BAB II ETIKA MENGHORMATI GURU DAN TAFSIR SHOWI TERHADAP SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82 A. Etika Menghormati Guru 1. Pengertian Etika Dari segi etimologi etika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan tentang manusia. Etika atau Ethics berasal dari kata-kata Yunani: Ethos, artinya kebiasaan, watak kesusilaan. Ia membicarakan tentang kebiasaan (perbuatan), tetapi bukan menurut tata-adat, melain kantata-adab, yaitu berdasar pada intisari atau sifat dasar manusia yaitu sifat baik dan buruk. Jadi dengan demikian etik aialah teori tentang perbuatan manusia ditimbang menurut baik dan buruknya. Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan, tidak berdiri sendiri. Sebagai ilmu yang membahas tentang manusia. Etika ini berhubungan dengan seluruh ilmu tentang manusia.1 Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.2 2. Guru Guru adalah orang yang memberikan ilmu kepada peserta didik (murid), serta membimbing jiwa mereka sekaligus pula mengarahkan
1
Mudlor Achmad. Etika Dalam Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas, tt) hlm 15. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1997) 2
30
31
tingkah laku mereka kepada yang baik.3 Seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, harus mengarah kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat.4 Menurut Imam al-Ghazali, tugas dan tanggung jawab seorang guru adalah pertama, orang tua kedua didepan murid, maksudnya seorang guru akan berhasil melaksanakan tugasnya apabila mempunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana orang tua terhadap anaknya sendiri. Kedua, sebagai pewaris ilmu nabi, maksudnya seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, harus mengarah kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat. Ketiga, sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid, maksudnya berdasarkan keikhlasan dan kasih sayangnya, guru selanjutnya berperan sebagai penunjuk jalan bagi murid dalam mempelajari dan mengkaji pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Hendaknya seorang guru tidak segan-segan memberikan pengarahan kepada muridnya agar mempelajari ilmu secara runtut, setahap demi setahap, mengingat bahwa manusia tidak mampu merangkum ilmu pengetahuan secara serempak dalam satu masa perkembangannya. Keempat, sebagai sentral figur bagi murid, maksudnya seorang guru agar senantiasa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya. Ia harus mempunyai karisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi seorang
3
Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014) hlm 103. 4 Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), 1998). hlm 68.
32
guru untuk membawa murid ke arah mana yang dikehendaki. Kelima, sebagai motivator bagi murid, maksudnya seorang guru mampu untuk mendorong muridnya agar senang dengan kegiatan belajar yaitu dengan menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa sehingga murid senang belajar, mengetahui tujuan dan menyadari hakikat belajar. Keenam, sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid, maksudnya seorang guru dapat menyampaikan ilmu pengetahuan dalam proses belajar mengajar sesuai dengan tingkat pemahaman murid.5 3. Etika Menghormati Guru Dalam kitab Ta‟līm Mutta‟līm terdapat ajaran untuk mengagungkan orang yang berilmu, seperti qoul Imam Ali bin Abi Thalib: “Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf, terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi hambanya”.6 Termasuk menghormati guru adalah tidak berjalan didepan guru, tidak duduk ditempat duduk guru, tidak mendahului bicara kecuali diizinkan, tidak banyak bicara dihadapan guru, tidak bertanya sesuatu dalam keadaan lelah (tenaga atau pikiran), mencari waktu yang memungkinkan dan tidak mengetuk pintu tetapi bersabar menunggu keluar. Walhasil pelajar dituntut mencari kelonggaran hati guru dan tidak membuat kemarahan guru, melaksanakan perintah guru dalam catatan tidak berupa kemaksiatan,
5
Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. hlm 67-75. Syaikh az-Zarnuji. Ta‟lim Mutta‟lim. (Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arobiyyah Indonesia, tt) hlm 17-18. 6
33
karena
tidak
diperbolehkan
mematuhi
makhluk
dengan
bentuk
pendurhakaan kepada Allah SWT.7 Termasuk menghormati guru adalah menghormati putra-putri guru dan orang-orang yang masih dalam persambungan dengan guru. Jika di Pondok Pesantren Darullughah Wadda‟wah maka keluarga besar al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun). Selain menghormati guru, maka dianjurkan juga untuk menghormati ilmu. Termasuk mengagungkan ilmu adalah mengagungkan kitab. Seorang pelajar hendaklah mengambil kitab dalam keadaan bersuci, kemudian tidak menjulurkan kaki pada kitab, hendaklah meletakkan kitab tafsir (al-Qur‟an) diatas kitab-kitab lainnya dan tidak meletakkan sesuatu diatas kitab. Juga diantara
mengagungkan
ilmu
adalah
mengagungkan
teman-teman
seperjuangan dan orang yang diambil ilmunya. Ketahuilah bahwa bergantung adalah sikap tercela selain dalam menuntut ilmu, yakni seorang pelajar hendaklah bergantung kepada guru dan teman-teman untuk didapatkan nilai-nilai positif dari mereka.8 B. Tafsir Showi Terhadap Surat al-Kahfi ayat 60-82 1. Asbābu An-Nuzūl Surat al-Kahfi ayat 60-82 Asbābu An-Nuzūl merupakan ilmu tentang mengetahui sebab-sebab turunnya ayat al-Qur‟an9, tetapi tidak semua ayat dalam al-Qur‟an
7
hlm 18.
8
Syaikh az-Zarnuji. Ta‟lim Mutta‟lim. (Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arobiyyah Indonesia, tt)
Syaikh az-Zarnuji. Ta‟lim Mutta‟lim. (Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arobiyyah Indonesia, tt) hlm 18-19. 9 Muhammad Ali Ash-Shabuni. Studi Ilmu Al-Qur‟an. (edisi terjemahan oleh Aminuddin). (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999). hlm 39.
34
mempunyai sebab, karena tidak semua ayat al-Qur‟an diturunkan karena timbul peristiwa atau karena pertanyaan. Tidak semua ayat mengandung asbābu an-nuzūl, seperti yang terdapat pada surat al-Kahfi khususnya pada ayat 60 sampai ayat 82 tidak ada sebab turunnya, tetapi hanya berupa riwayat yang didalamnya terdapat kisah pertemuan Nabi Musa dengan Bani Israil sebelum Allah SWT mempertemukan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas dari Abu Ka‟ab bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :
ال ال أَ ْخبَ َرنِي َس ِعي ُد بْ ُن ُجبَ ْي ٍر قَ َ ي َح َّدثَنَا ُس ْفيَا ُن َح َّدثَنَا َع ْم ُرو بْ ُن ِدينَا ٍر قَ َ ْح َم ْي ِد ُّ َح َّدثَنَا ال ُ َن موسى ِ ِ ِ ْت ِِلبْ ِن َعبَّ ٍ وسى قُل ُ اس إِ َّن نَ ْوفًا الْبِ َكال َّي يَ ْزعُ ُم أ َّ ُ َ َ س ُى َو ُم َ صاح َ ب الْ َخض ِر لَْي َ ِ ِ اح ِ اس َ َ َ َع ُد ُّو اللَّ ِو َح َّدثَنِي أُبَ ُّي بْ ُن َ ْع ٍ ال ابْ ُن َعبَّ ٍ يي فَ َ َ ب أَنَّوُ َ ص َ ب بَنيِ ْس َراا َ
َس ِم َع
ِ رس َ ِ ول إِ َّن موسى قَ ِ ِ ِ ِ ِ َي سئِ َي أ ُّ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يَ ُ ُ ُ َ َ ول اللَّو َ َُ يي فَ ُ ام َخطيبًا في بَني إ ْس َراا َ ِ ال أَنَا فَ َعتَ َّ ِ ِ الن ِ ْم إِلَْي ِو فَأ َْو َحى اللَّوُ إِلَْي ِو إِ َّن لِي َع ْب ًدا َّاس أَ ْعلَ ُم فَ َ َ َ ب اللوُ َعلَْيو إ ْذ لَ ْم يَ ُر َّد الْعل َ ك ُحوتًا ف لِي بِ ِو قَ َ ك قَ َ وسى يَا َر ِّ فَ َك ْي َ ْخ ُ َم َع َ بِ َم ْج َم ِع الْبَ ْح َريْ ِن ُى َو أَ ْعلَ ُم ِم ْن َ ال تَأ ُ ال ُم َ َخ َ ُحوتًا فَ َج َعلَوُ فِي ِم ْكتَ ٍي ثُ َّم ْح َ فَتَ ْج َعلُوُ فِي ِم ْكتَ ٍي فَ َح ْيثُ َما فَ َ ْد َ وت فَ ُه َو ثَ َّم فَأ َ ت ال ُ انْطَلَ َق وانْطَلَ َق معوُ بَِفتَاهُ يو َشع ب ِن نُ ٍ وس ُه َما فَنَ َاما ون َحتَّى إِ َذا أَتَيَا َّ الص ْخ َرَة َو َ ُ َْ ََ ض َعا ُرءُ َ َ وت فِي ال ِْم ْكت ِي فَ َخر ِ س َ َ فِي الْبَ ْح ِر { فَاتَّ َخ َ َسبِيلَوُ فِي الْبَ ْح ِر َوا ْ ْح ُ َ ضطََر َ ال ُ ََ ج م ْنوُ فَ َ ك اللَّوُ َعن الْح ِ وت ِجريةَ الْم ِاء فَصار َعلَْي ِو ِمثْي الطَّ ِ ظ نَ ِس َي استَ ْي َ َ سَ اق فَلَ َّما ْ ْ ُ ََ َْ َ َس َربًا } َوأ َْم َ َ ِ احبوُ أَ ْن ي ْخبِرهُ بِالْح ِ ال وت فَانْطَلَ َ ا بَِيَّةَ يَ ْوِم ِه َما َولَْي لَتَ ُه َما َحتَّى إِذَا َ ا َن ِم ْن الْغَ ِد قَ َ َ ص ُ ُ َ ُ
35
ِ ِ ِ ِ ِ ب صبًا } قَ َ وسى الن َ اءنَا لََ ْد لَ ينَا م ْن َس َف ِرنَا َى َ ا نَ َ ال َولَ ْم يَج ْد ُم َ ُم َ َّص َ وسى { ل َفتَاهُ آتنَا غَ َد َ الص ْخ َرةِ فَِإنِّي َحتَّى َج َاوَزا ال َْم َكا َن الَّ ِ ي أ ََم َر اللَّوُ بِ ِو فَ َ َ ت إِ ْذ أ ََويْنَا إِلَى َّ ال لَوُ فَتَاهُ { أ ََرأَيْ َ سانِ ِيو إَِِّل َّ ال الش ْيطَا ُن أَ ْن أَذْ ُ َرهُ َواتَّ َخ َ َسبِيلَوُ فِي الْبَ ْح ِر َع َجبًا } قَ َ ْح َ نَ ِس ُ يت ال ُ وت َوَما أَنْ َ ِ فَ َكا َن لِل ِ ك َما ُ نَّا نَ ْب ِغي فَ ْارتَ َّدا َعلَى وسى َولَِفتَاهُ َع َجبًا فَ َ َ وسى { ذَلِ َ ُ ال ُم َ ْحوت َس َربًا َول ُم َ ِ صِ ان آثَ َارُى َما َحتَّى انْتَ َهيَا إِلَى َّ ِ ِ س ِّجى صا } قَ َ ال َر َج َعا يَ ُ َّ صً آثَا ِرى َما قَ َ الص ْخ َرة فَإذَا َر ُج ٌي ُم َ ِ ضر وأَنَّى بِأَر ِ ِ وسى وسى قَ َ الس ََل ُم قَ َ وسى فَ َ َ ك َّ ضَ ْ ال ُم َ ال أَنَا ُم َ سلَّ َم َعلَْيو ُم َ ال الْ َخ ُ َ ثَ ْوبًا فَ َ ِ ِ ِ ال ت َر َش ًدا قَ َ يي قَ َ ال نَ َع ْم أَتَ ْيتُ َ ك لِتُ َعلِّ َمنِي ِم َّما عُلِّ ْم َ بَني إ ْس َراا َ
ِ يع َم ِعي { إِنَّ َ ك لَ ْن تَ ْستَط َ
ت َعلَى ِعل ٍْم ِم ْن ت َوأَنْ َ وسى إِنِّي َعلَى ِعل ٍْم ِم ْن ِعل ِْم اللَّ ِو َعلَّ َمنِ ِيو َِل تَ ْعلَ ُموُ أَنْ َ َ ص ْب ًرا } يَا ُم َ ِ ِ ال موسى { ستَ ِج ُدنِي إِ ْن َشاء اللَّوُ صابِرا وَِل أَ ْع ِ صي َ عل ِْم اللَّو َعلَّ َم َكوُ اللَّوُ َِل أَ ْعلَ ُموُ فَ َ َ ُ َ َ ً َ َ ٍ ث لَ َ ِ ال لَوُ الْ َخ ِ ك أ َْم ًرا } فَ َ َ ُح ِد َ لَ َ ك م ْنوُ ض ُر { فَِإ ْن اتَّبَ ْعتَنِي فَ ََل تَ ْسأَلْنِي َع ْن َش ْيء َحتَّى أ ْ ان علَى س ِ اح ِي الْبح ِر فَم َّر ْ ِ ِ ِ ِ وى ْم فَ َع َرفُوا وى ْم أَ ْن يَ ْح ِملُ ُ ت َسفينَةٌ فَ َكلَّ ُم ُ ذ ْ ًرا } فَانْطَلَ َ ا يَ ْمشيَ َ َ َْ َ الس ِفينَ ِة لَم ي ْفجأْ إَِِّل والْ َخ ِ الْ َخ ِ ض ُر قَ ْد قَلَ َع لَ ْو ًحا وى ْم بِغَْي ِر نَ ْو ٍل فَلَ َّما َرِبَا فِي َّ ض َر فَ َح َملُ ُ َْ َ َ
اح الس ِفين ِة بِالْ َ د ِ ِ ت إِلَى وم فَ َ َ ُ وسى قَ ْوٌم قَ ْد َح َملُونَا بِغَْي ِر نَ ْو ٍل َع َم ْد َ م ْن أَل َْو ِ َّ َ ال لَوُ ُم َ
ِ يع ت َش ْيئًا إِ ْم ًرا قَ َ ال أَلَ ْم أَقُ ْي إِنَّ َ َس ِفينَتِ ِه ْم فَ َخ َرقْتَ َها { لِتُ غْ ِر َق أ َْىلَ َها لََ ْد ِج ْئ َ ك لَ ْن تَ ْستَط َ ال َِل تُ َؤ ِ ِ ول ال َر ُس ُ ال َوقَ َ يت َوَِل تُ ْرِى ْ نِي ِم ْن أ َْم ِري عُ ْس ًرا } قَ َ ص ْب ًرا قَ َ اخ ْ نِي بِ َما نَ ِس ُ َمعي َ ِ ِ ور فَ َوقَ َع َعلَى وسى نِ ْسيَانًا قَ َ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َوَ انَ ْ اء عُ ْ اللَّو َ ص ُف ٌ ت ْاْلُولَى م ْن ُم َ ال َو َج َ ِ ِ ِ حر ِ ِ ك ِم ْن ِعل ِْم اللَّ ِو إَِِّل الس ِفينَ ِة فَنَ َ َر فِي الْبَ ْح ِر نَ ْ َرةً فَ َ َ ف َّ ْم َ َْ ال لَوُ الْ َخض ُر َما علْمي َوعل ُ
36
ِ ِ الس ِفينَ ِة فَب ْي نَا ُىما يم ِشي ان َعلَى َّ ور ِم ْن َى َ ا الْبَ ْح ِر ثُ َّم َخ َر َجا ِم ْن ْ ُص َى َ ا الْع َ َْ َ َ َ َ َمثْ ُي َما ن ُ ص ُف ِ َّ ِ ِ ضر غُ ََلما ي لْعب مع ال ِْغلْم ِ َخ َ الْ َخ ِ َ ان فَأ ُض ُر َرأْ َسوُ بِيَ ِده فَاقْتَ لَ َعو َ ْالساح ِي إِ ْذ أَب َ َ َ ُ َ َ ً ُ ص َر الْ َخ ٍ سا َزا ِيَةً بِغَْي ِر نَ ْف ال َ َت َش ْيئًا نُ ْك ًرا ق َ َ َبِيَ ِدهِ فَ َ تَ لَوُ ف َ س لََ ْد ِج ْئ َ وسى { أَقَتَ ل َ ال لَوُ ُم ً ْت نَ ْف ِ ك لَن تَستَ ِط ك َ َال َو َى ِ هِ أَ َش ُّد ِم ْن ْاْلُولَى { ق َ َص ْب ًرا } ق َ ُال إِ ْن َسأَلْت َ َأَلَ ْم أَقُ ْي ل َ يع َمعي َ ْ ْ َ َّك إِن ِ عن َشي ٍء ب ع َدىا فَ ََل تُص ت ِم ْن لَ ُدنِّي عُ ْ ًرا فَانْطَلَ َ ا َحتَّى إِذَا أَتَيَا أ َْى َي قَ ْريٍَة َ ْاح ْبنِي قَ ْد بَلَغ َ َْ ْ ْ َ َ ِ َ َض } ق ام َّ َ وى َما فَ َو َج َدا فِ َيها ِج َد ًارا يُ ِري ُد أَ ْن يَ ْن َ ُاستَط َْع َما أ َْىلَ َها فَأَبَ ْوا أَ ْن ي ُ ضيِّ ُف ْ َ َ َال َماا ٌي ف ت َ { لَ ْو ِش ْئ
ِ الْ َخ ضيِّ ُفونَا َ َ َض ُر فَأَقَ َاموُ بِيَ ِدهِ ف َ ُاى ْم فَلَ ْم يُط ِْع ُمونَا َولَ ْم ي ُ َوسى قَ ْوٌم أَتَ ْي ن َ ال ُم
ِ َ ْ َِلتَّ َخ يي َما لَ ْم تَ ْس ِط ْع َعلَْي ِو َ ََج ًرا ق َ ِك إِلَى قَ ْولِ ِو َذل َ ِال َى َ ا فِ َرا ُق بَ ْينِي َوبَ ْين ْ ت َعلَْيو أ ُ ك تَأْ ِو ِ ُ ال رس َّ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َو ِد ْدنَا أ ص َّ ُ َصبَ َر َحتَّى ي َ وسى َ ا َن َ ول اللَّو َ َ َن ُم ُ َ َ َ َص ْب ًرا } ف ٍ َّال َس ِعي ُد بْ ُن ُجبَ ْي ٍر فَ َكا َن ابْ ُن َعب ك َ َاللَّوُ َعلَْي نَا ِم ْن َخبَ ِرِى َما ق ٌ ِاس يَ ْ َرأُ َوَ ا َن أ ََم َام ُه ْم َمل 10
ٍ ِ ْخ ُ ُ َّي س ِفينَ ٍة صبًا َوَ ا َن يَ ْ َرأُ َوأ ََّما الْغََُل ُم فَ َكا َن َ افِ ًرا َوَ ا َن أَبَ َواهُ ُم ْؤِمنَ ْي ِن ُ يَأ ْ َصال َحة غ َ َ
Artinya : “Imam Bukhari meriwayatkan dari Sa‟id bin Jubeir, dia berkata, “Aku berkata kepada Ibnu Abbas, „Nauf al-Bakali mengatakan bahwa Musa teman Khidir bukanlah Musa yang menjadi nabi Bani Israil”. Namun dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata bahwa musuh Allah itu berdusta. Ubai bin Ka‟ab menceritakan kepada kami bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil. Dia ditanya, „Siapakah manusia yang paling pandai ?‟ Musa menjawab, „Aku‟. Maka Allah SWT mencelanya karena dia belum lagi diberikan pengetahuan yang banyak. Lalu Allah SWT memberitahukan kepadanya, „Aku punya seorang hamba yang tinggal di pertemuan dua lautan. Dia lebih pandai daripada kamu‟. Musa berkata : “Ya Tuhanku, bagaimana aku menemuinya ?”. Allah SWT menjawab : „Bawalah ikan dan simpanlah di keranjang. Di mana saja ikan itu hilang, di situlah hamba-Ku berada‟. Kemudian Musa mengambil ikan dan menyimpannya di keranjang. Musa pergi ditemani muridnya 10
Shameela.
Abdullah Muhammad bin Ismail (Imam Bukhori). Shahih Bukhari. Maktabah
37
bernama Yusya bin Nun. Setelah keduanya sampai di batu besar, keduanya telentang di atas batu itu dan tertidur. Ikan yang ada didalam keranjang bergerak-gerak, lalu keluar dan jatuh ke laut. Ikan itu berjalan di atas laut seperti fatamorgana. Allah SWT membekukan air yang dilalui ikan sehingga air itu seperti titian. Tatkala keduanya bangun, muridnya lupa memberitahukan ihwal ikan itu. Lalu keduanya pergi menghabiskan sisa siang dan sepanjang malam. Pada pagi hari Musa berkata kepada muridnya : “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan ini”. Musa tidak merasa letih sebelum melintasi tempat seperti yang ditunjukkan Allah kepadanya. Pemuda ( Yusya‟ bin Nun ) berkata kepada Musa, „Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan itu dan tidaklah membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan. Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh‟. Ubai berkata,: “Ikan berjalan diatas air seperti fatamorgana, sedang Musa dan muridnya keheranan, Musa berkata “Itulah yang kita cari. Lalu keduanya kembali menelusuri jejak mereka semula. Ubai berkata “Keduanya kembali menelusuri jejak itu hingga tiba pada batu besar, Ternyata di sana ada seorang laki-laki berpakaian lengkap. Musa memberi salam kepadanya. Khidir berkata “Sesungguhnya aku berada di negeri mu dengan damai, Musa berkata, “Aku Musa”, Khidir berkata “Musa Bani Israil ?, Musa membenarkannya. Musa berkata “Aku datang menemuimu agar engkau mengajariku sebagian Ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu”. Dia menjawab “Sesungguhnya aku memiliki sebagian pengetahuan Allah yang diajarkan kepadaku yang tidak kamu ketahui, dan engkau pun memiliki sebagian pengetahuan Allah yang diajarkan kepadamu yang tidak aku ketahui”. Musa berkata “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan apapun. Khidir berkata “Jika kamu mengikuti aku, maka janganlah kamu menanyakan kepadu tentang sesuatu apapun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu. Kemudian keduanya berjalan di tepi pantai. Tiba-tiba melintaslah sebuah perahu. Mereka meminta kepada awak perahu agar ikut membawanya. Awak perahu mengenali Khidir. Mereka pun naik tanpa membayar sewa. Setelah keduanya naik perahu, tiba-tiba Khidir mencopoti papan perahu satu demi satu dengan kapak. Musa berkata kepada Khidir, „Mereka telah memebawa kita tanpa meminta bayaran, lalu kamu merusak perahunya. Mengapa kamu melubanginya yang akibatnya menenggelamkan penumpangnya ? Sesungguhnya kamu telah berbuat kesalahan yang besar‟. Khidir berkata : „Bukankah aku telah berkata, “Sesungguhnya kamu tidak akan bersabar bersama denganku”. Musa berkata, „Janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku‟.Ubai berkata, “Rasulullah SAW bersabda, „Inilah kelupaan pertama dari Musa‟. Ubai berkata, “Kemudian datanglah burung pipit dan hinggap di pinggir perahu. Burung itu menukik ke laut satu atau dua kali. Khidir berkata kepada Musa, „Pengetahuan Allah SWT yang diajarkan
38
kepadaku dan kepadamu hanyalah seperti air yang terbawa oleh paruh burung itu yang menukik ke laut ini‟. Musa dan Khidir turun dari perahu. Ketika keduanya berjalan di pantai, Khidir melihat seorang anak tengah bermain dengan anak-anak lainnya. Khidir memegang kepala anak itu, lalu memelintirnya hingga tewas. Musa berkata kepadanya, „Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain ? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang munkar‟. Khidir berkata, “Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku ?”. Ubai berkata : “Tindakan Khidir ini lebih dahsyat daripada yang pertama”. Musa berkata, „Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah kamu membolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup udzur kepadaku‟. Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu oleh penduduk negeri itu. Tetapi penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, yakni doyong. Lalu Khidir berisyarat dengan tangannya. Maka Khidir menegakkan dinding rumah itu. Musa berkata, “Penduduk yang kita jumpai tidak mau memberi kita makan dan menolak untuk menjamu kita. Jikalau kamu mau, niscaya kamu dapat mengambil upah untuk itu”. Khidir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Rasulullah SAW bersabda, “Kita sangat mengharapkan Musa dapat bersabar sehingga Allah SWT menceritakan pengalaman keduanya kepada kita.”11
Setelah mendengar perintah Allah SWT untuk menemui hamba-Nya (Nabi Khidir) dipertemuan dua lautan12, maka Nabi Musa segera menemui seorang pemuda untuk dijadikan teman dalam perjalanan tersebut dan menyuruhnya
agar
menyediakan
seekor
ikan
sebagaimana
telah
diperintahkan oleh Allah SWT kepadanya. Pemuda tersebut bernama
11
Abul Fida‟ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisy al-Bushrawi adDimasyqi. Tafsir Ibnu Katsir jilid 3. (Beirut: Darul Rosyad, tt) hlm 426-428. 12 Ada 2 pendapat mengenai ini :(1). Bahwa yang dimaksud adalah tempat pertemuan antara laut Persi dan laut Romawi (tempat pertemuan antara samudra Indonesia dan laut Merah di Babil Mandib), (2). Tempat pertemuan antara laut Romawi dan Samudra Atlantik di Tanjah demikian kata Muhammad bin Ka‟ab Al-Qurahi (laut Tengah dan lautan Atlantik di selat jabal Tariq di depan Tanjah). Pendapat ini tercantum pada kitab tafsir al-Azhar. Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz XV 15. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984). hlm 228.
39
Yusya‟ bin Nun13. Dari sinilah dimulainya perjalanan Nabi Musa untuk menuntut ilmu dan hikmat dari orang yang disebutkan oleh Allah SWT bahwa dia adalah seorang hamba-Nya yang lebih pandai dari Nabi Musa yaitu Nabi Khidir. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir tersebut tidak diketahui oleh orang-orang Yahudi dan tidak pula ditemukan dalam kitabnya (Taurat). Oleh karenanya, mereka mengingkari cerita ini dan mengatakan bahwa nabi kami tidak pernah belajar kepada nabi yang lain, sekalipun mereka mengakui bahwa Nabi Khidir juga nabi yang mendapat wahyu. Akan tetapi, tidak mengakui bahwa Nabi Musa belajar kepada yang lain karena menurut mereka Nabi Musa lebih tinggi pangkat, derajat, dan kedudukannya.14 Para ulama tafsir menjawab bahwa pendapat ini berasal dari kaum Yahudi yang tidak didukung sama sekali oleh akal dan nash. Sebagian ulama yang lain ada yang mengatakan bahwa boleh jadi Allah SWT telah menyembunyikan ilmu dari Nabi Musa untuk menambah ilmunya dan keutamaannya, dan tidak menutup kemungkinan Nabi Musa memiliki ilmu lebih selain dari apa yang dimiliki Nabi Khidir.15
13
Pemuda yang menemani Nabi Musa dalam perjalanannya, ialah Yusya‟ bin Nun Afrasim bin Yusuf. Dia menjadi pelayan Musa dan belajar kepada beliau. Orang-orang Arab memang menyebut pelayan dengan sebutan fata (pemuda). Karena,yang menjadi pelayan kebanyakan adalah dikala umurnya masih muda, disamping mereka menyebut budak juga dengan sebutan fata. Pendapat ini tercantum pada kitab tafsir al-Maraghi. Ahmad Mustofa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi Juz XV. (edisi terjemahan oleh Abu Bakar dkk). (Semarang: Karya Toha Putra, 1993) hlm 343. 14 Yusuf Qardhawi. Al-Qur‟an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Cet.1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1998). hlm 249-250. 15 Yusuf Qardhawi. Al-Qur‟an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. hlm 249250.
40
2. Tafsir Ayat Menurut Asy-Syaikh Ahmad Showi al-Maliki (Tafsir Showi)16 Kelompok ayat pada surat al-Kahfi ini, yaitu ayat 60-82 diceritakan tentang riwayat Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir. Pada kelompok ayat ini tidak ada asbābu an-nuzūl nya akan tetapi ada suatu riwayat sehingga kemudian turunlah ayat ini. Riwayat tersebut telah dikutip dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.17 a. Tafsir Ayat 60-61
ِ ال موسى لَِفتَاهُ َِل أَبْ رح حتَّى أَبْلُ َغ م ْجمع الْب ْحريْ ِن أَو أ َْم ) فَلَ َّما بَلَغَا60 ( ض َي ُح ُبًا ْ َ َ ََ َ َ َُ َ ُ َ ََوإِ ْذ ق )61 ( َم ْج َم َع بَ ْينِ ِه َما نَ ِسيَا ُحوتَ ُه َما فَاتَّ َخ َ َسبِيلَوُ فِي الْبَ ْح ِر َس َربًا Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu”.
Kelompok ayat-ayat ini menguraikan suatu kisah menyangkut Nabi Musa dengan salah seorang hamba Allah SWT yang saleh. Dalam Tafsir Showi dijelaskan bahwasanya ada perbedaan diantara ulama yang menduga bahwa yang dimaksud dengan Musa disini bukanlah Nabi Musa, sang Nabi agung yang memperoleh kitab Taurat itu. Tetapi beliau adalah salah seorang dari keturunan Nabi Yusuf putra Nabi Ya‟qub yang juga merupakan salah seorang nabi. Pendapat ini lemah.
16
Asy-Syaikh Ahmad Showi al-Maliki. Tafsir ash-Showi jilid 3. (Semarang: Toha Putra tt) hlm 19-24. 17 Hadits telah disebutkan pada halaman 32-36.
41
Sedangkan kata (fata)
فتي
dalam ayat tersebut bermakna murid dari
Nabi Musa yaitu Yusya‟ bin Nun bin Afrasim bin Yusuf yang mana nantinya beliau diutus oleh Allah SWT sebagai pelanjut syariat Nabi Musa. Ada juga yang berpendapat bahwa dia adalah kemenakan Nabi Musa yakni anak saudara perempuannya. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa Yusya‟ bin Nun adalah seorang budak Nabi Musa, tetapi pendapat tersebut jauh karena syarat seorang menjadi Nabi adalah merdeka. Kata
َم ْج َم َم ْجا َم ْج َم ْج ِن
(pertemuan dua lautan) yang disebutkan dalam
ayat 60 tersebut berada diantara Laut Romawi dan Laut Persia, bertemunya kedua laut tersebut dilaut yang melingkar yaitu di Afrika (maksudnya Tunis sekarang). Kata
( نَ ِسيَا ُحوتَ ُه َماmereka berdua lupa akan ikan mereka) ada yang
berpendapat bahwa Nabi Musa dan muridnya lupa memakannya setelah mereka lama berjalan, dan Nabi Musa sendiri lupa mengingatkan muridnya. Ada juga yang berpendapat bahwa muridnya itu lupa menceritakan ihwal ikan yang dilihatnya mencebur ke laut. Sedangkan mengenai ihwal jalannya ikan tersebut didalam Tafsir Showi dijelaskan bahwa ada sebuah cerita ketika Nabi Musa dan Yusya‟ bin Nun itu telentang pada sebuah batu besar lalu tertidur, yang dimana ditempat tersebut terdapat sumber mata air, kemudian Yusya‟ bin Nun terbangun dan wudhu dari sumber mata air tersebut, dan melihat bahwasanya ada aliran air yang membentuk suatu petunjuk, diceritakan ikan
42
yang ada dalam keranjang bergerak-gerak sehingga keluar, lalu jatuh ke laut, ikan mengambil jalannya dilaut dan bergerak diatas air seperti fatamorgana dipermukaan bumi, tanpa menyentuhnya. Tidaklah ikan itu melintasi jalan melainkan air yang dilaluinya terbelah dan kering bawahnya. b. Tafsir Ayat 62-64
ِ ِ ِ َ َفَلَ َّما جاوَزا ق ِ ت إِ ْذ َ َ) ق62 ( صبًا َ ْال أ ََرأَي َ َاءنَا لََ ْد لَ ينَا م ْن َس َف ِرنَا َى َ ا ن ََ َ ال ل َفتَاهُ آَتنَا غَ َد َّ سانِيوُ إَِِّل َّ أ ََويْنَا إِلَى َ ْح ُ الص ْخ َرةِ فَِإنِّي نَ ِس ُالش ْيطَا ُن أَ ْن أَذْ ُ َرهُ َواتَّ َخ َ َسبِيلَو ُ يت ال َ ْوت َوَما أَن ِ )64 ( صا َ َ) ق63( فِي الْبَ ْح ِر َع َجبًا َ ِال ذَل ًص َ َك َما ُ نَّا نَ ْب ِغ فَ ْارتَ َّدا َعلَى َآثَا ِرى َما ق Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula”. Perjalanan Nabi Musa dengan muridnya itu sudah cukup jauh yaitu sampai waktu makan siang dihari kedua perjalanan, terbukti dari ayat ini bahwa mereka baru merasa lapar dan lelah sehingga Nabi Musa meminta untuk disiapkan bekal makanan mereka karena Nabi Musa tidak makan pada siang hari pertama. Hal tersebut dapat juga ditarik dari kesan kata ini yang menunjuk ke perjalanan. Ayat diatas melanjutkan kisahnya dengan menyatakan bahwa mereka berdua meninggalkan tempat kediaman mereka, melakukan perjalanan dan mencari tokoh yang didambakan oleh Nabi Musa.
43
Dalam Tafsir Showi dijelaskan bahwa Firman Allah SWT
فَلَ َّما َج َاوَزا
(Maka tatkala mereka berdua telah menjauh), dari tempat dimana ikan itu tertinggal, Allah mengaitkan lupa kepada Nabi Musa dan muridnya, padahal yang lupa ialah Yusya‟ bin Nun. Setelah keduanya meninggalkan tempat itu sejauh satu marhalah, “Berkatalah Musa kepada muridnya, „Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini‟ yaitu melewati tempat hilangnya ikan. Termasuk hikmah dari terjadinya lapar dan letih pada Nabi Musa ketika ia telah melampaui tempat tersebut adalah bahwa ia kemudian meminta makanan. Lalu ia teringat ikan, sehingga ia kembali lagi ke tempat ia bertemu dengan orang yang dia cari. Kemudian Yusya‟ bin Nun berkata kepada Nabi Musa: “Tahukah engkau tuan, tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa ikan itu dan tidaklah membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan. Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh (ajaib)”. Kata جبًا َ ( َعajaib) ada yang memahaminya dalam arti cara ikan itu menuju ke laut dan keadaannya disana yang sungguh mengherankan. Ada juga yang memahaminya dalam arti keheranan murid Nabi Musa bagaimana dia bisa lupa menyampaikan kisah ikan itu, ada yang mengatakan bahwa kata
َع َجبًا
(ajaib) maksudnya adalah ikan
44
tersebut sudah dimakan bagian kirinya, sehingga dengan hidupnya kembali ikan tersebut merupakan suatu yang mengherankan (aneh). Kemudian Nabi Musa berkata kepada muridnya: “Apa yang terjadi pada ikan yang telah kamu sebutkan, itulah yang kita cari. Karena hal itu merupakan pertanda bahwa kita akan memperoleh apa yang kita tuju sebenarnya”. Maka, kedua orang itu kembali menempuh jalan yang dilaluinya dengan mengikuti jejak mereka berdua. Sehingga sampailah mereka ke batu besar itu. Kesimpulan dari keterangan (ayat 60-64) tersebut adalah bahwa Allah SWT menerangkan kepada Nabi Musa bahwa tempat alam itu adalah tempat pertemuan antara dua laut, dan bahwa tanda kebesarannya disuatu tempat tertentu itu adalah bila ikan yang mati yang ada dalam keranjang itu menjadi hidup kembali. Dan tatkala Nabi Musa dan muridnya sampai ditempat pertemuan dua laut itu, maka ikan itu pun bergerak-gerak disitu, lalu melompat ke dalam air. Dan agaknya Allah SWT telah menahan mengalirnya air diatas laut dan menjadikannya seperti lengkungan atau aliran terusan air sehingga ikan itu bisa berjalan didalamnya. Dan tatkala Nabi Musa dan muridnya telah melampaui tempat tertentu yaitu batu besar, karena mereka lupa dan meneruskan perjalanan begitu jauh sampai keletihan dan merasa lapar, maka berkatalah Nabi Musa kepada muridnya itu: “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita benar-benar merasa lapar akibat perjalanan ini”.
45
Murid Nabi Musa itu berkata: “Tahukah tuan, apa yang saya alami dengan ikan itu ketika kita berlindung ke batu besar itu ? Ikan itu telah menempuh jalannya dilaut dengan cara yang aneh, karena ia telah bergerakgerak dalam keranjang dan hidup kembali, lalu menjatuhkan dirinya ke laut ketika aku lalai. Dan sesungguhnya aku lupa untuk menyampaikan kepada tuan mengenai ikan itu dan tiadalah yang menjadikan aku lupa untuk menyebutkannya kecuali setan. Nabi Musa berkata: “Itulah tempat yang kita cari-cari, karena hal itu merupakan pertanda bahwa kita akan mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu bertemu dengan hamba Allah SWT yang saleh. Maka mereka pun kembali lagi berjalan menuju tempat semula. Mereka tahu bahwa mereka telah melampaui tempat tinggal hamba Allah SWT yang saleh itu. c. Tafsir Ayat 65
ِ فَ وج َدا َعب ًدا ِمن ِعب )65 ( ادنَا آَتَ ْي نَاهُ َر ْح َمةً ِم ْن ِع ْن ِدنَا َو َعلَّ ْمنَاهُ ِم ْن لَ ُدنَّا ِعل ًْما َ ْ ْ ََ Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.
Perjalanan kembali ke tempat hilangnya ikan itu, ditempuh oleh Nabi Musa bersama Yusya‟ bin Nun, lalu ketika mereka sampai ditempat dimana ikan itu mencebur ke laut, mereka bertemu dengan seorang hamba Allah yang saleh.
46
Kata
َع ْب ًدا
(hamba) dalam Tafsir Showi dijelaskan bahwa banyak
ulama yang berpendapat hamba Allah SWT yang dimaksud disini adalah salah seorang Nabi yang bernama Khidir. Kata al-Khidir sendiri bermakna hijau. Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir dengan mengenakan baju putih duduk di pesisir pantai, ada yang mengatakan duduk diatas batu. Nama Nabi Khidir adalah Balya bin Malkan, dan arti Balya dalam bahasa arab adalah Ahmad. Jadi Nama Nabi Khidir adalah Ahmad bin Malkan, kuniyyahnya adalah Abu Abbas. Dikatakan Khidir (hijau) karena jika beliau duduk diatas tanah maka menjadi hijaulah yang ada dibawahnya, ada yang mengatakan bahwa jika beliau sholat maka menjadi hijaulah apa-apa yang disekitarnya. Nasab Nabi Khidir bersambung kepada Nabi Nuh dan beliau termasuk keturunan para raja. d. Tafsir Ayat 66-70
ِ يع َ َ) ق66( ت ُر ْش ًدا َ َق َ َّال إِن َ ُوسى َى ْي أَتَّبِع َ ك َعلَى أَ ْن تُ َعلِّ َم ِن ِم َّما عُلِّ ْم َ ك لَ ْن تَ ْستَط َ ال لَوُ ُم ِ ِ ِ ِ َ َ) ق68( صبِر َعلَى َما لَ ْم تُ ِح ْ بِ ِو ُخ ْب را اء َ ) ) َوَ ْي67( ص ْب ًرا َ َمع َي َ ال َستَج ُدني إ ْن َش ً ُ ْ َف ت ِ اللَّوُ صابِرا وِل أَ ْع ال فَِإ ِن اتَّبَ ْعتَنِي فَ ََل تَ ْسأَلْنِي َع ْن َش ْي ٍء َحتَّى َ َ) ق69( ك أ َْم ًرا َ َصي ل َ ً َ )70( ك ِم ْنوُ ِذ ْ ًرا َ ُح ِد َ َث ل ْأ Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?". Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar
47
atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?". Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". Didalam Tafsir Showi dijelaskan bahwa alangkah sopannya adab yang ditunjukkan oleh seorang nabi Allah SWT ini. Nabi Musa memohon penjelasan pemahaman tanpa memaksa, dan ia mencari ilmu yang dapat memberikan petunjuk dari Nabi Khidir. Namun, ilmu Nabi Khidir itu bukanlah ilmu seorang manusia yang sebab-sebabnya jelas dan hasil-hasilnya dekat. Sesungguhnya ia termasuk ilmu ladunni18 tentang perkara gaib, yang diajarkan oleh Allah SWT kepadanya tentang qadar yang diinginkan-Nya untuk hikmah yang diinginkan-Nya. Oleh karena itu, Nabi Musa tidak akan mampu bersabar bersama Nabi Khidir dan perilaku-perilakunya, walaupun dia seorang nabi dan rasul. Karena perilaku-perilaku Nabi Khidir tersebut yang tampak dipermukaan kadangkala terbentur dengan logika akal yang lahiriah dan hukum-hukum yang lahiriah. Pasalnya, perilaku Nabi Khidir itu mengharuskan adanya pengertian dan pengetahuan tentang hikmah gaib yang ada dibaliknya. Bila tidak memiliki bekal itu, maka perilaku-perilaku tersebut akan tampak aneh dan pasti diingkari. Sehingga, Nabi Khidir yang telah diberi ilmu ladunni itu sangat khawatir terhadap Nabi Musa, karena ia pasti tidak mampu bersabar atas keikutsertaannya dan tingkah lakunya.
18
Ilmu batin yang tersembunyi, yang pasti hal tersebut adalah milik dan berada disisi Allah semata.
48
Ucapan Nabi Musa tersebut sungguh sangat sopan. Ini merupakan adab seorang murid terhadap gurunya, sehingga ilmu yang didapat akan bermanfaat dan mendapat kebahagiaan. Nabi Musa tidak ada maksud lain dalam hal ini, tujuannya hanya untuk menuntut ilmu. Nabi Musa memiliki ilmu lahiriah dan menilai sesuatu berdasar halhal yang bersifat lahiriah. Tetapi seperti diketahui, setiap hal yang lahir ada pula sisi bathiniahnya yang mempunyai peranan yang tidak kecil bagi lahirnya hal-hal lahiriah. Sisi bathiniah inilah yang tidak terjangkau oleh pengetahuan Nabi Musa. Nabi Khidir secara tegas menyatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sabar memahami maksud dibalik peristiwa yang terjadi dan apa yang akan dilihatnya dari Nabi Khidir itu sepenuhnya bertentangan dengan hukum-hukum syariat yang bersifat lahiriah dan yang dipegang teguh oleh Nabi Musa. Perbincangan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir yang telah disebutkan didalam al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat 66-70 tersebut merupakan teladan yang baik dan adab bagi seorang murid didalam mengkhidmati dan menghormati gurunya. e. Tafsir Ayat 71-73
ت َش ْيئًا إِ ْم ًرا َ َالس ِفينَ ِة َخ َرقَ َها ق َّ فَانْطَلَ َ ا َحتَّى إِ َذا َرِبَا فِي َ َخ َرقْتَ َها لِتُ غْ ِر َق أ َْىلَ َها لََ ْد ِج ْئ َ ال أ ِ ال َِل تُ َؤ ِ ك لَن تَستَ ِط يت َوَِل َ َ) ق72 ( ص ْب ًرا َ َ) ق71( ُ اخ ْ نِي بِ َما نَ ِس َ يع َمع َي َ ْ ْ َ َّال أَلَ ْم أَقُ ْي إِن )73 ( تُ ْرِى ْ نِي ِم ْن أ َْم ِري عُ ْس ًرا
49
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". Setelah usai pembicaraan pendahuluan sebagaimana dilukiskan pada ayat 65-70 tersebut, dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang dikehendaki, maka berangkatlah keduanya yakni Nabi Musa dan Nabi Khidir menelusuri pantai untuk menaiki perahu. Didalam Tafsir Showi dijelaskan bahwa yang mengikuti perjalanan ini hanya Nabi Musa dan Nabi Khidir, didalam ayat tersebut tidak disebutkan ikutnya Yusya‟ bin Nun karena statusnya yang hanya sebagai pengikut saja. Kemudian mereka semua berjalan untuk mencari kapal, hingga mereka menemukannya dan mereka naik kapal tersebut tidak dipungut biaya karena ada salah satu dari orang kapal mengetahui kenabian dari Nabi Musa dan Nabi Khidir. Ketika mereka naik dalam kapal dan sampailah mereka ditengah laut, maka kapal itu dilubangi oleh Nabi Khidir. Karena tiba-tiba Nabi Khidir mengambil sebuah kapak lalu dilubangi salah satu papan dari kapal itu. Tampak jelas bahwa perbuatan ini membawa kesulitan bagi perahu dan para penumpangnya dengan ancaman bahaya tenggelam. Dari kejadian itu Nabi Musa menjadi lupa akan janji yang dikatakannya kepada Nabi Khidir dan persyaratan yang telah diajukan oleh Nabi Khidir, dihadapan
50
perilaku aneh yang tidak diterima sama sekali oleh akal sehat. Kisah tersebut merupakan episode awal dari perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidir, yaitu peristiwa pelubangan kapal yang dilakukan oleh Nabi Khidir. f. Tafsir Ayat 74-76
ٍ سا َزِيَّةً بِغَْي ِر نَ ْف ت َش ْيئًا َ َفَانْطَلَ َ ا َحتَّى إِذَا لَِيَا غُ ََل ًما فَ َ تَ لَوُ ق َ س لََ ْد ِج ْئ َ ال أَقَتَ ل ً ْت نَ ْف ِ ك لَن تَستَ ِط ك َع ْن َ َ) ق75 ( ص ْب ًرا َ َ) ق74( نُ ْك ًرا َ ُال إِ ْن َسأَلْت َ َال أَلَ ْم أَقُ ْي ل َ يع َمع َي َ ْ ْ َ َّك إِن ِ َشي ٍء ب ع َدىا فَ ََل تُص )76 ( ت ِم ْن لَ ُدنِّي عُ ْ ًرا َ ْاح ْبنِي قَ ْد بَلَغ َ َْ ْ َ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?". Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". Pada episode yang kedua ini yaitu peristiwa pembunuhan seorang anak. Nabi Musa agaknya tidak lupa lagi, tetapi benar-benar sadar karena besarnya peristiwa yang dilakukan oleh Nabi Khidir itu. Dia benar-benar sengaja mengingkari perbuatan keji ini, dimana dia tidak sabar atas kejadiannya dan tidak pula mengetahui takwil penyebab-penyebabnya. Sementara anak kecil itu yang menjadi korban pembunuhan, dimata Musa tidak bersalah dan tidak berdosa sedikit pun. Anak kecil tersebut bernama Syam‟un, dia tidak melakukan sesuatu yang mengharuskan pembunuhan terhadapnya. Bahkan dia sendiri belum bāligh sehingga harus bertanggung
51
jawab dan dihukum atas segala perilaku yang berasal darinya. Nabi Khidir membunuh anak tersebut dengan cara memenggal kepalanya, ada juga yang mengabarkan bahwa Nabi Khidir memukulnya ke dinding, atau Nabi Khidir memelintir kepalanya. Disini Nabi Musa mengucapkan kata-kata
pada ayat sebelumnya dengan ucapan
( نُ ْك ًراnukran),
sedang
( أ َْم ًراimran), karena membunuh anak
adalah lebih buruk daripada melobangi kapal. Sebab, melobangi kapal itu tidak mesti membinasakan suatu jiwa, sebab boleh jadi takkan terjadi tenggelam.
Sedang pada peristiwa
yang terakhir ini, merupakan
pembinasaan terhadap jiwa, yang karenanya lebih ia ingkari. Tetapi ada yang mengatakan bahwa peristiwa pembunuhan anak lebih buruk karena hanya membinasakan satu jiwa saja, sedangkan peristiwa pelubangan kapal apabila tenggelam maka akan membinasakan semua penumpang kapal. g. Tafsir Ayat 77
ٍ وى َما فَ َو َج َدا فِ َيها ِج َد ًارا َ ُاستَط َْع َما أ َْىلَ َها فَأَبَ ْوا أَ ْن ي ُ ضيِّ ُف ْ فَانْطَلَ َ ا َحتَّى إِ َذا أَتَيَا أ َْى َي قَ ْريَة ِ َ ْ ت َِلتَّ َخ )77 ( َج ًرا َ َض فَأَقَ َاموُ ق َّ َ يُ ِري ُد أَ ْن يَ ْن َ ال لَ ْو ِش ْئ ْ ت َعلَْيو أ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
52
Pada ayat ini merupakan episode terakhir dari perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir, yaitu peristiwa yang menceritakan tentang penduduk suatu negeri yang tidak mau menjamu kedatangan Nabi Musa dan Nabi Khidir, setelah itu cerita Nabi Khidir yang menegakkan dinding rumah yang hampir roboh karena miring. Peristiwa ini terjadi setelah waktu sholat maghrib, dan pada waktu itu dalam keadaan hujan deras dan mereka sampai mengelilingi desa untuk meminta dijamu oleh penduduknya. Dalam Tafsir Showi disebutkan bahwa negeri ini bernama Antokiah. Dikatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Qotadah, bahwa desa tersebut adalah seburuk-buruknya desa yang penduduknya tidak mau menerima tamu. Ayat ini mengisyaratkan betapa buruk perlakuan penduduk negeri itu, padahal permintaan yang mereka tolak bukanlah sesuatu yang mahal atau kebutuhan sekunder tetapi makanan untuk dimakan. Selanjutnya ayat tersebut menegaskan sekali lagi bahwa mereka menolak untuk menjadikan mereka berdua tamu, padahal menjamu tamu bahkan memberi tempat istirahat dan tidur adalah sesuatu yang lumrah apalagi bagi pendatang atau musafir. Sebenarnya kali ini Nabi Musa tidak secara tegas bertanya, tetapi memberi saran. Kendati demikian, karena dalam saran tersebut terdapat unsur pertanyaan apakah diterima atau tidak, maka ini pun telah dinilai sebagai pelanggaran olehNabi Khidir. Saran Nabi Musa itu lahir setelah beliau melihat dua kenyataan yang bertolak belakang. Penduduk negeri
53
enggan menjamu, kendati demikian Nabi Khidir memperbaiki salah satu dinding di negeri itu. Dari kejadian-kejadian tersebut merupakan akhir dari petualangan Nabi Musa, Dia tidak lagi memiliki kesempatan menemani hamba Allah yang saleh itu, karena Nabi Musa mensyaratkan kepada Nabi Khidir ketika peristiwa membunuh anak bahwa apabila Nabi Musa menanyakan sesuatu lagi kepada Nabi Khidir setelah itu, maka Nabi Khidir dapat meninggalkan Nabi Musa. Inilah yang menyebabkan Nabi Musa dan Nabi Khidir berpisah. h. Tafsir Ayat 78-82
ِ ِ ِ ك بِتَأْ ِو َ َق ُالس ِفينَة َّ ) أ ََّما78 ( ص ْب ًرا َ ُك َسأُنَبِّئ َ ِال َى َ ا فِ َرا ُق بَ ْينِي َوبَ ْين َ يي َما لَ ْم تَ ْستَط ْع َعلَْيو ِ ِ ت لِم ْخ ُ ُ َّي ٌ ِاء ُى ْم َمل ُ ين يَ ْع َملُو َن فِي الْبَ ْح ِر فَأ ََر ْد ُ ك يَأ َ ت أَ ْن أَعيبَ َها َوَ ا َن َوَر َ سا َ َ ْ َفَ َكان ٍ ِ ) َوأ ََّما الْغََُل ُم فَ َكا َن أَبَ َواهُ ُم ْؤِمنَ ْي ِن فَ َخ ِشينَا أَ ْن يُ ْرِى َ ُه َما طُغْيَانًا َوُ ْف ًرا79 ( صبًا ْ ََسفينَة غ ِ ) وأ ََّما ال81 ( ) فَأَر ْدنَا أَ ْن ي ْب ِدلَ ُهما ربُّ ُهما َخ ْي را ِم ْنوُ َزَ اةً وأَقْر ر ْحما80( ْج َد ُار فَ َكا َن َ ً ُ ََ َ َ ً َ َ َ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ك أَ ْن َ ُّاد َرب َ صالِ ًحا فَأ ََر ُ ُيم ْي ِن في ال َْمدينَة َوَ ا َن تَ ْحتَوُ َ ْن ٌز لَ ُه َما َوَ ا َن أَب َ وى َما َ لغََُل َم ْي ِن يَت يي َما لَ ْم َ ِك َوَما فَ َعلْتُوُ َع ْن أ َْم ِري ذَل َ ِّيَ ْب لُغَا أَ ُش َّد ُى َما َويَ ْستَ ْخ ِر َجا َ ْن َزُى َما َر ْح َمةً ِم ْن َرب ُ ك تَأْ ِو ِ ِ )82( ص ْب ًرا َ تَ ْسط ْع َعلَْيو Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orangorang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orangorang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik
54
kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. Pada ayat ini dijelaskan bahwasanya sudah sebanyak tiga kali Nabi Musa melakukan pelanggaran. Namun demikian, sebelum berpisah Nabi Khidir memberitahukan informasi tentang makna dan tujuan dibalik peristiwa-peristiwa yang Nabi Musa tidak dapat sabar terhadapnya. Dalam Tafsir Showi dijelaskan bahwasanya pada peristiwa yang pertama yaitu perahu yang telah dilubangi oleh Nabi Khidir adalah milik orang-orang lemah dan miskin yang mereka gunakan bekerja di laut untuk mencari rezeki, dikatakan bahwa perahu tersebut milik sepuluh bersaudara yang merupakan warisan dari ayahnya. Dari sepuluh orang tersebut, hanya lima yang bisa bekerja, keadaan mereka ada yang mempunyai penyakit belang, buta salah satu matanya, pincang, sakit-sakitan. Sedangkan lima orang yang tidak bisa bekerja, keadaan mereka ada yang buta matanya, tuli, lumpuh, bisu dan gila. Nabi Khidir melubangi perahu dengan maksud supaya perahu tersebut dinilai tidak bagus dan tidak layak digunakan, karena dibalik sana ada raja yang kejam dan selalu memerintahkan petugaspetugasnya agar mengambil setiap perahu yang berfungsi baik secara paksa. Raja yang kejam tersebut bernama Jaisur. Dengan demikian perahu yang dilubangi oleh Nabi Khidir tersebut bukanlah bertujuan menenggelamkan
55
penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-hak orang miskin. Melakukan kemudharatan yang kecil dapat dibenarkan guna menghindari kemudharatan yang lebih besar. Orang miskin yang dimaksud adalah para nelayan yang mana mereka mencari ikan sekadar dapat akan dimakan. Kalau kelihatan olehnya ada perahu yang bagus, diambil dan dikuasainya saja dengan tidak membayar harganya, dan tidak ada orang yang berani membuka mulut apabila raja itu telah bertindak. Tetapi apabila dilihatnya ada sebuah perahu yang rusak atau buruk tidak berkenan dihatinya ditinggalkannya saja. Jadi jika perahu itu dirusakkan maka raja tidak akan merampoknya dan para nelayan dapat memperbaiki perahu mereka kembali. Selanjutnya pada peristiwa kedua yaitu pembunuhan seorang anak yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Beliau bermaksud membunuh anak tersebut dengan tujuan untuk menyelamatkan kedua orang tuanya dari kekafiran. Anak tersebut bernama Syam‟un, telah diketahui oleh Nabi Khidir bahwasanya jika anak itu hidup dan tumbuh dewasa dia akan membebani kedua orang tuanya dengan beban yang sangat berat karena terdorong oleh cinta kepadanya atau akibat keberanian dan kekejaman sang anak sehingga keduanya melakukan kedurhakaan dan kekufuran. Maka dengan cara membunuh anak tersebut, kedua orang tuanya yang merupakan orang mukmin akan selamat dari kekufuran yang disebabkan oleh anaknya, dan Allah senantiasa akan menggantinya dengan anak lain yang lebih baik darinya, yakni dalam hal kesucian, yakni sikap keberagamaannya dan lebih
56
dekat, yakni lebih mantap dalam hal kasih sayang dan baktinya kepada kedua orang tuanya. Dikatakan bahwa anak yang dibunuh tersebut akan diganti oleh Allah SWT dengan anak perempuan yang mana dia nanti akan dinikahi oleh seorang Nabi dan akan mempunyai anak yang nantinya akan menjadi Nabi, ada yang mengatakan anak perempuan tersebut akan mempunyai tujuh puluh anak, dan ada juga yang mengatakan dua belas anak. Selanjutnya, pada peristiwa ketiga yaitu penolakan oleh penduduk suatu negeri kepada kedatangan Nabi Khidir dan Nabi Musa, mereka tidak mau menjamu kedua tamu tersebut, serta Nabi Khidir menegakkan dinding rumah yang hampir roboh yang terdapat dalam negeri tersebut. Adapun dinding rumah yang ditegakkan oleh Nabi Khidir tersebut adalah kepunyaan dua orang anak yatim dikota itu, namanya Ashrom dan Shorim dan dibawahnya terdapat harta simpanan orang tua mereka bagi mereka berdua. Kalau dinding itu roboh, kemungkinan besar harta simpanan itu ditemukan dan diambil orang yang tidak berhak, sedang ayah keduanya adalah seorang yang saleh yang niatnya menyimpan harta itu untuk kedua anaknya. Ayahnya bernama Kasyhan dan ibunya bernama Dania. Disebutkan bahwa
َ ْن ٌز
(harta terpendam) tersebut adalah berupa emas dan
perak, ada yang mengatakan berupa ilmu yang ditulis di lembaran-lembaran, ada yang mengatakan berupa lembaran yang terbuat dari emas yang sisinya terdapat suatu tulisan atau doa.
57
Dari penjelasan mengenai tujuan peristiwa tersebut, maka Nabi Khidir berkata bahwasanya dia membebaskan diri dari segala campur tangan dalam perkara itu. Itu semua merupakan rahmat Allah, yang mengatur perilaku itu. Semua itu adalah urusan Allah, bukan urusannya. Allah telah membukakan kepadanya pintu-pintu gaib dalam masalah ini dan masalah-masalah sebelumnya. Dia mengarahkannya kepada tindakan itu sesuai dengan ilmu gaib yang dibukakan kepadanya. Maka dari ketiga kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa jika dua bahaya saling bertentangan maka yang terendah wajib dilakukan, yaitu : 1) Apabila dua bahaya saling bertentangan, maka bahaya yang paling kecil harus dilakukan untuk menghindarkan bahaya yang paling besar. Pada kasus pertama, apabila kapal tersebut tidak dilubangi, niscaya ia akan dirampas oleh raja ẓālim, dan manfaatnya akan hilang sama sekali. 2) Pada kasus kedua, apabila anak muda itu tidak dibunuh, niscaya hidupnya akan merusak kedua orang tuanya didalam agama dan dunianya. 3) Pada kasus ketiga, bahwasanya kesulitan dalm mendirikan dinding lebih kecil bahayanya dibanding robohnya dinding itu, karena dengan robohnya akan hilang harta anak-anak yatim itu. Penjelasan dari ketiga kasus tersebut adalah sebagai berikut : a) Adapun apa yang telah diperbuat oleh Nabi Khidir terhadap kasus pertama yaitu bahwasanya kapal yang ia lubangi adalah milik kaum yang lemah dan mereka menggunakan kapal tersebut untuk mencari nafkah. Nabi Khidir melakukan perbuatan itu dengan maksud agar kapal tersebut tidak dirampas
58
oleh raja ẓālim, karena raja ẓālim akan merampas kapal yang layak untuk dipakai dan meninggalkan kapal yang mempunyai cacat. b) Pada kasus kedua, alasan Nabi Khidir membunuh anak muda itu karena dia adalah seorang kafir sedangkan orang tuanya adalah orang-orang beriman. Maka ditakutkan anak tersebut akan mendorong kedua orang tuanya untuk mengikutinya didalam kekafiran karena kecintaan orang tua kepada anaknya. c) Pada kasus ketiga, alasan Nabi Khidir menegakkan dinding yang hampir roboh itu ialah karena dibawahnya terdapat harta benda anak simpanan milik dua orang anak yatim yang berada di kota, sedangkan bapak mereka adalah seorang yang saleh. Allah berkehendak agar harta simpanan itu tetap berada dalam kekuasaan kedua anak yatim itu, untuk memelihara hak mereka dan karena kesalehan bapak mereka. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi Khidir agar mendirikan kembali dinding yang hampir roboh itu, karena kemaslahatan-kemaslahatan tersebut. Sebab jika dinding itu roboh, niscaya harta simpanan itu hilang. Dari seluruh keterangan tentang surat al-Kahfi ayat 60-82 tersebut, yang menunjukkan perintah menghormati guru adalah ayat 66-70, perbincangan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir yang telah disebutkan didalam al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat 66-70 tersebut merupakan teladan yang baik dan adab bagi seorang murid didalam mengkhidmati dan menghormati gurunya. Sedangkan untuk awal dan akhir ayat dari materi ini
59
yaitu ayat 60-65 dan 71-82 adalah sebuah cerita yang saling menyambung, sehingga apabila dihilangkan maka akan terpotong ceritanya.