّ َ لَّ َن َّللاُ ُهْ َسى َ ََّ ُرسُال قَ ْذ ق جَ ْكلٍِ ًوا
114
Artinya: “Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”.
Dari ayat tersebut Nabi Musa mendapat gelar Kalimullah. Bertolak dari sini, ketika Nabi Musa pergi menimba ilmu kepada Nabi Khidir, dia benarbenar mengenakan adab dan sopan santun yang tinggi dihadapan gurunya. Kita perhatikan kata-kata yang dipakai Nabi Musa saat memohon kepada Nabi Khidir,
)66( اا لََُ ُهْ َسى َُلْ أَجَّ ِ ُكَ َعلَى أَ ْى جُ َ لِّ َو ِي ِه َّوا ُعلِّ ْوثَ ُر ْشذًا َ َق Artinya: “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”. Mengapa dalam hal ini tidak menggunakan kalimat Uridu an attabi’uka „Saya ingin mengikutimu?‟ Karena, kalimat ini berkonotasi pembebanan terhadap yang dimohon. Berbeda dengan kalimat Hal attabi’uka seolah-olah ia berkata, “Izinkanlah (bolehkah) aku mengikutimu?” Dengan kalimat yang lunak ini tidak ada pihak yang merasa dibebani oleh yang lain. Bahkan sang muridlah yang harus mengerti kedudukan guru sebagai orang yang patut dihargai.17 2. Ingin Mendapat Keridhoan Guru dan Tidak Ingin Membuatnya Kecewa
17
257
Yusuf Qardhawi. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. hlm 255-
115
Seorang santri yang tidak bersungguh-sungguh dalam belajar akan nampak pada sikap yang ia tampilkan didalam menghadapi pelajaran dan akan memperoleh hasil yang tidak baik, hal ini akan mengecewakan para guru. Kemudian seorang santri yang tidak jujur dan selalu berbuat dusta tentu akan membawa mudharat bagi pelakunya dan lingkungannya, hal ini akan membuat guru kecewa. Jikalau guru sudah sering mendapatkan kekecewaan yang terus menerus tentunya dia memandang santri tersebut sudah melakukan perbuatan yang tidak baik dan membuat guru merasa sedih dan kadang-kadang meneteskan air mata, karena ilmu yang ia berikan tidak memberikan manfaat apapun kepada santri yang bersangkutan, bahkan bisa menimbulkan kemudharatan secara keseluruhan, baik terhadap santri tersebut maupun kepada orang lain. Agar tidak membuat guru kecewa, para santri harus melakukan 4 hal sebagai berikut : 1. Santri harus meniatkan belajar untuk menghilangkan kebodohan 2. Para santri harus meniatkan bahwa ilmu yang diperolehnya dapat memberi manfaat kepada orang lain. 3. Para santri harus meniatkan untuk menghidupkan ilmu pengetahuan dan menegakkan agama Islam. 4. Para santri harus meniatkan ilmu yang diperoleh untuk diamalkan. Akhlāq mempunyai kedudukan sangat penting dalam ajaran Islam, untuk mencapai keridhaan Allah. Menurut Imam Ghazali, akhlāq itu ialah suatu istilah tentang bentuk batin yang tertanam dalam jiwa seseorang yang
116
mendorong ia berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu pemikiran dan bukan pula karena suatu pertimbangan.18 Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Umar bin Khattab, dijelaskan tentang sendi-sendi agama yang bertumpu pada tiga komponen, yaitu iman, islam dan ihsan. Ketiganya merupakan sistem yang dalam praktik tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi merupakan totalitas untuk mewujudkan akhlāq al-karīmah dalam setiap perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupan. Pembentukan akhlāq mulia merupakan tujuan utama yang harus disuriteladankan oleh guru pada anak didik. Tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pembentukan akhlāq dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang bermoral, jiwa bersih, cita-cita yang benar dan akhlāq yang tinggi, mengetahui kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia dan dapat membedakan yang buruk dan yang baik.19 Islam mendambakan umatnya untuk betul-betul tidak berhenti belajar dan memulainya sedini mungkin. Jadi dengan kata lain, pendidikan tidak mempunyai batas bawah dan batas atas (batas umur mulai dapat dididik sampai umur tertinggi manusia dapat dididik). Maka dari itu, upaya untuk memenuhi tuntutan tujuan pendidikan Islam, profesionalisme seorang pendidik menjadi sebuah keharusan. Profesionalisme hanya akan terwujud manakala
18
memang
seorang
pendidik
mumpuni
dibidangnya.
Zakiah Daradjat dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) hlm 68. 19 Moh Haitam Salim dan Syamsul Kurniawan. Studi Ilmu Pendidikan Islam. hlm 119120.
117
Profesionalisme tidak saja terkait dengan aspek intelektualitas semata, tetapi juga aspek moralitas dan spiritualitas. Dengan demikian, sosok pendidik yang profesional adalah manakala ia dapat memainkan peran keilmuannya, peran budayanya dan peran spiritualnya.20 Dari pernyataan yang telah dijelaskan, bahwa kedudukan seorang guru dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain adalah suatu pengamalan yang paling dihargai oleh Islam. Maka dari itu sebagai seorang santri (murid) harus menjaga perasaan guru dan janganlah membuatnya kecewa. Karena dengan ilmu yang diberikannyalah kita sebagai murid mengetahui betapa luasnya ilmu penegathuan. 3. Memposisikan Guru Sebagai Orang Tua Sendiri Guru bukan saja berperan sebagai pengajar yang menularkan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada santri (murid), melainkan seorang guru pun selalu mengarahkan santrinya menjadi manusia yang tidak saja pintar tetapi berakhlak mulia, berbudi pekerti yang baik. Oleh karena itu, sikap dan penampilan para guru tidak lepas dari panutan para santrinya, terutama yang berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi santri didalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul. Peran guru ini hampir sama dengan peran orang tua yang ada dirumah, artinya guru disekolah atau dipondok pesantren sebagai orang tua santri, sedangkan orang tua dirumah adalah orang tua kandungnya, sehingga santri 20
135.
Moh Haitam Salim dan Syamsul Kurniawan. Studi Ilmu Pendidikan Islam. hlm 134-
118
merasa bahwa guru adalah merupakan tempat menyampaikan keluhan, curahan hati, bercanda ria bahkan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh para santri namun para guru akan memberikan solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada pendidikan Islam, interaksi yang terjadi antara guru dan murid tidak hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi berlangsung juga di tengah masyarakat, dimana guru menjadi agen moral sekaligus model dari moral yang diajarkan. Dengan demikian, para murid mudah untuk melihat gambar kepribadian yang diinginkan guru.21 Seorang guru adalah manusia yang memiliki kualitas dalam hal ilmu pengetahuan, moral dan cinta atau loyal kepada agama. Manifestasi seorang guru harus ditunjukkan melalui sifat-sifat ketaatan dan ketakwaanya kepada Allah SWT. Alasannya adalah karena dia sebagai cermin dimana murid akan menuruti atau mengikutinya. Komitmen guru dalam hal takut kepada Allah SWT perlu dilahirkan dalam sikap dan prilakunya dihadapan murid.22 Al-Ghazali menasihatkan kepada setiap guru agar senantiasa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya. Ia harus mempunyai karisma yang tinggi. Ini merupakan factor penting bagi seorang guru untuk membawa murid ke arah mana yang dikehendaki. Disamping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam perannya sebagai pembimbing
21
Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. hlm 209. Muhammad AR. Pendidikan di Alaf Baru Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan. (Yogyakarta: PRIMASOPHIE, 2003) hlm 70. 22
119
dan penunjuk jalan dalam masa studi muridnya. Semua perkataan, sikap dan perbuatan yang baik darinya akan memancar kepada muridnya.23
23
Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. hlm 70.